Anda di halaman 1dari 34

ISLAM DALAM PANDANGAN HMI

Oleh: Wahyu Minarno

A. Naskah-naskah Doktrin Perjuangan HMI


Perkembangan historis HMI, menunjukkan bahwa selain Anggaran
Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) HMI, sejak tahun 1947
hingga tahun 2009, HMI telah memiliki sepuluh naskah atau dokumen yang
dijadikan sebagai landasan perjuangannya. Diantara sepuluh naskah tersebut,
yang sampai hari ini masih digunakan sebagai landasan perjuangan terdapat
lima naskah. Meskipun demikian, dalam konteks pemikiran keislamannya,
kesepuluh naskah tersebut tetap dijadikan sebagai landasan, terutama saat
melakukan kajian tentang pemikiran HMI.
Sepuluh naskah tersebut adalah (1) Pemikiran keislaman-
keindonesiaan HMI, (2) Tafsir Azas, (3) Kepribadian HMI, (4) Garis-garis
Pokok Perjuangan, (5) Nilai-nilai Dasar Perjuangan, (6) Tafsir Tujuan HMI,
(7) Tafsir Independensi, (8) Memori Penjelasan tentang Pancasila sebagai
Dasar Organisasi, (9) Memori Penjelasan tentang Pancasila sebagai Azas
Organisasi, (10) Memori Penjelasan tentang Islam sebagai Azas HMI.
Sedangkan kelima naskah yang secara konstitusional masih digunakan
sebagai landasan perjuangan HMI adalah (1) Pemikiran keislaman-
keindonesiaan HMI, (2) Tafsir Tujuan, (3) Tafsir Independensi, (4) Memori
Penjelasan tentang Islam sebagai Azas HMI, dan (5) Nilai-nilai Dasar
Perjuangan.1

1. Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI


Konsepsi keislaman dan keindonesiaan HMI, yang kemudian
merupakan pemikiran keislaman dan keindonesiaan HMI, berangkat dari
rumusan yang telah tertuang di dalam tujuan HMI saat ia pertama kali
didirikan, yaitu untuk mempetahankan Negara Republik Indonesia dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan
mengembangkan ajaran agama Islam.
Dari kedua rumusan tujuan HMI tersebut, sangat jelas bahwa
komitmen HMI adalah komitmen keislaman dan komitmen keindonesiaan,

1 Dikatakan bahwa sampai hari ini yang secara konstitusional dijadikan sebagai landasan
perjuangan HMI hanya berupa lima naskah, hal tersebut tidak terlepas hanya dikarenakan dua hal.
Pertama, bahwa seiring dengan adanya perkembangan dinamika yang ada serta kecenderungan
HMI ke arah pembaruan, maka beberapa naskah yang dinilai telah terwakilkan oleh naskah yang
lainnya (untuk tidak mengatakan sudah tidak kontekstual lagi), sudah jarang dikaji baik oleh
pengurus maupun anggota HMI. Kedua, karena hanya lima naskah saja yang sampai hari ini
tercantum di dalam buku hasil-hasil Kongres HMI, yang buku tersebut sekaligus difahami sebagai
buku konstitusi HMI. Menurut hemat penulis, mungkin dua hal itulah yang kemudian menjadi
dasar penilaian bahwa dari kesepuluh naskah yang pernah ada, hanya lima naskah saja yang masih
digunakan.

1
yang kemudian secara integral menjadi dasar bagi pemikiran keislaman-
keindonesiaan HMI.
Berdasarkan sejarah perkembangan intelektualnya, pemikiran
keislaman-keindonesiaan HMI terbagi ke dalam tiga periode. Pertama,
periode antara tahun 1947-1965. Pada periode ini pemikiran keislaman-
keindonesiaan HMI belum terumuskan secara komprehensif. Kedua,
periode antara tahun 1966-1984, pada periode ini pemikiran keislaman-
keindonesiaan HMI sudah durumuskan namun belum dielaborasi secara
penuh sehingga menjadi satu pengertian utuh. Ketiga, periode antara tahun
1985-1997, pada periode ini, mulai lahir berbagai penjelasan mengenai
pengertian pemikiran keislaman-keindonesiaan HMI. Beberapa pengertian
tersebut diberikan antara lain oleh Nurcholis Madjid, A. Syafii Maarif,
Fachry Ali, dan Harry Azhar Azis. Pengertian tentang keislaman-
keindonesiaan secara lebih jelas lagi sebagai satu kesatuan integral,
diberikan oleh Nurcholis Madjid pada tahun 1986.2
Sumber-sumber pemikiran keislaman-keindonesiaan HMI
diataranya adalah Pancasila sebagai azas HMI beserta penjelasannya,
Islam sebagai identitas HMI dengan bersumber kepada Al-Qur’an dan
Sunnah, naskah pidato Dies Natalis HMI sebanyak 8 buah (1985, 1986,
1989, 1990, 1992, 1994, 1996, 1997), rekomendasi Kongres HMI
(Kongres ke-16 tahun 1986, Kongres ke-17 tahun 1988, Kongres ke-18
tahun 1990, Kongres ke-19 tahun 1992, Kongres ke-20 tahun 1995,
Kongres ke-21 tahun 1997), dan buku-buku tentang HMI sebanyak 18
buah.
Melalui penjelasan panjang baik dalam karya Prof. Dr. H.
Agussalim Sitompul melalui disertasinya, juga karya dia yang merupakan
kumpulan beberapa naskah yang berhubungan dengan pemikiran
keislaman-keindonesiaan HMI,3 maka penulis menyimpulkan substansi
pokok di dalam pemikiran keislaman-keindonesiaan HMI. Bahwa di
dalam HMI, keislaman-keindonesiaan telah terpadu secara utuh, sehingga
dalam mengekspresikan keislamannya, HMI telah sekaligus menyatakan
keindonesiaannya.dalam pandangan HMI, komitmen kepada
keindonesiaan merupakan kelanjutan dari sistem keimanannya. HMI
mengindonesia karena hendak mengejawantahkan nilai-nilai luhur yang
diserapnya dari ajaran-ajaran Islam. Maka dalam mengislam, HMI
mengislam dalam wadah yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, yaitu tanah
air Indonesia. Keislaman-keindonesiaan bagi HMI bukan masalah
alternatif satu sama lain, tetapi seperti dua sisi dari sekeping mata uang.4

2 Solichin, HMI Candradimuka Mahasiswa, (Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation, 2010),


hlm. 24.
3 Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa
Indonesia, (Yogyakarta: CV. Misaka Galiza, 2008).
4 Lihat Nurcholis Madjid, “HMI Sebuah Gejala Keislaman-Keindonesiaan”, Kata Pengantar
dalam Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan.., hlm. vi-viii.

2
2. Tafsir Azas
Tafsir Azas dirumuskan oleh dua orang, yaitu Amir Rajab Batubara
dan Ismail Hasan Metareum. Saat itu Amir Rajab Batubara menjabat
sebagai Ketua Umum PB HMI Periode 1955-1957. Konsep tersebut
dirumuskan pada tahun 1957 dan diputuskan pada saat Kongres HMI ke-5
yang dilaksanakan di Medan, mulai tanggal 24-31 Desember 1957.
Perumusan naskah tersebut dimaksudkan agar seluruh jajaran
pengurus dan anggota HMI memiliki pedoman dan landasan yang sama
dalam mengimplementasikan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Hal itu karena pandangan bahwa Islam adalah ajaran yang
rahmatan lil alamin.
Naskah tafsir azas HMI yang terakhir, yaitu tahun 1996 dan
berlaku sampai tahun 1969, menyebutkan ada tiga lapisan atau golongan
yang mendapat tugas untuk melaksanakan misi Islam di Indonesia. Ketiga
golongan tersebut adalah umat Islam, umat Islam Indonesia, dan
mahasiswa Islam.5
Disebutkan bahwa umat Islam harus menjalankan tugas
melaksanakan misi Islam hal itu sesuai dengan perintah Tuhan bahwa
setiap umat Islam memikul tanggung jawab untuk mengajak manusia
lainnya kepada jalan kebenaran.6 Selanjutnya adalah umat Islam Indonesia.
Hal ini dikarenakan umat Islam sebagai golongan terbesar dari rakyat
Indonesia, maka memiliki kewajiban membela, mengisi, dan
menyempurnakan kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa Indonesia.
Sebagaimana Soekarno pernah mengatakan, bahwa kemerdekaan adalah
jembatan emas menuju masa depan bangsa, maka ia harus dilanjutkan
perjalanannya dan tidak boleh berhenti sampai di situ saja. Kemudian yang
terakhir adalah mahasiswa Islam. Sebagai insan akademis, pencipta dan
bernafaskan Islam, maka menjadi kewajiban bagi setiap individu
mahasiswa Islam untuk mengabdikan diri dan segala potensi yang
dimilikinya dalam rangka mewujudkan masyarakat adil makmur yang
diridhlai Allah SWT.

3. Kepribadian HMI
Dalam memperjuangkan cita-cita dan tujuan HMI, maka HMI
dituntut untuk mengenal hakikat dan kepribadiannya. Dan untuk dapat
mengenal hakikat serta kepribadiannya tesebut, HMI dituntut juga
meninjau kembali latar belakang sejarah berdirinya HMI, dasar dan tujuan
HMI, serta kedudukan HMI di masa sekarang dan di masa yang akan
datang.7
Adapun kepribadian HMI, terdiri dari unsur-unsur pokok yang
diantaranya adalah:
a. Dasar Tauhid, bahwa segala sesuatunya harus bersumber kepada
Al-Qur’an dan Sunnah, yang berarti bahwa HMI harus berkeyakinan
5 Sholichin, HMI Candradimuka Mahasiswa.., hlm. 26-27.
6 Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 104.
7 Sholichin, HMI Candradimuka Mahasiswa.., hlm. 28.

3
bahwa tiada Tuhan selain Allah, bahwa Allah adalah Maha Esa. Dasar
tauhid inilah yang merupakan inti dari Iman, Islam, dan Ikhsan.
b. Dasar Keseimbangan, bahwa pemenuhan tugas dunia dan akhirat,
jasmani dan rohani, akal dan kalbu, iman dan ilmu, harus diarahkan
menuju kebahagiaan hidup yang sejati, yaitu kebahagiaan dunia dan
akhirat.
c. Kreatif, yaitu memiliki kemampuan daya cipta dan pemikiran
rasional dan kritis. Sehingga setiap kader HMI memiliki kebijaksanaan
untuk dapat berilmu amaliah dan beramal ilmiah.
d. Dinamis, yaitu selalu bergerak dan berkembang sehingga mampu
memberikan respons dengan cepat dan tepat dalam fungsi
kepeloporannya.
e. Pemersatu, yaitu sikap untuk selalu memperjuangkan adanya
integrasi umat Islam Indonesia dan menggalang persatuan nasional.
f. Progresif-Revolusioner, yaitu sikap yang patriotik dengan lebih
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan
pribadi atau golongan. Selain itu juga harus selalu berpihak dan
melakukan pembelaan terhadap kaum lemah yang tertindas, melawan
imperialisme dan kapitalisme.
Keenam unsur-unsur pokok tersebut dirumuskan bukan untuk
menetapkan siapakah HMI itu sebenarnya, melainkan untuk menjadi
pedoman bagi setiap kader HMI (pengurus dan anggota) agar memahami
dan senantiasa meneguhkan hakikat serta kepribadiannya.

4. Garis-garis Pokok Perjuangan (GPP)


GPP dirumuskan sebagai doktrin bagaimana cara HMI dalam
menjalankan tugas sucinya. GPP dirumuskan dan ditetapkan di Surakarta
pada Kongres ke-8 HMI yang dilaksanakan pada tanggal 10-17 September
1966. Naskah GPP terdiri dari 6 bab. Bab pertama merupakan mukadimah,
yang mengungkapkan bahwa GPP merupakan keseluruhan strategi serta
garis-garis kebijaksanaan umum yang harus ditempuh dalam satu fase
perjuangan sesuai dengan kondisi-kondisi yang ada, baik internal maupun
eksternal. Dalam rangka mencapai tujuan HMI, maka perlu dirumuskan
suatu program umum yang bersifat nasional.8
Bab II menggambarkan kekuatan sosial politik dalam revolusi
Indonesia dan beberapa ideologi politik yang berpengaruh.9 Bab III
menggambarkan situasi umat Islam Indonesia, yang merupakan pelopor
dalam melawan kedzaliman. Bab IV menggambarkan status, fungsi, dan
peran HMI. Sebagai organisasi yang berstatus mahasiswa, HMI dituntut
untuk menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia. Sebagai organisasi yang
fungsi perkaderan, maka HMI adalah kader umat sekaligus kader bangsa.
Dan sebagai organisasi yang berperan perjuangan, HMI dituntut untuk

8 Sholichin, HMI Candradimuka Mahasiswa.., hlm. 31.


9 Ideologi yang berpengaruh waktu itu meliputi Islam, Kristen/Katolik, Marxisme, Marhaenisme,
dan Komunisme.

4
memperjuangkan kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia sebagai
manifestasi ajaran Islam dengan tetap berlandaskan Pancasila.
Strategi dasar HMI yang dituangkan di dalam GPP adalah
konsolidasi HMI, integrasi umat, dan pembinaan Orde Baru. 10 Untuk
melaksanakan ketiga strategi tersebut, maka melalui GPP, dituangkanlah
beberapa program-program HMI yang bersifat nasional. Program-program
tersebut meliputi:
a. Meningkatkan kualitas HMI sebagai kader umat dan kader bangsa.
b. Menjadikan HMI sebagai faktor kekuatan sosial politik yang
menentukan.
c. Mengusahakan kesatuan pendapat di kalangan umat Islam dalam
menghadapi persoalan politik.
d. Menggarap potensi umat sehingga menjadi kekuatan yang riil.
e. Menghancurkan sisa-sisa PKI.
f. Meningkatkan kerja sama secara kongkrit di antara semua
kekuatan Orde Baru untuk membangun Indonesia.11
Bagi HMI saat itu, GPP tidak bersifat permanen. GPP ditentukan
oleh situasi serta kondisi pada waktu tertentu. Pelaksanaan GPP bersifat
fleksibel, yang berarti mengusahakan penerapan yang sebijaksana
mungkin.

5. Nilai-nilai Dasar Perjuangan


Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang merupakan salah satu
naskah dotrin perjuangan bagi HMI, berada pada posisi yang cukup
sentral. Berdasarkan analisa sejarah yang dilakukan oleh Prof. Dr. H.
Agussalim Sitompul, beberapa faktor yang melatarbelakangi
dirumuskannya NDP ada empat.
Pertama, pemahaman keislaman yang ada di Indonesia saat itu
perlu untuk ditingkatkan, terutama di tingkatan masyarakat (termasuk
pelajar dan mahasiswa Islam), mengingat penghayatan yang benar
terhadap nilai-nilai Islam sangat perlu bagi masyarakat Indonesia. 12 Kedua,
HMI belum memiliki sebuah naskah atau buku tentang Islam yang
dijadikan sebagai pegangan perjuangan bagi kader-kadernya.13 Ketiga,
agar HMI memiliki panduan dalam memahami Islam dengan baik serta
dapat menerjemahkannya dalam dimensi ruang dan waktu dalam bingkai
keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan.14 Keempat, agar HMI

10 Mengingat saat itu HMI sangat dekat dengan Orde Baru dan banyak para kader yang bernah
dibesarkan di dalam HMI duduk di dalam pemerintahan. Hal ini dikarenakan oleh masih
sedikitnya generasi yang ada pada waktu itu yang dinilai telah matang dan siap untuk mengelola
pemerintahan bersama pemerintah Orde Baru. Dan HMI-lah saat itu yang memiliki kader
terbanyak, serta dinilai telah cukup matang.
11 Sholichin, HMI Candradimuka Mahasiswa.., hlm. 32.
12 Lihat Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai-nilai Dasar
Perjuangan, (Jakarta: Penerbit Kultura, 2007), hlm. xxxi.
13 Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI.., hlm. xxxi.
14 Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI.., hlm. xxxi.

5
memiliki suatu ideologi yang bertahan relatif lama antara 20 sampai 25
tahun.15
Berkaitan dengan faktor yang ketiga, dengan sangat jelas dapat
ditemukan juga di dalam kata pengantar yang dituliskan oleh PB HMI
dalam buku NDP,16 yang menyebutkan adanya dua syarat bagi suksesnya
perjuangan.17
Selain keempat faktor di atas, perumusan NDP juga sangat
dipengaruhi oleh hasil dari perjalanan Nurcholis Madjid selama tiga bulan
ke Timur Tengah. Nurcholis Madjid menyebut NDP sebagai kesimpulan
dari perjalanannya tersebut.18
Selama perjalanannya di Timur Tengah, banyak hal yang
ditemukannya, yang kemudian memberi inspirasi bahwa sepulang dari
perjalanannya tersebut ia harus menulis sesuatu tentang nilai-nilai dasar
Islam, yang kemudian ditulisnya pada bulan April.
Jika menggunakan nama “nilai-nilai dasar Islam”, menurut
Nurcholis Madjid akan terkesan mengklaim terhadap Islam. Maka untuk
menghindari kesan klaim terhadap Islam, Nurcholis Madjid mencari nama
lain yang lebih sesuai dengan aktifitas sebagai mahasiswa Islam, dimana
NDP itu nantinya akan diperuntukkan.
Mengenai nama NDP, Nurcholis Madjid mendapatkan inspirasi
dari judul buku karya Willy Eicher, seorang ideolog Jerman, yang berjudul
The Fundamental Values and Basic Demand of Democratic Socialism
(Nilai-nilai Dasar dan Tuntutan-tuntutan Asasi Sosialisme Demokrat).
Nurcholis mengambil kata “nilai-nilai dasar” nya. Sedangkan untuk kata
“perjuangan”, Nurcholis mendapatkan inspirasi dari buku karya Syahrir
yang berjudul “Perjuangan Kita”, yang ternyata buku tersebut, entah isi
atau judulnya saja, meniru buku karya Hitler yang berjudul “Mein Kamf”.19
Tentang ideologi atau doktrin perjuangan, sebelum adanya NDP,
HMI telah memiliki ideologi atau doktrin perjuangan. Ideologi HMI saat
itu berupa kepribadian HMI dan Garis-garis Pokok Perjuangan.
Keberadaan NDP tidak lain adalah untuk menyempurnakan keberadaan
ideologi yang telah ada sebelumnya, juga sebagai suatu metodologi dalam
memahami dan menghayati Islam sebagai dasar HMI.

15 Sholichin, HMI Candradimuka Mahasiswa.., hlm. 317.


16 Diterbitkan tahun 1971 dengan ditandatangani oleh Nurcholis Madjid selaku Ketua Umum dan
Ridwan Saidi selaku Sekretaris Jendral, dan hanya untuk kalangan HMI
17 Lebih lengkapnya, di dalam kata pengantar tersebut dituliskan, “Dua syarat bagi suksesnya
perjuangan ialah: (1) Keteguhan iman atau keyakinan kepada dasar, yaitu idealisme kuat, yang
berarti harus memahami dasar perjuangan itu. (2) ketepatan penelaahan kepada medan perjuangan
guna dapat menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh, berupa program perjuangan atau
kerja, yaitu ilmu yang luas. Maka perumusan NDP ini adalah suatu usaha guna memenuhi syarat
pertama tersebut”. Lihat PB HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan (Jakarta: PB HMI, 1971), hlm. 4.
18 Mengenai perjalanan Nurcholis Madjid, yang kemudian dikatakannya bahwa NDP adalah
kesimpulan dari perjalanannya tersebut, lihat Nurcholis Madjid, “Gagasan dan Latar Belakang
Perumusan NDP”, dalam Muchriji Fauzi dan Ade Komaruddin Mochamad (ed.), HMI Menjawab
Tantangan Zaman, (Jakarta: Penerbit PT Gunung Kulabu, 1990), hlm. 9.
19 Muchriji Fauzi dan Ade Komaruddin Mochamad (ed.), HMI Menjawab Tantangan.., hlm. 9.

6
NDP dirumuskan pada tahun 1969, kemudian disahkan pada
Kongres ke-9 tahun 1969 di Malang. Pada Kongres tersebut sempat
terdapat kesulitan dalam membahas NDP, dikarenakan cakupan persoalan
yang dibahas di dalamnya terlalu luas sehingga tidak mungkin dibahas di
forum Kongres. Maka Kongres memutuskan untuk menyerahkan tanggung
jawab penyempurnaan naskah tersebut kepada tiga orang, yaitu Endang
Saifuddin Anshari, Sakib Mahmud, dan Nurcholis Madjid sendiri. 20
Sehingga lahirlah NDP seperti yang sampai sekarang masih menjadi
pegangan bagi kader HMI dan disampaikan sebagai salah satu materi
pokok pada setiap jenjang training di HMI.21
Dalam perkembanganya, NDP mengalami beberapa perubahan.
Perubahan pertama terjadi saat Kongres ke-16 di Padang tahun 1986, dan
hanya namanya saja yang dirubah sementara seluruh isinya tetap. NDP
dirubah nemanya menjadi Nilai Identitas Kader (NIK). Perubahan kedua
terjadi saat Kongres ke-11 di Bogor tahun 1974, NDP yang semula dirubah
menjadi NIK, dikembalikan lagi menjadi NDP. Perubahan ketiga terjadi
saat Kongres-25 di Makasar tahun 2006, NDP dirubah isinya dan tanpa
kata pengantar dari PB HMI tertanggal 31 Januari 1971.
Sejak Kongres ke-25 HMI di Makasar, HMI mulai memiliki
dualisme NDP. Di satu pihak ada yang menggunakan NDP hasil Kongres
Makasar, dan di lain pihak ada yang menggunakan NDP hasil Kongres
Malang. Dualisme NDP tersebut berlangsung hingga Kongres ke-27 di
Depok, yang memutuskan kembali kepada NDP hasil Kongres Malang.
Kongres ke-26 di Palembang memutuskan memberikan waktu selama satu
tahun kepada PB HMI untuk menyelesaikan polemik seputar dualisme
NDP melaluui diadakannya forum-forum ilmiah. Sementara PB HMI
berupaya menyelesaikan polemik dualisme yang ada, HMI diberikan
kesempatan untuk menggunakan NDP dari kedua versi yang ada tersebut.22
Untuk dapat memahami NDP dan mengamalkan dengan benar,
sedikitnya ada empat dokumen historis yang harus diketahui dan difahami.
Keempat dokumen tersebut adalah latar belakang perumusan NDP yang
ditulis oleh Nurcholis Madjid, Kata Pengantar PB HMI tertanggal 31
Januari 1971, Naskah NDP, dan sejarah NDP yang ditulis oleh Agussalim
Sitompul.23
6. Gambaran Insan Cita dan Tafsir Tujuan HMI

20 Muchriji Fauzi dan Ade Komaruddin Mochamad (ed.), HMI Menjawab Tantangan Zaman..,
hlm. 9.
21 Di HMI terdapat tiga jenjang training formal: Latihan Kader I (Basic Training), Latihan Kader
II (Intermediate Training), dan Latihan Kader III (Advance Training). Selain training formal, di
HMI juga terdapat training informal dan non formal, salah satunya adalah Senior Course, yang
menjadi salah satu syarat bagi kader HMI untuk dapat menjadi instruktur training.
22 Meskipun sebenarnya, jika dipahami secara bijaksana, sebenarnya tidak ada versi-versi di
dalam NDP. Pada dasarnya, perdebatan itu hanyalah seputar metodologi. Karena menyangkut
persoalan ideologi, maka dualisme tersebut terkesan panas.
23 Sholichin, HMI Candradimuka Mahasiswa.., hlm. 314.

7
Gambaran Insan Cita HMI, yang kemudian merupakan penjelasn
tujuan HMI, ditetapkan pada Kongres ke-9 HMI di Malang. 24 Di dalam
Gambaran Insan Cita HMI, terdapat penjelasan mengenai lima kualitas
insan cita HMI, yang dijabarkan melalui 17 indikator. Pada Kongres ke-10
HMI di Palembang tahun 1971, konsep ini disempurnakan kemudian
dijadikan sebagai Tafsir Tujuan HMI, dan dituangkan ke dalam pasal 5
Anggaran Dasar (AD) HMI.25
Tafsir Tujuan HMI menggambarkan kualitas insan cita HMI, yaitu
suasana ideal yang ingin diwujudkan oleh HMI di dalam diri setiap
kadernya agar beriman, berilmu, dan beramal denga ikhlas. Kualitas insan
cita HMI tersebut kemudian lebih dikenal dengan Lima Kualitas Insan
Cita, karena terdiri dari lima kualitas. Kelima kualitas tersebut meliputi
kualitas akademis, kuaitas pencipta, kualitas pengabdi, kualitas insan
bernafaskan Islam, dan kualitas insan yang bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhlai Allah SWT. Masing-
masing kualitas ditandai dengan beberapa indikator yang harus dimiliki
oleh setiap kader HMI.26
Sebagai seorang mahasiswa, maka HMI harus memiliki wawasan
yang luas dan dapat mempertanggungjawabkannya secara menyeluruh.
Pertangungjawaban tersebut salah satunya dibuktikan dengan melahirkan
atau menciptakan beberapa karya (pemikiran atau penemuan-penemuan)
kemudian mengabdikannya kepada umat dan bangsa sebagai bentuk
kontribusi HMI. Di dalam pengabdiannya, harus senantiasa dilandasi
dengan nafas Islam, sehingga apa yang menjadi karyanya juga akan
merupakan rahmat bagi yang merasakan karya tersebut. Kesemuanya itu
dilakukan oleh HMI dalam rangka limardhatillah melalui upaya
perwujudan masyarakat adil makmur yang diridhlai Allah SWT.27
Menurut penulis, kualitas insan cita tersebut, adalah arah dari apa
yang menjadi sasaran internal bagi fungsi perkaderan HMI dalam rangka
menjalankan peran eksternalnya, yaitu perjuangan. Antara fungsi internal
dan peran eksternalnya, HMI harus senantiasa menjalankannya secara
bersamaan, dan bukan mendahulukan salah satunya. Sambil berkader,
HMI menjalankan perjuangannya, begitu juga sebaliknya.

7. Tafsir Independensi HMI

24 Mengenai Gambaran Insan Cita HMI, Kongres di Malang hanya menetapkan, dan jika ada
pembahasan, kemungkinan besar hanya berupa pengembangan, penyempurnaan, atau perbaikan
redaksi. Sebab berdasarkan diskusi penulis dengan Djohan Effendi di Kantor HMI Cabang
Yogyakarta pada tanggal 1 Mei 2011, dikatakan bahwa almarhum Ahmad Wahib lah yang
merumuskannya kemudian dibawa ke Kongres di Malang. Djohan Effendi yang juga merupakan
sahabat dekat Wahib, memastikan bahwa gagasan itu dirumuskan oleh Wahib di Yogyakarta.
25 Sholichin, HMI Candradimuka Mahasiswa.., hlm. 33.
26 Mengenai Lima Kualitas Insan Cita beserta 17 indikatornya, tertuang di dalam setiap buku
Hasil-hasil Kongres HMI. Ditulis ulang oleh Solichin dalam buku “HMI Candradimuka
Mahasiswa”. Sholichin, HMI Candradimuka Mahasiswa.., hlm. 34-36.
27 Interpretasi dan penyederhanaan dari penulis.

8
Sejak HMI didirikan, sebenarnya HMI telah menyatakan dirinya
sebagai oganisasi yang Independen. Hal ini disampaikan langsung oleh
lafran Pane saat hadir memberikan penjelasan di hadapan GPII dan PII
yang sebelumnya merasa keberatan dengan keberadaan HMI.
Secara formal konstitusional, sifat independen tersebut baru
diputuskan pada saat Kongres ke-10 HMI di Palembang, yang kemudian
dimasukkan ke dalam AD HMI pasal 7. Konsekwensi atas sifat
independensinya tersebut, menuntut dirumuskannya suatu penjelasan yang
lebih terperinci dalam bentuk naskah.
Sifat independen HMI didasari oleh kayakinan bahwa manusia
sejatinya dilahirkan dalam fitrahnya yang bebas dan merdeka. Bagi
manusia, kemerdekaan pribadi merupakan hak pertama yang dimilikinya.
Suasana dan kondisi bebas sangat dibutuhkan oleh manusia dalam tahapan
pembentukan dan pengembangan dirinya.
Mahasiswa sebagai kelompok elit di dalam lapisan sosial, harus
memiliki sifat kepeloporan dan sifat kritis. Kepeloporan dan kekritisan
tersebut juga harus objektif serta rasional. Sikap kritis hanya dapat lahir
ketika seorang mahasiswa berada dalam kondisi bebas. Untuk dapat bebas,
maka mahasiswa harus memiliki sifat independen.
Di HMI, indpendensi mencakup dua hal, independensi etis dan
independensi organisatoris. Independensi etis adalah hakikat dari sifat
yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia
berkeinginan suci dan cenderung kepada kebenaran (hanief). Watak yang
demikian, aka membuat kader HMI selalu setia kepada hati nuraninya
yang senantiasa memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian dan
kebenaran. Kesucian dan kebenaran tersebut adalah Allah SWT. Dengan
independensi etisnya, setiap kader HMI senantiasa berperilaku baik dalam
hubungannya dengan sesama manusia, maupun denga Tuhannya, atas
dasar ketundukan dan kepatuhan serta komitmen terhadap kebenaran.
Implikasi dari independensi etis tersebut akan menghiasi
kepribadian dan sikap setiap kader HMI dengan nilai-nilai ke-hanief-an,
kebebasan, keterbukaan, kemerdekaan, objektif, rasional, progresif,
dinamis, kritis, demokratis, jujur, dan adil.
Independensi organisatoris adalah watak independensi HMI yang
teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika HMI, baik dalam
kehidupan internal organisasi maupun dalam kehidupan masyarakat secara
luas. Dalam melaksanakan amanah organisasi, HMI secara organisatoris
tidak pernah berkomitmen dengan kepentingan pihak manapun atau
kelompok manapun kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan
kebenaran dan objektifitas kejujuran serta keadilan.
Beberapa implementasi dari independensi organisatoris HMI,
diantaranya HMI tidak diperbolehkan membawa-bawa organisasi, atau
memanfaatkan nama organisasi demi kepentingan atau atas kehendak
pihak luar manapun juga, apalagi memanfaatkan atau menjual nama
organisasi hanya untuk kepentingan pribadi. Selanjutnya HMI juga tidak
diperkenakan membangun komitmen dalam bentuk apapun dengan pihak

9
di luar HMI selain segala sesuatu yang telah diputuskan secara
organisatoris. Dan bagi para alumni HMI, di manapun meraka berkarier,
harus tetap menerapkan nilai-nilai independensi etisnya. Sebab di
manapun para alumni berkarier atau berkarya, kegiatannya adalah
merupakan implementasi dari pelaksanaan misi HMI.
Dengan sifat dan garis independensinya, HMI dituntut untuk
mampu mencari, memilih, dan menempuh jalan atas dasar keyakinan dan
kebenaran. Maka konsekwensinya, HMI harus berkualitas, baik
pemimpinnya maupun para anggotanya.

8. Memori Penjelasan tentang Pancasila sebagai Dasar Organisasi


Pada bagian ini penulis mengalami beberapa kesulitan. Di satu sisi
beberapa karya tentang HMI menuliskan bahwa salah satu naskah doktrin
perjuangan HMI adalah Memori Penjelasan tentang Islam sebagai Dasar
Organisasi, namun di sisi lain, ketika penulis lain tersebut memasukkan
naskah ini sebagai salah satu naskah doktrin perjuangan HMI, penulis
tidak menemukan pembahasan secara khusus tentangnya.28
Ada dua kemungkinan mengapa naskah tersebut tidak dibahas
secara rinci atau tidak disadur. Pertama, HMI menjadikan Pancasila
sebagai azasnya hanya dalam waktu yang sebentar, yaitu diawali saat
pemerintah memberlakukan azas tunggal. Setelah kebijakan tersebut
dicabut, HMI kembali kepada azas Islam. Kedua, pembahasan ini terkesan
penuh denga polemik bagi sebagian kalangan di HMI. Karena Pancasila
sebagai dasar organisasi, secara tidak langsung telah melahirkan
perpecahan di internal HMI, yaitu dengan lahirnya HMI MPO.
Selain dua kemungkinan yang penulis temukan, ada dua
pemahaman lain dari penulis. Pertama, Pancasila sebagai dasar organisasi
sebenarnya telah secara tersirat memancar melalui semangat
keindonesiaan di dalam diri HMI, sejak HMI didirikan hingga saat ini.
sehingga hal itu telah dianggap cukup jelas. Penerimaan HMI terhadap
Pancasila sebagai dasar negara, adalah wujud penerimaan HMI atas
pancasila sebagai dasar orgaisasi. Hal ini mengingat juga pertimbangan
dari beberapa tokoh atau pengurus HMI pada tahun 1970-an dan 1980-an,
bahwa Islam dan Pancasila bukanlah dua hal yang harus dikonfrontasikan.
Kedua, antara dasar dan azas memiliki kecenderungan yang sama dalam
hal implikasinya, maka Pancasila sebagai dasar organissi, sama dengan

28 Misalnya dalam karya Solichin dan Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, penulis tidak
menemukan di dalam karya kedua tokoh senior HMI tersebut tulisan yang menjelaskan atau
menguraikan isi dari naskah yang sisebut sebagai salah satu doktrin perjuangan HMI. Penulis juga
tidak menemukan saduran atau cuplikan yang dituliskan kembali oleh kedua penulis lain tersebut
di dalam karya mereka, meskipun di dalam dua karya Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, setelah
penulis menelaahnya dan mencoba memahami pesan-pesan di dalamnya, secara tersirat penulis
menemukan semangat atau gagasan yang kemungkinan besar mewakili gagasan dasar tentang
Pancasila sebagai dasar organisasi. Kedua karya karya Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul tersebut
adalah “Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia”, dan
“Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan HMI
(1947-1997)”.

10
Pancasila yang pernah menjadi azas bagi HMI. Mengenai hal ini sudah
dijelaskan pada pembahasan di awal.
Meskipun penulis dihadapkan dengan beberapa kesulitan tersebut,
denga menggunakan pendekatan sejarah dan filsafat, penulis akan
mencoba menelusuri dan menangkap pesan-pesan yang terdapat di dalam
beberapa nakah-naskah lain seperti misalnya naskah pidato Dies Natalis
HMI, tulisan-tulisan tokoh HMI yang memuat pandangannya tentang
Pancasila, dan beberapa naskah atau literatur lainnya.
Dengan cara demikian, diharapkan penulis tetap dapat menyajikan
gagasan atau pandangan HMI terhadap Pancasila dalam posisinya baik
sebagai dasar organisasi maupun sebagai azas organisasi. Sebab memang
untuk maksud itulah penulis memafaatkan data-data yang ada.
Dalam salah satu pidatonya pada acara Dies Natalis ke-37 HMI,29
selaku Ketua Umum PB HMI Hari Azhar Azis menyampaikan
pandangannya mewakili HMI tentang Pancasila. Menurutnya Pancasila
sebagai falsafah negara tidak terpisahkan dalam kehidupan demokrasi.
Sila-sila di dalam Pancasila menjadi semangat bangsa dalam membina dan
mengembangkan kehidupan demokrasi. Sila pertama yang sekaligus
merupakan prima kausa bagi sila-sila lainya adalah pencerminan ajaran
agama di dalam kehidupan rakyat Indonesia. Sila terakhir yang merupakan
pencerminan bagi sila-sila yang lainnya, adalah manifestasi agama di
dalam kehidupan rakyat Indonesia.30
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa demokrasi Pancasila pada
dasarnya merupakan demokrasi berketuhanan. Ajaran berketuhanan yang
benar akan mendorong kepada kemerdekaan dan kebahagiaan. Di dalam
demokrasi Pancasila tidak dikenal penindasan, pemaksaan, ataupun
dominasi.31
Kemudian pada kesempatan yang lain, yaitu pada acara Dies
Natalis ke-38 HMI, yang dilaksanakan pada tanggal 5 Februari 1985, Hari
Azhar Azis kembali menyinggung Pancasila sebagai orientasi cita
bangsa.32 Saat itu dengan sangat jelas dia mengatakan bahwa bangsa
Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi
nasional, mengenal kehidupan masyarakatnya sebagai masyarakat yang
sosialistis-religius.33 Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa bangsa
Indonesia harus bersumberkan falsafah Pancasila dalam menegakkan
kehidupan demokrasi. Karena falsafah Pancasila pada hakekatnya adalah
falsafah yang berurat akar pada ajaran-ajaran ke-Tuhanan. 34 Selain hari

29 Pada 5 Februari 1984, dengan tema pidato “Dengan Demokrasi Pancasila Kita Wujudkan
Keadilan dalam Kehidupan Bangsa”. Lihat Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan.., hlm.263-
274.
30 Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan.., hlm. 271.
31 Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan.., hlm. 272.
32 Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan.., hlm. 275-287.
33 Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan.., hlm. 285.
34 Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan.., hlm. 286.

11
Azhar Azis, semangat dan pandangan yang sama juga disampaikan oleh
tokoh HMI pada waktu itu, serta pada saat-saat awal HMI berdiri.
Melalui apa yang disampaikan oleh Hari Azhar Azis mewakili
HMI tersebut, dapat ditarik benang merah dari hubungan antara Islam dan
Pancasila dalam pandangan HMI, yang kemudian menjadi dasar bagi
penerimaan HMI terhadap pancasila sebagai dasar organisasi sekaligus
azas organisasi.

9. Memori Penjelasan tentang Pancasila sebagai Azas Organisasi


Diawali dengan mencuplik ayat Al-Qur’an sebagai awal dari
naskah ini,35 HMI menilai Pancasila yang terdiri dari lima sila sebagai
rumusan final dari suatu proses kesejarahan yang panjang, di mana faktor-
faktor dinamis sejarah telah memberikan sumbangan besar dan
menentukan terhadap keutuhan Pancasila. Faktor-faktor tersebut adalah
keterlibatan terus-menerus nilai keagamaan, sosial, budaya, serta yang
lainnya dalam pengisian jiwa dan semangatnya. Kenyataan itulah yang
dinilai kemudian memberikan kekuatan yang fungsional sebagai
konsensus nasonal kepada Pancasila sehingga Pancasila diposisika sebagai
dasar negara.
Dalam pandangan HMI, Pancasilalah yang kemudian menjadi
perekat keberagaman atau kebhinekaan yang ada menjadi satu kekuatan
besar bangsa Indonesia. Dalam pandangan HMI juga, keberagaman atau
kebhinekaan adalah bentuk dari kreatifitas masyarakat Indonesia yang
mampu melahirkan beragam tradisi, kebudayaan dan sebagainya.
Kreatifitas tersebut pada dasarnya bersumber dari agama, sebab nilai
keagamaanlah yang berisi dan menyahuti secara totalitas proses kehidupan
dan tingkah laku kemanusiaan kepada siapa ia harus berbuat dan kepada
siapa ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.36
Secara substansi, penjelasan yang termuat di dalam naskah ini
tidak banyak memberikan eksplorasi tentang Pancasila. Naskah ini hanya
terdiri dari 7 paragraf, yang jika difahami secara keseluruhan, tetap
meletakkan Islam sebagai sumber nilai dan spirit perjuangan bagi HMI.
Pancasila yang saat itu menjadi azas bagi HMI dikarenakan tuntutan
situasi yang ada, dapat dikatakan lebih diposisikan sebagai dasar negara
yang dimana HMI harus turut memasyarakatkannya.
Pada naskah tersebut juga dijelaskan bagaimana ketegasan HMI
dalam penerimaan terhadap Pancasila sebagai azasnya serta usaha HMI
dalam turut memasyarakatkan Pancasila. Empat hal yang dilakukan oleh
HMI diantaranya adalah: Pertama, sebagai umat Islam, ia mampu secara
terus menerus memberikan yang terbaik dengan menjamin nafas kreatifitas
yang fitrah. Kedua, sebagai mahasiswa, ia menjamin fungsionalisasi

35 Yaitu Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 110.


36 Mengenai naskah Memori Penjelasan tentang Islam sebagai Azas Organisasi, salinannya dapat
ditemukan di dalam sebuah buku yang disunting oleh Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul dengan
judul “HMI Mengayuh diantara Cita dan Kritik”. Lihat Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, HMI
Mengayuh diantara Cita dan Kritik, (Jakarta: Misaka Galiza, 2008), hlm. 114-116.

12
Pancasila dalam suasana yang rasional dan realistis. Ketiga, sebagai
anggota masyarakat, ia berperan untuk pengamalannya dalam semangat
keteladanan. Keempat, sebagai generasi muda bangsa, ia senantiasa
sebagai pelopor pemasyarakatan Pancasila yang sekaligus juga sebagai
sosial kontrol dan kritis terhadap setiap upaya penyimpangan nilai-nilai
Pancasila yang bertentangan dengan semangat kelahirannya pada tahun
1945.37

10. Memori Penjelasan tentang Islam sebagai Azas HMI


Setelah HMI kembali kepada azas Islam, maka disusunlah memori
penjelasan tentang Islam sebagai azas HMI, yang terdiri dari 16 paragraf.
Memori penjelasan tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas
mengenai pandangan-pandangan keislaman HMI, sehingga setiap
kadernya mampu mengarahkan setiap gerak langkahnya kepada kesucian
dan kebenaran.
Di dalam memori penjelasan tentang Islam sebagai azas HMI,
dijelaskan mengenai Islam sebagai agama sempurna, yang diturunkan
kepada manusia, dan dengan janjinya, Allah SWT akan selalu memberikan
petunjuknya terhadap setiap manusia yang berjuang di jalan-Nya. Islam,
dijelaskan juga di dalam penjelasan tersebut sebagai aturan hidup agar
perjalanan kehidupan manusia sesuai dengan fitrahnya.
Sebagai seorang Muslim, sudah seharusnya kesempurnaan hidup
setiap kader HMI terekspresikan melalui interalitas antara dua dmensi
dalam setiap aktifitasnya, yaitu dimensi dunia dan akhirat, dimensi
individu da sosial, serta dimensi iman, ilmu, dan amal. Sehingga setiap
langkah akan mengarah kepada teciptanya kemaslahatan hidup, baik
secara individu maupun kolektif.
Sebagai agama yang secara normatif bukan hanya berisi ritual,
Islam adalah suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan
kesadaran kolektif yang memuat kesadaraan, kepentingan, serta struktur
dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik. Islam juga akan mampu
menjadi spirit bagi pembentukan moral dan etika di dalam masyarakat.
Islam yang menetapkan Tuhan sebagai tujuan, menyiratkan akan perlunya
etika ketuhanan pada diri setiap kader HMI, yang meliputi sifat pengasih,
pemaaf, penyayang, perbuatan baik, dan yang lainnya. Totalitas dari semua
etika itu yang pada akhirnya akan membentuk setiap diri kader HMI
menjadi manusia yang kafah.
Sebagai kader HMI, tidak boleh ada sikap melihat antara aspek
keislaman dan keindonesiaan sebagai dua hal yang antagonistik, karena
akan berakibat kepada proses-proses yang ambigu dan distorsif. Sebab
sebagaimana kelahiran dan perjuangan HMI, yang didasari oleh semangat
keislaman dan keindonesiaan, adalah juga merupakan implementasi dari
nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan itu sendiri.
Semangat yang demikian itulah, yang menjadi embrio bagi
lahirnya komunitas Islam sebagai kelompok kepentingan sekaligus
37 Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, HMI Mengayuh diantara.., hlm. 116.

13
kelompok penekan. Dari sisi kepentingan, yang hendak diwujudkan adalah
tertuangnya nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan ke dalam kehidupan
masyarakat. Sedangkan pada sisi penekan, yang dilakukan oleh HMI
adalah memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai Islam sebagai pejuang
Tuhan di muka bumi, misalnya dengan selalu berpihak dan membela kaum
mustadh’afin.
Di dalam penjelasan ini, terkandung juga pandangan HMI
mengenai keberadaan Pancasila yang harus dinormalisasikan dalam setiap
kerangka dasar organisasi agar lebih mudah diimplementasikan.
Secara teknis, Islam yang dimaksud di sini diharapkan mampu
memberikan tekanan sebagai energi perubahan dalam rangka HMI untuk
selalu melakukan inovasi, internalisasi, eksternalisasi, dan objektifikasi. Di
dalam melakukan beberapa hal tersebut, HMI bertekad menjadikan Islam
sebagai doktrin yang akan mengarahkan kepada terwujudnya suatu tatanan
peradaban secara integralistik, transendental, humanis, dan inklusif.
Itulah kesepuluh naskah doktrin perjuangan HMI, yang melalui
sepuluh naskah tersebut, akan dapat difahami pemikiran keislaman HMI.
Pemikiran keislaman HMI ternyata tidak dapat dilepaskan dari perjalanan
panjang sejarah yang kemudian menuntut HMI untuk memberikan respon
terhadap kejadian-kejadian di dalam sejarah, baik secara intelektual
maupun berupa tindakan di lapangan.
Pada bab sebelumnya telah disampaikan penggalan sejarah umat
Islam dan bangsa Indonesia. Melalui penelusuran terhadap kejadian-kejadian
di dalam sejarah bangsa Indonesia, termasuk umat Islam di dalamnya,
ditangkap pesan bagaimana HMI harus didirikan, bagaimana HMI harus turut
terlibat dalam dinamika yang ada, dan bagaimana HMI harus mampu
mengarahkan dinamika tersebut ke arah yang diharapkan. Di sanalah, melalui
sejarah tersebut, pemikiran keislaman HMI memancar. Dari pancaran itu
dapat ditangkap pesan-pesan tentang gagasan-gagasan HMI dalam
mengobjektifikasikan Islam.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa sejarah bagaimanapun
dinamika yang terdapat di dalamnya, telah turut membentuk HMI.
Membentuk pemikiran dan orientasi organisasi tersebut. Kehadiran naskah-
naskah yang kemudian merupakan bagian dari doktrin bagi HMI, adalah
respons terhadap sejarah tersebut.
Maka dapat dikatakan bahwa pemikiran keislaman HMI telah ada
bahkan sebelum HMI didirikan, melalui pribadi seorang Lafran Pane dan
kawan-kawannya pada waktu itu. Di masa mendatang, pemikiran HMI
terbentuk dan semakin dimatangkan oleh sejarah, dan pemikiran HMI turut
membangun sejarah, bahkan menentukannya.

B. Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP)


Pemikiran keislaman HMI dapat dilihat salah satunya dari sejauh
mana HMI memahami dan mengembangkan NDP secara lebih luas dan
kontekstual melalui dimensi ruang dan waktu yang ada. Sejak gerakan
pembaruan pemikiran yang didengungkan oleh Nurcholis Madjid bersama

14
yang lainnya, HMI telah mulai diidentikan dengan gerakan intelektual
muslim pembaharu.
Bagi kalangan HMI, terutama saat ini, pemikiran keislaman HMI
hampir selalu berangkat dari pemahamannya terhadap NDP. Sejauh mana
pemahaman HMI terhadap NDP, maka sejauh itu juga pemikiran
keislamannya. Bukan berarti NDP adalah sebuah konsep yang sudah selesai
dan stagnan, sehingga dikataka sebagai barometer kualitas pemikiran
keialsman HMI, bahkan pemikiran keindonesiaannya.
NDP dilahirkan dari semangat yang tinggi dalam menyempurnakan
kualitas HMI. NDP diharapkan mampu selain sebagai cara pandang HMI
terhadap Islam, juga sebagai ideologi serta filsafat perubahan sosial. Oleh
karena itu, untuk dapat memenuhi posisi, fungsi dan peran NDP, ia harus
senantiasa dihadapkan dengan realitas kekinian. Melalui itu maka akan
terlahir pemikiran-pemikiran baru, yang lebih segar dan kontekstual, namun
tetap berada pada garis keislaman.
Kebutuhan HMI terhadap NDP sebagai cara pandang terhadap Islam,
yang sekaligus sebagai penjelasan tentang Islam sebagai dasar HMI, adalah
untuk membangun konsepsi yang sama terhadap Islam. Hal ini dikarenakan
HMI adalah organisasi yang terbuka serta independen, sehingga membuka
kemungkinan adanya kader yang berasal dari latar belakang yang berbeda.
Maka untuk itu dibutuhkan NDP dalam posisinya sebagai cara pandang. Hal
tersebut bukan berarti bahwa NDP kemudian menegasikan adanya perbedaan.
Karena NDP hanya mengandung hal-hal atau pembahasan-pembahasan yang
bersifat substantif dan universal, maka kemungkinan adanya pengebirian
terhadap kemerdekaan dalam memberi interpretasi terhadap Islam sangat
kecil, bahkan tidak ada. NDP berbicara tentang nilai, tentang bagaimana
memahami sebuah nilai, dan menghindari berbicara hal-hal yang bersifat
teknis, yang seringkali perbedaan pendapat, bahkan pertentangan secara nyata
terlahir dari hal-hal teknis tersebut.
Kemudian kebutuhan HMI terhadap NDP dalam fungsinya sebagai
ideologi dikarenakan sebagai organisasi perjuangan, maka dibutuhkan
ideologi yang tepat dalam rangka mendukung perjuangannya. keberadaan
ideologi menjadi sangat penting bagi HMI dikarenakan ideologi itulah
nantinya, yag selain memberikan dorongan kepada tindakan sosial, juga
berakibat kepada terjadinya perubahan sosial.
Ideologi, menurut Karl Mannheim, biasanya terkait dengan beberapa
hal. Pertama, ideologi merupakan sistem-sistem gagasan yang umum atau
luas. Kedua, ideologi seketika mengakar pada etika sosial. Ketiga, ideologi
mengarahkan kepada tindakan sosial, ia bukan hanya sebatas menjernihkan
atau menata pengetahuan. Keempat, ideologi merupakan sebab sekaligus
akibat dari perubahan sosial yang mendasar.38
NDP juga menjadi kebutuhan bagi HMI sebagai filsafat perubahan
sosial. Melalui NDP, persoalan-persoalan sosial yang menyangkut teologi,

38 Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural


Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hal. 35.

15
sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, dan pendidikan, dapat dibaca. Jika dari
hasil pembacaan tersebut terdapat gejala-gejala yang mengindikasikan adanya
persoalan, melalui NDP dengan dibantu oleh ilmu-ilmu sosial yang ada, dapat
dirumuskan gagasan-gagasan baru sebagai jalan keluar.
Setiap bab yang terkandung di dalam NDP, menyangkut tiga persoalan
pokok, yang itu adalah esensi dari ajaran Islam. Jika dalam kenyataannya
ketiga hal pokok tersebut diabaikan, maka masa depan umat manusia akan
mengarah kepada kehancuran. Ketiga hal pokok tersebut adalah tauhid,
kemanusiaan, dan keadilan.

1. Nilai-nilai Dasar Perjuangan sebagai Cara Pandang HMI terhadap


Islam
Islam adalah dasar perjuangan bagi HMI. Karena Islam adalah
dasar perjuangan yang memuat ajaran pokok tentang keadilan dan usaha
perbaikan masyarakat, Islam mebutuhkan penguraian yang lebih lanjut.
Penguraian lebih lanjut tersebut membutuhkan cara pandang atau
rumusan-rumusan sebagai hasil penafsiran terhadap ajaran-ajaran pokok
agama Islam.
Dalam pemahamannya secar lebih luas, Islam adalah agama
universal. Dikarenakan keuniversalannya, maka Islam mengandung
pemaknaan yang luas dan dalam. Untuk dapat menerjemahkan prinsip-
prinsip keuniversalan Islam di tengah-tengah masyarakat, maka
dibutuhkan cara pandang yang benar dalam menafsirkan Islam.
Bagi organisasi mahasiswa yang merupakan alat dalam
memperjuangkan nilai-nilai Islam, HMI mencoba menghindari munculnya
berbagai akibat yang tidak diharapkan dalam pelaksanaan ajaran agama
Islam. Perbedaan pemahaman yang terdapat di dalam tubuh umat islam,
yang seringkali berakibat kepada terjadinya pertikaian antar sesama, hanya
akan merugikan umat Islam itu sendiri. Belum lagi jika pertikaian tersebut
berujung kepada perpecahan dalam waktu panjang, yang disertai dengan
sikap yang saling mengkafirkan. Tentu saja hal itu selain hanya akan
menghambat perkembangan dan masa depan umat Islam, juga merugikan
umat-umat dari agama yang lain.
Sikap merasa paling benar, mengancam umat lain yang dianggap
sesat oleh kelompok lainnya yang berujung pada terciptanya perasaan
takut dan terancam dalam menjalankan praktek-praktek ibadah, justru
merupakan penodaan atau penistaan terhadap ajaran agama yang dianggap
paling benar.
Di tengah kondisi sosial-keagamaan yang demikian, HMI memiliki
peran dalam menjembatani adanya ketegangan yang ada. Tentu saja untuk
dapat menjadi penengah, HMI harus memiliki pemahaman yang selain
lebih luas juga yang dapat diterima oleh semua kalangan. Meskipun akan
terdapat pendapat yang berbeda, ketika HMI dapat menyampaikan
pemahamannya tentang Islam secar lebih bijaksana, akan dapat mencegah
pertikaian umat.

16
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa cara pandang keislaman
HMI tidak jauh dari pemahaman HMI terhadap NDP, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Islam, yang dalam pandangan HMI, menurut cara
pandangnya dengan menggunakan NDP, bukan sebatas agama yang terdiri
dari simbol-simbol maupun ritual-ritual yang bersifat teknis.
Menurut cara pandang dengan menggunakan NDP, Islam lebih
dikembalikan kepada substansi nilai-nilianya yang universal.
Keuniversalan Islam tersebut yang lebih dipahami sebagai ajaran
kebenaran, yang harus diaktualisasikan ke dalam segala bentuk tindakan di
segala aspek. Pada hal teknis inilah, Islam kemudian mewujud ke dalam
bentuk ritual-ritual yang selama ini ada. Ritual yang selama ini dilakukan
oleh sebagian umat Islam, namun disertai dengan unsur-unsur yang di
dalamnya mengacu kepada klaim kebenaran, bagi HMI bukalah Islam
yang sesungguhnya. Sebab ketika terdapat klaim kebenaran, maka
praktek-praktek keagamaan akan menjadi praktek-praktek yang berujung
kepada kekerasan, teror, serta tindakan-tindakan negatif lainnya, yang
justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Tindakan saling mengkafirkan, saling menghujat, bahkan saling
membunuh di antara sesama kalangan umat Islam yang disebabkan hanya
karena perbedaan pemahaman, bagi HMI, mereka bukanlah Islam. Justru
ketika terdapat seseorang atau kelompok, yang secara formal bukan
beragama Islam, pada dasarnya mereka dapat dikatakan sebagai seorang
yang Islam. Islam dalam maknannya yang umum, yaitu sikap tunduh dan
patuh kepada Tuhan, kepada nilai-nilai kebenaran. Sebagai contoh adalah,
seorang non muslim yang berbuat baik serta berkomitmen terhadap nilai
nilai seperti keadilan, kasih sayang, kemanusiaan, dan kejujuran, dia lebih
islami jika dibandingkan dengan seorang muslim yang selalu menebar
fitnah, teror, kebencian, dan membunuh sesamanya.
Secara genealogis, padangan HMI yang demikian sangat
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Nurcholis Madjid tentang Islam,
mengingat NDP sendiri sangat identik dengan Nurcholis Madjid.
Pandangan Nurcholis Madjid tersebut juga sangat dipengaruhi oleh Ibnu
Taymiyah yang membagi Islam menjadi dua, yaitu Islam umum dan Islam
khusus.
Lebih lanjut Nurcholis Madjid memberikan penjelasan mengenai
Islam sebagai sikap berserah diri kepada Tuhan berikut segala
konsekwensinya. Sikap berserah diri kepada Tuhan tersebut, pada
dasarnya merupakan inti dan hakekat semua agama serta keagamaan yang
benar.39
Pandangan-pandangan Nurcholis Madjid yang sangat universal dan
substantif mengenai Islam itulah, juga pandangan-pandangan para tokoh
HMI mengenai hal yang sama, selanjutnya berpengaruh terhadap pola
pikir HMI secara umum. Hampir semua pembahasan di dalam NDP

39 Lihat Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 4.

17
merupakan pandangan-pandangan yang lebih menitikberatkan aspek
universalitas Islam.
Secara keseluruhan NDP terdiri dari tujuh bab ditambah dengan
bab penutup. Bab-bab di dalam NDP, jika disederhanakan hanya akan
menyisakan empat prinsip pokok yang selanjutnya merupakan esensi
ajaran Islam dalam pandangan HMI. Keempat prinsip pokok tersebut
adalah tauhid, kemanusiaan, keadilan, dan kesatuan antara iman, ilmu, dan
amal. Sebagaimana tertulis di dalam NDP pada paragraf terakhir pada bab
penutup, di sana dituliska bahwa tugas hidup manusia pada dasarnya
sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu, dan beramal. Prinsip terakhir
itulah yang hingga hari ini menjadi semboyan keislaman HMI.40
Untuk dapat beriman, berilmu, dan beramal sebagai suatu bagian
yang integral dalam diri seorang manusia, maka seorang manusia harus
memahami secara filosofis hakekat ketuhanan, kemanusiaan, keadilan,
ilmu pengetahuan, serta pengamalan atas nilai-nilai tersebut. Jika
pemahaman seseorang tentang Islam tidak mencakup pemahaman
beberapa hal tersebut, apalagi hanya sepenggal-sepenggal, maka
keislamannya tidak lebih dari sebatas formalitas.
Implikasi dari cara pandang keislaman yang demikian, akan
menjadikan seseorang tidak terjebak kepada pemahaman yang sempit
terhadap agama. Ketika berbicara tentang relasi antara Islam dan negara,
maka seseorang dengan cara pandang demikian tidak terjebak kepada
pendikotomian atau bahkan mempertentangkan kedua entitas tersebut.
Beberapa persoalan tentang hubungan antara Islam dan negara, yang
kemudian berujung kepada keinginan keras dalam hal bentuk negara apa
yang akan diterapkan, tidak lain dikarenakan cara pandang tentang
pemerintahan Islam yang masih sangat sempit.
Meskipun Islam tidak secara rinci menjelaskan persoalan mengenai
negara, struktur-struktur, serta tata kelola di dalamnya, namun Islam
memiliki dan telah memberikan landasan nilai bagi bentuk sebuah negara
yang diharapkan. Seperti ungkapan Ibnu Taymiyah yang cukup terkenal,
bahwa negara yang dipimpin oleh orang kafir namun berlaku adil lebih
baik dari pada sebuah negara yang dipimpin oleh seorang muslim namun
tidak adil. Dari ungkapan Ibnu Taymiyah tersebut sangat jelas bahwa
Islam lebih menitiktekankan pada hal-hal yang berupa nilai. Adapun
implementasi dari nilai tersebut bersifat dinamis dan disesuaikan dengan
konteks serta kebutuhan yang ada. Sekalipun dinamis dalam
penerapannya, namun tetap tidak boleh melenceng dari nilai-nilai yag ada.
Tidak hanya dalam kaitannya dengan aspek politik, dalam aspek-
aspek yang lain pun, misalnya seperti aspek pendidikan, sosial, ekonomi,
dan budaya, HMI menggunakan prnsip yang sama. Melalui prinsip atau
cara pandang seperti itu, dalam setiap konteks yang ada, HMI lebih
mengutamakan bagaimana terwujudnya keadilan, terjaganya kemanusiaan,
terlestarikannya kejujuran, dan tercapainya kesejahteraan secara merata
dari pada oleh siapa orientasi-orientasi tersebut dilakukan.
40 Lihat PB HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan, (Jakarta: PB HMI, 1971).

18
Demikianlah HMI, dengan NDP-nya melihat Islam sebagai sikap
tunduk kepada kebenaran, yang kemudian melahirka komitmen terhadap
kebenaran tersebut tanpa menjadikan setiap perbedaan yang ada sebagai
hal yang bertentangan. Bagi HMI, hal yang bertentangan adalah segala
sesuatu yang bertolak belakang dengan prinsip ketundukan kepada
kebenaran dan ketidakkomitmenan terhadap prinsip tersebut, sekalipun
secara yuridis-formal segala sesuatu itu berlabelkan Islam.
Komitmen HMI terhadap Islam, meskipun dalam wilayah
implementasinya tidak dapat dilepaskan dari beberapa kekurangan, telah
menyiratkan pemikiran keislamannya. Sepanjang sejarah perjuangannya,
sebagai acuan bagi HMI dalam pemahamannya terhadap Islam, NDP
terlahir atas pengaruh dan juga sekaligus mempengaruhi sejarah
perjuangan tersebut. Hal itu terutama ketika HMI berada pada era tahun
1970-an.
Posisi NDP sebagai cara pandang keislaman HMI pada era 1970-an
terlihat jelas ketika HMI menyikapi wacana pembaruan pemikiran dan
ketika HMI dihadapkan kepada kebijakan pemerintah tentang azas tunggal
Pancasila. Saat dimana HMI menerima segala resiko dalam usaha
pembaruan pemikiran, juga saat dimana HMI menerima Pancasila sebagai
azasnya, adalah bukti bahwa HMI telah berfikir secara substantif dan
universal. Bagi HMI saat itu, pembaruan pemikiran adalah keniscayaan
yang harus dilakukan. Maka meskipun resikonya adalah dianggapnya HMI
sebagai agen pemikiran Barat, hal tersebut tidak menjadikan
perjuangannya dalam memajukan Islam menyurut.
Demikian juga saat HMI harus mengalami konflik internal ketika
mengganti azasnya menjadi Pancasila, pemikiran dan perjuangannya tetap
tidak terpasung oleh strategi Orde Baru. Di satu sis HMI menerima
Pancasila sebagai azasnya, namun di sisi lain HMI tetap ada sebagai
sebuah organisasi yang sama sekali tidak berbeda dengan ketika dia
berazaskan Islam. Pancasila yang secara formal menjadi azas, tidak
masalah bagi HMI, selama secara hakekat Islam tetap menjadi ruh
perjuangannya. Dalam hal itu HMI berusaha meletakkan Islam di hati, dan
bukan di luar.
Penerimaan itu juga, dilandasi oleh pemikiran keislaman HMI
yang telah sampai pada tahap matang. Dalam arti bahwa Islam harus
mengindonesia dan Indonesia harus terislamkan meskipun tidak secara
formal. Sebab bagi HMI Pancasila pada dasarnya adalah Islam, hanya
bungkusnya saja yang berbeda. Kelima sila dalam Pancasila menurut HMI
merupakan pengejawantahan nilai-nilai Islam, atau dapat dikatakan juga
bahwa Pancasila itu adalah bentuk dari Islam yang mengindonesia.

2. Nilai-nilai Dasar Perjuangan sebagai Ideologi


Setiap tujuan membutuhkan perjuangan, dan setiap perjuanga
membutuhkan pengorbanan. Tidak semua organisasi perjuangan bersedia
untuk secara ikhlas berkorban. Berkorban hanya akan dilakukan oleh
seseorang atau kelompok yang telah meyakini benar kebenaran dari makna

19
dan orientasi perjuangannya. dengan keyakinan tersebut, akan timbul
dorongan-dorongan, juga pembenaran-pembenaran atas segala sesuatu
yang dikerjakan dalam perjuangan tersebut.
Menurut Dahlan Ranuwiharjo, salah seorang tokoh HMI, ideologi
adalah landasan gerak atau seperangkat nilai-nilai berdasarkan pandangan
dunia (pandangan hidup) untuk mengatur kehidupan Negara dalam segi-
seginya dan yang disusun dalam sebuah konstitusi berikut peraturan-
peraturan dan implementasinya.41 Dalam konteks organisasi seprti HMI,
definisi ideologi yang diberikan oleh Dahlan Ranuwiharjo tersebut dapat
diartikan sebagai landasan gerak atau nilai-nilai yang bersumber dari
pandangan dunia untuk mengarahkan organisasi kepada tujuan
perjuangannya. Ideologi tersebut, paling tidak harus dirumuskan kemudian
disepakati bersama berikut tata penerapannya.
Pada wilayah ideologi, tauhid harus menjadi dasar utamanya
(sumber). Bagaimana pemahaman kader maupun manusia secara umum
tentang tauhid menjadi dasar dari epistemologinya. Sehingga dengan
pengetahuan yang bersumber dari tauhid tersebut akan dapat menghasilkan
pandangan dunia yang objektif. Ideologi sangat penting bagi perjuangan
organisasi, sebab ideologi sebagai landasan setiap gerak yang akan
diaktualisasikan.
Terdapat banyak sekali ideologi raksasa yang dengan segala unsur-
unsurnya, juga memiliki orientasi dalam pencapaian tujuan. Misalnya saja
liberalisme, kapitalisme, sosialisme, nasionalisme, dan lain-lain. Maka
sebagai landasan gerak yang universal dan baku, tauhid adalah rujukan
atau sumber utama bagi ideologi yang jelas, permanen dan selalu relevan.
HMI adalah organisasi perjuangan. Perjuangan HMI selain
mengarah kepada apa yang menjadi tujuannya, tentu akan dihadapkan
dengan banyak tantangan. Untuk dapat melewati setiap tantangan yang
dihadapi, juga demi menjaga keberlangsungan perjuangannya, maka
dibutuhkan ideologi. Seperti apa yang dijelaskan di atas sebagai definisi
ideologi, maka NDP cukup relevan untuk dijadikan sebagai ideologi bagi
HMI.
NDP adalah rumusan-rumusan yang diolah berdasarkan
pemahaman terhadap Islam sebagai sumber nilai. Islam yang mengandung
unsur-unsur tauhid, kemanusiaan, dan keadilan, kemudian
dikontekstualisasikan dengan realitas yang ada dan difahami kembali
untuk melahirkan landasan nilai dan seperangkat nilai bagi kebutuhan
perjuangan organisasi. Maka dalam hal itulah, NDP adalah ideologi bagi
HMI. Ketika terdapat pertanyaan mengapa bukan Islam saja sebagai
ideologi bagi HMI, maka dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya HMI tetap
berlandaskan Islam. Dan NDP adalah penjelasan tentang Islam sebagai
landasan HMI, yang mengandung rumusan-rumusan tertentu bagi
kebutuhan perjuangan HMI.

41 A. Dahlan Ranuwiharjo, SH, Menuju Pejuang Paripurna, (Ternate: KAHMI Ternate, 2000),
hlm. 105.

20
3. Nilai-nilai dasar Perjuangan sebagai Filsafat Perubahan Sosial
Bagai sebuah masyarakat, perubahan adalah suatu keniscayaan.
Gerak dinamis sebuah masyarakat tertentu ke arah perubahan dipengaruhi
oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Perubahan yang
dipengaruhi oleh faktor internal adalah perubahan yang disebabkan oleh
segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri, yang
biasanya atas kehendak masyarakat. sedangkan perubahan yang
dipengaruhi oleh faktor eksternal adalah perubahan yang disebabkan
adanya pengaruh dari luar, biasanya kondisi alam, lingkungan sekitar
masyarakat, maupun segala sesuatu yang lain yang tidak dapat dikontrol
oleh manusia.
Perubahan sosial tidak bisa berdiri sendiri, biasanya ia akan diikuti
oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat yang berhubungan dengan
perubahan itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, perubahan sosial yang
terjadi biasanya diawali dari tingkat nasional yang kemudian akan
mempengaruhi perubahan-perubahan yang lain pada tingkatan di
bawahnya. Melalui salah satu karyanya, Selo Sumarjan membagi
perubahan sosial menjadi dua sifat, yaitu perubahan sosial yang disengaja
(intended) dan perubahan sosial yang tidak disengaja (unintended).42
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan bernegara,
biasanya lebih bersifat intended, bahkan tidak jarang perubahan tersebut
telah direncanakan sebelumnya. Berbeda lagi dengan perubahan sosial
yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan sosial yang
terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat biasanya unintended. Oleh
karena itu, seringkali perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, membuat masyarakat yang bersangkutan merasa bingung
bahkan menentangnya. Hal ini disebabkan karena perubahan tersebut
memang tidak pernah disengaja.43
Teori tentang perubahan sosial memang telah banyak dikemukakan
oleh para tokoh sosial, juga para pelaku gerakan sosial. Teori perubahan
sosial tersebut, juga perubahan sosial itu sendiri, tentu berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Keniscayaan mengenai adanya perbedaan baik
secara teoritik maupun praktek di dalam perubahan sosial sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa teori perubahan sosial,
misalnya bisa didapati teori globalisasi, teori evolusi, modernisasi,
lingkaran sejarah, materialisme historis, pembangunan, dan masih banyak
lagi teori tentang perubahan sosial yang dapat digunakan dalam membaca,
menyimpulkan, dan merencanakan serta bertindak untuk perubahan
sosial.44 Untuk dapat menghasilkan dan melakukan upaya gerakan sosial

42 Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1981).
43 Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1981).
44 Secara sederhana, baik gerakan sosial maupun perubahan sosial, khususnya pada diri
pelakunya, akan melalui beberapa tahapan pokok, yaitu menganalisa, menyimpulkan,
merencanakan, dan bertindak. Melalui salah satu karyanya, dengan menggunakan teori perubahan

21
yang relevan dan efektif, harus memahami ilmu mengenai perubahan
sosial. Bagaimana kondisi yang sebenarnya sedang berlangsung, kondisi
yang ideal seperti apa, bagaimana cara untuk melakukan perubahan sosial,
bagaimana mempertahankan atau menjadikan lebih baik perubahan sosial
yang telah terwujud, kesemuanya terdapat di dalam ilmu atau teori tentang
perubahan sosial.
Dalam konteks Indonesia hari ini, salah satu teori yang dapat
diadaptasi untuk digunakan dalam membaca situasi yang ada, kemudian
menyimpulkan atas apa yang terjadi, merencanakan tindakan yang akan
dilakukan, dan bertindak, mungkin orang-orang seperti Karl Marx, 45 Talcot
Parsons,46 dan Selo Sumarjan,47 cukup bisa dipinjam pemikirannya. Bahwa
kondisi dan perubahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hari ini tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan yang menghendaki tercapainya
kepentingan serta dapat dipertahankan, itu adalah benar. Di samping itu,
setiap kondisi dan perubahan yang terjadi, pun terkadang juga
dilatarbelakangi oleh faktor masyarakat yang ada di bawah. Perubahan
sosial, selain bisa terjadi dengan disengaja, ia juga bisa tidak disengaja.
Perubahan sosial, selain ia berangkat dan dimulai dari struktur atas, juga
bisa berangkat dan dimulai oleh struktur yang ada di bawah. Dalam hal ini,
kebudayaan, ekonomi, politik, dan pendidikan, tidak bisa dilupakan
sebagai perangkat dan faktor terjadinya perubahan sosial.48
Sebagai salah satu contoh perubahan sosial adalah perubahan yang
terjadi setelah reformasi 1998. Meskipun tidak dapat dikatakan
sepenuhnya berhasil, namun dalam beberapa hal, reformasi 1998 telah
merubah beberapa hal di Indonesia. Misalnya saja kebebasan dalam
mengemukakan pendapat yang sebelumnya sangat dibatasi bahkan
diancam, setelah adanya gelombang reformasi kebebasan tersebut kini
mulai dirasakan angin sejuknya. Selain itu, mulai semakin berimbangnya
kekuatan antara Negara dan masyarakat dalam beberapa aspek, meskipun
dalam beberapa hal yang lain Negara masih sangat dominan dan
masyarakat tersubordinasi, juga sebagai salah satu bentuk dari perubahan
sosial yang terjadi. Keseimbangan tersebut diakibatkan oleh salah satu
faktor, misalnya karena adanya salah satu “partai politik penguasa” 49 yang

sosialnya Talcot Parsons, Selo Sumarjan dengan sangat jelas, gamblang dan tepat melaklukan
eksplanasi terhadap perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta. Selain itu, Dawam raharjo juga
pernah membuat karya yang cukup detil dan jelas dalam menjelaskan tahapan-tahapan perubahan
sosial yang terjadi di Indonesia. Lihat, M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas
Menengah dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999). lihat juga, Islam dan Transformasi
Budaya, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2002).
45 Karl Marx, Capital. Vols. 1, (New York: International Publisher Co,1978).
46 Talcot Parsons, The Social System, (Glencoe: The Free Press, 1951).
47 Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1981).
48 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2004), hal. 65-114.
49 Yang dimaksud adalah partai Golongan Karya (Golkar). Pada masa Era Orde Baru di bawah
kekuasaan Presiden Soeharto, Golkar merupakan mesin politik yang sangat kuat, karena didukung
oleh Pegawai Negeri dan Militer. Pada waktu itu, pegawai negeri dan militer diwajibkan berpihak

22
dengan kebijakan pemerintah pada waktu itu mewajibkan beberapa
kalangan maupun institusi untuk mendukung partai tersebut sehingga
menjadi semakin kuatlah penguasa. Hal itu, setelah reformasi 1998 telah
mulai hilang, digantikan dengan kebijakan untuk bebas dalam memilih
partai politik di satu sisi, dan kebijakan untuk bersikap netral di sisi lain.
Perubahan tersebut tentu selain berangkat dari atas, sebagai sebuah
kebijakan pemerintah, juga karena dorongan dari bawah yang merasa
selalu tertekan dengan kekuasaan yang dengan kekuatannya yang besar
seringkali berlaku represif.
Dengan meminjam pikiran Selo Sumarjan tentang perubahan
sosial, besar kemungkinan setiap perubahan sosial yang terjadi, atau
bahkan kemungkinan akan terjadi, beserta gejalanya, akan dapat dibaca
dan diprediksi. Sehingga perubahan sosial yang akan terjadi nantinya,
benar-benar dapat dipersiapkan tindaklanjutnya. Akan menjadi lebih baik,
ketika perubahan sosial yang nantinya akan terjadi, merupakan perubahan
sosial yang disengaja, yang direncanakan, sehingga segala persiapan yang
dibutuhkan telah benar-benar siap.
Gerakan sosial merupakan tindakan kolektif yang diorganisir
secara longgar, tanpa cara terlembaga untuk menghasilkan perubahan
dalam masyarakat mereka. Untuk mendefinisikan apa itu gerakan sosial,
paling tidak haru mengandung beberapa komponen pokok diantaranya;
kolektifitas orang yang bertindak bersama, tujuan bersama tindakannya
adalah perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan
partisipan menurut cara yang sama, kolektifitasnya bersifat relative
tersebar namun derajatnya lebih rendah daripada organisasi formal, serta
tindakannya mempunyai derajat spontanitas yang relative tinggi namun tak
terlembaga dan berbentuk tidak konvensional.50 Gerakan sosial juga dapat
diartikan sebagai; upaya kolektif untuk membangun tatanan kehidupan
yang baru, upaya kolektif untuk mengubah tatanan sosial, upaya kolektif
untuk mengubah norma dan nilai, tindakan kolektif berkelanjutan yang
dilakukan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam
masyarakat atau dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu,
upaya kolektif untuk mengendalikan perubahan atau untuk mengubah arah
perubahan.
Gerakan sosial menghasilkan perubahan (atau menghasilkan ‘pro
status quo’ dalam arti tiadanya perubahan) yang arahnya satu dengan yang
lainnya bisa berbeda, baik pada tataran ‘infra-struktur material’, ‘struktur

atau menjadi anggota maupun simpatisan golkar. Setelah Era Reformasi, keadan menjadi berubah,
hari ini, Golkar bukan lagi menjadi milik pemerintah, meskipun masih ada beberapa sisa-sisa
tradisi Orde Baru yang melekat tidak hanya pada partai Golkar, tetapi juga pada beberapa partai
lain. Hal tersebut merupakan hasil dari strategi dan metode yang digunakan oleh Soeharto dalam
memperbesar dan menjaga kekuasan serta kekuatannya, yaitu melalui hegemoni konsep
“pembangunanisme” dan “Bapak-isme”. Mengenai mekanisme perubahan yang terjadi tersebut,
dapat disimak misalnya dalam Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi, (Yogyakarta: INSIST Press, 2002), Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci
terhadap Teori Pembangunan Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
50 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2004), hal. 325.

23
sosial’ dan ‘struktur politik’ maupun pada tataran ‘supra-struktur
ideologis.’ Hasil dari gerakan sosial dapat dilihat pada tiga tingkat yang
saling berkaitan, yaitu: kebijakan publik, kebudayaan, dan partisipan. Ada
dua komponen keberhasilan sehubungan dengan kebudayaan publik (baik
yang bersifat substantif maupun simbolik), yakni: gerakan-penantang
memperoleh pengakuan sebagai aktor politik yang absah, memperoleh
manfaat-manfaat baru bagi dirinya sendiri dan bagi konstituensinya. Pada
tingkat kebudayaan, gerakan sosial kontemporer terutama adalah agen dari
perubahan kebudayaan, dan seringkali secara eksplisit ingin merubah
kebudayaan dominan, sehingga kampanyenya memusatkan pada
perubahan wacana mengenai topik khusus, penggugatan makna simbolik
dari obyek, serta penjungkir-balikan norma-norma tingkah laku, dengan
menjalankan strategi ‘menggembosi’ kebudayaan dominan, dan juga
mengenalkan simbol-simbol baru, merekonsturksi wacana, dan menggelar
norma-norma alternatif. Gerakan sosial mempengaruhi partisipannya
lewat partisipasi mereka dalam gerakan, individu membangun perspektif-
politis baru atas dunia dan jati diri mereka sendiri. Gerakan berupaya
mengubah ‘kerangka’ itu lewat pandangannya tentang dunia, dan di dalam
proses tindakan kollektif membangun dan melakukan pembatinan
(internalisasi) jati-diri kollektif yang bersifat opposisional.51
Melalui beberapa definisi di atas, secara pokok, pada dasarnya
gerakan sosial membutuhkan adanya tindakan kolektif serta mengarah
kepada terwujudnya suatu perubahan. Telah banyak memang beberapa
contoh gerakan sosial yang telah terjadi di beberapabelahan dunia dan
dilakukan oleh beragam stake holder. Dari keseluruhan gerakan sosial
yang ada tersebut, meskipun tidak secara keseluruhan dapat dikatakan
berhasil, dalam arti lebih dari lima puluh persen mencapai target, namun
tetap di beberapa aspek telah mampu mempengaruhi adanya suatu
perubahan sosial. Dalam konteks Indonesia misalnya, perubahan sosial
yang pernah ada selalu diawali oleh adanya kolektifitas gerakan yang
mendorongnya. Kecil maupun besar kapasitas dari setiap gerakan sosial
yang ada, biasanya sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya tekanan yang
ada, dampak yang ditimbulkan, serta tingkat kesadaran masyarakatnya.
Perubahan sosial, mulai dari masa kemerdekaan, Orde Lama,
Revolusi, Orde Baru dan Pembangunan, Reformasi, hingga masa
demokrasi seperti hari ini, sekali lagi, tidak bisa dilepaskan dari peranan
gerakan sosial. Gerakan sosial biasanya juga dilatarbelakangi oleh adanya
ide serta tokoh yang menggerakkan. Melalui ide yang bersarang dalam
fikiran sang tokoh, konsep mengenai gerakan sosial mulai berkembang
kemudian keluar dan terdiasporasikan kepada individu-individu,
kelompok-kelompok, institusi-institusi dan pada akhirnya akan

51 Makalah MM Billah, Asas Gerakan, makalah pada Debt Campaign Training II yang
diselenggarakan oleh kerja sama antara INFID Jakarta, YBKS Surakarta, dan Gerah Jabar pada
tanggal 4-9 Maret 2002 di Hotel & Restaurant Mega, Jl. Proklamasi 40 Jakarta. Pokok pikiran ini
diberikan sebagai bahan bacaan peserta Pelatihan Key Figures PusHAM UII yang diselenggarakan
di Tawangmangu, Solo pada tanggal 3-6 Agustus 2009.

24
mempengaruhi mereka. Pada akhirnya, konsep tersebut menjelma secara
nyata dalam beragam bentuknya sehingga mendorong lahirnya sebuah
perubahan.
Gerakan sosial, untuk dapat melahirkan hasil yang maksimal,
selain kolektifitas pada nantinya, ia membutuhkan nilai dasar sebagai
pondasi gerakannya. Di samping itu, ia juga akan membutuhkan cara,
strategi, dan beranekaragam aksi nyata. Nilai dasar yang dibutuhkan oleh
gerakan sosial, sehingga ia akan tetap mampu bertahan dalam jalur
idealismenya, pada hakekatnya lahir dari sebuah keyakinan akan
kebenaran. Keyakinan tersebut akan melahirkan cara pandang dan
selanjutnya ideologi. Cara dan strategi dalam gerakan sosial biasanya
dirumuskan bersaman -meskipun sifatnya lebih cenderung dinamis- dalam
sebuah metodologi. Terakhir, setelah pondasi dasar gerakan sosial telah
dibangun, metodologinya dianggap sudah sangat tepat, selanjutnya adalah
tindakan nyata. Setiap gerakan sosial juga membutuhkan adanya refleksi,
evaluasi dan proyeksi. Hal tersebut diperlukan demi terjaganya kualitas
gerakan.
Hubungan antara HMI, gerakan sosial, dan perubahan sosial sudah
sangat jelas tergambarkan melalui sejarah penjang keterlibatan HMI dalam
berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Meskipun demikian, agar
perubahan sosial ke arah yang diharapkan dapat terwujud secara
maksimal, maka dibutuhkan pandangan-pandangan yang tepat, jelas, dan
terarah. Di samping itu, karena watak dari perubahan sosial itu sendiri
yang terkadang tidak dapat diprediksi, terkadang juga beresiko terhadap
upaya destruktif, maka dibutuhkan selain suatu pemahaman yang benar,
juga kebijaksanaan dalam menghadapinya. Pada konteks inilah,
pemikiran-pemikiran filosofis mengenai perubahan sosial dibutuhkan.
NDP menjelaskan bagaimana kepercayaan adalah sesuatu yang
menjadi kebutuhan bagi setiap manusia. Kepercayaan tersebut akan
melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budaya manusia. Oleh
karena itu, kepercayaa selain sebagai kebutuhan, dalam waktu yang sama
juga harus merupakan kebenaran. Nilai-nilai yang bertolak dari
kepercayaan yang benar tersebut, jika diterima oleh masyarakat kemudian
menjadi ikatan dalam hubungan sosial, maka akan melahirkan suatu
tatanan yang baik.
Pandangan yang demikian tentu tidak berhenti hanya sampai di
situ. Dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat, pandangan tersebut harus mampu melahirkan pemikiran-
pemikiran baru guna sehingga mampu pesan perubahan. NDP adalah nilai-
nilai, maka untuk dapat menjadi relevan dengan kondisi sosial yang ada, ia
harus dihadapkan dengan teori-teori sosial yang ada. Pertemuan antara
NDP dengan teori-teori sosial yang beraneka ragam, yang dihadapkan
dengan kondisi serta gejala sosial tertentu, maka akan melahirkan suatu
pemikiran atau perspektif baru. Pada konteks itulah, NDP dikatakan
sebagai filsafat perubahan sosial.

25
Signifikansi NDP bagi HMI dalam wilayah empirik selama ini telah
mampu menjawab kebutuhan HMI dalam rangka menghadapi realitas sosial.
Secara tekstual NDP adalah salah satu naskah doktrin perjuangan bagi HMI.
Secara kontekstual, NDP berada pada posisi penting dengan fungsi dan
perannya yang juga sangat penting. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat
khususnya umat Islam dalam mengembalikan segala persoalan kepada
sumber-sumber Islam, NDP adalah cara pandang yang tepat bagi HMI dalam
membantu melihat kembali Islam secara substantif dan proporsional. Sebagai
perangkat nilai sekaligus pembenar bagi perjuangan HMI, NDP merupakan
ideologi yang tauhidik dan inklusif. Dan dalam rangka mengantisipasi serta
menjawab gejala perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, setiap kader
HMI dapat menjadikan NDP sebagai filsafat perubahan sosial.

C. Esensi Ajaran Islam dalam Pandangan HMI


Islam adalah ajaran rahmatan lil alamin, maka Islam bersifat
universal. Keuniversalan Islam mengandung beragam nilai-nilai kebenaran
yang sepantasnya menjadi prinsip-prinsp dasar bagi manusia dalam menjalin
hubungannya baik secara vertikal maupun horisontal. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, nilai-nilai tersebut secara substansi terdiri dari tiga hal pokok,
yang sekaligus merupakan inti dari ajaran Islam. ketiga hal pokok tersebut
adalah tauhid, kemanusiaan, dan keadilan. Tauhid adalah representasi dari
berbagai implikasi atas keberislaman seseorang. Tauhid juga akan
berimplikasi terhadap lehirnya sikap-sikap keagamaan yang benar. Di dalam
Islam, hal yang paling mendasar adalah tauhid, itulah makanya, dua kalimat
syahadat menjadi pintu awal bagi seseorang untuk berislam. Dua kalimat
syahadat atau persaksian manusia terhadap kepercayaannya kepada Tuhan,
serta persaksiannya terhadap kenabian Muhammad, adalah tindakan seorang
muslim dalam menegasikan segala bentuk kepercayaan lain, kemudian
meletakkan hanya satu kepercayaan pada dirinya, yaitu Tuhan sebagai
orientasi segala tujuan hidupnya.
Di dalam Islam, kemanusiaan mendapatkan kedudukan yang sangat
tinggi. Kemanusiaan adalah syarat mutlak bagi makhluk ciptaan Tuhan
sehingga ia disebut sebagai manusia. Karena adalah makhluk ciptaan Tuhan
yang sekaligus merupakan tujuan dari penciptaan itu sendiri, maka pada
kehidupan duniawi, manusia adalah khalifah. Kekhalifahan manusia di muka
bumi, tidak dapat dilepaskan dari fitrah yang dilekatkan kepadanya yang
kemudian menjadikannya selalu berkecenderungan kepada kebenaran
(hanief). Itulah makna penting kemausiaan manusia, yang merupakan salah
satu inti dari ajaran Islam.
Tuhan menciptakan setiap makhluknya dengan keadilannya. Setiap
makhluk yang diciptakan Tuhan, memperoleh haknya masing-masing secara
proporsional. Tanpa adanya keadilan Tuhan, maka tatanan dan harmonisasi
kehidupan tidak akan dapat berjalan dengan baik dan benar. Termasuk
manusia, ketika tidak ada keadilan Tuhan yang diberikan kepadanya, maka
manusia tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk secara bebas memilih
jalannya dengan segala konsekwensinya. Keadilan Tuhan juga terpancar

26
melalui semua janji-Nya yang akan ditepati terhadap semua makhluk yang
diciptakan-Nya. Bahwa setiap perbuatan baik akan mendapatkan balasan
yang lebih besar, sementara setiap perbuatan yang jahat, Tuhan hanya akan
membalasnya berimbang dengan bobot nilai kejahatan yang dilakukan. Bukti
keadilan Tuhan yang melebihi keadilan itu sendiri, tidak ada yang bisa
membantahnya. Itulah maka, keadilan menjadi esensi dari ajaran Islam.
Segala sesuatu yang benar oleh manusia di dunia belum tentu adil, namun
segala sesuatu yang adil oleh manusia, pasti benar.
Sebagai manifestasi Tuhan, maka sudah seharusnya manusia
menginternalisasikan sifat keadilan Tuhan ke dalam dirinya. Dengan begitu
maka akan dapat memancar keadilan manusia kepada manusia yang lainnya.
Sebagai bentuk dari penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiasn,
maka keadilan harus diberikan kepada setiap manusia oleh setiap manusia
yang lainnya. Dengan begitu ia telah mengaktalisasikan ketauhidannya.
Keadilan adalah manifestasi tauhid, dan dengan adanya keadilan maka nilai-
nilai kemanusiaan akan tetap terjaga dan selalu dijunjung tinggi. Sikap adil
dan penghargaan terhadap kemanusiaan yang didasari tauhid, adalah
keberislaman yang sejati bagi manusia, sebab itulah inti dari Islam.

1. Tauhid
Kata tauhid sudah tidak asing lagi bagi setiap pemeluk Islam. Kata
tauhid selain berarti “mengesakan”, dalam makna generiknya juga berarti
“mempersatukan”, yaitu mempersatukan hal-hal yang terserak-serak atau
terpecah-pecah.52 Sebagai istilah yang sering digunaka dalam ilmu kalam,
tauhid diartikan sebagai faham “Ketuhanan Yang Maha Esa” atau
monoteisme. Apa yang menjadi pandangan dari para ahli teologi mengenai
tauhid, dapat dikatakan telah secara tepat mengungkapkan isi pokok ajaran
semua nabi dan rasul Tuhan, yaitu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.
Percaya kepada Tuhan tidaklah dengan sendirinya berarti tauhid.
Sebab percaya kepada Tuhan masih mengandung kemungkinan percaya
kepada yang lain-lain yang secara disadari maupun tidak disadari, telah
diposisikan sebagai Tuhan. Maka dalam hal ini dibutuhkan adanya negasi
dan afirmasi sebagai usaha pemurnian keparcayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Negasi adalah usaha melepaskan diri dari kepercayaan kepada
yang palsu. Bahkan secara ekstrim, negasi dapat diartikan sebagai
pelepasan terhadap semua bentuk kepercayaan yang tardapat di dalam diri
seseorang. Afirmasi adalah pemusatan kepercayaan hanya kepada yang
benar, atau dapat dipahami juga sebagai penegasan, penempatan hanya
kepada satu kepercayaan saja, yaitu kepercayaan yang benar, Tuhan Yang
Maha Esa. Dalam Islam, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu
adalah Percaya kepada Keesaan Allah SWT.
Tauhid, dalam pandangan HMI, tidak hanya berkutat pada wilayah
ketuhanan, namun juha harus membumi di wilayah kemanusiaan, yaitu
realitas sosial yang nyata. Sebab seperti pengertian tauhid itu sendiri, yang
52 Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan.., hlm. 71.

27
dalam makna generiknya adalah “mempersatukan”, maka dalam hal ini
tauhid juga harus dipahami selain sebagai paham monoteisme, juga
sebagai pemersatuan seluruh orientasi-orientasi,53 wilayah-wilayah
aktualisasi manusia dalam kehidupannya,54 serta segala bentuk perwujudan
diri manusia yang lainnya.55
Tauhid adalah awal dan akhir dari seruan Islam. ia adalah suatu
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suatu kepercayaan yang
menegaskan bahwa hanya Tuhanlah yang menciptakan, memberi hukum-
hukum, mengatur dan mendidik alam semesta (tauhid Rububiyah).
Sebagai konsekwensinya, maka hanya Tuhan itulah yang satu-satunya
wajib disembah, dimohon petunjuk, pertolongannya, serta ditakuti (tauhid
Uluhiyah). Bahwa Tuhan adalah sumber segala kebaikan dan kebenaran.
Pengetahuan tentang Tuhan hanya mungkin diperoleh melalui
wahyu (revelation). Kemampuan dalam menerima pengetahuan sampai
tingkat tertinggi tidak dimiliki oleh semua manusia, demikian juga dengan
wahyu, hanya orang-orang tertentu saja yang memenuhi syarat dan dipilih
oleh Tuhan sendiri, yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Para
Nabi dan Rasul tersebut telah lewat dalam sejarah, semenjak Adam sampai
Muhammad. Muhammad adalah Rasul Allah yang terakhir, jadi tidak ada
lagi Rasul setelah Muhammad.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad Rasulullah
terkumpul keseluruhannya dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an tersebut
mengandung seluruh keterangan tentang segala sesuatu tentang alam,
manusia, hingga hal-hal ghaib yang tidak mungkin diketahui oleh manusia
dengan cara-cara yang lain. Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha
Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang teguh kepada Al-
Qur’an dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad. Maka
kalimat persaksian setelah “Tidak ada Tuhan selain Allah”, adalah
“Muhammad adalah Rasul Alah”.
Hukum dasar alami dari segala yang ada adalah perubahan dan
perkembangan. sebab segala sesuatu sebagai ciptaan Tuhan pasti akan
mengalami perubahan. Hanya Sang Pencipta-lah yang tidak berubah, yaitu

53 Maksudnya adalah bahwa segala sesuatu yang menjadi aktifitas seseorang tidak lain sebagai
bentuk ibadah dan pengabdiannya kepada Tuhan. Pengabdian dalam rangka mendapatkan ridha
dari Allah SWT, adalah tujuan dari segala aktifitas kemausiaan seseorang. Segala sesuatu yang
diperolehnya sebagai hasil dari aktifitasnya adalah semata-mata bentuk petunjuk-petunjuk yang
diberikan oleh Allah SWT dalam berbagai bentuk sebagai sarana menuju kepada Tuhan.
54 Seseorang yang bertauhid tidak mengenal pemisahan antara wilayah dunia dan wilayah akhirat.
Baginya dunia adalah awal dari kehidupan yang abadi, dan akhirat adalah kehidupan abadi dengan
segala kenikmatan yang harus diperjuangkan melalui kehidupan dunia. Maka dalam hal ini, jika
seseorang talah bertauhid, seharusnya dalam wilayah-wilayah keduniawian, baik ketika ia hidup di
dunia politik, sosial, ekonomi, serta yang lainnya, adalah sebagai ladang ibadah, dan bukan hanya
untuk bersenang-senang sesaat dengan jalan menanggalkan ketauhidan yang sesungguhnya.
55 Dalam hal kerja misalnya, kerja, yang merupakan pernyataan diri manusia dalam rangka
menghidupkan nilai-nilai di dalam dirinya, tidak ada pemisahan antara kerja jasmani dan kerja
rohani. Bagi manusia yang seperti itu, tidak ada perbedaan antara kerja dan kesenangan. Kerja
adalah kesenangan, dan kesenangan ada di dalam dan melalui kerja. Lihat PB HMI, Nilai-nilai
Dasar.., hlm. 12.

28
Tuhan. Perubaha adalah pengembangan menuju tujuan, yaitu Kebenaran
atau Tuhan. Manusia harus sejalan dengan arah perkembangan tersebut,
karena manusia tidak dapat menolak atau melawan hukum-hukum Tuhan
tentang perubahan atau perkembangan pada setiap makhluk ciptaannya,
termasuk manusia itu sendiri. Karena arah perkembangan tersebut adalah
kebenaran, maka manusia harus berorientasi kepada kebenaran. Agar
manusia dapat sampai kepada kebenaran, maka manusia harus mengetahui
jalan menuju kebenaran.
Oleh sebab itu, kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh
Iman dan diterangi oleh Ilmu. Bidang Iman dan percabangannya adalah
wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan adalah wewenang
manusia untuk mengusahakan da mengumpulkannya dalam kehidupan
dunia. Ilmu tersebut adalah sejarah, yaitu ilmu tentang alam dan manusia.
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran yang
sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan yang ada
sebagaimana adanya. Tidak boleh dilekatkan padanya kualitas-kualitas
yang bersifat ketuhanan. Alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan
objektif sebagaimana adanya, tidak menyerupai Tuhan.
Doktrin tauhid bagi kehidupan manusia akan menjadi sumber
kehidupan jiwa dan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid aka mendidik jiwa
manusia untuk mengikhlaskan seluruh hidup dan kehidupannya hanya
kepada Allah semata. Tujuan hidupnya ialah Allah, dan harapan yang
dikejarnya adalah keridhaan Allah (limardhatillah). Maka dengan
demikian akan membawa konsekwensi pembinaan karakter yang agung,
menjadi manusia yang suci, jujur, dan teguh memegang amanah.
Tauhid merupakan kekuatan yang besar, yang mampu mengatur
secara tertib manusia. Tauhid juga mampu membebaskan manusia dari
berbagai belenggu duniawi seperti penjajahan, perbudakan, dan
perhambaan, baik oleh sesama manusia ataupun oleh hawa nafsu dan harta
benda.
Melalui jiwa tauhid yang tinggi, manusia akan bebas dari
belenggu-belenggu ketakutan dalam kemiskinan harta benda, sebab yakin
bahwa setiap makhluk hidup mendapatkan rezki dari Tuhan. Tauhid juga
akan membebaskan manusia dari ikatak-ikatan keduduka dan jabatan.
Sebab tauhid akan menyadarkan manusia tentang Tuhan-lah yang dapat
menaikkan dan menurunkan manusia atas kedudukan dan jabatannya.
Tauhid membebaskan manusia dari perasaan takut dengan
kematian. Tauhid menyadarkan manusia bahwa persoalan kematian berada
di tangan Tuhan, bahwa setiap yang berjiwa akan mati. Mati dimaknai
sebagai pintu gerbang yang akan dilewati oleh setiap makhluk.
Konsekwensinya, tumbuhnya semangat jihad untuk menegakkan yang hak
dan menghancurkan yang bathil. Maka tauhid menjadi dasar bagi
keberanian untuk melakuka setiap bentuk perjuangan di jalan Allah SWT.
Tauhid juga akan membebaskan manusia dari sikap putus asa,
bingung, berkeluh kesah ketika menghadapi persoalan hidup. Denga
tauhid, jiwa seorang manusia akan senantiasa besar dan kuat. Tauhidlah

29
yang akan memberikan kebahagiaan hakiki kepada manusia baik di dunia
maupun di akhirat.56
Semangat-semangat di atas, harus diaktualkan tidak hanya pada
ranah vertikal, namun juga horizontal. Pada ranah sosial, seluruh aktifitas
manusia harus merupakan manifestasi dari konsekwensi atas
kepercayaannya hanya kepada Allah SWT, tujuannya hanya kepada Allah
SWT. Itulah tauhid yang sesungguhnya. Berbuat baik kepada sesama
manusia, bahkan yang berbeda agama, dikarenakan mengaktualkan sifat-
sifat Tuhan oleh manusia kepada manusia lainnya, adalah juga tauhid.
Tauhid, selain dari persaksian atas Tuhan Yang Maha Esa, tidak
menduakan-Nya, tidak mensejajarkan atau menyamakan-Nya dengan yang
selain-Nya, menjadikan-Nya sebagai awal sekaligus tujuan, tauhid juga
adalah kesatuan antara hati, fikiran, tutur kata, dan tindakan yang
mengarah kepada kebenaran.

2. Kemanusiaan
Kemanusiaan adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi
manusia. Manusia adalah puncak ciptaan, karena manusia merupakan
makhluk yang tertinggi. Oleh karena itu, manusia adalah wakil Tuhan di
bumi.
Manusia hanya dapat dikatakan sebagai manusia selama di dalam
diri manusia tersebut melekat sifat-sifat yang secara keseluruhan hanya
dimiliki oleh manusia. Jika keseluruhan sifat-sifat tersebut tidak
teraktualkan baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dalam
hubungannya denga sesama manusia yang lainnya, meskipun telah
melekat keseluruhan sifat tersebut, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai
manusia. Keseluruhan sifat-sifat itulah yang disebut sebagai kemanusiaan.
Tanpa adanya kemanusiaan di dalam diri manusia, maka secara hakiki ia
tidak dapat disebut sebagai manusia. Jadi kemanusiaan mencakup
keseluruhan sifat beserta pengaktualan dari keseluruhan sifat tersebut.
Keseluruhan sifat yang dimiliki hanya oleh manusia, termasuk juga
pengaktualannya disebut dengan fitrah. Fitrah membuat manusia
berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran
(hanief). Manusia dilengkapi dengn hati nurani sebagai pemancar
keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran.
Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang
secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang
lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan
menjadi mausia sejati.
Pengaktualan akan dari kemanusiaan tersebut dinyatakan dalam
bentuk kerja atau amal perbuatannya. Hanya dalam kerja atau amal
perbuatan yang sesuai dengan hati nurani saja mausia akan dapat mencapai
kebahagiaan. Ketika manusia melaksanaka kerja atau amal perbuatan yang
tidak sesuai dengan hati nuraninya, maka ia akan menderita kepedihan.

56 Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Alma’arif, 1971), hlm. 44.

30
Kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan, dan
kemerdekaan hanya akan ada karena keikhlasan. Sementara keikhlasan
akan ada setelah manusia menjadikan Tuhan sebagai orientasi satu-
satunya. Dalam hal ini, kemanusiaan tidak dapat dilepaskan dari tauhid.
Maka jika terdapat manusia merasa lebih tinggi dari manusia yang lain,
maka ia telah mendudukkan dirinya sejajar dengan Tuhan. sebab tidak ada
yang lebih tinggi dari manusia selain Tuhan. Maka pada saat itulah ia telah
kehilangan kemanusiaannya, sekaligus menjadi musyrik.
Manusia yang kehilangan kemanusiaannya cenderung tidak
menghormati atau memandang kemanusiaan pada diri manusia yang lain.
Seorang manusia yang kehilangan kemanusiaannya, ia akan melakukan
penindasan terhadap manusia lainnya, merampas hak-hak manusia lain,
dan selalu ingin menguasainya. Hak kemanusiaan seseorang yang tidak
boleh dirampas atau dihilangkan, itu juga adalah kemanusiaan seorang
manusia.
Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur kemanusiaan dan unsur
ketuhanan. Seseorang tanpa salah satu unsur tersebut maka ia belumlah
sempurna sebagai manusia. Maka kemanusiaan bagi manusia adalah juga
keberadaan kedua unsur tersebut pada diri manusia.

3. Keadilan
Salah satu tema pokok di dalam Al-Qur’an adalah keadilan. Hal
tersebut terlihat dari banyaknya kata ‘adl dan kata yang semakna
dengannya di dalam Al-Qur’an, misalnya seperti kata al-qist, al-wazn, dan
al-wast. Melalui pndekatan tafsir tematik, ditemukan bahwa konsep
keadilan dalam Al-Qur’an mengandung makna yang serba melingkupi.
Pengertian keadilan tersebut berkisar pada makna perimbangan atau
keadaan yang seimbang, persamaan, dan penunaian hak kepada yang
berhak atau penempatan sesuatu pada tempatnya.57
Keadilan sebagai salah satu esensi dasar atau inti dari ajaran Islam,
pada realitas manusia mencakup keadilan pada wilayah sosial dan keadilan
pada wilayah ekonomi. Keadilan pada wilayah sosial memberikan
tuntunan moral kepada manusia agar dapat hidup berdampingan secara
damai dan bersahabat antar sesama walaupun berbeda suku, agama, dan
ras dalam sebuah komunitas di manapun tanpa adanya penindasan dan
diskriminasi oleh satu kepada yang lainnya. Prinsip tersebut berpijak pada
semangat universalitas Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Keadilan sosial
mencakup pada aspek hukum, politik, pendidikan, dan lain sebagainya.
Keadilan pada wilayah ekonomi, mengandung pengertian bahwa
harus ada persamaan dengan menghindarkan segala bentuk ketimpangan
sosial yang disebabkan oleh adanya kesenjangan ekonomi yang
dikarenakan eksploitasi, keserakahan, capital accumulation, dan lain
sebagainya.
Maka dengan demikian, keadilan yang mencakup wilayah sosial
dan ekonomi dalam perspektif Islam didasarkan pada ajaran persaudaraan
57 Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI.., hlm. 143.

31
yang melampaui batas-batas geografis. Sebab manusia di hadapan Allah
memiliki derajat yang sama, tanpa ada yang boleh merasa berada lebih di
atas dari yang lainnya. Dengan perspektif yang demikian, maka sangat
jelas Islam berlawanan atau menolak kapitalisme. Sebab kapitalisme
bertentangan dengan prinsip keadilan, dilihat dari sudut pandang manapun.
Keadilan harus senantiasa ditegakkan, hal ini mengingat
kecenderungan adanya pertarungan antara keinginan yang bermacam-
macam. Dalam menegakkan keadilan di masyarakat, maka masyarakat
sendirilah yang bertanggung jawab menegakkan keadilan. Oleh karena itu,
harus ada kelompok di dalam masyarakat, yang dengan kualitas-kualitas
tertentu selalu berupaya menegakka keadilan dengan jalan menganjurkan
sesuatu yang bersifat kemausiaan, serta mencegah terjadinya segala
sesuatu yang berlawanan dengan kemausiaan.
Kualitas-kualitas tersebut diantaranya adalah rasa kemanusiaan yag
tinggi, kecakapan atau kemampuan yang cukup, dan keamanahan dalam
memimpin. Rasa kemanusiaan yang tinggi sangat dibutuhkan karena ia
adalah pancaran dari kecintaan yang tanpa batas kepada Tuhan. kecakapan
yang cukup dibutuhkan karena dalam menegakkan keadilan, dibutuhkan
selain rasa kemanusiaan, juga ilmu dan cara bagaimana keadilan harus
ditegakkan. Sedangkan keamanahan dalam kepemimpinan dibutuhkan
karena di dalam masyarakat harus ada pemimpin, dan hanya pemimpin
yang amanah dan memperjuangkan keadilanlah yang dapat mejaga agar
setiap orang memperoleh hak asasinya. Dan dalam waktu yang sama,
menghormati kemerdekaan da martabat orang lain.
Di dalam masyarakat, struktur yang tertinggi adalah negara.
Negara juga merupakan bentuk masyarakat yang terpenting. Di dalam
negara terdapat pemerintah, dan pemerintah adalah struktur kepemimpinan
yang tertinggi di dalam masyarakat. Karena maksud didirikannya negara
dan pemerintahan adalah untuk melindungi masyarakat, maka
pemerintahlah yang memiliki kewajiban pertama kali untuk menegakkan
keadilan di dalam masyarakat.
Menegakkan keadilan mencakup penguasaan terhadap berbagai
keinginan dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat yang tidak
mengenal batas. Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada
pemerintah yang harus dilaksanakan. Dan ketaatan rakyat terhadap
pemerintah, adalah ketaatan kepada diri sendiri yang harus ditaati. Sebab
secara demokratis, pemerintah adalah perwakilan dari rakyat.
pemerintahan yang harus ditaati adalah pemerintahan yang benar dan
mengabdi kepada kemanusiaaan, kepada kebenaran, dan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Di bidang ekonomi, keadilan menuntut untuk adanya pembagian
kekayaan secara wajar. Adanya ketimpangan ekonomi di dalam
pemerintahan yang tidak menegakkan keadilan, dengan ditandai oleh lebih
banyaknya orang yang miskin dari pada yang kaya, adalah bentuk adanya
kedzaliman. Jika konteksnya demikian maka orang miskin berada di pihak

32
yang benar, karena mereka sedang didzalimi oleh orang kaya yang berbuat
dzalim.
Seperti telah disinggung sebelumnya, kejahatan di bidang ekonomi
dalam penindasan dilakukan oleh kapitalisme. Maka menegakkan keadilan
adalah memberantas kapitalisme berikut komponen-komponennya yang
terdapat di dalam masyarakat. Alasan pemberantasan terhadap kapitalisme
adalah bahwa kapitalismelah yang melakukan penumpukan kekayaan yang
digunakan ke jalan tidak benar, yaitu memiskinkan rakyat. Sedangkan
penumpukan kekayaan yang digunakan ke jalan yang tidak benar adalah
dosa besar kedua setelah syirik.
Menagakkan keadilan bukan saja dengan ‘amar ma’ruf nahi
munkar, tetapi juga harus melalui pendidikan yang intensif terhadap
pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara
mendalam akan adanya Tuhan.
Usaha-usaha ke arah perbaikan dalam pembagian rezki yang lebih
merata harus dijalakan oleh masyarakat, dan jalan terakhirnya adalah
melalui zakat. Zakat hanya diambil dari orang kaya, yang didapatkan dari
jalan yang halal (berupa harta halal), dan dalam jumlah tertentu. Bagi harta
kekayaan yang tidak halal (haram) tidak dikenakan zakat, namun harus
dijadikan milik umum untuk digunakan demi kepentingan rakyat.
Di dalam hal penggunaan harta kekayaan, tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan masyarakat. Penggunaan harta kekayaan hanya
dibenarkan ketika tidak melebihi batas-batas tertentu, yaitu tidak kurang
dan tidak melebihi penggunaan rata-rata dalam masyarakat. Penggunaan
harta yang belebihan betentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu
juga sebaliknya, penggunaan harta yang di bawah rata-rata akan berakibat
kepada menumpuk dan membekunya harta kekayaan umum yang
seharusnya berputar, yaitu perputaran ekonomi yang sehat da sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar
sebagaimana diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya
dapat mengatur hidupnya secara hormat sesuai dengan keinginannya untuk
dapat menerima tangung jawab atas kegiatan-kegiatannya.
Dalam masa sekarang, keadilan akan sangat jelas sebagai salah
satu inti ajaran Islam selain tauhid dan kemanusiaan. Terutama ketika
dilihat pada konteks politik, hukum, sosial, dan yang lainnya. Manusia
selain cenderung kepada kebenaran, jika ia tidak mengikuti hati nuraninya,
maka ia aka dapat terjerumus kepada hal-hal yang tidak benar. Maka
manusia seringkali mengangap kebenaran itu banak sesuai dengan
kepentingannya. Kebenaran yang menurut manusia seperti itu belum tentu
adil. Tetapi keadilan sudah pasti benar.

4. Beriman, Berilmu, dan Beramal


Hidup yang benar dimulai dengan beriman kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, dan taqwa. Iman harus senantiasa dipelihara dan
diperkuat dengan jalan beribadah atau mengamalkannya sebagai bentuk

33
pengabdian formal kepada Tuhan. Ibadah tersebut akan mendidik individu
agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan selalu berpegang teguh kepada
kebenaran sesuai dengan kehendak hati nurani.
Ibadah atau pengamalan yang terus menerus kepada Tuhan
menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengah alam dan masyarakat
sesamanya. Manusia yang beribadah secara terus menerus kepada Tuhan
tidak akan melebihkan diri menganggap sebagai Tuhan, atau sebaliknya,
yaitu merendahkan diri akibat memperbudakkan diri kepada alam atau
orang lain. Semua manusia sejajar, hanya Tuhan yang berada di atas
manusia.
Ibadah atau pengamalam manusia sebagai wujud keberimanannya
merupakan proses perkembangan yang permanen, sebagaimana
masyarakat yang juga selalu berubah dan berkembanga. Perjuangan
mausia adalah untuk mengarahkan perubahan atau perkembangan tersebut
agar mengarah kepada kondis yang lebih baik dan lebih benar. Untuk itu,
maka dibutuhkan pengetahuan yang harus selalu didalami dan digunakan
sesuai dengan nilai-nilai kebenaran untuk kemanusiaan. Kerja tanpa ilmu
tidak akan mencapai tujuannya, dan ilmu tanpa kemanusiaan hanya akan
menghancurkan peradaban. Maka antara iman, ilmu, dan amal harus
terdapat pada diri manusia. Ketiganya secara integral akan menuntun
manusia kepada tujuannya yang sebenarnya yaitu keridhaan Allah SWT.

SEKIAN DAN TERIMAKASIH

34

Anda mungkin juga menyukai