Anda di halaman 1dari 11

I’JĀZ AL-QUR’AN DALAM PANDANGAN MUKTAZILAH

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah I’jaz Al-Qur’an
yang diampu oleh Ibu Lizamah, M. Th.I.

Oleh:
Kelompok 2
Annisa’ (21384012002)
Mohammad Zakaria Al-Razi (21384011029)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
MARET 2023
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Swt. atas karunia
nikmat yang telah diberikan kepada kami sehingga kami menyelesaikan tugas
makalah mata I’jāz Al-Qur’an yang diampu oleh Ibu Lizamah, M. Th.I.
Selawat dan salam semoga tetap tercurahlimpahkan kepada junjungan kita
yakni Nabi Muhammad saw. yang telah mengangkis kita dari cahaya yang gelap
menuju cahaya yang terang benderang yakni adanya iman dan Islam. Kami
membuat makalah ini dengan maksud dan tujuan agar pembaca dapat menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan sehingga menjadi muslim yang ungggul ilmu dan
profesional.
Kami menyadari bahwa makalah yang berjudul “I’jāz Al-Qur’an dalam
Pandangan Muktazilah” ini, masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi
penyusunan isi yang kurang tepat. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
kami harapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Pamekasan, 15 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
A. Pengertian I’jāz Al-Qur’an ........................................................................ 3
B. I’jāz Al-Qur’an dalam Pandangan Muktazilah ......................................... 3
C. Komentar Tokoh Muktazilah terhadap I‘jāz Al-Qur’an ........................... 4
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 7
A. Kesimpulan ............................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 8

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah mengutus nabi Muhammad saw. ke dunia dengan menyertakan
padanya salah satu mukjizat yang mulia yaitu Al-Qur’an al-kari̅m, dengan Al-
Qur’an inilah segala aspek kehidupan, aspek keilmuan, berita ghaib, berita yang
akan datang, semuanya dijelaskan. Nabi Muhammad saw. dalam
menyampaikan risalah Islam dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada
masyarakat dari satu sisi beliau didustakan dan dituduh dengan aneka tuduhan,
tetapi di sisi lain, masyarakat umum ketika itu yang mahir dalam sastra Arab,
terkagum-kagum mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan. Rasulullah secara
tegas menyatakan bahwa Al-Qur’an bukanlah ucapannya atau pun hasil
karyanya, melainkan firman Allah Swt. atau ciptaan yang Maha Kuasa yang
diturunkan kepadanya. Kendati demikian di awal penyampaian ayat Nabi
Muhammad saw. hanya sedikit dari masyarakat Mekkah yang menerima
ajarannya. 1
Penolakan atas Al-Qur’an tersebut melahirkan tantangan Al-Qur’an
kepada mereka yang menentang dan meragukan Al-Qur’an. Adapun tantangan
itu bertahap, dari tantangan membuat seluruh yang seperti Al-Qur’an, lalu
membuat 10 surah saja, kemudian satu surah saja dan tantangan terakhir dengan
membuat yang semisal dengan Al-Qur’an, akan tetapi semuanya tidak
disanggupi oleh para penentang Al-Qur’an. Maka dari itu pemakalah akan
membahas tentang pengertian i’jāz Al-Qur’an, i’jāz dalam pandangan
muktazilah beserta komentar tokoh muktazilah terhadap i‘jāz Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pengertian i’jāz Al-Qur’an
2. Bagaimana i’jāz Al-Qur’an dalam pandangan Muktazilah
3. Bagaimana komentar tokoh Muktazilah terhadap i‘jāz Al-Qur’an
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pengertian i’jāz Al-Qur’an

1
Abdurrahman, “Konsep al-ṣarfah dalam kemukjizatan Al-Qur’an,” Aqlam: Jorunal of Islam and
Plurality 6, No 2 (2021): 136.

1
2. Untuk mengetahui i’jāz Al-Qur’an dalam pandangan Muktazilah
3. Untuk mengetahui komentar tokoh Muktazilah terhadap i‘jāz Al-
Qur’an

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian I’jāz Al-Qur’an
Secara bahasa i’jāz berasal dari kata ‘ajaza yang berarti kebalikan dari
kata kuat/tekad (al-ḥazm), dan lemah (daif). Dari kata tersebut mucul kata
ma‘jazah yang berarti ketidakmampuan (‘adam al-qudrah). Menurut Rāghib
Isfahāniy kata a‘ajz asal maknanya adalah mengakhirkan sesuatu, dan lawan
kata mampu.
Kata mu‘jizah ini juga umum diartikan perkara yang terjadi di luar
kebiasaan, yang Allah tunjukkan kepada seorang Nabi untuk memperkuat
kenabiannya. Dalam pembahasannya tentang I’jāz Al-Quran. Sya’bān Ismā‘ĭl,
mengatakan mukjizat adalah hal yang terjadi di luar kebiasaan, yang disertai
adanya tantangan, selamat dari penentangan, menunjukkan kebenaran klaim
kenabian, menundukkan orang-orang yang menentang (kenabian tersebut),
memantapkan hati orang-orang yang mengikuti dan membenarkan dakwah
nabi, sehingga keimanan mereka bertambah.
Secara terminologis, i’jāz Al-Qur’an, menurut Zarqānĭ, bermakna
penegasan Al-Qur’an tentang kelemahan makhluk untuk membuat serupa
dengannya dengan mengajukan tantangannya. Ia menegaskan bahwa
pelemahan manusia menentang Al-Qur’an bukanlah tujuan yang sesungguhnya,
tetapi menunjukkan akan kebenaran Al-Qur’an dan Muhammad (rasul) yang
membawanya adalah benar, demikian juga mukjizat-mukjizat nabi lainnya.2

B. I’Jāz Al-Qur’an dalam Pandangan Muktazilah


Di mulai pada abad ke-3, Ulama dan sarjana-sarjana muslim telah
banyak membahas persoalan i‘jāz Al-Qur’an. Ibn Sayyar an-Nazzam (w.
232/846), seorang teolog Muktazilah menegaskan adanya ṣarfah (pengalihan)
dalam kemampuan manusia untuk tidak mampu menandingi bahasa yang
dipergunakan oleh Al-Qur’an.3 Teori ini awalnya dicetuskan oleh Wāṣĭl bin

2
Hadiyan, ”I‘jāz Al-Qur’an dan Pergeseran Maknanya Dalam Tafsir Muktazilah: Kajian Munasabah
Al-Qur’an Tafsir al-Kashshaf” (Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2021), 21-22.
3
Ibn Hazm, Fisal fi al-Milal wa an-Nihal, Juz. I (Kairo: t.t.), 64.

3
‘Aṭā’ (wafat 131) salah seorang ulama dan berpaham muktazilah di Baṣrah, dia
berkata: “sesungguhnya kemukjizatan Al-Qur’an tidak datang dari dirinya
sendiri, melainkan karena Allah memalingkan pemikiran manusia untuk
menentangnya”.4
Menurut Ibn Sayyar an-Nazzam Teori ini menyatakan bahwa manusia
sebenarnya memiliki kemampuan untuk meniru dan mengimitasi Al-Qur’an,
baik dari sisi substansi mau pun redaksionalnya. Hanya saja, kemudian Tuhan
melakukan intervensi kepada manusia dengan mengalihkan kemampuan
tersebut sehingga menjadikannya tidak mampu meniru Al-Qur’an meskipun
satu ayat saja. Teori ṣarfah merupakan tempat pijakan an-Nazzam dalam
menjelaskan i‘jāz Al-Qur’an. Maka dengan demikian an-Nazzam memandang
bahwa i‘jāz Al-Qur’an tidaklah berada pada keunggulan ungkapan, struktur
kalimat, maupun gaya bertutur, akan tetapi berada pada posisinya sebagai
bahasa yang bersumber dari Tuhan. Dengan demikian, Al-Qur’an sebagai teks
tidaklah berbeda dengan teks lainnya, keunggulannya terletak pada isi (content)
yang dibawa dalam ungkapan Al-Qur’an tersebut, baik sesuatu yang gaib pada
masa sekarang atau pun akan datang, yang tidak dapat diketahui oleh manusia.
Sedangkan Ali Ibn Isa ar-Rummani (w. 384/994), seorang teolog yang
juga beraliran Muktazilah berpendapat bahwa i‘jāz Al-Qur’an terletak pada dua
hal yang tidak dapat dipisahkan dari Al-Qur’an itu sendiri. Keduanya yakni;
pertama, status Al-Qur’an sebagai bahasa Tuhan. Kedua, struktur serta gaya
tutur atau stilistik yang dimiliki oleh Al-Qur’an itu sendiri. Ditambahkannya
juga, i‘jāz Al-Qur’an terletak pada harmoni yang menakjubkan antara statusnya
sebagai firman tuhan dan gaya tutur yang digunakan, serta aspek-aspek
linguistik lainnya yang tersusun dengan cermat di dalam Al-Qur’an.5

C. Komentar Tokoh Muktazilah terhadap I‘jāz Al-Qur’an


Muhammad ibn Thayyib ibn Muhammad Abu al Bakar al-Baqillani dari
kalangan Asy'ariyah berpendapat bahwa sekiranya menentang Al-Qur'an itu
mungkin, sedangkan Allah melarang dengan cara ṣirfah (pemalingan), maka
Al-Qur'an itu bukanlah mukjizat tetapi justru larangan itulah yang mukjizat.

4
Abdurrahman, “Konsep al-ṣarfah dalam kemukjizatan ...,” 142.
5
Hazm, Fisal fi al-Milal wa an-Nihal, Juz. I, 64.

4
Pandangan tersebut menurut al Baqillani jelas keliru karena dalam
kenyataannya ketidak-mampuan mereka justru dalam menghadapi
kemukjizatan Al-Qur'an itu (pandangan ini diperkuat oleh 'abdu al-Qadir al-
Jurjani (seorang ahli Balaghah) dalam bukunya Dalail al-I'jaz dan Asrar al-
Balaghah
Muktazilah menyatakan keseluruhan Al-Qur’an merupakan mukjizat,
bukan sebagian atau beberapa bagian saja. Al Zarkasyi mengkritisi pendapat
ṣarfah tersebut dengan argumen antara lain:
Firman Allah Swt di dalam Surah al-Isrā’ 88:
ْ ْ ْ
ْ‫اج َت َم َعت ْالان ْ ُس َوالج ُّن َعلٰٓى َا ْن َّيأتُ ْوا بم ْثل ٰه َذا ْال ُق ْر ٰان َلا َيأتُ ْو َن بم ْثله َو َلو‬ ْ
‫ِٕن‬
َّ ْ ُ
ِٖ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫قل ل‬
‫ى‬
َ ْ ُ ْ َ َ
‫كان َبعض ُه ْم ِل َبع ٍض ظ ِه ْي ًرا‬
Katakanlah, “Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk
mendatangkan yang serupa dengan Al-Qur’an ini, mereka tidak akan
dapat mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka
membantu satu sama lainnya.”

Ayat diatas memperlihatkan kelemahan bangsa Arab menyusun karya


besar yang sejajar dengan Al-Qur’an . Dan kalau Allah Swt. Melarang mereka
maka yang mu‘ji (melemahkan) itu bukanlah Al-Qur’an, tetapi justru Allah Swt.
Padahal ayat diatas menantang mereka menyusun karya sejajar dengan Al-
Qur’an, bukan untuk menandingi kebesaran Tuhan.6
Muhammad Aly al-Shabuny menolak pandangan pendukung al-
Mukjizat bi al-ṣirfah secara rasional dan historis. Menurut al-Shabuny, al-ṣirfah
yang menyebabkan lemahnya potensi cendekiawan Arab secara tiba-tiba itu,
justru akan menimbulkan gelombang protes terhadap Al-Qur'an dan menjadi
pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Dengan selesainya Al-Qur'an
diwahyukan mestinya berakhir pula kelemahan potensi cendekiawan Arab itu,
dan secara intelektual mereka akan mampu menandingi Al-Qur'an. Apa yang
terjadi dalam sejarah, kata al-Shabuny justru tidak demikian. Cendekiawan
Arab dari dulu hingga kini belum pernah merasakan lenyapnya potensi

6
Manna al-Qaththan,, Pengantar studi ilmu Al-Quran (Jakarta: Pustaka al Kautsar. 2014), .327.

5
intelektual secara komunal, dan sampai saat ini pun belum ada yang mampu
bersaing dengan Al-Qur'an.
Selain itu adanya al-mukjizat bi al-ṣirfah menurut al-Shabuny justru
melemahkan Al-Qur'an itu sendiri, dan hal itu bertentangan dengan ijma'. Al-
mu'jizat bi al-ṣirfah dengan membuat cendekiawan (sastrawan) Arab enggan
menandingi Al-Qur'an juga tidak benar menurut sejarah, karena yang terjadi
justru sebaliknya, yaitu kegigihan bangsa Arab penentang Muhammad saw.
Untuk menyaingi Al-Qur'an (al-Shabuny, 1970).7

7
Al-Qaththan,, Pengantar studi ilmu Al-Quran, 328.

6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Menurut Rāghib Isfahāniy kata a‘ajz asal maknanya adalah
mengakhirkan sesuatu, dan lawan kata mampu. Secara terminologis,
i’jāz Al-Qur’an, menurut Zarqānĭ, bermakna penegasan Al-Qur’an
tentang kelemahan makhluk untuk membuat serupa dengannya dengan
mengajukan tantangannya.
2. Sedangkan Ali ibn Isa ar-Rummani (w. 384/994), seorang teolog yang
juga beraliran Muktazilah berpendapat bahwa i‘jāz Al-Qur’an terletak
pada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari Al-Qur’an itu sendiri.
Keduanya yakni; pertama, status Al-Qur’an sebagai bahasa Tuhan.
Kedua, struktur serta gaya tutur atau stilistik yang dimiliki oleh Al-
Qur’an itu sendiri.
3. Muhammad Aly al-Shabuny menolak pandangan pendukung al-
Mukjizat bi al-ṣirfah secara rasional dan historis. Menurut al-Shabuny,
al-ṣirfah yang menyebabkan lemahnya potensi cendekiawan Arab
secara tiba-tiba itu, justru akan menimbulkan gelombang protes
terhadap Al-Qur'an dan menjadi pembicaraan hangat di kalangan
masyarakat. Dengan selesainya Al-Qur'an diwahyukan mestinya
berakhir pula kelemahan potensi cendekiawan Arab itu, dan secara
intelektual mereka akan mampu menandingi Al-Qur'an. Apa yang
terjadi dalam sejarah, kata al-Shabuny justru tidak demikian.
Cendekiawan Arab dari dulu hingga kini belum pernah merasakan
lenyapnya potensi intelektual secara komunal, dan sampai saat ini pun
belum ada yang mampu bersaing dengan Al-Qur'an.

7
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2021. “Konsep al-ṣarfah dalam kemukjizatan Al-Qur’an.” Aqlam:
Jorunal of Islam and Plurality 6 (2).

Hadiyan, ”I‘jāz Al-Qur’an dan Pergeseran Maknanya Dalam Tafsir Muktazilah:


Kajian Munasabah Al-Qur’an Tafsir al-Kashshaf.” Disertasi, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2021.

Hzm, Ibn. Fisal fi al-Milal wa an-Nihal. Juz. I. Kairo: t.t.

al-Qaththan, Manna. Pengantar studi ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka al Kautsar.


2014.

Anda mungkin juga menyukai