Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok terstruktur mata kuliah metodologi studi
islam

KELOMPOK 4

FERRO APRILIAN ANDALAS 2121042

NURAINI HANIFAH 2121073

DOSEN PENGAMPU

M. ISNANDO TAMRIN, M.A

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI [UIN]

SJECH M. DJAMIL DJAMBEK

BUKITTINGGI

1444 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT., karna berkah, rahmat, dan karunia-Nya sehingga kami dari
kelompok pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat dan salam
semoga selalu tersampaikan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan semoga kita
semua mendapatkan syafa’at beliau di akhirat nantinya, aamiin.

Selanjutnya yang saya hormati bapak dosen M. Isnando Tamrin, M.A selaku dosen
pengampu mata kuliah metodologi studi islam. Adapun pembuatan tugas makalah ini adalah untuk
melaksanakan tugas yang telah bapak sendiri berikan kepada kami.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak karna telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Bukittinggi, 28 September 2022

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ ..ii

DAFTAR ISI…............................................................................................................................ iii

BAB I…. ........................................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN…. ................................................................................................................... 1

Latar Belakang… ............................................................................................................. 1

Rumusan Masalah…. ...................................................................................................... 1

Tujuan Masalah… ........................................................................................................... 1

BAB II… ....................................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN… ....................................................................................................................... 3

Pengertian Ijtihad.. .......................................................................................................... 3

Dasar-Dasar Ijtihad.. ....................................................................................................... 6

Syarat-Syarat Ijtihad…. .................................................................................................. 9

Lapangan Ijtihad.. ......................................................................................................... 12

Hukum Ijtihad…............................................................................................................ 13

Ijtihad Pada Masa Nabi SAW.. .................................................................................... 13

Ijtihad Sebagai Sumber Dinamika.. ............................................................................. 15

BAB III….................................................................................................................................... 17

PENUTUP… ............................................................................................................................... 17

Kesimpulan… ................................................................................................................. 17

Saran… ........................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama
yaitu yang bersumber dari Al-qur’an dan Hadis dengan jalan istinbat. Ijtihad sangat besar
peranannya dalam hukum-hukum Islam [fiqh]. Tanpa ijtihad, mungkin saja kontruksi hukum
Islam bisa sekokoh seperti saat sekarang ini, bahkan ajaran Islam tidak akan bertahan dan tidak
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan pada zaman modern seperti sekarang.
Seseorang yang boleh melakukan ijtihad adalah orang yang paham dengan Al-qur’an dan
Hadis nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Seseorang tersebut dinamakan dengan
mujtahid. Adapun mujtahid itu adalah ahli fiqh yang menghabiskan dan mengerahkan seluruh
kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama.
Jadi, pantaslah bagi kita untuk mengucapkan kata terima kasih kepada para mujtahid yang
telah mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam menentukan suatu hukum untuk
persoalan-persoalan yang belum diketahui hukumnya, baik yang terjadi pada zaman dahulu
maupun masa sekarang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijtihad?
2. Apa dasar-dasar ijtihad?
3. Apa syarat-syarat ijtihad?
4. Apa saja lapangan ijtihad?
5. Bagaimana hukum ijtihad?
6. Bagaimana ijtihad pada masa Nabi SAW?
7. Apa itu ijtihad sebagai sumber dinamika?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad
2. Untuk memahami dasar-dasar ijtihad

1
3. Untuk mengetahui syarat-syarat ijtihad
4. Untuk mengetahui apa saja lapangan ijtihad
5. Untuk mengetahui hukum ijtihad
6. Untuk mengetahui ijtihad pada masa Nabi SAW
7. Untuk mengetahui ijtihad sebagai sumber dinamika

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad asal katanya adalah jahada, secara bahasa artinya “pencurahan segala
kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan”. Perkataan tersebut menunjukkan
pekerjaan yang cukup sulit dilakukan atau lebih dari seperti biasanya. Ringkasnya, ijtihad
berarti bersungguh‐sungguh atau kerja keras untuk mencapai sesuatu.1 Jadi jika diartikan
menurut bahasa segala aktivitas yang kita lakukan dengan bersungguh-sungguh dan bekerja
keras guna menggapai sesuatu maka itu dinamakan dengan berijtihad. Contohnya: kita belajar
dengan giat, bersungguh-sungguh dan berkerja keras dengan menghafal materi yang telah
diterangkan dan diberikan oleh guru di sekolah atau dosen di kampus untuk mendapatkan hasil
atau nilai yang memuaskan saat ujian nanti, maka apa yang telah kita lakukan tersebut dikatakan
atau dikategorikan sebagai ijtihad.
Di dalam Al-Qur’an dapat ditemukan kata ijtihad secara bahasa, yaitu “jahada” terdapat
dalam Al-qur’an surat al-Nahl [16] ayat 38, surat al-Nur [24] ayat 53, dan surat Fathir [35] ayat
42. Semua kata itu berarti pengarahan seluruh kemampuan dan kekuatan [badzl al-wnsi’ wa al-
thaqah], atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah [al-mubalaghat fi al-yamin].2
Sedangkan dalam al-Sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya ”pada
waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa (fajtahidu fi al-du’a)”. Dan hadis lain yang
artinya ”Rasul Allah Saw bersungguh-sungguh (yajtahid) pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadan.3
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa ijtihad secara bahasa adalah
percurahan segenap kesanggupan untuk mendatangkan sesuatu dari bermacam urusan atau
perbuatan. Kata ijtihad berasal dari kata “jahada” yang berarti berusaha keras atau berusaha
sekuat tenaga; kata ijtihad yang secara harfiah mengandung arti yang sama, Secara teknis,
ijtihad ditetapkan bagi seorang ahli hukum yang dengan kemampuan akalnya berusaha keras

1
Hanipatudiniah Madani, “Tinjauan Umum Ijtihad,” Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952.
(2021): 2013–2015. Hlm., 21
2
Koko Abdul Kodir, Studi Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017. Hlm., 191
3
Ibid.

3
untuk menentukan pendapat di lapangan hukum mengenai hal yang pelik dan meragukan atau
belum ditemukan hukumnya.
Ijtihad memiliki makna khusus di dalam Islam, yaitu pencurahan semua kemampuan
secara maksimal agar memperoleh suatu hukum syara’ yang amali melalui penggunaan sumber
syara’ yang diakui dalam Islam.4 Jadi ijtihad secara khususnya memiliki makna bahwa seorang
yang berijtihad atau diistilahkan dengan mujtahid mencurahkan kemampuan yang mereka
miliki dalam diri mereka masing-masing, secara maksimal untuk memperoleh suatu hukum
syara’ yang amali [perbuatan] dengan menggunakan sumber-sumber syara’ yang diakui oleh
Islam, yaitu jumhur ulama sepakat bahwa sumber-sumber hukum Islam itu adalah Al-qur’an,
Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Bagimana jika seseorang mujtahid tidak menggunakan sumber-sumber
hukum Islam sebagai landasan mereka dalam mengistimbatkan hukum?, maka hal itu dilarang
karna bisa mendatangkan kesesatan karna landasan yang dia pakai hanya kekuatan akal dan
logika saja tanpa bimbingan dari Al-qur’an dan Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika
mengistimbatkan hukum menggunakan kekuatan akal saja maka ruang untuk nafsu masuk atau
turut andil di dalamnya sangatlah besar.
Ketika dalam menetapkan suatu hukum dipengaruhi oleh nafsu maka hukum yang
dikeluarkan akan terlihat sebagai pemikiran semata dari manusia saja, keinginan mereka saja,
untuk menghalalkan apa yang menurut mereka adalah benar, sedangkan di dalam Al-qur’an
belum tentu kebenaran dari hukum yang telah kita keluarkan tadi / yang diistimbatkan oleh
mujtahid tadi. Maka untuk itulah Al-qur’an dan sumber-sumber hukum Islam yang lain sangat
diperlukan sebagai landasan dan pembimbing bahkan petunjuk untuk orang-orang yang
berusaha menemukan hukum sesuatu yang belum jelas hukumnya terutama untuk para mujtahid
agar dalam menentukan hukum sesuatu tersebut tidak salah dan melenceng dari ajaran Islam.
Menurut Mahmud Syaltout, ijtihad artinya sama dengan Ar-ra’yu, yang perinciannya
meliputi :5

a. Pemikiran arti yang dikandung oleh Alquran dan Sunnah

b. Mendapat ketentuan hukum sesuatu yang tidak ditunjukan oleh nash dengan sesuatu
masalah yang hukumnya ditetapkan oleh nash

4
Madani, “Tinjauan Umum Ijtihad.”
5
Abuy Sodikin, Metodologi Studi Islam (Bandung: Insan Mandiri, 2002). Hlm., 65

4
c. Pencerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang
masalah yang tidak ditunjukkan hukumnya oleh suatu nash secara langsung.

Pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasyri’ dan masa
sahabat. Perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Alquran,
ijtihad dengan al- Sunnah, dan ijtihad dengan dalalah nash.6

Menurut Abu Zahrah, secara istilah arti ijtihad dipahami sebagai upaya seorang ahli
fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum ‘amaliah yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci. Sedangkan menurut al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili,
ijtihad ialah pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang dzanny [masih
dikeragui atau abstrak] dari hukum-hukum syara.

Jika dianalisa, pengertian ijtihad sebagaimana telah dijelaskan di atas, secara tersirat
menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang berkenaan
dengan amal; bukan bidang pemikiran. Oleh karena itu, menurut ulama fikih, ijtihad tidak
terdapat pada ilmu kalam dan tasawuf. Di samping itu, ijtihad berkenaan dengan dalil
zhanni, sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qaath’i. Hal ini senada dengan pendapat
Ibrahim Hosen, yang selanjutnya dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat yang mengatakan bahwa
cakupan ijtihad hanyalah bidang fikih. Selanjutnya, Hosen mengatakan, pendapat yang
menyatakan bahwa ijtihad secara istilah juga berlaku dalam bidang akidah ataupun akhlak,
jelas tidak bisa dibenarkan.

Jadi secara istilah ijtihad mempunyai arti lain, yaitu “penelitian dan pemikiran untuk
mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang
lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah
syariah yang terkenal dengan maslahat.7

Sedangkan tentang bagaimana seorang mujtahid dalam mengeluarkan suatu hukum,


maka ada pendapat dari imam Asy-Syafi’i, yang mengatakan bahwa seseorang tidak boleh
mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan

6
Koko Abdul Kodir, Studi Metodologi Studi Islam. Hlm., 192
7
Abd Wafi Has, “Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam,” Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu
Keislaman 8, no. 1 (2013). Hlm., 91

5
sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian
juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum menggali sumber hukum dengan sungguh-
sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek kriteria
seorang mujtahid agar hasil ijtihad-nya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.8 Ijtihad
mempuyai arti umum, yaitu sebagai kekuatan atau kemampuan dalam mencentuskan ide-
ide yang bagus demi kemaslahatan umat. Ada beberapa pendapat bahwa ijtihad adalah
pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memeroleh
pengertian terhadap hukum syara (hukum Islam).

B. Dasar-Dasar Ijtihad
Itihad bisa dipandang sebagai salah satu metode penggali sumber hukum. Dasar -dasar
ijtihad atau dasar hukum ijtihad ialah Al-qur’an dan As-sunnah.9 Di dalam ayat yang menjadi
dasar dalam ber-ijtihad sebagai firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa’[4] 105 sebagai berikut:

‫ِّٰللاُِ َۗو ََلِتَ ُك ْنِلِّ ْلخ َۤا ِٕىنيْنَ ِخَص ْي ًما‬


‫بِب ْال َح ِّقِلت َ ْح ُك َمِبَيْنَ ِالنَّاسِب َمآِا َ ٰرىكَ ه‬ ْ َ‫اِنَّآِا َ ْنزَ ْلنَآِالَيْك‬
َ ‫ِالك ٰت‬
Artinya :
Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad)
membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang yang berkhianat. [An-Nisa’[4]: 105]
Dan juga terdapat dalam surat Ar-Rum ayat 21:
ٰ َ َ‫… ا َّنِف ْي ِٰذلك‬..
َِ‫َِل ٰيتِِلِّقَ ْومِيَّتَفَ َّك ُر ْون‬
Artinya:
…..Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda [kebesaran
Allah] bagi kaum yang berpikir. [Ar-Rum [30]: 21]
Diantara fungsi ijtihad adalah: 1) fungsi al-ruju’ (kembali): mengembalikan ajaran ajaran
Islam kepada Al-qur’an dan Sunnah dari segala interpretasi yang kurang relevan, 2) fungsi al-
ihya (kehidupan): menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan Islam semangat agar
mampu menjawab tantangan zaman, 3) fungsi al-inabah (pembenahan): memenuhi ajaran-

8
Ibid. 92
9
Ibid. 93

6
ajaran Islam yang telah di ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan
menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.10
Adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antaranya adalah hadis ’Amr bin al-’Ash
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad bersabda: ”Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,
kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum
dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala”.
Hadis lain yang dijadikan dasar ijtihad ialah hadis Mu’adz bin Jabal ketika ia diutus oleh
Nabi ke Yaman sebagai hakim: ”Dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz?” Mu’adz
menjawab: ”Dengan sesuatu yang terdapat di dalam kitab Allah.” Nabi bersabda: ”Kalau kamu
tidak mendapatkannya dari kitab Allah?” Mu’adz menjawab: ”Saya akan memutuskannya
dengan sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasul Allah.” Nabi berkata: ”Kalau kamu tidak
mendapatkan sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasul Allah?” Mu’adz menjawab: ”Saya akan
berijtihad dengan pikiran saya.” Nabi bersabda: ”Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufiq kepada utusan dari rasul-Nya.” Berijtihad berarti menggunakan segenap potensi nalar
(akal) dalam menentukan suatu hukum. Islam merupakan agama yang sangat menghargai akal.
Banyak ayat-ayat Al-quran yang menyatakan suruhan untuk mempergunakan akal,
sebagaimana dapat dilihat dari arti ayat-ayat di bawah ini, yaitu:

ِ‫ىِاَلَ ْلبَاب‬ ٰ َ ‫ِوالنَّ َهار‬


ْ ‫َِل ٰيت َِِّلُول‬ َ ‫اخت ََلفِالَّيْل‬ َ ‫اِ َّنِف ْيِخ َْلقِالسَّمٰ ٰوت‬
َ ‫ِو ْاَلَ ْرض‬
ْ ‫ِو‬
Artinya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. [Ali-Imran [3]: 190]

ْ ‫ص ُّم‬
َِ‫ِالبُ ْك ُمِالَّذيْنَ ََِلِيَ ْعقلُ ْون‬ ‫ا َّنِش ََّرِالد ََّو ۤابِّ ِع ْندَ ه‬
ُّ ‫ِّٰللاِال‬

Artinya:

10
Ibid. 94

7
Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan
Allah ialah mereka yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran) yaitu orang-
orang yang tidak mengerti.
Dalam beberapa keterangan dijelaskan, bahwa ijtihad juga dilakukan para sahabat ketika
Abu Bakar menjadi khalifah. Pada waktu itu terdapat sekelompok umat Islam yang tidak
membayar zakat fitrah, Abu Bakar melakukan tindakan dengan memerangi mereka, tindakan
Abu Bakar tersebut pada mulanya tidak disetujui oleh Umar bin Khattab. 11 Umar bin Khattab
beralasan dengan menggunakan sabda Nabi, yang artinya:
”Saya diperintahkan untuk memerangi orang banyak (yang mengganggu Islam) sehingga
mereka mau mengucapkan kalimah syahadat. Kalau mereka telah mengucapkannya, terjagalah
darah dan harta mereka, kecuali dengan cara yang benar”.
Menurut suatu riwayat, dalam peristiwa itu Abu Bakar berargumen berdasarkan sabda
Nabi, Lilahi Haqqika. Dalam kata-kata itu menunaikan zakat adalah sebagaimana mengerjakan
shalat, termasuk haq. Menurut Ahmad Salabi. Pada suatu waktu setelah Abu Bakar dibaiat jadi
khalifah, keesokan harinya orang melihat Abu Bakar membawa perniagaan ke pasar, beberapa
orang sahabat yang menyaksikan antara lain Abu Ubaidah mendekati khalifah dan berkata
”kekhalifahan itu tidak dapat dicampur dengan berniaga”, Abu Bakar menjawab, ” Lalu dengan
apakah aku dapat hidup dan membiayai rumah tanggaku”?. Keadaan ini mendapat perhatian
sahabat, kemudian ditentukanlah tunjangan secukupnya untuk Abu Bakar dan keluarganya.
Selain itu Abu Bakar juga melakukan ijtihad di waktu akhir dari kekhalifahannya, yaitu untuk
mencari penggantinya dengan membicarakan terlebih dahulu dengan kaum Muhajirin dan kaum
Anshor.
Adapun Umar bin Khattab sesuai dengan masa pemerintahannya yang panjang, dan
perkembangan masyarakat Islam yang luas, maka Umar lah yang paling berani merealisasikan
jiwa Al-quran. Beliau banyak berpegang kepada ruh hukum Islam, dari pada berpegang kepada
bunyi tekstualnya. Khalifah Umar yang pertama kali membentuk pasukan tentara yang digaji
tetap setiap bulan, menyusun dewan-dewan, jawatan-jawatan dan mengangkat pegawai,
membagi pemerintahan dengan sistem daerah. Suatu bukti yang amat jelas bahwa Umar lebih
berpegang kepada ruh Islam dari pada tekstualnya. Contohnya ketika Umar melarang para
sahabat besar meninggalkan kota Madinah dan melarang memiliki tanah di daerah. Dalam

11
Koko Abdul Kodir, Studi Metodologi Studi Islam. Hlm., 196-197

8
ajaran Islam tidak ada larangan seperti ini sedikitpun. Akan tetapi Umar berpendapat bahwa
jika para sahabat besar dibiarkan pergi ke daerah-daerah dan bertempat tinggal di daerah itu,
maka nantinya rakyat akan berkumpul di sekeliling mereka dan akan terpesona, kagum dengan
apa yang mereka dengar dari para sahabat itu tentang pergaulan mereka dengan Nabi, dan
peristiwa- peristiwa yang dialami mereka sewaktu menolong dan mendukung Nabi. Selanjutnya
keadaan ini akan memberikan kedudukan istimewa bagi mereka. Sehingga dikhawatirkan para
sahabat itu akan mendirikan negara dalam negara sehingga tidak ada lagi kesatuan
kepemimpinan. Karena itulah Umar melarang meninggalkan Madinah, kecuali dengan izinnya
untuk sementara saja. Dalam hal ini Umar berpegang kepada ruh Alquran dan semangat ajaran
Islam.
Hal yang dikhawatirkan Umar itu benar-benar terjadi pada masa khalifah Utsman bin
Affa, para Sahbat dibiarkan bepergian kemana saja, akhirnya, para sahabat kemudian
mendirikan semacam aristokrasi keagamaan buat mereka sendiri. Masing-masing membangga-
bangakan pengalaman mereka sebagai orang-orang yang pertama kali masuk Islam dan pernah
bergaul dan bersama Rasulullah. Sehingga kemudian masing-masing dari para sahabat itu
mempunyai pengikut yang banyak jumlahnya. Kemudian di waktu para utusan daerah datang
ke Madinah untuk memakzulkan Utsman, masing-masing utusan itu menghendaki agar sahabat
yang berada di daerahnyalah yang diangkat menjadi khalifah. Penduduk Bashrah misalnya,
menghendaki Zubair. Penduduk Kufah menginginkan Thalhah, sehingga akhirnya kurang
terjalin kesatuan. Pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah, beliau pemah berijtihad
dengan tidak melakukan hukum potong tangan pada kasus pencurian yang dilakukan oleh
seseorang dikarenakan orang yang mencuri tersebut melakukan pencurian pada masa panceklik
untuk kebutuhan hidupnya.
C. Syarat-Syarat Ijtihad
Orang yang melakukan ijtihad disebut sebagai seorang mujtahid. Mujtahid adalah orang
yang mampu berijtihad dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap, mampu mendalami dan
menyimpulkan hukum-hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as- Sunnah. Tidak
mudah untuk menjadi seorang mujtahid, karna untuk menjadi seorang mujtahid ada syaratnya.
Hanya orang tertentu yang memenuhi syarat yang bisa melakukan ijtihad. Namun para ulama
berbeda dalam menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid.

9
Sebelum dikemukakan beberapa pendapat ulama mengenai syarat-syarat mujtahid,
alangkah baiknya jika dijelaskan dahulu mengenai rukun ijtihad menurut Nadiyah Syafari al-
Umari, yaitu:12
1. Al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi, yang tidak
diterangkan oleh nash.
2. Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempuyai kemampuan untuk
berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
4. Dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mengatakan syarat bagi mujtahid
adalah mengetahui syariat dan hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga dapat mendahulukan
yang seharusnya didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yag seharusnya diakhirkan, adil dan
tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.13
Sedangkan Fakhr al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Razi mengatakan syarat-
syarat mujtahid adalah mukallaf, mengetahui makna-makna lafadh dan rahasianya, mengetahui
keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya kewajiban atau larangan, dan
mengetahui keadaan lafadh apakah memiliki qarīnah atau tidak.14
Rusdi Khalil mengatakan syarat-syarat ijtihad adalah harus mengetahui ayat-ayat hukum
dalam al-Qur‟an, harus mengetahui hadits-hadits hukum misalnya yang terdapat dalam kitab
Nailul Awthar li al-Syaukany, mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui ushul fiqh yang
oleh al- Razi dianggap paling penting dimiliki seorang mujtahid, mengetahui ilmu-ilmu bahasa
arab seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan sejenisnya, juga mengetahui ijma‟ agar ijtihad yang
dihasilkan tidak bertentangan dengan ijma.15
Adapun syarat-syarat mujtahid yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui bahasa Arab, karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Al-Sunnah,
sebagai penjelas Alquran, juga ditulis dalam bahasa Arab.

12
Ibid., 198
13
Abdur Rahem, “Menelaah Kembali Ijtihad Di Era Modern,” Islamuna: Jurnal Studi Islam 2, no. 2 (2015): 183. Hlm.,
191
14
Ibid.
15
Rusydi. Kholil, Ushul Fiqh. (Pamekasan: Pustaka Pribadi, 2013). Hlm., 92

10
2. Mengetahui nasikh-mansukh dalam Alquran.
3. Mengetahui sunnah, baik perbuatan, perkataan, maupun penetapan.
4. Mengetahui ijmak dan ikhtilaf.
5. Mengetahui qiyas.
6. Mengetahui maqashid al-syari’ah.
7. Memiliki pemahaman yang tepat (shihhat al-fahm) yang karenanya mujtahid dapat
memahami ilmu manthiq.
8. Memiliki niat yang baik dan keyakinan (aqidah) yang selamat.
Berdasarkan syarat-syarat (kualifikasi) untuk menjadi seorang mujtahid yang
dikemukakan oleh beberapa orang ulama di atas, dapat kita pahami bahwa menjadi seorang
mujtahid itu tidaklah mudah. Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujahid itu cukup
banyak. Maka untuk itu, menurut Muhaimin. Sesuai dengan syarat-syarat yang dimilikinya,
mujtahid itu terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan itu ialah mujtahid
muthlaq dan mujtahid madzhab.
Mujtahid muthlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari
sumbernya. Di samping itu, ia pun mampu menerapkan dasar-dasar pokok sebagai landasan
ijtihadnya. Mujtahid muthlaq terbagi menjadi dua tingkatan. Pertama, mujtahid muthlaq
mustaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia
susun sendiri. Ia tidak taklid kepada mujtahid lainnya, dan bahkan metode dan dasar-dasar yang
ia susun menjadi mazhab tersendiri. Yang termasuk mazhab ini, umpamanya, empat tokoh
mazhab fikih terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.16
Kedua, mujtahid muthlaq muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat muthlaq
mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode tersendiri. Mujtahid kelompok ini tidak taklid kepada
imamnya tanpa dalil dan keterangan; ia menggunakan keterangan imamnya untuk meneliti
dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya. Contohnya, al- Muzani dari mazhab Syafi’i
dan al-Hasan bin Ziyad dari mazhab Hanafi.17
Mujtahid fi al-madzhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama
yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh mazhab nya dengan cara menggunakan metode
yang telah disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya, Abu Ja’far al-Thahtawi dalam mazhab

16
Koko Abdul Kodir, Studi Metodologi Studi Islam. Hlm., 201
17
Ibid.

11
Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua: (1) mujtahid takhrij; dan (2) mujtahid tarjih atau
bisa disebut dengan mujtahid fatwa.18
Karena begitu banyak dan beragamnya syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid, tampaknya untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi. Oleh karena itu, ijtihad tidak
hanya dapat dilakukan oleh perorangan (ijtihad fardiah), tetapi juga dapat dilakukan secara
kelompok (ijtihad jamai’). Artinya, sekelompok ulama dengan disiplin ilmu yang berbeda
secara bersama-sama melakukan ijtihad untuk menentukan sebuah hukum yang tidak
disebutkan secara eksplisit dalam Alquran dan Sunnah.19
D. Lapangan Ijtihad
Lapangan ijtihad (majal al-ijtihad), merupakan masalah-masalah yang terjadi dan dapat
diputuskan hukumnya melalui ijtihad, yang dalam istilah teknis ushul fiqh disebut mujtahid fih.
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali, bahwa lapangan ijtihad adalah setiap hukum
syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’i, baik dalam pengertian qath’i ad-dalalah maupun
qath’i al-wurud. Sedangkan hukum yang dapat diketahui dari agama secara dlaruri dan badihi,
sama sekali bukan merupakan wilayah ijtihad.20 Jadi dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang
telah ditetapkan hukumnya dalam Al-qur’an dan Sunnah secara pasti [qath’i] tidak boleh
digunakan ijtihad lagi dalam penetapannya, karna hal tersebut telah jelas dan benar-benar ada
atau tidak ambigu, misalnya, kewajiban melakukan shalat llima waktu, kewajiban berpuasa,
zakat, haji, larangan berzina, membunuh, karena semuanya itu telah dijelaskan secara tegas
dalam teks Al-qur’an dan Sunnah.
Secara lebih detail lagi Ibrahim Hosein menyampaikan medan ijtihad sebagai berikut.
Pertama, masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash Al-qur’an atau
Sunnah secara tegas. Kedua, masalah- masalah baru yang hukumnya belum diijma’i oleh
ulama’ atau aimmah al- mujtahidin. Ketiga, nash-nash zhanni dan dalil-dalil hukum yang masih
diperselisihkan. Keempat, hukum Islam yang ma’qul al-ma’na atau ta’aqquli [kausalitas
hukumnya/’illat-nya dapat diketahui oleh mujtahid].21 Lebih lanjut, dikatakan oleh Hosen
bahwa ijtihad tidak boleh dilakukan pada hal-hal berikut ini: pertama, hukum Islam yang

18
Ibid.
19
Ibid.
20
Remaja Rosdakrya et al., “Ijtihad : Sumber Dinamika Islam” (2011): 202–219. Hlm., 215
21
Ibrahim. Hosen, “Taqlid Dan Ijtihad Beberapa Pengertian Dasar,” dalam Budhy Munawar Rachman."
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (1995). Hlm., 321

12
ditegaskan oleh nash al-Qur’an atau as-Sunnah yang statusnya qath’i (ahkam manshushah, atau
qath’i ad-dalalah), yang dalam istilah ushul fiqh dikenal dengan syari’ah atau ma‘ulima min
ad-din bi ad- dlarurah; kedua, hukum Islam yang telah diijma’i oleh ulama; dan ketiga, hukum
Islam yang bersifat ta’abbudi/ghair ma’quli al-ma’na (yang kausalitas hukumnya/’illat-nya
tidak dapat dicerna dan diketahui oleh mujtahid.22
E. Hukum Ijtihad
Jika seorang muslim berhadapan dengan suatu peristiwa, atau mungkin ditanya mengenai
suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’ dalam Islam, maka hukum untuk
melakukan ijtihad ada berbagai macam. Sebagaimana diuraikan oleh Wahbah az-Zuhaili boleh
jadi hukum ijtihad itu adalah wajib ‘ain, wajib kifayah, sunnah dan bahkan haram, tergantung
pada kapasitas orang yang berangkutan.23 Pertama, bagi muslim yang memenuhi kriteria
mujtahid yang dimintai hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan dia khawatir peristiwa itu
akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang
tidak jelas hukumnya dalam nash, maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.24 Kedua, bagi
seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas sautu
peristiwa yang terjadi, tetapi dia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada
mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah.25 Ketiga, hukum ijtihad menjadi
sunnah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum (akan) terjadi. Keempat,
hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya
secara qath’i (qath’i ad-dalalah), baik dalam Al-qur’an maupun Sunnah; atau ijtihad atas
masalah yang hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ (kesepakatan ulama’).26
F. Ijtihad Pada Masa Nabi SAW.
Jika dianalisa secara mendalam, wacana dan pembahasan mengenai ijtihad Rasulullah di
kalangan para ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit. Secara umum, mereka
menyepakati ijtihad Rasul Saw., dalam urusan-urusan kemaslahatan yang bersifat keduniawian
(al-mashalih al-dunyaiuiyah), pengaturan taktik dan strategi peperangan (tadabir al-hurub),
dan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan persengketaan (al-aqdhiyah wa al-

22
Ibid., 321-322
23
Rosdakrya et al., “Ijtihad : Sumber Dinamika Islam.” Hlm., 214
24
Ibid.
25
Ibid.
26
Ibid.

13
khushumah). Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai ijtihad Rasul Saw dalam urusan
hukum-hukum agama (al-ahkam al-syari’ah).27
Mengenai tentang boleh atau tidaknya nabi Muhammad berijtihad dalam urusan hukum-
hukum agama, maka para ulama berbeda pendapat, Pertama, kebanyakan para ahli ushul fiqh
membolehkan. Menurut mereka, ini pernah dilakukan oleh Rasul Saw. Kedua, para pengikut
Abu Hanifah (Hanafiah) berpendapat bahwa Rasulullah Saw., diperintahkan untuk berijtihad
setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan suatu peristiwa yang terjadi, dan beliau
mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap begitu saja. Ketiga, kebanyakan pengikut Asya’riah, ahli
kalam, dan kebanyakan pengikut Muktazilah tidak menyetujui ijtihad Rasulullah dalam urusan
hukum-hukum agama.28
ِ‫صر ٖهِ َم ْنِيَّش َۤا ُءِِۗا َّن‬ ْ ‫ي‬ ْ ْ ‫قَدِْ َكانَ ِلَ ُك ْم ِٰايَةٌِف ْيِفئَتَيْن‬
ْ َ‫ّٰللاُِي َُؤيِّدُِبن‬
‫ِال َعيْنِ َۗو ه‬ َ ‫ِوا ُ ْخ ٰرىِكَاف َرةٌِي ََّر ْونَ ُه ِْمِ ِّمثْلَيْه ِْمِ َرأ‬
َ ‫ِّٰللا‬ َ ِ‫ِالتَقَت َاِۗفئَةٌِتُقَاتلُِف ْي‬
‫سبيْل ه‬
ِ‫صار‬ َ ْ ‫ف ْي ِٰذلكَ ِلَعب َْرةً َِِّلُول‬
َ ‫ىِاَل ْب‬
Artinya:
Sungguh, telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadap-hadapan. Satu
golongan berperang di jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat dengan mata
kepala, bahwa mereka (golongan Muslim) dua kali lipat mereka. Allah menguatkan dengan
pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata hati). [Q.S. Ali-Imran [3]: 13]

ْ ‫…فَا ْعت َب ُر ْواِ ٰيٓاُول‬..


َ ‫ىِاَلَ ْب‬
ِ‫صار‬
Artinya:
…..Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan!. [Q.S. Al-Hasyr [59]: 2]

…..‫ىِاَلَ ْلبَاب‬
ْ ‫صصه ْمِعب َْرة ٌ َِِّلُول‬
َ َ‫لَقَدِْ َكانَ ِف ْيِق‬
Artinya:
Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang
mempunyai akal. [Q.S. Yusuf [12]: 111)

27
Koko Abdul Kodir, Studi Metodologi Studi Islam. Hlm., 202
28
Ibid.

14
Kalimat “ulu al-abshar, ulu al-albab”, dan ’ibrah” pada ayat-ayat terdahulu tidak hanya
berlaku bagi khithab ketika ayat itu diturunkan, tetapi berlaku juga bagi Rasul Saw., karena
beliaulah sesungguhnya yang lebih tepat disebut ulul-abshar dan ulul-albab. Kata-kata tersebut
menggambarkan suatu perintah untuk memprediksi masa depan dengan cara perbandingan, atau
dalam istilah ushul adalah qiyas, sedangkan qiyas adalah bagian dari kegiatan ijtihad.
Pada fase selanjutnya, ijtihad banyak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah, para
Tabi’in. Pada umumnya mereka sangat berhati-hati sekali dan menentukan syarat yang cukup
banyak jika ingin melakuklan ijtihad. Hal ini dikarenakan sikap mereka yang sangat berhati-
hati, tetapi tuntutan perkembangan zaman dengan segala persoalan yang muncul di dalamnya,
harus senantiasa mendapatkan jawaban dalam Islam.
G. Ijtihad Sebagai Sumber Dinamika
Pada masa ini umat Islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa kekinian atau
munculnya masalah-masalah baru yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-
peristiwa itu memerlukan penyelesaian secara seksama dan berlandaskan petunjuk agama
Islam, lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas penunjukannya oleh nas. Di samping itu, kata
Rager Graudi, sebagai dikutip oleh Jalaludin Rahmat, tantangan umat Islam sekarang ada dua
macam, yakni taklid kepada Barat dan kepada masa lalu. Taklid model pertama terjadi karena
ketidakmampuan melakukan pemilahan antara modernisasi dan cara hidup Barat; sedangkan
taklid model kedua muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan antara agama (wahyu)
dengan pemikiran ulama masa lalu.29
Melihat persoalan-persoalan tersebut, umat Islam dituntut untuk keluar dari kebingungan
atau kemelut hal itu, yakninya dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad menjadi
hal yang sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang dan sembarang orang.
Adapun sebab kepentingannya itu disebabkan oleh hal-hal berikut ini:30
1. Jarak antara kita dengan masa tasyri’ semakin jauh. Jarak yang jauh ini memungkinkan
terlupakannya beberapa nas, khususnya dalam Sunah, yakni masuknya hadis-hadis palsu dan
perubahan pemahaman terhadap nas. Oleh karena itu para mujtahid dituntut secara sungguh-
sungguh menggali ajaran Islam yang sebenarnya melalui kerja ijtihad.

29
Rosdakrya et al., “Ijtihad : Sumber Dinamika Islam.” Hlm., 218
30
Ibid.

15
2. Syariat disampaikan dalam al-Qur’an dan Sunnah secara komprehensif; memerlukan
penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh. Di dalamnya terdapat sejumlah ayat, yang
bisa dikatakan masih dalam kategori memerlukan penjelasan.
Dilihat dari fungsinya, ijtihad sebagai penyalur kreativitas pribadi atau kelompok dalam
menjawab suatu peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Di
samping itu, ijtihad pun memberikan tafsiran kembali atas perundang-undangan yang bersifat
insidental sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku pada masanya dengan tidak melanggar
prinsip-prinsip umumnya, dalail-dalil kulli dan maqashid asy-syari’ah yang merupakan aturan-
aturan pengarah dalam hidup. Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang
zhanni ad-dalalah. Penjelasan terhadap dalil-dalil tersebut memerlukan kerja akal fikiran lewat
ijtihad. Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis, memperoleh
manfaat yang sebesar- besarnya dari ajaran Islam, mencari dan pemecahan islami untuk
masalah-masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad juga menjadi saksi keunggulan agama Islam
atas agama-agama lainnya.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijtihad merupakan cara yang dipakai oleh seseorang untuk menentukan suatu hukum yang
tidak terdapat atau belum jelas dalam Al-qur’an dan Sunnah. Seseorang tersebut dinamakan
dengan mujtahid. Untuk berijtihad maka para mujtahid haruslah berpegang kepada dasar-
dasarnya, yaitu Al-qur’an dan Sunnah. Agar tidak terjadinya penggalian atau penetapan hukum
yang berdasarkan nafsu dan keinginan sendiri.
Maka untuk itu agar bisa menjadi seseorang yang bisa dan ahli dalam berijtihad maka dia
haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama agar tidak asal
mengistimbat kan hukum, seperti memahami bahasa arab, ilmu balaghah, ilmu Sharaf, nahwu,
nasakh wa Mansukh, dan sebagainya. Namun perlu diingat bahwa tidak semua hal atau
persoalan boleh diijtihadkan, karna sesuai dengan pengertian di atas tadi, bahwa persoalan yang
boleh diijtihadkan atau dicari hukumnya hanyalah persoalan yang belum didapatkan hukumnya
di dalam nas [Al-qur’an dan Sunnah]. Hukum dalam melakukan ijtihad beragam, tergantung
pada situasi dan kondisinya.
B. Saran
Di dalam makalah ini telah dibahas beberapa hal yang berhubungan dengan ijtihad,
ijtihad tentu sangat diperlukan, apalagi ketika mengingat zaman yang terus berubah dan
berkembang. Ijtihad diperlukan ketika terdapat suatu perkara yang tidak diketahui hukumnya
dalam syari’at, maka dengan pembahasan yang sedikit ini semoga bisa memberikan beberapa
pemahaman tentang ap aitu ijtihad dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Has, Abd Wafi. “Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam.” Epistemé: Jurnal
Pengembangan Ilmu Keislaman 8, no. 1 (2013).

Hosen, Ibrahim. “Taqlid Dan Ijtihad Beberapa Pengertian Dasar.” dalam Budhy Munawar
Rachman." Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (1995).

Kholil, Rusydi. Ushul Fiqh. Pamekasan: Pustaka Pribadi, 2013.

Koko Abdul Kodir. Studi Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017.

Madani, Hanipatudiniah. “Tinjauan Umum Ijtihad.” Angewandte Chemie International Edition,


6(11), 951–952. (2021): 2013–2015.

Rahem, Abdur. “Menelaah Kembali Ijtihad Di Era Modern.” Islamuna: Jurnal Studi Islam 2, no.
2 (2015): 183.

Rosdakrya, Remaja, Pengatar Studi, Ali Anwar Yusuf, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir,
Mohammad Daud Ali, Studi Islam Komprhensif, and Pendidikan Agama Islam. “Ijtihad :
Sumber Dinamika Islam” (2011): 202–219.

Sodikin, Abuy. Metodologi Studi Islam. Bandung: Insan Mandiri, 2002.

Anda mungkin juga menyukai