Anda di halaman 1dari 17

1.

Sejarah Hak Asasi Manusia


1.1 Sejarah Hak Asasi Manusia (HAM) di Dunia
Dunia barat (Eropa) paling dahulu menyuarakan HAM, dimana berdasarkan
sejarah Hak Asasi Manusia, Inggris yang paling utama menyerukan. Tecatat di
Inggris terdapat seorang filsuf yang mengungkapkan gagasan atau merumuskan
adanya hak alamiah (natural rights), yaitu Jhon Locke pada abad 17. Sejarah
perkembangan Hak Asasi Manusia di dunia barat ditandai dengan tiga hal penting,
yaitu Magna Charta, terjadinya revolusi Amerika dan revolusi Prancis.
Sejarah perkembangan HAM tidak terlepas dengan sejarah berdirinya
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ketika menandatangani Piagam PBB pada Tahun
1945, timbul pemikiran tentang perlu adanya hak-hak manusia yang perlu dijunjung
tinggi sebagai hak asasi yang menjadi tanggungjawab inrernasional. Maka pada
Tahun 1946, PBB membentuk Komisi Hak Asasi Manusia dengan tugas untuk
merumuskan rancangan ketentuan internasional tentang hak-hak asasi manusia.
Sebagai hasil kerja Komisi ini, maka pada tanggal 10 Desember 1948
dideklarasikanlah Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia). Sejarah lahirnya HAM melalui perjalanan panjang.
Substansi HAM didasari pada naskah-naskah yang terdapat dalam :
1. Maghna Charta Liberium Inggris (1215)
Sejarah telah mencatat bahwa inggris memberikan jaminan pada para bangsawan
serta keturunannya yang tidak memenjarakan mereka sebelum melelui proses
pengadilan. . Jaminan tersebut diberikan karena para bangsawan telah berjasa
dalam membiayai kerajaan, sebagai bentuk balas budi, pihak kerajaan
memberikan jaminan, yang dinamakan magnha charta liberium. Jaminan atau
perjanjian tersebut dibuat pada masa raja Jhon tahun 1215 Masehi. Pada masa itu
bangsawan meminta jaminan sebab kebanyakkan raja jaman dahulu bertindak
sesuka hati, membuat hukum sendiri sedangkan raja kebal terhadap hukum.
Hampir semua aturan yang dibuat menguntungkan raja. Meskipun Maghna Charta
tidak berlaku untuk semua, atau dalam artian hanya untuk para bangsawan, akan
tetapi kita tidak bisa memungkiri bahwa Maghna Charta merupakan tonggak awal
perkembangan HAM di dunia.
2. Revolusi Amerika (Bagian Sejarah HAM 1776)
Revolusi Amerika pada tahun 1776 merupakan peperangan rakyat Amerika
melawan penjajah Inggris,  disebut  Declaration of
Independence (Deklarasi Kemerdekaan) dan Amerika Serikat menjadi negara
merdeka tanggal 4 Juli 1776 merupakan hasil dari revolusi ini. Hasil revolusi ini
adalah kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 dari Inggris. Pada tahun yang
sama amerika membuat sejarah dengan menegakan Hak Asasi Manusia, yaitu
memasukannya aturan HAM kedalam perundangan negara. Hak Asasi Manusia di
Amerika dalam perkembangannya lebih komplek dari pada HAM di Inggris.
Bahkan HAM terus disuakan sampai saat ini baik oleh pemerintah maupun rakyat.
3. Revolusi Prancis (1789)
Revolusi Prancis adalah bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya sendiri
(Louis XVI) yang telah bertindak sewenang-wenang dan absolut. Declaration
droits de fhomme et du citoyen (Pernyataan Hak-Hak Manusia dan Warga
Negara) dihasilkan Revolusi Prancis. Pernyataan ini memuat tiga hal: hak atas
kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan (fraternite). Dalam
perkembangannya, pemahaman mengenai HAM makin luas. Sejak permulaan
abad ke-20, konsep hak asasi berkembang menjadi empat macam kebebasan (The
Four Freedom). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Amerika
Serikat, Franklin D. Rooselvelt. Keempat macam kebebasan itu meliputi :
- Kebebasan untuk beragama (freedom of religion);
- Kebebasan untuk berbicara dan berpendapat (freedom of speech);
- Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want);
- kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).
2. Sejarah HAM di Indonesia
2.1 PEMIKIRAN DAN PERKEMBANGAN HAM DI INDONESIA
Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia mengalami pasang dan surut yang
secara jelas dapat terlihat melalui tabel periodesasi sejarah Indonesia, mulai tahun
1908 hingga sekarang. Pada dasarnya, konsep HAM bukanlah semata-mata sebagai
konsep tentang hak-hak asasi individual, melainkan juga kewajiban-kewajiban asasi
yang menyertainya. Periode perkembangan HAM di Indonesia dipaparkan sebagai
berikut:
1. Periode 1908-1945
2. Periode 1945-1950
3. Periode 1950-1959
4. Periode 1959-1966
5. Periode 1966-1998
6. Periode 1998-sekarang

1. Periode 1908-1945

Konsep pemikiran HAM telah dikenal oleh Bangsa Indonesia terutama sejak
tahun 1908 lahirnya Budi Utomo, yakni di tahun mulai timbulnya kesadaran akan
pentingnya pembentukan suatu negara bangsa (nation state) melalui berbagai
tulisan dalam suatu Majalah Goeroe Desa. Konsep HAM yang mengemuka
adalah konsep-konsep mengenai hak atas kemerdekaan, dalam arti hak sebagai
bangsa merdeka yang bebas menentukan nasib sendiri (the rights of self
determination).

Namun HAM bidang sipil, seperti hak bebas dari diskriminasi dalam segala
bentuknya dan hak untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat mulai juga
diperbincangkan. Bahkan konsep mengenai hak untuk turut serta dalam
pemerintahan telah dikemukakan oleh Budi Utomo. Perkembangan HAM di
Indonesia selanjutnya tumbuh seiring dengan kemunculan berbagai organisasi
pergerakan yang intinya sebagaimana diperjuangkan oleh Perhimpunan Indonesia
yaitu hak menentukan nasib sendiri.

Pada masa-masa selanjutnya, pemikiran tentang demokrasi asli Bangsa


Indonesia yang antara lain dikemukakan Hatta, makin memperkuat anggapan
bahwa HAM telah dikenal dan bukanlah hal baru bagi Bangsa Indonesia.
Perkembangan pemikiran HAM mengalami masa-masa penting manakala terjadi
perdebatan tentang Rancangan UUD oleh BPUPKI. Supomo mengemukakan
bahwa HAM berasal dari cara berpikir yang liberal dan individualistik yang
menempatkan warga negara berhadapan dengan negara, dan karena itu, paham
HAM tidak sesuai dengan “ide integralistik dari Bangsa Indonesia”.

Menurut Supomo manusia Indonesia menyatu dengan negaranya dan karena


itu tidak masuk akal mau melindungi individu dari negara. Debat ini muncul
kembali pada pertengahan Juli 1945. Sukarno mengemukakan bahwa keadilan
yang diperjuangkan bagi Bangsa Indonesia bukanlah keadilan individual,
melainkan keadilan sosial dan karena itu HAM dan hak-hak dasar warga negara
tidak pada tempatnya dalam UUD.

Sebaliknya, Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin memperingatkan


bahwa bisa saja negara menjadi negara kekuasaan dan karena itu hak-hak dasar
warga negara perlu dijamin. Akhirnya tercapailah Pasal 28 UUD 1945, dimana
hak-hak dasar demokratis seperti hak untuk berserikat dan berkumpul dan untuk
menyampaikan pendapat diatur. Hak asasi barulah mendapatkan tempat yang
penting utamanya pada masa KRIS 1949 dan UUDS 1950, karena kedua UUD
atau konstitusi itu memuat HAM secara terperinci. Hal itu disebabkan KRIS 1949
dibuat setelah lahirnya Declaration of Human Right 1948, sedangkan UUDS 1950
adalah perubahan dari KRIS 1949 melalui UU Federal No. 7 tahun 1950.

2. Periode 1950- 1959


Meskipun usia RIS relatif singkat, yaitu dari tanggal 27 Desember 1949
sampai 17 Agustus 1950, namun baik sistem kepartaian multi partai maupun
sistem pemerintahan parlementer yang dicanangkan pada kurun waktu
pertama berlakunya UUD 1945, masih berlanjut.
Kedua sistem yang menumbuhkembangkan sistem politik demokrasi
liberal/parlementer tersebut semakin berlanjut setelah Indonesia kembali
menjadi negara kesatuan dengan berlakunya UUDS 1950 pada periode 17
Agustus 1950- 5 Juli 1959. bahkan pada periode ini suasana kebebasan yang
menjadi semanggat demokrasi liberal sangat ditenggang, sehingga dapat
dikatakan bahwa baik pemikiran maupun aktualisasi HAM pada periode ini
mengalami “pasang” dan menikmati “bulan madu”. Karena:
1. semakin banyaknya tumbuh partai politik dengan beragam ideologinya
masing-masing;
2. kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul
menikmati kebebasannya;
3. Pemilihan Umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam
suasana kebebasan, fair dan demokratis;
4. Parlemen atau Dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari
kedaulatan rakyat menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakilwakil rakyat
dengan melakukan kontrol atau pengawasan;
5. Wacana dan pemikiran tentang HAM memperoleh iklim yang kondusif.
Satu hal yang penting adalah bahwa semua partai, dengan pandangan
ideologis yang berbeda-beda, sepakat bahwa HAM harus dimasukan ke dalam
bab khusus yang mempunyai kedudukan sentral dalam batang tubuh UUD.

3. Periode 1959-1966

Memasuki periode kedua berlakunya UUD 1945 yaitu sejak


dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, gagasan atau konsepsi Presiden
Soekarno mengenai demokrasi terpimpin dilihat dari sistem politik yang berlaku
yang berada di bawah kontrol/kendali Presiden. Dalam perspektif pemikiran
HAM, terutama hak sipil dan politik, sistem politik demokrasi terpimpin tidak
memberikan keleluasaan ataupun menenggang adanya kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan.

Di bawah naungan demokrasi terpimpin, pemikiran tentang HAM


dihadapkan pada restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga
mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang berbanding terbalik
dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer.

4.Periode 1966-1998

Pemberontakan G30S/PKI tanggal 30 September 1966 yang diikuti


dengan situasi chaos mengantarkan Indonesia kembali mengalami masa kelam
kehidupan berbangsa. Presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar yang
dijadikan landasan hukum bagi Soeharto untuk mengamankan Indonesia.
Masyarakat Indonesia dihadapkan kembali pada situasi dan keadaan dimana
HAM tidak dilindungi.

Hal ini disebabkan oleh pemikiran para elite kekuasaan terhadap HAM.
Umumnya era ini ditandai oleh pemikiran HAM adalah produk barat. Pada saat
yang sama Indonesia sedang memacu pembangunan ekonomi dengan
mengunakan slogan “pembangunan” sehingga segala upaya pemajuan dan
perlindungan HAM dianggap sebagai penghambat pembangunan. Hal ini
tercermin dari berbagai produk hukum yang dikeluarkan pada periode ini, yang
pada umumnya bersifat restriktif terhadap HAM.

Pada pihak lain, masyarakat umumnya diwakili LSM dan kalangan


akademisi berpandangan bahwa HAM adalah universal. Keadaan minimnya
penghormatan dan perlindungan HAM ini mencapai titik nadir pada tahun 1998
yang ditandai oleh turunnya Soeharto sebagai Presiden. Periode 1966-1998 ini
secara garis besar memiliki karakteristik tahapan berikut:

1.Tahap represi dan pembentukan jaringan (repression and activation of


network) Pada tahap ini Pemerintah melakukan represi terhadap segala bentuk
perlawanan yang menyebabkan kelompok tertindas dalam masyarakat
menyampaikan informasi ke masyarakat internasional. Konflik berdarah yang
dimulai di Jakarta, ditandai dengan terbunuhnya pada Jenderal, disusul dengan
munculnya konflik langsung yang melibatkan tentara, penduduk sipil serta orang-
orang yang dianggap simpatisan PKI.

Pembunuhan, baik dalam bentuk operasi militer maupun konflik sipil


terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, dengan jumlah korban yang berbeda
di tiap Provinsi. AD secara ressi menyimpulkan bahwa jumlah korban di seluruh
Indonesia 78.000. orang. Ditengah-tengah keprihatinan akan runtuhnya supremasi
hukum atas banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di periode ini, hasil
pembentukan jaringan menampakan hasilnya dengan dibebaskannya hampir
seluruh tahanan politik PKI pada tahun 1970-1979. Namun, tindakan represif
Orde Baru tetap berlangsung terutama terhadap gerakan mahasiswa dan aktivis
yang kritis terhadap pemerintah.

2.Tahap Penyangkalan Tahap ini ditandai dengan suatu keadaan dimana


pemerintah otoriter dikritik oleh masyarakat Internasional atas pelanggaran-
pelanggaran HAM yang terjadi, jawaban yang umumnya diberikan oleh
pemerintah adalah bahwa HAM merupakan urusan domestik sehingga kritikan
dianggap sebagai campur tangan terhadap kedaulatan negara.

Tampaknya pada masa penyangkalan ini Pemerintahan Soeharto yang


mendasarkan HAM pada konsepsi negara integralistik yang dikemukakan
Supomo, yang tampaknya lebih mengedepankan kewajiban dibanding hak. Hal ini
sebetulnya rancu, karena paham integralistik telah ditolak pada pembahasan
naskah UUD, dan Supomo sendiri akhirnya menerima usul Hatta dan Muhammad
Yamin untuk memasukan hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran ke
dalam UUD. Kritik internasional yang berlanjut atas berbagai pelanggaran HAM
TimorTimur, kasus Tanjung Priok, kasus DOM Aceh, kasus Kedung Ombo,
peristiwa Santa Cruz coba diatasi dengan membentuk Komnas HAM pada tahun
1993.

3.Tahap Konsesi Taktis Pada tahap ini Pemerintah Orde Baru terdesak dan
diterpa krisis moneter pada tahun 1997. Indonesia mulai menerima HAM
internasional karena membutuhkan dana untuk membangun. Pada bagian lain
kekuasaan Orde Baru mulai melemah, puncaknya terjadi pada bulan Mei 1998
yang diwarnai dengan peristiwa berdarah 14 Mei 1998. Demonstrasi mahasiswa
yang terjadi secara besar-besaran telah menurunkan Soeharto sebagai Presiden.

4.Tahap Penentuan Banyaknya norma HAM internasional yang diadopsi


dalam peraturan perundang-undangan nasional melalui ratifikasi dan
institusionalisasi. Beberapa kemajuan dapat dilihat dari berbagai peraturan
perundang-undangan HAM yaitu diintegrasikannya HAM dalam perubahan UUD
1945 serta dibentuknya peraturan perundangan HAM.
3. Teori HAM
3.1 Konsep Dasar Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa
semata-mata karena ia manusia. Hak ini melekat pada setiap diri manusia dan bersifat
tidak dapat dicabut (inalienable). Hak ini bukan merupakan hukum positif atau
pemberian masyarakat terhadap satu individu atau dapat dibedakan dengan individu yang
lain. Oleh karena itu, apapun alasan perbedaan suku, bahasa, ras, keyakinan, warna kulit,
negara, maupun seseorang melakukan kejahatan paling berat sekalipun, seseorang tidak
akan kehilangan martabatnya dan hak asasi sebagai manusia.

Gagasan mengenai Hak Asasi Manusia bersumber dari teori hukum kodrati (natural
law theory) Thomas Aquinas. Ia membedakan hukum menjadi empat hal, yaitu:

a. lex aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancar indera
manusia).

b. lex divina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh pancar indera manusia).

c. lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio manusia).

d. lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia).

Menurut Hugo De Groot atau Grotius, sumber hukum adalah tolak ukur yang
membedakan sifat-sifat manusia dengan makhluk lain, yaitu dengan kemampuan akal
yang dimilikinya. Sedangkan hukum alam adalah hukum yang muncul sebagai kodrat
manusia melalui akalnya, tetapi tuhan yang memberikan kekuatan dan mengikatnya.

Grotius membuat landasan-landasan pembatasan terhadap hukum yang dibuat


manusia. Pembatasan tersebut dilakukan dengan pembentukan tiang hukum alam yaitu:
semua prinsip kupunya dan kau punya. Milik orang lain harus dijaga; prinsip kesetiaan
pada janji; prinsip ganti rugi dan prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas
hukum alam. Dengan demikian hukum akan ditaati karena hukum akan memberikan
suatu keadilan sesuai dengan porsinya. Pada perkembangan di masa selanjutnya, John
Locke dalam bukunya “The Second Treatise of Civil Government and a Letter
Concerning Toleration” Locke mengajukan pemikiran bahwa semua individu dikaruniai
hak yang melekat untuk hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik
mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara.4 Holocaust Nazi sebagai salah satu
pelanggaran berat terhadap hak asasi yang saat itu belum dideklarasikan. Serta masa
perang dunia II sebagai pelanggaran berat terhadap kemanusiaan selama masa
sejarahnya. Davidson mengatakan bahwa gerakan untuk kembali menghidupkan kembali
hak kodrati dengan dirancangnya instrumen Evolusi Pemikiran dan Sejarah
Perkembangan Hak Asasi Manusia Internasional yang utama mengenai hak asasi
manusia.

Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai


wadah penyatuan pemikiran antarbangsa serta pencegahan pelanggaran hak asasi
manusia kembali terjadi di masa mendatang. Dalam Preamble Piagam PBB disebutkan
“menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan
kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan
kesetaraan negara besar dan kecil”.

Dalam forum inilah dimulainya pemahaman secara universal mengenai gagasan


hak asasi manusia. Masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia
sebagai “suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a
commond standard of achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai
dengan diterimanya ssuatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan
oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human
Rights”. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa teori hak-hak kodrati memiliki kontribusi
yang sangat besar dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap
lebih tinggi dari hukum nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi manusia
internasional.

Lahirnya hak-hak kodrati dalam hukum internasional yang berkaitan langsung


dengan masyarakat akhirnya melampaui substansi dasar mengenai hak sipil dan politik,
namun kemudian juga berkembang pada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan
belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang disebut
“hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi
manusia dipahami saat ini.

4. HAM Dalam Peraturan Perundangan Indonesia


4.1 Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD 1945
HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas siapapun. HAM
baru dikenal secara internasional setelah deklarasi HAM oleh PBB pada tanggal 10
Desember 1948. Sedangkan Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun demikian para pendiri negara dan bangsa ini
sadar betul akan hakekat HAM tersebut, sehingga, ketika menyiapkan naskah piagam
untuk kemerdekaan Indonesia (yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta 22
Juni 1945), dengan tegas pada alinea pertama naskah tersebut menyatakan Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapus-kan, karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan. Rumusan Piagam Jakarta inilah yang dengan
beberapa perubahan dijadikan Pembukaan UUD 1945. Piagam Jakarta tidak hanya
menjadi bagian mutlak daripada UUD 1945, tetapi menjiwai dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan UUD 1945.
Selain kalimat yang tertuang pada alinea pertama dari Piagam Jakarta maupun
Pembukaan UUD 1945 tersebut yang memuat hak manusia yang paling mendasar
yaitu hak atas kemerdekaan, maka pada alinea keempat dari kedua naskah tersebut
memuat dasar-dasar negara yang dirumuskan kedalam Pancasila. Pancasila terdiri
dari lima dasar yang tidak terpisahkan dalam struktur ketatanegaraan kita, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijak-sanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Substansi dari Pancasila sebenarnya merupakan perwujudan dari hak asasi
manusia. Pancasila mengajarkan bahwa hak-hak asasi manusia merupakan sesuatu
yang sangat hakiki yang harus dihormati dan tidak boleh ditelantarkan. Di sisi lain,
hak asasi manusia harus diimbangi dengan kewajiban asasi. Keduanya harus
diperlakukan secara seimbang.
4.2 Konstitusi Negara
Di dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kita pernah menggunakan
tiga macam konstitusi, yaitu:
- Undang-Undang Dasar 1945 (tanggal 18 Agustus 1945-27 Desember 1949).
- Konstitusi RIS (tanggal 27 Desember 1949-17 Agustus 1950).
- Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (tanggal 17 Agustus 1950-5 Juli
1959).
- Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 (tanggal 5 Juli 1959-sekarang).
Antara Pembukaan UUD 1945 dan Mukadimah UUDS 1950 memuat materi
kalimat yang hampir sama, sedangkan materi Mukadimah Konstitusi RIS kalimatnya
terlalu singkat. Namun demikian esensinya sama, yaitu memuat pernyataan tentang
hak asasi untuk merdeka dan esensi Pancasila sebagai dasar negara. Lebih lanjut
tentang HAM ini dicantumkan dalam pasal-pasal ketiga konstitusi tersebut.
Di dalam UUD 1945 sebelum diamandemen hanya ada lima pasal yang
mengandung HAM, yaitu pasal 27 -31. Setelah amandemen kedua pada tanggal 18
Agustus 2000, khusus tentang HAM ditambahkan dalam satu Bab khusus yaitu Bab
X A Pasal 28 A-J.
Di dalam Konstitusi RIS 1949 memuat 35 pasal tentang HAM yaitu dalam Bagian
V tentang Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia dari pasal 7-41.
Sedangkan dalam UUD Sementara 1950 memuat 37 pasal, yaitu dalam Bagian V
tentang Hak-Hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia dari Pasal 7-43.
Substansi HAM dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 lebih
lengkap dibandingkan dengan UUD 1945, karena kedua konstitusi ini lahir setelah
PBB mendeklarasikan Universal Declaration of Human Right pada tanggal 10
Desember 1948. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia maka
hak-hak tersebut dicantumkan secara eksplisit kedalam kedua konstitusi tersebut.

4.3 Ketetapan MPR No, XVII/MPR/1998


Sejalan dengan kebijakan politik di era Orde Lama maupun Orde Baru yang lebih
mengedepankan kekuasaan dijamannya masing-masing, maka HAM seolah
terabaikan keberadaannya. Oleh karena itu setelah peralihan kekuasaan pemerintahan
di era reformasi yang lebih mengedepankan hukum dan keterbukaan, MPR
menerbitkan Ketetapan MPR No, XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Di
dalam ketetapan ini MPR menegaskan bahwa hak-hak asasi manusia sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati,
universal dan abadi berkait dengan harkat dan martabat manusia.
Sebelumnya pemerintah bersama DPR juga telah mengesahkan Konvensi PBB yang
menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia (Convention Against Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatman or Punishment) menjadi Undang-
Undang No. 5 Tahun 1998.
Hak-hak asasi manusia, menurut Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 meliputi:
1. Hak untuk hidup.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan,
3. Hak mengembangkan diri.
4. Hak keadilan,
5. Hak kemerdekaan.
6. Hak atas kebebasan informasi.
7. Hak keamanan.
8. Hak kesejahteraan.
9. Hak perlindungan dan pemajuan.
Karena substansi ketetapan MPR ini sudah ditindaklanjuti dengan keluarnya UU
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UUD 1945 juga sudah di amandemen dengan
menambahkan Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, maka keberadaan Ketetapan
MPR No, XVII/MPR/1998 dianggap sudah tidak valid lagi, sehingga telah dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan pasal 1 angka 8 Ketetapan MPR No.
I/MPR/2003.
4.4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Sebagai tindakl anjut dari Ketetapan MPR No, XVII/MPR/1998, maka pada
tanggal 23 September 1999 pemerintah bersama DPR menetapkan UU No.39 Tahun
1999 tentang HAM. Substansi HAM menurut UU No. 39 tahun 1999 pada dasarnya
merupakan pengembangan hak menurut Ketetapan MPR No, XVII/MPR/1998, yang
memuat hak pokok terdiri dari :
1. Hak untuk hidup,
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan,
3. Hak mengembangkan diri.
4. Hak memperoleh keadilan,
5. Hak atas kebebasan pribadi.
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak atas kesejahteraan.
8. Hak untuk turut sertadalam pemerintahan.
9. Hak khusus bagi wanita.
10. Hak anak.

4.5 Pasal 28 A-J UUD 1945


MPR pasca reformasi, setelah mempelajari, menelaah dan memper-timbangkan
dengan seksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi
oleh rakyat, bangsa dan negara serta dengan menggunakan kewenangannya
berdasarkan Pasal 37 UUD1945. Maka dalam sidangnya pada tanggal 18 Agustus
2000 MPR menambahkan bab khusus tentang HAM sebagaimana tertuang dalam Bab
X A Pasal 28 A-J.
Pada prinsipnya Hak-hak Asasi Manusia yang terkandung dalam bab tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2. Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
3. Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
4. Hak untuk mengembangkan diri, mendapat pendidikan, memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan
kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.
5. Hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif.
6. Hak atas pengakuan, jaminan, perlidungan dan kepastian hukum serta
perlakuan yang sama didepan hukum.
7. Hak untuk bekerja dan memperoleh imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja.
8. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
9. Hak atas status kewarganegaraan.
10. Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal.
11. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, mencari, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.
12. Hak untuk mendapat perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda serta rasa aman dan perlindungan dari rasa takut.
13. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat
serta hak mendapatkan suaka politik dari Negara lain.
14. Hak untuk hidup sejahtera lahir dan bathin dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.
15. Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
16. Hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh.
17. Hak untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil secara sewenang-wenang dari siapapun.
18. Hak untuk hidup, untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan fikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak tidak diperbudak, untuk diakui sebagai pribadi,
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
19. Hak untuk bebas dari perlakuan dan mendapatkan perlindungan dari tindak
diskriminatif.
20. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
21. Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manu-sia
adalah tanggungjawab Negara, terutama pemerintah.
22. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
23. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
24. Dalam menjalan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemauan dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Demikian padat dan lengkap HAM yang diatur dan dijamin secara konstitusional
dalam UUD1945 tersebut. Untuk mengawasi pelaksanaan HAM sebelumnya juga
sudah dibentuk komisi, yaitu Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
50 Tahun 1993. Komisi ini dinyatakan tetap berfungsi berdasarkan Pasal 105 Ayat (2)
UU No. 39 Tahun 1999.

4.6 Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang
1. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hukum
Asasi Manusia (HAM)
2. Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang rencana aksi nasional Hak
Asasi Manusia
3. Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998, tentang komisi nasional anti
kekerasan terhadap perempuan
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999
tentang pengadilan HAM
5. Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2001, tentang pembentukan pengadilan Hak
Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Jakarta Pusat, diubah keputusannya
menjadi Nomor 96 Tahun 2001
6. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2001 tentang pembentukan pengadilan
kepada Hak Asasi Manusia dan ditetapkan pada pengadilan negeri Jakarta Pusat,
Surabaya dan Makassar
5. Amandemen Perundangan Tentang HAM

Daftar Pustaka :

1. Diakses Melalui https://osf.io/preprints/inarxiv/9trnz/ pada tanggal, 25 September 2021


2. Diakses Melalui http://ojs.umsida.ac.id/index.php/rechtsidee/rt/printerFriendly/105/134
pada tanggal, 25 September 2021
3. Diakses Melalui
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/52418/Keputusan_Presiden_no_50%20TH
%201993.pdf pada tanggal, 25 September 2021
4. Diakses Melalui http://www.bphn.go.id/data/documents/98kp129.pdf pada tanggal, 25
September 2021
5. Diakses Melalui
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/48994/Keputusan_Presiden_no_181%20TH
%201998.pdf pada tanggal, 25 September 2021
6. Diakses Melalui
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/43449/perppuu1999_001.pdf pada tanggal,
25 September 2021
7. Diakses Melalui
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/46785/Keputusan_Presiden_no_96%20TH
%202001.pdf pada tanggal, 25 September 2021
8. Diakses Melalui
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/46785/Keputusan_Presiden_no_96%20TH
%202001.pdf pada tanggal, 25 September 2021
9. Diakses Melalui
https://online-journal.unja.ac.id/jimih/article/view/537 pada tanggal 25 September 2021
10. Diakses Melalui
http://digilib.uinsby.ac.id/19036/5/Bab%202.pdf pada tanggal 25 September 2021

Anda mungkin juga menyukai