Anda di halaman 1dari 4

KOLONISASI PERIODE KEDUA 1932-1942

Jejak Kolonisasi di Kota Metro Tahun 1932 – 1942

Rahmatul Ummah - Kresno Brahmantyo

A. Pendahuluan

Bermula dari proyek percobaan kolonisasi pertama di Bagelen, Gedong Tataan


yang dianggap gagal dan krisis yang melanda sector perkebunan besar, pemerintah Hindia
Belanda berusaha untuk mempertimbangkan untuk menghentikan sementara proyek
klonisasi antara tahun 1928-1931. 1
Sementara itu krisis ekonomi yang melanda dunia antara tahun 1935 – 1940
mengakibatkan perusahaan-perusahaan terpaksa menutup perusahaannya, termasuk
perusahaan di daerah-daerah pulau Jawa, menghentikan dan mengembalikan para buruh
ke desa-desa di pulau Jawa, sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan baru. Dan, kondisi
perekonomian semakin mengalami krisis hebat.
Kondisi yang sulit diatasi tersebut, mendorong Pemerintah Kolonial Belanda untuk
kembali memulai program kolonisasi pada tahun 1932. 2 Upaya Belanda untuk melanjutkan
program kolonisasi ini adalah dengan membuka daerah-daerah baru, salah satunya adalah
Gedong Dalem, Sukadana. Terletak di sebelah utara Tanjung Karang, merupakan hutan
cadangan milik marga. Ada 7.000 jiwa kolonis yang dipindahkan dalam tahun 1932
tersebut.3
Pembukaan daerah kolonisasi Sukadana memliki luas kurang lebih 47.000 bau.
Menurut penyelidikan, ada seluas 30.000 bau yang dapat diairi di daerah Sukadana ini. 4
Dalam pembukaan kolonisasi ini dimulai penyelenggaraan sistem baru, yang diberi nama

1
Keputusaan Belanda terhadap proyek kolonisasi ini bisa dibaca dalam Patrice Levang, Ayo ke
Tanah Sabrang, Kepustakaan Gramedia Populer, 2003, hlm. 9-10
2
Lihat Slamet Purboadiwidjojo, “Mencari Suatu Sistem untuk Melaksanakan Pemindahan Penduduk
Secara Besar-besaran, dalam Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun, Sepuluh Windhu Transmigrasi di
Indonesia 1905-1985, Depok: UI Press, 1986, hlm. 15.
3
Kuswono dkk., Metro Tempo Dulu: Sejarah Metro Era Kolonisasi, Metro: Dinas Perpusda Metro, UM
Metro dan Ladunny Alifatama, 2020, hlm. 57.
4
Ibid.
sistem bawon.5 Pada tahun 1934 terjadi pengiriman kolonisasi sebanyak 1375 jiwa dan
pada tahun 1935 sebanyak 12.524 jiwa yang dikirim ke Gedong Dalem, Sukadana.
Gedong Dalem, Sukadana sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Muzakki 6 jauh
sebelum menjadi tujuan kolonisasi kedua pemerintah Hindia Belanda tahun 1932,
merupakan sebuah kampung yang telah lama terbentuk. Hal tersebut bisa dilacak dari
bukti adanya buislit Residender Lampongsche Districten No. 124 tentang pengangkatan
Batin Sepoelau Raya menjadi Kepala Kampung Gedong Dalem Onder Afdeeling
Sekampung, Afdeeling Teloekbetoeng Residente Lampoengsche Districten pada tanggal 10
Maret 1925.
Di Gedong Dalem inilah para kolonisasi pertama kali ditampung dan dikumpulkan
di bedeng-bedeng7 (rumah dalam bentuk bedeng). Rumah Bedeng tersebut ditata
sedemikian rupa secara berurutan dan dituliskan angka dari 1 sampai dengan 67. Fakta
tentang penampungan sementara kolonisasi tersebut dapat diketahui dari jeda waktu
kedatangan kolonisasi periode kedua di Gedong Dalem, Sukadana yang dimulai dari tahun
1932 dan pemnbukaan desa induk Trimurjo tahun 1935. Artinya ada waktu tiga tahun
mereka mempersiapkan diri di penampungan sebelum menggarap tanah yang akan
menjadi tempat tinggal untuk menetap.
Dalam tulisan Ahmad Muzakki, sebelum melakukan ‘ekspansi’ kolonisasi,
pemerintah Hindia Belanda telah melaksanakan prakondisi berupa studi kelayakan selama
tiga tahun.8 Hal ini berkeseuaian dengan jeda waktu antara tahun 1932 saat pertama para
kolonisasi dari Jawa datang ke Gedong Dalem, Sukadana dan awal pembukaan desa induk
Trimurjo, pada 3 April 1935. Pendapat ini mempertegas bahwa kolonisasi tidak langsung
ditempatkan di Trimurjo dan beberapa daerah yang sekarang lebih popular dengan
sebutan bedeng-bedeng.
Setelah tiga tahun menempati bedeng di Gedong Dalem, Sukadana, barulah para
kolonisasi ditempatkan di beberapa tempat yang telah ditentukan dan diurut berdasarkan
tulisan angka di bedeng-bedeng yang mereka pernah tempati, dimulai dari Bedeng 1
(Trimurjo) hingga Bedeng 67 (Sekampung). Mereka dibekali berbegai peralatan

5
Sistem Bawon adalah sistem kekeluargaan di mana para kolonis pada umumnya telah memiliki
keluarga yang telah lebih dahulu mukim di daerah tujuan. Kolonis lama inilah yang menanggung biaya
kolonis baru dari sejak berangkat hingga mereka tinggal di tempat kolonis lama, dengan kompensasi mereka
akan membantu pekerjaan kolonis lama. Sistem Bawon ini juga dikenal dalam sistem pertanian yakni upah
menuai padi yang disesuaikan dengan jumlah padi yang di potong. Kolonisasi pada masa pemerintahan
Hindia Belanda memang mengenal setidaknya tiga sistem kolonisasi, yaitu: sistem yang total dibiayai
pemerintah dari tahun 1905 hingga 1911 (setengah waktu dari usulan Heyting yaitu sepuluh tahun), sistem
pinjaman bank dari tahun 1912-1928, dan sistem bawon dari 1932 hingga 1941. LIhat M. Halwi Dahlan,
“Perpindahan Penduduk dalam Tiga Masa: Kolonisasi, Kokominggakari, dan Transmigrasi di Provinsi
Lampung (1905-1079), dalam Jurnal Patanjala Vol. 6 No. 3, September 2014, hlm. 340-341
6
Lihat Ahmad Muzakki, Rekam Jejak Menyusun Riwayat Kota: Sebuah Kajian Etbografi
Menemukenali Geneologi Kota Metro, Metro: Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kota
Metro, 2015, hlm. 45
7
Patrice Levang, Ayo ke Tanah Sabrang, Kepustakaan Gramedia Populer, 2003, hlm. 133
8
Ahmad Muzakki, Op. Cit., hlm. 87
bertani/berladang, mereka juga mendapat pekarangan untuk tempat tinggal dan lahan
sawah untuk Bertani. Para kolonis ini mendapatkan petak-petak sawah dalam bentuk lahan
kering, sehingga mereka menanaminya dengan pola tradisional Jawa, yakni dengan
tumpeng sari, memadukan padi ladang, jagung, dan singkong. Baraulah pada tahun
keempat atau satu tahun pertama mereka menempati lahan yang diberikan Belanda,
proyek perluasan jaringan irigasi dimulai, sehingga memungkinkan pembuatan sawah. 9
Kesuksesan para kolonis bergotong-royong membangun daerah kolonisasi
tersebut menjadi daerah maju dan berhasil, mendorong Residen Rookmaaker untuk
menberikan apresiasi kepada para kolonis dengan menggelar upacara bersejarah pada
tanggal tanggal 9 Juni 1937.10 Ada tiga peristiwa penting dalam catatan sejarah dalam
upacara tersebyt; Pertama, peresmian tugu atau monumen setinggi 4meter, yang terletak
di tengah-tengah kota dan di perempatan jalan utama. Tugu yang berlabel marmer pada
bagian depannya, terukir sebuah kalimat “Ter herdenking aan het succesvolle
kolonisatiewerk van den resident H.R. Rookmaaker, 1933-1937” (untuk mengenang
keberhasilan kerja kolonisasi Residen H.R. Rookmaaker, 1933-1937). Pada bagian
sebaliknya tertulis dengan aksara Jawa dengan makna yang sama. Kedua, peresmian
pendopo Asisten Wedana Metro, dan ketiga, peresmian pemisahan Metro dari induk
desanya, Trimurjo.
Dari beberapa uraian tersebut, dapat diketahui bahwa perjalanan kolonisasi
Sukadana, sebagai tahapan kedua dari proyek kolonisasi pemerintahan Hindia Belanda
lebih terencana dengan baik, meski biaya pemberangkatan kolonisasi dari Jawa
dibebankan kepada masing-masing keluarga dan biaya hidup kolonis diatur dengan sistem
bawon. Proyek kolonisasi periode kedua ini dianggap cukup sukses.
Tulisan ini penting untuk diangkat untuk menjawab beberapa permasalahan
pertanyaam bagaimana proses kolonisasi Sukadana dijalankan (mulai dari tempat
penampungan sementara di bedeng-bedeng di Gedong Dalem, Sukadana, pemnbukaan desa
induk Trimurjo hingga penetapan daerah Metro sebagai asisten Wedana). Penting untuk
mempertegas bahwa rentang waktu antara tahun 1932hingga tahun 1935, tahun 1935
hingga tahun 1937, dan tahun 1937 hingga tahun 1942, terdapat peristiwa-peristiwa
penting yang perlu diketahui.
Selama ini penulisan sejarah Metro cenderung tidak fokus menguraikan peristiwa-
peristiwa penting dalam rentang tahun-tahun krusial tersebut.

9
Patrice Levang, Loc. Cit.
10
Tanggal ini belakangan ditetapkan sebagai hari jadi atau hari ulang tahun Kota Metro. Penetapan
yang menngundang peredebatan, karena pada tanggal tersebut Metro tidak lahir sebagai kota, bahkan Metro
menjadi daerah otonom baru (DOB), baru diundangkan pada tahun 1999.

Anda mungkin juga menyukai