Anda di halaman 1dari 12

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

ISSN (Online): 2350-0530 Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH


ISSN (Cetak): 2394-3629 Januari 2021, Vol 9(1), 290 – 301
DOI: https://doi.org/10.29121/granthaalayah.v9.i1.2021.3119

PERJANJIAN PERKAWINAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN


CAMPURAN MENURUT KITAB HUKUM PERDATA INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974 PASCA KEPUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015

Prof.Dr.Titik Triwulan Tutik*1

* 1SH, MH, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Indonesia

DOI: https://doi.org/10.29121/granthaalayah.v9.i1.2021.3119

Jenis Artikel:Artikel Penelitian ABSTRAK


Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan Perjanjian Kawin Harta Bersama
Kutipan Artikel:Prof.Dr.Titik Triwulan Dalam Perkawinan Campuran dari tiga sisi hukum, yaitu Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor
Tutik. (2021). PERJANJIAN 1 Tahun 1974, dan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
PERNIKAHAN HARTA BERSAMA PADA Hipotesa:Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 sejalan dengan
PASANGAN CAMPURAN hukum Islam yang mengutamakan kesamaan hak dan kewajiban antara suami istri
PERNIKAHAN MENURUT DALAM dalam hal pemilikan harta kekayaan dalam perkawinan.
BUKU HUKUM PERDATA INDONESIA Metode:yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (dogmatis), yang dimaksudkan
NOMOR 1 TAHUN 1974 PASCA untuk menemukan dan merumuskan argumentasi hukum, melalui analisis terhadap pokok
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI persoalan. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ada 4 (empat) jenis, yaitu:
NOMOR 69/PUU-XIII/2015. pendekatan undang-undang, pendekatan komparatif, pendekatan konseptual, dan pendekatan
Jurnal Riset Internasional - kasus.
GRANTHAALAYAH, 9(1), 1-9. Hasil:Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
https://doi.org/10.29121/granthaa 69/PUU-XIII/2015 telah memberikan solusi praktis dalam mengatasi permasalahan
layah.v9.i1.2021.3119 Perjanjian Perkawinan Harta Bersama: Pertama, perjanjian perkawinan dapat dibuat
sebelum, selama dan sesudah perkawinan diimplementasikan. Kedua, pengesahan
Tanggal diterima:15 Januari 2021 perjanjian perkawinan dapat dilakukan oleh notaris, dan berlaku sejak tanggal
perjanjian perkawinan, dan dapat dicabut. Ketiga, perjanjian perkawinan mengikat
Tanggal Diterima:31 Januari 2021 pihak ketiga, terutama terkait dengan kedudukan harta bersama dalam perkawinan.
Artinya, warga negara Indonesia memiliki hak atas harta bersama dalam perkawinan
Kata kunci: campuran sepanjang perjanjian perkawinan menyebutkan hal itu. Putusan tersebut
Pernikahan Campuran sejalan dengan syariat Islam yang mengutamakan kesamaan hak dan kewajiban antara
Perjanjian Pernikahan suami istri dalam hal pemilikan harta dalam perkawinan.
Harta Bersama Kesimpulan:Akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/
2015 tentang status harta bersama membuat perjanjian perkawinan setelah
perkawinan yang dimulai sejak perkawinan dilangsungkan diikuti dengan status harta
bersama menjadi terpisah jika kedua belah pihak berkehendak dalam perjanjian, serta
harta kekayaan yang akan diperoleh dikemudian hari tetap menjadi milik masing-
masing pihak, tanpa harus memperoleh putusan pengadilan mengenai pemisahan
harta kekayaan tersebut. Putusan ini sesuai dengan hukum Islam yang mengutamakan
kesamaan hak dan kewajiban antara suami istri dalam hal pemilikan harta dalam
perkawinan.

1. PERKENALAN

Perkawinan campuran dalam hukum Indonesia, ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya
disebut UU Perkawinan 1974), Pasal 57 berbunyi:

© 2021 Penulis. Ini adalah artikel akses terbuka didistribusikan di bawah ketentuanLisensi Atribusi Creative Commons , yang memungkinkan penggunaan, distribusi,
dan reproduksi dalam media apapun, asalkan penulis asli dan sumber dikreditkan. 290
Prof.Dr.Titik Triwulan Tutik

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berbeda, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Definisi tersebut berarti bahwa: (1) perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berjenis kelamin sama; (2) tunduk
pada hukum yang berbeda; dan (3) memiliki kewarganegaraan yang berbeda dan salah satu pihak (suami/istri) adalah warga negara Indonesia.
Dengan demikian, perkawinan campuran yang diakui dalam konteks negara hukum di Indonesia hanya sebatas perbedaan kewarganegaraan
yang tunduk pada aturan hukum yang berbeda daripada agama seperti yang lazim terjadi di kalangan selebritis saat ini.
Adanya perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing, selama hampir setengah abad
pengaturan kewarganegaraan mengacu pada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan (selanjutnya disebut
Undang-Undang Kewarganegaraan 1958). Persoalannya, UU Kewarganegaraan 1958 sudah tidak mampu lagi mengakomodir
kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan terhadap istri dan anak. Pada tanggal 11 Juli 2006 DPR
mengesahkan UU Kewarganegaraan yang baru, UU No. 12 Tahun 2006 (selanjutnya disebut UU Kewarganegaraan 2006).
Lahirnya UU Kewarganegaraan tahun 2006 memberikan harapan baru bagi mereka yang menikah dengan warga negara asing, walaupun
masih timbul pro dan kontra, namun secara umum UU Kewarganegaraan tahun 2006 memungkinkan pemilihan kewarganegaraan bagi
perempuan Indonesia dengan harapan dapat memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan status kewarganegaraan istri hasil
perkawinan campuran.
Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 2006, dengan jelas disebutkan bahwa seorang istri tidak serta merta harus tunduk pada
hukum yang berlaku bagi suaminya. Sebaliknya, seorang wanita asing yang menikah dengan laki-laki warga negara Indonesia tidak serta merta
memperoleh kewarganegaraan Indonesia, kecuali jika dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah perkawinannya, dengan menyebutkan
keterangan untuk itu.1
Walaupun UU Kewarganegaraan tahun 2006 telah membuat terobosan baru dalam hal status perkawinan suami istri dalam perkawinan
campuran, namun permasalahan lain yang timbul dalam perkawinan campuran adalah terkait dengan harta yang diperoleh selama perkawinan
campuran, jika dikaitkan dengan perjanjian dalam perkawinan. .
Pengaturan harta yang diperoleh selama perkawinan diatur dalam ketentuan hukum yang berbeda (pluralitas) yaitu Hukum
Perdata khusus bagi warga negara non muslim dan bagi warga negara yang beragama Islam ketentuan Undang-Undang Perkawinan
Tahun 1974 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam selain menerapkan syariat Islam itu sendiri.

Menurut ketentuan Hukum Perdata, pada dasarnya harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi satu, menjadi
milik bersama. Dalam Pasal 119 KUH Perdata, sejak perkawinan dimulai, ada harta bersama antara suami dan istri,
selama tidak diadakan ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama selama perkawinan tidak boleh
dihapuskan atau diubah dengan kesepakatan antara suami dan istri.
Selanjutnya, bahwa setelah pembubaran harta bersama, harta bersama mereka dibagi antara suami dan istri, atau antara
ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana barang itu berasal. Ketentuan dalam KUH Perdata berbeda dengan
ketentuan dalam UU Perkawinan 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Islam. Ketiga aturan tersebut pada dasarnya
membagi dua jenis harta yang diperoleh selama perkawinan, yaitu; pertama, harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama, dan kedua, harta yang diwarisi dari masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
pemberian atau warisan.2
UU Perkawinan 1974, tentang masalah harta benda dalam perkawinan diatur dalam Pasal 35 yang menyebutkan bahwa harta yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta peninggalan masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hibah atau warisan berada di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan Tahun 1974, bahwa harta kekayaan yang diperoleh karena warisan atau
pemberian tidak dapat dikategorikan sebagai harta bersama. Ketentuan ini sejalan dengan surat al-Nisa ayat 32 yang pada dasarnya
menegaskan bahwa setiap laki-laki dan perempuan memiliki bagian dari apa yang mereka usahakan untuk diri mereka sendiri.
Ketentuan ini ditegaskan kembali, dalam KHI Pasal 85, 86, dan 87 yang memperkenalkan adanya harta warisan (harta masing-masing
suami istri) dalam perkawinan.3Dan antara kedua harta (harta masing-masing suami istri) tidak akan ada percampuran.4Suami istri
memiliki hak penuh atas hartanya selama para pihak tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan.5

1Lihat Pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan


2Lihat Pasal 128 KUH Perdata
3Lihat Pasal 85 KHI
4Lihat Pasal 86 KHI
5Lihat Pasal 87 KHI
Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH 291
Perjanjian Perkawinan Harta Bersama Dalam Perkawinan Pasangan Campuran Menurut Kitab Hukum Perdata Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pos
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015

Mengenai perkawinan campuran, warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan warga negara asing, setelah menikah
memang tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan.
Pasal 35 UU Perkawinan tahun 1974 menyatakan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama.
Jadi, ada campuran harta yang diperoleh setelah menikah, dan pasangannya (yang merupakan warga negara asing) juga akan
menjadi pemilik harta bersama. Padahal mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok Agraria (UU PDPA 1960), orang asing tidak boleh memiliki Hak Milik, Izin Usaha, atau Hak Guna Bangunan.

Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Pokok-Pokok Agraria (UU PDPA
Tahun 1960) secara tegas menyatakan, hanya warga negara Indonesia yang dapat menggunakan hak milik. Dan orang asing yang
setelah berlakunya UU PDPA Tahun 1960 yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, demikian juga warga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan kewarganegaraannya
dalam waktu satu tahun sejak perolehan hak tersebut atau kehilangan kewarganegaraan. Selanjutnya Pasal 36 Ayat (1) UU PDPA Tahun
1960 menyatakan bahwa “Yang dapat mempunyai hak guna bangunan adalah: (a). warga negara Indonesia; dan (b). badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa seorang warga negara yang kawin dengan orang asing, setelah menikah tidak dapat lagi
memperoleh Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna Usaha, karena akan menjadi bagian dari harta bersama yang dimilikinya
dengan orang asingnya. mitra nasional. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila warga negara Indonesia ingin mempertahankan hak atas
tanah setelah menikah dengan warga negara asing, warga negara Indonesia harus membuat perjanjian perkawinan atau perjanjian pranikah
yang mengatur tentang pemisahan harta.
Ketentuan mengenai perjanjian perkawinan atas harta benda yang diperoleh selama perkawinan mengalami perubahan
yang cukup revolusioner setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015
membatalkan beberapa ketentuan dalam UU Perkawinan 1974 dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Perundang-
undangan. Pokok-Pokok Agraria (baca, PDPA UU 1960) dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).6
Menurut Mahkamah, bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu, sebelum, atau selama perkawinan.
Surat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Nomor
472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, selama dan selama
perkawinan dengan akta notaris dan dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana
Kewarganegaraan (“UPT”)) Instansi Pelaksana. Terkait dengan pelaporan akad nikah, Petugas Pencatatan Sipil
di Instansi Pelaksana atau UPT Instansi Pelaksana membuat catatan pinggir pada daftar akta dan akta nikah.

Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tanggal 26 Oktober 2016, menetapkan bahwa Pasal
29 ayat (1) UU Perkawinan 1974 diartikan “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama akad nikah kedua belah pihak atas
kesepakatan bersama dapat mengajukan suatu perjanjian tertulis yang disahkan oleh pencatat perkawinan atau notaris,
setelah itu isinya berlaku juga bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga itu bersangkutan”. Dengan demikian, terlepas dari tata
cara/tata cara perkawinan, warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran (kawin dengan orang asing) guna
memperoleh perlindungan hukum khususnya atas harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan karena ketentuan UU
PDPA 1960 dapat membuat perjanjian perkawinan di waktu, sebelum dilangsungkan atau selama ikatan perkawinan kedua
belah pihak. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah warga negara Indonesia itu sendiri, padahal menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa setiap warga negara berkedudukan sama di dalam hukum dan
pemerintahan, termasuk dalam kepemilikan harta benda berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan. Hak dan Hak Pakai. Bisnis.

Berdasarkan fakta tersebut, maka kajian dengan judul Perjanjian Perkawinan Harta Bersama Dalam Perkawinan Campuran Menurut KUH
Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 sangat mendesak untuk
dilakukan.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka permasalahan hukum dalam penelitian ini adalah apakah warga negara
Indonesia yang menikah dengan orang asing tidak berhak atas harta bersama berupa Hak Milik, Izin Usaha atau Hak Guna Bangunan. Dari
permasalahan hukum tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut, Pertama, bagaimana kedudukan lembaga tersebut

6Baca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII/2015 tanggal 26 Oktober 2016 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dengan UUD 1945
Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH 292
Prof.Dr.Titik Triwulan Tutik

perjanjian perkawinan untuk harta benda yang diperoleh selama perkawinan campuran menurut KUH Perdata? Kedua, bagaimana
kedudukan perjanjian perkawinan harta benda yang diperoleh selama perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan? Ketiga, bagaimana kedudukan perjanjian perkawinan harta benda yang diperoleh selama perkawinan
campuran setelah Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015?
Tujuan penelitian, Pertama, untuk mengkaji kedudukan perjanjian perkawinan terhadap harta benda yang diperoleh selama
perkawinan campuran menurut KUH Perdata. Kedua, meninjau kembali kedudukan perjanjian perkawinan terhadap harta benda yang
diperoleh selama perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketiga, menganalisis
kedudukan perjanjian perkawinan harta benda yang diperoleh selama perkawinan campuran setelah putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Sesuai dengan fokus kajian masalah, maka teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori
kewarganegaraan dalam perkawinan campuran, dan teori perjanjian perkawinan yang berkaitan dengan hak
kebendaan. Menurut Teori Kewarganegaraan dalam Perkawinan Campuran, bahwa kewarganegaraan suami/
istri mengikuti dua teori, yaitu teori kesatuan hukum dan teori persamaan. Teori kesatuan hukum
mensyaratkan bahwa kewarganegaraan istri mengikuti status suami baik pada saat perkawinan
dilangsungkan maupun sesudah perkawinan berjalan. Sedangkan menurut teori persamaan, bahwa
perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang,

Sedangkan menurut Teori Perjanjian Perkawinan terkait dengan hak kebendaan, bahwa perjanjian perkawinan
membawa akibat hukum pemisahan harta bersama dalam perkawinan. Dengan kata lain, tujuan dibuatnya perjanjian
perkawinan adalah untuk melakukan penyimpangan dari ketentuan tentang harta bersama [Pasal 119 KUHP]. Dengan
demikian, para pihak bebas menentukan bentuk hukum yang dikehendakinya atas harta benda yang menjadi obyek
kewarganegaraannya.
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan peneliti, dan menjadi dasar
pengembangan penelitian adalah; Pertama, penelitian Damian Agata Yuvens dari Universitas Indonesia 2016 dengan
judul Analisis Kritis Perjanjian Perkawinan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Inti dari
penelitian ini adalah mengkaji beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang bertujuan agar warga negara Indonesia dapat menikah kepada warga negara asing dapat tetap
memiliki hak atas tanah dengan judul Hak Milik dan Hak Guna Bangunan.
Kedua penelitian I Nyoman Putu Budiartha dari Universitas Warmadewa Bali tahun 2017 dengan judul Dilema
Penegakan Hukum MK No.69/PUU-XII/2015 (Masalah Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Nikah), pada intinya bahwa
suatu perjanjian perkawinan dapat dilakukan selama perkawinan. Bahkan bisa diubah atau dicabut asalkan kedua belah
pihak setuju.
Ketiga, penelitian Eva Dwinopianti dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Tahun 2017 dengan judul Implikasi
dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tentang Pembuatan Akta Nikah Setelah Akad
Nikah yang Dibuat Dihadapan Notaris, yang pada intinya mengandung makna bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Pembuatan Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan yang dilakukan di hadapan
Notaris mengubah mekanisme hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang sekarang dapat dilakukan selama akad
perkawinan berlangsung oleh Notaris tanpa harus didahului dengan pembentukan pengadilan yang berwenang.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, walaupun penelitiannya mirip dengan kedudukan perjanjian perkawinan dan
harta benda selama perkawinan, namun terdapat perbedaan yang cukup mendasar dengan penelitian penulis, karena
permasalahan penelitian penulis berkaitan dengan apakah warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing tidak
berhak atas harta bersama berupa hak milik, dengan menitikberatkan pada; Pertama, bagaimana kedudukan perjanjian
perkawinan harta benda yang diperoleh selama perkawinan campuran menurut KUH Perdata? Kedua, bagaimana kedudukan
perjanjian perkawinan harta benda yang diperoleh selama perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan? Ketiga, bagaimana kedudukan perjanjian perkawinan harta benda yang diperoleh selama
perkawinan campuran setelah Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015? Sehingga pemaparan penulis tidak hanya
terpaku pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, tetapi juga bagaimana Kajian Hukum Perdata, Hukum
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Kajian Hukum Islam diharapkan lebih komprehensif. .
Manfaat penelitian ini adalah memberikan sumbangsih pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum perdata
baik dari perspektif hukum perdata umum (BW) maupun hukum perdata Islam khususnya hukum keluarga mengenai kedudukan
perjanjian perkawinan terhadap harta benda yang diperoleh selama perkawinan (aspek teoritis). ). Hal ini juga diharapkan menjadi a
Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH 293
Perjanjian Perkawinan Harta Bersama Dalam Perkawinan Pasangan Campuran Menurut Kitab Hukum Perdata Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pos
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015

acuan bagi penyusunan penelitian selanjutnya, sekaligus dijadikan acuan bagi peradilan agama dalam pengambilan keputusan
khususnya mengenai pembagian harta yang diperoleh selama perkawinan selama perceraian guna memberikan perlindungan
hukum terhadap hak-hak privat (aspek praktis).
Sesuai dengan latar belakang dan tujuannya, penelitian Perjanjian Perkawinan Harta Bersama Dalam Perkawinan Campuran
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 merupakan penelitian
hukum normatif (dogmatis),7yang dimaksudkan untuk mencari dan merumuskan argumentasi hukum,8melalui analisis masalah utama.
Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ada 4 (empat) jenis, yaitu: pendekatan undang-undang; pendekatan
komparatif, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus.
Langkah penelitian yang dilakukan adalah mengumpulkan bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun sekunder
yang berkaitan dengan topik penelitian. Semua bahan hukum sekunder dicatat dengan sistem kartu. Kartu disusun
berdasarkan pokok permasalahan penelitian dan sistematika penulisan yang telah dirumuskan.
Seluruh hasil penelitian yang diperoleh dari bahan-bahan hukum tersebut di atas dicari hubungan antara satu dengan
lainnya dengan menggunakan penalaran deduktif dan induktif untuk menghasilkan proposisi dan konsep berupa definisi,
deskripsi dan klasifikasi sebagai hasil penelitian.

2. PERJANJIAN PERNIKAHAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN PASANGAN CAMPURAN

PERKAWINAN CAMPUR MENURUT SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Perkawinan campuran di Indonesia diatur dalam tiga ketentuan hukum yang berlaku, yaitu KUHPerdata bagi non-Muslim,
dan bagi yang beragama Islam diatur dengan Perkawinan dan Hukum Islam yang diadaptasi dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
Sebelum diundangkannya UU Perkawinan tahun 1974, perkawinan campuran diatur dengan Koninklijk Besluit
tanggal 29 Desember 1896 No. 23.9Peraturan ini disebut Regeling op de Gemengde Huwelijk yang lebih dikenal dengan
Gemengde Huwelijk Regeling, dengan singkatan GHR yang biasa disebut dengan Peraturan Perkawinan Campuran.10

Pengertian perkawinan campuran menurut Pasal 1 GHR adalah perkawinan antara “orang-orang” yang “berada” di Indonesia yang tunduk
pada hukum yang berbeda. Pengertian ini sangat luas cakupannya, tidak membatasi pengertian perkawinan campuran dalam perkawinan
antara warga negara Indonesia atau antara perkawinan Indonesia dengan perkawinan yang berlangsung di Indonesia, dengan ketentuan
pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda-beda yang merupakan perkawinan campuran.
pernikahan.11

7Penelitian Hukum meliputi Penelitian Normatif (Dogmatis) dan Penelitian Hukum Doktrinal. Penelitian Hukum Normatif (Dogmatis)

adalah penelitian tentang peraturan perundang-undangan, yurisprudensi (kasus hukum), kontrak, dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat yang kadang disebut juga penelitian hukum empiris. Sedangkan Penelitian Hukum Doktrinal adalah penelitian tentang asas-asas
hukum, literatur hukum, pandangan lulusan hukum yang memiliki kualifikasi tinggi, dan kegiatan perbandingan hukum. Menurut J. Gijssel,
Kajian Dogmatis hukum menitikberatkan pada hukum positif, antara lain: (1) mempelajari kaidah hukum dari segi teknis; (2) berbicara tentang
hukum; (3) bicara hukum dalam arti hukum; dan (4) membicarakan masalah-masalah konkrit. Lihat J. Gijssel dalam Philipus M. Hadjon, 1994,
“Studi Ilmu Hukum Dogmatis (Normatif)”, artikel di Jurnal Yuridis Fakultas Hukum, Universitas Airlangga Vol. IX, No. 6, November-Desember
1994.
8Argumentasi (argumen) memiliki dua pengertian: (1) “argumen” artinya rangkaian penalaran (trains of reasoning); (2)

“argumen” mengacu pada interaksi manusia yang berkaitan dengan forum argumentasi (misalnya pengadilan, pertemuan ilmiah,
kongres, dll). Selanjutnya di halaman h. 9. Tiga teori argumentasi hukum disajikan, yaitu: (1) teori argumentasi logis berdasarkan
pendekatan logika formal; (2) teori argumentasi retoris, dengan fokus pada keefektifan argumentasi dengan kombinasi bahasa; (3)
teori argumentasi dialogis, mempolakan argumentasi hukum sebagai bagian dari pembahasan. Dalam pendekatan dialogis ini
dipadukan dengan logika dan model retorika. Ibid.
9Staatblad 1898 No.158
10R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Peraturan Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, hal.
89
11Dalam konteks ini juga termasuk perkawinan antara dua orang bukan warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar
Indonesia. Misalnya antara warga Arab dengan warga Prancis, termasuk perkawinan campuran. Namun pengertian ini terlalu luas, karena pada saat
perkawinan dilangsungkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan hukum Indonesia, kecuali nantinya mereka menjadi warga negara Indonesia.

Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH 294


Prof.Dr.Titik Triwulan Tutik

Dalam pengertian ketentuan Pasal 1 GHR, termasuk perkawinan antara dua orang yang berkewarganegaraan Indonesia
yang berada di Indonesia tunduk pada dua aturan hukum yang berbeda yang melangsungkan perkawinan di luar Indonesia
atau juga antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing juga termasuk perkawinan campuran. Kecuali apabila
para pihak atau pihak-pihak yang sebelumnya tunduk pada seluruh atau sebagian hukum perkawinan BW, maka perkawinan
mereka berlaku ketentuan Pasal 83 KUH Perdata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 GHR dan Pasal 83 KUH Perdata, yang termasuk dalam pengertian perkawinan
campuran antara lain:
1) antara dua warga negara Indonesia, yang satu golongan Eropa dan yang lain golongan Cina Timur;

2) antara dua warga negara Indonesia, yang satu golongan asing Tionghoa Timur dan yang lain
golongan Timur Timur non-Tionghoa;
3) antara dua warga negara Indonesia termasuk satu orang asing Eropa atau Cina Timur dan seorang warga negara asing.

Selain itu, menurut ketentuan Pasal 1 GHR, perkawinan antara dua orang di Indonesia yang termasuk golongan yang
sama, tetapi tunduk pada hukum yang berbeda, juga termasuk perkawinan campuran. Misalnya,Bumiputera (penduduk asli),
orang-orang yang beragama Kristen danBumiputeraorang yang beragama Islam. Begitu pula dengan dua orang Timur selain
Tionghoa, yang satu berkewarganegaraan Indonesia dan yang lainnya berkewarganegaraan asing.
Sekarang bagaimana dengan definisi perkawinan menurut UU Perkawinan? UU Perkawinan memberikan definisi
yang sedikit berbeda dengan definisi ketentuan GHR. Makna perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 UU
Perkawinan adalah:
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang tunduk pada hukum yang
berbeda di Indonesia, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.
Pasal 57 membatasi perkawinan campuran hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan orang yang
bukan warga negara Indonesia, sehingga termasuk perkawinan antara sesama warga negara yang berbeda hukum dan antara
bukan warga negara Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam GHR sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku. Karena Pasal 57 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
menekankan perbedaan kewarganegaraan dan atau tunduk pada hukum yang berbeda, maka ketentuan GHR tetap berlaku selama
yang melakukan perkawinan campuran adalah orang sebagaimana diatur dalam Pasal 57 UU Perkawinan. Nomor 1 Tahun 1974.12
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai berikut: Perkawinan internasional adalah
perkawinan yang mengandung unsur-unsurmenggunakan. ItumenggunakanUnsur tersebut dapat berupa mempelai wanita yang berbeda
kewarganegaraan dengan mempelai wanita lainnya, atau kedua mempelai memiliki kewarganegaraan yang sama tetapi perkawinannya dilangsungkan
di negara lain atau gabungan keduanya.13
Adanya perbedaan hukum tersebut menyebabkan terjadinya beberapa macam perkawinan campuran, yaitu:
1) Perkawinan Antarbangsa menjelaskan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, jika perkawinan timbul antara 2 (dua) orang,
masing-masing berkewarganegaraan yang sama atau berbeda, yang tunduk pada peraturan hukum yang berbeda. Misalnya, warga
negara Indonesia dari Eropa menikah dengan orang Indonesia asli.
2) Perkawinan campuran antardaerah mengatur hubungan-hubungan hukum (perkawinan) antara penduduk asli Indonesia dari
lingkungan adat masing-masing. Misalnya, orang Minang menikah dengan orang Jawa.
3) Perkawinan Campur Antaragama (antaragama) Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 (dua) orang
yang masing-masing tunduk pada peraturan hukum agama yang berbeda. Misalnya, Muslim dengan Kristen.14

Dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 telah ditentukan bahwa legalitas perkawinan di Indonesia didasarkan pada masing-
masing agama dan kepercayaan.15Oleh karena itu mengenai perkawinan campuran yang diselenggarakan di Indonesia harus berdasarkan

12Zain Badjeber, Tanya Jawab Masalah Hukum Perkawinan, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 80
Purnadi Purbacaraka, dan Agus Brotosusilo, Joints of International Civil Law an Orientation, Jakarta: Raja Grafindo
13

Persada, 1997, hal. 36


14Titik Triwulan Tutik, Asas Hukum Tata Negara, Jakarta, Penerbit Prestasi Pustaka, 2006, hlm. 242.
15Lihat Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan
Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH 295
Perjanjian Perkawinan Harta Bersama Dalam Perkawinan Pasangan Campuran Menurut Kitab Hukum Perdata Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pos
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015

Hukum Perkawinan Indonesia maka perkawinan perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan harus diperhatikan jika
kedua belah pihak, calon suami istri menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah, tetapi jika berbeda agama
maka akan timbul masalah hukum antar agama. .
Masalah tidak akan menjadi rumit jika salah satu pihak menggabungkan/mengikuti agama pihak lain dengan kerelaan,
namun kesulitan ini muncul jika kedua belah pihak tetap ingin mempertahankan keyakinannya. Apalagi karena Kantor Catatan
Sipil (sekarang Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983, tidak lagi
berfungsi untuk mengawinkan.
Namun pada kenyataannya sering terjadi pasangan yang menikah dengan mudah berdasarkan agama salah satu pihak, kemudian setelah
pernikahan mereka disahkan, mereka kembali pada keyakinan masing-masing. Di Indonesia perkawinan beda agama masih menjadi masalah yang
masih perlu diselesaikan dengan sebaik-baiknya bagi warga negaranya.
Mengenai keabsahan perkawinan campuran, tidak ada pengaturan khusus, sehingga dalam praktiknya sering terjadi
kewarganegaraan dan untuk memudahkan pasangan menikah berdasarkan agama salah satu pihak, namun kemudian setelah
perkawinan disahkan, mereka kembali ke keyakinan masing-masing. Selain itu, ada juga pasangan yang menikah di luar negeri,
baru kemudian didaftarkan di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, karena masalah perkawinan campuran tidak mungkin dihilangkan, maka demi adanya kepastian
hukum sebagai warga negara dilakukan pengaturan tentang sahnya perkawinan campuran.

PERJANJIAN PERNIKAHAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN CAMPURAN

Perkawinan campuran sebenarnya membawa akibat hukum yang cukup rumit, yaitu berkaitan dengan
kedudukan suami/istri, kedudukan anak, dan kedudukan harta benda.
Pasal 2 GHR mengatur bahwa seorang wanita (istri) yang melakukan perkawinan campuran, selama perkawinan itu
belum putus, tunduk pada hukum yang berlaku terhadap suaminya, baik hukum umum maupun hukum privat. Intinya
istri mengikuti status hukum suami. Dari ketentuan ini jelas bahwa bagi istri tidak ada pilihan lain selain tunduk pada
hukum suami. Selain itu, ketentuan ini juga tidak memberikan kebebasan bagi istri untuk menentukan pilihan hukum
mana yang berlaku baginya setelah melakukan perkawinan campuran. Didudukkannya kedudukan hukum publik suami
oleh istrinya tidak berarti bahwa istri berdasarkan ketentuan Pasal 2 GHR memperoleh kewarganegaraan sumi.

Apakah istri memperoleh kewarganegaraan dan/atau kehilangan kewarganegaraannya sendiri, tergantung pada hukum
kewarganegaraan dari negara suami dan istri tersebut. Menurut UU Kewarganegaraan Indonesia dan UU Kewarganegaraan di banyak
negara lain, istri tidak secara otomatis memperoleh kewarganegaraan suami dan kehilangan kewarganegaraannya sendiri. Istri tidak
boleh kehilangan kewarganegaraannya sendiri dan tidak memperoleh kewarganegaraan suami. Karena hak dan kewajiban masyarakat
(hak memilih dan dipilih, hak memperoleh pendidikan, wajib militer, wajib pajak orang asing, dll) pada umumnya terkait dengan
kewarganegaraan, sedangkan kewarganegaraan ditentukan oleh undang-undang kewarganegaraan. Maka GHR untuk kedudukan
hukum publik istri dapat dikatakan tidak ada artinya.
Pasal 11 GHR mengatur bahwa anak yang lahir dari perkawinan campuran yang telah dilakukan sebelum
berlakunya GHR, memperoleh kedudukan hukum publik dan hukum privat dari ayahnya. Sedangkan menurut
Pasal 12 GHR, kedudukan anak-anak yang dimaksud dalam Pasal 11 GHR sebagai anak sah dari ayah dan ibu tidak
dapat dipersengketakan, karena dalam akta perkawinan terdapat cacat atau karena tidak ada akta perkawinan, jika
anak diperlakukan sebagai anak sah dan ayah ibu hidup secara terbuka sebagai suami istri.
UU Perkawinan 1974 Pasal 62 menyatakan, bahwa dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan
Pasal 59 ayat (1) yang berbunyi, “Kewarganegaraan yang diperoleh karena perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan
hukum yang berlaku, baik mengenai hukum dan hukum perdata.”
Mengenai status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran diatur dalam Pasal 4 huruf b sampai dengan huruf f UU
Kewarganegaraan yang pada pokoknya ditentukan, bahwa setiap anak yang lahir kedua dan/atau salah satu orang tuanya (ayah dan/atau
ibunya) adalah warga negara Indonesia maka dia diklasifikasikan sebagai warga negara Indonesia. Pengecualian bagi anak yang orang tuanya
berkewarganegaraan asing yang mengakibatkan anak berkewarganegaraan ganda, setelah berumur 18 (delapan belas) tahun atau menikah,
harus menyatakan pilihan kewarganegaraannya.16
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran yang salah satu orang tuanya
berkewarganegaraan Indonesia diakui sebagai warga negara Indonesia sampai dengan yang bersangkutan berumur 18 (delapan belas) tahun.

16Lihat pasal 6 ayat (1) UU Kewarganegaraan


Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH 296
Prof.Dr.Titik Triwulan Tutik

atau telah menikah sehingga mereka memiliki hak untuk memilih kewarganegaraan mereka.17Bahkan hilangnya kewarganegaraan Indonesia pada salah
satu orang tua dari anak yang lahir dari perkawinan campuran tidak serta merta berlaku kewarganegaraannya sampai mereka berusia 18 (delapan belas)
tahun atau menikah, kecuali akibat dari menjadikan anak tersebut dwikewarganegaraan - sehingga mereka harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.18
Dalam konteks hukum yang berlaku di Indonesia, pengaturan harta yang diperoleh selama perkawinan diatur
dalam ketentuan hukum yang berbeda (pluralitas) yaitu Hukum Perdata khusus bagi warga negara non muslim dan bagi
warga negara Islam ketentuan UU Perkawinan 1974 Inpres Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (selanjutnya disebut KHI) disamping penerapan Hukum Islam itu sendiri.
Menurut ketentuan KUH Perdata, bahwa pada dasarnya harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi satu, menjadi
milik bersama. Dalam Pasal 119 KUH Perdata. Mengenai harta benda dalam perkawinan UU Perkawinan tahun 1974, diatur
dalam Pasal 35 yang berbunyi sebagai berikut:
1) Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta warisan masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hibah atau warisan berada di
bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan Tahun 1974, bahwa harta kekayaan yang diperoleh karena warisan atau pemberian tidak
dapat dikategorikan sebagai harta bersama. Ketentuan ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 32 yang pada dasarnya
menegaskan bahwa setiap laki-laki dan perempuan memiliki bagian dari apa yang mereka usahakan sendiri.

3. ANALISIS PERJANJIAN PERJANJIAN PERKAWINAN PADA MAHKAMAH KONSTITUSI PASCA CAMPUR


NOMOR 69/PUU-XIII/2015

ANALISIS HUKUM ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015

Pada tanggal 27 Oktober 2016, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang
dalam kewarganegaraannya mengabulkan permohonan pengujian ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan yang diatur
dalam Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU Perkawinan Tahun 1974 Putusan Mahkamah Konstitusi telah melahirkan norma
hukum baru terkait Perjanjian Perkawinan sebagai berikut
1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama perkawinan, kedua belah pihak dengan persetujuan bersama dapat
mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pencatat perkawinan atau notaris, setelah itu isinya berlaku juga bagi
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga itu adalah terlibat.
2) Perjanjian tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3) Perjanjian itu berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian
Perkawinan.

Selama perkawinan, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta benda perkawinan atau perjanjian lain, tidak dapat diubah atau
dicabut, kecuali jika dari kedua belah pihak ada kesepakatan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu
tidak merugikan pihak ketiga.
Ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan Tahun 1974 berikut Putusan Mahkamah Konstitusi mengandung
norma hukum baru tentang Perjanjian Perkawinan, yaitu:
1) Perjanjian Perkawinan Dapat Dilakukan Setelah Perkawinan Dilangsungkan;
2) Pengesahan Perjanjian Nikah oleh Notaris;
3) Dapat berlaku sejak tanggal Perjanjian Nikah;
4) Perjanjian perkawinan dapat dicabut

Secara materiil Putusan MK di atas merupakan putusan hukum yang responsif jika dikaitkan dengan teori hukum Sellnic Nonet
yang menyatakan bahwa hukum yang baik dalam masyarakat modern adalah hukum yang merespon keinginan warganya. Dalam hal
ini terkait dengan permohonan bahwa hak konstitusional warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran tanpa
perjanjian perkawinan kehilangan hak konstitusionalnya untuk memiliki Hak Milik (HGB) atas tanah karena

17Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 11 GHR dan undang-undang kewarganegaraan sebelumnya, yaitu Undang-undang
Nomor 62 Tahun 1958, dimana status kewarganegaraan anak mengikuti status kewarganegaraan ayah.
18Lihat pasal 25 UU Kewarganegaraan
Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH 297
Perjanjian Perkawinan Harta Bersama Dalam Perkawinan Pasangan Campuran Menurut Kitab Hukum Perdata Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pos
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015

tidak ada perjanjian perkawinan yang berarti menurut Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan 1974 terjadi harta bersama. Oleh
karena itu, apabila warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan pada
saat pembelian hak milik/hak HGB atas tanah tersebut, juga akan dimiliki oleh warga negara asing dari suami atau istri
warga negara Indonesia tersebut, meskipun hak milik/HGB tersebut atas tanah tersebut tidak dapat diberikan kepada
orang asing menurut Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (1) UU Pokok Agraria 1960. Hal ini jelas akan merugikan warga negara
Indonesia yang kawin campur karena meskipun sebagai warga negara Indonesia nyata-nyata dicegah tidak pernah
memiliki Hak Milik/HGB atas tanah tersebut.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan perjanjian perkawinan selama ikatan perkawinan yang
sebenarnya juga perjanjian perkawinan dapat berlaku setelah perkawinan dilangsungkan bahkan dapat dilakukan perubahan
atau pencabutan selama kedua belah pihak (suami istri) setuju dan tidak merugikan pihak ketiga. Tentu saja putusan hukum ini
merupakan suatu perangkat hukum baru yang memberikan angin segar bagi warga negara Indonesia yang melakukan
perkawinan campuran dengan tetap mempertahankan warga negaranya akan dapat dan berpeluang memiliki hak milik/HGB
atas tanah, hal ini tidak lagi bertentangan atau sesuai dengan Hak Konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat
(4) UUD 1945.

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015

Putusan Mahkamah Konstitusi, akan memperoleh kekuatan hukum tetap dan mengikat sejak setelah diucapkan di
depan sidang terbuka,19yang berarti, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap dan mengikat setelah
diucapkan dan tidak dapat diambil upaya hukum lain (final and binding). Akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi di
atas yang mengabulkan permohonan Pemohon adalah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atas suatu
norma hukum yang diminta oleh Pemohon, sehingga dalam hal ini Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4 ) Hukum UU Perkawinan
Tahun 1974 didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi di atas conditional inconstitutional, sehingga putusan
tersebut menciptakan suatu kondisi/norma hukum baru (declarative constitutive) yang dalam hal ini MK sebagaimana
dimaksud oleh Hans Kelsen sebagai negative -legislator, sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi sama dengan tata
tertib konstitusi.
Kekuatan hukum Putusan MK terdiri dari kekuatan hukum mengikat, kekuatan hukum pembuktian, dan kekuatan hukum
eksekutif. Kekuatan hukum yang mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengikat para pihak yang berperkara
(interpartes), tetapi juga mengikat dan/atau ditujukan untuk semua warga negara, lembaga/pejabat negara dan badan hukum
di wilayah negara Republik Indonesia (erga omnes). Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut, Putusan MK juga
mengikat Notaris sebagai pihak yang berwenang (pejabat) dalam pembuatan perjanjian perkawinan dan Kantor Kependudukan
dan Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai pejabat yang memiliki kewenangan untuk mendaftarkan akta
perjanjian perkawinan.
Fenomena yang terjadi di masyarakat yang menjadi salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk
menyatakan pasal-pasal tersebut sebagai conditional inconstitutional sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi tersebut di atas, hal ini hanya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk memberikan kepastian hukum dan
keadilan yang dijamin oleh UUD 1945 bagi masyarakat atas hak konstitusionalnya dalam membuat perjanjian (asas
kebebasan berkontrak) dalam hal ini perjanjian perkawinan, oleh karena itu Mahkamah Konstitusi melalui salah satu
kewenangannya diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 adalah menguji UU terhadap UUD 1945 mengeluarkan
putusan progresif untuk mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat.
Namun terkait dengan pencatatan akad nikah yang dilakukan sepanjang perkawinan, juga harus diperhatikan bahwa
dalam prakteknya masih terdapat kendala teknis dalam pencatatan akad nikah, hal ini karena ternyata masih ada pejabat
catatan sipil yang hanya memegang petunjuk teknis terkait perkawinan. pendaftaran, dengan mengabaikan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pendaftaran perkawinan dan pencatatan perjanjian perkawinan.
Hambatan ini terjadi karena pada Formulir (Formulir F2.12) yang digunakan untuk mencatatkan perkawinan tidak terdapat
kolom mengenai perjanjian perkawinan.20

19Indonesia, Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
20 Alwesius, “Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”,
http://alwesius.blogspot.com/2016/11/pembuatan-perjanjian-perkawinan-pasca.html., diakses 11 November 2018
Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH 298
Prof.Dr.Titik Triwulan Tutik

Pembuatan perjanjian perkawinan pada umumnya menimbulkan akibat hukum baik terhadap status harta maupun
terhadap pihak ketiga yang bersangkutan. Mengenai status harta, bahwa perjanjian perkawinan mengakibatkan
pemisahan harta yang semula merupakan harta bersama menjadi milik masing-masing pihak dan harta-harta lain yang
timbul kemudian setelah tanggal penetapan itu tetap terpisah satu sama lain, sehingga terdapat tidak ada status lagi
milik bersama.
Sahnya perjanjian perkawinan menimbulkan akibat bagi pihak ketiga, sebagaimana diatur dalam Pasal 152 KUH Perdata
yang berbunyi: “Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian perkawinan yang mengandung penyimpangan-
penyimpangan dari kesatuan menurut undang-undang baik sebagian maupun seluruhnya, tidak akan diserahkan kepada pihak
ketiga, sebelum hari itu dibuatlah ketentuan dalam daftar umum, yang untuk itu harus diadakan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang dalam daerah hukum perkawinan itu telah dilangsungkan, atau bila perkawinan itu dilakukan di luar negeri, di
Kepaniteraan tempat pencatatan akta nikah”. Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa perjanjian perkawinan dapat juga
berlaku bagi pihak ketiga, setelah perjanjian perkawinan itu didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal 147 Juncto Pasal 152 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa sejak perkawinan itu
terjadi perjanjian perkawinan hanya berlaku bagi pihak yang membuatnya yaitu suami istri, sedangkan perjanjian
perkawinan hanya berlaku bagi pihak ketiga sejak didaftarkan di Pengadilan Negeri Kepaniteraan.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Artinya, apabila para pihak tidak menentukan kapan perjanjian perkawinan itu
mulai berlaku, maka menurut undang-undang perjanjian perkawinan itu mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan.
Dengan demikian akibat hukum dari status harta bersama membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan yang dimulai
sejak perkawinan dilangsungkan diikuti dengan status harta bersama menjadi terpisah bila dikehendaki oleh kedua belah pihak
dalam perjanjian, begitu pula dengan harta kekayaan yang akan diperoleh. dikemudian hari tetap menjadi milik masing –
masing pihak, tanpa harus memperoleh putusan pengadilan terkait pemisahan harta kekayaan tersebut. Maka akibat hukum
pembuatan perjanjian perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku dan mengikat pihak ketiga. Pembuatan
perjanjian perkawinan yang demikian itu tidak boleh merugikan pihak ketiga, karena pembuatan perjanjian perkawinan selama
perkawinan itu berlangsung membawa akibat hukum terhadap perubahan status hukum harta benda yang terkandung atau
diperoleh dalam perkawinan itu.

SUMBER DANA

Penelitian ini tidak menerima hibah khusus dari lembaga pendanaan mana pun di sektor publik, komersial, atau
nirlaba.

KONFLIK KEPENTINGAN

Penulis telah menyatakan bahwa tidak ada kepentingan yang bersaing.

PENGAKUAN

Tidak ada.

REFERENSI

[1] Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Presindo. 1995


[2] Al-Hadi, Abu Azam. ”Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal Hukum Islam al-Qanun Vol. 2
Desember 2001, Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, hal. 39-48
[3] Al-Jabry, Abdul Manan Muhammad. Jarimatuz-zawaj Bighairil-Muslimat: Fiqhan wa Siyasatan. Terj. Achmad Syathori.
”Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam”. Jakarta: Bulan Bintang. 1988

Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH 299


Perjanjian Perkawinan Harta Bersama Dalam Perkawinan Pasangan Campuran Menurut Kitab Hukum Perdata Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pos
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015

[4] Alwesius, “Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, http://
alwesius.blogspot.com/2016/11/pembuatan-perjanjian-perkawinan-pasca.html., diakses 11 November
2018
[5] Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Rineka Cipta. 1997
[6] Campbell, Enid, (et.all), 1996, Penelitian Hukum, Sidney; Perusahaan Buku Hukum, Ltd.
[7] Damian Agata Yuvens, “Analisis Kritis terhadap Perjanjian Perkawinan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015”, Artikel dalam Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 4, Desember 2017, hal. 799- 819

[8] Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang
Praktis, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006
[9] Do'i, Abdul Rahman I. Syariah Hukum Islam, Terj. Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, “Perkawinan dalam
Syari'at Islam”, Jakarta: Rineka Cipta, 1996
[10] Eva Dwinopianti, “Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris”, artikel
dalam jurnal Lex Renaisannce No. 1 Vol. 2 Januari 2017, hal. 16 - 34
[11] Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: Alumni Penerbit. 1995
[12] Hadjon, Philipus M. 1994, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”, artikel dalam Jurnal Yuridika
Fakultas Hukum Universitas Airlangga Vol. IX, No. 6, November-Desember 1994
[13] Hadjon, Philipus M., dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Yogyakarta; Pers Universitas Gadjah Mada

[14] Hasan, Djuhaedah. Hukum Keluarga Setelah sahnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Bandung: Armico.
1988
[15] Hasan, M.Ali. Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Press. 1997
[16] I Nyoman Putu Budiartha, “Dilema Penegakan Hukum Putusan MK No.69/PUU-XII/2015 (Persoalan
Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin)”, artikel dalam Jurnal Notariil, Vol. 1, No. 2 Mei 2017, hal. 1-
12
[17] Idri.” Prosedur Pelaksanaan Perkawinan di Indonesia”, Jurnal Hukum Islam al-Qanun Vol. 2 Desember 2001, Fakultas
Syari'ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, hal. 27-37
[18] Kaelany HD, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Bandung: Bumi Aksara, 1986
[19] Kuzairi, Ahmad. Nikah sebagai Perikatan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1995
[20] Mahdi, Sri Susilowati., Sjarif, Surini Ahlan dan Cahyono, Akhmad Budi. Hukum Perdata: Suatu Pengantar.
Jakarta: Gitamajaya Jakarta. 2005
[21] Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2008
[22] Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, http://www.mixedcouple.com, diakses 16 Juli
2009
[23] Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Pluralisme Hukum Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Universitas Airlangga Press.
2000
[24] Prawirohamidjojo, R. Soetojo., dan Pohan, Marthalena. Hukum Orang dan Keluarga. Surabaya: Universitas
Airlangga Press. 2000
[25] Putusan Mahkamah RI Nomor 69/PUU-XIII/2015, tanggal 26 Oktober 2016 tentang Pengujian Materiil
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD NRI 1945
[26] Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1995
[27] Salim HS Pengantar Hukum Perdata Tertulis [BW]. Jakarta: Sinar Grafika. 2002
[28] Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Internusa. 2000
[29] Syaltut, Mahmud. Al-Islam Aqidah wa Syari'ah. Terj. Fachruddin dan Nasharuddin Thaha. Akidah dan Syari'ah Islam.
Jakarta: Bina Aksara. 1984
[30] Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan. Jakarta: Kencana. 2007
[31] Titik Triwlan Tutik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, Jakarta; Grup Media
Kencana Prenada. 2017
Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH 300
Prof.Dr.Titik Triwulan Tutik

[32] Titik Triwulan Tutik. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011

[33] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


[34] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Jurnal Riset Internasional -GRANTHAALAYAH 301

Anda mungkin juga menyukai