Anda di halaman 1dari 8

Proklamasi Kemerdekaan Dan Declaration Of Independence

Lepas dari adanya perbedaan persepsi yang timbul dikalangan kita, yang pasti Negara Republik
Indonesia telah berhasil di proklamasikan pada tanggal 17-8-1945 oleh Soekarno-Hatta. Disini kita akan
sedikit mengulas mengenai perbedaana antara proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan declaration of
independence Amerika Serikat.

Sebagai ilustrasi, kemerdekaan Amerika Serikat dinyatakan lewat teks sepanjang 1322 kata atau
7981 karakter. Kita mengenalnya sebagai Declaration of Independence. Dengan demikian lepas dari
panjang/pendeknya dua naskah itu, kita dengan amat mudah menemukan sejumlah perbedaan di antara
keduanya. Proklamasi ditandatangani oleh hanya dua orang saja, yaitu Soekarno-Hatta, yang mengatas
namakan bangsa Indonesia. Sementara Declaration of Independence ditandatangani oleh 57 orang yang
mewakili 13 daerah.

Apakah Soekarno-Hatta ingin tampil hanya berdua saja? Tentu tidak. Pada dini hari 17 Agustus
1945, setelah teks proklamasi berhasil disusun, Soekarno mengusulkan agar proklamasi ditandatangani
oleh semua hadirin yang datang, seperti juga Declaration of Independence. Ini ditenteng oleh golongan
muda, Chairul Saleh, salah seorang wakil angkatan muda yang hadir pada saat itu, mengusulkan agar
cukup Soekarno-Hatta saja yang menandatangani dengan mengatas namakan bangsa Indonesia. Usul
Chairul Saleh langsung diamini hadirin.

Apa artinya ini? Kita bisa bertanya, kenapa Chairul Saleh, Soekarni hingga Wikana melewatkan
begitu saja kesempatan lebar untuk mencatatkan namanya dalam teks yang begitu penting dan bersejarah
itu? Adakah para pemuda itu merasa minder di hadapan "duet orang tua" yang tiga hari sebelumnya
pernah mereka paksa untuk secepatnya memerdekakan Indonesia dan sehari sebelumnya berhasil
mereka culik ke Rengasdengklok? Tidakkah mereka sadar bahwa dengan mengusulkan Soekarno-Hatta
saja yang menandatangani proklamasi mereka ikut andil dalam melahirkan sebuah teks yang dari
penampilan lahiriahnya mudah untuk ditafsirkan sebagai teks yang "elitis"?

Kita belum menemukan daftar lengkap siapa saja orang-orang yang hadir pada malam itu. Tapi
dari memoar Kasman Singodimedjo, mantan komandan PETA yang kelak menjadi ketua KNIP pertama,
kita menemukan penjelasan bahwa sikap angkatan muda itu didorong oleh keinginan untuk menutup
kemungkinan orang-orang yang bekerja sama dengan Jepang yang hadir malam itu untuk ikut-ikutan

Sydd
menandatangani teks Proklamasi. Para pemuda khawatir jika kemerdekaan Indonesia akan dianggap
sebagai hadiah Jepang.

Karena sadar bahwa Soekarno-Hatta adalah orang yang bekerjasama dengan Jepang itulah maka
Soekarno-Hatta akhirnya menunjuk Sjahrir untuk memimpin KNIP (semacam parlemen dalam bentuknya
yang sederhana) dan akhirnya menyepakati ditunjuknya Sjahrir sebagai Perdana Menteri pada November
1945? Sjahrir, bersama Amir Sjarifuddin, adalah contoh dari pemimpin pergerakan yang menolak
bekerjasama dengan Jepang.

Sutan Sjahrir adalah orang golongan muda yang pernah menyiapkan sebuah teks proklamasi yang
sempat dibacakan oleh Dr. Soedarsono (ayah dari Menlu RI Juwono Soedarsono) di daerah Kosambi,
Cirebon (sekarang di sekitar Rumah Sakit Gunung Jati Cirebon), pada 16 Agustus 1945. Sjahrir
menuliskan teks proklamasi pada 15 Agustus 1945, dua hari lebih dulu dari teks proklamasi yang kita kenal
sekarang. Teks itu sempat pula beredar di tangan orang-orang yang pada malam 16 Agustus 1945 hadir
dalam rapat penyusunan teks proklamasi Proklamasi di rumah Laksamana Maeda.

Kita tidak akan dapat menperkirakan sejarah apa yangakan kita alami seandainya naskah
proklamasi tulisan Sutan Syahri ini yang di bacakan? Akan berubahkan wajah revolusi Indonesia, jika kata
revolusi bisa disebut di situ? Sayang kita tidak pernah membaca utuh teks proklamasi kemerdekaan yang
ditulis oleh Sjahrir. Kita tidak juga menemukan teks itu dalam biografi terlengkap Sjahrir yang ditulis oleh
Rudolf Mrazek.

Sjahrir, yang di kenal dari tulisan-tulisan dia yang melimpah, adalah prototipe pemimpin
pergerakan golongan muda yang banyak sekali menulis tema-tema yang rumit, dari filsafat, politik,
ekonomi, budaya hingga kesusastraan. Di seluruh tulisan-tulisannya, kentara benar semangat menghargai
harkat kemanusiaan dan hak-hak manusia. Pandangan ini pula yang membuatnya mengritik tajam
gagasan revolusi yang penuh kekerasan seperti digelar oleh para pemuda yang bersemangat di bulan-
bulan pertama kemerdekaan.

Kita pernah mencatatdi hari-hari pertama menjadi Perdana Menteri, Sutan Sjahrir bahkan
menerbitkan buku tipis Perjuangan Kita yang banyak sekali mengritik gagasan-gagasan revolusi yang
baginya berpotensi mengebiri kemanusiaan. Sjahrir selalu was-was dengan apa yang dilakukan oleh Stalin
di Sovyet.

Sydd
Jika demikian, mungkinkah Proklamasi ala Sjahrir jauh lebih eksplisit menyuarakan penghormatan
atas hak-hak asasi manusia seperti yang dinyatakan dengan eksplisit dalam Declaration of Inependence?
Mungkinkan Sjahrir akan "membayar" absennya dia dalam sidang-sidang BPUPKI yang membuat Hatta
dan Yamin harus kerepotan menahan gempuran Soekarno-Soepomo yang bertahan menolak
dimasukkannya klausul hak-hak warga negara dalam konstitusi Indonesia?

Pengandaian kita itu tentu saja hanya menjadi pengandaian karena nyatanya kita hanya mengenal
teks Proklamasi yang ditandatangani oleh Soekarno-Hatta, sebuah teks yang panjangnya hanya 23 kata,
yang secuil pun tak berbicara ihwal hak-hak kemanusiaan. Teks proklamasi lebih mirip sebuah
pengumuman. Unsur pengumuman kemerdekaan sebuah bangsa sebenarnya bisa kita temukan dalam
Declaration of Independence. Bedanya, Declaration of Independence memuat keyakinan-keyakinan
filosofis yang mendasari gerakan kebangsaan Amerika. Declaration of Independence menghadirkan
sebuah komposisi yang tampak seperti pemaparan yang digerakkan oleh logika Aristotelian.

Premis mayor: "Kita akan menemukan pernyataan yang bisa dibaca sebagai premis mayor pada
paragraf kedua. Di sana tertulis: "Kami berpegang teguh pada kebenaran-kebenaran ini, bahwa semua
manusia diciptakan sederajat, bahwa mereka dianugerahi pencipta-Nya Hak-hak asasi yang melekat, di
antaranya adalah kehidupan, kemerdekaan dan hak untuk mencapai kebahagiaan. Untuk melindungi hak-
hak itu ini, pemerintahan-pemerintahan pun dibentuk di antara manusia, kekuasaan mereka berasal dari
yang diperintah, sehingga kapan saja sebuah bentuk pemerintah menjadi bersifat merusak terhadap tujuan
ini menjadi hak rakyat untuk menggantinya atau menghapuskannya, dan membentuk pemerintahan baru,
yang berlandaskan prinsip-prinsip tertentu, sehingga bagi orang-orang hal ini dinilai paling bisa menjamin
keselamatan dan kebahagiaan mereka."

Premis minor: "Sekarang ini, sejarah raja Inggris Raya adalah sejarah perampasan dan kejahatan
yang dilakukan secara berulang-ulang, yang memiliki tujuan langsung yaitu untuk mendirikan suatu tirani
mutlak...." Kesimpulan: "Karena itu, kami... dengan khidmat mengeluarkan dan mengumumkan bahwa
koloni-koloni yang bersatu ini adalah dan berhak menjadi negara-negara yang bebas dan merdeka."

Logika Aristotelian (yang kondang dengan sebutan silogisme) dibangun oleh keberadaan dua
premis yaitu premis mayor dan premis minor. Premis mayor diisi oleh pernyataan yang sifatnya umum
(katakanlah universal). Sementara premis minor berisi pernyataan yang sifatnya lebih khusus. Dari sanalah
kemudian dibangun kesimpulan.
Sydd
Apa yang kita kutip di atas sebagai premis mayor sepenuhnya berisi asumsi-asumsi filosofis yang
mendasar yang mengalas dasari hak merdeka setiap bangsa, yang dalam diri setiap manusia diandaikan
memiliki hak-hak dasar yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada mereka. Sementara yang kita kutip
sebagai premis minor berisi pernyataan situasi khusus-konkrit yang dianggap tidak sesuai dengan hak-hak
dasar yang diberikan Sang Pencipta, di mana kerajaan Inggris didakwa telah menggelar sejarah
perampasan dan kejahatan. Sementara bagian yang kita kutip sebagai kesimpulan dimaknai sebagai "kata
akhir" yang disepakati oleh para founding fathers Amerika sebagai jalan untuk mengembalikan dan
menegakkan persamaan dasar dan hak-hak asasi manusia.

Declaration of Independence, terutama bagian-bagian yang kita sebut sebagai premis mayor,
menggemakan kembali semangat yang bisa kita temukan dalam karya John Locke, terutama naskah
Second Treatise of Government, yang menggambarkan dengan baik upaya Locke untuk mentransformir
hak-hak dasar warga Inggris menjadi hak-hak manusia yang sifatnya universal. Jefferson sendiri, seperti
yang kita baca dari buku Profiles in Courage yang ditulis John F Kennedy, mengakui inspirasi yang
diberikan John Locke.

Selain itu, semangat Declaration of Independence juga dipicu oleh seratus ribu kopi buku tipis
Thomas Paine yang beredar tiga bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Amerika dibacakan pada 4 Juli
1776. Buku tipis Paine yang berjudul Common Sense itu secara terang-terangan mengritik monarki Inggris
yang diwariskan turun temurun. Paine menyodorkan pilihan untuk tunduk pada tirani Inggris ataukah
kebebasan dan kebahagiaan sebagai republik yang merdeka dan mandiri. Dengan nada yang telengas,
Paine menulis: "Seorang lelaki yang jujur jauh lebih berguna ketimbang semua cecunguk dan antek-antek
kerajaan yang pernah ada."

Declaration of Independence, di antaranya adalah Thomas Jefferson. Declaration of Independence


disebut-sebut sebagian besar ditulis oleh Jefferson. Ketika itu Jefferson baru berusia 33 tahun, 8 tahun
lebih muda dari Soekarno dan 7 tahun lebih muda dari Hatta ketika keduanya bersama-sama merumuskan
Proklamasi.

Declarations of Independence, lebih menyerupai sebuah paparan historis perubahan kekuasaan berbeda
denganr proklamasi yang ditandatangani oleh Soekarno-Hatta. Sama sekali tak ada argumen filosofis di
sana. Poklamasi Indonesia hanya berisi pengumuman. Jika logika Aristotelian masih bisa disebut di sini,
teks Proklamasi langsung meloncat pada bagian "kesimpulan".
Sydd
Di sana ada pengumuman bahwa sebuah bangsa telah menyatakan kemerdekaannya, seperti
terbaca dalam kalimat pertama yang berbunyi: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia." Dengan cara apa kemerdekaan itu dinyatakan? Dengan cara apa kemerdekaan
itu diisi? Dan untuk apa kemerdekaan itu dinyatakan?

Pertanyaan-pertanyaan itu, juga deretan pertanyaan lain, tak akan pernah kita temukan
jawabannya dalam teks Proklamasi. Di sana hanya akan kita temukan sebuah pengumuman yang benar-
benar umum dan sama sekali tak memberi informasi yang memadai: "Hal-hal jang mengenai pemindahan
kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja."

Ada dua hal mencolok mata. Pertama, keberadaan kata "d.l.l" (Hal-hal jang mengenai pemindahan
kekoeasaan d.l.l.). Bayangkan, dalam teks yang sudah demikian pendek pun masih ada kata "d.l.l". Teks
yang sudah amat pendek itu pun masih coba diperpendek lagi. Kedua, ketiadaan "subyek" dalam kalimat
kedua (Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan
dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.).

Siapa yang memindahkan? Dari siapa dipindahkan? Jepang-kah? Bukankah Jepang tidak layak
memerdekakan karena ia sendiri sudah kalah dalam perang? Sekutu-kah? Nyatanya Sekutu belum lagi
datang dan baru datang pada bulan-bulan terakhir September 1945? Siapa yang akan menyusun
pemindahan itu secara cermat? Soekarno-Hatta kah? Bukankah Soekarno-Hatta belum dipilih oleh rakyat
Indonesia? Lagipula, adakah rakyat Indonesia dalam sebuah negara yang baru keesokan harinya
dideklaraskan? Apa pula maksudnya kata "cermat" dan "tempo yang sesingkat-singkatnya" di kalimat itu?

Teks Proklamasi kemerdekaan itu memang bersejarah, tapi jika membacanya hanya dalam
selintas pandang, teks Proklamasi sama sekali tak ada keterangan atau pun nukilan yang bisa renungkan
sebagai kata mutiara, aforisme, quotations, atau apa pun namanya. Tak ada kata-kata yang canggih,
retorika yang cemerlang, atau pun nada yang gagah. Teks proklamasi itu begitu datar, juga dingin.

Teks Proklamasi, pada level-level tertentu, tak ubahnya sebagai pengumuman yang dari sana
kelahiran sebuah bangsa yang merdeka hendak diumumkan. Apa resikonya sebuah teks yang diniatkan
hanya sebagai tulisan pengumuman? Resikonya terletak pada kesementaraan teks itu. Seperti jika kita
membaca sebuah pamflet yang mengabarkan sebuah acara, begitu kita tahu di mana dan kapan acara

Sydd
yang diwartakan itu digelar, selesai pula tugas pamflet pengumuman itu. Setelah tugas memberi tahu atau
mengumumkan itu terlaksana, teks kemudian berubah menjadi arsip.

Proklamasi memang dibuat dengan tergesa-gesa. Berbeeda sekali dengan Declaration of


Independence sudah dirancang sejak Juni 1776, dan baru dibacakan secara resmi pada 4 Juli 1776.
Sementara Proklamasi ditulis dan dibacakan hanya dalam rentang waktu tidak sampai sehari semalam.
Semuanya serba tergesa dan juga tak menentu. Kenapa orang-orang yang malam itu berkumpul di
kediaman Laksamana Maeda tidak mencoba mengadopsi Mukaddimah UUD 1945 yang sudah disepakati
pada penutupan sidang BPUPKI pada 17 Juli 1945 yang juga sudah disusun pada sidang BPUPKI,
barangkali seperti Jefferson mengadopsi butir-butir pemikiran John Locke ke dalam Declaration of
Independence?

Mukaddimah UUD 1945, yang tujuh kali lebih panjang dari teks Proklamasi (terdiri atas 177 kata
atau 1415 karakter), mempunyai kemiripan dengan Declaration of Independence. Paragraf pertama
mukaddimah menyuarakan semangat yang sama dengan paragraf yang saya kutip sebelumnya sebagai
premis mayor Declaration of Independence. Di sana tertulis: "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan."

Lagipula, Mukaddimah UUD 1945 berikut pasal-pasal dan ayat-ayat UUD 1945 yang dihasilkan
BPUPKI disusun dengan waktu yang juga pendek. Bayangkan, waktu penyusunan UUD 1945 yang terdiri
dari puluhan pasal dan kelak akan menjadi konstitusi negara, disusun dalam waktu yang lebih pendek dari
penyusunan Declaration of Independence. Mukaddimah, draft UUD 1945 hingga Pancasila disusun hanya
dalam "tempo jang sesingkat-singkatnja", hanya dalam waktu 13 hari saja (5 hari dalam sidang I BPUPKI
dan delapan hari dalam Sidang II BPUPKI). UUD 1945, pendeknya, juga dihasilkan dalam satu periode
yang pendek, tergesa-gesa dan didera oleh banyak sekali ketidakpastian.

Kita pernah membaca 3 jilid Risalah BPUPKI yang disusun oleh Muhammad Yamin. Beberapa kali
kita menemukan keterangan bagaimana perdebatan yang serius mendadak dihentikan oleh Radjiman
Wedyodiningrat, seorang bangsawan Jawa yang menjadi Ketua Sidang BPUPKI. Sering sekali Radjiman
menyetop perdebatan dengan ketukan palu yang disertai seruan: "Sudah, kita stem (voting) saja!" Kadang-
kadang muncul interupsi dan protes yang meminta agar perdebatan dan segala duduk perkara yang

Sydd
dipersoalkan dibiarkan jelas dulu. Tapi bukan sekali dua jika Radjiman bersikeras berseru: "Siapa yang
setuju silaken berdiri selekas-lekasnya!"

Kita bisa mengerti jika Taufik Abdullah pernah berkomentar: "Sekiranya pembicaraan di sidang-
sidang BPUPKI diperlakukan hanya sebagai sumber sejarah pemikiran, barangkali kita akan berhadapan
dengan sumber sejarah yang menjengkelkan." Bagaimana pun, dengan gaya "kita stem saja" itu, sebuah
konstitusi telah berhasil dirumuskan. Dengan perdebatan-perdebatan yang seringkali belum tuntas, bentuk
negara, wilayah republik, struktur negara dan pemerintahan berhasil dibentuk dalam waktu yang begitu
terbatas (karena waktunya memang dibatasi oleh Jepang).

Begitu juga teks Proklamasi. Pernyataan kemerdekaan yang sudah dimimpi-mimpikan puluhan
tahun sebelumnya, mau tidak mau, harus dirumuskan dan diselesaikan dalam waktu beberapa jam saja,
dipenuhi ketergesa-gesaan, ketidakpastian dan juga keraguan. Semuanya, baik UUD 1945 berikut
Mukaddimah-nya dan juga teks Proklamasi, dibuat (pinjam kalimatnya Proklamasi) "dalam tempo yang
sesingkat-singkatnja".

Bagi kita, baik teks Proklamasi maupun teks-teks yang dihasilkan oleh BPUPKI, lebih merupakan
dokumen yang merekam dengan baik keberanian sekaligus ketakutan, keyakinan sekaligus keraguan,
kekerashatian sekaligus juga kerendah-hatian. Mereka, para founding fathers itu, menyusun semuanya
dalam keyakinan bahwa biar bagaimana pun negara Indonesia yang merdeka mesti direalisasikan. Mereka
berada dalam situasi yang tak memungkinkan mereka kembali pada masa silam. Mereka sudah tak
mungkin lagi memercayai nasib mereka diserahkan kepada orang-orang asing. Nasib mereka mesti
diserahkan pada diri sendiri.

Mereka tak bisa lagi berlama-lama berpikir dan merenung. Bukan karena mereka tak mampu
berpikir dan tak mampu merenung. Sebagian terbesar dari mereka adalah para penulis, pemikir dan
intelektual yang tangguh. Masalahnya, Jepang sudah kalah dan Sekutu hanya tinggal menunggu waktu
untuk meringkus semuanya. Situasi inilah yang membuat mereka tak bisa lagi banyak merenung dan
berpikir dan akhirnya diam-diam sepakat dengan gaya "Kita stem saja" yang dilakukan Radjiman berkali-
kali dalam sidang BPUPKI.

Orang yang begitu berhati-hati dalam berpikir dan bertindak seperti Hatta pun akhirnya larut dalam
arus "Kita stem saja" itu. Dalam situasi-situasi genting itu, barangkali orang-orang seperti Hatta ingat kata-

Sydd
kata Hamlet, pangeran peragu dan bimbang dari Denmark dalam drama Shakespeare, yang akhirnya
berani juga bertindak seraya menarik kesimpulan bahwa terkadang berlarut-larut dalam pikiran, "sebagian
membuat kita arif, dan tiga bagian membuat kita pengecut."

Adalah tidak masuk akal berharap para founding fathers itu bisa menyelesaikan semuanya dengan
baik, sempurna, tanpa lobang di sana-sini, sama tidak masuk akalnya dengan memerlakukan semua
fondasi yang mereka letakkan sebagai barang keramat yang tak tersentuh.

Yang jelas proklamasi kemerdekaantelah dilakukan, pertanyaan kita selanjutnya adalah, akan
dikemanakan Negara ini yang telah dibangun oleh darah rakyat Indonesia, masih pantaskah kita
mempertanyakan proses kemerdekaan dan segala semua perbedaan kamerdekaan dengan bangsa lain?

Sydd

Anda mungkin juga menyukai