Anda di halaman 1dari 318

FIKIH KONTEMPORER

FIKIH KONTEMPORER

Drs. ABDUL HAMID, M. Pd. I.

ii
FIKIH KONTEMPORER

Drs. ABDUL HAMID, M. Pd. I.


x + 299 hal., 14,5 x 20 cm

Cetakan Pertama 2011

Penerbit
LP2 STAIN CURUP
Jl. AK. Gani, No. 01 Kel. Dusun Curup, Rejang Lebong
Email : admin@staincurup.ac.id
Website: www.staincurup.ac.id

Hak cipta dilindungi undang-undang:


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun termasuk foto kopi, micro film dan cetak
tanpa izin penerbit.

iii
KATA PENGANTAR

‫بسمميحرلا نمحرلا هللا‬

Segala puji hanya kepada Allah Swt, Tuhan Maha


Pencipta, Pengatur dan Pemelihara semesta alam. Shalawat dan
salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Saw,
keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman.
Buku Fikih Kontemporer ini ditulis dalam rangka
memenuhi kebutuhan terutama di lingkungan Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Curup. Tujuan utamanya adalah untuk
membantu para mahasiswa dalam mempelajari materi mata kuliah
Fikih Kontemporer (Masail Fikih) sebagai mata kuliah di STAIN.
Mata kuliah ini ditawarkan kepada mahasiswa terutama dari
jurusan Syari’ah dan Program Studi Pendidikan Agama Islam.
Meskipun begitu, buku ini juga diharapkan berguna bagi siapa saja
yang memiliki minat untuk mempelajari seluk beluk dan ilmu
pengetahuan seputar Fikih Kontemporer.
Buku ini hadir, untuk menghidangkan sedikit informasi
kepada kalangan mahasiswa khususnya dan masyarakat muslim
khususnya, bahwa permasalahan fikih terus berkembang sesuai
dengan dinamika perkembangan manusia itu sendiri, dan
berkaitan juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Walaupun dikatakan sebagai fikih kontemporer (dewasa
ini), atau fikih aktual, artinya persoalan-persoalan fikih yang
muncul di masa belakangan ini, namun tidak menafikan justru di
antara persoalan tersebut adalah masalah-masalah fikih yang
sudah lama dibahas oleh para fukaha, hanya saja persoalannya
kembali mencuat di masa akhir-akhir ini.
Sesuai dengan tujuan penyusunannya, buku ini diharapkan
dapat berguna tidak hanya untuk kelancaran proses belajar
iv
mengajar di lingkungan akademik akan tetapi juga bagi
masyarakat Islam secara luas
Dalam penulisan buku ini tidak sedikit kendala yang
dihadapi, baik yang menyangkut soal waktu, pengumpulan bahan
dan lain sebagainya. Namun, berkat kesungguhan dan usaha keras
disertai dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka segala
kendala itu dapat diatasi dengan baik.
Walaupun buku ini diusahakan menyusunnya dengan
baik, namun tidak tertutup kemungkinan masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan dalam penulisannya. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan maaf dan
mengharapkan masukan dan koreksi dari pembaca. Semoga
penulisan buku ini ada manfaatnya.
Wabillahit taufiq wal hidayah.

Curup, Oktober 2010


Penulis,

v
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR …………..…….…………............ vi
DAFTAR ISI ……………………. ………………............ vii

BAB 1 KONSEP DASAR FIKIH KONTEMPORER .. 1


A. Pendahuluan ........................................................ 1
B. Pengertian ............................................................ 4
C. Metode Kajian ..................................................... 5
D. Ruang Lingkup Kajian ....................................... 7

BAB 2 KORUPSI KOLUSI DAN NEPOTISME (KKN) 10


A. Pengertian KKN…………………….............. 10
B. Sejarah KKN………………………………. 13
C. Faktor Penyebab Terjadinya KKN…………. 17
D. Bentuk dan Jenis Tindak Pidana Korupsi........B 19
E. Dampak Negatif KKN……………………... 21
F. KKN Menurut Hukum Islam ……………... 24

BAB 3 GRATIFIKASI………. ……………………….. 29


A. Gratifikasi dan Hubungannya dengan Korupsi21 29
B. Bentuk-Bentuk Pemberian ………………… 2 32
C. Perbedaan antara Suap dan Hadiah … ……... 39
D. Pemberian yang Dibolehkan dan yang Tidak
Dibolehkan ………………………………... 40
E. Hukum Pemberian kepada Pegawai atau
Pejabat ……………………………………... 45

BAB 4 ASURANSI ……………………………………. 50


A. Pengertian Asuransi…………………............. 50
B. Sejarah Asuransi ……………………............. 52
vi
C. Macam-Macam Asuransi …………………... 55
D. Hukum Asuransi …………………………... 60
E. Asuransi Takaful …………………………... 66

BAB 5 ANAK HASIL INSEMINASI DAN BAYI


TABUNG ……………………………………... 68
A. Pengertian Inseminasi dan Bayi Tabung……. 68
B. Motivasi Dilakukannya Inseminasi ………… 74
C. Hukum Inseminasi Buatan pada Manusia ...... 75

BAB 6 PRESIDEN WANITA DAN PEMERINTAHAN


ISLAM ......................................................................... 81
A. Persoalan Sekitar Presiden Wanita ................... 81
B. Islam dan Negara Indonesia .............................. 87
C. Perolehan Partai Islam dari Pemilu ke Pemilu 88
D. Bentuk-Bentuk Pemerintahan dalam Islam............. 93

BAB 7 TERORISME ............................................................. 101


A. Pengertian Terorisme ........................................ 101
B. Akar Terorisme .................................................... 102
C. Antara Terorisme dan Radikalisme .................. 110

BAB 8 MEROKOK …………………….…………….. 117


A. Merokok dan Kehidupan Manusia .. ................ 117
B. Berbagai Jenis Rokok ……. ............................... 119
C. Dampak dari Merokok …….. ........................... 121
D. Ulama yang Mengharamkan dan Memakruhkan
Merokok …………………………………… 124
E. Ulama yang Membolehkan Merokok ............... 130

BAB 9 BERPACARAN MENURUT ISLAM ................... 133


A. Pengertian Berpacaran dan Dampaknya ..........11 133
B. Batasan Pergaulan Laki-Laki dan Perempuan 137
C. Kriteria Calon yang Dipinang dan yang
vii
Meminang ……………………………........... 142

BAB 10 MONOGAMI DAN POLIGAMI ......................... 152


A. Pengertian Monogami dan Poligami ................ 152
B. Poligami dari Masa ke-Masa ............................. 153
C. Hukum Poligami dalam Islam ........................... 155
D. Kontroversi di Sekitar Poligami ........................ 158
E. Nabi dan Monogami ........................................... 164
F. Kekerasan Psikologis .......................................... 165
G. Problem Penafsiran ............................................. 166
H. Maqashid al-Syari’ah ........................................... 168

BAB 11 KAWIN KONTRAK ............................................... 170


A. Hakikat Kawin Kontrak ..................................... 170
B. Kawin Kontrak dan Permasalahannya ............. 171
C. Hukum Kawin Kontrak .................................... 178

BAB 12 NIKAH PADA USIA DINI ................................... 183


A. Hikmah dan Tujuan Perkawinan ...................... 183
B. Dampak dari Nikah Usia Dini .......................... 188
C. Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini .......... 191
D. Kontroversi Pernikahan Siti Aisyah r.a. ........... 193
E. Ketentuan Per-Undang-Undangan tentang
Batasan Usia Pernikahan .................................... 195

BAB 13 NIKAH SIRI .............................................................. 198


A. Di sekitar Nikah Siri ........................................... 198
B. Masalah Pencatatan Perkawinan ....................... 199
C. Latar Belakang Nikah Siri .................................. 202
D. Berbagai Pandangan tentang Nikah Siri .......... 204

BAB 14 TRANSPLANTASI(PENCANGKOKAN)
ORGAN TUBUH ..................................................... 210
A. Hukum Transplantasi Organ Tubuh ............... 210
viii
B. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor
dalam Keadaan Sehat .......................................... 213
C. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor
dalam Keadaan Koma ........................................ 219
D. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor
dalam Keadaan Telah Meninggal ...................... 220
E. Jual Beli Organ Tubuh ........................................ 222

BAB 15 EUTHANASIA ......................................................... 224


A. Pengertian Euthanasia dan Macam-Macamnya 224
B. Latar Belakang Terjadinya Euthanasia ............. 227
C. Hukum Euthanasia ............................................. 230

BAB 16 ZAKAT DAN PAJAK ............................................. 235


A. Pengertian Zakat dan Pajak ............................... 235
B. Kedudukan Zakat dan Pajak ............................. 237
C. Subjek dan Objek Zakat dan Pajak .................. 242
D. Hukum Membayar Zakat dan Pajak secara
Bersamaan ............................................................ 248

BAB 17 ZAKAT PRODUKTIF ............................................ 253


A. Pengertian Zakat Produktif ............................... 253
B. Urgensi dan Tujuan Zakat ................................. 255
C. Reformasi Konsep Operasional Zakat ............ 257
D. Pengelolaan Zakat Secara Profesional ............. 262

BAB 18 PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI


PENDAYAGUNAAN ZAKAT ........................ 271
A. Zakat Sebagai Salah Satu dari Rukun Islam .... 271
B. Persoalan Kemiskinan ........................................ 275
C. Kemiskinan di Indonesia .................................... 280
D. Pendayagunaan Zakat dalam Upaya Mengen-
taskan Kemiskinan .............................................. 282

ix
DAFTAR PUSTAKA ……………….…..…........................ 292
BIOGRAFI PENULIS ……… ……….……................. .......... 299

x
BAB 1
KONSEP DASAR FIKIH KONTEMPORER

A. Pendahuluan.
Perilaku dan kepribadian kaum muslimin dalam seluruh
aspek kehidupannya telah diatur oleh hukum Islam1 yang
bersumber dari al-Qur‟an dan hadis. Al-Qur‟an yang pada
prinsipnya diwahyukan untuk merespon totalitas situasi
masyarakat saat itu yang terus tumbuh dan berkembang lebih luas
lagi. Karena sifatnya sebagai pedoman pokok, maka Al-Qur‟an
sebagai sumber hukum tidak memuat secara terperinci tentang
permasalahan hukum yang ada. Dari 6360 ayat al-Qur‟an hanya
terdapat 368 ayat yang berkaitan dengan aspek hukum2. Hal ini
mengandung arti bahwa sebagian besar masalah-masalah hukum
dalam Islam, oleh Tuhan hanya diberikan dasar-dasar atau
prinsip-prinsipnya saja. Oleh karena itu, pembinaan dan
pengembangan hukum Islam selalu diupayakan berdasarkan al-
Qur‟an sebagai wahyu Ilahi yang terakhir diturunkan kepada

1Kedudukan hukum Islam dalam perkembangan Islam sangat

penting, sehingga mendorong Sarjana Barat Joseph Schacht berkesimpulan


“bahwa tidak mungkin memahami Islam secara keseluruhan tanpa memahami
hukum Islam” Lihat Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford:
University Press, 1996), hal. 1, seperti dikutip Zaenuddin Mansyur dalam
tulisan “Konsep Ekonomi Islam dalam Konsep Maqashid Al-Syari‟ah Al-
Syatibi”, dalam Istinbath, Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam Nomor 2 Volume
4, Juni 2007, Fakultas Syari‟ah IAIN Mataram, hal. 164
2Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI Press,

Jakarta, 1984, hal. 7


Konsep Dasar Fikih Kontemporer Fikih Kontemporer

manusia, yang aplikasinya sebagian besar telah diterangkan oleh


sunnah Rasulullah melalui hadis-hadisnya. Dan berdasarkan dari
dua sumber ini, aspek-aspek hukum dikembangkan oleh para
ulama. Jadi kesempurnaan Islam tersebut tidak terlepas dari peran
Nabi melalui sunnahnya yang berfungsi menerangkan dan
menjabarkan pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur‟an
(mubayyin). Menguatkan pesan-pesan hukum tersebut (mu‟aqqid),
dan menetapkan sendiri hukum yang belum diatur (secara
kongkrit) dalam al-Qur‟an3.
Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana proses
mendapatkan jawaban dari wahyu Allah atas masalah-masalah
yang dihadapi umat Islam, mengingat al-Qur‟an merupakan teks
yang masih bersifat umum yang memerlukan pemahaman,
penafsiran dan pengkajian yang serius, sementara permasalahan
yang dihadapi masyarakat senantiasa muncul dan jawabannya
tidak senantiasa ditemukan secara ekplisit dalam al-Qur‟an dan
sunnah.
Seiring dengan perkembangan Islam di berbagai penjuru
dunia, maka muncul persoalan-persoalan baru yang berbeda
dengan persoalan yang dialami kaum muslimin di masa
Rasulullah. Al-Qur‟an hanya memuat sebagian kecil hukum-
hukum terinci, sementara sunnah terbatas pada kasus-kasus yang
terjadi pada masa Rasulullah, maka untuk memecahkan
persoalan-persoalan baru diperlukan adanya ijtihad4. Dan inilah

3Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut,


1975, hal. 50
4Fenomena ini setidaknya memaksa ulama rasional melontarkan

kritikan-kritikan terhadap ulama yang lebih memilih status quo (suatu


pemahaman mutlak pintu ijtihad tertutup) seperti kemandekan ijtihad pada
abad ke empat Hijriyah. Fukaha dari berbagai mazhab Sunni memandang
bahwa seluruh persoalan yang paling esensial sekalipun telah dibahas, dan tidak
seorang pun dianggap memiliki kualifikasi yang disyaratkan dalam berijtihad.
Lihat: Zaenuddin Mansyur, Op. cit. hal. 164
2
Konsep Dasar Fikih Kontemporer Fikih Kontemporer

yang terus dilakukan oleh para ahli hukum sepanjang kurun


sejarah Islam.
Fikih sebagai produk pemikiran manusia bukan sesuatu
yang tabu terhadap perubahan-perubahan, karena fikih harus
mampu memberikan jawaban-jawaban terhadap berbagai
persoalan hidup dan kehidupan manusia, sementara dinamika
kehidupan senantiasa menimbulkan perubahan-perubahan. Oleh
karena itu peluang kajian fikih harus senantiasa terbuka, dan harus
dilakukan dengan memperhatikan implikasi-implikasi sosial dari
penerapan produk-produk pemikiran hukumnya itu, di samping
tetap menjaga relevansinya dengan kehendak doktrin al-Qur‟an
tentang tingkah laku manusia.
Di sisi lain, dalam perjalanan sejarah, senantiasa
berhadapan dengan realitas-realitas baru yang terjadi dalam
masyarakat. Munculnya realitas-realitas itu merupakan
konsekuensi logis dari adanya dua komponen kehidupan, yakni
gerak dan dinamika dan kecenderungan manusia yang senantiasa
berubah dan berkembang. Dari perkembangan itu kemudian
terjadi perubahan-perubahan sosial yang ditandai oleh munculnya
pergeseran-pergeseran tata nilai. Fikih sebagai aturan interaksi
manusia sudah sewajarnya membutuhkan akselerasi untuk
menghadapi problematika yang selalu berkembang seiring
perkembangan zamannya.
Banyak sekali masalah-masalah yang timbul dan terjadi di
tengah-tengah masyarakat di masa sekarang ini yang tidak terjadi
di masa lalu. Sebagai contoh persoalan yang terkait dengan
kebutuhan seperti masalah kesehatan masyarakat, di mana sering
ada pertimbangan ilmu kedokteran yang harus dilakukan sebagai
suatu upaya medis untuk menyembuhkan atau menghilangkan
suatu penyakit, misalnya transplantasi ke organ tubuh manusia.
Kalau organ yang akan didonorkan kepada pasien berasal dari
babi, maka hal ini menjadi persoalan hukum yang harus

3
Konsep Dasar Fikih Kontemporer Fikih Kontemporer

diselesaikan. Ini menjadi kajian yang menarik, dan sekaligus


sangat penting diketahui oleh umat Islam, sehingga mereka tidak
melakukan sesuatu yang dilarang oleh agama.
Berbagai permasalahan yang muncul dan terjadi di
tengah-tengah masyarakat, seringkali dituntut dan meminta
jawaban kepastiannya dari sudut hukum. Dalam keadaan yang
demikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu yang
dinamakan ilmu Masail al-Fiqhiyah. Dalam perkembangan dan
dinamikanya, istilah Masail al-Fiqhiyah disebut juga dengan
berbagai istilah yang senada dan tidak jauh berbeda, seperti Fikih
Kontemporer dan Fikih Aktual.

B. Pengertian.
Fikih kontemporer merupakan gabungan dari dua kalimat,
yaitu “fikih” dan “kontemporer”. Fikih dalam arti yang
sebenarnya adalah hasil dari interpretasi ulama dalam mengkaji al-
Qur‟an yang bersifat umum, juga melalui Sunnah Rasul. Akan
tetapi, kandungan al-Qur‟an dan hadis Nabi Saw terbatas
jumlahnya, sementara kondisi sosial senantiasa berubah dan
berkembang. Untuk itu para ulama berupaya untuk menjawab
segala permasalahan yang muncul itu dengan ijtihad. Secara
sederhana ijtihad dapat dikatakan sebagai upaya berpikir secara
optimal dan sungguh-sungguh dalam menggali hukum Islam dari
sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap berbagai
permasalahan hukum yang terjadi dan berkembang di tengah-
tengah masyarakat.
Sedangkan kontemporer berarti pada waktu yang sama;
semasa; sewaktu; pada masa kini; dewasa ini5. Dapat diartikan

5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 591

4
Konsep Dasar Fikih Kontemporer Fikih Kontemporer

bahwa fikih kontemporer adalah berbagai masalah fikih yang


terjadi pada masa akhir-akhir ini.
Fikih kontemporer sering juga disebut dengan Masail al-
Fiqh, Fikih Aktual, Masa‟il al-Fiqhiyah al-Haditsah (persoalan
hukum Islam yang baru), Masa‟il al-Fiqhiyah al-„Ashriyyah
(persoalan hukum Islam kekinian), dan Masa‟il al-Fiqhiyyah al-
Waqi‟iyyah (persoalan hukum Islam yang aktual).
Walaupun dikatakan sebagai fikih kontemporer (dewasa
ini), atau fikih aktual, artinya persoalan-persoalan fikih yang
muncul di masa belakangan ini, namun tidak menafikan justru di
antara persoalan tersebut adalah masalah-masalah fikih yang
sudah lama dibahas oleh para fukaha, hanya saja persoalannya
kembali mencuat di masa akhir-akhir ini, sehingga dikatakan
dengan istilah fikih kontemporer atau fikih aktual.

C. Metode Kajian.
Masalah keagamaan yang berkaitan dengan kondisi
kekinian, lebih banyak menggunakan metode ijtihad daripada
metode istinbat. Metode ijtihad yang dimaksudkan adalah
masalah-masalah yang tidak ada ketentuannya dalam nas,
sedangkan persoalan tersebut dihadapi dan dilakukan oleh umat
Islam, karena sangat dibutuhkan dalam kelangsungan hidupnya.
Sedangkan metode istinbat adalah upaya maksimal untuk menarik
suatu ketentuan hukum dari nas yang ada, baik nas al-Qur‟an
maupun hadis.
Dalam penetapan hukum berdasarkan hasil ijtihad, ada
beberapa rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, antara lain:
1. Tidak boleh merusak ketentuan dasar yang berkaitan dengan
akidah (kepercayaan Islam).
2. Tidak boleh mengurangi atau menghilangkan martabat
manusia, lalu disamakan dengan martabat hewan.

5
Konsep Dasar Fikih Kontemporer Fikih Kontemporer

3. Tidak boleh mendahulukan kepentingan perorangan atas


kepentingan umum.
4. Tidak boleh mengutamakan hal-hal yang masih samar-samar
kemanfaatannya atas hal-hal yang sudah nyata
kemanfaatannya.
5. Tidak boleh melanggar ketentuan dasar akhlaqul karimah
(moralitas manusia)6
Secara umum dapat dikatakan agar ijtihad tidak
menyimpang dari garis yang ditentukan oleh al-Qur‟an dan
sunnah, para mujtahid telah membuat semacam aturan main
dalam bentuk norma-norma dan kaidah-kaidah dalam berijtihad
yang dikenal dengan sebutan Ushul Fiqh. Ushul fikih inilah yang
kemudian menjadi garis yang mengikat mujtahid dalam
menggunakan akal bebasnya.
Dalam berijtihad, para mujtahid juga tidak bisa terlepas
dari keterikatan situasi dan kondisi yang melingkupinya, kadar
intelektualitas, dan wawasannya. Dengan demikian, kondisi yang
berbeda dapat pula menimbulkan perbedaan pendapat.
Jadi pembicaraan tentang fikih tidaklah cukup dengan
hanya melihat kepada warisan fikih masa lalu, akan tetapi harus
membangun metodologi ushul fikih. Baru untuk keperluan
ijtihad yang digali dari al-Qur‟an maupun sunnah menarik
pelajaran dari warisan masa lampau, memanfaatkan ilmu maupun
eksperimen modern. Semua ini dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan fatwa dalam berbagai sektor kehidupan
sehingga kepentingan fikih tidak berpusat kepada persoalan
menata perilaku individu, namun menjadi lebih terpusat kepada
persoalan bagaimana membangun masyarakat secara global.
Dengan merangkum berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh para ulama, dimaksudkan untuk memberikan

6Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi “Hukum


Islam” Masa kini, Cetakan ketujuh, Kalam Mulia, Jakarta, 2008, hal. 3
6
Konsep Dasar Fikih Kontemporer Fikih Kontemporer

ruang yang lebih luas saat sebuah pendapat menemukan kendala


untuk dipraktekkan di zaman yang sangat dinamis ini. Sehingga
pluralitas pendapat menginspirasi kreativitas untuk dikembangkan
lebih lanjut. Jadi metode kajian ini, di samping berpedoman
dengan apa yang telah dikemukakan, juga dengan menggunakan
berbagai literatur, terutama yang berkenaan dengan fikih
kontemporer. Dalam banyak hal dikemukakan perbedaan-
perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh ahlinya dalam
menyikapi suatu permasalahan.

D. Ruang Lingkup Kajian.


Ruang lingkup kajian fikih kontemporer dalam buku ini
meliputi berbagai permasalahan, yaitu:
1. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam kajian ini dibicarakan
tentang pengertian KKN, sejarah KKN, faktor penyebab
terjadinya KKN, bentuk dan jenis tindak pidana korupsi, dan
dampak negatif KKN.
2. Gratifikasi. Dalam kajian tentang gratifikasi dibicarakan
tentang gratifikasi dan hubungannya dengan korupsi, bentuk-
bentuk pemberian, perbedaan antara suap dan hadiah,
pemberian yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan, dan
hukum pemberian kepada pegawai atau pejabat.
3. Asuransi. Dalam kajian tentang asuransi dibicarakan tentang
pengertian asuransi, sejarah asuransi, macam-macam asuransi,
hukum asuransi, dan asuransi takaful.
4. Anak hasil inseminasi dan bayi tabung. Dalam kajian ini
dibicarakan tentang pengertian inseminasi dan bayi tabung,
motivasi dilakukannya inseminasi, dan hukum inseminasi
buatan pada manusia.
5. Presiden wanita dan pemerintahan Islam. Dalam kajian ini
dibicarakan tentang persoalan sekitar presiden wanita, Islam
dan negara Indonesia, perolehan partai Islam dari
7
Konsep Dasar Fikih Kontemporer Fikih Kontemporer

pemilu ke pemilu, dan bentuk-bentuk pemerintahan dalam


Islam.
6. Terorisme. Dalam kajian yang berkenaan dengan terorisme
dibicarakan tentang pengertian terorisme, akar terorisme, dan
antara terorisme dan radikalisme.
7. Merokok. Dalam kajian yang berkenaan dengan merokok
dibicarakan tentang merokok dan kehidupan manusia,
berbagai jenis rokok, dampak dari merokok, ulama yang
mengharamkan dan memakruhkan merokok, dan ulama yang
membolehkan merokok.
8. Berpacaran menurut Islam. Dalam kajian ini dibicarakan
tentang pengertian berpacaran dan dampaknya, batasan
pergaulan laki-Laki dan perempuan, dan kriteria calon yang
dipinang dan yang meminang.
9. Monogami dan Poligami. Dalam kajian ini dibicarakan
tentang pengertian monogami dan poligami, poligami dari
masa ke-masa, hukum poligami dalam Islam, kontroversi di
sekitar poligami, Nabi dan monogami, kekerasan psikologis,
problem penafsiran, dan maqashid al-Syari‟ah.
10. Kawin Kontrak. Dalam kajian yang berkenaan dengan kawin
kontrak dibicarakan tentang hakikat kawin kontrak, kawin
kontrak dan permasalahannya, dan hukum kawin kontrak.
11. Nikah pada Usia Dini. Dalam kajian ini dibicarakan tentang
hikmah dan tujuan perkawinan, dampak dari nikah usia dini,
faktor penyebab pernikahan usia dini, kontroversi pernikahan
Siti Aisyah r.a, dan ketentuan perundang-undangan tentang
batasan usia pernikahan.
12. Nikah Siri. Dalam kajian yang berkenaan dengan nikah siri
dibicarakan tentang di sekitar nikah siri, masalah pencatatan
perkawinan, latar belakang nikah siri, dan berbagai
pandangan tentang nikah siri.
13. Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh. Dalam kajian ini

8
Konsep Dasar Fikih Kontemporer Fikih Kontemporer

dibicarakan tentang hukum transplantasi organ tubuh, hukum


transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan sehat, hukum
transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukum
transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan telah
meninggal, dan jual beli organ tubuh.
14. Euthanasia. Dalam kajian yang berkenaan dengan euthanasia
ini dibicarakan tentang pengertian euthanasia dan macam-
macamnya, latar belakang terjadinya euthanasia, dan hukum
euthanasia.
15. Zakat dan Pajak. Dalam kajian yang berkenaan dengan zakat
dan pajak ini dibicarakan tentang pengertian zakat dan pajak,
kedudukan zakat dan pajak, subjek dan objek zakat dan pajak,
dan hukum membayar zakat dan pajak secara bersamaan.
16. Zakat Produktif. Dalam kajian yang berkenaan dengan zakat
produktif ini dibicarakan tentang pengertian zakat produktif,
urgensi dan tujuan zakat, reformasi konsep operasional zakat,
dan pengelolaan zakat secara profesional.
17. Pengentasan Kemiskinan Melalui Pendayagunaan Zakat.
Dalam kajian ini dibicarakan tentang zakat sebagai salah satu
dari rukun Islam, persoalan kemiskinan, persoalan kemiskinan
di Indonesia, dan pendayagunaan zakat dalam upaya untuk
mengentaskan kemiskinan.

9
BAB 2
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME (KKN)

A. Pengertian KKN.
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau
corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang
lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa
seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan
Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata
itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi1. Istilah ini umum
dipakai dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat
Indonesia.
Bisa juga kata korupsi diambil dari bahasa Inggeris, yaitu
corruption, artinya penyelewengan atau penyalahgunaan uang
negara (perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi
atau orang lain2
Kata kolusi berasal dari bahasa Inggeris, yaitu collution,
artinya kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji
(persekongkolan)3.
Kata nepotisme juga berasal dari bahasa Inggris, yaitu
nepotism, artinya adalah kecenderungan untuk mengutamakan
(menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan,

1Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT RajaGrafindo Persada,


Jakarta, 2005, hal. 4
2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal.597
3 Ibid., hal. 582
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

pangkat di lingkungan pemerintah atau tindakan memilih kerabat


atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan4.
Secara terminologis, menurut JW. Schoorl, korupsi adalah
penggunaan kekuasaan negara untuk memperoleh penghasilan,
keuntungan atau prestise perorangan atau untuk memberi
keuntungan bagi sekelompok orang atau suatu kelas sosial dengan
cara yang bertentangan dengan undang-undang atau dengan
norma akhlak yang tinggi5. Menurut Robert Klitgard, korupsi adalah
tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah
jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang
menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok
sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa
tingkah laku pribadi6
Baharuddin Lopa mendefinisikan korupsi, yaitu suatu
tindak pidana penyuapan dan perbuatan melawan hukum yang
merugikan/dapat merugikan keuangan atau perekonomian
negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat7
Selanjutnya Baharuddin Lopa mengemukakan bahwa
perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara
adalah korupsi di bidang materiil, sedangkan korupsi di bidang
politik dapat berwujud berupa memanipulasi pemungutan suara
dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan dan atau campur
tangan yang dapat mempengaruhi dalam kebebasan memilih,
komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau

4 Ibid., hal. 780


5JW.Schoorl, Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara
sedang Berkembang, Gramedia, Jakarta, 1980, hal. 175
6Robert Klitgard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor, Jakarta, 1998,

halaman 31
7Baharuddin Lopa, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, PT Kipas Putih

Aksara, Jakarta, 1997, hal. 4


11
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

pada keputusan yang bersifat administratif di bidang pelaksanaan


pemerintahan8
Sedangkan kolusi dilakukan, adalah dalam rangka
melakukan korupsi. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN pasal 1
ayat (4), yang menyebutkan bahwa kolusi adalah permufakatan
atau kerja sama secara melawan hukum di antara penyelenggara
negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, bangsa, dan negara.9 Jadi
korupsi selalu didahului oleh adanya kolusi. Korupsi terjadi pada
dasarnya karena ada kolusi, begitu juga sebaliknya. Dua
komponen ini selalu saling berkait antara satu dan lainnya, namun
tetap pada satu tujuan yaitu memperkaya diri, dan saling
menguntungkan masing-masing pihak.
Nepotisme menurut JW Schoorl adalah praktek seorang
pegawai negeri yang mengangkat seorang atau lebih dari keluarga
(dekat) nya menjadi pegawai pemerintah atau memberi perlakuan
yang istimewa kepada mereka dengan maksud untuk menjunjung
nama keluarga, menambah penghasilan keluarga atau membantu
menegakkan suatu organisasi politik, sedang ia seharusnya
mengabdi pada kepentingan umum.10 Sedangkan menurut UU
Nomor 28 tahun 1999 pasal 1 ayat (5), nepotisme adalah setiap
perbuatan penyelenggaraan negara secara melawan hukum yang
menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di
atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Intinya
penyimpangan yang dilakukan untuk kepentingan keluarga atau
kroni.

8Ibid.
9JW.Schoorl, Loc.cit.
10Al
Atas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelasan dengan Data Komputer, Cet.
IV, LP3ES, Jakarta, 1986, hal. 11
12
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

Huzaimah Tahido menyimpulkan bahwa pengertian


KKN adalah tindakan atau perbuatan memanfaatkan jabatan atau
kedudukan untuk mendapatkan keuntungan, baik material atau
prestise bagi pribadi atau keluarga atau kelompok, tanpa melihat
kapabilitas, profesionalitas, dan moralitas dengan jalan melanggar
ketentuan-ketentuan yang ada, yang mana akibatnya merugikan
masyarakat, bangsa dan negara11
Dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan,
kecenderungan yang dimaksud dengan KKN adalah
penyimpangan yang terjadi di pemerintahan, sedangkan apabila
penyimpangan itu terjadi di lembaga-lembaga swasta atau
organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, maka tidak disebut
dengan KKN, tetapi disebut dengan penyimpangan,
penyelewengan atau pelanggaran. Walaupun realitasnya di
masyarakat ada juga yang menyebutnya dengan KKN.

B. Sejarah KKN.
Sejarah korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia
bermasyarakat, yakni pada tahap tatkala organisasi
kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Catatan kuno menurut
Encyclopedia Britannica menyebutkan: pada 1200 sebelum masehi,
Raja Hammurabi dari Babilonia memerintahkan kepada salah
seorang gubernur untuk menyelidiki satu perkara penyuapan,
dengan ancaman hukum mati bagi pejabat pemerintah yang
korup.
Sedangkan di Indonesia sebagaimana ditulis oleh Abu
Zahra12 bahwa gerakan anti korupsi pertama kali dipimpin

11Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam


Kontemporer, Angkasa, Bandung, 2005, hal. 48
12Abu Zahra, ”Berbagai Upaya Basmi Penyakit Korupsi (Kronologis

peraturan tentang korupsi)” Suara Islam, Edisi 57, tanggal 19 Desember 2008
13
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

Wakil Kepala Staf TNI AD Kolonel Zulkifli Lubis, tahun 1956.


Saat itu ia berkerja sama dengan Jaksa Agung Suprapto, dan
melibatkan pemuda-pemuda eks Tentara Pelajar. Mereka
menangkap orang-orang yang dianggap kebal hukum dari
kalangan politisi, pengusaha, dan pejabat.
Zulkifli memakai cara sendiri dan membentuk pasukan
khusus untuk menangkap para koruptor karena aparat dinilai tak
berfungsi. Saat itu juga dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer
Nomor PRT/PM/06/1957. Beleid inilah yang pertama kali
memuat istilah korupsi. Peraturan ini dibuat karena KUHP
dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya praktek
korupsi.
Pemerintah Orde Lama dua kali membentuk badan
pemberantasan korupsi. Lembaga pertama bernama Panitia
Retooling Aparatur Negara (PARAN), yang diketuai
A.H.Nasution, dibantu Profesor M. Yamin dan Roeslan
Abdulgani. Lembaga ini dibentuk dengan perangkat Undang-
Undang Keadaan Bahaya. Semua Pejabat harus memberikan data
termasuk kekayaan mereka kepada PARAN dalam bentuk
formulir isian.
Namun pejabat korup bereaksi keras. Mereka beralasan
hanya bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Karena itu
formulir isian tidak diserahkan kepada PARAN, tapi langsung
kepada Presiden. Di tengah situasi politik yang kacau, tugas
PARAN berakhir deadlock. Nasution lalu menyerahkan kembali
pelaksanaan tugasnya kepada kabinet Djuanda.
Di tahun 1963, dengan Keppres No.275/1963,
pemerintah kembali menunjuk A.H.Nasution saat itu Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan
Bersenjata dibantu Hakim Agung Wiryono Prodjodikoro, untuk
menangani operasi Budhi. Tugas mereka menyeret koruptor ke

14
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

pengadilan dengan sasaran utama perusahaan negara dan


lembaga-lembaga negara lainnya yang rawan korupsi dan kolusi.
Berbagai alasan politis menyebabkan Operasi Budhi
mandeg. Banyak aparat menolak diperiksa dan berlindung di
punggung Presiden. Karena itu, meski berhasil menyelamatkan
uang Negara Rp.11 miliar, operasi ini dihentikan dengan
pengumuman pembubarannya oleh Wakil Perdana
Menteri/Menteri Luar Negeri Soebandrio. Operasi Budhi diganti
Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KOTRAR).
Presiden Soekarno menjadi ketua dibantu Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani. Namun, lembaga ini juga hanya menjadi macan
kertas.
Ketika Orde Baru mulai berkuasa, sebagai penjabat
Presiden, Soeharto mengeluarkan Keppres No. 228/1967 untuk
membentuk Tim Pemberantasan Korupsi, yang diketuai Jaksa
Agung. Namun, TPK dinilai tumpul sehingga Presiden menunjuk
Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang bersih dan
berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J Kasimo, Mr Wilopo dan
A.Tjokroaminoto.
Komite Empat dibentuk berdasarkan Keppres No.
12/1970. Tugasnya membersihkan Departemen Agama, Bulog,
CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Namun, upaya mereka mentok juga ketika hasil temuan korupsi
di Pertamina sama sekali tak digubris pemerintah. Pada tahun
1971, untuk pertama kalinya Indonesia memiliki Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1971.
Pada tahun 1977, ketika Laksamana Sudomo diangkat
menjadi Kepala Staf Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kaskopkamtib), dibentuklah Operasi Tertib (Opstib).
Salah satu tugasnya memberantas korupsi. Lembaga ini berfungsi
berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 1977. Namun, lagi-lagi operasi

15
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

ini hanya bergaung di awal dan kemudian tak berbekas lagi.


Namun pemerintah belum jera membuat beleid.
Pemerintah dan DPR mensahkan Undang-Undang No. 11 Tahun
1980 tentang tindak pidana suap. Menurut Undang-Undang itu,
pemberi maupun penerima bisa didakwa melakukan kejahatan.
Pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang Disiplin
Pegawai Negeri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980. Namun, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini
tetap tak mampu memberantas korupsi.
Ketika Orde Baru runtuh, sidang umum MPR 1998
menghasilkan ketetapan yang secara tegas menuntut lahirnya
pemerintah yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Ketetapan tertuang dalam Ketetapan MPR No.
XI/MPR/1998. Lalu pemerintah Presiden BJ Habibie dan DPR
menghasilkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juga dibuat untuk menyempurnakan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971.
Di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid,
berdasarkan Keppres No. 127 Tahun 1999, pemerintah
membentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara. Sebagai
pelaksana, Presiden juga mengeluarkan Keputusan pada tanggal
13 Oktober 1999 tentang pemeriksaan kekayaan penyelenggara
Negara berdasarkan standar pemeriksaan yang telah ditetapkan.
Lembaga baru pun dibentuk. Dengan Keppres Nomor 44
Tahun 2000, pada 10 Maret 2000, Komisi Umbudsman Nasional
dibentuk. Komisi ini meniru model pemberantasan korupsi di
negara-negara Skandinavia. Tak puas dengan Ombudsman, Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
dibentuk dengan Perpu Nomor 19 Tahun 2000. Tim gabungan
ini adalah cikal bakal dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

16
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

Pemerintah dan DPR beberapa kali membuat Undang-


undang yang berkaitan dengan korupsi ini. Tahun 2001,
dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun ironi terjadi,
ketika TGPTPK justru harus dibubarkan karena adanya putusan
hak uji materiil yang diterima Mahkamah Agung.
Ketika Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden,
dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Akhirnya pada 19 Desember 2003, DPR mengesahkan lima
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sementara itu, tak puas hanya dengan KPK, Presiden
Yudhoyono juga membentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi pada 2 Mei 2005, melalui Keppres Nomor 11 Tahun
2005.

C. Faktor Penyebab Terjadinya KKN.


Berbagai faktor penyebab terjadinya KKN yaitu:
1. Penegakan hukum tidak konsisten: penegakan hukum hanya
sebagai make-up politik, sifatnya sementara, selalu berubah
setiap berganti pemerintahan.
2. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, takut dianggap bodoh
kalau tidak menggunakan kesempatan.
3. Langkanya lingkungan yang antikorup: sistem dan pedoman
tentang antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas saja,
tidak menyentuh kepada pokok permasalahan.
4. Rendahnya pendapatan atau penghasilan penyelenggara
negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi
kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong
penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan
pelayanan terbaik bagi masyarakat.
17
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

5. Keserakahan: Korupsi dilakukan karena serakah, tidak pernah


puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
keuntungan.
6. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada
keuntungan korupsi: saat tertangkap bisa menyuap penegak
hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya.
8. Budaya permisif/serba membolehkan; tidak mau tahu:
Menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi.
Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri
terlindungi.
9. Gagalnya pendidikan agama dan etika13
Sedangkan Baharuddin Lopa merinci penyebab terjadinya
korupsi sebagai berikut:
1. Kerusakan moral
2. Kelemahan sistem
3. Kerawanan kondisi sosial ekonomi
4. Ketidaktegasan dalam penindakan hukum.
5. Seringnya pejabat meminta sumbangan kepada pengusaha-
pengusaha.
6. Pungli.
7. Kekurangan pengertian tentang tindak pidana korupsi.
8. Penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang
tertutup.
9. Masih perlunya peningkatan mekanisme kontrol oleh DPR.
10. Masih lemahnya perundang-undangan yang ada.
11. Gabungan dari sejumlah faktor (penyebab)14. Demikian di
antara penyebab terjadinya korupsi, di samping penyebab lain.

13Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Komisi


Pemberantasa Korupsi, Jakarta, t.t. hal. 23-24
14Baharuddin Lopa, Op.cit., hal.71-72

18
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

Penyebab penting lain terjadinya korupsi adalah karena


penyelewengan dana. Dalam hal ini, berbagai cara sering
dilakukan seperti dalam bentuk pengeluaran fiktif, manipulasi
harga pembelian atau kontrak, dan penggelapan dana atau
pencurian langsung dari kas.15 Yang menyedihkan, hal-hal seperti
pengeluaran fiktif dan manipulasi harga dianggap hal yang biasa
dan lumrah terjadi.
Sedangkan munculnya niat atau motivasi terjadinya
korupsi, sebagaimana dikemukakan Abdullah Hehamahua, dapat
dibedakan:
1. Korupsi karena kebutuhan
2. Korupsi karena ada peluang
3. Korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri
4. Korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah
5. Korupsi karena ingin menguasai suatu negara16
Sisi lain sebagai penyebab atau sumber korupsi, kolusi dan
nepotisme biasanya dipicu atau disebabkan oleh faktor-faktor,
seperti:
a. Proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang yang
menyangkut harga, kualitas, dan komisi.
b. Bea cukai yang menyangkut manipulasi bea masuk barang dan
penyelundupan administratif.
c. Perpajakan yang menyangkut proses penentuan besarnya
pajak dan pemeriksaan pajak.
d. Pemberian izin usaha dalam bentuk penyelewengan komisi
dan pungutan liar.
e. Pemberian fasilitas kredit perbankan dalam bentuk
penyelewengan komisi dan jasa serta pungutan liar.17

15Huzaimah Tahido, Op.cit., hal. 48


16Abdullah Hehamahua, Wajah Pemberantasan Korupsi di Indonesia Hari
ini, Makalah, Semiloka, BEM ITB, Bandung, 2005
17Huzaimah Tahido, Loc.cit.

19
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

D. Bentuk dan Jenis Tindak Pidana Korupsi.


Berbagai bentuk dan tindak pidana korupsi dapat saja
terjadi. Di antara bentuk dan jenis tindak pidana korupsi tersebut
dapat dikelompokkan menjadi 30 (tiga puluh) yaitu :
1. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan
keuangan negara.
2. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri
dan dapat merugikan keuangan negara
3. Menyuap pegawai negeri
4. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
5. Pegawai negeri menerima suap
6. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan
jabatannya
7. Menyuap hakim
8. Menyuap advokat
9. Hakim dan advokat menerima suap
10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan
penggelapan
11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan
administrasi
12. Pegawai negeri merusakkan bukti
13. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
14. Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti
15. Pegawai negeri memeras
16. Pegawai negeri memeras pegawai yang lain
17. Pemborong berbuat curang
18. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
19. Rekanan TNI/Polri berbuat curang
20. Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
21. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
22. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan
orang lain
20
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

23. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya


24. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK
25. Merintangi proses pemeriksaan
26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai
kekayaannya
27. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
28. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan palsu
29. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
keterangan atau memberi keterangan palsu
30. Saksi yang membuka identitas pelapor18

E. Dampak Negatif KKN.


Virus korupsi telah berjangkit di negeri ini. Semua lini
kehidupan terimbas, mulai dari pucuk hingga akar-akarnya. Saking
parahnya, tak heran jika tahun 2008 Indonesia dinobatkan
Transparansi Internasional sebagai negara bersih dari korupsi
nomor 126 dari 180 negara. Artinya, Indonesia adalah negara
terkorup nomor 54. Korupsi ada di mana-mana dan terjadi secara
sistematis. Artinya seringkali korupsi dilakukan dengan rekayasa
yang canggih dan memanfaatkan teknologi modern. Seseorang
yang mengetahui ada dugaan korupsi jarang yang mau bersaksi,
dan kalaupun berani melapor serta bersaksi, ada saja oknum
penegak hukum yang tidak melakukan tindakan hukum
sebagaimana mestinya. Itulah sebabnya dalam kenyataan hidup
sehari-hari, korupsi dianggap biasa dan dimaklumi banyak orang.
Masyarakat yang terbiasa korup, akan sulit membedakan mana

18http://sukolaras.wordpress.com/2009/04/05/ apa itu-gratifikasi, di


akses tanggal 17 Juni 2010

21
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

tindakan yang korup dan mana yang bukan tindakan korup.


Krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang ditunjukkan
oleh inflasi yang meningkat, pengangguran yang meluas, harga-
harga barang dan jasa serba mahal, konflik perburuhan yang
makin mengemuka, biaya kesehatan dan pendidikan mahal,
meningkatnya rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, harus
dilihat dengan keprihatinan yang paling mendalam. Dan
semuanya itu, penyebab utamanya adalah dari perilaku korup.
Kalau sudah sedemikian rupa, maka dapat dipastikan rakyat
miskinlah yang akan merasakan penderitaan yang paling dalam
atau dengan kata lain merupakan pihak yang paling dirugikan oleh
tindakan-tindakan korupsi
Dampak yang lebih parah adalah hancurnya generasi ini.
Sementara itu, negara-negara lain yang memang sudah jauh lebih
maju dibandingkan rakyat Indonesia, akan semakin melesat jauh
ke depan meninggalkan bangsa Indonesia. Apakah sebagai
bangsa, Indonesia kelak tidak semakin dijajah oleh bangsa lain?
Mereka menguasai teknologi, pengetahuan, keterampilan, modal,
dan segalanya, sementara kita masih tetap mengandalkan otot,
tanpa bisa mengoptimalkannya.
Sungguh mengerikan jika hal itu benar-benar terjadi. Dan
memang itulah ancaman bahaya yang bakal dihadapi bangsa
Indonesia, jika tidak ada upaya meyeluruh dengan sistem yang
terkonsep mantap dan terpadu untuk menanggulangi berbagai
persoalan yang dihadapi, terutama oleh akibat korupsi.
Berlapisnya berbagai pengawasan dan aturan dalam
rangka memberantas korupsi, kenyataannya tidak menyurutkan
minat seseorang untuk melepaskan diri dari KKN. Korupsi terus
saja berlangsung bahkan dari tahun ke tahun kian meningkat
kualitas serta kuantitasnya. Oleh karena itu tidak aneh, jika salah
satu penyebab yang membuat bangsa Indonesia terpuruk ke

22
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

dalam krisis ekonomi yang begitu dahsyat dan berkepanjangan


adalah persoalan korupsi.
Dampak negatif yang terkait dengan pemasalahan korupsi
meliputi berbagai hal, yakni segi politik, ekonomi, dan sosial.
Korupsi merupakan masalah sosial dan juga penyakit sosial yang
dapat menular sebagai penyakit endemik. Dengan demikian
korupsi merupakan parasit pembangunan, mengingat korupsi
merugikan keuangan negara, dan juga masyarakat luas. Hambatan
terhadap pembangunan akibat KKN dapat dilihat dari berbagai
sudut. Di antaranya soal fasilitas di mana pihak pengusaha
mendapatkan hak-hak istimewa dengan hak monopoli. Dampak
selanjutnya ialah terjadinya manipulasi penerimaan atau
pendapatan negara oleh pejabat dan pengusaha, yang seharusnya
dapat dialokasikan oleh pemerintah untuk keperluan
pembangunan nasional19
Kita tahu bahwa dampak dari budaya korupsi itu adalah
adanya kerugian keuangan negara. Namun dampak yang lebih
mengerikan adalah hilangnya sejumlah potensi keuntungan bagi
rakyat untuk hidup lebih baik. Gara-gara korupsi, rakyat harus
menghadapi terpaan krisis moneter yang melanda Indonesia di
tahun 1997 dan hingga sekarang dampak tersebut belum
sepenuhnya hilang. Gara-gara korupsi, rakyat harus menghadapi
kenyataan bahwa biaya pendidikan di negeri ini yang selangit.
Gara-gara korupsi, investor asing harus mengeluarkan biaya
ekstra agar bisa berbisnis di Indonesia, yang ujung-ujungnya biaya
tersebut dibebankan juga pada rakyat.
Di samping itu, KKN sebagai fenomena sosial dapat
membahayakan dan sangat besar sekali pengaruhnya dalam
kehidupan masyarakat. Adapun dampak negatif KKN antara lain:

19Soekedy, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara di Tengah


Gurita, Mapeksi, Jakarta, 2003, hal. 143
23
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

1. Menghancurkan wibawa hukum. Orang yang salah dapat lolos


dari hukuman, sedangkan yang belum jelas kesalahannya
dapat meringkuk dalam tahanan. Pencuri ayam lebih berat
hukumannya dari pada pencuri uang rakyat (koruptor) yang
jelas-jelas merugikan negara dan masyarakat.
2. Menurunnya etos kerja. Para pemimpin dan pejabat yang
mangkal dipemerintahan adalah mereka yang tidak
mempunyai dan memiliki etos kerja yang baik, sehingga
mengakibatkan menurunnya etos kerja, karena bagi mereka
uang adalah segala-galanya.
3. Menurunnya kualitas. Seorang pandai dapat tersingkirkan oleh
orang yang bodoh tetapi berkantong tebal (berduit). Seorang
profesional dapat terlempar oleh mereka yang belum
berpengalaman tetapi berbacking kuat.
4. Kesenjangan sosial dan ekonomi. Karena uang negara hanya
beredar di kalangan kelas elit dan para konglomerat, yang
berakibat tidak terdistribusikannya uang secara merata maka
lahirlah fenomena di atas. Pemimpin dan pejabat yang naik
pangkat karena ulah KKN bisa berlaku congkak dan secara
kontinyu memeras uang rakyat, sehingga membuat
kesenjangan sosial dan ekonomi makin menajam.20

F. KKN Menurut Hukum Islam.


Menurut pandangan hukum Islam, korupsi, kolusi dan
nepotisme diharamkan disebabkan antara lain sebagai
berikut:
1. Perbuatan KKN merupakan perbuatan curang dan penipuan
yang secara langsung merugikan keuangan negara dan
masyarakat. Firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 41 yang
berbunyi:

20Huzaimah Tahido, Op. cit., hal. 50-51


24
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

          

        

          

   

Artinya:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul,
kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil,
jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami
turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu
di hari bertemunya dua pasukan, dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”
Firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 161:

               

       

Artinya :
”Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta
rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri
akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan
(pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”
25
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

Nabi Muhammad Saw tidak pernah menggunakan jabatan


sebagai panglima perang untuk mengambil harta rampasan
perang diluar ketentuan ayat tersebut. Satu riwayat
mengatakan bahwa ayat 161 surat Ali Imran yang disebutkan,
turun berkenaan dengan hilangnya sehelai kain wol berwarna
merah yang diperoleh dari rampasan perang. Setelah dicari,
kain tersebut tidak ada dalam catatan inventaris harta
rampasan. Ada yang berkata, mungkin Rasulullah Saw sendiri
yang mengambil kain itu. Agar tuduhan tersebut tidak
menimbulkan keresahan umat Islam maka Allah menurunkan
ayat tersebut yang menyatakan bahwa Nabi Saw tidak
mungkin berlaku curang (KKN) dalam membagi harta
rampasan21
2. KKN merupakan suatu perbuatan penyalahgunaan jabatan
dalam rangka memperkaya diri sendiri, keluarga atau suatu
kelompok. Firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Anfal ayat
27:

         

 

Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui”
Selanjutnya dalam surat An-Nisa’ ayat 58 Allah berfirman:

21Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 1, al-Maktabah al-


Taufiqiyah, ttp., t.t., hal. 421
26
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

           

             


Artinya:
”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat”
3. Korupsi merupakan perbuatan zalim, karena kekayaan negara
adalah harta yang dipungut dari masyarakat, termasuk
masyarakat miskin. Oleh karena itu, amatlah zalim seseorang
yang memperkaya dirinya sendiri dari harta masyarakat
tersebut, sehingga Allah Swt memasukkan mereka ke dalam
golongan yang mendapat celaka besar. Firman Allah dalam
surat Zukhruf ayat 65:
      
Artinya:
”Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang zalim, yakni siksaan
hari yang pedih (kiamat)”
4. Suap, yang termasuk dari bagian korupsi dianggap perbuatan
laknat dan perbuatan tercela. Hadis Nabi Muhammad Saw
yang diriwayatkan dari Sahabat Abdullah Ibnu Umar
menyebutkan:

27
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Fikih Kontemporer

‫الراش ِهللا َالْي ُسم ْيرتَ ِهللاشي‬


‫ُس َ َْي ِهللا َ َ َّل َ َّل‬ ‫لَ َع َن َ ُس ُسو ِهللا َ َّل‬
Artinya:
”Rasulullah Saw melaknat orang yang menyuap dan yang menerima
suap” (H.R.Abu Daud).
Korupsi menurut hukum Islam digolongkan sebagai
jarimah ta’zir. Ulama fikih sepakat mengharamkan perbuatan
korupsi karena bertentangan dengan maqashid al-syari’ah. Namun
para fukaha berbeda pandangan dan pendapat dalam menentukan
dalil atau nash sebagai sandaran hukum masalah korupsi.
Sebagian mengqiyaskan dan menyamakannya pada penipuan,
penyalahgunaan jabatan, kezaliman, suap menyuap, dan kebatilan.
Sedangkan sebagian yang lain mengqiyaskannya pada pencurian
dan hirabah23
Dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah perbuatan
terlarang yang diharamkan melakukannya. Akibat dari korupsi
sangat merugikan dan merusak tatanan kehidupan, dan
menyengsarakan rakyat.

22Abu Dawud Sulaiman al-Asy’asts al-Syarastany, Sunan Abi Dawud,

Juz II, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, hal. 166


23Abdulahanaa, “Korupsi Perspektif Hukum Islam” dalam Ekspose,

Jurnal Hukum dan Pendidikan, Vol. 5, Januari – Juni, P3M STAIN


Watampone, 2004, hal. 76
28
BAB 3
GRATIFIKASI

A. Gratifikasi dan Hubungannya dengan Korupsi.


Isu gratifikasi atau pemberian hadiah sempat mencuat
ketika di awal berdirinya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Kala itu KPK melarang pejabat negara menerima parsel.
Larangan ini menuai protes dari pedagang parsel yang omzetnya
turun drastis. Bagi pedagang parsel, usaha ini merupakan lahan
yang cukup menjanjikan dalam menopang bisnis dan kehidupan
mereka. Sedangkan bagi sementara orang, memberi parsel terlebih
saat Hari Raya Lebaran atau Natal, adalah hal yang lazim. Hal
tersebut merupakan bagian dari membina relasi sosial. Repotnya
parsel untuk pejabat kadang nilainya jutaan, tidak hanya terbatas
pada jenis makanan atau minuman, tapi bisa juga berupa barang
berharga. Dengan kata lain parsel bisa juga menjadi alat suap atau
gratifikasi.
Dalam dunia wartawan atau jurnalis hal demikian sudah
berlangsung lama. Dalam menjalankan tugasnya, seorang jurnalis
dilarang menerima hadiah ataupun uang dari nara sumber. Karena
hal ini cepat atau lambat akan mempengaruhi obyektivitas karya
jurnalistik. Misalnya seorang reporter malas meliput demonstrasi
soal BLBI dan memilih ke konferensi pers atau launching product,
karena biasanya ada amplop yang disediakan oleh perusahaan.
Namun kadang kala, terutama di kegiatan launching product, jurnalis
mendapatkan semacam oleh-oleh yang bisa diartikan gratifikasi.
Di beberapa media massa yang cukup tegas mengatur soal ini,
memberi batasan pada para jurnalisnya boleh menerima hadiah-
hadiah tersebut dalam nilai tertentu.
Gratifikasi Fikih Kontemporer

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, gratifikasi diartikan


”Uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan”1
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut
baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik2
Persoalan gratifikasi berkaitan dengan status seseorang
sebagai “pegawai”. Sebagaimana diketahui bahwa mencari rezeki
dengan menjadi pegawai negeri maupun swasta adalah sesuatu
yang halal. Akan tetapi, fenomena yang terjadi saat ini, tidak
jarang seorang pegawai menghadapi hal-hal yang tidak dibolehkan
atau syubhat dalam pekerjaannya tersebut. Di antaranya,
disebabkan munculnya suap, sogok menyogok, gratifikasi, atau
pemberian uang di luar gaji yang tidak halal mereka terima, yang
selama ini dianggap biasa.
Landasan hukum tindak gratifikasi diatur dalam Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 dari
undang-undang tersebut menyebutkan bahwa ancamannya adalah
dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200
juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Macam-macam kasus yang dapat digolongkan sebagai
gratifikasi:

1Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal.371
2http://id.wikipedia.org/wiki/Gratifikasi, diakses tanggal 17 Juni

2010

30
Gratifikasi Fikih Kontemporer

1. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini


bisa berpengaruh dan dapat mempengaruhi legislasi dan
implementasinya oleh eksekutif.
2. Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/
kelulusan.
3. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti
dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat
bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi
(dinas pendapatan daerah), LLAJR dan masyarakat (preman).
Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan pelaporan yang
dipublikasikan ke media massa dan penindakan tegas pada
pelaku.
4. Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai
proyek.
5. Uang restribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan
oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas
Pendapatan Daerah.
6. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke
pejabat.
7. Perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan.
8. Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah, karena
biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat
ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai
dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat
menggunakan kotak amal.
9. Hadiah pernikahan ke keluarga PNS yang melewati batas
kewajaran.
10. Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang "dipercepat" dengan
uang tambahan.
11. Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan
biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya
penerimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal.

31
Gratifikasi Fikih Kontemporer

12. Pengurusan ijin yang dipersulit, dan lain-lain3


Pada undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, setiap
gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku
apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib
dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi tersebut diterima4
Penangkapan terhadap pelaku gratifikasi sangat
bermanfaat untuk mengungkapkan adanya kesepakatan perbuatan
tindak pidana korupsi. Hal ini karena gratifikasi menjadi artefak
atau simbol atas kesepakatan tersebut. Gratifikasi merupakan
wajah di ujung permainan konspiratif tindak pidana korupsi.
Tanpa ada tangkap tangan gratifikasi, tidak mungkin atau sulit
mengungkapkan adanya konspirasi tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, seharusnya KPK jika berhasil menangkap
tangan peristiwa gratifikasi, lantas jangan berkutat di gratifikasinya
tapi harus menjadikan tangkap tangan gratifikasi sebagai cara
menangkap tangan adanya perbuatan konspirasi koruptif. Jangan
sampai penerima gratifikasi ditangkap diproses pidana, sementara
yang berada dikonspirasi (awal permainan konspiratif) tidak
tersentuh proses pidana. Bisa jadi yang tertangkap tangan
hanyalah satu dua orang dari peserta konspirasi yang mana
peserta lain lebih besar menikmati keuntungan materi yang
diperoleh dari perbuatan konspirasi.

A. Bentuk-Bentuk Pemberian
Memberikan sesuatu kepada orang lain, sebenarnya
merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan dalam agama Islam,

3Ibid.
4Ibid.

32
Gratifikasi Fikih Kontemporer

karena di dalamnya terdapat manfaat yang sangat besar.


Menghilangkan sifat iri dan dengki, serta memupuk rasa cinta
kasih. Persoalannya akan menjadi lain ketika pemberian disertai
dengan motivasi tertentu dan untuk melancarkan suatu urusan.
Termasuk dalam hal yang sangat dianjurkan ini adalah
tradisi yang berlaku di tengah masyarakat, di mana mereka saling
memberikan sedekah berupa kue, makanan yang siap saji dan
sebagainya.
Saling memberi, walaupun yang diberikan itu kurang
bernilai, sangat besar artinya dalam rangka menjalin hubungan
baik persaudaraan, seperti hidup bertetangga. Dalam sebuah hadis
Rasulullah Saw dari sahabat Abu Dzar r.a. disebutkan sebagai
berikut:
ِ ِ ‫اَّللُ َعْنوُ قاَ َل قاَ َل َر ُ ْ ُل ِ َ ه‬
‫َع ْن اَ ِىب ذَ ٍّر َر ِض َي ه‬
َ ‫ اذاَظَبَ ْخ‬: ‫َعَْو َو َ ه َم‬
ً‫ت َمَر َق ََة‬
‫ك‬ ِ ‫فَأَ ْكثِر مأىاَوتَع‬
َ َ‫اى ْد جْ َران‬َََ َ ْ
Artinya:
“Dari Abi Dzar r.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, “Jika kamu
memasak kuah, maka perbanyaklah airnya, dan bagi-bagikanlah kepada
tetanggamu.” (H.R Muslim).
Dapat disimpulkan bahwa tradisi saling memberikan
makanan atau lainnya, sangat dianjurkan. Sebab memiliki manfaat
yang sangat besar. Di antaranya adalah untuk mengokohkan
silaturrahmi, mempererat hubungan baik di antara satu dengan
yang lainnya.
Di luar dari zakat dan nafkah (keduanya ini merupakan
pemberian wajib), maka di dalam Islam ada berbagai istilah yang
berkaitan dengan pemberian. Istilah-istilah tersebut adalah hibah,
hadiah, sedekah, wasiat, athiyah dan wakaf. Dalam istilah lain,
termasuk juga ke dalam bentuk-bentuk pemberian adalah bonus,
sogok, suap, gratifikasi, dan fee.
1. Hibah.

33
Gratifikasi Fikih Kontemporer

Pengertian hibah menurut Muhammad Asy-Syarbini


seperti dikutip Rahmat Syafei5 adalah, “Akad yang menjadikan
kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan
dilakukan secara sukarela”
Dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 177 Allah
berfirman:
          

       

        


...
Artinya:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan)...”
Di antara syarat barang atau harta yang dihibahkan adalah
berupa barang milik sendiri, utuh (tidak mudah habis seperti
makanan) dan bermanfaat. Hibah bisa diberikan kepada ahli
waris, masyarakat atau orang lain. Contoh hibah bisa berupa
rumah, kebun dan sebagainya.
Dalam hibah ada dua poin yang hendak dicapai. Pertama,
dengan memberikan harta pada orang lain akan menimbulkan
suasana keakraban dan saling menyayangi antara sesama
manusia. Mempererat hubungan silaturrahmi antara sesama

5Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, Cetakan ke-4, Penerbit Pustaka


Setia, Bandung, 2001, hal. 242
34
Gratifikasi Fikih Kontemporer

muslim merupakan salah satu ajaran agama Islam. Poin yang


kedua yang ingin dicapai dalam hibah adalah terbentuknya
suatu kerja sama dalam berbuat baik.
2. Hadiah.
Hadiah adalah pemberian seseorang yang sah, yang
diberikan pada masa hidupnya. Pemberian tersebut secara
tunai, tanpa ada syarat dan menginginkan balasan.
Hadiah bisa diberikan berupa penghargaan dari pimpinan
suatu lembaga, instansi atau perusahaan terhadap
karyawannya yang berprestasi. Bisa juga dari kepala sekolah
atau guru yang memberikan hadiah kepada muridnya yang
berprestasi.
3. Sedekah.
Sedekah adalah bentuk pemberian sesuatu kepada
seseorang yang membutuhkan, atau pihak lain yang berhak
menerima sedekah, tanpa disertai imbalan atau balasan dan
dengan semata mengharap ridha dari Allah Swt.
Dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah/2 ayat 245 Allah Swt
menyatakan melalui firman-Nya yang berbunyi sebagai
berikut:
          
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak”

Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah Saw bersabda:

‫اعَ ظَ َمٍأ َ َقاهُ ُ َعهزَو َج هل‬ ِ ِ ْ ‫من أَطْعم جائِعااَطْعمو ِمن ََثَا ِر‬
َ ً‫اْلَنهة َوَم ْن َ َق ُم ْؤمن‬ ْ ُ ُ ََ ً َ ََ ْ َ
35
Gratifikasi Fikih Kontemporer

‫اْلَن ِهة‬ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ
َ ً‫يَ ْ َم الْقَ َامة م َن الهرحْ ِق املَ ْختُ ْ م َوَم ْن َك َسا ُم ْؤمن‬
َ ‫اعا ِرًًي َك َساهُ ُ م ْن ُخ‬
ْ ‫ض ِر‬
Artinya:
“Barangsiapa memberi makan orang lapar, Allah Swt akan
memberinya makan dari buah-buah surga. Barangsiapa memberi
minum orang dahaga, Allah Swt Yang Mahatinggi akan memberinya
minum pada hari kiamat dengan wangi-wangian yang dicap.
Barangsiapa yang memberi pakaian orang yang telanjang, Allah Swt
akan memakaikan pakaian surga yang berwarna hijau”. (H.R. Abu
Daud dan Tarmidzi)
Umumnya, ketika seseorang membelanjakan sebagian
hartanya, maka berkuranglah apa yang dimilikinya. Tapi,
ternyata tidak demikian halnya dengan sedekah. Telah tegas
dijelaskan oleh Nabi Saw,

‫ال ِم ْن َ َدقَ ٍة‬


ٌ ‫ص َم‬
َ ‫َمانَ َق‬

Artinya:
”Harta tidak akan berkurang dengan disedekahkan.” (HR
Muslim)6
Imam Nawawi menjelaskan hakikat hadis ini. Harta itu
tidak berkurang karena diberkahi Allah Swt, dengannya
seseorang menjadi terhindar dari suatu mudharat. Maka,
pengurangan secara lahir diganti dengan berkah yang
tersembunyi. Hal ini bisa dikenali melalui rasa dan kebiasaan.
Kedua, meskipun secara lahir berkurang, namun pahala
yang dijanjikan bisa menutup hartanya yang berkurang,

6Muhammad Faiz Al-Math, 1100 Hadis Terpilih Sinar Ajaran Muhammad,


Terjemahan oleh A.Aziz Salim Basyarahil, Cetakan kedua, Gema Insani Press,
Jakarta, 1992, hal. 187

36
Gratifikasi Fikih Kontemporer

bahkan dilipatgandakan dengan kelipatan yang banyak.


Betapa sering kita saksikan berkah itu dirasakan oleh
orang-orang saleh dan dermawan, urusannya dipermudah,
rezeki datang dari arah yang tak terduga, sementara ia tetap
rajin menjalankan ibadah. Atau beberapa kali dia selamat dari
bahaya yang hampir saja menimpanya. Ini semua sesuai
dengan kabar gembira dari Nabi Saw yang bersabda, Sedekah
itu mampu mencegah tujuh puluh pintu keburukan. (HR Thabrani).
Keburukan yang dimaksud bisa berhubungan dengan
duniawi dan ukhrawi sekaligus. Keburukan yang menimpa
urusan duniawi seperti datangnya penyakit, musibah,
kepailitan dan yang lain. Adapun keburukan di akhirat,
meliputi azab kubur, hingga peristiwa yang terjadi setelah hari
kiamat.
Jika begitu banyak dan komplit faidah bersedekah, maka
alangkah butuhnya kita untuk bersedekah kepada orang yang
membutuhkan, melebihi kebutuhan orang miskin terhadap
sedekah yang kita berikan. Orang yang bersedekah mendapat
faidah lebih banyak dari faidah yang didapatkan oleh orang
miskin yang menerimanya. Di sinilah letak keutamaan dan
kelebihan dari kebiasaan bersedekah.
Terhadap orang yang tidak sepantasnya menerima
sedekah, Rasulullah Saw bersabda:
‫ص َدقَتِ ِو ِم ْن ِعْن ِدي‬ ِ ِ َ ‫عَ ِو و هم ق‬
َ ‫ ا هن اَ َح َد ُك ْم لََ ْخُر ُج ب‬:‫ال‬َ َ َ َ ْ َ ُ ‫أَ هن النهِ ه َ ه‬
ُ‫ت أنه َ ا لَو‬
ِ ِِ
َ ‫ف تُ ْع ْو َوقَ ْد َع ْم‬
ِ
َ ْ‫ ًَي َر ُ ْ َل َك‬:‫ال ُع َمُر‬ َ َ‫ُمتَأبِّ َ َ َاواِهَا ِى َي لَوُ َ ٌر! ق‬
ِ ِ ِ
‫ِل الْبُ ْخ َل‬َ ‫ال فَ َمااَ ْ نَ ُع؟ ََيْبَ ْ َن إالهَم ْسأَلَِت َو ََي َىب ُ َعهزَو َج هل‬
َ َ‫َ ٌر؟ ق‬
Artinya:
Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya ada salah
seorang di antara kamu keluar dari rumahku dengan membawa
sadaqah yang disembunyikan diketiaknya, padahal sadaqah itu hanya
umpan neraka. Kemudian Umar bertanya: Ya Rasulullah! Mengapa
37
Gratifikasi Fikih Kontemporer

engkau beri padahal engkau tahu, bahwa sadaqah itu merupakan bara
neraka baginya? Maka jawab Nabi: Apa yang harus saya perbuat
sedangkan mereka terus menerus minta kepadaku dan saya sendiri
dilarang Allah berlaku bakhil” (H.R.Abu Ya‟la, dan Ahmad).
4. Wasiat.
Wasiat berasal dari bahasa Arab washiyyah. Wasiat adalah
bentuk pemberian yang dilakukan, tetapi harta yang
diwasiatkan berpindah tangan ketika yang berwasiat sudah
meninggal dunia. Dalam fikih, wasiat yang dibuat oleh orang
yang berwasiat tidak boleh melebihi 1/3 dari seluruh harta
pusakanya. Wasiat dapat berupa lisan, tetapi lebih baik dibuat
secara tertulis. Sebuah wasiat harus dipersaksikan oleh dua
orang saksi. Wasiat yang diberikan kepada ahli waris melebihi
bagian waris yang mesti diterimanya, haruslah mendapat
persetujuan oleh ahli waris yang lainnya. Persyaratan batas
maksimal 1/3 dapat juga diberikan kepada badan-badan amal
sebagai wakaf7
5. „Athiyah.
Athiyah adalah pemberian orang tua kepada anak
menjelang meninggal dunia. Ulama sepakat bahwa bagi orang
tua disunahkan menyamakan pemberian kepada anak-
anaknya. Hukumnya adalah makruh melebihkan pemberian
kepada salah seorang anak saja. Namun, mereka berbeda
pendapat dalam memahami persamaan yang disunahkan
tersebut. Jumhur ulama berpendapat bahwa persamaan yang
dimaksud adalah menyamakan pemberian antara anak laki-laki
dan perempuan8. Antara „athiyah, hibah dan wasiat ada sedikit
persamaan, namun dalam pelaksanaannya hal tersebut
berbeda.

7Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah, Jakarta, 2005, hal.
358
8Ibid., hal. 249
38
Gratifikasi Fikih Kontemporer

6. Wakaf.
Wakaf adalah bentuk pemberian dari harta kekayaan
dengan ikhlas atau suatu pemberian yang berlaku abadi untuk
kepentingan pemerintahan Islam, kepentingan keagamaan,
dan atau untuk kepentingan umum. Pemberian ini biasanya
tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberikan
wakaf. Ciri pemberian wakaf adalah bahwa pemberian
tersebut adalah untuk selama-lamanya9
Dapat dikatakan bahwa wakaf seringkali diartikan sebagai
aset yang dialokasikan untuk manfaat orang banyak, di mana
substansi atau pokoknya ditahan, sementara manfaatnya
boleh dinikmati untuk kepentingan umum atau orang banyak.
7. Bonus.
Bonus pengertiannya hampir sama dengan hadiah, yaitu
upah tambahan di luar gaji atau upah sebagai hadiah atau
perangsang10.
8. Suap.
Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang
pelicin. Dalam bahasa Arab disebut dengan risywah. Suap atau
sogok diartikan memberi uang dan sebagainya kepada petugas
(pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam
suatu urusan. Bisa jadi kemudahan itu berupa mendapatkan
prioritas atau fasilitas tertentu.
9. Gratifikasi.
Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa gratifikasi
adalah uang atau hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah
ditentukan.

B. Perbedaan antara Suap dan Hadiah.

9 Ibid.
10Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. cit., hal. 163
39
Gratifikasi Fikih Kontemporer

Dengan jalan mengetahui perbedaan antara suap dan


hadiah, maka akan dapat dibedakan jalan yang akan diambil,
apakah hukumnya haram atau halal. Perbedaan tersebut di
antaranya:
1. Suap adalah pemberian yang diharamkan, dan bagi yang
menerimanya termasuk pemasukan yang haram dan kotor.
Sedangkan hadiah merupakan pemberian yang dianjurkan
syariat, dan bagi yang menerimanya termasuk pemasukan
yang halal.
2. Suap, ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak
sesuai dengan syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara
langsung maupun secara tidak langsung. Sedangkan hadiah,
pemberiannya tidak bersyarat.
3. Suap, diberikan untuk mencari muka dan mempermudah
dalam hal yang batil. Sedangkan hadiah, diberikan dengan
maksud untuk silaturrahim dan kasih sayang, seperti kepada
kerabat, tetangga atau teman, atau pemberian untuk
membalas budi.
4. Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun
berdasarkan saling tuntut menuntut, biasanya diberikan
dengan berat hati. Sedangkan hadiah, pemberian dilakukan
terang-terangan atas dasar sifat kedermawanan.

C. Pemberian yang Dibolehkan dan yang tidak Dibolehkan


Dari berbagai macam bentuk pemberian yang telah
dikemukakan, ada yang mesti harus diberikan (ditunaikan), dan
hukumnya wajib, ada yang sangat dianjurkan untuk
memberikannya (hukumnya sunat), dan ada yang dilarang untuk
memberikannya (hukumnya haram).
1. Zakat, adalah berupa harta dari jenis tertentu, yang apabila
telah sampai nishab dan haul-nya, maka bagi yang memiliki
harta tersebut berkewajiban membayar zakat atau
40
Gratifikasi Fikih Kontemporer

memberikannya kepada yang berhak.


2. Nafkah, adalah bentuk kewajiban yang harus dilaksanakan,
seperti seorang suami yang harus memberikan nafkah kepada
istrinya, atau seorang ayah yang harus memberikan nafkah
kepada anak-anaknya.
3. Hibah adalah bentuk pemberian yang sangat dianjurkan
dalam agama, bedanya dengan wasiat, kalau hibah, harta yang
dihibahkan berpindah tangan ketika si pemberi hibah masih
hidup, sedangkan wasiat, harta yang diwasiatkan berpindah
tangan ketika yang berwasiat sudah meninggal dunia.
Hibah berarti pemberian tanpa imbalan. Selanjutnya kata
hibah dimaksudkan sebagai tindakan atau perbuatan
memberikan sesuatu kepada orang, baik berupa harta atau
selain harta.
Hibah, wasiat dan waris sama-sama membahas mengenai
perpindahan hak milik atas suatu harta pada orang lain, akan
tetapi diantara ketiganya memiliki ciri-ciri khusus yang
menjadikannya berbeda satu sama lainnya. Jadi, jelasnya hibah
berbeda dengan wasiat ataupun waris.
Seperti telah dikemukakan bahwa hibah merupakan
tindakan pengalihan hak milik atas suatu harta yang dilakukan
semasa hidup kepada orang yang dikehendaki oleh si pemberi
hibah dan dilakukan seketika itu (tanpa menunggu si pemberi
hibah meninggal). Mengenai hibah ini, hukumnya adalah
sunat.
4. Sedekah adalah bentuk pemberian biasa yang sangat
dianjurkan dalam kehidupan sehari-hari. Hukumnya adalah
sunat.
5. Wasiat adalah bentuk pemberian yang dilakukan, tetapi harta
yang diwasiatkan berpindah tangan ketika yang berwasiat
sudah meninggal dunia. Wasiat termasuk hal yang sangat
dianjurkan dalam agama, termasuk berwasiat kepada selain
ahli waris.
41
Gratifikasi Fikih Kontemporer

6. Wakaf adalah bentuk pemberian dari harta kekayaan untuk


berbagai kepentingan seperti kepentingan agama, atau untuk
kepentingan umum. Berwakaf hukumnya adalah sunat dan
sangat dianjurkn dalam agama.
7. Hadiah, adalah bentuk pemberian yang dibolehkan, selama
tidak ada maksud lain di balik pemberian hadiah tersebut.
Apabila maksudnya untuk kebaikan dan memberikan
dorongan atau semangat, maka itu dibolehkan, seperti hadiah
dari pimpinan instansi terhadap karyawannya yang
berprestasi. Tetapi apabila hadiah itu diberikan karena
maksud tertentu, atau memberikan hadiah kepada pegawai
atau pejabat yang telah membantunya menyelesaikan
permasalahan yang berkaitan dengan tugasnya, maka itu tidak
dibolehkan. Contohnya seperti gratifikasi dan fee.
Dasar dari larangan menerima sesuatu atau hadiah
terhadap pegawai yang sudah ditentukan penghasilan atau
gajinya, adalah sebagaimana hadis Nabi:
ِ
َ ‫َم ِن ا ْ تَ ْع َم ْناَ ُه َع َ َع َم ٍل فَ َرَزقْناَهُ ِرْزقاً فَ َما اَ َخ َ بَ ْع َد ذا ل‬
‫ك فَ ُ َ ُُ ٌل‬
Artinya:
”Barangsiapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu
aku beri gajinya, maka sesuatu yang ditambah di luar gajinya itu
adalah suatu perbuatan korupsi” (H.R Abu Daud)11
8. Suap atau sogok adalah bentuk pemberian yang diharamkan.
Suap diberikan kepada penguasa, pegawai atau penegak
hukum, supaya penguasa, pegawai atau penegak hukum
tersebut memberikan dispensasi atau hukum yang
menguntungkannya, atau hukum yang merugikan lawannya

11Bey Arifin dkk., Tarjamah Sunan Abi Daud, Jilid 3, Asy-Syifa,


Semarang, 1992, hal. 585-586

42
Gratifikasi Fikih Kontemporer

menurut kemauannya, atau supaya didahulukannya urusannya


atau ditunda karena ada sesuatu kepentingan dan seterusnya.
Islam mengharamkan seseorang menyuap penguasa dan
pembantu-pembantunya. Begitu juga penguasa dan
pembantu-pembantunya ini diharamkan menerima uang suap
tersebut.
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 188:
        

        


Artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”
Hadis dari Rasulullah Saw.
‫ُ َعَْ ِو َو َ ه َم الهراش ِ َوالْ ُم ْرتَ ِشي‬ ‫لَ َع َن َر ُ ُل ِ َ ه‬
Artinya:
”Rasulullah Saw melaknat orang yang menyuap dan yang menerima
suap (H.R.Abu Daud)
Islam mengharamkan suap dan mempertegasnya terhadap
siapa saja yang terkait dalam penyuapan ini. Sebab meluasnya
penyuapan di masyarakat, akan menyebabkan meluasnya
kerusakan dan kezaliman, misalnya: menetapkan hukum
dengan jalan tidak benar, kebenaran tidak mendapat jaminan
hukum, mendahulukan orang yang seharusnya diakhirkan

12Abu Dawud Sulaiman al-Asy‟asts al-Syarastany, Sunan Abi Dawud,


Juz II, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, hal. 166
43
Gratifikasi Fikih Kontemporer

atau dikemudiankan dan mengakhirkan orang yang seharusnya


didahulukan.
Islam mengharamkan suap dalam bentuk dan nama
apapun. Oleh karena itu dengan dalih hadiah tidak akan dapat
mengeluarkannya dari haram menjadi halal.
Umar bin Abdul Aziz pernah diberi hadiah waktu beliau
menjabat sebagai khalifah, tetapi ditolaknya. Kemudian
dikatakan kepadanya: “Rasulullah mau menerima hadiah.”
Maka Umar menjawab: “Apa yang diterima Nabi itu memang
hadiah, tetapi ini buat saya sebagai suapan.”13
Pernah juga Rasulullah Saw mengirimkan seorang utusan
untuk mengumpulkan zakat dari kabilah Azdi. Tetapi setelah
utusan tersebut menghadap Nabi, sebahagian barang yang
dibawanya itu ditahan dan ia mengatakan kepada Nabi: Ini
untukmu dan ini untuk saya, sebagai hadiah.
Mendengar ucapan itu Nabi marah sambil berkata:
Mengapa tidak saja kamu tinggal di rumah bersama ayah dan
ibumu sehingga hadiahmu itu sampai kepadamu, kalau kamu
orang yang jujur?
Kemudian Nabi bersabda pula:
‫ت أ ُِّم ِو‬ِ ‫ ى َ الَ ُ م وى َ ا ِ ى ِديهةٌ؟ أالَجَس ِِِف ب‬:‫ماَ ِ أ تَ ع ِمل الهرجل ِمْن ُ م فَ ُق ُل‬
َْ َ َ َ َْ ْ َ ْ َُ ُ ْ ْ
ٍ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ
َ َ ‫لُ ْ َدى لَوُ! َواله ي نَ ْفسي بَده الَ ََي ُخ ُ اَ َح ٌد مْن ُ ْم َشْ ئَا بغَ ْْي َح ّق إالَ أَت‬
ٍ‫َي اَ َح ُد ُكم يَ َم الْ ِقَ َامة بِبَعِ ٍْْي لَوُ ر َاء اَْو بَ َقرة‬
‫فَ ََل ََي ََْتَِ ه‬-‫َْ ِم ُل ََ ُه يَ ْع ِ يَ ْ َم الْ ِقَ َام ِة‬
َ ٌ ُ ْ ْ
َ َ‫اا إِبْ َْ ِو ُه ق‬ ِ ٍ ٍ
ُ ‫أل ُ هم َى ْل بَه ْغ‬:‫ال‬
‫ت؟‬ ُ ََ‫اخ َاٌْر اَْو َشاة تَْ َعُر!! ُه َرفَ َع يَ َديْو َح ه ُرئ َي ب‬ ُ ََ
“Mengapa saya mempekerjakan seorang laki-laki dari antara kamu
kemudian ia mengatakan: ini untukmu dan ini hadiah untukku?
Mengapa tidak saja ia tinggal di rumah ibunya supaya diberi hadiah?
Demi zat yang diriku dalam kekuasaannya, salah seorang di antara

Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, Terjemah


13 H.
Mu‟ammal Hamidy, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hal. 457
44
Gratifikasi Fikih Kontemporer

kamu tidak akan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak benar,
melainkan dia akan menghadap Allah—kelak di hari kiamat—
sambil membawa benda tersebut. Sungguh salah seorang di antara
kamu tidak akan datang nanti di hari kiamat dengan membawa unta
yang melenguh atau sapi yang menguak dan atau kambing yang
mengembik. Kemudian Nabi mengangkat dua tangannya sampai
putihnya kedua ketiaknya nampak, seraya mengatakan: Ya Tuhan,
sudahkah saya sampaikan ini? (H.R. Abu Daud wa akhrajahu
Bukhari dan Muslim)14
Imam Ghazali berkata: “Kalau sudah demikian kerasnya
larangan ini, maka sepatutnya seorang hakim atau penguasa—
dan orang-orang yang tergolong hakim atau penguasa—
mengira-ngirakan dirinya sewaktu tinggal bersama ayah dan
ibunya. Kalau dia diberi hadiah sesudah memisahkan diri
tetapi waktu itu masih tinggal bersama ayah dan ibunya, maka
boleh diterimanya ketika dia sedang memangku jabatan.
Tetapi kalau dia tahu, bahwa pemberian itu justeru karena
jabatannya, maka haram dia menerimanya. Dan hadiah-hadiah
kawannya yang masih disangsikan apakah kalau dia keluar dari
jabatan, bahwa mereka itu akan memberinya? Maka hal ini
dipandang sebagai barang syubhat; oleh karena itu jauhilah”15

D. Hukum Pemberian Kepada Pegawai atau Pejabat.


Pada dasarnya, pemberian seseorang kepada orang lain
adalah merupakan perbuatan terpuji dan sangat dianjurkan dalam
agama. Persoalannya menjadi berbeda, jika pemberian tersebut
untuk tujuan duniawi, tidak ikhlas mengharapkan ridha Allah Swt.
Tujuan duniawi yang dimaksud, juga berbeda-beda hukumnya

14Bey Arifin, Op. cit., hal. 587-588


15Yusuf Qardhawi, Op. cit., hal. 458-459
45
Gratifikasi Fikih Kontemporer

sesuai dengan seberapa jauh dampak dan kerusakan yang


ditimbulkan dari pemberian tersebut.
Pemberian sesuatu kepada pegawai atau pejabat dapat
dibagi ke dalam tiga bagian:
1. Pemberian yang diharamkan. Hal ini berlaku baik terhadap si
pemberi maupun bagi yang menerima pemberian, yaitu bagi si
pegawai atau pejabat.
Pemberian tersebut bertujuan untuk sesuatu yang batil,
atau pemberian atas sebuah tugas yang memang wajib
dilakukan oleh pegawai yang bersangkutan.
Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat
atau diangkat menjadi pegawai pada sebuah instansi, dengan
tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk kepentingan
sekarang maupun pada masa yang akan datang, yaitu dengan
menutup mata syarat yang ada untuknya, dan atau
memalsukan data, atau mengambil hak orang lain, atau
mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang yang
lebih berhak, atau memenangkan perkaranya dan sebagainya.
Dasar dari larangan ini adalah sebagaimana telah
dikemukakan terdahulu, yaitu hadis Rasulullah Saw:
‫ُ َعَْ ِو َو َ ه َم الهراش ِ َوالْ ُم ْرتَ ِشي‬ ‫لَ َع َن َر ُ ُل ِ َ ه‬
Artinya:
”Rasulullah Saw melaknat orang yang menyuap dan yang menerima
suap (H.R.Abu Daud)
Kemudian hadis Rasulullah Saw yang berbunyi:
ِ
َ ‫َم ِن ا ْ تَ ْع َم ْناَ ُه َع َ َع َم ٍل فَ َرَزقْناَهُ ِرْزقاً فَ َما اَ َخ َ بَ ْع َد ذا ل‬
‫ك فَ ُ َ ُُ ٌل‬
Artinya:

16Abu Dawud Sulaiman al-Asy‟asts al-Syarastany, Loc.cit.


46
Gratifikasi Fikih Kontemporer

”Barangsiapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu


aku beri gajinya, maka sesuatu yang ditambah di luar gajinya itu
adalah perbuatan korupsi” (H.R Abu Daud)17
Rasulullah Saw ketika mendelegasikan sebagian orang
untuk mengumpulkan zakat, beliau bersabda:
‫ت اَبِْ ِو َوأ ُِّم ِو‬
ِ ‫ك وى َ ا ِ فَ َله جَس ِِف ب‬
َْ َ َ َ
ِ ِ
َ َ َ َ‫ماَابَ ُل الْ َعام ِل نَْب َعثُوُ فََأْت يَ ُق ْ ُل َى اَل‬
‫فََ ْنظُُراَيُ ْ َدى لَوُ اَْم ََل‬
Artinya:
“Kenapa (ada) seorang yang kami tugaskan (untuk mengumpulkan
zakat) mengatakan “ini bagi kalian dan ini bagianku”. Apakah ia
tidak lebih baik duduk di rumah ayah atau ibunya, dan melihat
apakah ia akan menerima hadiah atau tidak (seperti saat aku
perintahkan ia sebaga petugas)” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan, bahwa kewajiban seorang
pegawai, hendaknya ia melaksanakan tanggung jawab yang
dibebankan kepadanya. Ia tidak berhak mengambil hadiah
melalui cara apapun berkaitan dengan pekerjaannya tersebut.
Dia tidak boleh mengambilnya untuk kepentingan pribadi,
sebab praktik itu merupakan sarana menuju keburukan dan
mengurangi sifat amanah.
Di samping itu, seorang pegawai yang dilantik untuk
jabatan tertentu, terlebih dahulu mengangkat sumpah, bahwa
ia tidak akan menerima sesuatu yang berkaitan dengan tugas
dan jabatannya itu.
2. Pemberian yang dibolehkan bagi yang memberi, tetapi
diharamkan bagi yang menerimanya, yaitu bagi pegawai atau
pejabat.
Pemberian ini dilakukan karena terpaksa, karena apa yang
menjadi haknya tidak dikerjakan, atau sengaja diperlambat dan

17 Bey Arifin, Loc.cit.


47
Gratifikasi Fikih Kontemporer

dirmainkan oleh pegawai bersangkutan yang seharusnya


memberikan pelayanan.
Pemberian terpaksa dilakukan karena untuk mengambil
kembali haknya, atau untuk menolak kezaliman terhadap
dirinya. Apalagi ia melihat, jika pegawai tersebut tidak diberi
sesuatu, maka ia akan melalaikan, atau memperlambat
prosesnya.
Dalam hadisnya Rasulullah Saw bersabda:
ِ ‫ًير َل‬:‫ال عمر‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ‫اِ هن اَح َد ُكم لَ خرج ب‬
ْ ُ َ َ ُ َ ُ َ َ‫ص َدقَتو م ْن عْندي ُمتَأبّ َ َ َاواهَا ى َي لَوُ َ ٌر! ق‬ َ ُ ُْ َ ْ َ
ِ ِ ِِ
ُ ‫ال فَ َمااَ ْ نَ ُع؟ ََيْبَ ْ َن إالهَم ْسأَلَِِت َو ََي َىب‬
َ َ‫ت أنه َ ا لَوُ َ ٌر؟ ق‬
َ ‫ف تُ ْع ْو َوقَ ْد َع ْم‬َ ْ‫َك‬
ِ
‫ِل الْبُ ْخ َل‬
َ ‫َعهزَو َج هل‬
Artinya:
“Sesungguhnya ada salah seorang di antara kamu keluar dari
rumahku dengan membawa sadaqah yang disembunyikan diketiaknya,
padahal sadaqah itu hanya umpan neraka. Kemudian Umar bertanya:
Ya Rasulullah! Mengapa engkau beri padahal engkau tahu, bahwa
sadaqah itu merupakan bara neraka baginya? Maka jawab Nabi:
Apa yang harus saya perbuat sedangkan mereka terus menerus minta
kepadaku dan saya sendiri dilarang Allah berlaku bakhil” (H.R.Abu
Ya‟la, dan Ahmad)
3. Pemberian yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan memberi
dan mengambilnya.
Pemberian yang termasuk dalam kelompok ini bertujuan
baik dan mengharapkan ridha Allah untuk memperkuat tali
silaturrahim atau menjalin ukhuwah Islamiyah.
Ada beberapa bentuk pemberian yang termasuk kepada
jenis yang dibolehkan ini:
a. Pemberian seseorang yang tidak mempunyai kaitan
dengan tugasnya. Sebelum pegawai tersebut menjabat, ia
sudah sering juga memberi hadiah, karena hubungan
kerabat atau yang lainnya. Dan pemberian itu tetap
48
Gratifikasi Fikih Kontemporer

dilakukan, meskipun yang diberi sekarang sedang


menjabat.
b. Pemberian orang yang tidak biasa memberi hadiah kepada
seorang pegawai yang tidak berlaku persaksiannya, seperti
seseorang bersaksi untuk anaknya, dan hadiah tersebut
tidak ada hubungannya dengan usahanya.
c. Pemberian atau hadiah yang telah mendapat izin dari
pemerintah atau instansinya.
d. Pemberian atasan kepada bawahannya.
e. Pemberian atau hadiah ketika meninggalkan jabatannya,
dan lain-lain.

49
BAB 4
ASURANSI

A. Pengertian Asuransi
Banyak definisi yang telah diberikan untuk istilah asuransi,
dimana secara sepintas tidak ada kesamaan antara definisi yang
satu dengan yang lainnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena dalam
mendefinisikannya disesuaikan dengan sudut pandang yang
digunakan dalam memandang asuransi.
Asuransi termasuk masalah baru, sehingga belum
ditemukan analisis hukumnya dalam literatur hukum Islam
dahulu. Oleh sebab itu, masalah asuransi dapat digolongkan
sebagai masalah ijtihadiyah. Dalam bahasa Arab, asuransi disebut
dengan takaful, ta’min, atau tadhamun1
Dalam kamus bahasa Indonesia asuransi diartikan
”Pertanggungan (perjanjian antara dua pihak), pihak yang satu
berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban
memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran apabila
terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang
miliknya sesuai dengan perjanjian yang dibuat”2
Menurut istilah, asuransi adalah jaminan atau
pertanggungan yang diberikan oleh penanggung kepada yang
ditanggung untuk risiko kerugian sebagaimana diterapkan dalam

1
Ismail Nawawi, Ekonomi Kelembagaan Syari’ah dalam Pusaran
Perekonomian Global Sebuah Tuntutan dan Realitas, CV Putra Media Nusantara,
Surabaya, 2009, hal. 191
2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 73
Asuransi Fikih Kontempotrer

polis (surat perjanjian) bila terjadi kebakaran, kecurian, kerusakan,


kematian atau kecelakaan lainnya dengan tertanggung membayar
premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap bulan3
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa dalam
perjanjian asuransi itu terdapat tiga unsur penting terkait, yaitu:
(1) bentuk dan jumlah jaminan yang akan diberikan perusahaan
asuransi, (2) bahaya atau musibah yang terjadi, (3) angsuran atau
pembayaran yang dibayar oleh nasabah. Angsuran tersebut bisa
bulanan, triwulan dan seterusnya sesuai perjanjian.
Sedangkan dalam UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha
perasuransian dikatakan bahwa, asuransi adalah perjanjian antara
dua pihak atau dengan pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin ada di antara tertanggung memberikan
sesuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan4
Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah
berdirinya bank syari’ah, maka berbagai bentuk transaksi di
bidang keuangan yang bernuansa syari’ah bermunculan.
Termasuk dalam masalah ini, hal yang berkaitan dengan per-
asuransian.
Yang dimaksud dengan asuransi syari’ah sebagaimana
hasil rapat pleno Dewan Syari’ah Nasional (MUI) tanggal 9 April
2001 adalah usaha kerjasama saling melindungi dan tolong
menolong, di antara sejumlah orang dalam menghadapi sejumlah
risiko melalui perjanjian yang sesuai dengan syari’ah5. Usaha kerja

3Huzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer,


Angkasa, Bandung, hal. 13 dikutip dari Hasan Shadeli
4Ibid., hal. 14 dikutip dari Warkon Sumitro
5 Ibid., hal. 14-15

51
Asuransi Fikih Kontempotrer

sama saling melindungi dan tolong menolong tersebut dilakukan


melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’.
Sebagai kritik dan reaksi terhadap sistem asuransi
konvensional yang dinilai mengandung riba, judi dan kedzaliman,
di Indonesia telah berdiri perusahaan asuransi Islam (Takaful).
Perusahaan ini diyakini berjalan sesuai prinsip-prinsip syariah
dalam mu’amalah yang menyangkut prinsip jaminan, syirkah, bagi
hasil dan ta’awun atau takaful (saling rnenanggung). Berasal dari
bahasa Arab, takaful berarti saling menanggung atau menanggung
bersama. Menilik pengertiannya, asuransi takaful barangkali bisa
digolongkan atau dikategorikan ke dalam bentuk Asuransi Saling
Menanggung6.

B. Sejarah Asuransi.
Asuransi yang pertama kali muncul ialah dalam bentuk
asuransi perjalanan laut, yaitu pada abad 14 Masehi. Namun
sebenarnya, asuransi ini memiliki akar sejarah semenjak sebelum
Masehi. Praktek asuransi waktu itu, seseorang meminjamkan
sejumlah harta riba untuk kapal yang akan berlayar. Jika kapal itu
hancur, maka pinjaman tersebut hilang. Jika kapal selamat, maka
pinjaman itu dikembalikan dengan riba (tambahan) yang
disepakati oleh masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian.
Kapal itu digadaikan untuk sementara sebagai jaminan
pengembalian hutang dan ribanya.
Pandangan lain mengatakan bahwa asuransi berasal mula
dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan
perjanjian Hammurabi. Kemudian pada tahun 1668 M di Coffee
House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal
asuransi konvensional. Sumber hukum asuransi adalah hukum

6http://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi, diakses tgl. 12 Juli 2010


52
Asuransi Fikih Kontempotrer

positif, hukum alami dan contoh yang ada sebelumnya


sebagaimana kebudayaan7
Asuransi jiwa sendiri baru dikenal pada awal abad ke-19.
Kodifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte memuat
pasal-pasal tentang asuransi dalam KUHD. Kodifikasi ini
kemudian mempengaruhi KUHD Belanda, yang sebagiannya
hingga sekarang masih dipakai di Indonesia8
Demikianlah asal muasal perusahaan asuransi. Di
dalamnya merupakan perjanjian yang bersifat riba, mengandung
unsur perjudian dan bahaya. Dan hingga saat ini, asuransi tetap
memiliki unsur-unsur sebagaimana asuransi tersebut muncul
pertama kali.
Kemudian, pada abad 17 Masehi muncul asuransi di
daratan, yaitu di kalangan bangsa Inggris. Pertama kali, muncul
dalam bentuk asuransi kebakaran. Kemunculannya setelah terjadi
kebakaran hebat di kota London pada tahun 1666 Masehi.
Kerugian yang diderita pada waktu itu, tidak kurang dari 13 ribu
rumah, dan sekitar 100 gereja terbakar. Dari sini, asuransi
kebakaran kemudian menyebar kebanyak negara di luar Inggris
pada abad 18 Masehi, khususnya di Jerman, Perancis, dan
Amerika Serikat, serta semakin bertambah jenisnya, khususnya
pada abad 20 Masehi9
Pelaksanaan asuransi di Indonesia berawal pada masa
penjajahan Belanda, terkait dengan keberhasilan perusahaan dari
negeri tersebut di sektor perkebunan dan perdagangan di
Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan jaminan terhadap
keberlangsungan usahanya, tentu diperlukan adanya asuransi.

7http://www.blogger.com/profile/11120670599869482224, diakses

tgl. 12 Juli 2010


8http://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi, diakses tgl. 12 Juli 2010
9Muslim Al-Atsari, “Asuransi dan Hukumnya” dalam Majalah As-

Sunnah, Edisi 08/Tahun XI/1428 H./2007 M., hal. 26


53
Asuransi Fikih Kontempotrer

Perkembangan industri asuransi di Indonesia sempat vakum


selama masa penjajahan Jepang10
Tujuan asuransi pada pokoknya adalah mengalihkan risiko
yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan
kepada orang lain yang bersedia mengambil risiko itu dengan
mengganti kerugian yang dideritanya. Pihak yang bersedia
menerima risiko itu disebut penanggung (insurer). Ia mau
melakukan hal itu tentu bukanlah semata-mata demi kemanusiaan
saja (bahkan mungkin alasan sosial ini memang tidak pernah ada),
tapi karena Ia melihat dalam usaha ini terdapat celah untuk
mengambil keuntungan. Sebagai perusahaan. pihak penanggung
bagaimanapun Iebih dapat menilai besarnya risiko itu dan pada
pihak tertanggung (insured) seorang. Berdasarkan besar kecilnya
risiko yang dihadapi penanggung dan berapa besar persentase
kemungkinan klaim yang akan diterimanya, didukung analisa
statistik, perusahaan asuransi dapat menghitung besarnya
penggantian kerugian. Dan dari jumlah inilah perusahaan
memintakan premi kepada pihak tertanggung. Di luar itu,
perusahaan asuransi masih memasukkan biaya operasional dan
margin keuntungan untuk perusahaan. Ini merupakan teknik
perusahaan asuransi untuk meraup untung. Bila biaya operasional
dan margin keuntungan dari satu nasabah tertanggung sudah
diperoleh, ditambah dengan perolehan bunga dan uang premi
nasabah tiap bulan yang disimpan di bank, maka perusahaan
asuransi tentu saja akan meraup untung berlipat-lipat dan semakin
banyak nasabah yang berhasil digaet11
Dalam dunia asuransi ada enam macam prinsip dasar yang
harus dipenuhi, yaitu :

10http://www.blogger.com/profile/11120670599869482224,

Diakses tgl. 12 Juli 2010


11http://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi, diakses tgl. 12 Juli 2010

54
Asuransi Fikih Kontempotrer

1. Insurable interest. Hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari


suatu hubungan keuangan, antara tertanggung dengan yang
diasuransikan dan diakui secara hukum.
2. Utmost good faith. Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara
akurat dan lengkap, semua fakta yang material (material fact)
mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta
maupun tidak. Artinya adalah : si penanggung harus dengan
jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luasnya
syarat/kondisi dari asuransi dan si tertanggung juga harus
memberikan keterangan yang jelas dan benar atas obyek atau
kepentingan yang dipertanggungkan.
3. Proximate cause. Suatu penyebab aktif, efisien yang
menimbulkan rangkaian kejadian yang menimbulkan suatu
akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan secara
aktif dari sumber yang baru dan independen.
4. Indemnity. Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan
kompensasi finansial dalam upayanya menempatkan
tertanggung dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat
sebelum terjadinya kerugian.
5. Subrogation. Pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada
penanggung setelah klaim dibayar.
6. Contribution. Hak penanggung untuk mengajak penanggung
lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama
kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan
indemnity12

C. Macam-Macam Asuransi.
Pembahasan tentang asuransi dalam fikih kontemporer
sebagaimana kesimpulan Wahbah az-Zuhaili yang dikutip

12 Ibid.
55
Asuransi Fikih Kontempotrer

Setiawan Budi Utomo13 tidak terlepas dari klasifikasi asuransi


menjadi dua kategori: yakni asuransi yang bersifat sosial (ta’min
ta’awuni/takafuli) dan asuransi yang bersifat komersial (ta’min
tijari). Asuransi komersial ini lazimnya menggunakan pola at-ta’min
bi qist tsabit (asuransi dengan sistem pembayaran premi tetap
sesuai jadwal untuk dapat mengajukan klaim bila terjadi sesuatu
yang termasuk dalam kesepakatan jaminan asuransi). Perbedaan
kedua jenis asuransi tersebut menurut Mustafa al-Bugha (guru
besar fikih di Universitas Damaskus, Suriah), terletak pada tujuan
masing-masing. At-ta’min at Ta’awuni pada dasarnya tidak mencari
keuntungan komersial, tetapi semata-mata untuk kepentingan
bersama ketika terjadi kemudharatan atas diri salah seorang
anggotanya. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama
tentang hukum kebolehan at-ta’min at- ta’awuni ini, karena dasar
dari jenis asuransi ini sejalan dan sesuai dengan prinsip ajaran
Islam.
Dewasa ini, perasuransian berkembang begitu cepat.
Segala macam produk asuransi ditawarkan kepada masyarakat.
Pelaksanaan asuransi di berbagai negara bermacam-macam pola
dan sistemnya. Hal ini terjadi karena bermacam-macam pula
sesuatu yang diasuransikan. Kalau dihitung jumlahnya, maka jenis
asuransi tersebut sudah berjumlah demikian banyak. Bentuk
asuransi sekarang sudah sangat beragam. Ada asuransi kecelakaan,
asuransi kerusakan, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan,
asuransi kredit, bahkan juga asuransi organ tubuh (kaki pada
pemain bola, dan sebagainya). Dalam dunia perasuransian dikenal
berbagai jenis dan bentuk asuransi. Di antara jenis asuransi
tersebut adalah:
1. Asuransi Jiwa.

13Setiawan Budi Utomo. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah


Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hal. 163

56
Asuransi Fikih Kontempotrer

Asuransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung


orang terhadap kerugian finansial yang tidak terduga yang
disebabkan seseorang meninggal terlalu cepat atau hidupnya
terlalu lama. Jadi ada dua hal yang menjadi tujuan asuransi jiwa
ini, yaitu menjamin biaya hidup anak atau keluarga yang
ditinggalkan, bila pemegang polis meninggal dunia atau untuk
memenuhi keperluan hidupnya dan keluarganya, bila
ditakdirkan usianya lanjut sesudah masa kontrak berakhir14. Jadi
pihak penanggung asuransi (perusahaan), berjanji akan
membayar sejumlah uang kepada orang yang disebutkan
namanya dalam polis apabila yang mempertanggungkan (yang
ditanggung) meninggal dunia atau sesudah melewati masa-masa
tertentu.
2. Asuransi Beasiswa.
Asuransi beasiswa mempunyai dasar dwiguna. Pertama,
jangka pertanggungan dapat 5-20 tahun, disesuaikan dengan
usia dan rencana sekolah anak. Kedua, jika ayah (tertanggung)
meninggal dunia sebelum habis kontrak, pertanggungan
menjadi bebas premi sampai habis kontrak polisnya. Tetapi jika
anak yang ditunjuk meninggal, maka alternatifnya ialah
mengganti dengan anak yang lainnya, mengubah kontrak
kepada bentuk lainnya, menerima uangnya secara tunai bila
polisnya telah berjalan tiga tahun lebih, atau membatalkan
perjanjian (sebelum tiga tahun belum ada harga tunai).
Pembayaran beasiswa dimulai, bila kontrak sudah habis15
3. Asuransi Timbal Balik.
Maksud dengan asuransi timbal balik adalah beberapa
orang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan
maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari

14M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga
Keuangan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 58
15 Ibid.

57
Asuransi Fikih Kontempotrer

mereka saat mendapat kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan


tersebut telah habis, dipungut lagi iuran yang baru untuk
persiapan selanjutnya16
4. Asuransi Dagang.
Asuransi dagang adalah sejumlah orang yang senasib
sepenanggungan bermufakat dan bekerja sama dalam
mengadakan pertanggungjawaban bersama untuk memikul
kerugian yang menimpa salah seorang anggota mereka. Apabila
timbul kecelakaan yang merugikan salah seorang anggota
kelompoknya yang telah berjanji itu, seluruh orang yang
tergabung dalam perjanjian tersebut memikul beban kerugian itu
dengan cara memungut derma (iuran) yang telah ditetapkan atas
dasar kerja sama untuk meringankan teman semasyarakat17
5. Asuransi Pemerintah.
Asuransi pemerintah adalah menjamin pembayaran harga
kerugian kepada siapa saja yang menderita di waktu terjadinya
suatu kejadian yang merugikan tanpa mempertimbangkan
keuntungannya, bahkan pemerintah menanggung kekurangan
yang ada karena uang yang dipungut sebagai iuran dan asuransi
lebih kecil daripada harga pembayaran kerugian yang harus
diberikan kepada penderita di waktu kerugian itu terjadi. Asuransi
pemerintah dilakukan secara obligator atau paksaan dan dilakukan
oleh badan-badan yang telah ditentukan untuk masing-masing
keperluan18
6. Asuransi atas Bahaya yang Menimpa Badan.
Asuransi atas bahaya yang menimpa badan adalah
asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas
kerugian diri seseorang, seperti asuransi mata, asuransi telinga,
asuransi tangan, atau asuransi atas penyakit tertentu. Asuransi ini

16 Ismail Nawawi, Op. cit., hal. 195


17Ibid.
18Ibid., hal. 195-196
58
Asuransi Fikih Kontempotrer

banyak dilakukan oleh buruh-buruh industri yang menghadapi


bermacam-macam kecelakaan dalam menunaikan tugasnya19
7. Asuransi terhadap Bahaya Pertanggung-jawaban Sipil.
Maksud dari asuransi terhadap bahaya-bahaya
pertanggungjawaban sipil adalah asuransi yang diadakan
terhadap barang atau benda, seperti asuransi rumah,
perusahaan, mobil, kapal udara, kapal laut motor, dan yang
lainnya. Di RPA asuransi mengenai mobil dipaksakan.20
Dilihat dari pengelompokannya, maka asuransi terbagi
kepada:
1. Asuransi dengan Cicilan Tetap.
Asuransi dengan cicilan tetap ialah asuransi yang
dilaksanakan perusahaan-perusahaan asuransi melalui sebuah
kontrak (persetujuan) antara perusahaan asuransi dan penerima
asuransi yang menetapkan bahwa perusahaan asuransi
berkewajiban membayar sejumlah uang kepada penerima
asuransi atau pemegang polis asuransi ketika pemegang polis
asuransi mengalami kecelakaan tertentu, dengan imbalan
penerima asuransi atau pemegang polis asuransi membayar
sejumlah uang yang disebut premium pada perusahaan
asuransi21. Tujuan perusahaan tersebut ialah mencari
keuntungan, berupa selisih antara premium yang diterimanya
dan pemegang polis asuransi dan yang dibayarkannya kepada
penerima asuransi atau pemegang polis asuransi. Jadi, cara yang
digunakan di sini ialah kontrak (persetujuan asuransi).
2. Asuransi Sosial.
Asuransi sosial adalah sebuah asuransi yang dilaksanakan
pemerintah atau sebuah badan usaha umum untuk melindungi
kelompok tertentu dari bahaya tertentu, seperti buruh dari

19Ibid.
20Ibid.
21Huzaimah Tahido, Op. cit., hal. 43-44
59
Asuransi Fikih Kontempotrer

bahaya pengangguran, pemutusan hubungan kerja, kecelakaan


kerja, sakit dan lansia.
Para ulama memandang asuransi ini adalah halal (boleh),
karena yang menimbulkan larangan dalam asuransi ialah gharar
(ketidakjelasan). Gharar (ketidakjelasan) hanya bisa terjadi dalam
kontrak tukar menukar. Asuransi sosial tidak termasuk asuransi
tukar menukar, sehingga tidak mengandung peluang akan
terjadi gharar22
3. Asuransi Tolong Menolong.
Asuransi tolong menolong yang dilaksanakan oleh
perkumpulan atau perhimpunan gotong royong adalah halal. Inti
yang diberikan para pesertanya pada perhimpunan adalah sebagai
sumbangan. Sesama peserta saling membantu dan saling
menolong dalam mengatasi kecelakaan yang menimpa
anggotanya.

D. Hukum Asuransi.
Asuransi dalam pandangan ajaran Islam termasuk masalah
ijtihadiyah, artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin
karena tidak dijelaskan oleh Al-Quran dan Al-Sunnah secara
ekplisit. Para Imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para mujtahid yang
semasa dengannya tidak memberikan fatwa mengenai asuransi
karena pada masanya asuransi belum dikenal23
Secara umum dalil yang menjadi landasan asuransi syari’ah
antara lain adalah firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hasyr
ayat 18:

22 Ibid., hal. 44-45


23Suhendi, Fiqh Muamalah, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.
309
60
Asuransi Fikih Kontempotrer

             

     


Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Dalam menentukan hukum asuransi ini dapat disimpulkan
bahwa para ulama kontemporer menggunakan beberapa metode
ijtihad sekaligus. Yaitu qiyas, istishab, serta pendekatan maslahat, di
samping pendekatan dalil-dalil umum syariah. Menurut metode
pertama, dapat dipahami bahwa illat hukum diharamkannya riba
dan judi dijadikan sebagai dasar penetapan hukum haramnya
asuransi komersial kovensional (tijari), yaitu mengqiyaskan
asuransi tijari dengan praktik riba dan gambling (judi). Dalam kasus
kebolehan asuransi syariah yang bersifat sosial (ta’awuni)
digunakan metode istishab hukmi al-ashl. Yaitu menetapkan hukum
asal segala bentuk muamalah hukumnya boleh, kecuali ada dalil
yang melarangnya24
Asuransi dilihat dari aspek hukum Islam, dapat dibagi
kepada empat bagian, yaitu:
1. Membolehkan semua asuransi dalam praktiknya dewasa ini.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf,
Musthafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa. Alasan-
alasan yang dikemukakan oleh para ulama tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Tidak ada nash Al-Qur’an maupun nash Al-Hadis yang
melarang asuransi.

24Setiawan Budi Utomo, Op. cit., hal. 166


61
Asuransi Fikih Kontempotrer

b. Kedua pihak yang berjanji (asurador dan yang


mempertanggungkan) dengan penuh kerelaan menerima
asuransi ini dilakukan dengan memikul tanggung jawab
masing-masing.
c. Asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah
pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah
pihak.
d. Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-
premi ysng terkumpul dapat diinvestasikan (disalurkan
kembali untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek
yang produktif dan untuk pembangunan.
e. Asuransi termasuk akad mudharabah maksudnya asuransi
merupakan akad kerja sama bagi hasil antara pemegang
polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi
yang mengatur modal atas dasar bagi hasil (profit and loss
sharing)
f. Asuransi termasuk syirkah ta’awuniyah
g. Dianalogikan atau diqiaskan dengan sistem pensiun,
seperti taspen.
h. Operasi asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum
dan kepentingan bersama.
i. Asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta
benda, kekayaan dan kepribadian.
Para ulama telah sepakat bahwa asuransi sebagai sebuah
teori atau sistem tolong menolong dalam rangka
menumbuhkan solidaritas umat Islam adalah halal. Karena
tolong menolong dan solidaritas antara umat Islam sesuai dan
sejalan dengan cita-cita syariat Islam. Hal ini sangat jelas dan
tidak perlu lagi diperkuat dengan dalil-dalilnya secara terurai25
Jika asuransi sebagai teori atau sistem untuk
merealisasi tolong menolong dan solidaritas, adalah halal,

25Huzaimah Tahido, Op. cit., hal. 42 dikutip dari Hasim Hamid


62
Asuransi Fikih Kontempotrer

maka di sini perlu ditegaskan bahwa halalnya tujuan tidak


berarti secara otomatis Islam menghalalkan semua cara untuk
mencapai tujuan. Karena terbukti syariah menetapkan tujuan
dan juga Islam wasilah untuk mencapai tujuan. Ini berarti
syariat Islam menuntut agar keduanya sama-sama halal. Dari
sini jelaslah bahwa syariat Islam tidak mendukung semboyan
yang berbunyi “tujuan menghalalkan segala cara atau
wasilah”, kecuali bagi wasilah yang tidak dibicarakan dalam
Islam, artinya wasilah yang tidak ada dalil yang melarang
penggunaannya26
Dalam hal asuransi yang bersifat sosial (ta’min
ta’awuni/takafuli), dapat dikatakan bahwa para ulama sepakat
membolehkannya.
2. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya
seperti sekarang ini, termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini
antara lain Sayyid Sabiq yang diungkap dalam kitabnya Fiqh al-
Sunnah, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Yusuf al-Qardhawi,
dan Muhammad Bakhit al-Muth’i, alasannya antara lain:
a. Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi, karena yang
terdapat di dalamnya adalah sifat untung-untungan bagi
tertanggung yang menerima jumlah tanggungan yang lebih
besar daripada premi. Atau sebaliknya, penanggung akan
menerima keuntungan jika dalam masa pertanggungan
tidak terjadi peristiwa yang telah ditentukan dalam
perjanjian dan premi yang telah dibayarkan tidak dapat
dimanfaatkan atau digunakan oleh pemegang polis bila
membutuhkan.
b. Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti (penipuan),
karena adanya ketidak pastian apa yang akan diperoleh si
tertanggung sebagai akibat dari apa yang belum tentu
terjadi. Atau hangusnya premi yang disetor karena tidak

26 Ibid.
63
Asuransi Fikih Kontempotrer

dapat melanjutkan pembayaran premi atau pihak


perusahaan asuransi berusaha untuk mengelak dari klaim
pemegang polis. Atau sebaliknya, pemegang polis
merekayasa kerugian untuk menuntut klaim dan
pembayaran santunan yang lebih besar.
c. Mengandung unsur riba/rente, karena adanya kelebihan
penerimaan jumlah santunan daripada pembayaran premi
berasal dari pendapatan bunga ataupun bukan dari
investasi yang halal.
d. Mengandung unsur eksploitasi karena apabila pemegang
polis tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, maka
uang tersebut bisa hilang atau dikurangi uang premi yang
telah dibayarkan.
e. Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang
polis diputar dalam praktik riba (karena uang tersebut
dikreditkan dan dibungakan).
f. Asuransi yang dilaksanakan termasuk akad sharfi, artinya
jual beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan uang
tunai atau cash.
g. Hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis, yang
berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa dan
Maha Kuasa.
Berkenaan dengan asuransi jiwa, Sayid Sabiq dengan tegas
tidak membolehkannya. Beliau mengatakan: ”Jika kehidupan
dan kematian manusia dijadikan arena perdagangan. Dan
suatu yang harus dibayar dengan uang berjumlah tak terbatas,
tetapi diserahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak yang
melakukan akad. Petualangan juga ada pada pihak lain. Bagi
peserta asuransi, setelah ia memenuhi semua angsuran, ia akan
berhak mendapatkan sekian. Dan apabila ia meninggal dunia
sebelum dapat melunasinya secara keseluruhan dari

64
Asuransi Fikih Kontempotrer

kewajibannya, maka ahli warisnya akan mendapatkan sekian.


Bukankah ini namanya judi dan spekulasi?”27
3. Membolehkan berbagai asuransi yang bersifat sosial dan
mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata.
Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah.
Alasan yang dapat digunakan untuk membolehkan asuransi
yang bersifat sosial sama dengan alasan dari pendapat
pertama, sedangkan alasan pengharaman asuransi bersifat
komersil semata-mata pada garis besarnya sama dengan alasan
pendapat kedua.
Berkenaan dengan asuransi sosial atau asuransi ta’awuni
termasuk uqud tabarru’ yang tidak sama dengan judi (gambling)
dan bersifat sosial serta membawa maslahat bagi pribadi dan
keluarga. Sedangkan judi, justru menciptakan risiko (creating of
risk), tidak sosial, membawa masalah, dan petaka bagi
keluarga. Di samping itu, penjudi selalu mengharap
keuntungan dan menang dalam taruhannya. Sedangkan dalam
asuransi ini pemegang polis tidak ingin memperoleh sejumlah
uang dengan memikul risiko mati atau peristiwa yang
merugikan lainnya dia lebih memilih selamat... asuransi
ta’awuni justru memberikan ketenteraman bagi para pemegang
polis. Karena asuransi ta’awuni terdapat unsur tolong
menolong dalam kebaikan (ta’awun ’ala birri) dan terdapat
manfaat yang dirasakan oleh penanggung dan tertanggung.
Bahkan ditegaskan syari’ah bahwa usaha dan upaya untuk
mencari dan mendapatkan ketenteraman, ketenangan,
kebahagiaan dan rasa aman adalah usaha yang sangat penting,
dibutuhkan oleh setiap orang dan dapat digolongkan pada
masalah dharuriyat..28

27Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa Oleh H. Kamaluddin A.


Marzuki, Jilid 13, Cetakan 2, PT Al Ma’arif, Bandung, 1988, hal. 188
28 Setiawan Budi Utomo, Op. cit., hal. 164-165

65
Asuransi Fikih Kontempotrer

4. Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat karena tidak ada


dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun
secara jelas menghalalkannya. Apabila hukum asuransi
dikategorikan syubhat, konsekuensinya adalah umat Islam
dituntut untuk berhati-hati dalam menghadapi asuransi. Umat
Islam baru dibolehkan menjadi pemegang polis atau
mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam keadaan
darurat29

D. Asuransi Takaful.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa sebagai kritik
terhadap sistem asuransi konvensional yang dinilai mengandung
riba, judi dan kedzaliman, di Indonesia telah berdiri perusahaan
asuransi Islam (Takaful). Perusahaan ini diyakini berjalan sesuai
prinsip-prinsip syariah dalam mua’amalah yang menyangkut
prinsip jaminan, syirkah, bagi hasil dan ta’awun atau takaful
(saling rnenanggung).
Dalam asuransi takaful, sejak awal nasabah telah diberi
tahu dari mana dana yang diterimanya berasal, bila ia meninggal
atau mendapat musibah. Ini dimungkinkan sebab setiap
pembayaran premi sejak awal telah dibagi menjadi dua. Pertama
masuk ke dalam rekening pemegang polis, dan kedua dimasukkan
ke rekening khusus peserta yang diniatkan tabarru’ (membantu)
atau sadaqah untuk membantu saudaranya yang lain, misalnya dua
persen (bisa berubah-ubah tergantung jumlah pemegang polis;
semakin banyak semakin kecil) dan jumlah premi. Jika ada peserta
yang meninggal sebelum masa jatuh temponya habis, kekurangan
uang pertanggungan akan diambil dari rekening khusus atau
tabarru’ tadi.

29Fakhruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, dan Asuransi, Al-Ma’arif,


Bandung, 1985, hal. 212
66
Asuransi Fikih Kontempotrer

Misalnya, seorang peserta mengambil waktu


pertanggungan 10 tahun, dengan premi Rp 1 juta pertahun. Dari
jumlah itu, dua persen (Rp 20 ribu) dimasukkan ke rekening
khusus (tabarru’) sehingga rekening peserta menjadi Rp 980 ribu
setahun. Dalam 10 tahun terkumpul Rp 9,8 juta. Karena ia
menitipkan uangnya pada perusahaan, peserta berhak mendapat
keuntungan bagi hasil, misalnya 70:30. Tujuh puluh persen untuk
nasabah, sisanya untuk perusahaan takaful.
Bila peserta tesebut meninggal pada tahun kelima masa
angsuran misalnya, ia akan mendapat dana pertanggungan. Dana
itu terdiri dari: rekening peserta selama lima tahun (5 x Rp 980
ribu) ditambah dengan bagi hasil selama lima tahun dari uang
tersebut, misalnya Rp 400 ribu, dan sisa premi yang belum
dibayarkan 5 x Rp l juta Rp 5 juta. Dari mana perusahaan takaful
mendapat uang Rp 5 juta ini ? Bagian Lima juta inilah yang
diambil dari dana tabarru’ tadi.
Jika peserta tersebut mengundurkan diri pada tahun
kelima, ia mendapatkan kembali uang sebesar Rp 5,3 juta, yang
terdiri dari Rp 4,9 juta dari rekening peserta selama lima tahun
dan Rp 400 ribu dari bagi hasil selama lima tahun30
Dari pandangan-pandangan ulama yang telah
dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa masalah asuransi
termasuk masalah khilafiah, artinya para ulama berbeda pendapat
dalam menetapkan hukumnya. Ada ulama yang
membolehkannya, ada yang tidak membolehkan dan ada pula
pendapat gabungan antara membolehkan dan tidak
membolehkan, maksudnya ada jenis asuransi yang dibolehkan dan
ada pula jenis asuransi yang tidak dibolehkan. Sedangkan asuransi
takaful adalah bentuk asuransi yang sesuai dan berdasarkan
syariat Islam.

30http://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi, diakses tgl. 12 Juli 2010


67
Asuransi Fikih Kontempotrer

68
BAB 5
ANAK HASIL INSEMINASI
DAN BAYI TABUNG

A. Pengertian Inseminisasi dan Bayi Tabung


Kata inseminasi berasal dari bahasa Inggris ”insemination”
yang artinya pembuahan atau penghamilan secara teknologi,
bukan secara alamiah1. Dalam kamus bahasa Indonesia, yang
dimaksudkan dengan inseminasi adalah pemasukan sperma ke
dalam saluran genitalia betina2.
Teknik modern untuk inseminasi buatan pertama kali
dikembangkan untuk industri ternak untuk membuat banyak sapi
dihamili oleh seekor sapi jantan untuk meningkatkan produksi
susu3. Selanjutnya inseminasi buatan ini berkembang sedemikian
rupa dan mengalami kemajuan yang cukup signifikan, dan
penggunaannya tidak hanya dikembangkan pada jenis hewan,
tetapi juga untuk manusia.
Jadi yang dimaksud dengan inseminasi buatan adalah
penghamilan buatan yang dilakukan terhadap seorang wanita
tanpa melalui cara alami, melainkan dengan cara memasukkan

1Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum

Islam Masa Kini, Cetakan Ketujuh, Kalam Mulia, Jakarta, 2008, hal. 9
2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 435
3
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080529055111
AAsooRd, diakses tanggal 12 Juli 2010
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

sperma laki-laki ke dalam rahim wanita tersebut dengan


pertolongan dokter. Istilah lain yang semakna adalah kawin
suntik, penghamilan buatan dan permanian buatan4.
Sedangkan yang dimaksud dengan bayi tabung adalah bayi
yang didapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di
luar rahim sehingga terjadi embrio tidak secara alamiah,
melainkan dengan bantuan ilmu kedokteran5. Artinya sel telur
yang telah dibuahi oleh sperma yang telah dibiakkan dalam
tempat pembiakan (cawan) yang sudah siap untuk diletakkan ke
dalam rahim seorang ibu. Dikatakan sebagai kehamilan bayi
tabung karena benih atau sperma laki-laki yang diambil dari zakar
laki-laki disimpan dalam suatu tabung.
Banyak orang yang sebenarnya memiliki sperma atau
ovum yang cukup subur, tetapi justru tidak dapat membuahi atau
dibuahi, karena ada kelainan pada alat kelaminnya (alat
reproduksinya). Misalnya seorang wanita yang tersumbat sel-sel
telurnya, dan proses ovulasinya tidak normal atau gerakan sperma
laki-laki tidak dapat menjangkau (mati sebelum bertemu dengan
ovum wanita), maka tidak akan terjadi pertemuan (percampuran)
antara dua macam sel ketika melakukan coitus (senggama)6. Jadi
karena berbagai faktor seperti disebutkan, menyebabkan tidak
akan terjadi pembuahan.
Sedangkan proses terjadinya bayi tabung itu, seperti ditulis
oleh Ali Hasan7, bahwa untuk menjalani proses pembuahan yang
dilakukan di luar rahim, perlu disediakan ovum (sel telur) dan
sperma. Ovum diambil dari tuba fallopi (kandung telur) seorang

4Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah


Kontemporer Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 70
5Ibid.
6Mahjuddin, Op. cit., hal. 10-11
7Ali Hasan,Op.cit., hal. 71

69
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

ibu dan sperma diambil dari ejakulasi seorang ayah. Sperma


tersebut diperiksa terlebih dahulu apakah mengandung benih
yang memenuhi persyaratan atau tidak. Begitu juga dengan sel
telur seorang ibu, dokter berusaha menentukan dengan tepat saat
ovulasi (bebasnya sel telur dari kandung telur), dan memeriksa
apakah terdapat sel telur yang masak atau tidak pada saat ovulasi
tersebut. Bila pada saat ovulasi terdapat sel-sel yang benar-benar
masak, maka sel telur itu dihisap dengan sejenis jarum suntik
melalui sayatan pada perut. Sel telur itu kemudian ditaruh di
dalam suatu tabung kimia dan agar telur tetap dalam keadaan
hidup, sel telur tersebut disimpan dilaboratorium yang diberi suhu
menyamai panas badan seorang wanita.
Kedua sel kelamin tersebut (sel telur dan sperma)
dibiarkan bercampur (zygota) dalam tabung sehingga terjadilah
fertilasi. Zygota yang dihasilkan berkembang dalam medium yang
terdapat dalam tabung reaksi, sehingga menjadi morulla. Morulla
yang terbentuk melalui teknik embrio transfer dinidasikan ke
rahim seorang ibu yang telah disiapkan. Ini adalah prosedur yang
harus dilakukan, agar prosesnya berjalan dengan baik.
Tegasnya dalam melakukan transfer embrio dilakukan
dalam tujuh tingkatan yaitu:
1. Istri diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk
merangsang indung telur mengeluarkan sel telur yang
diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru
dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.
2. Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui
pemeriksaan darah istri dan pemeriksaan ultrasonografi.
3. Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum
melalui vagina dengan tuntunan ultrasonografi.

70
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

4. Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur


tersebut dibuahi dengan sel sperma suaminya yang telah
diproses sebelumnya dan dipilih yang terbaik.
5. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam
tabung petri kemudian dibiakkan di dalam lemari pengeram.
Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan
harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan.
6. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini,
kemudian diimplantasikan ke dalam rahim istri. Pada periode
ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.
7. Jika dalam jangka waktu 14 hari setelah embrio
diimplantasikan tidak terjadi menstruasi, dilakukan
pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu
kemudian ditentukan/dipastikan dengan pemeriksaan
ultrasonografi8
Sejak bayi tabung itu dimasukkan ke dalam rahim seorang
ibu, sejak itu pula berlaku larangan dokter yang harus dipatuhi,
antara lain:
a. Tidak bekerja keras atau capek. Maksudnya tidak melakukan
kegiatan yang dapat melelahkan.
b. Tidak makan atau minum sesuatu yang mengandung unsur
alkohol
c. Tidak boleh melakukan senggama selama 15 hari atau 3
minggu sejak bayi tabung itu diletakkan ke dalam rahim.
Sejak ibu dinyatakan hamil, perkembangan janin dalam
rahimnya dapat dipantau oleh dokternya atau bidan yang
menanganinya, melalui sebuah alat yang disebut ”ultra sound”

8http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080529055111

AAsooRd, diakses tanggal 12 Juli 2010


71
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

sehingga letak dan gerak janin itu dapat dilihat dengan jelas
melalui alat canggih itu, hingga ia lahir9
Secara teknis, kedua istilah inseminasi buatan dan bayi
tabung ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan, meskipun
memiliki tujuan yang hampir sama yakni untuk menangani
masalah infertilitas atau kemandulan. Teknik inseminasi buatan
relatif lebih sederhana, yaitu sperma yang telah diambil dengan
alat tertentu dari seorang suami kemudian disuntikkan ke dalam
rahim isteri sehingga terjadi pembuahan dan kehamilan.
Sedangkan istilah bayi tabung merupakan teknik
pembuahan (fertilisasi) antara sperma suami dan sel telur isteri
yang masing-masing diambil kemudian disatukan di luar
kandungan. Biasanya medium yang digunakan adalah tabung
khusus. Setelah beberapa hari, hasil pembuahan yang berupa
embrio atau zygote itu dipindahkan ke dalam rahim isteri.
Teknik bayi tabung diperuntukkan bagi pasangan suami
isteri yang mengalami masalah infertilitas. Pasien bayi tabung
umumnya wanita yang menderita kelainan sebagai berikut :
1. Kerusakan pada saluran telurnya
2. Lendir rahim isteri yang tidak normal
3. Adanya gangguan kekebalan dimana terdapat zat anti
terhadap sperma di tubuh isteri
4. Tidak hamil juga setelah dilakukan bedah saluran telur atau
setelah dilakukan pengobatan endometriosis
5. Sindroma LUV (Luteinized Unruptured Follicle) atau tidak
pecahnya gelembung cairan yang berisi sel telur.
6. Sebab-sebab lainnya yang belum diketahui.
Sedangkan pada suami, teknik bayi tabung ini
diperuntukkan bagi mereka yang pada umumnya memiliki
kelainan mutu sperma yang kurang baik, seperti oligospermia atau

9 Mahjuddin, Op. cit., hal. 11-12


72
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

jumlah sperma yang sangat sedikit sehingga secara alamiah sulit


diharapkan terjadinya pembuahan10
Teknologi inseminasi buatan dan bayi tabung merupakan
hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral
sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga
meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan
terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh
orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat
potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu, kaidah
dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam
penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan
teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika, dan hukum
yang berlaku di masyarakat11. Artinya ada kehati-hatian dalam
menyikapi dan menggunakan teknologi ini, yang harus dilihat dari
berbagai aspek.
Teknik rekayasa genetika manusia yang disebut dengan
bayi tabung keberadaannya relatif baru. Adalah Dr. Patrick
Steptoe dan Dr. Robert Edwards pada tahun 1978 berhasil
melakukan teknik spektakuler “fertilisasi in vitro”, dunia kedokteran
mengalami perkembangan yang sangat pesat dan mengagumkan
dalam penanganan masalah infertilitas dan di bidang rekayasa
genetika manusia. Teknik yang selanjutnya dikenal dengan istilah
“Bayi Tabung” ini berkembang ke seluruh dunia termasuk di
Indonesia12
Bayi tabung pertama lahir pada tanggal 8 Juni 1983
dengan kembar tiga di Pusat Medis Flinders, Adelaide, Australia.
Tiga bocah itu diberi nama Aaron, Jessica, dan Chenare Guare.

10http://www.fathurin-zen.com/?p=85, diakses tgl. 12 Juli 2010


11Setiawan Budi Utomo. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hal. 188
12http://www.fathurin-zen.com/?p=85 diakses tgl. 12 Juli 2010.

73
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

Saat dewasa, mereka hidup normal13 Dalam perkembangannya,


sekarang ini sudah banyak kelahiran manusia melalui proses bayi
tabung ini.

B. Motivasi dilakukannya Inseminasi.


Tujuan dari perkawinan adalah untuk ketenangan hidup di
dunia dan dalam rangka melanggengkan keturunan. Anak yang
dilahirkan diharapkan dapat memberikan kepuasan batin, dan
lebih dari itu dapat memberikan manfaat bagi orang tuanya kelak
jika sudah meninggal.
Merupakan fitrah manusia apabila berkeinginan untuk
mendapatkan keturunan atau anak. Karena sesungguhnya salah
satu bentuk dari kebahagiaan hidup apabila bisa bermain dan
bercengkarama dengan anak. Kegundahan dan kegalauan bisa
terhibur dengan adanya anak. Tidak ada artinya seseorang yang
memiliki harta dan kekayaan berlimpah, sementara ia tidak punya
anak. Maka sesungguhnya hidupnya bakal kesepian, gelisah dan
menderita.
Merupakan fitrah manusia juga ketika berkeinginan hidup
langgeng. Maka keinginan untuk melanggengkan kehidupan
tersebut dimanifestasikan lewat keturunan. Bukan hanya
meneruskan keturunan, melainkan juga menimbulkan dan
memunculkan kebahagiaan. Orang tua merasakan kerinduan
apabila lama tidak bertemu anaknya.
Perkawinan terasa kurang bermakna, apabila pasangan
suami isteri tidak dikaruniai anak. Ini disebabkan oleh berbagai
faktor yang terjadi di antara suami isteri tersebut. Di antaranya
ada yang memiliki sperma atau ovum yang cukup subur, tetapi
justru tidak dapat membuahi atau dibuahi, karena ada kelainan

13 Majalah Tempo, No. 3915, Edisi 7-13 Juni 2010, hal. 18


74
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

pada alat reproduksinya. Misalnya seorang wanita yang tersumbat


sel-sel telurnya, dan proses ovulasinya tidak normal atau gerakan
sperma laki-laki tidak dapat menjangkau atau mati sebelum
bertemu dengan ovum wanita, maka tidak akan terjadi pertemuan
(percampuran) antara dua macam sel tersebut ketika melakukan
hubungan badan.
Berkaitan dengan persoalan tersebut di atas, maka salah
satu jalan yang mungkin ditempuh adalah dengan melakukan
inseminasi buatan. Dengan cara ini, kemungkinan untuk
mendapatkan keturunan atau anak peluangnya masih terbuka.
Di luar etika Islam, inseminasi buatan dan bayi tabung
dilakukan untuk:
1. Menolong pasangan yang mandul agar memperoleh anak.
2. Untuk mengembang biakan manusia secara cepat.
3. Untuk menciptakan manusia jenius, dan ideal sesuai dengan
keinginan.
4. Sebagai alternatif bagi manusia yang ingin punya anak tetapi
tidak mau menikah.
5. Percobaan ilmiah.

C. Hukum Inseminasi Buatan pada Manusia.


Seperti telah dikemukakan bahwa teknologi bayi tabung
dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern
yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan
ilmu kedokteran dan biologi. Karena hal ini merupakan
perkembangan baru di bidang kedokteran dan menyangkut
dengan aspek hukum yang berkaitan dengan status seorang anak
hasil inseminasi, maka tidak pelak hal tersebut menimbulkan
perdebatan. Berbagai pihak golongan masyarakat mempersoalkan
dan mempertanyakan tentang keabsahan teknologi bayi tabung
tersebut.
75
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

Permasalahan ini juga menjadi bahan pembicaraan hangat


di Majelis Rendah (DPR) Inggris, lalu dilimpahkan pengkajiannya
kepada suatu komisi khusus. Di Italia, Paus mengeluarkan amar
pelarangan terhadapnya. Sementara itu, di Perancis para dokter
mengatakan bahwa hal itu boleh dilakukan sepanjang ada
kesepakatan suami istri, sedangkan di Swiss, negara mengakui
anak seperti itu sebagai anak sah bagi suami-istri itu, kecuali bila si
suami menolaknya berdasar undang-undang14
Inseminasi buatan dilihat dari asal sperma yang dipakai
dapat dibagi dua:
1. Inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (artificial
insemination husband)
2. Inseminasi buatan yang bukan sperma suami atau di sebut
donor atau AID (artificial insemination donor)15
Dalam kajian hukum Islam, inseminasi buatan dan bayi
tabung termasuk masalah baru, sehingga belum ditemukan
analisis hukumnya dalam literatur hukum Islam dahulu. Oleh
sebab itu, masalah inseminasi buatan dan bayi tabung ini dapat
digolongkan sebagai masalah kontemporer, artinya masalah yang
terjadi di masa belakangan ini, yang juga menjadi bahasan hukum
Islam.
Kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya
menggunakan pendekatan multidisipliner oleh para ulama dan
cendekiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar
dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar

14Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah,


Terjemahan oleh Masykur AB, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Cetakan
keempat, Lentera, Jakarta, 1999, hal. 409
15http://www.halalguide.info/content/view/104/55/ diakses tgl. 12

Juli 2010
76
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran,


peternakan, biologi, hukum, agama, dan etika16
Inseminasi buatan dan bayi tabung pada dasarnya
dibolehkan dalam Islam, manakala perpaduan sperma dengan
ovum itu bersumber dari suami istri yang sah. Dan yang dilarang
adalah inseminasi buatan dan bayi tabung yang berasal dari
perpaduan sperma dan ovum orang lain.
Inseminasi dan bayi tabung tidak melanggar ketentuan
agama, kecuali hanya menempuh jalan keluar untuk memenuhi
kebutuhan memperoleh keturunan, tanpa dengan melalui
prosedur senggama, karena tidak dapat membuahi dan dibuahi.
Kebolehannya disebabkan faktor darurat yang diberi dispensasi
oleh agama.
Apabila inseminasi yang dilakukan itu ternyata bukan dari
sperma suami sendiri, maka menurut hukum Islam jelas itu tidak
dibolehkan. Bahkan situasi demikian, seperti kata Syekh Syaltut,
suatu perbuatan zina dalam satu waktu, sebab intinya adalah satu
dan hasilnya satu juga, yaitu meletakkan air laki-laki lain dengan
suatu kesengajaan pada ladang yang tidak ada ikatan perkawinan
secara syara' yang dilindungi hukum naluri dan syariat agama.
Andaikata tidak ada pembatasan-pembatasan dalam masalah
bentuk pelanggaran hukum, niscaya inseminasi ini dapat
dihukumi berzina yang oleh syariat Allah telah diberinya
pembatasan.
Apabila inseminasi yang dilakukan itu bukan dari sperma
suami, maka hal tersebut adalah suatu perbuatan tercela. Sebab
anak hasil inseminasi tersebut akan membingungkan secara
hukum. Bukan termasuk kategori pengangkatan anak, bukan pula
dari nasab yang sah, karena berasal dari sperma laki-laki lain, dan

16Setiawan Budi Utomo, Op. cit., hal. 189


77
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

bukan pula anak zina, karena tidak melalui proses hubungan


badan.
Dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan
menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor
(sperma dari laki-laki lain) sebagaimana dikemukakan Setiawan
Budi Utomo17 ialah sebagai berikut:
Pertama; firman Allah Swt dalam surat al-Isra’/17 ayat 70:
          

      


Artinya:
”Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Dan surat at-Tin/95 ayat 4:
      
Artinya:
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya” .
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia
diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai
kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk
Tuhan lainnya. Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia,
maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya
sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal
ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat

17 Ibid., hal. 190


78
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan


dan hewan yang diinseminasi.
Kedua; hadis Nabi Saw yang mengatakan, ”Tidak halal bagi
seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya
(sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain)”.(H.R. Abu Daud,
Tirmidzi, dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadis tersebut para ulama sepakat
mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan
wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda
pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut
Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum
kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada
saat para imam mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan
belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh fatwa
hukumnya dari mereka18
Bagaimanapun, inseminasi buatan dengan donor orang
lain adalah haram yang tak patut dilakukan oleh seorang Muslim.
Kendati demikian, anak yang dilahirkan dengan cara ini tidak
menyebabkan anak tersebut lantas disebut sebagai anak zina.
Hubungan semacam itu diharamkan, namun pada saat yang sama,
anak yang dilahirkannya tetap dinyatakan sebagai anak yang sah,
sebagaimana yang terjadi pada orang yang menggauli istrinya
ketika istrinya itu dalam keadaan haidh atau dilakukan di siang
hari bulan Ramadhan. Dia memang melakukan hubungan yang
diharamkan, tetapi jika dari hubungan tersebut istrinya hamil,
maka nasab anak itu tetap dikaitkan dengan ayah dan ibunya.
Dengan demikian, kalau inseminasi buatan itu telah dilakukan,
lalu terjadi kehamilan, maka nasab anak tersebut tidak dikaitkan
dengan suami (dari wanita yang mengandungnya) sebab dia tidak
dilahirkan dari spermanya. Tetapi juga tidak bisa dikaitkan dengan

18 Ibid.
79
Anak Hasil Inseminasi dan Bayi Tabung Fikih Kontemporer

laki-laki pemilik sperma, sebab laki-laki ini tidak secara langsung


melakukan hubungan seksual yang menyebabkan kehamilan itu,
baik sebagai seorang suami maupun melalui hubungan syubhat.
Anak tersebut dikaitkan nasabnya kepada wanita yang
mengandungnya, sebab secara hakiki dia adalah anaknya, yang
dengan demikian anak itu adalah anak yang sah. Setiap anak yang
hakiki seperti itu, adalah anak sah, sampai terbukti hal yang
sebaliknya19
Dapat disimpulkan bahwa inseminasi buatan yang berasal
dari sperma suami sendiri hukumnya adalah boleh atau halal,
sedangkan inseminasi buatan yang berasal dari sperma yang
bukan dari suaminya hukumnya adalah haram.

19Muhammad Jawad Mughniyah, Op. cit., hal. 413-414


80
BAB 6
PRESIDEN WANITA DAN
PEMERINTAHAN ISLAM

A. Persoalan Sekitar Presiden Wanita


Persoalan sekitar presiden wanita ditengarai berawal dari
polemik yang berkepanjangan dalam tubuh PDI pada awal
dekade 90-an yang mengakibatkan munculnya Megawati
Sukarnoputri sebagai ketua umum “de facto” dan Soerjadi sebagai
ketua umum “de jure”. Terlebih lagi ketika PDI pimpinan
Megawati Soekarnoputri, yang kemudian berubah menjadi PDI
Perjuangan, dalam kongresnya di Bali awal tahun 1999
menetapkan Megawati sebagai calon presiden, spontan wacana
tentang presiden wanita kian menghangat dan menarik untuk
diperdebatkan. Dan klimaksnya, ketika partai PDI-P pimpinan
Megawati meraih kemenangan dalam pemilu 1999. Pro dan
kontra tentang persoalan ini, tak pelak merebak dan mewarnai
berbagai seminar, diskusi, halaqah, dan khotbah-khotbah di
berbagai kalangan umat Islam Indonesia. Bahkan untuk
“memenangkan” umat Islam atau untuk kepentingan politik
kelompoknya, organisasi seperti MUI terpaksa turut serta
menyikapi persoalan tersebut dengan mengeluarkan fatwa.
Dalam khazanah fikih klasik memang belum pernah
dikenal apa yang diistilahkan orang dengan presiden, yang ada
hanyalah al-Imam, khalifah, amir, qodhi, dan malik. Namun bukan
berarti pembahasan akan hal itu tidak tersentuh sama sekali di
sana. Dalam pandangan fikih ada dua bentuk sistem
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

ketatanegaraan yang masuk dalam daftar kajian, yakni sistem


khilafah atau imamah dan sistem mulukiyah.
Dari kedua konsep di atas, bentuk negara RI tidak bisa
dikategorikan sebagai sistem mulukiyah apalagi khilafah. Karena,
dilihat dari sisi suksesi kepemimpinan, presiden RI diangkat
melalui proses pemilu bukan penunjukan putra mahkota seperti
pada sistem mulukiyah. Sebab lain, di samping kekuasaannya
hanya terbatas pada satu negara—tidak sampai mencakup
beberapa negara (seperti pada sistem khilafah)—juga dalam hal
menjalankan roda pemerintahan, pemerintah Republik Indonesia
tidak selalu mendasarkan pada syari‟ah meskipun dalam beberapa
kesempatan disadari atau tidak peraturan perundang-undangan
telah mencerminkan prinsip agama.
Dalam hal presiden wanita, ada dua pendapat yang
berkembang dalam perspektif hukum Islam. Pertama, pendapat
yang tidak membolehkan seorang wanita menduduki jabatan
presiden, dan kedua, pendapat yang membolehkan.
Di lihat dari sisi analisa dalil, nampaknya masing-masing
dari keduanya berpijak pada ayat al-Qur‟an dan hadis yang sama.
Dari sini terlihat bahwa persoalan presiden wanita adalah
persoalan khilafiyah, yang bersifat debatable dan sangat mungkin
untuk diperdebatkan “kebenarannya”.
Pertama, pendapat yang tidak membolehkan presiden
wanita. Pendapat ini secara tegas melarang seorang wanita apapun
kondisinya—tanpa melihat seberapa besar potensi dan kualifikasi
yang dimiliki—untuk bisa menjadi presiden. Kelompok ini
berargumentasi sebagai berikut:
1. Dalam al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 34 dinyatakan:
     
Artinya:
82
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

”..Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita...”


Ayat ini ditafsirkan bahwa kaum lelaki dalam segala hal
lebih unggul dari pada wanita. Kaum lelaki memiliki kelebihan
baik fisik, pikiran, maupun yang lain. Lebih jauh Sayyid Qutub
dalam buku al-„Adalah wa al-Ijtima‟iyah fi al-Islam, menafsirkan
ayat tersebut sebagai berikut:
Sedangkan dalam persoalan kepemimpinan kaum pria atas
wanita seperti yang tertera dalam al-Qur‟an kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah
melebihkan (kaum pria) atas sebagian yang lain (kaum wanita)...
maka untuk kelebihannya adalah pada kemampuan,
keterampilan, kesesuaian dan keistimewaan kaum pria dalam
melaksanakan kepemimpinan itu. Kaum pria dengan
keterlepasannya dari tanggung jawab keibuan, dapat
menghadapi tugas-tugas kemasyarakatan dengan kesempatan
yang lebih besar dan mereka dilengkapi pula dengan kekuatan
akal sekaligus, sedangkan wanita menggeluti tanggung jawab
kewanitaan ini pada sebagian besar dari waktunya yang
dibangun di atas sifat-sifat kelembutan dan watak biologisnya,
seperti halnya tanggung jawab pria dibangun di atas rasio dan
kekuatan daya ciptanya. Maka apabila kepemimpinan itu
diserahkan kepada kaum wanita, atas dasar kemampuan dan
fungsinya selain ia juga memberi nafkah, di mana persoalan
keuangan sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan, maka
dengan demikian kaum pria berhak menerima tanggung jawab
berat ini yang berakhir pada persamaan hak dan jaminan yang
ada di sekitar perbedaan jenis kelamin dan dalam kehidupan...
Dan kaum wanita memiliki hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma‟ruf. Akan tetapi kaum pria
mempunyai suatu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. Hal

83
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

tersebut dinyatakan dalam firman Allah Swt dalam surat Al-


Baqarah ayat 228 sebagai berikut:

           


Artinya:
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf, akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”.
Tingkat kelebihan yang dimaksudkan di sini adalah
kepemimpinan1
2.Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadisnya yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasa‟i dan Tirmidzi
mengatakan:
)‫لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَ ْو اَْمُرُى ْم اِ ْمَراةٌ (رواه امحد والبخارى والنسائ والرتمذي وصححو‬
Artinya:
“Tidak akan sukses urusan suatu kaum yang diserahkan kepada
wanita”.
Huruf “lan” pada potongan hadis di atas diartikan abadi,
selama-lamanya, dan di manapun juga. Sehingga yang bisa
ditarik kesimpulan dari hadis tersebut adalah wanita selamanya
tidak boleh memimpin suatu bangsa.

1Sayyid
Qutub, al-„Adalah wa al-Ijtima‟iyah fi al-Islam, diterjemahkan
oleh Afif Muhammad dengan judul Keadilan Sosial dalam Islam, Pustaka,
Bandung, 1984, hal. 71-73
2Muhammad „Aliy bin Muhammad al-Syaukaniy, Nayl al-Awtar, Juz II,

Mustafa al-Babiy al-Halabiy, Mesir. t.t., hal. 298


84
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

Ada juga hadis lain yang memberikan makna sejalan


dengan hadis di atas, yakni hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari Abu Sa‟id Al-Khudri, yang artinya: “Saya tidak
melihat kekurangan dalam fikiran dan agama pada diri seorang lelaki
bila dibanding kalian kaum wanita”
Kalau kondisi fikiran dan agama kaum wanita adalah
lemah, sementara tugas seorang presiden sangat membutuhkan
pemikiran dan perhatian yang serius, maka menyerahkan
tanggung jawab seperti itu kepada wanita sama halnya dengan
menyerahkan urusan bukan pada ahlinya. Padahal Nabi secara
tegas telah melarangnya, sebagaimana hadis yang berbunyi:
َ‫اعة‬ َّ ‫ىل َغ ِْْيأ َْىلِ ِو فَانْتَ ِظ ِر‬
َ ‫الس‬ ِ ِ ِ
َ ‫إذَ ُاوس َد ْاْلَ ْمُرإ‬
Artinya:
“Jika sesuatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka
tunggu saja saat kehancurannya”
Pendapat kedua, bertolak belakang dari pendapat yang
pertama. Pendapat ini membolehkan wanita menjadi presiden.
Pendapat ini dengan tegas menolak beberapa argumentasi yang
disodorkan oleh pendapat pertama. Dalam memahami surat
An-Nisa ayat 34, kelompok ini memahami bahwa tidak semua
laki-laki mempunyai kelebihan dibanding wanita, dengan sebuah
argumentasi bahwa kata ar rijalu pada potongan ayat tersebut di
awali dengan huru “al”. Dalam perspektif ilmu nahu, kata yang
diawali dengan huruf ini adalah kata ma‟rifat. Kata ini tidak
difahami memberikan makna kelebihan pada laki-laki secara
keseluruhan dalam semua hal, atau dengan ungkapan lain kata
ini masih memberikan peluang pengecualian. Dengan demikian,
kiranya kurang tepat jika ayat tersebut difahami sebagai larangan
secara mutlak kepada wanita untuk menjadi pemimpin. Untuk
itulah, ayat di atas hendaknya ditafsirkan bahwa tidak semua

85
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

laki-laki lebih mampu, lebih layak, dan lebih mumpuni


dibanding wanita.
Sementara mengenai hadis yang dijadikan alasan
kelompok pertama, bila dia dijadikan hujjah (argumentasi)
larangan bagi wanita untuk menjadi presiden, dilihat dari kaca
mata ushul fikih adalah sangat rapuh. Sebab hadis ini diawali
oleh huruf “Lan” yang menurut ulama ushul justru tidak berarti
ta‟bid (menafikan selama-lamanya), juga tidak berfungsi ta‟kid
(memperkokoh nafi). Sehingga dari hadis ini bisa diambil
pengertian bahwa tidak selamanya seorang wanita akan
mengalami kegagalan manakala mereka dipercaya menjadi
pemimpin.
Selain itu, ada satu hal yang tidak bisa dilupakan bahwa
hadis di atas bersifat kasuistik, artinya hadis tersebut hanya
berlaku dalam kasus-kasus tertentu dan tidak untuk semua
kondisi. Dilihat dari asbab al-wurud (sebab-sebab munculnya
hadis), hadis tersebut muncul tatkala kaisar Parsi tengah
mempersiapkan putri mahkotanya yang dikenal lemah untuk
menggantikan posisinya sebagai kaisar. Melihat kondisi itu,
kemudian Nabi memperingatkan lan yufliha qaumun wallau
amruhum imroatun. Untuk memperkuat argumentasi bahwa hadis
di atas bersifat kasuistik, pendapat kedua melukiskan bahwa
sang perawi hadis, yakni Abi Bakroh dalam kasus perang jamal
hanya berdiam diri dan tidak berani berhadapan dengan Aisyah
Ummul Mu‟minin untuk memberikan teguran atas perilaku
Aisyah sebagai panglima pertempuran yang nota bene juga
seorang pemimpin.
Selain itu, pendapat kedua juga menambahkan bahwa
tugas presiden yang pada dasarnya untuk melindungi bangsa,
agama, dan masyarakat merupakan perintah agama. Oleh karena
itu, tugas tersebut bisa digolongkan ke dalam kategori amar
86
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

ma‟ruf nahi munkar, yakni menyeru kebaikan dan mencegah


kerusakan. Islam tidak pernah memberikan beban tanggung
jawab atas dasar perbedaan jenis kelamin, apakah itu laki-laki
atau perempuan, akan tetapi lebih didasarkan pada kompetensi
masing-masing individu. Siapa saja yang memiliki kemampuan
mengemban amanat sebagai pemimpin, tidak terbatas apakah
mereka laki-laki atau perempuan, maka Islam memberikan
pengakuan secara hukum pada mereka3.

B. Islam dan Negara Indonesia.


Islam dan negara Indonesia adalah dua kutub yang
mempunyai hubungan historis. Keduanya telah mengukir
dinamika sejarah tersendiri dengan segala liku-likunya sepanjang
perjalanan republik ini. Tidak dapat disangkal bahwa lahirnya
negara Republik Indonesia, sedikit banyaknya terdapat peran
penting umat dan tokoh Islam serta pengaruh nilai-nilai Islam,
terutama dalam hal perumusan ketatanegaraan Indonesia sebagai
negara kesatuan yang berbentuk republik. Pada masa-masa pra
kemerdekaan, bahkan jauh sebelum itu semangat perjuangan
bangsa Indonesia lebih bernuansa agamis atau dilatarbelakangi
oleh semangat Islam. Resolusi jihad dalam rangka melawan
penjajah membuktikan kepedulian ulama terhadap bangsa.
Adalah hal yang wajar apabila ada pemikiran-pemikiran
dan pandangan dari sementara umat Islam pada saat menjelang
kemerdekaan untuk menjadikan atau setidak-tidaknya
memasukkan identitas keagamaan (syari‟at Islam) dalam

3Lihat: Moh. Irfan dkk., Kajian Fikih Sosial…, Proyek Peningkatan

Pondok Pesantren Departemen Agama bekerjasama dengan Indonesian


Institute for Civil Society, Jakarta, 2002, hal. 106-108
87
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

konstitusi negara. Pemikiran ini mengemuka dan tertuang dalam


naskah yang disebut dengan ”Piagam Jakarta”.
Polemik Piagam Jakarta sebetulnya terkait polemik relasi
agama dan negara. Sebab substansi tuntutan Piagam Jakarta
memformulasikan syari‟at Islam dalam konstitusi negara. Masalah
ini memang perbedaan pandangan dalam panggung politik
Indonesia, yang sebenarnya pernah diselesaikan secara
kompromistis oleh para pendiri negara ini (The Founding Father‟s)
di masa-masa awal kemerdekaan.
Namun gagasan menghidupkan kembali Piagam Jakarta
dalam berbagai kesempatan selalu mengemuka, setiap terjadi
pergolakan. Pertama, pada masa jatuhnya Orde Lama dan awal
konsolidasi kekuatan Orde Baru, di mana beberapa tokoh eks
Masyumi juga mengusung gagasan Piagam Jakarta agar
dimasukkan dalam konstitusi. Namun gagasan tersebut kemudian
menjadi kandas, karena keburu muncul sebuah ”konsensus
nasional”.
Kedua, pada masa pergolakan reformasi pada 1998, ketika
Soeharto jatuh kemudian digantikan B.J Habibie. Ketika
berlangsung Sidang Istimewa (SI) MPR 1998, PPP secara resmi
mengusulkan gagasan Piagam Jakarta diberlakukan kembali di
dalam konstitusi. Usulan PPP akhirnya kandas karena tidak
mendapatkan dukungan dari mayoritas anggota MPR saat itu,
meskipun mendapat dorongan yang kuat dari sebagian umat
Islam—terutama gerakan Islam garis keras—yang melakukan
demonstrasi di luar gedung MPR. Ketiga, gagasan ini kembali
mengemuka tatkala Badan Pekerja MPR sedang membahas
amandemen UUD 1945.4

4Nusron Wahid, Gerakan Mahasiswa dan Godaan Politik: Problematika

Transisi Demokrasi di Indonesia, Pustaka Salemba, Jakarta, 2003, hal. 79-80


88
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

C. Perolehan Partai Islam dari Pemilu ke Pemilu.


Sebelum Indonesia merdeka, umat Islam aktif
membangun wawasan kebangsaan sekaligus membangun
kehidupan bangsa yang religius. Peran itu terus berlanjut pada
masa kemerdekaan saat beberapa tokoh Islam ikut terlibat dalam
membangun konsensus dasar dalam berbangsa dan bernegara,
yaitu Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Apabila ada keinginan sementara umat Islam, untuk
mengutak-atik kembali kesepakatan nasional menyangkut falsafah
dasar negara dan NKRI yang sudah final, seharusnya melihat
realitas yang terjadi, terutama dari hasil perolehan suara dalam
pemilihan umum. Belum lagi persoalan yang muncul dari masing-
masing internal partai Islam atau partai yang berbasis Islam.
Bukan tidak mungkin di antara sesama partai tersebut tidak
sependapat dengan ide atau keinginan yang akan dicapai.
Kalau diperhatikan partisipasi bangsa Indonesia dalam
memilih partai Islam, atau partai yang berbasis Islam,
prosentasenya tidak terlalu besar. Dalam sejarah pemilu di
Indonesia, prosentase terbesar yang diraih oleh partai Islam
adalah pada pemilu kedua, yaitu pemilu tahun 1971, dengan
prosentase 56%. Pada pemilu pertama tahun 1955, prosentasenya
43,4%. Sedangkan pada pemilu setelah itu perolehan partai Islam
atau partai yang berbasis Islam cenderung semakin menurun.
Berikut potret atau gambaran hasil pelaksanaan pemilu di
Indonesia:
1. Pada pemilu pertama dalam sejarah Indonesia yang
dilaksanakan tahun 1955, PNI memperoleh 23,3% dengan 57
kursi, Masyumi 20,9% dengan 57 kursi, NU 18,4% dengan 45
kursi, PKI 16,3% dengan 39 kursi, PSII 2,80%, Parkindo
2,61%, Katolik 1,99%, IPKI 1,4%, Perti 1,3%, dan Murba
0,5%. Kalau partai Masyumi, NU, PSII dan Perti dianggap
89
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

representasi dari partai Islam, maka apabila digabung


perolehan dari empat partai tersebut, hasilnya adalah 43,4%
2. Pada pemilu tahun 1971, yaitu pemilu pertama di masa Orde
Baru, perolehan peserta pemilu adalah: Golkar 62,1% dengan
360 kursi, PPP 27,12% dengan 94 kursi, NU 18,5% dengan
58 kursi, PDI 9,3% dengan 30 kursi, Parmusi 6,3% dengan
24 kursi, PNI 6,9% dengan 20 kursi, PSII 2,3% dengan 10
kursi, Parkindo 1,3% dengan 7 kursi, Katolik 1,1% dengan 3
kursi dan Perti 0,7% dengan 2 kursi. Kalau partai PPP, NU,
Parmusi, PSII dan Perti dianggap representasi dari partai
Islam, maka apabila digabung perolehan dari lima partai
tersebut, hasilnya adalah 56%.
3. Pada pemilu 1977, oleh pemerintah Orde Baru, partai-partai
peserta pemilu disederhanakan menjadi tiga partai, yaitu
Golkar, PPP dan PDI. Golkar memperoleh 62,11% dengan
232 kursi, PPP memperoleh 29,29% dengan 99 kursi, dan
PDI memperoleh 8,60% dengan 29 kursi. Dibandingkan
dengan pemilu 1971, perolehan partai yang berbasis Islam—
melalui PPP—turun drastis dari 56% menjadi 29,29%.
4. Pada pemilu 1982, Golkar memperoleh 64,34% dengan 242
kursi, PPP memperoleh 27,78% dengan 94 kursi, dan PDI
memperoleh 7,88% dengan 24 kursi. Pada pemilu ini
perolehan PPP juga turun dari pemilu sebelumnya.
5. Pada pemilu 1987, Golkar memperoleh 73,11% dengan 299
kursi, PPP memperoleh 15, 96% dengan 61 kursi, dan PDI
memperoleh 10,93% dengan 40 kursi. Pada pemilu ini
perolehan PPP juga turun dari pemilu sebelumnya, dari
27,78% menjadi 15,96%.
6. Pada pemilu 1992, Golkar memperoleh 68,1% dengan 282
kursi, PPP memperoleh 17% dengan 62 kursi, dan PDI
memperoleh 14,9% dengan 56 kursi. Pada pemilu ini ada
90
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

sedikit kenaikan perolehan suara PPP dibandingkan dengan


pemilu sebelumnya.
7. Pada pemilu 1997, Golkar memperoleh 74,2% dengan 325
kursi, PPP memperoleh 22,6% dengan 89 kursi, dan PDI
memperoleh 3,07% dengan 10 kursi. Pada pemilu ini juga ada
kenaikan perolehan PPP.
8. Pada Pemilu 1999 terjadi perubahan mendasar berkaitan
dengan pelaksanaan pemilu. Era ini ditandai dengan kejatuhan
rezim Orde Baru diganti dengan era reformasi. Partai peserta
pemilu melonjak, proses awalnya tercatat sebanyak 96 partai.
Sedangkan partai yang berhasil menempatkan wakilnya di
DPR berjumlah 20 partai. Perolehan dari masing-masing
partai adalah sebagai berikut: PDI-P memperoleh 33,73%
dengan 154 kursi, Golkar memperoleh 22,43% dengan 120
kursi, PPP memperoleh 12,60% dengan 58 kursi, PKB
memperoleh 10,70% dengan 51 kursi, TNI dan Polri
(dijatahkan) 7,6% dengan 38 kursi, PAN memperoleh 7,11%
dengan 35 kursi, PBB memperoleh 1,94% dengan 13 kursi,
Partai Keadilan memperoleh 1,36% dengan 6 kursi, PKP
memperoleh 1,2% dengan 6 kursi, PDKB memperoleh 0,6%
dengan 3 kursi, PNU memperoleh 0,6% dengan 3 kursi,
Partai Bhinneka Tunggal Ika memperoleh 0,6% dengan 3
kursi, PDI memperoleh 0,4% dengan 2 kursi, PKU
memperoleh 0,2% dengan 1 satu kursi, PSII memperoleh
0,2% dengan 1 kursi, PNI Front Marhaenis memperoleh
0,2% dengan 1 kursi, IPKI memperoleh 0,2% dengan 1 kursi,
PNI Massa Marhaen memperoleh 0,2% dengan 1 kursi, Partai
Persatuan memperoleh 0,2% dengan 1 kursi, dan PDR
memperoleh 0,2% dengan 1 kursi. Kalau partai PPP, PKB,
PAN, PBB, Partai Keadilan, PNU, PKU, PSII dan Partai
Persatuan dianggap representasi dari partai Islam, maka
91
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

apabila digabung perolehan dari sembilan partai tersebut,


hasilnya adalah 34,91%.
9. Pada pemilu 2004, partai yang berhasil menempatkan
wakilnya di DPR berjumlah 15 partai. Perolehan dari masing-
masing partai adalah sebagai berikut: Golkar memperoleh
21,57% dengan 129 kursi, PDI-P memperoleh 18,53%
dengan 109 kursi, PKB memperoleh 10,56% dengan 52 kursi,
PPP memperoleh 8,15% dengan 58 kursi, Partai Demokrat
memperoleh 7,45% dengan 57 kursi, PKS memperoleh
7,33% dengan 45 kursi, PAN memperoleh 6,44% dengan 53
kursi, PBR memperoleh 3% dengan 14 kursi, PBB
memperoleh 2,62% dengan 11 kursi, PDS 13 kursi, PPDK 4
kursi, Partai Pelopor 3 kursi, PNI Marhaenis 1 kursi, dan
PPDI 1 kursi. Kalau partai PKB, PPP, PKS, PAN, PBR dan
PBB dianggap representasi dari partai Islam, maka apabila
digabung perolehan dari enam partai tersebut, hasilnya adalah
38,10%.
10. Dalam pelaksanaan pemilihan umum tahun 2009, partai-
partai yang berhasil menempatkan wakilnya di DPR
berjumlah sembilan partai. Perolehan dari masing-masing
partai tersebut adalah sebagai berikut: Partai Demokrat
memperoleh 20,8% dengan 150 kursi, Golkar memperoleh
14,5% dengan 107 kursi, PDI-P memperoleh 14,1% dengan
95 kursi, PKS memperoleh 7,9% dengan 57 kursi, PAN
memperoleh 6,0% dengan 43 kursi, PPP memperoleh 5,3%
dengan 38 kursi, PKB memperoleh 4,98% dengan 27 kursi,
Gerindra memperoleh 4,5% dengan 25 kursi, dan Hanura
memperoleh 1,79% dengan 18 kursi. Kalau partai PKS, PAN,
PPP dan PKB dianggap representasi dari partai Islam, maka
apabila digabung perolehan dari empat partai tersebut,
hasilnya adalah 24,18%. Isu penegakan syari‟ah Islam
92
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

terutama yang didengung-dengungkan oleh PPP dan PBB


bahkan tidak atau kurang mendapat respon dari masyarakat.
Perolehan kedua partai tersebut di Pemilu 2009 bahkan
menurun jauh dibandingkan pada Pemilu tahun 2004. PBB
bahkan tidak dapat menempatkan seorang pun wakilnya di
DPR.

D. Bentuk-Bentuk Pemerintahan dalam Islam.


Dalam khazanah Islam yang berkaitan dengan negara dan
pemerintahan, dikenal istilah Khilafah (khalifah), Imamah dan
Mulukiyah. Kata khalifah berasal dari akar kata ‫ خلف‬yang dalam al-
Qur‟an disebut sebanyak 127 kali dalam 12 kata jadian.
Maknanya berkisar di antara kata kerja “menggantikan”
“meninggalkan”, atau kata benda “pengganti” atau “pewaris”.
Secara terminologis, kata ini mengandung setidaknya dua makna
ganda. Di satu pihak, khalifah diartikan sebagai kepala negara
dalam pemerintah dan kerajaan Islam masa lalu, yang dalam
kontek kerajaan pengertiannya sama dengan kata sultan. Di lain
pihak, khalifah juga bisa berarti dua macam. Pertama, diwujudkan
dalam jabatan sultan atau kepala negara. Kedua, fungsi manusia itu
sendiri di muka bumi sebagai ciptaan Allah yang sempurna5
Sehubungan dengan pengetian pertama, ulama sarjana
asal Pakistan Abul A‟la Al-Maududi telah mengarang sebuah buku
yang berjudul Al-Khilafah wa Al-Mulk. Menurutnya istilah
khilafah berasal dari akar kata yang sama dengan khalifah, yang
berarti pemerintahan atau kepemimpinan. Khilafah, sebagai

5Abuddin Nata (ed), Masail Al-Fiqhiyah, Cetakan ke-2, UIN Press,

Jakarta, 2006, hal. 114-115


93
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

turunan kata dari khalifah adalah teori Islam tentang negara dan
pemerintahan6
Khilafah adalah suatu susunan pemerintahan yang diatur
menurut ajaran agama Islam. Ia merupakan bentuk pemerintahan
multi nasional yang terdiri dari beberapa negara berpenduduk
Muslim. Sedangkan pemimpin dalam sistem ini disebut dengan
khalifah atau al-Imam al-a‟dham. Dalam menjalankan roda
pemerintah, seorang khalifah harus berpegang teguh pada segala
aturan perundang-undangan yang bersumber pada al-Qur‟an dan
hadis dan harus diorientasikan pada kemaslahatan dunia dan
akhirat. Kemudian dalam hal suksesi kepemimpinan khalifah,
harus melalui ahlul halli wal-aqdhi, yakni sekelompok orang yang
memiliki hak mengangkat dan memberhentikan khalifah. Dalam
pengertian lain bahwa terpilih atau tidaknya seseorang menjadi
khalifah semua bergantung kepada ahlul halli wal-aqdhi. Sedangkan
orang-orang yang boleh masuk dalam kategori ini adalah mereka
yang ditokohkan oleh banyak kalangan dan mampu menjalin
komunikasi antar mereka dengan umat. Termasuk di antaranya
adalah para ulama, cerdik pandai, dan pemimpin-pemimpin yang
mempunyai kedudukan dalam masyarakat, dipercaya oleh seluruh
rakyat7. Dalam konteks ke-Indonesiaan konsep ahlul halli wal-
aqdhi barang kali lebih tepat dianalogkan dengan MPR.
Selanjutnya dalam sistem ini, seorang khalifah dpersyaratkan
harus berjenis kelamin laki-laki, oleh karena itu wanita dengan
sendirinya tidak berhak menduduki jabatan ini.
Sementara itu, berbeda dengan sistem khilafah, adalah
sistem mulukiyah, dan pemimpin yang menjalankan sistem ini
disebut dengan Malik (raja). Dalam hal suksesi kepemimpinan,

Ibid.
6

7Moh. Irfan, Op. cit., hal. 104


94
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan dalam sistem ini.


Pertama, menyerahkan sepenuhnya kepada keluarga raja, baik
dengan mempersiapkan putra mahkota, atau melalui penunjukan
oleh seluruh anggota keluarga. Kedua, dengan cara kudeta, baik
oleh anggota keluarga raja atau rakyat. Dalam menjalankan sistem
pemerintahan, Malik (raja) biasanya tidak mengacu pada Al-
Qur‟an dan hadis, tetapi pada kemampuan akal para elit kerajaan.
Pendek kata orientasi sistem ini adalah kemaslahatan duniawi
bukan ukhrawi8
Gelar khalifah, dalam sejarah pemerintahan Islam,
pertama kalinya diterima oleh Abu Bakar yang menggantikan
kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Pengangkatan Abu Bakar
dilakukan melalui proses musyawarah yang dilakukan oleh
Muhajirin dan Anshar di dalam suatu pertemuan yang
dilaksanakan di sebuah balairung, bernama tsaqifah Bani Sa‟idah
di Madinah.
Pemilihan Umar bin Khattab sebagai Khalifah,
berdasarkan pencalonan yang diusulkan Abu Bakar, mengingat
kapasitas kepemimpinannya yang tidak diragukan. Pencalonan ini
dilakukan melalui proses konsultasi, bahkan diskusi dengan
beberapa sahabat dan disampaikan kepada umat di Masjid
Nabawi. Setelah mendapatkan persetujuan dari umatnya, Umar
terpilih sebagai khalifah.
Berbeda dengan Umar, Usman bin Affan terpilih sebagai
khalifah berdasarkan atas permufakatan antara Dewan Ahli
(Ahlul halli wal aqdhi) atau formatur yang dibentuk Umar.
Sementara Ali bin Abi Thalib dipilih sebagai pengganti Usman
berdasarkan bai‟at oleh kaum Muslimin setelah terjadi tragedi
berdarah yang menewaskan Usman.

8Ibid., hal. 105


95
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

Musibah yang pertama kali menimpa umat Islam dalam


perjalanan sejarahnya adalah meremehkan fungsi syura dan karena
sistem khilafah yang dijalankan Al-Khulafa‟ur-Rasyidun beralih ke
sistem kerajaan, yang sebagian sahabat menyebutnya sama dengan
sistem kekuasaan Kaisar Persia atau Kaisar Romawi9
Konferensi tentang Khilafah Internasional yang
diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus
2007 setidaknya berhasil menarik perhatian media Internasional.
Konferensi itu diselenggarakan bertepatan dengan 28 Rajab (1428
H.). Konon pada tanggal yang sama apa yang disebut HTI sebagai
“Khilafah Usmaniyah” di Turki dihapuskan penguasa sekuler
Turki, Kemal Attaturk pada 1924. Jika orang-orang Turki saja
tidak pernah menangisi tamatnya riwayat khilafah ini, sebaliknya
Hizbut Tahrir umumnya di berbagai penjuru dunia meratapi
berakhirnya kekuasaan Turki Usmani itu sebagai tamatnya
persatuan Islam.
Apa sebenarnya khilafah itu? Masih relevan atau viable-
kah pembentukan sebuah khilafah di tengah realitas dunia
Muslim Indonesia dan Internasional?. Awalnya istilah khilafah
mengacu pada Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 30 tentang
penciptaan manusia yang disebut khalifah, wakil Tuhan di bumi.
Dalam hubungan dengan ayat-ayat lain, para ulama menafsirkan,
tugas khalifah ialah memakmurkan kehidupan di muka bumi,
bukan menegakkan khilafah, yaitu kekhalifahan, sebuah lembaga
politik yang bermula pada masa pasca Nabi Muhammad.
Kekhalifahan ini dikenal sebagai al-Khulafa al-Rasyidun berturut-
turut Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin „Affan, dan Ali
bin Abi Thalib. Ciri yang paling menonjol dari kekhalifahan yang
empat ini ialah bahwa suksesi didasarkan merit, keunggulan

9Yusuf Qardhawi, Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sunnah,

Cetakan II, Pustaka Al-Kausar, Jakarta, 1997, hal. 202


96
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

kualitas pribadi daripada yang lain-lain.


Ibnu Khaldun, dalam bukunya Muqaddimah, banyak
berbicara mengenai khilafah, khalifah dan imamah
(kepemimpinan). Dia menarik teorinya tentang khilafah dari al-
Qur‟an. Dalam penjelasannya, ia antara lain mengatakan bahwa
manusia mempunyai kecenderungan alami untuk memimpin
karena mereka diciptakan sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Menurut Ibnu Khaldun, khilafah adalah kepemimpinan, ”khilafah
berubah menjadi pemerintahan berdasarkan kedaulatan”10
Kekhalifahan (khilafah) menurut Ibn Khaldun, tamat
dengan berakhirnya al-Khulafa al-Rasyidun. Entitas politik Islam
selanjutnya, seperti Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan
Dinasti Usmaniyyah, bukan khilafah karena suksesinya berdasar
tali darah. Semua entitas politik pasca al-Khulafa ar-Rasyidun
adalah kerajaan atau kesultanan, bukan khilafah.
Jadi gagasan khilafah yang diusung HTI pada dasarnya
merupakan romantisme dan idealisasi sejarah belaka. Karena, jika
rujukan gagasan khilafah ialah kekuasaan Turki Usmani, maka
sejak awal pembentukannya pada masa Sulaiman Al-Qanuni abad
ke-15, para penguasanya hampir tidak pernah menyebut entitas
politik mereka sebagai khilafah atau memanggil diri mereka
sebagai khalifah. Sebaliknya, dengan rendah hati menyebut diri
sebagai sultan. Barulah saat penguasa Turki Usmani terakhir
Sultan Abd. Al-Hamid pada dasawarsa kedua abad ke-20
terancam gerakan Turki Muda yang akan mengambil alih
kekuasaan, ia menyebut diri sebagai khalifah guna menarik
simpati dan solidaritas kaum Muslim lainnya.
Para penguasa Turki Usmani tampaknya menyadari,
khilafah dan jabatan khalifah bukan sembarangan. Mereka tahu,
pada dasarnya adalah para ghazi, perwira, yang karena perjalanan
10 Abuddin Nata, Op. cit., hal. 117
97
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

sejarah menjadi para penguasa. Namun, sadar atau tidak,


kekuasaan yang mereka bangun—dalam persepektif ilmu politik
modern—adalah “oligarki militer” yang kemudian mengalami
transformasi menjadi kesultanan.
Sampai masa Tanzimat (reformasi) sejak paruhan kedua
abad ke-19, para sultan Turki Usmani lebih dikenal sebagai
penguasa yang despotik, yang lebih asyik dengan diri sendiri dari
pada memperdulikan rakyat. Namun, untuk menciptakan citra
kesalehan bagi dirinya, para penguasa ini memberi beasiswa
kepada para penuntut ilmu, khususnya yang ada di Haramayn
(Mekkah dan Madinah).
Karena watak dinasti Turki Usmani seperti itu, Haji Agus
Salim pernah mengingatkan tokoh-tokoh Muslim Indonesia yang
terlibat dalam komite khilafat, yang menentang penghapusan yang
dilakukan Kemal Attaturk, bahwa khilafah tidak memiliki
relevansi dengan Indonesia. Sebaiknya kaum muslimin Nusantara
tidak menjadikan para penguasa Usmani yang despotik itu sebagai
sosok ideal mereka. Yang relevan dengan kaum muslimin
Indonesia ialah mencapai kemerdekaan dan memakmurkan
kehidupan bangsa sesuai dengan surat Al-Baqarah ayat 30 itu.
Sejak itu, Komite khilafat Indonesia kehilangan momentumnya
dan ide khilafah tidak pernah lagi menjadi wacana kaum Muslimin
arus utama seperti diwakili Nahdlatul „Ulama, Muhammadiyah
dan banyak lagi.
Lepas dari pernyataan Haji Agus Salim dan kenyataan
tidak berkembangnya wacana khilafah dalam arus utama kaum
Muslim Indonesia, gagasan khilafah agaknya tidak pernah pudar.
Sejak Jamaluddin Al-Afghani menyerukan perlunya khilafah
(politik) di Istanbul dan khilafah keagamaan di Mekkah, bisa
disimak ide khilafah yang dikembangkan para pemikir sejak Abd
al-Rahman al-Kawakibi (Suriah), Abu al-A‟la al-Maududi
98
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

(Pakistan) dan Taqi al-Din al-Nabhani (Palestina), pendiri Hizbut


Tahrir. Tentu saja, sejauh ini Hizbut Tahrir paling gigih
memperjuangkan apa yang disebut khilafah.
Gagasan khilafah pada masa modern kontemporer
menyerukan pembentukan kekuasaan politik tunggal bagi seluruh
umat Islam di muka bumi; sebuah gagasan yang dapat
dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya (viability). Jika
umat Islam boleh jujur kepada diri sendiri, kesatuan semacam itu
tidak pernah terwujud, bahkan sebelum berakhirnya kekuasaan al-
Khulafa al-Rasyidin. Kesatuan hanya terwujud pada masa
Abubakar dan Umar bin Khattab. Tetapi sejak masa khalifah
ketiga, Usman bin Affan, terjadi pertikaian dengan Ali bin Abi
Thalib—lalu menjadi khalifah keempat—.Sejak itu, persatuan
umat Islam di bawah satu kekuasaan politik tunggal lebih
merupakan imajinasi yang jauh.
Abu A‟la Al-Maududi, yang merumuskn khilafah secara
lebih komperhensif, menyadari hampir tidak mungkinnya
mewujudkan khilafah universal. Akhirnya ia menyerah kepada
realitas negara bangsa (nation state). Ia menerima kehadiran negara
bangsa Pakistan pasca partisi Anak Benua India pada 1947, lalu
mendirikan parpol Jama‟ati Islami untuk mewujudkan cita-citanya
mencapai khilafah. Maka, Al-Maududi dan Jama‟ati Islami terlibat
pergulatan politik nasional Pakistan yang kompleks, sampai
terlihat seolah melupakan gagasan dan cita khilafahnya.
Pengalaman yang dilakukan Al-Maududi itu setidaknya
menunjukkan dua kontradiksi. Pertama, khilafah tidak mungkin
dicapai melalui negara-bangsa. Kedua, negara bangsa yang ada
pada dasarnya menerapkan sistem demokrasi modern. Dan
khilafah tidak kompatibel dengan demokrasi yang bersandar pada
vox populi vox dei (suara Tuhan adalah suara rakyat).
Realitas politik yang begitu kompleks membuat al-
99
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

Maududi mengompromikan cita khilafahnya. Boleh jadi, Hizbut


Tahrir Indonesia (HTI) akan menempuh jalan yang sama. Hizbut
Tahrir Jordania misalnya, membentuk parpol yang terlibat
proses-proses politik modern. HTI boleh jadi mengikuti langkah
lebih realistis dengan membentuk parpol. Jika itu jalan yang
ditempuh, realisme HTI patut diapresiasi dengan iringan do‟a,
semoga berhasil dibelantara politik Indonesia.
Penegakan syariat Islam adalah suatu keniscayaan bagi
seorang muslim ataupun umat Islam. Tak ada perdebatan dalam
tubuh umat Islam tentang hal itu. Tetapi persoalannya akan
muncul ketika ada gagasan atau gerakan sekelompok umat Islam
untuk menegakkan syariat Islam dalam skala kemasyarakatan atau
kenegaraan. Akan muncul sejumlah pertanyaan, seperti syariat
Islam yang mana yang akan ditegakkan, bagaimana formatnya
(terutama kaitannya dengan peran negara, bagaimana cara dan
metodologi menegakkan atau memperjuangkannya, dan lain
sebagainya)11
Dari apa yang telah dikemukakan, dikaitkan dengan
partisipasi umat Islam Indonesia dalam menentukan pilihannya
pada pemilihan umum, maka cita-cita terutama seperti yang
digaungkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia masih menjadi
pertanyaan besar, dan memerlukan perjuangan yang teramat
berat.

11Masrukin, “Tuntutan Penerapan Syariat Islam Kelompok-


Kelompok Islam Radikal di Surakarta” dalam Dialog, Jurnal Penelitian dan
Kajian Keagamaan, No. 62 Tahun XXIX, Desember, Badan Litbang dan
Diklat Dep. Agama, Jakarta, 2006, hal 104 mengutip Abdul Azis Mudzakar
dalam Mahmud Al-Anshari
100
Presiden Wanita dan Pemerintahan Islam. Fikih Kontemporer

101
BAB 7
TERORISME

A. Pengertian Terorisme.
Sejak tahun 1936 sampai tahun 2002 terdapat tidak
kurang dari 129 definisi tentang terorisme. Salah satu definisi yang
paling awal dan paling menonjol diidentifikasi pada pasal 1 ayat
(2) Konvensi Pencegahan dan Hukuman terhadap Terorisme
1937. Menurut pasal ini, terorisme didefinisikan sebagai “tindak
pidana yang ditujukan pada suatu negara atau diperhitungkan
untuk menciptakan teror dalam pikiran orang tertentu, atau
kelompok orang, atau masyarakat umum”1
Istilah terorisme memiliki banyak makna, karena tidak ada
definisi yang mantap mengenai makna dan ruang lingkupnya. Hal
ini dikarenakan fakta bahwa terdapat pandangan dunia berkenaan
dengan klasifikasi tindakan teroris dan tujuan serta motivasi yang
ada di dalamnya2
Dalam kamus bahasa Indonesia, terorisme diartikan
dengan penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan
dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik)3
Dari keterangan yang telah dikemukakan, secara
sederhana terorisme dapat dikatakan sebagai tindakan untuk
membuat kekacauan dan ketakutan dalam rangka mencapai

1 Sunardi dkk., Republik Kaum Tikus, EDSA Mahkota, Jakarta, 2005,


hal. 114
2Ibid., hal.112-113
3Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 1185
Terorisme Fikih Kontemporer

tujuan yang dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu.

B. Akar Terorisme.
Faham radikal dan ekstrem bukan monopoli satu agama
semata. Di dalam sejarah Islam berderet nama gerakan ekstrem
pernah timbul dan tenggelam. Dua nama tak mudah dilupakan;
Khawarij dan Assasiyyun. Khawarij berarti mereka yang
menyempal, sedang Assasiyun bermakna mereka yang setia dan
taat pada asas. Dua kelompok ini berasal dari periode dan zaman
yang berbeda.
Khawarij adalah kelompok yang menyempal dari
kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib, dan menjadi bentuk
ekstremisme Islam radikal pertama yang menggabungkan
puritanisme kaku dan fundamentalisme agama dengan sentuhan
egalitarianisme eksklusivis4
Teologi mereka meyakini bahwa seseorang yang berdosa
besar tidak lagi berhak menjadi muslim dan boleh dikafirkan,
diperangi, dan dibunuh apabila ia tak bertobat. Menganggap
kelompok lain tak lagi muslim, Khawarij lebih senang menarik
diri dari umat Islam dan memerangi mereka yang tak sepaham.
Karena semangat bermusuhan dan berperang ini, jihad dalam arti
kasarnya sebagai pertempuran menjadi tiang keenam rukun agama
kaum Khawarij.
Merekalah yang pertama kali meneriakkan jargon
“Tegakkan hukum Allah” di jalan-jalan. Namun, dengan jargon
itu, mereka pula yang menghalalkan darah Ali bin Abi Thalib r.a
dan membunuhnya atas nama Islam.

4
Mahmudi, “Ekstremis di Tengah Kita”, Majalah Adil, No. 21, 26
Juli - 8 Agustus 2007

102
Terorisme Fikih Kontemporer

Khawarij yang terkenal rajin beribadah ini meyakini


mereka adalah mukminin yang berjuang dan berperang melawan
kekafiran, sedang Assasiyun adalah pengikut Hasan al-Sabah di
awal abad ke-11, terkenal dengan pembunuhan bermotif politik
terhadap para pemimpin muslim yang sudah dikafirkan karena
dianggap tak lagi mencerminkan keislaman atau non muslim yang
berhak dibunuh karena menentang Islam5
Kedua kelompok ekstrem ini memiliki satu benang
merah: pengkafiran mereka yang tak sepaham dan penghalalan
apapun, termasuk kekerasan, demi mencapai tujuan. Takfir
(pengkafiran) karena itu menjadi akar paling mendasar dari
ekstremisme Islam. Ketika al-Qur‟an menyerukan koeksistensi
Muslimin dengan Ahlul Kitab, takfiri menuntut penghalalan
darah mereka. Kaum takfiri pun tak segan menisbatkan tudingan
„kafir‟ bahkan kepada muslim yang tak sepaham dengan mereka.
Takfir bukan merupakan barang asing bagi Muhammad
Ibn Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahabisme di Arab Saudi.
Dengan mengutip pandangan Ibn Taymiyyah yang membatalkan
kemusliman kaum Mongol yang menerapkan hukum adat
tinimbang syariah supaya ada legitimasi hukum bagi dinasti
Mamluk yang mengobarkan jihad melawan Mongol6
Muhammad Ibn Abdul Wahhab melancarkan perang
„pembersihan‟ terhadap Muslimin yang tak sepaham dengannya
dengan menggunakan pedang. Sejarah Wahabisme penuh dengan
pembantaian terhadap Syiah. Kaum Sunni pun tak luput dari
pembantaian pada 1802 dan 1924. Beberapa bangunan suci di
Mekkah dan Madinah tak luput dihancurkan oleh dua kali
serangan Wahabi ini7

5 Ibid.
6Ibid.
7 Ibid.
103
Terorisme Fikih Kontemporer

Takfirisme yang mengafirkan selain kelompok mereka


dan memerangi semua kaum kafir, baik Muslim atau non-Muslim
mengemuka ke dalam gerakan sempalan dari Ikhwanul Muslimin
dengan nama Takfir wal Hijra oleh Syukri Musthafa. Kelompok
berinspirasikan Wahabisme dan Gutbisme ini mengafirkan segala
yang berbeda dan mengisolasi diri dari umat Islam yang tak lagi
murni keislamannya untuk membangun perlawanan dan upaya
penggulingan kekuasaan kaum kafir. Terdaftar sebagai
anggotanya: Ayman al-Zhawahiri.
Zhawahiri memberikan jiwa takfiri pada al-Qaidah.
Organisasi ini lantas menjadi manifestasi baru dari pembauran
antara anasir Khawarijisme, Assassiyun, dan Wahabisme
ditambah sentuhan modernitas yang membentuk ekstremisme
eksklusif dengan senjata mematikan di tangan. Di mata kaum
ekstremis, kaum yang berbeda paham bukan lagi Muslim. Budaya
takfir mewariskan apabila “engkau tidak setuju dengan kami maka
engkau adalah kafir” yang boleh diperangi dan darahnya halal
ditumpahkan. Kemanusiaan dihilangkan, Islam pun digadaikan.
Takfiri tidak dihasilkan oleh kemiskinan semata, karena
pengikut al-Qaidah dan gerakan militan lain kerap berasal dari
kaum berada, seperti latar belakang Usamah bin Laden atau
pelaku pemboman WTC Amerika tanggal 9 September
Muhammad Atha. Ia juga bukan produk kebodohan karena
banyak kaum takfiri mengenyam pendidikan tinggi. Abdul Rasyid
Ghazi dari Masjid Lal memegang gelar master, dan pernah bekerja
di UNESCO, sementara Azahari bergelar doktor dari universitas
di Inggeris. Zhawahiri menguasai tiga bahasa asing dengan gelar
S-2. Takfiri karena itu bisa menghinggapi siapa saja dengan latar
belakang apa saja.
Takfiri tidak terbatas pada al-Qaidah dan jejaringnya yang
meluas di berbagai belahan dunia. Ia merupakan gugus pemikiran
hasil bentukan dan pertautan antara sejarah, politik, agama,

104
Terorisme Fikih Kontemporer

nihilisme, dan kesalahan berpikir. Pemikiran tentu lebih


berbahaya daripada senapan. Bukan tak mungkin banyak
masyarakat terpengaruh pemikiran Ayman.
Terorisme di Indonesia, banyak disebabkan karena
pemahaman yang sempit, dangkal, dan salah terhadap ajaran
agama Islam, dipicu oleh ketidakadilan yang masih terus saja
menonjol dalam masyarakat dan kemiskinan yang mewabah dan
sangat memprihatinkan, yang menimbulkan sikap frustrasi,
tersisih dan menimbulkan sifat radikal di kalangan sebagian
masyarakat Indonesia dan kemudian menimbulkan aksi terorisme.
Karena itu, metode dan strategi yang paling tepat dan efektif
dalam upaya mendeteksi dan mengatasi terorisme di Indonesia,
adalah melalui dan menggunakan pendekatan dan terapi “Ke-
Islaman dan Kesejahteraan Sosial” bagi umat beragama (Islam),
karena “Tiada rasa keterikatan bagi umat beragama melebihi
keterikatannya terhadap ajaran agamanya” karena motivasi dan
dorongan ajaran agama, seseorang yang beragama bisa berbuat
nekad, berbuat apa saja yang disuruh oleh agamanya dengan janji
surga.
Ironisnya radikalisme dan kenekatan tindakan itu
didasarkan dan berlandaskan pemahaman agama yang kurang
benar dan salah mengerti terhadap ajaran agamanya, sebagaimana
pemahaman tentang arti dan maksud yang sebenarnya dari kata
“jihad” fi sabilillah itu; ditambah kehidupan yang sangat miskin,
amat susah dan frustrasi, sehingga para pelaku teroris akan sangat
mudah dan gampang untuk melaksanakan aksi terornya, karena
memang kemiskinan itu akan dapat menutup hati nurani dan
logika dari berbagai nasehat dan cahaya kebenaran lainnya.
Antara terorisme, agama Islam, ketidak adilan, dan
kemiskinan terdapat keterkaitan kausalitas, sebab akibat yang
saling berpengaruh di antara ketiga aspek itu, baik langsung
ataupun tidak langsung. Terorisme di Indonesia adalah suatu

105
Terorisme Fikih Kontemporer

gerakan anarkis destruktif dari suatu kelompok masyarakat yang


sebagian besarnya beragama Islam, namun dengan pemahaman
dan pengertian yang salah dan keliru tentang hakikat, pengertian,
dan maksud dari beberapa prinsip dan ajaran agama Islam itu
sendiri, di samping adanya faktor kemiskinan serius yang memicu
dan mempengaruhinya
Kalimat “jihad fi sabilillah” oleh para tokoh teroris di
Indonesia diartikan lain. Kata “jihad” itu arti sebenarnya adalah
“Berupaya dengan sungguh-sungguh, atau berjuang dengan
penuh ketabahan, bukan memerangi, bukan pula berontak dengan
anarkis”. Baik dalam Al-Qur‟an maupun dalam hadis, kata jihad
itu bermaksud atau dimaksudkan bukan perang, apalagi
dilaksanakan dengan membabi-buta. Kalaupun terpaksa harus
berperang, juga ada aturan dan ketentuannya dalam agama Islam
yang sangat sempurna itu. Perang dalam Islam hanya diizinkan
untuk membela diri, karena terpaksa, bukan expansif; dan perang
yang ditekankan dalam Islam adalah perang terhadap hawa
nafsunya sendiri, bukan “membunuh sembarang orang” di
sembarang tempat.
Agama masih saja dan sering disalah artikan, baik oleh
orang-orang non Islam maupun oleh para pemeluknya sendiri,
disebabkan kurang dan terbatasnya pemahaman dan wawasan
tentang hakikat dan semangat dinul Islam. Bagi para teroris di
Indonesia, di samping kurangnya wawasan dan pemahaman
terhadap dinul Islam, juga terbatasnya dan dangkalnya wawasan
kebangsaan mereka, atau tidak adanya keserasian dan keterpaduan
wawasan ke Islaman dan kebangsaan mereka, sebagaimana telah
ditunjukkan oleh pendahulu dan para pejuang untuk
kemerdekaan dan kejayaan negeri ini. Sempit dan dangkalnya
pemahaman dan wawasan itu, di tambah faktor-faktor
kemiskinan, dan ketidakadilan seperti yang telah dikemukakan
yang memang menjadi kenyataan sangat menonjol, pahit dan

106
Terorisme Fikih Kontemporer

amat memprihatinkan.
Tindakan terorisme di Indonesia sangat menodai citra dan
keindahan Islam, sedang ketidakadilan dan kemiskinan dinegeri
yang mayoritasnya muslim ini, telah memicu terjadinya
radikalisme, kemudian menimbulkan tindakan terorisme yang
amat mengenaskan dan sangat memprihatinkan.
Pandangan senada, kalau diibaratkan dengan pohon,
seperti diungkapkan oleh Masdar8, ekstremisme bertumbuh
karena tiga hal: tafsir keagamaan sempit sebagai benih;
kemiskinan dan keterbelakangan umat sebagai media; dan
perasaan terpinggirkan yang berlebihan sebagai air yang
menyirami.
Tentang faktor pertama, tafsir keagamaan sempit,
sepotong-sepotong, dan lepas konteks, memang bukan monopoli
satu agama. Di setiap agama ada bahaya laten ini, terutama yang
terlalu memutlakkan ayat suci, plus tendensi legalisme dan
formalisme yang menyala-nyala.
Cirinya adalah kebiasaan mengklaim diri sebagai satu-
satunya “yang benar dan berhak hidup”, sambil menuding pihak
lain sebagai “yang tersesat dan harus dieliminasi”. Mereka
mengira pemahaman agama di benaknya sama absolut dengan
kitab suci. Seolah otak mereka adalah lauh mahfudh yang berisi
kebenaran mutlak.
Paham keagamaan keras dengan gen tertentu bisa amat
kuat perannya bagi tumbuhnya pohon ekstremisme-terorisme.
Seperti kaktus, ia biasa tumbuh di padang pasir hampir tanpa
siraman air hujan sepanjang tahun.

8
Masdar F. Mas‟udi , “Deekstremisasi Total” dalam Harian Kompas,
14 Oktober 2009

107
Terorisme Fikih Kontemporer

Faktor kedua, semua orang tahu siapa Misno, Salik,


Asmar Latin, Dani Dwi Permana, dan Nana Ikhwan Maulana.
Mereka adalah anak-anak manusia yang karena miskin dan
lemahnya pendidikan merasa amat pesimis menemukan dan
mendapatkan kebahagiaan “surgawi” melalui kiprah hidupnya.
Tiba-tiba datang seorang “ideolog” seperti Noordin M.
Top yang dengan beberapa potong ayat mencuci otak mereka
sekaligus menjanjikan “surga” bukan dengan pergulatan hidup,
tetapi dengan kematian, bunuh diri sebagai syahid. Sementara
Noordin, Azhari, Az-Zawahiri, Osama bin Laden, para penganjur
bunuh diri yang berkecukupan dan berkeahlian, sebisa mungkin
tetap menyukai jalan “surgawi” dengan hidup, bukan dengan
kematiannya.
Faktor ketiga, perasaan terpinggirkan yang muncul dari
konflik yang absurd dan tak seimbang sebagai nutrisi atau air yang
menyirami. Meski ini bukan faktor utama, kita sepakat tentang
dua kategori aneka terorisme lokal dan global. Disebut terorisme
lokal jika mengacu isu konflik lokal, disebut terorisme global jika
mengacu isu konflik tak seimbang di level global.
Dalam dekade terakhir ini, terutama setelah reformasi,
telah terjadi pergeseran dalam kehidupan keagamaan di Indonesia,
meskipun belum mayoritas jumlahnya. Pelan tapi pasti kelompok
ini makin hari, menyemai berbagai lini. Kelompok ini memang
belum pernah melakukan seperti yang dilakukan jaringan
terorisme internasional, baru sebatas pengeboman-pengeboman
seperti yang terjadi di Bali. Namun dalam pandangan keagamaan
mempunyai kesamaan pemahaman terutama ketika
menerjemahkan al-Qur‟an dan memandang agama.
Dengan pola seperti itu, disokong beredar luasnya aneka
media penyebar radikalisme, paham ini sulit dimatikan. Video
seruan jihad bisa gampang didapat di lapak kaki lima hingga
internet. Guru-guru yang sudah terlatih, penyeru radikalisme yang

108
Terorisme Fikih Kontemporer

bebas berceramah di mana saja. Janji “kepastian” masuk surga


ternyata laku dijual sebagai daya tarik. Jalannya pun sungguh ideal,
“membersihkan negeri dari sistem yang kufur dan batil”. Para
ideologi kelompok ini menawarkan negeri impian, tempat “tidak
ada televisi yang merusak akhlak dan menjerumuskan anak-anak
kita”.
Tidak gampang membunuh gerakan ekstrim dan radikal
di negara ini. Kelompok semacam jama‟ah Islamiyah atau mereka
yang kini menamakan diri Tanzim al-Qaidah di Aceh bisa
merekrut anggotanya dari mana saja. Bahkan sel penjara bisa
menjadi tempat yang nyaman buat menyemaikan paham mereka.
Sistem pemenjaraan di negeri ini terbukti tidak mampu
mematikan paham para terpidana terorisme. Sebagian tersangka
yang ditangkap di Aceh baru-baru ini adalah “mantan” terpidana
kasus terorisme. Mereka bergabung kembali, membentuk
kelompok baru, dan melakukan kegiatan yang sama. Bukan cerita
baru bila beberapa terpidana di dalam bui pun leluasa
berkomunikasi dengan kelompok mereka di luar penjara.
Maka ada dua pekerjaan besar yang bisa dilakukan untuk
menangkal paham itu agar tak tumbuh membesar. Pertama, aksi-
aksi penawar radikalisme perlu digiatkan. Tak cukup dengan
mencetak banyak-banyak buku atau video tandingan yang
dilakukan pemerintah, masyarakat perlu dilibatkan dan diajak
bekerjasama. Kampanye tentang bahaya radikalisme dan paham
ekstrem di masyarakat, seperti halnya gerakan antinarkotik bisa
dilakukan. Keluarga sebagai komunitas masyarakat terkecil mesti
berperan mempertebal toleransi, persaudaraan dan kebersamaan
dan bersedia menerima perbedaan, agar ideologi tidak ditafsirkan
secara sempit dan akhirnya berakibat destruktif dan merugikan.
Ibarat pohon, terorisme yang tidak dicegah dan
diantisipasi dapat tumbuh dengan akar yang kuat, batang yang
kokoh, daun yang lebat, dan berbuah banyak. Terorisme memang

109
Terorisme Fikih Kontemporer

tidak cukup ditangani dengan penindakan hukum semata.


Program deradikalisasi dan penindakan hukum perlu dijalankan
secara simultan, agar perkembangan dan gerak terorisme dapat
diredam.

C. Antara Terorisme dan Radikalisme.


Di kalangan umat Islam, masih banyak yang belum
memahami betul konsep, ajaran, dan ruhul Islam yang
sebenarnya, sehingga masing-masing malah salah mengerti dan
salah memahami “Al-Islam” sebagai Ad-Dien dan Tamaddun,
sebagai agama dan kebudayaan, yang membuat sikap dan
tindakannya pun menjadi radikal, salah dan bertentangan dengan
keindahan dan kedamaian Islam, dan masih banyak lagi prinsip
dan ajaran Islam itu yang masih disalah artikan, seperti ajaran
“jihad fi sabilillah”.
Masih banyak lagi kalimat-kalimat baik dalam al-Qur‟an
maupun dalam hadis yang juga masih disalah artikan, yang
kadang-kadang justru membahayakan akidah, tauhid, kesucian
dan kemuliaan Islam itu sendiri, seperti terjadinya perbedaan
paham, keyakinan dan amaliyah pada beberapa kelompok Islam
yang bukan masalah akidah dan bukan masalah prinsip dalam
Islam, yang pada hakikatnya masih ditolerir dan diperbolehkan
oleh Islam yang rahmatan lil alamin itu; namun disikapi dengan
kekerasan, anarkis, dan pertumpahan darah terhadap sesama
muslim yang dengan jelas dan tegas dilarang dan diharamkan oleh
Islam itu sendiri, sehingga menimbulkan citra dan kesan bahwa
agama Islam itu penuh dengan anarkis dan kekerasan, yang secara
langsung atau tidak, hal itu merupakan pembenaran dari tudingan
berat non muslim, bahwa agama Islam itu identik kekerasan,
anarkis dan terorisme.
Hal tersebut sebagaimana digambarkan dengan karikatur
Nabi Saw oleh majalah Denmark, yang menimbulkan reaksi keras,
110
Terorisme Fikih Kontemporer

malah kadang sampai berlebihan, emosional dan anarkis dari


masyarakat dan dunia Islam, padahal Islam adalah agama penuh
kedamaian dan anti kekerasan dan anarkis. Betapa indah dan cinta
damainya Rasul Saw dalam kehidupan beliau yang dibuktikan oleh
sejarah dan diakui baik oleh Arab maupun Ajam; selama ini ajaran
tentang keindahan dan kedamaian Islam, jarang ditonjolkan oleh
para muballigh bahkan kadang-kadang sebaliknya, kekerasanlah
yang ditonjolkan; yang justru tanpa disadari menunjukkan bahwa
Islam penuh dengan kekerasan dan anarkis.
Radikal berasal dari kata bahasa latin, yaitu radix atau
akar. Terorisme sebagai gerakan radikal berarti gerakan yang
“mengakar” karena suatu ideologi yang ditanamkan, cara-cara
ekstrem yang digunakan, dan keinginan atau tujuan yang ingin
dicapai.
Radikalisme Islam di Indonesia muncul dan dipicu oleh
persoalan domestik di samping oleh konstelasi politik
internasional yang dinilai telah memojokkan kehidupan sosial
politik umat Islam sementara pemerintah dan kelompok-
kelompok agama yang ada tidak menawarkan pemecahan yang
memuaskan9
Kalau dirunut ke belakang, yaitu pada awal abad ke-19,
Nusantara-Indonesia juga menyaksikan hal yang hampir serupa.
Tiga orang haji kembali dari Mekkah ke Minangkabau, Sumatera
Barat. Mereka menyaksikan penaklukan Mekah oleh Wahabi,
sebuah kelompok puritan di dalam Islam, yang satu abad
kemudian menaklukan Mekah kembali dan mendirikan negara
Arab Saudi. Mereka dikenal dengan sebutan orang pidari, berarti
orang Pedir (Pidie), sebuah pelabuhan di Aceh tempat berangkat
para haji ke Mekkah. Kemudian mereka menyebut diri mereka

9Afdhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, LIPI Press, Jakarta,


2005, hal. 1-2
111
Terorisme Fikih Kontemporer

orang putih, lawan dari orang hitam, sebuah istilah yang memiliki
implikasi moral10
Sebutan orang putih ini sering dihubungkan dengan simbol
yang biasa mereka gunakan, yaitu pakaian putih dan surban
sebagai lambang kesucian dan kebersihan, sedangkan orang hitam
sering menggunakan pakaian hitam yakni pakaian tradisional yang
dipakai seorang penghulu. Tiga haji ini yang kemudian menjadi
penggerak gerakan Islam puritan, yang kemudian dikenal gerakan
Paderi. Dan Tuanku Nan Renceh menjadi peletak dasar gerakan
tersebut.
Gerakan Paderi menentang keras praktik-praktik jahiliyah
oleh masyarakat seperti sabung ayam, minum-minuman keras
(tuak), dan berjudi. Mereka hendak menjalankan syari‟ah Islam di
setiap negeri yang telah ditaklukkan, bila perlu dengan kekuatan
dan kekerasan. Tuanku Nan Renceh, arsitek gerakan Paderi dan
murid Tuanku Nan Tuo, menyatakan bahwa “tujuannya tidak lain
adalah untuk menghapuskan seluruh adat Minangkabau yang
tidak sesuai dengan al-Qur‟an, dengan hukuman mati bagi siapa
saja yang menolak untuk mematuhi mereka.” Namun, keinginan
ini tidak mendapat dukungan seorang ulama kharismatik, Tuanku
Nan Tuo, yang menolak cara-cara yang digunakan kelompok
Paderi. Ia menerangkan bahwa “untuk menafsirkan al-Qur‟an
yang menerangkan tentang hukuman mati bagi mereka yang
melakukan pelanggaran kecil di dunia ini bertentangan dengan
maksud ajaran Nabi Muhammad, dan (jika) merujuk kepada ayat-
ayat Al-Qur‟an terlihat bahwa ayat-ayat tersebut bersifat
mendamaikan dan cinta perdamaian.” Lebih lanjut Tuanku Nan

10Ismail Yahya, “Ancaman Kelompok Radikal: Mitos atau Realitas?

Belajar dari Pengalaman Surakarta” dalam Generasi Baru Peneliti Muslim Indonesia:
Mencari Ilmu di Australia, Kumpulan Makalah Dosen PTAI Peserta Program
PTRII 2004-2006, Australia-Indonesia Institute, Kingston Australia, 2008, hal.
141
112
Terorisme Fikih Kontemporer

Tuo menyebutkan bahwa sebuah negeri tidak seharusnya diserang


walaupun terbukti hanya terdapat satu Muslim di sana11
Tuanku Nan Renceh tetap meneruskan gerakannya yang
menyebabkan Tuanku Nan Tuo berpisah dari gerakan Paderi
dengan tetap mengajar di surau dan mendorong pembaharuan
tanpa kekerasan. Gerakan Paderi berhasil menguasai beberapa
daerah, di mana mereka kemudian menetapkan empat ajaran
pokok, yaitu akidah, khitan (circumcision), pantangan (abstinence)
dan sholat lima waktu. Sebagai simbol bahwa kekuasaan baru
terbentuk, maka tembakau, candu, sirih, adu ayam, judi dan
minuman keras dilarang; laki-laki memanjangkan janggutnya dan
memakai pakaian serba putih, bagi perempuan diharuskan
menutup wajah mereka dan laki-laki dan perempuan dilarang
mandi di tempat pemandian yang sama. Gerakan Paderi terus
melakukan “reformasi” sampai akhirnya muncul kekuatan
kolonial Belanda sebagai musuh baru yang melahirkan Perang
paderi dari tahun 1821-1838.12
Fenomena bangkitnya gerakan-gerakan radikalisme
keagamaan ditandai dengan maraknya aksi-aksi yang melibatkan
massa dalam skala masif yang dimotori berbagai kelompok Islam
“garis keras”, seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir (HT) dan Laskar
Jihad (LJ). Kendati ada perbedaan baik dari segi pandangan
politik maupun strategi perjuangan, umumnya mereka memiliki
persamaan dalam satu hal, yaitu menghendaki penerapan syariat
(hukum) Islam di Indonesia13
Gerakan Paderi pada abad ke-19 di Minangkabau
mengawali gerakan radikal Muslim di Indonesia. Pada paruh
kedua abad ke-20 (1950-an), sejarah kembali mencatat gerakan-

11Ibid.,hal. 141-142
12Ibid.
13Afdhal, op.cit., hal. vi-vii

113
Terorisme Fikih Kontemporer

gerkan radikal Muslim Darul Islam (DI) yang dipimpin


Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, sebagai bentuk
ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat. Gerakan
Darul Islam kemudian mendapat dukungan dari beberapa daerah
dan menyebar dari pusatnya di Jawa Barat ke Jawa Tengah, ke
Sulawesi Selatan dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar, ke
Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar, dan ke Aceh
dipimpin oleh Daud Beureueh. Pada masa pemerintahan Orde
Baru (1967-1998) kembali sejarah mencatat gerakan radikal
seperti Komando Jihad (1977, 1980 dan 1981), Gerakan 20 Maret
(1978), Gerakan Pemuda Islam (GPI) pada 1973, Terror Warman
(1978-1980), Cirebon NII (1976), Usroh (1985), peristiwa
Tanjung Priok (1984), Generasi 554 (1985), Bantaqiyyah (1987),
dan Jamaah Mujahidin Fisabilillah (JMF) pimpinan Warsidi di
Lampung (1989)14
Ada beberapa kategori yang membuat identifikasi
kelompok-kelompok Islam radikal. Yang paling mendasar adalah
fanatisme keagamaan menjadi acuan utama. Selain itu, penilaian
bahwa, Islam adalah syari‟ah dan ibadah, dakwah sekaligus jihad,
agama sekaligus negara dan gerakannya menjadi sebuah
kewajiban. Berdasarkan kategorisasi ini, dalam hasil penelitian
yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie teridentifikasi lebih dari
sepuluh kelompok Islam radikal. Kelompok-kelompok tersebut
antara lain adalah Laskar Santri Hisbullah Sunan Bonang, Brigade
Al-Islah, Gerakan Pemuda Ka‟bah, Laskar Pemuda, Front
Pembela Islam Surakarta (FPIS), Brigade Hisbullah, Laskar
Mujahidin Surakarta, Laskar Jundullah FKAM, Laskar Jihad
Ahlussunnah wal Jama‟ah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Surakarta, Majelis Tafsir Al-Qur‟an, Barisan Bismillah dan

14 Ibid.
114
Terorisme Fikih Kontemporer

sebagainya15
Salah satu isu dan gerakan kelompok Islam radikal adalah
penerapan syari‟at Islam, yang merupakan tugas suci dan
perjuangan semua anggota yang harus dilakukan dengan seluruh
pengorbanan jiwa dan raga. Segala upaya harus ditempuh untuk
memberlakukan syariat Islam. Tindakan taktis politis sampai
tindakan radikal yang kasar menjadi sah untuk dilakukan dalam
rangka menuntut penerapan syariat Islam di dalam masyarakat16.
Hal ini setidaknya terlihat dalam setiap aksi dan gerakan yang
dilakukan.
Pada kasus beberapa kelompok radikal Islam di
Indonesia, sebutlah misalnya Laskar Jihad, Front Pembela Islam
(FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dalam merespon
kehidupan sosial, kelompok-kelompok ini lebih memilih cara-cara
yang tidak bersahabat, bahkan cenderung destruktif. Jika saja dari
pemahaman literalistik atau skriptualistik atas teks agama yang
mereka anut hanya pada wilayah metodologis mungkin tidak akan
memberi dampak pada pencitraan Islam sebagai agama yang
moderat, tetapi ketika pemahaman itu mewujud dalam bentuk
gerakan, maka ironipun berbicara kepada dunia17
Di satu sisi, apa yang dilakukan tersebut dalam beberapa
kasus justru bertentangan dengan sifat syariat Islam yang luwes,
sedikit pembebanan, dan peniadaan kesukaran. Dan di sisi lain,
ternyata memunculkan problem-problem sosial budaya pada
masyarakat, dalam bentuk benturan-benturan, eksklusifitas, dan
sebagainya. Dengan melihat latar belakang secara sosial, maka

15Zainuddin Fananie, dkk., Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial,

Muhammadiyah University Press dan Asia Foundation, Surakarta, 2002, hal. 5


16 Ibid.
17Muhsin Mahfudz, “Kesalehan dan Radikalisme Agama dalam

Konteks Indonesia” dalam Generasi Baru Peneliti Muslim Indonesia: Mencari Ilmu di
Australia, Kumpulan Makalah Dosen PTAI Peserta Program PTRII 2004-
2006, Australia-Indonesia Institute, Kingston Australia, 2008, hal. 5
115
Terorisme Fikih Kontemporer

tuntutan penerapan syariat Islam oleh kelompok-kelompok Islam


radikal cenderung dilatarbelakangi oleh faktor-faktor pemahaman
dan sosial tertentu18
Penegakan syariat Islam adalah suatu keniscayaan bagi
seorang muslim ataupun umat Islam. Tak ada perdebatan dalam
tubuh umat Islam tentang hal itu. Tetapi persoalannya akan
muncul ketika ada gagasan atau gerakan sekelompok umat Islam
untuk menegakkan syariat Islam dalam skala kemasyarakatan atau
kenegaraan. Akan muncul sejumlah pertanyaan, seperti syariat
Islam yang mana yang akan ditegakkan, bagaimana formatnya
(terutama kaitannya dengan peran negara, bagaimana cara dan
metodologi menegakkan atau memperjuangkannya, dan lain
sebagainya)19
Memang secara organisatoris tidak ada hubungan antara
terorisme dan radikalisme di Indonesia. Dan ini antara lain
dinyatakan oleh pimpinan-pimpinan organisasi Islam radikal
seperti Abu Bakar Ba‟asyier. Dalam berbagai kesempatan beliau
menyatakan bahwa terorisme tidak sejalan dan bertentangan
dengan ajaran Islam. Namun bila diamati dari aspek gerakan
keagamaan yang dilaksanakan, ada semacam benang merah di
antara terorisme dan radikalisme di Indonesia.

18Ibid.,
hal. 125-147
19Masrukin, “Tuntutan Penerapan Syariat Islam Kelompok-
Kelompok Islam Radikal di Surakarta” dalam Dialog, Jurnal Penelitian dan
Kajian Keagamaan, No. 62 Tahun XXIX, Desember, Badan Litbang dan
Diklat Dep. Agama, Jakarta, 2006, hal 104 mengutip Abdul Azis Mudzakar
dalam Mahmud Al-Anshari
116
BAB 8
MEROKOK

A. Merokok dan Kehidupan Manusia.


Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya
adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual
seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, Ketika bangsa
Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah
Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan kemudian
membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok
mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda
dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di
Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata.
Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu
kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam1. Dalam
perkembangannya merokok sudah menjalar ke pelosok dunia,
termasuk Indonesia. Merokok merupakan bagian dari kehidupan
sehari-hari, dengan tidak melihat strata kehidupan, termasuk
orang miskin.
Dalam bahasa Arab rokok disebut dengan ad-dukhan.
Selain ad-dukhan, masyarakat Arab memiliki beberapa sebutan lain
untuk menunjuk rokok, di antaranya at-Ta-bgh, at-Tutun, dan at-
Tinbak. Semua kata itu, sebagaimana keterangan ath-Tharabis al-
Halabi, sudah ada sejak dulu di kalangan bangsa Arab. Artinya,

1http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok, diakses tanggal 17 Juni 2010


Merokok Fikih Kontemporer

menurut dia semua kata itu adalah kosa kata asli bahasa Arab.
Pendapat ini berbeda dengan keterangan an-Nablisi yang
menyatakan bahwa at-Tabgh dan at-Tinbak merupakan dua kata
yang diserap dari bahasa asing2
Kebiasaan merokok telah menjadi budaya diberbagai
bangsa di belahan dunia. Mayoritas perokok diseluruh dunia ini,
47 persen adalah populasi pria sedangkan 12 persen adalah
populasi wanita dengan berbagai kategori umur. Latar belakang
merokok beraneka ragam, di kalangan remaja dan dewasa pria
adalah faktor gengsi. Sedangkan kalangan orang tua, stres dan
karena ketagihan adalah faktor penyebab keinginan untuk
merokok.
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang
antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan
diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang
telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan
dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada
ujung lainnya3. Hal ini merupakan kenikmatan tersendiri bagi
perokok.
Begitu banyak orang yang terlibat dengan rokok. Jumlah
konsumsi rokok mencapai 220 miliar batang per tahun. Menurut
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan, 91,8 persen perokok merokok di rumah, tidak jauh
dari istri dan anak-anak mereka. Akibatnya, lebih dari 50 persen

2Syaikh Ihsan Jampes, Irsyad al-Ikhwan fi Bayan al-Hukm al-Qahwah wa


ad-Dukhan, diterjemahkan oleh Ali Murtadho dan Mahbub Dje, dengan judul
“Kitab Kopi dan Rokok”, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2009, hal. 13-14
3http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok, Loc. cit.

118
Merokok Fikih Kontemporer

anak-anak dan hampir 60 persen perempuan terpapar asap rokok


yang diisap suami atau pria. Menurut Komisi Nasional
Pengendalian Tembakau Indonesia, sekitar 70 juta perempuan
Indonesia terpapar asap rokok orang lain atau menjadi perokok
pasif. Kematian akibat kebiasaan merokok tercatat 427.948 orang
per tahun atau 1.172 orang per hari. Epidemi merokok di
Indonesia semakin memprihatinkan4

B. Berbagai Jenis Rokok.


Rokok dibedakan menjadi beberapa jenis. Pembedaan ini
didasarkan atas bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi
rokok, proses pembuatan rokok, dan penggunaan filter pada
rokok.
Rokok berdasarkan bahan pembungkus, terdiri dari:
1. Klobot; rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun
jagung.
2. Kawung; rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun
aren.
3. Sigaret; rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas.
4. Cerutu; rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun
tembakau.
Rokok bila dilihat berdasarkan bahan baku atau isi terdiri
dari:
1. Rokok Putih: rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun
tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan
aroma tertentu.

4 Majalah Tempo, No. 3915, Edisi 7-13 Juni 2010, hal. 82


119
Merokok Fikih Kontemporer

2. Rokok Kretek: rokok yang bahan baku atau isinya berupa


daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk
mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
3. Rokok Klembak: rokok yang bahan baku atau isinya berupa
daun tembakau, cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus
untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
Rokok berdasarkan proses pembuatannya, terdiri dari:
1. Sigaret Kretek Tangan (SKT): rokok yang dalam proses
pembuatannya dilakukan dengan cara digiling atau dilinting
dengan menggunakan tangan dan atau alat bantu yang
sederhana.
2. Sigaret Kretek Mesin (SKM): rokok yang proses
pembuatannya menggunakan mesin. Sederhananya, material
rokok dimasukkan ke dalam mesin pembuat rokok. Keluaran
yang dihasilkan mesin pembuat rokok berupa rokok
batangan. Saat ini mesin pembuat rokok telah mampu
menghasilkan keluaran sekitar enam ribu sampai delapan ribu
batang rokok per menit. Mesin pembuat rokok, biasanya,
dihubungkan dengan mesin pembungkus rokok sehingga
keluaran yang dihasilkan bukan lagi berupa rokok batangan
namun telah dalam bentuk pak. Ada pula mesin pembungkus
rokok yang mampu menghasilkan keluaran berupa rokok
dalam pres, satu pres berisi 10 pak. Sayangnya, belum
ditemukan mesin yang mampu menghasilkan SKT karena
terdapat perbedaan diameter pangkal dengan diameter ujung
SKT. Pada SKM, lingkar pangkal rokok dan lingkar ujung
rokok sama besar.
Sigaret Kretek Mesin sendiri dapat dikategorikan kedalam
dua bagian :

120
Merokok Fikih Kontemporer

1. Sigaret Kretek Mesin Full Flavor (SKM FF): rokok yang


dalam proses pembuatannya ditambahkan aroma rasa yang
khas. Contoh: Gudang Garam Filter Internasional, Djarum
Super, dll.
2. Sigaret Kretek Mesin Light Mild (SKM LM): rokok mesin
yang menggunakan kandungan tar dan nikotin yang rendah.
Rokok jenis ini jarang menggunakan aroma yang khas.
Contoh: A Mild, Clas Mild, Star Mild, U Mild, LA Light,
Surya Slim, dll.
Rokok berdasarkan penggunaan filter, terdiri dari:
1. Rokok Filter (RF): rokok yang pada bagian pangkalnya
terdapat gabus.
2. Rokok Non Filter (RNF): rokok yang pada bagian pangkalnya
tidak terdapat gabus.

C. Dampak dari Merokok


Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok
sangat menyebabkan kecanduan, disamping menyebabkan banyak
tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan, penyakit
pencernaan, efek buruk bagi kelahiran, dan emfisema5. Berbagai
dampak tersebut tentu sangat tidak baik bagi kehidupan manusia.
Merokok ditinjau dari sudut mana pun tidak ada
manfaatnya, sebaliknya sangat banyak dampak negatifnya, di
antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, merokok bisa dikategorikan sebagai bentuk
pemborosan harta. Allah Swt menilai orang yang suka

5http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok

121
Merokok Fikih Kontemporer

memubazirkan (memboroskan) harta sebagai sahabat setan.


Firman Allah dalam surat Al-Isra/17 ayat 27:
         

Artinya:
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan
setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya“.
Jika melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat saja—
meskipun diperbolehkan dan tidak membahayakan—merupakan
sebuah tindakan berlebih-lebihan, apalagi merokok yang nyata-
nyata pemborosan dan pemubaziran. Berapa uang yang hilang sia-
sia hanya untuk kepentingan merokok.
Kedua, merokok dapat merusak tubuh. Berbagai penelitian
dalam bidang medis membuktikan bahwa merokok bisa
menimbulkan berbagai penyakit. Sampai hari ini belum ada
seorang ilmuwan pun yang mampu membuktikan rokok itu
menyehatkan. Allah Swt melarang hambanya melakukan sesuatu
yang dapat menjerumuskan dirinya pada kebinasaan. Setiap hal
yang membahayakan dan mengganggu kesehatan, haram untuk
dikonsumsi.
Ketiga, merokok dapat mengganggu bahkan mencelakai
orang disekelilingnya. Bau rokok sangat tidak disenangi sehingga
dapat menyakitkan hati orang-orang yang tidak menghisap rokok.
Penelitian menunjukkan orang yang berada di sekitar perokok—
bisa disebut perokok pasif—akan terkena dampaknya, bahkan
lebih parah, karena perokok pasif imunitas tubuhnya lebih rentan
dibandingkan perokok aktif. Agama menjelaskan bahwa seorang
muslim yang baik adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya
baik dengan lisan ataupun perbuatannya. Rasulullah Saw
122
Merokok Fikih Kontemporer

menerangkan dalam sebuah hadisnya tentang bagaimana


seharusnya seseorang bersikap dan bertindak, sehingga tidak
sampai menyakiti dan menyusahkan orang lain. Hadis tersebut
berbunyi:

... ‫َاْل ُم ْل ِل ُم َا ْل َا ِل َا ْل ُم ْل ِل ُم َاو ِل ْل ِل َا اِلِل َا َا ِل ِل‬


Artinya:
“Orang Islam (yang sempurna itu) adalah orang yang kaum muslimin
selamat dari lisan dan tangannya...“ (H.R. Bukhari)6
Keempat, merokok akan merusak lingkungan dalam skala
global. Penelitian menunjukkan bahwa di antara penyebab
kerusakan ozon adalah asap rokok. Allah mengharamkan umat
manusia untuk membuat kerusakan, baik dalam skala mikro
maupun global. Firman Allah dalam surat Al-A’raf/7 yat 56:
   
Artinya:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi“ Dampak
lain dari rokok7 adalah:
1. Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 bahan kimia yang
200 diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya dapat

6Achmad Sunarto dan Syamsuddin Noor, Himpunan Hadits Shahih

Bukhari, An-Nur, Jakarta, 2005, hal. 277


7http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok godam64, dengan topik ” Efek

Bahaya Asap Rokok Bagi Kesehatan Tubuh Manusia - Akibat Sebatang Rokok
Racun, Ketagihan, Candu, Buang Uang Dan Dosa“, diakses tanggal 17 Juni
2010

123
Merokok Fikih Kontemporer

menyebabkan kanker bagi tubuh. Beberapa zat yang sangat


berbahaya yaitu tar, nikotin, karbon monoksida, dsb.
2. Asap rokok yang baru mati di asbak mengandung tiga kali
lipat bahan pemicu kanker di udara dan 50 kali mengandung
bahan pengeiritasi mata dan pernapasan. Semakin pendek
rokok semakin tinggi kadar racun yang siap melayang ke
udara. Suatu tempat yang dipenuhi polusi asap rokok adalah
tempat yang lebih berbahaya daripada polusi di jalan raya yang
macet.
3. Seseorang yang mencoba merokok biasanya akan ketagihan
karena rokok bersifat candu yang sulit dilepaskan dalam
kondisi apapun. Seorang perokok berat akan memilih
merokok daripada makan jika uang yang dimilikinya tidak
cukup atau terbatas.
4. Harga rokok yang mahal akan sangat memberatkan orang
yang tergolong miskin, sehingga dana kesejahteraan dan
kesehatan keluarganya sering dialihkan untuk membeli rokok.
Rokok dengan merek terkenal biasanya dimiliki oleh
perusahaan rokok asing yang berasal dari luar negeri, sehingga
uang yang dibelanjakan perokok sebagian akan lari ke luar
negeri yang mengurangi devisa negara. Pabrik rokok yang
mempekerjakan banyak buruh tidak akan mampu
meningkatkan taraf hidup pegawainya, sehingga apabila
pabrik rokok ditutup para buruh dapat dipekerjakan di tempat
usaha lain yang lebih kreatif dan mendatangkan devisa.
5. Sebagian perokok biasanya akan mengajak orang lain yang
belum merokok untuk merokok agar merasakan penderitaan
yang sama dengannya, yaitu terjebak dalam ketagihan asap
rokok yang jahat. Sebagian perokok juga ada yang secara
sengaja merokok di tempat umum agar asap rokok yang
124
Merokok Fikih Kontemporer

dihembuskan dapat terhirup orang lain, sehingga orang lain


akan terkena penyakit kanker.
6. Kegiatan yang merusak tubuh adalah perbuatan dosa,
sehingga rokok dapat dikategorikan sebagai benda atau
barang haram yang harus dihindari dan dijauhi sejauh
mungkin. Ulama atau ahli agama yang merokok mungkin
akan memiliki persepsi yang berbeda dalam hal ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa merokok merupakan
kegiatan tidak berguna dan sia-sia yang dilakukan manusia yang
mengorbankan uang, kesehatan, kehidupan sosial, pahala,
persepsi positif, dan lain sebagainya.

D. Ulama yang Mengharamkan dan Memakruhkan


Merokok
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama
dalam hal menetapkan hukum merokok. Sebagian berpendapat
haram, sebagian berpendapat makruh, sebagian lagi mengatakan
boleh (mubah), dan pandangan ini terutama disampaikan oleh
para ulama yang terlanjur mengonsumsinya, dan sebagian lagi
tidak memberi hukum secara mutlak, tetapi menetapkan hukum
secara rinci. Bahkan sebagian lagi dari mereka berdiam diri, tidak
mau membicarakannya, dalam artian tidak menetapkan apakah
hukum merokok itu boleh atau tidak.
Sebagian besar atau mayoritas ulama mengharamkan
(tidak membolehkan) ataupun memakruhkan (sebaiknya
ditinggalkan) merokok berdasarkan beberapa alasan di antaranya
sebagai berikut:
1. Menimbulkan kecanduan yang merusak akal sebagaimana
barang yang memabukkan, padahal setiap yang berpotensi
125
Merokok Fikih Kontemporer

memabukkan (muskir) itu hukumnya haram. Memabukkan di


sini maskudnya segala sesuatu yang dapat menutup dan
meracuni akal, meskipun hanya sebatas tidak ingat terutama
bagi pemula.
2. Melemahkan daya tahan tubuh. Kalaupun merokok itu tidak
sampai memabukkan, minimal rokok dapat menurunkan daya
tahan dan kekebalan tubuh. Dalam sebuah hadis dari Ummu
Salamah r.a.:
‫َا َّنو َا َّناِل صَّنى هللا عَاي ِل َّن اَاهى ع ُمك ِلل ِلك ٍر ِل‬
‫ض ٍر‬ ‫َا ُم َا ْل َا َا َا َا َا ْل ُم ْل َا ُم‬ ‫َا ُم ْل‬
Artinya:
“Bahwa Rasulullah Saw melarang segala sesuatu yang memabukkan
dan melemahkan“ (H.R. Ahmad dan Abu Daud).
3. Menimbulkan mudharat yang mencakup. a. Mudharat jasmani,
di mana rokok dapat menjadikan badan lemah, wajah pucat,
terserang batuk, merusak kesehatan mulut dan gigi, bahkan
dapat menimbulkan penyakit saluran pernapasan dan paru-
paru. Dalam konteks ini, tepat sekali perkataan sebagian
ulama bahwa tidak ada perbedaan tentang haramnya sesuatu
yang membahayakan, baik bahaya itu datang seketika maupun
bertahap. Bahkan yang bertahap inilah yang lebih sering
terjadi; b. Mudharat finansial, yaitu membakar uang secara sia-
sia yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tabzir
(menyia-nyiakan harta) yang dibenci Allah, dengan
membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaat

126
Merokok Fikih Kontemporer

bagi badan dan roh, tidak bermanfaat di dunia dan di akhirat,


bahkan justru membahayakan8
Di antara para ulama yang mengharamkan merokok
adalah:
1. Syaikh asy-Syihab al-Qalyubi.
Beliau menjelaskan hukum merokok ini pada Bab Najis
dalam hasyiyah-nya atas kitab karangan al-Jalal al-Mahalli yang
mengomentari kitab al-Minhaj-nya Imam Nawawi. Setelah al-
Qalyubi menerangkan bahwa setiap benda cair yang
memabukkan—seperti arak dan sejenisnya—adalah najis, dia
berkata: “Berbeda dengan benda cair yang memabukkan
tersebut, benda-benda (non cair) seperti candu—dan benda lain
yang dapat membahayakan pikiran—tidak dihukumi najis.
Artinya, barang-barang seperti itu suci hukumnya, meskipun
haram menggunakannya mengingat barang tersebut dapat
membahayakan. Rokok termasuk barang yang diserupakan
dengan candu. Jadi tembakau (rokok)-nya tetap suci, namun
haram digunakan/dirokok. Sebab, salah satu efek rokok adalah
membuka saluran tubuh sehingga mempermudah masuknya
penyakit berbahaya ke dalam tubuh. Oleh sebab itulah,
merokok kerap kali menimbulkan lesu dan sesak nafas, ataupun
gejala lain yang sejenis. Bahkan, sumber yang dapat dipercaya
menyatakan bahwa sesungguhnya merokok dapat menimbulkan
perasaan kepala berputar-putar alias “puyeng“. Demikian

8SetiawanBudi Utomo. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,


Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hal. 210

127
Merokok Fikih Kontemporer

keterangan al-Qalyubi dengan beberapa penjelasan dan


penyingkatan di sana-sini9
2. Al-Muhaqqiq al-Bujairimi.
Al-Muhaqqiq al-Bujairimi berkata, “Mengkonsumsi
sesuatu yang dapat membahayakan badan atau pikiran
hukumnya adalah haram. Kaidah ini berkonsekuensi pada
diharamkannya rokok. Sebab, sebagaimana sudah masyhur,
dalam arti sudah diakui oleh para peneliti, rokok menimbulkan
efek negatif yang dapat membahayakan tubuh si perokok10
3. Syaikh Abdullah ibn Alwi al-Haddad
Beliau berkata dengan tegas bahwa menghisap rokok
hukumnya haram, demikian pula menghirup (dengan hidung)
pun sama haramnya11
Menghirup rokok dengan hidung lebih jelek daripada
menghisapnya melalui mulut. Sebab, dengan menghirup, asap
rokok akan terbawa napas langsung ke otak dan bersamaan
dengan itu akan mepengaruhi panca indera. Kesimpulannya,
baik menghirup rokok maupun menghisapnya sama-sama dicela
ulama. Hanya saja, menghirup lebih buruk, lebih
membahayakan dan lebih merugikan karena napas akan
langsung membawa racun-racun yang terkandung dalam asap
rokok menuju otak, sehingga efek negatifnya akan lebih
berpengaruh terhadap panca indera yang pusat syarafnya berada
di sana.

9 Lihat: Syaikh Ihsan Jampes, Op. cit., hal. 36-37


10 Ibid., hal. 38-39
11 Ibid., hal. 46

128
Merokok Fikih Kontemporer

Dalam catatan Yusuf Qardhawi12, di antara ulama yang


mengharamkan dan melarang merokok ialah Syekhul Islam
Ahmad as-Sanhuri al-Bahuti al-Hambali dan dari kalangan
mazhab Maliki ialah Ibrahim al-Laqqani (keduanya dari Mesir);
Abdul Ghats al-Qasysy al-Maliki (dari Maroko); Najmuddin bin
Badaruddin bin Mufassiril Qur’an; dan al-Arabi al-Ghazzi al-
’Amiri asy-Syafi’i (dari Damaskus); Ibrahim bin Jam’an dan
muridnya Muhammad bin Allamah, serta Sayyid Umar
Khawajah, Isa asy-Syahwai al-Hanafi, Makki bin Faruh al-
Makki, dan Sayyid Sa’ad al-Balkhi al-Madani (dari Turki).
Aam Amiruddin cenderung tidak membolehkan
merokok (haram) dengan alasan yang bersumber dari Al-Qur’an
dan sunah, yang dapat dijadikan alasan bagi orang-orang
beriman berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkan merokok.
Jangan malah mencari pembenaran demi melegalkan apa yang
Allah Swt murkai13
Barangkali fatwa yang paling objektif, jujur, adil, dan
paling tepat alasannya dalam masalah ini, adalah yang
dikemukakan oleh Syekh Mahmud Syaltut, Guru Besar dan
Mufti al-Azhar yaitu bahwa kalaupun rokok tidak menjadikan
mabuk dan tidak merusak akal tetapi masih menimbulkan
mudharat yang dapat dirasakan pengaruhnya pada kesehatan
orang yang merokok dan yang tidak merokok. Padahal dokter
telah menjelaskan bahwa unsur-unsur yang ada di dalamnya

12 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terjemahan oleh Drs


As’ad Yasin, Jilid 1, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hal. 825
13Aam Amiruddin, Bedah Masalah Kontemporer: Ibadah dan Mu’amalah,

Cetakan V, Khazanah Intelektual, Bandung, 2008, hal. 30


129
Merokok Fikih Kontemporer

diketahui mengandung racun, meskipun berproses lambat yang


akan dapat merampas kebahagiaan dan ketenteraman hidup
manusia. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa rokok dapat
menimbulkan gangguan dan mudharat, sedangkan hal ini
merupakan sesuatu yang buruk dan terlarang menurut
pandangan Islam. Di sisi lain, pengeluaran belanja untuk rokok
sebenarnya dapat digunakan untuk sesuatu yang lebih baik dan
bermanfaat. Maka, dari sudut pandangan ini, jelas-jelas bahwa
merokok dilarang dan tidak dibolehkan syariat14 Dengan kata
lain bahwa merokok adalah suatu pekerjaan yang sia-sia dan
tidak bermanfaat.
Adapun para ulama yang berpandangan dan
mengatakan bahwa merokok itu makruh mengemukakan alasan
sebagai berikut:
1. Merokok itu tidak lepas dari dharar (bahaya), lebih-lebih jika
terlalu banyak melakukannya. Sedangkan sesuatu yang
sedikit itu bila diteruskan akan menjadi banyak.
2. Mengurangkan harta. Kalau tidak sampai pada tingkat
tabdzir, israf, dan menghambur-hamburkan uang, maka ia
dapat mengurangkan harta yang dapat digunakan untuk hal-
hal yang lebih baik dan lebih bermanfaat bsgi sahabatnya
dan bagi orang lain.
3. Bau dan asapnya mengganggu serta menyakiti orang lain
yang tidak merokok. Segala sesuatu yang dapat
menimbulkan atau berakibat hal seperti ini makruh
menggunakannya, seperti halnya memakan bawang mentah,

14 Setiawan Budi Utomo, Op. cit., hal. 211-212


130
Merokok Fikih Kontemporer

kucai, dan sebagainya (yang baunya dapat mengganggu


orang lain).
4. Menurunkan harga diri bagi orang yang mempunyai
kedudukan sosial terpandang.
5. Dapat melalaikan seseorang untuk beribadah secara yang
sempurna.
6. Bagi orang yang biasa merokok, akan membuat pikirannya
kacau jika pada suatu saat ia tidak mendapatkan rokok.
7. Jika perokok menghadiri suatu majelis, ia akan mengganggu
orang yang lain, maka hendaklah ia malu melakukannya15
Apapun yang dapat mengusik ketenangan orang lain
seperti yang berasal dari makanan dengan mengkonsumsi bawang
mentah, petai dan sejenisnya yang menimbulkan bau hukumnya
adalah makruh. Demikian juga dengan rokok, asap yang
ditimbulkannya akan mengganggu orang lain yang tidak merokok.
Orang merasa terganggu dan tidak nyaman. Maka dengan
demikian hukumnya juga adalah makruh, artinya lebih baik
ditinggalkan.Demikian antara lain alasan yang dikemukakan oleh
ulama yang berpandangan bahwa hukum merokok adalah
makruh.

E. Ulama yang Membolehkan Merokok


Adapun ulama yang tidak mengharamkan atau
membolehkan merokok, di antaranya ialah:
1. Al-Imam Abd al-Ghani an-Nabilisi.
Al-Imam Abd al-Ghani an-Nabilisi adalah pengikut
mazhab Hanafi, yang telah membuat suatu karangan khusus

15 Yusuf Qardhawi, Op. cit., hal. 825-826


131
Merokok Fikih Kontemporer

yang mencoba menawarkan dalil-dalil sahih tentang halalnya


rokok. Risalah tersebut dinamainya ash-Shulh bain al-Ikhwan fi
Hukm Ibahah Syarh ad-Dukhan (Mendamaikan para kawan; Kitab
tentang bolehnya merokok)16
2. Al-Barmawi.
Al-Barmawi dengan mengutip kata-kata yang disampaikan
gurunya (Al-Babily) berkata, “Menghisap rokok hukumnya
halal. Keharamannya bukan karena rokok itu sendiri haram
(haram li dzatih), namun karena ada unsur dan faktor luar yang
mempengaruhi ataupun merubah hukum halal itu“17
Contoh unsur luar tersebut adalah bahaya (mudharat) yang
timbul dan dipicu oleh rokok. Selanjutnya Al-Barmawi
berpendapat bahwa hukum merokok pun menjadi relatif.
Ketika rokok tidak membuat seseorang tertimpa mudharat
tertentu, tidak mebahayakan dirinya, maka merokok tidak
haram baginya. Sebaliknya, ketika seseorang dipastikan akan
mendapat bahaya jika dia merokok—baik berdasarkan
informasi dari seseorang yang ahli dan terpercaya maupun dari
hasil pengalaman orang yang bersangkutan—maka hukum
rokok menjadi haram baginya18
Dapat dikatakan bahwa rokok bukanlah haram li dzatih.
Jika dipahami pendapat para ulama dari berbagai mazhab, dapat
disimpulkan bahwa menghalalkan barang yang sifat aslinya tidak
berefek “menghilangkan kesadaran“ adalah merupakan perkara

16 Syaikh Ihsan Jampes, Op. cit., hal. 52


17 Ibid., hal. 54-55
18 Ibid., hal. 55

132
Merokok Fikih Kontemporer

yang tak terbantahkan, yang semua orang berakal tidak mungkin


mengingkarinya.
Mengkonsumsi rokok sama sekali tidak berakibat pada
hilangnya kesadaran. Di sisi lain, rokok juga tidak najis. Segala
sesuatu yang demikian sifatnya, tidaklah ia haram karena
dirinya sendiri (lidzatih), sebaliknya, ia mungkin menjadi haram
karena adanya unsur luar. Dengan demikian, rokok menjadi
haram hanya bagi orang yang—seandainya ia merokok—akan
terkena mudharat. Tidak haram atas orang yang lain. Adapun
klaim bahwa rokok membawa mudharat bagi semua orang
secara mutlak, perlu ditinjau kembali. Bagaimana mungkin
mudharat rokok bersifat mutlak, jika dengan kasat mata dapat
ditemui, bahwa kebanyakan orang yang merokok tetap sehat.
3. Ar-Rusyd.
Pendapatnya tertuang dalam Hasyiyah ’ala Nihayah. Dalam
buku tersebut dia berkata, “Tidak adanya dalil yang dapat
dijadikan dasar untuk mengharamkan rokok adalah dalil bahwa
menghisap dan mengkonsumsi rokok hukumnya mubah“19
4. Syaikh ’Ali al-Ajhuriy.
Beliau berfatwa bahwa rokok halal hukumnya, kecuali
bagi orang-orang tertentu yang mungkin dapat hilang
kesadarannya karena rokok dan bagi mereka yang badannya
akan mendapat mudharat (bahaya) jika merokok20
Di samping itu, ada juga alasan lain yang dikemukakan
oleh beberapa orang ulama ketika menghalalkan rokok. Bahwa
“merokok tidak termasuk kejelekan pekerti. Sungguh, bahkan

19 Ibid., hal. 59
20 Ibid., hal. 61
133
Merokok Fikih Kontemporer

tidak ada nash syar’i yang mengatakan keharamannya sehingga


hukum rokok kembali kepada hukum asal segala sesuatu, yaitu
mubah dan boleh. Terkadang, rokok justru membantu
seseorang memperoleh fashahah, kefasihan lidah. Terkadang
pula, rokok dapat membangkitkan semangat seseorang dari
kelesuan“21
Dapat disimpulkan bahwa pro dan kontra tentang rokok
dapat dilihat dari berbagai aspek. Bagi yang terbiasa merokok
mendapatkan kenikmatan dari output rokok, perokok juga
mengklaim bahwa rokok dapat meningkatan ketekunan bekerja,
meningkatkan produktivitas dan lain-lain. Tetapi klaim ini sulit
untuk dibuktikan karena adanya nilai abstrak yang terlibat dalam
output merokok. Para ahli malah memperkirakan bahwa rokok
tidak ada hubunganya dengan klaim-klaim di atas. Malah terjadi
sebaliknya, menurunnya produktivitas seseorang karena merokok
akibat terbaginya waktu bekerja dan merokok.

21Ibid., hal. 60-61


134
Merokok Fikih Kontemporer

135
BAB 9
BERPACARAN MENURUT ISLAM

A. Pengertian Berpacaran dan Dampaknya.


Berpacaran berasal dari kata “pacar” yang artinya teman
lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan
cinta kasih1. Berpacaran artinya adalah “bercintaan” atau
“berkasih-kasihan”2
Cinta adalah anugerah Allah Swt dan dia akan
berkembang menjadi cinta yang hakiki (sebenarnya) apabila
manusia yang beriman mengisinya dengan amal-amal saleh yang
bermanfaat baik bagi dirinya ataupun bagi orang lain.
Cinta seorang laki-laki kepada lawan jenisnya begitu juga
cinta wanita sebelum menikah sering disebut cinta semu. Cinta itu
hanya bersifat sementara dan sangat rapuh. Cinta pada
pandangan pertama adalah awal dari cinta selanjutnya. Dan itu
sangat terbatas pada kekaguman kepada wajah yang cantik
ataupun pakaian yang bagus, atau kekayaan (materi) yang dimiliki.
Masing-masing terbatas kepada keinginan menikmati yang manis-
manis dan yang indah-indah saja.
Ada pandangan bahwa cinta itu harus dibentuk dan
ditumbuhkan sebelum kawin. Sebagai refleksi dari pernyataan ini,
maka dilakukan suatu cara bergaul yang dinamai “pacaran”.
Karena tidak mempunyai norma-norma agama dan tradisi yang
disepakati masyarakat, maka pacaran sering berakibat fatal.

1Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 807
2 Ibid.
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

Biasanya yang menjadi korban adalah wanita. Ada yang ditipu


atau ditinggalkan dan malah ada yang sampai dihamili.
Berpacaran yang umumnya dilakukan oleh anak-anak
muda, jelas menyalahi dari norma-norma agama. Karena
berpacaran di sini bukan dimaksudkan untuk menuju kepada
perkawinan, tetapi hanya sekedar iseng, mengikuti trend yang
terjadi di kalangan anak muda, dan hanya semata-mata menuruti
nafsu birahi.
Salah satu dampak modernisasi adalah terancamnya
lembaga perkawinan dan tata cara pergaulan yang semakin
menyimpang dari kaidah-kaidah agama, misalnya hubungan
seksual di luar nikah, hidup bersama (kumpul kebo),
penyimpangan seksual dan lain sebagainya. Ini semua berawal dari
kebebasan berpacaran yang dilakukan.
Dampak negatif dari berpacaran yang tidak terkendalikan
adalah pergaulan bebas di tengah-tengah masyarakat. Pergaulan
bebas sudah merupakan hal biasa. Persepsi terhadap zina sudah
berubah.
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, tidak
terbayangkan dampak dari berpacaran dan pergaulan bebas
karena didukung oleh internet, handphone, laptop dan sebagainya
yang sangat memudahkan untuk akses ke masalah-masalah
seksual. CD porno sangat mudah didapat, bahkan di tempat-
tempat tertentu diperjual belikan dengan bebas.
Kondisi ini jauh berbeda dengan keadaan hampir
setengah abad yang lewat, di mana pada ketika itu belum ada yang
namanya internet, handphone, laptop dan sebagainya. Sedangkan
masalah seksual akibat dari pergaulan bebas (berpacaran) dari
tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Tidak terbayangkan,
bagaimana dengan keadaan di masa akhir-akhir ini.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pada tahun
1972, Saparinah Sadli dan Zainul Biran menemukan bahwa

134
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

1,21% hingga 9,60% dari responden penelitian yang dilakukan


menyatakan setuju dengan hubungan badan sebelum nikah.
Enam tahun kemudian (1978), pernyataan serupa sebanyak 10%
dalam penelitian Sarlito yang bekerjasama dengan Majalah Gadis.
Tiga tahun berikutnya (1981), Majalah Tempo menemukan angka
yang setuju sebesar 17%. Lalu pada tahun yang sama, hasil
penelitian “Gerakan Remaja untuk Kependudukan” dan Radio
Prambors Jakarta menemukan angka 12% dari responden yang
tidak hanya setuju dengan hubungan badan sebelum nikah, tetapi
juga setuju hubungan dengan gonta ganti pasangan (free sex).
Indikasi sex bebas adalah tingginya angka penderita
penyakit kelamin di kalangan remaja. Di Surabaya, menurut
Dr.Moersintowai B.Narendra, M.Sc. kepala laboratorium Psikiatri
Sosial Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, ditemukan
sebanyak 457 penderita kencing nanah (GO) yang berobat di
RSU Dr. Sutomo Surabaya pada tahun 1987, dan sejumlah 224
orang adalah kaum remaja, 15% di antaranya adalah remaja putri
(perempuan).
Permasalahan ini merambah ke segenap lapisan
masyarakat, tidak terkecuali mahasiswa Islam. Penelitian Dr.Ali
Akbar yang dimuat dalam Majalah Panji Masyarakat,
menunjukkan fakta ini. Penelitian terhadap mahasiswa sejak tahun
1974 hingga 1981 di beberapa perguruan tinggi swasta di Jakarta,
Bogor dan Bandung menunjukkan bahwa para mahasiswa itu
telah “berkelana” terlalu jauh dalam kehidupan seksualitas. Sekitar
85,2% dari mereka mengaku pernah berpacaran dengan
melakukan perbuatan seksual. Antara lain berjalan berduaan
(79,6%), berpegang-pegangan tangan (81,1%), ciuman (68,5%),
pegang buah dada di balik baju (45,7%), pegang alat kelamin di
balik baju (35,2%), bersenggama (12,9%). Pada mahasiswa Islam,
rata-rata pernah berjalan berduaan dengan pacarnya (49,9%),

135
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

berpegang-pegangan tangan (46,3%), berciuman (14,3%),


dipegang buah dadanya di balik baju (2%).
Yang tidak kalah mengejutkan adalah tingkah laku
kelompok pimpinan mahasiswa Islam yang sedang melakukan
latihan kepemimpinan. Dari 21 orang pimpinan atau tokoh
mahasiswa Islam tersebut, sebanyak 42,8% pernah memegang
alat kelamin lawan jenisnya di balik baju, bersenggama (9,5%)
dan berhubungan seks dengan pelacur sebanyak 9,5%3
Kehidupan modern yang sangat materialistis, penuh
kebebasan dan tersingkirnya nilai-nilai agama, sangat mengancam.
Untuk mencegah bahaya ini, maka pergaulan bebas yang tidak
terkontrol harus menjadi perhatian, terutama oleh para orang tua.
Hubungan seksual yang dilakukan di luar kontek keluarga
sebenarnya adalah pengkhianatan terhadap kehormatan manusia.
Pada hubungan itu selalu akan melibatkan kemungkinan
terjadinya manusia baru dengan segala hak hidup dan
kehormatannya. Jika pasangan itu mempunyai status tidak kawin,
maka kedua orang itu telah menelantarkan kehormatan manusia.
Menurut Islam boleh berpacaran, selagi dalam berpacaran
itu tidak melangkahi dengan ketentuan-ketentuan yang telah
digariskan. Hukum berpacaran bisa bervariasi, wajib, sunat,
mubah, makruh, atau haram tergantung niat dan cara orang yang
melakukannya4
Dari contoh yang dikemukakan akibat dampak dari
berpacaran secara bebas, yang kejadiannya belum didukung oleh
alat komunikasi dan teknologi seperti sekarang ini, realitasnya
sangat memprihatinkan, apalagi dengan keadaan di masa akhir-
akhir ini. Akses internet ke situs porno yang jumlahnya jutaan,
dan itu sangat mudah dilakukan, tentu akan sangat berpengaruh

3 Majalah Panji Masyarakat, No.333, 21 Agustus 1981


4Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam
Kontemporer, Angkasa, Bandung, 2005, hal. 116
136
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

dan berdampak negatif terhadap perkembangan dan sikap anak-


anak muda.

B. Batasan Pergaulan Laki-laki dan Perempuan


Nafsu (gharizah) atau keinginan merupakan fitrah manusia.
Di antara sekian banyak keinginan itu ialah makan, dengan
makan perut menjadi kenyang, dan seseorang bisa terus hidup.
Dan ada pula nafsu seksual, dimana dengan tersalurnya nafsu ini
jenis manusia itu dapat berlangsung.
Sebagaimana dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi5 bahwa
gharizah yang berkenaan dengan seksual ini sangat kuat sekali pada
tubuh manusia. Oleh karena itu dia selalu minta tempat
penyaluran untuk memenuhi fungsinya dan memuaskan
keinginannya. Dan ini adalah merupakan fitrah manusia. Untuk
itu manusia pasti berhadapan dengan salah satu posisi sebagai
berikut:
1. Mungkin manusia akan melepaskan kendali seksualnya,
sehingga akan pergi ke mana saja dan berbuat apa saja tanpa
batas perisai yang membendungnya berupa agama, budi
ataupun adat. Situasi ini terjadi di kalangan aliran-aliran yang
bebas (free thinker) yang tidak beriman kepada Allah dan nilai-
nilai yang luhur. Situasi seperti ini cukup dapat menjatuhkan
derajat manusia kepada derajat binatang dan menghancurkan
pribadi dan rumah tangga serta masyarakat secara
keseluruhan.
2. Mungkin juga manusia akan menentang gharizah seksualnya
itu, seperti halnya yang terjadi di kalangan aliran-aliran yang
menganggap hubungan seksual itu suatu perbuatan yang
kotor (cemar), melarang perkawinan dan menganggap celaka

5Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Alih Bahasa H.


Mu’ammal Hamidy, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hal. 199-200
137
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

kalau kawin, seperti aliran Mano, kependetaan dan sebagainya.


Pendirian ini berarti suatu penguburan terhadap gharizah dan
menghilangkan fungsi gharizah seksual serta meniadakan
kebijaksanaan dari dzat yang menciptakannya serta melawan
aturan hidup yang mengatur gharizah ini supaya tersalur
sesuai dengan fungsinya.
3. Mungkin juga manusia akan membuat pembatas yang
beroperasi ke dalam, tanpa menjatuhkan derajat manusia dan
tanpa memberikan kebebasan yang kegila-gilaan itu.
Pendirian ini lebih menonjol lagi terdapat di dalam ajaran
Islam yang mengakui gharizah seksual ini. Untuk itu maka
dipermudah jalan-jalan penyalurannya, di samping Islam melarang
hidup membujang dan menjauhi perempuan. Kemudian dibuatlah
aturan-aturan yang melarang perbuatan zina dengan segala
macam manifestasi dan pendahuluannya.
Dalam menetapkan hukum, Islam melihatnya dengan
tujuan atau kemaslahatan yang ingin dicapai, atau dampak
negatif yang timbul. Sebaik-baik pedoman atau petunjuk adalah
Al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw. Orang yang mau
memperhatikan petunjuk ini, akan tahu bahwa kaum wanita tidak
pernah dipenjara atau diisolasi seperti yang terjadi pada zaman
kemunduran umat Islam.
Pada zaman Rasulullah Saw., kaum wanita biasa
menghadiri shalat berjamaah. Beliau menganjurkan wanita untuk
mengambil tempat khusus di shaf (baris) bagian belakang
sesudah shaf laki-laki.
Dalam Islam semua bagian tubuh yang tidak boleh
dinampakkan, disebut dengan aurat. Dalam batas-batas tertentu,
seperti untuk kepentingan bekerja dan menyangkut kepentingan
di bidang kedokteran, diberi rukhsah (keringanan) untuk
membuka anggota yang mestinya biasa terbuka dan memang
mengharuskan dibuka.

138
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

Allah memerintahkan kepada wanita hendaknya mereka


itu memakai jilbab ketika keluar rumah, supaya berbeda dengan
perempuan-perempuan non-muslim dan perempuan-perempuan
nakal. Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59:
         

            
Artinya: Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di
ganggu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebagian wanita jahiliah apabila keluar rumah, mereka
menampakkan sebagian kecantikannya, misalnya dada, leher dan
rambut, sehingga mereka ini diganggu oleh laki-laki fasik dan yang
suka iseng, kemudian turunlah ayat tersebut di atas yang
memerintahkan kepada wanita-wanita mukmin untuk
mengulurkan jilbabnya itu sehingga sedikitpun bagian-bagian
tubuhnya yang biasa membawa fitnah itu tidak tampak. Dengan
demikian secara lahiriah mereka itu dikenal sebagai wanita yang
baik yang tidak mungkin diganggu oleh orang-orang yang suka
iseng atau orang-orang munafik.
Islam mengharamkan zina, karena zina itu dapat
mengaburkan masalah keturunan, merusak keturunan,
menghancurkan rumahtangga, meretakkan perhubungan,
meluasnya penyakit kelamin, kejahatan nafsu dan merosotnya
akhlak. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 32:
        
Artinya:

139
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk“.
Islam, sebagaimana kita maklumi, apabila mengharamkan
sesuatu, maka ditutupnyalah jalan-jalan yang akan membawa
kepada perbuatan haram itu, serta mengharamkan cara apa saja
serta seluruh pendahuluannya yang mungkin dapat membawa
kepada perbuatan haram itu.
Justru itu pula, maka apa saja yang dapat membangkitkan
seks dan membuka pintu fitnah baik oleh laki-laki atau
perempuan, serta mendorong orang untuk berbuat yang keji atau
paling tidak mendekatkan perbuatan yang keji itu, atau yang
memberikan jalan-jalan untuk berbuat yang keji, maka Islam
melarangnya demi untuk menutup jalan berbuat haram dan
menjaga daripada perbuatan yang merusak6
Islam tidak membolehkan laki-laki berduaan dengan
perempuan lain yang bukan muhrim. Ini bukan berarti
menghilangkan kepercayaan kedua belah pihak atau salah satunya,
tetapi untuk menjaga kedua insan tersebut dari perasaan-perasaan
yang tidak baik yang menimbulkan gelora dalam hati ketika
bertemunya dua jenis itu, tanpa ada orang ketiga atau orang yang
menemaninya.
Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda melalui hadisnya
sebagai berikut:

‫ال الَ ََيْلُ َو َّن َر ُج ٌل ِِبِ ْمَراَةٍ إِّال َم َع ِذى ََْمَرٍم‬


َ َ‫صلَّى هللا َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ ِ
َ ‫َّب‬ ِِ
ِّ ‫َع ْن ابْن َعبَّاس عن الن‬
Artinya:

6Ibid., hal. 201


140
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

"Dari Ibnu Abbas r.a. dari Nabi Saw, beliau bersabda: Janganlah sekali-
kali seorang laki-laki berduaan saja dengan seorang wanita, melainkan
dengan didampingi seorang muhrim“ (H.R. Bukhari)7
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa manusia tidak
boleh percaya pada diri sendiri dalam hubungannya dengan
masalah bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak halal
baginya. Oleh karena itu menjauhi hal tersebut akan lebih baik
dan lebih dapat melindungi serta lebih sempurna penjagaannya.
Bukan hanya berdua-duaan, tetapi berpandang-pandangan
dengan penuh perhatian juga tidak dibolehkan. Pandangan adalah
jalan yang membawa kepada fitnah dan berujung pada nafsu
birahi. Oleh karena itulah Allah memperingatkan kepada orang-
orang mu'min baik laki-laki dan perempuan supaya menundukkan
pandangannya, diiringi dengan perintah untuk memelihara
kemaluannya. Firman Allah dalam surat An-Nur ayat 30-31:

         

           

          

         

          

           

7Zainuddin
Hamidy dkk.,Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Jilid IV,
Cetakan kedua, Widjaya, Jakarta, 1983, hal. 17

141
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

          

            

          
Artinya:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-
putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-
putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-
budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan
kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung“.
Yang dimaksud menundukkan pandangan, yaitu: menjaga
pandangan, tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehingga
dapat menelan perempuan-perempuan atau laki-laki yang beraksi.
Pandangan yang terpelihara, apabila memandang kepada jenis lain
tidak mengamat-amati kecantikannya dan tidak lama menoleh

142
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

kepadanya serta tidak melekatkan pandangannya kepada yang


dilihatnya itu8

C. Kriteria Calon yang Dipinang dan yang Meminang.


Seorang laki-laki terkadang berkenalan dengan seorang
perempuan dengan cara yang tidak sengaja. Pada usia-usia puber
atau mendekati puber biasanya perkenalan ini tidak memiliki
tujuan yang matang. Bahkan bisa jadi selanjutnya hanya
menimbulkan masalah yang tidak baik. Penyebab hal tersebut
adalah ketidakmampuan keduanya dalam mengemban tanggung
jawab atas sikap mereka berdua yang diakibatkan karena
ketidakmatangan pikiran dan ketidak mapanan mereka.
Seseorang terkadang juga berkenalan dengan seorang
perempuan untuk tujuan tertentu, yaitu sampai pada jenjang
pernikahan. Apabila keinginan tersebut akan dilaksanakan, yaitu
untuk mendirikan rumah tangga, maka dalam batas-batas tertentu
dibolehkan mengenal calon yang akan dijadikan isteri sebagai
proses awal dalam rangka untuk melakukan lamaran atau
peminangan.
Masalah peminangan bisa dianalogikan dalam istilah
sekarang dengan “pacaran”, artinya sudah kenal mengenal antara
seorang pria dengan seorang perempuan. Tetapi bukan pacaran
yang diartikan bergaul bebas dalam arti mendekati zina atau
berzina.
Di dalam kajian fikih Islam, bertunangan atau
peminangan disebut dengan al-Khitbah. Wahbah Al-Zuhaily
mengatakan bahwa bertunangan atau meminang menunjukkan
keinginan untuk kawin dengan seorang atau wanita tertentu dan
memberitahukan kepadanya atau walinya tentang hal itu.

8Yusuf Qardhawi, Op. cit., hal. 206


143
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

Pemberitahuan itu bisa dianggap sempurna, langsung atau


perantara walinya9
Makna bertunangan—yang memiliki hubungan dengan
pernikahan—adalah meminta pihak lain (calon pasangan) untuk
setuju menikah dengan pihak yang melamar. Pertunangan adalah
janji untuk melakukan akad nikah sebelum dilaksanakannya akad
nikah tersebut. Oleh karena itu, pertunangan ini dianggap sebagai
bagian dari pembuka diadakannya pernikahan.
Sehubungan dengan kedudukan perkawinan yang
merupakan dasar dan awal pembentukan masyarakat, maka Islam
membenarkan kepada calon yang akan mendirikan rumah tangga,
untuk meninjau pasangan hidupnya dari berbagai segi melalui
pertunangan atau peminangan. Pertunangan atau peminangan itu
merupakan mukaddimah perkawinan. Peminangan perlu
mendapat perhatian yang serius, guna melestarikan perkawinan
yang mantap dan dapat mencapai mawaddah warahmah yang
berdasarkan syari’at Islam sesuai dengan perkembangan zaman.
Di samping itu, perkawinan bertujuan melestarikan keturunan
dan mengandung unsur mendidik jiwa manusia agar bertambah
kelembutan jiwanya dan kecintaannya10. Lebih-lebih lagi pada
masa sekarang ini masalah seksual erat kaitannya dengan
kebutuhan biologis manusia. Untuk itu, perlu ditegakkan tata
krama seksual atas dasar-dasar ajaran agama, bukan kebebasan
mutlak bagi individu pria dan wanita. Dengan demikian, masalah
ini harus dikembalikan pada sistem yang mendekati tata krama al-
Qur’an dan al-Sunnah yang dapat menjaga hubungan sehat
perkawinan yaitu dengan cara meminang. Hal ini sebagai upaya

9Wahbah Al-Juhaily, Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuh, Jilid VII, Dar El-

Fikri, Beirut, 1985, hal, 10


10Zahri Hamid, Pokok Hukum Perkawinan dan Undang-Undang

Perkawinan di Indonesia, Bima Cipta, 1975, hal. 98


144
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

pelestarian generasi penerus, pelanjut keturunan yang bahagia


lahir dan batin11.
Seorang pria yang bermaksud akan melakukan akad nikah
dengan seorang perempuan, perlu mengenal calon istrinya itu
demikian juga sebaliknya. Dengan mengetahui seluk beluk dan
hal-ihwal calon istri atau sebaliknya akan menimbulkan
kemantapan atau gambaran yang konkrit tentang kemampuan
calon suami isteri itu mengemban amanah rumah tangga serta
mewujudkan cita-cita keluarga yang sejahtera. Calon suami perlu
melihat dari dekat calon istrinya dan sebaliknya bagi calon istri.
Hal ini dilakukan untuk saling mengadakan evaluasi seperlunya
dan untuk menimbulkan gairah satu sama lain, sehingga akad
perkawinan yang akan dilaksanakan, benar-benar atas keridhaan
masing-masing. Inilah tujuan pacaran yang dibenarkan oleh Islam.
Adapun istilah melihat ini dikenal dengan nazhar atau
ta’aruf dalam bahasa Arab. Nazhar artinya melihat dari dekat yang
dilakukan oleh calon suami terhadap calon istri atau sebaliknya
dalam batas-batas kesopanan, dalam rangka menuju perkawinan.
Sedang ta’aruf artinya saling mengenal kepribadian masing-
masing calon suami istri menurut cara yang sebaik-baiknya12. Atau
dengan cara memandang wajah serta kedua tangannya dan
dengan berbicara secara musyafahah13
Pertunangan sangat penting artinya untuk media saling
mengenal lebih jauh antara calon suami dan istri. Namun hal
penting yang harus dipahami adalah, bahwa pertunangan hanyalah
semata janji untuk menikah, dan bukanlah pernikahan. Karena
itu, pertunangan tidak dapat menghalalkan sesuatu yang

11 Huzaimah Tahido, Op. cit., hal. 116


12T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam Mempunyai Daya Elastis,
Lengkap, Bulat dan Tuntas, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hal. 98
13Al-Syaukany, Nail Al-Authar, Musthafa Al-Baby AHalaby, Mesir,
t.t. hal. 110
145
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

diharamkan di antara laki-laki dan perempuan. Artinya walaupun


sudah bertunangan, secara hukum syara’ antara satu dengan yang
lain, tetaplah orang lain. Dan karena itu pula dalam keadaan dan
karena alasan tertentu mereka dapat berpaling dari perjanjian ini.
Kemudian segala bentuk pemberian yang diberikan oleh pihak
peminang kepada perempuan yang dipinangnya, bukanlah
pemberian wajib, tapi dianggap hadiah untuk menunjukkan
kemauan yang kuat dan kesungguhan hati14
Sementara akhir-akhir ini ada pandangan yang
menyatakan bahwa lamaran itu tidak selalu harus oleh laki-laki
kepada perempuan, tetapi juga bisa dari perempuan kepada laki-
laki, sehingga perkawinan tidak hanya dipandang sebagai langkah
untuk mengambil perempuan sebagai istri, tetapi juga sebagai
langkah untuk mengambil laki-laki sebagai suami. Menurut para
pendukung pandangan ini adalah salah satu langkah untuk
mendukung persamaan antara laki-laki dan perempuan...15
Jadi perkenalan kepada wanita, terutama untuk maksud
pertunangan dibolehkan, asal saja dengan cara yang sopan dan
tidak melanggar tata krama yang telah diajarkan dan digariskan
oleh Islam. Sehubungan dengan hal tersebut Rasulullah Saw telah
menyebutkan dalam sebuah hadisnya yang berbunyi:

‫ي ِمْنَي َها بَيَ ْ َ َما َ ْ ُع ْوا إِ ََْيل َها ََي ْليََي ْ َ ْل‬ ِ
َ ‫اذَا َ َ َ اَ َ ُ ُ ُم اْ َْراََة قَْ َرَ ْن َيََر‬
Artinya: “Rasulullah Saw bersabda: Apabila seseorang dari kamu hendak
meminang seorang wanita dan dapat melihat bagian-bagian dari tubuhnya,
hendaklah melakukannya” (H.R. Ahmad)16

14Isnawati Rais. Hukum Perkawinan Dalam Islam, Badan Litbang dan

Diklat Dep. Agama, Jakarta, 2006, hal. 61


15Ibid., hal. 62
16Muhammad Faiz Al-Math, 1100 Hadis Terpilih Sinar Ajaran
Muhammad, Terjemahan oleh A.Aziz Salim Basyarahil, Cetakan kedua, Gema
Insani Press, Jakarta, 1992, hal. 231
146
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

Dianjurkan melihat calonnya dari dekat, untuk saling


mengenal satu sama lain, sehingga terjadi kesepakatan untuk
membina rumah tangga, sebagaimana sabda Nabi Saw,:
َ‫اُْ ُْر اِلَْيَي َها َاِ َّهُ اَ ْ َرى اَ ْن َيُ ْ َ َم بْيَينَ ُ ا‬
Artinya:
“”Lihatlah kepadanya, karena dengan melihat kepadanya akan bisa
melanggengkan perkawinan kalian berdua” (H.R. Turmudzi)17
Hadis ini menjelaskan bahwa seorang pria yang
bermaksud akan mengawini seorang perempuan, disunatkan
melihat calon istrinya sebelum meminangnya, meskipun tanpa ada
keizinannya. Tujuan dianjurkan untuk melihat calon yang
dipandang itu, agar lebih meyakinkan hati dan menimbulkan
kemantapan. Sehingga tidak akan menimbulkan penyesalan di
kemudian hari. Dengan demikian, dapat diketahui cacat celanya,
sehingga mudah untuk memutuskan apabila rencana itu
diteruskan atau dibatalkan.
Jadi dengan saling berkenalan maka terjadilah saling
mengetahui dan mengenal sifat, bakat, dan identitas antar
keduanya. Di samping itu, dapat pula diketahui keistimewaan dan
kelebihan serta kekurangannya, memahami keadaan yang
sewajarnya, mengenal suara hatinya dan mengenal cita-cita masa
depannya18
Mengenai waktu melihat calon suami atau istri itu
dilakukan sebelum meminang karena jika setelah meminang
kemudian membatalkan maka akan melukai hatinya. Namun, jika
dilakukan sebelum meminang maka tidak ada masalah kalau tidak
dilanjutkan (tidak meminang)19. Dengan ketentuan inilah, maka
dibolehkan melihat calon suami atau istri sebelum meminang.

17Moh. Zuhri dkk, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Jilid 2, Asy-Syifa,

Semarang, 1992, hal. 412


18 Huzaimah Tahido, Op. cit., hal. 119
19Ibid.

147
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

Berkaitan dengan lamaran atau pertunangan ini,


Muhammad Nabil Kazhim20 dalam bukunya Kaifa Takhaththith
Masyruu’ Zawaj Naajih menjelaskan bahwa hal tersebut memiliki
beberapa hukum, di antaranya:
1. Lamaran tidak dianggap sebagai akad atau pernikahan, tetapi
merupakan janji untuk pernikahan yang tidak ada keharusan
untuk melakukannya.
2. Lamaran disyari’atkan agar kedua pihak yang melamar saling
mengenal dan lebih dari itu mengenal keluarga masing-
masing.
3. Pria yang melamar ketika berkenalan dengan wanita yang
dilamar harus ditemani oleh seorang muhrim.
4. Lamaran ini disyariatkan untuk mencegah sikap tergesa-gesa
dalam mengambil keputusan untuk menikah seolah-olah dia
bukan orang yang terpelajar.
5. Kedua belah pihak yang terlibat dalam lamaran (pria dan
wanita) tidak diperbolehkan melakukan khalwat (menyendiri).
Tidak diperbolehkan pula pria menyentuh wanita yang akan
dilamarnya.
6. Tidak diperbolehkan melamar wanita jika pihak wanita telah
memberikan persetujuan lamaran orang lain (pelamar
pertama).
7. Hadiah yang bentuknya biasa (sederhana) yang diberikan oleh
pria yang melamar kepada wanita yang dilamar tidak harus
dikembalikan jika pihak pria menarik lamarannya.
8. Tidak diperbolehkan melamar wanita yang sedang dalam
keadaan ’iddah, kecuali setelah ’iddahnya itu berakhir. Kepada
wanita seperti ini diperbolehkan menyampaikannya dengan

20 Muhammad Nabil Kazhim, Kaifa Takhaththith Masyruu’ Zawaj Naajih,


Diterjemahkan oleh Nashirul Haq, Lc dengan judul “Panduan Pernikahan
Ideal”, Irsyad Baitus Salam, Bandung, 2009, hal. 151-152
148
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

memberikan penjelasan wakil, bukan dengan cara berkata


terus terang.
9. Menjaga rahasia-rahasia rumah tersebut saat melakukan
lamaran atau ketika pria tersebut memutuskan untuk menarik
lamarannya.
10. Tidak diperbolehkan menunjukkan sikap dibuat-buat,
membebani, dan berdusta pada saat melamar. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi mudharat (bahaya) di masa
mendatang ketika telah menikah.
Idealnya ketika memilih calon istri hendaklah
berpedoman dengan hadis Nabi Saw dari Abu Hurairah sebagai
berikut:
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ َ‫تَُيْن َ ُح الْ َ ْرَةُ الَْربَ ٍع ٍٍ ل َ اِلَا َوِلَ َسبِ َها َو ََجَاِلَا َول ْن َها َاظْ َ ْربِ َذات ال ّ ْ ِن تَ ِرب‬
‫ت َ َ َاك‬
Artinya:
“Wanita dinikahi karena empat hal: karena harta bendanya, karena status
sosialnya, karena keindahan wajahnya, dan karena ketaatannya pada
agama. Pilihlah wanita yang taat kepada agama, maka kamu akan
berbahagia” (H.R. Bukhari)21
Dari hadis tersebut dipahami, bahwa sudah merupakan
keinginan seseorang, apabila akan memilih calon istri,
kecenderungannya tidak terlepas dari empat faktor yang telah
disebutkan. Tetapi, Rasulullah menekankan ketika memilih calon
istri, agar dilihat dari aspek agamanya. Yang dimaksud di sini ialah
pemahaman yang benar tentang Islam dan sekaligus
mempraktikkan seluruh ajarannya. Wanita yang baik senantiasa
berpegang teguh pada ajaran Islam dan tidak mengabaikan
tanggung jawabnya terhadap Allah serta mengetahui arah tujuan
hidup yang benar. Wanita yang berpegang pada agama, dapat

21Zainuddin Hamidy, Op. cit., hal. 10


149
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

melaksanakan kewajiban terhadap suami dan pendidikan anak-


anak.
Di samping itu, wanita yang beragama, adalah wanita yang
senantiasa menjaga kehormatan dirinya ketika suami tidak ada di
rumah dan seandainya ia bekerja di luar rumah, ia menjaga
perilakunya di hadapan teman-temannya.
Sama halnya dengan memilih calon isteri, ketika memilih
calon suami juga ditekankan kepada laki-laki yang beragama dan
berakhlak baik. Dalam hadis Nabi Saw yang artinya: “Apabila
datang kepadamu seorang yang kamu senangi agama dan akhlaknya, maka
kawinkanlah dia dengan anak perempuanmu. Jika tidak, niscaya akan
mendatangkan fitnah di bumi ini dan akan menimbulkan kerusakan yang
mengerikan”
Di samping itu dihindari juga laki-laki peminum dan
memiliki sifat zalim, karena sifat-sifat buruk dan tindakan
kriminal pada dasarnya berawal dari kedua sifat buruk tersebut.
Pernah seorang bertanya kepada Hasan bin Ali tentang anak
perempuannya yang akan dikawinkan, lalu Hasan menjawab:
kawinkanlah ia dengan seorang yang bertakwa kepada Allah, jika
ia sayang akan memuliakannya dan jika ia benci, ia tidak akan
menzaliminya22
Suami yang beragama dan berakhlak baik, adalah yang
dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap istri
dan anak-anaknya, menghormati perasaan istri, membantu istri
mengurus kerja rumah dalam keadaan memerlukan, tidak
mementingkan diri sendiri dan memperhatikan kemaslahatan
orang-orang yang di bawah tanggungannya.
Dari uraian di atas jelas bahwa dalam hal memilih jodoh,
Islam telah meletakkan panduan-panduan yang jelas bagi lelaki
dan perempuan untuk mendapatkan pasangan hidup yang

22Sayid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah, Juz II, Dar El-Fikry, Libanon, 1983,
hal. 20
150
Berpacaran menurut Islam Fikih Kontemporer

dianggap sesuai menurut tuntutan agama. Agama menjadi dasar


pertama di antara syarat-syarat lain dan sangat penting
diperhatikan dalam pemilihan jodoh. Dengan berpegang teguh
pada agama, manusia akan mengenal statusnya sebagai hamba
Allah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan segala
perintahnya. Memang kecantikan, keturunan dan harta termasuk
kriteria dalam pemilihan jodoh. Allah menjadikan manusia secara
fitrah menginginkan keindahan dan kecantikan. Oleh sebab itu,
dalam hal memilih jodoh, kebanyakan kaum lelaki lebih
mengutamakan kecantikan dari syarat-syarat lain. Dalam hal ini
tidak mengherankan kalau terdapat banyak lelaki yang tertipu
karena kecantikan istri dan akhirnya terjatuh ke lembah kehinaan.
Begitu juga jika perkawinan itu didasarkan pada kekayaan dan
keturunan, kemungkinan besar kekayaan dan keturunan akan
menjadikan manusia angkuh dan sombong23
Selanjutnya dalam hal memilih jodoh, harus menghindari
meminang pinangan orang lain, karena hal yang demikian ini akan
menimbulkan efek buruk yang bisa menjadikan permusuhan,
karena melanggar tata susila. Rasulullah Saw melarang melakukan
perbuatan tersebut. Dalam hadisnya yang diriwayatkan dari Ibnu
Umar disebutkan, yang artinya: “Tidak halal bagi salah seorang dari
kamu meminang pinangan saudaranya (orang lain), sehingga saudaranya
yang meminang itu membatalkan pinangannya atau memberikan keizinan
kepadanya” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dari hadis tersebut dapat diketahui, bahwa tidak
dibolehkan melamar atau berencana untuk melamar seorang
perempuan yang sudah bertunangan dengan lelaki lain.

23 Huzaimah Tahido, Op. cit., hal. 124


151
BAB 10
MONOGAMI DAN POLIGAMI

A. Pengertian Monogami dan Poligami


Perkataan monogami berasal dari bahasa Yunani dari
kata mono dan gamein, yang artinya perkawinan hanya dengan satu
isteri.
Sedangkan perkataan poligami yang terdiri dari dua
pokok kata, yaitu polu dan gamein. Polu berarti banyak; gamein
berarti kawin. Jadi poligami berarti perkawinan yang banyak1
Tegasnya poligami ialah mengawini beberapa lawan
jenisnya di waktu yang bersamaan. Berpoligami berarti
menjalankan (melakukan) poligami. “Poligami sama dengan
poligini, yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang
bersamaan”2. Hanya saja istilah poligami lebih umum digunakan
di tengah-tengah masyarakat.
Seperti dikemukakan oleh Sidi Gazalba, bahwa poligami
ialah perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita lebih dari
satu orang. Lawannya poliandri, ialah perkawinan antara seorang
perempuan dengan beberapa orang laki-laki. Sebenarnya istilah
poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri.

1Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum

Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung,1978, hal. 79


2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 885-
886.
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

Tetapi karena poligini yang banyak terdapat, terutama sekali di


Indonesia dan negara-negara yang memakai hukum Islam maka
tanggapan tentang poligini ialah poligami3
Perkawinan dalam Islam pada dasarnya menganut sistem
monogami, yaitu pernikahan yang hanya memiliki satu pasangan
hidup. Pernikahan jenis inilah yang paling banyak menuai
kebahagiaan dan ketenteraman hidup. Walaupun demikian, tidak
menutup pintu kemungkinan untuk berpoligami dalam kondisi
dan keadaan tertentu. Kebolehan berpoligami dalam ajaran Islam
dalam keadaan tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu ini,
membuktikan bahwa Islam bukanlah agama yang mengawang,
yang jauh dari realitas persoalan kehidupan masyarakat, yang
selalu membutuhkan jawaban dari berbagai persoalan yang
mereka hadapi.

B. Poligami dari Masa ke Masa.


Masalah poligami sama tuanya dengan sejarah peradaban
dan kehidupan umat manusia, yaitu jauh sebelum agama Islam
datang. Poligami itu dilakukan oleh hampir seluruh suku bangsa
dan agama yang ada di dunia, baik itu di Timur maupun di Barat,
tidak terkecuali juga oleh orang-orang-orang yang beragama
Yahudi dan Nasrani.
Bukti sejarah bahwa poligami sudah dilakukan dan
berjalan lama sebelum kedatangan atau kelahiran Islam, antara
lain adalah:
1. Nabi Ya‟kub, Nabi Daud, dan Nabi Sulaeman mempunyai
banyak istri. Nabi Ibrahim juga mempunyai dua orang istri,
yakni Hajar dan Sarah.

3Sidi Gazalba, Menghadapi Soal-soal Perkawinan, Antara, Jakarta, 1975,


hal. 25
153
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

2. Penduduk asli Australia, Amerika, Cina, Jerman, dan Sisilia


terkenal sebagai bangsa yang melakukan poligami sebelum
datangnya agama Masehi. Poligami mereka lakukan tanpa
adanya batas dan tanpa adanya syarat-syarat keadilan terhadap
beberapa istrinya4
3. Ahli pikir Inggris Harbert Sbenser di dalam bukunya “Ilmu
Masyarakat” menjelaskan bahwa sebelum Islam datang wanita
itu diperjual belikan ataupun digadaikan dan dipinjamkan. Hal
tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan khusus yang
dikeluarkan oleh gereja dan berjalan sampai pertengahan abad
11 M5.
4. Pada tahun 1650 M. Majelis Tinggi Perancis mengeluarkan
edaran tentang diperbolehkannya seorang laki-laki
mengumpulkan dua orang istri. Surat edaran itu dikeluarkan
karena berkurangnya kaum laki-laki akibat perang 30 tahun
terus menerus6
Kebanyakan umat terdahulu dan agama-agama sebelum
Islam membolehkan kawin tanpa batas yang kadang-kadang
sampai berpuluh-puluh wanita, bahkan ada yang sampai beratus-
ratus orang. Maka setelah Islam datang, perkawinan lebih dari
seorang ini dibatasi dan dengan syarat-syarat tertentu, terutama
syarat keadilan.
Dengan ini jelas, bahwa poligami sudah menjadi
kebudayaan pada masa sebelum Islam datang. Melihat kenyataan
yang jelas-jelas merendahkan martabat kaum wanita itu maka
Islam melalui Nabi Muhammad Saw sebagai Rasulnya,
membenahi dan mengadakan penataan terhadap tradisi atau adat

4Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam


Kontemporer, Angkasa, Bandung, 2005, hal. 148
5Ahmad Muhammad Jamal, Muftarayah „Ala Al-Islam, Dar al-Fikri, t.

th., hal. 107-108 dikutip dari Harbert Sbenser


6Huzaimah Tahido, Loc.cit.

154
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

istiadat yang benar-benar tidak mendatangkan kemaslahatan dan


meneruskan adat kebiasaan yang mempunyai nilai-nilai untuk
menjunjung tinggi martabat manusia, dalam hal ini termasuk
masalah poligami yang tidak terbatas. Islam membolehkan
poligami dengan syarat adil. Hal ini demi menjaga hak dan
martabat manusia7. Walaupun sebenarnya keadilan itu sangat sulit
untuk dilaksanakan.

C. Hukum Poligami Dalam Islam.


Pada dasarnya berpoligami dibolehkan dalam Islam.
Dasar hukum tentang poligami disebutkan dalam Al-Qur‟an surat
An-Nisa ayat 3:

           

             

    


Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Menurut Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar,
hukum poligami adalah mubah. Poligami dibolehkan selama tidak
dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para istri. Jika
terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya

7Ibid., hal. 148-149


155
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa


yang dikhawatirkan itu, dianjurkan agar mencukupkan beristri
satu orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan
berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan
ketiadaan kekhawatiran akan terjadinya penganiayaan,8 yaitu
penganiayaan terhadap para istri.
Zamakhsyari sebagaimana dikutip oleh Muhammad Al-
Bahy mengemukakan bahwa poligami menurut syariat Islam
adalah merupakan suatu rukhshah (kelonggaran ketika darurat).
Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang
dibolehkan buka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan.
Adapun darurat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan
tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya untuk bergaul lebih
dari seorang istri. Kecenderungan yang pada diri seorang laki-laki
itulah seandainya syariat Islam tidak memberikan kelonggaran
berpoligami, niscaya akan membawa kepada perzinahan. Oleh
karena itu, poligami diperbolehkan dalam Islam9.
Syekh Muhammad Yusuf Qardawi10 mensyaratkan, bahwa
seseorang yang akan melakukan poligami harus sanggup berlaku
adil terhadap semua isterinya baik tentang soal makan, minum,
pakaian, rumah, tempat tidur, maupun nafkah. Siapa yang tidak
mampu berlaku adil, maka tidak dibolehkan untuk melakukan
poligami.
Senada dengan Zamakhsyari, Muhammad Rasyid Ridha
membolehkan poligami dalam keadaan memaksa atau darurat.

8Mahmud Syaltut, Islam „Aqidah wa Syari‟ah, Cet. III, Dar- al-Qalam,

Mesir, 1996, hal. 269


9Muhammad Al-Bahy, Al-Islam wa Tijah Al-Mar‟ah Al-Mu‟ashirah,

Maktabah Wahbah, Mesir, 1978, hal. 42


10Lihat: Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam

Islam, Terj. H. Mu‟ammal Hamidy, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hal. 260-261
156
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

Beliau mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan


berpoligami, antara lain:
1. Istri mandul.
2. Istri mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya
memberikan nafkah batin.
3. Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa/over dosis,
sehingga istrinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan
dirinya berbuat serong.
4. Bila suatu daerah yang jumlah perempuan lebih banyak dari
pada laki-laki, sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan
banyak wanita yang berbuat serong11
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan terlihat,
bahwa kebolehan berpoligami terkait erat dengan berbagai
persyaratan tertentu dan faktor kondisi seseorang.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan sebagai hukum positif yang berlaku
umum bagi seluruh masyarakat bangsa Indonesia, di dalamnya
diatur hal-hal yang berkenaan dengan poligami.
Alasan yang dijadikan dasar oleh seorang suami untuk
melakukan poligami atau beristeri lebih dari seorang adalah
sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2) undang-undang
tersebut (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974) ialah:
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan12
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seluruhnya
oleh seorang suami untuk melakukan poligami sebagaimana

11Muhammad Al-Bahy, Op.cit.hal. 350 dikutip dari Muhammad Rasyid


Ridha
12Undang-Undang RI Tentang Perkawinan, Edisi 2008, CV Tamita
Utama, Jakarta, hal. 4
157
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

disebut dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah


sebagai berikut:
1. Adanya persetujuan isteri/isteri-isteri
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka13

D. Kontroversi di Sekitar Poligami.


Para ulama klasik dari kalangan mufassir (penafsir) maupun
fakih (ahli hukum) berpendapat, berdasarkan Al-Qur‟an surat An-
Nisa‟ ayat 3, laki-laki muslim dapat menikahi empat perempuan.
Tafsir ini telah mendominasi pandangan seluruh umat Islam.
Tetapi, ulama seperti Muhammad Abduh (1849-1905)
tidak sepakat dengan penafsiran itu. Baginya diperbolehkannya
poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan
berkembang. Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan
dengan jumlah wanita akibat mati dalam peperangan antara suku
dan kabilah. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria
menikahi wanita lebih dari satu. Kedua, saat itu Islam masih
sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi
diharapkan masuk Islam dan mempengaruhi sanak keluarganya.
Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang
mencegah peperangan dan konflik.
Kini, keadaan telah berubah. Poligami, papar Abduh,
justru menimbulkan permusuhan, kebencian, dan pertengkaran
antara para istri dan anak. Efek psikologis bagi anak-anak hasil
pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak
diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana
kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan

13 Ibid., hal.4-5
158
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.


Pada akhir tafsirnya, Abduh menyatakan tentang tidak
dibolehkannya poligami, karena syarat yang diminta adalah
berbuat adil, dan itu tidak mungkin dipenuhi manusia.14.
Selanjutnya beliau menjelaskan tiga alasan tidak dibolehkanya
poligami. Pertama, syarat poligami adalah berbuat adil. Syarat ini
sangat sulit dipenuhi dan hampir mustahil, sebab Allah sudah
jelas mengatakan dalam al-Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 129 bahwa
lelaki tidak akan mungkin berbuat adil. Kedua, buruknya perlakuan
para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena
mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberi
nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Ketiga, dampak
psikologis anak-anak dari hasil pernikahan poligami. Mereka
tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka
bertengkar baik dengan suami atau dengan istri yang lain.
Pada akhir fatwanya ia meminta para hakim, ulama, dan
pemerintah agar melarang poligami.15 Abduh menjelaskan hanya
Nabi Muhammad saja yang dapat berbuat adil sementara yang
lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tak dapat dijadikan patokan
sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri-istrinya.
Abduh membolehkan poligami hanya kalau istri itu mandul.
Ulama asal Mesir yang pernah mengecap pendidikan di Paris ini
juga melihat poligami adalah praktik masyarakat Arab sebelum
kedatangan Islam.
Dr Najman Yasin dalam kajian mutakhirnya tentang
perempuan pada abad pertama hijrah (abad ke tujuh masehi)

14Lihat: Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid IV Dar al-


Fikr, tt, hlm. 347-350.
15
Lihat: Muhammad Abduh dalam Al-A‟mal al-Kamilah lil imam al-
Syeikh Muhammad Abduh, (ed) Muhammad „Imarah, Dar al-Syuruk, Kairo, 1993,
Jilid II, hlm. 88-93, lihat juga hlm.76-87.

159
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

menjelaskan memang budaya Arab pra-Islam mengenal institusi


pernikahan tak beradab di mana lelaki dan perempuan
mempraktikkan poliandri dan poligami. Pertama, bentuk
pernikahan sehari, yaitu pernikahan yang hanya berlangsung
sehari saja.
Kedua, pernikahan istibda‟ yaitu suami menyuruh istri
digauli lelaki lain dan suaminya tidak akan menyentuhnya
sehingga jelas apakah istrinya hamil oleh lelaki itu atau tidak. Jika
hamil oleh lelaki itu, maka jika lelaki itu bila suka boleh
menikahinya. Jika tidak, perempuan itu kembali lagi kepada
suaminya. Pernikahan ini dilakukan hanya untuk mendapatkan
keturunan.
Ketiga, pernikahan poliandri jenis pertama, yaitu
perempuan mempunyai suami lebih dari satu (antara dua hingga
sembilan orang). Setelah hamil, istri akan menentukan siapa suami
dan bapak anak itu.
Keempat, pernikahan poliandri jenis kedua, yaitu semua
lelaki boleh menggauli seorang wanita berapa pun jumlah lelaki
itu. Setelah hamil, lelaki yang pernah menggaulinya berkumpul
dan si anak ditaruh di sebuah tempat lalu akan berjalan mengarah
ke salah seorang di antara mereka, dan orang yang dituju itulah
bapaknya.
Kelima, pernikahan-warisan, artinya anak lelaki mendapat
warisan dari bapaknya yaitu menikahi ibu kandungnya sendiri
setelah bapaknya meninggal.
Keenam, pernikahan-paceklik, suami menyuruh istrinya
untuk menikah lagi dengan orang kaya agar mendapat uang dan
makanan. Pernikahan ini dilakukan karena kemiskinan yang
membelenggu, setelah kaya perempuan itu pulang kembali ke
suaminya.
Ketujuh, pernikahan tukar-guling, yaitu suami istri
mengadakan saling tukar pasangan.

160
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

Praktik pernikahan Arab pra-Islam ini ada yang


berlangsung hingga masa Nabi, bahkan hingga masa
khulafaurrasyidin16
Poligami yang termaktub dalam Al-Qur‟an Surat An-
Nisa‟ ayat 3 adalah sisa praktik pernikahan jahiliah sebagaimana
disebutkan di atas. Oleh karenanya tepat kiranya Thaha Husayn
menyatakan dalam bukunya Fi Syi‟r al-Jahili.17 Fakta sosialnya ialah
perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan, kurang
menguntungkan dan menyedihkan, dan Al-Qur‟an merekamnya
melalui teks-teksnya yang masih dapat kita baca saat ini. Dalam
hal poligami, Al-Qur‟an merekam praktik tersebut sebab poligami
adalah realitas sosial masyarakat saat itu. Artinya poligami adalah
hal yang biasa dan lazim dilakukan di tengah-tengah masyarakat
umum.
Untuk menurunkan ajaran etik, moral, maupun hukum,
al-Qur‟an membutuhkan waktu dan proses. Sebagai contoh, dapat
dilihat pada larangan meminum khamr, Al-Qur‟an membutuhkan
waktu hingga tiga kali. Dalam masalah poligami pun demikian.
Poligami hanya hukum yang berlaku sementara saja dan untuk
tujuan tertentu saja, yaitu pada masa Nabi18. Al-Qur‟an
membutuhkan waktu untuk mencapai tujuan yang sebenarnya
yakni monogami.
Fatwa dan tafsir Abduh di atas dipegang Presiden Tunisia
Bourguiba pada tahun 1956 untuk mensahkan undang-undang
yang melarang poligami. Tunisia adalah satu-satunya negara
Muslim yang melarang poligami sekarang ini. Namun, Turki saat

16Lihat: Najman Yasin, al-Islam wa al-Jins fi al- Qarn al-Awwal al-

Hijri,Dar „Atiyyah, Beirut, 1997, hal.24-28.


17Thaha Husayn, Fi Syi‟r al-Jahili, Dar al-Ma‟arif, Tunisia, tt, halaman

25-33
18Lihat: Fazlur Rahman, Tema pokok Al-Qur‟an, Bandung: Pustaka,

1996, hal. 68-70


161
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

pemerintahan Musthafa Kemal Attaturk pada tahun 1926 juga


melarang poligami.
Undang-Undang pidana Tajikistan dalam pasal 170
menyatakan, “Poligami, melakukan pernikahan dengan dua
perempuan atau lebih, dihukum denda 200-500 kali gaji minimal
bulanan
Undang-Undang Tunisia yang tegas dan sangat berani
melarang poligami tidak diikuti negara lain. Justru sebaliknya,
hampir semua negara Muslim di dunia melegalisasi poligami,
seperti di Yaman Selatan (1974), Siria (1953), Mesir (1929),
Maroko (1958), Pakistan (1961), dan negara Muslim lain19
Posisi Indonesia dikaitkan dengan poligami ini dapat
dilihat dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang membolehkan poligami
dengan syarat atas izin istri pertama. Undang-Undang ini
diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang No.7 tahun 1989
tentang Pengadilan Agama, khususnya pasal 49 yang mengatakan
pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti
mengurusi poligami) dan lainnya. Kompilasi hukum Islam
semakin memperjelas kebolehan pelaksanaan poligami di
Indonesia.
Walaupun persyaratan untuk poligami demikian ketat,
namun realitasnya adalah lain. Sekarang, di tengah banyaknya
orang yang telah melakukan poligami, yang perlu dipersoalkan,
bukan lagi sistem mana yang paling baik, monogami atau
poligami, karena umumnya tentu akan mengatakan monogamilah
yang lebih baik. Tetapi persoalannya adalah, dalam keadaan-
keadaan tertentu yang menuntut terjadinya poligami, manakah
yang akan dipilih? Apakah menerima dan menjalani poligami
secara resmi, atau dengan memaksakan monogami secara hukum,

Lihat: Olibier Carre, L‟Islam Laique ou le retour „a la Grande Tradition,


19

Armand Collin, Paris, 1993, hlm.110-113


162
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

tetapi berpraktek poligami, atau malah menolak poligami sama


sekali, tetapi melakukan affair cinta secara terselubung...20
Alasan berpoligami seringkali dikaitkan dengan perzinaan
dan perselingkuhan. Orang yang melakukan poligami beralasan
karena takut terjerumus kepada perzinaan. Agus Mustofa21 merasa
heran, kenapa alasan berpoligami selalu dikaitkan dengan
perzinaan dan perselingkuhan. Padahal di dalam al-Qur‟an tidak
ada satu ayat pun yang mengaitkan bolehnya melakukan poligami
disebabkan alasan-alasan takut terjadi perzinaan dan
perselingkuhan. Agaknya, telah terjadi reduksi pemahaman
tentang makna poligami dalam konsep Islam. Dari alasan-alasan
yang bersifat sosial politik menjadi alasan-alasan yang bersifat
seksualitas. Menurut Agus, hal ini harus diluruskan, karena telah
memunculkan persepsi dan pandangan yang sangat rancu, keliru
dan menyesatkan umat.
Menurut pengamatan Agus, dari sekian „ayat syahwat‟,
tidak ditemukan keterkaitannya dengan poligami. Demikian pula
sebaliknya, ayat-ayat poligami tidak dikaitkan dengan ayat-ayat
syahwat. Kata syahwat di dalam al-Qur‟an hanya ditemukan dua
kali. Dan menariknya digunakan untuk menggambarkan
dorongan seksual yang menyimpang, seperti homoseks. Firman
Allah dalam surat An-Naml/27 ayat 55:

           

Artinya:

20Isnawati Rais, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Badan Litbang dan


Diklat Dep. Agama, Jakarta, 2006, hal. 125
21Agus Mutofa, Poligami Yuuk!?, Benarkah Al-Qur‟an Menyuruh

Berpoligami karena Alasan Syahwat?, Padma Press, Surabaya, 2007, hal. 212-214
163
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

"Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu),


bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak
mengetahui (akibat perbuatanmu)".
Kemudian firman Allah Swt. dalam surat Al-A‟raf/7 ayat
81:

          



Artinya:
“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu
(kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum
yang melampaui batas”

E. Nabi dan Monogami.


Dalam Hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim,
Turmuzi dan Ibnu Majah, dilaporkan Nabi Muhammad Saw
marah ketika beliau mendengar putrinya Fatimah akan dipoligami
suaminya, Ali bin Abi Thalib.
Beliau bergegas menuju masjid, naik mimbar, dan
menyampaikan pidato, “Keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah
telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali
bin Abi Thalib. Saya tidak mengizinkan, sekali lagi saya tidak
mengizinkan sama sekali, kecuali Ali menceraikan putri saya
terlebih dulu”
Kemudian, Nabi Muhammad Saw. melanjutkan, “Fatimah
adalah bagian dariku, apa yang mengganggu dia adalah
164
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah menyakitiku


juga”22. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap monogami hingga
Fatimah wafat.
Timbul pertanyaan, bagaimana dengan kenyataan Nabi
sendiri berpoligami? Bahkan, ini sering dijadikan alasan seorang
lelaki untuk berpoligami, yaitu ittiba‟ (mengikuti) jejak Rasulullah
Saw.
Kalau kita menyimak perkawinan Beliau, dapat
disimpulkan pada hakikatnya Nabi monogami selama sebagian
besar masa perkawinannya. Beliau menikah selama 38 tahun, dan
28 tahun di antaranya dihabiskan hanya dengan Khadijah dalam
perkawinan yang sukses dan membuahkan putra putri.
Beliau sangat mencintai Khadijah dan setia kepadanya
sehingga tahun Khadijah wafat disebut „am al-hazn (tahun
berduka). Dua tahun setelah khadijah wafat, baru Nabi
berpoligami. Dari sekian istri hanya Aisyah yang gadis.

F. Kekerasan Psikologis.
Poligami menyimpan banyak persoalan. Salah satunya,
membisukan suara hati perempuan. Selama ini poligami hampir
selalu dilihat dan didefinisikan dari perspektif lelaki.
Poligami bisa menjadi petaka dan sumber penderitaan
perempuan. Sebagai manusia utuh, seperti lelaki, perempuan
memiliki harga diri, integritas diri, dan emosi. Poligami membuat
mereka merasa dikhianati dan direndahkan, serta menjadikan
mereka merasa tak berdaya. Inilah bentuk nyata diskriminasi dan
ketidakadilan terhadap perempuan.
Padahal, perempuan harus dilindungi. Bukan diperlakukan
semena-mena dan sekehendak hati. Mereka juga memiliki peran
penting yang tidak bisa dikerjakan laki-laki, terutama dalam hal

22 Lihat: Jami‟ al-Ushul, juz XII, hal. 162, hadis no.9026


165
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

pengurusan rumah tangga, mengurus dan mengasuh anak-


anaknya.
Kalau dicermati, ketimpangan hubungan lelaki dan
perempuan itu bukan dikarenakan perbedaan gendernya,
melainkan lebih dikarenakan keserakahan dan egois. Pada laki-
laki, keserakahan biasanya berkisar pada kekuatan dan
seksualitas. Bentuknya adalah wilayah jajahan dan wanita yang
dijadikan istri.
Indahnya perkawinan yang dibina bersama dengan penuh
cinta kasih tiba-tiba runtuh. Perempuan yang sudah
mengorbankan identitas dan integritas diri demi menopang suami
dalam meniti tangga menuju status sosial dan kedudukan yang
lebih tinggi tiba-tiba dipinggirkan. Usia produktif untuk
mengembangkan diri dikorbankan demi suami tercinta. Kini,
setelah memberikan bakti pada suami, dan pada usia senja,
dengan ketergantungan emosional dan finansial terhadap suami,
dia harus menerima kenyataan pahit itu. Dia harus menjalani
penderitaan di hari tuanya.
Banyak perempuan memilih bercerai daripada dipoligami.
Tetapi, lebih banyak yang memutuskan tetap berada dalam
perkawinan. Berbagai alasan dikemukakan, seperti demi anak,
stigma sosial terhadap janda, ketergantungan finansial, dan
sebagainya. Perempuan ini mesti memendam berbagai rasa
seperti cemburu.
Inilah yang antara lain kemudian memunculkan gerakan
emansipasi wanita. Menuntut keadilan dan persamaan hak antara
lelaki dan wanita, di semua bidang kehidupan. Di kegiatan-
kegiatan sosial, aktivitas politik, bahkan sampai masuk ke wilayah
rumah tangga. Perlindungan terhadap hak-hak perempuan
menjadi demikian bergema. Berbagai organisasi dan LSM
didirikan untuk melindungi hak-hak perempuan.

166
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

G. Problem Penafsiran.
Perbedaaan penafsiran ayat poligami, yaitu Al-Qur‟an
surat an-Nisa‟ ayat 3 sudah banyak diwacanakan. Inti utama
perbedaan penafsiran adalah pandangan tentang keabsolutan
institusi poligami. Ayat poligami turun setelah perang Uhud, di
mana banyak sahabat wafat di medan perang.
Ayat ini memungkinkan lelaki Muslim mengawini janda
atau anak yatim jika dia yakin inilah cara melindungi kepentingan
mereka dan hartanya dengan penuh keadilan. Jadi, ayat ini bersifat
kondisional. Kini kaum Muslim cenderung melupakan motif ini
dan menganggap “hak” lelaki Muslim secara absolut.
Ayat selanjutnya, yaitu ayat 129 secara kategoris
menyatakan, tidak mungkin seorang laki-laki dapat berlaku adil
terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkan. Ayat ini
dapat disimpulkan, Islam pada dasarnya menganut sistem
monogami. Namun, pendukung poligamis justru berpendapat
sebaliknya.
Karena tidak mungkin seorang laki-laki berlaku adil
lahiriah dan batiniah kepada para istri, maka sikap adil itu hanya
sebatas kemampuan mereka sebagai manusia.
Salah satu misi utama Islam adalah membebaskan mereka
yang tertindas dan membawa keadilan bagi mereka. “Revolusi”
yang dibawa Islam adalah peningkatan status perempuan menjadi
sepenuhnya setara dengan lelaki, baik sebagai hamba Allah
maupun sebagai wakil-Nya di bumi.
Banyak orang yang menyatakan ketidaksetujuannya jika
poligami dilarang negara. Lebih baik memberi syarat ketat kepada
lelaki yang ingin berpoligami. Jika melanggar, ia harus dikenai
sanksi berat. Pasal 55 sampai pasal 59 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menetapkan syarat ketat bagi lelaki yang akan berpoligami.
Bahkan hampir mustahil seorang lelaki dapat memenuhi syarat
dalam KHI. Pasal 55 ayat (2) misalnya, menyebutkan lelaki yang
167
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

akan poligami harus adil kepada istri dan anaknya. Sedangkan


pada ayat (3) menyebutkan jika tidak adil, maka orang tersebut
dilarang berpoligami23.Masalahnya,bagaimana membuktikan
seorang itu adil atau tidak?
Adil merupakan sifat, kepribadian dan kualitas yang tak
dapat dinilai siapapun. Dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam
Al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 29 bahwa lelaki tidak akan mungkin
berbuat adil. Satu contoh lagi betapa KHI mempersulit poligami.
Pasal 57 menyebutkan tiga kondisi yang membolehkan lelaki
poligami: istri tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri, atau
sakit yang tak dapat disembuhkan, atau mandul24
Kenyataannya, hampir semua lelaki yang poligami
mempunyai istri yang sempurna: ibu rumah tangga yang baik,
melahirkan anak yang lucu dan sehat.

H. “Maqasid al-Syari’ah”
Menilik ketentuan-ketentuan tentang poligami di
beberapa negara Muslim, termasuk di Indonesia, tampak
persyaratan poligami sangat sulit dan praktis mustahil dipenuhi.
Begitu juga sanksi bagi yang melanggar cukup berat. Tidak adanya
larangan yang tegas terhadap poligami, karena ulama dan umat
Islam berpatokan pada Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 3 yang
mengisyaratkan kebolehan poligami. Namun, apakah teks ayat
tersebut menutup kemungkinan menciptakan hukum yang lebih
adil? Semua hukum Islam punya tujuan (maqasid al-syari‟ah).
Menjaga kemaslahatan adalah tujuan utama hukum Islam.
Oleh karena itu, „Allal al-Fasi, ulama pembaru dan tokoh
nasionalis Maroko, dalam Maqasid al-Shari‟at al-Islamiyat wa

23Departemen Agama RI., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, t.p.,


Jakarta, 2000, hal. 34
24 Ibid.

168
Monogami dan Poligami Fikih Kontemporer

Makarimiha25 mengajukan tiga alasan mengapa poligami harus


dilarang tegas. Melarang poligami bertujuan menjaga
kemaslahatan umum.
Pertama, mencegah akibat buruk oleh perorangan untuk
mencegah akibat buruk yang lebih besar. Artinya, kemaslahatan
umum dikedepankan dari kemaslahatan pribadi. Al-Fasi
mengatakan, melarang poligami itu merugikan orang sebab
mencegah keinginan mereka yang ingin poligami. Tetapi, dengan
tetap membolehkan poligami akan menimbulkan kerugian lebih
besar pada masa sekarang.
Dampak negatif yang besar itu adalah merugikan citra
Islam. Jika Islam berbicara peningkatan derajat wanita, itu tidak
akan tercapai dengan adanya poligami. Kedua, mencegah
kerusakan untuk lebih dikedepankan dari pada menarik manfaat.
Ketiga, perubahan hukum suatu perbuatan mengikuti perubahan
kemaslahatannya. Pada masa Nabi, dibolehkannya poligami
hingga empat untuk melindungi anak yatim piatu. Jika keadaan
perempuan kini lebih baik, yaitu sederajat dengan pria dan harta
gadis yatim piatu bisa diatur lembaga keuangan profesional,
konsekwensi logisnya poligami tidak boleh.
Berkaca pada beberapa Undang-Undang negara-negara
Muslim dan argumentasi fikih ini, maka hukum Islam yang lebih
berpihak pada perempuan sudah seharusnya diterapkan di
Indonesia melalui payung hukum berupa undang-undang.

25„Allal al-Fasi, Maqasid al-Shari‟at al-Islamiyat wa Makarimiha, 1991, hal.


181-185
169
BAB 11
KAWIN KONTRAK

A. Hakikat Kawin Kontrak.


Pada awal permulaan Islam, nikah kontrak atau nikah
mut’ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah Saw yaitu pada
waktu umat Islam masih berada pada masa transisi, masa
peralihan dari zaman jahiliah kepada Islam. Kebolehan ditujukan
kepada orang-orang yang bepergian jauh dalam jangka waktu
yang sangat lama dan tanpa membawa istri. Dari pada mereka
menyalurkan nafsu biologisnya dengan berzina, lebih baik
melakukan pernikahan walaupun hanya untuk sementara waktu
saja. Hal ini berdasarkan salah satu hadis Rasulullah sebagai
berikut:
‫ال إِنَّهُ قَ ْد أ ُِذ َن لَ ُك ْم أ ْن تَ ْستَ ْمتِ ُع ْوا‬
َ ‫صلَّى هللا َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق‬ ِ ِ ٍ ‫َّاِف َجْي‬
َ ‫ش فَأ َََت ََن َر ُس ْول هللا‬ ِ ‫ُكن‬
‫استَ ْمتِ ُع ْوا‬
ْ َ‫ف‬
Artinya:
“Kami berada dalam satu pasukan. Maka pesuruh Rasulullah Saw
datang kepada kami dan berkata, sesungguhnya Rasulullah telah
mengizinkan kamu mengawini wanita secara terbatas, karena itu
berbuatlah yang demikian” (Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim)1
Selain itu, ada hadis lain yang berbunyi sebagai berikut:

1Hasbi
Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid V, Bulan Bintang,
Jakarta, 1977, hal. 170
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

‫اَن‬ ِ َ‫صلَّى هللا َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َولَْيس َم َعنَا نِ َساءٌ فَ ُق ْلنا اَالَ ََنْت‬
َ ‫ص؟ فَنَ َه‬ ِ ِ
َ َ ‫ظ َم َع َر ُس ْول هللا‬
ُ ‫ُكنَّا نَ ْغ‬
.. ‫ب‬ ِ ‫ك َعن نَتَ زَّوج الْمرأةَ ِِبلثَّو‬ ِ َ ‫َع ْن ذالِك‬
ْ ْ َ َ َ ْ َ ‫ص لَنَابَ ْع َد ذَل‬ َ ‫ف ََ َر َّخ‬
Artinya:
“Kami pergi berperang bersama-sama Nabi Saw, sedangkan kami tidak
membawa istri. Karena itu kami bertanya: “Apakah tidak lebih baik bagi
kami mengebiri diri kami? Maka Rasulullah mencegah kami berbuat
demikian. Kemudian Rasulullah membolehkan kami mengawini wanita
dengan maskawinnya sekerat kain (untuk batas tertentu)... (HR Bukhari
dan Muslim)2
Namun, dalam perkembangannya kemudian nikah mut’ah
tersebut dilarang untuk selama-lamanya. Hal ini didasarkan pada
hadis Rasulullah:
‫صلَّى هللا َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َن َْ َهى َع ْن ُم َتع ِة النِّ َس ِاء يَ ْوَم َخْي بَ َر َو َع ْن اَ ْكل‬ ِ
َ ‫أ ََ ّن َ َر ُس ْو َل هللا‬
‫االنْ ِسيَّ ِة‬
ِْ ‫اْلم ِر‬
ُ ُْ
Artinya:
“Bahwasanya Rasulullah Saw melarang kita mengawini secara mut’ah
(kawin dalam waktu yang terbatas) pada hari Khaibar dan juga beliau
telah melarang makan daging khimar yang jinak”. (HR Bukhari,
Muslim)3

B. Kawin Kontrak dan Permasalahannya.


Permasalahan kawin kontrak mencuat kembali, terutama
setelah sebelumnya pernah terjadi di Cisarua Kabupaten Bogor.
Sekitar tahun 2004 yang lalu, daerah pegunungan yang beriklim
dingin ini diberitakan dengan kasus kawin kontrak tersebut.
Daerah ini memang daerah strategis untuk beristirahat. Apalagi
dengan dibangunnya vila-vila mewah yang disewakan, menjadi

2Ibid.
3 Ibid., hal. 171
171
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

tempat pavorit, terutama bagi orang-orang yang berduit, tak


terkecuali wisatawan dari negara petro dolar, Arab Saudi. Tidak
tercatat berapa banyak pasangan yang telah melakukan nikah
kontrak di daerah tersebut, demikian juga dengan jumlah anak
yang telah lahir dari nikah kontrak dimaksud, sebab memang
pernikahannya pun tidak tercatat, artinya nikah tersebut dilakukan
di bawah tangan.
Kawin kontrak di daerah Cisarua, Kabupaten Bogor,
biasanya disaksikan seorang amil tak resmi, yaitu seseorang yang
bertindak seperti amil tetapi tidak tercatat di kantor desa. Orang
Arab yang akan menikah hanya tahu bahwa orang tersebut adalah
amil resmi, apalagi bila kebetulan orang tersebut bisa berbahasa
Arab, yang akan menikah itu semakin yakin4. Padahal yang
melakukan pernikahan dimaksud adalah orang perorangan yang
bukan petugas resmi.
Kawin kontrak, atau disebut juga dengan kawin Mut’ah
adalah mengawini seorang perempuan dengan jangka waktu yang
telah ditentukan, maka apabila telah habis waktunya terjadilah
perceraian. Dengan demikian kawin kontrak itu berarti
perkawinan untuk mencari kesenangan biologis dalam waktu yang
telah ditentukan berdasarkan kesepakatan, tertentu, tidak saling
waris mewarisi antara suami isteri dan perceraiannya terjadi
setelah waktu kontrak pernikahan berakhir. Jadi merupakan
pernikahan yang bersifat sementara.
Biasanya si laki-laki memberikan sejumlah permintaan
dari pihak si wanita dalam perjanjian nikah kontrak tersebut,
selama mereka terikat dalam jangka waktu kontrak. Oleh
karenanya dalam kawin kontrak ini biasanya si laki-laki cukup
memberikan souvenir yang berupa pakaian atau uang kontrak.
Bila dari pernikahan itu dilahirkan anak, maka anak itu akan

4Yusuf Badri, Nikah Beda Agama, Persis Pers, Bandung, 2009, hal. 60
172
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

dinisbatkan (dihubungkan) dengan ayahnya saja atau ibunya saja


sesuai dengan perjanjian dalam kontrak.
Kawin kontrak disebut juga dengan kawin sementara atau
kawin terputus, karena dilakukan untuk batas waktu tertentu
bukan untuk selamanya5
Kawin kontrak disebut juga dengan kawin mut’ah, karena
laki-laki (suami) ini kawin dengan maksud untuk bersenang-
senang sementara waktu saja6
Antara kawin kontrak dengan kawin mut’ah sebenarnya
ada perbedaan dari segi substansinya. Seperti yang dikemukakan
oleh Nasarudin Umar, bahwa kawin kontrak berbeda dengan
kawin mut’ah, meski ada kesamaan dari segi pembatasan
waktunya. Nikah mut’ah yang pernah diberlakukan pada zaman
Rasulullah, substansinya tidak ada aspek melecehkan kaum wanita
dan tidak ada aspek menurunkan martabat perempuan.
Sedangkan dalam kawin kontrak yang dilakukan oleh para turis di
Puncak Bogor, misalnya, itu semata-mata hanya demi kenikmatan
sesaat, dan setelah itu pergi, jelas tidak sesuai dengan syari’at7.
Dan ini tentu bertentangan dengan ajaran Islam.
Ibrahim Muhammad Al-Jamal8, menyebut bahwa kawin
mut’ah (kontrak), yaitu akad perkawinan yang dilakukan seorang
lelaki terhadap wanita untuk satu hari, satu minggu atau satu
bulan. Disebut kawin mut’ah, karena dengan perkawinan tersebut
laki-laki dapat menikmatinya sepuas-puasnya sampai saat yang
telah dia tentukan dalam akad.

5 Isnawati Rais, Hukum Perkawinan dalam Islam, Badan Litbang dan

Diklat Dep. Agama, Jakata, 2006, hal. 102


6 Ibid.
7 Dialog Jum’at, Tabloid Republika, 11 Agustus 2006, hal. 3
8Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah,
Terjemahan oleh Anshori Umar Sitanggal, CV Asy-Syifa, Semarang, 1986, hal.
366
173
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

Morteza Muthahhari sebagaimana dikutip oleh Isnawati


Rais9 menjelaskan bahwa perkawinan dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu permanen dan dalam jangka waktu tertentu. Kedua
bentuk perkawinan ini sama dalam beberapa hal dan berbeda
dalam beberapa hal. Perbedaannya antara lain adalah: Pertama,
dalam perkawinan mut’ah (kontrak) laki-laki dan perempuan yang
kawin memutuskan bahwa mereka kawin untuk jangka waktu
tertentu. Kemudian pada akhir waktu yang ditentukan itu,
mereka bisa memperpanjang perkawinan, kalau mereka
menginginkannya. Kalau tidak, merekapun berpisah, tanpa harus
ada talak dan khuluk. Kedua, mereka leluasa dan bisa menentukan
berbagai ketentuan dan syarat, sesuai dengan keinginan mereka.
Misalnya mereka bisa saja menyepakati membebaskan laki-laki
(suami) dari berbagai kewajiban sebagai suami, seperti menjadi
kepala rumah tangga dan membiayai kebutuhan rumah tangga.
Bisa juga disepakati bahwa mereka tidak akan saling mewarisi, dan
lain sebagainya. Ketiga, dalam perkawinan mut’ah (kontrak)
masing-masing dari pasangan berhak untuk tidak mau punya
anak, walaupun tanpa persetujuan yang lain. Tidak demikian
halnya dalam perkawinan permanen. Keempat, dalam perkawinan
mut’ah, mahar harus ditentukan jumlahnya, bila tidak ditentukan,
perkawinan itu tidak sah. Sedangkan dalam perkawinan
permanen, tidak demikian halnya. Kelima, masa iddah seorang
perempuan yang kawin mut’ah setelah berakhirnya masa
perkawinan, adalah dua kali masa haid atau empat puluh lima (45)
hari. Inilah perbedaan yang mendasar antara perkawinan
permanen dengan perkawinan mut’ah. Sedangkan yang lainnya
pada umumnya sama dengan perkawinan permanen. Inilah
prinsip-prinsip perkawinan mut’ah menurut mazhab Syi’ah yang
dikemukakan oleh Morteza Muthahhari.

9Isnawati Rais, Op. cit., hal. 103-104


174
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

Lebih lanjut Morteza Muthahhari menjelaskan bahwa


nikah mut’ah pada zaman sekarang merupakan satu solusi untuk
mengatasi berbagai persoalan anak muda. Menurutnya, sesuatu
yang khusus pada zaman modern ini adalah jarak waktu antara
masa pubertas secara alami, dengan kematangan sosial itu
semakin panjang. Anak-anak muda telah memasuki masa
pubertas pada waktu mereka masih sekolah menengah, sedangkan
kematangan sosial belum tentu mereka dapat sehabis mereka
menyelesaikan kuliah. Boleh jadi butuh waktu beberapa tahun
setelah selesai kuliah kematangan sosial itu baru mereka peroleh.
Dalam rentang waktu yang panjang itu, kalau tidak ada solusi
dalam pemenuhan kebutuhan biologis mereka, maka ada dua
kemungkinan yang akan tejadi, yaitu: mereka harus mengekang
keinginan seksualnya yang akan menyiksanya dan mungkin
mendatangkan berbagai akibat psikologis, atau mereka yang tidak
kuat akan melakukan hubungan seks yang haram dengan satu
orang atau berganti-ganti pasangan. Apakah kita akan biarkan
mereka? Sedangkan untuk menikah secara permanen dengan
segala tanggung jawabnya mereka belum mampu. Karena itu jalan
keluarnya menurut Morteza adalah perkawinan mut’ah, yang
persyaratannya tidak begitu berat dan dapat pula membatasi
mereka dari berganti-ganti pasangan semaunya10
Walaupun perkawinan kontrak ini diterima dan
dibenarkan di kalangan Syi’ah, tetapi ternyata tidak semua
pengikut Syi’ah menyetujuinya. Para aktivis HAM dan aktivis
perempuan, serta pendukung gerakan feminis di Iran yang
bermazhab Syi’ah telah menolak bentuk perkawinan ini, karena
dianggap merendahkan derajat wanita sebagai mahluk manusia.
Mereka juga menjelaskan beberapa kekurangan perkawinan
mut’ah (kontrak), walaupun pendapat mereka ini disanggah oleh
Morteza Muthahhari. Di antara kekurangan atau keburukan

10 Ibid., hal. 104


175
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

perkawinan mut’ah menurut mereka adalah: Pertama, perkawinan


mut’ah tidak berdiri dan bertumpu pada fondasi yang stabil,
sedangkan suatu perkawinan haruslah bertumpu pada fondasi
yang stabil ini. Kedua, perempuan dan pemudi Iran yang
bermazhab Syi’ah menolak perkawinan ini, karena dipandang
sebagai penghinaan terhadap perempuan. Ketiga, perkawinan ini
dianggap telah merendahkan perempuan, karena dapat dianggap
sebagai penyewaan perempuan (seorang manusia), dan dianggap
sebagai lisensi keagamaan untuk memenuhi naluri rendah
manusia. Keempat, perkawinan kontrak atau mut’ah, merupakan
salah satu bentuk kebebasan berpoligami, sedangkan undang-
undang melarang poligami. Kelima, perkawinan ini akan
menyengsarakan anak-anak yang lahir dari perkawinan ini, karena
ia tidak akan mendapatkan perlindungan dan kasih sayang
ayahnya11
Dalam pasal 2 ayat (2) undang-undang Nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan ditegaskan, bahwa tiap-tiap perkawinan
harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku12. Dalam hal ini, pernikahan umat Islam dicatat oleh
KUA. Bila dikaitkan dengan ketentuan pasal ini, sepasang laki-laki
dan wanita yang melakukan kawin kontrak sungguh akan
terkatung-katung status kepastian hukum pernikahannya, sebab
pegawai pencatat nikah (misalnya KUA) tidak akan mau
melakukan pencatatan administratif pernikahan mereka, sebab
perkawinan yang demikian bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan. Padahal, yang namanya

11Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, Daar al-Fikr, Beirut, 1983, hal.
27-32
12Undang-Undang RI Tentang Perkawinan, Edisi 2008, CV Tamita
Utama, Jakarta, hal. 4

176
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

pencatatan perkawinan itu sangatlah penting peranannya bagi


pihak-pihak lainnya.
Pencatatan perkawinan itu sama peranannya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting lainnya dalam kehidupan
seorang manusia, seperti kematian, kelahiran, dan sebagainya yang
memerlukan surat keterangan.
Dengan tercatatnya suatu perkawinan dengan resmi, maka
pasangan suami istri yang menikah akan mempunyai bukti otentik
atas peristiwa pernikahan mereka berupa salinan buku nikah, yang
kegunaannya sangat penting. Oleh karena itu, maka dikaitkan
dengan ketentuan pasal 2 di atas, terlihat jelas bahwa bentuk
kawin kontrak itu tidak sesuai dengan aturan yang mengatur
tentang pencatatan perkawinan. Dengan demikian, mereka yang
melaksanakan kawin kontrak berada dalam status yang tidak
berkepastian hukum.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa kawin kontrak itu bertentangan dengan
aturan yang mengatur tentang tujuan perkawinan dan sahnya
perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa13.
Dari rumusan pasal ini terlihat, bahwa ikatan dalam
perkawinan itu bersifat kekal, bukan hanya untuk sementara
waktu (misalnya seminggu dua minggu, satu tahun, dan
sebagainya) seperti dalam kawin kontrak. Ikatan yang kekal ini
diharapkan akan dapat mewujudkan keluarga yang bahagia lahir
batin, yang tidak mungkin akan tercapai bila perkawinan itu hanya
dilangsungkan untuk sementara waktu yang pendek saja. Oleh

13 Ibid., hal. 3
177
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

karena itu, bila dikaitkan kasus kawin kontrak yang terjadi di


masyarakat itu dengan isi pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tersebut, kawin kontrak dapat dikatakan dan jelas
bertentangan dengan ketentuan undang-undang seperti tersebut
di atas.

C. Hukum Kawin Kontrak


Perkawinan kontrak atau mut’ah telah diharamkan oleh
kesepakatan ulama, kecuali Syi’ah. Kelompok Syi’ah beralasan
kepada beberapa riwayat Sahabat dan Tabi’in yang mengatakan
bahwa perkawinan tersebut halal, yang menurut mereka
penghalalan ini dikenal sebagai riwayat yang dari Ibnu Abbas.
Sayid Sabiq mengomentari bahwa “Ibnu Abbas membolehkan
kawin kontrak (mut’ah) bila diperlukan dalam keadaan darurat
dan bukan membolehkan secara mutlak. Tetapi, ketika
diketahuinya banyak orang yang melakukannya secara tidak benar
dan berlebihan, maka pendapat ini dicabutnya kembali.
Ditegaskan bahwa kawin mut’ah ini haram hukumnya bagi orang
yang tidak mempunyai alasan yang sah untuk melakukannya”14
Namun, pada perkembangannya kemudian nikah mut’ah
tersebut dilarang untuk selama-lamanya. Hal ini didasarkan pada
hadis Rasulullah Saw :
‫صلَّى هللا َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ ْت َح َم َّكةَ قال‬
َ ‫َّب‬ ِ ِ
ِّ ‫َع ْن َسبُ ْوَرةَ اَ ْْلَُهاِن أنَّهُ َغَّز َم َع الن‬
‫ال فَلَ ْم أ‬َ َ‫صلَّى هللا َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِِف ُمْت َع ٍة النّ َس ِاء ق‬
َ ‫ول هللا‬
ٍ ‫فأقَمن ِاِباَخَْسةَعشر‬
ُ ‫فأذيْ َن لَنَا َر ُس‬ ََ َ َ َ َْ
ِ‫َّب صلَّى هللا علَيه‬ ٍ ِ
َْ َ ِّ ِ‫صلَّى هللا َعلَْيه َو َسلَّ َم َوِِف ِرَوايَة أنَّهُ َم َع الن‬ َ ‫ول هللا‬ ُ ‫ْخُر ْج َح ََّّت َحّرَم َها َر ُس‬
‫اإلستِ ْمتَ ِاع ِم َن النِّ َس ِاء َواَ َّن هللاَ قَ ْد َحَّرَم‬
ْ ‫ت لَ ُك ْم ِِف‬
ِ ‫ال َي أيُّهاالناس ِإِن ُكْن‬
ُ ْ‫ت أذن‬ ُ ّ َ َ َ َ ‫َو َسلَّ َم فَ َق‬
ِ ‫ذالِك َإإ ي وِم‬
...‫القيَ َام ِة‬ َْ َ
14Sayid Sabiq, Op. cit., hal. 148
178
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

Artinya:
“Dari Saburah Al-Juhaniy, sesungguhnya ia pernah berperang bersama
Nabi Saw pada waktu peperangan penaklukan Makkah, maka kami
berada di sana selama lima belas hari, maka Rasulullah mengizinkan kami
untuk kawin mut’ah dengan perempuan. Kemudian Saburah berkata: Aku
tidak pernah keluar dari Makkah, hingga Rasulullah Saw
mengharamkannya. Dan pada satu riwayat lain disebutkan bahwa
sesungguhnya ia pernah bersama Nabi Saw, lalu Nabi bersabda: Hai
sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu
melakukan kawin mut’ah dengan perempuan. Dan sesungguhnya Allah
telah mengharamkan hal (kawin) itu, sampai hari kiamat.” (HR
Muslim)15
Sayid Sabiq16 mengemukakan bahwa hadis ini merupakan
alasan bagi para ulama untuk mengharamkan nikah mut’ah
setelah sebelumnya dibolehkan oleh Rasulullah Saw. Di samping
hal tersebut mereka juga mengemukakan beberapa alasan, yaitu:
Pertama, perkawinan dengan pembatasan waktu ini tidak sesuai
dengan ketentuan Al-Qur’an tentang perkawinan, talak, idah dan
kewarisan. Dengan demikian bila dilakukan juga maka
perkawinannya batal, sebagaimana perkawinan lain yang
dibatalkan oleh Islam. Kedua, Umar bin Khattab, ketika menjadi
Khalifah telah mengharamkan kawin mut’ah, ketika ia berpidato
di mimbar, dan para sahabat menyetujuinya. Andaikan pendapat
Umar ini salah tentu para sahabat tidak akan menyetujuinya.,
karena mereka tidak mau menyetujui yang salah. Ketiga, Al-
Khathabiy, menjelaskan bahwa haramnya kawin mut’ah itu sudah
ijmak, kecuali oleh sebagian Syi’ah. Keempat, tujuan dari
perkawinan mut’ah itu hanyalah pelampiasan syahwat, bukan
untuk mendapatkan keturunan dan memelihara anak-anak, yang

15 Ma’mur Daud, Terjemah Hadis Shahih Muslim, Jilid 2, Cetakan ketiga,


Widjaya, Jakarta, 1993, hal. 49-50
16Sayis Sabiq, Op. cit., hal. 36

179
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

merupakan tujuan dari perkawinan. Karena itu bila ditinjau dari


tujuan pelampiasan syahwat ini, maka kawin mut’ah dapat
disamakan dengan zina. Selain itu perkawinan mut’ah atau kawin
kontrak ini, karena bersifat sementara akan membuat perempuan
dengan mudah akan berpindah dari satu tangan ke tangan yang
lain. Ini akan membuat mereka sengsara, dan anak-anak mereka
teraniaya.
Berdasarkan hadis Nabi yang datang kemudian itu, maka
sebagian besar ulama (jumhur ulama) menegaskan bahwa nikah
mut’ah (kawin kontrak) itu hukumnya haram.
Kemudian, bila kawin kontrak itu pun dikaitkan dengan
bunyi pasal 2 ayat (1) UU Nol 1/1974, akan tampak
bertentangan pula satu sama lain. Pasal ini mengatakan, bahwa
perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum agamanya
masing-masing dan menurut kepercayaannya masing-masing.
Kalau orang Islam melakukan nikah mut’ah atau nikah kontrak
hal ini berarti telah melanggar hukum agamanya sendiri, sebab
Islam telah melarang kawin kontrak bagi umat ini didasarkan pada
sebuah hadis Rasulullah Saw yang datang kemudian yang
berbunyi: “Dari Saburah, sesungguhnya Rasul bersabda, Wahai sekalian
manusia sesungguhnya aku dulu pernah mengijinkan kamu sekalian
bersenang-senang (nikah mut’ah) terhadap wanita. Maka ketahuilah,
sesungguhnya Allah telah melarang yang demikian itu sampai hari kiamat
nanti”.
Kemudian, ada hadis Nabi Saw seperti telah
dikemukakan terdahulu yang berbunyi:
‫صلَّى هللا َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َن َْ َهى َع ْن ُم َتع ِة النِّ َس ِاء يَ ْوَم َخْي بَ َر َو َع ْن اَ ْكل‬ ِ
َ ‫أ ََ ّن َ َر ُس ْو َل هللا‬
‫االنْ ِسيَّ ِة‬
ِْ ‫اْلم ِر‬
ُ ُْ
Artinya:

180
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

“Bahwasanya Rasulullah Saw melarang kita mengawini secara mut’ah


(kawin dalam waktu yang terbatas) pada hari Khaibar dan juga beliau
telah melarang makan daging khimar yang jinak”. (HR Bukhari,
Muslim)17
Jadi perkawinan kontrak, apa pun alasannya tidak dapat
diterima secara hukum, sebab sama dengan nikah di bawah
tangan atau nikah siri. Dalam pernikahan bawah tangan, istri tidak
memiliki kekuatan hukum untuk menuntut haknya atas nafkah
dan hak waris ketika terjadi perceraian. Anak pun hanya dapat
memiliki hubungan perdata dengan pihak ibu tetapi tidak dari
ayahnya, dan anak perempuan yang akan menikah akan kesulitan
mencari wali nikah.
Pandangan Muhammad Nabil Kazhim18 lebih buruk lagi.
Beliau menyamakan kawin kontrak dengan zina, karena tidak ada
unsur yang membedakan antara keduanya. Dengan mengutip
pandangan seorang ulama, beliau menyebutkan setidaknya ada 26
perbedaan antara pernikahan yang sesuai dengan syari’at dan
pernikahan yang dilakukan hanya untuk mut’ah (kontrak), yaitu
bahwa pernikahan tersebut: tidak kekal (hanya temporer); tidak
ada perceraian; tidak ada wali; tidak dihadiri banyak orang; tidak
ada saksi; tidak ada penghulu; tidak ada perjanjian; tidak ada
tempat tinggal tetap; tidak ada keadilan; tidak dihadiri keluarga;
tidak ada mahar; tidak wajib memberikan nafkah; tidak ada iddah
wafat; tidak ada warisan; bukan wanita yang beragama baik; bukan
wanita yang suci; wanita kontrak (panggilan); bisa jadi memiliki
anak, namun tanpa ikatan pernikahan; tidak ada zhihar; dan tidak
ada li’an.

17Hasbi Ash-Shiddieqy, Loc. cit.


18Muhammad Nabil Kazhim, Kaifa Takhaththith Masyruu’ Zawaj
Naajih, Diterjemahkan oleh Nashirul Haq, Lc dengan judul “Panduan
Pernikahan Ideal”, Irsyad Baitus Salam, Bandung, 2009, hal. 68-69
181
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

Banyak kasus perempuan di Indonesia yang hanya


menjadi istri kontrak laki-laki asing yang tinggal beberapa saat saja
di Indonesia, sebagai turis atau pekerja asing. Lebih dari itu,
dampak dari kawin kontrak jelas membahayakan kaum wanita.
Karena wanita dianggap seperti barang dagangan yang bisa
diperjual belikan dan dipindah-pindahkan dari satu ke lain
tangan, di samping mengancam masa depan anak-anak bila terjadi
kehamilan. Karena mereka takkan mendapatkan perlindungan
rumah tangga yang kokoh yang mendidik dan mengantarkan
pertumbuhan mereka.
Bagaimanapun, kawin kontrak atau pernikahan dengan
batas waktu tertentu, yang dilakoni oleh sebagian masyarakat
adalah bentuk penyimpangan terhadap prinsip-prinsip Islam.
Kalau konteksnya hanya untuk pemenuhan kebutuhan biologis
dan berakhir dalam waktu yang telah disepakati, maka hal ini jelas
tidak dibolehkan dalam ajaran Islam. Hubungan antara laki-laki
dan perempuan yang dibangun melalui pernikahan substansinya
bukan sekadar pemenuhan kebutuhan biologis semata, melainkan
juga untuk membangun struktur sosial yang baik, melahirkan
generasi penerus yang berakhlak dan berkualitas serta hubungan
suami istri yang membawa ketenangan.
Perilaku seperti itu seharusnya ditinggalkan, karena kalau
tetap dilakoni maka beda kawin kontrak dengan berzina sangat
tipis dan tidak ada subtansi apa-apa selain pemenuhan kebutuhan
biologis semata, kendati kawin kontrak dilegitimasi dengan proses
tertentu sehingga dianggap legal.
Bagi umat Islam di Indonesia yang umumnya beraliran
Sunni, diharamkannya kawin kontrak bukanlah hal baru yang
perlu dipersoalkan. Karena hal ini telah dipahami secara turun
temurun sejak dahulu.

182
Kawin Kontrak Fikih Kontemporer

183
BAB 12
NIKAH PADA USIA DINI

A. Hikmah dan Tujuan Perkawinan.


Hikmah disyariatkannya kawin adalah untuk memelihara
diri dari terjatuh kepada perbuatan yang diharamkan oleh agama,
karena kawin adalah metode yang alami dalam penyaluran
keinginan biologis manusia. Di samping itu, perkawinan adalah
metode atau cara yang paling baik untuk memelihara dan
mengembangbiakkan keturunan umat manusia, untuk memelihara
nasab, yang sangat penting artinya bagi kemegahan dan
perjuangan Islam. Jadi dengan dilaksanakannya perkawinan
dimaksudkan untuk menjaga kehormatan manusia itu sendiri.
Perkawinan yang dilaksanakan akan menumbuhkan dan
menghidup suburkan kesadaran akan tanggung jawab, sehingga
masing-masing akan berusaha maksimal untuk bisa menjalankan
tanggung jawabnya dengan baik, terutama bagi laki-laki.
Perkawinan akan mendorong mereka untuk berusaha dan bekerja
lebih keras untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak1
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan
perkawinan adalah:
1. Memperoleh kehidupan yang sakinah (tenteram), mawaddah
(rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang).
Hal ini disebutkan dalam Al-Qur‟an surat al-Rum/30 ayat
21 yang berbunyi:

1Isnawati Rais, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Badan Litbang dan


Diklat Dep. Agama, Jakarta, 2006, hal. 60
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

          

         


Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“
Ikatan perkawinan pada dasarnya tidak dapat dibatasi
hanya dengan pelayanan yang bersifat material dan biologis saja.
Pemenuhan kebutuhan material, seperti makanan, pakaian,
tempat tinggal dan lain-lainnya hanya sebagai sarana untuk
mencapai kebutuhan yang lebih mulia dan tinggi, yakni
kebutuhan rohani, cinta, kasih sayang dan barakah dari Allah
Swt.
Jika setiap rumah tangga muslim bisa menjadi contoh
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, maka
masyarakat yang ada di sekitarnya pun bakal menjadi masyarakat
yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Masyarakat yang tenteram,
penuh cinta dan kasih sayang dalam ridha Allah Swt.
Jika prinsip sakinah, mawaddah dan rahmah sudah tertanam
dalam keluarga, maka ini akan menular kepada ‟lingkaran‟ yang
lebih besar. Orang tua, keluarga dan saudara serta lingkungan
tempat kita tinggal akan ikut bahagia.
2. Reproduksi/Regenerasi.
Firman Allah dalam surat An-Nahl/16 ayat 72:
          

184 1
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

    


Artinya:
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rezki dari yang baik-baik.."
Dalam hadis Rasulullah Saw disebutkan:
ِ ِ ِِ ِ
‫َزَتَز َّو ُج ْو اْو َز ُج ْو َز اْو َزاُجْو َز فَزإنى َز َز اُجُج ْو َز ب ُج ْو ْوْلُجَز ُج‬
Artinya:
“Kawinlah denga wanita yang menyintaimu dan yang mampu beranak.
Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang
terbanyak” (H.R. Abu Daud)2
Nash di atas menunjukkan tujuan pentingnya reproduksi
agar umat Islam kelak di kemudian hari menjadi umat yang
banyak, dan tentu saja yang berkualitas. Sebab pada ayat yang
lain diperingatkan agar tidak meninggalkan generasi yang lemah.
Implikasinya adalah agar kita meninggalkan generasi yang kuat
dan tangguh.
Jadi, yang diutamakan adalah keturunan yang berkualitas,
baik secara iman maupun akhlak. Memperbanyak keturunan jika
tidak berkualitas, justru hanya membuat bumi ini tambah sesak
karena semakin membengkaknya jumlah penduduk di
dalamnya.
Keturunan yang dilahirkan, berupa anak-anak yang
menyejukkan hati dengan segala tingkah laku mereka yang

2Muhammad Faiz Al-Math, 1100 Hadis Terpilih Sinar Ajaran Muhammad,


Terjemahan oleh A.Aziz Salim Basyarahil, Cetakan kedua, Gema Insani Press,
Jakarta, 1992, hal. 225

1 185
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

Islami. Anak-anak yang cerdas secara intelektual, dewasa secara


emosional dan matang secara spiritual.
3. Pemenuhan Kebutuhan Biologis.
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah/2 ayat 223:
      
Artinya:
“isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja
kamu kehendaki..“
Kebutuhan biologis adalah merupakan fitrah manusia,
dan ini merupakan bagian dari kehidupan. Semua makhluk yang
bernyawa termasuk hewan memiliki instink dan kebutuhan
biologis.
4. Menjaga Kehormatan.
Firman Allah dalam surat An-Nisa‟/4 ayat 24:

         

         

            

 
Artinya:
“Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri
yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
186 1
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah


Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana“
Menjaga kehormatan harus menjadi kesatuan dengan
tujuan pemenuhan kebutuhan biologis. Artinya, di samping
untuk memenuhi kebutuhan biologis, perkawinan juga
bertujuan untuk menjaga kehormatan. Kalau hanya untuk
memenuhi kebutuhan biologis, seseorang dapat saja mencari
pasangan lawan jenisnya untuk melakukan hubungan badan.
Tetapi dengan melakukan itu, seseorang akan kehilangan
kehormatan. Sebaliknya dengan perkawinan, kedua kebutuhan
tersebut dapat terpenuhi.
5. Menyempurnakan akhlak.
Dalam hadisnya, Rasulullah Saw bersabda:
ِ ‫ض اِْولبص ِ َزح‬
‫اْوبَز ئَزةَز فَزَت ْوليَزَتتَزَتَز َّو ْوج فَزِإنَّوهُج أ َزَزغ ُّ َز َز َز ْو َز‬
‫ص ُجن ا ْول َزف ْو ِج َز َز ْون َزَلْو‬ ‫ع‬
‫استَزطَز َز‬ ‫َزَي َز ْوع َزشَز اشَّوبَز ب َز ِن ْو‬
ِ ‫ست ِط فَزَتعلَزي ِه ِ َّو‬
‫ِ َز اٌء‬ ‫اص ْو فَزِإنَّوهُج اَزهُج‬ ‫َز ْو َز ْو َز ْو‬
Artinya:
“Hai para pemuda! Siapa yang mampu berumah tangga, kawinlah!
Perkawinan itu melindungi pandangan mata dan memelihara
kehormatan. Tetapi siapa yang tidak sanggup kawin, berpuasalah,
karena puasa itu merupakan tameng baginya“ (H.R. Bukhari)3
Pernikahan dalam Islam adalah sarana efektif untuk
memperbaiki moral atau akhlak masyarakat ke arah yang lebih
baik. Moralitas masyarakat biasanya ditentukan oleh
kedewasaan kaum mudanya untuk hidup dengan akhlak yang
baik, yang merupakan pagar dan sekaligus benteng terhadap
permasalahan dan terjadinya sebuah perubahan dan
penyimpangan.
6. Ibadah.
Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah Saw bersabda:

3H.
Zainuddin Hamidy dkk., Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Jilid IV,
Cetakan kedua, Widjaya, Jakarta, 1983, hal. 8
1 187
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

ِ ‫ص ِ ْوْلَز َز‬ ِ ِِ ِ ِ ‫ن َزَت َّوج‬


‫ص َزَز ْونه فَزَت ْوليَزَت ِتَّوق َّوَّللَز ِِف نىل ْو‬
‫أحَز َزن ْو‬
‫َز َز ْو َز َز ْو‬
Artinya:
“Barangsiapa kawin (beristeri) naka dia telah melindungi (menguasai)
separo agamanya, karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada Allah
dalam memelihara yang separonya lagi” (H.R. Al-Hakim dan
Thabrani)4
Hadis tersebut menyebutkan bahwa melakukan
perkawinan adalah bagian dari melakukan agama. Melakukan
perintah dan anjuran agama tentu bagian dari ibadah. Dengan
demikian, menjadi jelas bahwa melakukan perkawinan adalah
bagian dari ibadah.

B. Dampak dari Nikah Usia Dini.


Melihat dari hikmah dan tujuan perkawinan yang telah
dikemukakan, artinya bagi yang akan melaksanakan perkawinan
harus menyiapkan diri secara matang, dan memahami akan seluk
beluk dari perkawinan. Ini baru bisa dilakukan berdasarkan
pemahaman yang benar, kesiapan dan kematangan dalam usia
perkawinan.
Banyak kalangan yang mengira terutama para pemuda,
bahwa kemampuan dalam menikah adalah kemampuan dari segi
fisik saja. Padahal aspek yang perlu diperhatikan adalah
kemampuan dari segi lahir maupun batin. Rasulullah Saw
mengizinkan seseorang untuk menikah, yaitu orang yang telah
memiliki kemampuan (baa‟ah).
Secara umum makna asal dari kata baa‟ah adalah rumah
atau tempat tinggal. Istilah ini dikaitkan dengan istilah pernikahan,
karena orang yang menikahi wanita, maka dia harus

4 Muhammad Faiz Al-Math, Loc.cit.


188 1
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

menempatkan wanita tersebut pada sebuah rumah5. Dari makna


tersebut dapat diketahui bahwa pernikahan bukanlah sebuah
hiburan atau permainan yang dapat dilakukan oleh setiap orang
yang belum berhak menikah. Seseorang yang menikah harus
memiliki rasa tanggung jawab dan melaksanakan tanggung
jawabnya.
Kenyataan yang terjadi bahwa banyak anak-anak yang
menjadi korban perkawinan dini, yakni 34,5 % dari total
perkawinan di seluruh Indonesia yang berjumlah antara 2 sampai
2,5 juta pasangan setiap tahun. Ini sangat mengkhawatirkan,
karena selain menjadi pemicu tingginya angka perceraian, juga
penyebab tetap tingginya angka kematian bayi di Indonesia.
Perkawinan dini di Indonesia sangat banyak jumlahnya
karena selain alasan budaya dan agama, juga Undang-Undang
Perkawinan belum memihak sepenuhnya pada Perlindungan
Anak. Anak itu berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak
ditentukan berumur sampai 18 tahun, tetapi di UU perkawinan,
perempuan berusia 16 tahun sudah diperbolehkan kawin. Ini jelas
tidak sinkron. Artinya UU perkawinan membolehkan perkawinan
anak.
Hal itu masih lumayan bila tercatat. Persoalannya di
Indonesia banyak sekali perkawinan yang tidak tercatat atau kawin
siri, yang oleh pelaku laki-laki sering kali berlindung atas nama
agama, padahal sebenarnya atas nama nafsu semata.
Fakta membuktikan, setahun di Indonesia ada 250.000
perceraian pasangan kawin atau 10 % dari total perkawinan, dan
sebagian besar perkawinan adalah mereka yang kawin dini. Efek
lebih jauh sangat mengerikan karena janda-janda muda ini akan
menjadi sasaran para calo trafiking. Pada sisi lain pernikahan dini

5Muhammad Nabil Kazhim, Kaifa Takhaththith Masyruu‟ Zawaj Naajih,


Diterjemahkan oleh Nashirul Haq, Lc dengan judul “Panduan Pernikahan
Ideal”, Irsyad Baitus Salam, Bandung, 2009, hal. 100
1 189
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

menjadi penyebab tingginya angka kematian bayi, yang posisi saat


ini secara nasional masih 34/1000, atau setiap kelahiran 1000 bayi
akan mati 34 orang. Kasus Syekh Puji hanyalah satu dari ratusan
ribu kasus perkawinan usia anak di Indonesia, tetapi tidak muncul
ke permukaan. Berdasarkan data Bappenas, angka perkawinan
dini mencapai 34,5 % rata-rata nasional. Bila setahun ada 2.1 juta
perkawinan yang tercatat, berarti ada 800 ribu pernikahan usia
anak yang tercatat, belum lagi perkawinan tak tercatat, jumlahnya
juga sangat banyak, seperti kasus Syekh Puji.
Tingkat perceraian mencapai 10 persen dari perkawinan,
artinya tujuan perkawinan mencapai keluarga bahagia tidak
tercapai. Pada sisi lain angka kematian bayi di Indonesia sangat
tinggi, yakni 34/1000 kelahiran atau 150.000 bayi dalam setahun.
Dari sini kelihatan ada korelasi antara pernikahan dini, tingginya
angka perceraian, dan tingginya angka kematian bayi6
Dampak dari pernikahan dini bukan hanya dari dampak
kesehatan, dimana pernikahan di bawah umur pada anak
perempuan mempunyai penyumbang terbesar terhadap kanker
serviks. Tetapi punya dampak juga terhadap kelangsungan
perkawinan.
Perkawinan yang tidak didasari persiapan yang matang,
mempunyai dampak pada terjadinya perceraian. Banyak sekali
perkawinan-perkawinan ini harus berakhir kembali ke pengadilan
dalam waktu yang tidak lama setelah perkawinan, untuk perkara
yang berbeda yaitu perceraian.
Di samping itu, perkawinan ini juga menjadi semacam
efek domino, di mana dari pernikahan dini, orang tua tersebut
tidak menyadari dampak dari pernikahan dini tersebut, kemudian
tidak memberi pemahaman atau menyalurkan dampak dari

6http://www.kpai.go.id/content/view/112/1/diakses tanggal 28 Juni


2010
190 1
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

pernikahan ini kepada turunannya, akan juga menghasilkan anak-


anak yang akhirya juga melaksanakan perkawinan dini.
Kesadaran orang tua itu baru muncul saat anak-anak telah
menghadapi masalah, yang kemudian mengharuskan mengajukan
perkara sebagamana dirinya juga pernah mengalami. Tapi apa
hendak di kata, penyesalan muncul pasti di belakang peristiwa.
Ini mengibaratkan, jika pola ini tidak diredam, hanya
menghasilkan “lingkaran setan”, dimana harus segera kita
hentikan dan keluar dari lingkaran tersebut untuk membentuk
tatanan yang baru.

C. Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini.


Selera setiap orang memang berlainan, termasuk pula
dalam hal perkawinan. Ada yang menginginkan cepat kawin dan
ada pula yang menangguhkan sampai batas-batas waktu tertentu
sesuai dengan pendidikan dan cita-cita orang tersebut dalam
hidupnya. Gadis-gadis desa yang sederhana banyak yang kawin
dalam usia muda, dan kadang-kadang bagi mereka kawin cerai
berkali-kali tidak menjadi soal, hingga dalam usia 25 tahun banyak
di antara mereka yang sudah dua atau tiga kali menikah. Dan
sebagian dari mereka merasakan hal demikian sebagai suatu
kebanggaan (sering kawin cerai berarti laris). Tetapi gadis-gadis
terpelajar cenderung kawin dalam usia lanjut, mereka
menyelesaikan studi atau berkarya dulu, baru menikah. Begitupun
gadis-gadis kota apalagi kota-kota besar, banyak yang kawin
dalam usia telah matang7

7Aisyah Dahlan, “Usia Ideal Untuk Nikah” dalam Dr.H.Dadang


Hawari (ed), Persiapan Menuju Perkawinan yang Lestari, Cetakan Keempat,
Pustaka Antara, Jakarta, 1996, hal. 39

1 191
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

Dari banyak kasus pernikahan dini yang terjadi, umumnya


disebabkan karena:
1. Faktor Pendidikan.
Peran pendidikan anak-anak sangat berpengaruh. Jika
seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian
mengisi waktu dengan bekerja, maka dia sudah merasa cukup
mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri
sendiri.
Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut
menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan
membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak
produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan
lawan jenis, yang sering dikatakan dengan “berpacaran“. Jika
berpacaran tersebut diluar kontrol bisa membuat kehamilan di
luar nikah.
Disini, terasa betul makna dari wajib belajar 9 tahun.
Jika asumsi kita anak masuk sekolah pada usia 6 tahun, maka
saat wajib belajar 9 tahun terlewati, anak tersebut sudah berusia
15 tahun. Di harapkan dengan wajib belajar 9 tahun, maka akan
punya dampak yang cukup signifikan terhadap laju angka
pernikahan dini.
2. Faktor Pemahaman Agama.
Ada sebagian dari masyarakat yang memahami bahwa
jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi
pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi
dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak
tersebut.
3. Faktor telah melakukan hubungan biologis.
Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena
anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami
istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan
cenderung segera menikahkan anaknya, karena sudah tidak
perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.
192 1
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

Persoalan ini bukanlah solusi yang menyelesaikan


masalah, justru kemungkinan di kemudian hari akan
menyesatkan anak-anak. Ketika anak kita sudah terlanjur
melakukan suatu kesalahan yang besar, bukan memperbaiki
kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru membawa anak pada
suatu kondisi yang rentan terhadap masalah. Karena sangat
besar di kemudian hari perkawinan anak-anak tersebut akan
dipenuhi konflik.
4. Hamil sebelum menikah
Ketika kondisi anak perempuan telah dalam keadaan
hamil, maka biasanya orang tua cenderung menikahkannya.
Bahkan ada beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua
anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi
karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan terpaksa orang
tua menikahkan anak gadis tersebut.
Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik
bagi anak gadis maupun orang tua. Karena dengan kondisi
seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan
lagi sebagaimana perkawinan yang diamanatkan agama dan per-
undang-undangan.

D. Kontroversi Pernikahan Siti Aisyah r.a.


Persoalan nikah dini mencuat, terutama ketika Pujiono
Cahyo Widianto atau Syekh Puji, pimpinan sebuah pondok
pesantren di Jawa Tengah menikahi Lutviana Ulfah wanita yang
baru berusia 12 tahun. Bisa jadi apa yang dilakukan oleh Syekh
Puji adalah dalam rangka mengikuti jejak Rasulullah Saw., atau
dengan kata lain mengikuti sunnah Nabi.
Kalau rujukannya pernikahan antara Rasulullah Saw
dengan Siti Aisyah r.a., tentu akan dilihat bagaimana keadaan yang
sebenarnya dengan pernikahan Nabi tersebut.
Pernikahan Aisyah r.a dan Rasulullah Saw, terutama
1 193
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

menyangkut usia Aisyah r.a. saat itu merupakan salah satu isu
yang sering diperdebatkan oleh kalangan Muslim. Ada yang
mengatakannya sebagai fakta sejarah, tetapi tidak sedikit yang
menyebutkan sebagai mitos. Oleh karena hal yang demikian, ada
yang berpandangan bahwa kawin pada usia dini itu juga
merupakan sunnah.
Pada dasarnya yang mendukung pernikahan Nabi dengan
Aisyah r.a. pada usia 6 tahun dan campur pada usia 9 tahun
adalah karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari.
Dan shahih Bukhari dianggap kitab terpercaya setelah al-Qur‟an.
Ada beberapa hadis di sekitar persoalan tersebut, di
antaranya adalah sebagai berikut:
‫ت َز ِد ْوْيَزةُج قَزَتْوب َزل‬ ِ ِ ِ
‫ُجس َز ةَز َزع ْون ه َزش ٍ َزع ْون َزبِْويه قَز َزل َتُج ُجفىيَز ْو‬
ِ ‫ح َّوداَتَزنَز عبَتي ُجدبن ْو‬
‫إْسَز عْوي َزل َزح َّوداَتَزنَز أَزبَتُج ْوأ َز‬ ‫ُجَز ْو ْو ُج‬ ‫َز‬
‫ك‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ‫َّو‬ ِ ‫َّو‬ ِ
‫ث َزسنَزَتتَزَت ْوْي أَزْو قَز ْوَتبً ْون ذَزا َز‬ ‫ْي فَزَتلَزب َز‬
‫يل اْو َزمد ْوَتنَزة بثَزالَزث سن ْو َز‬‫صلى هللا َزعلَزْويه َز َزسل َز إ َز‬ ‫انَّوب َز‬
‫ْوَز ِج ِى‬
‫ْي‬ ِ ِ ِ ‫ت ِسنِْي ُجَّو ب ِ ِه بِْون‬ ٍ ِ ‫نَز َز عإَز ِ َز ةَز ِه بِْون‬
‫ت ْوس ِ سن ْو َز‬ ‫ت س ى ْو َز َز َز َز َز َز ُج‬ ‫َز َز ُج‬ ‫َز َز‬
Artinya:
“Disampaikan kepada kami (Al-Bukhari) oleh „Ubaid ibn Isma‟il, yang
mendengar dari Abu Usamah, dari Hisyam, dari ayahnya (yang bernama
„Urwah) yang berkata, Khadijah meninggal dunia tiga tahun sebelum Nabi
Saw hijrah ke Madinah, dan Nabi menduda selama dua tahun atau
mendekati dua tahun sebelum hijrah, setelah itu Aisyah menikah (dengan
Nabi) pada umur enam tahun dan tinggal serumah (dengan Nabi Saw)
tatkala ia berumur sembilan tahun” (H.R. Bukhari).
Beberapa hadis senada yang semuanya disampaikan
Hisyam menjadi perdebatan. Sebagaimana dikemukakan
O.Hashem8 bahwa penolakan atas pernikahan Aisyah pada usia
muda telah disampaikan oleh para ahli hadis seperti Ibn Hajar
dan Adz-Dzahabi. Mereka mengatakan bahwa riwayat-riwayat

8O.
Hashem, Benarkah Aisyah Menikah dengan Rasulullah Saw. di Usia
Dini?, Mizania, Bandung, 2009, hal. 81-85
194 1
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

Hisyam ibn „Urwah yang mengatakan Aisyah menikah dengan


Nabi pada umur 6 tahun dan kumpul dengan Nabi sebagai suami
istri pada umur 9 tahun adalah riwayat lemah karena Hisyam
tatkala menyampaikan riwayat itu sudah pikun.
Riwayat-riwayat ini disampaikan Hisyam sejak ia pindah
ke Irak dari Madinah, yaitu tatkala ia sudah berumur 70 tahun.
Murid-muridnya sendiri yang tinggal di Madinah tidak mengakui
dan tidak mengutip riwayat yang disampaikan di Irak. Di
antaranya Imam Malik ibn Anas dan Imam Abu Hanifah. Kita,
misalnya, tidak akan menemui riwayat-riwayat Hisyam itu dalam
kitab Al-Muwaththa‟, tulisan Imam malik.
Penolakan lain adalah riwayat bahwa Aisyah telah memilih
Islam pada awal kenabian dan masuk urutan penganut ke-18.
Dengan demikian, ia telah jadi saksi mata 5 tahun sebelum ia
sendiri dikatakan lahir oleh Hisyam.
Atau Aisyah sendiri mengatakan bahwa ia menyaksikan
Nabi bolak balik ke rumahnya pagi dan sore, 5 tahun sebelum ia
lahir dikatakan lahir oleh Hisyam.
Atau adanya kesaksian Aisyah sendiri yang membuktikan
bawa ia ikut perang Badar, sedangkan kalau Hisyam benar, Aisyah
masa itu baru berumur 10 tahun.
Dan adanya kesaksian Anas ibn Malik bahwa Aisyah ikut
perang Uhud, sedangkan kalau Hisyam benar, umur Aisyah baru
11 tahun. Ini bertentangan dengan kenyataan bahwa Rasul
memulangkan remaja-remaja yang belum berumur 15 tahun
ketika itu.
Juga suatu peristiwa yang dianggap tidak pantas, bahwa
Nabi menyuruh istrinya, Aisyah membersihkan darah dari wajah
lelaki pembantu rumah tangga bernama Usamah yang mimisan,
padahal Usamah setahun lebih tua atau seumur dengan Aisyah.
Yang pantas, bila Aisyah jauh lebih tua daripada Usamah, seperti
ibu dan anak.

1 195
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

E. Ketentuan per-Undang-Undangan tentang Batasan Usia


Pernikahan.
Seperti dikemukakan oleh Zakiah Daradjat9 bahwa
menjelang umur tiga belasan anak berada dalam fase puber, yang
mulai menampakkan perubahan-perubahan dalam bentuk fisiknya
dan menunjukkan tanda-tanda keresahan atau kegelisahan dalam
kehidupan mental atau batinnya. Ia mulai meningkat remaja dan
merasakan adanya kebutuhannya untuk menjadi seorang manusia
dewasa, yang dapat berdiri sendiri, menemukan sendiri nilai-nilai
dan membentuk cita-cita sendiri bersama-sama dengan remaja
lainnya.
Pada perkembangan fisik dari remaja terjadi percepatan
dalam pertumbuhannya. Orang tua melihat bahwa anaknya secara
tiba-tiba tambah tinggi dan besar, nafsu makannya juga sangat
bertambah. Pada masa ini remaja sangat memperhatikan
perkembangan badannya. Dan tidak jarang timbul perasaan
canggung terhadap perubahan badan tersebut. Juga terjadi
kematangan seksual dan terjadi perubahan hormonal yang
mempengaruhi emosi seseorang. Emosinya menjadi labil (mudah
goyah)10.
Dalam diri remaja juga timbul dorongan seksual yang
masih asing baginya sehingga harus belajar menghadapinya serta
menyalurkannya secara wajar. Pendidikan seksual oleh pihak yang
dapat dipercaya (orang tua, guru, dokter atau ulama) sangat
dibutuhkan oleh remaja pada masa ini untuk mencegah timbulnya
tanggapan yang keliru terhadap hal tersebut dan terjadinya

9Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Cetakan Keempat, Bumi

Aksara, Jakarta, 2000, hal. 69


10Edith Humris “Berbagai Dimensi Problematika Remaja Usia

Nikah” dalam Dr.H.Dadang Hawari (ed), Persiapan Menuju Perkawinan yang


Lestari, Cetakan Keempat, Pustaka Antara, Jakarta, 1996, hal. 127
196 1
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

penyimpangan yang sangat buruk akibatnya, lebih-lebih terhadap


remaja putri11.
Demikianlah problema yang dihadapi oleh anak dan
remaja memasuki masa pubertas. Emosinya tidak stabil dan
mudah goyah. Berkaitan dengan masalah perkawinan, telah diatur
batasan usia kapan seharusnya seseorang boleh menikah atau
melaksanakan perkawinan.
Dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu UU No. 1
Tahun 1974 Bab II pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun12
Di sini jelas bahwa batas umur terendah untuk kawin
menurut Undang-undang Perkawinan adalah 19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita. Tetapi dalam umur ini mereka
sebenarnya masih belum dapat berdiri sendiri dan jika hendak
menikah harus seizin orang tua. Dalam Undang-undang tersebut
Bab II pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua13
Kenyataan atau realitas yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat, banyak kasus perkawinan di bawah usia yang
bertentangan dengan Undang-Undang perkawinan. Penyebabnya
bisa jadi memang keinginan untuk menikah di usia dini seperti
kasus Lutviana Ulfah, atau karena terlanjur hamil yang
mengharuskan segera menikah, atau karena tertangkap basah
melakukan hubungan yang tidak sepantasnya. Agar pernikahan
bisa dilaksanakan, maka usia biasanya dimanipulasi.

11 Ibid.
12Undang-Undang RI Tentang Perkawinan, Edisi 2008, CV Tamita Utama,
Jakarta, 2008, hal. 6
13 Ibid., hal. 5

1 197
Nikah Pada Usia Dini Fikih Kontemporer

198 1
BAB 13
NIKAH SIRI

A. Di sekitar Nikah Siri


Kata “siri” dalam istilah nikah siri berasal dari bahasa
Arab, yaitu “sirrun” yang berarti “rahasia”. Melalui akar kata ini,
nikah siri berarti sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan
nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan
(jahr). Nikah siri bisa didefinisikan sebagai “bentuk pernikahan
yang dilakukan hanya berdasarkan aturan (hukum) agama dan
atau adat istiadat, tetapi tidak diumumkan kepada khalayak
umum, dan juga tidak dicatatkan secara resmi pada kantor
pegawai pencatat nikah, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi
yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang
beragama non-Islam”1
Dalam pengertian masyarakat, nikah siri sering disebut
“nikah di bawah tangan”. Namun lebih diarahkan pada
pernikahan yang tidak menyertakan petugas pencatat nikah
(misalnya KUA) untuk mencatat pernikahan tersebut dalam
dokumen negara. Akibatnya, kedua mempelai tidak mengantongi
surat nikah dari pihak yang berwenang.
Jadi nikah siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan
pernikahan sesuai aturan agama dalam hal ini ajaran Islam namun
karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak
terjadinya pencatatan secara sah atau legal oleh aparat yang

1Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, Visi Media, Jakarta, 2007,
hal. 22
Nikah Siri Fikih Kontemporer

berwenang dalam hal ini pemerintah yang di wakili oleh petugas


pencatat pernikahan di Kantor Urusan Agama.
Persoalan nikah siri memberikan kesan yang menarik,
setidak-tidaknya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, nikah siri
sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak
saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, namun juga
dipraktekkan oleh figur masyarakat yang selama ini sering disebut
dengan istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah lainnya yang
menandai kemampuan seseorang mendalami agama (Islam).
Kedua, nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika
seseorang hendak melakukan poligami dengan sejumlah alasan
tersendiri.
Fenomena nikah siri sudah menjadi “rahasia umum” yang
dijadikan senjata ampuh oleh sejumlah pihak untuk memenuhi
hasrat dan kepentingannya, seperti kepentingan berpoligami,
pemenuhan hasrat seksual, dan sebagainya. Nikah siri semakin
diminati karena prosesnya cepat dan mudah, alias tidak berbelit-belit
dan tidak perlu mengurus administrasi pernikahan di instansi yang
berwenang. Nikah ini juga murah harganya karena tidak perlu
mengadakan acara akad nikah dan walimahnya secara besar-
besaran sehingga calon pasangan pengantin tidak dipusingkan
dengan urusan dana pernikahan. Alasan-alasan seperti itulah yang
menyebabkan sejumlah pihak lebih suka menjadikan nikah siri
sebagai pilihan2.

B. Masalah Pencatatan Perkawinan.


Bilamana pelaksanaan perkawinan ditinjau sebagai suatu
perbuatan keagamaan maka pelaksanaannya selalu dikaitkan
dengan ajaran dari masing-masing agama yang sejak dahulu kala

2Ibid., hal. iii-iv


199
Nikah Siri Fikih Kontemporer

sudah memberikan penggarisan bagaimana seharusnya


perkawinan dilakukan, dan bila mana ditinjau sebagai suatu
perbuatan hukum maka perkawinan adalah tidak lebih dari pada
masalah keperdataan semata yang segala sesuatunya harus
mengakui apa yang telah ditetapkan oleh negara.
Untuk sahnya suatu perkawinan yang ditinjau dari sudut
keperdataan belaka adalah, bilamana perkawinan tersebut sudah
tercatat atau terdaftar. Selama perkawinan itu belum terdaftar,
maka perkawinan tersebut masih belum dianggap sah menurut
ketentuan hukum sekalipun sudah memenuhi prosedur dan tata
cara menurut ketentuan agama.
Sedangkan bilamana ditinjau sebagai suatu perbuatan
keagamaan, pencatatan perkawinan hanyalah sekadar memenuhi
administrasi perkawinan saja yang tidak menentukan sah atau
tidaknya suatu perkawinan.
Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu3. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat (2) disebutkan
bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku4
Maka pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat
yang menentukan sahnya perkawinan, karena segala perkawinan
di Indonesia sudah dianggap sah bila mana hukum agama dan
kepercayaannya itu sudah menyatakan sah.
Akan tetapi kalau dilihat penjelasan umum dari undang-
undang tersebut yang menyatakan bahwa suatu perkawinan
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing

3Undang-Undang RI Tentang Perkawinan, Edisi 2008, CV Tamita Utama,

Jakarta, 2008, hal. 4


4 Ibid.

200
Nikah Siri Fikih Kontemporer

agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap


perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dapat menimbulkan kesan bahwa
pencatatan perkawinan mempunyai peranan yang menentukan
juga terhadap suatu perkawinan5
Artinya pencatatan perkawinan memegang peranan yang
sangat menentukan dalam suatu perkawinan karena pencatatan
dimaksud merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya sesuatu
perkawinan oleh negara, dan hal ini banyak membawa
konsekuensi bagi yang bersangkutan. Bilamana suatu perkawinan
tidak dicatat sekalipun perkawinan tersebut sah menurut ajaran
agama atau kepercayaan, perkawinan tersebut tidak diakui oleh
negara, begitu pula segala akibat yang timbul dari perkawinan
tersebut, dan malahan bagi yang bersangkutan (yang
melangsungkan perkawinan) dapat dikenakan ketentuan pidana
sebagaimana diatur pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari
undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Sedangkan bagi petugas
agama yang melangsungkan perkawinan tersebut dapat dikenakan
pidana yang diatur dalam pasal 530 KUHP.
Secara administratif, bagaimanapun kekuatan hukum
kawin siri adalah lemah. Kemungkinan akan menimbulkan dilema
dan menyisakan sejumlah permasalahan, cepat atau lambat. Bila
ternyata di kemudian hari terjadi permasalahan, seperti cerai, atau
suami meninggal dunia, dengan pernikahan yang tanpa tercatat
dalam dokumen resmi, maka menyebabkan posisi wanita dalam
masalah ini menjadi lemah, karena ia tidak memegang surat nikah.
Sehingga sangat mungkin statusnya sebagai istri tidak diakui,

5Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum

Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978, hal. 13


201
Nikah Siri Fikih Kontemporer

sebagai akibat dari “kerahasiaan perkawinan mereka”. Bahkan


mungkin saja disebut sebagai wanita simpanan.
Masalah lain yang mungkin muncul, berkaitan dengan
akte kelahiran yang keberadaannya cukup penting bila anak-anak
akan sekolah. Sementara pihak berwenang tidak akan
mengeluarkannya, jika tidak mampu menunjukkan surat
perkawinan yang resmi dikeluarkan negara.

C. Latar Belakang Nikah Siri.


Di antara sejumlah alasan umum yang kerap terlontar,
Happy Susanto6 menyebut setidaknya ada dua alasan terpenting
mengapa nikah siri sering menjadi pilihan sejumlah pihak. Dua
alasan tersebut adalah:
1. Alasan kesulitan ekonomi.
Alasan ini merupakan alasan paling mendasar yang bisa
saja dimaklumi. Atas dasar alasan inilah, biasanya masyarakat
golongan bawah (miskin) yang tidak memiliki harta sehingga
tidak sanggup untuk mengurus proses pernikahan secara
resmi dan dicatat melalui pejabat yang berwenang. Bagi
mereka, yang penting pernikahan secara syariat agama bisa
dilangsungkan dan mereka bisa hidup bersama, tidak lagi
dianggap sebagai pasangan kumpul kebo, tetapi sudah sah
secara hukum agama, meskipun belum sah menurut hukum
negara. Kita sering mendengar dan melihat pemberitaan
tentang kenyataan semacam ini, pasangan suami istri yang
menikah siri tidak terlalu pusing apakah status pernikahan
mereka secara hukum negara bisa dianggap sah atau tidak,
yang penting bagi mereka hidup berkeluarga itu harus terus
berjalan. Sementara itu, masyarakat yang sudah memiliki

6 Happy Susanto, Op. cit., hal. 28-30


202
Nikah Siri Fikih Kontemporer

kesadaran tentang pentingnya pencatatan sebagai bentuk


sahnya pernikahan menurut hukum negara, akhirnya
melangsungkan pernikahan massal yang banyak
diselenggarakan oleh sejumlah lembaga sosial, seperti yayasan
atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).
2. Faktor kesegeraan dalam melangsungkan pernikahan agar
tidak terjerumus dalam pergaulan sosial yang tidak lazim,
seperti hamil di luar nikah, aborsi, dan pergaulan bebas.
Dengan menikah secara siri terlebih dahulu, paling tidak
pasangan laki-laki dan perempuan yang sedang memadu kasih
tidak terjerembab pada lobang yang berdosa dan nista.
Mereka tidak segera melangsungkan pernikahan secara resmi
karena belum tersedianya dana yang cukup untuk membiayai
acara akad dan walimah. Dalam alasan ini, nikah siri dijadikan
“jalur alternatif” untuk mempercepat proses pernikahan agar
terhindar dari pergaulan bebas dan ancaman dosanya.
Dua alasan seperti yang dikemukakan oleh Happy
Susanto di atas sepanjang itu memang realitas yang dihadapi dapat
dibenarkan dan masyarakat bisa memakluminya. Tetapi praktik
nikah siri justru kebanyakan dilakukan oleh kalangan berduit atau
pejabat untuk kepentingan berpoligami. Ini dilakukan dengan
maksud agar perkawinan tersebut dirahasiakan atau tidak
diketahui oleh orang lain, karena poligami itu sendiri dilakukan
tidak seizin dan sepengetahuan istrinya.
Di samping persoalan di atas, nikah siri kadang-kadang
dilakukan karena calon istri terlanjur hamil di luar nikah. Nikah
siri akhirnya terpaksa dilakukan sebagai jalan untuk menutupi aib
dan rasa malu dari keluarga tersebut terhadap orang-orang
(masyarakat) sekitarnya.
Nikah siri kadang-kadang dilakukan bagi calon mempelai
yang sudah bertunangan. Agar terjauh dari kemungkinan berbuat
203
Nikah Siri Fikih Kontemporer

dosa, maka dilakukan akad nikah tanpa disertai pencatatan


pernikahan7.

D. Berbagai Pandangan tentang Nikah Siri.


Praktik nikah siri yang sangat boleh jadi juga didukung
oleh sejumlah kiai yang selama ini dikenal sebagai pengasuh
pesantren. Biasanya praktik seperti itu dilakukan oleh orang-orang
yang mempunyai uang berlebih kemudian mendatangi seorang
kyai untuk memintanya menjadi wali nikah yang bersedia
menikahkan mereka secara siri. Daerah-daerah yang selama ini
dikenal sebagai pusat industri di tanah air biasanya sering menjadi
lahan bisnis nikah siri8
Praktik nikah siri juga membuktikan bahwa sesungguhnya
nikah model ini tidak sepenuhnya dilandasi dengan itikad baik.
Maksudnya, niat pihak-pihak yang menikah siri lebih dilandasi
oleh keinginan-keinginan seksual dan material semata. Nikah siri
pada perkembangan akhir-akhir ini kerap dijadikan “tempat
pelarian” bagi sejumlah pihak yang ingin berpoligami, tetapi tanpa
memberitahukannya kepada istri sebelumnya. Poligami yang
berkendaraan nikah siri ini telah menjadi senjata paling ampuh
yang digunakan oleh sejumlah laki-laki yang ingin menyalurkan
hasrat seksualnya dengan cara beristri lebih dari hanya seorang.
Tidak sedikit dari mereka yang memanfaatkan cara itu sebagai
aksi perselingkuhan. Berbeda dengan perselingkuhan pada
umumnya, perselingkuhan yang satu ini lebih mendapat
pengakuan secara agama. Artinya, sebagian kalangan menganggap

7 Kamal Muchtar, “Nikah Siri di Indonesia”, Al-Jami’ah, No. 56,

1994, hal. 13-14


8 Happy Susanto, Op. cit., hal. 25

204
Nikah Siri Fikih Kontemporer

bahwa dengan menikah secara siri, seseorang dapat terhindar dari


perzinaan yang jelas-jelas dilarang dalam agama9
Di kalangan ulama dan masyarakat muslim sendiri,
terdapat perbedaan pandangan tentang nikah siri, ada yang
menghalalkan, mengharamkan, hingga ada yang berada di posisi
tengah-tengah. Perbedaan pandangan tersebut sangat lumrah
terjadi karena masing-masing pihak berargumen dengan
interpretasinya masing-masing.
Thontowi Jawahir, sebagaimana dikutip Happy Susanto10,
memetakan perdebatan tentang nikah siri ke dalam tiga
pandangan sebagai berikut:
1. Kelompok pertama memandang bahwa nikah siri tidak
dilarang atau boleh-boleh saja dilakukan, dengan
berpegangan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Nikah siri dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah
timbulnya pelanggaran hubungan antara laki-laki dan
perempuan.
b. Nikah siri dilakukan dengan mematuhi syarat dan rukun
yang digariskan dalam hukum Islam.
c. Nikah siri dilakukan dengan mempertimbangkan alasan
dari sudut agama, bahwa Islam mengajarkan agar
mempermudah pernikahan, jangan menunda-nunda
meskipun masih ada beban ekonomi. Selain didasarkan
pada ketentuan hukum Islam, praktik nikah siri kadang
lebih ditentukan karena urusan dari keluarga masing-
masing.
2. Kelompok kedua memandang bahwa nikah siri dilarang
karena mudharatnya lebih banyak, dengan alasan sebagai
berikut:

9 Ibid.
10 Ibid., hal. 26-28
205
Nikah Siri Fikih Kontemporer

a. Nikah siri dilarang karena hukum yang dianut seharusnya


adalah hukum positif, mengingat hukum Islam sudah ter-
cover di dalamnya.
b. Nikah siri menimbulkan dualisme dalam penerapan
hukum, sehingga unifikasi dan kepastian hukum tentang
pernikahan bisa hilang.
c. Nikah siri menimbulkan masalah, seperti proses
perceraian yang menyulitkan kedua belah pihak akibat
tidak dicatatnya pernikahan secara resmi.
d. Dalam nikah siri, suami tidak mempunyai tanggung jawab
dan kewajiban yang besar dan mengikat karena
kecenderungan yang kerap terjadi bahwa ekonomi rumah
tangga ditanggung sendiri-sendiri.
e. Nikah siri menjadi lahan empuk yang sering dipraktikkan
oleh pejabat dan PNS.
3. Kelompok ketiga kecenderungannya berada di tengah-tengah,
yaitu membolehkannya asalkan disesuaikan dengan ketentuan
hukum positif, yaitu mencatatkannya secara resmi melalui
pejabat yang berwenang, meski tanpa harus segera
melaksanakan walimah. Pandangan ketiga ini berusaha
menjembatani kebuntuan antara pro dan kontra terhadap
nikah siri. Pandangan ketiga ini, selain bermuatan kepentingan
agar umat Islam mematuhi dan memiliki kesadaran hukum
yang tinggi (baik terhadap hukum agama maupun hukum
positif) juga memiliki pesan agar perkawinan tersebut
didukung atau disetujui oleh pihak-pihak keluarga yang
terlibat.
Dalam pernikahan siri atau nikah di bawah tangan, istri
tidak memiliki kekuatan hukum untuk menuntut haknya atas
nafkah dan hak waris ketika terjadi perceraian. Anak pun hanya
dapat memiliki hubungan perdata dengan pihak ibu tetapi tidak
206
Nikah Siri Fikih Kontemporer

dari ayahnya, dan anak perempuan yang akan menikah akan


kesulitan mencari wali nikah.
Dalam perkembangannya, dan setelah mengevaluasi
tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, pemerintah dalam hal ini Kementerian
Agama menginventarisir banyak persoalan di sekitar pelaksanan
perkawinan termasuk nikah yang dilakukan secara siri.
Dalam Rancangan Undang-undang sebagai kaitan dari
undang-undang perkawinan tersebut antara lain ditentukan bahwa
siapapun yang menikahkan atau menikah tanpa dicatatkan dikenai
sanksi pidana 3 bulan penjara dan denda Rp.5 juta. Sedangkan
penghulu yang menikahkannya mendapat sanksi pidana 1 (satu)
tahun penjara. Pegawai KUA yang menikahkan tanpa syarat
lengkap, juga diancam denda Rp. 6 juta rupiah dan 1 (satu)
tahun penjara.
Terhadap rancangan perundang-undangan tersebut
banyak reaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga
dalam perjalanannya hingga saat ini belum juga diundangkan,
karena berbagai reaksi dan pandangan yang muncul di tengah-
tengah masyarakat.
Menyangkut dengan pemidanaan seperti tersebut di atas,
ada yang berpandangan seharusnya pemerintah tidak menghukum
bagi yang melakukan nikah siri, penghulu yang menikahkan dan
pegawai KUA yang menikahkan tanpa syarat lengkap.
Seharusnya hanya berupa hukuman administratif bukan sanksi
pidana, sehingga secara administrasi pernikahan siri tetap sah,
karena rukun nikah semua terpenuhi. Jadi yang terpenting adalah
apakah sah atau tidak sah secara agama, bukan sah atau tidak sah
menurut negara.
Jika nikah tersebut telah sah secara agama, negara tinggal
mengarahkannya agar sah secara negara, bukan malah
207
Nikah Siri Fikih Kontemporer

mempidanakannya karena mereka tidak melakukan kejahatan.


Namun sebaliknya jika pernikahan itu tidak sah secara agama
seperti pernikahan antar agama yang juga dilarang dalam Undang-
undang Perkawinan, maka negara harus mempidanakan karena itu
merupakan kejahatan, karena mempermainkan rukun nikah dan
syariat Islam. Jika pemerintah tetap nekat mengajukan Rancangan
Undang-undang Peradilan Agama tentang Perkawinan ke DPR,
maka itu berarti ingin mengundang reaksi umat Islam sekaligus
melawan hukum Allah Swt11
Pro dan kontra terhadap RUU yang akan melengkapi UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu terutama
menyangkut pengenaan sanksi pidana terhadap perkawinan siri,
perkawinan mut’ah, perkawinan kedua, ketiga dan keempat, serta
perceraian yang tanpa dilakukan di muka pengadilan, berzinah
dan bertolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi
wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Ancaman hukuman
bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari
Rp 6 juta hingga Rp 12 juta12.
Kelompok yang tidak setuju pengenaan sanksi
berpendapat, pemidanaan mengandaikan perkawinan siri atau
perkawinan bawah tangan, yaitu perkawinan yang memenuhi
syarat agama tetapi tak dicatatkan dan dilakukan dihadapan
pegawai pencatat nikah (petugas Kantor Urusan Agama), sebagai
sah.
Yang setuju sanksi pidana pada perkawinan bawah tangan
dan kawin mut’ah (kawin kontrak), dalam hal ini Kementerian
Agama sebagai pembuat RUU, beralasan banyak terjadi
pembelokan makna perkawinan. Tujuan membentuk keluarga

11
Abdul Halim, “Undang-Undang Perkawinan dalam Bahaya”Suara
Islam, Edisi 62, tanggal 6-20 Maret 2009
12 Harian Kompas, tanggal 12 Feruari 2010

208
Nikah Siri Fikih Kontemporer

sakinah yang membawa kebahagiaan tak tercapai ketika kawin


bawah tangan dan kawin kontrak dilakukan dengan mudah dan
menimbulkan masalah, terutama pada perempuan (istri) dan anak
yang lahir dari pernikahan itu.
Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar mengatakan
kepada Kompas, alasan dibuatnya RUU yang sudah tertahan lama
di (dulu) Departemen Agama itu adalah untuk melindungi
perempuan dan anak. Kementerian Agama, menurut Nasaruddin,
mencatat banyak kasus istri dan anak ditelantarkan karena
pernikahan bawah tangan dan kawin kontrak.
Di sini juga terjadi praktik wali hakim palsu, dan RUU
dimaksudkan meredam praktik tersebut. Yang mengawinkan dan
yang dikawinkan akan sama-sama terkena sanksi.

209
Nikah Siri Fikih Kontemporer

210
BAB 14
TRANSPLANTASI (PENCANGKOKAN)
ORGAN TUBUH

A. Hukum Transplantasi Organ Tubuh.


Kata transplantasi berasal dari bahasa Inggris transplant
yang berarti memindahkan sebagian dari organ tubuh dari
seseorang atau dari tubuh sendiri ke tempat yang lain.
Transplantasi atau pencangkokan anggota tubuh
merupakan salah satu temuan baru dalam bidang kedokteran. Ia
merupakan pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya
hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak
sehat dan tidak berfungsi dengan baik. Atau dengan kata lain
transplantasi adalah pencangkokan organ tubuh seseorang kepada
orang lain yang dalam keadaan sakit1. Jadi perpindahan organ
tubuh seseorang kepada orang lain yang sangat membutuhkannya.
Pengertian yang hampir senada dikemukakan oleh Aam
Amiruddin2 bahwa transplantasi adalah pemindahan organ tubuh
dari orang sehat atau mayat yang organ tubuhnya mempunyai
daya hidup dan sehat, kepada orang lain yang memiliki organ
tubuh yang tidak berfungsi lagi, sehingga resipien (penerima organ
tubuh) dapat bertahan hidup secara sehat.

1Moh. Irfan, dkk. Kajian Fikih Sosial.., Proyek Peningkatan Pondok


Pesantren Departemen Agama bekerjasama dengan Indonesian Institute for
Civil Society, Jakarta, 2002, hal. 109
2Aam Amiruddin, Bedah Masalah Kontemporer: Ibadah dan Mu’amalah,

Cetakan V, Khazanah Intelektual, Bandung, 2008, hal. 274


Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

Adapun tujuan transplantasi organ tubuh adalah sebagai


usaha terakhir pengobatan bagi seseorang, setelah pengobatan
dengan cara medis mengalami kegagalan. Pendek kata ia
bertujuan untuk kesembuhan seseorang yang menderita penyakit
tertentu. Ada dua kemungkinan mengapa transplantasi itu
dibutuhkan, adakalanya hal itu untuk menjaga kesinambungan
kehidupan manusia, seperti pencangkokan jantung, ginjal, dan
hati. Adakalanya pula hanya untuk menyempurnakan atau
menutupi kekurangan yang ada pada diri seseorang, seperti
pencangkokan mata dan kaki. Kemungkinan kedua ini, apabila
tidak dilakukan tidak akan mengganggu kesinambungan
kehidupan seseorang3. Tujuan utama transplantasi adalah untuk
menjaga kesinambungan kehidupan manusia.
Organ tubuh yang biasa dicangkokkan selama ini terdiri
dari mata (kornea mata), ginjal, dan jantung. Namun melihat
perkembangan teknologi yang dewasa ini sangat canggih, maka
tidak menutup kemungkinan transplantasi tidak hanya dilakukan
pada mata, ginjal dan jantung, akan tetapi juga pada organ-organ
tubuh lainnya seperti kaki, tangan, dan hati. Bahkan transplantasi
yang selama ini hanya berputar pada organ tubuh manusia, sangat
mungkin bisa dikembangkan pada organ tubuh hewan.
Perkembangan seperti ini sudah sepatutnya diberikan perhatian
oleh kalangan umat Islam. Mengingat bahwa temuan ini
merupakan temuan baru yang dilihat dari kaca mata fikih
merupakan persoalan ijtihadiyah4
Dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga
pihak yang terkait dengannya: Pertama, donor, yaitu orang yang
menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk
dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita

3Fathurahman Djamil,MetodeIjtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos,


Jakarta, 1995, hal. 112
4 Mod. Irfan, Op.cit., hal. 110

211
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

sakit, atau terjadi kelainan. Kedua, resipien, yaitu orang yang


menerima organ tubuh dari donor yang karena satu dan lain hal,
organ tubuhnya harus diganti. Ketiga, tim ahli, yaitu para dokter
yang menangani operasi transplantasi dari pihak donor kepada
resipien5
Hukum transplantasi anggota tubuh manusia pada
dasarnya dibolehkan dengan pertimbangan: Pertama, dalam agama
Islam manusia tidak diperkenankan menyakiti dirinya sendiri
apalagi orang lain. Termasuk dalam kategori menyakiti diri sendiri
adalah manakala ia sakit, ia membiarkan penyakit itu ada pada
dirinya dan tidak mencari obat demi sembuhnya penyakit
tersebut. Oleh karena itu, manusia—menurut Islam—diwajibkan
untuk senantiasa berusaha mencari pengobatan manakala ia
menderita sakit6. Islam memerintahkan agar setiap penyakit
diobati. Membiarkan penyakit bersarang dalam tubuh dapat
berakibat fatal, yaitu kematian.
Kedua, bahwa manusia tidak diperbolehkan membunuh
dirinya sendiri atau membiarkan orang lain meninggal dunia atas
ridhanya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat An-Nisa’
ayat 29:
    
Artinya:
“Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri”.
Maksudnya, apabila sakit, berobatlah secara optimal sesuai
dengan kemampuan, karena setiap penyakit sudah ditentukan
obatnya.

5Abdul Wahab Abd Muhaimin, “Pandangan Hukum Islam tentang


Transplantasi Organ Tubuh” dalam Masail Fiqhiyah, Cetakan ke-2, UIN Jakarta
Press, Jakarta, 2006, hal. 101
6Moh. Irfan, Op.cit., hal. 111

212
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

Selanjutnya firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’


ayat 33:
       
Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”
Ayat 33 surat Al-Isra di atas di samping memberikan
pengertian bahwa manusia tidak diperkenankan membunuh
manusia yang lain, ia juga mencakup pengertian bahwa manusia
tidak diperkenankan membiarkan orang lain meninggal dunia
karena dirinya. Karena membiarkan orang lain meninggal dunia,
sementara ada orang yang mampu menolongnya, maka hal itu
pada dasarnya adalah sama dengan membunuh mereka7
Dari persoalan yang dikemukakan terlihat bahwa
transplantasi termasuk jenis pengobatan. Persoalannya,
bagaimana hukum mendonorkan organ tubuh untuk
ditransplantasi?

B. Hukum Transpalantasi Organ Tubuh Donor dalam


Keadaan Sehat.
Sebagaimana telah ditentukan bahwa seseorang tidak
dibenarkan memperlakukan tubuhnya dengan sekehendak hati
pada waktu dalam keadaan hidup dengan melenyapkannya dan
membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak dibolehkan
mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan
mudarat buat dirinya. Artinya bahwa kesehatan dan keselamatan
donor harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan
transplantasi, jika karena transplantasi fungsi fisik seorang donor
akan terganggu dan berakibat pada keselamatan jiwanya, maka hal

7 Ibid., hal. 112


213
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

itu adalah dilarang, sekalipun hal itu berakibat pada kematian


orang lain.
Yusuf Qardhawi8 mengemukakan, dalam kaidah syar’iyah
ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat
mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang
yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang
terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan
tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang
yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun
lainnya. Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat
suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau
sekelompok banyak orang, tetapi dia tidak berusaha
menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu dan bisa
menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya
menurut kemampuan yang ada padanya. Karena itu berusaha
menghilangkan penderitaan seorang muslim yang menderita
gagal ginjal misalnya, dengan cara mendonorkan salah satu
ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan
syara’, bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang
melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi
orang yang di bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih
sayang dari yang di langit.
Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata,
bahkan Islam menganggap semua kebaikan sebagai sedekah,
maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk dalam
kebaikan atau sedekah. Karena itu, mendermakan sebagian dari
organ tubuh merupakan pendekatan diri kepada Allah yang
paling utama dan sedekah yang paling mulia.

8Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terjemah oleh Drs. As’ad


Yasin, Jilid 2, Cetakan keenam, Gema Insani, Jakarta, 2009, hal. 758

214
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

Namun seseorang tidak dibolehkan mendonorkan organ


tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau
jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya
organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar
dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya.
Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar,
seperti mata, tangan, dan kaki, karena yang demikian itu adalah
menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar
pada diri sendiri yang lebih besar, sebab dengan begitu dia
mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan
buruk rupanya.
Ketika akan melakukan tansplantasi dalam hal donor
hidup sehat, harus dilakukan seleksi yang cermat dan harus
diadakan general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap
menyeluruh) baik terhadap donor, maupun terhadap resipien.
Hal ini dilakukan demi untuk menghindari kegagalan transplantasi
yang disebabkan adanya penolakan tubuh resipien dan juga untuk
menghindari dan mencegah risiko bagi donor. Sebab menurut
data statistik, satu dari seribu donor meninggal dan si donor juga
was-was dan merasa tidak aman, karena menyadari dengan
menyumbangkan sebuah ginjal misalnya. Ia tidak akan
memperoleh kembali ginjalnya seperti sedia kala9
Ada beberapa catatan penting yang berkaitan dengan
transplantasi ini, berdasar hasil dari bahtsul masail (pembahasan
berbagai masalah-masalah keagamaan) yang diselenggarakan oleh
Pesantren Lirboyo Kediri:
Pertama, antara donor dengan resipien harus ada kesamaan
agama. Hal ini penting, mengingat bahwa manusia diciptakan
oleh Allah Swt di dunia ini adalah dalam rangka mengabdi
kepada-Nya, bukan untuk menyekutukan-Nya. Apabila
transplantasi diperuntukkan bagi orang di luar Islam, maka hal itu

9Abdul Wahab Abd Muhaimin, Op. cit., hal. 101-102


215
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

sama halnya dengan mempertahankan kemusyrikan bertebaran di


muka bumi.
Pandangan tersebut berbeda dan bertolak belakang
dengan pendapat Yusuf Qardhawi10 yang justru membolehkan
antara donor dan resipien yang berbeda agama. Beliau
berpandangan bahwa mencangkokkan organ tubuh orang non-
muslim kepada orang muslim tidak terlarang, karena organ
tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia
hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya
sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu
organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim,
maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat
baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang
diperintahkan Allah Ta’ala. Hal ini sama dengan orang muslim
yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya
untuk berperang fi sabilillah.
Namun menurut Yusuf Qardhawi tidak boleh
memberikan donor kepada orang kafir harbi yang memerangi
kaum muslim. Misalnya orang kafir yang memerangi kaum
muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam.
Demikian pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh
kepada orang murtad yang keluar dari Islam secara terang-
terangan. Karena menurut pandangan Islam, orang murtad berarti
telah menghianati agama dan umatnya sehingga ia berhak
dihukum bunuh.
Lebih jauh Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa
organ-organ di dalam tubuh orang kafir itu adalah muslim
(tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih dan
bersujud kepada Allah Swt, sesuai dengan pemahaman yang
ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu yang ada di
langit dan di bumi itu bersujud menyucikan Allah Ta’ala,

10 Yusuf Qardhawi, Op. cit., hal. 760-761


216
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih. Kalau


begitu, maka yang benar adalah bahwa kekafiran atau keislaman
seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya
termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri, yang oleh Al-
Qur’an ada yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu,
mati dan hidup. Padahal yang dimaksud disini bukanlah organ
yang dapat diraba (ditangkap dengan indra) yang termasuk
bidang garap dokter spesialis dan ahli anatomi, sebab yang
demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir,
serta antara yang taat dan yang bermaksiat. Tetapi yang
dimaksud dengannya adalah makna ruhiyahnya yang
dengannyalah manusia merasa, berpikir, dan memahami
sesuatu11
Kedua, bahwa kesanggupan seorang donor ketika hendak
mendonorkan organ tubuhnya harus didasarkan atas
pertimbangan bahwa hal itu untuk menyelamatkan jiwa orang lain
dan tidak berbahaya bagi dirinya sendiri. Apabila hal itu justru
akan membahayakan dirinya, maka hukum transplantasi menjadi
tidak diperbolehkan.
Ketiga, dalam kasus bahwa donor adalah orang yang telah
meninggal dunia, maka harus meminta izin kepada ahli waris
yang bersangkutan. Namun tetap saja hal ini dibolehkan manakala
kondisi resipien benar-benar dalam keadaan darurat, yang bilamana
tidak dilakukan transplantasi ia akan meninggal dunia, sementara
dia telah menempuh berbagai cara pengobatan dan tidak
berhasil12
Di samping itu, komisi fatwa dan hukum Majelis Ulama
Indonesia menyatakan bahwa seseorang boleh menghibahkan
kornea matanya kepada orang lain, baik semasa ia hidup maupun
setelah mati (wasiat) asal tidak membahayakan si pendonor.

11 Ibid., hal. 766-767


12 Moh. Irfan, Op. cit., hal. 113-114
217
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

Lembaga fikih Islam, dalam rapatnya yang ke-8 di


selenggarakan di Mekkah pada tanggal 19-28 Januari 1985,
memutuskan transplantasi organ manusia itu boleh, tapi harus
memenuhi empat syarat, yaitu: tidak menimbulkan bahaya bagi
pendonor, pendonor secara suka rela memberikan organ
tubuhnya, transplantasi tersebut memang untuk pengobatan si
sakit dan adanya indikasi prasangka kuat bahwasanya operasi akan
berhasil dengan baik13. Artinya bagi si pendonor tidak akan
menimbulkan mudarat, dan bagi si sakit akan menimbulkan
manfaat dengan kesembuhannya dari penyakit yang diderita.
Pendapat yang tidak membolehkan transplantasi organ
tubuh diambil dari orang yang masih hidup, di antaranya adalah
pendapat dari Abdul Wahab Abd Muhaimin14. Alasan yang
dikemukakan adalah firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat
195 sebagai berikut:
    
Artinya:
”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
Ayat tersebut mengingatkan, agar jangan gegabah dan
ceroboh dalam melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan
akibatnya, yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor,
meskipun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang
baik dan luhur. Umpamanya seseorang menyumbangkan sebuah
ginjalnya, atau sebuah matanya kepada orang lain yang
memerlukannya, karena hubungan keluarga atau karena teman,
dan lain-lain. Kemungkinan juga, ada yang mau mengorbankan
organ tubuhnya, dengan harapan ada imbalan dari orang yang
memerlukan, disebabkan karena dihimpit oleh penderitaan hidup
13
http://hukumkriminal.infogue.com/dua_wni_jualbeliorgan,
Diakses tgl. 17 Juni 2010
14 Abdul Wahab Abd Muhaimin, Op. cit., hal. 103-104

218
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

atau krisis ekonomi. Tetapi dalam masalah yang disebutkan


terakhir ini, yaitu memberikan organ tubuh karena mengharapkan
imbalan atau dengan istilah menjualnya, maka hukumnya haram,
karena tidak boleh memperjualbelikan organ tubuh manusia,
karena seluruh tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk
ikhtishash). Manusia hanya berhak mempergunakannya, tetapi
tidak boleh menjualnya, walaupun organ tubuh itu dari orang
yang sudah meninggal.
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu ia
masih hidup sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi risiko,
suatu waktu akan mengalami ketidak wajaran, karena mustahil
Tuhan menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau
tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia. Bila
ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sukar untuk ditolong
kembali. Sama halnya menghilangkan penyakit dari resipien
dengan cara membuat penyakit baru bagi si donor.

C. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor dalam


Keadaan Koma.
Apabila donor dalam keadaan koma atau diduga kuat
akan meninggal segera, maka dalam pengambilan organ tubuh
donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan,
misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus.
Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut
setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya. Hanya
kriteria mati secara medis/klinis dan yuridis, perlu ditentukan
dengan tegas dan tuntas, apakah kriteria mati itu ditandai dengan
berhentinya denyut jantung dan pernafasan. Atau ditandai dengan
berhentinya fungsi otak. Penegasan ktireria tersebut sangat
penting bagi dokter sebagai pegangan dalam menjalankan
tugasnya, sehingga ia tidak khawatir dituntut melakukan

219
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

pembunuhan berencana oleh keluarga yang bersangkutan


sehubungan dengan praktek transplantasi15
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam
keadaan masih hidup, meskipun dalam keadaan koma, hukumnya
tetap haram walaupun menurut dokter bahwa si donor itu akan
segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematianya
dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut dapat dikatakan
euthanasia atau mempercepat kematian. Tidak etis melakukan
transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat.
Orang yang sehat, seharusnya berusaha untuk menyembuhkan
orang yang sedang koma itu, meskipun menurut dokter, bahwa
orang sudah koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk
sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali
walaupun itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien
tersebut sudah tidak ada harapan untuk hidup.

D. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor dalam


Keadaan Telah Meninggal.
Ketika donor dalam keadaan meninggal, organ tubuh
yang akan dicangkokkan diambil berdasarkan ketentuan medis
dan yuridis. Di samping itu, juga harus diperhatikan daya tahan
organ yang akan dicangkokkan, apakah masih ada kemungkinan
untuk bisa berfungsi bagi resipien, atau apakah sel-sel dan
jaringannya sudah mati, sehingga tidak bermanfaat lagi bagi
resipien.
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal)
yang sudah meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya
mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam, dengan
syarat bahwa resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam
keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan

15 Ibid., hal. 102


220
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal,


tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan kaidah fikih: ”Darurat
akan membolehkan yang diharamkan”. Juga berdasarkan kaidah
fikih: ”Bahaya itu harus dihilangkan”. Juga pencangkokan cocok
dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi
penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan keadaan
sebelumnya. Di samping itu harus ada wasiat dari donor kepada
ahli warisnya untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia
meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya16
Pandangan senada dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi17,
di mana seseorang berwasiat mendonorkan anggota tubuhnya
ketika sudah meninggal, beliau membolehkannya. Dengan alasan,
apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ
tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja
akan mendatangkan kemelaratan—meskipun kemungkinan itu
kecil—maka tidaklah terlarang dia mewasiatkannya setelah
meninggal dunia. Sebab yang demikian itu akan memberikan
manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan
mudarat sedikit pun kepada dirinya, karena organ-organ tubuh
orang yang meninggal akan dimakan tanah beberapa hari
setelah dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ
tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri dan mencari
keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan
niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara’
yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu
adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang sahih dan sharih
(jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak
dijumpai.

16 Ibid., hal. 106-107


17 Yusuf Qardhawi, Op.cit., hal. 762-763
221
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

Termasuk dalam hal si mayit tidak berwasiat untuk


mendonorkan anggota tubuhnya, menurut Yusuf Qardhawi18tidak
terlarang bagi ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh
mayit yang dibutuhkan oleh orang-orang sakit untuk
mengobati mereka, seperti ginjal, jantung, dan sebagainya,
dengan niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang
berkesinambungan pahalanya selama si sakit (resipien) masih
memanfaatkan organ yang didonorkan itu.
Syekh Yusuf ad-Dajwa dan Syekh Hasanain Muhammad
Makhluf (ahli fikih dan mantan mufti mesir) menyatakan
pemanfaatan tubuh orang yang sudah meninggal diperbolehkan,
begitu juga dalam hal otopsi, apalagi demi perkembangan ilmu
pengetahuan19

E. Jual Beli Organ Tubuh.


Di Indonesia organ tubuh yang dikomersialkan hukumnya
adalah terlarang, sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 33 ayat
(2) Undang-Undang tersebut menyebutkan, transplantasi organ
dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah dilakukan hanya
untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial
atau diperjual belikan.
Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam hukuman
penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp 300 juta.
Selain itu diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No.18 Tahun
1981 yang melarang jual beli organ tubuh manusia dan melarang
memberi dan menerima penggantian kerugian dalam bentuk
apapun.

18Ibid., hal. 765


19
http://hukumkriminal.infogue.com/dua_wni_jualbeliorgan,
Diakses tgl. 17 Juni 2010
222
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

Tapi ada hal yang aneh dari negara lain, dokter dari USA
mengusulkan jual-beli organ tubuh manusia di legalkan dengan
alasan kekurangan stok organ tubuh yang harus dipakai. Karena
bisa dilihat di USA sendiri kira-kira 6.000 jiwa meninggal karena
tidak mendapatkan donor. Sedangkan sumber organ terbesar
hanyalah dari orang-orang yang baru mengalami hukuman mati
saja.
Menanggapi permasalahan jual-beli organ tubuh ini, rata-
rata baik itu fatwa ataupun pendapat para ulama menyatakan
keharaman dalam penerapannya. Karena manusia merupakan
ciptaan Allah yang sempurna, oleh karena itu sebenarnya yang
berhak atas tubuh kita adalah yang menciptakannya. Kita bisa
melihat beberapa fatwa yang mengharamkan penjualan organ
tubuh dalam bentuk apapun20
Ketika diperbolehkan mendonorkan salah satu organ
tubuh, bukan berarti diperbolehkan memperjual belikannya.
Yusuf Qardhawi21 menyatakan bahwa tubuh manusia itu bukan
harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan
sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan
jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi dibeberapa
daerah miskin, di sana terdapat pasar yang mirip dengan pasar
budak. Di situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin
dan orang-orang lemah—untuk konsumsi orang-orang kaya—
yang tidak lepas dari campur tangan "mafia baru" yang
bersaing dengan mafia dalam masalah minum-minuman keras,
ganja, morfin, dan sebagainya.
Lebih jauh Yusuf Qardhawi22 menjelaskan, apabila
orang yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang
kepada donor—tanpa persyaratan dan tidak ditentukan

20Ibid.
21Yusuf Qardhawi, Op. cit., hal. 761-762
22 Ibid, hal. 762
223
Transplantasi (Pencangkokan) Organ Tubuh Fikih Kontemporer

sebelumnya, semata-mata untuk hibah, hadiah, dan bentuk


pertolongan—maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh),
bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama
dengan pemberian orang yang berhutang ketika mengembalikan
pinjaman atau hutangnya dengan memberikan tambahan yang
tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara’
dan terpuji.

224
BAB 15
EUTHANASIA

A. Pengertian Euthanasia dan Macam-Macamnya.


Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani eu yang
artinya „baik‟ dan thanatos yang berarti „kematian‟1 Pengertian
euthanasia menurut Yusuf Qardhawi2 ialah tindakan
memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa
merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif
maupun negatif.
Definisi senada dikemukakan oleh Setiawan Budi Utomo3
yaitu tindakan memudahkan kematian atau mengakhiri hidup
seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasihan
untuk meringankan penderitaan si sakit. Tindakan ini dilakukan
terhadap penderita penyakit yang tidak mempunyai harapan
sembuh. Sebenarnya kematian adalah persoalan yang sangat
ditakuti orang. Namun hal demikian tidak terjadi di dalam dunia
kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern,
kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-
tiba. Kematian bisa dilegalisir menjadi sesuatu yang dapat
dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal
tersebut terjadi. Dengan euthanasia merupakan tindakan
1Setiawan Budi Utomo. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah

Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2003, hal. 177


2Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terjemah oleh Drs. As‟ad

Yasin, Jilid 2, Cetakan keenam, Gema Insani, Jakarta, 2009, hal. 749
3 Setiawan Budi Utomo, Op. cit.,hal. 176
Euthanasia Fikih Kontemporer

mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan,


ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk
meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri
hidupnya.
Dalam praktik kedokteran dikenal dua macam euthanasia,
yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Yang dimaksud dengan
euthanasia aktif ialah tindakan dokter mempercepat kematian
pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien
tersebut. Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien
sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang
menurut perkiraan/perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi
bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan
dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan
sakitnya yang memang sudah parah. Yang dimaksud dengan
euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis
sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian
pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien.
Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi
pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk
biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan
menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi4.
Dalam praktiknya, para dokter tidak mudah melakukan
cara euthanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan
adanya euthanasia dan merupakan hak bagi pasien yang menderita
sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi
Lisboa 1981). Akan tetapi, dokter tidak dibenarkan serta merta
melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau
keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama,

4 Ibid., hal. 177


225
Euthanasia Fikih Kontemporer

karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik


kedokteran, di satu pihak dokter dituntut untuk membantu
meringankan penderitaan pasien, tetapi di pihak lain
menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap
kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa
orang lain dalam perundang-undangan merupakan tindak pidana,
yang secara hukum di negara mana pun, tidak dibenarkan oleh
undang-undang5.
Dilihat dari sisi orang atau individu yang akan melakukan
euthanasia, dapat dibagi kepada empat macam metode:
1. Euthanasia sukarela: Hal ini dilakukan oleh individu yang
secara sadar menginginkan kematian.
2. Euthanasia non sukarela: Hal ini terjadi ketika individu yang
bersangkutan tidak mampu untuk menyetujui karena faktor
umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari
kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan
minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan
vegetatif (koma).
3. Euthanasia tidak sukarela:: Hal ini terjadi ketika pasien yang
sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini
tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan
untuk melanjutkan perawatan ditolak.
4. Bantuan untuk bunuh diri: Hal ini sering diklasifikasikan sebagai
salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang
individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh
dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak
harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat
dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai „bunuh diri
atas pertolongan dokter‟. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah
dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.

5 Ibid., hal. 178


226
Euthanasia Fikih Kontemporer

B. Latar Belakang Terjadinya Euthanasia.


Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan
mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan,
kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya,
selanjutnya siklus kehidupan tersebut diakhiri dengan kematian.
Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian
merupakan salah satu yang masih mengandung misteri, dan ilmu
pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat
menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan
kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep dari diagnostik
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian
sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak
dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya walau
sedetikpun, dengan berbagai upaya yang dilakukan, termasuk
mempercepatnya.
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan
istilah euthanasia, masih menjadi perdebatan. Para ahli agama,
moral, medis, dan hukum belum menemukan kata sepakat dalam
menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan
penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter,
apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup
seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang
berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi
hukum. Sudah barang tentu dalam hal ini dokter tersebut
menghadapi persoalan dan konflik dalam batinnya.
Sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran
(iptekdok), kecuali manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-
nilai etik/moral, agama, hukum, moral, sosial, budaya, dan
berbagai macam aspek dan segi persoalan kehidupan lainnya.
Kemajuan iptekdok telah membuat kabur batas antara hidup dan
mati. Tidak jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya
227
Euthanasia Fikih Kontemporer

dan telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi medis


misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit dan hidup
kembali.
Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi
terkadang fungsi pernapasan dan jantung kembali normal, tanpa
disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen.
Secara klinis dia tergolong “hidup”, tetapi secara sosial apa
artinya? Dia hanya dapat bertahan hidup dengan pertolongan dan
bantuan yang ada dari berbagai macam alat kesehatan atau medis.
Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian
pasien tersebut. Permasalahan penetuan saat kematian sangat
penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun
keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan
atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi
yang jelas menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti
akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan medis
tersebut merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.
Jadi latar belakang dilakukannya euthanasia karena
berbagai penyakit atau penderitaan, di antaranya sebagai berikut:
1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang
luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini
dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal
dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran
tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama,
misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau
bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras.
Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup
dengan mempergunakan alat pernapasan, sedangkan dokter
berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan.
Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-
228
Euthanasia Fikih Kontemporer

parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis.


Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak
mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Maka satu-
satunya cara yang mungkin dapat dilakukan adalah
membiarkan si sakit itu hidup dengan mempergunakan alat
pernapasan buatan untuk melanjutkan gerak kehidupannya.
Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini
sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas.
Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang
positif untuk memudahkan proses kematiannya6. Dengan
sendirinya, si penderita akan meninggal dunia.
Hal ini berbeda dengan euthanasia pasif atau euthanasia
negatif (taisir al- maut al-munfa'il). Pada euthanasia negatif tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa
diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Contohnya
seperti berikut:
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah
dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian
kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang
tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena
serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati—padahal
masih ada kemungkinan untuk diobati—akan dapat
mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan
terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat
kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita
tashallub al-Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal
almukhkhi (kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian ia
dapat saja dibiarkan—tanpa diberi pengobatan—apabila

6Yusuf Qardhawi, Op. cit., hal.749-750


229
Euthanasia Fikih Kontemporer

terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang


mungkin akan dapat membawa kepada kematian anak
tersebut7
Selanjutnya Yusuf Qardhawi8 menjelaskan bahwa At-
tashallub al-asyram atau asy-syaukah al-masyquqah ialah kelainan
yang terdapat pada tulang belakang yang bisa
menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan
kemampuan/kontrol pada kandung kencing dan usus
besar. Anak yang menderita penyakit ini senantiasa dalam
kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus
selama hidupnya.
Sedangkan asy-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak)
ialah suatu keadaan yang menimpa saraf otak sejak seorang
anak dilahirkan yang menyebabkan keterbelakangan pikiran
dan kelumpuhan badannya dengan tingkatan yang
berbeda-beda. Anak yang menderita penyakit ini akan
lumpuh badan dan pikirannya serta selalu memerlukan
bantuan khusus selama hidupnya.
Dalam contoh tersebut, "penghentian pengobatan"
merupakan salah satu bentuk euthanasia negatif. Menurut
gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti
itu tidak berumur panjang, maka menghentikan
pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif
(euthanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si
anak yang sakit atau kedua orang tuanya9

C. Hukum Euthanasia.
Dalam Islam, segala upaya atau perbuatan yang berakibat
matinya seseorang, baik disengaja maupun tidak disengaja, tidak
7 Ibid., hal. 750
8 Ibid.
9 Ibid., hal. 750-751

230
Euthanasia Fikih Kontemporer

dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan, sebagaimana


disebutkan dalam hadis Nabi:
‫َالِر ٍئٍى َبَال ْم َال ىِر ْمس َالٍئ ىَالْموقَالَبْمت ِر َالٍى‬ ‫َال َالِر ُّلى ى ا ِر ٍئ ىا ِرٍئ ىِر َّال ِر ِر َال ى َال َال ٍئ ى ِر ى َب َال ِر ٍئىا ىَالوِررتِر‬
‫َال َال ْم ْم َال ْم ْم‬ ‫ْم‬ ‫َال ُم ْم ُم ْم‬
‫ى‬...‫َبَال ْم ٍئ ى ٍئ َال ْمِر َال ٍئٍّق ى َالَب ُمَبتِر َالى ى‬
‫ِر‬ ‫ِر‬
Artinya:
“Tidak halal darah seorang muslim selain karena salah satu dari tiga
perkara, yaitu: melakukan perbuatan zina setelah ihshan (kawin secara
sah), murtad setelah masuk Islam, atau membunuh jiwa tanpa alasan yang
benar, maka dia dibunuh karenanya...” (H.R. At-Tirmidzi)10
Dari hadis tersebut dipahami bahwa di luar dari yang telah
disebutkan berarti tidak ada pembunuhan secara sengaja terhadap
manusia. Pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang
sakit berarti mendahului takdir Allah. Allah telah menentukan
batas akhir usia manusia. Dengan cara mempercepat kematian
seseorang, berarti pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian
yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa tawakkal dan
tabah kepada-Nya. Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya
itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia
positif) seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan
oleh syara‟. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan
tindakan aktif dengan tujuan membunuh si penderita dan
mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara
overdosis. Maka dalam hal ini, seorang dokter telah
melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam

10 Moh. Zuhri, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Jilid 3, CV Asy-Syifa,

Semarang, 1992, hal. 654


231
Euthanasia Fikih Kontemporer

contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan


penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam.
Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya11.
Cara yang demikian tentu tidak dibolehkan.
Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori
pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan
kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena
bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang
daripada Dzat Yang Menciptakannya.
Jadi diharamkannya euthanasia aktif, karena termasuk
dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-„amad), walaupun
niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien.
Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan dan keinginan
dari pasien sendiri atau keinginan dari pihak keluarganya.
Dalil yang tidak membolehkan terhadap masalah ini, baik
pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri,
seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-An‟am ayat 151:
           

   


Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”
Dalam surat An-Nisa‟ ayat 92 Allah berfirman:
       
Artinya:
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)...”

11 Yusuf Qardhawi, Op. cit., hal. 751


232
Euthanasia Fikih Kontemporer

Dari dalil-dalil di atas, jelas bahwa tidak dibenarkan bagi


dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk
ke dalam kategori pembunuhan sengaja.
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara
pasif (euthanasia negatif), maka semua itu—baik dalam contoh
nomor satu maupun nomor dua—berkisar pada ”menghentikan
pengobatan” atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini
didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang
dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan
harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum
Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan
ulama syara‟ ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit
tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-
imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau
berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal
ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang
dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad
sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,
dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah)12.
Demikian pendapat para fukaha mengenai masalah
berobat atau pengobatan bagi orang yang sakit. Sebagian besar
atau mayoritas diantara mereka berpendapat mubah, sebagian
kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil
lagi—lebih sedikit dari golongan kedua—berpendapat
hukumnya wajib.
Yusuf Qardhawi13sependapat dengan golongan yang
mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh,
dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah
Swt.

12Ibid. hal. 752


13Ibid.,hal. 753
233
Euthanasia Fikih Kontemporer

Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara


pengobatan—dengan cara meminum obat, suntikan, diberi
makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat
pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu
kedokteran modern—dalam waktu yang cukup lama, tetapi
penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan
mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang
wajib atau mustahab.
Memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia
pasif seperti telah disebutkan, maka semua itu termasuk dalam
kategori praktik penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan
pada prinsip dan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang
dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan
kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap
alam semesta) dan hukum sebab akibat. Masalah ini terkait
dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh
para ulama fikih, apakah wajib atau sekadar sunnah. Menurut
Jumhur ulama, mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya
sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada
yang mewajibkannya, seperti kalangan ulama Syafi‟iyah dan
Hanbali14

14Setiawan Budi Utomo, Op. cit.,hal. 180


234
BAB 16
ZAKAT DAN PAJAK

A. Pengertian Zakat dan Pajak.


Zakat dalam terminologi fikih adalah sejumlah harta
tertentu yang diwajibkan Allah Swt untuk diserahkan kepada
orang-orang yang berhak. Sebagaimana bunyi firman Allah Swt
dalam surat At-Taubah/9 ayat 103:

       

Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikannya”
Seseorang yang mengeluarkan zakat, berarti dia telah
membersihkan diri, jiwa dan hartanya. Dia telah membersihkan
jiwanya dari penyakit kikir (bakhil) dan membersihkan hartanya
dari hak orang lain yang ada dalam hartanya itu. Orang yang
berhak menerimanya pun akan bersih jiwanya dari penyakit
dengki, iri hati terhadap orang yang mempunyai harta. Dengan
demikian akan terjalin hubungan harmonis antara si kaya dan si
miskin.
Dari pengertian di atas terkandung makna bahwa zakat
memiliki dua dimensi yaitu dimensi ibadah yang dilaksanakan
dengan perantaraan harta benda dalam rangka mematuhi perintah
Allah Swt dan mengharap pahala dari-Nya, dan dimensi sosial
yang dilaksanakan atas dasar kemanusiaan. Sedangkan pajak
dalam bahasa Arab disebut Dharibah, diambil dari kata dharaba
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

yang berarti utang, pajak tanah atau upeti dan sebagainya yang
mesti dibayar.
Menurut para ahli keuangan, pajak adalah kewajiban yang
ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan ke kas
negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali
dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasikan
sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lainnya
yang ingin dicapai oleh sebuah negara1
Dalam redaksi lain yang dimaksud dengan pajak adalah
suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk
membiayai bentuk pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan
dalam menyelenggarakan jasa-jasa, untuk kepentingan umum2.
Jadi kewajiban dari masyarakat yang harus dibayar kepada
pemerintah untuk kegiatan pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat.
Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik suatu
kesimpulan mengenai ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak,
yaitu:
1. Pajak dipungut oleh negara (pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah), berdasarkan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontra prestasi individu oleh pemerintah atau tidak ada
hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan
kontra prestasi yang diperoleh secara individu.
3. Penyelenggaraan pemerintahan secara umum merupakan
kontra prestasi dari negara terhadap wajib pajak.

1Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Terjemahan, Litera Antarnusa,


Jakarta, 1996, hal. 999
2Hassan Shadily, et all. Ensiklopedi Indonesia 5, Ichtiar Baru Van

Hoeve, Jakarta, 1984, hal. 2512


236
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

4. Diperuntukkan bagi pengeluaran rutin pemerintah dan jika


masih surplus digunakan untuk “public investment”.
5. Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian
atau perbuatan yang memberikan pada seseorang kedudukan
tertentu.
6. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter yaitu
mengatur atau mengontrol masyarakat sebagai wajib pajak3
Zakat dan pajak, keduanya merupakan kewajiban, namun
mempunyai dasar berpijak yang berlainan. Zakat berpijak pada
hukum Allah dalam segala hal ihwalnya, sedangkan pajak berpijak
pada peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh
pemerintah baik dalam pemungutan maupun penggunaannya.
Pada umumnya, hasil pajak digunakan untuk kepentingan
pengaturan jalannya pemerintahan, dalam arti yang berkaitan
dengan kepentingan rakyat. Jadi jelas, bahwa zakat untuk
kesejahteraan umat dan pajak untuk pembangunan bangsa dan
negara4

B. Kedudukan Zakat dan Pajak.


Kedudukan zakat adalah sebagai ibadah yang tidak hanya
berdimensi ritual (pribadi) tetapi juga sosial. Meski ajaran zakat
secara utuh baru diberlakukan pada tahun-tahun terakhir
kehidupan Nabi Muhammad Saw, namun sejak beliau diutus,
anjuran menyantuni kaum lemah menjadi perhatian Al-Qur‟an.
Banyak wahyu yang turun pada priode Mekah yang menyinggung
pentingnya institusi zakat. Ajaran tentang zakat adalah merupakan
ajaran yang menekankan tentang pentingnya persaudaraan dan

3Iqbal, Problematika Zakat dan Pajak di Indonesia, Sketsa, t.tp., 2009, hal.
17-18
4 Hasan Basri, “Zakat untuk Kesejahteraan Umat dan Pajak untuk
Pembangunan Bangsa” dalam Zakat dan Pajak, Cetakan Kedua, PT Bina Rena
Pariwara, Jakarta, 1991, hal. 34-35
237
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

rasa kasih sayang antar sesama. Konsep zakat menandingi dan


bahkan mengulangi semua ajaran-ajaran kesejahteraan sosial dari
ideologi manapun datangnya. Konsep zakat bertitik tolak dari
ajaran al-Qur‟an bahwa harta benda yang dimiliki adalah amanat
Allah dan berfungsi sosial. Di sinilah misi Islam menciptakan
keseimbangan dalam sistem ekonomi masyarakat melalui institusi
zakat. Karena itu, zakat adalah ibadah yang menjangkau dimensi
kehidupan secara luas. Disamping itu kedudukan kewajiban zakat
dalam Islam sangat mendasar dan fundamental. Begitu
mendasarnya, sehingga perintah zakat dalam Al-Qur‟an sering
disertai dengan ancaman yang tegas.
Seiring dengan pengembangan wilayah Islam, kebutuhan
negara akan pendanaan dengan sendirinya bertambah besar dan
hal itu tidak mungkin bisa dipenuhi hanya dengan zakat. Untuk
menutupi kebutuhan itu, lahirlah sebuah gagasan agar ghanimah
(harta rampasan perang) dalam bentuk tanah yang semula pada
masa Nabi dan Abubakar dibagikan secara cuma-cuma kepada
para tentara menjadi alternatif sumber pendapatan negara.
Khalifah Umar selanjutnya menetapkan bahwa ghanimah tidak lagi
dibagi-bagikan kepada kaum muslimin, tetapi dikembalikan
kepada negara. Masyarakat atau rakyat boleh memanfaatkan tanah
itu dengan catatan harus membayar retribusi (kharaj).
Pada masa Khalifah Usman, sumber pendapatan negara
tidak hanya terbatas pada zakat dan kharaj, beliau menetapkan
jizyah (upeti yang dikenakan atas warga non muslim) sebagai
sumber pendapatan yang lain.
Pada mulanya tiga sumber pendapatan tersebut dirasa
masih cukup memadai untuk sekadar memenuhi kebutuhan
belanja negara yang paling-paling hanya diperlukan untuk
membiayai pegawai dan tentara serta kebutuhan rutin lainnya.
Kondisi ini bertahan cukup lama sampai menjelang era
modernisasi. Pada saat negara Islam harus berpacu dengan
238
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

negara-negara lain untuk berusaha membangun dan


mengembangkan negaranya, dan ini sudah barang tentu
membutuhkan pasokan dana yang tidak sedikit. Dari sini lahirlah
gagasan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan baru bagi
pemerintah.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan yang dilakukan
pemerintah, partisipasi seluruh rakyat menjadi suatu keniscayaan.
Oleh karenanya setiap warga negara ikut menanggung beban dana
yang dibutuhkan pemerintah untuk menyukseskan pembangunan
bagi kepentingan bersama. Untuk membiayai pembangunan,
pemerintah menarik sejumlah pajak dari masyarakat.
Sebenarnya jauh sebelum Islam datang, sistem perpajakan
telah lama dikenal oleh sejumlah umat manusia. Sejarah
perpajakan dimulai dari adanya orang-orang yang menganggap
bahwa tanah atau bumi adalah milik raja. Kepercayaan semacam
ini telah lama berlaku sejak zaman dahulu kala. Dalam kitab
Perjanjian Lama (Taurat) disebutkan prosedur masuknya bumi
dalam milik Fir‟aun di Mesir. Dalam pasal 47 Kitab Kejadian
diceritakan bahwa pada saat terjadi kelaparan hebat, penduduk
Mesir menjual segala macam harta bendanya, termasuk tanah
bahkan dirinya kepada Fir‟aun untuk mendapatkan gandum.
Tanah-tanah itu kemudian digarap kembali oleh pemiliknya
dengan benih dari Fir‟aun kemudian sebagai imbalannya
seperlima dari hasilnya dipersembahkan atau diberikan kepada
Fir‟aun5
Dibentuknya suatu negara pada umumnya dimaksudkan
untuk melindungi dan mensejahterakan warga atau rakyatnya.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut pemerintah melakukannya
melalui suatu program dan proses yang terencana atau sering

5Ibrahim Hosen “Hubungan Zakat dan Pajak di dalam Islam”, dalam


Zakat dan Pajak, Cetakan Kedua, PT Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1991, hal.
139
239
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

disebut pembangunan. Pembangunan baru bisa berjalan apabila


ditopang oleh dana yang cukup. Roda pemerintahan dalam rangka
mensejahterakan warga dan rakyatnya tidak mungkin akan
berjalan bila tidak dimotori oleh dana yang memadai6
Secara umum ada tiga fungsi pajak bagi negara yang
sedang membangun seperti Indonesia, seperti dikemukakan Zaki
Fuad7 mengutip B. Wiwoho, Usman Yatim dan Enny A.
Hendargo:
1. Pajak merupakan alat atau instrumen penerimaan negara.
Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara diperlukan biaya,
demikian juga dalam rangka melaksanakan pembangunan
nasional. Pembiayaan ini terutama berasal dari penerimaan
pajak. Dewasa ini pajak sebagian besar dipergunakan untuk
pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan dan lain sebagainya. Untuk membiayai
pembangunan sebagian berasal dari tabungan pemerintah
yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin.
Tabungan pemerintah dari tahun ke tahun harus ditingkatkan
sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin
meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
2. Pajak merupakan alat untuk mendorong investasi.
Menciptakan iklim investasi yang lebih baik dengan
memberikan insentif perpajakan sedemikian rupa sehingga
dapat mendorong peningkatan investasi.
3. Pajak merupakan alat redistribusi. Pengenaan pajak dengan
tarif progresif dimaksudkan untuk mengenakan pajak yang
lebih tinggi pada golongan yang lebih mampu. Dana yang
dipindahkan dari sektor swasta ke sektor pemerintah

6Ibid., hal. 118


7Zaki Fuad, “Filosofi Perpajakan dalam Perspektif Islam”, dalam
Juris, Jurnal Ilmiah Syari‟ah, Volume III Nomor 2, Desember, STAIN
Batusangkar, 2004, hal. 126
240
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

dipergunakan pertama untuk membiayai proyek-proyek yang


terutama dinikmati oleh masyarakat yang berpenghasilan
rendah seperti pembangunan Puskesmas, SD Inpres, jaringan
irigasi, waduk-waduk, jalan-jalan raya dan sebagainya. Peranan
pajak sebagai alat redistribusi ini sangat penting, untuk
menegakkan keadilan sosial dan hal ini sejalan dengan prinsip
trilogi pembangunan Indonesia.
Ulama fikih kontemporer mengemukakan bahwa ada
kewajiban material yang berbentuk pajak itu tidak diragukan
keabsahannya, karena ternyata pada waktu ini negara memerlukan
anggaran pendapatan yang besar sekali, yang keseluruhannya tidak
mungkin terpenuhi dengan zakat. Pada saat ini dua kewajiban
tersebut menyatu dalam diri seorang muslim, bukan saja
kewajiban zakat tetapi juga kewajiban pajak sekaligus. Kedua
kewajiban tersebut tidak dapat dihindarkan, karena kalau
kewajiban hanya berlaku terhadap zakat saja dan bebas dari pajak,
maka pemasukan terhadap kas negara tidak akan mencukupi dan
tidak akan dapat memenuhi target penerimaan pendapatan negara
yang dipakai untuk membiayai hal-hal yang jauh lebih banyak dari
apa yang ditentukan dalam zakat8
Dapat disimpulkan bahwa zakat adalah kewajiban yang
harus ditunaikan berdasarkan perintah agama dalam al-Qur‟an
dan hadis, sedangkan pajak merupakan kewajiban atas dasar
ketetapan pemerintah yang dibenarkan pemungutannya oleh
ajaran Islam berdasarkan prinsip demi untuk kemaslahatan
umum.
Persoalannya muncul tanggapan dan pandangan dalam
masalah relasi zakat dan pajak. Ada yang menyamakannya dan ada
juga yang membedakannya. Meskipun dua pandangan ini tampak
tidak sejalan, namun terkadang di antara keduanya mempunyai
tujuan yang hampir sama. Salah satunya adalah bagaimana agar

8Ibid., hal. 128


241
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

dua pungutan tersebut tidak terlalu dibebankan dan memberatkan


rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Sebenarnya, dengan telah berlakunya Undang-Undang
Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 tahun 2008, sudah terdapat hubungan yang sangat erat
antara zakat dan pajak. Dengan telah diundangkan Undang-
Undang Nomor 38 tahun 1999, pemerintah untuk pertama kali
mengatur kaitan antara zakat yang dibayarkan oleh orang pribadi
atau badan yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam, dengan
Pajak Penghasilan (PPh) yang dibayarkan pada negara atau
pemerintah.
Kewajiban membayar zakat di samping memang
merupakan suaut kewajiban dan perintah agama, dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999, maka
zakat merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
setiap pemeluk agama Islam yang memenuhi ketentuan menurut
syariat agama Islam. Sedangkan pajak, kewajiban kenegaraan bagi
setiap warga negara kepada negara yang diatur berdasarkan
undang-undang perpajakan, yang tujuan akhirnya sama dengan
zakat, yang sama-sama untuk mensejahterakan masyarakat.
Kedua-duanya sama wajib dilaksanakan oleh umat Islam dalam
kehidupan bernegara.

C. Subjek dan Objek Zakat dan Pajak.


Subjek zakat adalah orang Islam yang telah mampu dan
hidup berkecukupan dari hasil perolehan atau hasil dari harta
kekayaan yang dimilikinya. Subjek zakat disebut juga dengan
muzakki, artinya orang yang berkewajiban membayar dan
menunaikan zakat.

242
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

Sedangkan subjek pajak sebagaimana disebutkan dalam


Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan. Pasal 2 ayat (1) ayat (2) ayat (3) dan ayat (4)
berbunyi:
- Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi dan warisan
yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang
berhak, badan; dan bentuk usaha tetap. Bentuk usaha tetap
merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak badan.
- Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri
dan subjek pajak luar negeri.
- Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah
yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (1)
pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan; (2) pembiayaannya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah; (3) penerimaannya
dimasukkan dalam Anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan (4) pembukuannya diperiksa oleh
aparat pengawasan fungsional negara.
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak.
- Subjek pajak luar negeri adalah:

243
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,


orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di negara Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia9
Objek zakat adalah seluruh harta kekayaan yang dimiliki
oleh umat Islam yang dikenai wajib zakat. Dengan persyaratan
bahwa harta tersebut telah sampai nishab (batas minimal kena
wajib zakat) dan sampai haul (hitungan satu tahun, kecuali jenis
harta tertentu, seperti hasil pertanian).
Jenis harta yang wajib dizakati terdiri dari emas, perak,
perdagangan, binatang ternak, hasil pertanian, hasil tambang dan
berbagai jenis harta lainnya.
Apabila dicermati bahwa harta yang wajib dizakati
berdasarkan nas terbatas kepada jenis harta tertentu saja.
Sedangkan harta yang berkembang di zaman sekarang ini sudah
sangat beragam, mulai dari usaha perhotelan, perkapalan,
penerbangan, real estate dan sebagainya yang belum ada di masa
awal Islam.

9
Undang-Undang Perpajakan, Edisi Terlengkap 2009, Citra Media
Wacana, t.k., hal. 467-468
244
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

Kalaupun ada dalil atau nas yang secara khusus


menyebutkan tentang kewajiban zakat terhadap harta tertentu,
bukan berarti tidak mewajibkan terhadap harta lain yang tidak ada
nasnya. Dalam hal ini bisa dipedomani kaidah ushul fikih yang
berbunyi:
ِ َ‫السب‬
‫ب‬ َّ ‫ص‬ِ ‫ص ْو‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ُ‫الْعْب َرةُ ب ُع ُم ْوم ال ْل ْفظ الَِب‬
Artinya:
“Yang diambil patokan itu adalah umumnya suatu lafadz, bukan dengan
sebab yang khusus”.
Kalau dikaitkan dengan ketentuan umum sesuai dengan
bunyi firman Allah Swt dalam surat At-Taubah/9 ayat 103:

       

Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikannya”
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa zakat diwajibkan
terhadap “harta”, tanpa merincikan jenis hartanya. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa segala jenis harta apa saja apabila
telah mencapai nishab dan haul wajib dizakati.
Sedangkan yang menjadi objek pajak, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tersebut berbunyi:
“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia, maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau dperoleh termasuk gaji, upah,
245
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang


pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan
penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
termasuk: (1) keuntungan karena pengalihan harta kepada
perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal; (2) keuntungan karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutan, dan badan
lainnya; (3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha,
atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; (4)
keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan,
atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan (5) keuntungan
karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang;

246
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk


dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yan berasal dari penghasilan yang
belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata
cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia10
Adapun zakat tidak termasuk dalam objek pajak,
sebagaimana diatur dan tersebut dalam pasal 4 ayat (3) huruf a
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (PPh): “Yang dikecualikan dari objek pajak
adalah: bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat

10Ibid., hal. 471-473


247
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi


pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan
Pemerintah”11
Dari sini terlihat keterkaitan antara zakat dan pajak, di
mana dalam pelaksanaannya tidak terjadi semacam tumpang
tindih.

D. Hukum Membayar Zakat dan Pajak Secara Bersamaan.


Di tengah-tengah masyarakat masih banyak orang yang
belum memahami bahwa zakat maupun pajak hukumnya wajib.
Padahal kedua sumber pendapatan ini menjadi sumber dana yang
sangat dibutuhkan pemerintah untuk membiayai pembangunan
dalam segala aspek kehidupan demi mewujudkan suatu
masyarakat yang adil dan makmur.
Zakat dan pajak meski keduanya sama-sama merupakan
kewajiban yang harus dibayar dalam bidang harta, namun
keduanya mempunyai falsafah yang khusus dan berbeda
sumbernya, sasaran, bagian serta kadarnya, di samping berbeda
pula mengenai prinsip, tujuan dan jaminannya.
Seperti dikemukakan Zaki Fuad mengutip pandangan
Yusuf Qardhawi dan Gazi Inayah12, walaupun pada dasarnya ada
perbedaan antara kewajiban membayar zakat dan pajak, namun
ada juga persamaan di antara keduanya. Kesamaan tersebut
antara lain:
1. Unsur paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk
menghasilkan pajak, juga terdapat dalam zakat. Bila seorang

11 Ibid., hal. 474


12Zaki Fuad, Op. cit., hal. 121-122
248
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

muslim terlambat membayar zakat, karena keimanan dan


keislamannya belum kokoh, di sini pemerintah Islam akan
memaksanya, bahkan memerangi mereka yang enggan
membayar zakat, bila penguasa mempunyai kekuatan untuk
itu.
2. Bila pajak harus disetorkan kepada lembaga masyarakat
(negara), pusat maupun daerah, maka zakat pun demikian,
yang di Indonesia dikenal BAZNAS di tingkat pusat, dan
BAZDA di tingkat daerah, baik tingkat satu dan seterusnya ke
level di bawahnya, karena pada dasarnya zakat itu harus
diserahkan kepada pemerintah sebagai badan yang disebut
dalam al-Qur‟an „amil zakat (al-„amilin „alaiha).
3. Di antara ketentuan pajak, ialah tidak adanya imbalan tertentu.
Para wajib pajak menyerahkan pajaknya selaku anggota
masyarakat. Ia hanya memperoleh berbagai fasilitas untuk
dapat melangsungkan kegiatan usahanya. Demikian pula
halnya dalam zakat. Muzakki tidak memperoleh suatu
imbalan. Ia membayar zakat, selaku anggota masyarakat
Islam. Ia hanya memperoleh perlindungan, penjagaan dan
solidaritas dari masyarakat. Ia wajib mengeluarkan hartanya
untuk menolong masyarakat lain yang membutuhkan dan
membantu mereka mengatasi kemiskinan, kelemahan dan
penderitaan hidup, juga ia menunaikan kewajibannya dalam
rangka menegakkan kalimat Allah dan menyebarkan syi‟ar
Islam ke seluruh penjuru bumi, tanpa mendapat prestasi
kembali atas pembayaran zakatnya.
4. Apabila pajak di zaman modern ini bertujuan untuk
kemasyarakatan, ekonomi dan politik di samping tujuan
keuangan, maka zakat pun mempunyai tujuan yang lebih jauh
dari itu jangkauannya, dan lebih luas dari sekadar aspek-aspek
yang disebutkan tadi. Semua itu sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.

249
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

Dalam hal ketika zakat dan pajak yang merupakan


kewajiban yang harus ditunaikan, timbul persoalan apakah ketika
sudah membayar zakat juga harus membayar pajak sekaligus, atau
sebaliknya ketika sudah membayar pajak juga harus membayar
zakat sekaligus? Terhadap persoalan ini, terdapat dua pendapat
yang berseberangan. Pendapat pertama berpandangan bahwa
ketika sudah membayar zakat, maka secara ototomatis mereka
diakui telah membayar pajak, atau sebaliknya mereka yang telah
membayar pajak maka dianggap telah membayar zakat.
Sedangkan pendapat kedua berpandangan bahwa orang yang
telah membayar zakat, tidak sendirinya diakui telah membayar
pajak. Atau orang yang telah membayar pajak, maka tidak
sendirinya diakui telah membayar zakat.
1. Pendapat pertama, (pendapat yang berpandangan bahwa
ketika sudah membayar zakat, maka secara ototomatis diakui
telah membayar pajak, atau sebaliknya), berpandangan bahwa
sesungguhnya antara zakat dan pajak adalah satu kesatuan,
keduanya merupakan kewajiban rakyat-manusia (hamba)
kepada Tuhan untuk ditasaruf-kan bagi kemasalahatan
semesta, dengan prioritas kepentingan kaum fuqara‟ dan
masakin-nya. Sementara negara dengan kekuasaannya dan
segenap aparatnya hanyalah amil atau administratif yang
diperlukan keberadaannya karena kegiatan itu, dan harus
selalu diberi dukungan serta kritik oleh rakyat atas dasar
tujuan itu13
2. Pendapat kedua berpandangan bahwa orang yang telah
membayar zakat, tidak sendirinya diakui telah membayar
pajak. Atau orang yang telah membayar pajak, maka tidak
sendirinya diakui telah membayar zakat. Pandangan ini antara
lain dikemukakan oleh Syekh Ulaith, Sayid Rasyid Ridha,

13Masdar F.Mas‟udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam,


P3M, Jakarta, 1991, hal 105
250
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

Syekh Mahmud Syaltut dan Syekh Abu Zahrah yang dikutip


oleh M.Ali Hasan14. Dari pandangan ulama-ulama tersebut
dipahami bahwa zakat harus dikeluarkan sesudah memenuhi
persyaratan, walaupun seseorang telah membayar pajak.
Sebaliknya, pajak boleh dipungut bila diperlukan, walaupun
zakat sudah ditunaikan. Artinya kewajiban membayar zakat
dan pajak tidak disamakan.
Pendapat senada dikemukakan oleh mayoritas ulama
termasuk Imam Syafi‟i. Di antara ulama yang berpendapat
demikian ialah Umar bin Abdul Aziz, Rabi‟ah, Zuhri, Yahya
al-Anshari, Malik, Auza‟i, Tsauri, Al-Hasan bin Shalil, Ibnu
Abi Laila, Laits, Ibnul Mubarak Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid
dan Daud. Menurut pendapat mereka bahwa antara kedua-
duanya wajib dilaksanakan. Artinya mereka yang telah terkena
zakat, wajib melaksanakan pajak dan mereka yang telah
terkena pajak tetap wajib mengeluarkan zakatnya. Kewajiban
yang satu dari keduanya tidak menghalangi kewajiban yang
lain. Tegasnya kedua-duanya wajib dilaksanakan15
Melaksanakan pembayaran zakat dan pajak, kedua-duanya
bernilai ibadah. Kewajiban zakat jelas berdasarkan Al-Qur‟an dan
hadis, sedangkan kewajiban pajak berdasarkan ijtihad ulil amri
(pemerintah), namun agama pun memerintahkan kita untuk taat
kepada ulil amri. Karena itu melaksanakan pajak pada hakikatnya
juga melaksanakan perintah agama (sebagai realisasi ketaatan
kepada ulil amri) yang memang diwajibkan agama. Jadi kewajiban
membayar pajak pada hakikatnya juga adalah perintah agama,
sama halnya dengan kewajiban membayar atau menunaikan zakat
itu sendiri.

14M.Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga


Keuangan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 36-38
15Lihat: Ibrahim Hosen, Op. cit., hal. 127-128

251
Zakat dan Pajak Fikih Kontemporer

Kewajiban tersebut tidak terkecuali bagi umat Islam di


Indonesia. Pemerintah Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 adalah termasuk ulil amri yang wajib ditaati oleh setiap
muslim. Pemerintah Indonesia diberi hak untuk mengatur dan
mengelola masalah zakat untuk kesejahteraan umat dan
kepadanya diberi hak untuk menetapkan undang-undang atau
peraturan perpajakan yang wajib dipatuhi oleh setiap warga
negara yang beragama Islam16
Terlepas dari pendapat-pendapat dan pandangan yang telah
dikemukakan, peraturan perpajakan di Indonesia mengakomodir
dan memberikan jalan terbaik dan adil bagi umat Islam yang
membayar zakat. Artinya zakat atas penghasilan yang nyata-nyata
dibayarkan oleh wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam kepada Badan Amil Zakat (BAZ) atau
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak17
Zakat yang telah dibayarkan diberlakukan sebagai unsur
biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan yang diperoleh.
Bukti setoran zakat selanjutnya dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan sebagai bukti dari unsur biaya
zakat sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Dengan demikian zakat yang dapat dikurangkan dari
Penghasilan Kena Pajak hanyalah zakat yang dikeluarkan oleh
wajib pajak baik wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak
badan termasuk karyawan yang dipotong pajaknya melalui
pemberi kerja.

Ibid., hal. 155


16
17Lihat:Undang-Undang Perpajakan, Op. cit., Pasal 9 ayat (1) huruf g
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, hal. 483.
252
BAB 17
ZAKAT PRODUKTIF

A. Pengertian Zakat Produktif.


Zakat produktif terdiri dari dua kalimat, yaitu ”Zakat”
dan ”Produktif”. Kalimat “Zakat” merupakan mashdar dari “zaka”.
Secara etimologi berarti: berkah, tumbuh, bersih, suci dan baik.
Sesuatu di katakan “zaka” jika dia tumbuh dan berkembang.
Zakat dalam terminologi fikih adalah sejumlah harta tertentu
yang diwajibkan Allah Swt diserahkan kepada orang-orang yang
berhak. Sebagaimana bunyi firman Allah Swt dalam surat At-
Taubah ayat 103:

       


Artinya:
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikannya”
Seseorang yang mengeluarkan zakat, berarti dia telah
membersihkan diri, jiwa dan hartanya. Dia telah membersihkan
jiwanya dari penyakit kikir (bakhil) dan membersihkan hartanya
dari hak orang lain yang ada dalam hartanya itu. Orang yang
berhak menerimanya pun akan bersih jiwanya dari penyakit
dengki, iri hati terhadap orang yang mempunyai harta.
Dari pengertian di atas terkandung makna bahwa zakat
memiliki dua dimensi yaitu dimensi ibadah yang dilaksanakan
dengan perantaraan harta benda dalam rangka mematuhi perintah
Allah Swt dan mengharap pahala dari-Nya, dan dimensi sosial
yang dilaksanakan atas dasar kemanusiaan.
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

Sedangkan kata “produktif” berarti “bersifat atau mampu


menghasilkan (dalam jumlah besar)”1 Jadi produktif berarti
berkembang dan bertambah sehingga menghasilkan sesuatu yang
lebih banyak. Seseorang dikatakan produktif, berarti pada dirinya
muncul berbagai kreasi dan menghasilkan sesuatu yang bernilai
tambah dalam jumlah yang signifikan.
Apabila kata zakat dihubungkan dengan kata produktif
bisa diartikan berupa pengelolaan harta zakat dengan baik dan
benar, sehingga dapat berkembang dan menghasilkan, yang
dilakukan secara manajerial dan profesional. Maksudnya
pengelolaan terhadap harta zakat dilakukan secara profesional
sejalan dengan sistem manajemen modern; yang diawali dengan
perencanaan yang matang, pengorganisasian yang rapi,
pelaksanaan yang bagus dan adanya pertanggungjawaban,
sehingga harta zakat dapat berkembang dan dapat memberikan
kontribusi terhadap kehidupan umat dan masyarakat. Penekanan
dari zakat produktif adalah bagaimana agar dana zakat dimaksud
terus berkembang dan merupakan semacam dana bergulir,
dengan sedapat mungkin menghindari penggunaan yang sifatnya
konsumtif.
Pada saat ini perkembangan hukum Islam di Indonesia
mengalami perkembangan positif dengan dibuatnya undang-
undang mengenai zakat, undang-undang tersebut adalah Undang-
undang No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan
dengan keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun
1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
dan Urusan Haji Nomor D/tahun 2000 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat serta Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat Undang-undang Nomor 7 tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan. Pembahasan dan penerapan

1Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi


Ketiga, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 897
254
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

zakat yang berkembang saat ini adalah zakat produktif, dimana


zakat tersebut diberikan kepada para mustahik dalam bentuk dana
pinjaman untuk modal usaha. Salah satu tujuan konsep zakat
produktif ini adalah untuk mempercepat tujuan zakat yaitu untuk
meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat atau para
mustahik2
Dari ketentuan perundang-undangan dan peraturan
seperti yang telah disebutkan di atas terlihat bahwa pola dan
penerapan zakat diarahkan kepada bentuk zakat produktif.

B. Urgensi dan Tujuan Zakat.


Dalam Islam, ketentuan tentang zakat ditempatkan sebagai
rukun penting kedua setelah shalat. Dari sekian banyak ayat dalam
Al-Qur’an, perintah shalat dengan perintah zakat selalu
bergandengan. Ternyata, ketentuan shalat dan zakat memiliki
dimensi yang berkaitan erat. Bila shalat menimbulkan rasa
kesetaraan kelas sosial, maka zakat menimbulkan rasa
persaudaraan kelas sosial diantara masyarakat, dengan tindakan
nyata pihak berkecukupan untuk menyantuni si miskin. Jadi,
pelaksanaan shalat melambangkan baiknya hubungan seseorang
dengan Tuhannya, sedangkan zakat adalah lambang harmonisnya
hubungan antara sesama manusia. Oleh karena itu, zakat dan
shalat merupakan pilar berdirinya bangunan Islam. Jika keduanya
hancur, Islam sulit untuk bisa tetap bertahan.
Tujuan zakat baru dapat dipahami dan diyakini apabila di
dalam jiwa seseorang telah tumbuh beberapa nilai, seperti

2http://etd.eprints.ums.ac.id/957/1/I000040030.pdf diakses tanggal


17 Juni 2010

255
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

keimanan, kemanusiaan dan keadilan. Oleh karena itu Al-Qur’an


menggunakan kata sadakah sebagai padanan dari kata zakat
tersebut, karena makna sadakah itu sendiri merupakan manifestasi
atas pengakuan hati dan pembenaran yang melahirkan keyakinan,
sehingga muncul dan timbul kesadaran untuk memberikan
sebagian dari harta yang disayangi itu dalam bentuk zakat. Hal itu
dipandang logis dan wajar, bahkan merupakan keharusan3. Jadi
tujuan zakat itu bukan semata untuk menyantuni kaum fakir
miskin, akan tetapi lebih jauh adalah untuk memberantas
kemiskinan itu sendiri. Setidak-tidaknya tujuan zakat adalah
mempersempit ketimpangan ekonomi di dalam masyarakat
hingga batas seminimal mungkin, dan menjadikan perbedaan
ekonomi diantara masyarakat secara adil dan mengurangi
kemiskinan di tengah-tengah masyarakat termasuk mengatasi
pengangguran.
Seseorang yang hidup dalam kemiskinan nyaris
menjadikan jalan hidupnya sesat, mudah terperosok kepada
tindakan kriminal dan berbagai pelanggaran lainnya. Apabila
kaum miskin hidup berdampingan dengan orang kaya, dan mana
kala diantara dua kelompok sosial tersebut tidak ada perekat yang
kuat, maka tentu akan timbul kedengkian yang mendalam, yang
bisa berkembang menjadi kebrutalan umat. Salah satu perekat
yang dapat mempersatukan diantara orang miskin dan kaya, ialah
dengan jalan orang yang kaya menyisihkan sebahagian hartanya,
memberi kesempatan untuk berusaha dengan memberikan
permodalan dari harta zakat. Membimbing orang miskin agar
mampu menentukan suatu usaha yang cocok dan selanjutnya bisa
dikembangkan sendiri. Artinya berupaya mengangkat kaum lemah
dari lembah kemiskinan ketaraf kehidupan yang lebih layak,

3Abdurrahman Qadir. Zakat; Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, PT


Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 62
256
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

sejahtera dan berkeadilan. Dalam kontek inilah upaya-upaya


cerdas agar zakat bernilai produktif dapat dibenarkan.
Tujuan zakat sebenarnya dapat ditinjau dari berbagai
aspek, yaitu hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia
dengan dirinya, hubungan manusia dengan masyarakat, dan
hubungan manusia dengan harta benda.

C. Reformasi Konsep Operasional Zakat.


Zakat, dalam kerangka hukum Islam, termasuk dalam
masalah syari’ah. Ia termasuk rukun Islam. Perintah wajib zakat
bersifat qath’i, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yang menjadi
masalah fikih (ijtihadi) dalam zakat adalah hal-hal yang bersifat
tentatif yang dalam hal zakat bisa berkaitan tentang perubahan
kadar dan jenis harta yang harus dikeluarkan, penerimaan,
pengelolaan, dan distribusi zakat. Selain itu penentuan skala
prioritas bagi mereka yang berhak menerima harta zakat.
Masalah-masalah ijtihadi sebagaimana tersebut di atas akan sangat
berkaitan dengan tempat, situasi sebuah daerah, dan perubahan-
perubahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Dinamika dan permasalahan perzakatan tersebut dapat
dirunut pada akar permasalahn pengetahuan tentang zakat. Fikih
zakat belum berkembang sebagaimana fikih bisnis dan perbankan
syari’ah. Zakat pada hakikatnya juga aktifitas ekonomi. Pandangan
banyak kalangan tentang zakat adalah ritual ilahiyah yang
berdimensi kemanusiaan. Padahal zakat tidak demikian.
Kelompok delapan (asnaf) yang berhak menerima zakat, adalah
mereka yang kurang beruntung dalam ekonomi. Kalau masalah
utamanya adalah ekonomi maka pemecahannya juga harus
menggunakan pendekatan ekonomi. Dengan demikian
pembahasan tentang zakat, meskipun dalam Al-Qur’an selalu

257
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

dikaitkan dengan shalat, harus menggunakan pendekatan baru


yakni ekonomi4
Zakat yang dikeluarkan oleh sebagian umat Islam selama
ini, ternyata dirasakan belum dapat mewujudkan kehidupan yang
harmonis dan lebih berkeadilan. Termasuk dalam hal bagaimana
upaya dan cara menghimpun dan memberdayakan zakat.
Disamping hal-hal yang dikemukakan diatas, persoalan
mendasar yang juga harus menjadi perhatian adalah persoalan
prioritas pembagian zakat dan produktifitas dana zakat. Pada
ketika membicarakan prioritas pembagian zakat, maka timbul
pertanyaan apakah zakat harus dibagikan secara merata kepada
asnaf delapan ataukah tidak. Para ulama sendiri berbeda
pendapat dalam masalah ini, karena tidak ada dalil yang secara
tegas menyatakannya.
Sedangkan masalah produktifitas dana zakat harus
dipikirkan secara mendalam. Sebagaimana diketahui bahwa sistem
organisasi dan manajemen pengelolan zakat selama ini belum
mampu membawa perubahan yang berarti bagi kepentingan
orang miskin. Oleh karena itulah, sistem pengelolaan zakat secara
efektif perlu dipertimbangkan untuk dapat membawa perubahan
dan membebaskan mereka dari kemiskinan.
Dalam Islam pertumbuhan dan distribusi harus
dilaksanakan secara simultan, tanpa memprioritaskan salah
satunya dari yang lain. Pertumbuhan merupakan suatu keharusan
dapat dilihat dari perintah untuk meningkatkan produktivitas dan
investasi. Melalui zakat, sebahagian pendapatan perorangan dan
perusahaan harus diberikan kepada mereka yang
membutuhkannya sebagai modal usaha dan kebutuhan lainnya

4Ahmad Syafii Mufid, “Zakat dan Advokasi Sosial” dalam Harmoni,


Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume VI, Nomor 22, April-Juni 2007,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI., hal. 7
258
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

dalam rangka menghindari penumpukan harta di kalangan


segelintir orang.
Potensi zakat belum dikembangkan secara optimal dan
belum dikelola secara profesional. Hal ini disebabkan belum
efektifnya lembaga zakat yang menyangkut aspek pengumpulan,
administrasi, pendistribusian, monitoring serta evaluasinya.
Dengan kata lain, sistem organisasi dan manajemen pengelolaan
zakat hingga kini dinilai masih dalam taraf klasikal, bersifat
konsumtif dan terkesan inefesiensi, sehingga kurang berdampak
sosial yang berarti.
Permasalahan zakat dihadapkan dengan berbagai kendala
baik internal maupun eksternal. Faktor internal adalah masih
simpang siurnya pendapat para ulama dalam memahami maksud
amil zakat. Sebagian ulama berpandangan bahwa zakat lebih baik
diserahkan secara langsung oleh para wajib zakat kepada yang
berhak. Terkadang pilihan tersebut jatuh pada kiai dan guru
mengaji, karena menggunakan berbagai pertimbangan, seperti
untuk memperlihatkan ketaatan dirinya di mata seorang kiai
sekaligus mengharapkan doa sang kiai yang dianggapnya makbul,
atau kepada guru tempat anaknya mengaji, sekaligus sebagai
imbalan atas jasa-jasa guru tersebut yang mengajar tanpa gaji tetap
dari pemerintah. Kadang-kadang pihak kiai atau guru itu sendiri
yang menuntut zakat dari masyarakat, karena menganggap diri
mereka sebagai golongan penegak dan pembela agama yang
berhak terhadap zakat, yaitu mereka yang termasuk kepada
kelompok fi sabilillah.
Sedangkan dari faktor eksternal adalah masih dirasakan
adanya hambatan dari segolongan masyarakat yang berpikiran
bahwa persoalan zakat tidak dapat dimasukkan ke dalam urusan
pemerintahan secara formal. Masalah zakat adalah urusan umat
Islam yang harus dikelola sendiri oleh umat Islam tanpa campur
tangan pemerintah.

259
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

Menurut Abdurrachman Qadir5, dalam bukunya berjudul


Zakat; Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, bahwa pelaksanaan zakat
kurang berjalan dengan baik disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain :
a. Belum merata pembentukan badan amil zakat di seluruh
pelosok tanah air.
b. Adanya hambatan dari sebagian golongan tradisional yang
mengklaim bahwa persoalan zakat adalah masalah agama, dan
menjadi hak mereka untuk menentukannya. Pemerintah
dianggap tidak berwenang dalam mengurus zakat.
c. Ketidak tegasan semua pihak, baik pemerintah maupun
pihak-pihak terkait tentang tanggung jawab penanganan zakat,
karena persoalan zakat dianggap persoalan ibadah mahdhah
biasa, yaitu persoalan individual yang didasarkan atas
kesadaran setiap orang tanpa campur tangan pihak manapun.
d. Faktor lain yang tidak kurang penting adalah masih adanya
hambatan politis dari golongan tertentu sehingga persoalan
zakat belum merupakan political will.
e. Amil zakat tidak mempunyai data akurat tentang mustahik
zakat yang berhak menerima zakat.
f. Amil zakat kurang transparan dalam memberi laporan
pertanggung jawaban tentang kepada siapa zakat itu telah
diberikan dan untuk apa penggunaan harta zakat itu.
Berkenaan dengan dana zakat yang berasal dari harta yang
wajib dizakati, al-Qur’an tidak merinci jenis-jenis harta kekayaan
yang wajib dizakati tersebut secara ekplisit. Al-Qur’an hanya
menggunakan lafaz yang umum yaitu amwal yang bermakna
segala macam jenis harta. Meskipun di dalam hadis Rasulullah
telah ditentukan zakat terhadap harta-harta tertentu, sifatnya
adalah kondisional berdasarkan kenyataan pertumbuhan ekonomi

5Abdurrachman Qadir, Op. cit., hal. 168-169

260
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

dan produksi pada waktu itu. Seperti dinyatakan oleh


Abdurrachman Qadir6 bahwa analisis fuqaha yang dituangkan
dalam kitab-kitab fiqh—berkenaan dengan zakat hanya pada jenis
harta tertentu—tersebut tidak salah. Yang keliru adalah
pemahaman sebagian orang karena belum mampu memahami
pengertian masing-masing nama dan jenis harta wajib dizakati
seperti yang disebut dalam hadis Nabi atau dalam kitab-kitab fikih
klasik, diantaranya pengertian urudh al-tijarah dan terminologi
lainnya.
Urudh al-tijarah adalah beberapa jenis dan bentuk barang
atau jasa yang diperjual belikan atau diperdagangkan yang
sekarang sudah sangat banyak macam ragamnya, karena
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi. Diantaranya
berbagai perdagangan barang-barang komoditi dan jasa yang
menghasilkan uang yang banyak sehingga menjadi kaya.
Kalau diperhatikan, pemahaman terhadap jenis-jenis harta
yang wajib dizakati sebenarnya sudah berlangsung sejak lama.
Pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz, sistem dan
manajemen zakat sudah mulai maju dan profesional. Jenis ragam
harta dan kekayaan yang dikenakan zakat sudah bertambah
banyak. Yusuf Qardhawi7 menuturkan bahwa Khalifah Umar Ibn
Abdul Aziz adalah orang pertama yang mewajibkan zakat atas
harta kekayaan yang diperoleh dari penghasilan usaha atau hasil
jasa, termasuk gaji, honorarium, dan penghasilan berbagai
profesi.
Selanjutnya dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi8 bahwa
karakteristik dan jenis harta yang wajib dizakati adalah sebagai
berikut :

6Ibid., hal. 184


7Yusuf Qardawi, Fiqh al-Zakah, Muassasah al-Risalah, Beirut, 1991,
hal. 502-503
8Ibid., hal. 784

261
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

a. Semua harta benda dan kekayaan yang mengandung illat


kesuburan dan berkembang, baik dengan sendirinya atau
dikembangkan dengan cara diinvestasikan, diternakkan, atau
didagangkan.
b. Semua jenis tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang
mempunyai harga dan nilai ekonomi.
c. Semua jenis harta benda yang bernilai ekonomi yang berasal
dari perut bumi atau dari laut, baik berwujud cair atau padat.
d. Semua harta kekayaan yang diperoleh dari berbagai usaha dan
penjualan jasa.
Sedangkan masalah produktifitas dana zakat harus
dipikirkan secara mendalam. Sebagaimana diketahui bahwa sistem
organisasi dan manajemen pengelolan zakat selama ini belum
mampu membawa perubahan yang berarti bagi kepentingan
orang miskin. Oleh karena itulah, sistem pengelolaan zakat secara
efektif perlu dipertimbangkan untuk dapat membawa perubahan
dan membebaskan mereka dari kemiskinan.

D. Pengelolaan Zakat Secara Profesional.


Pengelolaan zakat secara profesional memerlukan kajian
dan bahasan yang komprehensif, dengan melibatkan berbagai
pihak baik para ulama, pemerintah dan umat Islam secara umum.
Dalam hal pengelola zakat, baik itu lembaga, badan atau
organisasi yang menangani pelaksanaan zakat, diperlukan
administrasi dan manajemen yang handal, sehingga pengelolaan
zakat betul-betul terlaksana secara profesional.
Para ulama diposisikan sebagai penanggung jawab
terlaksananya program zakat khususnya di daerah masing-masing.
Sosialisasi dan dakwah yang berkenaan dengan penerapan zakat
disampaikan kepada masyarakat dengan metode yang baik dan
tepat, dan apabila kesemuanya itu disampaikan oleh terutama para
ulama dan muballigh, maka hasilnya akan lebih memuaskan dan
262
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

dapat diterima oleh masyarakat. Masyarakat akan memahami


bagaimana mestinya penerapan zakat yang benar.
Kedudukan dan peran pemerintah yang juga sebagai
penanggung jawab terlaksananya program zakat sangat
menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan atau program yang
akan dilaksanakan. Pada prinsipnya kewajiban dan tanggung
jawab pemerintah adalah sebagai penyelenggara, koordinator dan
pengawas terhadap terselenggaranya penerapan zakat.
Bagi mereka yang termasuk mustahik zakat, berhak
menerima bagian dari harta zakat dan berkewajiban untuk
mengembangkannya sesuai dengan kemampuan dan bakat
usahanya masing-masing. Pembagian dari harta zakat yang
diterima, seharusnya diupayakan dan didayagunakan untuk
menumbuhkembangkan berbagai jenis usaha yang mungkin bisa
dikerjakan dengan harapan dan tekad akan menambah
penghasilannya. Pada akhirnya mereka ini bisa hidup sejahtera
secara mandiri, bahkan diharapkan pada masanya mampu
menunaikan zakat.
Dana zakat yang terkumpul tidak langsung diberikan
dalam bentuk uang, tetapi diatur sedemikian rupa sehingga
melalui mekanisme yang masih tetap dalam koridor fikih. Atau
kepada mustahik diberikan zakat dalam bentuk uang tetapi
kemudian ditarik kembali sebagai tabungan si miskin untuk
keperluan pengumpulan modal. Dengan cara ini mereka dapat
menciptakan pekerjaan dengan modal yang telah dikumpulkan
dari zakat. Dan ini akan berkembang, merupakan semacam dana
bergulir.
Ringkasnya pendayagunaan zakat hendaknya diarahkan
kepada usaha-usaha produktif dan diarahkan kepada
pembentukan badan usaha ekonomi yang bernafaskan Islam.
Juga dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui
peningkatan mutu pendidikan Islam, pelatihan keterampilan kerja

263
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

bagi penganggur dan pendidikan manajemen bagi para pengelola


zakat9
Zakat perlu dikelola sedemikian rupa baik di dalam proses
pengumpulannya maupun pendayagunaannya. Pengelolaannya
sebaiknya tidak sekadar konsumtif, namun hendaknya produktif.
Mengelola dan memberdayakan zakat bukanlah hal yang mudah.
Ada beberapa persyaratan yang harus menjadi perhatian dan
disikapi secara utuh. Persyaratannya terakumulasi dalam dua
wilayah problem, yakni wilayah internal dan eksternal. Kendati
dibedakan atas dua wilayah tersebut, hal utama dan terpenting
adalah masalah internal. Dengan menyiasati kendala internal
hingga menjadi kekuatan, problematika eksternal dapat diatasi.
Problematika wilayah internal tersebut dapat ditelusuri
pada tiga hal yakni kelembagaan, profesionalitas dan kreativitas.
Dana zakat sebaiknya memang dihimpun oleh lembaga. Melalui
lembaga, dana yang terhimpun bisa maksimal berjumlah besar,
sehingga lembaga dapat membuat berbagai industri, sekolah dan
layanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Dengan lembaga,
harga diri masyarakat miskin tetap terjaga. Bantuan untuk fakir
miskin tidak bergantung pada suasana hati orang-orang kaya.
Lembaga juga dapat berperan menjalin sinergi antara muzakki,
perusahaan, dan berbagai kalangan mengentaskan kemiskinan.
Dalam hitungan yang kasar sebenarnya potensi yang dapat
dikembangkan dari zakat nilainya cukup besar. Badan amil zakat
nasional (BAZNAS) melakukan perhitungan secara kasar sebagai
berikut: Jika hipotesa awal, Indonesia berpenduduk 204,8 juta
jiwa, diperkirakan 83% umat Islam atau lebih kurang 166 juta
jiwa. Dengan asumsi penduduk yang telah berkewajiban
menunaikan zakat adalah mereka yang memiliki pengeluaran di

9Lihat: “Hasil Komisi C Keputusan Dewan Pimpinan MUI No.Kep-


163/MUI/III/1990” dalam Zakat dan Pajak, Cetakan Kedua, PT Bina Rena
Pariwara, Jakarta, 1991, hal.293-294
264
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

atas Rp. 200.000 per kapita per bulan, maka jumlahnya mencapai
18,7%. Apabila dikurangi dengan berbagai kriteria, maka rata-rata
yang wajib dizakati dari harta (maal) adalah 20 dinar emas murni
(1 dinar = 4,25 gram) atau setara 85 gram emas. Jika harga emas
Rp.102.200 per gram, maka zakat dapat dihitung dari sektor ini
setiap tahun adalah 2,5% x 85 x 102.200 x 30.000.000 =
6.515.250.000.000 (Enam triliun lima ratus lima milyar dua ratus
lima puluh juta).10
Dari perhitungan tersebut di atas, apalagi dengan
perhitungan emas akhir-akhir ini sudah di atas Rp. 300.000 per
gram nampak bahwa potensi dana yang dapat dihimpun lewat
zakat sangatlah besar. Meskipun hasil perkiraan perhitungannya
berbeda-beda, namun secara umum dapat dikatakan bahwa dana
yang dihimpun dari masyarakat muslim Indonesia lewat
kewajiban membayar zakat bisa mencapai rata-rata Rp. 5 triliun
per tahun. Dana sebesar itu tentu saja sangat potensial untuk
dikembangkan dan didayagunakan untuk menyantuni kaum
miskin dengan mengupayakan dan mengembangkan berbagai
usaha-usaha produktif.
Zakat memang bisa secara langsung disalurkan secara
personal, namun zakat akan memiliki implikasi yang jauh lebih
baik bila dikelola oleh lembaga publik, baik yang didirikan oleh
pemerintah maupun kelompok masyarakat. Mohammad Daud
Ali11 dalam tulisannya menyebutkan ada empat keuntungan, bila
zakat dikelola oleh negara.(1) para muzakki lebih disiplin dalam

10 Lihat: Mukhtar Hadi, “Zakat dan Pengentasan Kemiskinan” dalam


Akademika, Jurnal Sosial Budaya dan Pemikiran Islam, Vo. 12 No. 02, Juli
2007, P3M STAIN Metro, hal. 194
11Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di

Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 52

265
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

menunaikan kewajibannya dan fakir miskin lebih terjamin haknya,


(2) perasaan fakir miskin lebih terjaga, tidak seperti peminta-
minta, (3) pembagian zakat akan menjadi lebih tertib dan teratur,
dan (4) peruntukan bagi kepentingan umum, seperti fisabilillah,
dapat disalurkan dengan baik karena pemerintah lebih
mengetahui sasaran pemanfaatannya.
Ada beberapa alasan seperti dikemukakan oleh Nuruddin
Muhammad Ali12 mengapa negara perlu campur tangan dalam
pengelolaan zakat. Pertama, zakat bukanlah bentuk charity
(sumbangan) biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana
infak, wakaf, dan hibah. Zakat hukumnya wajib (imperatif)
sementara charity atau donasi hukumnya mandub (sunnah).
Pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah
dalam surat at-Taubah ayat 103. Satu-satunya lembaga yang
mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu
dalam sistem demokrasi adalah negara lewat perangkat
pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak. Apabila hal ini
disepakati, maka zakat akan menjadi salah satu sumber
penerimaan negara.
Kedua, potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari
masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi zakat
di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil
penelitian Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Ford Foundation, tahun 2005,
mengungkapkan, sejumlah potensi filantropi (kedermawanan)
umat Islam Indonesia Rp.19,3 triliun. Di antara potensi tersebut,
Rp.5,1 triliun berbentuk barang dan Rp. 14,2 triliun berbentuk
uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari

12Nuruddin Mhd. Ali, ”Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan


Fiskal” dalam Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume VI,
Nomor 22, April-Juni, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Dep.Agama,
Jakarta, 2007, hal. 46-48
266
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

zakat fitrah (Rp. 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp. 13,1
triliun. Salah satu temuan menarik dari hasil penelitian tersebut
adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal
diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan
zakat maal sebesar (70 persen) adalah masjid-masjid. Badan amil
zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah
dan 3 persen zakat maal, serta lembaga amil zakat (LAZ) swasta
hanya 4 persen zakat maal.
Ketiga, zakat mempunyai potensi untuk turut membantu
pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang
sangat besar sebenarnya cukup berpotensi untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam
rencana pembangunan nasional. Dalam priode tertentu, suatu
negara membuat rencana pembangunan di berbagai bidang
sekaligus perencanaan anggarannya. Potensi zakat yang cukup
besar dan sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat
sejalan dengan rencana pembangunan nasional tersebut.
Keempat, agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat,
efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri
seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pengumpulan dan
pendistribusian zakat yang terpisah-pisah, baik disalurkan sendiri
maupun melalui berbagai charity membuat misi zakat agak
tersendat. Harus diakui bahwa berbagai lembaga charity telah
berbuat banyak dalam pengumpulan dan pendistribusian dana
zakat dan telah banyak hasil yang dapat dipetik. Namun, hasil itu
dapat ditingkatkan kalau pengumpulan dan pengelolaannya itu
dilakukan oleh negara melalui perangkat-perangkatnya.
Kelima, memberikan kontrol kepada pengelola negara.
Salah satu penyakit yang masih menggerogoti keuangan Indonesia
dan negara-negara Muslim lainnya adalah korupsi atau
penyalahgunaan keuangan negara. Padahal, sebagian besar
pengelola negara ini mengaku beragama Islam. Penyalahgunaan
ini antara lain disebabkan oleh lemahnya iman menghadapi
267
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

godaan untuk korupsi. Masuknya dana zakat ke dalam


perbendaharaan negara diharapkan akan menyadarkan mereka
bahwa di antara uang yang dikorupsi itu terdapat dana zakat yang
tidak sepantasnya dikorupsi juga. Petugas zakat juga tidak mudah
disuap dan wajib zakat juga tidak akan main-main dalam
menghitung zakatnya serta tidak akan melakukan “tawar
menawar” dengan petugas zakat sebagaimana sering ditemui
dalam kasus pemungutan pajak.
Penyaluran bantuan atau pemberdayaan yang sifatnya
langsung cenderung tidak profesional. Yang sukses tentu saja ada,
namun sifatnya kasuistis. Maka agar profesional, lembaga harus
amanah dan jujur, independen, tidak diskriminatif. Persyaratan ini
semua tentu saja sulit untuk dapat dipenuhi oleh perorangan
wajib zakat.
Tuntutan profesional ternyata juga mesti kreatif. Dengan
berpikir kreatif, lembaga dituntut menghasilkan program inovatif.
Manajemen zakat di masa silam yang tak punya waktu, terbatas
tenaga dan tanpa perencanaan strategi, menumbuhkan soal
tersendiri. Memang realitas ini tidak bisa disalahkan, karena untuk
memperoleh daya guna yang maksimal, agama tidak mengatur
bagaimana seharusnya dan sebaiknya mengelola zakat. Walaupun
demikian, bukan berarti dibenarkan untuk berdiam diri dan tidak
melakukan upaya terobosan-terobosan kreatif, mengingat
kemajuan dan perkembangan zaman telah menuntut untuk dapat
menginterpretasikan dalil-dalil dengan tujuan agar zakat bisa
dikelola secara profesional. Pengelolaan yang tradisional sudah
saatnya ditinggalkan. Karena itu hanya akan menyebabkan
pengentasan kemiskinan di kalangan umat menjadi tidak menarik,
tanpa gairah dan terkesan asal-asalan.
Apabila badan amil zakat berfungsi dengan baik, berjalan
sesuai dengan prinsip yang benar, dan untuk mencapai hasil yang
maksimal, efektif dan efisien serta tercapainya sasaran dan tujuan
zakat maka pendayagunaannya seperti telah dikemukakan
268
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

haruslah produktif. Tentang bagaimana model dan mekanisme


pendayagunaan zakat produktif dimaksud disusun sedemikian
rupa oleh badan amil yang menyerupai sebuah badan usaha
ekonomi yang membantu permodalan dalam berbagai bentuk
kegiatan ekonomi masyarakat dan pengembangan usaha-usaha
golongan ekonomi lemah, khususnya fakir miskin yang umumnya
menganggur atau tidak bisa berusaha secara optimal karena
ketiadaan modal.
Penyaluran harta zakat dalam bentuk material, bahan
pangan, hewan ternak dan sebagainya harus diproduktifkan secara
optimal dan maksimal, guna mendorong orang-orang miskin yang
masih mempunyai potensi produktif untuk meningkatkan
produktivitas dan usahanya, dan selalu giat bekerja dan berusaha,
karena dengan produktif itulah yang dapat membebaskan mereka
dari kemiskinan.
Jika pemberian pinjaman modal usaha qardhul hasan ini
masih kurang efektif, maka harus dikembangkan dengan
membuka unit kegiatan ekonomi, seperti perdagangan, pertanian,
industri ringan, usaha kerajinan dan sebagainya yang tenaga dan
karyawannya diprioritaskan bagi para fakir miskin yang tidak
mampu menjalankan usaha sendiri.
Model zakat produktif tersebut telah dicontohkan
Khalifah Umar bin Khattab, yang menyerahkan zakat berupa tiga
ekor unta sekaligus kepada salah seorang mustahik yang sudah
rutin meminta zakatnya tetapi belum berubah nasibnya. Pada saat
penyerahan tiga ekor unta itu, Khalifah mengharapkan agar yang
bersangkutan tidak datang lagi sebagai penerima zakat, tetapi
diharapkan Khalifah sebagai pembayar zakat. Harapan Khalifah
Umar tersebut ternyata menjadi kenyataan, karena pada tahun
berikutnya orang ini datang kepada Khalifah bukan meminta
zakat, tetapi untuk menyerahkan zakatnya.
Tujuan utama dengan pola produktif ini adalah
meningkatkan kemampuan fakir miskin dalam menciptakan
269
Zakat Produktif Fikih Kontemporer

pendapatan atau penghasilan dan mengeluarkan dirinya sendiri


dari kemiskinan. Sehingga, zakat dapat digunakan untuk
membiayai berbagai kegiatan latihan keterampilan produktif.
Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun
dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Sebagai
perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh
lembaga-lembaga pengumpul zakat baru mencapai beberapa
puluh milyar. Itu pun bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf.
Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan
kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen
teknis pelaksana.

270
BAB 18
PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI
PENDAYAGUNAAN ZAKAT

A. Zakat Sebagai Salah Satu dari Rukun Islam.


Di dalam al-Qur’an setidaknya ada 20 ayat berbeda yang
mempertautkan zakat dengan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa
antara shalat dan zakat sama pentingnya dan mempunyai
hubungan fungsional yang sangat erat. Orang yang sudah
mengikrarkan kalimat syahadat wajib menegakkan shalat dan
membayar zakat. Oleh karena itu zakat akan kehilangan makna
sosialnya bila tidak timbul dari hati yang takwa dan perasaan
bersih. Demikian pula shalat akan kehilangan makna
spiritualitasnya jika tidak dapat menumbuh kembangkan
kepekaan sosial ditengah-tengah masyarakat. Adanya pengaruh
timbal balik tersebut sebagai lambang terdapatnya kesatuan batin
antara dimensi vertikal ketuhanan dan dimensi horizontal
kemanusiaan.
Oleh karena itulah, maksud diajarkan zakat kepada umat
Islam sebagai ibadah yang tidak hanya berdimensi ritual (pribadi)
tetapi juga sosial. Meski ajaran zakat secara utuh baru
diberlakukan pada tahun-tahun terakhir kehidupan Nabi
Muhammad Saw., namun sejak beliau diutus, anjuran menyantuni
kaum lemah menjadi perhatian Al-Qur’an. Banyak wahyu turun
pada priode Mekkah yang menyinggung pentingnya institusi
zakat. Ajaran tentang zakat adalah merupakan ajaran yang
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

menekankan kepada persaudaraan dan rasa kasih sayang antar


sesama. Konsep zakat menandingi dan bahkan mengulangi semua
ajaran-ajaran kesejahteraan sosial dari ideologi manapun
datangnya. Konsep zakat bertitik tolak dari ajaran al-Qur’an
bahwa harta benda yang dimiliki adalah amanat Allah dan
berfungsi sosial. Di sinilah misi Islam menciptakan keseimbangan
sistem ekonomi masyarakat melalui institusi zakat. Karena itu,
zakat adalah ibadah yang menjangkau dimensi kehidupan secara
luas. Disamping itu kedudukan kewajiban zakat dalam Islam
sangat mendasar dan fundamental. Begitu mendasarnya, sehingga
perintah zakat dalam Al-Qur’an sering disertai dengan ancaman
yang tegas.
Zakat yang merupakan pilar ketiga Islam, yakni salah satu
dari rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa
dan haji. Kelima rukun Islam itu sama kedudukannya antara yang
satu dengan yang lainnya dan dengan mudah dapat dipahami,
karena semuanya bernilai ritual dan ibadah mahdlah kepada Allah
yang harus diterima secara ta’abbudi, kecuali zakat yang agak sukar
untuk dipahami dan diyakini karena ia menyangkut materi yang
paling disayang. Secara teoritis, sulitnya memahami dan
mengamalkan kewajiban zakat dapat dipahami karena ia
merupakan suatu yang bertentangan dengan naluri manusia yang
pada umumnya sangat mencintai harta benda1.
Ini dimaklumi karena membayar zakat bukan sekadar
karena kebaikan hati tetapi justeru merupakan suatu bentuk
pengembalian atau pembayaran pinjaman yang diamanahkan oleh
Allah, dan merupakan pembebasan hak yang dipercayakan
kepada orang-orang kaya. Hutang kepada Allah itu dibayarkan

1Abdurrahman Qadir, Zakat; Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, PT


Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 61

272
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

kepada fakir miskin yang telah didelegasikan oleh Allah Swt. Oleh
karena itu zakat otomatis menjadi hak milik fakir miskin.
Walaupun melaksanakan kewajiban membayar zakat
merupakan sesuatu yang bertentangan dengan naluri manusia
yang pada umumnya mencintai harta benda, namun secara
kultural, kewajiban berzakat telah mengakar kuat dalam tradisi
kehidupan umat Islam. Wajar jika selama ini zakat menjadi satu
kekuatan tersendiri bagi umat Islam untuk bersatu,
bersilaturrahmi dan saling menolong.
Dalam hal ini, zakat tidak dimaksudkan untuk
memiskinkan orang kaya dan tidak pula melecehkan jerih payah
mereka. Sebab, zakat hanya diambil dari sebagian kecil harta
orang yang berkelebihan dan disalurkan kepada mereka yang
kekurangan, dengan beberapa kriteria tertentu dari harta yang
wajib dizakati. Jadi tidak akan ditemukan orang yang menjadi
miskin akibat membayar zakat.
Dari sini, zakat merupakan mekanisme keagamaan yang
berintikan semangat pemerataan pendapatan. Sehingga secara
ideal, zakat bisa dikembangkan menjadi instrumen keagamaan
yang berpotensi mempengaruhi aktivitas perekonomian
masyarakat. Oleh karena itulah dikatakan bahwa zakat di samping
berfungsi sosial, juga berperan untuk menumbuhkan dan
mengembangkan ekonomi masyarakat.
Karena itu, zakat tidak saja mengandung makna teologis,
yaitu kepatuhan individu kepada Tuhan, ataupun sosial ekonomi,
distribusi kekayaan terhadap orang-orang miskin. Tetapi zakat
bisa dimaknai secara politik strategis sebagai instrumen jangka
panjang untuk memelihara kelangsungan hidup suatu bangsa.
Dengan kata lain, selain membersihkan jiwa dan harta, zakat juga
merupakan alat pemerataan yang ampuh dalam kehidupan
ekonomi masyarakat.

273
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

Tujuan zakat baru dapat dipahami dan diyakini apabila di


dalam jiwa seseorang telah tumbuh beberapa nilai, seperti
keimanan, kemanusiaan dan keadilan. Oleh karena itu Al- Qur’an
menggunakan kata sadakah sebagai padanan dari kata zakat
tersebut, karena makna sadakah itu sendiri merupakan
manifestasi atas pengakuan dan pembenaran yang melahirkan
keyakinan, sehingga timbul kesadaran untuk memberikan
sebagian dari harta yang disayangi itu dalam bentuk zakat. Hal itu
dipandang logis dan wajar, bahkan merupakan keharusan2. Jadi
tujuan zakat itu bukan semata untuk menyantuni kaum fakir
miskin, akan tetapi lebih jauh adalah untuk memberantas
kemiskinan itu sendiri. Setidak-tidaknya tujuan zakat adalah
mempersempit ketimpangan ekonomi di dalam masyarakat
hingga batas seminimal mungkin, dan menjadikan perbedaan
ekonomi diantara masyarakat secara adil dan mengurangi
kemiskinan yang ada di tengah masyarakat, termasuk mengatasi
pengangguran.
Seseorang yang hidup dalam kemiskinan nyaris
menjadikan jalan hidupnya sesat, mudah terperosok kepada
tindakan kriminal dan berbagai pelanggaran lainnya. Apabila
kaum miskin hidup berdampingan dengan orang kaya, dan mana
kala diantara dua kelompok sosial tersebut tidak ada perekat yang
kuat, maka tentu akan timbul kedengkian yang mendalam, yang
bisa berkembang menjadi kebrutalan umat. Salah satu perekat
yang dapat mempersatukan diantara orang miskin dan kaya, ialah
dengan jalan orang yang kaya menyisihkan sebahagian hartanya,
memberi kesempatan untuk berusaha dengan memberikan
permodalan dari harta zakat. Membimbing dan memberikan
bantuan kepada orang yang hidup dalam kemiskinan agar mereka

2 Ibid., hal. 62
274
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

mampu menentukan suatu usaha yang cocok dan selanjutnya bisa


dikembangkan sendiri.

B. Persoalan Kemiskinan.
Kemiskinan bukanlah datang begitu saja, tetapi
disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga
kemiskinan menimpa pada diri seseorang atau sekelompok orang.
Jadi kemiskinan bukanlah sesuatu yang terwujud dengan
sendirinya yang terlepas dari aspek-aspek lain, tetapi kemiskinan
itu terwujud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada
dalam kehidupan manusia. Yang menyangkut aspek sosial seperti
perbedaan suku bangsa, ras, kelamin, dan usia yang bersumber
dari corak sistem pelapisan sosial yang ada dalam masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan aspek ekonomis ialah adanya
ketidak samaan diantara sesama warga masyarakat dalam hak dan
kewajibannya yang berkenaan dengan pendistribusian sumber-
sumber daya ekonomi. Akibat ketidak sesuaian sosial dan
ekonomi dalam suatu masyarakat menyebabkan terjadinya
kemiskinan pada masyarakat tersebut.
Kebanyakan orang menghubungkan kemiskinan dengan
masalah kependudukan dan menganggap ledakan jumlah
penduduk sebagai penyebab utama kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan. Pendapat ini bersumber dari Robert Melthus yang
pada tahun 1798 mengungkapkan bahwa “kesentosaan manusia
senantiasa diganggu oleh kenyataan pertumbuhan populasi
(menurut deret ukur) yang lebih cepat dari pada pertumbuhan
pangan/makanan yang tumbuh menurut deret hitung”3. Dengan

3Paul R Ehrlich, Ledakan Penduduk, Terj. Imyo Fernandez dan Paul


Soge, PT Gramedia, Jakarta, 1981, hal. vii

275
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

menekan angka kelahiran sekecil mungkin kalau bisa sampai


tingkat pertumbuhan nol (zero population grouth) diharapkan
kemakmuran dan kecukupan dibidang pangan, sandang dan
papan dapat dicapai.
Pendapat demikian tentu ada benarnya, akan tetapi tidak
dapat dibenarkan seluruhnya, karena pendapat ini nampak terlalu
menyederhanakan masalah kemiskinan dengan hanya
membandingkan aspek jumlah penduduk dengan aspek
pertumbuhan pangan semata. Padahal kemiskinan itu
mempunyai beragam aspek yang kompleks serta banyak pula
macamnya. Keterkaitan berbagai sebab kemiskinan dalam hampir
semua aspek kehidupan dikatakan sebagai lingkaran setan yang
tak berujung pangkal, sulit untuk membedakan penyebab dan
akibat dari kemiskinan tersebut.
Di samping itu urusan kecukupan pangan dan
pemenuhannya bukanlah suatu yang dapat dijadikan ukuran
utama. Ada orang yang sangat sulit untuk mencukupi kebutuhan
pangannya, ada juga yang kebutuhan pangannya sudah cukup
terpenuhi dengan mudah, namun terus juga mengkonsumsi lebih
banyak lagi. Tingkat konsumsi tersebut bisa berlipat ganda
dibandingkan dengan penduduk lain dengan perbandingan 1 :
100 atau lebih. Disini dapat dibuktikan bahwa tingkat kebutuhan
itupun bertumbuh (rising demand). Dengan begitu dibutuhkan
lebih banyak lagi pangan untuk dikonsumsi yang melebihi
perbandingannya dengan keadaan jumlah penduduk dan
pertumbuhan pangan itu sendiri.
Jadi kemiskinan merupakan bagian dari sebuah sistem
yang kompleks, yang saling berkaitan, dan mempunyai dampak
diberbagai bidang sosial kehidupan. Ada kemiskinan yang terjadi
karena sebagian kelompok masyarakat tidak punya uang,
sementara kelompok yang lain memiliki daya beli yang tinggi.

276
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

Dalam hal ini kemiskinan merupakan dampak tidak adanya


pemerataan.
Dalam salah satu pandangan, kemiskinan bukanlah
merupakan suratan takdir. Kemiskinan terjadi karena ulah
manusia itu sendiri. Artinya kemiskinan dan ketiadaan bukanlah
masalah keterbatasan kebutuhan pangan, melainkan akibat dari
pembagian yang tidak merata antar negara, daerah, lapisan
masyarakat, dan bahkan dalam desa atau keluarga.
Faktor-faktor penyebab atau sumber timbulnya
kemiskinan dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Kemiskinan menurut teori Konservatif.
Ideologi konservatif umumnya melihat masalah
kemiskinan sebagai kesalahan pada orang miskin itu sendiri.
Orang menjadi miskin akibat kehendak dan takdir jelek
mereka sendiri. Orang miskin layak atau memang sudah
sepantasnya menderita. Kemiskinan tersebut sebagai imbalan
atas budaya atau sikap mental yang mereka anut. Mereka
umumnya malas, bodoh, suka main judi, tak mau
menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat maju, suka
bersifat boros, tak punya gairah hidup, tak mau bekerja keras,
dan tidak ada kemauan untuk berwiraswasta. Tegasnya
mereka miskin karena sifat-sifat negatif yang ada pada mereka
sendiri.
Kaum konservatif menganggap bahwa orang akan bisa
mengatasi kemiskinan kalau orang miskin membuang sifat-
sifat buruk tersebut. Bagi mereka masalah kemiskinan
bukanlah masalah yang serius, karena masalah ini adalah
masalah individual yang akan terselesaikan dengan sendirinya
melalui proses sosial yang alami.
2. Kemiskinan menurut teori Liberal.

277
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

Penyebab kemiskinan adalah pekatnya diskriminasi sosial


dan sempitnya peluang atau kesempatan untuk
mengembangkan diri. Sehingga walaupun pada dasarnya
manusia mempunyai kemampuan yang sama, lantaran kondisi
sosial tidak dapat menciptakan kesempatan-kesempatan yang
sama untuk berusaha dan memperbaiki nasib bagi setiap
orang tanpa diskriminasi dalam kesempatan-kesempatan
pendidikan, lapangan kerja, perumahan dan pelayanan
kesehatan, maka kemiskinan dianggap sebagai sesuatu yang
melekat dalam suatu masyarakat. Meskipun demikian
kemiskinan dapat dikurangi, dengan mengurangi diskriminasi
sosial dan dengan memberikan lebih banyak kesempatan-
kesempatan, lebih banyak memberikan peluang-peluang
khusus yang memungkinkan orang miskin dapat maju dan
berkembang.
3. Kemiskinan menurut teori Strukturalisme.
Menurut teori ini, kemiskinan bukanlah karena malas,
apalagi karena kehendak sendiri. Manusia sejatinya adalah
mahluk sosial yang kooperatif, produktif dan kreatif. Bila
mereka bersikap sebaliknya, itu terjadi karena sistem ekonomi
dan politik memaksa begitu. Kalau orang mau
memperhatikan orang-orang miskin itu berusaha untuk
melepaskan diri dari lingkaran kemiskinan, maka akan
terbukti bahwa mereka bekerja lebih keras, lebih giat, lebih
ulet dan lebih panjang jam kerjanya. Akan tetapi mereka tetap
saja miskin, karena mereka dibuat miskin oleh struktur
ekonomi, politik dan sosial yang eksploitatif. Mereka miskin
karena dimiskinkan secara paksa dan sistematik oleh segelintir
elite struktural.
4. Kemiskinan menurut teori Emansipatoris.

278
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

Menurut teori Emansipatoris, seperti dikemukakan Syafi’i


Anwar “kemiskinan terjadi karena gabungan faktor-faktor
internal (sebagaimana pendapat Konservatif dan Liberal)
dengan faktor-faktor eksternal (sebagaimana pendapat
golongan strukturalis)”. Dalam pandangan ini kemiskinan
dianggap sebagai persoalan seluruh manusia, karena itu harus
diatasi dengan melibatkan semua pihak secara menyeluruh,
komprehensif dan holistik.
Dari sudut pandang yang tidak jauh berbeda, Abu
Ahmadi membagi kemiskinan menjadi tiga kelompok berdasar
kepada penyebab kemiskinan tersebut, yaitu :
1. Kemiskinan yang disebabkan oleh aspek badaniah atau
mental seseorang.
2. Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam.
3. Kemiskinan buatan.
Kemiskinan yang disebabkan oleh aspek badaniah lebih
melihat kepada mentalitas seseorang. Kemiskinan yang
disebabkan bencana alam, lebih melihat kepada faktor alam
seperti bencana alam, kekeringan dan sebagainya. Sedangkan
kemiskinan buatan disebabkan oleh manusia lain, bisa berupa
peperangan, kebijakan ekonomi, dan kebijakan pembangunan
yang tidak memihak kepada masyarakat kecil.
Secara umum faktor atau penyebab kemiskinan dapat
dikelompokkan kepada dua kategori, yaitu :
1. Kemiskinan kultural.
2. Kemiskinan struktural.
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan
oleh kultur atau budaya atau mentalitas manusia itu sendiri yang
mencakup segala aspek yang berhubungan dengan sikap dan
prilaku, dan lingkungan sosial yang melingkupi orang miskin
tersebut. Aspek yang berhubungan dengan sikap dan prilaku,

279
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

ialah aspek yang terdapat di dalam diri manusia itu sendiri, bisa
berupa pandangan hidup yang sederhana, lemahnya semangat
kewiraswastaan, dan ketidak mampuan untuk mengembangkan
potensi diri.
Sedangkan kemiskinan Struktural yaitu kemiskinan yang
disebabkan oleh sistem yang ada, bisa berupa kebijakan
pemerintah yang diskriminatif, krisis ekonomi yang belum pulih
sehingga kesulitan mendapatkan pekerjaan, mengembangkan
usaha dan sebagainya. Artinya sistem atau kebijakan yang berlaku
tidak atau kurang memberdayakan masyarakat untuk dapat
meningkatkan kondisi ekonominya. Jadi kemiskinan ini terjadi
akibat kebijakan negara, ekspansi bisnis swasta dan diamnya
masyarakat. Misalnya kebijakan impor buah-buahan dan beras
telah menghancurkan ekonomi rakyat.
Dari pengelompokkan kemiskinan secara kultural dan
struktural tersebut diatas, dengan sendirinya menimbulkan dua
kelompok ditengah-tengah masyarakat. Kelompok pertama terdiri
atas mereka yang memiliki faham keagamaan yang sempit dan
berorientasi keakhiratan saja dan mereka yang tidak memiliki
pendidikan dan keterampilan yang memadai. Pengentasan
kemiskinan terhadap kelompok ini harus melalui proses
pembinaan sumber daya manusia. Mereka dilatih dengan berbagai
usaha dan keterampilan.
Kelompok kedua terdiri atas mereka yang mempunyai
potensi, tetapi tidak mendapat kesempatan yang memadai.
Sistem, kebijakan atau pelaksanaannya tidak memberi kesempatan
yang memadai kepada mereka. Pengentasan kemiskinan terhadap
kelompok ini memerlukan evaluasi terhadap sistem, kebijakan
dan pelaksanaannya, untuk selanjutnya melakukan reformasi yang
terencana.

280
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

C. Kemiskinan di Indonesia.
Krisis moneter yang menimpa Indonesia sejak akhir tahun
1997 mengakibatkan jumlah penduduk miskin meningkat. Bila
sebelum terjadi krisis moneter angka pertumbuhan ekonomi
Indonesia mencapai rata-rata 7%, maka setelah tahun 1997 jatuh
ke angka minus 13%. Hal ini berakibat pada meluasnya gejala dan
kualitas kemiskinan. Bila dua dekade menjelang tahun 1996
(sebelum krisis), penduduk miskin Indonesia berkurang drastis,
yaitu dari 54,2 juta pada tahun 1976, menjadi 22,5 juta pada tahun
1996, namun krisis ekonomi pada tahun 1997 meningkatkan
angka kemiskinan tersebut (22,5 juta) menjadi 36 juta pada akhir
tahun 1998. Sejak krisis tersebut angka kemiskinan mengalami
fluktuasi, dari 38,7 juta pada tahun 2000 menjadi 35,1 juta pada
tahun 2005, dan pada tahun 2006 menjadi 39,3 juta4. Sementara
pada akhir Maret 2007 angka kemiskinan mengalami penurunan,
menjadi 37,17 juta. Itu berarti angka kemiskinan sebesar 16,58%
dari total penduduk yang berjumlah 224,177 juta, yang masih
terlalu besar bagi suatu negara kaya sumber daya alam seperti
Indonesia.
Menurut BPS, hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan
jumlah penduduk Indonesia mencapai 238 juta, meningkat tajam
dibandingkan dengan satu dekade lalu yang ”hanya” 205 juta.
Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi memicu
kekhawatiran banyak pihak karena berdampak serius secara sosial,
ekonomi, dan politik5.
Jumlah penduduk miskin pada Maret 2010 mencapai
31,02 juta orang atau 13,33 persen. Berkurang 1,51 juta orang jika

4 Biro Pusat Statistik Tahun 2006


5 Amich Alhumami “Melampaui Jebakan Malthus” dalam Harian
Kompas, 17 Juli 2010, hal. 7
281
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang


(14,15 persen)6.
Data diatas menginformasikan bahwa tingkat hidup
penduduk miskin Indonesia dari tahun ke tahun belum
mengalami penurunan secara signifikan, dan bisa jadi semakin
hari bertambah jumlah penduduk miskinnya dengan melihat
realitas kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil, angka
pengangguran yang setiap tahun bertambah, di tambah dengan
kebijakan PHK oleh perusahaan yang sedang kolaps (declean). Janji-
janji pemerintah untuk berkomitmen mengurangi jumlah angka
penduduk miskin belum menampakkan keseriusannya, malah
fakta yang terjadi justru pemerintah menambah deretan derita
penduduk miskin dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak
populer (Kebijakan impor beras, menaikkan tarif BBM dan TDL,
dan sebagainya).
Masalah kemiskinan memang menjadi tanggung jawab
negara. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, tentu kita tidak
boleh hanya mengutuk keadaan, menyalahkan pemerintah. Tetapi
harus ada ikhtiar insaniyah dari kelompok/anggota masyarakat
yang peduli dengan kondisi sosial masyrakat. Dalam Undang-
Undang Dasar 1945 memang disebutkan bahwa, “fakir miskin
dan anak-anak terlantar di pelihara oleh negara”. Bukan berarti
kita berpangku tangan melihat kondisi dan realitas yang ada.
Tetapi bagaimana mengoptimalkan potensi yang ada guna
membantu pemerintah mengurangi jumlah penduduk miskin.
Salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan peran
Lembaga Amil Zakat (LAZ) baik yang pemerintah maupun
swasta untuk mendistribusikan dana zakat guna usaha yang
produktif.

6 Harian Kompas, 12 Juli 2010, hal. 1


282
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

D. Pendayagunaan Zakat dalam Upaya Mengentaskan


Kemiskinan.
Adalah merupakan kewajiban bersama untuk
menciptakan standar hidup yang layak bagi setiap umat
khususnya Islam, karena itu mereka yang tidak dapat mencukupi
kebutuhan hidupnya perlu diberikan bantuan. Nabi Muhammad
Saw. dengan jelas menyatakan bahwa : “Orang yang oleh Allah telah
diberi kepercayaan untuk mengurus kepentingan kaum muslimin tetapi
senantiasa memperlakukan tidak semestinya terhadap kebutuhan-
kebutuhan dan kemiskinan mereka, maka Allah pun akan
memperlakukan dengan tidak semestinya terhadap kebutuhan-kebutuhan
dan kemiskinannya sendiri” (H.R. Abu Daud).
Nabi juga menyatakan bahwa : “Orang yang meninggal dunia
dengan meninggalkan anak-anak terlantar, maka anak-anak itu adalah
tanggung jawab kita” (H. R. Abu Daud).
Konsepsi Islam tentang pembebasan kaum miskin dalam
hal ini bagaimana menerapkan keadilan dalam pemerataan
distribusi penghasilan dan kekayaan, tidak berarti harus sama rata
bagi semua orang sesuai dengan sumbangan yang mereka berikan
kepada masyarakat. Oleh karena itu keadilan yang merata dalam
masyarakat muslim dapat terwujud setelah adanya jaminan
standar hidup manusia yang wajar bagi semua anggotanya melalui
latihan yang baik, pekerjaan yang sesuai, upah yang adil, jaminan
sosial dan bantuan keuangan kepada orang-orang miskin melalui
pelaksanaan zakat, dan adanya pemerataan kekayaan secara
intensif melalui berbagai sumber pendanaan seperti melalui
sistem wasiat dari orang yang menghadapi kematian, sehingga
perbedaan penghasilan itu dapat diatur sedemikian rupa sesuai
dengan perbedaan penilaian terhadap sumbangan yang diberikan
kepada dan pengabdiannya terhadap masyarakat.

283
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

Khalifah kedua Umar bin Khattab menegaskan dalam


salah satu khutbahnya bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama terhadap harta milik masyarakat, bahwa tak seorangpun
termasuk dirinya sendiri yang mengganggap lebih berhak
terhadap harta tersebut, dan apabila beliau (Umar) diberi umur
panjang, beliau bahkan akan menyuruh agar pengembala di
Gurun Sinai pun dapat memperoleh bagiannya dari harta
masyarakat ini. Harta masyarakat disini dimaksudkan adalah harta
yang dikumpulkan dari umat Islam itu sendiri.
Penanggulangan dan upaya pengentasan kemiskinan
dilakukan dengan pendekatan-pendekatan kepada segenap pihak,
yaitu pendekatan kepada masyarakat secara umum. Secara khusus
pendekatan dilakukan kepada orang-orang miskin, orang kaya dan
pemerintah.
Pendekatan kepada masyarakat secara umum ialah dengan
menyadarkan mereka akan arti persamaan dan persaudaraan.
Masyarakat yang dibangun berdasarkan nilai-nilai kesamaan iman
dalam Islam digambarkan dalam sebuah hadis ibarat tubuh yang
apabila salah satu bagian anggotanya sakit maka keseluruhan
tubuhnya akan merasakan sakit.
Pendekatan kepada orang-orang miskin ialah dengan jalan
memberikan motivasi dan tuntunan bahwa mencari rezeki untuk
kehidupan dunia ini adalah suatu perintah agama. Orang tidak
bisa hidup tanpa ada yang harus dimakan, oleh karena itu upaya
mencari kebutuhan hidup dan menikmati kehidupan dalam batas
yang wajar adalah suatu keharusan.
Dalam hal mencari kebutuhan hidup, maka penting
penekanan terhadap penghargaan nilai kerja. Sebuah hadis Nabi
mengatakan : “Sesungguhnya Allah sangat senang melihat hambaNya
yang letih dan payah karena bekerja mencari rezki yang halal”.
(H.R.Dailami).

284
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

Dalam hadis ini terdapat empat nilai yang perlu


diperhatikan. Pertama adalah sikap terhadap kerja. Kedua, sikap
terhadap bagaimana orang itu bekerja. Apabila kerja itu dilakukan
dengan cara yang tidak benar, maka kerja itu tidak akan
menghasilkan rezki yang halal. Untuk menghasilkan rezki yang
halal diperlukan kejujuran dan tidak melakukan penyalah gunaan.
Ketiga, bahwa kerja yang dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah
kerja keras yang menyebabkan kelelahan dan mungkin kepayahan.
Jadi kerja itu mempunyai sifat-sifat tertentu, yang bisa jadi
merupakan kualitas dari kerja. Kerja yang berkualitas disebut juga
dengan karya. Keempat, tentang perkataan “rezki yang halal”. Rezki
yang halal tersebut jika dilakukan dengan kerja keras akan
menghasilkan kekayaan. Islam tidak hanya menghalalkan
penghasilan, tetapi juga kekayaan. Dengan rukun Islam yang
keempat, yang mengharuskan orang menyisihkan sebagian
kekayaannya untuk orang lain berupa zakat. Doktrin zakat ini
secara implisit menghalalkan kekayaan, asalkan diperoleh dengan
cara yang baik dan orang yang memperoleh kekayaan diwajibkan
memenuhi kewajiban sosialnya.
Pendekatan kepada orang-orang kaya ialah dengan
menyadarkan mereka yang sudah terbiasa dengan hak-hak
istimewa mereka ditengah masyarakat, dimana mereka cenderung
menganggap diri sebagai pusat dari dinamika masyarakat tersebut.
Lantaran itu mereka merasa tidak membutuhkan orang lain,
bersikap individualistis dan egois. Pendekatan dilakukan dengan
memberikan kesadaran tentang arti rasa tanggung jawab dan
kesetia kawanan sosial dalam kehidupan. Bagaimanapun pada
hakikatnya kekayaan yang dimiliki seseorang diperoleh atas
pengorbanan dan jerih payah orang-orang miskin. Bantuan
orang kaya dan berkemampuan terutama diberikan kepada
keluarga dan kerabatnya yang hidup dalam kemiskinan, keluarga

285
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

tersebut bisa dari jalur hubungan warisan maupun dari jalur


hubungan keturunan.
Sedangkan pendekatan kepada pemerintah ialah berusaha
dan berperan menciptakan pemerintahan yang demokratis dan
senantiasa berkeinginan menciptakan suatu keadilan sosial dan
kesejahteraan menyeluruh bagi masyarakat. Dan sebagaimana
yang umumnya terjadi, golongan masyarakat lemah adalah yang
merupakan mayoritas dan berada dilapisan bawah dari piramida
tatanan struktur sosial. Untuk menegakkan keadilan sosial dalam
bidang ekonomi, dituntut usaha-usaha pemerataan pendapatan
dan kepemilikan. Ketidak merataan pendapatan pada gilirannya
akan mengundang ketimpangan dan kecemburuan sosial.
Bagaimanapun juga, struktur masyarakat, politik dan
ekonomi, bahkan juga berbagai nilai budaya bisa merupakan
penghalang terhadap usaha mencapai masyarakat yang adil dan
makmur. Untuk mengentaskan kemiskinan diperlukan kemauan
politik yang kuat dalam masyarakat itu, dan terutama dikalangan
penguasa atau pemerintah. Dewasa ini jurang yang memisahkan
antara dunia kaya dan dunia miskin belum dapat dijembatani
sebagaimana diharapkan.
Terhadap orang miskin yang masih mampu bekerja dan
berupaya sekuat tenaga untuk mengatasi masalah kehidupan, bisa
jadi akan mendapatkan atau menemukan peluang untuk
mengatasi problema kemiskinan tersebut. Demikian pula orang
miskin yang mendapat bantuan dari keluarga atau kerabatnya yang
kebetulan hidup berkelebihan. Tapi bagaimana halnya dengan
mereka yang lemah seperti anak kecil, anak yatim, wanita janda,
ibu tua renta, dan ayah yang sudah uzur. Apa yang dapat
dilakukan oleh mereka yang bodoh, menderita penyakit menahun,
buta dan cacat. Apa yang harus dilakukan oleh mereka yang
mampu berusaha dan bekerja tetapi tidak memperoleh

286
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

kesempatan. Apa pula yang akan diperbuat oleh mereka yang


sudah bekerja tetapi penghasilannya tidak mencukupi.
Untuk menanggulangi semua permasalahan yang telah
disebutkan, salah satu jalan yang harus ditempuh adalah dengan
menggalakkan pelaksanaan kewajiban zakat. Perhatian kearah
menghilangkan kepincangan-kepincangan sosial adalah
merupakan kewajiban agama. Jadi zakat merupakan kewajiban
agama yang berfungsi sosial, dan merupakan salah satu alternatif
untuk mengentaskan masalah kemiskinan.
Dalam Islam pertumbuhan dan distribusi harus
dilaksanakan secara simultan, tanpa memprioritaskan salah
satunya dari yang lain. Pertumbuhan merupakan suatu keharusan
dapat dilihat dari perintah untuk meningkatkan produktivitas dan
investasi. Melalui zakat, sebahagian pendapatan perorangan dan
perusahaan harus diberikan kepada mereka yang
membutuhkannya sebagai modal usaha dan kebutuhan lainnya
dalam rangka menghindari penumpukan harta di kalangan
segelintir orang.
Menurut pandangan Islam, persaingan usaha tidaklah
bersifat liberal. Persaingan secara liberal lebih sering
mengakibatkan ketidak adilan dan selanjutnya membawa
kesenjangan yang tajam. Kebijakan dalam persaingan usaha
seharusnya mengandung makna pemberdayaan bagi golongan
yang tidak atau kurang berdaya sehingga secara berangsur
mempunyai daya untuk bersaing secara seimbang dengan mitra
usahanya.
Jadi kemiskinan merupakan masalah dalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat, yang perlu perhatian, kesungguhan
dan penanganan secara serius, sistematis dan berkesinambungan,
serta memerlukan komitmen bersama untuk mengatasinya.

287
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

Apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammmad Saw.:


“Kemiskinan mendekatkan seseorang kepada kekafiran”
mengindikasikan bahwa masalah kemiskinan bukan saja menjadi
masalah sosial budaya, ekonomi dan politik, tetapi juga masalah
agama (Islam). Oleh karena itu, upaya penanganan masalah
kemiskinan disamping dilakukan dengan pendekatan secara sosial
budaya, ekonomi dan politik, tetapi juga dari perspektif agama,
serta harus dilakukan secara serius, terintegrasi dan
berkesinambungan.
Berdasarkan data Statistik BPS 20047, jumlah penduduk
Indonesia adalah 214 juta, dan 87 persen diantaranya adalah
beragama Islam, atau kurang lebih sekitar 186,18 juta. Kalau dari
jumlah tersebut sepuluh persen saja (18,6 juta orang) yang
membayar zakat, dan masing-masing membayar zakat misalnya
sebesar batas minimal nishab, yaitu senilai 85 gram emas, atau
sekitar Rp.6 juta x 2,5 % = Rp.150.000, maka akan terakumulasi
jumlah yang sangat besar, yaitu Rp.2,79 triliun. Jumlah tersebut
merupakan potensi yang besar untuk mengatasi masalah
kemiskinan dan pengangguran.
Salah satu sisi ajaran Islam yang belum ditangani secara
serius adalah penanggulangan kemiskinan dengan cara
mengoptimalkan pengumpulan dan pendayagunaan zakat, infaq
dan shadaqah dalam arti seluas-luasnya. Sebagaimana telah
dicontohkan oleh Rasulullah Saw serta penerusnya di zaman
keemasan Islam. Padahal ummat Islam ( Indonesia ) sebenarnya
memiliki potensi dana yang sangat besar.
Penunaian zakat bagi umat Islam Indonesia telah lama
dilaksanakan sebagai dorongan pengamalan dan penyempurnaan
ajaran agamanya, walaupun pelaksanaan dan pemberdayaannya

7 Hasil Sensus Tahun 2010, penduduk Indonesia sudah berjumlah 237

juta jiwa.
288
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

masih bersifat tradisional, akan tetapi lambat laun dalam


perkembangannya mulai disadari bahwa jumlah umat Islam yang
mayoritas, sebenarnya zakat merupakan sumber dana potensial
namun belum dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, terpadu,
optimal dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ummat
(masyarakat).
Zakat pada awalnya dikelola oleh Dewan Kesejahteraan
Masjid (DKM), kini dikelola secara profesional oleh Lembaga
Pengelola Zakat. Pembentukan Lembaga Amil Zakat (LAZ) oleh
DKM biasanya hanya beroperasi pada awal bulan Ramadhan saja
untuk menarik zakat fitrah. Selepas Ramadhan tuntas pula tugas
LAZ.
Dulu kita hanya mengenal zakat konsumtif. Zakat
konsumtif yaitu zakat yang diberikan kepada mustahik untuk
dimanfaatkan langsung oleh yang bersangkutan, seperti zakat
fitrah yang dibagikan kepada fakir miskin untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, atau zakat harta yang dibagikan atau
diberikan kepada korban bencana alam seperi bencana gempa,
banjir, tanah longsor, dan gelombang tsunami di Aceh.
Kini, setelah adanya Undang-Undang No. 38 tahun 1999
tentang pengelolaan zakat, memberi peluang besar untuk
pengelolaan zakat oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) secara
profesional. Dengan adanya Undang-Undang tersebut saat ini
bermunculan Lembaga Amil Zakat (BAZNAS, Dompet Dhuafa,
LAZ Rumah Zakat Indonesia, dll). Maka dikampanyekanlah zakat
produktif, dengan usaha-usaha yang produktif, sehingga zakat
dapat di jadikan suatu usaha untuk mengurangi kemiskinan, yang
diharapkan suatu saat kaum miskin bisa menjadi muzakki, bukan
mustahik lagi.
Ketika muzakki memberikan zakatnya kepada Lembaga
Pengelola Zakat (LAZ) , maka LAZ yang akan mendistribusikan

289
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

dana zakat tersebut. Pendistribusian itu tergantung kepada


kebijakan Lembaga Pengelola Zakat yang bersangkutan. Jadi
sejauh mana peran LAZ saat ini dalam memaksimalkan harta
zakat produktif, mengingat lapangan kerja yang begitu sempit,
dan tingginya angka pengangguran, maka pendistribusian zakat
untuk peningkatan sektor riil dengan pemberdayaan ekonomi
masyarakat diharapkan dapat membuka lapangan kerja baru serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan seterusnya jumlah
penduduk miskin Indonesia dapat berkurang.
Agar dana-dana yang berhasil dikumpulkan dari berbagai
institusi pengumpulan harta Islam (BAZNAS atau LAZ) ada
pengaruhnya dalam melenyapkan kemiskinan, maka ada satu
pertanyaan yang harus dijawab : seberapakah yang harus diberikan
kepada fakir dan miskin?
Imam Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmu’: ”Masalah
kedua adalah dalam menentukan bagian zakat untuk orang fakir
dan miskin. Sahabat-sahabat kami orang-orang Irak dan
Khurasan telah berkata : ’Apa yang diberikan kepada orang fakir
dan miskin, hendaklah dapat mengeluarkan mereka dari lembah
kemiskinan kepada taraf hidup yang layak.’ Ini berarti ia mesti
menerima sejumlah barang atau uang tunai yang dapat memenuhi
semua kebutuhannya.”
Dengan banyaknya Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang
bermunculan tentu dapat memberikan angin segar dalam hal
penanggulangan/pengurangan angka kemiskinan, lembaga
tersebut dapat menjadi mitra pemerintah untuk mengadakan
penyuluhan terhadap penduduk miskin. Beban berat pemerintah
dapat terkurangi, memutus mata rantai birokrasi pemerintah
ketika akan mendistribusikan bantuan, karena biasanya tiap
Lembaga Amil Zakat mempunyai petugas atau pasukan relawan
yang berfungsi sebagai penyalur/distributor yang akan terjun

290
Pengentasan Kemiskinan melalui Pendayagunaan Zakat

langsung ke lapangan memberikan bantuan yang bersifat


konsumtif (biasanya dikemas dengan acara Baksos/Aksos dan
pengobatan gratis dll), untuk bantuan yang bersifat produktif
biasanya lembaga zakat akan memberikan pendampingan,
pendidikan, pengamatan, dan evaluasi terhadap usaha yang
dikelola oleh mustahik, dengan tujuan sektor usaha tersebut dapat
berjalan secara optimal, dan harapannya adalah usaha-usaha yang
dibiayai oleh Lembaga Amil Zakat dapat meningkat sehingga
tingkat kesejahteraan ekonomi mustahik (fakir dan miskin) dapat
meningkat, dan tentunya dengan peningkatan usaha dan
kesejahteraan tersebut akan terjadi perubahan kondisi dari
mustahik (fakir dan miskin) menjadi muzakki (orang yang wajib
mengeluarkan zakat). Dan ini berarti aplikasi distribusi zakat
tersebut sudah tepat guna dan sasaran.

291
DAFTAR PUSTAKA

Aam Amiruddin, 2008. Bedah Masalah Kontemporer: Ibadah dan


Mu’amalah, Cetakan V, Khazanah Intelektual, Bandung
Abdullah Hehamahua, 2005, Wajah Pemberantasan Korupsi di
Indonesia Hari Ini, Makalah, Semiloka, BEM ITB, Bandung
Abdurrahman SH dan Riduan Syahrani. 1978. Masalah-masalah
Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung
Abdurrahman Qadir, 1998. Zakat; Dalam Dimensi Mahdhah dan
Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Abdulahanaa, 2004. “Korupsi Perspektif Hukum Islam” dalam
Ekspose, Jurnal Hukum dan Pendidikan, Vol. 5, Januari –
Juni, P3M STAIN Watampone
Abuddin Nata, Prof. Dr. H. MA (ed), 2006. Masail Al-Fiqhiyah,
Cetakan ke-2, UIN Press, Jakarta
Afdhal dkk, 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia, LIPI Press,
Jakarta
Agus Mustofa, 2007. Poligami Yuuk!?, Benarkah Al-Qur’an Menyuruh
Berpoligami karena Alasan Syahwat?, Padma Press, Surabaya
Achmad Sunarto dan Syamsuddin Noor, 2005, Himpunan Hadits
Shahih Bukhari, An-Nur, Jakarta
Ahmad Syafii Mufid. 2007 “Zakat dan Advokasi Sosial” dalam
Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume VI,
Nomor 22, April-Juni, Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI., Jakarta
Al Atas, 1986. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelasan dengan Data
Komputer, Cet. IV, LP3ES, Jakarta
Ali Hasan M. 1996. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-
Masalah Kontemporer Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta
--------------, 1996. Masail Fiqhiyah Zakat, Pajak, Asuransi dan
Lembaga Keuangan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. 1986. Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah,
Terjemahan oleh Anshori Umar Sitanggal, CV Asy-Syifa,
Semarang
Al-Juhaily, Wahbah. 1985. Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuh, Jilid
VII, Dar El-Fikri, Beirut.
Al-Khatib, Muhammad „Ajjaj, 1975, Ushul al-Hadits, Dar al-Fikr,
Beirut.
Al-Math, Muhammad Faiz, Dr., 1992, 1100 Hadis Terpilih Sinar
Ajaran Muhammad, Terjemahan oleh A.Aziz Salim
Basyarahil, Cetakan kedua, Gema Insani Press, Jakarta
Al-Shan‟any, t.t. Subul Al-Salam, Jilid III, Dar Ihya Al-Turat Al-
Turats Al-Araby
Al-Syarastaniy, Abi Dawud Sulaiman al-Asy‟asts, 1994. Sunan Abi
Dawud, Juz II, Dar al-Fikr, Beirut
Al-Syaukaniy, Muhammad „Aliy bin Muhammad, t.t. Nayl al-
Awtar, Juz II, Mustafa al-Babiy al-Halabiy, Mesir
Andi Hamzah, 2005. Pemberantasan Korupsi, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta
Arya Maheka, t.t. Mengenali dan Memberantas Korupsi, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Jakarta
Badri Yusuf, 2009. Nikah Beda Agama, Persis Pers, Bandung
Baharuddin Lopa,Prof. Dr.H. SH., 1997. Masalah Korupsi dan
Pemecahannya, PT Kipas Putih Aksara, Jakarta
Bey Arifin, Ustadz, dkk., 1992, Tarjamah Sunan Abi Daud, Asy-
Syifa, Semarang
Departemen Agama RI., 2000. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
t.p., Jakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2003. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan ketiga, Balai
Pustaka, Jakarta
Ehrlich, Paul, R. 1981. Ledakan Penduduk, Terj. Imyo Fernandez
dan Paul Soge, PT Gramedia, Jakarta
Fathurrahman Djamil, 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyah, Logos, Jakarta

293
Fuad Muhammad Fakhruddin, 1985. Riba dalam Bank, Koperasi,
dan Asuransi, Al-Ma‟arif, Bandung
Happy Susanto, 2007. Nikah Siri Apa Untungnya?, Visi Media,
Jakarta.
Harun Nasution, 1984, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI
Press, Jakarta.
Hassan Shadily et all. 1984. Ensiklopedi Indonesia 5, Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta
Hasbi Ash-Shiddieqy. T.M. 1975, Fiqh Islam Mempunyai Daya
Elastis, Lengkap, Bulat dan Tuntas, Bulan Bintang, Jakarta
--------------, 1977. 2002 Mutiara Hadits, Jilid V, Bulan Bintang,
Jakarta
“Hasil Komisi C Keputusan Dewan Pimpinan MUI No.Kep-
163/MUI/III/1990” dalam Zakat dan Pajak, Cetakan
Kedua, PT Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1991
Hendi Suhendi, 2008. Fiqh Muamalah, RajaGrafindo Persada,
Jakarta
Humris, Edith, Dr. W. 1996. “Berbagai Dimensi Problematika
Remaja Usia Nikah” dalam Dr.H.Dadang Hawari (ed),
Persiapan Menuju Perkawinan yang Lestari, Cetakan Keempat,
Pustaka Antara, Jakarta
Husayn, Thaha, t.t. Fi Syi’r al-Jahili, Dar al-Ma‟arif, Tunisia
Huzaimah Tahido Yanggo, Prof. Dr. Hj. MA. 2005. Masail
Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, Angkasa, Bandung
Ismail Nawawi, Prof. Dr. H. MPA., M.SI. 2009. Ekonomi
Kelembagaan Syari’ah dalam Pusaran Perekonomian Global Sebuah
Tuntutan dan Realitas, CV Putra Media Nusantara, Surabaya
Isnawati Rais, DR., MA. 2006. Hukum Perkawinan Dalam Islam,
Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama, Jakarta
Kamal Muchtar, 1994, “Nikah Siri di Indonesia”, Al-Jami’ah, No.
56
Katsir,Ibnu,t.t.Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 1, al-Maktabah al-
Taufiqiyah, ttp.
Klitgard, Robert, 1998. Membasmi Korupsi, Yayasan Obor, Jakarta
294
Mahmudi, “Ekstremis di Tengah Kita”, Majalah Adil, No. 21, 26
Juli - 8 Agustus 2007
Mahjuddin, Drs.H.M.Pd.I. 2008. Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus
yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Cetakan Ketujuh,
Kalam Mulia, Jakarta
Ma‟mur Daud, 1993, Terjemah Hadis Shahih Muslim, Cetakan
ketiga, Widjaya, Jakarta, 1993
Masdar F. Mas‟udi. 1991. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak)
dalam Islam, P3M, Jakarta
Masrukin, 2006. “Tuntutan Penerapan Syariat Islam Kelompok-
Kelompok Islam Radikal di Surakarta” dalam Dialog, Jurnal
Penelitian dan Kajian Keagamaan, No. 62 Tahun XXIX,
Desember, Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama, Jakarta
Mukhtar Hadi, 2007.“Zakat dan Pengentasan Kemiskinan” dalam
Akademika, Jurnal Sosial Budaya dan Pemikiran Islam, Vo. 12
No. 02, Juli, P3M STAIN Metro
Mughniyah, Muhammad Jawad, 1999. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-
Khamsah, Terjemahan oleh Masykur AB, Afif Muhammad,
Idrus Al-Kaff, Cetakan keempat, Lentera, Jakarta
Muhammad Abduh, t.t. Tafsir Al-Manar, Juz IV, Dar-Al-Fikr,
Mesir
--------------.1993. Al-A’mal al-Kamilah lil imam al-Syeikh Muhammad
Abduh, (ed) Muhammad „Imarah, Dar al-Syuruk, Kairo
Muhammad Al-Bahy, 1978. Al-Islam wa Tijah Al-Mar’ah Al-
Mu’ashirah, Maktabah Wahbah, Mesir
M. Iqbal Ambara, 2009. Problematika Zakat dan Pajak di Indonesia,
Sketsa, t.tp.
Muhammad Jamal, Ahmad, t.th. Muftarayah ‘Ala Al-Islam, Dar al-
Fikri, Mesir
Muhsin Mahfudz, 2008. “Kesalehan dan Radikalisme Agama
dalam Konteks Indonesia” dalam Generasi Baru Peneliti
Muslim Indonesia: Mencari Ilmu di Australia, Kumpulan
Makalah Dosen PTAI Peserta Program PTRII 2004-2006,
Australia-Indonesia Institute, Kingston, Australia

295
Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, 1995. Lembaga-Lembaga
Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Moh. Irfan, Drs.H. SH.M.Pd., dkk., 2002. Kajian Fikih Sosial..,
Proyek Peningkatan Pondok Pesantren Departemen Agama
bekerjasama dengan Indonesian Institute for Civil Society,
Jakarta
Moh. Zuhri, Drs. H. Dipl.TAFL dkk, 1992, Tarjamah Sunan At-
Tirmidzi, Jilid 2, Asy-Syifa, Semarang
Nabil Kazhim, Muhammad. 2009. Kaifa Takhaththith Masyruu’
Zawaj Naajih, Diterjemahkan oleh Nashirul Haq, Lc dengan
judul “Panduan Pernikahan Ideal”, Irsyad Baitus Salam,
Bandung
Nuruddin Muhammad Ali, 2007 ”Zakat sebagai Instrumen dalam
Kebijakan Fiskal” dalam Harmoni, Jurnal Multikultural dan
Multireligius, Volume VI, Nomor 22, April-Juni, Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Dep.Agama, Jakarta
Nusron Wahid, 2003. Gerakan Mahasiswa dan Godaan Politik:
Problematika Transisi Demokrasi di Indonesia, Pustaka Salemba,
Jakarta
O.Hashem, 2009. Benarkah Aisyah Menikah dengan Rasulullah Saw.
di Usia Dini?, Mizania, Bandung
Olibier Carre, 1993. L’Islam Laique ou le retour ‘a la Grande Tradition,
Armand Collin, Paris
Qardhawi, Yusuf. 1996. Hukum Zakat, Terjemahan, Litera
Antarnusa, Jakarta
--------------, 1997. Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Sunnah, Cetakan II, Pustaka Al-Kausar, Jakarta
--------------, 1982. Halal dan Haram dalam Islam, Alih Bahasa H.
Mu‟ammal Hamidy, PT Bina Ilmu, Surabaya
--------------, 2009. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terjemah oleh Drs.
As‟ad Yasin, Jilid 2, Cetakan keenam, Gema Insani, Jakarta
Qutub, Sayyid. 1984. al-‘Adalah wa al-Ijtima’iyah fi al-Islam,
diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan judul Keadilan
Sosial dalam Islam, Pustaka, Bandung
296
Rahman, Fazlur, 1996. Tema pokok Al-Qur’an, Pustaka, Bandung
Rachmat Syafei, Prof. Dr. H. MA. 2001. Fiqh Muamalah, Cetakan
ke-4, Penerbit Pustaka Setia, Bandung
Sabiq, Sayid. 1983. Fiqih Al-Sunnah, Juz II, Dar El-Fikry, Libanon
--------------, 1988. Fiqih Sunnah, Alih Bahasa Oleh H. Kamaluddin
A. Marzuki, Cetakan 2, Jilid 13, PT Al Ma‟arif, Bandung
Schoorl, JW, 1980 ,Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan
Negara-negara sedang Berkembang, Gramedia, Jakarta
Setiawan Budi Utomo, Dr. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas
Masalah Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta
Sidi Gazalba. Drs. 1975. Menghadapi Soal-soal Perkawinan, Antara,
Jakarta
Soekedy, 2003. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara di
Tengah Gurita, Mapeksi, Jakarta
Sunardi, SH.MH.dkk., 2005. Republik Kaum Tikus, EDSA
Mahkota, Jakarta
Syaltut, Mahmud.1996. Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, Cet.III Dar- al-
Qalam, Mesir
Totok Jumantoro, Drs. MA dan Drs. Samsul Munir Amin M.Ag.
Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah, Jakarta
Undang-Undang RI Tentang Perkawinan, Edisi 2008, CV Tamita
Utama, Jakarta
Undang-Undang Perpajakan, Edisi Terlengkap 2009, Citra Media
Wacana, t.k.
Yasin, Najman, 1997. al-Islam wa al-Jins fi al- Qarn al-Awwal al-Hijri,
Dar „Atiyyah, Beirut
Zainuddin Fananie, dkk., 2002. Radikalisme Keagamaan dan
Perubahan Sosial, Muhammadiyah University Press dan Asia
Foundation, Surakarta
Zainuddin Hamidy. H. dkk. 1983, Terjemah Hadits Shahih Bukhari,
Jilid IV, Cetakan kedua, Widjaya, Jakarta
Zaenuddin Mansyur, 2007, “Konsep Ekonomi Islam dalam
Konsep Maqashid Al-Syari’ah Al-Syatibi”, dalam Istinbath,

297
Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam Nomor 2 Volume 4,
Juni 2007, Fakultas Syari‟ah IAIN Mataram.
Zahri Hamid, 1975. Pokok Hukum Perkawinan dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, Bima Cipta, Jakarta
Zaki Fuad, 2004, “Filosofi Perpajakan dalam Perspektif Islam”,
dalam Juris, Jurnal Ilmiah Syari‟ah, Volume III Nomor 2,
Desember, STAIN Batusangkar
Zakiah Daradjat, Dr. dkk. 2000. Ilmu Pendidikan Islam, Cetakan
Keempat, Bumi Aksara, Jakarta, 2000
Dialog Jum‟at, Tabloid Republika, 11 Agustus 2006
Majalah Panji Masyarakat, No.333, 21 Agustus 1981
Majalah Tempo, Nomor 3915, Edisi 7-13 Juni 2010
Majalah As-Sunnah, Edisi 08/Tahun XI/1428 H./2007 M.
MingguanSuara Islam, Edisi 57, tanggal 19 Desember 2008
Mingguan Suara Islam, Edisi 62, tanggal 6-20 Maret 2009
Harian Kompas, tanggal 12 Feruari 2010
http://sukolaras.wordpress.com/2009/04/05/
http://id.wikipedia.org/wiki
http://www.blogger.com/profile/1112067059986948222
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080529055
111AAsooRd
http://www.fathurin-zen.com/?p=85
http://www.halalguide.info/content/view/104/55/
http://www.kpai.go.id/content/view/112/1/
http://hukumkriminal.infogue.com/
http://etd.eprints.ums.ac.id/957/1/I000040030.pdf

298
BIOGRAFI PENULIS
==============

Drs. Abd. Hamid, M. Pd. I dilahirkan di desa


Tekulai Hilir, Inderagiri Hilir (Riau) tanggal
18 Januari 1951. Rentang waktu 1969 - 1972 bersekolah di
Madrasah Nurul Iman Kampung Tengah, Madrasah
Sa‟adatuddarain Tahtul Yaman, dan Madrasah As‟ad Olak
Kemang, semuanya di Jambi. Program S1 di selesaikannya di
Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Fatah Palembang tahun 1979.
Sedangkan pendidikan S2 mengambil program pemikiran
pendidikan Islam juga di IAIN Raden Fatah Palembang.
Jabatan yang pernah dipegang adalah Kepala Seksi
Kemahasiswaan, Kepala P3M, Pembantu Ketua II, dan terakhir
sebagai Ketua STAIN Curup periode 2003-2007.
Karya tulis yang telah dihasilkan antara lain: Studi tentang
Hukum Acara Pengadilan Agama di Indonesia, Hubungan
Tingkat Pendidikan dan Jenis Pekerjaan Ibu Terhadap Prestasi
Belajar Anak Tingkat SD di Kabupaten Rejang Lebong, Fungsi
Masjid di Kabupaten Rejang Lebong, Upaya Mengatasi Masalah
Kemiskinan, Narkoba dalam Perspektif Islam, Pemikiran Syekh
Abdurrahman Sidik dalam Bidang Akhlak dan Tasawuf,
Pendidikan Jasmani dalam Islam (Perspektif Hadis Rasulullah
Saw), Fikih Ibadah dan Persepsi Mahasiswa terhadap Mengajar
Dosen pada STAIN Curup.

299

Anda mungkin juga menyukai