Anda di halaman 1dari 31

AYAT-AYAT AHKAM (Puasa, Haji, Umrah, dan Dhahiyyah)

Eep Saefullah

Jurusan Ilmu Hadits Fakultas Usuluddin dan Adab Universitas Isalam Negeri
Banten

eepsaefullah28@gmail.com

Abstrak, agama islam adalah agama yang sangat memudahkan


umatnya, karena di dalamnya banyak sekali hukum-hukum yang
mempunyai rukhsah atau keringanan. seperti halnya dalam peraktik
wudhu, yang seharusnya air dijadikan alat bersuci, itu bisa birubah
dengan debu dikala tidak ada air. Sumber ukum dalam islam ialah al-
Quran, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Didalam al-quran ada yang
dinamakan dengan ayat-ayat muhkam, mujmal, mutasyabihat dan
yang lainya. Dengan ayat-ayat muhkam inilah lahir hukum hukum
yanga hrus dijalankan oleh seluruh umat baik pekara yang wajib untuk
dilaksanakan atau ditinggalkan, Seperti puasa, haji, umrah, dan yang
lainya.

Kata kunci: ayat-ayat, puasa, haji, dan umrah

A. Pendahuluan
Agama Islam mengandung jalan hidup manusia yang paling
sempurna dan berisi ajaran yang membimbing umat manusia menuju
kebahagiaan dan kesejahteraan. Al-Quran juga mengajak memikirkan
penciptaan manusia sendiri dan rahasia-rahasia yang terdapat dalam
dirinya. Ayat al-Quran mengarahkan manusia dengan tanda-tanda
kekuasaan Allah, ayat al-Qur’an membahas tuntas hukum-hukum syariat,
ayat al-Quran tiada hentinya menaburkan mutiara-mutiara ilmu dan
pengetahuan kepada seluruh dunia. Dialah al-Quran mukjizat yang kekal

i
dengan kekalnya manusia di atas permukaan bumi dan menyingkap ufuk-
ufuk ilmu dan pengetahuan kepada manusia disetiap saat.
mengklarifisakin ayat-ayat al-Qur’an kedalam beberapa kelompok.
Misalnya ayat-ayat yang berkaitan dengan akidah dinamai ayat al-aqa’id,
ayat-ayat yang
membahas masalah etika disebut ayat akhlak, ayat-ayat yang
berisikan janji baik dan ancaman buruk dijuluki ayat al-wa’ad wa al-
wa’id, ayat-ayat yang memaparkan kisah dan sejarah diberi nama ayat al-
qashahs, ayat-ayat yang menyinggung soal ilmu pengetahuan diitilahkan
dengan ayat al-kawniyah, dan ayat-ayat yang mengupas sumber hukum
syariat Islam disebut ayat al-ahkam. Oleh karena itu, dalam makalah ini
kami bahas sedikit mengenai Tafsir Ahkam (tafsir ayat-ayat hukum)
lazimnya disebut dengan istilah tafsir fiqih, yang mana akan mebahas ayat-
ayat hukum seputar puasa, haji, umrah, dan dhuhaya.
B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Tafsir Ahkam

Kata “tafsir” pada mulanya berarti “penjelasan” atau “penampakan makna”.


Ahmad Ibnu Faris (w. 395 H), pakar ilmu bahasa menjelaskan dalam bukunya, al-
Maqayis fi al- Lughah, bahwa kata-kata yang tediri atas ketiga huruf fa-sin-ra’
mengandung makna “keterbukaan dan kejelasan”. Dari sini, kata fasara’ ( ‫فسر‬
) serupa dengan kata ( ‫)فر<<<س‬. Hanya saja, yang pertama mengandung
arti menampakan makna yang dapat terjangkau oleh akal, sedangkan yang kedua,
yakni safara’ menampakan hal-hal yang bersifat material dan indrawi.

Kata tafsir (‫ )ي>ر<تفس‬yanga terambil dari kata fasara’ (‫ )فسر‬mengandung makna


“kesungguhan membuka” atau “keberulang-ulangan melakukan upaya membuka”,
sehingga itu berarti kesungguhan dan berulang-ulangnya upaya untuk membuka
apa tertutup atau menjelaskan apa yang muskil atau sulit dari makna sesuatu,
antara lain kosa kata.1

Tafsir atau penjelasan itu lahir dari upaya sungguh-sungguh dan berulang-ulang
dari sang penafsir untuk ber-istinbath (menemukan makna- makna dalam teks
ayat-ayat al-Qur’an) serta menjelaskan yang musykil atau samar dari ayat-ayat
tersebut sesuai kecendrungan sang penafsir.

Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas tentang tata cara
pengucapan lafal al-Qur’an, hukum individu dan sosial serta arti yang mengarah
pada susunan dan penyempurnaan. Adapun menurut Az-Zarkasih bahwa tafsir
sebagai ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw, menjelaskan arti dan mengeluarkan bebeapa hukum dan
hilmahnya.

Ahkam atau al-ahkam (‫ )األحكم‬maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan


bentuk jamak dari kata hukmun (‫ )حكم‬yang artinya hukum, keputusan/ketetapan.

1
M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang, Lentera Hati, 2013), hal.
9.

1
2. Mengenal Ayat Ahkam

Ayat ahkam adalah ayat-ayat al-Qur’an yang berpotensi untuk dijadikan dasar
hukum-hukum fiqih, ‘Ali al-Ubaid mendefinisikan ayat ahkam sebagaimana
berikut:

Ayat-ayat yang menjelaskan hukum-hukum fiqih (hukum-hukum syariat yang


bersifat praktis dan amaliyah) dan menjadi dalil atas hukum-hukimnya baik secara
nash atau secara istimbath.2
Hanya saja, para ulama tidak satu suara terkait jumlah pasti ayat-ayat al-Qur’an
yang dapat dikatagorikan ayat ahkam. Khusus tentang ayat ahkam, terdapat
perbedaan dikalangan para ahli mengenai jumlahnya. Ada yang mengatakan 150
ayat menurut ‘Abd al-Wahab Khallaf, 500 ayat menurut perhitungan al-Ghazali
(w. 505 H.), ar-Razi (w.606 H.), dan Ibn Qudamah (w. 620 H.), 900 ayat menurut
angka yang dinukilkan dari al-Mubarak, dan 1000 ayat menurut Abu Yusuf.
Lepas dari petbedaan pendapatyang diatas, para ulama bersepakat
(ijma’/konsensus) bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang utama dan
pertama. Karenanya, mudah dimengerti jika ayat-ayat hukum ini memperoleh
perhatian serius dari para ahli hukum Islam untuk menfsirkannya.3
3. Pengertian Puasa
Puasa secara bahasa adalah ( >ُْ‫ ) ك َسا ْم ْ ِلإ ا‬yang artinya menahan, adapun
secara istilah puasa atau ash-shaum/ashishiyam adalah ibadah kepada Allah
dengan menahan diri dari makan, minum, menggauli istri, dan dari semua hal
yang membatalkan puasa sejak mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.4
A. Ayat yang berkaitan dengan ibadah puasa

a. Qs. Al-Baqarah (2): 183-185

2
Isnan Ansory, Mengenal Tafsir Ayat Ahkam, (Jakarta, Rumah Fiqih, cet I,
2018), hal. 2.
3
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam, (Tangerang, Lentara Hati, cet I,
2016), hal.
4
Fahd Salem Bahammam, Puasa dalam Islam, (Modern Guide, 2015),
hal.1.
‫َعَلى‬ ‫َيا أَُّ>ي َها َعلَْ>ي ُكُ>م ال ِّصَ>ياُ>م َك َما‬
‫ال‬ ‫ُكِ>ت َب‬ ‫ال‬
َ‫ِّ>ذي َن ِم ْن َقْ>بلِ ُك ْم ل‬
‫ِّ>ذي َن آ َمنُوا ُكِ>ت َب‬
‫َعل‬
‫ّ ُك ْ م‬
‫َت‬
(٣٨١) ‫ُّ>قو َن‬

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

‫َط َعاُ>م ِم‬


‫َسَ>ف ٍر َف ِعَ>ّدٌ>ة ِم ْن أََّيا ٍم أُ َخ َر َو َعلَى‬ ‫أََّ>يا ًما َم ْعُ>دوَ>دا ٍت َف َم ْن َكا َن ِمْ>ن ُك ْم َم َع‬
‫ْس ِكي ٍن‬
‫ري ًضا أَ ْو َلى‬
‫ال‬ ِ
‫ِّ>ذي َن ُي ِطيُ>قوَ>ن ُه ِف ْدَ>يٌ>ة‬
‫َف َم ْن َت َط َخْ>ي ًرا َخْ>ي ٌر لَُ>ه َوأَ ْن َت َ ْخ>ي ٌر لَ ُك ْم ِإ ْن ُكْ>نتُ ْم َت ْعلَ ُمو‬
(٤٨١) ‫َن‬ ‫ُصو ُموا‬ ‫َّو َع َف ُه َو‬

"(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam
perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia
tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat
menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.
Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih
baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

‫َش ْه ُر َر َم َضا َن‬


‫ال‬
‫ِّ>ذي ْأُ>ن ِز َل ِفي ِه الُْ>ق ْرآ ُن ُهً>دى‬
‫ِ لن‬
‫ّا ِس َوَ>بِّ>يَ>نا ٍت ِم َن الْ ُهَ>دى َوالُْ>ف ْ َر>قا ِن َف َم ْن َش ِهَ>د ِمْ>ن ُكُ>م ال َّش ْه َر َفلَْ>ي ُص ْم ُه‬
‫َسَ>ف ٍر َف ِعَ>ّدٌ>ة ِم ْن أََّيا ٍم أُ َخ َر ُي ِريُ>د ا‬ ‫َو َم ْن َكا َن َم ِري َع‬
‫ًضا أَ ْو لَى‬
‫ل ََّّه‬
‫لُ ِب ُكُ>م اْ>لُ>ي ْس َر َوال ُي ِريُ>د ِب ُكُ>م الْ ُع ْس َر َوِلتُ ْك ِملُوا الْ ِعَ>ّدَ>ة‬
(٥٨١) ‫َوُِلت َكِّ>ب ُروا ا‬
‫ل ََّّه‬
َ‫لَ َعلَى َما َهَ>دا ُك ْم َول‬ ‫ّ ُك ْم َت ْش ُك ُرو َن‬
‫َعل‬

"Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai


petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara
kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur."
Allah mewajibkan puasa kepada kita, umat Islam, sebagai mana Ia telah
mewajibkan kepada umat sebelum kita. Hal itu karena pusa merupakan sarana
penyucian jiwa paling ampuh dan ibadah paling kuat (efektif) untuk
mengendalikan nafsu. Oleh karena itu, puasa disyariahkan dalam semua ajaran
agama, hingga dalam agama pagansime (penyembahan berhala) sekalipun. Puasa
telah dikenal di kalangan bangsa Mesir kuno, dan dari merekalah ajaran ini
menyebar sampai kebangsa Yunani dan Romawi. Orang India penganut
paganisme (Hindu) senantiasa melakukan puasa hingga sekarang.
Dalam Taurat terdapat pujian terhadap puasa dan orang yang melakukannya. Nabi
Musa memang melakukan puasa selama 40 hari. Demikian juga, dalam Injil tidak
terdapat keterangan tegas tentang kewajiban puasa. Injil hanaya memujinya den
memandangnya sebagai ibadah. Puasa yang paling terkenal dan yang paling kuno
dalam agama Nasrani adalah “Puasa Besar” yang dilakukan sebelum hari raya
Paskah, yaitu puasa yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Isa serta kaum
hawariy. Selain itu, para pemimpin gereja telah pula menetapkan beberapa macam
puasa yang berbeda antara satu aliran dan kelompok dengan aliran dan kelompok
yang lain.
َ ‫ )َي<ا> أَُّ>ي‬,puasa maksudnya
‫ه< ا‬
‫ال‬
ayat Potongan 183 (‫ِّ>ذي َن آ َمُ>ن<و>ا ُكِ>ت َب َعلَْ>ي ُكُ>م ال ِّص< َياُ>م‬
diwajibkan atas kamu (umat Muhammad) sebagaimana telah diwajibkan pula atas
orang mukmin dari siapa pemeluk agama sebelum kamu, sejak Nabi Adam as.
Para ahli tafsir (Mufasir) berbeda pendapat tentang segi persamaan antara kedua
macam puasa tersebut (puasa umat Muhammad dan puasa umat sebelumnya)..
satu pendapat mengatakan bahwa kesamaan drai segi kadar (bilangan) dan
waktunya, karena Allah mewajibkan puasa pada bualan Ramadhan kepada uamat
Yahudi dan Nasrani, namun kemudian mereka mengubahnya. Pendapat lain
mengatakan, kesamaannya itu dari aspek hukumnya, yaitu wajib, mengingat Allah
telah mewajibkan puasa kepada uamat-umat terdahulu. Ada juga yang
berpendapat bahwa kesamannya itu dari segi sifat (tata caranya), yaitu
meninggalkna makan, minum, dan yang lainnya pada waktunya.
Ali as-Sayis mengemukakan, sebenarnya cukup banyak riwayat yang
menginformasikan tentang aspek kesamaan antara kedua macam puasa tersebut
dan tentang hakikat puasa yang diwajibkanm atas umat terdahulu. Akan tetapi,
riwayat-riwayat itu masih perlu diteliti otensitasnya.
Potongan terakhir ayat 183 (َ‫ن و‬
‫َ< َت‬

‫ُّ>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>ق ْم ُك‬
َ‫َع>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> ل‬

َ‫ ّ) ل‬para ulama mengemukakan beberapa penafsiran. Pertama, bahwa puasa


dapat menyebabkan taqwa, sebab puasa dapat menghancurkan hawa nafsu,
mencegah kesombongan den perbuatan keji,, dan memandang rendah kenikmata
dunia. Kedua, makna ayat itu adalah bahwa dengan berpuasa seyoginya harapan
kamu untuk bertaqwa semakin kuat dan meningkat. Ketiga, maknanya ialah
semoga kamj bertaqwa kepada Allah dengan berpuasa dan meninggalkan segala
hawa nafsu.5
Potongan awal ayat 184 (ٍ ‫ت‬ ً‫ )ما أََّ>يا‬kata ini manshub karena
‫ْعُ>دوَ>دا َم‬ menjadi
zaraf (keterangan waktu), namau ada juga yang berpendapat lain. Para ulama
berbeda pendapat mengenai maksud “beberapa hari tertentu” tersebut, apakah
bulan Ramadhan ataukah hari-hari yang lain. Ada yang berpendapat bahwa hari-
hari itu bukan bulan Ramadhan, umat Islam telah diwajibkan puasa. Kewajiban
ini kemudian di-nasakh (dihapuskan) dengan ayat:
‫َش ْه ُر َر َم َضا َن‬
‫ال‬
‫ِّ>ذي أُْ>ن ِز َل ِفي ِه الُْ>ق ْرآ ُن ُهً>دى‬
‫ِلن‬
‫ّا ِس َوَ>بِّ>يَ>نا ٍت ِم َن الْ ُهَ>دى َوالُْ>ف ْ َر>قا ِن َف َم ْن َش ِهَ>د ِمْ>ن ُكُ>م ال َّش ْه َر َفلَْ>ي ُص ْم ُه‬
"Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara
kamu di bulan itu, maka berpuasalah.”
Pendapat ini adalah mazhab Mu’az, Qatadah, dan ‘Atha’, serta pendapat
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Namaun demikian mereka berbada pendapat.
Menurut ‘Atha’, hari-hari tersebut adalah tiga hari pada setiap bulan. Sedangkan
menurut Qatadah, tiga hari pada setiap bulan dan puasa satu hari pada hari
‘Asyura (tanggal 10 bulan ‘Asyura).
Nabi Muhammad saw, bersabda “Puasa Ranadhan me-nasakh semua bentuk
puasa.” Hadits ini menunjukan bahwa sebelum puasa Ramadhan ada suatu puasa
yang kemudian di-nasakh dengan puasa Ramadhan.
Dalam ayat 184, Allah mengemukakan hukum bagi orang sakit dan mufasir dan
dalam ayat 185 Ia mengemukakan hukum yang sama. Andai kata ayat pertama
(184) tidak di-nasakh oleh ayat kedua (185) tentu terjadi pengulangan, padahal
pengulangan demikian tidak layak terjadi dalam al-Qur’an.

5
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam, hal. 85-87
Firman Allah ْ ‫دَ>يٌ>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>ة ِف ُه ِطيُ>ق > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > وَ>ن ُي َن‬
َ‫ال‬

‫ ِّ>ذي َعَلى َو‬menunjukan bahwa puasa pada hari-hari tertentu (sebelum Ramadhan) itu
wajib secara pilihan: boleh berpuasa dan boleh pula tidak berpuasa, namu harus
membayar fudyah. Sedangkan pada puasa Ramadhan wajib dilakukan secara
pasti, tidak bersifat pilihan. Berdasarkan hal-hal tersebut, dapatlah dipastikan
bahwa puasa pada hari-hari tertentu (ayat 184) itu bukan
puasa pada bulan Ramadhan.
‫َش ْه ُر َر َم َضا َن‬
‫ال‬
‫ِّ>ذي أُْ>ن ِز َل ِفي ِه الُْ>ق ْرآ ُن ُهً>دى‬
‫ِلن‬
‫ّا ِس َوَ>بِّ>يَ>نا ٍت ِم َن الْ ُهَ>دى َوالُْ>ف ْ َر>قا ِن َف َم ْن َش ِهَ>د ِمْ>ن ُكُ>م ال َّش ْه َر َفلَْ>ي ُص ْم ُه‬
Menerut Ibnu ‘Arabi, lafal َ‫( َ ن َضا‬bulan Ramadhan) adalah penafsiran atau
‫َم َ ر‬ ‫ش ْه‬
‫ُر‬
penjelasan terhadap firman Allah “diwajibkan atas kamu berpuasa.”
Ibnu Katsir mengemukakan, Allah swt, memuji bulan Ramadhan di antara bulan-
bulan yang lain dengan memilihnya sebagai bulan untuk menurunkan al-Qur’an
al-Karim. Dalam hadits diterangkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan dimana
kitab-kitab Tuhan diturunkan kepada para Nabi. Imam Ahmad bin Hanbal
berkata, Abu Sai’d maula (bekas budak yang telah dimerdekakan) Bani Hasyim
bercerita kepada kami, Imam Abu al-Awwam bercerita kapada kami, Ibn al-Asqa’
bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “suhuf Nabi Ibrahim diturunkan pada awal
malam bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada tanggal 6 bualan Ramadhan,
Injil diturunkan pada tanggal 13 bulan Ramadhan, dan Allah menurunkan al-
Qur’an pada tanggal 24 bulan Ramadhan.” Sebuah hadits diriwayatklan dari Jabir
bin ‘Abdullah, isinya anatara lain menerangkan bahwa Zabur diturunkan pada
tanggal 12 Ramadhan dan Injil pada tanggal 18 Ramadhan sedangkan kitab
lainnya sebagaimana keterangan dalam hadits di atas (diriwayatkan oleh Ibnu
Mardawih).6

ayat 185 (‫ِفي ِه الُْ>ق ْرآ ُن‬ َ ‫ل ِز أُْ>ن‬


Lanjutan
6
َ‫ال‬ ‫ ِّ)>ذي‬kalimat ini merupakan penjelasan tentang
keistimewaan bulan Ramadhan. Ada beberpa penafsirantentang maksud kalimat
ini. Menurut suatu pendapat, “ pada bulan Ramadhan, al-Qur’an diturunkan dari
Lauh Mahfuz ke langit dunia sekaligus, kemudian Jibril menurunkan secara
bertahap.” Menurut pendapat lain, “pada bulan Ramadhan diturunkan permulaan
al-Qur’an.”

6
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam, hal.88-98.

7
ayat 185 (‫“ )ن َم َ>ف ْ َش<< ِهَ>د ِمْ>ن ُكُ>م ال َّش<< ْه َر َف َلْ>ي ُص<< ْم ُه‬Barang siapa di antara
Lanjutan kamu
menyaksikan bulan itu, hendaklah ia berpuasa di bulan itu.” Artinya, orang yang
yang menyaksikan maksudnya bulan Ramadhan, disebabkan ia tidak berpergian,
hendaklah ia berpuasa. Menyaksikan itu dengan cara melihat hilal secara langsung
atau yakin dengan munculnya hilal yang dilihat oleh orang lain (terpercaya), maka
hal itu wajib berpuasa.
4. Pengertian Haji dan Umrah

Haji menurut bahasa (etimologi) berarti al-qashd ila mu’azhzham (pergi menuju
sesuatu yang diagungkan). Para ulama ahli bahasa berdalih atas hal tersebut
dengan merujuk ujaran seorang penyair:
Aku saksikan banyak sekali datang dari Auf
Yang berhaji, mengunjungi baju celup warna
merah Yang beraroma za’faran.
Sang penyair (Al-Mukhayyal As-sa’di) menggambarka kondisi orang-
orang yang bolak-balik ke tempat yang didiami Az-Zabarqan bin Badr untuk
melihatnya karena kekaguman mereka pada sorban Az-Zabarqan yang dicelup
dengan minyak za’faran. Secara eksplisit mereka tidak mengunjunginya untuk
mengagungkannya.
Adapun menurut istilah (terminologi, jika kalangan ahli bahasa menyebut haji uk
segala jenis maksud berpergian (al-qashd) secara umum, maka kalangan ahli fiqh
mengkhususkannya hanya untuk niatan datang ke Baitullah guna menunaikan
ritual-ritual perbuatan (manasikh) tertentu. Ibnu Al-Humam mengatakan: Haji
adalah pergi menuju baitul Haram untuk menunaikan aktivitas tertentu pada
waktu tertentu. Pakar fiqih lain mengatakan: Haji adalah pergi mengunjungi
tempat-tempat tertentu dengan prilaku tertentu pada waktu tertentu.7
Para ulama telah sepakat bahwa rukun Islam kelima ialah haji. Ibadah haji baru
disyariahkan pada tahun ke-6 Hijriyah mendapat jumhur ulama, dan
diwajibkanhanya sekali dalam seumur hidup.

7
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas,
Fiqih Ibadah, (Jakarta, AMZAH, 2009), hal. 481.
Penempatan ibadah haji sebagai rukun Islam kelima, tampaknya karena ibadah
haji merupakan ibadah yang paling berat, memerlukan biaya yang tidak sedikit,
waktu yang cukup lama dan kesiapan baik secara fisik-material serta mental
spritual yang harus benar-benar baik.8
Adapun umrah menurut arti bahasa berarti mengunjungi. Kalimat “i’tamarahu”
bersinonim dengan zarahu, mengunjunginya. Ia juga disebut sebagi haji kecil
karena memiliki kesamaan dengan haji dalam hal ihram, thawaf, sa’i, dan
mencukur atau memangkas rambut.

Sedagkan menurut arti syara’, umrah adalah ziarah ke Baitul Haram denagn
mekanisme tertentu.9

A. Ayat yang berkaitan dengan ibadah haji dan umrah

1) Ayat al-Qur’Qs. Al-Baqarah (2): 196-197

۟
‫َفِإ ْن أُ ْح ِص ْرُ>ت ْم َف َما ٱ ْسَ>تْ>ي َس َر ِم َن ٱلْ َه ْد ِى ۖ َوَ>ال َت ْحِلُ>قوا ُر ُءو َس ُك ْم‬ ۟
‫َوأَِ>ت ُّمو ا ٱلْ َح َّج َوٱلْ ُع ْم‬
‫َحت‬
‫َرَ>ة‬
‫ّ ى َيْ>بلُ َغ ٱلْ َه ْد ُى‬
‫ل ََِّّه‬
‫ِل‬
‫َم‬
‫ِحل‬
ۚ ‫ُّ>هۥ ۚ َف َمن َكا َن ِمن ُكم َّم ِري ًضا أَ ْو ِب ِۦٓه أًَ>ذى ِّمن َّرأْ ِس ِۦه َ ِف>ف ْدَ>يٌ>ة ِّمن ِصَ>يا ٍم أَ ْو َصَ>دَ>ق ٍة أَ ْو ُن ُس ٍك‬
‫َ ِف>إَ>ذآ أَ ِمنُت ْم َف َمن َت‬
‫َ مت‬
‫ّ َع‬
‫ى َف َمن‬ۚ ِ ‫ِبٱلْ ُع ْم َرِ>ة إِلَى ٱلْ َح ِّج َف َما ٱ ْسَ>تْ>ي َس َر ِم َن ٱلْ َه ْد‬
‫ل‬
َٰ
‫ص>ياُ>م َث لَ>ث ِة ََأّ>يا ٍم ِفى ٱْل َح ِّج َو َ ْس>ب َع ٍة َِإ>ذا َر َج ْعُت ْم‬
َ ِ ‫ّْ>م َي ِج ْد َف‬

‫ِتلْ َك َع َش َرٌ>ة َكا ِملٌَ>ة ۗ ذَلِ َك ِل َمن‬

‫ل‬

ۚ ‫ّ ْم َي ُك ْن أَ ْهلُُ>هۥ َحا ِض ِرى ٱلْ َم ْس ِ ِج>د ٱلْ َح َرا ِم‬

‫َ و ٱت‬
۟
‫ُّ>قوا ٱ‬

‫ل ََّّه‬
۟
‫َل َوٱ ْعَل ُٓوما أَ َّن ٱ‬

‫ل ََّّه‬

‫لَ َشِ>ديُ>د‬
‫ٱلْ ِعَ>قا ِب‬

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah
didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa
atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi
siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji),
(wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak
8
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam, hal. 109-110.
9
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas,
Fiqih Ibadah, hal. 603.
menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari
dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi
orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-
orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.

‫الْ َح ُّج أَ ْش ُه ٌر َّم َ َف َمن َض ِفي ِه َّن ٱلْ َح َّج َفَ>لا َ َر>ف َث َوَ>ال ُف ُس و ِجَ>دا َل ِف ى ٱل َح ِّج ۗ َو َما ِ َ ْخ>ي ٍر‬
‫م‬ ‫َق َوَ>ال‬ ‫َ ف َر‬ ‫ْعلُو‬
‫ْن‬ ‫ا‬‫و‬ ُ ‫ل‬ ‫ع‬َ ‫ف‬ >
ْ ‫ت‬ َ ‫م‬
‫ۗ َ>ي ْعلَ ْم ُه ٱ‬
‫ٌت‬
‫ل ََّّه‬
ُ‫ل‬

‫َي ول ِى ٱْ> َلألْ َٰ ب ِب‬


ۚ‫ى‬ ‫َخْ>ي َر ٱل َّزاِ>د‬ ۟
‫َوَ>ت َز َّوُ>دوا‬
ٓ ‫ٱ لت‬
ُ ‫َ و ٱت أ‬ ‫َ ِف>إ َّن‬
‫ّْ>ق َو‬
‫ُّ>ق و ِن‬

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang
mentapkan niatny dalam bulan ini akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas,
berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa
yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku,
hai orang-orang yang berakal.”
Pada beberapa ayat sebelum ini, utamnaya ayat 183-187, Allah swt,
menjelaskan ihwal hukum puasa berikut kaifayat dan waktunya, serta hal-hal yang
dilarang melakikannya di saat-saat berpuasa, dalam ayat 196 dan 197, Allah
menerangkan perkara hukum haji, dan waktu-waktu dilakukan jamaah haji.
Dikemukakannya persoalan haji ini setelah puasa, terutama menyangkut hukum
dan waktunya, sangatlah relevan mengingat bulan-bulan pelaksanaan haji
(Syawal. Dzul’Qa’dah, Dzul Hijjah) memang terdapat setelah bulan Ramadhan.10
Mengenai sebab turun ayat 198 surah al-Baqarah (2) di atas, terdapat berbagai
riwayat yang stau sama yang lain berbeda-beda, meski ada pula yang senada dan
bahkan saling menopang. Beberapa riwayat yang dimaksudkan ialah:
a. Diriwayatkan oleh Abu Muhammad dan hatim dari Shafwan bin
Umayyah, bahkan seorang laki-laki berjubah yang semarbak dengan wangi-

10
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam, hal. 115.
wangian Za’faran menghadap kepda Nabi Muhammad saw. Dan kemudian ia
bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah yang harus saya lakukan dalam menunaikan
‘umrah?” lalu turunlah firman Allah: “َِّ
‫ل َّه‬
۟
‫ ” ۚ ِل َ َر>ة <<<<ْم ُع َوٱلْ َّج َح ٱلْ ُّم> وا َوأَِت‬kemudian Rasulullah saw bersabda seraya beliau
bertanya: “Mana orang yang tadi menanyakan masalah ‘umrah itu?” orang tadi
menjawab: “Saya ya Rasululah.” Selanjutnya Rasulullah bersabda:
“Tanggalkanlah bajumu, kemudian bersihkanlah hidungmu dan mandilah sesuka
kamu, dan lalu kerjakanlah apa yang biasa engakau kerjakan pada waktu
mengerjakan haji.” Riwayat diatas paling sedikit oleh sebagian ahli sabab nuzul,
dinyatakan sebagai Hadits Gharib.
b. Dalam riwayat lain, yang terdapat dalam al-Shahihnya (Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim dari Abi Ya’la bin Umayyah, tentang kisah seseorang yang
menanyakan (Ihwal Umrah) kepada Nabi Muhammad saw. Yang ketika itu berada
di Ja’ranah, lalu Nabi Muhammad saw bertanya: “Mana orang yang bertanya
tadi?” kemudian sipenanya menjawab: “Saya ya Rasulullah!” Rasulullah
menjawab, “Tentang pakaian jubah yang kau kenakan, silahkan engkau lepaskan,
adapun terhadap wewangian yang ada, silahkan engkau cuci dan kemudian kamu
lakukan dalam ‘umrah itu kegiatan-kegiatan (ibadah) engkau perbuat pada saat-
saat kamu melakukan ibadah haji,” tanpa disebut-sebut tentang perintah mandi
dan beristinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), dan juga tidak menyinggung
ayat di atas.
c. Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari ‘Atha’ yang bersumber dari Ibn ‘Abbas,
bahwa: “ketika Rasulullah saw dab para sahabat berhenti di Hudaybiah (dalam
suatu perjalanan ‘umrah), tiba-tiba datanglah Ka’ab bin ‘Umrah yang di kepala
dan di mukanya bertebaran kutu karena sangat banyaknya.” Lalu ia berkata: “Ya
Rasulullah! Kutu-kutu ini sangat menyakitiku,” kemudian turun ayat;
‫ص>ي اٍ>م َصَ>دَ>ق ٍة أَ ْو ُن ُس ٍك‬
َ ِ ‫َف َمن َكا َن ِمن ُكم َّم ِري ًضا أَ ْو ِب ِۦٓه ًأَ>ذى ِّمن َّرأْ ِس‬
‫أَ ْو‬ ‫ۦِه َفِ>ف ْدَ>يٌ>ة ِّمن‬
Adapun sebab mengenai turun ayat 197 surah al-Baqarah, dalam hal ini
‫َخْ>ي َر ٱل َّزاِ>د‬ ۚ ‫ّْ>ق َوى‬
‫ٱ لت‬
‫َ و ٱت‬
ٓ ۟
‫ُّ>قو ِن َيأُ وِلى ٱْ> َلألْ َٰ ب ِب‬ ‫َوَ>ت َز َّوُ>دوا‬
‫َ ِف>إ َّن‬
Diriwayatkan al-Bukhari dan lain-lain dari Ibn Abbas bahwa penduduk yaman
tempo dulu sering nekad pergi haji tanpa membawa bekal untuk memenuhi
kebutuhan selama tinggal di Makkah dengan dalih cukup bertaqwalah kepada
Allah. Lalu turunlah ayat “Watazawwadu...” sementara menurut ‘Atha’ bin Abi
Rabah, “ ada seseorang yang keluar (pergi haji) dengan membawa semua bekal
yang ia punyai untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang lain, lalu turun ayat di
atas”.11
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan mufassirin mengenai apa yang
۟
dimaksud dengan “َ ‫ ” رَ>ة <ْ<م ُع َوٱلْ َّج َح ٱْ>ل ُّموا َوأَِ>ت‬sebagian, menyatakan, yakni
tunikan keduanya (haji dan ‘umrah) itu dengan sesempurna mungkin, sesuai
dengan
mansaik dan syarat-sayarat keduanya, semata-mata karena Allah tanpa ada
tambahan dan pengurangan sekecil apa pun. Ada pula yang menafsirkan
demikian: “sempurnakanlah haji dan ‘umrah itu dengan melaksankan keduanya
masing-masing/sendiri-sendiri, tidak digabung atau terpisah. Jadi satu kali pergi
haji dan pada kesempatan yang lain khusus pergi ber’umrah”. Sementara sebagian
yang lain menafsirkan bahwa nafkah atau (biaya) yang digunakan untuk haji itu
haruslah semata-mata ikhlas ikhlas untuk beribadah, tidak dicampur-baurkan atau
disusupi tujuan lain yang bersifat keuntungan duniawai.
2) Qs. Ali Imran (3) : 96-97

َ ‫ن ِمي‬
ّ‫ل‬

‫ِلَْٰ علَ ُهً>دى َو ًكا َر ُمَ>با َة َّك ِبَ>ب‬

َ ‫َل‬

‫ِّ>ذى ِس‬

َ‫ِلن‬

‫“ ّا َع ِض ُو ٍت َبْ>ي َل َّو أَ َّن ِإ‬Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk


(tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang
diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”

‫َ ِس>بً>ي َلۚا‬ ‫ّا ِس‬


‫َو ِح ُّج ٱل َْ>بْ>ي ِت َم ِن ٱ ْ َس>ت َطا َع‬ ‫َو َمن َد َخلَُ>هۥ َكا َن َءا ًِ>منا‬
‫ِإَلْ>ي ِه‬ ‫ِل َعل َى‬
‫ٱلن‬
َ‫ِف ي ِه َءا ي‬ ‫تبّ>ِي َٰ ن ٌت َّمَ>قاُ>م ِإْ>ب‬
َ ٌ ‫َٰ ر ِهي َم‬
‫َو َمن َكَ>ف َر‬

‫َفِ>إ َّن ٱ‬
‫ل ََّّه‬
‫َل َغِ>ن ٌّى َع ِن ٱلْ َعلَ ِمي َن‬

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim;


barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),

11
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam, hal. 116-118.
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.”
Pembicaraan yang terdapat sejak awal-awal ayat dari surah Ali Imran
membicarakan Ihwal kenabian Muhammad saw, disamping tentang pemantapan
tauhid dan pembantahan argumentasi-argumentasi yang diajukan Ahli Kitab
seputar pendapat mereka tentang agamanya. Dalam beberapa ayat sebelumnya,
paling sedikit ada dua topik yang di ragukan Ahli Kitab khusunya Yahudi
berkenaan dengan kenabian Muhammad saw, yaitu tentang pebghalalan daging
sapi yang selama ini mereka anggap haram, dan tentang peralihan kiblat dari Bait
al-Maqdis ke Bait Haram.
Terkhusus peralihan arah kiblat, Nabi Muhammad saw, memindahkan arah kiblat
dari Bait al-Maqdis di Palestina ke Ka’bah atau Bait Haram di Makkah, sebagian
orang mengatakan bahwa Bait al-Maqdis lebih afdhal dari pada Ka’bah, dan
karenanya lebih banyak dijadikan kiblat. Ia Bait al-Maqdis lebih dulu di bangun
sebelum Ka’bah, demikian asumsi mereka.
Di riwayatkan oleh Sa’id bin Mansyur yang bersumber dari ‘Ikrimah bahwa
ketika turun ayat 85 surah ‘Ali Imran yang menyatakan bahwa Islamlah satu-
satunya agama yang diterima Allah, kaum Yahudi menolak kebenaran itu, seraya
mereka berkata: “Sebenarnya kami ini orang-orang Muslimin.” Lalu Nabi
Muhammad berkata kepada mereka: “Allah telah mewajibkan kaum Muslim
supaya naik haji ke Bait Allah.” Mereka menolak menjalankan ibadah haji. Maka
turunlah ayat 97 surah “Ali Imran yang pada intinya menyatakan kewajiban haji
dipandang kafir.12
Potongan ayat 97 “ِ ‫ ” ِح ُّج ٱلَْ>بْ>ي ِت َم ن ٱ ْس<<َ>ت َطا َع بيً>َلا<َ<س‬maksudnya
ِ
‫ِإَلْ>ي<< ِه‬ ‫َو‬
‫ِل َعَلى‬
‫ٱلن‬
‫ّا ِس‬
bahwa haji itu adalah wajib bagi setiap umat Muhammad yang berkemampuan
(istha’ah) untuk melakukannya. Terdapat beberapa pandangan mufassir dalam
menafsirkan ayat ini. Ada yang mengatakan istha’ah dalam hal biaya (bekal) dana
perjalanan, dan ada pula yang mengatakan sehat badan, aman di perjalanan,
bahkan juga untuk biaya keluarga yang di tinggalkan, yang masih menjadi
12
tanggungannya. Ringkasnya, isthitha’ah dalam haji itu memiliki makna yang
12
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam, hal. 140-142.

13
sangat luas, meliputi kesiapan fisik dan mental, serta biaya dan perbekalan bahkan
juga keamanan selama perjalanan pulang pergi dan selama tinggal di Makkah. Al-
Maraghi menyimpulkan kewajiban menunaikan ibadah haji yang disyariahkan
istitha’ah itu, adapun batasan istitha’ahnya bisa saja berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan personal yang bersangkutan dengan perubahan zaman. Hanya saja
sepertyi dinyatakan Ali as-Sayis, umumnya ulama bahwa biaya dan bekal (al-zad)
serta aman diperjalanan (al-lahilah) merupakan dua syarat yang mesti termasuk
kedalam makna isthi’ah. Diriwayatkan dari Ibu Umar bahwa Nabi saw, pernah
dditanya tentang maksud al-Sabil dalam ayat di atas. Nabi saw menjawab: “al-
Sabil adalah al-Zad dan al-Rahilah.
3) Qs. Al-Hajj (22) ayat 27

‫َع ِْ>مي ٍق‬


‫ى ُك َضا ِم ٍر َيْ>أِ>تي َن ِمن ُك‬ ‫َوأَّ ِ>ذن ِف ى‬
‫ِّل َف ٍّج‬ ‫ٱلن‬
‫ِل‬ ‫ّا ِس ِبٱلْ َح ِّج َيْ>أتُو َك ِر َجاً>ال َو َعَل‬

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengenderai unta yang kurus yang
datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Diriwayatkan bahwa suatu ketika, tatkala kaum muslim menunaikan ibadah
haji, sebagian dari mereka ada yang tidak berkendaraan. Tidak lama kemudian
lalu turun ayat 27 surah al-Hajj agar membawa bekal secukupnya dan diizinkan
untuk berkendaraan dan jika perlu bahkan sambil berdagang.
Potongan ayat “ ‫ ” َوأَّ>ِذن ِفى‬,memerintahkan swt, Allah maknanya
‫ٱل ن‬
‫ّا ِس ِب<ٱلْ َح ِّج‬
kepada Nabi Ibrahim as, usai membangun Ka’bah, memanggil umat manusia
seraya beliau diperintahkan agar memberitahukan kepada mereka bahwa Allah
swt mewajibkan mereka berhaji ke baitullah. Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaybah,
Ibn Jarir, Ibn ‘Abbas ra, bahwa, begitu selesai membangun Ka’bah, Ibrahim
berkata: “Ya Tuhan-ku, aku telah selesai membangun Ka’bah,” lalu Allah
memrintahkan Ibrahim “Serulah olehmu umat manusia supaya menunaikan haji.”
Lalu Ibrahim bertanya: “Apakah amapai suara (seruanku) kepada mereka?” Allah
berfirman “katakanlah kepada mereka, hai manusia diwajibkan atas kamu semua
untuk berhaji ke Bait al-‘Atiq.” Seruan Nabi Ibrahim itu didengar oleh penghuni
langit (malaikat) dan penduduk bumi, (seraya Allah bertanya) “Tidaklah kamu
lihat Ibrahim, mereka mereka menyambut seruanmu dari segenap penjuru dunia
dengan membacakan talbiyah.”13
Jawaban Allah swt, kepada Nabi Ibrahim itu diabadikan dalam firman-Nya َ‫ك َيْ>أتُو‬
‫َع‬
‫َض<<<ا ِم ٍر َي<<<ْ>أِ>تي َن ِمن‬ ‫ عَل َو اً>ال <<<َج ِر َ ى‬bahwa mereka berbondong-
<<<‫ِْ>مي‬
‫ٍق‬ ‫ُك<<< ِّل َف ٍّج‬ ‫ ُك<<< ِّل‬bondong
mengunjungi Bait Allah untuk melakukan haji, baik yang berjalan kaki maupun
menggunakan kendaraan unta yang kurus. Disebutkannya unta yang kurus ialah
guna menggambarkan betapa unta itu mengalami kelelahan akibat jarak
perjalanan yang cukup jauh.
5. Pengartian Dhahiyyah (Qurban)

Qurban secara bahasa yaitu (ً ‫ب ِر َ>ق‬-َ‫ُب َر َ>يْ>ق‬-‫ )ن ْرَ>ب ا ُ>ق‬yang artinya dekat, dan qurban
juga
bisa disandingkan dengan kata Udh-hiyah (ِ ‫ )حَ>ي ة ْض اُْ>أل‬yang artinya hewan
ternak atau binatang sembelihan. Adapun secara istilah ialah menyembelih hewan
pada hari Idhul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah.14
A. Ayat yang berkaitan dengan dhahiyyah (Qurban)

‫إَّ>نآ أَ ع َط ي ٰن َك ال َك وَ>ث ر– َف ص ِّل ِل رب َك واْ>ن َش اِ>نَ>ئ َك ُه َو اْ> َ ْلأ>بَ>ت ُر‬


َ >ِّ َ َ َ ْ >ْ ْ ِ
‫ ِإ َّن‬- ‫َح ْر‬

"Sungguh, kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka


laksanakan lah sholat karena tuhanmu dan berqurbanlah (sebagai ibadah dan
mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah
yang yterputus (dari rahmat Allah). " (Qs.Al-Kautsar: 1-3).
lafal (ْ ‫“ )ر َح َواْ>ن َك َ ّر>ِب ِل ِّل َص َ>ف‬maka shalatlah untuk Rabb-mu dan sembelihlah
hewan.”
(Qs. Al-Kautsar ayat 2). Syekh Abdullah Alu Bassaam menngatakan, “sebagian
ulama ahli tafsir mengatakan; yang dimaksud dengan menyembelih hewan qurban
setelah sholat Idhul Adha.” Pendapat ini dinukil dari Qatadah, ‘Atha’ dan Ikrimah.
Yang dimaksud dari kata qurban yang digunakan bahasa sehari-hari, dalam istilah
agama disebut “dhahiyyah” yang berasal dari kata “dhaha” (waktu dhuha), yaitu
sembelihan diwaktu dhuha pada tanggal 10 sampai 13 bulan Dzulhijjah, dan dari
sini muncul istlah Idhul Adha.
13
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam, hal. 148-149
14
Ammi Nur Baits, Panduan Qurban, (Yogyakarta, Yufid Publishing, cet
I, 2015), hal. 5.
Allah berfirman dalam qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 34:

َ‫َو ِحٌ>د َف لَُ>هٓۥ أ‬


َٰ ‫َج َعْ>لَ>نا َمن َس ًكا‬
‫ى َما َر َز ق نَ>ب ِهي َم ِة ٱ َ ِعم ۗ َفِ>إ ل ُه‬ ‫َو ِل ُك ِّل َأُ ّ>م‬

‫ْسلِ ُموا‬ >‫َ ْلأ‬ ‫ُهم ِّم‬ ‫ل‬ ‫ٍة‬
‫ن‬
َٰ ۟
‫ُك ْم ِإ ل ٌه‬ ‫َِي ْذ ُك ُروا ٱ ْس َم ٱ‬
‫ل ََّّه‬
َ‫ِل َعل‬

‫َوَ>ب ِّش ِر ٱلْ ُم ْخِ>بِ>تي <َ ن‬

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan
Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu
berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-
orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”
Dan bagi tiap golongan yang beriman yang telah lalu, Kami menjadikan baginya
rangkaian ibadah manasik, berupa menyembelih dan menumpahkan darah (hewan
sembelihan). Yang demikian itu, supaya mereka menyebut nama Allah waktu
penyembelihan binatang-binatang ternak yang Allah karuniakan bagi kalian,
kemudian bersyukur kepadaNya. Tuhan sembahan kalian (wahai sekalian
manusia) adalah Tuhan sembahan Yang Maha Esa, yaitu Allah, maka patuhlah
kepada perintahNya dan perintah RasulNya. Dan berilah kabar gembira (wahai
Nabi) kepada orang-orang yang tawadhu lagi tunduk kepada Tuhan mereka,
dengan kebaikan dunia dan akhirat.15
15
https://tafsirweb.com/5770-quran-surat-al-hajj-ayat-34.
C. PENUTUP
1. KESIMPULAN

Ayat Ahkam atau ayat yang menjelaskan hukum-hukum fiqih (hukum-hukum


syariat yang bersifat praktis dan amaliyah) dan menjadi dalil atas hukum-
hukumnya baik secara nash atau secara istimbath. Al-Qur’an adalah kitab yang
sebagian isi kandungannya menjelaskan mengenai hukum baik secara vertikal
(habliumminallah) ataupun secara horizontal (habluminannas).
Puasa adalah suatu ibadah kepada Allah dengan menahan diri dari makan, minum,
menggauli istri, dan dari semua hal yang membatalkan puasa sejak mulai terbit
fajar hingga terbenam matahari. Hal ini berdasarkan dengan ayat surat al-Baqarah
{2} ayat 183-185 yang mana dalam ayat ini Allah memerintah (mewajibkan)
puasa kepada kita, sebagai umat Islam, sebagai mana Ia telah mewajibkan kepada
umat sebelum kita.
Haji adalah pergi menuju baitul Haram untuk menunaikan aktivitas tertentu pada
waktu tertentu. Adapun umrah juga tidak jauh beda dengan haji, umrah adalah
ziarah ke Baitul Haram denagn mekanisme tertentu. Hal ini berdasarkan surat al-
۟
Baqrah {2} ayat 167, dengan lafal “َ ‫ ” رَ>ة ْ<م ُع َوٱلْ َّج َح ٱلْ ُّموا َوأَِت‬sebagian
mufassirin, menyatakan, arti lafal itu yakni tunikan keduanya (haji dan ‘umrah)
itu dengan sesempurna mungkin, sesuai dengan mansaik dan syarat-sayarat
keduanya, semata-mata karena Allah tanpa ada tambahan dan pengurangan
sekecil apa pun. Qurban atau Dhahiyyah ialah menyembelih hewan pada hari
Idhul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini
selaras dengan ayat
2 surat al-Kautsar; lafal (ْ ‫“ )ر َح َواْ>ن َك َرِّ>ب لِ ِّل َص َ>ف‬maka shalatlah untuk Rabb-
mu dan
sembelihlah hewan.” (Qs. Al-Kautsar ayat 2). Syekh Abdullah Alu Bassaam
menngatakan, “sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; yang dimaksud dengan
menyembelih hewan qurban setelah sholat Idhul Adha.” Pendapat ini dinukil dari
Qatadah, ‘Atha’ dan Ikrimah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, 2009, Fiqih
Ibadah, Jakarta, AMZAH.
Ammi Nur Baits, 2015, Panduan Qurban, Yogyakarta, Yufid Publishing.
Fahd Salem Bahammam, 2015, Puasa dalam Islam, Modern Guide.
Isnan Ansory, 2018, Mengenal Tafsir Ayat Ahkam, Jakarta, Rumah Fiqih.
M.Quraish Shihab, 2013, Kaidah Tafsir, Tangerang, Lentera Hati.
Muhammad Amin Suma, 2016, Tafsir Ahkam, Lentara Hati.
https://tafsirweb.com/5770-quran-surat-al-hajj-ayat-34. diakses pada tanggal
18/10/20, 20.30 WIB.

Anda mungkin juga menyukai