Anda di halaman 1dari 1

Kisah si Homo Sapiens

Orang-orang tercerahkan dari zaman dulu selalu mempertanyakan untuk apa hidup dan kehidupan?
Bagaimana mengada dan asal-muasal? Semenyedihkan inikah kehidupan manusia? Saking hendak
menutupi keterbatasannya sampai ia rela melabeli diri sebagai homo sapien, makhluk bijak yang tak
bijak-bijak amat.

Lah iya! Bagaimana mungkin disebut bijak, jika tindakan manusia justru setiap hari menggerogoti tempat
tinggalnya sendiri, merusak tempat huniannya sendiri, bumi! Mencemari udara yang dihirupnya,
meracuni air yang diminumnya sendiri. Padahal manusia bukan sejenis rayap.

Coba baca kisah tentang masa si Homo Sapiens ini, berjuang mencari kebahagian seolah-olah kebahagian
adalah sesuatu yang terpisah dari dirinya. Ia berusaha menemukannya dalam bentuk materi tapi
ternyata di dalam materi tak ia dapati, ia membangun rumah yang mewah, menumpuk harta, lalu siang-
malam ia berpikir menjaga harta dan segala materi miliknya itu, ia akhirnya menjadi 'petugas' yang
menjaga keamanan materinya, lantas banjir datang, ia berduka dan akhirnya gagal menemukan
kebahagiaan.

Si Sapiens datang ke rumah-rumah ibadah, menurutnya di sana ia akan menemukan kedamaian. Ia


menjalani ritus suci, menyimak khotbah tentang kebajikan dan dosa. Ia lantas pulang, dilihatnya makhluk
seperti dirinya di sepanjang jalan, tapi mereka tak peduli tuhan dan ajaran-ajarannya. Ia sadar, ternyata
ia memiliki banyak teman yang tak setaat dirinya. Lalu, berubahlah ia menjadi pengkhotbah kebajikan,
sialnya ia ditolak. Akhirnya, ia mengutuk mereka sebagai kelompok pendosa.

Setiap hari ia akhirnya terbiasa memikirkan soal laku buruk manusia lian, ia menggunjing dengan
temannya selepas ritual suci di rumah ibadah atau selepas mendengar seruan kebajikan dari para
agamawan. Ia dan kawan-kawannya menganggap dirinya sebagai refresentasi kebajikan, yang memang
seharusnya sibuk menghitung-hitung dosa orang lain dengan alasan agar mereka tak seperti itu.
Merawat kebencian, mengagungkan 'kesucian' diri, membuatnya justru bertolak dari kedamaian.

Si Sapien pergi ke kampus, di sana ia belajar tentang segala macam pengetahuan. Berbekal pengetahuan
yang dipelajari, kelak ia menginginkan dirinya lebih humanis, pribadi yang menghargai kemanusiaan. Ia
pun membaca banyak buku tentang filsafat, etika dan moral. Setelah selesai, ia kembali selayaknya sosok
yang tercerahkan, memanggul beban di pundak sebagai ilmuwan, tugasnya: mencerdaskan dan
mencerahkan umat!

Mulailah ia mengoreksi segala laku dan tradisi yang menurutnya keliru, menyerang cara pikir yang tak
menghargai perbedaan. Sebelumnya, kampung yang biasa saja menganggap perbedaan, dibuatnya
menjadi tidak biasa. Ia memperkenalkan istilah radikalisasi untuk menyebut gerakan

Anda mungkin juga menyukai