Anda di halaman 1dari 2

Adab Semesta

Seorang santri tentulah karib dengan ujar-ujaran ulama: “kada al adab qabla al ilm”. Imam
Asy-Syafi'i menasihati Imam Abu Abdish Shamad, guru dari anak-anak Khalifah Harun Al-
Rasyid bahwa pertama kali harus dilakukan dalam mendidik anak-anak khalifah adalah
memperbaiki diri sendiri. Karena, sejatinya paradigma mereka terikat oleh paradigma diri.
Apa yang mereka pandang baik, adalah apa-apa yang dilakukan. Dan, apa yang mereka
pandang buruk, adalah apa-apa yang ditinggalkan.

Begitu pula Nabi Muhammad, menegaskan tugas utama kerasulannya untuk


menyempurnakan akhlak, hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia. Bahkan term ‘innama’ yang digunakan pada kata innama bu’itstu li utammima ma
karima al akhlaq dikenal dalam Ilmu Nahwu sebagai harf al hashr yang secara etimologi
bermakna al habsu, menahan, melarang dan memenjarakan. Dan secara terminologi berarti
mengkhususkan suatu perkara dengan perkara lain dengan suatu cara tertentu, atau
menetapkan suatu hukum pada perkara yang disebutkan dalam kalimat (kalam), di samping
meniadakan hukum dari selainnya dengan menggunakan salah satu cara dari beberapa cara.

Bukan hanya mempertegas bahwa akhlak menjadi misi utama kenabian Muhammad SAW.
Hadits ini juga memberi gambaran adab yang luhur dan kerendahhatian, tak terlihat sikap
yang angkuh dari lafadz ‘menyempurnakan akhlak yang mulia’. Menyempurnakan berarti
menggenapi, bukan hendak mengoreksi, alih-alih hendak mencaci dan merobohkan atau
menggantikannya dengan bangunan akhlak yang baru, Rasulullah juga tidak mengatakan
akhlak sebelumnya sebagai akhak yang jelek.

Perjalanan menata atau menyempurnakan akhlak tersebut juga dimulai dari upaya menata
akhlak sendiri. Sejak kecil nabi menegaskan diri sebagai pekerja ulet, pribadi yang jujur,
sabar dan tabah menjalani ragam cobaan hidup, sehingga ia digelari sebagai pribadi al amin
(jujur dan amanah), bahkan pada saat ditawari materi, kekuasan dan kenikmatan duniawi
nabi menolak. Menunjukkan sebuah sikap yang stabil dan tak mudah tergiur, sebuah rekam
jejak perjalanan yang memukau, bukan pribadi instan yang tiba-tiba lahir sebagai penyeru
kebajikan, membungkus kemunafikan dengan pakaian.

Dalam diri nabi terdapat qudwah hasanah (teladan yang baik), ia mampu meletakkan ucap
dan sikapnya secara proporsional. Mengerti kapan harus bekerja dan kapan harus memberi
nasihat. Ia memiliki adab yang baik terhadap lingkungan, menasihati para sahabatnya tak
sembarang membunuh binatang dan menebangi pohon meski itu dalam suasana perang,
berjalan di bumi jauh dari sikap angkuh, memosisikan diri sebagai hamba yang selalu pandai
berterimakasih (abdan syakura). Ia tak pernah memaksakan kehendak, karena tugasnya
hanya sebagai pemberi peringatan (mengingatkan).

Cinta kasih tak pernah tanggal dari setiap langkahnya, ia adalah kekasih bagi semesta.
Pengingkarannya terhadap kejahatan, karena kecintaannya terhadap kebaikan bersama. Ia
mencintai sesama, semesta dan seluruh isinya.

Nabi mengirimkan pesan, bahwa kemungkaran harus diubah, dengan tangan dan lisan.
Namun, mereka yang mengaku pewaris nubuat selalu menafsirkan bahwa kemungkaran
harus dicegah dengan pukulan, kekuasaan dan amarah. Seolah-olah fungsi tangan hanya
untuk memukul, fungsi lisan hanyalah memaki dan hati hanya untuk menebar benci.

Manusia memang seringkali lupa, bahwa tangan selain bisa untuk memukul, bisa juga untuk
merangkul, membimbing dan menggandeng. Lisan juga untuk bisa mengucapkan nasihat-
nasihat yang baik (mauidzah hasanah), hati yang bersih bisa mendoakan kebaikan bagi
setiap yang dicintai.

Begitulah nabi mengajarkan prinsip rahmatan lil ‘alamin. Terhadap yang menyebutnya
tukang sihir, orang gila dan bahkan kepada yang hendak membunuhnya, ia selalu
menyediakan hati yang lapang penuh cinta untuk memaafkan dan mendoakan, agar cahaya
menerangi jalan mereka. Nabi adalah cahaya di atas cahaya.

Pada sebuah kesempatan Rasulullah menasihati Mu’az bin Jabal: “Bertakwalah kepada
Allah di mana saja kamu berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan yang dapat
menghapusnya dan pergauliah manusia dengan akhlak yang baik.”

Lantas, kita yang selalu mengumbar amarah dan merawat kebencian, kepada siapa kita
mengambil teladan?

(Tulisan ini adalah saripati nasihat senior jelang subuh, 30 September 2020)

Anda mungkin juga menyukai