Anda di halaman 1dari 19

WANITA-WANITA YANG DI HARAMKAN (MUHARRAMAT)

DOSEN PENGAMPU:

Nurmala Haji Abdullah Kenalim, M.H.I.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4

Indriyani (2120101045)
Ira Kurniati (2120101039)
M. Aris Bhayangkara (2120101040)
M. Iqbal Pebriansyah (2120101043)

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan rahmat, taufiq, dan hidayahnya sehingga penuis dapat menyelesaikan
tugas makalah dengan judul “Wanita-wanita yang di haramkan (Muharramat)”
dengan baik dan tidak kurang dari pada waktunya. Adapun sumber-sumber untuk
membantu penulis alam menyelesaikan makalah ini antara lain berbagai referensi
buku-buku, jurnal penelitian dan pengambilan data dari internet yang berkaitan
dengan menyangkut dengan judul makalah ini. Demikian pengantar yang dapat
penulis sampaiakan dimana penulis sadar bahwasannya penulis hanyalah manusia
yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanyalah
milik Allah SWT sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari
kata sempurna.
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan senantiasa dalam
upaya evaluasi diri. Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik
ketidaksempurnaan penyusunan makalah ini akan ditemukan sesuatu yang dapat
memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis dan pembaca.

Palembang, 14 Oktober 2022

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 1
1.3. Tujuan Masalah ................................................................................... 2
PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
2.1. Pengertian Mahram ............................................................................. 3
2.2. Keharaman Menikahi Wanita Secara Abadi ....................................... 4
2.3. Keharaman Menikahi Wanita Sementara ............................................ 11
PENUTUP ................................................................................................. 15
3.1. Kesimpulan ......................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Dalam Islam perkawinan memiliki kedudukan yang sangat signifikan, baik
secara sosial dan keagamaan maupun dari sudut pandangan hukum. Atas dasar ini
sangat mudah dipahami jika agama Islam ajaran hukumnya mengatur soal
perkawinan secara bertahap, sistemik, dan abadi. Bertahap, karena sebelum
melangsungkan akad nikah, sepasang calon pengantin diperintahkan untuk
melakukan kegiatan yang dinamakan dengan serangkaian pendahuluan nikah
(muqaddimah nikah atau muqaddimah az-zawaij). Mengingat langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam pernikahan bersifat Kumulatif antara yang satu
dengan yang lain. Semua langkah-langkah itu disyariatkan tampak mengacu pada
tujuan utama dan pertama dari syariat Pernikahan itu sendiri, yakni mewujudkan
keluarga sakinah (bahagia) yang abadi. Menikah adalah sunah Rasulullah SAW
untuk dilaksanakan oleh umatnya. Menikah adalah jalan kemuliaan yang diridhai
dan dimudahkan pengaturannya dalam Islam. Dengan menikah pula maka
seseorang dapat dari kemaksiatan dan kehinaan yang sekarang sering di
promosikan secara besar-besaran di berbagai media masa dewasa ini. Salah satu
berkah yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya yang menyegerakan diri
untuk menikah adalah dijamin-Nya kecukupan rezeki. Tetapi tidak semua lawan
jenis boleh kita nikahi, ada beberapa golongan yang tidak dibolehkan atau haram
untuk dinikahi, Karena tidak semudah itu kita dapat menikah dengan pasangan
kita tetapi kita tidak tahu tentang kelatarbelakangan pasangan kita, apakah dia
memiliki hubungan mahram (Al Muharramat) dengan kita, maka dari itu kita
harus perhatikan dengan baik dan benar memahami suatu pernikahan ini, salah
satunya yaitu mahram (Al Muharramat) yang akan kita bahas dalam makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah


1. Pengertian Mahram?
2. Apa saja keharaman menikah wanita secara mutlak?
3. Apa saja keharaman menikah wanita secara sementara?

1
1.3. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui tentang mahram
2. Untuk mengetahui keharaman menikah secara mutlak
3. Untuk mengetahui menikah wanita secara sementara

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Mahram


Kata mahram berasal dari bahasa Arab, yaitu “mahram”, mahram memiliki
arti sesuatu yang di larang. Dalam fiqih istilah mahram ini digunakan untuk
menyebut wanita yang haram dinikahi oleh pria. Menurut para ulama mengenai
pengertian mahram ini sebagai berikut:
1. Imam Ibnu Atsur Rahimahullah berkata, “Mahram adalah orang-orang yang
haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman,
danlain-lain” (definisi di atas adalah mahram dalam pengertian).
2. Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Mahram wanita adalah
suaminya dan semua orang yang haram di nikahi selama-lamanya karena
sebab nasab, persusuan, dan pernikahan.”
3. Menurut Syaikh Sholeh al fauzan, “Mahram wanita adalah suaminya dan
semua orang yang haram di nikahi selama-lamanya karena sebab nasab
seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain
seperti saudara sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya”.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat di tarik sebuah kesimpulan bahwa
mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti
bapak, anak, saudara, paman (sebab nasab), sepersusunan, dan pernikahan.
Masalah tentang mahram di singgang di dalam al-Quran seperti dalam surah an-
nisaa’ ayat 23:

3
Artinya: Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara
perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari
istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu)
istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang

2.2. Keharaman Menikahi Wanita Secara Abadi (Keharaman Mutlak)


1. Wanita Haram Sebab Nasab
Adapun yang dimaksud dengan nasab adalah kerabat dekat orang yang
mempunyai kerabat tersebut pemilik rahim yang diharamkan wanita diharamkan
sebab dan nasab ada empat macam yaitu:
a. Ibu dan mereka yang dinisbatkan nasabnya kepada seorang perempuan
sebab kelahiran, baik atas nama ibu secara hakiki yaitu yang
melahirkannya atau secara kiasan yaitu yang melahirkan dari anaknya ke
atas yaitu seperti nenek dari ibu, nenek dari bapak, neneknya ibu, dan
neneknya bapak ke atas. Haram atas laki-laki menikahinya karena
merupakan bagian dari mereka.
b. Anak-anak perempuan ke bawah. Haram atas laki-laki menikahi putrinya
sendiri, putri dan anak putrinya, dan putri dari anak laki-lakinya.
Demikian juga, setiap anak yang merupakan bagian dari orang yang
bertemu dengan mereka.
c. Anak-anaknya orang tua, mereka saudara perempuan secara mutlak, baik
sekandung atau yang bukan sekandung, putri saudara laki-laki, putri
saudara perempuan, putri dari anaknya saudara laki-laki, putri dari
anaknya saudara perempuan, putri dari anaknya saudara perempuan

4
sampai ke bawah. Haram atas laki-laki saudara perempuan semuanya,
anak-anak dari saudara perempuan dan saudara laki-laki semua, dan
anak-anak mereka ke bawah.
d. Anak-anak kakeknya dan anak-anak neneknya dengan syarat terpisah
satu tingkat. Saudara perempuan bapak haram atas laki-laki, karena
mereka terpisah dari kakek ke bapak satu tingkat, saudara perempuan
dari ibu haram atasnya karena mereka terpisah dari kakek ke ibunya satu
tingkat, bibinya bapak dari pihak bapak (kakek) haram karena terpisah
dari kakek ayahnya satu tingkat. Bibinya bapak dari pihak ibu (nenek)
haram atasnya karena mereka terpisah dari kakek ibunya satu tingkat dan
bibinya ibu dari pihak ibu (nenek) haram atasnya karena terpisah dari
kakek ibu ke ibu satu tingkat.1

Dalil keharaman wanita sebab kerabat nasab adalah firman Allah SWT di
dalam Al Qur’an:
ِّ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم ا ُ َّمهٰ ت ُ ُك ْم َو َب ٰنت ُ ُك ْم َواَخ َٰوت ُ ُك ْم َو َع ّٰمت ُ ُك ْم َو ٰخ ٰلت ُ ُك ْم َوبَ ٰنتُ ْاْلَخِّ َوبَ ٰنتُ ْاْلُ ْخ‬
... ‫ت‬ ْ ‫ُح ِّر َم‬

Artinya: Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu


yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.... (QS.An-nisa
(4):23 ).
Ayat tersebut mengandung keharaman menikahi ibu secara jelas
kemudian anak-anak putri, saudara perempuan bapak, saudara perempuan
ibu, saudara perempuan dan anak-anak putri dari saudara perempuan.
Adapun nenek keharamannya ditetapkan dengan ijma’ yang berpegang
kepada ayat, Karena nenek juga dikatakan sebagai ibu secara kiasan, ibu
dikatakan sebagai orang tua wanita secara kiasan.
2. Keharaman Sebab Persambungan (Mertua)
Ada empat tipe wanita yang haram selamanya bagi laki-laki untuk
menikahinya sebab hubungan persambungan, yaitu sebagai berikut:

1
A.A.M. Azzam, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2009) 137

5
a. orang tua istri (mertua), baik laki-laki tersebut telah bercampur dengan
istrinya atau belum. Ibunya istri dan neneknya haram bagi seorang laki-laki
(suami) dikarenakan akad nikah dengan istrinya semata. Demikian menurut
beberapa ulama fiqih madzhab empat, mayoritas Zaidiyah, Zhahiriyah dan
mayoritas sahabat dan tabi’in. Hujjah jumhur ulama adalah keumuman
firman Allah SWT, “Dan ibu-ibu wanita kamu”. Dan Ibnu Abbas berkata: “
Samarkan apa yang disamarkan Al Qur’an “, maksudnya umumkan
hukumnya di segala keadaan, jangan engkau rinci antara yang telah
dicampuri atau yang lain karena yang dimaksud nikah disini adalah
akadnya. Maka dari itu akad inilah yang menyebabkan keharaman bagi
seorang laki-laki (suami) terhadap ibu dari istrinya, baik seorang suami
tersebut telah bercampur dengan istrinya ataupun belum.2
b. Anak-anak dari istrinya yang telah di campuri (anak tiri). Jika seorang laki-
laki menikahi seorang perempuan dan telah bercampur, bagi wanita ini
mempunyai anak-anak putri dari orang lain atau mempunyai cucu putri dari
anak laki-laki atau cucu perempuan dari anak perempuan atau mempunyai
putri persusuan, maka tidak halal bagi laki-laki tersebut menikahi satu
wanita dari mereka itu. Baik wanita (istrinya) masih tetap menjadi istri atau
telah di talak atau telah meninggal dunia dengan syarat telah melakukan
hubungan. Sebagaimana dengan firman Allah SWT dalam al-Qur’an surah
An-Nisa ayat 23 yang artinya: “Anak-anak istrimu yang dalam
peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu menikahinya...(QS. An- Nisa (4):23). Ayat tersebut
menunjukkan keharaman anak-anak istri dengan syarat telah bercampur
dengan istri. Dengan demikian tidak haram bagi laki-laki yang menikahi
putri istrinya atau putri dari anak-anaknya jika ia telah menceraikan istrinya
sebelum bercampur.
c. Istri-istri orang tua walaupun belakangan ia sebagai penengah antara ia dan
mereka. Istri bapak , istri kakek, dan istri bapaknya kakek haram atasnya
selamanya, baik apabila mereka telah bercampur atau belum karena nikah

2
Ibid.

6
secara mutlak berpihak kepada akad. Sebab hakikat dari nikah itu sendiri
adalah akad, akad satu-satunya yang menjadi sebab keharaman. Adapun
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 22 artinya: ” Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita Yang telah dinikahi oleh ayahmu
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat
keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). ( QS. An-
Nisa (4):22). Dari ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa keharaman istri
bapak dengan mengandung alasan sifat durhaka dan kejinya yang
dinyatakan pada orang yang menikahi istri dari bapaknya ke atas.
d. Istri-istri anak walaupun belakangan sebagai penengah nasab antara ia dan
mereka. Istri anak, istri cucu dari anak laki-laki dan istri cucu dari anak
perempuan ke bawah, haram bagi bapak dan kakek ke atas selama anak
tersebut masih keturunannya, bukan anak angkat (Adopsi). Istri anak angkat
jika dicerai atau meninggal maka tidak haram atas orang yang
mengadopsinya karena Islam telah menghapus adopsi sebagai keluarga dan
melenyapkan hukumnya, mereka dipandang sebagai orang lain berdasarkan
dengan firman Allah SWT. Dalam surah Al-Azhab ayat 5 artinya: ”
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-
bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudaramu seagama dan maula-maulamu.(QS. Al- Ahzab (33): 5).
Keharaman istri anak terhadap bapak tidak disyaratkan anak harus sudah
mencampuri istrinya, tetapi cukup dengan akad.
3. Keharaman Sebab Persusuan
A. Definisi Persusuan
Menurut terminologi syara', persusuan adalah suatu nama untuk
mendapatkan susu dari seorang wanita atau nama sesuatu yang didapatkan dari
padanya sampai di dalam perut anak kecil atau kepalanya. Penjelasan mengenai
pembatasan susu, yaitu mengeluarkan sesuatu yang diisap dari payudara berupa
darah atau nanah, sebagaimana pembatasan susu wanita: terdapat pula batasan
pada tiga perkara berikut:

7
a. Laki-laki, susu laki-laki tidak menyebabkan keharuman menurut pendapat
yang shahih, karena tidak dipersiapkan untuk makanan, Keharaman tidak
berkait dengan susu seperti yang lain dari barang barang cair.
b. Banci (khunsa) yang musykd, menurut mazhab ditinggalkan dulu sampa
jelas statusnya, jika jelas kewanitaannya maka haram dan jika udak jelas,
udak haram. Jika ia meninggal masih belum jelas status kewanitaannya
maka tidak haram, bagi yang menyusu kepadanya boleh menikahi ibu dari
khunsa tersebut maupun sesamanya sebayarmana yang dinwayatkan dari Al-
Adzru'i, karena susu itu pengaruh dari kelahiran sedangkan hal itu tidak
logis terjadi pada seorang laki laki atau khunsa
c. Hewan, Jika dua orang anak menyusu dari seekor kambing atau sapi dan
tidak ada hubungan persaudaraan antara kedua anak tersebut maka halal
bagi mereka untuk menikah. Dikarenakan persaudaraan itu cabang dari
keibuan, jika tidak ada orangtua maka tidak ada anak dan karena
kemaslahatannya sebagai makanan anak tidak semaslahat susu manusia.
B. Dalil Keharaman
4 Dalil Keharaman sebab persusuan adalah Al-Quran, sunnah, dan ijma'.
Dalil Al-Quran seperti firman Allah SWT:
Artinya: Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan.
(Q.S. An-Nisa' (4): 23)
Allah menghubungkan (athaf) kata ummahat (ibu-ibu) dan akhwat (sudara
perempuan) dari sepersusuan sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat.
Hubungan (athaf) dengan wau (dan) bermakna berserikat dalam hukum (tasyrik).
Dalil sunnah, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi
bersabda:
Haram sebab persusuan adalah apa yang haram sebab nasab. (HR. Ibnu Majah
dan At-Tirmidzi)
Dalam periwayatan lain Nabi SAW. bersabda:
Artinya: Persusuan itu mengharamkan apa yang diharamkan kelahiran.
Hadis tersebut telah mengharamkan sebab persusuan dengan jelas,
Persusuan dan kelahiran memiliki persamaan dalam keharaman. Dalil Ima', umat
Islam sepakat bahwa persusuan itu menjadi sebab dari beberapa tebab keharaman.

8
C. Faktor Keharaman Sebab Sepersusuan
Seseorang haram sebab persusuan terhadap segala sesuatu yang haram
keturunan dan persambungan. Bagi seseorang yang haram sebah Perusuan adalah
delapan orang yang disebutkan di muka. : Delapan orang tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Orangtua seseorang sepersusuan ke atas, baik dari bapak maupun dari ibu.
Berdasarkan ini haram atas seseorang menikahi ibu yang mx. nyusuinya ke
atas dan dari arah mana saja. Haram atasnya, ibunya bapak sepersusuan
dan ibunya ke atas sebagaimana yang disebutkan ibu dan nenek dalam
keturunan.
b. Anak-anak seseorang sepersusuan. Haram menikahi anak putri seper.
susuan, Cucu putri dari anak laki-laki sepersusuan, dan cucu putri dar anak
putri sepersusuan sampai ke bawah. Dengan ungkapan lam, haram atas
Anda semua perempuan yang engkau menyusu dan susunya atau susu
orang yang melahirkannya dengan perantara dirinya atau lainnya atau
disusui oleh wanita yang melahirkannya. Demikian pula putri-putrinya
seketurunan atau sepersusuan sampai ke bawah.
c. Anak-anak kedua orangtua sepersusuan, yaitu saudara percmpuan
scpcrsusuan. Haram menikahi saudara perempuan sepersusuan, anak putri
saudara perempuan sepersusuan, dan cucu perempuan dari anak
percmpuan ke bawah.
d. Anak-anak kakek dan nenek scpersusuan, mereka itu saudara bapak dan
ibu (bibi) sepersusuan. Jika Khalid menyusu dari Fatimah, maka Fatimah
menjadi ibunya Khalid, saudara-saudara perempuan Fatimah menjadi bibi
sepersusuan, saudara-saudara perempuan suami Fatimah juga menjadi bibi
sepersusuan baginya. Oleh karena iru, haram menikahi salah satu dari
mereka.
e. Istri orangtua sepersusuan, yakni istri bapak Sepersusuan, istri kakek
sepersusuan ke atas, baik istri yang telah dicampuri atau belum. Jika
Hisam menyusu dari Khadijah istri Ali, Ali menjadi bapak Hisam

9
persusuan. Hisam haram menikahi wanita mana pun yang tela dinikahi Ali
karena ia istri bapak sepersusuan.3
f. Istri anak sepersusuan, yakni istri anak laki-laki sepersusuan atau istrii
cucu putra dari anak laki-laki. Jika Shabir menyusu dari Aliyah, Aliyah
menjadi ibu sepersusuan, demikian juga suami Aliyah menjadi bapak
sepersusuan baginya. Jika shabir menikah istri shabir haram atas bapak
sepersusuannya, demikian juga kakeknya.
g. Orangtua istri sepersusuan, yakni ibu dan kakeknya sepersusuan. Jikalau
Fatimah menyusu dari Fauziyah, Fauziyah menjadi ibu Fatimah
sepersusuan. Jika Fatimah dinikahi Khalid, Khalid haram menikahi ibunya
Fatimah sepersusuan, yakni Fauziyah, demikian juga kakeknya.
h. Anak-anak istrinya sepersusuan, yakni putrinya, cucu putri dari anak putri
dan cucu putri dari anak laki-laki sepersusuan. Jikalau Khalid menikahi
Yasmin sementara Yasmin pernah dinikahi Ali dan menyusui Syima.
Syima yang disusui Yasmin haram atas Khalid sekalipun tidak ada
hubungan antara mereka berdua, karena ia putri istrinya sepersusuan
dengan syarat sudah melakukan hubungan intim.
D. Syarat-Syarat Sepersusuan Yang Mengharamkan
a. Susu keturunan Adam perempuan. Jika susu diperoleh dari seseorang laki-
laki atau banci atau susu binatang tidak ada hukum mengharamkan Karena
hukum keharaman ini ditetapkan oleh syara', syara' hanya mengharamkan
susu wanita anak Adam.
b. Wanita Adam masih hidup. Jika seseorang menyusu dari seorang perempuan
yang sudah meninggal atau diperah dari susunya sedang kan ia telah
meninggal maka tidak ada hubungan keharaman. Jik' usu perempuan hidup
diperah dan diminumkan pada bayi setelat Meninggalnya maka haram
hukumnya menurut pendapat yang Shahih tertulis dalam teks.
c. Usia wanita yang menyusui 9 tahun komariah ke atas. Jika usianya kurang
dari itu maka susunya tidak menetapkan keharaman karena tidak
dimungkinkan telah baligh. Wanita susu yang telah mencapai usia 9 tahun,
susunya menyebabkan keharaman sekalipun belum baligh, karena

3
A.A.M. Azzam, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Penerbit Azzam, 2009) 154-155

10
dimungkinkan telah baligh. Dalam persusuan sama dengan nasab, cukup
dimungkinkan baligh.
d. Dapat dibuktikan sampainya susu ke dalam perut anak yang menyusu
melalui cara alami, walaupun dimuntahkan seketika karena ia sampai ke
perut tempat makanan.
e. Usia anak yang menyusu dalam dua tahun awal menurut pendapat Asy-
Syafi'i, Malik, Ahmad, dan dua orang sahabatnya: Abu Yusuf dan
Muhammad. Dasarnya Allah SWT. telah menjadikan masa yang sempurna
untuk menyusu dan selesai hukumnya dalam AlQuran.
f. Penyusuan terjadi lima kali yang terpisah. Syarat ini diperselisihkan antara
fugaha', An-Nawawi meringkas perselisihan ini bahwa persusuan yang
haram adalah lima kali menurut pendapat yang shahih dan tertulis dalam
nash. Sebagian pendapat mengatakan sekali penyusuan dan pendapat lain
tiga kali penyusuan. Pendapat terakhir yang dipilih Ibnu Al-Mundzir dan
segolongan ulama.

2.3. Keharaman Menikah Wanita Secara Sementara


Telah kami terangkan pada bab yang lalu bahwa sebab keharaman temporer
adalah sesuatu yang datang baru dan bisa lenyap suatu ketuka Jika sebabnya
hilang, wanita menjadi halal bagi orang yang semula diharamkan, boleh dinikahi
dan hidup bersama karena keharaman kembali kepada sifat sementara yang
terkadang menghilang. Mereka itu adalah sebagai berikut
1. Wanita-Wanita yang Dinikahi dan Sesamanya
Maksudnya, wanita ber-iddah baik karena ditalak atau dipisah karena
dicampuri syubhat, atau karena dipisahkan. Baik talaknya raj’i (talak satu
dan dua) atau ba'in (talak tiga), baik talak ba'in shughra atau kubra.
Alasannya, karena masih ada hubungan hak suami bagi wanita yang
dinikahi atau ber-iddah karena talak raj'i. Karena masih ada sebagian
pengaruh nikah bagi wanita yang ditalak ba'in dan pada istri yang ditinggal
meninggall dunia oleh suaminya. Dan untuk membebaskan rahim hagi
wanita yang dicampuri secara syubhat. Dalil keharaman mereka adalah
sebagaimana firman Allah SWT. yang menjelaskan wanita wanuta yang

11
diharamkan, yaitu artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami" (Q.S. An-Nisa'(4): 23), “Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'” (Q.S. Al-Bagarah (2)
225), “Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah,
sebelum habis iddahnya” (Q.S Al-Bagarah (2): 235), dan “Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya" (Ath-Thalagq(65): 4). Artinya, jangan kamu
berazam menikahi wanita kecuali telah selesai masa iddah yang diwajibkan.

2. Wanita Tertalak Tiga Kali bagi Suaminya


Wanita yang ditalak tiga tidak boleh dinikahi kembali oleh suaminya
kecuali telah dinikahi suami lain secara sah menurut syara' dan telah
bercampur, kemudian dipisah karena meninggal dunia atau ditalak dan telah
habis masa iddah-nya. Dalilnya firman Allah SWT.Artinya: Talak (yang
dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
makruf atau menceraikan dengan cara yang baik .... Kemudian jika si suami
menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. (Q.S. Al-Baqarah
(2): 229-230). Ayat di atas menunjukkan keharaman wanita yang ditalak
tiga bagi suami yang menalak, haram sementara baginya sampai dinikahi
oleh suami lain. Sunnah mensyaratkan adanya campuran yang hakiki dari
suami kedua sehingga hilanglah keharamannya.
3. Poligami Antara Dua Wanita Mahram
Haram bagi seseorang berpoligami dua orang wanita yang ada hubungan
kerabat atau persusuan yakni sekiranya ditakdirkan mempunyai anak laki-
laki maka haram yang lain atasnya. Keharaman di sini dari dua sisi, seorang
yang menikahi seorang wanita haram menikahi saudara perempuannya, baik
saudara perempuan kandung atau tunggal bapak atau tunggal ibu. Demikian
juga haram mengumpulkan antara seorang wanita dan paman wanitanya
atau bibi wanitanya karena akan mendatangkan perpecahan keluarga dan
pemusuhan yang discbabkan kecemburuan antara dua istri tersebut.
Keharaman mengumpulkan dua saudara perempuan tersebut dijelaskan

12
dalam firman Allah SWT. Artinya: Dan kamu kumpulkan antara dua orang
saudara perempuan. (Q.S. An-Nisa (4): 23)

4. Poligami Melebihi Empat Orang Wanita


Tidak halal bagi seseorang yang telah beristri empat wanitaa menikahi
wanita lagi. Keharaman ini berlangsung sampai ada yang mati atau dicerai
salah satunya dan keluar dari iddah. Berdasarkan firman Allah SWT.
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi. dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja. (Q. S. An-Nisa' (4): 3). Ayat di atas
menunjukkan bolehnya berpoligami dua orang perempuan atau tiga dan atau
empat wanita dengan syarat mampu berlaku adil. Telah terjadi ijma' ulama
tentang bolehnya berpoligami empat orang. Wanita berdasarkan ayat
tersebut dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi'i, Ahmad, At-
Tirmidzi, dan lain-lain bahwa Gaylan bin Salamah Ats-Tsagafi masuk Islam
bersama 10 istrinya. Nabi Saw bersabda kepadanya: Ambilah 4 orang
wanita dari mereka. Sebagaimana pula hadis yang sama yang diriwayatkan
dari Qays bin Al-Harits dan Noval bin Muawiyah. Adapun makna ayat dan
hadis bahwa tidak halal menikahi wanita lebih dari empat orang wanita.4
5. Wanita yang Bukan Beragama Samawi
Tidak boleh menikahi wanita atheis yang ingkar terhadap semua agama dan
tidak beriman wujudnya Tuhan. Demikian juga tidak boleh menikah: ita
yang beriman kepada agama selain agama samawi, seperti agama-agama
yang diciptakan manusia seperti agama Majusi yang menyembah api,
Watsaniyah yang menyembah berhala, Shabiah yang menyembah bintang-
bintang dan benda-benda di langit, dan Hindu yang menyembah sapi.
Dalilnya sebagaimana firman Allah SWT. Artinya: Dan janganlah kamu
nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia
menarik hatimu. (Q.S Al-Baqarah 221). Dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.

4
Ibid.

13
(Q.S Al-Mumtahanah (60): 10). Sabda Rasulullah Saw tentang kondisi
Majusi: Berlakulah dengan mereka seperti perlakuan dengan ahli kitab
selain menikahi wanita-wanita mereka dan makan sembelihan mereka.
Imam Asy-Syafi'i berkata: “Ahli kitab yang halal menikahi istri-istri mereka
adalah ahli kitab yang terkenal dengan Taurat dan Injil, mereka adalah
Yahudi dan Nasrani bukan Majusi.
6. Wanita Murtad
Tidak boleh bagi seseorang menikahi wanita yang keluar dari agama Islam,
ia tidak beragama karena tidak menetap pada agamanya. Ia bukan muslim
karena ia tidak lebih sebagai orang kafir seperti watsaniyah (penyembah
berhala). Ia tidak tergolong orang kafir karena masih ada hubungan dengan
Islam dan tidak tergolong orang murtad. Sebagaimana Orang murtad tidak
boleh menikahi wanita muslimah, ia tidak boleh menikahi kitabiyah dan
wanita murtadah sesamanya. Karena pernikahan itu mempunyai karakter
dan berindikasi agama, Orang murtad ridak beragama karena ia juga tidak
berpendirian pada agamanya walaupun telah berpindah agama samawi lain.

14
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Kata mahram berasal dari bahasa Arab, yaitu “mahram”, mahram memiliki
arti sesuatu yang di larang. Dalam fiqih istilah mahram ini digunakan untuk
menyebut wanita yang haram dinikahi oleh pria.
Keharaman Menikahi Wanita Secara Abadi (Keharaman Mutlak) dibagi
menjadi 3 yang pertama wanita yang haram dinikahi sebab nasab, nasab adalah
kerabat dekat, orang yang memiliki kerabat disebut pemilik rahim yang
diharamkan. Hal ini didasari dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 23, yang kedua
keharaman sebab persambungan (mertua) dan yang ketiga keharaman sebab
persusuan.
Keharaman menikahi wanita sementara dibagi menjadi enam yang pertaman
wanita-wanita yang dinikahi dan sesamanya, kedua wanita tertalak tiga kali bagi
suami, ketiga poligami antara dua wanita mahram,ke empat poligami melebihi 4
orang wanita, kelima wanita yang bukan beragama samawi, keenam wanita yang
murtad.

15
DAFTAR PUSTAKA

Azzam, A.A.M. Abdul Wahab. 2009. Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, Talak).
Jakarta. Penerbit Amzah.

16

Anda mungkin juga menyukai