Anda di halaman 1dari 24

TUGAS RESUME BUKU

HUKUM PERDATA
“BAB I (a-b)”

DISUSUN OLEH :
Nama :
ADE OZY RAMANDANU
NIM. A1012171237

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
B. Pengertian Hukum Perdata
C. Pluralisme Hukum Indonesia
D. Sejarah Hukum Perdata
E. Hukum Perdata di Indonesia
1. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Perdata Eropa
2. Bidang-bidang Hukum Perdata
3. Bagian-bagian Burgeriijk Wet boek yang Tidak Berlaku Lagi
4. Hukum Perdata Bersifat Pelengkap dan Memaksa
5. Sistematika Hukum Perdata -‘ 58

BAB 2 HUKUM ORANG (PERSONENRECHT)


A. Subjek,Objek,dan Perbuatan Hukum dalam KUHPerdata
1. SubjekHukum
2. Objek Hukum
3. Perbuatan Hukum
B. Manusia dalam Hukum
1. Konsep Dasar Personenrecht
2. Manusia sebagai Subjek Hukum
3. Pendewasaan Menurut Burgerlijk Wetboek (BW)/KUHPerdata
C. Badan Hukum sebaqai Subjek Hukum
1. Peraturan tentang Badan Hukum (Rechtspersoon)
2. Perbuatan Badan Hukum
3. Prosedur Pembentu kan Badan Hukum
4. Pertanggungjawaban dalam Hukum Perdata
D. Domisili dalam Hukum Perdata
E. Catatan Sipil
1. Pencatatan Peristiwa Hukum
2. Tujuan Pencatatan
3. Fungsi Pencatatan
4. Lembaga Catatan Sipil (Burger!ijke Stand)
5. Syarat dan Prosedur Pencatatan
6. Pengaturan Catatan Sipil Indonesia
7. Jenis-jenis Akta Catatan Sipil

BAB 3 HUKUM KELUARGA (FAMILE-RECHT)


A. Penjelasan tentang Hukum Keluarga
1. Hukum Keluarga Bagian dan Hukum Perorangan
2. Sumber Hukum Keluarga
3. Hak dan Kewaj iban dalam Hukum Keluarga
B. Perwalian dalam Hukum Keluarga
1. Ketentuan Perwalian Menurut KUHPerdata
2. Perwalian pada Umumnya
C. Perkawinan
1. Perkawinan Menurut KUHPerdata
2. Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
3. Asas dan Prinsip Perkawinan
4. Aki bat Hukum Perkawinan
5. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kawin
6. Putusnya Perkawinan
D. Hukum Harta Perkawinan
E. Perkawinan Campur

BAB 4 HUKUM BENDA


A. Pengertian Hukum Benda
1. DasarHukum Benda
2. Asas-asas Hukum Benda
3. Macam-macam Benda
4. Hak Kebendaan
5. Pembagian Benda Menurut KUHPerdata
B. Macam-macam Hak Kebendaan Menurut KUHPerdata
1. Hak MiIik
2. Bezit
3. Hak-hak Kebendaan di Atas Kebendaan Milik Orang Lain
C. Jenis Hak Kebendaan yang Dapat Dijadikan Objek

BAB 5 HUKUM PERIKATAN


A. Penjelasan Umum tentang Perikatan
1. Unsur Esensialia dalam Perjanjian
2. Unsur Naturalia dalam Perjanjian
3. Unsur Aksidentalia dalam Perjanjian
B. Hukum Perikatan Bersumber dan Perjanjian
1. Jenis-jenis Perjanjian
2. Syarat-syarat Perjanjian
3. Bentuk-bentuk Perjanjian
4. Pelaksanaan Perjanjian
5. Pembatalan Perjanjian
6. Prestasi dan Wanprestasi
7. Berakhirnya Perjanjian
8. Asas-asas dalam Hukum Perjanjian
C. Hukum Perikatan Bersumber dan Undang-Undang
1. Perwakilan Sukarela (Zaakwarneming)
2. Pembayaran yang Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling)
3. Perbuatan Melawan Hukum (OnrechtmatigeDaad)
D. Hukum Perikatan Bersumber dan Putusan Pengadilan
BAB 6 HUKUM WARIS
A. Pewarisan dalam Sistem Hukum Pendata
1. Prinsip Pewarisan Perdata
2. Kompleksitas Hukum Waris di Indonesia
B. Asas-asas Hukum Wanis
1. Asas Kematian
2. Asas Hubungan Darah dan Hubungan Perkawinan
3. Asas Perderajatan
4. Asas Pergantiafl Tempat (Plaatsvervulling)
5. Asas Bilateral
6. Asas Individual
7. Asas Segala Hak dan Kewajiban Pewaris Beralih kepada Ahli
Waris
C. AhIi Waris yang Berhak Menerima 1-larta Warisan
1. Golongan I
2. Golongan II
3. Golongan Ill
4. Golongan IV
D. Ahli Waris yang Tidak Berhak Menerima Harta Warisan
E. Perihal Wasiat atau Testament
1. Syarat-syarat Isi Wasiat
2. Pengangkatan Ahli Waris dan Pemberian Hibah Wasiat
3. Hak dan Kedudu kan AhIi Waris dengan Wasiat
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUA N

A. Pendahuluan
Pada hakikatnya manusia sebagai individu mempunyai kebebasan
asasi, balk dalam hal hidup maupun kehidupannya. Hak asasi tersebut dalam
pelaksanaannya harus dilakukan berdasarkan aturan perundang-undangan
yang berlaku, terutama di Indonesia, yaitu hak asasi berfungsi sosial, artinya
dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan ke pentingan orang lain
yang juga mempunyai hak asasi. Sebagai makhluk sosial (zoon politicoon),
manusia tidak dapat berbuat sekehendaknya. Hal itu disebabkan terikat oleh
norma-norma yang ada dan berkembang di masyarakat serta terikat oleh
kepentingan orang lain. Oleh karena itu, dalam melaksanakan segala
keperluan hidup dan kehidupan, setiap manusia harus melakukannya
berdasarkan aturan atau norma yang ada dan berlaku di masyarakat, baik
norma agama, norma susila, norma adat maupun norma hukum. Meskipun
jauh berkembangnya norma hukum di masyarakat, norma susila, norma adat,
dan norma agama telah ada dan berkembang, masyarakat masih tetap
memerlukan norma hukum.
Hal tersebut disebabkan beberapa hal,antara lain sebagai berikut.
1. Tidak semua orang mengetahui, memahami, menyikapi, dan melaksanakan
aturan-aturan yang ada serta berkembang dalam norma-norma tersebut.
2. Masih banyak kepentingan manusia yang tidak dijamin oleh norma-norma
tersebut, misalnya dalam pelaksanaan aturan lalu lintas yang
mengharuskan setiap orang dan/atau kendaraan berjalan di sebelah kiri.
3. Ada sebagian kepentingan yang bertentangan dengan norma tersebut,
padahal masih memerlukan perlindungan hukum.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, diciptakanlah aturan-aturan


hukum yang dibuat oleh lembaga resmi untuk menjamin kelancaran hidup
dan kehidupan manusia dalam pergaulan di masyarakat.TuiUannya agar
terwujud ketertiban di masyarakat yang bersangkutan. Satjipto Rahardjo
menyatakan bahwa masyarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang
berhubungan sangat erat, bahkan dapat juga dikatakan sebagai dua sisi dan
satu mata uang. Sulit untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu
ketertiban, bagaimanapun kualitasnya. Kehidupan dalam masyarakat
berjalan dengan tertib dan teratur didukung oleh adanya suatu
tatanan.Tatanan inilah yang membuat kehidupan menjadi tertib.1
Hukum dalam arti ilmu pengetahuan kemudian disebut sebagai ilmu
hukum berasal dan bangsa Romawi. Bangsa ini telah dianggap mempunyai
hukum yang paling balk dan sempurna dibandingkan dengan hukum yang
ada dan berkembang di negara-negara lain. Oleh sebab itu, perkembangan
dan penyempurnaan hukum di negara-negara lain senantiasa dipengaruhi
oleh Hukum Romawi. Kitab Undang-Undang Hukum Romawi (KUH-Romawi)
diciptakari pada masa Kaisar Yustinianus dengan sebutan Institutiones
Yutinanae atau disebut juga Corpus Juris Civilis. Adapun tujuan dilakukannya
kodifikasi suatu hukum agar tercipta kepastian hukum. Dalam mempelajari
dan menyelidiki hukum Romawi, bangsa-bangsa Eropa, seperti Prancis,
Belanda, Jerman, dan lnggris mempelajarinya melalui empat cara berikut :
1. Secara teoretis (theoritische receptie), yaitu mempelajani hukum Romawi
sebagai ilmu pengetahuan. Artinya, setelah mahasiswa dan negara yang
bersangkutan mempelajani dan memperdalam hukum Romawi, kemudian
dibawa ke negaranya untuk dikembangkan Iebih lanjut, balk dalam
kedudukannya sebagai pegawai di pengadilan maupun badan-badan
pemenintah Iainnya.
2. Secara praktis (praktiche receptie) karena menganggap Hukum Romawi
Iebih tinggi tingkatnya sehšngga bangsa-bangsa Eropa Barat mempelajarinya
dan melaksanakan atau menggunakan Hukum Romawi dalam kehidupannya
sehani-hari di negaranya masing masing.

1 Satjipto Rahardjo dan Anton Tabah, Polisi: Pelaku dan Pemikir, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993, hIm. 13.
3. Secara ilmiah (wetenschappetyk receptie), Hukum Romawi yang telah
dipelajari oleh para mahasiswa hukum dikembangkan Iebih lanjut di negara
asalnya melalui perkuliahan di perguruan tinggi. Hal ini karena tidak sedikit
mahasiswa yang telah mempelajani hukum tersebut setelah kembali ke
negaranya bekerja sebagai pengajar atau dosen.
4. Secara tata hukum (positiefrechttelyke receptie), setelah dipelajari dan
diajarkan di perguruan tinggi, kemudian dijadikan hukum positif di
negaranya masing-masing disesualkan dengan situasi dan kondisi negana
tersebut. ‘
Dengan demikian, sebagai akibat timbulnya pengaruh secana timbal
balik, salah satunya harus mempersiapkan keberadaan hukum yang
mempunyai ciri khusus dan sesuai dengan nilai-nilai luhur suatu bangsa.
Demikian pula, di Indonesia sebagai negana yang lama dijajah oleh bansa
Eropa harus mampu menjawab tantangan dalam menghadapi pensaingan
yang semakin kompetitif dengan bangsa-bangsa Iainnya, terutama
menghadapi masuknya unsur-unsur asing (foreign element) yang telah
melintasi batas negara sehingga keberadaan hukum yang mapan dan sesuai
dengan nilai-nilai luhun bangsa Indonesia harus disiapkan.
Berkaitan dengan hal ¡tu, Mr. R. Soepomo, seonang pakan hukum yang
sangat disegani dan dihormati oleh kalangan ilmuwan hukum di Indonesia
pernah mengemukakan dan mengingatkan bangsa Indonesia dalam pidato
Dies Natalis di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus
1947,”Bahwa hukum dalam masyanakat itu dipengaruhi oleh perkembangan
masyarakat itu sendini, maka Hukum Perdata Nasional nantinya hanus pula
dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita Nasional menurut aspirasi
Bangsa Indonesia ....“ Dalam menanggapi perkembangari hukum perdata saat
ini, perlu adanya arus pembawaan jiwa dan kebudayaan nasional menuju
penemuan Hukum Pendata Nasional yang dapat memenuhi kebutuhan
tindak-tindak perdata, lhiik yang bersifat dan benaliran Barat maupun yang
bensendi norma-norma kebudayaan Timur.2
Berdasarkan gagasan tersebut, hal ini dapat diartikan agar para
penerus bangsa ini untuk lebih memerhatikan kehidupan bangsanya, di
samping tetap memerhatikan pergaulan dengan bangsa lainnya. Dikatakan
demikian karena berbagai produk peraturan peninggalan penjajahan
Belanda, balk Burgerlijk Wetboek (BW) selanjutnya disebut KUHPerdata
maupun Wetboek Van Koophandel (WvK) selanjutnya disebut dengan
KUHDagang, dapat dikatakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan
keadaan.
OIeh karena itu, lahir berbagai produk peraturan perundang undangan
yang dikeluarkan oleh negara, seperti Undang-Undang Pokok Agraria No.5
tahun 1960, Undang-Undang Pokok Perkawinan No. 1 tahun 1974, Undang-
Undang Perseroan Terbatas No. 1 tahun 1995, Undang Undang Hak
Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atas Tanah No.4
tahun 1996, Undang-Undang Jaminan Fidusia No.42 tahun 1999, Undang-
Undang Yayasan No. 16 tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung No.3
tahun 1963, dan lain-lain. Lahirnya berbagai perundang-undangan tersebut
dan peraturan lainnya merupakan upaya untuk keluar dan pengaruh hukum
peninggalan penjajahan.
Sahardjo ketika menjadi Menteri Kehakiman Rl pada tahun 1962
memunculkan suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan Perancang
Hukum Nasional (BPHN) untuk menyarankan,”Khusus KUHPerdata
(peninggalan Belanda) tidak lagi sebagai undang-undang, tetapi sebagai
dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak
tertulis.”3 Selanjutnya, gagasan Sahardjo tersebut dikemukakan lagi dalam
Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta tahun
1962 melalui prasarari Wirjono Prodjodikoro dengan judul Keadaan Transisi

2 A, Ichsan, Hukurn Peidata, Jakarta: Pembimbjng Masa, 1969, hIm. 5.


3 Z.A. Ahmad, Sejarah dan Kedudukan BWdi Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986, hIm. 47.
dan Hukum Perdata Barat. lsi prasaran tersebut mengemukakan hal-hal
berikut.
1. Peraturan dan zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum
dicabut, sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia
saat ini.
2. Mempertanyakafl, “Apakah BW harus menunggu dicabut dulu, untuk
memberhentikan berlakunya sebagai Undang-undang di Indonesia.”
3. Gagasan Sahardjo untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-
Undang, tetapi hanya sebagai dokumen yang berisi hukum tidak tertulis
adalah sangat menarik. Artinya, dengan menganggapnya sebagal dokumen,
para hakim akan lebih leluasa untuk mengesampingkan pasal-pasal BW yang
tidak sesuai lagi dengan kepenticgan nasional.
4. Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman, demi kepentingan hukum
perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-
Undang, tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dan Pemerintah atau
Mahkamah Agung.4
Gagasan Sahardjo yang telah dibawakan pada Kongres MIPI mendapat
tanggapan positif dan Mr. Wirjono Prodjodikoro yang saat itu sebagai Ketua
Mahkamah Agung RI. Wirjono Prodjodikoro kemudian mengeluarkan Surat
Edaran No. 3 tahun 1963 yang berisi gagasan bahwa BW tidak lagi sebagai
Undang-undang. Dengan demikian, konsekuensinya adalah mencabut
berlakunya delapan pasal dan BW. Dasar pertimbangan keluarnya Surat
Edaran Mahkamah Agung berawal dan saran Kongres MIPI tahun 1962, yaitu
para hadirin yang umumnya terdiri atas para ahli hukum menyetujuinya,
demikian juga dengan yang tidak ikut kongres juga menerimanya. Ada pula
yang tidak hadir dalam kongres menentang gagasan Sahardjo atas keluarnya
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 tersebut. Para penentang
tersebut, di antaranya Prof. Mr. Mahadi demikian pula Prof. Subekti, S.H.
Ketidaksetujuan Prof. Subekti dikemukakannya di depan Seminar Hukum

4 ZA. Ahmad, Se,jn,ah dan Kodudukan .,, hIm. 47.


Nasional Il di Semarang pada tahun 1968, dan pada saat ceramah di hadapan
dosen hukum dagang ketika mengikuti Post Graduate Course di Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1975, dengan
menyebutkan:
“.. balk gagasan seorang Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran
mahkamah Agung, bukan!ah merupakan sesuatu sumber hukum formal,
paling-paling dia hanya dapat dianggap seba gai suatu anjuran pada para
hakim untukjangan takut-takut menyingkirkan pasal-pasal dan 8W yang
dirasakan sudah tidak sesual lagi dan membikin yurisprudensi, sebab hanya
yunisprudensilah yang dapat menyingkirkan pasal-pasal dan 8W itu, seperti;
Pasal 1088w, Arrest 31 Januani 1919 yang memperluas pengertian Pasa!
1365 8W, Arrest Bierbrouwerij Oktober 1925 yang menyingkirkan Pasal
1152 BW yang men gharuskan pen yerahan baron g yang digadaikan, tetap
dalam kekuasaan orang yang men ggadaikan.”5
Munculnya perbedaan pandangan tersebut merupakan indikasi bahwa
keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan undang-undang hingga saat ini
masih terus diperdebatkan. Artinya, usulan-usulan yang menganggap bahwa
Burgerlijk Wetboek hanya sebagai dokumen hukum, tidak diterima dengan
mudah oleh beberapa ahli hukum lainnya.Tentuny a keadaan tersebut perlu
terus dipikirkan dan dipertimbangkan sebagai khazanah di antara kalangan
ahli hukum, praktisi hukum, dan para pihak yang mempunyai kewenangan
dalam pengambilan keputusan. Dengan adanya perbedaan tersebut, adanya
dorongan agar terus menggali dan mencermati berlakunya ketentuan
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa
dan tidak terpaku dengan Aturan Peralihan Pasal Il UUD 1945 yang tidak
membuat batasan yang jelas dan tegas tentang limit waktu berakhirnya
ketentuan peninggalan penjajahan tersebut.
Selain itu, ketentuan peninggalan penjajahan sudah berusia cukup lama.
Di Belanda sesungguhnya sudah sejak lama tidak lagi diberlakukan. Sudah

5 ZA. Ahmad, Sejarah dan Kedudukan ..., hlm. 51.


sewajarnya bangsa ¡ni memikirkan ketentuan yang berkaitan dengan
peraturan peninggalan penjajahan tersebut diganti dan/atau dinyatakan
tidak berlaku lagi dengan jalan terus berupaya membuat dan
memberlakukan ketentuan baru yang sesuai dengan keadaan bangsa dan
kemajuan zaman. Karena ketentuan-ketentuan yang bersifat keperdataan
dalam perkembangan dan penerapannya dapat dipengaruhi oleh berbagai
aspek hukum lainnya, seperti aspek hukum pidana, administrasi, dan
ketentuan hukum internasional sebagai akibat pengaruh global dan
hubungan antarwarga yang berbeda. Dinamika perkembangan sosial, politik,
dan agama dapat dijadikan sebagai bahan perti mbangan.

B. Pengertian Hukum Perdata .


Pada dasarnya setiap manusia yang hidup di dunia ini tidak dapat hidup
sendiri atau memenuhi kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu, mariusia
melakukan hubungan atau interaksi dengan manusia yang lain, dengan
kelompok atau masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Hubungan-
hubungan tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ada hubungan
yang tidak mempunyai akibat hukum, dan ada pula yang mèmpunyai akibat
hukum. Hubungan yang menghasilkan akibat hukum debut dengan hubungan
hukum, yaitu hubungan yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban.
Adapun hukum yang mengatur hubungan hukum antarseseorang dengan
yang lainnya disebut dengan hukum perdata.
Sebelum mengulas lebih jauh pengertian hukum perdata, terlebih
dahulu harus dibedakan istilah hukum perdata dalam dua macam pengertian,
yaitu Hukum Perdata Materil dan Hukum Perdata Formal. Hukum Perdata
Materil disebut dengan hukum perdata, sedangkan Hukum Perdata Formal
disebut dengan Hukum Acara Perdata. 6 Selain itu, ada beberapa sistem
hukum yang berlaku di dunia, dan perbedaan sistem hukum tersebut
memengaruhi bidang hukum perdata. Di antara berbagai sistem hukum yang

6 Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2006, hlm.
1.
ada di dunia dikenal dengan dua sistem hukum yang besar, yaitu sistem
hukum Anglo-Saxon disebut Common Law System dan Eropa Kontinental
atau disebut juga sistem Hukum Romawi atau Civil Law System. Sistem
hukum Anglo-Saxon adalah sistem hukum yang mengutamakan hukum tidak
tertulis yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan
digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara yang ditujukan
kepadanya.Adapun sistem hukum Eropa Kontinental adalah sistem hukum
yang dibuat dalam bentuktertulis dan terkodifjkasi.7
Perbedaan sistem hukum mi membawa pengaruh bagi sistem
pembuktian dalam peradilan negara-negara yang menganut sistem hukum
tersebut. Di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon,
seperti Amerika dan lnggris, menggunakan sistem jun pada peradilannya dan
pembuktian diutamakan pada adanya saksi, bukti tertulis hanya merupakan
penunjang dan keterangan saksi. Di negara negara yang menganut sistem
hukum Eropa Kontinental, seperti Belanda dan Prancis, pembuktian
diutamakan pada bukti tertulis. Hal tersebut membawa pengaruh pada
perbedaan masalah kenotariatan antara negara penganut sistem hukum
Anglo-Saxon dan negara penganut sistem hukuin Eropa Kontinental.
Di negara-negara penganut sistem hukum Anglo-Saxon dikenal adanya
notary public, namun tugas dan wewenangnya berbeda dengan notaris di
negara penganut sistem hukum Eropa Kontinental. Sebagai contoh, di lnggris
dibedakan antara notary public di City of London dan notary public di tempat
lain yang provensial. Notary public provensial bertugas membantu
menyatakan kebenaran tanda tangan dan surat untuk keperluan di luar
negeri dan dalam hal protes wesel, untuk menjadi notary public provensial
tidak dibutuhkan pendidikan yuridis ataupun magang. Notary public di
London tergabung dalam Scrivener Company, yaitu para yurist yang
menjalankan tugas sebagai notary public dan harus mengikuti ujian yang
diadakan Scrivener Company, di samping harus mengikuti magang pada

7 Wasis SP,, Pengantar ilmu Hukurn, Malang UMM Press, 2002, hlm. 29—31.
notary public London selama lima tahun. Tugas notary public di London
memberikan nasihat, kadang-kadang juga penyusunan redaksi suatu
dokumen untuk keperluan penggunaannya dalam hubungan perjanjian luar
negeri.
Akan tetapi, produk dan notary public di Inggris bukan merupakan alat
bukti yang kuat atau bersifat autentik menurut ukuran notariat Latin. Contoh
lain negara yang menganut sistem Anglo Saxon adalah Amerika Serikat yang
mengenal istilah notary public. Notary public di Amerika Senikat tidak
menjalani pendidikan sebagai yurist dan menjabat dalam jangka waktu
tertentu. Selain ¡tu, kewenangan notary public tidak lebih dan pembuatan
certificates dan tugasnya hanya membubuhkan stempel dan tanda
tangannya. Sebagai alat bukti, kekuatannya tidak mengikat dan berada di
bawah keterangan saksi. Dapat disimpulkan dan contoh-contoh tersebut
bahwa dalam hukum pembuktian dalam sistem Anglo-Saxon, kepercayaan
terhadap bukti tulisan bergantung pada pembuktian dengan ketenangan
saksi.8
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tugas notaris di negana
negara penganut sistem Anglo-Saxon hanya pengesahan surat-surat/ akta-
akta, yang bagi notaris di Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental menupakan waarmerking (pengesahan surat di bawab tangan).
Notaris pada sistem hukum Anglo-Saxon tidak berperan dalam pembuatan
dan menentukan isi sunat/akta. Selain ¡tu, untuk menjadi seorang notary
public di negara-negara penganut sistem Anglo-Saxon tidak diperlukan
adanya pendidikan khusus.
Di negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, kedudukan
notaris sangat berbeda dengan notary public di negara penganut sistem
hukum Anglo-Saxon. Notaris di negara penganut sistem hukum Eropa
Kontinental atau disebut Notaris Latin merupakan profesi yang dilakukan

8 Herlien Budiono, Akta Otentik dan Notaris pada Sistem Hukum Anglo-Saxon dan Sistem
Hukum Romawi, Percikan Gagasan tentang Hukum Ke-Ill (Kumpulan Karangan llmiah
Alumni FH Unpar), Bandung: Mandar Maju, 1998, hIm. 104.
oleh ahli hukum (yurist) yang dijabat seumur hidup atau hingga memasuki
masa pensiun. Notaris Latin dapat memberikan nasihat kepada kliennya
dalam pembuatan alat bukti tentulis, yaitu akta autentik yang bensifat
memaksa bagi para pihak. Akta yang merupakan produk Notaris Latin
mempunyai kekuatan bukti formal, materiel, dan untuk perbuatan hukum
tertentu juga mempunyai kekuatan executorial.
Kekuatan alat bukti tertulis berupa akta autentik mempunyai tempat
yang tertinggi, terkuat, dan terpenuh atau alat bukti sempurna dalam hukum
pembuktian Eropa Kontinental. Oleh karena itu, kedudukan notaris dalam
sistem hukum Eropa Kontinental sangat penting karena tugas dan
kewenangannya dalam membuat akta autentik.9 Kewenangan Notaris Latin
tidak hanya pengesahan surat-surat sebagaimana yang dilakukan oleh
Notaris Anglo-Saxon, tetapi juga mencakup pemberian nasihat dalam
pembuatan akta. Akta yang dibuat oleh Notaris Latin memiliki kekuatan
sempurna sebagai alat bukti tertulis yang mempunyai tingkatan tertinggi di
antara alat bukti lainnya. Selain itu, untuk dapat menjadi notaris, seseorang
harus menempuh pend idikan tertentu.
Indonesia merupakan negara bekasjajahan Belanda sehingga sistem
hukum yang dianut di Indonesia sebagaimana yang dianut oleh Belanda
adalah sistem hukum Eropa Kontinental. OIeh kanena ¡tu, penan notaris
sebagai pejabat pembuat akta autentik mempunyai andil besar dalam sistem
hukum di Indonesia. Notariat sepenti yang dikenal pada zaman Republik der
Verenigde Nederlanden mulai masuk pada permulaan abad ke-1 7 di
Indonesia. Pada tahun 1620, Melchior Kenchem diangkat sebagai notaris
pertama di Indonesia.10 Setelah pengangkatan tersebut, jumlah notaris di
Indonesia tenus bentambah dengan disesuaikan menurut kebutuhan pada
saat itu. Sesuai dengan perkembangannya dan waktu ke waktu, pemerintah
Belanda pada saat ¡tu terus mempenbarui penaturan penundang-undangan

9 Herlien Budiono, Akta Otenlik dan Notaris pada Sistem ..., hIm 104.
10 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Perjalanan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1993, hIm. 22.
mengenai Jabatan Notaris di Indonesia. Peraturan yang terus berlaku hingga
setelah Indonesia merdeka adalah Staatsblaad 1860 Nomor 3 yang dikenal
sebagai Notaris Reglement atau Peraturan Jabatan Notaris. Staatsblaad tahun
1860 Nomor 3 kemudian mengalami beberapa perubahan, yang terakhir
perubahan dilakukan dengan lahir nya Undang-Undang Nomor 30 tahun
2004 tentang Jabatan Notaris yang merupakan undang-undang pertama bagi
dunia kenotariatan di Indonesia karena sebelumnya Peraturan Jabatan
Notaris yang dikenal di Indonesia adalah produk sejak masa pemerintahan
kolonial Belanda.
OIeh sebab itu, hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum
perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa
penjajahan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (dikenal KUHPerdata)
yang berlaku di Indonesia adalah terjemahn yang kurang tepat dan Burgeriijk
Wetboek (BW) yang berlaku di Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan
wilayah jajahan Belanda) berdasarkan asas konkordansi. Untuk Indonesia
yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, Burgerlijk Wetboek
diberlakukan mulai tahun 1859. Hukum perdata Belanda di sadur dan hukum
perdata yang berlaku di Prancis dengan beberapa penyesuaian.
Dalam kurikulum Pendidikan Tinggi Ilmu Hukumdi Indonesia, pada
awal berdirinya telah ditemui berbagai istilah atau penamaan dan “hukum
perdata baik di Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum maupun
Akademi Hukumnya. Istilah atau penamaan hukum perdata dikenalkan
dengan berbagai istilah dan/atau penamaan hukum perdata di dalam
kurikulum pendidikannya. Demikian juga dengan kalangan sarjana hukum.
Dengan adanya konsorsium ilmu hukum, menurut Z. Ansori Ahmad dalam
khazanah ilmu hukum di Indonesia, pernah dikenal adanya istilah dan
pembedaan antara Hukum Perdata BW dan Perdata Adat.11
Pembedaan tersebut dapat diartikan erat hubungannya dengan sejarah
dan sisa-sisa politik masa Iampau dan penjajahan kolonial Belanda yang

11 ZA. Ahmad, Sojarah dan Kedudukan ..., hIm. 1.


hingga saat ini masih tetap berlaku sebagai hukum positif berdasarkan Pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945. Sementara itu, dalam penamaan istilahnya,
konsorsium ilmu hukum mempergunakan istilah “hukum perdata” ditujukan
untuk “hukum perdata BW” dan hukum adat untuk “hukum perdata adat
Kenyataan ini dapat diartikan bahwa di bidang hukum perdata terjadi
dualisme, yaitu untuk golongan Eropa diberlakukari hukum perdata
(Burgerlijk Wetboek), sebaliknya untuk golongan bumiputra diberlakukan
hukum adat mereka. Sementara itu, mengenai hukum perdata BW
diberlakukan di daerah Hindia Belanda dengan menggunakan asas
konkordansi. Kata-kata perdata pertama kali secara resmi terdapat dalam
perundang-undangan Indonesia ditemui dalam Konstitusi RIS, yaitu pada
Pasal 15 ayat 2, Pasal 144 ayat 1, dan Pasal 158 ayat 1. Dalam UUDS RI tahun
1950 istilah perdata dapat dilihat pada Pasal 15 ayat 2, Pasal 101 ayat 1, dan
Pasal 106 ayat 3. Berawal dan ketentuan tersebut, terutama penggunaan
istilah hukum perdata merupakan alih bahasa dan bahasa Belanda, yaitu
burgerljk recht. Hal ini secara resmi dapat dilihat dalam Pasal 102 UUDS,
demikian pula dalam Undang-Undang Darurat No.5 tahun 1952 tentang Bank
Industri Negara yang termuat dalam Lembaran Negara Rltahun 1952 No.21
pada tanggal 20 Februari tahun 1952 dan diundangkan pada tanggal 28
Februari tahun 1952.
Padanan istilah yang sama dengan burgerlijk recht adalah civiel recht
atau pri vat recht. Burger diartikan sebagai warga masyarakat, sedangkan
privat diartikan dengan pribadi, dan civiel berarti warga masyarakat. Apabila
dilihat dalam bahasa Inggris, hukum perdata dikenal dengan istilah civil law.
Kata civil berasal dan bahasa Latin, yaitu civis yang berarti warga negara. Hal
tersebut berarti civil law atau hukum sipil merupakan hukum yang mengatur
tentang masalah yang berkaitan dengan hak-hak warga negara dan/atau
perseorangan. Jika dilihat dan berbagai Iiteratur yang ditulis para sarjana
hukum, akan dijumpai berbagai macam definisi hukum perdata, kadang-
kadang satu dan Iainnya berbeda, namun tidak menunjukkan perbedaan
yang terlalu prinsipiel. Pada umumnya para sarjana menganggap bahwa
hukum perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan
(pribadi) yang berbeda dengan “hukum publik” sebagai hukum yang
mengatur kepentingan umum (masyarakat).
Berkaitan dengan hal tersebut, penlu adanya pembahasan Iebih lanjut
tentang pengertian dan sistematika hukum perdata, mulai dan definisi
hukum perdata, sistem yang berlaku pada hukum tersebut, hingga pada
berlakunya hukum perdata di Indonesia. Sesungguhnya istilah hukum
perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai
terjemahan dan burgerlijkrecht pada masa pendudukan Jepang. Di samping
istilah tersebut, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht.
Menurut para ahli, pengertian hukum perdata secara sederhana
berbeda-beda meskipun pada hakikatnya ada kesamaan. Misalnya,: menurut
R. Subekti yang menyebutkan bahwa hukum perdata adalah segala hukum
pokok yang mengatur kepentingan perseorangan.12
Adapun menurut H.F.A.Vollmar, hukum perdata adalah aturan atau
norma yang memberikan pembatasan sehingga memberikan perlindungan
pada kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara
kepentingan yang satu dan kepentingan yang lain dan orang-orang dalam
suatu masyarakat tertentu, terutama yang mengenai hubungan keluarga dan
hubungan lalu untas.13
Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa hukum perdata adalah
hukum antara perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang
perseorangan yang satu terhadap yang lainnya dan dalam hubungan
kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya
diserahkan pada masing-masing pihak.14

12 Riduan Syah rani, Seluk-beluk dan Asas-asas ..., hlm. 1.


13 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2006, hIm. 2.
14 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum ..., hlm. 3.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata
yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamanya pada pengaturan tentang
perlindungan antara orang yang satu dan orang lain. Akan tetapi, dalam ilmu
hukum, subjek hukum bukan hanya orang, melainkan juga badan hukum
termasuk subjek hukum. Untuk pengertian yang lebih sempurna, yaitu
keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang
mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam
hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan kemasyarakatan.
Berdasarkan ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum
perdata adalah serangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan
hukum antara seseorang dan orang lain, dengan menitik beratkan pada
kepentingan individu atau perseorangan. 15 Hukum perdata sering pula
dibedakan dalam pengertian yang lebih luas,termasuk hukum dagang. Selain
itu, dapat pula diartikan yang lebih sempit sehingga tidak termasuk hukum
dagang. lstilah hukum perdata sering juga disebut dengan hukum sipil dan
hukum privat.16
Walaupun hukum perdata mengatur kepentingan perseorangan, tidak
berarti semua hukum perdata secara murni mengatur kepentingan
perseorangan. Hal itu disebabkan perkembangan masyarakat yang dinamis
dan banyak bidang hukum perdata yang telah diwarnai oleh hukum publik,
misalnya perkawinan, perburuhan, dan sebagainya. Bidang-bidang tersebut
tidak bersifat perseorangan, tetapi melibatkan banyak pihak.
Apabila terjadi perselisihan atau persengketaan di antara sesama warga
masyarakat, seperti masalah warisan, perceraian, perbatasan dengan
tetangga rumah, sewa menyewa, perjanjian jual beli, dan sebagainya, hukum
perdata yang akan berbicara. Hal ini sesuai dengan batasan hukum perdata
sebagaimana disebutkan di atas.

15 C.S.T. Kansil, Pengantar limu Hukum dan Tata Hukum, Jakarta: Balai Pustaka, 1979, hIm.
199.
16 R. Wjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Jakarta: Grafindo Persada, 1979, hIm.

11.
Dengan demikian, hukum perdata menentukan bahwa setiap orang
harus menundukkan din pada semua norma yang harus mereka indahkan.
Hukum perdata memberikan norma-norma yang didasarkan atas keadilan
dan kepantasan. Adapun yang dimaksud dengan hukum perdata dalam arti
luas adalah bahan hukum .sebagaimana tertera dalam KUHPerdata
(Burgerlijk Wetboek), KUHDagang beserta sejumlah undang-undang
tambahan. Dalam arti sempit, hukum perdata adalah semua hal yang tertera
dalam KUHPerdata.
Hukum perdata merupakan aturan-aturan tentang tingkah laku, hak
dan kewajiban perseorangan tentang orang lain untuk melakukan perbuatan
tertentu yang menimbulkan hak dan kewajiban terhadap seorang lainnya.
Selain itu, hukum perdata merupakan hukum antara perseorangan, hukum
yang mengatur wewenang kewajiban dan orang yang satu terhadap orang
lain dalam hubungan keluarga dan pergaulan masyarakat. Dalam masyarakat
luas menuju pada hukum kekayaan, sedangkan dalam pergaulan keluarga
menuju pada hukum keluarga.
Hukum perdata dapat juga diartikan sebagai hukum umum terhadap
hukum dagang sebagai hukum khusus. Artinya, semua hal yang diatur dalam
hukum perdata (Burgerlijk Wetboek) merupakan aturan-aturan umum,
sedangkan hal-hal yang diatur dalam hukum dagang merupakan aturan-
aturan khusus. Aturan-aturan umum itu juga berlaku terhadap hal-hal yang
khusus dengan mengingat asas lex specialis derogat lexi generous (hukum
yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, secara umum dapat
dikelompokkan dalarn dua konsep pemahaman. Dikatakan demikian karena
pengertian yang dikemukakan lebih memfokuskan pada pengaturan
ketentuannya, seperti yang dikemukakan oleh Sri Soedewi dan Van Dunne.
Sebaliknya, pemahaman pengertian lainnya lebih menitikberatkan pada
aspek perlindungan hukum dan ruang Iingkup pembahasannya. Dikatakan
demikian karena perlindungan hukum sebagaimana dimaksud sangat erat
kaitannya dengan perlindungan perseorangan dalam melakukan hubungan
hukum dengan perseorangan yang lainnya. Selanjutnya, dalam hal ruang
Iingkup perhatiannya juga menitikberatkan pada adanya hubungan
kekeluargaan dalam per gaulan masyarakat. Berawal dan pemahaman
pengertian hukum perdata di atas, pada prinsipnya hukum perdata adalah
keseluruhan aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
hubungan kepentingan orang yang satu dengan kepentingan orang lain yang
terjadi karena hubungan kekeluargaan ataupun akibat pergaulan dalam
masyarakat.
Pada dasarnya hukum perdata dapat dilihat dan berbagai sudut
pandang, misalnya dan ruang lingkupnya dan dan sudut isinya. Berdasarkan
ruang lingkupnya, hukum perdata dibagi menjadi berikut ini.
1. Hukum perdata dalam arti luas, termasuk ke dalamnya, di samping hal-hal
yang diatur dalam hukum perdata BW juga termasuk hal-hal yang
berkaitan dengan pengaturan yang terdapat dalam hukum dagang (WvK).
Hal ¡ni disebabkan keadaan yang ditimbulkan dalam perdagangan yang
diatur dalam hukum daghng (WvK) tidak dapat dilepaskan dan adanya
perbuatan keperdataan, seperti jual beli, asuransi, pengangkutan, dan
sebagainya. Adapun pemisahan pengaturan antara hukum perdata BW
dan hukum dagang (WvK) hanya latar belakang sejarah pembuatannya
karena antara hukum perdata BW dan hukum dagang (WvK) pada
dasarnya adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan.
2. Hukum perdata dalam arti sempit, lebih terfokus dengan hal-hal yang
diatur dalam hukum perdata BW dan peraturan lainnya yang berkaitan
dengan masalah keperdataan.
Sementara itu, kondisi dan perkembangan hukum di Indonesia tidak
terlepas dan pengaruh hukum Romawi. Hal ini disebabkan adanya pengaruh
Iangsung dan pemerintahan Hindia Belanda. Kondisi masyarakat dan
kebijakan politik dalam hukum perdata di Indonesia yang dikembangkan
pemerintah Belanda mengakibatkan terjadinya pluralisme atau
kebhinnekaan dalam pelaksanaan hukum perdata di Indonesia. Hukum
perdata bagi golongan pribumi adalah semua kaidah hukum yang menguasai
suatu peristiwa hukum perdata, yang di dalamnya hanya tersangkut orang
golongan pribumi.
Adapun hukum yang berlakunya adalah hukum adat, yaitu hukum yang
tumbuh dan berkembang sejak dahulu di kalangan masyarakat. Hukum adat
sebagian besar masih bersifat tidak tertulis, tetapi hidup dan berkembang
dalam perilaku dan tindakan masyarakat. Menurut ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 163 (3)15 mereka yang takiuk pada peraturan
peraturan bagi golongan pribumi ialah:
1. Mereka termasuk penghuni pribumi yang tidak pindah ke lain golongan;
2. Mereka yang tadinya termasuk golongan lain, tetapi telah meleburkan dan
ke dalam golongan pribumi.
Selanjutnya, hukum perdata ada yang tertulis dan ada pula yang tidak
tertulis. Hukum perdata yang tertulis adalah hukum perdata yang termuat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan hukum perdata
yang tidak tertulis adalah hukum adat. Berdasarkan isinya, hukum perdata
dapat dibagi menjadi dua, yaitw sebagai berikut.
1. Hukum perdata materil, yaitu hukum perdata yang berisi peraturan hukum
yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan orang lain (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Contob, peraturan sewa menyewa, utang
piutang, perkawinan, dan sebagainya. Menurut Kansil, hukum perdata
materil yang termuat dalam KUHPerdata berlaku bagi:17 (1) warga negara
Indonesia yang berasal dan golongan Timur Asing Cina dan bukan Cina
(Arab, India, Pakistan, dan lain-lain) untuk sebagian tertentu dan
KUHPerdata;
(2) warga negara Indonesia pribumi untuk beberapa perbuatan hukum
tertentu dalam KUHPerdata.

17 Kansil, PengnntnrHukuni Indo,isin, Jakarta Snar Grafika, 1993, hIm. 85.


2. Hukum perdata formil, yaitu hukum perdata yang mengatur cara
mempertahankan/menjalankan berlakunya hukum perdata materil (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata). Contoh, peraturan tentang cara
menyusun surat gugat, mengajukan banding, kasasi, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai