DISUSUN OLEH :
2019
COVER............................................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 1
1
G. HUKUM ADAT SEBAGAI HUKUM RAKYAT INDONESIA......................... 68
1. BAB I (PENDAHULUAN).................................................................................. 68
2. BAB II (PEMBAHASAN)................................................................................... 69
3. BAB III (PENUTUP)........................................................................................... 84
4. DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 86
H. HUKUM PERORANGAN..................................................................................... 87
1. BAB I (PENDAHULUAN)................................................................................. 87
2. BAB II (PEMBAHASAN).................................................................................. 88
3. BAB III (PENUTUP).......................................................................................... 95
4. DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 96
I. HUKUM KEKELUARGAAN.............................................................................. 97
1. BAB I (PENDAHULUAN)................................................................................ 97
2. BAB II (PEMBAHASAN)................................................................................. 98
3. BAB III (PENUTUP)......................................................................................... 106
4. DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 107
J. HUKUM PERKAWINAN................................................................................... 108
1. BAB I (PENDAHULUAN)............................................................................... 108
2. BAB II (PEMBAHASAN)................................................................................ 109
3. BAB III (PENUTUP)........................................................................................ 124
4. DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 125
K. HUKUM HUTANG PIUTANG.......................................................................... 126
1. BAB I (PENDAHULUAN)............................................................................... 126
2. BAB II (PEMBAHASAN)................................................................................ 127
3. BAB III (PENUTUP)........................................................................................ 139
4. DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 140
L. DELIK HUKUM ADAT..................................................................................... 141
1. BAB I (PENDAHULUAN).............................................................................. 141
2. BAB II (PEMBAHASAN)............................................................................... 142
3. BAB III (PENUTUP)....................................................................................... 153
4. DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 154
2
ASAS-ASAS HUKUM ADAT
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat hukum adat berlatar belakang dari banyaknya daerah dan suku yang ada di
Indonesia, peradilan-peradilan adat serta perangkat-perangkat adat bertujuan untuk
kemakmuran bersama, adapula yang menjadikan tujuan agar terjadinya keseimbangan antara
ruh dan batin. Asas hukum asli atau dinamakan dengan hukum adat masih berlaku dan
relevan pada masa modern ini, namun pada jaman ini juga sebagian masyarakat sudah jarang
percaya pada apa yang di rasa kurang cukup dijelaskan secara logis.
Berdasar pada hukum adalah suatu aturan atau kaidah yang terdapat dalam suatu kehidupan
bermasyarakat. Hukum memiliki sifat yang mengikat namun dalam hukum asli, hukum adat
bersifat sadar seraca harfiah dan dilakukan karena dorongan ruh dan batin.
Hukum adat yang bervariasi melatar belakangi terjadinya asas hukum adat, bisa disadari
bahwa banyak sekali faktor pembentuk hukum adat itu sendiri bahkan terkadang hukum adat
sesekali kita lakukan, namun dalam ranah kita tidak mengetahuinya bahwa tindakan tersebut
masuk dalam salah satu kategori asas hukum adat. saat ini hukum adat bahkan sudah
mendarah daging disekeliling jika diperhatikan dengan seksama, asas hukum adat ikut terlibat
juga dalam hukum-hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri, mengambil contoh. Dalam
UU ada dibeberapa alinea yang menautkan salah satu Asas Religio Magis setelah agama
berkembang di Indonesia. Hukum adat adalah salah satu hukum dari hukum-hukum yang ada
di Indonesia, sebuah undang-undang mungkin muncul karena ada kebiasaan-kebiasan yang
akhirnya ditetapkan dan dapat diakui secara hukum atau dapat dilaksanakan dalam
masyarakat.
Hukum setiap masyarakat berbeda, oleh sebab itu dibuatlah asas-asasnya, karena hukum
adalah untuk masyarakat, maka hukum tidak dapat mengabaikan kebiasaan lama atau kuno
yang telah lazim dalam budayanya yang telah diambil dan berbentuk hukum yang telah
mereka ikuti, meskipun mungkin mereka mungkin tidak konsisten pada hukum yang sudah
disahkan oleh masyarat modern.
3
PEMBAHASAN
Hukum adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau Eropa Kontinental lainnya.
Hukum adat bersifat pragmatisme-realisme artinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
yang bersifat fungsional religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi sosial atau
keadilan sosial.1
Mr. c. van Vollenhoven (1928) berpendapat, hukum adat adalah keseluruhanaturan tingkah
laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain dalam keadaan
tidak dikodifikasikan (adat). Mengandung makna bahwa hukum indonesia dan kesusilaan
masyarakat merupaka hukum adat dan adat yang tidak dapat dipisahkan dan hanya mungkin
dibedakan dalam akibat hukumnya, karena terdapat peraturan yang selalu dipertahankan
keutuhannya oleh pelbagai golongan tertentu dalam kehidupan sosialnya, seperti masalah
pakaian, pangkat pertunangan dan sebagainya. Kehendak nenek moyang dimana sebagai
tolok ukur terhadap keinginan yang akan dilakukan, tetapi peraturan hukum adat juga dapat
berubah tergantung dari pengaruh kejadian kejadian dan keadaan hidup yang silih berganti
yang bahkan tidak diketahui bahkan kadang kadang tanpa disadari masyarakat di dalam
kehidupan sehari hari. Misalnya kalau seseorang dari Papua datang ke daerah Riau dengan
membawa ikatan ikatan tradisinya, maka secara cepat dia akan menyesuaikan dengan tradisi
daerah byang didatanginya. Keadaan ini berbeda dengan hukum yang peraturan peraturanya
ditulis dan dikodifikasikan dalam sebuah kitab undang undang atau peraturan perundangan
yang sulit di ubah secara cepat, karena perubahannya masih diperlukan alat pengubah melalui
seperangkat alat alat perlengkapan negara yang berwenang untuk itu dengan membuat
perundangan baru.2
Prof. Mr. F.D. HOLEMAN yang pernah menjadi guru besar dalam mata pelajaran hukum
adat di Leiden sebagai pengganti dan penerus dari Prof. Dr. Mr. CORNELIS VAN
VOLLENHOVEN didalam pidato innaugerasinya yang berjudul “de commune trek in het
indonesische rechtsleven” yaitu corak kegotong royongan didalam kehidupan hukum
1
St. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm.7.
2
Sutrisno Setiawan UIN Sultan Syarif Kasim Fakultas Dakwah Dan Komunikasi, Asas Asas Hukum, 2014/2015
4
indonesia sehingga menyimpulkan adanya 4 asas Hukum Adat Indonesia yang hendaknya
dipandang sebagai satu kesatuan.3
Hukum adat bersifat magis religius dapat diartikan bahwa hukum adat pada dasarnya
berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme yaitu kepercayaan terhadap hal
hal ghaib. asas magis religius diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada
religiositas, yakni keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral.
Sebelum masyarakat hukum adat bersentuhan dengan hukum agama masyarakat
hukum adat membuktikan keberadaan religiusitas ini dengan cara berpikir yang
prelogika, animistis, dan kepercayaan kepada alam ghaib yang menghuni suatu benda.
Selain itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa asas magis religius ini berarti pula
sebagai kepercayaan masyarakat yang tidak mengenal pemisah antara dunia lahir
(fakta) dengan dunia gaib (makna tersembunyi dibalik fakta) yang keduanya harus
berjalan seimbang. Dalam hal ini masyarakat harus berupaya mencegah terjadinya
disharmoni, yang berarti masyarakat harus selalu membina keselarasan-keserasian-
keseimbangan antara dunia lahir dan dunia batin.
Ketidakseimbangan yang terjadi dalam hubungan antara dunia lahir dan dunia batin
berbanding lurus dengan ketidakseimbangan pada tingkat yang lebih besar yaitu alam
semesta (makrokosmos).
Tidak berbeda jauh dengan masyarakat yang telah mengenal persentuhan sistem
hukum agama. Masyarakat mewujudkan religiusitas ini dalam kepercayaan kepada
tuhan (Allah). Masyarakat memercayai bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya
akan selalu mendapat imbalan atau hukuman (reward and punishment) dari tuhan
sesuai dengan kadar perbuatannya. Kepercayaan inilah yang berlangsung, mengkristal
dalam kehidupan masyarakat modern dan dalam perundangan undangan serta
lembaga peradilan di Indonesia.4
Hal ini dapat dilihat dari beberapa cerminan dalam konsiderans ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Tap.MPR) yang selalu diawali klausul “dengan rahmat
tuhan yang maha esa” atau dalam putusan peradilan yang selalu mencantumkan
3
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, hlm.36.
4
Suriyaman Mustari, Hukum Adat Dahulu, Kini Dan Akan Datang, hlm.12.
5
klausul “demi kedilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa” yang dasarnya jelas
pada sila pertama.
Asas religius masyarakat hukum adat misalnya dalam kegiatan seremonial seperti
perkawinan. Dalam upacara ini dimaknai sebagai persyaratan terjadinya peralihan dari
tingkatan lama ketingkatan baru. Menurut Hazairin berpendapat konsep perkawinan
menurut hukum adat terdiri dari tiga rentetan perbuatan atau peristiwa yang bertujuan
untuk menjamin ketenangan (koelte), kebahagiaan (wevaart), dan kesuburan
(vruchtbaarheid). Sehingga dikenal beberapa upacara peralihan (rites de passage) dari
tingkatan baru yang terdiri atas:
a. Upacara perpisahan dari status semula (rites de separation)
b. Upacara perjalanan ke status yang baru (rites de marge)
c. Upacara penerimaan ke status yang baru (rites d’aggregation)5
Contoh lainnya warga masyarakat persekutuan hukum adat mempunyai hak untuk
mengumpulkan hasil hutan untuk memburu, untuk mengambil hasil dari pohon yang
tumbuh liar. Akibat dari perbuatan yang belakangan ini adalah suatu hubungan antara
warga persekutuan dengan pohon, dengan memberikan larangan yang religio magis.
Hasil pohon ini hanya dapat diambil oleh yang berkepentingan, orang lain tidak boleh
mengambil hasilnya dengan keyakinan akan menimbulkan peristiwa magis berbahaya
bagi yang melanggrnya.
Ini berarti bahwa hubungan masyarakat dengan kekayaan nonmateriel sangat diyakini
mengandung nilai magisreligius ketika diganggu keberadaannya akan terjadi
malapetaka kutukan seperti “borong karamaka” di sulawesi selatan dengan masih
sangat eksisnya hak ulayat masyarakatnya.
Sehubungan dengan asas religio magis ini Dr. Kuntjara Ningrat dalam tesisnya
menulis bahwa alam religio magis itu mempunyai unsur unsur sebagai berikut:
5
Suriyaman Mustari, Hukum Adat Dahulu, Kini Dan Akan Datang, hlm.13.
6
Suriyaman Mustari, Hukum Adat Dahulu, Kini Dan Akan Datang, hlm 14.
6
a. Keepercayaan kepada makhluk makhluk halus, roh roh dan hantu hantu yang
menempati seluruh alam semesta dan khusus terhadap gejala gejala alam, tumbuh
tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda lainnya.
b. Kepercayaan kepada kekuatan sakti, yag meliputi seluruh alam semesta dan
khusus terdapat dalam peristiwa luar biasa, dan suara suara luar biasa.
c. Anggapan bahwa kekutan sakti yang pasif itu dipergunkan sebagai: magische
kracht dalam berbagai ilmu ghaib. Untuk mencapai kemauan manusia untuk
menolak bahaya ghaib.
d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan saksi dalam alam meyebabkan keadaan
krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya ghaib yang hanya dapat
dihindari atau dihindarkan dengan berbagai macam tantangan.7
Misalnya di Banten dan di Bali orang berpantang menjual padi yang masih hijau
buahnya, diberbagai daerah berlaku jika kawin terlebi dahulu dari kakak maka
adik harus memberi barang “pelangkah’ kepada kakak yang dilangkahinya agar
tidak ketulahan. Orang beragama Islam jika memulai pembicaraannya dengan
salam “Assalamualaikum”.
Corak keagaamaan dalam hukum adat ini terangkat pula daalam UUD 1945 alenia
3 yang berbunyi “atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa daan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan bangsa yang bebas maka
rakyat Indonesia dengan ini kemerdekaannya”.8
7
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, hlm.36.
8
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi, hlm.34-35.
9
St. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm.7.
7
Jika dua diantara dua orang menerima warisan yang telah ditentukan, maka setiap
bagiannya itu harus diserahkan pada masing masing orang yang berhak. Dengan
demikian, prinsip kerukunan, lebih mengutamakan kepentingan hidup bersama.
Ini membuktikan bahwa betapa masyarakat hukum adat sadar akan sifatnya yang
komunalistik yakni memiliki ikatan kemasyarakatan yang erat.
Perwujudan asas komunal itu, juga dapat dilihat dalam kegiatan rapat desa yaitu suatu
majelis yang tersusun atas berbagai golongan penduduk yang berhak hadir dan
memberi suara, musyawarah mufakat demi kepentingan bersama.10
Adalah suatu corak yang khas dari masyarakat kita yang masih hidup sangat terpencil
atau dalam hidup sehari harinya masih sangat tergantung kepada alam. Dalam
masyarakat semacam itu selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan, lebih
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual. Masyarakat
desa, dusun, senantiasa memegang peran yang menentukan pertimbangan dan
putusannya tidak boleh dan tidak dapat disia siakan.
Keputusan desa adalah berat, berlaku terus dalam keadaan apapun juga harus dipatuhi
dengan hormat dan hikmat.
Prof. Dr. Achmad Sanusi, S.H, M.P.A (1991:126)
Ditegaskan bahwa dalam hal asas commun ini: setiap orang merasa dirinya benar
benar selaku anggota masyarakat bukan sebagai ognum yang berdiri sendiri terlepas
dari undang undang sesamanya, ia menerima hak serta menanggung wajibkan sesuai
dengan kedudukannya.
Kepentingan pribadi seseorang selalu diimbangi oleh kepentingan umum.
Demikianlah sama pula halnya dengan hak hak pribadi seseorang selalu diimbangi
dengan kepentingan umum. Hak hak subjektif dijalankan dengan memperhatikan
fungsi sosialnya. Ia terikat dengan sesamanya kepada kepala adatnya dan kepada
masyarakatnnya. Lahirlah keinsyafan akan keharusan tolong menolong, gotong
royong dalam mengerjakan suatu kepentingan dalam masyarakat. Cara-cara
bertindak dalam huubungan sosial ataupun hukum selalu disertai asas-asas
permusyawaratan, kerukunan, kedamaian, keputusan, dan keadilan.11
Pengabdian itu bersifat pengorbanan yang harus diberikan oleh individu untuk
kebaikan umum. Didalam kesadaran rakyat kewajiban-kewajiban masyarakat semata-
mata adalah fungsi sewajarnya dari kehidupan manusia. Sebaliknya individu sebagai
10
Suriyaman Mustari, Hukum Adat Dahulu, Kini Dan Akan Datang, hlm 14.
11
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, hlm.37.
8
anggota masyarakat mempunyai poola hak-hak tetapi hak ini didalam cara berikir
orang Indonesia adalah hak kemasyarakatan artinya, hak yang diberikan kepada
individu berhubungan dengan tugasnya didalam masyarakat. Jadi, pergaulan hukum
mengharapkan dari individu bahwa ia akan menjalankan kekuasaan hukunya sesuai
dengan tujuan sosial.
Asas komunal lebih mengutamakan kepentingan bersama, dimana kepentingan
pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama “satu untuk semua, dan semua untuk
satu”. Hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain
didasarkan oleh dasar kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong dan gotong
royong.
Oleh karenanya hingga sekarang kita masih melihat adanya rumah gadang di minang
kabau yang tidak terbagi secara individual melainkan menjadi milik bersama untuk
kepentingan bersama. Di pedasaan jawa jika ada tetangga menderita kesusahan atau
kematian maka para tetangga berdatangan menyampaikan bela sungkawa. Orang jawa
mengatakan “dudu sanak dudu kadang ning yen mati melu kalangan” (sanak bukan
saudara bukan jika ada yang mati turut merasakan kehilangan).12
Bahkan asas kebersamaan ini terangkat pula kerangka dalam pasal 33 ayat 1 UUD
1945. Yang mengatakan “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan”. Didalam penjelsannya dikatakan bahwa “dalam pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua
dibawah pimpinan atau penilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan buakan kemakmuran orang. Sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama, berdasarkan asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan itu ialah koperasi.13
3. Asas Kontan
Asas kontan ini mengandung arti sebagai keserta mertaan, utamanya dalam hal
pemenuhan prestasi. Sifat kontan memberi pengertian bahwa suatu tindakan berupa
perbuatan nyta, perbuatan simbolis atau penguapan akan serat merta menyelesaikan
tindakan hukum serentak dengan waktunya manakal ia melakukan perbuatan menurut
12
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi, hlm.35.
13
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi, hlm.35.
9
hukum adat. Misalnya, dalam hal perjanjian sewa menyewa dan jual beli. Setelah
terjadi kesepakatan selalu diserati dengan pembayaran panjer, pembayaran dimukan
sebagai tanda jadi (voorshot).
Pamanjer dapat berupa barang atau uang pemberian sebagai jaminan bahwa
perkawianan akan dilangsungkan. Namun pengertian pamanjer sebagai jaminan ini
tidak berarti adanya keharusan yang bersifat mengikat atas dilangsungkannya sebuah
perkawinan, hal inipun merupakan suatu ciri hukum adat, dalam aturan mengenai
perkawinan tidak mengenal bentuk paksaan langsung sebagai akibat hukum dari suatu
perbuatan.14
Perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar
mengikatnya perbuatan hukum.15
Mengandug arti bahwa dengan suatu perbuatan atau dengan suatu perbuatan simbolis
atau suat pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga
dengan serentak bersamaan waktunya tatkala membuat atau mengucapkan yang
diharuskan oleh adat. Contoh: Jual beli lepas, perkawinan jujur, melepaskan hak atas
tanah, adopsi, dan lain sebagainya.16
Asas concrete siartikan sebagai corak masyarakat hukum adat yang serba jelas atau
nyata menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dimasyarakat tidk
dilakukan secara diam diam atau samar, dengan kata lain terbuka. Transaksi yang
terjadi, misalnya perjanjian jual beli yang selalu memperlihatkan adanya perbuatan
serba nyata, yakni setiap kesepakatan selalu diinringi dengan adanya pemindahan
benada baik benda bergerak maupun tidak bergerak. Benda halnya dengan hukum
barat yang mengenal perbedaan antara benda bergera dengan benda tidak bergerak
seperti perjanjian dalam jual beli, tanggung jawab atas suatu barang yang
bersangkutan masih berada ditangan penjual.17
14
Suriyaman Mustari, Hukum Adat Dahulu, Kini Dan Akan Datang, hlm.15-16.
15
St. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm.8.
16
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, hlm.38.
17
Suriyaman Mustari, Hukum Adat Dahulu, Kini Dan Akan Datang, hlm.15.
10
Perbuatan hukum dinyatakan sah apabila dilakukan secara konkrit bentuk perbuatan
hukumnya.18
Didalam arti berfikir tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supya hal-hal yang
dimaksudkan, diinginkan, dikehendaki atau dikerjakan, ditransformasi, diberiujud
suatu benda, diberi tanda yang kelihatan baik langsung maupun hanya menyerupai
objek yang dikehendaki. Contoh: Panjer didala jual beli, atau dalam hal memindakan
hak atas tanah, paningset (pertunangan), membalas dendam terhadap yang membuat
patung, boneka, atau barang lain lalu barang itu dimusnahkan,dibakar, dipancung.19
konkrit artinya jelas, nyata, berwujud, dan visual artinya dapat dilihaat, tampak,
terbuka, tidak tersembunyi. Jadi, sifat hubungan hukum yang berlaku dalam hukum
adat itu “terang dan tunai”, tidak samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat
dan didengar orang lain dan nampak terjadi ijab kabul atau serah terimanya. Misalnya,
dlam jual beli jatuh bersama waktunya (samenval van momentum) antra pembyaran
harga dan penyerahan barangnya. Jika barang diterima pembeli, tetap harga belum
dibayar maka itu bukan jual beli, tetapi utang piutang.
Dalam perjannjian jual beli tanah, dimana pihak pembeli dan penjual sepakat tetapi
harga tanah belum dibayar dan tanah belum diserahkan penjualnya, biasanya pembeli
memberi panjer sebagai tanda jadi. Artinya sipenjual tanah tidak boleh lagi menjual
kepda orang lain. Tanda jadi atau panjer itu juga berlaku dalam hubungan perkawinan
yang disebut paningset. Apabila pihak wanita telah menerima paningset maka wanita
yang akan dikawinkan itu tidak boleh lagi dilamar dan diberikan keada orang lain.
Begitu juga ditanah hutan yang akan dibuka menjadi ladang apabila nampak sudah
ada tanda mebalih atau tanda silang di atas pohon berarti tanah itu sudah ada yang
membukanya tidak boleh lagi orang lain membuka tanah itu.20
18
St. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm.8.
19
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, hlm.38
20
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi, hlm.36.
11
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum adat tidak dapat dipisahkan dari hukum positif, dalam bentuk apapun hukum
adat dan hukum positif kadangkala berkontibusi satu sama lain. Dari sebelum masuk
agama dan sesudah masuknya agama hukum adat telah lahir jauh sebelum itu, hal-hal
yang dianggap mistis dan dikeramatkan sudah menjadi salah satu asas hukum adat.
Lahir sebagai hukum asli hukum adat sering dijadikan panutan dan patokan bagi
masyarakat yang masih kental budayanya. Asas hukum adat dikategori sebagai
tumpuan berfikir dan berpendapat mengenai adat istiadat di daerah tertentu, dan
menjadi hukum dasarnya.
Sebagian besar hukum adat berurusan dengan standar masyarakat yang telah lama
ditetapkan disuatu wilayah tertentu. Asas utama dari hukum adat yang hampir sama
sekali tidak ada dalam pendidikan hukum modern adalah, tradisi dan praktiknya,
peranan perundang-undangannya, dan lain-lain.
12
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman kuno,
zaman Pra Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut
ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia. Kemudian datang
kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur
asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai
suatu hukum adat. Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil
akulturasi antara peraturan-peraturan adat istiadat zaman pra-Hindu dengan peraturan-
peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.
Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia dan merupakan hukum yang tidak
tertulis tetapi ditaati dan dihormati oleh masyarakat di Indonesia. Menurut Dr. Sukanto
dalam buku “Meninjau hukum Adat Indonesia” mengartikan hukum adat sebagai
kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat
paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.21
Sumber hukum adat berasal dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh
dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat
yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah proses pertumbuhan hukum adat di Indonesia?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat?
3. Bagaimana sejarah perkembangan hukum adat hingga dikenal dalam ilmu
pengetahuan?
4. Bagaimana sejarah hukum adat sebagai masalah politik hukum dalam perundang-
undangan di Indonesia ?
21
Muhammad, Bushar., Asas-Asas Hukum Adat Suatu Penganta, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1988), h. 35.
13
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah hukum adat di indonesia
Hukum adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang ahli
sastra timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah hukum adat berkembang dulunya
dikenal dengan istilah Adatrecht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers
(aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat indonesia yang tidak
dikodifikasikan adalah de atjehers.
Peraturan adat istiadat kita ini merupakan adat melayu-polinesia yang sudah terdapat
pada zaman pra-Hindu yang lambat laun mengalami akulturasi antara kultur Hindu, Islam
dan Kristen yang kemudian mempengaruhi kultur asli tersebut. Saat ini menurut kenyataan
hukum adat yang hidup pada rakyat adalah merupakan peraturan-peraturan adat istiadat
yang ada pada zaman pra-Hindu dan hasil akulturasi antar agama tersebut.
Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau Inladsrecht
menurut Van Vollenhoven dijelaskan bahwa hukum adat terdiri atas dua bagian yaitu:22
1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum): merupakan bagian yang terbesar yang
bersumber pada hukum asli penduduk.
2. Hukum yang ditulis (jus scriptum): merupakan bagian kecil saja yang bersumber dari
ketentuan hukum agama.
22
Wignjodipoero, Soerojo., Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1995),
h. 25.
23
Setiady, Tolib., Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2015), h. 44-45.
14
Disamping kitab-kitab hukum kuno tersebut yang mengatur kehidupan di lingkungan
istana, ada juga kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat sebagai berikut :
1. Di Tapanuli
Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan sosial di tanah Batak), Patik Dohot Uhum Ni
Halak Batak (Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan Batak).
2. Di Jambi
Undang-Undang Jambi
3. Di Palembang
Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang tanah di dataran tinggi
daerah Palembang).
4. Di Minangkabau
Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang tentang hukum adat delik di
Minangkabau)
5. Di Sulawesi Selatan
Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang-orang
wajo)
6. Di Bali
Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa (peraturan desa) yang ditulis
didalam daun lontar.
Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa VOC
karena ada kepentingan atas negara jajahannya (menggunakan politik opportunity), maka
Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus negara-negara jajahan Belanda)
mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang memimpin daerah jajahannya masing-
masing untuk menerapkan hukum Belanda di negara jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu
pada tanggal 1 Maret 1621 yang baru dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada
pemerintahan De Carventer yang sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya
sampai pada suatu kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup.
Oleh karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga
perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu :
1. Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Serang dengan kitab hukum
“MOGHARRAR” yang mengatur khusu pidana adat (menurut Van Vollenhoven kitab
tersebut berasal dari hukum adat).
15
2. Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “COMPEDIUM”
(pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck mengenai
Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kerator Bone dan Goa.
3. COMPENDIUM FREIZER tentang peraturan hukum Islam mengenai nikah, talak, dan
warisan.
4. HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk para hakim di
Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON.
Pencatatan hukum adat oleh orang luar negeri diantaranya :
1. Robert Padtbrugge (1679), ia seorang gubernur Ternate yang mengeluarkan peraturan
tentang adat istiadat Minahasa.
2. Francois Valetijn (1666-1727) yang menerbitkan suatu ensiklopedia tentang kesulitan-
kesulitan hukum bagi masyarakat.
C. Periodesasi hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam tujuh periode yaitu
:24
1. Jaman Daendels (1808-1811)
Beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi
derajatnya lebih rendah dari hukum eropa, jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa
sehingga hukum eropa tidak akan mengalami perubahan karenanya.
2. Jaman Raffles (1811-1816)
Pada zaman ini Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk komisi MACKENZIE
atau suatu panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di
masyarakat, untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk
pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini yaitu
pada tanggal 11 Pebruari 1814 dibuat peraturan yaitu regulation for the more effectual
Administration of justice in the provincial court of Java yang isinya :
a. Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim
b. Susunan pengadilan terdiri dari :
1). Residen’s court
2). Bupati’s court
3). Division court
c. Ada juga Circuit of court atau pengadilan keliling
24
Utomo, Laksanto., Hukum Adat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016), h. 24.
16
d. Yang berlaku adalah native law dan unchain costum untuk Bupati’s court dan untuk
Residen (orang Inggris) memakai hukum Inggris.
3. Zaman Komisi Jenderal (1816-1819)
Pada zaman ini tidak ada perubahan dalam perkembangan hukum adat dan tidak
merusak tatanan yang sudah ada.
4. Zaman Van der Capellen (1824)
Pada zaman ini tidak ada perhatian hukum adat bahkan merusak tatanan yang sudah
ada.
5. Zaman Du Bush
Pada zaman ini sudah ada sedikit perhatian pada hukum adat, yang utama dalam
hukum adat ialah hukum Indonesia asli.
6. Zaman Van den Bosch
Pada zaman ini dikatakan bahwa hukum waris itu dilakukan menurut hukum Islam
serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramein dan Islam.
7. Zaman Chr. Baud.
Pada zaman ini sudah banyak perhatian pada hukum adat misalnya tentang
melindungi hak-hak ulayat.
25
Hadikusuma, Hilman., Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,.( Bandung: Mandar Maju, 1992), h. 78.
17
c. Adanya orang-orang tertentu yang dapat berhubungan dengan dunia gaib dab atau
sakti.
d. Takut adanya hukuman/ pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib. Hal ini dapat
dilihat adanya kebiasaan mengadakan siaran-siaran, sesajen di tempat-tempat yang
dianggap keramat.
Animisme yaitu percaya bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini bernyawa.
Animisme ada dua macam yaitu :
a. Fetisisme : memuja jiwa-jiwa yang ada pada alam semesta, yang mempunyai
kemampuan jauh lebih besar dari pada kemampuan manusia, seperti halilintar,
taufan, matahari, samudra, tanah, pohon besar, gua dan lain-lain.
b. Spiritisme : memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya yang baik dan yang jahat.
2. Faktor agama
Masuknya agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hukum adat misalnya:26
a. Agama Hindu :
Pada abad ke 8 masuknya orang India ke Indonesia dengan membawa agamanya,
pengaruhnya dapat dilihat di Bali. Hukum-hukum Hindu berpengaruh pada bidang
pemerintahan Raja dan pembagian kasta-kasta.
b. Agama Islam :
Pada abad ke 14 dan awal abad 15 oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Iran.
Pengarush Agama Islam terlihat dalam hukum perkawinan yaitu dalam cara
melangsungkan dan memutuskan perkawinan dan juga dalam bidang wakaf.
Pengaruh hukum perkawinan Islam didalam hukum adat di beberapa daerah di
Indonesia tidak sama kuatnya misalnya daerah Jawa dan Madura, Aceh pengaruh
agama Islam sangat kuat, namun beberapa daerah tertentu walaupun sudah diadakan
menurut hukum perkawinan Islam, tetapi tetap dilakukan upacara-upacara
perkawinan menurut hukum adat, misal di Lampung, Tapanuli.
c. Agama Kristen :
Agama Kristen dibawa oleh pedagang-pedagang Barat. Aturan-aturan hukum
Kristen di Indonesia cukup memberikan pengaruh pada hukum keluarga, hukum
perkawinan.
26
Wignjodipoero, Soerojo., Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1995),
h. 32-34.
18
agama Kristen juga telah memberikan pengaruh besar dalam bidang sosial
khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dengan didirikannya beberapa
lembaga Pendidikan dan rumah-rumah sakit.
3. Faktor kekuasaan yang lebih tinggi
Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi yang dimaksud adalah kekuasaan-kekuasaan
Raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain-lain. Tidak semua Raja-raja yang pernah
bertahta di negeri ini baik, ada juga Raja yang bertindak sewenang-wenang bahkan
tidak jarang terjadi keluarga dan lingkungan kerajaan ikut serta dalam menentukan
kebijaksanaan kerajaan misalnya penggantian kepala-kepala adat banyak diganti oleh
orang-orang yang dengan kerajaan tanpa menghiraukan adat istiadat bahkan menginjak-
injak hukum adat yang ada dan berlaku didalam masyarakat tersebut.
4. Adanya kekuasaan asing
Yaitu kekuasaan penjajahan Belanda, di mana orang-orang Belanda dengan alam
pikiran baratnya yang individualisme.27 Hal ini jelas bertentangan dengan alam pikiran
adat yang bersifat kebersamaan.
19
2. Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan penggunaan
hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraris
pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
3. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan kodifikasi lokal
untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah-daerah yang penduduknya
telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum terlaksana.
4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undangundang untuk
menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki
supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini
gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van
Idsinga.
5. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga,
mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia.
Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal.
6. Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana
baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai
rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven.
Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan
kitab undang-undang kesatuan itu tidak mungkin.
Dan dalam tahun 1927 Pemerintahan Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak
penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahu 1927 itu olitik Pemerintah Hindia Belanda
terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke
“kodifikasi”.29
29
Setiady, Tolib., Intisari Hukum Adat Indonesi,. (Bandung: Alfabeta, 2015), h. 61.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Telah dikeahui bahwa hukum adat sudah ada sejak dulu yang dikemas dengan
berbagai konsep yang pada dasarnya memiliki kesaman, yaitu memberi peraturan pada
manusia dan kegiatannya.
Peraturan yang ada memiliki berbagai ciri khas setiap daerah penggagasnya, seperti
di aceh, batak, bali, dan daerah lainnya, sehingga hal itu menjadi tanda bagi suatu daerah
bahwa daerah itu mampu membuat suatu peraturan yang sesuai dengan latar belakang
mereka.
Terjadi perubahan dan pergeseran hukum adat yang di awali berbagai peristiwa.
Peristiwa yang paling memengaruhi kedudukan hukum adat dalam pelaksanaannya, yaitu
datangnya penjajah yang memiliki kekuatan untuk menguasai berbagai wilayah dengan
mendirikan koloni di setiap wilayah itu, karena kedatangannya terstruktur dari 1 koloni
yaiu dari eropa dengan demikian penjajah tersebut sudah memiliki kesatuan hukum yang
kemudian digunakan di gunakan di nusantara sehingga kedudukan hukum adat tergeser
secara paksa karean tuntutan keadaaan tersebut.
B. Saran
Dari penyusun menyadari banyak sekali kesalahan dalam penulisan yang paling
berpengaruh mungkin dalam penyampaian materi, untuk itu kami sebagai penyusun
meminta saran dari pembaca sehingga dapat menjadi bahan evaluasi kami
21
DAFTAR PUSTAKA
Wignjodipoero, Soerojo. 1995. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: PT. Toko
Gunung Agung.
Hadikusuma, Hilman. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar
Maju.
Setiady, Tolib. 2015. Intisari Hukum Adat Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Utomo, Laksanto. 2016. Hukum Adat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad, Bushar. 1988. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Jakarta: Pradnya
Paramita.
22
PENGERTIAN PERSEKUTUAN HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pembahasan pertama dalam makalah ini kami menjelaskan apa itu
persekutuan hukum dalam hukum adat serta salah satu daerah yang terdapat istilah
persekutuan hukum (hukum masyarakat. Dalam paragraf selanjutnya kami
menuangkan beberapa pembahasan mengenai persekutuan-persekutuan menurut tata
susunannya yang dapat di kelompokan menjadi tiga yaitu : hukum teritirial ini kami
ambil dari pendapatnya Van Dijk yang membedakan menjadi tiga jenis :persekutuan
desa, persekutuan daerah, perserikatan desa. Serta dalam pengejawantahannya terdapat
daerah-daerah yang bersifat territorial yaitu : Aceh, Sumatera Selatan, Jawa dan lain-
lain.
Dalam subtema selanjutnya mengenai masyarakat hukum genealogis yang
artinya suatu kesatuan hukum yang teratur, yang para anggotanya terikat pada satu
garis garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena
berhubungan (keturunan) atau secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau
pertalian adat. Disini pula kami menjelaskan masyarakat genealogis pada masa Hindia-
Belanda yaitu terbagi menjadi tiga :bersifat patrilineal, matrilineal, dan bilateral atau
parental.
Mengenai pembahasan masyarakat territorial-genealogis kami pula
mencantumkan apa itu masyarakat territorial-genealogis serta contoh masyarakat
territorial-genealogis, serta daerah-daerah yang memiliki susunan masyarakat
territorial-genealogis. Selanjutnya kami menjelaskan apa itu masyarakat adat-
keagamaan yang artinya masyarakat hukum adat yang memiliki corak bersifat magis
religious yang tak lepas dari sesuatu yang bersifat kepercayaan karena unsur tersebut
telah melekat dalam jiwa hukum adat hukum sendiri. Masyarakat adat di perantauan
ini menjelaskan masyarakat hukum adat yang menetap atau pendatang karena
transmigrasi dari pemerintah atau inisiatif sendiri sehingga ada yang disebut dengan
kampong Jawa di Minahasa, kampong Bugis di Bandar Lampung dan lain-lain dan
masyarakat adat lainnya kami bahas dalam makalah ini. Itulah secara garis besar yang
akan kami bahas dalam makalah ini, adapun alasan kami membahas materi mengenai
persekutuan hukum adat ini yaitu untuk mengetahui system susunan persekutuan
hukum adat dan daerah yang masih menganut hukum adat sehingga tulisan ini akan
bermanfaat bagi pembaca.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan persekutuan hukum ?
2. Apa saja faktor utama dalam struktur persekutuan hukum ?
3. Daerah mana sajakah yang termasuk persekutuan hukum ?
23
BAB II
PEMBAHASAN
Ter Haar dalam bukunya beginselen en stelsel van het Adat recht, menulis
bahwa diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan
hidup di dalam golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal,
dan orang-orang yang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam
golongan dalam hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun
dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu.
Golongan manusia tersebut mempunyai harta benda, milik keduniaan dan milik gaib.
Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum. Dengan kata lain,
persekutuan hukum didefinisikan sebagai suatu kelompok/serikat yang mendiami
wilayah tertentu yang saling terhubung sebagai satu kesatuan susunan yang teratur
bersifat abadi dan memiliki pemimpin serta harta pusaka. 30
Djaren Saragih mengatakan : persekutuan hukum adat adalah sekelompok
orang-orang sebagai satu kesatuan dalam susunan yang teratur yang bersifat abadi dan
memiliki pimpinan serta kekayaan baik berwujud maupun tidak berwujud dan
mendiami alam hidup diatas wilayah tertentu.31
Menurut Hazairin hukum adat, yakni kesatuan-kesatuan masyarakat yang
mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup
berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
Mengacu pada pendapat para sarjana diatas, dapat dikatakan bahwa unsur-
unsur yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat hukum adat, yakni :
1) Kelompok manusia yang teratur dan terikat oleh kesamaan keturunan
(genealogis) atau kesamaan wilayah (teritorial).
2) Menetap di wilayah/daerah tertentu (mempunyai wilayah).
3) Mempunyai aturan hidup bersama berupa hukum adat.
4) Mempunyai penguasa/pemimpin dan kelembagaan adat.
5) Mempunyai kekayaan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
Di Minangkabau persekutuan hukum territorial berupa Nagari, merupakan pokok
pangkal tersusunnya rakyat. Sebagaimana telah dikemukakan oleh orang
30
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014, hlm. 53.
31
Bewa Ragawino, pengantar dan asas-asas hukum adat Indonesia, Bandung :Universitas, 2008, hlm.31.
24
Minangkabau mempunyai tertib bermamak-ke mamakan jadi disitu terdapat clan-clan
matrilineal dan bagian-bagian clan tersebut. 32
Famili di Minangkabau adalah salah satu contoh persekutuan hukum. Disebut
persekutuan hukum karena memiliki tata susunan yang tetap, pengurus/pemimpin,
dan harta pusaka. Famili di Minangkabau diketuai oleh seorang penghulu andiko, dan
terdiri dari beberapa bagian yang disebut “rumah” atau “jurai” dan dikepalai oleh
seorang tungganai atau mamak kepala waris. Satu jurai terdiri dari beberapa nenek
dengan anak-anaknya (laki-laki dan perempuan) serta saudara-saudaranya, laki-laki
dan perempuan. Famili ini bertindak sebagai kesatuan terhadap famili lain, terhadap
desa (nagari) dimana mereka tinggal, terhadap orang-orang asing dan pemerintah
atasan. Famili Minangkabau mempunyai harta pusaka yang diurus sebagai andiko dan
mempunyai gelar famili yang dipakai oleh orang yang mewakili famili ini dan yang
tidak boleh dipakai oleh famili-famili lain.
Keluarga Jawa tidak bersifat persekutuan hukum. Suatu keluarga Jawa
mempunyai harta benda rumah tangga yang tetap ada, meskipun kepala rumah tangga
meninggal dunia. Kepala rumah tangga atau kepala keluarga itu mempunyai otoriter
terhadap anggota keluarga (yaitu, anak-anaknya sendiri), akan tetapi keluarga Jawa
tidak bersifat tetap, keluarga ini akan bubar berhubungan anak-anak dari keluarga ini
akan membentuk keluarga-keluarga baru. Selain itu, perceraian juga membuat suatu
persekutuan keluarga dapat bubar. 33
Kampung dikota praja Jakarta, meskipun mempunyai pengurus, namun tidak
bersifat persekutuan hukum, hal ini disebabkan karena tidak adanya tata susunan yang
wajar, tidak ada ikatan batin antara para penduduk kampung. Kampung hanya
merupakan daerah administratif belaka.
Masyarakat hukum merupakan istilah yang tidak asing lagi dalam kamus
hukum adat. Konsep ini misalnya dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 3 Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) yang dimaksudkan sebagai rechtsgemeenschap.
Didalam UU HAM dan UU kehutanan, juga yang digunakan adalah istilah
masyarakat hukum. Para pakar hukum banyak menggunakan konsep “masyarakat
hukum” dengan “persekutuan hukum” sebagai sinonim, terutama untuk memberikan
nuansa yang bersifat mengikat, suatu badan, suatu tatanan kelompok yang teratur.
B. Persekutuan-Persekutuan Hukum
32
Soehardi, Pengantar Hukum adat Indonesia, Depok:Sumur Bandung, 1971, hlm.17.
33
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014, hlm. 54.
34
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014, hlm. 55.
25
Para anggota masyarakat teritorial merupakan anggota-anggota yang terkait
dalam kesatuan yang teratur baik keluar maupun kedalam. Apalagi ada anggota
pergi merantau untuk sementara waktu masih tetap merupakan anggota kesatuan
teritorial itu. Begitu pula orang yang datang dari luar dapat masuk menjadi
anggota kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat yang harus dipatuhi oleh
masyarakat tersebut.
Van Dijk, membedakan persekutuan hukum teritorial ke dalam tiga jenis, yaitu
:
1). Persekutuan desa
2). Persekutuan daerah
3). Perserikatan desa
Yang dimaksud dengan persekutuan desa adalah suatu tempat kediaman
bersama didalam daerahnya sendiri termasuk beberapa penduduk di sekitarnya,
yang tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat desa.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan persekutuan daerah adalah suatu daerah
kediaman bersama dan menguasai tanah hal ulayat bersama yang terdiri dari
beberapa dusun atau kampung dengan satu pusat pemerintahan adat bersama.
Contohnya masyarakat negeri di Minangkabau. 35
Adapun yang di maksud perserikatan desa yakni apabila diantara beberapa
desa atau marga yang terletak berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri
mengadakan perjanjian kerja sama untuk mengatur kepentingan bersama,
misalnya kepentingan dalam mengatur pemerintahan adat bersama, pertahanan
bersama, kehidupan ekonomi, pertanian, dan pemasaran bersama. Salah satu
contohnya di daerah lampung “perserikatan Marga Empat Tulangbawang” yang
terdiri dari marga-marga adat buway Bolan, Tegamo’an, Suway umpu, dan buway
Aji di Menggala.
Diberlakukannya undang-undang pemerintahan Desa No. 5 tahun 1979
(LN.1975-56), ketiga bentuk desa tersebut sudah tidak lagi bersifat formal,
melainkan berubah menjadi “desa-desa adat” yang informal. Adapun contoh
daerah-daerah yang bersifat teritorial antara lain :
1. Di daerah Aceh :dengan kekecualian daerah Gayo yang merupakan suatu desa
adalah tempat kediaman yang disebut “mukim” atau daerah yang dahulu
dipimpin oleh seorang Uleebalang. Mungkin ini merupakan kesatuan dari
beberapa gampong (kampung) dan/atau juga meunasah (lembaga Agama).
Setiap gampong dipimpin oleh kueciq sebagai kepala kampung dan imeum
(imam), atau teunguku meunasah. Kepengurusan (kepala desa) dari satu
gampong dilaksanakan oleh keuciq dan teunguku meunasah yang didampini
oleh “ureung tuha” (majelis tua-tua kampung). Untuk mengatur kehidupan
warga adat gampong digunakan hukum adat disamping hukum islam.
2. Di daerah Sumatera Selatan :yang masyarakatnya terdiri dari orang
Palembang, Ogan, Pasemah, Semando, dan Komering, yang merupakan suatu
desa adalah yang disebut “marga”, sebagai kesatuan dari beberapa dusun.
Diantara marga-marga ini adalah bergsifat teritorial namun ada juga yang agak
genealogis namun kebanyakan bersifat ketetanggaan. Kepala marga disini
disebut pasirah dengan gelar pangeran atau depati, sedangkan para kepala
35
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014, hlm. 55.
26
dusun disebut krio atau mangku atau juga prowatin. Para staf pembantu
disebut “penggawa” , “kepal suka” (tuwo suku). Dalam susunan yang sama
juga berlaku di pulau Bangka dan Belitung.
3. Di pulau Jawa: Jawa dan Madura merupakan tempat kediaman yang meliputi
beberapa pendukuhan. Dukuh yang utama tempat kedudukan kepala desa yang
disebut kerajan, sedangkan dukuh-dukuh lainnya terletak tidak begitu jauh dari
pusat desa, yang hanya diselingi oleh tanah, sawah atau peladangan. Setiap
desa dikepalai oleh kepala desa yang dijabat turun-temurun yang disebut lurah
(kuwu, bekel, petinggi) dengan staf pembantunya yang disebut carik (juru tulis
desa), kami tuwa (kepala pendukuhan), bahu, kebayan modin (urusan agama),
jogoboyo (keamanan). Menurut Ter Haar di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
kedudukan kepala desa agak otokratis. Warga desa di Jawa dapat dibedakan
antara lain mereka yang disebut kuli kencang (pribumi, sikep, baku, gogol),
yaitu keluarga-keluarga terhormat pendiri asal desa, yang mempunyai rumah
dan tanah pekarangan, sawah dan peladangan yang luas. Mereka kebanyakan
sesepuh desa dan mereka menjadi pemegang kendali pemerintah desa.
Kemudian mereka yang disebut “ kuli gsndul” (lindung, indung) yang hanya
mempunyai rumah dan pekarangan tanah serta sedikit sawah atau peladangan,
mereka merupakan tingkat kedua yang juga membantu pelaksanaan
pemerintahan desa. Dan pada tingkat ke tiga mereka yang disebut “numpang”
(nusup, tlosor) yang mencari nafkah sendiri dan/atau yang menjadi buruh
(karyawan ) bagi keluarga yang ditumpanginya.selain bidang-bidang tanah
yang dimiliki oleh keluarga-keluarga warga desa, didalam suatu desa terdapat
pula bidang-bidang tanah milik desa, seperti lapangan desa (tempat
pengembala ternak), tanah untuk keperluan ibadah, tanah pekuburan, dan
tanah-tanah bengkok yang disediakan untuk keperluan hidup bagi pamong
desa. Untuk mengatur keperluan desa, kepentingan sosial/agama sekali
sebulanatau sekali dalam 35 hari diadakan “kumpulan desa”yang dihadiri oleh
seluruh anggota pengurus desa para pejabat agama (modin, ketib, lebe, alim),
tua-tua adat dan tua-tua masyarakat desa, bertempat di pendopo rumah kepala
desa. 36
36
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014, hlm. 58.
37
Tolib Setiady, intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, Bandung :Alfabeta, 2015, hlm. 73.
27
D. Masyarakat Genealogis
38
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014, hlm. 60.
39
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014, hlm. 61.
28
Dalam perkembangannya, susunan masyarakat yang genealogis tersebut
didukung oleh ikatan kekerabatan, bukan saja pertalian darah, tetapi juga pertalian
perkawinan atau adat, terutama dikalngan masyarakat yang patrilineal dan matrilineal.
Lain halnya dikalangan masyarakat kekeluargaan yang parental, tampaknya lebih
banyak cenderung pada keakraban yang bersifat ketetanggaan daripada keakraban
yang bersifat kekerabatan.
Masyarakat Indonesia yang modern saat ini, lebih diarahkan pada bentuk
masyarakat yang territorial atas dasar kekeluargaan, namun pada kenyataan yang telah
kita lihat dikalangan masyarakat territorial, masih ada masyarakat yang bersifat
khusus territorial agamais (keagamaan), dan juga masih ada lagi masyarakat
kekaryaan lainnya dismping masyarakat yang bersifat geneologis.
E. Masyarakat teritorial-genealogis
40
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014, hlm. 62.
29
1. Didaerah Minangkabau : masyakarat minangkabau pada umumnya menganit
agama islam dan masyarakat hukumnya bersifat genealogis-matrilineal, yang
merupakan satu kesatuan keluarga kecil yang disebut “ Paruik” sebagai kesatuan
suku atau kampong sebagai tempat kediaman. Kehidupan masyarakat kekerabatan
minangkabau dipengaruhi system perhubungan “Mamak” (Saudara lelaki dalam
ibu) dan “kemanakan” , yang tersusun menurut kelompok hukum ibu sebagai
mana dikatakan oleh Ter Har mooderrechtelijke groepering.
2. Didaerah Dayak Kalimantan : Masyarakat didaerah ini, pada umumnya bersifat
geneologis-bilateral. Para warga adatnya tergabung dalam kesatuan suku atau
bagian-bagian suku yang menguasai suatu wilayah suku masing-masing, dimana
masih ada yang sifat hidupnya mengembara da nada yang sudah menyatu dan
menetap dengan bangunan-bangunan panjangan diperkampungan tertentu.
Pada dasarnya msayarakat hukum adat dengan corakanya yang bersifat magis
religius ,tak lepas dari sesuatu yang bersifat kepercayaan karena unsur tersebut telah
melekat dalam jiwa hukum adat hukum sendiri. Sehingga timbul
persekutuan/masyrakat adat keagamaan.
Diantara berbagai kesatuan masyarakat adat terdapat kesatuan masyarakat
yang khusus bersifat keagamaan di beberapa daerah tertentu. Ada kesatuan
masayrakat adat keagamaan menurut kepercayaan lama , ada kesatuan masyarakat
yang khusus beragama hindu, islam , Kristen, dan ada yang bersifat campuran .
Sebagai contoh dikalangan orang batak ,masih ada yang percaya pada
roh(begu), mereka menyebut dirinya “sepele begu”(pemuja roh). Roh roh ini memiliki
berbagai nama, misalnya:”begu na jahat” (roh yang jahat), “homang”(roh yang
hidup di hutan),”solo bean”(roh air),dan” begu antuk”(roh penyakit)
(Vergouwen,1986:81). Di batak bagian utara terdapat “persekutuan pujaan “yang
disebut “Horja”(Ter Haar, 1960: 37).begitupun dengan orang- orang daya mempunya
pandangan konsep dengan “Ilahi” tertinggi yang mendiami alam atas dan alam bawah
(J.U. Lontan, 1975 449)dan masih ada lagi daerah daerah lain dan masyarakat
penganut aliran kepercayaan itu merupakan masyarakat adat/keagamaan.
Adapun masyarakat adat adat keagamaan yang islam pengaruh ulamak lebih
berperan.sejarah agama islam masuk ke indonesia juga mempengaruhi masyarakat
adat di daerah tersebut , untuk lingkungan masyarakat yang didominasi kepercayaan
dan agama tertentu, para anggotanya selain berstatus warga kesatuan desa menurut
per undang undangan, ia juga merupakan warga adat yang tradisional dan warga
keagamaan sesuai kepercayaan masing masing contoh di daerah transmigrasi di
kabupaten lmpung tengah persisnya dikecamatan sukadana. Kecamatan ini terdiri dari
beberapa desa ada desa orang lampung, desa orang jawa dan desa orang bali.41
41
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014, hlm. 69.
30
G. Masyarakat adat di perantauan
Perpindahan anggota masyarakat adat dari daerah satu kedaerah yang lain
memberikan alsan mendasar bagi masyarakat adat untuk membentuk/membangun
sebuah perkampungan sendiri di daerah baru yang mereka tinggali. Perkumpulan
kekeluargaan yang dibentuk di daerah perantauandimaksudkan untuk memperkuat tali
persaudaraan sekampung asal dalam ikatan yang sama.
Perpindahan yang terjadi makin hari semakin banyak, baik dikarenakan
penyelenggaraan transmigrasi. Dari pemerintah maupun inisiatif sendiri karena alasan
kebutuhan hidup. Mereka datang dari daerah lainnya membentuk perkumpulan hukum
yang sama dari daerah asalnya, dan membangunnya sebagaimana adat daerah asalnya.
Sehingga ada yang disebut dengan kampong Jawa Minahasa, Kampung Bugis di
Bandar Lampung dan lain-lain. 42
Dikalangan masyarakat adat Jawa, di daerah-daerah transmigrasi, seperti
Lampung, dapat dikatakan tidak pernah terjadi pembentukan masyarakat desa adat
sendiri, disamping desa yang resmi. Masyarakat adat Jawa yang bersifat ketetanggaan
itu mudah membaur dengan penduduk setempat.
Seperti orang Aceh, Batak, Minangkabau, Lampung, Sumatera Selatan,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku yang berada di daerah perantauan cenderung
untuk memebentuk kelompok –kelompok kumpulan kekeluargaan seperti “rukun
kematian”atau bahkan membentuk sebagai “kesatuan masyarakat adat” yang
berfungsi pengganti kerapatan adat di kampong asalnya.
42
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014, hlm. 71.
31
sama, sehingga memungakinkan terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda
agama.43
43
Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014, hlm. 72.
32
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah beberapa pembahasan yang telah kami camtumkan dalam makalah ini bisa
ditarik kesimpulan bahwa persekutuan hukum adat adalah suatu kelompok /serikat yang
mendiami wilayah tertentu yang saling berhubungan sebagai satu kesatuan susunan yang
teratur bersifat abadi dan memiliki pemimpin serta harta pusaka.
Terdapat beberapa daerah yang memiliki persekutuan hukum yang mana dari
daerah-daerah tersebut berbeda antara yang satu dengan yang lain.
33
DAFTAR PUSTAKA
Pide, Suriyaman Masturi, Hukum Adat, Dulu, Kini, dan akan datang, Jakarta :Kencana, 2014.
Ragawino, Bewa, pengantar dan asas-asas hukum adat Indonesia, Bandung :Universitas, 2008.
Setiady , Tolib, intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, Bandung :Alfabeta, 2015.
Soehardi, Pengantar Hukum adat Indonesia, Depok:Sumur Bandung, 1971.
34
SIFAT-SIFAT HUKUM ADAT DAN BATAS-BATAS BERLAKUNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adalah suatu aturan atau kaidah yang terdapat dalam suatu kehidupan
bermasyarakat. Hukum memiliki sifat yang berwujud dan tidak berwujud. Hukum
yang berwujud adalah hukum tertulis yang sudah terkodifikasi dalam satu kitab,
sedangkan hukum yang tidak berwujud adalah hukum tidak tertulis seperti hukum
adat. Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang dilakukan terus menerus,
dipertahankan oleh penduduknya dan juga mempunyai sanksi. Kebiasaan adalah
cerminan kepribadian suatu bangsa.
Jadi Hukum Adat merupakan seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan
yang berlaku di suatu wilayah. Misalnya di perkampungan pedesaan terpencil yang
masih mengikuti hukum adat. Hukum adat juga berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakatnya dari zaman ke zaman, namun proses dalam
perkembangan itu berbeda-beda. Ada yang cepat dan ada pula yang lambat sesuai
dengan perkembangan masyarakat tertentu.
Sumber Hukum Adat adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh berkembang, maka hukum
adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Adapun Penegak hukum
adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar
pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup
sejahtera.
Hukum adat merupakan hukum yang dinamis, berubah sesuai zaman.
Walaupun tidak tertulis di sebuah buku aturan yang jelas, tapi setiap orang yang
mengetahui dan memahaminya akan selalu patuh di bawahnya, karena hukum adat
adalah
sesuatu yang sakral dan harus diikuti selama tidak menyimpang dari rasa keadilan.
Hukum adat yang juga merupakan peraturan adat istiadat sudah ada semenjak zaman
kuno dan zaman pra-Hindu. Hingga akhirnya masuklah kultur-kultur budaya
masyarakat luar yang cukup mempengaruhi kultur asli pada daerah tersebut. Seperti
35
datangnya kultur Hindu, kultur Islam, dan kultur Kristen, sehingga hukum adat yang
ada pada saat ini merupakan akulturasi dari berbagai kultur pendatang.
Unsur-unsur yang menjadi dasar pembentukan Hukum Adat adalah sebagai
berikut; Pertama adalah kegiatan yang sebenarnya dengan melalui penelitian-
penelitian, Kedua adalah dengan menggunakan kerangka mengenai unsur-unsur
hukum yang dapat dibedakan antara unsur idiil dan unsur riil. Unsur idiil terdiri dari
rasa susila, rasa keadilan, dan rasio manusia, rata susila merupakan suatu hasrat dalam
diri manusia untuk hidup dengan hati nurani yang bersih. Ketiga adalah dengan
mempergunakan ketiga unsur tersebut sehingga dihasilkan suatu gambaran
perbandingan yang konkret. Tapi yang akan lebih jauh dikaji ialah sistem hukum adat,
dimana suatu sistem hukum sudah hidup dan berkembang dalam kehidupan
bermasyarakat, setiap hukum merupakan suatu sistem yang peraturan-peraturannya
merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan pemikiran, begitu pula hukum
adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar pemikiran bangsa indonesia, yang
tidak sama dengan yang ada dalam sistem hukum barat. Agar kita sadar terhadap
sistem hukum adat, kita harus mengetahui dasar-dasar pemikiran yang hidup didalam
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu untuk memahami lebih lanjut, akan di bahas
masalah sistem hukum adat tersebut.
Menurut Prof. Dr. R. Soepomo, S.H dalam bukunya Bab-bab Tentang Hukum
Adat dituliskan sistem hukum adat antara lain Bahasa hukum, Pepatah adat, dan
Penyelidikan Hukum Adat. Berikut akan dijelaskan mengenai hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sifat-sifat hukum adat?
2. Batasan-batasan dalam hukum adat?
36
BAB II
PEMBAHASAN
Sifat hukum adat di Indonesia berbeda dengan hukum-hukum lainnya. Hukum adat
bersifat pragmatisme-realitisme yang artinya hukum adat mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat yang bersifat fungsional religius sehingga hukum adat memenuhi suatu fungsi
sosial/keadilan sosial. Menurut F. D. Holleman dalam bukunya yang berjudul De
Commune Trek In het Indonensicheven,mengatakan ada empat sifat umum dari
masyarakat adat, yaitu magis religius, communal, conrete, dan contain.44
1. MAGIS RELIGIUS
Hukum adat bersifat magis religius artinya hukum adat pada dasarnya berkaitan
dengan persoalan magis dan spiritualisme (kepercayaan terhadap hal-hal gaib). Sifat
ini diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada religionitas, yakni
keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral.45
Sehubungan dengan sifat magis religius ini, Dr. Kuntjara Ningrat menuliskan dalam
tesisnya bahwa alam pikiran magis religius itu mempunyai beberapa unsur, yaitu :
a. Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang
menempati seluruh alam semesta dan khusus terhadap gejala-gejala alam, tumbuh-
tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-benda lainnya.
b. Kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta
dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang
luar biasa, benda-benda yang luar biasa, dan suara-suara yang luar biasa.
c. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai “Magische
Kracht” dalam berbagai perbuatan Ilmu Ghaib untuk mencapai kemauan manusia
untuk menolak bahaya ghaib.
d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan saksi dalam alam menyebabkan keadaan
krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya ghaib yang hanya dapat
dihindari atau dihindarkan dengan berbagai macam pantangan.46
44
Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, (Jakarta: Paramedia Group,2014), hlm.
11
45
Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, (Jakarta: Paramedia Group,2014), hlm.
12
46
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 36
37
Contoh sifat religius masyarakat hukum adat yaitu dalam kegiatan seremonial
seperti perkawinan. Dalam upacara ini, dimaknai sebagai persyaratan terjadinya
peralihan dari tingkatan lama ke tingkatan baru yang bertujuan untuk menjamin
ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan. Contoh lainnya yaitu warga masyarakat
persekutuan hukum adat mempunyai hak untuk mengumpulkan hasil hutan untuk
memburu, untuk mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar. Akibat dari
perbuatan ini adalah suatu hubungan antara warga persekutuan dengan pohon,
dengan memberikan larangan yang sifatnya magis religius. Hasil pohon ini hanya
dapat diambil oleh yang berkepentingan, orang lain tidak boleh mengambilnya
dengan keyakinan akan menimbulkan peristiwa magis berbahaya bagi yang
melanggarnya.47
47
Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, (Jakarta: Paramedia Group,2014), hlm.
13-14
48
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 37
38
Perwujudan sifat komun itu, juga dapat dilihat dalam kegiatan-kegiatan rapat desa
yaitu suatu majelis yang tersusun atas berbagai golongan penduduk yang berhak hadir
dan memberi suara, musyawarah mufakat demi kepentingan bersama.49
Prof. Dr. ACHMAD SANUSI, S.H., M.P.A. menegaskan, bahwa dalam sifat komun
ini :
“Setiap orang merasa dirinya benar-benar selaku anggota masyarakat bukan sebagai
oknum yang berdiri sendiri terlepas dari imbangan-imbngan sesamanya, ia menerima
hak serta menaggung kewajiban sesuai dengan kedudukannya.
Kepentingan pribadi seseorang selalu diimbangi oleh kepentingan umum. Demikianlah
sama pula halnya dengan hak-hak pribadi seseorang selalu diimbangi oleh kepentingan
umum. Hak-hak subyektif dijalankan dengan memperhatikan fungsi sosialnya.
Ia terikat pada sesamanya, kepada Kepala Adatnya dan kepada masyarakatnya.
Lahirlah keinsyafan aka keharusan tolong menolong, gotong royong, sambat sinambat
dalam mengerjakan sesuatu kepentingan dalam masyarakat. Cara-cara bertindak dalam
hubungan-hubungan sosial ataupun hukum selalu disertai asas-asas permusyawaratan,
kerukunan, perdamaian, keputusan dan keadilan”.50
49
Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, (Jakarta: Paramedia Group,2014), hlm.
14
50
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 37
51
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 38
52
Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, (Jakarta: Paramedia Group,2014), hlm.
15
53
Laksanto Utomo, HUKUM ADAT, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2016), hlm. 8
39
Misalnya, dalam hal perjanjian sewa-menyewa dan jual beli. Setelah terjadinya
kesepakatan selalu disertai dengan pembayaran panjer, pembayaran dimuka sebagai
tanda jadi (voorschot). Sifat ini tidak hanya dikenal dalam hal jual beli, tapi juga
dikenal dalam hukum perkawinan, dengan istilah panjer, panyangcang, pangjadi, dan
paningset yang diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai
perempuan. Pamanjer tersebut dapat berupa uang pemberian atau barang-barang
sebagai jaminan bahwa perkawinan akan dilangsungkan. Namun, pengertian pamanjer
sebagai jaminan tersebut tidak berarti adanya keharusan yang bbersifat mengikat atas
dilangsungkannya suatu perkawinan. Hal ini pun adalah satu ciri hukum adat dalam
hal aturan-aturan mengenai perkawinan tidak mengenal bentuk-bentuk paksaan
langsung sebagai akibat hukum dari suatu perbuatan. Pamanjer di sini semata-mata
merupakan hasil kesepakatan yang bermakna :
a. Perkawinan dapat dilangsungkan dalam waktu dekat (segera),
b. Sekedar pembatas atau kebebasan pergaulan bagi pasangan yang akan
melangsungkan perkawinan,
c. Pemberian kesepakatan kepada kedua belah pihak untuk lebih saling
mengenal.54
Contoh nyata dari sifat kontan ini adalah jual beli lepas, perkawinan jujur, melepaskan
hak atas tanah, adopsi dan sebagainya.55
4. KONKRIT (VISUAL)
Sifat konkret ini diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata, menunjukkan
bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara
diam-diam atau samar. Transaksi-transaksi yang terjadi, misalnya, perjanjian jual beli,
selalu memperlihatkan adanya perbuatan serba nyata, yakni setiap kesepakatan selalu
diirngi dengan adanya pemindahan benda atau objek kesepakatan. Dengan kata lain,
pemindahan hak dan tanggung jawab selalu diiringi dengan pemindahan benda, baik
benda yang bergerak maupun tidak bergerak. Berbeda halnya dengan hukum barat,
yang mengenal perbedaan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak, seperti
54
Otje Salman Soemadiningrat, KONSEPTUALISASI HUKUM ADAT KONTEMPORER, (Bandung: P.T
ALUMNI,2002), hlm. 33-34
55
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 38
40
dalam perjanjian jual beli, tanggung jawab atas suatu barang telah beralih kepada
pembeli walaupun barang yang bersangkutan masih di tangan penjual.56
Konkret atau nyata atau riil diartikan sebagai perbuatan hukum yang dinyatakan sah
bila dilakukan secara konkret bentuk perbuatan hukumnya.57
Di dalam arti berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal
yang dimaksudkan, diinginkan, dikehendaki, atau akan dikerjakan, ditransformasikan,
atau diberi ujud satu benda, diberi tanda yang kelihatan baik langsung maupun hanya
menyerupai obyek yang dikehendaki.
Contohnya : panjer didalam jual beli, atau dalam hal memindahkan hak atas tanah,
membalas dendam terhadap yang membuat patung, boneka, atau barang lain lalu
barang itu dimusnahkan, dibakar, dipancung.58
Hukum adat terbatas berlaku pada lingkungan masyarakat adat tertentu, tidak ada
hukum adat yang dapat berlaku di seluruh masyarakat Indonesia. Hukum adat masih dapat
berlaku selama masyaraakat adat itu ada tetapi kekuatan berlakunya tergantung pada keadaan,
waktu dan tempat.
Hukum pidana adat dapat berlaku walaupun ia tidak tertulis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan karena sifat dan sanksi hukum serta cara penyelesaiannya sesuai dengan
perkembangan zaman dan keadaan masyarakat atau dengan kata lain hukum adat itu hukum
yang dinamis.
(1) Di minangkabau
56 56
Otje Salman Soemadiningrat, KONSEPTUALISASI HUKUM ADAT KONTEMPORER, (Bandung: P.T
ALUMNI,2002), hlm. 32-33
57
Laksanto Utomo, HUKUM ADAT, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2016), hlm. 8
58
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 38
41
Yang dimaksud ialah adat yang tidak lekang di paanas dan tak lapuk hujan, uaaitu
adaat ciptaan Tuhan Maha Pencipta. Sebagaimana dikaatakan “ikaan adatnya beradaai,
air adaatnya membasahi, pisau adatnyaa melukai”. Jadi adat yang dimaaksud adalah
perilaku alamiah, karena sudah merupakan ketetapan Tuhan yang tidak berubah, sudah
merupakan sifat perilaku yang sehrusnya demikiaan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum
adat dipengaruhi oleh ajaran keagamaan, segala sesuatunya dikuasai oleh Tuhan Yang
Maha Esa.
Adat Istiadat
Yang dimaksud adalah aadat sebagai aturan (kaidah) yang ditentukan oleh nenek
moyang (leluhur), yang di Minaangkabau dikatakan berasal daari Ninik
Katamanggungan dan Ninik Parpatih Nan sabatang di Balai Balairung Periangaan
Padang Panjang. Sebagaimana dikatakan, “Negeri Berpenghulu, Suku berbuh perut,
kampung bertuaa, rumah bertunggaanai, diasak layu dihubut mati”. Dalam hal ini adat
mengandung arti kaidah-kaidah aturan kebiasaan yang berlaku tradisional sejak zaman
Poyang asal sampai anak cucu dimasa sekarang. Aturan kebiasaan ini pada umumnya
tidak mudah berubaah.
Yang dimaksud ialah adat sebagai aturan (kaidaah) yang ditetapkan ataas dasar “bulat
mufakat” paara penghulu, tua-tua adaat, cerdik pandai, dalam majelis keraapatan
adaatatas adat “halur” dan “patut”. Ketentuan ini dapat berubah menurut keadaan tempat
dan waktu. Oleh karena lainnagari lain pandangannya tentang halur dan patut, maka sifat
adat nan diadatkan itu lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya.
Yang dimaaksud ialah kebiasaan bertingkah laku yang dupakai karena tiru-meniru
diantara anggota masyaarakat. Karena perilaku kebiasaan itu sudah terbiasa dipakai,
maka dirasakan tidak baik ditinggalkan. Misalnya di kalangan orang Minangkabau
sudaah teradat apabila adaa kaum kerabat yang emninggal atau menyambut tamu agung,
mereka berdatangan dengan berpakaian berwarna hitam (perhatikan A. Dr. Batuah – A.
Dt. Madjoindo 1956: 110-111).
(2). Di Bugis
42
Di Bugis juga adat berarti hukum adat, disebut dengan istilah ade’ atau ada’. Antara
lain misalnya sebagimana diuraikan dalam Lontara’ Sukku’na wajo (Andi zainal Abidin,
1983: 125-131), sebagai berikut:
Yang dimaksud ialah adat yang sudah tetap yang tidak boleh diubah, karena sudah
disepakati bersama oleh raja dan rakyat untuk dilaksanakan dan ditaati yang telah
dipersaksikan ke hadapan Dewata yang maha Esa. Aapabila ketentuan tersebut diubah
atau dibatalkan maka negeri akan rusak, karena menyalahi sesuatu yang sudah betuk dan
menyingkirkan kejujuran.
Ade’ assituruseng
Yang dimaksud ialah adat yang ditetaapkan atas persetujuan antara raja dan rakyat,
yang dapat berubah apabila dalam pelaksanaannya masih bercacat atau karena tidak
dapat dilakukan dengan musyawaroh dan mufakat.
Yang dimaksud ialah adat yang berlaku bagi raja dan para bangsawan, yang berasal
dari ade’ assituruseng, karena dianggap tidak ada lagi cacatnya maka dilaksanakan raja
dan bangsa-bangsa. Misalnya kalau raja akan mengadakan peralatan (upacara) atau akan
membangun rumah, maka raja harus memotong kerbau dan mengumpulkan seluruh
rakyat untuk membantunya dan menyediakan makan dan minum bagi rakyat yang
membantu daan berkumpul itu.
Yang dimaksud ialah adat yang berlakubagi seluruh rakyat atas dasar persetujuan
bersaama yang tidak bercacat lgi dan harus dilaksanakan seterusnya oleh rakyat.
Yang dimaksud ialah adat yang lahir dari tua-tua desa yang intinya dikatakan: “Lluka
taroCatu telluka taro Ade’ telluka taro Anang, lluka taro anang telluka tero ta ma ega
(Batal ketetapan Raja tak batal ketetapan Dewan Pemangku Adat tidak batal ketetapan
Tua-tua Adat, Batal ketetapan tua-tua Adat tak batal ketetapan orang banyak). Jadi,
keputusan rakyat berarti keputusan yang lain.
43
Apa yang diuraikan di atas tadi adalah pengertian hukum adat dikalangan masyarakat
adat yang semata-mata bersifat normative, menurut aturan-aturan yang harus
dilaksanakan dan berlaku pada zamannya. Lain halnya dengan pengertian hukum adat
yang sifatnya ilmiah, sejak hukum adat ini menjadi ilmu pengetahuan yang disistematisir
oleh van Vollenhoven.
Kedudukan Hukum adat di kemudian hari oleh Prof. Dr. SOEPOMO, S.H., di
dalam Dies Natalis UNGAMA Yogyakarta pada tanggal 17 Maret 1947 menegaskan
sebagai berikut :
1). Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan
menguasai masyarakat Indonesia
2). Bahwa hukum pidana dari suatu negara wajib sesuai dengan corak dan
sifat-sifat bangsanya atau masyarakatnya itu sendiri. Oleh karena itu hukum adat
pidana akan memberi bahan-bahan yang sangat berharga dalam pembentukan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru untuk negara kita.
3).Baahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap
menjadi sumber hukum baru daalam hal-hal yang belum (tidak) ditetapkan oleh
Undang-Undang.
44
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum adat bersifat pragmatisme-realitisme yang artinya hukum adat mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius sehingga hukum
adat memenuhi suatu fungsi sosial/keadilan sosial. Terdapat 4 golongan yaitu : magis
religius, communal, conrete, dan contain. Hukum adat terbatas berlaku pada
lingkungan masyarakat adat tertentu, tidak ada hukum adat yang dapat berlaku di
seluruh masyarakat Indonesia. Hukum adat masih dapat berlaku selama masyaraakat
adat itu ada tetapi kekuatan berlakunya tergantung pada keadaan, waktu dan tempat.
45
PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR HUKUM ADAT
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hukum adat ?
2. Bagaimana pengertian adat menurut para ahli ?
3. Apa saja unsur-unsur dari hukum adat itu sendiri?
46
BAB II
PEMBAHASAN
59
Hilman Hadi Kusuma, Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 8.
47
Kemudian istilah itu dicatat oleh Snouck Hurgronje ketika ia melakukan
penelitian di Aceh (1891-1892) dengan istilah Belanda “Adatrecht” untuk
membedakan anatara kebiasaan atau pendirian dengan adat yang mempunyai
sanksi hukum. Sejak waktu itu maka istilah “Adatrecht” yang kemudian
diterjemahkan sebagai hukum adat menjadi terkenal, terutama sejak ia dirubah
oleh Van Vollenhen sehingga menjadi ilmu pengetahuan Hukum adat.
Dengan demikian yang dimaksud “Hukum Adat” adalah adat yang
mempunyai sanksi, sedangkan istilah adat yang tidak mengandung sanksi adalah
kebiasaan yang normatifyaitu kebiasaan yang berwujud aturan tingkah laku yang
berlaku di dalam masyarakat. Pada kenyataanya antara hukum adat dan hukum
kebiasaan itu batasnya tidak jelas.60
1. Pengertian di Dalam Masyarakat Daerah
Pada umumnya dikalangan masyarakat daerah yang tidak mempelajari hukum
adat sebagai ilmu pengetahuan, dalam pembicaraan sehari-hari ataupun juga
didalam kerapatan-kerapatan adat, orang tidak membedakan antara adat dan
hukum adat. Antara kedua istilah itu diartikan sama saja dan istilah yang banyak
digunakan hanya kata adat dan bukan hukum adat. Di Minangkabau dan Bugis
dipakai istilah-istilah adat sebagai berikut ini:61
a. Di Minangkabau
1. Adat yang sebenarnya adat yang sebenarnya dimaksud ialah adat yang
tidak lekang dipanas maupun tak lupuk dihujan yaitu adat ciptaan Tuhan
Maha Pencipta. Sebagaimana dikatakan “ ikan adatnya beradai, air adatnya
membahasi, pisau adatnya melukai”. Jadi adat yang dimaksud adalah
perilaku alamiah, karena sudah merupakan ketetapan Tuhan yang tidak
berubah, sudah merupakan sifat perilaku yang seharusnya terjadi. Hal ini
menunjukkan bahwa hukum adat dipengaruhi oleh ajaran agama yang
segala sesuatunya dikuasai oleh Tuhan yang Maha Esa.
2. Adat istiadat yaitu adat sebagai aturan yang ditentukan oleh nenek moyang
atau leluhur, yang di Minangkabau dikatakan berasal dari Ninik
Katamanggungan dan Ninik Parpatih Nan Sabatang di Balairung
Periangan Padang Panjang. Sebagaimana dikatakan, “Negeri berpenghulu,
60
Laksanto Utomo, Hukum Adat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm. 4.
61
Hilman Hadi Kusuma, Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 10.
48
suka berbuah perut, kampung bertua, Rumah bertungganai, diasak layu
dihubut mati”. Dalam hal ini ada mengandung arti kaidah-kaidah aturan
kebiasaan yang berlaku tradisiaonal sejak zaman poyang asal sampai ke
anak cucu dimasa sekarang. Aturan kebiasaan ini pada umumnya tidak
mudah berubah.
3. Adat nan diadatkan yaitu adat sebagai aturan atau kaidah yang ditetapkan
atas dasar “mufakat” para penghulu, tua-tua adat, cerdik pandai, dalam
majelis kerapatan adat atas adat “halur” dan “patut”. Ketentuan ini dapat
berubah menurut keadaan tempat dan waktu.
4. Adat nan teradat yaitu kebiasaan atau tingkah laku yang dipakai karena
tiru meniru diantara anggota masyarakat. Karena perilaku kebiasaan itu
sudah terbiasa dipakai, maka dirasakan tidak baik ditinggalkan. Misalnya
dikalangan orang Minangkabau yang sudah teradat, apabila ada kaum
kerabat yang meninggal atau untuk menyambut tamu agung, mereka
berdatangan denga berpakaian berwarna hitam.
b. Di Bugis
Ditanah Bugis juga adat berarti termasuk hukum adat, disebut
denganistilah ade’atau ada’. Antara lain misalnya sebagaimana diuraikan
dalam Lontara’ Sukku’na Wajo, sebagai berikut :
1. Ade’ Pura Ouro yaitu adat yang sudah tetap yang tidak boleh dirubah,
karena sudah disepakati bersama oleh raja dan rakyat untuk dilaksanakan
dan ditaati yang telah dipersaksikan kehadapan Dewata Yang Maha Esa.
Apabila ketentuan dirubah atau dibatalkan maka negeri rusak.
2. Ade’ Assturuseng yaitu adat yang ditetapkan atas persetujuan antara raja
dan rakyat yang dapat berubah apabila dalam pelaksanaannya masih
bercacat atau karena tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Perubahannya dapat dilakukan dengan musyawarah dan mufakat.
3. Ade’ Maraja ri Arunggo yaitu adat yang berlaku bagi raja dan para
bangsawan, yang berasal dari Ade’ Assituruseng, karena dianggap tidak
ada lagi cacatnya maka dilaksanakan raja dan bangsa-bangsa misalnya
jika raja akan mengadakan peralatan (Upacara) atau akan membangun
rumah, maka raja harus memotong kerbau dan mengumpulkan seluruh
rakyat untuk membantunya dan menyediakan makan dan minum bagi
rakyat yang membantu dan berkumpul itu.
49
4. Ade’ Abiasang ri Wanue yaitu adat yang berlaku bagi seluruh rakyat atas
dasar persetujuan bersama yang tidak bercacat lagi dan harus dilaksanakan
seterusnya oleh rakyat.
5. Ade’ Taro Anang yaitu adat yang lahir dari tua-tua desa yang intinya
dikatakan :”Lluka taro Datu Telluka taro Ade’, lluka taro Ade’ telluka taro
Anang, lluka taro anang telluka taro ta ma ega”( batal ketetapan raja tak
batal ketetapan dewa pemangku adat, batalm ketetaan dewa pemangku
adat tidak batal ketetapan tua-tua adat, batal ketetapan tua-tua adat tak
batal ketetapan orang banyak). Jadi keputusan rakyat berarti diatas
keputusan yang lain.
2. Pengertian Sarjana Barat
1. Prof. Dr. C. Vollenhoven
Sebagai orang pertama yang telah menjadikanhukum adat sebagai ilmu
pengetahuan, sehingga hukum adat menjadi sejajar dengan hukum dan ilmu
hukum yang lain menyatakan, antara lain sebagai berikut:
a) Perbedaan antara Ilmu hukum barat dengan Ilmu adat .
Dalam ilmu hukum barat banyak terdapat lembaga hukum (
rechtinstellingen) dan kaidah kaidah hukum (rechtsregels) yang tidak
berdasarkan atau tidak ada kaitannya dengan faktor religio dalam hukum.
Tetapi dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah
hukum yang berhubungan dengan dunia diluar dan diatas kemampuan
manusia.
b) Pengertian tentang Hukum Adat
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-
peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia-Belanda dahulu. Aturan-
aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang
timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksidan dilain pihak tidak
dikodifikasi. 62
c) Untuk mengerti tentang hukum adat
Bahwa dalam hal ini orang seharusnya tidak menggunakan teori tetapi
harus dilihat pada kenyataan.
d) Jangan hanya mengekor hukum barat
62
Hilman Hadi Kusuma, Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 13.
50
Janganlah hanya mengekor saja pada hukum dan ilmu hukum di negeri
Belanda, agar sesuai dengan tanah air dan bangsa Indonesia.
e) Hukum adat harus dipertahankan jika kenyataannya masih hidup
Jikalau dari atas telah diputuskan untuk mempertahankan hukum adat
padahal hukum itu sudah mati, maka peraturan-peraturan itu sia-sia belaka.
Sebaliknya andaikan dari atas duputuskan bahwa hukum adat itu harus
digant, padahal disusun-susun, di desa-desa dan di pasar-pasar, hukum
adat ini masih kokoh dan kuat, maka hakim akan sia-sia belaka.
2. Prof. Dr. B. Teer Haar Bzn
Dalam melanjutkan usaha van vollenhoven membina ilmu hukum adat
mengemukakan pendapatnya pendapatnya sebagai berikut:
a. Pengertian hukum Adat
Adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan
para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan
serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya serta-
merta dan ditaati dengan sepenuh hati
b. Kapankah adat menjadi hukum adat
Tidak ada sesuatu alasan untuk menyatakan sesuatu itu dengan sebutan
hukum tanpa adanya keputusan tentang hukum oleh para petugas hukum
masyarakat, demikiandikatakan orang inggris, Gray yang menurut
pendapat saya, demikian pula halnya dalam kita mencari jawaban atas
pertanyaan secara teoretis tentang hukum adat yang berlaku terhadap adat
dan kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis.
3. Prof. Mr. F. D. Holleman
Holleman juga pernah berada di indonesia, tentang pengertian hukum
adat sependapat dengan van vollenhoven dan menyatakan sebagai berikut:
Hukum itu tidak tergantung pada keputusan:
“Bahwa norma-norma hukum adalah norma-norma hidup yang disertai dengan
sanksi dan yang jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan badan
yang bersangkutan agar ditaati dan dihormati oleh para warga masyarakata.
Tidak merupakan masalah apakah terdapat norma-norma itu telah ada atau
tidak adanya keputusan petugas hukum”.63
63
Hilman Hadi Kusuma, Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 15.
51
4. Prof. Dr. J. H. A. Logeman
Ia mengatakan antara lain sebagai berikut:
“Norma-norma yang hidup itu adalah norma-norma kehidupan bersama, yang
merupakan aturan-aturan perilaku yang harus diikuti oleh semua warga dalam
pergaulan hidup bersama. Jika ternyata bahwa ada sesuatu norma yang
berlaku, maka norma itu tentu mempunyai sanksi, ialah berupa sanksi apapun
dari yang sangat ringan sampai yang sangat berat. Orang dapat menganggap
bahwa semua norma yang ada sanksi itu kesemuanya adalah norma hukum. Ia
tidak sependapat bahwa adat itu baru merupakan hukum adat, apabila telah
dimasukkan kedalam keputusan hakim. Walaupun keputusan hakim itu
merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan mana yang
merupakan hukum adat dan mana yang adat saja.”
5. E. Adamson. Hoebel
Ia berpendapat bahwasannya :”Tidak semua kebiasaan itu bersifat
hukum, diantara ciri apakah kebiasaan itu bersifat hukum ialah adanya sanksi
sosial baik yang bersifat positif (pengukuhan) maupun negatif (ancaman).
Sanksi yang bersifat positif miisalnya berupa pujian kehormatan. Tanda jasa,
medali, piagam, dst. Sedangkan sanksi yang bersifat negatif misalnya seperti
alis naik, bibir keriting, ejek cela, dst.
6. L. Pospisil.
Untuk membedakan adat dan hukum adat mengemukakan sebagaoi berikut:
Empat ciri hukum :
a. Attribute of authority
Ciri otoritas (kekuasaan), menentukan bahwa aktivitas budaya yang
dinamakan hukum itu adalah keputusan-keputusan melalui suatu
mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam masyarakat.
b. Attribute of intetion of universal application
Ciri kelanggengan berlaku, keputusan penguasa itu mempunyai waktu
panjang berlakunya terhadap berbagai peristiwa yang sama dimasa akan
datang.
c. Attribute of obligation
Ciri hak dan kewajiban, bahwa keputusan penguasa itu mengandung hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang satu dengan pihak
yang lain yang masih hidup.
52
d. Attribute of sanction
Ciri penguat, bahwa keputusan itu harus mempunyai sanksi dalam arti
seluas-luasnya, baik berupa sanksi jasmaniah seperti hukuman badan,
deprivasi hak milik, maupun sanksi rohaniah, seperti rasa takut, rasa malu,
rasa benci, dan lainnya.
3. Pengertian Sarjana Indonesia
1) Prof. Dr. R. Soepomo
Pengertiannya tentang hukum adat antara lain sebagai berikut :
a. Hukum Non-Statutair
Hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah
hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. Hukum adat itu pun
melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang
berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara.
Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelma perasaan
hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum
adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup
itu sendiri.
b. Hukum adat tidak tertulis
Hukum adat yang tidak tertulis menurut Soepomo ialah hukum yang
hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara, hukum yang timbul
karena putussan-putusan hakim, hukum yang hidup sebagai peraturan
kebiasaan yang dipertahankan didalam pergaulan hidup baik di kota-kota
maupun didesa-desa. Hukum adat tidak tertulis meliputi peraturan
legislatif yang tidak tertulis (unstatutory law), yang hidup di dalam hukum
kenegaraan (konvensi), keputusan-keputusan hakim (judge made law),
hukum kebiasaan (customary law), termasuk pula tentunya aturan-aturan
pedesaan dan aturan aturan keagamaan.
2) Prof. Dr. Soekanto
a. Dilihat dari mata seorang ahli hukum yang memegang teguh kitab
Undang-Undang (wetboek jurist) memang “hukum keseluruhannya di
Indonesia tidak teratur, tidak sempurna, tidak tegas” akan tetapi, apabila
mereka sungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya mengenai
hukum adat, tidak hanya dengan pikiran tetapi dengan penuh perasaan
pula, merekaa melihat suatu sumber yang mengagumkan, adat istiadat
53
dahulu dan sekarang, adat istiadat yang hidup, adat istiadat yang dapat
berkembang, adat istiadat yang berirama.
b. Jika dilihat dari peraturan peraturan yang bersanksi, kaidah-kaidah yang
apabila dilanggar ada akibat-akibatnyadan mereka yang melanggar dapat
dituntut dan kemudian dihukum.
3) Prof. DR. Mr. Hazairin.
Menurut Hazairin, hukum adat adalah perhubungan dan persesuaian
yang langsung antara hukum dan kesusilaan . Adat adalah renapan kesusilaan
dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaisah-kaidah
kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam
masyarakat itu. Jadi Hazairin mengaitkan antara kesusilaan dan hukum,
sehingga menurut ia dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat
bagi sesuatu yang tidak selaras atau ayng bertentangan dengan kesusilaan. 64
4) Prof. Mr. M.M. Djojodigoeno
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-
peraturan. Pokok pangkal hukum adat adalah ugeran-ugeran dan timbul
langsung sebagai pernyataan rasa keadilannya dalam hubungan pamrih.
5) Kusumadi Pudjosewojo, SH
Hukum adat adalah adat yang telah mendapatkan sifat hukum melalui
penetapan yang dikeluarkan oleh para petugas hukum baik didalam maupun
diluar sengketa.
B. Unsur-unsur Hukum Adat
Van Vallenhoven memisahkan adat, dan hukum adat (yaitu, “adat” yang tanpa
akibat hukum) dan “hukum adat” (yaitu, adat yang mempunyai akibat hukum).
Hukum adat (adat Recht) kemudian didefinisikannya sebagai :Datsamentsel van voor
inlanders en vreemde oosterlingen geldende gedragregels, die enerzijds sunctie
hebben (daarom recht) en anderzidjs oin ongecodificerden staat verkereen (daarom
adat). Adat recht adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi
bumiputera dan orang timur asing, yang mempunyai upaya pemaksa, lagipula tidak
dikodifikasikan.
64
Laksanto Utomo, Hukum Adat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm. 3.
54
Dengan demikian kita dapat membedakan dua ciri hukum adat, yaitu adat yang
bersanksi dan yang tidak dikodifikasikan. Dalam kaitan ini, Soepomo (1983: 25-26)
membedakan antara sistem hukum adat dari sistem hukum Barat. Secara tersirat ciri-
ciri hukum adat didalamnya dikaitkan, sebaga berikut:
Hukum barat mengenal Zakelijke rectan (yaitu hak atas suatu barang yang
berlaku terhadap setiap orang) dan persoonalijke recten yaitu hak yang
bersifat peroranan terhadap suatu objek. Sedangkan hukum adat tidak
mengenal pembagian kedalam dua jenis hak ini. Hukum Barat membedakan
antara publiek recht dan privatrecht, sedangkan perbedaan demikian tidak
dikenal dalam hukum adat. Jika diadakan perbedaan seperti itu, maka batas-
batas kedua lapangan hukum itupun berbeda pada kedua sistem itu.
Pelanggaran hukum dalam sistem hukum Barat dibedakan atas yang bersifat
pidana dan pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan
perdata sehingga masing-masing harus ditangani oleh hakim yang berbeda
pula, setiap pelanggaran hukum adat mememrlukan pembetulan hukum
dengan adat reaksi yang ditetapkan oleh hakim (kepala adat).
Sistem hukum adat inilah yang berlaku diseluruh Nusantara sejak orang-orang
belanda ebelum dan sesudah menginjakkan kakinya di Nusantara. Sebagai sistem,
meskipun berbeda, dengan sistem hukum Barat sebagaimana perbedaan yang
diungkapkan oleh Soepomo di atas, hukum adat juga mempunyai aspek-aspek hukum
perdata, pidana, tata negara, bahkan hukum internasional. Sebagai suatu sistem,
hukumadat mempunyai asas-asas yang sama, tetapi mempunyai perbedaan corak
hukum yang bersifat lokal.
Mengacu pada adanya perbedaan corak antara hukum adat dan hukum barat, Van
Vallenhoven membagi lingkungan hukum adat atas 19, dan setiap lingkungan hukum
adat diperinci lagi atas beberapa bagian yang disebut dengan hukum (rechtgouwen).
Pembagian lingkungan hukum adat ini diperlukan sebagai petunjuk arah agar hukum
adat diseluruh Indonesia dapat dipahami dan ditaati dengan baik. Dalam kalimat Van
Vallenhoven sendiri, pernyataan ini dikemukakan sebagai berikut.
“Spreekt het dus vanzelf date en richtiage aanwijzing van de verschil lende
rechtkringen eerst geschieden kan als het adat recht overall in indie goed getaxeerd
55
zal zijn, voorshand schijnt een indeeling in negentien zulke kringen zich aan te
bevelen.”
Menurut Vallenhoven , pada masa Verevigde Oost Indische Comagnie (VOC) yang
didirikan di negeri Belanda (20 Maret 1602) dengan hak oktroi, hubungan hukum
dengan orang-orang di Nusantara tetapi menggunkan hukum adat.
Dari beberapa batasan yang telah dikemukakan menegnai hukum adat diatas, maka unsur-
unsur hukum adat dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Adanya masyarakat
2. Terdapat keputusan kepala adat
3. Adanya aturan
4. Ketika wilayah masih ada
Menurut Soerodjo Wignjodipoero, S.H. hukum adat memiliki 2 unsur, yakni:
1. Unsur kenyataan : bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan
oleh rakyat
2. Unsur Psikologis : bahwa terdapat keyakinan pada rakyat bahwa adat
dimaksud memiliki kekuatan hukum.
65
Pide, Suriyaman Mustari, Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan datang. Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 8.
56
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. “Hukum Adat” adalah adat yang mempunyai sanksi, sedangkan istilah adat yang
tidak mengandung sanksi adalah kebiasaan yang normatif yaitu kebiasaan yang
berwujud aturan tingkah laku yang berlaku di dalam masyarakat.
2. Hukum Adat memiliki definisi yang variatif. Mulai dari versi masyarakat daerah,
sarjana barat, hingga sarjana di Indonesia pada umumnya.
3. Unsur-unsur hukum adat, diantaranya adalah adanya masyarakat, terdapat
keputusan kepala adat, adanya aturan, dan ketika wilayah masih ada.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, tentunya penulis masih memiliki banyak
kekurangan dalam pembuatan makalah ini baik dari isi maupun sistematika penulisan.
Tidak ada gading yang tidak retak, saran yang membangun sangat penulis butuhkan
untuk perbaikan penulis dalam menyelesaikan tugas-tugas dengan lebih baik lagi
untuk kedepannya.
57
DAFTAR PUSTAKA
Kusuma, Hilman Hadi. 2014. Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju
Mustari, Pide Suriyaman. 2014. Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang. Jakarta:
Kencana
Utomo, Laksanto. 2016. Hukum Adat. Jakarta: PT. Raja Grafindo
58
PENGERTIAN DAN SIFAT ATAU CORAK HUKUM WARIS ADAT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat
yang tidak berbentuk peraturan perundangan yang tidak dibentuk oleh penguasa
pemerintahan. Salah satu dari hukum adat adalah dalam hal mawaris. Hukum Adat
waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang mengatur proses meneruskan serta
meng-over-kan barang-barang, harta benda, dan barang-barang yang tidak terwujud
benda (immaterielle goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya. (proses itu telah dimulai dalam waktu orang tua masih hidup. Hukum
adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat
kekerabatannya yang berbeda. Dalam sistem kewarisan di Indonesia terdapat tiga
sistem, yaitu sistem kewarisan, harta warisan, pewaris dan warisan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hukum waris adat?
2. Bagaimana sifat dari hukum waris adat?
3. Bagaimana corak dari hokum waris adat?
4. Bagaimana sistem kewarisan adat di indonesia?
59
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian.
Hukum waris adat adalah salah satu aspek hukum dalam lingkup permasalahan
Hukum Adat yang meliputi norma-norma yang menetapkan harta kekayaan baik yang
materiil maupun yang immaterial, yang mana dari seorang tertentu dapat diserahkan kepada
keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur SAAT, CARA dan PROSES peralihan dari
harta dimaksud.66
Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang cara
bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud
dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Dengan demikian hukum waris itu
mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris
yang meninggalkan harta kekayaan, dan adanya ahli waris yang akan menerima bagiannya. 67
“Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
meng-over-kan barang-barang yang tidak terwujud benda (immaterielle goederen) dari
suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya”. (proses itu telah dimulai dalam
waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akut” oleh sebab orang tua
meninggal dunia.)
Menurut Prof. Mr. Barend Ter Haar B.Zn., dalam bukunya BEGISELEN EN
STELSEL VAN HET ADATRECHT merumuskan Hukum Adat Waris sebagai berikut.
“Hukum Adat Waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses
yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan peng-over-
an kekayaan materiil dan immateriil dari suatu generasi kepada generasi berikutya”.68
66
Tolib Setiadi. Intisari hukum adat indonesia dalam kajian perpustakaan. CV. Alfabeta. Bandung. 2015. hlm.
260.
67
Hilman Hadikusuma. Pengantar ilmu hukum adat indonesia. CV. Mandar Maju. Bandung. 2014. Hlm. 203.
68
Tolib Setiadi. Intisari hukum adat indonesia dalam kajian perpustakaan. CV. Alfabeta. Bandung. 2015. hlm.
260.
60
Seseorang peninggal warisan yang pada waktu wafatnya meninggalkan
warisan,
Seseorang atau beberapa orang para ahli waris yang berhak menerima
kekayaan yang ditinggalkan,
Harta warisan atau harta peninggalan yaiti “kekayaan in concreto” yang
ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris.
b. Masing-masing unsur ini pada pelaksanaan proses penerusan serta peng-over-an
kepada yang berhak menerima harta kekayaan itu selalu menimbulkan persoalan
seperti:
Unsur pertama
Menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai sejauh mana hubungan
seseorang peninggal warisan dengan kekayaan dipengaruhi oleh sifat
lingkungan kekeluargaan antara si peninggal warisan itu berada,
Unsur kedua
Menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai sejauh mana harus adanya tali
kekeluargaan antara si peninggal warisan dan ahli waris,
Unsur ketiga
Menimbulkan persoalan bagaimana serta sampai sejauh mana wujud
kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan
dimana si peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada.
c. Proses perwarisan
Proses penerusan atau peng-over-an harta kekayaan pada masa pemiliknya
masih hidup (semasa hidup) yang lazimnya disebut PENGHIBAHAN
Proses penerusan atau peng-over-an harta kekayaan pada waktu sesudah
pemiliknya meninggal dunia yang disebut WARISAN69
Hukum adat waris menunjukan corak-corak yang khas dari aliran pikiran tradisional
indonesia. Hukum adat waris bersendi atas prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran
kommunal serta konkrit bangsa indonesia.
69
Tolib Setiadi. Intisari hukum adat indonesia dalam kajian perpustakaan. CV. Alfabeta. Bandung. 2015. hlm.
260-261.
61
Oleh karena itu maka hukum adat waris memperlihatkan perbedaan yang prinsipal
dengan hukum waris barat seperti yang tersebut di dalam KUHPer (BW), antara lain
adalah sebagai berikut:70
Sedangkan kalau kita adakan perbandingan dengan hukum waris menurut islam maka
diketemukan perbedaan prinsip yang antara lain terlihat dalam sebagai berikut dibawah
ini:
70
Tolib Setiadi. Intisari hukum adat indonesia dalam kajian perpustakaan. CV. Alfabeta. Bandung. 2015. hlm.
263.
62
HUKUM ADAT HUKUM BARAT (BW) (KUHPT)
1. Harta peninggalan dapat bersifat 1. Tiap ahli waris dapat menuntut
tidak dapat dibagi-bagi atau pembagian harta peninggalan
pelaksanaan pembagiannya ditunda tersebut sewaktu-waktu.
untuk waktu yang cukup lama atau 2. Tidak dikenal ketentuan ini,
hanya sebagian yang dibagi-bagi. 3. Tidak dikenal
2. Memberi pada anak angkat, hak 4. Bagian-bagian para ahli waris telah
nafkah dari harta peninggalan orang ditentukan; pembagian harta
tua angkatannya. peninggalan menurut ketentuan
3. Dikenal system “penggantian tersebut.
waris”. 5. Hanya menjamin kepada anak
4. Pembagiannya merupakan tindakan perempuan mendapatkan bagian
bersama, berjalan secara rukun yang pasti dari harta peninggalan
dalam suasana ramah tamah dengan orang tuannya.
memperhatikan keadaan khusus tiap 6. Merupakan satu kesatuan harta
waris, warisan.71
5. Anak perempuan, khususnya di
Jawa apabila tidak ada anak laki-
laki dapat menutup hak mendapat
bagian harta peninggalan kakek
neneknya dan saudara-saudara
orang tuanya,
6. Harta peninggalan tidak merupakan
satu kesatuan harta warisan
melainkan wajib diperhatikan
sifat/macam, asal dan kedudukan
dari pada barang-barang masing-
masing yang terdapat dalam harta
peninggalan itu.
71
Tolib Setiadi. Intisari hukum adat indonesia dalam kajian perpustakaan. CV. Alfabeta. Bandung. 2015. hlm.
264.
63
C. Corak hokum waris adat
Hibah Wasiat (Wasiat) (Uiterste Wils De S.Hikking) merupakan juga suatu
jalan bagi pemilik harta kekayaan untuk semasa hidupnya, menyatakan keinginannya
yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang baru
akan berlaku setelah ia meninggal dunia.
Mengenai corak pewarisan atau penghibahan,
Menurut Prof. Dr. Soepomo, S.H., dinyatakan bahwa seperti juga pewarisan atau
penghiuibagan mempunyai dua corak yaitu:
a. Mereka yang menerima barang-barang harta itu adalah ahli waris yaitu istri
dan anak. Oleh sebab itu pewarisan atau hibah wasiat hanya merupakan
perpindahan harta benda di dalam ali waris.
b. Orang tua yang mewariskan itu, meskipun teriukat oleh peraturan bahwa
segala anak harus mendapatkan bagian yang layak, hingga tidak diperbolehkan
melenyapkan hak waris suatu anak, adalah bebas di dalam menetapkan
barang-barang manakah yang akan diterima pada anak A dan barang-barang
mana pada anak B atau kepada istri.72
D. Sistem Hukum Waris Adat
Di Indonesia kita menjumpai tiga macam system kewarisan dalam Hukum Adat
sebagai berikut.
1. Sistem Kewarisan Individual
Cirinya adalah bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan diantara para
ahli waris seperti halnya pada MASYARAKAT BILATERAL (di JAWA,
BATAK, SULAWESI dan lainnya).
2. Sistem Kewarisan Kolektif
Cirinya adalah bahwa harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli
waris yang bersama-saman merupakan semacam Badan Hukum, dimana harta
tersebut disebut sebagai HARTA PUSAKA tidak boleh dibagi-bagikan
pemakaiannya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja)
seperti di dalam MASYARAKAT MATRILINEAL (Minangkabau)
3. Sistem Kewarisan Mayorat
Ciri lain dari kewarisan mayorat adalah bahwa harta peninggalan diwariskan
kesuluruhannya atau sebagai besar (sejumlah harta pokok dari suatu keluarga)
72
Tolib Setiadi. Intisari hukum adat indonesia dalam kajian perpustakaan. CV. Alfabeta. Bandung. 2015. hlm.
269.
64
oleh seorang anak saja, seperti halnya di BALI dimana terdapat HAK
MAYORAT ANAK LAKI-LAKI YANG TERTUA dan di TANAH
SAMEDO (Sumatera Selatan/Lampung) dimana terdapat HAK
MAYORAKAT ANAK PEREMPUAN TERTUA.
Ketiga system kewarisan ini masing-masing tidak langsung menunjuk kepada
suatu bentuk susunan masyarakat tertentu dimana system kewarisan itu
berlaku, sebab suatu system itu dapat diketemukan jugab dalam berbagai
bentuk susunan masyarakat dimana dapat dijumpai lebih dari satu system
kewarisan dimaksud.
Contoh:
a. System kewarisan mayorat (hak anak perempuan tertua) selain dijumpai
pada masyarakat PATRILINEAL di tanah SAMENDO (Sumatra selatan)
terdapat juga di Kalimantan barat pada masyarakat BIlATERAL suku
DAYAK.
b. System kewarisan kolektif, selain terdapat pada MASYARAKAT
MATRILINEAL (minangkabau) dalam batas-batas tertentu dijumpai pula
di MINAHASA dalam MASYARAKAT BILATERAL (tanah
WAWAKESUN TERANAK, barang KALAKERAN) dan juga dalam
MASYARAKAT PATRILINEAL pulau AMBON.73
73
Tolib Setiadi. Intisari hukum adat indonesia dalam kajian perpustakaan. CV. Alfabeta. Bandung. 2015. hlm.
265.
65
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat dikatakan bahwa, mengenai pengertian hukum waris yang ada di Indonesia.
Indonesia sendiri mempunyai 3 jenis hukum waris, yaitu:
Dari ketiga jenis hukum waris yang ada di Indonesia, pengertian antar ketiganya hampir
sama, namun untuk memudahkan kita dalam memahami dan mendalami, kami akan
memapaparkan pengertian singkat dan jelas sebagai berikut:
Dari beberapa jenis hukum waris tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan
masyarakat Indonesia tidak dapat menggunakan hukum waris perdata secara nasional, karena
beragamnya suku dan budaya di Indonesia.
Akan tetapi dari semua jenis hukum tersebut semua mengajak untuk membagi harta
warisan secara adil dan merata agar tidak ada kecemburuan sosial dengan prinsip-prinsip
yang berlaku secara adat hingga agama yang diyakini.
66
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi. Bandung:
CV. Mandar Maju.
Setiady, Tolib. 2015. Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan. Bandung:
Alfabeta.
67
HUKUM ADAT SEBAGAI HUKUM RAKYAT INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum adat adalah suatu hal yang spesifik pada masyarakat adat, dimana
hukum adat sangat berpengaruh bagi tindakan-tindakan masyarakat adat yang sudah
melampaui batas dan dimana prilaku kebiasaan masyarakat adat tersebut suda
melanggar norma-norma, etika, serta peraturan yang berlaku di wilayah adat tersebut.
Hukum adat di sebagai hukum rakyat di Indonesia meliputi beberapa aspek yang
dimana akan dibahas dalam materi kelompok ini, karena hukum adat adalah satu
kesatuan dengan masyarakat adat yamg dimana nantinya hukum adat menjadi sebuah
peraturan, atau pedoman bagi rakyat Indonesia yang masih tinggal di wilayah adat
dan mempunyai hukum adatnya, serta ada pemangku adatnya.
Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hokum ini mulai dari
pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang terus
menerus dilakukan perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan
pribadi itu ditiru oranglain, maka ia juga akan menjadi kebiasaan orang itu. Lambat
laun di antara orang yang satu dan orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut
pula melaksanakan kebiasaan tersebut. ,.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hukum adat sebagai aspek kebudayaan?
2. Apa saja jenis masyarakat adat?
3. Apa saja yang menjadi landasan berlakunya hukum adat di Indonesia?
4. Apa peranan Masyarakat dalam pembangunan?
68
BAB II
PEMBAHASAN
Jika hukum adat diliat dari segi kebudayaan maka hukum adat termasuk dalam
kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang fungsinya untuk
mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan di masyarakat,
dengan demikian hukum adat merupakan aspek dalam kehidupan masyarakat sebagai
kebudayaan bangsa Indonesia.75
74
Dr. Sr. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm : 129-130
75
Dr. Sr. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm : 130
69
Penyelidikan van Vollenhoven dan sarjana-sarjana lain membuktikan bahwa
wilayah hukum adat Indonesia itu tidak haya terbatas pada daerah-daerah hukum
Republik Indonesia yaitu terbatas pada daerah kepulauan Nusantara kita. Hukum adat
Indonesia tidak hanya bersemayam dalam hati nurani orang Indonesia yang menjadi
warga Negara Kesatuan Republik Indonesia di segala penjuru Nusantara kita, tetapi
tersebar meluas sampai kegugusan kepulauan Filipina dan Taiwan di sebelah utara, di
pulau Malagai (Madagaskar) dan berbatas di sebelah timur sampai dikepulauan Paska,
dianut dan dipertahankan oleh orang Indonesia yang termasuk dalam golongan orang
Indonesia dalam arti etnis. Dalam wilayah yang sangat luas ini hukum adat tumbuh,
dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata-tertib sosial dan tata-tertib
hukum diantara manusia, yang bergaul di dalam suatu masyarakat, supaya dengan
demikian dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah
mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh hukum adat itu baik bersifat batiniah
maupun jasmaniah, kelihatan dan tak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercayai sejak
kecil sampai berkubur berkalang tanah. Dimana ada masyarakat disitu ada hukum
(adat).76
Begitu pula halnya hukum adat itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan
hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat
itu berlaku. Tidak mungkin suatu hukum yang asing bagi masyarakat itu dipaksakan
atau dibuat, apabila hukum yang asing itu bertentangan dengan kemauan orang
terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan, dalam arti bertentangan dengan
kebudayaan rakyat yang bersangkutan. Jadi kita tidak boleh meninjau hukum adat
Indonesia terlepas dari “Volksgeist” ; dari sudut alam pikiran yang khas orang
Indonesia yang terjelma dalam hukum adat itu. Kita juga tidak boleh lupa struktur
rohaniah masyarakat Indonesia yang bersangkutan. Menurut Leopold Pospisil
mengenai perbedaan adat dan hukum adat, yakni untuk membedakan suatu aktivitas
itu dari aktivitas-aktivitas kebudayaan yang lain yang mempunyai fungsi serupa
76
Dr. Sr. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm : 131-132
70
dalam suatu masyarakat. Seorang peneliti harus mencari adanya empat ciri hukum,
yakni :
77
Dr. Sr. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm : 132
71
Masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut
dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan
berdasar lingkungan daerah (teritorial). Masyarakat hukum atau persekutuan hukum
yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota
masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan
duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat
pemujaan terhdap roh-roh leluhur.78
Masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat genealogis adalah satu
kesatuan masyarakat teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu keturunan
yang sama dan leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah (keturunan) atau
secara tidak langsung karena pertalian keturunan atau pertalian adat. Melalui sudut
bentuknya, maka masyarkat hukum adat tersebut ada yang berdiri sendiri, menjadi
bagian dari hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum
adat yang lebih rendah, serta merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat
hukum adat yang sederajat.
78
Dr. Sr. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm : 133
79
Dr. Sr. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm : 134
72
menjadi WNI, hokum adat mereka mengikuti subjeknya, sehingga dewasa ini
landasan sosiologis berlakunya hokum adat masih tetap ada, yakni kebutuhan
masyarakat hokum adat itu sendiri yang memerlukan hokum adat.
Hokum adat sebagai hokum yang tidak tertulis tidak memerlukan
prosedur/upaya seperti hokum tertulis, tetapi dapat berlaku dalam arti
dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela karena memang itu miliknya.
Hokum adat dikatakan sebagai the living law karena hokum adat berlaku di
masyarakat, dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur
pengundangan dalam lembaran Negara. Berbagai istilah untuk menyebut hokum
yang tidak tertulis sebagai the living law yaitu (people law, indigeneous law,
unwritten law, common law, customary law, dan sebagainya).
Eksistensi hokum adat pada zaman sekarang lebih banyak bergantung pada
hokum tertulis (statury law) termasuk konstitusi dan lain-lain perundang-
undangan. Pemerintah Belanda menerapkan asas konkordinansi atas hokum –
hukumnya di Indonesia.
Kata recht berasal dari bahasa Belanda yang berarti hokum. Sehingga istilah
Adatrecht perpaduan dua kata asing yaitu adat dari bahasa Arab dan recht dari
bahasa Belanda. Hokum Adat adalah non statutair yang sebagian besar adalah
hokum kebiasaan dan sebagian kecil hokum Islam. Hukum adat itu pun
melingkupi hokum yang berdasarkan keputusan – keputusan hakim yang berisi
asas – asas hokum dalam lingkungan, di mana ia memutuskan perkara. Hokum
adat berurat dan berakar pada kebudayaan tradisional. Sebagai hokum rakyat yang
mengatur kehidupannya sendiri yang terus – menerus berubah dan berkembang
serta keputusan – keputusan atau penyelesaian – penyelesaian yang dikeluarkan
oleh masyarakat sebagai hasil temu rasa dan kata tentang pengisian suatu hokum
adat dalam permusyarakatan rakyat. Dalam hal itu, setiap perkembangan yang
terjadi selalu mendapatkan tempatnya di dalam tata hokum adat. Dan hal – hal ini
yang lama yang tidak dapat lagi dipergunakan secara tidak revolusionar pula
ditinggalkan.
Dari penjelasan tersebut bahwa hokum adat itu bersifat kaku, sulit
berkembang, sulit menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan zaman.
b. Landasan FIlosofis
73
Dasar filosofis dari hokum adat adalah sebenarnya nilai – nilai dan sifat
hokum adat itu sangat identic dan bahkan sudah terkandung dalam butir – butir
Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat
dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari hokum adat.
Dasar berlakunya hokum adat ditinjau dari segi filosofi hokum adat yang
hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman
yang bersifat luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya menciptakan pokok –
pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD RI. Pokok – pokok
pikiran tersebut menjiwai cita – cita hokum meliputi hokum Negara baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pembukaan UUD 1945 pokok – pokok
pikiran yang menjiwai perwujudan cita – cita hokum dasar Negara adalah
Pancasila. Penegasan pancasila sebagai sumber tertib hokum sangat berarti bagi
hokum adat karena hokum adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat
menjelmakan perasaan hokum yang nyata dan hidup di kalangan rakyat dan
mencerminkan kepribadian masyarakat dan Bangsa Indonesia. Dengan demikian
hokum adat secara filosofis merupakan hokum yang berlaku sesuai Pancasila
sebagai pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia. Setiap Negara
memiliki system hukumnya sendiri – sendiri. System hokum yang ada di
Indonesia dikenal tiga system hokum yaitu : hokum adat, hokum Islam, dan
hokum Barat, khususnya hokum – hokum Belanda, berbeda dengan system hokum
yang berlaku di Negara – Negara lain. Bahkan, berbeda dengan system hokum
Belanda yang pernah mengenakan asas konkordansi di Indonesia pada masa –
masa kolonialisme. 80
Hokum adat merupakan bagian dari kebudayaan Bangsa Indonesia. Di mana
ada masyarakat, di sana ada hokum (adat). 81
Demikian halnya hokum adat di Indonesia, seperti halnya dengan semua
system hokum di bagian lain di muka bumi ini, maka hokum adat itu senantiasa
tumbuh, berkembang dan dipertahankan oleh masyarakat adat Indonesia karena
timbul dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup
yang seluruhnya merupakan kebudayaan masyarakat yang berlaku.
80
Dr. Sr. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm : 135
81
Dr. Sr. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm : 136
74
c. Landasan Yuridis
Dasar berlakunya hokum adat ditinjau secara yuridis dalam berbagai Peraturan
Perundang-undangan mempelajari segi yuridis dasar berlakunya hokum adat
berarti mempelajari dasar hokum berlakunya hokum adat di Indonesia.
Berdasarkan fakta sejarah dapat dibagi dalam dua periode yaitu pada zaman
colonial (penjajahan Belanda dan Jepang) dan zaman Indonesia merdeka.
Landasan yuridis berlakunya hokum adat adalah ketetapan MPRS No.
II/MPRS/1960 Lampiran A Paragraf 402, ditetapkannya hokum adat sebagai asas
– asas Pembinaan Hukum Nasional. Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960
Lampiran A Paragraf 402 tersebut, merupakan garis-garis besar politik di bidang
hokum adat sebagai berikut:
a. Asas-asas pembinaan hokum nasional supaya sesuai dengan haluan Negara
dan berlandaskan pada hokum adat yang tidak menghambat perkembangan
masyarakat adil dan makmur.
b. Di dalam usaha ke arah homogenitas dalam bidang hokum supaaya
diperhatikan kenyataan – kenyataan yang hidup di Indonesia.
c. Dalam penyempurnaan hokum perkawinan dan hokum waris supaya
diperhatikan adanya factor-faktor agama, adat, dan lain-lain.
Dengan diundangkannya Tap MPRS No. II/MPRS/1960 tersebut di atas, maka
kedudukan serta peran hokum adat dalam pembangunan hokum nasional menjadi
lebih jelas dan tegas, yaitu sepanjang tidak menghambat perkembangan
masyarakat adil dan makmur, merupakan landasannya. Hokum adat bisa sebagai
landasan asas-asas hokum nasional harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Hokum adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa.
b. Hokum adat tidak boleh bertentangan dengan Negara Indonesia yang
berfalsafah Pancasila.
c. Hokum adat tidak boleh bertentangan dengan ius constitutum.
d. Hokum adat yang bersih dari sifat-sifat feodalisme, kapitalisme, serta
pengisapan manusia atas manusia.
e. Hokum adat tidak bertentangan dengan unsur-unsur agama.
Tap MPRS No.II/MPRS/1960 dalam arti materiil, artinya peraturan tertulis yang
berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang sah, ruang linngkupnya adalah:
75
a. Peraturan Pusat atau Algemene Verordening, yakni peraturan tertulis yang
dibuat oleh pemerintah pusat, yang berlaku umum di seluruh atau sebagian
wilayah Negara.
b. Peraturan Setempat atau Lokale Verordening, yang merupakan peraturan
tertulis, yang dibuat oleh penguasa setempat dan hanya berlaku di tempat atau
daerah itu saja.82
Apabila diteliti, sebelum amandemen ke II tahun 2000 di dalam UUD 1945 tidak
ada satu ketentuan pun secara tegas menyinggung persoalan tentang hokum adat.
Untuk itu merupakan suatu hal yang menarik untuk diamati, bahwa sekalipun
banyak kalangan hokum adat diterima sebagai salah satu sumber hokum, namun
Undang – Undang Dasar sama sekali tidak menyebutkan. Di dalam penjelasan
UUD 1945 yang menurut Hukum Tata Negara Indonesia mempunyai nilai yuridis,
kita akan mendapatkan ketentuan sebagai berikut:
82
Dr. Sr. Laksanto Utomo, Hukum Adat, hlm : 136-140
76
Setelah Amandemen ke II tahun 2000 di dalam UUD 1945 mengenai hokum
adat dituangkan dalam Bab IV Pasal 18 B (2) dan penjelasan Pasal 18 (2). Di
dalam Pasal 18 B (2) disebutkaan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hokum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.83
Di Aceh dengan kekecualian daerah Gayo yang merupakan suatu desa adalah
tempat kediaman yang disebut “Mukim” atau daerah yang dahulu dipimpin oleh
seorang Ulue baling. Mukim ini merupakan kesatuan dari beberapa gampong
(kampong) dan/atau juga mennasah (lembaga agama). Setiap gampong dipimpin oleh
Keuciq sebagai kepala kampong dan imeum (imam) atau Teungku Meunasah.
Kepengurusan (pemerintahan desa) dari suatu gampong dilaksanakan oleh Keuciq dan
Teungku Meunasah yang didampingi oleh “ureung tuha” (majelis tua-tua kampong).
Untuk mengatur kehidupan warga adat gampong digunakan hokum adat di samping
hokum Islam.84
83
Dr. Sr. Laksanto Utomo, Hukum Adat (Jakarta, Rajawali Pers, 2016) hlm : 141
84
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung, Mandar Maju, 2014) hlm
:50
77
rule of law lahir dari sistem hokum yang berbeda. Istilah rechtsstaat mulai popular di
Eropa sejak abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada. Sedangkan
istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari A.V.Dicey
tahun 1885, dengan judul Introduction to the Study of the Law of the Constitution.
Paham rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism sehingga
sifatnya revolusioner dan bertumpu pada civil law system dengan karakteristik
administrative. Sebaliknya paham the rule of law berkembang secara evolusioner dan
bertumpu pada common law system dengan karakteristik yudisial. Suatu Negara
dikatakan Negara hukum menurut A.V.Dicey mengandung tiga unsur utama, yaitu:
1. Supremacy of law.
2. Equality before the law.
3. Constitution based on individual rights.
Meskipun terdapat perbedaan latar belakang mengenai konsep the rule of law
dengan konsep rechtsstaat namun pada dasarnya kedua konsep tersebut berkenan
dengan perlindungan terhadap hak-hak kebebasan sipil warga Negara, dan berkenan
dengan perlindungan hak-hak dasar manusia. Sri Soemantri menjelaskan unsur-unsur
Negara hukum itu terdiri dari:
1. Pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan
atas hukum dan peraturan perundang-undangan.
2. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga Negara).
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara.
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, menjelaskan Negara hukum
Indonesia mengandung persamaan dengan konsep rechtsstaat, namun Negara hukum
yang paling sesuai di Indonesia tentu saja Negara hukum yang bercorak Pancasila.
Sedangkan John Locke juga mempostulatkan bahwa untuk menghindari
ketidakpastian hidup dalam ala mini, umat manusia telah mengambil bagian dalam
suatu kontrak social atau ikatan sukarela , yang dengan itu penggunaan hak mereka
yang tidak dapat dicabut itu diserahkan kepada penguasa Negara.
Ian Brownlie mengidentifikasikan sedikitnya terdapat 3 macam tuntutan tertentu
yang mengandung soal-soal yang tidak memadai oleh ketentuan-ketentuan yang
berlaku individu di antaranya:
78
1. Tuntutan bagi tindakan positif guna mempertahankan identitas budaya dan bahasa
dari suatu komunitas tertentu. Terutama ketika para anggota komunitas yang
bersangkutan secara territorial terpencar-pencar pada tingkat tertentu.
2. Tuntutan-tuntutan untuk mendapatkan perlindungan yang memadai terhadap hak
atas tanah di daerah-daerah tradisional.
3. Berkaitan dengan asas penentuan nasib sendirin yang bersifat politis dan hukum,
yang penyelenggaraannya melibatkan suatu model politik tertentu, termasuk suatu
bentuk otonomi.
4. Pikiran yang telah disampaikan Brownie menunjukkan bahwa dalam pendekatan
klasik perlindungan hak-hak individu bersifat sangat terbatas. Disamping itu
sesungguhnya konsep hak asasi manusia dalam konteks perlindungan
kemanusiaan itu mencakup pada individu dan kelompok, dimana kepentingan
individu dan kelompok dalam beberapa hal tertentu sudah bersatu padu sehingga
praktis tidak dapat dipisahkan. 85
Hak-hak masyarakat asli yang disetujui oleh PBB dan LSM adalah hal yang
berhubungan dengan otonomi politik dan ekonomi, dan harus seimbang dengan
kepentingan dan hak-hak yang dimiliki oleh individu dan kelompok lainnya. Hak
masyarakat asli tidak dianggap absolut, sebab hak-hak yang diberikan tetap harus
memperhatikan keseimbangan antara hak kelompok dan hak individu.
Demikian juga dimuat secara tegas dalam UU No. 39 Tahun 1999 ya menyatakan
bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghorma melindungi,
menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatug dalam undang-undang
ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi
manusia yang diterima oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
85
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, hlm :50-53
79
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban." Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 33 ayat (3) sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan pemerintahan
negara, mewajibkan di antaranya agar bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya (sumber daya alam) digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
. Di dalam ketentuan ini terkandung maksud yang sangat mendasar sifatnya, yaitu:
pertama sumber daya alam harus dimanfaatkan secara bijaksana agar dapat
memberikan manfaat secara berkelanjutan dari generasi ke generasi Kedua,
pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan dengan tetap melestarikan
kemampuan lingkungan hidup, sehingga generasi mendatang tetap mempunyai
pilihan dalam penggunaannya. Ketiga, generasi sekarang memikul kewajiban
terhadap generasi mendatang tetap mempunyai sumber dan penunjang hidupnya yang
sejahtera dengan mutu setinggi-tingginya." 86
80
3. Kebersamaan: agar pengelolaan sumber daya hutan menerapkan pola usaha
bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling keter- gantungan secara
sinergis antara masyarakat setempat, permerintah dan pengusaha.
4. Keterbukaan: agar pengelolaan sumber daya hutan mengikutsertakan masyarakat
dan memerhatikan aspirasi masyarakat.
5. Keterpaduan: pengelolaan sumber daya hutan dilakukan secara terpadu dengan
memerhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat adat. Prinsip
sasaran pemanfaatan sumber daya hutan ditujukan untuk kemakmuran rakyat
sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). 87
Sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 hingga sampai pada saat ini,
peraturan-peraturan perundang yang mengatur tentang bentuk dan susunan
pemerintahan di daerah, termasuk pemerintahan desa, yaitu sebagai berikut: UU No. 1
Tahun 1945 tentang pembentukan Komite Nasional Daerah, Penetapan Presiden No. 6
Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah (disempurnakan), Penetapan Presiden No.
87
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, hlm :56-57
88
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, hlm :57-58
81
5 Tahun 1960 (disempurnakan) tentang DPRD Gotong Royong dan Sekretaris
Daerah, UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja, UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan
Desa, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Secara historis desa
merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di
Indonesia jauh sebelum bangsa-negara ini terbentuk. Struktur sosial sejenis desa,
masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai
posisi yang sangat penting Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat
istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan
dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa merupakan wuiud bangsa yang
paling konkret. Sejalan dengan pembangunan nasional dikenal adanya pembangunan
desa yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa dalam
rangkaian pembangunan nasional. Pembangunan merupakan tugas utama pemerintah
dan masyarakat dalam rangka pengembangan dan membina kehidupan bangsa.
Dalam masyarakat adat / primordial atau tradisional, untuk mendorong gerakkan
masyarakat desa berbeda dengan masyarakat perkotaan. Masyarakat dapat digerakkan
dengan memerhatikan adat setempat. Adat lokal adalah adat yang hidup dan
berkembang, diikuti dan dipelihara oleh masyarakat lokal. Dalam konteks suku
bangsa ini kita biasa-biasa saja kebiasaan-kebiasaan baik tradisi yang diperlukan
dalam suatu masyarakat tertentu. Misalnya kebiasaan-kebiasaan yang turun-temurun
dari nenek moyang, seperti kebiasaan para pemimpin masyarakat yang berasal dari
leluhurnya dan ini akan terus berjalan, masyarakat yang demikian ini merupakan
masyarakat yang masih tradisional. Seperti yang kita ketahui di masyarakat,
anggotanya lebih memilih sebagai pemimpin yang memiliki pemimpin-pemimpin
yang ada di sekitarnya. Selain penguasa-penguasa lain sebelumnya yang dianggap
tidak setuju dengan kepentingan yang dipertanyakan dalam masyarakat ini.
Berdasarkan pengertian ini di dalam menyukseskan kegiatan-kegiatan peme- rintah
khusus pemerintahan desa, maka sangat dibutuhkan keberadaan jalinan kerja sama
yang serasi antar pemerintah desa dengan tokoh-tokoh/pemimpin masyarakat tadi.
Dalam hubungan kepemimpinan tradisional ini di beberapa daerah di Kalimantan
Timur khusus di daerah pedalaman seperti kita kenal sebutan kepala adat.
82
Kepala adat dalam hal tertentu sangat berpengaruh di dalan kehidupan
masyarakatnya. Mestika Zed (1996) 6 mengatakan bahwa tokoh adat adalah sutu
primordial-konsanguinal (ikatan darah dan kerabat adat) yang bersifac struktural
fungsional dalam artian kaitan dengan teritorial dal menunjang pemerintahan pada
kampung yang efektif. Selanjutnya menung Burns bahwa tokoh adat/pemimpin
infomal memiliki beberan peranan dalam membangun kehidupan masyarakat, yaitu:
89
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, hlm :59
83
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum yang berlaku pada setiap masyarakat tumbuh dan berkembang bersamaan
dengan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan suatu masyarakat karena hukum itu
merupakan salah satu aspek dari kebudayaan suatu masyarakat. Karena kebudayaan setiap
masyarakat mempunyai corak, sifat dan struktur masing-masing. Unsur – unsur kebudayaan
yaitu: Peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem
ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, religi.
84
yang sangat mendasar sifatnya, yaitu: pertama sumber daya alam harus dimanfaatkan secara
bijaksana agar dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan dari generasi ke generasi
Kedua, pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan dengan tetap melestarikan
kemampuan lingkungan hidup, sehingga generasi mendatang tetap mempunyai pilihan dalam
penggunaannya. Ketiga, generasi sekarang memikul kewajiban terhadap generasi mendatang
tetap mempunyai sumber dan penunjang hidupnya yang sejahtera dengan mutu setinggi-
tingginya.
85
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung. Mandar
Maju.
86
HUKUM PERORANGAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Oleh karena itu hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri
dan elastis.
Hukum adat tidak pernah tergeser dari percaturan politik dalam membangun
hukum nasional. Hukum adat itu sendiri untuk terwujudnya hukum nasional dengan
mengangkat hukum rakyat yaitu hukum adat menjadi hukum nasional yang terlihat
pada naskah sumpah pemuda tahun 1928. Dalam hukum adat adanya hukum
perseorangan dimana masing-masing orang mendapat hukuman apabila mengusik
orang lainnya. Setiap orang juga dibatasi dengan adanya hukum adat dan harus
dipatuhi. Pada makalah ini kita akan membahas mengenai hukum perorangan, untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai hukum orang itu sendiri mari simak pembahasan.
B. Rumusan Masalah.
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Perorangan?
2. Apa saja subyek hokum dalam Hukum Perorangan?
3. Bagaimana penjelasan ruang lingkup Hukum Perseorangan?
4. Bagaimana kecakapan subyek hukum dalam Hukum Perorangan?
87
BAB II
PEMBAHASAN
B. Subjek Hukum.
Di dalam hukum adat, subyek hukum dibagi menjadi 2 yaitu manusia
(natuurlijk person) dan juga badan hukum (rechts person). Adapun badan-badan
hukum yang ada menurut hukum adat antara lain adalah desa, suku, wakaf, dan
akhir-akhir ini termasuk yayasan sebagaimana yang diatur di dalam STB
(lembaran Negara) nomor 91 tahun 1927, kemudian disempurnakan dan diatur
melalui undang-undang No. 16 tahun 2001.
Di Jawa Tengah diakui juga sebagai badan hukum yaitu “perkumpulan-
perkumpulan yang mempunyai organisasi yang dinyatakan tegas dan rapi”.
Kemudian di Pulau Bali terdapat pula badan-badan hukum adat seperti sekaha
subak dan sekaha banjar yang berarti perserikatan subak dan perserikatan banjar.90
Dalam masyarakat adat rupa-rupanya diakui juga sebagai subyektum yuris pada
budak dan hamba setelah perbudakan dan perhambaan ini dilarang oleh
90
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung:Alfabeta, 2015, hlm.172
88
pemerintah colonial, maka masalah budak dan hamba sebagai subyektum yuris ini
dengan sendirinya lenyap pula dalam sehari-hari.91
91
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta:PT. Gunung Agung, 1983, hlm.103
92
Effendy, Pokok-pokok Hukum Adat, Semarang:Duta Grafika, 1990, hlm.79
89
1. DI JAWA TENGAH (sekitar tahun 1934-1938) di beberapa desa
hanya orang laki-laki saja yang berhak mendaji Kepala Desa
(Lurah/Kuwu).
2. DI MINANGKABAU, pada dasarnya dan pada umumnya perempuan
tidak mempunyai hak untuk menjadi penghulu andiko atau mamak
kepala waris. Lain halnya dengan masalah “cakap hukum” atau “cakap
melakukan perbuatan hukum (hangdelings bekwaamheid) atau
“kecakapan untuk bertindak”.
Menurut hukum adat, seseorang dinyatakan cakep melakukan sesuatu
perbuatan adalah apabila seseorang dimaksud baik laki-laki maupun perempuan
yang sudah dewasa. Di dalam hukum adat tradisional, criteria untuk menemukan
dewasa, bukanlah masalah umur melainkan kenyataan ciri-ciri tertentu. Bahkan
menurut Prof. Dr. Mr. Soepomo dalam bukunya Adat privaatrecht van west jawa
ditegaskan bahwa, Cirri-ciri seseorang telah dianggap dewasa, apabila ia sudah:
1. Kuat gawe (sudah mampu bekerja sendiri).
Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan
kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan sendiri.
2. Cakap mengurusi harta benda dan lain-lain keperluan sendiri.
Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan
kemasyarakatan serta pertanggungjawabkan sendiri segala-galanya
itu.93
Menurut hukum adat “dewasa” ini baru mulai setelah tidak menjadi
tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua. Jadi bukan asal
sudah kawin saja.
Perlu dijelaskan disini, bahwa yang dimaksud dengan berumah sendiri dan
tidak lagi menjadi satu dengan orang tua itu adalah cukup misalnya dengan
mendirikan serta menempati rumah sendiri dalam pekarangan rumah orang
tuanya, menempati bagian gedung rumah orang tuanya yang berdiri sendiri
ataupun yang dipisahkan dari bagian yang ditempati orang tuanya jadi tidak harus
menempati rumah yang letaknya diluar pekarangan rumah orangtuanya.
Menurut Profesor Djojodiguno; Hukum adat tidak mengenal perbedaan yang
tajam antara orang yang sama sekali tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan
93
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung:Alfabeta, 2015, hlm.172-173
90
yang cakap melakukan perbuatan perbuatan hukum. Peralihan dari tidak cakap
menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut
hukum adat Jawa seseorang cakap penuh melakukan perbuatan hukum, apabila
sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri (sudah “mentas” atau “mencar”
dalam bahasa jawa).94
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata kriteria tentang dewasa dalam
hukum adat ini di pengaruhi oleh ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum
perdata barat (BW) yang sejak jaman penjajahan diberlakukan di wilayah Hindia
Belanda (Indonesia) disamping hukum adat oleh pemerintah colonial (penjajah).
Khusus mengenai batasan usia dewasa maka hukum barat memakai ukuran umur
yakni 21 tahun (pasal 330 BW/KUHPT) juga dipakai status sudah nikah,
sedangkan persyaratan usia untuk menikah sebagaimana diatur di dalam ketentuan
pasal 27 KUHPT (BW) ditetapkan umur 18 tahun untuk seorang pria dan 15 tahun
untuk seorang wanita.
Unsur-unsur ini pertama-tama dipergunakan oleh RAAD VAN JUSTITIE
Batavia (Jakarta dulu) dalam menetapkan seorang wanita Indonesia sudah
dianggap cakap hukum atau belum. Dalam keputusannya dalam 18-10-1908
RAAD VAN JUSTTIE (Pengadilan Tinggi) Batavia menetapkan, seorang wanita
Indonesia sudah cakap hukum sehingga sudah dapat dianggap cakap untuk
menyatakan kehendaknya sedindiri (mondigheid) apabila ia sudah:
1. berumur 15 tahun,
2. masak (matang) untuk hidup sebagai isteri (gelachsrijjpheid).
3. cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri.
(unsur tersebut ditetapkan dengan menggunakan kriteria batas umum
untuk kaum wanita yang boleh kawin dalam ketentuan pasal 27
KUHPT (BW), sedangkan umur tersebut b dan c sesungguhnya
merupakan kriteria-kriteria adat yakni “kenyataan-kenyataan cirri-ciri
tertentu.
Hal ini jelas sekali terlihat dalam gejala yang nempak pada penetapan kriteria
untuk dewasa atau cakap hukum dalam perkembangan hukum adat menuju
menjadi Hukum Nasional yaitu kriteria umur disamping sudah kawin, lambat laun
menjadi biasa dipakai untuk mengganti kriteria cirri-ciri tertentu.
94
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta:PT. Gunung Agung, 1983, hlm.103
91
Sebagai bukti terhadap mulai ditinggalkannya kriteria cirri-ciri tertentu serta
dimulainya dipakai kriteria umur, kiranya dapat disebutkan keputusan Makamah
Agung tanggal 3 September 1958 Reg. No. 316/K/Sip/1958 dalam mengadili
tungkat kasasi perkara gugatang seseorang anak kepada bapaknya yang sementara
itu telah bercerai dari ibunya, mengajukan gugatan untuk meminta biaya
penghidupan dan pendidikan bagi dirinya.95 Dalam konsiderans keputusan
tersebut tercantum pertimbangan, bahwa oleh karena si anak tersebut telah
berumur 20 tahun, ia dipandang sudah dewasa, sehingga tuntunannya akan
pembayaran biaya penghidupan dan pendidikan tidaklah beralasan dan dengan
demikian tuntutan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.96
95
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung:Alfabeta, 2015, hlm. 174-175
96
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta:PT. Gunung Agung, 1983, hlm.105
97
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung:Alfabeta, 2015, hlm.176
92
e. Yang menerima wakaf harus menerimanya (kabul)
Yayasan.
Yayasan merupakan badan hukum yang melakukan kegiatan
dalam bidang sosial. Yayasan demikian ini dapat dibentuk dengan akta
pembentukan atau sudah melakukan pendaftaran mengenai
pendiriannya.
Koperasi.
Koperasi adalah perkumpulan dimana keluar-masuknya
anggota diizinkan secara leluasa. Tujuan koperasi adalah
meningkatkan kesejahteraan para anggotanya secara gotong royong.
Usahanya lazimnya dibidang perekonomian. Koperasi yang didirikan
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang
No. 79 tahun 1958 jo. Undang-Undang No. 14 tahun 1965 jo. Undang-
Undang No. 12 tahun 1967 adalah suatu badan hukum. 98
Sudah barang tentu kriteria untuk badan hukum menurut hukum adat berbeda
dengan syarat yang dipergunakan oleh Hukum Barat (Eropa), menurut pendapat R.
Soerojo Wingjodipoero, S.H., dalam bukunya Kedudukan Serta Pengembangan
Hukum Adat menyatakan bahwa:
Suatu badan hukum harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Merupakan persatuan yang memiliki tata peraturan yang rapi,
2. Memiliki pengurus sendiri.
3. Mempunyai harta kekayaan sendiri.
4. Mempunyai wilayah sendiri.
5. Bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar dan batin.
E. Persekutuan Hukum.
98
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta:PT. Gunung Agung, 1983, hlm.106-
107
93
Khusus dalam hal persekutuan-persekutuan hukum segabaimana tersebut, di
muka Pemerintah Kolonial Belanda ikut campur tangan dengan menggunakan
ordanansi-ordanansi yang memuat peraturan-peraturan mengenai susunan dan
wewenang persekutuan tersebut dilapangan masyarakat (rakyak).
Contoh:
1. Stb.1918-677 untuk Sumatera Barat.
2. Sbt. 1919-453 untuk Bangka.
3. Sbt.19191-814 untuk Palembang,
4. Sbt. 1921-564 untuk Lampung.
5. Sbt. 1928-470 untuk Bengkulu, dan lain-lain.
Sudah barang tentu ketentuan-ketentuan tersebut tidak sesuai dengan
peraturan-peraturan hukum adat setempat. Oleh karena itu maka, pemerintah
jajahan kemudian terdesak oleh kedudukan yang menyulitkan kedudukannya
(karena pecahnya Perang Dunia II) yang menyebabkan Belanda di duduki oleh
Jerman serta pemerintah jajahannya diancam invasi dari Balatentara Jepang.
Kemudian pemerintah jajahan melakukan politik hukum yang hendak
memberikan kesempatan kepada Hukum Adat. Untuk berkembang sebagaimana
mestinya (dengan menggunakan Sbt. 1938 No. 490 untuk seluruh daerah luar
Jawa sedangkan untuk Jawa diundangkan Desa Ordonnantie (Sbt. 1941 No. 356)
yang sampai gulung tikarnya pemerintahan Penjajahan Belanda belum lagi
ditetapkan mulai kapan berlakunya. Hanya yang menyangkut kehidupan Desa
sebagai persekutuan hukum, ternyata diperkuat dengan berlakunya Peradilan Desa
(Sbt. 1935 No. 102).99
99
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung:Alfabeta, 2015, hlm.176-177
94
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
hukum perseorangan dapat diartikan sebagai ketentuan hukum yang mengatur orang, badan
hukum sebagai subjek hukum serta terdapat aturan hukum keluarga. Dalam hukum
perseorangan terdapat subyek hukum, dibagi menjadi 2 yaitu manusia (natuurlijk person) dan
juga badan hukum (rechts person). Adapun badan-badan hukum yang ada menurut hukum
adat antara lain adalah desa, suku, wakaf, yayasan, koperasi. Khusus dalam hal persekutuan-
persekutuan hukum, di muka Pemerintah Kolonial Belanda ikut campur tangan dengan
menggunakan ordanansi-ordanansi yang memuat peraturan-peraturan mengenai susunan dan
wewenang persekutuan tersebut dilapangan masyarakat (rakyak) sebagaimana tersebut diatas.
95
DAFTAR PUSTAKA
Wignjodipoero, Soerojo. 1983. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: PT. Gunung
Agung.
96
HUKUM KEKELUARGAAN
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada dasarnya manusia diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan dengan tujuan
untuk membentuk sebuah keluarga yang di dalamnya terdiri dari Suami, istri, dan pada
umumnya seorang anak atau hasil keturunan dari ikatan perkawinan. Di Negara Indonesia
ini khususnya dalam kehidupan masyarakat adat memiliki sebuah tujuan dari lahirnya
seorang anak yang merupakan hasil perkawinan adalah untuk melanjutkan dan
menyambung estafet keturunan serta melestarikan harta kekayaan keluarga tersebut, dalam
kehidupan masyarakat adat memiliki seorang anak merupakan karunia yang sangat
berharga dalam sebuah keluarga.
Akan tetapi tidak semua pasangan suami istri dapat menikmati rasanya membesarkan
seorang anak seperti keluarga-keluarga yang lain. Di beberapa keluarga atas kekuasaan
tuhan dimana keinginan memperoleh anak sangatlah besar akan tetapi tak kunjung
dikaruniai maka akibatnya keturunan dari keluarga tersebut akan terancam punah dan
putus bila tidak ada yang meneruskan silsilah keluarga dan kerabat keluarga.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian hukum adat kekeluargaan?
b. Bagaimana hubungan anak dengan orang tua dan kerabatnya dalam hukum adat
kekeluargaan?
c. Bagaimana pemeliharaan dan pengangkatan anak dalam hukum adat kekeluargaan?
d. Bagaimana pertalian perkawinan dalam hukum adat kekeluargaan ?
97
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum adat kekeluargaan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana
kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang
tua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya kedudukan dan
masalah perwalian anak. Jelasnya hukum adat kekerabatan mengatur tentang pertalian
sanak, berdasarkan pertalian daerah (seketurunan) pertalian perkawinan dan perkawinan
adat.100
Dalam system kekerabatan masyarakat adat, keturunan merupakan hal yang
penting untuk meneruskan garis keturunan (clan) baik garis keturunan lurus atau
menyamping. Seperti di masyarakat bali dimana laki-laki nantinya akan meneruskan putra
keluarga untuk menyembah para leluhurnya.
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara orang
yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah
jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari yang lain. Pada umunya
keturunan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan darah, antara
lain antara orang tua dengan anak-anaknya. Juga ada akibat hukum yang berhubungan
dengan keturunan yang bergandengan dengan ketunggalan leluhurnya, tetapi akibat
hukum tersebut tidak semuanya sama di seluruh daerah. Mesipun akibat hukum yang
berhubungan dengan ketunggalan leluhur di seluruh daerah tidak sama. Tapi dalam
kenyataanya terdapat satu pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini
diseluruh daerah, yaitu bahwa keturunan adalah merupakan unsur yang hakiki serta mutlak
bagi suatu klan, suku, ataupun kerabat yang menginginkan agar garis keturunannya tidak
punah sehingga ada generasi penerusnya101.
Apabila dalam suatu klan,suku ataupun kerabat khawatir akan menghadapi
kepunahan klan,suku ataupun kerabat ini pada umumnya melakukan adopsi (pengangkatan
anak) untuk meneruskan garis keturunan, maupun pengangkatan anak yang dilakukan
dengan perkawinan atau pengangkatan anak untuk penghormatan. Seperti dalam
masyarakat lampung dimana anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi diambil
diambil dari dari anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya. Individu
100
Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2016), hlm. 79
101
Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2016), hlm. 80
98
sebagai keturunan (anggota keluarga) mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang
berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. Misalnya, boleh
ikut menggunakan nama keluarga (marga) dan boleh ikut menggunakan dan berhak atas
kekayaan keluarga, wajib saling membantu, dapat saling mewakili dalam melakukan
perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.102
Menurut Prof.Bushar Muhammad,S.H.keturunan dapat bersifat :
1. Lurus, apabila orang merupakan langsung keturunan dari yang lain, misalnya
anatara bapak dan anak,antara kakek, bapak dan anak, disebut lurus kebawah
apabila rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan disebut
lurus kebawah apabila rangkaiannya dilihat dari anak,bapak,kakek.
2. Menyimpang atau bercabang apabila antara kedua orang atau lebih terdapat
adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung)
atau sekakek nenek dan lain sebagainya.
Dalam struktur masyarakat adat kita menganut adanya tiga(3) macam system
kekerabatan,yaitu:
1. Sistem kekerabatan parental
2. Sistem kekerabatan patrilineal
3. Sistem kekerabatan matrilineal
102
Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2016), hlm. 80
103
Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2016), hlm. 82
99
melahirkan dan pria tersebut akan menjadi bapak dan menjadi suami dari wanita tersebut. Itu
merupakan keadaan yang normal.
Dalam masyarakat adat dapat banyak upacara-upacara adat yang sifatnya religio-
magis serta yang penyelenggaraanya berurut-urutan mengikuti pertumbuhan fisik anak
tersebut yang semuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibu yang mengandungnya dari
segala bahaya dan gangguan-gangguan serta kelak setelah anak dilahirkan, supaya anak
dimaksud dapat menjelma menjadi seorang anak yang dapat memenuhi harapan orang
tuanya. Sudah tentunya wujud upacara-upacara adat ini tidak sama di tiap-tiap daerah.104
Kalau misalnya daerah jawa barat diambil sebagai contoh, maka upacara-upacara
demikian ini dalam masyarakat adat priangan secara kronologis adalah sebagai berikut:
a. Anak masih dalam kandungan: pada bulan ketiga,kelima,ketujuh dan kesembilan
diadakan upacara adat khusus yang dilakukan pada bulan ke-7 itu disebut Tingkep
b. Pada saat lahir: upacara penanaman “bali” atau kalau tidak di tanam, dilakukan
upacara “penghanyutan”nya ke arah laut.
c. Pada saat “tali ari” putus diadakan “sesajen”. Tali ari yang putus tsb disimpan ibunya
dalam gonggorekan (kantong obat) serta pada saat itu lazimnya bayi diberi nama.
d. Setelah anak berumur 40 hari upacara cukur yang diteruskan dengan
upacara”nurunkeun” (untuk pertama kalinya kaki si anak diturunkan ke tanah)
Disamping upaya-upaya adat yang berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak
seperti yang diuraikan diatas, lazimnya pada hari-hari kelahiran anak(misalnya anak lahir
pada hari kamis manis, tiap hari kamis pula diadakannya sesajen) demi keselamatan anak
tersebut.
104
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Indayu Press, 1983), hlm. 111
105
Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2016), hlm. 85
100
kerabat ayahnya jauh lebih erat dan lebih penting dibandingkan dengan kerabat dari ibu.
Dalam persekutuan patrilineal dimana kerabat ayah tingkat derajatnya lebih tinggi
dibandingkan kerabat ibu, tetapi tidak sama sekali melupakan kerabat dari ibu. Masyarakat
patrilineal seperti terjadi pada masyarakat Batak.
Sedangkan dilingkungan masyarakat matrilineal hubungan antara anak dengan dengan
keluarga dari pihak ibu adalah jauh lebih erat dan jauh lebih dianggap penting daripada
hubungan antara anak dengan keluarga dari pihak bapak. Tetapi hal tersebut juga tidak
melupakan kerabat dari pihak bapak. Masyarakat Matrilineal terjadi di Minangkabau. 106
106
Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2016), hlm. 86
107
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Indayu Press, 1983), hlm. 118
108
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Indayu Press, 1983), hlm.118
109
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Indayu Press, 1983), hlm. 118
101
Orang (laki-laki) yang ingin mengangkat anak itu lebih dahulu wajib
membicarakan kehendaknya dengan keluarganya secara matang
Anak yang akan diangkat hubungan kekeluargaan dengan ibunya dan dengan
keluarganya secara adat harus diputuskan, yaitu dengan jalan membakar
benang (hubungan anak dengan keluarganya putus) dan membayar menurut
adat seribu kepeng disertai pakaian wanita lengkap (hubungan dengan anak
menjadi putus)
Anak kemudian dimasukkan dalam hubungan kekeluargaan dari keluarga
yang memungutnya
Pengumuman kepada warga desa (siar) untuk siar pada jaman kerajaan dahulu
dibutuhkan izin raja, sebab pegawai kerajaan untuk keperluan adopsi ini
membuat “surat peras” (akta)110
c. Mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan
Perbuatan ini banyak terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya.
Mengangkat keponakan menjadi anak itu sesungguhnya merupakan pergeseran
hubungan kekeluargaan dalam lingkungan keluarga. Lazimnya mengangkat
keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran-pembayaran uang atau penyerahan
sesuatu barang kepada orang tua anak yang bersangkutan yang pada hakikatnya masih
saudara sendiri dari orang yang memungut anak.
Di daerah minahasa ada kebiasaan kepada anak yang di angkat diberikan tanda
kelihatan yang disebut “parade” sebagai pengakuan telah memungut keponokan yang
bersangkutan sebagai anak.111
Sebab-sebab untuk mengangkat keponakan sebagai anak angkat ini adalah :
Karena tidak mempunyai anak sendiri, sehingga memungut keponakan
tersebut, merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan
Karena belum dikaruniai anak, sehingga dapat memungut keponakan ini
diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.
Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan, misalnya
karena hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya.112
Perlu ditegaskan bahwa anak yang diangkat itu pada umumnya anak yang
belum kawin dan kebanyakan anak yang belum dewasa, sedangkan yang mengangkat
110
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Indayu Press, 1983), hlm.118
111
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Indayu Press, 1983), hlm. 119
112
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Indayu Press, 1983), hlm. 119
102
biasanya orang sudah kawin dan berumur jauh lebih tua dari pada anak yang diangkat,
sehingga anak yang diangkat sepantasnya menjadi anaknya.
Mungkinkah adopsi dicabut atau digugurkan ?
Adopsi pada asasnya dapat digugurkan atau dicabut dalam hal-hal yang dapat
menjadi alasan untuk membuang anak kandungnya sendiri dari lingkungan keluarga.
Perlu diketahui bahwa masalah adopsi ini di Jawa Barat, mendapat pengaruh pula dari
Agama Islam.113
Pengaruh tersebut diuraikan diketahui, bahwa masalah adopsi ini seperti di
Jawa Barat, mendapat pengaruh pula dari Agama Islam.
Pengarih tersebut seperti diuraikan oleh Profesor Supomo dalam bukunya
“adatprivaatrecht van west-java” meliputi dua bidang yaitu :
o Dalam menikahkan- bapak angkat tidak dapat menjadi wali nikah, ia resmi hanya
mewakili wali-nikah, sedangkan dianggap wali-nikah adalah tetap bapak
kandungnya atau menggantinya yang resmi menurut ketentuan Agama Islam
o Dalam perkawinan- kalau semula tidak ada larangan perkawinan antara anak
angkat dengan anka kandungnya atau keturunan orang tua angkatnya dalam garis
lurus, kemudian tidak boleh lagi.114
d. Anak Tiri
Anak tiri adalah anak kandung bawaan istri janda atau bawaan suami duda
yang mengikat tali perkawinan. Di dalam perkawinan leviraat (Batak: pareakhon,
mangabia, Karo: lakoman, Sumatera Selatan: anggau, Lampung: nyikok, semalang)
dimana istri kawin dengan saudara suami. Anak tiri tetap berkedudukan sebagai anak
dari bapak yang melahirkannya. Begitu pula jika terjadi kawin duda dan telah
mempunyai anak, dengan saudara istri, yaitu kawin sororat. Kedudukan hukum anak
tetap sebagai anak dari ayah kandungnya/yang membawanya ke tali pernikahan yang
baru.
e. Dimasyarakat Jawa yang parental pun demikian anak tiri adalah ahli waris dari orang
tua yang melahirkannya. Kecuali anak-anak tiri itu diangkat oleh bapak tiri sebagai
penerus keturunanya karena ia tidak mempunyai anak. Anak Tiri 115
113
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Indayu Press, 1983), hlm. 120
114
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Indayu Press, 1983), hlm. 121
115
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,(Bandung:CV.Mandar Maju,2014), hlm.201
103
Dalam suatu keluarga apabila salah satu orangtua meninggal baik itu bapak atau ibu
sudah tidak ada lagi sedangkan anak tersebut belum dewasa dalam susunan masyarakat
parental maka anak akan berada dalam pemeliharaan dan tetap dalam kekuasaan ibu atau
ayah apabila ibu yang meninggal dunia sampai anaknya dewasa dan dapat hidup mandiri.
Apabila kedua orangtuanya meninggal dunia anak belum dewasa maka anak akan di
pelihara dan akan menjadi tanggung jawab kerabat ayah atau ibu yang terdekat dengan anak
tersebut dan mempunyai kemampuan sampai dengan anak tersebut dewasa dan tumbuh
mandiri.
Anak yatim piatu dalam masyarakat matrilineal jika yang meninggal dunia adalah si
ibu anak tersebut tetap menetap, dipelihara dan berada dalam kekuasaan dalam kerabat
ibunya, ayah hanya akan memperhatikan kepentingan dari anak-anak tersebut. Sedangkan
bila si ayah yang meninggal dunia maka ibu akan meneruskan kekuasaannya terhadap anak-
anak yang belum dewasa. Misalnya di Minangkabau116
F. Pertalian Perkawinan
Terjadinya perkawinan menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban suami istri
sebagaimana diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 30-34. Tetapi hukum perkawinan
nasional tersebut tidak mengatur bahwa dengan adanya perkawinan bukan saja timbul
hubungan hukum suami istri dengan anak-anak dan harta perkawinan, melainkan timbulnya
hubungan hukum kekerabatan, antara menantu dan mertua, hubungan periparan dan besanan
dan antara kerabat yang satu dan yang lain.
116
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Indayu Press, 1983), hlm. 117
117
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,(Bandung:CV.Mandar Maju,2014), hlm.198
104
apa yang merupakan type ideal dari bentuk rumah tangga dan perkawinan yang
dikehendaki perundangan nasional tersebut tidak banyak menimbulkan masalah.
Tetapi kehidupan yang mandiri dengan masing-masing suami dan istri berhak
melakukan perbuatan hukum itu tidak sesuai dengan kehidupan rumah tangga yang
ikatan perkawinannta dalam bentuk perkawinan jujur atau dalam bentuk perkawinan
semanda.
c. Dalam Perkawinan Jujur
Bentuk perkawinan dengan pemberian uang jujur dari pihak kerabat pria
kepada pihak kerabat wanitayang kebanyakan dipertahankan oleh masyarakat
kekerabatan adat patrilineal, untuk mempertahankan garis keturunan laki-laki, maka
setelah perkawinan istri melepaskan kedudukan kewargaan adatnya dari kekerabatan
bapaknya masuk ke dalam kesatuan kekerabatan suaminya. (Batak, Lampung, Bali,
Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya)
Dalam ikatan perkawinan jujur ini kewajiban memikul tanggung jawab
menegakkan rumah tangga adalah suami, sedangkan istri hanya sebagai
pendampingnya. Jadi hak dan kedudukan istri tidak seimbang dengan hak dan
kedudukan suami, baik dalam lehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan
bersama dalam kekerabatan dan masyarakat. Istri tidak bebas dalam melakukan
perbuatan hukum tanpa perkenaan suami, oleh karena suami adalah kepala keluarga
dan kepala rumah tangga dengan istri sebagai pembantunya.118
d. Dalam Perkawinan Semenda
Bentuk perkawinan tanpa pembayaran uang jujur, yang kebanyakan dipertahankan
oleh masyarakat kekerabatan matrilineal, untuk mempertahankan garis keturunan
wanita (Minangkabau, Semenda, Bengkulu, Lampung Pesisir), merupakan kebalikan
dari bentuk perkawinan jujur. Dimana setelah perkawinan suami masuk ke dalam
kekerabatan istri atau hanya sebagai pemberi benih keturunan, yang tidak bertanggung
jawa penuh di dalam rumah tangga. Dalam hal ini hak dan kedudukan suami berada di
bawah pengaruh istri dan kerabatnya.119
118
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,(Bandung:CV.Mandar Maju,2014), hlm.199
119
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,(Bandung:CV.Mandar Maju,2014), hlm. 200
105
BAB III
PENUTUP
Hukum adat kekeluargaan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana
kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tua
dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya kedudukan dan masalah
perwalian anak. Jelasnya hukum adat kekerabatan mengatur tentang pertalian sanak,
berdasarkan pertalian daerah (seketurunan) pertalian perkawinan dan perkawinan adat.
Hubungan anak dengan orang tua itu dilihat ketika anak itu sebagai penerus orangtua/
generasinya, juga dipandang sebagai wadah dimana semua harapan orang tuanya di kelak
kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bila
orangtua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri serta ada juga
hubungan anak dengan kerabatnya yaitu ada patrilineal (harus hormat kepada garis keturunan
ayah) dan matrilineal (harus hormat kepada garis keturunan ibu), kedua ini dipakai
tergantung hukum adat di daerah itu seperti Batak menggunakan patrilineal sedangkan
matrilineal dipakai oleh hukum adat Minangkabau.
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam
keluarga sendiri demikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang
dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang
tua dengan anak kandung sendiri. Dalam hukum adat kekeluargaan ada 3 kalangan yang bisa
diangkat anak yaitu dari kalangan bukan keluarga, keluarga dan keponakan-keponakan.
sedangkan untuk pemeliharaan anak menurut hukum adat kekeluargaan adalah jika
dalam suatu keluarga apabila salah satu orangtua meninggal baik itu bapak atau ibu sudah
tidak ada lagi sedangkan anak tersebut belum dewasa dalam susunan masyarakat parental
maka anak akan berada dalam pemeliharaan dan tetap dalam kekuasaan ibu atau ayah apabila
ibu yang meninggal dunia sampai anaknya dewasa dan dapat hidup mandiri.
Hukum adat kekeluargaan tentang tali perkawinan di dalam hukum perkawinan
nasional tidak mengatur bahwa dengan adanya perkawinan bukan saja timbul hubungan
hukum suami istri dengan anak-anak dan harta perkawinan, melainkan timbulnya hubungan
hukum kekerabatan, antara menantu dan mertua, hubungan periparan dan besanan dan antara
kerabat yang satu dan yang lain.
106
DAFTAR PUSTAKA
107
HUKUM PERKAWINAN
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki berbagai macam budaya dan suku.
Keanekaragaman budaya dan suku tersebut menyebabkan Indonesia memiliki aturan dan
hukum yang berbeda di daerah-daerah tertentu. Pada makalah ini, kami akan membahas
tentang perkawinan dalam hukum adat yang hukumnya berasal dari tradisi yang dilakukan
oleh nenek moyang kita dan masih dipertahankan hingga saat ini. Hukum adat bersifat tidak
tertulis dan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Setiap suku di Indonesia mempunyai hukum adat yang berbeda-beda. Pada zaman yang
sudah modern ini, masih ada generasi muda yang melaksanakan perkawinan dengan
menggunakan adat masing-masing daerahnya yang dalam pelaksanaannya senantiasa disertai
dengan upacara-upacara adat tertentu. sehingga di dalam makalah ini kami akan menjelaskan
mengenai hukum perkawinan adat, bentuk dari hukum perkawinan adat, sistem hukum
perkawinan adat, dan contoh perkawinan dengan adat Jawa Timur.
108
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam hukum adat, perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi
mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan pertistiwa yang sangat
berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua
belah pihak. Dengan demikian, perkawinan menurut hukum adat merupakan suatu hubungan
kelamin antara laki-laki dengan perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu
antara kelompok kerabat laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu
dengan masyarakat yang lain. Hubungan yang terjadi ini ditentukan dan diawasi oleh sistem
norma yang berlaku di dalam masyarakat itu. Perkawinan ideal ialah suatu bentuk
perkawinan yang terjadi dan dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang
terjadi berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-
aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.121
120
H.A.M. Effendy, S.H., Pokok-pokok Hukum Adat, (Semarang:Duta Grafika), 1987, hlm. 108.
121
Dr. St. Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2016, hlm. 89.
109
bukan hanya sekedar mengikuti agama dan meneruskan naluri para leluhur untuk membentuk
sebuah keluarga. Ikatan hubungan yang sah antara pria dan wanita, namun juga memiliki arti
yang sangat mendalam dan luas bagi kehidupan manusia dalam menuju bahtera kehidupan
seperti yang dicita-citakannya.122
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan juga bahwa
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bagi suku atau clan, perkawinan merupakan suatu usaha yang menyebabkan terus
berlangsungnya suku itu dengan tertibnya. Bagi masyarakat (persekutuan) , perkawinan juga
merupakan suatu peristiwa penting yang mengakibatkan masuknya warga baru yang ikut
mempunyai tanggungjawab penuh terhadap persekutuannya. Bagi kasta, perkawinan juga
penting, karena kasta dalam masyarakat (dahulu) sering mempertahankan kedudukannya
dengan mengadakan tertib perkawinannya sendiri.123
Menurut hukum adat di Indonesia, perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistem
perkawinan jujur, perkawinan semanda, perkawinan bebas ataupun bentuk perkawinan
lainnya. Perkawinan adat merupakan perihal yang tidak terlepas dari hukum perkawinan adat,
dimana hukum perkawinan adat diartikan sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur
tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya
perkawinan di Indonesia.
Terdapat banyak aturan-aturan perkawinan adat di Indonesia yang sesuai dengan latar
belakang masyarakat dan daerahnya masing-masing. Di Indonesia sudah terdapat pengaturan
tentang perkawinan secara Nasional yaitu UUP. Akan tetapi dalam perkembangannya, di
berbagai daerah masih memberlakukan hukum adat perkawinan, karena memang dalam UUP
hanya diatur masalah perkawinan secara umum saja. Melihat suasana hukum adat di
122
Dr. St. Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2016, hlm. 90.
123
H.A.M. Effendy, S.H., Pokok-pokok Hukum Adat, (Semarang:Duta Grafika), 1987, hlm. 109.
110
Indonesia, yaitu dalam masyarakat adat Patrilinial, Matrilinial, dan Parental terdapat bentuk-
bentuk perkawinan adat yang masih berlaku dan dipertahankan, diantaranya adalah124 :
a) Perkawinan Jujur
b) Perkawinan Semanda
124
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 183-190
111
perkawinan berlangsung maka suami berada di bawah kekuasaan kerabat isteri dan
kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semanda yang berlaku, apakah
perkawinan semanda dalam bentuk “semanda raja-raja”, “semanda lepas”, “semanda
bebas”, “semanda nunggu”, “semanda ngangkit”, “Semanda anak dagang”.125
Pada umumnya, dalam perkawinan semanda kekuasaan pihak isteri yang lebih
berperan, sedangkan suami tidak ubahnya sebagai istilah “nginjam jago” (meminjam jantan)
hanya sebagai pemberi bibit saja dan kurang tanggung jawab dalam keluarga atau rumah
tangga.
d) Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi antara
suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan/atau berbeda agama yang
dianut. Sedangkan dalam UUP yang dimaksud perkawinan campuran hanyalah perkawinan
antara laki-laki dan perempuan yang memiliki perbedaan kewarganegaraan.
Terjadinya perkawinan campuran ini akan menyebabkan masalah hukum antara tata
hukum adat dan/atau hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang akan
diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Akan tetapi dalam perkembangannya
hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut, sehingga
125
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 82.
112
perkawinan campuran dapat dilaksanakan. Pada dasarnya perkawinan campuran bukan hanya
sebatas perbedaan kewarganegaraan sebagaimana yang didefiniskan dalam UUP, karena
perbedaan suku pun menjadi perkawinan campuran seperti suku Lampung menikah dengan
suku Jawa, dengan catatan memiliki kepercayaan yang sama baik sejak lahir maupun
sebelum perkawinan dilakukan (mualaf).
e) Perkawinan Lari
Perkawinan lari sering terjadi pada tatanan garis keturunan ayah pada umumnya dan
wilayah-wilayah parental126 seperti masyarakat adat Lampung, Batak, Bali, Bugis/Makasar,
dan Maluku. Meskipun perkawinan lari merupakan pelanggaran adat, akan tetapi dalam
lingkungan masyarakat adat tersebut terdapat tata-tertib cara menyelesaikannya.
Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem
pelamaran.127 Oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat berlaku bentuk perkawinan
jujur, semanda atau bebas (mandiri), tergantung pada keadaan dan perundingan kedua pihak.
Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara perkawinan lari bersama dan
perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama yang dalam bahasa Belanda disebut
dengan istilah vlucht-huwelijk, wegloop-luwelijk, Batak : mangalawa, Sumatera Selatan :
belarian, Bengkulu : selarian, Lampung : Sebambangan, metudau, nakat, cakak lakei, Bali
: ngerorod, merangkat, Bugis : silariang, Ambon : lari bini128 yaitu perbuatan berlarian
untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si muli. Cara melakukan berlarian tersebut
ialah bujang muli sepakat melakukan kawin lari dan pada waktu yang sudah ditentukan
melakukan lari bersama, atau si muli secara diam-diam diambil kerabat pihak bujang dari
tempat kediamannya, atau si muli datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang yang
segala sesuatunya berjalan menurut tata-tertib adat berlarian. Akan tetapi, pada masyarakat
adat Lampung sangat jarang terjadi seorang muli yang datang sendiri ke rumah pria, jika hal
tersebut terjadi maka terdapat keadaan yang tidak baik bagi si muli (hamil di luar perkawinan
yang sah).
Pada dasarnya perkawinan lari terjadi atas kesepakatan antara bujang dan muli, akan
tetapi terdapat pengecualian bagi perkawinan lari paksaan (Belanda : Schaak-huwelijk,
Lampung : Dibembangkan, ditekep, ditenggang, ditunggang, Bali : Melegandang) adalah
126
Mr. B. Ter Haar Baz (Disunting oleh Bambang Danu Nugroho), Asas-asas dan Tatanan Hukum Adat, Mandar
Maju, bandung, 2011, hlm. 140
127
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Op.Cit., hlm. 189
128
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 189-190
113
perbuatan melarikan muli dengan akal tipu, atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas
persetujuan si muli dan tidak menurut tata tertib adat berlarian129.
Pada masyarakat Ambon kawin lari adalah cara untuk melangsungkan perkawinan
yang lazim. Hal ini disebabkan terutama karena Ambon umumnya lebih suka menempuh
jalan pintas, suatu cara untuk menghadapi prosedur perundngan dan upacara. Proses kawin
lari pada masyarakat Ambon dilakukan dengan cara pemuda dengan teman atau saudaranya
membawa lari si gadis dari kamarnya pada malam hari dengan membawa pakaian dan
perlengkapannnya. Biasanya diatas tempat tidur si gadis diletakkan sebuah amplop putih
panjang yang berisi surat untuk orang tua si gadis yang memberitahukan bahwa anak
gadisnya dilarikan130.
Sedangkan pada masyarakat Batak dikenal adanya kawin lari yang disebut
mangalawa. Hal ini terjadi karena misalnya tidak ada persesuaian antara salah satu atau
kedua belah pihak kaum kerabat. Pada kawin lari seperti ini, dalam waktu kurang dari satu
hari, kaum kerabat laki-laki harus mengirimkan delegasi ke rumah orang tua si gadis untuk
memberitahukan bahwa anak gadisnya telah dibawa dengan maksud untuk dikawini (Toba :
dipraja). Selang beberapa waktu lamanya, akan diadakan upacara manuruk-nuruk untuk
meminta maaf. Setelah upacara menuruk-nuruk dilakukan, barulah disusul oleh upacara
perkawinan.131
Setiap perbuatan yang dilakukan pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai, begitu
pula dengan perkawinan yang dilakukan memiliki tujuan tertentu yang akan dicapai. Pasal 1
UUP menyatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa tujuan perkawinan
adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah.
Bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, tujuan perkawinan adalah
untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan
129
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm.
183.
130
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, jakarta, 2012, hlm. 227-228.
131
Soerjono Soekanto, Op.Cit. hlm. 229.
114
atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga atau kerabat, untuk memperoleh nilai-
nilai adat budaya dan kedamaian, serta untuk mempertahankan kewarisan.132
Dengan demikian maka tujuan perkawinan menurut hukum adat pastilah berbeda-
beda antar suku bangsa satu dengan suku lainnya. Pada masyarakat kekerabatan patrilinial,
perkawinan dilakukan dengan tujuan mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak
laki-laki harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan membayar uang jujur),
dimana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut (masuk) dalam kekerabatan suami dan
melepaskan kedudukan adatnya dalam suasana kekerabatan bapaknya.
Hal ini berbeda dengan masyarakat yang menganut kekerabatan matrilinial, dimana
perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak wanita
(tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami (semanda) dimana setelah
terjadinya perkawinan suami ikut (masuk) dalam kekerabatan isteri dan melepaskan
kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang tuanya.133
Tujuan perkawinan untuk mempertahankan keturunan itu masih bertahan sampai saat
ini, kecuali masyarakat adat dengan kekerabatan parental, dimana ikatan kekerabatannya
sudah lemah. Oleh karena itu, secara keseluruhan perkawinan dilakukan semata-mata untuk
mencapai kebahagiaan yang kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
mempertimbangkan kelestarian hukum adat.
Hukum adat pada umunya tidak mengatur tentang batas usia untuk melangsungkan
perkawinan.134 Hal mana berarti hukum adat membolehkan perkawinan semua umur. Akan
tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan menimbulkan perbedaan antara masyarakat
adat patrilineal, matrilineal dan parental. Hal tersebut terjadi dikarenakan laki-laki dan
perempuan yang memiliki status sebagai seorang anak tidak memiliki wewenang untuk
menentukan jodoh atau pendamping hidupnya.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan hukum adat bahwa batas usia bukanlah
menjadi asas mutlak sebagai syarat melangsungkan perkawinan. Adapun yang menjadi tolak
ukur melangsungkan perkawinan adalah baligh secara biologis. Oleh karena itu, bukanlah
132
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2014,
hlm.10
133
Ibid, hlm. 22
134
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Islam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm 49
115
suatu hal yang aneh apabila zaman dahulu banyak masyarakat adat yang melangsungkan
perkawinan ada usia yang terbilang sangat dini. Hal tersebut berbeda dengan ketentuan UUP
yang menentukan batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan yaitu bagi pria yang
telah mencapai 19 tahun dan wanita usia 16 tahun.
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari suku
keluarganya sendiri.sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia. Menurut van
Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogamy ini,
yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini pun sistem ini akan lenyap dengan
sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan daerah lainnya akan menjadi lebih mudah, erat
dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja; lagi pula
endogamy sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada didaerah itu,
yaitu parental.135
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah dengan suku
sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, dan berputarnya
zaman lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, sehingga larangan
perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.
Sistem ini dapat di jumpai daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan,
Buru dan Seram.136
Sistem Eleutherogami berbeda dengan kedua sistem diatas, yang memiliki larangan-
larangan dan keharusan- keharusan. Eleutherogami tidak mengenal larangan- larangan dan
keharusankeharusan tersebut. Larangan- larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah
larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan ikatan
kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan) seperti kawin dengan ibu, nenek, anak
135
Soerjono Soekanto, 1992, Intisari Hukum Keluarga, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.132.
136
Ibid.,
116
kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Atau larangan kawin
dengan musyahrah (per-iparan) seperti kawin dengan ibu tiri, mertua, anak tiri.137 Dalam
sistem ini dapat di jumpai hampir di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Jawa.
Dalam proses pernikahan masyarakat Jawa Timur, terdiri dari beberapa tahap. Setiap
tahap yang ada dalam prosesi pernikahan Jawa memiliki arti ataupun makna tersendiri.
Hingga saat ini prosesi dari adat pernikahan Jawa Timur masih dilaksanakan oleh pihak laki-
laki maupun perempuan, adapun beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Memilih Jodoh
Sebelum menikah sebuah pasangan harus melalui beberapa syarat dan perhitungan
yang dahulu sangat dipercaya oleh nenek moyang, sampai saat ini masih ada beberapa
kelompok masyarakat yang mematuhi syarat-syarat tersebut.
Dalam lamaran dan pertunangan masyarakat Jawa Timur, pihak laki-laki mengutus
beberapa orang yang dipercaya untuk melamar calon perempuan sedangkan calon mempelai
laki-laki sendiri tidak diperbolehkan datang ke rumah calon mempelai perempuan. Biasanya
orang yang diutus ke rumah calon perempuan adalah orang tua, saudara orang tua laki-laki,
kakek, nenek atau keluarga dekat pihak laki-laki. Pada acara ini, pihak keluarga laki-laki
membawa cincin, kalung dan uang. Uang yang dibawa disini bukanlah uang panaik, uang ini
dimaksudkan sebagai simbol bahwa pihak keluarga perempuan menerima pinangan dan
lamaran dari pihak lakilaki.Ketika pihak keluarga laki-laki datang, calon mempelai
perempuan tidak diizinkan keluar kamar atau bertemu dengan keluarga pihak laki-laki. Dari
pihak perempuan ada yang ditugaskan khusus untuk menerima lamaran dari pihak keluarga
laki-laki, apakah saudara calon mempelai perempuan ataukah saudara orang tua calon
mempelai perempuan. Pada acara lamaran dan pinangan hanya keluarga kedua belah pihak
yang saling bercerita mengenai berapa duek seserahan(uang naik), kapan tanggal yang cocok
atau yang sesuai dan di tentukan kapan uang panik akan diantar ke rumah calon pengantin.
137
Ibid., hlm. 132-133.
117
Hari baik adalah hari yang di tunggu-tunggu dengan gembira agar dapat terlaksananya
kegiatan tanpa ada gangguan apapun. Perhitungan weton, pasaran, dan hari kelahiran calon
pengantin pria dan wanita yang berkepentingan. Menentukan waktu baik menyangkut hari,
waktu, tanggal bulan dan tahun, serta saat melaksanakan ijab kabul. Untuk perhitungan nilai
hari dan nilai pasaran harus dihitung neptunya atau nilainya, misalnya senin kliwon , senin
nilainya 4 sedangkan kliwon nilainya 8 (lihat tabel 1 dan 2) bila di jumlah (8+4) = 12. Jumlah
angka tersebut tiba boleh lebih dari 9, maka jumlah tersebut harus diringkas dengan cara
angka depan dijumlahkan dengan angka belakang yaitu 1+2 = 3, begitulah seterusnya.
Berikut ini pedoman untuk mencari dan menentukan hari baik yang berkaitan
4. Seserahan
5. Pasang Tarub
Pasang Tarub diartikan sebagai kegiatan persiapan orang Jawa yang akan
menyelenggarakan temu manten (pesta menikahkan anaknya). kata tarub berasal dari kata
118
ditata karep ben murup (ditata agar lebih hidup), kegiatan ini berupa penataan ruang dan
pemasangan tenda di sekitar rumah yang punya hajatan untuk di jadikan sebagai ruang para
tamu rewang yang membantu jalannya acara pernikahan. Selain mendirikan tenda, dalam
tradisi ini juga dilakukan pemasangan berbagai hiasan seperti anyaman daun kelapa,
rangkaian janur kuning, kelapa muda, pisang suluh dan berbagai dedaunan lainnya. Seluruh
elemen hiasan yang dibuat dalam tradisi Tarub memiliki berbagai simbol do’a keselamatan
lahir batin untuk pasangan pengantin yang akan menjalani proses pernikahan. Anyaman daun
kelapa yang digunakan berfungsi sebagai peneduh, sedangkan rangkaian janur kuning
memiliki makna filosofis sendiri dimana janur bermakna sebagai sejane ning nur atau
harapan pada Nur Ilahi sedangkan kuning bermakna kalbu kang wening artinya hati yang
bening dan bersih. Jadi secara keseluruhan janur kuning dalam pernikahan adat Jawa
bermakna sebagai niat dari hati yang bersih menikahkan anak karena berharap ridho dari
Tuhan Yang Maha Esa. Pisang suluh (matang alami) memiliki makna agar kedua mempelai
memiliki pribadi yang benar-benar sudah dewasa bukan bersifat kekanakkanakan lagi. Janur
kuning biasanya dipasang pada hiasan pintu masuk rumah pada bagian kanan dan kiri,
biasanya juga diletakkan hiasan sepasang pisang suluh. Pisang ini merupakan buah pisang
raja sebagai buah yang sudah masak secara alami juga sering disebut sebagai hiasan pisang
tuwuhan (pisang utuh), karena pisang suluhan yang dipasang masih lengkap dengan daun,
batang bahkan akarnya.
Akad merupakan perjanjian yang dilakukan antara kedua belah pihak yang akan
melaksanakan perkawinan yang diwujudkan dalam bentuk ijab qobul. Ijab adalah pernyataan
dari pihak perempuan yang diwakili oleh wali sedangkan Qobul yaitu pernyataan menerima
keinginan dari pihak pertama untuk menerima maksud tersebut.
Pangih atau temu dalam tradisi masyarakat Jawa berarti mempertemukan kedua
mempelai pengantin peria dan wanita setelah dilaksanakan ijab qobul. Proses temu manten
dimulai saat mempelai laki-laki keluar dari tempat pelaksanaan ijab qobul menuju pintu
masuk (penjemput tamu) dengan di temani kerabat dekatnya orang tua mempelai laki-laki
tiak boleh menemani dalam acara ini. Selanjudnya mempelai wanita keluar dari rumah
dengan diapit oleh dua orang tetua perempuan dan diikuti dengan orang tua dan keluarga, di
depan pengantin wanita terdapat dua anak perempuan yang biasa disebut patih dan dua orang
119
laki-laki yang masih lajang membawa kembang mayang. upacara dilanjudkan dengan
penukarang kembang mayang, segala peristiwa yang menyangkut suatu formalitas peresmian
ditengah masyarakat peru kesaksian. Fungsi kembang mayang sebagai saksi dan penjaga
serta penangkal tolak bala. Mempelai putri dan mempelai putra melanjudkan upacara dengan
melakukan beberapa ritual sebagai berikut:
a. Balang-balang Gantal
Mempelai putri dan mepelai putra dibimbing menuju ‘titik pangih’ pada jarak lebih
kurang lima langkah, masing-masing mempelai saling melontarkan sirih atau gantal yang di
tali dengan benang putih yang telah disiapkan. Arah lemparan mempelai putra diarahkan ke
dada mempelai putri, sedangkan mempelai putri mengarahkan ke paha mempelai putra.
Tahab ini memiliki maknasebagai cinta kasih suami terhadap istrinya dan terdapat harapan
semoga semua godaan akan hilang.
b. Ngidak Tiga
Tatacara mengijak telur dilakukan oleh pengantin laki-laki, hal ini mempunyai
maksud permintaan pengantin kepada yang maha kuasa semoga dalam mengarungi rumah
tangga cepat di karuniai keturunan, sehingga dalam upacara ini pengantin laki-laki harus
mengijak telur dengan sungguh-sungguh supaya telur tersebut benar-benar pecah yang
melambangkan menyatunya laki-laki dan perempuan. Seperti menyatunya putih telur dan
kuning telur.
Mempelai putra mengijak telur ayam hingga pecah. Lalu mempelai putri membasu
kaki mempelai putra dengan air kembang setaman, yang kemudian dikeringkan dengan
handuk. Proses ini melambangkan kesetian istri kepada suami, istri selalu berbakti dengan
senang hati dan bisa memaafkan segala hal yang kurang baik yang di lakukan suami.
Proses ini melingkarkan kain sindur yang berwarna merah ke pinggul kedua
mempelai, mempelai putra di sebelah kanan oleh bapak dan ibu mempelai putri. Saat
berjalan perlahan-lahan menuju pelaminan dengan iringan musik tradisional, paling depan
diawali bapak mempelai putri mengiringi dari belakang dengan memegangi kedua ujung
sindur. Prosesi ini menggambarkan betapa kedua mempelai telah diterima keluarga besar
120
secara utuh dengan penuh kasih sayang tanpa ada perbedaan antara anak kandung dan
menantu.
e. Dulangan
Dulangan atau menyuapi, antara pengantin peria dan wanita saling menyuapi nasi satu
sama lain melambangkan kedua mempelai akan hidup bersama dalam susah dan senang dan
saling menikmati yang menjadi milik mereka bersama. Ibu dari pengantin perempuan akan
memberikan sebuah piring kepada pengantin perempuan yang berisi nasi kuning, telur
goreng, kedelai, tempe, abon, dan hati ayam.kemudian pengatin peria menyuapkan nasi ke
pengantin perempuan setelah itu pengantin perempuan juga menyuapi pengantin laki-laki.
setelah mereka selesai dulangan mereka kemudian meminum the manis.
f. Sungkemaan
Sungkemaan adalah upacara untuk mengungkapkan bakti anak kepada kedua orang tua,
serta memohon doa restu. Upacara sukeman di lakukan dengan cara berjongkok dengan sikap
seperti menyembah, kemudian pengantin menyentuh lutut orang tua pengantin wanita. Di
awali dengan pengantin wanita baru kemudian diikuti dengan pengantin pria. Setelah itu baru
sungkeman kepada kedua orang tua pengantin laki-laki.
Sepasaran lan wilujeng pengantin yaitu dengan mengucapkan rasa syukur kepada
yang maha kuasa karena acara perkawinan yang telah dilaksanakan telah berjalan baik
dan lancar, serta berdo’a supaya dalam mengarungi kehidupan rumah tangga selalu
dinaungi lindungan dan rahmat dari sang maha kuasa.138
138
Miftahussaidah,Unsur-Unsur Budaya Islam Dalam Pernikahan Jawa Timur,Makassar, hlm 44
121
Masyarakat patrilinial didasarkan atas pertalian darah menurut garis bapak. Oleh
karena itu, perkawinan dalam sistem ini akan mengakibatkan si isteri tersebut akan menjadi
warga masyarakat dari pihak suaminya. Corak utama dari perkawinan pada sistem
kekeluargaan patrilinial ini adalah disertai dengan pembayaran perkawinan. Maksud dari
pembayaran perkawinan (Jujur) oleh pihak lelaki kepada pihak perempuan, merupakan
pertanda bahwa hubungan kekeluargaan si isteri dengan orang tuanya, saudara-saudaranya
bahkan masyarakatnya telah diputuskan. Sebagai konsekuensi dari keadaan itu, maka anak
yang akan lahir dari perkawinan ini akan menarik garis keturunan ayahnya dan akan menjadi
anggota dari masyarakat hukum adat dimana ayahnya juga menjadi anggotanya. 139
Apabila perkawinan dilakukan dan pembayaran belum diberikan atau ditunda, maka
suami harus mengabdi kepada kerabat istri sampai pembayaran jujur nya terlunasi. Dalam hal
ini, suami tidak masuk pada kerabat istri, anak-anak yang lahir dalam masa pengabdian
biasanya masuk ke golongan kerabat istri, akan tetapi jika jujur nya sudah terlunasi, maka
keadaan ini akan berubah.
139
Soerjono Soekanto, 2007, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm 240
140
Ibid, hlm 242
122
Istilah uang antaran (Melayu), tukon (Jawa) merupakan pembayaran perkawinan
yang sesungguhnya tidak ada lagi hubungannya dengan fungsi jujur. Kadang-kadang
pemberian perkawinan ( demikian juga dengan maskawin dalam Islam) dipandang sebagai
salah satu yang merupakan syarat sahnya perkawinan.
2.5.2 Akibat terhadap para pihak yang melangsungkan perkawinan
141
Ibid, hlm 244
123
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dalam hukum adat, Perkawinan atau pernikahan merupakan hidup bersama antara
seorang laki-laki dengan seorang atau beberapa orang perempuan sebagai suami istri dengan
maksud untuk melangsungkan generasi. Tidak hanya untuk urusan pribadi anatara orang-
orang kawin, tetapi juga menjadi urusan keluarga, suku, masyarakat, dan kasta. dalam
masyarakat adat Patrilinial, Matrilinial, dan Parental di Indonesia terdapat bentuk-bentuk
perkawinan adat diantaranya : perkawinan jujur, perkawinan semanda, perkawinan bebas,
perkawinan campuran dan perkawinan lari.
Adapun tujuan dari perkawinan adat bagi masyarakat hukum adat yang bersifat
kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis
kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga atau kerabat,
untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, serta untuk mempertahankan
kewarisan. Macam-macam sistem perkawinan adat yaitu: sistem endogamy, exogami dan
eleutherogami.
3.2 SARAN
Apa bila makalah yang kami tulis masih banyak kekurangan mohon dimaklumi
karena kami juga masih dalam tahap belajar dan kami sadar kami hanyalah sebatas manusia
biasa yang masih banyak kekurangan. Umtuk itu kami berharap dengan adanya makalah ini
semoga bermanfaat untuk kami dan juga untuk para pemabaca.
124
DAFTAR PUSTAKA
Dr. St. Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2016
Mr. B. Ter Haar Baz (Disunting oleh Bambang Danu Nugroho), Asas-asas dan Tatanan
Hukum Adat, (Bandung : Mandar Maju), 2011
125
HUKUM HUTANG PIUTANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pengertian hukum adat, yang dimaksud dengan hukum perutangan
ialah keseluruhan hukum yang mengatur hak atas barang-barang selain tanah,
perpindahan hak-hak itu dan hukum yang mengatur jasa-jasa.
Jadi hukum perutangan ini bukan bentuk hukum mengenai hutang piutang yag diatur
dalam BW. Pengertian hak disini pada umumnya juga disebut dengan hak milik,
meskipun tidak sealu berupa hak milik dalam arti yang bebas yaituang tidak dikuasai
atau dibatasi oleh hak ulayat atau hak purba.
Menurut Mr. B. Ter Haer Bzn dalam bukunya Beginselen en stelsel Van Het
Adatrecht hukum perutangan meliputi
a. Hak-hak atas rumah, tumbuh-tumbuhan ternak dan benda-benda lainnya.
b. Perbuatan kredit, tolong menolong bersama, timbal balik dan tolong menolong
khusus.
c. Perkumpulan yang berdasarkan tolong menolong
d. Perbuatan kredit seseorang
e. Perbuatan yang merugikan penagih utang
f. Alat pengikat dan tanda-tanda yang kelihatan
B. Rumusan Masalah
a. Hak atas perumahan, tumbuh-tumbuhan, ternak dan barang ?
b. Sumbang-menyumbang, sambat sinambat, tolong menolong ?
c. Panjer (tanda yang kelihatan) ?
d. Kredit perseorangan ?
e. Contoh hukum adat hutang piutang pada masyarakat adat batak toba ?
126
BAB II
PEMBAHASAN
1. Dalam transaksi tentang pekarangan termasuk praktis selalu rumah dan tumbuh-
tumbuhan yang ada disitu, objek transaksi (transaksi jual) dalam hal ini jadinya
pekarangan, rumah dan tumbuh-tumbuhan. Transaksi demikian dinamakan ADOL
NGEBRENGI.
2. Kadang-kadang hak milik atas tumbuh-tumbuhan membawa pula hak milik atas
tanahnya.
Contoh : menanam pohon-pohon di tanah yang telah ia buka, setelah mengambil
hasilnya, ia meninggalkan tanah dan pohion-pohon tersebut. Kemudian si
penanam tersebut masih mempunyai hak atas pohon yang ditanamnya akan tetapi
lazimnya tanahnya kembali kepada hak Ulayat Persekutuan.
127
Akan tetapi di beberapa tempat si penanam pohon tersebut masih dianggap juga
memiliki atas sebidang tanah yang ditutupi oleh daun-daun pohin-pohonan yang
ditanam itu. Dan jika pohon yang ditaman itu jarak diantaranya sangat kecil
sehingga tanah diantara pohon-pohon itu tidak berarti lagi bagi orang lain, maka
pemilik pohon-pohin itu pula dianggap menjadi pemilik tanahnya, jika dalam hal
ini hak tanah mengikuti hak tumbuh-tumbuhan.142
Kenyatan bahwa penanam pohon-pohonan menjadi pemilik dari hasil tanam
itu dapat pula merupakan titik pangkal bagi hubungan-hubungan hukum yang
timbul karena seseorang menanam tanaman diatas tanah orang lain, misalnya:
a. Penanam tanpa hak, dapat diwajibkan menyerahkan sebagian hasil
tanamannya sebagai pengganti kerugian kepada pemilik tanah.
b. Penanam tanpa hak yang beri’tikad baik, dibenarkan memungut sebagian hasil
tanamannya sebagai pengganti usaha dan biaya yang telah dikeluarkan.
c. Penggarap tanah tanpa hak yang beri’tikad baik harus menjaga agar pemilik
tanah jangan sampai menderita kerugian, meskipun si pemilik tanah ini tidak
perlu mendapat untung yang berlebihan.
d. Penanaman sah diatas tanah orang lain yang menanami tanah itu berdasarkan
transaksi (misalnya bagi hasil), menurut hukum adat dapat juga dipandang
sebagai pemilik hasil tanaman, yang harus menyerahkan sebagian daripadanya
kepada pemilik tanah.143
3. Hak Milik Atas Tanah terikat oleh hak milik atas rumah tembok yang ada disitu,
satu sama lain karena rumah tembok itu tidak mudah untuk dipindahkan seperti
rumah yang terbuat dari bambu atau pun kayu.
142
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung:Penerbit Alfabeta, 2015, hlm. 310
143
H.A.M. Effendy, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang, 1990, hlm. 55
128
maka si pemegang gadai memiliki kuasa atau hak penuh untuk memetik buah-
buahan dari pohon-pohon tersebut untuk dimilikinya.
Hak petik buah-buahan ada pada si pemegang gadai serta si pemilik atau pihak
yang menggadaikan pohon buah-buahan harus mengijinkan si pemegang gadai
untuk masuk kekebunnya untuk memetik buah-buahan yang bersangkutan. Dan
apabila pihak yang menggadaikan melarang si pemegang si pemegang gadai untuk
melakukan hal tersebut maka si pemegang gadai dapat menuntut diakhirinya
diakhirinya transaksi serta meminta tebusannya.
Hal serupa seperti ini biasnya terjadi di daerah, Garut, Banyumas, Banjar Negara,
Purwokerto, Wonsobo, dan Kebumen.
2. Hak milik atas ternak
Hak milik atas ternak kadang-kadang terikat oleh aturan-aturan khusus tentang
memotongnya dan menjualnya tetapi dengan ikatan yang sedemikian ini tidaklah
berarti bahwa hak milik atas ternak itu tidak ada.
Khusus di Tapanuli terdapat apa yang disebut Milik Sebagian (deelbezit)
daripada ternak misalnya memiliki ¼ kerbau, ini disebabkan karena didaerah
tersebut ada kebiasaan ternak disuruh untuk memelihara kepada orang lain dengan
perjanjian kelak apabila sudah dijual hasil penjualannya akan dibagi.
Perlu juga dikemukakan pula disini bahwa pemilik ternak (kerbau,sapi,kambing
atau ayam) kadang-kadang membiarkan ternaknya dipelihara oleh orang lain
dengan suatu perjanjian bahwa yang memelihara itu akan berhak atas sebagian
daripada anak-anak ternak yang nantinya akan dilahirkan.
Menyuruh orang lain untuk memelihara ternak itu disebut TITIPAKE atau
NGGADUHAKE (jawa), NGGADUHAKEUN atau NGABUBUARAKEUN
(pasundan). Sedangkan perjanjian tentang pembagian anak-anak ternak
dikemudian hari itu disebut JANJI MARO, JANJI MERTELU (jawa), NENGAH,
MAPARO, JEJERON (pasundan).
Pemeliharan ternak wajib menanggung sendiri ongkos-ongkos
pemeliharaannya ini sebagai imbangan ia memperoleh hak sebagian dari anak-
anak ternak yang kemudian lahir. Apabila ternyata si pemelihara tidak melakukan
tugasnya (memelihara) sebagai mana mestinya maka pemilik ternak berhak
129
mengambil kembali tanpa diwajibkan memberikan ganti rugi kepada si
pemelihara.144
Mengenai perjanjian bagi hasil pemeliharaan ternak ini biasanya terdapat
ketentuan sebagai berikut:
a. Kalau ternak yang dipelihara itu matiatau hilang karena kesalahan/kelalaian si
pemelihara, maka ia harus memberi ganti kerugian kepada si peilik ternak.
b. Kalau pemilik ternak mengambil kembali ternaknya, maka ia harus mengganti
biaya-biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh si pemelihara untuk memelhara
ternak tersebut, kecuali kalau:
- Pengambilan itu dosebabkan karena kesalahan si pemelihara (misalnya :
tidak memelihara ternaknya dengan baik sehingga menjadi kurus), atau
- Si pemelihara ini telah menggunakan tenaga ternak yag di peliharanya itu
untuk menggarap sawah, menarik gerobak, dan lain-lain.
144
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung:Penerbit Alfabeta, 2015, hlm. 311
130
hukum adat dikenal pula: menggadaikan barang pula selain tanah (di jawa
disebut: nyekelake, yang artinya memegangkan). Perjanjian ini berlangsung
dengan penyerahan barang gadai tersebut ketangan pemegang gadai dan orang
yang menggadaikan menerima uang gadainya.
Ketentuan hukum adat mengenai penggadaian ini antara lain sebagai berikut:
a. Si pemegang gadai harus menyimpan barang gadai itu dengan baik-baik
b. Si pemegang gadai dapat memakai barang yang digadaikan kepadanya, sedang
si penggadai tidak usah membayar bunga gadai tersebut, kalau si pemegang
gadai tidak dapat memakai barang yang digadaikan iu, maka biasanya
penggadaian ini disertai bunga gadai.
145
H.A.M. Effendy, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang, 1990, hlm. 57-58
131
B. Sumbang menyumbang, sambat sinambat, tolong menolong
Tolong-menolong timbal balik, ialah perbuatan seseorang yang karena
keadarannya memberikan sesuatu kepada orang lain untuk membalas budi, karena ia
meraa berhutang kepada orang lain itu.
Misalnya : pemberian sumbangan-sumbangan yang dierikan kepada orang lain
yang sedang mempunyai hajat mengkhitankan, perkawinan, atau kalau ada kelahiran,
kematian dan sebagainya.
Pada umumnya pemberian semacam itu oleh orang yang meerima sumbangan
dianggap sebagai hutang, yang harus dikembalikan lain kali dengan nilai yang
sepadan. Tolong-menolong timbal balik ini juga sering terjadi dalam mengerjakan
tanah pertanian dan dalam mendirikan rumah didaerah pedesaan, yang biasanya
disebut sambat sinambat (jawa), resaja (sunda), seray (melayu), masohi (ambon).
Tolong menolong bersama, ialah perbuatan anggota masyarakat yang melakukan
sesuatu untuk kepentingan bersama. Jadi dasarnya bukan untuk membalas budi atau
ingin mendapatkan pembalasan budi dikemudian hari, melainkan semata-mata demi
bakti dan pengabdiannya dalam masyarakat atau desaya..
Misalnya : kerja bakti (Indonesia), gugur-gunung atau kerigan (jawa) dalam
membuat jalan, tanggul, membersihkan pengairan, membangun masjid,
membersihkan kuburan dan lain sebagainya.
Bantuan warga persekutun hukum kepada kepala persekutuankepala sukunya,
yang disebut pancen (jawa), resajo (mingkabau) atau kwarto (ambon) dapat dianggap
sebagai tolong menolong bersama untuk kepentingan pejaba persekutuan. Tetapi juga
dapat dianggap tolong menolong timbal balik, sebagai balas jasa kepada persekutuan
terhadap sekalian warganya.
Tolong menolong khusus, ialah perbuatan kejaama antara golongan
masyarakat tertentu saja, misalnya: khusus diantara wanita, diantara kaum remaja,
diantara para pemilik sawah dan sebagainya. Juga perjanjian bagi hasildalam bidang
pertanian dapat meruakan bentuk tolong menolong khusu diantara para petani.
Tolong-menolong yang kita jumpai didalam adat ternyata yang mempunyai
dasar tolong-menolong artinya “tanpa ada pikiran supaya dikemudian hari dapat
diterimabalasan pertolongan apabila sekarang memberikn sebuah pertolongan”
Dasar gotong royong ini lazimnya terdapat pada kerjasama untk mencapai suatu
maksud atau tujuan bersama sehingga tiap warga persekutuan mereka berkewajiban
untuk turut serta memberikan bantuan.
132
Dengan dasar sumbang-menyumbang ini timbul perkumpulan-perkumpulan
yang azaz tujuannya kecuali mempererat ikatan persaudaraan diantara anggotanya
juga memberikan bantuan kepada para anggota tersebut secara bergilir, seprti :
1. Perkumpulan MAPALUS di MINAHASA untuk menyokong pekerjaan pertanian
misalnya.
2. JULA-JULA (minangkabau), MOHAKKA (slayar), MAPALUS UANG
(minahasa). Yang ada pada jaman sekarang terkenal dengan nama perkumpulan
arisan yang mewajibkan para anggotanya tiap bulan menyumbangkan sejumlah
uang serta memberi kesempatan kepada mereka masing-masing secara bergiliran
untuk menggunakan uang yang tlah dikumpulkan itu.146
3. Subak di Bali, adalah perkumpulan para pemilik sawah yang yang bertujuan untuk
membagi dan mengurus pengairan bagi sawah-sawah milik para anggota. Kalau
tujuan itu untuk bersama-bersama menunaikan tugas-tugas desa atau untuk
menggali terusan/pengairan bersama-sama, menuai padi bersama-sama dan
sebagainya, maka perkumpulan ini disebut sakaha/sakaha desa (di jawa: dharma
tirta).
4. Koperasi yang pada dasarnya juga merupakan perkumpulan yang berdasarkan
tolong-menolong atau gotong-royong untuk meringanka kebutuhan materiil para
anggotanya.
146
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung:Penerbit Alfabeta, 2015, hlm. 314
133
2. Si pembeli juga harus menepati janjinya membeli barag itu dan membayar seluruh
harga pada waktu yang telah ditentukn, kalau si pembeli lalai dalam
melangsungkan perjanjian jual beli yang teah isepakati pada waktu yang telah
ditentukan, maka ia akan kehilanganuang panjer yang telah dibayarkan dan si
penjual yang telah menerima panjer tersebut mempunyai alasan untuk
membatalkan perjanjian jual beli tersebut. Sebaliknya jika si penjual telah
menerima uang panjer itu tidak menepati janjinya, maka ia harus mengenmbalikan
uang panjer yang telah diterimanya ditambah lagi dengan uang kerugian, misalnya
sejumlah uang panjer yang telah diterimanya.
Tanda pengikat dalam bentuk uang panjer ini tidak hanya terjadi dalam perjanjian
jual-beli saja, melainkan dapat pula terjadi pada perjanjian lain, seperti:
Hampir semua tanda pengikat seperti yang trlah disebutkan diatas, ialah dngan
memberikan suatu tanda yang kelihatan, yaitu oleh hukum adat diakui mempunyai
akibat hukum tertentu.
1. Srama (jawa), yaitu suatu persembahan dari seseorang yang disertai permohonan
kepada pemilik tanah, agar diperkenankan ikut mengerjakan tanah yang dimiliki
orang tersebut, dengan perjanjian bagi hasil.
2. Mesi (jawa), yaitu suatu persembahan seeorang yang disertai permohonan kepada
kepala persekutuan untuk diperenankan memetik hasil dari tanah milik
persekutuan.
134
3. Lilikur (minahasa), ialah pemberian tanah dari ayah kepada seorang ibu yang telah
melahirkan anak yang tidak sah, untuk menyatakan adanya hubungan anak
tersebut dengan ayah yang memberikan hadiah itu (untuk mengesahkan anak tidak
sah)
4. Parade (minahasa), ialah pemberian tanah dari seseorang yang mengangkatanak
orang lain kepada orang tua kandung anak tersebut, untuk memutuskan hubungan
hukum dengan orang tua kandungnya dan menimbulkan hubungan hukum dengan
orang tua angkatnya.
5. Besel (jawa), ialah suatu pemberian hadiah yang biasanya berupa uang atau
barang berharga kepada seseorang, dengan harapan agar orang yang menerima
hadiah ini mau melakukan tindakan yang menguntungkan bagi pihak yang
memberikan hdiah tersebut.. pembein semacam ini sering juga disebut dengan
nama suapan, uang semir atau uang pelancar.
6. Peneksi (jawa), ialah uang pemberian dari pembeli tanah kepada pamong desa
sebagai tanda bahwa jual beli yang dilakukannya disahan oleh pamong desa
tersebut.
7. Tanda-tanda lainnya yang merupakan lambang dari suatu suatu peristiwa atau
kedudukan dapat berupa macam-macam akte, seperti akte perjanjian, piagam-
piagam penghargaan, juga tanda-tanda pangkat, dan sebagainya yang merupakan
tanda-tanda yang terlihat yang harus diperhatikan dan dhargi oleh masyarakat
yang bersangkutan.147
Perjanjian dengn panjer mengandung janji untuk melaksanakan apa yang telah
disepakati bersama dari kedua belah pihak, sedangkan perbuatan utang pelaksanaan
perbuatan telah ada dari salah satu pihak yaitu dari yang memberi pinjaman uang,
147
H.A.M. Effendy, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang, 1990, hlm. 73-78
135
sedangkan prestasi pihak yang berutang baru dilaksanakan kemudian hari, sesuai
dengan apa yang telah disepakti bersama.
D. Kredit perseorangan
Utang atau pinjaman uang adalah merupakan perbuatan normal dalam
Masyarakat Indonesia baik pinjaman memakai maupun tanpa memakai bunga.
Meskipun memungut bunga menurut Agama Islam tidak dibenarkan, akan tetapi
dalam kenyataannya banyak orang atau perkumpulan juga yang melakukan pinjaman
dengan bunga. Pada suku Batak adalah istilah Manganahi untuk utang dengan bunga
dan istilah Morsali untuk yang tanpa bunga.
Dalam praktiknya utang itu berujud sebagai Utang Barang, Utang Makanan
dan lain sebagainya ada pula yang Utang Uang dengan perjanjian mengembalikan
dalam bentuk Natura berujud misalnya hasil bumi, hasil peternakan dan lain
sebagainya.
1. Tanggung Menanggung
Salah satu akibat dari perbuatan utang adalah Tanggung Menanggung.
Perasaan persatuan dan kesatuan yang kuat sekali di dalam persekutuan
menyebabkan timbulnya kewajiban adat yang menganggap “utang dari salah
seorang warga persekutuan atau clan adalah utang persekutuan atau clarl”
sehingga kewajiban melunasi utang itu dapat diminta kepada salah seorang warga
perekutuan yang bersangkutan dan tidak perlu terbatas pada warga yang
melakukan pinjaman itu saja.
Adat kebiasaan demikian ini dikarenakan perkembangan jaman kini tidak dapat
terlihat lagi di hampir seluruh daerah, hanya di daerah pedalaman Kalimantan,
Sulawesi atau irian yang masih terasing oleh hubungan lalu lintas modern.
2. Borg atau Jaminan
Utang dengan borg atau jaminan terjadi apabila ada orang ketiga yang
bersedia menanggung pinjaman tersebut. Orang yang menanggung ini dapat
ditegur kalau si peminjam tidak dapat melunasi utangnya.
136
3. Kempitan
Ini adalah semacam perjanjian dengan komisi yang terdapat di Jawa (kini
kebiasaan ini kiranya telah meluas ke daerah-daerah lainnya). Dalam perjanjian
ini pemilik barang mempercayakan penjual barangnya kepada orang lain dengan
ketentuan setelah lampau waktu tertentu barangnya atau jumlah uang yang telah
ditetapkan sebelumnya diberikan kepada pemilik barang.
4. Ngeber
Transaksi ini ditemukan di Jawa Barat serta berupa suatu transaksi menjualkan
barangnya orang lain dengan ketentuan :
a. Kalau tidak laku dapat dikembalikan kepada pemilik barang
b. Kalau laku dengan harga harga yang lebih besar daripada harga yang
ditetapkan pada penutupan transaksi, maka selisihnya menjadi hak orang yang
menjualkan barang dimaksud.
5. Ijon atau Ijoan
Ijon adalah penjualan tanaman padi yang masih hijau (muda). Sekarang yang
diijonkan bukan padi saja melainkan juga jagung, ketela pohon dan lain-lain
palawija bahkan dapat diijonkan buah-buahan yang masih muda seperti jeruk,
mangga dan sebagainya.
Hasil panen dalam hal ini menjadi milik yan membeli pada waktu masih hijau.
Kalau yang membeli padi dan lain sebagainya itu dilakukan pada saat padi telah
masak dan sudah tiba waktunya untuk panen maka perbuatan tersebut dinamakan
Tebasan.
6. Ngaranan atau Mangara Anak
Di Minahasa dikenal adanya suatu perjanjian istimewa yaitu suatu kontrak
yang isinya adalah :
“pihak pertama (A) mewajibkan diri untuk memelihara pihak kedua (B) pada
waktu hidupnya dan mengatur harta bendanya setelah ia meninggal dunia. Pihak
pertama (A) berhak menerima sebagian dari harta peninggalan pihak kedua (B)
lazimnya sebesar bagian seorang anak”.
Kalau pihak kedua (B) tidak kawin atau tidak mempunyi anak maka pihak
pertama (A) malahan menerima keseluruhan harta peninggalan.
7. Makidihang Raga
Hal ini mirip dengan Ngaranan atau Mangara Anak di Minahasa, ini dijumpai
di Bali yaitu meletakan atau mengikatkan diri sendiri beserta segala harta
137
kekayaan di bawah asuhan orang lain, dan orang lain ini wajib mengurus segala
sesuatu setelah ia meninggal dunia (upacara pembakaran mayat) dan lain-lain
urusan yang perlu diselesaikan setelah meninggal dunia, sebagai imbalannya
orang lain itu berhak mewarisi harta peninggalannya.148
148
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung:Penerbit Alfabeta, 2015, hlm. 316-318
149
J. C. Vergouwen. Masyarakat dan hukum adat batak toba Yogjakarta :PT. LKIS Pelangi Aksara 2004
150
J. C. Vergouwen. Masyarakat dan hukum adat batak toba Yogjakarta :PT. LKIS Pelangi Aksara2004
138
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pengertian hukum adat, yang dimaksud dengan hukum perutanga ialah
keseluruhan hukum yang mengatur hak atas bamng-barang selain tanah, perpindahan
hak-hak itu dan hukum yang mengatur jasa-jasa.
Jadi hukum perutangan ini bukan hukum mengenai hutang-piutang seperti
yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata(B.W.). Pengertian hak di
sini pada umumnyajuga dinamakan hak milik.
Perbedaan prinsipal antara hak ini dengan hak-hak atas tanah adalah bahwa
terhadap hak ini berlaku terutama hak milik perseorangannya, sedangkan hak milik
atas tanah adalah hak persekutuan yang diutamakan
Orang yang meerima sumbangan dianggap sebagai hutang, yang harus
dikembalikan lain kali dengan nilai yang sepadan. Tolong-menolong timbal balik ini
juga sering terjadi dalam mengerjakan tanah pertanian dan dalam mendirikan rumah
didaerah pedesaan, yang biasanya disebut sambat sinambat (jawa), resaja (sunda),
seray (melayu), masohi (ambon).
Perjanjian jual-beli kadang-kadang terjadi bahwa sipenjual menyerahkan
barng-barang yang dijual kepda si pembeli, maa si pembeli membayar sebagian dari
harta yang di tentukan sebagai panjer (uang muka atau persekot)
139
DAFTAR PUSTKA
Tolib Setiady, 2015 Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung: Penerbit Alfabeta,
J. C. Vergouwen. 2004 Masyarakat dan hukum adat batak toba Yogjakarta :PT. LKIS
Pelangi Aksara
140
DELIK HUKUM ADAT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk social yang tidak bisa hidup sendiri, dengan kata lain
memerlukan orang lain untuk hidup. Maka daripada itulah manusia hidup
berkelompok dalam berbagai macam suku yang memiliki budaya, adat istiadat
ataupun kebiasaan dari daerahnya masing-masing.
Budaya-budaya yang dianut, tentunya sudah mendarah daging dalam
kehidupannya untuk selalu melaksanakan apa yang dimiliki oleh kebudayaannya
sendiri. Dan tentu saja di dalam kebudayaan itu terdapat sebuah adat istiadat yang
mengatur kehidupan manusia, baik itu adalah sebuah perintah ataupun larangan.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang “Hukum Adat Delik” , yang mana
mencakup sebuah adat yang didalamnya terkandung beberapa macam dan unsur yang
mengarah kepada larangan untuk melakukan sesuatu dalam suatu adat yang menganut
hukum yang diyakininya. Dan akan dibahas juga cara penyelesaian adat delik itu
sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan apa saja unsur-unsur hukum adat delik?
2. Bagaimana sifat hukum adat delik?
3. Apa saja macam-macam hukum adat delik?
4. Bagaimana cara penyelesaian adat delik?
5. Bagaimana perbedaan antara system hukum pidana menurut KUHP dengan
system hukum adat delik?
141
BAB II
PEMBAHASAN
Jadi yang dimaksud dengan delik adat adalah peristiwa atau perbuatan yang
mengganggu keseimbangan masyarakat dan dikarenakan adanya reaksi dari
masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali.153
Apabila kita amati beberapa batasan atau pengertian mengenai Hukum Adat Delik
sebagaimana dipaparkan di atas, maka pada pokoknya di dalam Hukum Adat Delik
terdapat 4 unsur penting yaitu :
1. Ada perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok atau pengurus
(Pimpinan/Pejabat) Adat sendiri.
2. Perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma hukum adat.
3. Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan goncangan karena mengganggu
keseimbangan dalam masyarakat.
4. Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi adat.154
B. SIFAT HUKUM ADAT DELIK
151
Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi (Bandung: Penerbit
CV. Mandar Maju, 2014), hlm.221
152
Tolib Setiady, S.H., M.Pd., M.H., Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan (Bandung:
Penerbit Alfabeta, 2015), hlm.319
153
Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H., op.cit hlm.222
154
Tolib Setiady, S.H., M.Pd., M.H., op.cit hlm.321
142
1. Tradisional Magis Religieus
Sebagaimana hukum adat pada umumnya sifat hukum delika adat adalah
tradisional dan magis religieus, artinya perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan
perbuatan mana mengganggu keseimbangan masyarakat itu bersifat turun temurun
dan dikaitkan dengan keagamaan.
Misalnya sejak dulu sampai sekarang anak tidak boleh murka kepada orang
tua, adik tidak boleh melangkahi kakak, pria dan wanita tidak boleh berzina, dan
sebagainya. Apabila larangan itu dilanggar, maka bukan saja keluarga, masyarakat
akan terganggu keseimbangannya, tetapi juga perbuatan itu akan mendapat
kutukan dari yang ghaib.155
3. Tidak Prae-Existente
Hukum Adat delik tidak menganut sistem prae-existente regels (Soepomo,
1967 : 102), artinya tidak seperti hukum pidana barat sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1 KUHP (WvS) S. 1915-732, yang menganut adigum Montesquieu
yang berbunyi “Nullum Delictim, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” (Tiada
suatu delik, melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam uandang-undang
yang telah ada lebih dulu dari perbuatan itu).
Menurut hukum adat, apakah ada peraturan yang telah ditetapkan terlebih
dahulu, ataukah belum ada sama sekali aturan hukumnya untuk diterapkpan
terhadap suatu delik yang terjadi, apabila akibat perbuatan itu mengganggu
keseimbangan masyarakat, maka peristiwa atau perbuatan delik itu dapat
dihukum. Suatu contoh yang menarik belakangan ini dikarenakan terjadinya
sebagai demonstrasi rakyat, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Jakarta mengeluarkan fatwanya tertanggal Jakarta 23 November 1991
bahwa “Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) dinilai banyak mudhorotnya
dan hukumnya aharam”.156
155
Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi (Bandung: Penerbit
CV. Mandar Maju, 2014), hlm.222
156
Ibid., hlm.223
143
4. Tidak Menyamaratakan
Apabila terjadi delik adat, maka yang terutama diperhatikan ialah timbulnya
reaksi atau koreksi dan terganggunnya keseimbangan masyarakat, serta siapa
pelaku perbuatan delik itu dan apa latar belakangnya. Terhadap pelaku delik
hokum adat tidak menyamaratakan, begitu pula peristiwa dan perbuatannya. Jika
misalnya delik adat itu dilakukan oleh orang yang bermartabat, golongan
bangsawan atau raja-raja adat, orang kaya, orang pintar, maKa hukumnya lebih
berat dari pelaku orang biasa, orang rendah atau orang miskin.
157
Ibid., hlm.224
144
mengadu kasih cinta, tetapi di Aceh perbuatan demikian itu dilarang karena
merupakan delik adat.158
7. Delik aduan
Apabila terjadi delik adat, yang akibatnya mengganggu keseimbangan
keluarga, maka untuk menyelesaikan tuntutan atau gugatan dari pihak yang
dirugikan harus ada pengaduan, harus ada pemberitahuan dan permintaan untuk
diselesaikan kepad kepala adat.
Misalnya didalam Simbur Tjahaja (ST) yang berlaku di daerah Sumatera
Selatan dahulu, Pasal 20 menyatakan:
“ jika seorang lelaki memegang tangan gadis atau janda di atas sikunya,
meragang gawe namanya, ia dikenakan denda 6 ringgit, jika perempuan itu
mengadu kepada rapat. Denda itu 3 ringgit diserahkan kepada perempuan itu
sebagai “tekap malu” dan 3 ringgit diserahkan kepada rapat sebagai uang
siding”.
Jadi jika si perempuan tidak mengadu, maka rapat adat untuk memeriksa
tuntutan ganti kerugian tidak dilakukan. Selanjutnya ST Pasal 23 Bab I, h. 12
menyatakan :
“ jika seorang memegang istri orang dan istri orang itu atau suaminya
mengadu, maka yang bersalah dikenakan denda 12 ringgit dan uang denda
dibagi dua Antara yang mendakwa dan rapat.
158
Ibid., hlm.225
145
f. Diangsingkan (disingkirkan,dibuang) dari masyarakat serta menempatkan
orangnya diluar tata hukum.
Di daerah lampung adakalanya tindakan reaksi dan/atau koreksi itu,
berkelanjutan dengan mengikat tali persaudaraan (Mewari), dalam hal
hilang nyawa diganti dengan nyawa, dalam arti pihak yang berbuat delik
menyerahkan anggota keluarga sebagai ganti dari korban yang telah mati
kepada pihak yang dirugikan, untuk diangkat sebagai anggota
keluarganya.159
9. Pertanggungjawaban kesalahan
Apabila terjadi peristiwa atau perbuatan delik menurut hukum pidana barat
yang dipermasalahkan apakah perbuatan itu terbukti kesalahaanya dan dapat
dihukum (strafbaarfeit) dan apakah pelakunya (dader) dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut hukum pidana (delik) adat yang
mempermasalahkan bagaimana “akibat” perbuatan itu dan siapa yang harus
diminta pertanggungjawabannya.
Jika menurut hukum barat jika yang berbuat itu orang gila, misalnya ia
mengamuk sehingga berakibat rumah seseorang menjadi rusak berat, maka
pelakunya orang gila tidak bisa dihukum atau dimintakan pertanggungjawaban.
Lain halnya dengan hukum adat, bukan saja pribadi pelakunya dapat dimintakan
pertanggungjawaban tetapi juga keluarga atau kerabat dan/atau kepala adatnya.
Begitu pula apakah perbuatan itu disengaja (dolus) atau karena kelalaian
(culpa), hukum adat tidak melihat perbedaan itu melainkan akibat dari
perbuatannya. Begitu juga jika si pelaku orang ternama hukumnya lebih berat dari
si pelaku orang kebanyakan.160
159
Ibid., hlm.226-227
160
Ibid., hlm.227
146
penyelenggaraan urusan pemerintahan Desa. Namun urusan pemerintahan
umum termasuk pembiunaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlakudan menumbuhkan serta
mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama
pelaksanaan pemerintahan Desa”.
Disamping itu dalam masyarakat adat berdasarkan kekerabatan apabila
terjadi delik adat atau perselisihan adat, yang juga sifatnya sederhana diatur dan
diselesaikan oleh petugas adat secara rukun dan damai berdasarkan tata tertib adat
setempat.161
161
Ibid., hlm.227-228
147
Yang berat ada 4 macam, yaitu :
a) Suatu hubungan seksual antara dua orang yang menurut hukum adat
tidak boleh melakukan perkawinan (karena pelanggaran terhadap
eksogamie).
b) Pelanggaran terhadap hubungan darah yang terlalu dekat menurut
aturan hukum adat.
c) Hubungan seksual antara dua orang yang berlainan kasta (Gadis
Brahmana dengan Pemuda Sudra).
d) Hubungan sumbang antara orang tua dan anaknya.
Inipun termasuk delik paling berat dan hukumannya hampir selalu
hukuman mati. Dan yang paling ringan adalah masing-masing
diasingkan dari masyarakat (dibuang MIDA-Minangkabau), demikian
pula di Dayak, Bugis, Bali, dan Ambon.
Selain hukuman tadi di beberapa daerah “pihak keluarga yang
bersangkutan diharuskan oleh Kepala Adat melakukan Upacara
Membersihkan Kampung Halaman” , (Membersihkan Matahari dan
Bulan - BATAK), (Membersihkan Tabah dan Air - BATAK),
(Membasuh Dusun - Palembang). Bentuk pembersihan ini mungkin
berupa penyembelihan Kerbau dan Lembu kemudian dihidangkan di
hadapan Kepala Adat di Balai Desa dan dipersembahkan oleh keluarga
yang bersangkutan.162
162
Tolib Setiady, S.H., M.Pd., M.H., Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan (Bandung:
Penerbit Alfabeta, 2015), hlm.330
148
Pada suku Batak harus melaksanakan Pangurasoin. Di dalam hal
khusus bila tertangkap laki-laki yang melakukan dapat segera dibunuh
oleh keluarga yang dihina.
d. Jenis Delik Dianggap Delik tapi Oleh Suku Lain Dianggap Biasa
1. Jual Beli Manusia (Budak Belian) dan Pemenggalan Kepala
Pada orang Dayak hal ini tidak merupakan suatu delik tetapi bagi
orang Bugis, Makasar dan Sumatera Selatan, Minangkabau merupakan
delik berat.
163
Ibid., hlm.331
149
Mencakup karena senjata, mengganggu rumah,
mengganggu ibadah, terhadap mayat dan bangkai, berjudi
dan makanan haram, penghinaan.
b) Kesalahan Tertib Pemerintahan
Mencakup Gawe Raja, Martabat, Jabatan, Kewargaan Adat,
Kependudukan Adat, Perlengkapan dan Harta Adat.
3. Kesalahan Kesopanan dan Kesusilaan
Mencakup sopan santun bujang gadis dan wanita, memegang
(menangkap) wanita, Sebambangan, Acara Perkawinan, terhadap
istri orang lain berjinah atau Sumbang.
4. Kesalahan Dalam Perjanjian
Mencakup Perjanjian tidak terang, mungkir janji, merusak
perjanjian, pinjam meminjam, utang piutang atau gadai, Immanat
atau titipan.
5. Kesalahan Menyangkut Tanah
Mencakup tanaman, tumbuhan, hasil hutan.
6. Kesalahan Menyangkut Hewan Ternak dan Perikanan
Mecakup hewan ternak, penyembelihan hewan dan perikanan.164
164
Ibid., hlm.332-333
150
adat dari masyarakat yang bersifat ketetanggaan atau penduduknya campuran
dilaksanakan oleh Kepala Desa.
4. Penyelesaian Keorganisasian
Di kota-kota kecil atau di kota-kota besar di daerah-daerah dimana
penduduknya heterogen serta terdapat berbagai perkumpulan atau organisasi
kemasyarakatan yang mempunyai susunan pengurus dan keanggotaan seperti
halnya perkumpulan-perkumpulan kekeluargaan masyarakat adat di perantauan,
perkumpulan kepemudaan dan kewanitaan, perkumpulan keagamaan dan lainnya
juga dapat melaksanakan penyelesaian secara kekeluargaan terhadap peristiwa
atau perbuatan delik yang terjadi dan yang telah mengakibatkan terganggunya
keseimbangan dalam kesatuan perkumpulan organisasi yang bersangkutan.165
1. Suatu pokok dasar hukum pidana adalah bahwa yang dapat dipidana hanyalah
seseorang (manusia) saja. Persekutuan Hukum Indonesia seperti Desa, Kerabat
atau Fammilie dan lain sebagainya tidak mempunyai tanggung jawab pidana
terhadap delik yang diperbuat oleh seorang warganya.
2. Pokok prinsip yang kedua dari KUHP, bahwa seorang hanya dapat dihukum
apabila perbuatannya dilakukan dengan sengaja ataupun dalam kelalaian. Pendek
kata apabila ia mempunyai kesalahan.
Di dalam hukum adat unsur kesalahan ini tidak menjadi syarat mutlak bahkan
banyak kejadian di dalam lapangan hukum adat yang tidak memerlukan sama
sekali pembuktian adanya sengaja atau kekhilafan untuk dapat dijatuhkan
hukuman.
165
Ibid., hlm.335-339
151
3. Sistem KUHP mengenal dan membeda-bedakan masalah membantu perbuatan
delik (medeplichtigheid), membujuk (uitlokking) dan ikut serta melakukan
(mededaderschap) sebagaimana diatur di dalam pasal 55 dan 56 KUHP.
Sistem hukum adat siapa saja yang turut menentang peraturan hukum diharuskan
turut memenuhi usaha yang diwajibkan untuk memulihkan kembali perimbangan
hukum. Jadi semua orang ikut serta membuat delik harus ikut bertanggung jawab.
5. Sistem KUHP seperti yang telah diuraikan terdahulu berlandaskan pada SISTEM
PRAE EXISTENCE REGELS (pelanggaran hukum yang telah ditetapkan terlebih
dahulu, dimana dalam Sistem Hukum Adat tidak dikenal system yang
demikian).166
166
Ibid., hlm.343-345
152
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi yang dimaksud dengan delik adat adalah peristiwa atau perbuatan yang mengganggu
keseimbangan masyarakat dan dikarenakan adanya reaksi dari masyarakat maka
keseimbangan itu harus dipulihkan kembali. Di dalam delik adat terdapat 4 unsur penting
yaitu ada perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok atau pengurus
(Pimpinan/Pejabat) Adat sendiri; perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma hukum
adat; dan juga perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan goncangan karena mengganggu
keseimbangan dalam masyarakat.
Ada beberapa sifat hukum adat delik, yaitu tradisional magis religious; menyeluruh dan
menyatukan; tidak prae-Existence; tidak menyamaratakan; terbuka dan lentur; dll. Disamping
itu dalam masyarakat adat berdasarkan kekerabatan apabila terjadi delik adat atau
perselisihan adat, yang juga sifatnya sederhana diatur dan diselesaikan oleh petugas adat
secara rukun dan damai berdasarkan tata tertib adat setempat.
Selain itu delik adat dibagi menjadi beberapa macam diantaranya yaitu perbuatan
pengihaan, hamil diluar nikah, perbuatan zina, pembunuhan, pencurian, dll. Dari macam-
macam delik adat tersebut terdapat pula cara penyelesaian delik adat itu sendiri. Penyelesaian
delik adat yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan keluarga dan masyarakat
walaupun adakalanya sampai ditangani oleh adat Negara dapat ditempuh dengan cara melalui
pribadi dan atau keluarga yang bersangkutan, perkumpulan organisasi (Instansi) dan alat
Negara.
153
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi. Bandung.
Mandar Maju
Setiady, Tolib. 2015. Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan. Bandung.
Penerbit Alfabeta
154