Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ISTILAH PERADILAN AGAMA

DAN PENGADILAN AGAMA


“Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas

pada mata kuliah “Hukum Acara Peradilan Agama”

Dosen Pengampu: Wifa Lutfiani Tsani,S.H.,M.H

Oleh :

1. Deni Sujani (2002002025)


2. Yulia Nurmaya Dewi (2002002043)

PRODI AHWAL SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM CIAMIS

JAWA BARAT

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Istilah Peradilan Agama Dan
Pengadilan Agama” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama. Selain itu, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk
menambah pengetahuan dan wawasan mengenai “Istilah Peradilan Agama Dan
Pengadilan Agama” khususnya bagi penulis umumnya untuk para pembaca.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Wifa Lutfiani Tsani, S.H.,


M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
mengumpulkan literature untuk penulisan makalah ini,

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa masih banyak


kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini. Oleh sebab itu,
kritik dan saran yang membangun kami harapkan, demi memperbaiki makalah ini.

Ciamis, 04 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 1
1.3 Tujuan................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Istilah Peradilan Agama dan Pengadilan Agama.......... 3


2.2 Asal Usul Nama dan Sejarahnya....................................................... 4
2.3 Kewenangan Pengadilan Agama
(Kompetensi Absolut dan Relatif)...................................................... 11
2.4 Perdata Formil dan Materil.............................................................. 11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 13


3.2 Saran................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ada dua lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Salah satu peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung adalah Peradilan Agama, selain itu ada
Peradilan Umum, Militer dan Tata Usaha Negara.
Di dalam dunia hukum, terdapat dua kalimat yang sering kita
temukan, yakni Peradilan dan Pengadilan. Kedua kalimat tersebut, tentunya
mempunyai persamaan dan perbedaan. Tetapi pada dasarnya, arti dari kedua
kalimat tersebut sama-sama sangat berkaitan dengan yang namanya hukum.
Salah satu peradilan khusus yang berada di negara Indonesia yaitu
Peradilan Agama. Adapun maksud dari peradilan khusus tersebut, karena di
dalamnya khusus menangani peradilan bagi warga golongan tertentu yakni
warga yang beragama Islam.
Seiring berkembangnya zaman, dunia peradilan agama terus
mengalami perubahan, baik itu dari namanya, wewenangnya, aturannya
maupun strukturalnya. Akan tetepi pada prinsipnya dari dulu hingga sekarang
itu hampir sama, yakni sama-sama menegakkan keadilan terkait
permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat
muslim.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat merumuskan beberapa
masalah :
1. Apa Pengertian Istilah Peradilan Agama dan Pengadilan Agama?
2. Apa Asal Usul Nama dan Sejarahnya?
3. Apa Kewenangan Pengadilan Agama (Kompetensi Absolut dan
Relatif)?
4. Apa itu Perdata Formil dan Materil?
1.3 Tujuan

1
1. Menjelaskan pengertian Peradilan Agama dan Peradilan Agama.
2. Menjelaskan Asal Usul Nama dan Sejarahnya.
3. Menjelaskan Kewenangan Pengadilan Agama (Kompetensi Absolut
dan Relatif).
4. Menjelaskan Perdata Formil dan Materil.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Istilah Peradilan Agama dan Pengadilan Agama


Peradilan Agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu
diantara empat lingkungann Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yg
sah di Indonesia. Peradilan Agama adalah salah satu diantara Peradilan
khusus di indonesia, dua peradilan khsusus lainnya adalah Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena
Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai
golongan rakyat tertentu.
Pengertian Peradilan menurut bahasa adalah segala sesuatu yang
mengenai perkara Pengadilan. Sementara itu pengertian Peradilan menurut
istilah adalah kewenangan suatu lembaga atau untuk menyelesaikan perkara
untuk atas nama hukum demi tegaknya hukum dan keadilan.
Selanjutnya pengertian Pengadilan Agama (biasa disingkat PA) adalah
Pengadilan tingkat pertama yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di
lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten
atau Kota. Pengadilan Agama dibentuk dengan keputusan presiden.
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf,
zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah.
Adapun perbedaan antara Peradilan Agama dan Pengadilan Agama
yaitu :
- Peradilan Agama adalah sebuah proses dalam rangka menegakkan
hukum dan keadilan atau suatu proses mencari keadilan itu sendiri
bagi kalangan umat Islam.
- Pengadilan Agama adalah lembaga tempat subjek hukum yang
beragama Islam untuk mencari keadilan.

3
Sejarah Peradilan Agama di Indonesia telah ada sejak zaman kerajaan-
kerajaan Islam. Kemudian pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang
sesudah kemerdekaan sampai akhir keluar UU No 7 tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama yang lebih mempertegas lagi kedudukan Pengadilan
Agama di Indonesia. Proses interaksi Peradilan Agama ini telah berlangsung
dalam jangka waktu yang panjang, sejak masyarakat Islam memiliki
kekuatan politik pada masa kesultanan Islam hingga sekarang. Maka ketika
disebutkan Peradilan Agama yang dimaksud adalah Peradilan Islam di
Indonesia.

2.2 Asal Usul Nama atau Sejarah Peradilan Agama


Peradilan Agama di Indonesia telah ada sejak zaman kerajaan-
kerajaan Islam seperti kerajaan Islam Samudera Pasai di Aceh, kerajaan
Islam Mataram di Jawa Tengah, kerajaan Islam di Banjarmasin, Makassar
dan selainnya. Wewenang Peradilan Agama pada saat itu meliputi perkara
perdata bahkan pidana. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda, Peradilan
Agama berkembang di daerah-daerah dalam keadaan tidak sama. baik
namanya, wewenangnya, maupun strukturnya. Ada beberapa sebutan nama
Peradilan Agama pada waktu itu. Seperti "Rapat Ulama, Raad Agama.
Mahkamah Islam, Mahkamah Syara', Priessteraa, Peradilan Paderi,
Godsdientige Rechtspark, Godsdietnst Beatme, Mohammedansche
Godsdienst Beatme. Kerapatan Qadi, Hof Voor Islamietische Zaaken,
Kerapatan Qadi Besar, Mahkamah Islam Tinggi dan sebagainya".
Menurut Soepomo, pada masa penjajahan Belanda terdapat lima buah
tatanan Peradilan:
1. Peradilan Gubernemen, tersebar di seluruh daerah Hindia Belanda.
2. Peradilan Pribumi, tersebar di luar Jawa dan Madura, yaitu:
Keresidenan Aceh, Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang,
Bengkulu, Riau. Kalimantan Barat. Kalimantan Selatan, Kalimantan
Timur, Sulawesi, Maluku dan di pulau Lombok dari Keresidenan Bali
dan Lombok.
3. Peradilan Swapraja, tersebar hampir di seluruh daerah Swapraja
kecuali di daerah Pakualam dan Pontianak.

4
4. Peradilan Agama, tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan
Peradilan Gubernemen yang menjadi bagian dari Peradilan Pribumi
atau daerah-daerah swapraja dan menjadi bagian di Peradilan
Swapraja.
5. Peradilan Desa, tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan
Peradilan Gubernemen. Di samping itu ada juga Peradilan Desa yang
merupakan bagian dari Peradilan Pribumi atau Peradilan Swapraja.1
Pada tahun 1882, Peradilan Agama yang lahir dengan nama
pristerraad (majelis atau pengadilan pendeta) sebetulnya tidak sesuai karena
yang dimaksudkan adalah Pengadilan Agama bagi orang Islam, didirikan di
setiap tempat di mana terdapat Pengadilan Negeri atau Indraad.
Wewenangnya tidak ditentukan secara jelas dalam staatsblad 1882 No. 152
yang menjadi dasar eksistensinya. Oleh karena itu, pengadilan itu sendiri
yang menentukan perkara-perkara yang dipandangnya termasuk ke dalam
lingkungan kekuasaannya yakni perkara-perkara yang berhubungan dengan
pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah sah atau tidaknya anak
perwalian, kewarisan, hibah, shadaqah, baitul mal dan wakaf. Dengan
demikian, secara jelas dapat dikatakatan bahwa yang menjadi inti
wewenang. Peradilan Agama pada waktu itu adalah hal-hal yang
berhubungan dengan hukum perkawinan dan kewarisan Islam.
Penentuan lingkungan wewenang yang dilakukan sendiri oleh
Pengadilan Agama adalah kelanjutan dari praktek peradilan
dalam=asyarakat bumi putera yang beragama Islam, sejak zaman
pemerintahan VOC dan kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya. Pembentukan
peradilan agama dengan Siaatshlad 1882 No 152 itu sesungguhnya adalah
pengakuan resmi dan pengukuhan sesuatu yang telah ada, tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat pada saat itu.2
Legitimasi keberadaan Peradilan Agama pada waktu itu didasarkan
pada Pasal 75 ayat (2) Regerings Reglemen (RR) yang berbunyi:

1
Lihat Cik Hasan Bisri. Peradilan Agama di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
1996), h.110
2
Lihat Muhammad Daud Ali. Hukum Islam. Pengantar Ilmu dan Tata Negara Islam di Indonesia
(Cet. Ill: JakaitaiPT. Raja Gnifindo Persada. 1993). h. 217

5
"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli
atau dengan orang yang dipersamakan mereka maka mereka tunduk pada
putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut Undang-
Undang agama atau ketentuan-ketentuan agama mereka.3
Atas dasar Pasal tersebut, maka bagi orang Islam pada waktu itu
berlaku hukum Islam sepenuhnya, sehingga Prof. Mr. L W. C Van Den
Berg berpendapat bahwa dalam masyarakat Islam di Indonesia, hukum
adatnya adalah hukum Islam, teorinya ini kemudian dikenal dengan teori
recepiio in Complexu. Teori receptio in complexu dari Van Den Berg ini
mendapat kecaman dari Prof Snouck Hurgronje dengan mengemukakan
teorinya yaitu Teori Receptio. Menurut teori ini, hukum yang berlaku di
Indonesia adalah hukum adat asli. Hukum Islam telah berpengaruh di dalam
hukum adat, hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan
diterima oleh hukum adat. Jadi yang lahir keluar adalah hukum adat bukan
hukum Islam. Teori Snouck ini tidak sesuai dengan kenyataan pada waktu
itu Teorinya tidak lain hanya untuk memperkuat penjajahan pemerintahan
kolonialnya pada waktu itu. Namun pendapat Prof Snouck telah
mempengaruhi jalan pikiran ahli hukum dan pemerintahan Hindia Belanda
ketika itu, sehingga Pasal 134 ayat (2) indisehe Staatsregeling yang
diundangkan dengan Staatsblaad 1929 No 212 sebagai Pasal 75 ayat (2)
Regeling Reglemen bunyinya sebagai berikut "Dalam hal timbul perkara
hukum di antara orang muslim dan hukum adat, mereka meminta
penyelesaian maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh
hakim agama terkecuali jika ordonansi menetapkan sesuatu yang lain.
Kata-kata "... dan hukum adat mereka meminta penyelesaiannya..."
telah digunakan untuk memperkecil kompetensi atau wewenang Pengadilan
Agama pada waktu itu. Kekuasaan Peradilan Agama sebelumnya selain
sengketa suami istri juga sengketa tentang waris mal waris, hibah, shadaqah,
wakaf, wasiat dan yang sehubungan dengan itu. Akan tetapi, dengan adanya
perubahan bunyi Pasal 134 ayat (2) Indisehe Staatregeling tersebut, maka

3
Lihat Zainal Abidin Abu Bakar. Kompetensi dan Struktur Organisasi Peradilan Agama dalam buku
Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia. Editor Muh.
Mahfud et.all (Yogyakarta Universitas Islam Indonesia. 1993). h. 33

6
terjadilah pengurangan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura,
jika sebelumnya atas dasar Staadsblaad 1882 No 152 tentang Peradilan
Agama di Jawa dan Madura, kekuasaan Peradilan Agama lebih luas seperti
yang telah disebutkan tadi. Setelah diadakan perubahan dengan Staadsblaad
1937 No 116, kekuasaan Peradilan Agama hanya terbatas pada penyelesaian
sengketa suami istri saja. Demikian pula halnya dengan dibentuknya
ordonansi tentang Peradilan Agama di Kalimantan Selatan dengan
Staadsblaad 1937 No 638. Sedang di daerah-daerah Hindia Belanda
selebihnya tetap berpedoman pada Pasal 134 ayat (2) lndische
Staatsregeling.
Pada masa pendudukan Jepang peraturan mengenai Peradilan Agama
tidak mengalami perubahan. Hal ini didasarkan pada peraturan peralihan
Pasal 3 UU No 1 tahun 1942 tertanggal 7 Maret 1942. Selama itu
Mahkamah Islam Tinggi diurus oleh Sihoobu (Departemen Kehakiman)
meneruskan ketentuan pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa ketua,
anggota-anggota dan panitera pengganti Mahkamah Islam Tinggi diangkat
oleh Gubernur Jenderal dan melakukan sumpah jabatan di hadapan Direktur
Van Justitie. Nama Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi diganti
dengan Sooryoo Hooin dan Kaikyoo Kootoo Hooin. Dalam rangka niat
Jepang untuk menjadikan kemerdekaan bagi Indonesia dikemudian hari
dalam lingkungan Asia Timur Raya, maka oleh Gunseikanbu pada akhir
Januari 1945 telah disampaikan sebuah pertanyaaan kepada Dewan Sanyo
atau Sanyo Kaigi Jimushitsu (Dewan Pertimbangan Agung) tentang
bagaimana pendirian dewan ini terhadap kedudukan agama dalam negara
Indonesia kelak.4
Di zaman revolusi sejak tahun 1945-1950, Pengadilan Agama masih
berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan pemerintah kolonial
yaitu, Pertama peraturan tentang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura
(Stbl. Tahun 1882 No. 152 dihubungkan dengan Stbl Tahun 1937 No. 116
dan 610). Kedua peraturan tentang kerapatan qadhi dan kerapatan qadhi
besar untuk sebagian residen Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur
4
Lihat Zaini Ahmad Noch dan Abdul Basil Adnan. Sejarah Singkat Pengadilan Agama di Indonesia
(Surabaya: Bina Ilmu.1980) h.44

7
(Stbl Tahun 1937 No 638 dan 639). Hal ini disebabkan karena bangsa
Indonesia pada waktu itu dihadapkan kepada revolusi fisik di mana Belanda
akan menjajah Indonesia serta konstitusi yang menjadi dasar
penyelenggaraan badan-badan kekuasaan negara menyangkut penundaan
dan perubahan.
Pada tahun 1957, berdasarkan ketentuan Pasal 98 Undang-Undang
Dasar Sementara Pasal 1 ayat (4) UU Darurat No. 1 Tahun 1951,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang
pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari'ah di luar Jawa dan
Madura. Menurut ketentuan Pasal 1 PP tersebut menyatakan ditempat-
tempat yang ada Pengadilan Negeri, ada sebuah Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syari’ah yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum
Pengadilan Negeri. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 11, apabila tidak
ada ketentuan lain, di Ibu kota provinsi diadakan pengadilan agama atau
mahkamah syari’ah provinsi yang wilayahnya meliputi satu atau lebih
daerah provinsi yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama.
Menurut ketentuan Stbl. 1937 No. 116, lingkungan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura tidak berwenang menangani perkara kewarisan.
Namun pelaksanaan PP No 45 Tahun 1957 tidaklah langsung mencapai
kesempurnaan. Faktor politis maupun administrasi menyebabkan
pelaksanaan tugas badan-badan peradilan agama yang baru ini berjalan
secara bertahap Mula-mula dengan penetapan Menteri Agama/Mahkamah
Syariah tingkat pertama dan tingkat banding di Sumatera, kemudian dengan
ketetapan Menteri Agama No 4 dan 5 Tahun 1958 tanggal 6 Maret 1958
untuk daerah Kalimantan. Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian
Barat.5
Pada saat itu dirasakan adanya kesulitan dalam melayani masyarakat
yang berperkara, disebabkan daerah hukum pengadilan-pengadilan negeri di
luar Jawa dan Madura tidak bersamaan dengan daerah hukum administrasi
pemerintahan (kabupaten), perkembangan wilayah administrasi yang masih
belum mantap dengan tumbuhnya provinsi dan kabupaten. Maka untuk

5
Ibid., h. 60

8
mengimbangi perkembangan itu dibentuklah cabang-cabang Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah baru secara berturut-turut di berbagai daerah
seperti:
a. Keputusan Menteri Agama No 25 tahun 1959 di daerah Lampung.
b. Keputusan Menteri Agama No. 23 tahun 1960 meliputi 18 cabang di
daerah Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur.
NTB dan Maluku.
c. Keputusan Menteri Agama No. 62 tahhun 1961 untuk cabang
Lhokseumawe dan Balai Selasa (Aceh).
d. Keputusan Menteri Agama No. 87 tahun 1966 penambahan
pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah di daerah
Sulawesi dan Maluku.
e. Keputusan Menteri Agama No. 195 tahun 1968 penambahan
pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah di daerah Riau,
Aceh dan Sumatera Utara.6
Mulai saat itulah terdapat tiga bentuk peraturan perundang-undangan
yang mengatur Pengadilan Agama di Indonesia, yaitu Pertama, Stbl. 1882
No 152 jo. Stbl. 1937 No. 116 dan 610 yang mengatur Pengadilan di Jawa
dan Madura. Kedua, Stbl. 1937 No. 638 dan 639 yang mengetur Pengadilan
Agama di Kalimantan Selatan. Ketiga, No. 45 tahun 1957 yang mengetur
Pengadilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan. Dengan
adanya Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang dimulai
pada tahun 1958, maka sekarang ini sudah ada 305 Pengadilan Agama dan
25 Pengadilan Tinggi Agama yang tersebar dari Sabang sampai Marauke
dengan personil sebanyak kurang lebih 6.000.753 orang dan tenaga hakim
sebanyak 140 orang. Balai sidang pengadilan agama seluruhnya telah
dibangun melalui anggaran Pelita sejak era pembaharuan. Orde Baru dan
setiap tahunnya kurang lebih 220.000 perkara yang ditangani oleh
Pengadilan Agama.7

6
Ibid., h.61
7
Lihat Munawira Syadzali.landasan Pemikiran Hukum Islam dalam Rangka Menemukan Peradilan
Agama di Indonesia, dalam buku Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Prospeknya, Pengantar
Juhaya S. Praja (Bandung PT. Remaja Rosdakarva. 1994). h. 47

9
Berdasarkan ketiga Undang-Undang tentang Peradilan Agama
tersebut di atas. Selain dari kekuasaannya yang berbeda, pengadilan-
pengadilan agama tidak dapat pula melaksanakan keputusannya sendiri
karena dalam susunannya tidak terlepas juru sita dan dinyatakan pula bahwa
putusan-putusan badan pengadilan agama memerlukan suatu pernyataan
dapat dijalankan (fiat eksekusi) dari pengadilan negeri, jika putusan tersebut
tidak dipatuhi oleh pihak yang dikalahkan atau pihak tersebut tidak mau
membayar ongkos perkara. Ketua Pengadilan Negeri menyatakan putusan
tersebut "dapat dijalankan" apabila ternyata tidak ada pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan
pembentukan badan Pengadilan Agama itu. Kalau terdapat pelanggaran
Ketua Pengadilan Negeri memberi pernyataan "tidak dapat dijalankan" pada
putusan Pengadilan Agama.
Berbagai kekurangan yang melekat pada Pengadilan Agama telah
menyebabkan tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagai kekuasaan
kehakiman secara mandiri seperti yang dikehendaki oleh Undang-undang
No 14 Tahun 1974. Selain itu, masalah yang menghambat gerak langkah
Pengadilan Agama yakni susunan, kekuasaan dan acara. Pengadilan Agama
belum diatur dalam Undang-Undang tersendiri sebagaimana yang
dikehendaki oleh Pasal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
"Susunan kekuasaan serta acara dari badan-badan tersebut dalam Pasal 10
ayat (I) diatur dalam Undang-undang tersendiri.
Untuk melaksanakan UU No 14 Tahun 1970 dan untuk menegakkan
hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal dalam negara Republik
Indonesia, pada tanggal 8 Desember 1988 Presiden RI menyampaikan
rancangan Undang-undang Peradilan Agama kepada DPR untuk dibicarakan
dan disetujui sebagai Undang-Undang mengganti semua peraturan
perundang-undangan tentang Peradilan Agama yang tidak sesuai dengan
UUD 1945 dan UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Setelah
dibicarakan secara mendalam dibahas dan diuji dengan berbagai wawasan
dan peraturan yang berlaku di negara Indonesia, akhirnya pada tanggal 14
Desember 1989 Undang-Undang tersebut disahkan menjadi UU No. 7

10
Tahun 1989 oleh Presiden RI. Dan diundangkan pada tanggal yang sama
oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam Lembaran Negara No. 49
Tahun 1989. Akhirnya secara yuridis formal Pengadilan Agama telah sama
kedudukannya dengan Pengadilan yang lainnya. Kemudian UU Nomor 7
Tahun 1989 mengalami perubahan lagi, bahkan hingga dua kali
perubahannya; Pertama, UU Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas
UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, dan Kedua UU Nomor
50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU nomor 7 tahun 1989
tentang peradilan agama.
2.3 Kompetensi Absolut Dan Relatif
a. Kompetensi Absolut

Yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan


berdasarkan kewenangan atau beban tugas yang ditetapkan oleh Undang-
Undang. Kewenangan mengadili perkara yang di bebankan kepada
Pengadilan Negeri meliputi perkara perdata dan perkara pidana pada tingkat
pertama yang artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis
perkara atau jenis pengadilan. Contohnya : pengadilan negeri berwenang
menyelesaikan perkara perdata umum, perkara pidana, bukan perdata Islam.
Dan pengadilan negeri berwenang menyelesaikan masalah perdata Non
Muslim.

b. Kompetensi Relatif

Yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan


berdasarkan pada daerah hukum. Daerah hukum pengadilan negeri meliputi
kabupaten/ kota. Artinya setiap badan peradilan berwenang mengadili
perkara yang menjadi kekuasaannya berdasarkan wilayah hukum yang
berlaku. Contohnya : Peradilan Negeri Tanjung Karang berwenang
mengadili perkara yang masuk wilayah Kota Bandar Lampung.

2.4 Perdata Formil dan Materil


Hukum Perdata dibagi menjadi menjadi dua, yaitu Hukum Perdata
Materil dan Formil:

11
a. Hukum perdata materil mengatur kepentingan-kepentingan perdata
subjek hukum.
b. Hukum perdata formil mengatur bagaimana cara seseorang
mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain. Hukum
perdata formil mempertahankan hukum perdata materil, karena hukum
perdata formil berfungsi menerapkan hukum perdata materil apabila ada
yang melanggarnya.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Peradilan Agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu


diantara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yg
sah di Indonesia. Peradilan agama adalah salah satu diantara peradilan
khusus di Indonesia. Ada dua peradilan khusus lainnya yakni peradilan
militer dan peradilan tata usaha negara. Dikatakan peradilan khusus karena
peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai
golongan rakyat tertentu.

Selanjutnya pengertian pengadilan agama (biasa disingkat PA) adalah


pengadilan tingkat pertama yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di
lingkungan peradilan agama yang berkedudukan di Ibu kota kabupaten atau
kota. Ada perbedaan yang menonjol antara peradilan agama dan pengadilan
agama yakni suatu proses untuk menegakkan keadilan dan suatu lembaga
tempat subjek hukum untuk mencari keadilan.

Sejarah peradilan agama di Indonesia telah ada sejak zaman kerajaan-


kerajaan Islam, kemudian pada zaman penjajahan Belanda, Jepang, dan
sesudah kemerdekaan sampai akhir keluar UU No 7 tahun 1989 tentang
pengadilan agama yang lebih mempertegas lagi kedudukan pengadilan
agama di indonesia, bahkan hingga sekarang UU pengadilan tersebut telah
mengalami dua kali perubahan, yakni UU nomor 3 tahun 2006 dan UU
nomor 50 Tahun 2009.

Kompetensi absolut yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu


pengadilan berdasarkan kewenangan atau beban tugas yang ditetapkan oleh
undang-undang. Kompetensi relatif yaitu kewenangan mengadili perkara
dari suatu pengadilan berdasarkan pada daerah hukum. Daerah hukum
pengadilan agama meliputi kabupaten/kota.

Hukum perdata dibagi menjadi menjadi dua, yaitu hukum perdata


materil dan formil, bila didefinisikan secara singkat bahwasanya hukum

13
perdata formil yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban
subjek hukum tersebut, sementara perdata materil yaitu hukum yang
mengatur tentang cara seseorang mempertahankan haknya apabila orang
lain melanggarnya.

3.2 Saran
Berdasarkan penelitian tersebut, penulis menyarankan:
1. Sebagai warga negara yang baik, masyarakat sudah seharusnya punya
kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku di negaranya.
2. Bagi pemerintah dan masyarakat harus selalu terjalin hubungan yang
harmonis untuk menjunjung tinggi penegakkan hukum yang seadil-
adilnya.
3. Pemerintah harus selalu berkomitmen agar tidak pandang bulu
terhadap siapapun yang berani melanggar hukum, untuk
menghukuminya sesuai perundang-undangan yang berlaku.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Cet V. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996

Apul, Yan. Kuliah Hukum Acara Perdata. Fakultas Hukum. Jakarta: Unika
Atma Jaya. 1976

Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesi.. Cet IV. Jakarta: PT Grafindo
Persada. 1996

Djalil, A Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media


Group. 2006

Departemen Agama RI. Uiporan Hasil Simposium Sejarah Peradilan Agama.


Jakarta Proyek Pembinaan Administrasi Hukum Peradilan Agama. 1993

15

Anda mungkin juga menyukai