Anda di halaman 1dari 4

HMI; NDP Lama VS NDP 

Baru

HMI; NDP Lama VS NDP Baru

Oleh: Wahyu Minarno

Membaca Kompas (6/8) mengenai adanya kasus pemukulan yang terjadi pada kongres
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-XXVI di Palembang, sebagai salah satu kader HMI
merasa cukup menyesal. Terjadinya pertengkaran fisik yang dilatarbelakangi oleh perdebatan
seputar Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI tersebut mencirikan bahwa pihak yang
bersangkutan masih sangat kurang dalam menghargai forum tertinggi di HMI. HMI sebagai
sebuah organisasi mahasiswa Islam seharusnya mampu memberikan contoh yang baik untuk
organisasi yang lain. Terlebih sebagai salah satu organisasi mahasiswa paling tua di
Indonesia. Insiden tersebut tidak seharusnya terjadi, mengingat HMI sebagai organisasi
pelopor gerakan intelektual. Perdebatan mengenai NDP lama atau baru yang akan dipakai di
HMI, seharusnya dapat diselesaikan melalui mekanisme yang lebih rasional dan inklusif.

Sejarah NDP HMI

Sebelum dirumuskannya nilai-nilai dasar perjuangan, HMI menggunakan Garis


Perjuangan Pedoman Organisasi (GPPO) sebagai pedoman perjuangan organisasi. NDP pada
dasarnya merupakan tafsiran terhadap salah satu pasal yang terdapat dalam Anggaran Dasar
HMI (AD HMI), yang menyatakan bahwa HMI berazaskan Islam. Menurut Endang
Saifuddin Anshari, NDP yang selama ini digunakan oleh HMI merupakan penafsiran HMI
terhadap Islam yang dibuat oleh Cak Nur pada waktu itu (ESA, 1973). Dalam kongres HMI
ke-IX di Malang, setelah adanya kesepakatan mengenai NDP HMI, Cak Nur bersama Endang
Saifuddin Anshari dan Sakib Machmud diberikan mandat untuk melakukan penyempurnaan
terhadap NDP HMI. Hal tersebut dilakukan dengan tetap mengindahkan beberapa masukan
serta saran dari peserta lainnya. Pada saat itu Endang Saifuddin Anshari, yang sekaligus
selaku pimpinan dalam sidang pembahasan NDP mengusulkan untuk diadakannya sebuah
buku pengantar tentang studi Islam. Karena dia merasa bahwa NDP terlalu berat bagi anggota
HMI, terlebih bagi para anggota baru.

Sebelum menjadi NDP, terdapat dua usulan judul naskah yang disampaikan oleh
Endang Saifuddin Anshari, “Islam sebagai Nilai-nilai Dasar Perjuangan” dan Nilai-nilai
Dasar Perjuangan Islam”. Pada waktu itu antara Cak Nur, Endang Saifuddin Anshari dan
Sakib Machmud memilih judul yang kedua. Namun disebabkan beberapa hal yang tidak
mereka ketahui, judul tersebut berubah menjadi “Nilai-nilai Dasar Perjuangan”. Sebagaimana
kekurangpuasan yang dirasakan oleh Endang, Cak Nur pun merasa kurang bersemangat
untuk merealisasikan beberapa hasil kongres yang diamanatkan kepadanya. NDP HMI juga
pernah mengalami perubahan nama menjadi “Nilai Identitas Kader” (NIK), meskipun
selanjutnya kembali menjadi NDP lagi.
Sejarah dari NDP inilah yang kurang dipahami oleh beberapa anggota HMI sekarang,
padahal sejarah itu juga penting. Apalagi yang menyangkut perumusan dari sebuah pedoman
organisasi.

Versi NDP

HMI sekarang memiliki dua versi NDP, versi Cak Nur (hasil kongres ke-IX di Malang) dan
hasil kongres HMI ke-XXV tahun 2006 di Makasar. Secara substansial isi dari masing-
masing versi NDP tersebut sama. NDP versi Cak Nur memuat delapan bab pembahasan
seputar: Dasar-dasar Kepercayan, Pengertian-pengertian Dasar tentang Kemanusiaan,
Kemerdekaan Manusia dan Keharusan Universal, Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Kemanusiaan, Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi,
Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan serta Kesimpulan dan Penutup. Sedangkan NDP “baru”
memuat beberapa bab antara lain: Landasan dan Kerangka Berfikir, Dasar-dasar
Kepercayaan, Hakekat Penciptaan dan Eskatologi, Manusia Dan Nilai-nilai Kemanusiaan,
Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keniscayaan Universal (Takdir) Ikhtiar (berusaha)
,Individu dan Masyarakat , Keadilan Sosial serta Ekonomi dan Sains Islam.

Secara universal, substansi yang terkandung dalam NDP baik yang lama maupun baru adalah
sama. Persoalan yang muncul adalah perbedaan penggunaan metode dalam memahami saja.
Ada yang menganggap terlalu berat ketika menggunakan pendekatan secara filosofis, ada
pula yang mengatakan pendekatan melalui filsafat tidak terlalu berat.

Apapun pendekatan yang digunakan, mungkin perlu pengkajian ulang terhadap


format dalam penyampaian NDP. Sehingga tidak sampai memunculkan polemik seperti
insiden yang terjadi di Palembang. Cak Nur sendiri mengatakan bahwa NDP harus dijelaskan
dengan menggunakan metode dan cara penyampaian yang sesederhana mungkin. Mengapa
dipersulit!

Memahami kembali NDP HMI

NDP HMI itu mengandung muatan-muatan yang sangat substansial, tentang ke-
Tuhanan dan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah dirumuskan Cak Nur dan kawan-kawan.
Islam itu universal, jadi sangat luas pemaknaannya, sehingga membutuhkan alat untuk
menjelaskannya. Islam yang sangat universal tersebut, dalam konteks organisasi mencoba
untuk diterjemahkan melalui NDP. Dalam konteks sekarang, seluruh anggota HMI perlu
memahami kembali AD/ART organisasinya. Sehingga tidak terjebak dalam memperdebatkan
landasan nilai sebuah organisasi. Apalagi sampai pertengkaran secara fisik. Pemahaman
terhadap nilai-nilai organisasi tersebut dapat dilakukan melalui beberapa hal.

Pertama, HMI harus dapat membedakan dalam beberapa hal terkait nilai-nilai
organisasi yang bersifat statis dan dinamis. Muatan yang dijelaskan dalam NDP HMI itu
adalah hal menyangkut iman, ilmu, dan amal. Iman, ilmu dan amal secara konsep itu sifatnya
universal, bisa diterima oleh siapapun, bahkan bagi orang di luar anggota HMI. Hal yang
dapat diterima keuniversalannya sifatnya statis atau tetap, bukan dinamis. Untuk
mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada anggota HMI, maka dibutuhkan sebuah alat
serta metode. NDP HMI dapat dikatakan sebagai alatnya, dan metodenya bisa secara filosofis
atau yang lainnya. Metode serta strategi dalam menyampaikan NDP kepada anggota HMI
memang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Karena hal ini bersifat
dinamis maka si pemateri NDP harus mampu menguasai NDP dengan benar serta memiliki
banyak metode maupun strategi dalam menyampaikan materinya.

Kedua, setelah HMI mampu membedakan manakah hal yang tetap dan berubah, HMI
harus mampu mengkontekstualisasikan dengan arah perjuangan organisasi yang pada
nantinya akan diaktualisasikan. NDP HMI, dirubah ataupun tidak, jika kadernya tidak ada
yang sholat atau ngaji, kan sama saja bohong. NDP itu harus dipahami dulu dengan benar
kemudian diaktualisasikan. Setelah diaktualisasikan baru akan kelihatan manakah yang masih
relevan dan harus dirubah. Kebanyakan anggota HMI, paham saja belum tentang NDP HMI,
kok main ganti seenaknya. Sebagian peserta kongres yang hadir di Palembang jangan-jangan
banyak yang belum paham dengan NDP HMI. itu juga persoalan! Sekali lagi, HMI adalah
organisasi mahasiswa Islam, wadah di mana kader umat dan kader bangsa digembleng secara
intelektual. Bukan untuk bertengkar yang tidak produktif. Sedikit-sedikit perang fisik.
Identitas yang melekat di HMI sebagai agent of sosial change, agent of sosial control dengan
sendirinya akan memudar, jika selama terjadi kebuntuan dalam kesepakatan selalu diakhiri
dengan pertengkaran secara fisik.

Sebagai salah satu dari sekian banyak intelegensia, wacana saja tidak cukup dalam
menyelesaikan persoalan. Kebutuhan terhadap pengaktualisasian dari setiap gagasan yang
muncul di HMI, itulah yang dapat diberikan koreksi, bukan malah sibuk mengoreksi hal yang
belum secara utuh dipahami, terlebih dilaksanakan dengan benar.

Ketiga, sikap inklusifitas yang terdapat di HMI seharusnya menjadi salah satu modal
dalam menentukan keabsahan sebuah kesepakatan (pengetahuan yang benar). Ilmu itu, dari
manapun datangnya bisa diterima. Penerapan pada wilayah aksiologi dari keilmuan yang ada,
itulah yang membutuhkan filter. Terkadang HMI masih terjebak dalam wilayah egoisme
intelektual. Kurang bisa mendengarkan dan memahami pendapat orang lain, terlebih
mensepakatinya, merupakan gejala semakin menurunnya kadar intelektualitas di HMI.
Budaya merasa diri paling tahu itulah yang harus dibuang sejauh mungkin dari HMI.

Kembali kepada pemahaman terhadap NDP yang telah melahirkan persoalan di


internal HMI. Nilai-nilai dasar perjuangan HMI yang kalau memang dirasa berat oleh
anggota dalam memahaminya, mengapa tidak dibujat saja buku lain tentang penjelasan NDP.
Apakah sudah bisa mengakomodir ketidakpahaman anggota HMI ketika secara redaksional
NDP “lama” harus ditambahkan dengan metode baru? Apakah sudah dibedakan dengan benar
antara hal yang bersifat substansial dan partikular dalam NDP HMI?

Menurut hasil terakhir kongres di Palembang, dengan dibentuknya team khusus untuk
membahas kembali NDP, diharapkan dapat ditemukan sebuah formula yang tepat. Dengan
demikian anggota HMI yang berada di “bawah” tidak lagi merasa kebingungan sampai
banyak yang harus ikut berangkat dalam acara kongres di palembang.

Pengabdian dan Keikhlasan

Inti dari NDP adalah seperti yang telah dikemukakan di muka, yakni iman, ilmu dan amal.
HMI merupakan organisasi dengan azas Islam, yang memiliki fungsi serta peran sebagai
organisasi perkaderan dan perjuangan. Mengutip seperti yang pernah disampaikan oleh
Khumaidi Syarif Romas (Bang Hum) selaku mantan ketua umum PB HMI, “di HMI itu yang
masih kurang adalah pengabdiannya. Yang selama ini terjadi adalah kalau tidak terkait
dengan kekuasan ya kepentingan lainnya”. Bahkan Cak Nur pun pernah mengusulkan untuk
dibubarkannya HMI. Jelas sekali bahwa memang HMI harus menyadari kekurangannya
selama ini. HMI harus konsisten terhadap komitmennya terhadap keikhlasan dalam sebuah
pengabdian untuk Islam dan Negara, bukan malah sibuk dengan urusan internal yang tak
kunjung selesai.

Semoga apa yang telah dirumuskan selama pembahasan dalam kongres HMI di Palembang
menghasilkan suatu dampak yang positif bagi anggota HMI khususnya, serta umat dan
Negara pada umumnya. Memang HMI adalah organisasi mahasiswa, bukan paguyuban.
Namun tidak menutup kemungkinan akan lebih dibutuhkan paguyuban dari pada HMI jika
HMI tidak segera sadar diri.

Wahyu Minarno

Kader HMI Yogyakarta

Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

wahyoe_rakjat@yahoo.co.id

081392881323/081227773

..

Anda mungkin juga menyukai