Anda di halaman 1dari 10

PERAN LEMBAGA ADAT MAGHGO SEKAPPUNG LIBO

DALAM PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN JABUNG


Oleh : H. Solihin, M.Sy. glr. Radin Panji
(Ketua Lembaga Adat Maghgo Sekappung Libo Jabung)

Tenguk di isi rasan


Duppay gham ago nundo
Dipo ghang penyujutan
Di suku sunyin sijo
Mati allawna atoghan
Tertib anjak pakkalno
Si sanak dang ngelemman
Najin say tuho pemmo
Tutugan gham Penyimbang
Sino say tuho ghajo
Unyin giyak tebidang
Mufakat sanak tuho
Biyak appang kenabang
Diakkat jamo jamo
Kattu wat sayuk kughang
Waghi say dapok tando

A. PENDAHULUAN
Provinsi Lampung memiliki keragaman adat istiadat, budaya, bahasa,
hingga kuliner. Keragaman ini menjadi salah satu keunikan suku Lampung itu
sendiri. Sesuai semboyannya, Sai Bumi Ruwa Jurai,1 secara garis besar dilihat dari
sudut pandang adat istiadat, masyarakat Lampung yang lazim disebut Ulun
Lampung terbagi menjadi dua kelompok adat besar, yaitu Masyarakat Adat
Lampung Saibatin atau Peminggir dan Masyarakat Adat Lampung Pepadun.
Namun, selain kedua kelompok besar tersebut, terdapat kelompok
kelompok adat lain yang berbeda dari keduanya. Dan untuk kelompok
kelompok yang disebut terakhir ini, meski pada “adat besar”nya bisa berafiliasi
ke salah satu jurai di atas, namun ia memiliki pernak-pernik tradisi dan ritual
adat khas yang unik.

1
“Sai Bumi Ruwa Jurai”. Itulah semboyan yang disandang oleh provinsi paling ujung
selatan di Pulau Sumatera ini. Semboyan itu juga bermakna identitas asli leluhur masyarakat
Lampung, yang berarti Satu Bumi Dua Jiwa. [Lintangbanun, Lampung, Provinsi Dengan Dua Suku
Masyarakat Yang Berbeda.  Direktorat Jenderal Kebudayaan. Diunduh 23-07-2020.] 

1
Salah satu diantaranya adalah Masyarakat Adat Lampung Maghgo
Sekappung Libo, selanjutnya dalam tulisan ini disebut Maghgo Sekappung Libo
yang menetap di Kecamatan Jabung dan Marga Sekampung, Lampung Timur.
Kekhasan Maghgo Sekappung Libo ini bisa dilihat dari struktur kepemimpinan,
bahasa, hingga beberapa adat budaya yang melingkupinya. Pada tataran
tatanan sosial misalnya, Maghgo Sekappung Libo menganut “mazhab” Jurai
Saibatin, yakni hanya ada satu raja adat dalam setiap generasi kepemimpinan, 2
namun sekaligus juga mengadopsi sistem kedudukan adat “kepenyimbangan”
atau lazim disebut “Penyimbang” Jurai Pepadun, yang berada pada anak laki-
laki tertua dari keturunan tertua. Gelar Penyimbang ini sangat dihormati
dalam Maghgo Sekappung Libo karena menjadi penentu dalam proses
pengambilan keputusan adat. Status kepemimpinan adat ini akan diturunkan
kepada anak laki-laki tertua dari Penyimbang, dan seperti itu seterusnya. 3
Selain konsep status sosial, perbedaan lain yang bisa ditemui pada
Maghgo Sekappung Libo adalah pada Cawo Lappung (bahasa Lampung) yang
digunakan. Secara pakem, terdapat dua dialek bahasa Lampung, yaitu: Lampung
Api (juga disebut Pesisir atau dialek A), Lampung Nyow (juga disebut Abung atau
dialek O).4 Namun untuk Maghgo Sekappung Libo sendiri menggunakan
kombinasi dan modifikasi dari keduanya, mengingat secara geografis wilayah
adat Maghgo Sekappung Libo berada pada perbatasan antara wilayah adat
Lampung Pesisir yang berdialek A, dengan wilayah adat Melinting yang juga
bersubdialek A (api), padahal asal suku masyarakat Maghgo Sekappung Libo
kebanyakan dari marga yang berdialek O (nyow), sehingga asimilasi budaya
dan bahasa menjadi suatu keniscayaan dalam masyarakat yang heterogen
semacam itu.5

2
Budaya ini cenderung bersifat aristokratis karena kedudukan adat hanya dapat
diwariskan melalui garis keturunan. Tidak seperti Suku Pepadun, tidak ada upacara tertentu
yang dapat mengubah status sosial seseorang dalam masyarakat.
3
Disinilah perbedaan signifikan antara sistem status sosial Maghgo Sekappung Libo
dengan Jurai Pepadun. Dalam Adat Jurai Pepadun, tidak semata-mata ditentukan oleh garis
keturunan. Setiap orang memiliki peluang untuk memiliki status sosial tertentu, selama orang
tersebut dapat menyelenggarakan upacara adat Cakak Pepadun.
4
Aliana, Zainul Arifin, Ragam dan dialek bahasa Lampung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1986. Baca juga Junaiyah H. Matanggui, Fonologi Bahasa Lampung
Dialek O. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1984, hlm. 63.
5
Secara historis Maghgo Sekappung Libo terbentuk melalui konfederasi 12 Kebuwayan
yang mengikat janji setia untuk membentuk suatu tatanan kehidupan baru yang dikemudian
hari diberi nama Maghgo Sekappung Libo. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Lampung
dan Komering dimulai dari abad 16 hingga akhir abad 18. 12 kebuwayan tersebut adalah:
Buway Pemuka, Buway Subing, Buway Berugo, Buway Selagai, Buway Aji, Buway Teladas, Buway

2
Keunikan adat istiadat dan budaya Maghgo Sekappung Libo tersebut
merupakan bagian dari identitas bangsa yang harus diakui dan dijaga dengan
baik oleh para penerus kebuwayan. Hal ini menjadi satu kebanggaan saat ada
tantangan untuk dapat mempertahankan budaya lokal yang ada di tengah deras
masuknya budaya asing yang dapat merusak kearifan lokal. 
Tugas ini penting dikhususkan untuk generasi penerus kebuwayan Maghgo
Sekappung Libo, karena seiring berkembangnya zaman, berkembang pula pola
hidup masyarakat menjadi lebih modern. Imbasnya, masyarakat lebih memilih
budaya baru yang mungkin lebih praktis dibandingkan dengan budaya
lokal. Banyak faktor yang menyebabkan budaya lokal dilupakan sekarang ini,
diantaranya sebab masuknya budaya asing. Meski, asimilasi budaya sebenarnya
merupakan hal yang natural, namun asimilasi budaya harus diselaraskan dengan
kepribadian bangsa dan kearifan lokal. 
Maka, tugas utama yang harus dilakukan oleh anak kebuwayan adalah
melestarikan, mempertahankan, serta mewariskan budaya lokal dengan sebaik-
baiknya, turut menjadi bagian yang memperkokoh budaya bangsa. Oleh karena
itu, diperlukan peran lembaga adat untuk memberi penguatan adat-istiadat dan
nilai-nilai budaya kepada masyarakat Maghgo Sekappung Libo. 

B. PEMBAHASAN
1. Historisitas Lembaga Adat Maghgo Sekappung Libo
Lembaga adat merupakan kata gabungan antara kata “lembaga”
dan kata “adat”. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut dengan
institution yang berarti pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan.
Menurut Pasal 1 Poin (19) Peraturan Daerah Provinsi Lampung
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung,
Lembaga Adat Lampung yaitu organisasi kemasyarakatan yang karena
kesejarahan atau asal usulnya memuliakan hukum adat dan mendorong
anggota-anggotanya untuk melakukan kegiatan pelestarian serta
pengembangan adat budaya Lampung.6

Bugis, Buway Migo Putih, Buway Unyi, Buway Cempako, Buway Kemetaro, dan Buway Bungo
Mayang. Lihat Solihin Panji, Jejak Sejarah Jabung;Lappung Margo Sekappung Libo. Lampung: MSL
Press, 2008, hlm. 45.
6
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2008/lampung2-2008.pdf. Diunduh 23-07-
2020.

3
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga adat
adalah suatu organisasi atau lembaga masyarakat yang dibentuk oleh
suatu masyarakat hukum adat tertentu yang dimaksudkan untuk
membantu pemerintah daerah dan menjadi mitra pemerintah daerah
dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat
yang dapat membangun pembangunan suatu daerah tersebut.
Oleh karena, terbentuknya Lembaga Adat Maghgo Sekappung Libo
Jabung bukan berfungsi untuk menggantikan apalagi menghilangkan
peran dan kedudukan “Ghajo Adat”, “Penyimbang Bumi”, ”Penyimbang
Jajar”, dan “Setuho Batin”, serta “Lid Tiyuh”, tetapi justru sebagai
penyambung lidah dan penuang gagasan para penyimbang baik pada
skup internal anak kebuayan maupun skup eksternal Maghgo. Sebab
posisi, peran, dan kedudukan Ghajo Adat, Penyimbang Bumi, Penyimbang
Jajar, dan Setuho Batin, serta Lid Tiyuh, yang telah mengalami perjalanan
kesejarahan yang sangat panjang7 tidak bisa digantikan oleh lembaga apa
pun di luar pranata sosial Maghgo Sekappung Libo.
Pembentukan Lembaga Adat Maghgo Sekappung Libo diinisiasi oleh
kesadaran kolektif tokoh adat, terutama para penyimbang untuk tetap
mempertahankan keberadaan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam
berbagai tradisi Maghgo Sekappung Libo sebagai filter derasnya arus
globalisasi yang sewaktu waktu bisa mengahadirkan krisis nilai-nilai piil
pesenggiri di masyarakat Maghgo Sekappung Libo.
Lembaga adat yang terbentuk ini diharapkan bisa menjadi
penyambung lidah Penyimbang dan penggerak pelestarian budaya
khususnya di Jabung dan Marga Sekampung. Oleh karena itu, pada
tanggal 12 Juni 2019 berkumpullah para Penyimbang Adat 6 tiyuh yang

7
Perjalanan dimulai sekira tahun 1552 M, dengan bergeraknya rombongan Buway Pemuka
dan Beruga yang dipimpin Pesiwo Batin yang didampingi oleh Radin Jimat dari Negara Batin
[nama sebuah wilayah yang berada di Kecamatan Negara Batin Kabupaten Way Kanan, Lampung]
menuju Banten dalam rangka untuk membantu Sultan Banten, Maulana Hasanuddin menjaga
kedaulatan kesultanan Banten sekaligus mendalami ilmu agama Islam. Selanjutnya untuk
beberapa waktu mereka bermukim di Pengabuan Anyer Lor (sekarang Cikoneng) hingga istri
Pesiwo Batin meminta kepada suami dan pengikutnya untuk kembali ke tanah kelahiran di
Lampung, dan diberi tanah perdikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin di wilayah Muara
Sekampung yang sudah dihuni oleh Buway Aji, Buway Teladas, dan Buway Bugis, dan di wilayah
Seputih Rimbih pun telah ada penduduk yang menghuni dari Buway Migo Putih dan Buway Unyi.
Terakhir pada generasi selanjutnya bergabunglah Buway Subing, Selagai, Cempaka, Kemetagho,
dan Bungo Mayang, hingga genaplah 12 kebuwayan membentuk federasi yang hingga kini
disebut sebagai Maghgo Sekappung Libo. Untuk lebih jelasnya silahkan baca Solihin Panji, Jejak
Sejarah Jabung; Lappung Margo Sekappung Libo. Lampung: MSL Press, 2008.

4
berada di wilayah adat Maghgo Sekappung Libo untuk membentuk suatu
lembaga adat yang bisa menjadi corong dan wadah pelestarian adat
budaya tersebut. Dan lahirlah Lembaga Adat Maghgo Sekappung Libo
dengan komposisi struktur kepengurusan perwakilan dari tiap tiap tiyuh,
dimulai dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, dan 3 komisi yang
masing masing menaungi:
1. Komisi Penguatan Seni Budaya dan Pelestraian Adat Istiadat;
2. Komisi Perekonomian dan Komuniukasi Antar Lembaga; dan
3. Komisi Penguatan Sumber Daya Kader.
Jika dilihat dari struktur organisasi, sangat tampak bahwa struktur
Lembaga Adat ini sangat ramping, ini semua bertujuan meminimalisir
pembekakan struktur organisasi namun sarat dan kaya fungsi.

2. Peran dan Fungsi Lembaga Adat Maghgo Sekappung Libo Dalam Literasi
Budaya di Jabung
Istilah peran atau peranan dalam tulisan ini mengacu pada
pemaknaan yang digunakan Maurice Duverger, yakni “Perilaku yang
diharapkan oleh anggota masyarakat terhadap pemegang status,
singkatnya, peranan hanyalah sebuah aspek dari status”. 8 Atau bisa juga
pemaknaan yang digunakan oleh Stoetzel yang mengatakan bahwa
“Peranan adalah pola perilaku kolektif yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang”.9
Sehingga, jika berkaca dari istilah di atas, kaitannya dengan lembaga
adat Maghgo Sekappung Libo maka kita bisa memahami bahwa lembaga
adat Maghgo Sekappung Libo merupakan organisasi kemasyarakatan
yang hidup dalam suatu masyarakat adat yang memiliki peran
“penyambung lidah penyimbang adat” dalam mengatur kehidupan
maupun menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat adat Maghgo Sekappung Libo.
Di samping itu, Lembaga Adat Maghgo Sekappung Libo berfungsi
bersama pemerintah dalam merencanakan, mengarahkan, mensinergikan
program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat demi

8
Maurice Duverger. Sosiologi Politik. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2010, hlm. 102.
9
Rafael Raga Maran. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta. 2007, hlm. 50.

5
terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan
kesejahteraan masyarakat.
Adapun secara ideal moral Lembaga Adat Maghgo Sekappung Libo
berfungsi sebagai berikut:
a. Melaksanakan keputusan-keputusan Penyimbang Bumi dengan
aturan adat yang ditetapkan;
b. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam wilayah adat Maghgo
Sekappung Libo;
c. Melakukan pembinaan, edukasi dan literasi adat budaya, serta
mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka memperkaya,
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Maghgo Sekappung
Libo terutama bagi pemuda sebagai generasi penerus;
d. Menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian perselisihan
yang menyangkut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat;
e. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif
antara Ketua Adat, Pemangku Adat, Pemuka Adat dengan Aparat
Pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan di Kabupaten
Lampung Timur;
f. Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan
pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang keagamaan,
kebudayaan dan kemasyarakatan;
g. Memberikan saran usul dan pendapat ke berbagai pihak perorangan,
kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang masalah adat.

Jika dilihat dari peran dan fungsi tersebut di atas, sungguh masih
terlihat sangat idealis dan cenderung utopis, karena dengan banyak
keterbatasan yang ada “digenjot” untuk menghasilkan suatu hal yang
fantastis dan melangit. Setidaknya itulah kesan awal siapa pun ketika
melihat secara ideal moral dari tugas dan fungsi lembaga adat, termasuk
Lembaga Adat Maghgo Sekappung Libo.
Namun, jika pandangan optimis yang dikedepankan, maka
pembentukan Lembaga Adat Maghgo Sekappung Libo yang didasarkan
atas kesadaran tokoh adat, terutama para penyimbang untuk tetap
mempertahankan keberadaan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam
tradisi, maka pembentukan ini menjadi suatu keharusan.

6
Dikatakan pembentukan lembaga adat Maghgo Sekappung Libo
merupakan suatu keharusan, karena seiring dengan perkembangan
zaman. Masyarakat menyadari bahwa banyak tradisi adat membawa
makna positif di masyarakat. Nilai-nilai yang ditinggalkan oleh para
leluhur yang terapkan dalam cagho adat (upacara adat) dapat
membentuk karakter masyarakat untuk hidup tertib, saling menghargai,
saling melayani, dan nilai-nilai positif lainya yang membuat masyarakat
Jabung hidup dalam ketentraman dan kedamaian.
Masyarakat Jabung sangat memahami bahwa berbagai tradisi adat
budaya Maghgo Sekappung Libo memiliki nilai-nilai yang positif bagi
pembentukan karakter masyarakat, sehingga dengan terbentuknya
lembaga adat Maghgo Sekappung Libo, dapat membentuk ruang gerak
bagi masyarakat adat untuk meningkatkan kreativitasnya.
Harapan terbesar dari Penyimbang dalam pembentukan lembaga
adat ini adalah agar nilai nilai budaya yang sudah terkikis ini dapat digali
kembali dan dilestarikan. Hal ini merupakan tugas berat dari lembaga
adat Maghgo Sekappung Libo maupun seluruh masyarakat Jabung dan
Marga Sekampung, namun upaya untuk menggali kembali nilai-nilai
budaya, lembaga adat tidak bisa berdiri sendiri, harus bekerja sama
dengan tokoh-tokoh adat lintas marga, dan juga unsur pemerintah baik
desa, kecamatan, hingga kabupaten.
Kesadaran masyarakat akan nilai-nilai budaya yang terkandung di
dalam tradisi aturan cepalo wo belas umpamanya, merupakan modal
sosial yang kuat dan perlu dipertahankan. Dibutuhkan perhatian dari
berbagai pihak terutama lembaga adat untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat agar aturan tradisi cepalo wo belas yang menjadi identitas
anak kebuwayan Maghgo Sekappung Libo tetap terpelihara dengan baik
dan dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Tradisi ini terancam
hilang kalau tidak ada upaya untuk melestarikannya, apalagi bagi anak
suku sudah tidak pernah melaksanakan upacara adat.
Masuknya budaya asing yang didukung dengan kemajuan teknologi
informasi turut mempengaruhi warna kebudayaan daerah. Masyarakat
adat sebagai pendukung kebudayaan merupakan salah satu faktor
penentu kelestarian kebudayaan, untuk itu peranan lembaga adat dalam
memanfaatkan kekuatan yang dimiliki masyarakat ini sangat penting guna
meminimalisir penggunaan budaya budaya asing yang tidak sesuai

7
dengan kepribadian bangsa karena dapat mengancam eksistensi
kebudayaan lokal.
Untuk itu sangat diperlukan memberi edukasi dan literasi adat
budaya yang berkesinambungan kepada masyarakat terutama generasi
muda para penerus kebuwayan Maghgo Sekappung Libo, sebagai bentuk
upaya pelestarian adat budaya. Bentuk pelestarian adat budaya tersebut
dalam pandangan Lembaga Adat Maghgo Sekappung Libo, mencangkup
tiga spektrum utama, yakni:
1. Melakukan perlindungan kebudayaan, dengan cara preventif
pencegahan dan penanggulangan gejala yang dapat menimbulkan
kerusakan, kerugian, atau kemusnahan benda budaya akibat
perbuatan manusia ataupun proses alam;
2. Melakukan penyelamatan kebudayaan, dengan cara berupaya
menghindari dan atau menanggulangi cagar budaya dari kerusakan,
kehancuran, dan kemusnahan;
3. Melakukan pemanfaatan kebudayaan, dengan cara pendayagunaan
cagar budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.

Namun, di usia yang baru seumur jagung ini, peran Lembaga Adat
Maghgo Sekappung Libo dalam literasi budaya sebagai usaha
melestarikan Adat budaya Lampung Maghgo Sekappung Libo baru
sebatas:

a. Memberikan pemahaman tentang adat budaya Lampung melalui


pencetakan buku tata titi adat dan disosialisasikan secara berjenjang
dan berkesinambungan kepada kelompok kelompok pelajar, remaja,
pemangku kebijakan adat, dan Majelis Penyimbang Adat karena
merekalah yang akan mempertahankan budaya Lampung agar
kedepannya terus bertahan;
b. Memberikan himbauan pada unit terkecil pembentuk tatanan
masyarakat, yakni “Lembaga Keluarga” untuk memberikan
pengawasan tentang adat budaya Lampung kepada anak, karena
keluarga merupakan orang terdekat dengan anak anak mereka, oleh
sebab itu peran lembaga keluarga sangat dibutuhkan untuk
memberikan pengawasan kepada anak, dengan cara selalu menasehati
tentang pentingnya adat budaya dalam kehidupan selagi adat tersebut
tidak bertentangan dengan agama;

8
c. Mengembangan adat budaya Lampung dengan cara berkomunikasi
dengan lembaga lembaga pendidikan agar mereka memberikan
edukasi dan pengarahan kepada para pelajar untuk dapat lebih
mengembangkan adat budaya Lampung;
d. Memberikan pembinaan adat budaya Lampung kepada pemuda
pemudi, yaitu dengan cara mengajak pemuda pemudi untuk ikut serta
dalam acara adat, misalnya canggot, taghi, bubandung, silat, dsb.
Contohnya mengenalkan dan mengajarkan remaja tarian-tarian
Lampung Maghgo Sekappung Libo seperti tari deghani, taghi dibingi,
tari bedana, tari pighing yang mana tarian-tarian tersebut bisa
digunakan pada saat pembukaan acara, acara pernikahan dan lain-lain.
Sehingga secara tidak langsung dapat mengasah kemampuan yang ada
pada diri masing-masing muda mudi;
e. Memberikan pemanfaatan adat budaya Lampung kepada masyarakat
adat. Setiap adat budaya pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu
dan memiliki manfaat bagi kehidupan kita. Misalnya mensosilalisasikan
secara massif arti penting mengamalkan pandangan hidup ulun
Lampung, yakni Piil Pesenggiri.10

DAFTAR PUSTAKA

Duverger, Maurice. Sosiologi Politik. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2010.


Hadikusuma, Hilman. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung:
Mandara Maju. 1989.

10
Istilah Pi`il mengandung arti rasa atau pendirian yang dipertahankan, sedangkan
Pesenggiri berarti nilai harga diri. Jadi Piil Pesenggiri secara singkat dapat diartikan sebagai rasa
harga diri. Adapun unsur unsur Piil Pesenggiri, sebagai berikut : 1. Juluk Adok, yakni gelar adat. 2.
Nemui Nyimah adalah sifat kepedulian sosial dan rasa setia kawan. 3. Nengah Nyappur, yakni
sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleransi. 4. Sakai Sambayan, bermakna memberi
sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang berbentuk benda dan jasa yang bernilai
ekonomi, tetapi mengharapkan balasan. Sedangkan sambayan bermakna memberikan sesuatu
kepada seseorang atau kelompok berbentuk benda dan jasa secara atau tidak mengharapkan
balasan. Sakai sambayan berarti gotong royong dan tolong menolong, artinya memahami sakai
sambayan pada hakikatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi yang dalam serta solidaritas
yang tinggi pada masyarakat terhadap sesuatu kegiatan atau kewajiban yang harus dilakukan.
Lihat Hilman Hadikusuma. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandara Maju,
1989, hlm. 15.

9
Lintangbanun, Lampung, Provinsi Dengan Dua Suku Masyarakat Yang
Berbeda. Direktorat Jendral Kebudayaan. Diunduh 23-07-2020.
Maran, Rafael Raga. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta. 2007.
Matanggui, Junaiyah H. Fonologi Bahasa Lampung Dialek O. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1984.
Panji, Solihin. Jejak Sejarah Jabung; Lappung Margo Sekappung Libo. Lampung:
MSL Press, 2008.
Sujadi, Firman. Lampung Sai Bumi Ruwa Jurai. Jakarta: Cita Insan Madani. 2002.
Zainul Arifin, Aliana. Ragam dan dialek bahasa Lampung. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1986.

10

Anda mungkin juga menyukai