Anda di halaman 1dari 3

Ruang Publik dan Masa Depan Kota

Oleh Rahmatul Ummah*

Membangun masa depan kota, bukan soal membangun keramaian, pusat-pusat belanja dan
kepadatan serta hilir-mudik manusia, namun membangun kota berarti juga membangun
manusia, mentalitas dan kepribadiannya, sehingga kota tidak diisi oleh orang-orang yang
justeru teralienasi dari lingkungannya.

Kota tidak boleh memiliki jarak dengan kemanusiaan, di sinilah pentingnya untuk
membicang ulang kota, sebagai tempat tinggal manusia, sebagai tempat tinggal bersama,
yang memiliki ruang publik untuk menjadi tempat mereka berinteraksi dan membangun rasa
solidaritas sosial antar warga kota.

Pertumbuhan penduduk kota, urbanisasi, dan tekanan ekonomi masyarakat perkotaan adalah
fenomena menahun yang terjadi hampir di semua kota-kota besar di Indonesia. Secara fisik
keruangan, fenomena tersebut berpengaruh pada pola penggunaan lahan perkotaan baik yang
sifatnya hak milik pribadi, kelompok/lembaga maupun lahan milik negara. Makin tingginya
kebutuhan lahan di perkotaan membuat harga lahan makin tinggi, dan makin hilangnya
kemampuan masyarakat kecil untuk mengaksesnya, baik yang berfungsi privat maupun
publik. Akibatnya, proses eksploitasi lahan besar-besaran oleh kelompok/lembaga yang
memiliki kekuatan ekonomi hampir tidak menyisakan ruang publik yang memadai.

Di sisi lain, proses eksploitasi lahan perkotaan yang tidak proporsional makin menunjukkan
fenomena sosial masyarakat perkotaan yang makin tersegmentasi baik secara fisik maupun
sosial. Padahal, proses segmentasi masyarakat perkotaan inilah yang disinyalir para ahli
sosial sebagai ancaman terjadinya berbagai konflik di masyarakat. Makin terpecah-pecahnya
ruang fisik dan ruang sosial mengakibatkan hilangnya trust (kepercayaan), network (jaringan)
atau hubungan sosial, dan local wisdom (kearifan lokal) yang ada di masyarakat. Padahal
ketiga faktor tersebut merupakan modal sosial yang seharusnya tetap dipelihara dalam
kehidupan bermasyarakat.

Warga kota yang tersegmentasi akhirnya menjadi sangat individualistik, mereka bergerak ke
arah saling tidak mengenal dan akhirnya kehilangan identitasnya sebagai makhluk sosial
yang seharusnya saling membutuhkan, di sinilah akhirnya diperlukan ruang publik untuk
mengembalikan semangat kesetiakawanan sosial tersebut.

Secara sederhana, yang dimaksud ruang publik adalah ruang yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat umum sepanjang waktu, tanpa dipungut bayaran (Danisworo, 2004). Baskoro Tedjo
(2005) mendefinisikan ruang publik sebagai ruang yang netral dan terbuka untuk siapa saja,
untuk berkegiatan dan berinteraksi sosial. Ruang publik dapat berbentuk jalan (street) yang
bersifat linier, dan berbentuk lapangan (square) yang berbentuk simpul.

Keberadaan ruang publik kota memiliki makna yang besar bagi masyarakat karena sifat
penggunaannya yang mengandung fungsi sosial dan kultural kemasyarakatan sebagai dasar
penguatan sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam melakukan proses pembangunan. Maka
masyarakat kota di tengah keterbatasan lahan harus tetap berusaha mempertahankan dan
menciptakan ruang publik yang dapat dipergunakan bersama.

Dalam konteks yang lebih luas, ruang publik sebagai sub-sistem dari kota, memiliki peran sangat
penting dalam mengontrol, mengendalikan dan menegaskan orientasi perkembangan ruang kota
secara morfologis maupun sosiologis. Namun, kondisi keterbatasan ruang pada lingkungan
permukiman warga kota yang pola perkembangannya lebih bersifat unplanned, eksistensi ruang
publik sebagai wadah aktivitas bersama makin terpinggirkan.

Minoritas Kreatif dan Rumah Bersama

Arnold J. Toynbee (1961) merumuskan sebuah teori kompleks mengenai kemunculan dan
kejatuhan berbagai peradaban di dunia, yang kemudian dianggap sebagai salah satu
pencapaian terhebat dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Sebuah kota
dimungkinkan juga mengalami kehancuran peradaban menjadi human zoo atau cities of
sorrow sebagaimana di tulis oleh Eko Budiharjo (2014) dalam buku Reformasi Perkotaan.

Namun Toynbee percaya kehancuran itu dapat ditunda lebih lama. Syaratnya, apabila
minoritas (elit) kreatif bekerja keras menjaga (merawat) nilai-nilai abadi: kebenaran,
keadilan, dan akal sehat (rasio). Toynbee meyakini, lahirnya sebuah peradaban diinisiasi oleh
komunitas kecil yang ia sebut sebagai minoritas kreatif (creative minority). Kelompok ini
bekerja secara terus-menerus membesarkan peradaban hingga tumbuh menjadi peradaban
gemilang. Selanjutnya, bila kelompok ini kehilangan daya kreatifnya, maka peradaban yang
gemilang tadi akan redup, lantas mengalami kehancuran.

Kelompok kecil kreatif yang dikenalkan oleh Arnold Toynbe tersebut dalam konteks lokal Kota
adalah sebuah komunitas kecil yang selalu berikhtiar dan berpikir terus menerus untuk
melahirkan ide-ide kreatif untuk membangun dan meningkatkan kapasitas individu dan sosialnya,
sehingga mereka menjelma menjadi kekuatan baru yang diperhitungkan karena gagasannya, dan
mereka berkumpul dalam ruang publik yang menjadi rumah bersamanya.

Rumah bersama adalah istilah yang dikembangkan untuk menjadi tempat tinggal bersama
komunitas minoritas kreatif ini, tempat berdiskusi melahirkan gagasan-gagasan baru dan kerja-
kerja kreatif secara terus menerus. Rumah bersama bahkan bukan hanya diorientasikan sebagai
tempat bersemainya gagasan dan kerja-kerja kreatif yang berorientasi memproduksi ilmu
pengetahuan, rumah bersama juga kemudian dikembangkan dalam rangka mendukung usaha
ekonomi kreatif dengan cita rasa lokal (local economic development). Usaha ekonomi kreatif
yang digagas di ruang publik sebagai tempat tinggal bersama adalah usaha ekonomi bersama
melibatkan warga, membangun dan menyelenggarakan kegiatan ekonomi mulai dari tempat,
etalase, produksi sampai menjualnya semua dilaksanakan secara gotong royong.

Rumah Bersama dan Masa Depan Kota

Ruang publik sebagai rumah bersama warga kota, adalah ruang publik yang menjadi tempat
berinteraksi dan akhirnya melahirkan nalar publik. Warga kota akan menjadi p ara pekerja
produktif dan pekerja kreatif, dan akhirnya merekalah yang akan merencanakan masa depan
kota dan menciptakan pekerjaan, gagasan-gagasan baru, serta konten kreatif.

Ruang publik sebagai rumah bersama adalah upaya untuk mendorong bahwa kota dan warganya
saling berinteraksi dengan dinamis. Di satu sisi kota menjadi muara bagi imajinasi dan dunia
kreatif, sedangkan di sisi lain, kota mempunyai kekuatan untuk mendorong, menggerakkan,
memusatkan dan menyalurkan energi kreatif itu. Dalam proses interaksi itu kota mampu
mengubah energi kreatif menjadi inovasi-inovasi yang melingkupi ranah teknis maupun
ranah artistik kultural. Oleh sebab itu kota menjadi sumber yang tak henti-hentinya
menciptakan lapangan kerja, melahirkan bentuk-bentuk industri dan perdagangan baru di
tengah-tengah masyarakatnya.
Ruang publik seperti Taman Kota, lapangan dan beberapa tempat terbuka lainnya menjadi
rumah bersama para pekerja kreatif yang terdiri dari para ilmuan, tenaga ahli yang mengabdi
di pusat-pusat pendidikan dan penelitian, arsitek, dan mereka yang bergerak di bidang
kebudayaan seperti penyair, pemusik, desainer, perancang atau pekerja dalam dunia hiburan.
Selain itu para pekerja profesi berbasis pengetahuan, seperti kesehatan, keuangan, hukum,
juga termasuk dalam kelompok ini, yaitu kelompok yang disebut ahli sosio-ekonomi Richard
Florida kelas kreatif (creative class) yang menjadi penggerak ekonomi kota di masa depan.

Semua itu hanya dimungkinkan karena kemampuan kreatif manusia. Kemampuan ini adalah
sumber daya paling nyata bagi trend ekonomi berbasis penciptaan nilai, sekarang dan masa
depan. Ia merupakan konstruksi kemampuan intelektual yang melingkupi segala bentuk
potensi yang terdapat di dalam diri manusia yang kemudian diekspresikan dalam bentuk
produk-produk budaya. Oleh karena itu kota, yang didefinisikan sebagai tempat pemukiman
manusia dengan jumlah besar, adalah tempat berkumpul dan berinteraksinya sumber daya
kreatif yang hampir tidak terbatas itu.

Jika semua ini terwujud, maka secara otomatis tidak akan ada lagi kegaduhan-kegaduhan di
ruang publik karena isu ketidakadilan dan diskriminasi, adanya jarak antara yang empunya
dengan yang papa, antara kelas elit dan alit. Ruang publik sebagai rumah bersama yang
melahirkan nalar publik dan kreatifitas akan menjembatani kesenjangan sehingga akhirnya
semua birsinergi.

*Rahmatul Ummah adalah Warga Rumah Bersama Kamisan Kota Metro

Anda mungkin juga menyukai