Anda di halaman 1dari 18

TEMA

KONSEP KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI


DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JUDUL
ANALISIS NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN KEADILAN
SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI

DISUSUN OLEH

NAMA : ZULFAHMI
Alamat Email : zfahmi020599@gmail.com
Nomor Hp : 085264607968

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)


CABANG BUKITTINGGI

INTERMEDIATE TRAINING
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
CABANG BOGOR
1442 H/2021 M
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………..……..i

Daftar Isi……………………………………………………………………….…...ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………………….1
B. Rumus Masalah………………………………………………………………...2
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………..3

BAB II PEMBAHASAN

A. Nilai Nilai Dasar Perjuangan…………………………………………………...4


B. Keadilan Sosial………………………………………………………………….5
C. Keadilan Ekonomi………………………………………………………………6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………………….7
B. Saran ………………………………………………………...…………………..8

DAFTAR PUSTAKA

1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Nilai-Nilai dasar perjuangan (NDP) merupakan salah satu dokumen organisasi


tertua yg digunakan himpunan mahasiswa islam (HMI) sampai hari ini. Pertama kali
di sah kan pada kongres IX di malang pada bulan mei 1999, NDP disusun sebagai
penjabaran atas dasar organisasi HMI yaitu islam.

Jika mencermati maksud awal nya sebagai penjabaran islam, maka tolak ukur
NDP tak jauh dari nilai dasar islam yg termaktub dalam al qur an dan hadits,
kemudian nilai nilai tersebut dapat menjadi rujukan lahirnya filsafat sosial HMI, yg
kemudian di kemas dalam teori sosial yg mewujud dalam gerak perjungam HMI

Jika tolak ukur ini disepakati, maka NDP hanya akan berbicara tentang hal
mendasar dalam islam seperti tauhid dan pembebasan, ikhtiar dan taqdir, keadilan
sosial dan ekonomi, dan peradaban berdasar kan keilmuan kemudian dari priode ke
priode, dokumen NDP itu sejak ada sampai skarang, selain berpungsi sebagai tafsir
asas keislaman HMI, NDP juga menjadi rujukan penting dalam setiap proses
pengkaderan HMI, khususnya dalam pemberian meteri- materi keislaman

Keadilan sosial dan keadilan ekonomi secara umum termasuk pengaruh


pemikiran keislaman cak nur terhadap HMI, yg selalu membuat Cak Nur termotivasi
untuk menyusun NDP HMI sebagai panduan bagi kader HMI agar bisa memahami
islam dngan baik dalam demensi ruang dan waktu dan menjadi acuan untuk
memahami islam secara lebih komperhensif dan rasional.

Pada hakikatnya semangat kelahiran NDP HMI paralel dngan semangat


kelahiran HMI itu sendiri, hanya saja dalam kasus NDP, caknur sangat berperan
dalam mengkonseptualisasikan nya secara lebih sistematis, utuh dan konprehensif.

Dari penjelasan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa NDP HMI yg di susun cak
nur mendapat tempat yg cukup kuat bagi pembentukan karakter berpikir keislaman
HMI. Hal ini menandakan bahwa pemahaman keislaman HMI cukup kuat
dipengaruhi oleh sosok cak nur.

Fakta-fakta ini kiranya cukup untuk menyebut bahwa caknur berjasa dalam
meletakan dasar-dasar perubhan bagi masyarakat dalam konteks pengkaderan, caknur
berjasa bagi pembentukan bakat-bakat intektual muda di lingkungan kampus dan
organisasi HMI.

2
Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam satu masyarakat yang
tidak menjalankan prinsip ketuhanan yang maha esa, dalam hal ini dalam pengakuan
ketuhanan yang maha esa tetapi tidak melaksankannya sama nilainya

B. Rumus Masalah
1. Bagaimankah sejarah dan perkembangan Nilai Dasar Perjuangan (NDP)
2. Bagaimanakah Perkembangan Keadilan Sosial
3. Bagaimanakah Perkembangan Keadilan Ekonomi
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Sejarah Dan Perkembangan Nilai Dasar Perjuangan (NDP)
2. Untuk mengetahui tentang keadilan sosial
3. Untuk mengetahui tentang keadilan ekonomi

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Nilai nilai dasar perjuangan (NDP)


Sampai pada fase pertumbuhan pedoman perjuangan HMI yg mendasar dan
sistematis belum ada, setelah fase berikutnya baru di susun nilai nilai dasar
perjuangan (NDP) dan pada kongres pada NDP di ubah menjadi NIK. Pada
prinsipnya kandungan isi dari NDP tidak berubah hanya saja yg berubah adalah nama
dari NDP menjadi NIK. Ini didasari atas pertibangan politik yakni setelah keluarnya
undang tahun no.5 tahun 1985 yg menyatakan bahwa pancasila adalah satu satunya
azaz organisasi kemasyarakatan.

Kronologis lahirnya NDP di latar belakangi

1. Keadaan Negara
Seperti kita ketahui bahwa bangsa Indonesia sekitar tahun 1966 – 1968
tengah mengalami perbaikan dari segi infrastructur maupun segi struktur, karena
bangsa Indonesia baru dilanda badai pengkhianatan PKI.

2. Keadaan umat islam


Nurcholis majid dalam bukunya HMI menjawab tantangan zaman
mengungkapkan bahwa muslim Indonesia adalah yg termasuk paling sedikit
ter”arab”kan. Di indonesia pemahaman islam masih dangkal, sehingga masih ada
persoalannya yaitu bagai mana menghayati nilai nilai islam itu sendiri.
3. Antek-antek PKI mempunyai buku pedoman yang baik
Untuk memberi pemahaman terhadap ke komunis an, para kader PKI di
masa jayanya (1960-1968) mempunyai buku saku yg bisa di baca dimana pun dan
kapan pun. Melihat melihat keadaan ini tumbuh keinginan caknur untuk
menyusunkan dasar dasar nilai islam melalui kerangka sistematis yg kemudian
beliau beri nama NDI (Nilai Dasar Islam) dengan tujuan NDI ini mampu
berpungsi sebagai pemahaman global tentang ajaran islam.

4. Literatur yang tersedia belum memuaskan


Pada waktu itu para kader HMI masih jarang sekali menuangkan ide ide ke
islaman mereka dalam bentuk tulisan, salah satu penyebabnya adalah kesibukan
melawan PKI secara pisik.Pada masa kepengurusan nircholis majid HMI
berusaha membuat pedoman perjuangan pada kongres X, di Palembang di
tetapkan menjadi nilai nilai dasar perjuangan.
Ahmad wahib dalam bukunya yang kontraversial “pergolakan pemikiran
islam” menuliskan bahwa perumusan NDI tersebut di pengaruhi oleh perjalanan
nurcholis majid ke universitas-universitas di amerika atas undangan pemerintah

4
amerika pada tahun 1968. Hal ini di bantah oleh nurcholis majid dalam bukunya
HMI menjawab tantangan zaman bahwa sebenarnya perjalanan ke amerika tidak
berpengaruh banyak terhadap dirinya.
Setelah perjalanan ke amerika diselesaikan, caknur melanjutkan perjalanan ke
timur tengah, dengan uang pesangon yang di hematnya selama di amerika. Di temur
tengah perjalanan di mulai dari damaskus, Kuwait kemudian ke Saudi Arabia, turki,
Lebanon dan mesir. Di riyat cak nur bertemu dengan Dr. Farid Mustafa dan mendapat
banyak hal dngannya. Selama di timur tengah caknur sering mengadakan diskusi
diskusi kritis tentang berbagai hal ke islaman.Sepulangnya caknur dari menunaikan
ibadah haji atas undangan mentri pendidikan arab Saudi (syekh hasan bin Abdullah
ali) sekitar bulan april 1969, keinginannya untuk menulis NDI makin menggebu gebu
dan ia curahkan selama bulan april 1969.
a. Kedudukan NDP dalam batang tubuh HMI
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) merupakan landasan perjuangan HMI dan
ini perlu disosialisasikan pada setiap kader HMI. Tujuan NDP dalam HMI
merupakan alat untuk mencapai missi HMI. NDP yang merupakan rumusan
ideologi bagi perjuangan HMI mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Merupakan aspek universal dari islam
2. Fundamental fluos ( nilai dasar)
3. Kosmologi (merupakan kajian)
4.Tersusun secara global dan intelektual
Dalam kehidupan manusia membutuhkan nilai nilai, dan nilai itu di dapat
dari kebenaran. Bagi umat islam kebenaran itu adalah alquran untuk meyakini
kebenaran alquran ini di perlukan iman. Tanpa keiman manusia itu tidak akan
bisa memproleh nilai nilai kebenaran.
b. Substansi Islam Dan Substansi Pancasila
Secara termenologi islam berarti keselamatan kata sifat islam adalah
tunduk dan patuh. Hidup adalah masalah sedangkan fungsi manusia adalah
menyelesaikan masalah. Manusia yang manusia adalah manusia yang mampu
menyelesaikan masalahnya sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia. Fitrah yaitu
keinginan yang cendrung kepada kebenaran.
Setelah seorang kader HMI mempelajari, memahami dan menghayati
nilai identitas kader (NDP) maka di harapkan terbetuk dalam dirinya tata cara
berpikir, bersikap dan beringkah laku yang khas sebagai kader HMI. Adapun
Ciri ciri khas sebagai kader HMI sebagai berikut :
1. Terbuka, hanya berpihak pada kebenaran
2. Dinamis, kreatif dan progresif menuju ridha allah
3. Jujur, adil, ikhlas dan ihsan dalam beramal
4. Tekun, ulet, telit, disiplin dan bertanggung jawab dalam bekerja

5
5. Solider, toleran dan istiqomah dalam kehidupan masyarakat.

Materi-materi yang ada dalam NDP HMI ada VII B AB diantaranya:

I. dasar dasar kepercayaan


II. pengertian pengertian dasar tentang kemanusian
III. kemerdekaan manusia (ikhtiar) dan keharusan universal (taqdir)
IV. ketuhanan yang maha esa dan perikemanusian
V. individu dan masyarakat
VI. keadilan sosial dan ke adilan ekonomi
VII. kemanusian dan ilmu pengetahuan.

Selain ke Indonesian atau kebangsaan dan kemaha- siswaan, kualifikasi HMI


sebagai gerakan pemuda adalah memiliki basis ke islaman yang menjadi tanggung
jawab moral untuk kader. Maka, selain harus tampil sebagai pendukung nilai nilai
keindonesian dan kemaha siswaan, HMI harus juga tampil sebagai pendukung nilai
nilai keislaman. Sekalipun dukungan pada nilai nilai keislaman itu tetap dalam format
yang tidak dapat di pisahkan dari keindonesiaan dan kemahsiswaan.

Artinya penghayatan HMI pada nilai nilai keislaman tentu tidak dapat lepas
dari lingkungan keindonesian ( antara lain, demi efektifitas dan fungsional keislaman
itu sendiri ). Dan juga idak lepas dari nilai kemahasiswaan (yaitu suatu pola
penghayatan keislaman yang lebih cocok dengan kelompok masyarakat yang
menikmati hak istimewa sebagai anggota civitas academica, yang menurut konstitusi
HMI sendiri di sebut sebagai “ insane akademis”.

Karena keindonesiaannya itu, HMI tampil sebagai organisasi islam dalam


format dan citra yang sedikit banyak berbeda dari penampilan organisasi islam dalam
kawasan lingkungan budaya besar arab ( yang terbentang sejak dari Bahrain sampai
maroko ) juga berbeda dari yang ada dalam kawasan lingkungan budaya besar persi
( yaitu kawasan islam asia Darat, sejak dari Bangladesh sampai turki, yang dapat
diteruskan ke erofa timur seperti Bosnia, Macedonia, Chechnya, dan Albania).

Meskipun diakui adanya perbedaan ini, tidak bisa kita pungkiri adanya titik
titik temu yang menghubungkan budaya islam secara universal. Salah satu titik temu
itu berupa komitmen masing-masing pribadinya pada kewajiban menjalankan setiap
usaha untuk menciptakan masyarakat yang sebaik baiknya di muka bumi ini.
Kewajiban itu dinyatakan dalam firman Allah yang sering di kutip, yaitu;“hendaknya
di antara kamu ada umat yang melakukan da wah ila l-khayr, amar ma ruf dan nahy
munkar, dan mereka itulah orang orang yang bahagia.”

Sengaja ungkapan ungkapan alqur an tentang kewajiban kaum muslimin itu


tidak kita terjemahkan, karena masing masing sarat dan padat dengan makna yang

6
tidak mudah di pindahkan ke bahasa lain. Setiap usaha pemindahannya pada bahasa
lain melalui terjemaham, tentu akan melibatkan kompromi makna sehingga tidak
selalu tepat. Sebagai contoh, terjemah al-khayr menjadi “kebijakan” (Tafsir
Departemen Agama), “kebaikan” ( Tafsir Mahmud Yunus ), atau “bakti” (Tafsir al-
furqan, A Hasaan). Masing masing terjemahan di atas mempunyai keabsahan sendiri,
namun tentu tidak secara sempurna membawakan makna al-khayr. Sedangkan Rasyid
Ridla dalam tafsir al- manar yang sangat terkenal itu menjelaskan bahwa yang di
maksud

al- khayr dalam firman itu adalah al- islam dalam makna generiknya yang
umum dan universal, yaitu agama semua nabi dan rasul sepanjng zaman. Jadi,
sesungguhnya al-khayr di situ adalah kebaikan universal; suatu nilai yang menjadi
titik temu semua agama yang benar, yaitu agama Allah yang disampaikan kepada
umat manusia lewat wahyu ilahi (juga disebut agama samawi atau “agama langit”)
dalam tafsiran ini Rasyid Ridla mengatakan;

Da”wah ila l-khayr ini bersama dengan “amar” dan “nahy” mempunyai
tingkatan-tingkatan. Tingkat pertama adalah ajakan umat ini kepada semua umat yang
lain agar melakukan al-khayr dan agar mereka mengikuti umat ini dalam cahaya dan
hidayah. Dan ini adalah yang di tuju oleh penafsiran ini; bahwa yang di maksud
dengan al-khayr adalah al-islam. Kami telah menafsirkan al-islam sebelumnya bahwa
ia adalah agama Allah melalui lisan semua para Nabi kepada semua umat, yaitu
(ajaran) keikhlasan kepada Allah ta”ala dan kembali meninggalkan hawa hawa nafsu
menuju pada hukum-nya; ini di tuntut dari kita sebagai konsekwensi dijadikan kita
umat tengah (wasath) dan saksi atas sekalian umat manusia.

Setelah 48 tahun menghadirkan dirinya di atas pentas kehidupan umat,


bangsa, dan Negara HMI banyak menghadapi tantangan. Bukan saja karna dia harus
menunjuk kemampuan untuk meningkatkan perannya, tetapi juga karna justru untuk
meningkatkan peran itu HMI harus mampu member response pada tantangan zaman
yang berbeda dari yang pernah ada. Berkenaan dengan ini, saya sering
mengemukakan bahwa tantangan sekarang tidak lagi lebih banyak bersipat “ fight
against” “atau berjuang melawan” seperti dahulu sekitar awal kelahiran orde baru
ketika Negara terancamnya berkembang ideologi anti- pancasila dan anti agama;
tantangan sekarang lebih banyak menuntut kemampuan untuk “figh for” atau
“berjuang untuk”, yakni sikap sikap proaktif ( positif ) bukan reaktif ( negatif ).
Agaknya hanya jika HMI mampu melancarkan sikap sikap proaktif-positif itu maka
“raison etre” –nya akan tetap bertahan dan kukuh. Ini bukan Darwinisme, tetapi jelas
dalam hubungan sosial yang sistematik dan sibernatik. Kemampuan beradaptasi
adalah prasyarat untuk “survive” tidak dalam artian oportunistik seperti dikonotasi

7
dalam kata-kata “adaptasi” dan “survival” dalam dunia perpolitikan- tetapi dalam
artian kemampuan trus untuk berkiprah, dan berpartisipasi, dan memberi kontribusi
pada kemajuan masyarakat dan bangsa secara positif.

Jika secara analisis kita lakukan identifikasi tema perjuangan “fight against”
di satu pihak dan “fight for”di lain pihak, tidak berarti dari salah satu keduanya itu,
misalnya “figh against” tidak penting identifikasi itu hanyalah untuk memberi
tekanan yang lebih besar dari salah satu dari keduanya, sesuai dengan tantangan
zaman. Sementara itu kedua-duanya mungkin dengan kadar tekanan yang berbeda –
dapat berjalan bersama dan seiring. Tetapi, jelas dan saat – saat ketika salah satu dari
keduanya itu lebih penting dan urgen dari pada lainya. Misalnya, di sekitar tahun 60-
an mungki juga awal 70-an tekanan perjuangan HMI adalah lebih banyak pada “fight
against”. Yaiu perjuangan melawan kaum pendukung ideologi yang anti agama dan
anti pancasila, khusus PKI. Pada waktu itu aktifis HMI dengan bimbingan para
seniornya yang sangat bepengalaman dan bijak, seperti Achmad Tirtosudirjo dan A.
Dahlan Ranuwiharjo – telah dapat mencapai kecanggihan yang tinggi dalam
melaksanakan perjuangan melawan-melawan

musuh Negara. Dan kecanggihan iu, dalam bentuk pola perjuangan yang
rasional, metodelogis, dan sistematis, telah menghasilkan efektifitas yang tinggi.
Karena itu siapa pun mengetahui dan mengakui bahwa peran HMI dalam fase-fase itu
sangat menentukan.

Namun, pada waktu yang sama HMI juga melakukan perjuangan dengan tema
“fight for” yang proaktif dan fositif. Misalnya, kita tidak saja sekedar “melawan”
konsep PKI dan para pendukungnya bahwa pancasila hanyalah alat pemersatu; HMI
serentak dengan itu mendukung konsep bahwa pancasila adalah jiwa bangsa yang
berasal dari titik temu berbagai golongan di tanah air. Sebagai alat pemersatu, seperti
dikatakan kaum komunis ( yang pada dasarnya menolak pancasila ), maka rumusan
pancasila yang lima itu hanya mempunyai nilai instrumental, dalam pengertian bahwa
jika persatuan yang menjadi tujuannya telah terwujud, maka pancasila itu dapat di
buang. Sebaliknya, pandangan bahwa pancasila adalah jiwa dan pandangan hidup
bangsa, melahirkan wawasan bahwa pancasila mempunyai nilai intrinsic, tidak
sekedar instrumental. Sebagai yang bernilai intrinsic, masing masing silanya adalah
tujuan dalam dirinya sendiri. Karena itu, semuanya harus dielaborasi dengan jelas,
kemudian dijalankan dalam masyarakat secara konsisten dan konsekwen. HMI
mendukung wawasan ini, dan dukungan itu merupakan pola dari perjuangan yang
bersipat “fight against”. walaupun begitu, kenyataannya adalah bahwa saat saat itu
yang lebih urgen dan merupakan urutan prioritas utama perjuangannya adalah
melawan PKI dan para pendukungnya yang muncul dalam gestapu- PKI.

8
Pada saat sekarang ini, jelas sekali bahwa skala prioritas perjuangan telah
berubah. Dalam zaman pembangunan ini, yang lebih banyak di tuntut adalah
kemampuan untuk berpartisipasi secara proaktif dan fositif. Jadi tekanan lebih di
berikan pada segi “fight for”. Oleh karena itu, yang lebih di pentingkan bukan-lah
sekedar semangat yang berapi-api dan berkobar saja, melainkan kemampuan teknis
yang tinggi, yang “bighly qualified”. Kemampuan ini lebih banyak mengarah pada
kecakapan “problem solving” dari pada “solidarity making”. Kemampuan teknis
yang tinggi ini memrlukan wawasan keilmuan yang mendalam, disertai keterlibatan
yang tulus dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Tekanan kiprah pada
kemampuan “problem solving” itu yang dihadapkan pada “solidarity making” dalam
bahasa retorika popular kira-kira dapat disebut sebagai “Hattaisme” dalam
penghadapannya kepada “sukarnoisme”. Di akui bahwa penyebutan ini mengandung
simplikasi, namun kiranya masih dapat di benarkan karna memang ciri
kepemimpinan Bung Hatta adalah “problem solving”, sedangkan cirri kepemimpinan
bungkarno adalah “solidarity making”. Jadi, saat ini kita lebih banyak memerlukan
Hatta-Hatta, dan sedikit saja memerlukan sukarno-sukarno, meskipun sejumlah
sukarno tetap berguna.1

B. KEADILAN SOSIAL
Dalam masalah keadilan, kata kunci yang digunakan dalam AL-Qur an
adalah adl dan qist. Adl dalam bahasa arab bukan berarti keadilan, tetapi
mengandung pengertian yang identik dengan sawiyyat. Kata itu juga mengandung
makna penyamarataan (equalizing) dan kemasan (levelling). Penyamarataan dan
kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan). Qist
mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, dan juga keadilan,
kejujuran dan kewajaran. Taqassata, salah satu kata turunannya, juga bermakna
distribusi yang merata bagi masyarakat. Dan qistas, kata turunan lainnya, berarti
keseimbangan berat. Sehingga dua kata di dalam alqur an yang di gunakan untuk
kenyataan keadilan, yakni adl dan qist, mengandung makna distribusi yang merata,
termasuk distribusi materi, dan dalam kasus tertentu, penimbunan harta
diperbolehkan asal untuk kepentingan sosial.
Ayat tersebut di atas juga di dukung oleh ayat-ayat lainya yang
sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama. Supaya kekayaan itu jangan hanya
beredar di antara orang orang yang kaya. Mereka menanyakan kepadamu beberapa
mereka harus menafkah kan. Jawablah, kelebihan dari keperluanmu. AL- Qur an juga
mengencam orang-orang kaya yang suka pamer, dan kehidupan yang seperti ini akan
membawa kepada kehancuran. Dan bila kami bermaksud menghancurkan sebuah
kota, kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup dengan kemewahan supaya

1
Nurcholish Madjid, tradisi islam peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia, jaksel
2008.hal 89-99

9
patuh, namun mereka melanggar perintah itu. Maka sepantasnya lah berlaku kutukan
atas mereka, lalu kamipun membinasakannya.
AL-Qur an bukan saja menatang penimbunan harta (dalam artian tidak di
sumbangkan untuk pakir miskin, janda-janda dan anak yatim), namun juga
menentang kemewahan dan tindakan yang menghambur hamburkan uang (untuk
kesenangan dan kemewahan diri sendiri, sementara banyak orang miskin yang
membutuhkan). Keduanya merupakan tindakan jahat , dan makanya mereka
mengganggu keseimbangan sosial (sosial balance), sehingga terjadi bencana. Maka
keadilan di dalam al-qur an bukan hanya berarti norma hukum (rule of law), namun
juga berarti keadilan yang distributif (karena hukum, kata socrates, seringkali
menguntungkan orang yang kaya dan kuat). Keseimbangan sosial hanya dapat
dijaga, bila kekayaan sosial (social wealth) di manfaatkan secara merata untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara yang wajar. Penumpukan kekayaan
dan penggunaan nya yang tidak sebagai mana mestinya tidak akan dapat menjaganya
keseimbangan tersebut. Itu hanya akan mengarah pada kehancuran masyarakat secara
total. Sebagai mana telah di sebutkan Al- Qur an di atas, kehancuran, kehancuran ini
merupakan suatu keniscayaan.
Dengan demikian, sangat mengherankan jika kita sekarang lebih
mementingkan swastanisasi /privatisasi dalam dunia usaha, dari pada
mengembangkan rasa keadilan itu sendiri. Seolah-olah kita mengikuti kedua prinsip
kemakmuran dan kebebasan itu, dan dengan demikian kita kehilangan rasa keadilan
kita. Sikap dengan mudah menetukan kenaikan BBM- yang kemudian di cabut
kembali, menunjukan hal itu dengan jelas, kalau kita tidak berprinsip keadilan.
Tentulah kenaikan harga itu harus menunggu kenaikan pendapatan, bukan sebaliknya.
Bukan kah dengan demikian telah terjadi pengambilalihan sebuah paham dari negri
lain ke negri kita yang memiliki prinsip lain, sesuai dengan ketentuan UUD 45?
Adakah kapitalisme klasik yang melindungi kaum lemah, dengan akibat mereka harus
di hilangkan begitu saja dalam kehidupan kita sebagai bangsa? Bukankah yang di
maksud para pendiri negri kita, adalah bentuk pemerintahan yang melindungi kaum
lemah?
Jelaslah dengan demikian, antara dalam ketentuan dalam UUD 45 dan
kebijakan pemerintah, terdapat kesenjangan dan perbedaan yang sangat menyolok.
Dapat dikatakan, kebijakan pemerintah di bidang ekonomi tidaklah didasarkan di
dalam konstitusi. Dengan demikian dapat di simpulkan, ketentuan UUD ditinggalkan
karna keserakahan beberapa orang saja yang menginginkan keuntungan maksimal
bagi diri dan golongan mereka saja. Ini adalah sikap dan kebijakan pemerintah yang
harus di koreksi oleh masyarakat dengan tegas. Keengganan kita untuk melakukan
koreksi itu, hanya akan mengakibatkan kebijakan dan sikap pemerintah yang lebih
jauh lagi menyimpang dari ketentuan UUD 45. Hendaknya pemerintah pun bersikap

10
lapang dada dan menerima kritikan atas penyimpangan dari UUD 45 itu, sebagai
sebuah masukan yang konstruktif.
Dalam hal ini, kita terlalu ingat pada konsep keadilan yang pada prinsipnya
berarti pemberdayaan kaum miskin/ lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri
dalam sejarah manusia yang terus mengalami perubahan sosial. Secara umum islam
memperhatikan susunan masyarakat yang adil dengan membela nasib mereka yang
miskin/lemah, seperti terlihat dalam ayat suci berikut; “apa yang dilimpahkan (dalam
bentuk pungutan fai’) oleh Allah atas kaum (penduduk sekitar madinah), maka harus
digunakan bagi Allah, utusannya, sanak keluarga terdekat, anak anak yatim, orang
orang miskin, para peminta minta/pengemis dan pejalan kaki di jalan Allah. Agar
supaya harta yang terkumpul itu tidak hanya berputar/ beredar dikalangan orang
orang kaya saja di lingkungan kalian”. (ma afa-a Allahu ‘ala rasulihi min ahl al-yata
ma wa al-masakin wa ibn al sabil, kaila yakuna dulatan bain al-aghniya’a minkum)
(QS al-hasyr (5):8).
Konsep mengenai susunan masyarakat seperti dikemukakan oleh ayat suci
di atas, menunjukan dengan jelas watak dan structural dari bangunan masyarakat
yang dikendaki islam, baik di capai melalui perjuangan structural (seperti dikendaki
Sosialisme dan komunisme) maupun tidak, haruslah senantiasa diingat oleh para
pemimpin gerakan islam saat ini, jika hal ini di abaikan, maka sang pemimpin
gerakan islam hanya akan menjadi mangsa pandangan yang memanfaatkan manusia
untuk kepentingan manusia lain. Jelas sikap seperti itu berlawan dengan keseluruhan
ajaran islam sebagai agama terakhir bagi manusia. Karenanya, mereka yang
merebutkan jabatan atau menjalankan KKN dalam mengemban jabatan itu, mau tidak
mau harus berhadapan dengan pengertian keadilan dalam islam, baik bersifat
structural atau non structural.

Dengan demikian jelaslah, bahwa telah terjadi pergeseran pemahaman dan


pengertian dalam islam mengenai kata “keadilan” itu sendiri. Dalam proses
memahami dan mencoba mengerti garis terjauh dari kata a’dilu’ atau al-qisth itu
sendiri, lalu dan sementara pemikir muslim yang menganggap, sebaiknya digunakan
kata “keadilan sosial” (social justice) dalam wacana kaum muslimin mengenai
perubahan sosial yang terjadi. Kelompok ini, yang menginginkan pendekatan
structural dalam memahami perubahan sosial itu, namun pada umumnya masih
berfungsi wacana dari sebagian besar adalah para pemikir saja, bukanya pejuang
/aktifis masyarakat. Tetapi, lambat laun akan muncul para aktivis yang menggunakan
acuan struktural itu, dan dengan demikian merubah keseluruhan watak perjuangan
kaum muslimin. Implikasi akan muncul istilah “muslim revolusioner” dan lawannya
yaitu “muslim reaksioner”. Memang mudah merumuskan perjuangan kaum muslimin
itu, namun sulit memimpinnya, bukan?

11
Dalam fiqh dikemukakan keharusan sorang pemimpin agar mementingkan
kesejahteraan rakyat yang di pimpin, sebagai tugas yang harus dilaksanakan
“kebijaksanaan dan tindakan imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan
kesejahteraan rakyat yang di pimpin” (tasharruf al-iman ‘ala al- iyyah manutun bi al-
maslahah), menetapkan hal ini dengan sangat jelas. Tujuan berkuasa bukanlah
kekuasaan itu sendiri, melainkan sesuatu yang di rumuskan dengan kata kemaslahatan
(al-maslahah). Prinsip kemaslahatan itu sendiri sering kali diterjemahkan dengan kata
“kesejahteraan rakyat”, yang dalam ungkapan ekonomi dosen Harvard dan mantan
duta besar ameika serikat (AS) untuk india, John Kenneth Galbraith sebagai “ the
affluent society”

Dalam hal ini, menjadi nyata bagi kita bahwa prinsip menyelanggrakan
Negara yang adil dan makmur menurut UUD 1945, menjadi sama nilainya dengan
pencapaian kesejahteraan yang di maksud oleh fiqh tadi. Hal ini yang harus
dipikirkan secara mendalam oleh mereka yang menginginkan amandemen terhadap
UUD 1945. Tidakkah amandemen tersebut dalam waktu dekat ini, akn merusak
rumusan tujuan bernegara tersebut?2

Sejak awal kita harus menyadari bahwa fonomena sosial sangat lah
kompleks dan tidak ada satu analisapun, betapapun lengkapnya, yang dapat
menjelsakan seluruh factor yang terlibat didalamnya. Perlu dicatat, agama dan budaya
juga berakar pada prasaan manusia, dan dibanding bidang yang lain, jauh lebih
independen. Tidak ada penjelasan yang utuh yang dapat memuaskan kita, walaupun
kita telah mengetahui konteks sosial- ekonomi. Sebuah analisa pasti memiliki
keterbatasan.

C. KEADILAN EKONOMI
Islam pada awalnya lebih sekedar gerakan relijius, islam juga merupakan
gerakan ekonomi. Islam dengan kitab suci nya, Al-Qur’an, sangat menentang
structural sosial yang tidak adil dan menindas yang secara umum melingkupi kota
mekkah waku itu sebagai tempat asal mula islam, dan juga kota-kota lainya di seluruh
dunia. Dari mekah, lantas islam menyebar ke daerah daerah lain yang dahulunya
merupakan daerah penyebaran agama yahudi, namun islam merasa tidak dibatasi
olehnya.
Bagi orang yang memperhatikan al-qur’an secara teliti, keadialan untuk
golongan masyarakat lemah merupakan ajaran islam yang sangat pokok. Al-qur’an
mengajarkan kepada umat islam untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. “kata al-
qur’an. Lebih lanjut disebutkan bahwa kebencian terhadap suatu kaum atau
masyarakat tidak boleh menjadikan seseorang yang beriman sampai tidak berbuat

2
Abdurrahman Wahid, islamku islam anda islam kita, Jakarta 2011,hal 183-186,192-193

12
adil,” hai orang orang yang beriman! Tegakkan lah keadilan sebagai saksi karena
allah. Dan janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil, karena itu lebih
dekat kepada takwa.3
Dalam hal ini , diperlukan adanya sebuah penataan ekonomi bangsa kita,
penataan itu harus dilakukan karena kesenjangan kaya miskin memang menjadi besar
dalam kenyataan. Bagai manapun juga harus di akui bahwa apa yang terbaik di negri
kita, dikuasai/ dimiliki oleh mereka yang kaya , baik “golongan pribumi” maupun
golongan keturunan tionghoa”. Untuk menyelamatkan diri dari kemaran orang
melarat, baik yang merasa miskin atau pun yang memang benar benar tidak
menguasai/ memiliki apa-apa, maka elite ekonomi/ orang kaya ‘ kalangan pribumi”
selalu meniup niupkan bahwa perekonomian nasional kita di kuasai/ dimiliki para
penguasa atau golongan keturunan tionghoa”. Karena memang selama ini media
nasional dan kekuasaan politik selalu berada di tangan mereka, dengan mudah saja
pendapat umum di bentuk dengan menganggap” golongan keturunan tionghoa”, yang
lazim disebut dengan golongan non pribumi, sebagai penguasa perekonomian bangsa
kita.
Kesan salah itu dapat segera dibetulkan, dengan sebuah koreksi total atas
jalanya orientasi yang lebih mementingkan pelayanan kepada pengusaha besar dan
raksasa, apapun alasanya, termasuk klaim kepada pengusaha nasional “pribumi”,
harus lah disudahi. Yang harus di tolong adalah pengusaha kecil dan menengah,
seperti yang dingatkan oleh UUD yang kita miliki, maupun berbagai peraturan yang
lain. Dengan demikian tidaklah tepat untuk mempersoalkannya bukan terletak disitu,
masalah nya adalah kesenjangan antara kaya dan miskin.
Jadi, yang harus di benahi, orientasi yang terlalu melayani kepentingan orang
orang kaya, atas kerugian orang miskin. Kita harus jeli melihat masalah ini dengan
kacamata yang jernih. Perubahan orientasi itu terletak pada dua bidang utama, yaitu
pertolongan kepada UKM, usaha kecil dan menengah dan upaya mengatasi
kemiskinan. Kedua langkah itu harus disertai
pengawasan yang ketat, disamping liku-liku birokrasi, yang memang
merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan kridit murah kepada UKM.
Padahal, apapun upaya yang dilakukan untuk menolong UKM, tentulah menghadapi
hambatan. Jadi, haruslah dirumuskan kerangka yang tepat untuk tujuan ini. Dan tentu
saja, upaya mengatasi kemiskinan menghadapi begitu banyak rintangan dan
hambatan trutama dari lingkungan birokrasi sendiri.
Globalisasi ekonomi dunia, saat ini sering di artikan sebagai persaingan
terbuka, ketundukan mutlak pada kompetisi dan penerimaan total atas “kebenaran”
tata niaga internasional yang diwakili oleh word trade organization (WTO).
Benarkah dan cukupkah hal ini, menjadi perhatian kita melalui tulisan ini. Dalam

3
ASGHAR ALI ENGINEER, islam dan teologi pembebasan, Yogyakarta 2009, hal.57-58

13
uraian ini, akan tampak bagai mana pandangan tentang hal-hal tersebut, dan akan
dimaksudkan tercapai kejelasan akan hal ini dalam uraian berikut.
Dengan kata lain,globalisasi ekonomi dimaksudkan untuk membenarkan
dominasi perusahaan-prusahaan besar atas perekonomian Negara Negara
berkembang, yang tentu saja akan sangat merugikan Negara Negara tersebut. Karena
itulah tantangan atas WTO dan pengertian globalisasi seperti itu justru dilancarkan
oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional yang berpangkalan si Negara-
negara berteknologi maju. Penentangan terbuka atas WTO oleh LSM internasional di
seatle mempengaruhi sikap Negara-negara berkembang, yang dimunculkan dalam
konsferensi WTO di Qatar tahun lalu.
Sejak kemerdekaan di tahun 1945, 0rientasi ekonomi kita banyak ditekankan
pada kepentingan para pengusaha besar dan modern. Di tahun 1950-an, dilakukan
kebijakan benteng, dengan para pengusaha pribumi atau nasional memperoleh hampir
seluruh lisensi, kredit dan pelayanan pemerintah untuk “mengangkat” mereka.
Hasilnya adalah lahir diperusahaan “Ali-Baba”, yaiu dengan mayoritas pemilikan ada
di tangan para pengusaha keturunan tionghoa dan palaksana prusahaan seperti itu
dipimpin oleh “pengusaha pribumi”. Ternyata, kebijakan itu gagal. ‘si baba’ atau
pengusaha keturunan tionghoa, untuk tidak aktif memimpin selain bidang bidang
perdangan.
Demikian pula dengan system kuota dalam pendidikan, mau tidak mau
mempengruhi ruang gerak warga Negara keturunan tionghoa di bidang perdagangan
saja. Mereka dengan segera memampaat kan kelebihan uang mereka, untuk
membiayai pendidikan anak anak mereka di luar negri. Karena tidak terikat dengan
system beasiswa yang disediakan pemerintah, dengan pembagian rata rata untuk
berbagai bidang studi, mereka lalu memanpaatkan kecendrungan besar di luar negri,
untuk memberi perhatian yang lebih besar kepada pendidikan berbagai bidang usaha:
teknologi, kimia, produksi, komunikasi terapan, kemasan (package) pemasaran,
penciptaan jaringan (networking) dan permodalan. Di tahun tahun terakhir ini,
mereka bahkan sudah mencapai tingkatan kesempurnaan dalam bidang bidang
tersebut, seperti terbukti dari hasil-hasil yang di capai anak-anak mereka di luar negri.
Karena itu tidak mengherankan, jika lalu dunia usaha (bisnis) mereka yg
kuasai. Para manager/ pimpinan usaha ada di tangan mereka, bahkan hal itu berasa
pada tingkat usaha di bidang keuangan/ financial, hampir mereka kuasai seluruh
secara nyata. Dalam hal ini, diperlukan adanya sebuah penataan ekonomi bangsa kita,
penataan itu harus dilakukan karena kesenjangan kaya miskin memang menjadi besar
dalam kenyataan.4

4
ABDURRAHMAN WAHID, islamku islam anda islam kita, Jakarta 2011, hal 224-225

14
Tata ekonomi seperti itu akan lebih memungkinkan tercapainya kesejahteraan
dengan cepat, yang dalam pembukaan UUD 1945 di sebut sebagai penciptaan
masyarakat adil dan makmur. Dalam figh disebutkan “ kebijakan dan tindakan
pemimpin atas rakyat yang dipimpin harus sejalan dengan kemaslahatan mereka
berlaku juga untuk bidang ekonomi. Ekonomi yang berorentasi kepada kemampuan
berdiri di atas kaki sendiri, menjadikan ekonomi kita akan sesuai dengan ajaran ajaran
isalam.
Apakah ekonomi sedemikian itu akan damai ekonomi islam atau disebut
ekonomi nasional saja, tidaklah relevan untuk didiskusikan disini. Yang terpenting,
bangunan ekonomi yang di kembangkan, baik tatanan maupun orientasinya, sesuai
dengan jaran islam. Penulis yakin, ekonomi yang sedemikian itu juga sesuai dengan
ajaran- ajaran sebagai agama lain. Karenanya, penamaan ekonomi seperti itu dengan
nama ekonomi islam, sebenarnya juga tidak diperlukan sekali, karna yang terpenting
adalah pemberlakuannya, dan bukan penamaanya.
Dalam kerangka inilah, kepentingan mikro ekonomi islam secara pribadi, yaitu
untuk mencapai kebahagian dunia akhirat, lalu sama posisinya dengan dibangunnya
ekonomi makro yang mementingkan keadilan dan kemakmuran seluruh bangsa.
Sebenarnya kita dapat melakukan hal itu, apabila terdapatnya political will untuk
menerapkannya, karena ekonomi memang terlalu penting bagi sebuah bangsa jika
hanya untuk diputuskan oleh sejumlah ekonomi belaka, tanpa melibatkan seluruh
bangsa. Karena menyangkut kesejahteraan seluruh bangsa, maka diperlukan
keputusan bersama dalam hal ini. Untuk mengambil keputusan seperti itu, haruslah
didengar terlebih dahulu perdebatannya sebelum mengambil keputusan.5
Juga perlu dicatat bahwa Negara Negara yang telah mengadopsi sosialisme
dan memberi prioritas pada keadilan sosio-ekonomi, belum merasa perlu untuk
memanpaatkan islam pundamentalis. Yaman selatan, Algeria dan irak termasuk
kategori ini. Tidak ada kebangkitan islam fundamentalis di Negara Negara tersebut.
Di Algeria, golongan kanan sering menjadi oposisi terhadap rezim yang berkuasa
dengan menggunakan agama. Namun mereka hanya mendapat kan dukungan dari
sebagian kecil rakyat. Karena kondisi objektif yang tidak mendukung ini,
kebangkitan islamtidak dapat menangkap keinginan rakyat. Gerakan ini tetap
terisolasi. Golongan kanan seperti ikhwan-al muslimun atau kelompok lain yang
dilatari semangat islam yang tinggi, melancarkan sebuah serangan. Misalnya,
dilapornya ada serangan terhadap kantor polisi pada tanggal 26 Agustus 1985 di al-
souman (di Algeria), sebuah kota yang terletak sekitar 30 mil di sebelah tenggara iibu
kota Negara.

5
ASGHAR ALI ENGINEER, islam dan teologi pembebasan, Yogyakarta 2009,hal 149

15
BAB III

PENUTUPAN

A. KESIMPULAN

Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada tuhan. Tuhan
YME dan keinginan mendekat dan serta cinta kepadanya yaitu taqwa. Nilai dan
taqwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai nilai itu memancar dengan
sendirinya dalam bentuk kerjanyata bagi kemanusian dan amal sholeh. Iman tidak
member arti apa apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha dan kegiatan yang
sungguh-sungguh untuk menegakkan prikehidupan yang benar dalam pradaban dan
budaya.

Iman dan taqwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah dan
pengabdian formil kepada tuhan ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat
kepada tuhan dan berpegang teguh kepada kebenaran sebagai mana yang dikendaki
hati nurani yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk cara ibadah menjadi
wewenang penuh dari pada agama tanpa ada hak dan manusia yang mencampurinya.

Dalam hal ini tentu ada korelasi antara iman dan ilmu untuk keadilan bagi
seorang pemimpin. Karna dari setiap pemimpin harus memiliki ilmu dan iman unuk
memimpin rakyat agar tidak menjadi salah guna dalam memimpin. Jika ilmu dan
iman tidak dimiliki oleh setiap pemimpin maka akan kacau kepemimpinan nya.

Sikap untuk berlaku adil akan sulit untuk ditemui oleh seorang pemimpin, jika
pemimpin tidak memiliki iman dan ilmu. Maka dari itu setiap pemimpin harus
memiliki landasan dasar trutama ilmu. Agar di dalam kepemimpinannya tidak
membelok kea rah yang tidak baik.

B. SARAN
Ilmu salah satu kemudi untuk kita menuju iman, tanpa didasari oleh itu maka
rusaklah amal tanpa dilandasi dengan ilmu. Untuk itu perlu kita perdalam dalam
menuntut agar lebih mengetahui apa sebenar yg kita tujukan dalam hidup. Terus
meevaluasi diri walau terkadang kita tidak bisa menilai diri sendiri. Setidak nya sadar
dan intropeksi kemana dan mau kemana aku ini agar hidup lebih jelasa kemana arah
yang ingin ditutuju.
Dalam hal ini, ilmu menjadiladi landasan dasar bagi seseorang apalagi dalam
segi memimpin, agar dalam kepemimpinannya terdapat keadilan dan tidak kacau
dalam mengemban amanah dari rakyat, trutama untuk keadilan sosial dan ekonomi.

16
DAPTAR PUSTAKA

Ali Engineer, Asghar 2009. Islam dan teologi pembebasan, Yogyakarta:


Madjid, Nurcholish, 2008. tradisi islam peran dan fungsinya dalam pembangunan di
Indonesia, Jakarta Selatan:
Wahid, Abdurrahman, 2011. islamku islam anda islam kita, Jakarta:
Muhammad azhar, fiqih konteporer dalam pandangan neomodernisme islam
(Yogyakarta: pustaka pelajar, 1996, 27-28
Muhaimin Dan Abdul Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis Dan
Kerangka Dasar Oprosionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm 315
Madjid nurcholis islam kerakyatan dan keindonesiaan; pikiran pikiran madjid muda’,
Ibd., hlm 228-229
Adian husnaini, Nurchlis Madjid: kontriversial: kematian dan pemikiran, (Jakarta:
khairul bayan press, 2005), hlm, 13.
Nurcholis madjid, islam doktrin dan pradaban, (Jakarta: wakaf paramadina, 1992),
kata penghantar, hlm. Ix
Nurcholis madjid, islam agama kemanusian; membangub tradisi dan visi baru islam
Indonesia, (Jakarta; paramadina,1995), hlm.32
M. Dawan raharjo, pergaulan dunia pesantren,(Jakarta; P3M, 1987), hlm.57
Greg dalam buku, gagasan islam liberal… hlm .80.

Sukawan, konsep pembaharuan pendidikan islam; studi atas pemikiran pendidikan


Nurcholis madjid, (Yogyakarta, 2002).

17

Anda mungkin juga menyukai