Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH MASA DEMOKRASI TERPIMPIN DAN

DINAMIKA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL


KEPALA DAERAH

Guru mapel:

Neneng Khoeriah S.Pd.I.

Disusun oleh:

1. Naila Putri Humaira

2. Salma Nayasita Fakhira

3. Stevhanie Vallisia

4. Zetasha Merizka

5. Nurul Hafidzah Khoirunnisa

6. Satrio Adib Zhafriansyah

7. Ganes Syabana Putra

8. Ryan Anwar

SMA TARUNA TERPADU [XI - MIPA 7]


DEMOKRASI TERPIMPIN
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Pengertian:

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Demos” dan “Kratos”. Demos bermakna rakyat
atau khalayak, sementara Kratos bermakna pemerintahaan. Demokrasi sebagai sistem
pemerintahan yang mengijinkan dan memberikan hak, kebebasan kepada warga negaranya
untuk berpendapat serta turut serta dalam pengambilan keputusan di pemerintahan.

Menurut Abraham Lincoln demokrasi adalah sebuah hal yang didasari oleh rakyat. Abraham
Lincoln menjelaskan bahwa demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat dimana setiap orang dapat mengambil bagian perihal keputusan
yang akan mempengaruhi kehidupannya dalam bernegara.

Ciri-ciri negara berdaulat:

• Memiliki Perwakilan Rakyat

• Keputusan Berlandaskan Aspirasi dan Kepentingan Warga Negara

• Menyelenggarakan Pemilihan Umum

• Terdapat Sistem Kepartaian

• Menerapkan Ciri Konstitusional

Menurut Samuel Huntington dinyatakan ada dua sistem politik yaitu Demokrasi dan non-
demokrasi. Perbedaan negara demokrasi, otoriter, dan totaliter

• Perbedaan negara demokrasi dengan negara otoriter

1. Periode kepala negara: Negara demokrasi kepala negara dibatasi pada umumnya sekitar 4
sampai 5 tahun dan juga dibatasi hanya sampai dua periode untuk memimpin, sedangkan di
negara otoriter tidak dibatasi oleh apa pun terkait kepemimpinan ini.

2. Pemilihan kepala negara: Kepala negara demokrasi dipilih melalui pemilihan umum dengan
syarat suara terbanyak akan menjadi pemenang dan berhak memimpin, sedangkan pemilu di
negara otoriter hanya untuk formalitas dan bahkan tidak dilakukan pemilu sama sekali.
3. Pemegang kekuasaan tertinggi: Dalam negara demokrasi, pemegang kekuasaan dipegang
oleh kedaulatan rakyat. Pihak penguasa atau pemerintah menjadi pemegang kekuasaan
tertinggi dalam negara otoriter.

4. Kebebasan pers: Kebebasan pers di negara demokrasi ini bebas dalam memberitakan segala
hal yang berkaitan dengan pemerintahan selama itu valid dan bisa dipertanggung jawab kan. Di
negara otoriter pers dan media akan berjalan tertutup sehingga segala sesuatu tentang
pemerintahan hanya diberitakan sesuai keinginan pemerintah.

5. Pembagian kekuasaan: Negara demokrasi pembagian kekuasaan ini sesuai dengan trias
politika, dibagi menjadi tiga lembaga yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tidak ada
kekuasaan mutlak. Pembagian kekuasaan ini tidak ada dalam negara otoriter. Semua kekuasaan
hanya terpusat pada satu pihak ( absolut/mutlak).

6. Fungsi hukum: Hukum dalam negara demokrasi bertujuan untuk melindungi rakyat sehingga
bersifat netral untuk semua penggar hukum, fungsi hukum di negara otoriter digunakan untuk
legitimasi program penguasa. Sehingga sifatnya bisa saja sewenang wenang demi kepentingan
penguasa.

7. Cara penyelesaian masakah: Dalam negara demokrasi penyelesaian masalah dilakukan


melalui perundingan atau diskusi sehingga menimbulkan sesuatu yang disepakati bersama.
Sementara, penyelesaian masalah di negara otoriter ini diputuskan secara sepihak oleh
penguasa.

8. Sistem politik: Keputusan rakyat sangat penting dalam negara demokrasi. Karena itu,
dibentuk dewan parlemen yang mewakili rakyat dalam penyampaian aspirasinya. Sementara, di
negara otoriter hanya berlandaskan pada penguasa tanpa memperhatikan rakyat. Semua
kebijakan ditentukan oleh pemerintah dan pihak penguasa.

9. Kebebasan berpendapat: Perbedaan negara demokrasi dengan negara otoriter yang terakhir
yakni kebebasan berpendapat. Dalam negara demokrasi, hal ini berlaku bagi setiap orang.
Sehingga semuanya bebas mengungkapkan pendapatnya termasuk rakyat kecil sekalipun.
Sedangkan di negara otoriter, kebebasan berpendapat ini tidaklah berlaku. Segala kelompok
atau individu yang menentang atau mengkritik penguasa maka akan ditumpas.

• Perbedaan negara totaliter dengan negara lain

Negara totaliter merupakan negara bersifat lebih dari sekadar otoriter Negara totaliter sangat
tidak demokratis. Negara menguasai keseluruhan (totalitas) kehidupan berbangsa dan
bernegara. Seluruh aspek kehidupan warga negara diatur dan dikontrol oleh penguasa. Negara
totaliter bercirikan sebagai berikut:
a) pemerintahan memiliki kekuasaan tidak terbatas;

b) tidak menoleransi oposisi dan perbedaan pendapat;

c) mempraktikkan kontrol yang sangat ketat pada warga negara.

Negara totaliter bisa berbentuk rezim (penguasa) tunggal atau diktator dan rezim otokrasi
(penguasa yang terdiri dari beberapa orang). Para diktator yang pernah berkuasa di dunia,
antara lain Joseph Stalin di Uni Soviet, Adsif Hittler di Jerman, Muselini di Italia, dan Duvalier di
Haiti.

Prinsip-prinsip demokrasi:

• Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga

• Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah

• Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur

• Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum

• Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman

Sejarah Indonesia pada periode 1959 sampai 1966 adalah masa di mana sistem "Demokrasi
Terpimpin" sempat berjalan di Indonesia. Demokrasi Terpimpin adalah suatu sistem
pemerintahan yang dilaksanakan di Indonesia setelah lengsernya Demokrasi Parlementer. Ini
dikarenakan sistem Demokrasi Parlementer memang tidak sesuai dengan jiwa bangsa
Indonesia, dimana Demokrasi Parlementer yang lebih mengarah ke paham liberal sedangkan
Indonesia lebih ke sikap gotong-royongnya.

Demokrasi terpimpin merupakan penolakan terhadap sistem yang berlaku sebelumnya, ketika
politik sangat ditentukan oleh politik partai-partai melalui sistem free flight. Proses
pengambilan keputusan dalam demokrasi terpimpin didasarkan pada musyawarah dan mufakat
serta semangat gotong royong di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang kemudian
menampilkan Presiden Soekarno sebagai penguasa yang otoriter. Bersamaan dengan
penjelmaan kepemimpinan otoriter Soekarno, ada dua kekuatan lain yang mengokohkan
kekuatan politiknya, yaitu Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga pada
masa itu ada tiga kekuatan politik yang saling tarik menarik yaitu Soekarno, Angkatan Darat,
dan PKI.
Presiden Sukarno adalah salah satu faktor yang membuat Presiden Sukano kemudian
meningkatkan kecamannya pada masa Demokrasi Terpimpin ini. Strategi Presiden Sukarno
dalam rangka untuk mempertahankan kekuasaannya dari kekuatan-kekuatan lain seperti partai
oposisi (PSI dan Masyumi) masa itu dan tentara (AD) yang mungkin akan mengusik dan
menggoyahkan kekuasaannya di pemerintahan Demokrasi Terpimpin yaitu Presiden Sukarno
kemudian berusaha untuk menyeimbangi kekuatan-kekuatan ini, dengan pemantapan kembali
Nasakom yaitu persatuan antara golongan Nasionalis, Agama dan Komunis. Konsep Nasakom
ini sendiri sebenarnya, telah lahir dan dirumuskan oleh Sukarno sejak tahun 1926, yang pada
waktu itu diistilahkan dengan tiga hal pokok yakni "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.
Yang pada intinya di persatukan dalam satu tujuan yaitu Gotong- royong (bekerja bersama-
sama) untuk Revolusi Indonesia dalam melawan penjajahan.

Presiden Sukarno dalam rangka untuk menyelamatkan negara dari ketidakstabilan sosial-politik
dan keamanan pada masa itu kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 150 Tahun 1959 atau yang sering disebut dengan Dekrit 5 Juli 1959 yang inti isi pokoknya
ada tiga yaitu; pertama, pembubaran Konstituante; kedua, kembali berlakunya UUD 1945; dan
yang ketiga, pembentukan MPRS dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara).

Konsepsi Presiden Soekarno ini didasarkan pada penafsiran “terpimpin” dari isi pembukaan
UUD 1945, tepatnya sila keempat Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, dimana “terpimpin” diartikan
sebagai terpimpin secara mutlak oleh diri pribadinya dan menciptakan atribut “Pemimpin Besar
Revolusi, Panglima Tertinggi Angkatan Perang“, sehingga Presiden menjadi penguasa tertinggi
dan mutlak di dalam negara. Di dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden adalah mandataris
MPR. Dengan demikian, Presiden berada dibawah MPR. Namun dalam kenyataannya anggota
MPR (S) diangkat berdasarkan penetapan Presiden. Presidenlah yang menentukan apa saja
yang akan diputuskan MPR (S).

Hal ini berarti bahwa UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sebagai
akibatnya, terjadi ketidakstabilan kehidupan ketatanegaraan terutama dalam bidang politik. Hal
ini dapat kita lihat dari beberapa tindakan Soekarno yang otoriter seperti menetapkan Manipol
(Manifesto Politik) sebagai GBHN (Pen-Pres no. 1 tahun 1960), pembubaran DPR hasil Pemilu
(Pen-Pres no. 3 tahun 1960, pembentukan DPR Gotong Royong untuk mengganti DPR.

Meski diakui bahwa situasi politik pada masa awal demokrasi terpimpin tidak stabil namun
untuk mengatakan bahwa Soekarno seorang otoriter diperlukan penelaahan yang lebih
mendalam. Namun dapat disimpulkan bahwa tindakan Soekarno dalam menerapkan demokrasi
menimbulkan pro dan kontra, begitu juga penilaian terhadap tindakannya.
Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana seluruh keputusan dan
pemikiran berpusat pada pemimpin negara. Konsep sistem demokrasi terpimpin pertama kali
diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10
November 1956. Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) dimulai dengan tumbangnya
demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai pengunduran Ali Sastroamidjojo
sebagai perdana menteri.

Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca pemilihan umum 1955 membuat situasi
politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan
darurat. Hal ini diperparah dengan dewan konstituante yang mengalami kegagalan dalam
menyusun konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang
mantap.

Pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin, sebenarnya merupakan wujud dari obsesi Presiden
Soekarno yang dituangkan dalam konsepsinya pada tanggal 21 Februari 1957, yang isinya
mengenai penggantian sistem demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin, pembentukan
kabinet gotong royong, dan pembentukan dewan nasional.

DINAMIKA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL


KEPALA DAERAH
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) sekarang ini dilakukan secara langsung. Pemilihan kepala
daerah secara langsung ini telah berlangsung sejak tahun 2005, yang didasarkan pada
ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dengan berlandaskan pada
ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,
dan kota dipilih secara demokratis.

Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, kepala daerah seperti Gubernur (provinsi)
dan Bupati / Walikota (Kabupaten/ Kota) akan dipilih oleh rakyat. Pasal 56 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih
dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”

Mulai bulan Juni 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur/ Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, maupun Walikota/Wakil Walikota, dipilih secara langsung oleh
rakyat. Artinya, sejak kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara konseptual
telah terjadi pergeseran pelaksana kedaulatan, yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak
langsung oleh DPRD sekarang dilakukan sendiri oleh rakyat.

Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu instrumen untuk memenuhi desentralisasi
politik dimana dimungkinkan terjadinya transfer lokus kekuasaan dari pusat ke daerah.
Pemilihan kepala daerah sebagaimana pemilihan umum nasional merupakan sarana untuk
memilih dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui pemilihan kepala
daerah, rakyat secara langsung akan memilih pemimpin di daerahnya sekaligus memberikan
legitimasi kepada siapa yang berhak dan mampu untuk memerintah. Melalui pemilihan kepala
daerah perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan. Pemilihan kepala daerah dengan kata
lain merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk menentukan masa
depan pemerintahan yang absah (legitimate).

Pelaksanaan Pilkada langsung pada hakikatnya tidak hanya tujuan mengoptimalkan


demokratisasi di daerah, melainkan merupakan perwujudan dari prinsip otonomi daerah
seluas-luasnya. Semua tingkatan daerah di Indonesia diberikan hak untuk menyelenggarakan
Pilkada langsung, dengan tujuan agar rakyat di daerah yang bersangkutan dapat secara bebas
dan betanggungjawab memilih kepala daerahnya yang berkualitas. Tinggi rendahnya kualitas
kepala daerah yang terpilih sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat di daerah, tanpa
intervensi pemerintah pusat. Karena itu Pilkada langsung hakikatnya harus sepenuhnya dibiayai
oleh APBD, sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik yang diberikan oleh pemerintah
pusat.

Pemilihan kepala daerah secara langsung sesungguhnya merupakan sebuah respon kritik
konstruktif atas pelaksanaan mekanisme demokrasi tak langsung. Demokrasi tak langsung
seringpula diistilahkan sebagai demokrasi perwakilan. Artinya, di sini masyarakat secara
langsung mengartikulasikan berbagai kepentingannya kepada agenda kebijakan publik,
melainkan mewakilkannya para sejumlah orang kecil tertentu.

Dalam Pilkada langsung, terdapat kecenderungan incumbent terpilih kembali (menang) pada
Pasal 70 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2015 yang menyatakan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang
sama, dalam melaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan: a. tidak menggunakan
fasilitas yang terkait dengan jabatannya, b. menjalani cuti di luar tanggungan negara, dan c.
pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika pengaturan
terkait Petahana dalam UU No. 8 Tahun 2015 jika mencalonkan diri di daerah lain harus
berhenti semenjak ditetapkan sebagai calon sedangkan ketika maju kembali di daerah sendiri
cukup cuti.

Salah satu permasalahan yang timbul terhadap calon incumbent menjelang Pilkada serentak
2017, yaitu Judicial Review yang diajukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur
Petahana DKI Jakarta. Ketentuan mengenai cuti bagi kandidat petahana telah tercantum di
dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengenai Pilkada, yakni : (3) Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang mencalonkan
kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan:
Menjalani cuti di luar tanggungan negara dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait
dengan jabatannya.

Jika kita dapat menarik sejarah, sesungguhnya cuti bagi calon Petahana merupakan hasil
pembahasan bersama antara DPR dan Pemerintah, mengingat kewajiban pengunduran diri bagi
calon petahana telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, proses cuti bagi calon petahana
sesunggunya memiliki tujuan yang baik, yakni memberikan kesempatan kepada setiap orang
untuk dapat memenangkan proses Pilkada tersebut, dimana tentunya jika seorang petahana
tetap menjabat hingga proses kampanye dan pemilihan tentunya dapat memberikan dampak
negatif dan isu-isu politik, seperti kampanye terselubung dengan memanfaatkan baliho
pemerintah daerah dengan mencantumkan nama dan foto calon petahana, lalu mobilisasi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk memilih calon tertentu yang tentunya akan memberikan
dampak negatif bagi kemajuan demokrasi Indonesia.
Naila Putri Humaira

Nurul Hafidzah Khoirunnisa

Salma Nayasita Fakhira

Stevhanie Vallisia

Zetasha Merizka

Ganes Syabana Putra

Satrio Adib Zhafriansyah

Ryan Anwar

Anda mungkin juga menyukai