Anda di halaman 1dari 77

Dasar-Dasar

Filsafat

dan

Teori Hukum
D

Nanci Yosepin Simbolon, S.H, M.H

Universitas Darma Agung

Tahun Ajaran 2016/2017

Medan
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR CETAKAN PERTAMA .............................................................

KATA PENGANTAR CETAKAN KEENAM ...............................................................

KATA PENGANTAR CETAKAN KETUJUH ..............................................................

KATA PENGANTAR CETAKAN KEDELAPAN ........................................................

KATA PENGANTAR CETAKAN KESEMBILAN ......................................................

KATA PENGANTAR CETAKAN KESEPULUH .........................................................

DAFTAR ISI ......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................

A. Pengertian Filsafat Hukum Dan Teori Hukum ............................................


B. Ruang Lingkup Pembahasan Filsafat Hukum .............................................
C. Perkembangan Filsafat Hukum Sejak Zaman Purbakala
Hingga Saat Ini ...............................................................................................
D. Filsafat Hukum Dan Ilmu-Ilmu Hukum .......................................................
E. Manfaat Mempelajari Filsafat Hukum Dalam Pendidikan Tinggi
Hukum ..............................................................................................................

BAB II BEBERAPA ALIRAN/MAZBAH DIDALAM FILSAFAT HUKUM ............

A. Aliran Hukum Alam........................................................................................


B. Aliran Hukum Positif ......................................................................................
C. Aliran Utilitarianisme .....................................................................................
D. Mazhab Sejarah ...............................................................................................
E. Sosiological Jurisprudence..............................................................................
F. Pragmatic Legal Realism ................................................................................
BAB III BEBERAPA PERMASALAHAN PENTING DALAM FILSAFAT

HUKUM .............................................................................................................................

A. Masalah Hukum Dan Kekuasaan ..................................................................


B. Hukum Sebagai Alat Pembaharuan Dalam
Masyarakat ......................................................................................................
C. Hukum Dari Nilai-Nilai Sosial Budaya .........................................................
D. Apakah Sebabnya Orang Menaati Hukum ..................................................
E. Apakah Sebabnya Negara Berhak Menghukum
Seseorang? ........................................................................................................
F. Etika Dan Kode Etik Profesi Hukum ............................................................

BAB IV AZAS HUKUM ...................................................................................................

A. Azas Objektif Hukum .....................................................................................


1. Rasional ......................................................................................................
2. Moral ..........................................................................................................
B. Nilai Subjektif Hukum ....................................................................................
1. Hak dan Kewajiban ...................................................................................
2. Hak Azasi ...................................................................................................

BAB V PENEGAKAN HUKUM ......................................................................................

A. Perampasan Kemerdekaan dan Pemindahan ...............................................


B. Masalah-masalah dalam Penegakan Hukum ...............................................
1. Ironi “Negara Hukum”Indonesia ............................................................
2. Fenomena “Pengadilan Rakyat” ..............................................................
3. Mafia Peradilan .........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM DAN TEORI HUKUM

Berbagai perumusan dan uraian tentang pengertian filsafat hokum telah


dikemukakan oleh pakarnya sejak dahulu hingga sekarang. Dikutip dibawah ini beberapa
perumusan dan uraian tersebut sebagai berikut:

Soetikno (1976 : 10), merumuskan :

“Filsafat hukum mencari hakikat hukum daripada hukum, yang


menyelidiki hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai”.

L. Bander O.P (1948: 11) :

“De rechsphilosophie of wijsbegeerte van het recht is wetenschap,


die deel uitmaakt van de philosophie”

Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto (1979:11), mengatakan :


“Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai kecuali
itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai misaknya :
penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman antara kebendaan
dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan konservatisme dengan
pembaharuan”.

Menurut Mahadi (1989:10) :

“Filsafat hukum ialah falsafah tentang hukum: falsafah tentang segala


sesuatu dibidang hukum secara mendalam sampai keakar-akarnya
secara sistematis”.
Soedjono Dirdjosisworo mengemukakan (1984:48) :

“Filsafat hukum adalah pendirian atau penghayatan kefilsafatan yang


dianut orang atau masyarakat atau Negara tentang hakikat cirri-ciri
serta landasan berlakunya hukum”.

Van Apeldom (1975) menguraikan sebagai berikut :

“Filsafat hukum emnghendaki jawaban atas pertanyaan, Apakah


hukum? Ia menghendaki agar kita berfikir masak-masak tentang
tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya
kita tanggap tentang’hukum”.

Tidak dapat kah ilmu pengetahuan menjawabnya? Dapat : hanya tidak dapat ia
memberikan jawaban yang serba memeuaskan, karena ia tidak lain daripada jawaban
sepihak, karena ilmu pengetahuan hukum hanya melihat apa yang dapat dilihat oleh
pancaindera, bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang tersembunyu
didalamnya; ia semata-mata melihat hukum sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam
perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. Kaidah-kaidah
hukum sebagai pertimbangan nilai terletak diluar pandanganny. Kaidah-kaidah hukum
termasuk dunia yang lain daripada kebiasaan-kebiasaan hukum. Kaidah hukum bukan
termasuk dunia kenyataan, dunia “sein”, dunia alam (natuur), melainkan termasuk
dunia nilai, termasuk dunia “sollen” dan “mogen”, jadi termasuk dunia yang lain dari
dunia penyidik ilmu pengetahuan. Dimana ilmu pengetahuan hukum berakhir,
disanalah mulai filsafat hukum; ia mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak
terjawab oleh ilmu pengetahuan. Jumlah pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak
terhingga banyaknya, ilmu pengetahuan tidak member jawabaa satu pun juga atas
pertanyaan hukum tersebut. Segala pertanyaan hukum dapat merupakan objek
pertimbangan filsafat, sebagaimana juga Socrates membuat hal-hal dari hidup sehari-
hari yang biasa sebagai titik pangkal dari pandangan-pandangan filsafatnya. Akan
tetapi, ahli hukum pada hakikatnya lebih suka mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang
terpenting. Apa yang dimaksud dengan itu merupakan pula suatu penilaian dalam
pandangan seorang penyidik yang memegang peranan yang penting. Keadaan waktu
dapat mempengaruhi pandangan itu, sepanjang ia dapat membuat pertanyaan-
pertanyaan tertentu menjadi masalah-masalah yang penting. Namun, ada juga
pertanyaan-pertanyaan yang pokok, yang menjawabnya, rupa-rupanya merupakan
permulaan dari segala kepandian jurudik dan justru karena itu adalah sukar. Peranyaan-
pertanyaan yang timbul dengan mendesak pada tiap-tiap manusia yang memikirkan
keadilan dan ketidakadilan, dan yang juga dipelajari oleh ahli-ahli pikir yang besar-
besar dari setiap zaman. Kita akan berhenti sebentar pada masalah pokok tentang
filsafat hukum itu, tentunya bukan untuk segera memberi jawaban , melainkan hanya
dengan harapan, membengkitkan perhatian untuk soal itu.

Rumusan lain adalah dari E. Utrecht (1966), mengatahkan sebagai berikut :

“filsafat hukum member jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti:


apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan:adanya dan tujuan hukum).
Apakah sebabnya maka kita menaati hukum?(persoalan: berlakunya
hukum). Apakah keadilan yang menjadi ukuran baik buruknya hukum
itu? (persoalan: keadilan hukum). Inilah pertanyaan-pertanyaan yang
sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum,. Akan tetapi, bagi orang
banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai
suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja,
yaitu menerima hukum sebagai suatu “gegebenheit” belaka. Filsafat
hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata “ethisch
wardeoordell”.

Filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang
tidak dapat diraba oleh pancaindera” dari hukum (deonzichtbare ethische wereld achter
het recht) filsafat hukum menjadi suatu ilmu normative, seperti halnya dengan (ilmu)
politik hukum. Filsafat hukum berusaha mencari suatu “rechtsideal” yangdapat menjadi
“dasar hukum” dan “etis” (ethisch) bagi berlakunya system hukum positif suatu
masyarakat (seperti “grundnorn” yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa
jerman yang menganut aliran-aliran seperti neokantianisme). Filsafat pada umumnya
mencari “etische waarde” dan “ideale levenshouding” yang dapat menjadi dasar
petunjuk-petunjuk hidup kita. Pada zaman sekarang khusus dijerman dan amerika serikat
ada perhatian besar terhadap filsafat hukum. Di indonesia ada kecenderungan untuk
mendasarkan pelajaran hukum sebanyak-banyaknya atas filsafat (Universitas negeri Gaja
Mada). Kerugian (nadeel) yang dapat ditimbulkan oleh suatu pelajaran hukum yang
didasarkan atas filsafat ialah hal peninjauan para pelajar dapat dijauhkan dari
“sosialewerlekijkheid” dari hukum. Uraian lainnya tentang filsafat hukum adalah dari
Kusumadi Pudjosewojo (1961), yang mengajukan beberapa pertanyaan penting yang
harus diselidiki oleh filsafat hukum. Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan karena
sifatnya yang sangat mendasar tidak dapat dijawab oleh ilmu pengatahuan hukum.
Adapun pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan adalah sebagai berikut :

“Dan sekali mempersoalkan hal-hal dari ilmu hukum. Dekatlah orang


kepada pertanyaan-pertanyaan seperti : apakah tujuan dari hukum itu?
Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah
hubungan antara hukum dan keadilan? Dengan pertanyaan-pertanyaan
demikian, orang sudah melewati batas-batas ilmu pengetahuan hukum
sebagaimana arti lazimnya dan menginjak lapangan “filsafat hukum
sebagai ilmu pengetahuan filsafat”.

Selanjutnya, Satjipto Rahradjo (1982 :321), menguraikan filsafat hukum itu


sebagai berikut: Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang dasar-dasar
bagi kekuatan memikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat
mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bias dihadapkan kepada ilmu
hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum. Tetapi masing-masing
mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya
berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis dari
azas-azas, peraturan-peraturan bidang-bidang serta system hukumnya sendiri. Berbeda
dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum mengambil hukum sebagai
fenomen universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan
menggunakan standar analisis seperti berikut diatas. Suatu hal yang menarik adalah,
bahwa “ilmu hukum” atau “juristrudence” juga mempermasalahkan hukum dalam
kerangkaian tidak berbeda dengan filsafat hukum. Bahkan, pada permulaan buku ini juga
sudah dikemukakan adanya pendapat yang mengatakan, bahwa ilmu hukum dan filsafat
hukum yang nama-nama untuk satu bidang ilmu yang mempelajari hukum secara sama.
Bab mengenai teori hukum, misalnya. Adalah salat satu contoh yang sangat jelas
mengenai persamaan yang demikian itu sepert dikatakan oleh Radbruch, teori hukum itu
dirumuskan sebagai penjelasan dan penjernihan nilai-nilai sebagai postulat-postulat
hukum sebagai kepada dasar-dasar filsafatnya yang tertinggi (Friedmann 1953:3). Juga,
sebagai bagian serta bab dari hukum ini, sebetulnya bias disebut suatu penggarapan
secara filsafat terhadap hukum sekalipun tidak menyebut demikian. Pembicaraan
mengenai hukum sebagai institusi sosial, hukum sebagai persoalan keadilan, berbagai
tatanan dan sifat-sifatnya, “hukum alam”. Adalah contoh-contoh dari penggarapan yang
demikian itu. Semuanya pada akhirnya menuju kepada usaha untuk memahami apa
sesungguhnya hukum itu. Dengan demikian, beralasan kiranya untk mengatakan bahwa
filsafat hukum adalah bidang studi hukum yang mengorganisasikan secara lain saja
bahan-bahan dan pertanyaan-pertanyaan yang juga dibicarakan ilmu hukum ini.

Selanjutnya, Gustaf Radbruch (1952) merumuskan :

“Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang


benar”.

Sedangkan Langemeyer (1948) mengatakan bahwa :

“Filsafat hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum”.

Penulis lain yaitu Anthoni D’amato (1984: 2) menyatakan :

“Jurisprudenceatau filsafat hukum acap kali dikonotasikan sebagai


peneliti yang mendasar dari pengertian hukum secara abstrak”.
Menurut Bruch D.Fischer (1977:1) :

“Jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini


berasal dari bahasa latin yang berarti kebijaksanaan (prudence)
berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti
studi tentang filsafat hukum”.

Menurut asal katanya, filsafat berasal dari kata yunani “Filosofia”. Filosofia
merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata “filo” dan “sofia”. Filo berate cinta (yaitu
ingin) dan sofia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, filosofia dapat diartikan sebagai
cinta akan kebijaksanaan .

Dari sudut isinya terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis
filsafat. Bagaimana pun, dari berbagai perumusan tadi dapat ditarik intisarinya bahwa
filsafat itu merupakan karya manusia tentang hakikat sesuatu.

Manusia diciptakan Tuhan disertai dengan alat kelengkapan yang sempurna


dalam mencapai tujuan hidupnya. Alat-alat kelengkapan itu berupa raga, rasa dan rasio.
Manusia berkarya dengan menggunakan ketiga alat tadi. Dalam berkarya seni, tampil
kedepan unsure rasanya, sedangkan mencangkul disawah dan bekerja mengangkut
barang-barang, ataupun penumpang, manusia banyak menggunakan unsure raganya.
Dalam hal berkarya filsafat, unsure rasiolah yang kemudian berperan walaupun pada
mulanya unsure rasa yang terlebih dahulu tampil. Rasa heran dan kagum manusia atas
alam semesta yang dilihatnya, langit yang terbentang tanpa batas, laut yang maha luas,
gunung yang tinggi dan juga binatang terkecil yang mampu menghidupi dirinya (hampir
tidak terlihat oleh mata) dan sebagainya, menyebabkan manusia kemudian berfikir
bagaimana cara terjadinya, terbuat dari apa, mengapa bentuknya demikian dan banyak
pertanyaan lain timbul dibenaknya, yang kesemuannya itu memerlukan jawaban. Suatu
jawaban sebagai hasil pemikiran maupun penyelidikan yang mendalam. Dari jawaban
akan muncul pertanyaan lagi, demikian seterusnya. Yang dicari adalah segi hakikatnya
dari apa yang diselidiki itu, yaitu dalam arti tempatnya dialam semesta dan hubungannya
dengan isi alam semesta yang lain.
Dari apa yang terurai diatas, dapat disimpulkan bahwa filsafat itu tidak lain
merupakan hasil pemikiran manusia tentang tempat sesuatu dialam semesta dan
hubungan sesuatu tadi dengan isi alam semesta yang lain. Kata sesuatu dapat berarti alam
semesta beserta segala isinya. Dengan demikian, yang dapat dijadikan objek filsafat itu
berbagai-berbagai hal. Orang dapat berfilsafat tentang bagaimana terjadinya alam
semesta ini (bumi, bintang dan lain-lain). Pada mula orang berfilsafat, objek inilah yang
menjadi perhatiannya. Para filsuf pada masa pra-socrates misalnya, mencoba
memecahkan misteri alam semesta dengan mengatakan bahwa terjadinya bumi dan lain-
lain itu berasal dari api, udara, atau dari suatu zat yang tidak tentu sifat-sifatnya, dan
sebagainya. Setelah masa Socrates, giliran manusia sebagai salah satu isi alam semesta
menjadi objek penyelidikan para filsuf kenamaan. Segala segi dari amnesia dicoba
diungkapkan. Tingkah lakunya menghasilkan filsafat etika, karya seninya melahirkan
filsafat estetika, kebenaran cara fikirnya menimbulkan filsafat logika. Juga segala upaya
manusia itu dalam mencapai tujuan hidupnya menghasilkan cabang-cabang filsafat
lainnya, seperti filsafat Negara, filsafat hukum, filsafat politik, filsafat ekonomi dan lain-
lain.

Hukum merupakan suatu yang berkenaan dengan manusia. Manusia dengan


hubungannya dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan. Tanpa pergaulan hidup
(masyarakat) tidak akan ada hukum (ibisocietas ibiius, zoon politicon). Hukum berfungsi
mengatur hubungan pergaulan antar manusia. Namun, tidak semua perbuatan manusia itu
memperoleh pengaturannya. Hanya perbuatan atau tingkah laku yang diklasifikasikan
sebagai perbuata hukum saja yang menjadi perhatiannya.

B. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN FILSAFAT HUKUM

Masal-masalh dasar yang menjadi perhatian para filsuf masa dahulu terbatas pada
masalah tujuan hukum. (terutama masalah keadilan), hubungan kaum alam dan hukum
positif, hubungan Negara dan hukum dan lain-lain. Filsafat hukum hanyalah merupakan
produk sampingan. Demi kelengkapan filsafatnya para filsuf harus juga membahas segala
aspek dari filsafat termasuk juga hukum. Walaupun terbatas pengaruhnya sangat besar
hingga saat ini. Pemikiran-pemikiran hukum dari plato, banyak memperoleh perhatian
dan pembahasan para ahlihukum dewasa ini.

C. PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM SEJAK ZAMAN


PURBAKALA HINGGA SAAT INI

Didalam literature-literatur terdapat beberapa pembabakan atau periodesasi


perkembangan filsafat (hukum) itu dari zaman ke zaman. Pembabakan yang lazim adalah
sebagai berikut :

I. Zaman purbakala
1. Masa yunani
a. Masa pra-socrates (±500 S.M)
b. Masa scrates, plato dan Aristoteles
c. Masa stoa
2. Masa Romawi
a. Cicero
b. St. agustinus dan lain-lain
II. Abad Pertengahan
1. Masa Gelap
2. Masa Scholastik
III. Zaman Renaissance
IV. Zaman baru
V. Zaman Modern

Ad. I Zaman Purbakala

Dimulai dengan masa pra-socrates (disebut demikian oleh karena para filsuf pada
masa itu tidak dipengaruhi oleh filsuf besar Socrates), boleh dikatakan filsafat hukum
belum berkembang. Alasan utama karena para filsuf pada masa ini memusatkan
perhatiannya kepada alam semesta, yaitu yang menjadi masalah bagi mereka tentang
bagaimana terjadinya alam semesta ini. Filsuf Thales yang hidup pada tahun 624-548
S.M. mengemukakan bahwa alam semesta terjadi dari air. Anaximandros mengatakan
bahwa inti alam itu adalah suatu zat yang tidak tentu sifat-sifatnya yang disebut To
Apeiron. Anaximenes berpendapat sumber dari alam semesta ialah udara. Sedang
Pitagoras yang hidup sekitar 532 S.M. menyebutkan bilangan sebagai dasar dari segala-
galanya.

Filsuf lainnya yang memberikan perhatiannya kepada terjadinya alam semesta


adalah Heraklitos. Ia mengatakan bahwa alam semesta ini terbentuk dari api. Dia
mengemukakan suatu slogan yang terkenal hingga saat ini, yaitu Pantarei yang berarti
semua mengalir. Ini berarti segala sesuatu didunia ini tidak henti-hentinya berubah.

Dari sekian filsuf alam tersebut diatas, Pitagoras menyinggung sepintas tenteng
salah satu isi alam semesta, yaitu manusia. Menurut pendapatnya, tiap manusia itu
memiliki jiwa yang selalu berada dalam proses Katharsis, yaitu pembersihan diri. Setiap
kali jiwa memasuki tubuh manusia, maka manusia harus melakukan pembersihan diri
agar jiwa tadi dapat masuk kedalam kebahagiaan. Jika dinilai tidak cukup melakukan
Katharsis jiwa itu akan memasuki lagi tubuh manusia lain. Pandangan pitagoras diatas
penting dalam kaitannya dengan mulai disinggungnya manusia sebagai objek filsafat.
Sebab bagaimana telah disinggung dimuka, hanya dengan kaitan manusia ini,
pembicaraan akan sampai kepada hukum.

Kaum Sofist yang alhir pada akhir abad lima dan permualaan abad empat sebelum
masehi menekankan pembedaan antara alam (physis) dan konvensi (nomos). Hukum
mereka masukkan kedalam kategori terakhir karena menurutnya hukum adalah hasil
karya cipta manusia (hukum invention) dan menjustifikasi (membenarkan) kepatuhan
pada hukum hanya sejauh memajukan keuntngan bagi yang bersangkutan. Pada masa ini
masalah filsafat hukumyang penting untuk pertama kalinya dirumuskan hukum dalam
defenisi formal. Alcibiades (Xenophon, Memorabilis I, 2) mengatakan pada Pericles
menjawab bahwa tidak ada seorangpun yang patut menerima pujian kecuali jika ia
mengetahui apa suatu (aturan) hukum itu. Pericles menjawab bahwa aturan hukum
adalah apa yang disetujui dan diputuskan (enacted) oleh mayoritas dalam dewan.
Keputusan yang diperoleh hanya dengan paksaan (compulsion) adalah kekuatan saja dan
bukan hukum, sekalipun aturan hukum itu diberlakukan oleh kekuasaan yang sah
(souvereign power) dalam Negara. Dalam percakapan antara Socrates dan Hippias (sofis)
mempertahankan bahwa hukum (law) adalah apa yang sesuai dengan hukum (lawful)
identik dengan keadilan (justice) atau apa yang benar (right). Mereka mengaku kaidah
hukum (laws) dapat diubah atau dihapuskan.

Bila kaum sofis menganggap bahwa manusia bersifat egoisd an antisocial, maka
Socrates, Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang
dimotivasi oleh perhatian bagi orang lain dan perhatian bagi diri sendiri, yang
memperoleh kebahagian dalam kehidupan sosial.

Socrates yang melakukan dialog dengan Thrasymachus (sofist), berpendapat


bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan
tidak berhak jangan diserahkan semat-mata kepada orang perseorangan atau kepada
mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim, hendaknya dicari ukuran-
ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadialn bukanlah hanya berguna bagi
mereka yang kuat, melainkan keadilan itu hendaknya berlaku bagi seluruh masyarakat.

Plato telah membahas hampir semua masalah yang tercakup dalam filsafat
hukum. Baginya keadilan (justice) adalah tindakan yang benar, tidak dapat diidentifikasi
dengan hanya kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah suatu cirisifat manusia
yang mengkoordinasi dan membetasi pelbagai elemen dari psike manusia pada
lingkungannya yang tepat (proper spheres) agar krmungkinan manusia dal keutuhannya
berfungsi dengan baik.

Menurut Plato hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos)
yang dirumuskan dalam keputusan Negara (laws, 644d). ia menolak anggapan bahwa
otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerinta
(governing power).
Aristoteles tidak pernah mendefenisikan hukum secara formal. Ia membahas
hukum dalam berbagai konteks. Dengan cara yang berbeda-beda Aristoteles mengatakan
bahwa “hukum adalah suatu jenis ketertiban dan hukum yang baik adalah ketertiban yang
baik” (politics 1326a), akal yang tidak dipengaruhi oleh nafsu” (ibid. 1287.a) dan “jalan
tengah” (ibid. 1287.b).

Seperti juga Plato, Aristoteles menolak pandangan kaum sofis bahwa hukum
hanyalah konvensi. Namun demikian ia juga mengakui bahwa seringkali hukum hanyalah
merupakan ekspresi dari kemauan suatu kelas khusus (sekelompok orang, a particular
class) dan menekan peranan kelas menengah (middle class) sebagai suatu factor
stabilisasi.

Bahasan Aristoteles tentang proses peradilan (judicial precess) sudah


membayangkan (foreshadows) banyak gagasan modern. Memiliki aturan tertulis adalah
lebih baik dari pada hanya mengandalkan diri pada kebijasanaan (direction), meski
memang tidak semua hal tercakup dalam aturan-aturan hukum.

Ad II. Abad Pertengahan

1. Masa Gelap (The dark ages)


Masa ini dimulai dengan runtuhnya kekaisaran romawi akibat serangan bangsa
lainyang dianggap terbelakang yang datang dari utara, yaitu yang disebut suku-
suku Geramnia Tingkatan peradaban yang tinggi dari bangsa Romawi hanyalah
tinggal puing-puing semata. Karena tidak adanya peninggalan apapun dari suku
bangsa yang berkuasa, menyebabkan para ahli masa kini sukar untuk secara pasti
menentukan apa yang terjadi dimasa gelap. Yang pasti dapat diketahui bahwa
pengaruh agama Kristen mulai berkembang pesat disebabkan oleh suasana
kehidupan suku-suku bangsa pada waktu itu yang selalu tidak tenteram akibat
peperangan yang terus- menerus terjadi dikalangan mereka sendiri atau antar
suku. Manusia dalam keadaan serupa itumemerlukan adnya ketentraman dan
kedamaian, memerlukan adanya suatu pegangan hidup yang akan mengakhiri
ketentraman. Agama Kristen memenuhi tuntutan tersebut.
2. Masa Scholastik
Jika pada masa gelap boleh dikatakan filsafat hukum tidak berkembang,
sebaliknya pada masa Scholastik banyak pemikiran hukum lahir, namun dengan
corak khusus, yaitu dengan didasari oleh ajaran Tuhan, yakni ajaran Kristen.
Sesuai dengan corak pemikiran hukum Ketuhanan ini lalu dikenal dalam sejarah
filsafat hukum sebagai masa Scholastik.
Pada masa ini terjadi peralihan, dalam alam pikiran Yunani terdapat 4 aliran
pikiran yang besar, yaitu Plato, Aristoteles, Stoa dan Epicurus. Sebagai akibat dari
perbedaan pendapat pertentengan-pertentangan serta perselisihan dikalangan-
kalangan aliran ini, telah lahir ajaran baru yang disebut Ecletisisme. Setelah ini,
muncul masa lain yang dikenal dalam dunia filsafat sebagai masa Neo Platonisme
dengan Platinus sebagai tokoh yang terbesar. Filsuf ini yang mula-mula
membengun suatu tata filsafat yang bersifat Ketuhanan, menurut pendapatnya,
Tuhan itu hakikat satu-satunya yang paling utama dan luhur yang merupakan
sumber dari segala-galanya. Dengan dasar filsafat Plato yang mengajarkan orang
harus berusaha mencapai pengetahuan yang sejati, maka lalu Platinus mengetkan
bahwa kiata harus berikhtiar melihat Tuhan, sebab melihat Tuhan itu tidak dapat
hanya berfikir saja, tetapi harus dengan jalan beribadah. Pandangan ini membuka
jalan untuk mengembangkan agama Kristen dalam filsafat, Neo Platinus ini lahir
di Alexandrai sebagai tempat pertemuan antara filsafat Yunani dengan
St.Agustinus disebut-sebut oleh kalangan ahli filsafat sebagai menjembatanialam
pikiran yunani dan alam pikiran Kristen.
Para peletak dasar organisasi gereja (bapak gereja) telah menembahkan secara
jelas unsure Kristen terhadap pemikiran kaum Stoa dan para filsuf serta Yuris
Romawi. Hukum alam tidak lagi dipandang sebagai rasionalitas alam semesta
yang impersional, tetapi diintegrasikan kedalam suatu teologi dari suatu Tuhan
yang personal dan kreatif. Gereja juga telah mengkristalkan gagasan tentang jus
divinum (hukum ilahi, divinum law) sebagai jenis hukum yang jelas bersama tiga
jenis hukum yang lain yang diakui para Yuris, sementara hubungan antara hukum
Musa, Injil dan hukum alam muncul sebagai ,asalah khusus. Gagasan tentang
kejatuhan manusia dari keadaan sempurna (yang dapat dibandingkan dengan
pandangan Seneca) memainkan suatu peranan penting. Hukum Mosaik menurut
St.Ambrose (340-397)- kaidah hukum tentang dosa dan kematian (lihat Romawi
8-2)- telah diberikan karena manusia gagal mematuhi hukum alam. Hukum alam
dapat diadaptasikan pada manusia hanya dalam suatu kondisi tanpa salah
(condition of innocence).

Ad III. Zaman Renaissance

Abad pertengahan, yang merupakan masa yang khas, yang ditandai dengan suatu
pandanga hidup manusia yang merasa dirinya tidak berarti tanpa Tuhan, dimana
kekuasaan gereja demikian besarnya mempengaruhi segala kehidupan, akhirnya
berlalu, dan muncul suatu zaman baru yang disebut Renaissance. Zaman ini
ditandai dengan tidak terikatnya lagi alam pikiran manusia dari iktana-ikatan
keagamaan, manusia menemukan kembali kepribadiannya. Akibat dari perubahan
ini, terjadi perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan
teknologi yang sangat pesat, berdirinya Negara-negara baru, ditemukannya dunia-
dunia baru, lahirnya segala macam ilmu-ilmu baru dan sebagainya. Semua itu
akan terjadi oleh karena adanya kebebasan dan para individu untuk menggunakan
pikirannya tanpa adanya rasa takut.

Teori Thomas Aquino yang mengintegrasikan unsur-unsur pandangan Stoa,


ajaran Kristen dan filsafat Aristoteles kedalam suatu filsafat yang komprehensif
merupakan kulminasi dari hukum. Hukum alam adalah sebuah standar terhadap
mana hkum manusia harus kinform. Menurutnya, aturan-aturan hukum adalah
peraturan akal budi (ordinance of reason) yang diundangkan bagi kebaikan umum
oleh penguasa yang sah (legitimate souvereign). Dibedakan empat jenis hukum :
Lex divina (hukum ilahi, divinum law) yang membimbing manusia menuju tujuan
supranaturalnya, hukum Tuhan yang diwahyukan melalui Kitab Suci; Lex
naturalis (hukum natural, natural law) membimbing manusia menuju tujuan
alamiahnya, hasil partisipasi manusia dalam hukum kosmik lex humana (hukum
manusia, human law) mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat
tertentu dalam kerangka tuntutan-tuntutan khusus dalam masyarakat tersebut
(sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan).

Pada abad keempat belas mulai tumbuh suatu kecendrungan mengkombinasikan


doktrin-doktrin hukum alam dengan suatu teori absolutism pada raja (royal
absolutism). Para post glasator yang terdiri dari sekelompok ahli (penstudi)
hukum sipil berusaha untuk membengun suatu system hukum yang mereka
pandang sebagai jus commune (hukum yang berlaku umum) dari Eropa, yang
dioperaikan berdasarkan hukum Romawi yang lebih tua. Kekuasaan para raja
(prince’slordship) bertumpu pada kekuasaan ilahi (divide authority). Para
penguasa hanya bertanggung jawab dan tidak kepada rakyat karena hukum bukan
merupakan ekspres kemauan rakyat.

Ad IV. Zaman Baru

Filsuf hukum yang paling penting pada abad ketujuh belas, Thomas Hobbes
(1588-1679) memutuskan tradisi hukum alam yang menimbulkan banyak
kontroversi. Ia banyak menggunakan istilah-istilah “hak alamiah” (law of nature)
dan “akal beriar” (right reason). Akan tetapi, yang pertama baginya adalah tidak
lain “kemerdekaan yang tiap orang miliki untuk menggunakan kekuasaan
(kekuatan) nya sendiri menurut kehendaknya sendiri, demi preservasi hakikatnya
sendiri, yang berarti kehidupannya sendiri”. (Leviathan 14); yang kedua adalah
azas-azas kepentingan sendiri (self-interest) yang seringkali diidentifikasikan
yang ketiga. Kondisi alamiah dari manusia adalah peperangan abadi (perpetual
war) dimana didalamnya tidak ada standar perilaku yang berlaku umum.

Langkah yang krusial dalam teori Hobbes adalah pengidentifiksian


(mengidentifikasi) masyarakat dengan masyarakat yang berorganisasi dengan
politik, dan keadilan dengan hukum yang positif. Kaidah kaidah hukum adalah
perintah-perintah dari penguasa (the sovereign); para anggota suatu masyarakat
mengevaluasi kebenaran dan keadilan dari perilaku mereka dengan merefrensi
pada perintah-perintah yang demikian. Namun, Hobbes jug mengatakan walaupun
penguasa (the sovereign) tidak dapat melakukan suatu keadilan (justice), ia dapat
saja melakukan suatu kelaliman (iniquity).

Dalam “second treatise of civil government” Jhon Locke (1932-1704) menyerang


teori “divine right” (hak ilahi) Robert Filmer, juga memuat beberapa kritik
terhadap Hobbes. Pengaruh Locke terhadap pandangannya tentang hak-hak ilmiah
membawa dampak yang mendalam terhadap perkembangan di Amerika Serikat.

Montesquieu (1689-1755) telah membawa suatu pendekatan baru dalam


mempelajari hukum dan institusi-institusinya. Menurutnya kaidah-kaidah hukum
adalah “relasi-relasi yang perlu timbul dari hakikat hal-hal (benda-benda)” (The
spirit of the law I.1). nilai penting yang istimewah dari karya Montesquieu
terletak dalam percobaannya untuk mempelajari institusi-institusi hukum dengan
metode historis-komperatif, menekankan factor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi perkembangan hukum.

Filsafat hukum Immanuel Kant (1724-1804) dapat disebut sebagai filsafat tentang
keadilan yang didalamnya konsep kebebasan memainkan peranan sentral. Kant
berusaha menemukan suatu pemahaman sistematk mengenai suatu azas-azas yang
melandasi semua kaidah hukum positif yang akan memungkinkan kita
menentukan kesesuaian kaidah hukum tersebut dengan azas-azas moral. Kaidah-
kaidah hukum dibedakan dari kaidah-kaidah moral dala hal mengatur perilaku
eksternal terlepas dari motivasi-motivasinya, mesti tidak berarti hakim harus
mengabaikan motivasi pelanggaran hukum pada saat menjatuhkan hukuman.
Kaidah hukum melibatkan kewenangan (authority) untuk memaksakan kepatuhan
dan untuk menghukum pelanggaran-pelanggaran.

Ad V. Zaman Modern

Walaupun masa sebelumnya unsur logika manusia sangat berperan dalam


mengembangkan pemikiran hukum, namun dirasakan bahwa filsafat hukum
dinilai kurang berkembang sebagai akibat adanya gerakan kondifikasi yang ada,
yang pada mulanya orang kurang member perhatiannya terhadap masalah-
masalah keadilan. Baru setelah dirasakan banyaknya kepincangan dalam
kondifikasi-kondifikasi karena berubahnya nilai-nilai yang menyangkut keadilan
dalam masyarakat, membangkitkan kembali orang-orang untuk mencari keadilan
melalui filsafat hukum. Namun demikian, sebagaimana telah diutarakan dimuka,
pada masa kini ada tendensi peralihan, yaitu yang tadinya fisafat hukum adalah
filsafat hukum dari para filsuf, kini beralih kepada filsafat hukum dari para ahli
hukum.

Rudolf von Jhering (1818-1892) menolak teori Hegel karena Hegel menganggap
hukum sebagai suatu ekspresi dari kemauan umum (general will) dan tidak
mampu melihat bahwa faktor-faktor utilitaristis dan kepentingan-kepentingn
menentukan eksistensi hukum. Jhering juga menolak anggapan bahwa hukum
adalah ekspresi spontan dari bawah sadar (sunconscious forces) seperti yang
dikatakan Savigny. Ia juga menolak Savigny karena Savigny tidak dapat melihat
peranan dari perjuangan secara sadar untuk melindungi kepentingan-kepentingan.
Namun seperti juga para Hagelian, Jhering menganut orientasi cultural yang luas.
Kontribusi Jhering adalah keyakinannya (penekenannya) bahwa fenomena hukum
tidak dapat dipahaim tanpa pemahaman sistematik terhadat tujuan-tujuan yang
telah menimbulkan (fenomena hukum), studi tentang tujuan-tujuan itu yang
berakar dalam kehidupan yang sosial yang tanpa itu tidak akan mungkin ada
aturan-aturan hukum. Tidak ada tujuan berarti tidak ada kemauan.

Ciri potisivisme juga tampak pada Jhering manakala ia mendefenisikan hukum


sebagai “sejumlah aturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu Negara” (Der
zweck im Recht P.320).

Herman Kantorowitz menganggap Jhering sebagai sumber dua aliran, aliran


“sosiologikal” dan “hukum bebas” (free law school freirehtslehre) menyatakan
Jhering tidak cukup memberikan perhatian pada konflik kepentingan dibelakang
perundang-undangan.

D. FILSAFAT HUKUM DAN ILMU-ILMU HUKUM

Hans Nawiasky membagi ilmu-ilmu hukum itu atas:

Reichtsnormenlehre, rechtssoziologie, rechts philosophie. Sedangkan Purnadi


Purbacakra dan Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa disiplin ilmu itu mencakup:

 Ilmu-ilmu hukum
 Politik hukum
 Filsafat hukum

Ilmu-ilmu hukum terdiri dari : normwissenchaft atau sollenwissenchaft ilmu


pengertian dan tatsachenwissenchaft ini dibagi lagi menjadi : sosiologi hukum,
antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Van
Apeldoorn, membagi ilmu pengetahuan hukum itu atas : sosiologi hukum, sejarah hukum
dan perbandingan hukum. Ada pula yang membagi-bagi ilmu yang objeknya hukum itu
atas :

 Teori hukum
 Sosiologi hukum
 Perbandingan hukum
 Sejarah hukum
 Ilmu hukum positif

Teori Hukum

Selain istilah teori hukum, cabang ilmu hukum ini dikenal juga dengan sebutan
pelajaran ilmu umum, ilmu hukum sistematis, atau ilmu hukum dogmatis. Teori hukum
mempelajari tentang pengertian-pengertian pokok dan sistematika hukum. Pengertian-
pengertian pokok itu seperti misalnya subyek hukum, perbuatan hukum, obyek hukum,
peristiwa hukum, badan hukum dan lain-lain, memiliki pengertian yang bersifat umum
dan bersifat teknis. Pengertian-pengertian pokok ini amat penting untuk dapat memahami
system hukum pada umumnya, maupun system hukum positif. Oleh karena itu, teori
hukum dipelajari secara intensif mendahului teori hukum positif dan dilanjutkan secara
lebih mendasar melalui suatu cabang ilmu yang lain yaitu filsafat hukum.

Melalui system pendidikan hukum di fakultas-fakultas hukum di Indonesia, teori


hukum ini dipelajari melalui mata kuliah pengantar ilmu hukum, ilmu Negara dan mata
kuliah lainnya yang dimulai dengan kata-kata azas-azas, seperti misalnya azas hukum tata
Negara, azas hukum pidata, asas hukum pidana, dan sebagainya. Namun demikian,
tidaklah berarti teori hukum itu identik dengan pengantar ilmu hukum misalnya, sebab
dalam pengantar ini tercakup pula materi cabang-cabang ilmu lainnya.

Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum adalah cabag ilmu sosilogi yang mempelajari hukum sebagai
suatu gejala sosial,. Sebagai salah satu ilmu ayng masih muda, hingga saat ini belum
berkembang sebagaimana yang diharapkan. Menurut Apeldoorn, lambatnya
perkembangan ilmu ini oleh karena masih terdapat perselisihan dikalangan para ahlinya
tentang apa yang menjadi ruang lingkup penyelidikan. Selain itu, pada mula lahirnya,
banyak memperoleh tantangan dari para ahli hukum di satu pihak maupun para ahli
sosiologi di lain pihak.

Soerjono Soekanto, mengemukakan tentang beberapa persoalan yang disorot oleh


sosiologi hukum sebagai berikut :

1) Hukum dan system sosial masyarakat


2) Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan system hukum
3) Sifat hukum yang dualistis
4) Hukum dan kekuasaan
5) Hukum dan nilai-nilai sosial budaya
6) Kepastian hukum dan keadilan
Dalam mempelajari ilmu hukum ini hendaknya harus dibedakan dengan apa yang
disebut Sociological Jurisprudence. Yang terakhir ini merupakansalah satu mazhab
dalam filsafat hukum yang berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sesuai yang berate mencerminkan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kalau sosiologi hukum dalam penyelidikannya
bermula dari masyarakat itu pada hukum, maka Sociological Jurisprudence sebaliknya,
bermula dari hukum ke masyarakat.

Perbandingan Hukum

Perbandingan hukum merupakan cabang ilmu yang dengan jalan perbandingan


mencari persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara system-sistem hukum
yang berlaku dalam satu atau beberapa Negara/masyarakat. Kajian perbandingan ini
dinilai penting dalam kerangka untuk mengetahui apakah terdapat konsep-konsep hukum
yang bersifat universal dan apakah perbedaan-perbedaan yang ada merupakan suatu
penyimpanan dari konsep-konsep itu karena disesuaikan dengan keperluan masyarakat
setempat.

Studi perbandingan sesungguhnya dilakukan pula, baik oleh antropologi hukum,


maupun sosiologi hukum. Sebab, antropologi hukum misalnya menyelidiki dengan cara
memperbandingkan system-sistem hukum pada beberapa masyarakat yang masih
terbelakang. Sedang sosiologi hukum melakukan penelitiannya pada masyarakat yang
maju. Baik antropologi hukum maupun sosilogi hukum berusaha mencari kemungkinan
adanya konsep-konsep hukum universal dan tidak universal.

Bagi dunia pendidikan hukum, pelajaran perbandingan hukum yang tercermin


dalam mata kuliah seperti perbandingan hukum perdata, perbandingan hukum pidana,
dan sebagainya, dinilai amat penting untuk membekali para calon sarjana hukum
memiliki wawasan pengetahuan yang luas dibidang hukum terutama dalam tugasnya
dimasyarakat nanti, baik sebagai teoritis maupun praktisi hukum.
Sejarah Hukum

Mempelajari hukum dari segi sejarahnya mulai dikenal setelah Friedrich Carl von
Savigny, pelopor mazhab sejarah, mengguanakannya dalam penyelidikan hukum yang
dilakukannya. Dengan menggunakan metode ini, dicari asal mula suatu system hukum
dalam suatu Negara/masyarakat, perkembangannya dari dahulu hingga sekarang.
Beberapa pertanyaan penting yang mampu dijawab dengan melalui metode ini ialah
(Satjipto Raharjo 9182:316) :

1. Fakotr-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terbentuknya suatu lembaga


hukum tertentu dan bagaimana jalannya proses pembentukan itu?
2. Factor apakah yang dominan pengarunya dalam proses pembentukan suatu
lembaga hukum tertentu dan apa sebabnya?
3. Bagaimanakah interaksi antara pengaruh-pengaruh yang dating dari luar dengan
kekuatan perkembangan dari dalam masyarakat itu sendiri?
4. Bagaimanakah jalannya proses adaptasi terhadap lembaga-lembaga yang diambil
dari hukum asing?
5. Apakah suatu lembaga hukum tertentu selalu menjalankan fungsi yang sama?
Apakah terjadi perubahan fungsi? Apa yang menyebabkannya? Apakah
perubahan itu bersifat formal atau informal?
6. Factor-faktor apakah yang menyebabkan hapusnya atau tidak digunakannya lagi
suatu hukum tertentu?
7. Dapatkah dirumuskan suatu pola perkembangan yang umum yang dijalani oleh
lembaga-lembaga hukum dari suatu hukum tertentu?

Antropologi Hukum

Cabang antropologi yang mempelajari hukum sebagai percerminan nilai-nilai


yang hidup dalam masyarakat. Sama halnya dengan sosilogi hukum. Cabang ilmu ini
masih muda oleh karena itu belum banyak hal yang dapat diketengahkan. Bagi ilmu
hukum, lahirnya cabang ilmu ini banyak mendorong perkembangannya hingga saat ini.
Pada mulanya memang ada sikap enggan dikalangan para ahli hukum untuk meminta
bantuan antropologi hukum terutama untuk mendapatkan informasi tentang hukum yang
hidup dikalangan masyarakat yang sederhana, oleh karena banyaknya hasil penyelidikan
dari para ahli antropologi hukum terdahulu yang dinilai steril dan tidak bermanfaat.

Seperti diketahui, perhatia para ahli antropologi budaya terhadap hukum bermula
sesudah tahun 1919 ditandainya dengan terbitnya beberapa karangan penting, yaitu dari
R.F Barton tentang system hukum suku bangsa ifugao di Luzon, Pilipina, B.Malinowski
tetntang penduduk trobriand Irian Timur, R.S Ratharay tentang penduduk Ashanti, Afrika
Barat (Koentjaraningrat, 1958:315) .Dari kalangan ahli hukum sendiri, pada pertengahan
abad ke-19, diketahui banyak dihasikan karangan-karangan dibidang teori antropologi
budaya. Beberapa diantaranya juga membahas mengenai hukum. Metode yang digunakan
ialah perbandingan hukum, yaitu menbandingkan system hukum Eropa dan system
masyarakat setempat.

Psikologi Hukum

Suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu


perwujudan perkembangan jiwa manusia. Cabang ilmu baru ini melihat kaitan antara
jiwa manusia disatu pihak dengan hukum lain dipihak.

Adapun ruang lingkup Psikologi hukum ini meliputi :

1) Dasar-dasar kejiwaan dan hukum pelanggaran terhadap kaidah hukum


2) Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola penyelesaian pelanggaran kaidah
hukum
3) Akibat-akibat dari pola-pola penyelesaian sengketa tertentu (Soerjono Soekanto,
1979:11)

Sedang menurut pendapat Soejono Dirdjosisworo (1983:40), ruang lingkup


psikologi itu ialah :

1) Segi psikologi tenteng terbentuknya norma atau kaidah hukum


2) Kepatuhan atau ketaatan pada kaidah hukum
3) Perilaku menyimpang
4) Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.

Dalam hubungan dalam perkembangan psikologi, psikologi hukum tergolong


dalam psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi
kekhususan dari aktivitas psikis manusia. Lebih lanjut, Soejono Dirdjosisworo (1983:41-
42), mengemukakan tentang adanya macam-macam psikologi khusus yang dikutipnya
dari tulisan Bimo Walgito (1975: 13-14), sebagai berikut:

1. Psikologi perkembangan atau juga disebut psikologi genetis yaitu psikologi yang
membicarakan perkembangan psyche manusia dari kecil sampai tua, dan
psikologi ini mencakup:
a. Psikologi anak
b. Psikologi puber dan adolesensi (psikologi pemuda)
c. Psikologi orang dewasa
d. Psikologi orang tua
2. Psikologi Sosial
Yaitu psikologi yang khusus menguraikan tentang kegaiatan-kegiatan atau
aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial, misalnya
seperti situasi kelompok, situasi massa dan sebagainya.
3. Psikologi Pendidikan
Yaitu psikologi yang khusus menguraikan kegiatan-kegiatan antara aktivitas-
aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi pendidikan, misalnya
bagaimana cara menarik perhatian agar para pelajar dengan mudah dapat
diterima, bagaimana cara belajar dan sebagainya.
4. Psikologi Kepribadiaan dan Typologi
Yaitu psikologi yang khusus menguraikan tentang struktur kepribadiaan manusia,
serta mengenai tipe-tipe kepribadian manusia.
5. Psychologidifferential dan psikodiagnotis
Yaitu psikologi yang khusus membicarakan tentang perbedaan antara individu
satu dengan individu lainnya, misalnya dalam segi bakatnya da mengenai cara-
cara menentukan perbedaan-perbedaan tersebut.
6. Psikopatologi
Yaitu psikologi yang khusus menguraikan mengenai keadaan psikis yang tidak
tampak (abnormal)
7. Psikologi Kriminal
Yaitu psikologi yang khusus berhubungan dengan soal kejahatan atau kriminalitas
8. Psikologi Perusahaan
Yaitu psikologi yang khusus berhubungan dengan soal-soal perusahaan.

Jurimetriks

Istilah jurimetrks pertama kali diintrodusir kedalam pembendaharaan ilmu hukum


oleh Lee Loevinger seperempat abad yang lalu. Suatu cabang ilmu hukum yang
menangani tentang masalah-masalah hukum dengan terutama menggunakan matematika
dan mekanika. Dalam cara kerjanya banyak digunakan simbol-simbol logis. Lahirnya
cabang ilmu ini banyak ditentang oleh para ahli hukum oleh karena digunakannya
metode-metode ilmu eksak kedalam ilmu hukum walaupun dengan makna yang tidak
sama.

E. MANFAAT MEMPELAJARI SIFAT HUKUM DALAM PENDIDIKAN


TINGGI HUKUM

Tentang sejauh mana manfaat mempelajari filsafat hukum, dikutip dibawah ini
pendapat Mochtar Kusumaatmdja (1975:9), sebagai berikut:

“mata kuliah filsafat hukum ditingkat terakhir fungsinya untuk menempatkan


hukum ditempat dan perspektif yang tepat sebagai bagian dari usahan manusia
menjadikan dunia ini menjadi tempat yang lebih pantas untuk didiaminya. Gunanya
untuk mengimbangi efek dari pada spesialisasi yang sempit yang mungkin disebabkan
oleh program spesialisasi yang dimulai ditahun ke-4.
Pelajar filsafat hukum bias dimanfaatkan secara praktis untuk menjelaskan
peranan hukum dalam pembangunan dengan memberikan perhatian khusus pada ajaran-
ajaran sociological jurisprudence dan legal realism.
BAB II

BEBERAPA ALIRAN/MAZHAB

DIDALAM FILSAFAT HUKUM

F.S.G. Northrop mengemukakan tentang adanya beberapa aliran/mazbah sebagai


berikut:

a. Legal Positivism
b. Pragmatic Legal Realism
c. Neo Kantian and Ethical Jurisprudence
d. Functional Antrhopological or Sociological Jurisprudence
e. Naturalistic Jurisprudence

Disamping penggolongan tersebut diatas, dikenal juga beberapa penggolongan


lainnya dari para penulis terkenal. Meksud penggolongan itu sebagaimana diutarakan
oleh G.W.Paton adalah semata-mata perlu untuk dapat mendekati pokok persoalnnya
yang jelas. Walaupun sudah dibuat penggolongannya yang sudah cukup luas, masih juga
terdapat banyak penulis yang tidak termasukkan dalam suatu penggolongan tertentu.
Atau dapat juga terjadi seorang penulis digolongkan kepada dua atau lebih aliran/mazhab.
Penggolongan hendaknya jangan terlalu kompleks sebab demikian Paton-penggolongan
yang sangat kompleks akan mengacaukan objeknya sendiri disamping tidak tercapainya
tujuan mengadakan penggolongan itu, yakni untuk menyederhanakan atau
mengklasifikasikan penulis-penulis yang memiliki pemikiran yang sejalan dengan satu
aliran/mazhab. Demikian juga hendaknya dihindari penggolongan yang rigit sifatnya.

Berkenaan adanya pelbagai penggolongan aliran/mazhab, kami sendiri ingin


membagi aliran/mazhab itu sebagai berikut:
A. ALIRAN HUKUM ALAM
i. Yang Irasional
ii. Yang Rasional
B. ALIRAN HUKUM POSITIF
1. Analitis
2. Murni
C. ALIRAN UTILITARIANISME
D. MAZHAB SEJARAH
E. SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
F. PRAGMATIS LEGAL RAELISM

A. ALIRAN HUKUM ALAM

Aliran ini berpendapat bahwa hukum itu berlaku universal dan abadi.

Menurut Friedmann sejarah tentang hukum alam adalah sejarah umat manusia
dalam sejarahnya untuk menemukan apa yang dinamakan absolute justice( keadilan yang
mutlak) disamping sejarah tentang kegagalan umat manusia didalam kegagalan tersebut.
Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakat dan keadaan
politik.

Sepanjang sejarah dapat diketahui banyaknya peranan hukum ini dalam berbagai
fungsi, seperti misalnya:

 Dipergunakannya hkum alam untuk mengubah hukum perdata Romawi yang


lama menjadi suatu system hukum umum yang berlaku diseluruh dunia
 Dipergunakan sebagai senjata dalam perebutan kekuasaan antara Gereja dari
Abad Pertengahan ke Kaisar-kaisar Jerman, baik oleh pihak gereja maupun
pihak lawannya.
 Dipergunakan sebagai dasar hukum internesional dan dasar kebebasan
perseorangan terhadap pemerintah yang absolute
 Dipergunakan oleh para hakim di Amerika Serikat dalam menafsirkan
Konstitusi. Dengan azas-azas hukum alam para hakimmenentang usaa
Negara-negara bagian yang dengan menggunakan perundang-undangan
hendak membatasi kebebasan perseorangan dalam soal-soal yang menyangkut
ekonomi
 Dipergunakan untuk mempertahankkan pemerintahan yang berkuasa atau
sebaliknya untuk mengobarkan pemberontakan terhadap kekuasaan yang ada
 Juga dipergunakan dalam waktu yang berbeda-beda untuk mempertahankan
segala bentuk ideology
 Sebagai dasar ketertiban internasional, hukum alam terus-menerus
memberikan ilham kepada kaum Stoa, ilmu dan filsafat hukum Romawi,
pendeta-pendata dan gereja-gereja pada abad pertengahan dan lain-lain
 Dengan melalui teori-teori Locke dan Paine, hukum alam memberikan dasar
kepada filsafat perorangan dalam konstitusi Amerika Serikat dan Undang-
undang Dasar modern dan lainnya.

Melihat sumbernya, hukum alam dapat berupa:

1. Hukum alam yang bersumber dari Tuhan (irasional) dan


2. Hukum alam yang bersumber dari rasio manusia

Hukum alam yang bersumber dari Tuhan dianut misalnya oleh kaum Scholastik
abad pertengahan seperti pemikiran dari Thomas van Aquino, Gratianus (decretum), Jhon
Salisbury, Dante, Pierre Dubois, Marsilius Padua, Johannes Hush, dan lain-lain.

Dalam buku-bukunya yang sangat terkenal “Summa Theologica”, dan


“Deregimene Principum”, Thomas Aquino membentangkan pemikiran hukum alamnya
yang banyak mempengaruhi gereja dan bahkan menjadi dasar pemikiran gereja hingga
kini. Seperti halnya Aristoteles membagi hukum itu atas hukum alam dan hukum positif,
Thomas pun membagi hukum itu bukan 2 (dua), melainkan 4(empat) golongan hukum
yaitu:
 Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan
merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia
 Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia
berdasarkan waktu yang diterimanya
 Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu merupakan penjelmaan
dari lex aeterna disalam rasio manusia
 Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh
manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia
Hukum positif ini terdiri dari atas hukum positif yang dibuat oleh Tuhan seperti
terdapat dalam kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.

Mengenai konsepsinya tentang hukum alam ini, Thomas Aquino menbagi azas-
azas hukum alam itu menjadi 2 (dua) jenis, yaitu Principia Prima dan Principia
Secundaria. Principia Secundaria diturunkan dari Principia Prima itu tidak lain asas-
asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir dan bersifat mutlak dalam arti tidak dapat
diasingkan darinya. Karena sifatnya yang demikian, Principia Prima itu tidak dapat
berubah ditempat manapun dan dalam kaedaan apapun. Sebagai contoh misalnya sepuluh
perintah Tuhan.

B. ALIRAN HUKUM POSITIF

Sebelum lahirnya aliran ini telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum
dikenal sebagai legisme. Pemikiran hukum ini berkembang sejak abad pertengahan dan
telah banyak berpengaruh diberbagai Negara tidak kecuali Indonesia. Aliran ini
mengidentikan hukum dengan undang-undang. Tak ada hukum diluar undang-undang.
Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Dijerman pandangan ini banyak
dianut dan dipertahankan oleh misalnya Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jhering,
Hans Nawiasky, Hans Kelsens, dan lain-lain. Dinegara inggris berkembang dalam bentuk
yang agak lain yang kita kenal dengan Positivisme hukum seperti dari Jhon Austyn
dengan Analitycal Jurisprudencenya/positivismenya. Agak berlainan oleh karena hukum
yang berlaku dinegara inggris adalah common law tidak tertulis. Diindonesia sendiri
pengaruh pemikiran legisme itu sangat jelas dapat dibaca pada pasal 15 Algemene
Bepalingen van Wetgeving yang antara lain berbunyi (dalam bahasa Indonesia) :

Terkecuali penyimpangan-penyimpangan yang ditentukan bagi orang-


orang Indonesia dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang
Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecualijika undang-undang
menentukannya.

Kalimat-kalimat tersebut jika dikaji jelas mencerminkan pemikiran hukum dan


menjadi dasarnya, yaitu dinamakan hukum haruslah bentuknya tertulis. Disampin itu
hendaknya juga diperhatikan akan adanya penharuh filsafat positivisme yang dipelopori
oleh August Comte dalam Chours de Philosophie Positieve-nya terhadap paham
positivisme hukum Austin yang analistis itu. Karena kurangnya perhatian Austin
terhadap hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) serta dijauhkannya dari nilai-
nilai baik dan buruk dan hal-hal yang menyangkut keadilan, banyak kalangan yang
berpendapat bahwa pemikiran potisivisme ini mematikan minat hukum berfilsafat
hukum.

Selanjutnya, Prof.H.L.A.Hart menguraikan tentang ciri-ciri pengertian


positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai berikut :

 Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human


being)
 Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan
moral, atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang seharusnya
 Pengertian bahwa analisis kompensasi hukum adalah
1. Mempunyai arti penting
2. Harus dibedakan dari penyelidikan :
a. Historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum
b. Sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala lainnya, dan
c. Penyelidikan hukum secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan
moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya
 Pengertian bahwa system hukum adalah system yang logis, tetap dan bersifat
tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar atau tepat biasanya
dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah
ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan
ukuran-ukuran moral
 Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat di perbuat atau
dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan
argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau pencobaan.
I. Positivisme hukum yang analistis dari Jhon Austin

Ada dua buku Jhon yang terkenal yakni “The Province of Jurisprudence
Detremined” dan “Lectures of Jurisprudence”. Buku kedua berisikan kuliah-kuliah
Autisn semasa hidup tentang Jurisprudence. Tentang hukum, Austin berkata dalam buku
kumpulan tersebut sebagai berikut : “law is a command of the Lawgiver”. Hkum
merupakan perintah dari penguasa- dalam arti bahwa printah dari mereka yang
memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Selanjutnya, Austin
berkata bahwa hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur mahluk yang
berfikir, perintah yang dilakukan oleh mahluk yang berfikir yang memegang dan
mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu system yang logis,
tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari
keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk.

Autin membagi hukum itu atas :

a) Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia


b) Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia
i. Hukum dalam arti yang sebenarnya atau hukum ayng etpat untuk disebut hukum.
Jenis hukum ini disebut juga sebagai hukum positif. Hukum yang sesungguhnya
ini terdiri dari :
 Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, dan lain-lain.
 Hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara individual yang
dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.
Contohnya, hak curator terhadap badan/orang dalam kuratere atau hak wali
terhadap orang yang berada dibawah perwaliannya.
i. Hukum dalam arti yang tidak sebenar-benranya- hukum yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh
penguasa/badan berdaulat yang berwenang. Seperti contoh misalnya ketentuan-
ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu
dalam bidang keolahragaan, mahasiswa dan sebagainya.

Menurut Jhon Asutin, apa yang dinamakannya sebagai hukum (point b pertama)
mengandung didalamnya suatu perintah, saksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-
ketentuan yang tidak memenuhi unsure-unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
positive law, tetapi hanyalah merupakan positive morality. Unsur perintah ini berarti
bahwa pertama satu pihak menghendaki orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak
yang diperintah akan mengalamipenderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati,
ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, keempat, hal
ketiga dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Yang
berdaulat ini mungkin a souvereign person atau a souvereign body of person.

Pada akhirnya hendaknya diperhatikan pokok-pokok ajaran analytical


jurisprudence sebagai berikut :

a. Ajaran tidak berkaitan dengan soal atau penilaian baik dan buruk, sebab penialain
tersebut berada diluar hukum
b. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhada masyarakat, namun
secara yuridis tidak penting bagi hukum.Astin memisahkan secara tegas antara
moral didatu pihak dan hukum dipihak lain
c. Pandangannya bertolak belakang dengan, baik penganut hukum alam maupun
mazhab sejarah
d. Hakikat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari
yang berdaulat/penguasa
e. Kedaulatan adalah hal diluar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau
sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang
telah ada dalam kenyataan
f. Ajaran Austin kurang/tidak memberiakn tempat bagi hukum yang hidup dalam
masyarakat.
II. Ajaran Hukum Murni dari Hans Kelsen

Kami golongkan juga ajaran ini pada aliran positivism oleh karena pandangan-
pandangannya yang tidak jauh berbeda dengan Austin. Hans Kelsen sebagai seorang Neo
Kantian aga berbeda pemikirannya misalnya dengan Neo Kantian yang lain Rudolf
Stammler. Hans Kelsen tegas tidak menganut berlakunya suatu hukum alam walau
mengemukakan adanya asa-asas hukum umum sebagaimana tercermin dalam
Grounnorm/Ursprungnormnya. Sebaliknya Rudolf Stammler sebagaimana telah
diuraikan pandangannya terdahulu, menerima dan menganut berlakunya suatu hukum
alam walau ajaran hukum alamnya adalaha hukum alam yang tidak universal, tetapi daya
berlakunya dibatasi oleh ruang dan waktu.

Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan.
Pertama, ajarannya tenyang hukum yang bersifat murni dan kedua yang berasal dari
muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang mengutamakan tentang adanya
hirarki dari pada perundang-undangan.
Inti ajaran murni Hens Kelsen adalah :

Bahwa hukum itu harus dibersikan dari anasir-anasir yang tidak yuridis
seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya.

Dari unsur etis berarti, konsepsi hukum Hans Kelsen tidak member tempat
berlakunya suatu hukum alam. Etika memberikan suatu penilaian tentang baik dan buruk.
Ajaran Kelsen menghindari diri dari soal penilaian ini.

Dari unsur sosiologis berarti bahwa ajaran hukum Hens Kelsen tidak member
tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembangdidalam masyarakat. Ajaran
hukum Kelsen hanya memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama
sekali terlepas dari desain/atau kenyataan sosial. Hukum merupakan sollenskategori dan
bukan seinskategori : orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk enaatinya
sebagai suatu kehendak Negara. Hukum itu tidak lain merupakan sebagai suatu kaidah
ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya. Yang membeli
barang seharusnya membayar. Apakah dalam kenyatan sipembeli itu membayar atau tidak
itu soal yang menyangkut kenyataan dalam masyarakat dan hal itu bukan menjadi wewenang
ilmu hukum.

Ajaran Stufenteori berpendapat bahwa suatu system hukum adalah suatu hirarki
dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum
lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang lebih tinggi adalah Grundnorm atau
norma dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret
daripada ketentuan yang lebi tinggi. Sebagaimana contoh, dapat kiat lihat dalam
ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republuk Indonesia yang menetapkan sebagai berikut:

 Undan Undan Dasar 1945


 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
 Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
 Peraturan Pelaksana lainnya seperti:
 Peraturan Pemerintah
 Keputusan Mentri

Aliran Hukum Positif

Menurut Kelsen antara ilmu hukum yang merupakan usaha untuk memperoleh
ilmu hukum positif disatu pihak dengan politik hukum sebagai suatu usaha untuk
menegakkan keadilan dilain pihakharus dibedakan. Ajaran murni tentang hukum adalah
suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang
senyatanya itu, yakni apakah hukum positif yang senyatanya itu adil atau tidak adil. Ini
bukan berarti terdapat pertentangan antara sebagian dari peraturan-peraturan tertentu
terhadap peraturan-peraturan lainnya sebagai keseluruhan. Karena menurut ajaran Hans
ini hukum adalah identik dengan hukum positif atau undang-undang maka yang dapat
dibicarakan oleh filsafat hukum terbatas pada perihal tentang melawan hukum dan tidak
melawan hukum, yaitu tentang apa yang dilarang atau yang diizinkan oleh hukum positif.
Terhadap hal ini telah dipermasalahkan dalam ilmu-ilmu hukum positif sehingga dengan
begitu filsafat hukum bagi ajaran Hans Kelsen ini tampaknya tidak diperlukan lagi.

Kekuatan pengaruh dari ajaran Hans Kelsen ini terletak pada upayanya yang
senantiasa menyingkirkan setiap pertanyaan yang timbul, baik dari hukum positif pada
umumnya maupun dari ajaran positivisme Hukumnya sendiri. Positivism hukum yang
sesungguhnya adalah suatu positivism karena ia beranggapan tidak ada tempat bagi
teorinya untuk mempermasalahan pertanyaan-pertanyaan tadi. Dengan begitu, positivism
hukum ini tampaknya seolah-olah menolak filsafat hukum, namun secara diam-diam
menyatakan dirinya sebagai filsafat hukum adalah mengidentikkan hukum dengan tata
hukum dalam versi undang-undang, hukum yang tertulis, yang merupakan pencerminan
dari kehendak serta disahkan oleh penguasa sesuai dengan ajarannya bahwa filsafat
hukumnya dalah filsafat hukum positivistic atau otentik. Dengan demkian, secara teoritis
hal ini akan berakibat bahwa para yuris khususnya para hakim tidak akan berdaya untuk
membentah jika mereka diperintahkan melakukan apa saja sepanjang perintah itu datang
dari pejbat atau badan yang memiliki kekuasaan untuk juga memaksakan pelaksanaan
perintahnya tersebut.

Dilain pihak ajaran positivism hukum dari Hans Kelsen ini mengandung
kelemahan.

Pertama, peraturan-peraturan hukum sebagaimana yang dahulu ada dan sekarang


sudah ada serta aka nada juga dimasa yang akan datang adalah dibuat oleh dan
diperuntukkan bagi manusia. Mengapa peraturan-peraturan hukum itu dibuat adalah :
supaya ada hukum. Ini berarti bukan supaya ada peraturan hukum. Dengan begitu maka
dibuatnya peraturan-peraturan hukum supaya ada hukum itutadi berarti orang merasa
perlu menegakkan dalam arti kemanusiaan. Dengan demikian, nyata bahwa hukum
tidaklah sama dengan peraturan-peraturan hukum, sehingga hukum sebenarnya adalah
tidak identik dengan undang-undang.

Kedua, terhadap peraturan-peraturan hukum tadi perlu dilakukan penggerapan


secara terus-menerus. Ini perlu dilakukan karena orang yakin bahwa didalam keseluruhan
peraturan-peraturan hukum ini terdapat juga ihwal yang melanggar hukum. Ini bukan
berarti bahwa diantara peraturan-peraturan hukum tadi terdapat peraturan-peraturan
hukum tertentu yang bertentangan dengan peraturan-peraturan hukum itu sebagai
keseluruhan. Akan tetapi, didalamnya terdapat peraturan-peraturan hukum yang
bertentangan dengan hukum, dengan kemanusiaan. Dengan penggerapan secara terus-
menerus ini agar terdapat lebih banyak hukum serta ihwal yang melawan hukum tadi
dapat dikurangi sehingga peraturan-peraturan hukum itu semakin baik memenuhi
tuntutan hukum. Tampak disini bahwa tidaklah mungkin mengidentikkan peraturan-
peraturan hukum atau undang-undang dengan hukum. Karena senantiasa terdapat
kemungkinan dimanipulasi terhadap peraturan-peraturan hukum tadi sedemikian rupa
sehingga orang dapat secara efesien dan terlepas dari hukum dapat melakukan perbuatan-
perbuatan melawan hukum, maka penggarapan secara terus-menerus terhadap peraturan-
peraturan hukum tersebut perlu dilakukan.
Dengan ajaran tadi, positivism hukum dari Hans Kelsen memiliki, baik kekuatan
maupun kelemahannya, sehingga meskipun pengaruhnya sangat kuat bagi kalangan
hukum, namun tidak dapat dipertahankan.

C. ALIRAN UTILITARIANISME

Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-183) Jhon Stuart mill (1806-
1873), Rodolf von Jhering (18..-1889). Dengan memegang prinsip manusia akan
melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan
mengurangi penderitaan, Bentham mencoba menerapkannya dibidang hukum. Atas dasar
ini, baik buruknya suatu perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikian
pun dengan perundang-undangan, baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut
diatas. Jadinya, undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian
terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik.

Ajaran Bentham dikenal sebagai uitilitarianisme yang individual, sedangkan


rekannya Rudolf von Jhering mengembangkan ajaran yang bersifat sosial. Teori Von
Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan positivism hukum
Jhon Austin.

D. MAZHAB SEJARAH

Pendasar dari mazhab ini ialah Friedrich Carl von Savigny dan Puchta. Ada dua
pengaruh terhadap lahirnya mazhab ini, yakni pengaruh Monstesque dalam buku
“L’espirt de Lois” yang terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara
jiwa sesuatu bangsa dengan hukumnya dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai
timbul diawal abad ke-19. Lahirnya mazhab ini merupakan suatu reaksi yang lansung
terhadap suatu pendapat yang diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya yang
berbunyi Uber Die Notwendigkeit Einis Allgemeinen Bulgerlichen Rechts Fur
Deutshland- keperluan akan adanya kondifikasi hukum perdata bagi negeri jerman. Ahli
hukum perdata jerman ini menghendaki agar dijerman diberlakukan kondifikasi perdata
dengan dasar hukum perancis (kode napoleon). Seperti diketahui setelah perancis
meninggalkan jerman timbul masalah hukum apa yang hendak diperlakukan dinegara ini.
Juga, merupakan suatu reaksi yang tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran
hukum positif.

Bagaimanakah inti pemikiran dari mazhab sejarah ini? Dalam buku Von Savigny
yang termasyur “von beruf unserer zeit fur gesetzgebung und rechtswissenschaft”-
tentang tugas zaman kita bagi pembentukan undang-undang dan ilmu hukum, antara lain
dikatakan :

Das recht wrid nicht gemacht, est is und wird mit dem volke
Hukum itu tidak dibuat tetapi, tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat.

Pandangan von Savigny berpangkal kepada bahwa didunia ini terdapat


bermacam-macam bangsa bahwa tiap-tiap bangsa tersebut mempunyai suatu volkgest-
jiwa rakyat. Jiwa ini berbeda-beda, baik menurut waktu maupun menurut tempat.
Pencerminan dari adanya jiwa yang berbeda ini tampak dari kebudayaan bangsa tadi yang
berbeda-beda. Kespresi itu tampak pula dari hukum yang sudah barang tentu berbeda
pula pada setiap tempat dan waktu. Karenanya demikian Von Savigny tidak masuk akal
juga terdapat hukum yang berlaku universal dan pada semua waktu. Hukum sangat
bergantung atau bersumbar pada jiwa rakyat tadi dan yang menjadi isi hukum itu
ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum menurut
pendapatnya berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya
tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan
kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para
ahli hukumnya.

E. SOCIALOGICAL JURISPRUDENCE

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen Ehrlich,
Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain. Inti pemikiran mazhab ini yang
berkembang di Amerika :
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup didalam masyarakat.

Sesuai disini berarti hukum itu menvcerminkan nilai-nilai yang hidup


dimasyarakat.

Mezhab ini mengetengahkan tentang pentingnya Living Law hukum yang hidup
didalam masyarakat. Dan kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu
senthese dari Desentnya, yaitu positivism hukum dan antidesenya mazhab sejarah.
Dengan demikian, sociological jurisprudence berpegang kepada pendapat pentingnya,
baik akal maupun pengalaman. Pandangan ini berasal dari Roscoe Pund yag inti sarinya
antara lain: kedua konsepsi masing-masing aliran (maksudnya positivism hukum dan
mazhab sejarah) ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup mengahdapi ujian akal
dapat hidup terus. Yang menjadi unsure-unsur kekal dala hukum itu hanyalah pernyataan-
pernyataan akal yang berdiri diatas pengalama dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman
dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat
bertahan sendiri didalam system hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan
dikembangkan oleh akal, yang diumumkan oleh wibawa oleh badan-badan yang
membuat undang-undang atau mengesahkan undang-undang yang dibuat dalam
masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu sendiri.

F. PRAGMATIC LEGAL REALISM

Friedman membahas mazhab ini dalam kaitannya sebagai salah satu subaliran dari
positivism hukum. Sebab, pangkal pikiran dari mazhab ini masih bertitik tolak pada
pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum. Pendasar-pendasar dari mazhab ini
ialah Jhon Chipman, Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Liewellyn, Jerome Frank,
William James dan lain-lain. Rouscoe Puond pun dapat juga digolongkan pada mazhab
ini selain sociological jurisprudence berkenaan dengan pendapatnya bahwa hukum itu
merupaka A Tool of social angineering.
Menurut Liewellyn, realism ini bukanlah merupakan suatu aliran didalam filsafat
hukum, tetapi ialah merupakan suatu gerakan (movement) dala cara berfikir tenteng
hukum. Adapun cirri-ciri dari gerakan ini ialah :

1) Raelisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam


cara berfikir dan cara bekerja tentang hukum.
2) Realisme adalah suatu konsepsi tentang hukum yang berubah-ubah dan
menjadi sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus
diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya.
Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan dari
pada hukum
3) Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan
sein unutuk keperluan suatu penyelidikan. Agar penyelidikan itu mempunyai
suatu tujuan maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan observasi
terhadap niai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi
oleh kehendak observeb maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
4) Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh
karena realism bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh
pengadilan-pengadian dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan defenisi-
defenisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang
apa yang akan dikerjakan oleh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan
keyakinan ini, maka realism menciptakan penggolongan-penggolongan
perkara dan keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya dari pada jumlah
penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
5) Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum
haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.

Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk mewujdkan


program tersebut diatas telah digariskan sebagai berikut :
1. Keterampilan diperlukan bagi seseorang dalam memberikan argumentasinya yang
logis atas putusan-putusan yang telah diambilnya bukan hanya sekedar argument-
argumen yang diajukan oleh ahli hukum yang nilainya tidak berbobot.
2. Mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan dengan memperhatikan
relativitas makna peraturan-peraturan tersebut.
3. Menggantikan kategoti-kategori hukum yang bersifat umum yang dengan
hubungan-hubungan khusus dari keadaan-keadaan yang nyata.
4. Cara pendekatan seperti tersebut diatas mencakup tiga penyelidikan tentang
faktor-faktor/unsur-unsur yang bersifa perseorangan maupun umum dengan
penelitian atas kepribadian sang hakim dengan disertai data-data statistik- tentang
ramalan-ramalan apa yang akan diperbuat oleh pengedilan dan lain-lain.
BAB III

BEBERAPA PERMASALAHAN PENTING DALAM FILSAFAT


HUKUM

A. MASALAH HUKUM DAN KEKUASAAN

Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat dirumuskan secara singkat dalam


slogan sebagai berikut :

Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah


kelaliman.

Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya.


Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum dengan norma-norma sosial lainnya
dan norma agama. Kekuasaan ini diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa.
Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum dimasyarakat akan mengalami hambatan-
hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan
dukungan kekuasaan. Masyarakat tipe terakhir ini dikatakan sebagai memiliki kesadaran
hukum yang tinggi dilingkungan anggotanya.

Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum merupakan salah
satu sumber dari kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik
dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, intelegasia dan moral). Selain itu, hukum pun
merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh karena kekuasaan itu mempunyai sifat yang
buruk, yaitu selalu memegang merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki
kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya. Contoh yang popular adalah sepak
terjang raja yang absolute dan dictator.

Baik buruknya sesuatu kekuasaan, bergantung dari bagaimana kekuasaan itu


digunakan. Artinya baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur kegunaannya untuk
mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat lebih dahulu.
Hal ini merupakan suatu unsure yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan
bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur.

Unsur pemegang kekuasaan merupakan factor penting dalam hal digunakannya


kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan kehendak masyarakat. Karena itu,
disamping keharusan adanya hukum sebagai alat pembatas, juga bagi pemegang
kekuasaan ini diperlukan syarat-syarat lainnya seperti memiliki watak yang jujur dan rasa
pengebdian terhadap kepentingan masyarakat. Kesadaran hukum yang tinggi dan
masyarakat juga merupakan pembatas yang ampuh bagi pemegang kekuasaan.

Antara hukum dan kekuasaan terdapat hubungan erat. Peperzak mengemukakan,


adanya hubungan ini dapat diperlihatkan dengan dua cara dibawah ini sebagai berikut.

Cara pertama dengan menelaah dari konsep sanksi. Adanya perilaku yang tidak
mematuhi aturan-aturan humuk yang menyebabkan diperlukan sanksi untuk menegakkan
peraturan-peraturan hukum tadi. Karena sanksi dalam kenyataannya merupakan suatu
kekerasan, maka penggunanya memerlukan legistimasi yuridis (pembenaran hukum) agar
menjadikannya sebagai kekerasan yang sah. Legistimasi yuridis yang dapat diberikan
untuk membenarkan digunakannya sanksi sebagai kekerasan yang sah adalah fakta,
bahwa perilaku ketidakpatuhan terhadap hukum tersebut merupakan yang pertama dari
kekerasan yang harus ditanggulangi, yaitu ditindak atau ditidakadakan dan jika mungkin
dicegah. Penanggulangan dari bentuk pertama kekerasan itu adalah dengan bentuk sanksi
sebagai kekerasan kedua, yaitu kekerasan yang sah. Dipergunakannya sanksi sedemikian
menyebabkannya sanksi tersebut harus ditetapkan atau dirumusakan oleh system aturan
hukum itu sendiri. Timbulnya pertanyaan, apakah sanksi itu harus dimasukkan essensi
daripada hukum? Agar sanksi dapat berfunsi denga baik sehingga semua system aturan
hukum dapat berdaya guna serta berhasil guna, mak diperlukan adanya kekuasaan (lorce)
yang memberikan dukungan tenaga maupun perlindungan bagi system aturan hukum
berikut dengan sanksi tersebut.
Cara kedua dengan menelaahnya dari konsep penegakan konstitusi. Pembinaan
system aturan-aturan hukum dalam suatu Negara yang teratur adalah diatur oleh hukum
itu sendiri. Perihal ini biasnya tercantum dalam konsitusi dari Negara yang bersangkutan.
Penegakan konstitusi itu, termasuk penegakan prosedur yang benar dalam pembinaan
hukum itu tadi mengamsumsukan digunakannya kekuatan (force).

Diperlukannya kekuatan (force) sebagai pendukung atau pelindung bagi system


aturan-aturan hukum untuk kepentingan penegakannya, berarti bahwa hukum pada
akhirnya hrus didukung serta dilindungi oleh sesuatu unsure yang bukan hukum, yaitu
oleh kekuasaan itu tadi. kekuatan (force) yang diperlukan ini, dalam kenyataannya dapat
berwujud dari :

1. Keyakinan moral dari masyarakat


2. Persetujuan (consensus) dari seluruh rakyat
3. Kewibawaan dari seorang pemimpin karismatik
4. Kekuatan semata-mata yang sewenang-wenang (kekerasan belaka)
5. Kombinasi dari factor-faktor tersebut diatas

Dalam uraian diatas terdapat istilah “kekerasan” dan “kekuatan”. Kedua istilah ini
digunakan dalam konteks penegakan aturan-aturan hukum. Dengan kekerasan diartikan
sebagai penggunaan kekuatan secara tidak sah. Pertanyaan yang timbul adalah, apa
artinya sah (yustifikasi) itu? Dalam pengertian hukum, kekuatan yang sah adalah
kekuatan yang diatur secara ekspilisit dalam kaidah-kaidah hukum positif. Penggunaan
kekuatan semacam inilah yang diartikan sebagai kekuasaan. Tampak disini terdapat
adanya dukungan yang erat antara hukum dengan kekuasaan, sebab kekuasaan
sedemikian akan memungkinkan seseorang atau sekelompok orang lain untuk
mewujudkan perilaku tertentu, yaitu perilaku hukum.
B. HUKUM SEBAGAI ALAT PEMBAHARUAN DALAM MASYARAKAT

Pemikiran tentang hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat berasal


dari Roscoe Puond dalam bukunya ayng etrkenal “An Introduction to the Philosophe of
Law” (1945). Disesuaikan dengan situasi dan kondisi diindonesia, konsepsi “Law as a
tool of social engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran Pragmatic Legal
Realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan diindonesia melalai
fakultas hukum universitas padjajarn.

Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi hukum sebagai “sarana”


pembaharuan masyarakat yang lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di
Amerika Serikat tempat kelahirannya. Alasannya oleh karena lebih menonjolnya
perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di indonesia (walau
yurispudensi memgang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi makanisme dan konsepsi
tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama dari penerapan faham
legisme yang banyak ditentang di Indonesia.

Sifat mekanisme itu tampak dengan digunakannya istilah “tool” oleh Roscoe
Pound.

Itulah sebabnya mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung menggunakan


istilah “saran” daripada alat.

Disamping disesuaikan dengan istilah situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi


tersebut dikaitkan pula dengan filsafat budaya dan northop dan policy oriented dari
laswell dan Mc Dougal.

Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-
undang atau yurispudensi atau kombinasi keduanya. Seperti telah dikemukakan di muka,
di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-undangan. Yurispudence juga
berperan, namun tidak seberapa. Lain halnya dengan Negara-negara yang menganut
system presiden, sudah barang tentu peranan yurisprudence akan jauh lebih panjang.
Agar dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan
itu dapat berjalan sebagaiman mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk
itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran Sociological Yurisprudence,
yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat.

Jadi mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sebab jika ternyata


tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan (bekerja) dan akan
mendapat tantangan.

Beberapa contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana


pembaharuan dalam arti mengubah sikap mental masyarakat tradisional kea rah modern,
misalnya laranagn pengeyauan di Kalimantan, larangan penggunaan koteka di irian jaya,
keharusan pembuatan sertifikat tanah dan banyak lagi terutama dibidang penanaman
asing, hukum dagang dan perdata lainnya yang bukan hukum perdata keluarga yang
masih dianggap sensitive sifatnya.

C. HUKUM DAN NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA

Aturan hukum disatu pihak dengan nilai-niali sosial budaya dilain pihak terdapat
kaitan yang erat. Hal ini telah dibuktikan berkat penyelidikan beberapa ahli antropologi
hukum, baik bersifat perintis seperty Sir Henry Maine, A.M. Post dan Yosef Kohler
maupun Malinowski dan R.H Lowie di abad ini.

Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai budaya masyarakat itu ternyata
bahwa hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang
hidup masyarakat.

Indonesia masa kini berada dalam masa transisi, yaitu sedang terjadi perubahan
nilai-nilai dalam masyarakat dari nilai-nilai yang bersifat tradisional ke nilai-nilai yang
modern. Namun mesih menjadi persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan
dengan nilai-nilai baru mana yang akan manggantikannya. Sudah barang tentu dalam
proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan-hambatan yang kadang-kadang
akan menimbulkan keresahan-keresahan maupun kegoncangan didalam masyarakat.
Mochtar Kusumaatmadja misalnya, mengemukaka beberapa hambatan utama seperti jika
yang akan diubah itu identik dengan kepribadiaan nasional, sikap golongan intelektual
dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai-nilai yang dianjurkan
disamping sifat heterogenitas bangsa Indonesia, yang baik tingkat kemajuannya, agama
serta bahasanya berbeda satu dengan lainnya.

D. APAKAH SEBABNYA ORANG MENAATI HUKUM

Filsafat hukum mencoba mencari dasar kekuatan mengikat dari pada hukum,
yaitu apakah ditaatinya hukum itu disebabkan oleh hukum itu dibentuk oleh pejabat yang
berwenang atau memang masyarakat mengakuinya karena hukum tersebut dinilai sebagai
suatu hukum yang hidup didalam masyarakat itu?

Dalam hubungan denga pertanyaan yang pertama terdapat beberapa teori penting
yang patut diketengahkan :

1. Teori kedaulatan Tuhan (Teokrasi)


a. Yang langsung
b. Yang tidak langsung
2. Teoir perjanjian masyarakat
a. Hugo de Groot ((1583-1645)
b. Thomas Hobbes (1588-1679)
c. Jhon Locke (1631- 1705)
d. J.J. Rousseau (1712-1778)
3. Teori kedaulatan Negara
4. Teori kedaulatan hukum

Teori kedaulatan Tuhan (Teokrasi)

Yang lansung berpegang kepada pendapat bahwa :

“….segala hukum adalah hukum ketuhanan. Tuhan sendirilah yang


menetapkan hukum, dan pemerintah-pemerintah duniawi adalah pesuruh-
pesuruh kehendak Tuhan”.
Hukum dianggap sebagai kehendak atau kemauan Tuhan. Manusia sebagai salah
satu ciptaanya harus taat pada hukum Ketuhanan ini.

Teori kedaulatan Tuhan yang bersifat langsung ia hendak membenarkan perlunya


hukum yang dibuat oleh raja-raja, yang menjelmakan dirinya sebagai tuhan didunia,
harus ditaati oleh setiap penduduknya. Sebagai contoh, raja-raja Fir’aun di Mesir dahulu.

Yang tidak langsung, menggagap raja-raja bukan melainkan sebagai eakil Tuhan
didunia. Dalam kaitan lain, dengan sendirinya juga karena bertindak sebagai “wakil”,
semua hukum yang dibuatnya wajib pula ditaati oleh segenap warganya. Pandangan ini
walau berkembang hingga zaman Renaissance, namun hingga saat ini masih juga ada
yang mendasarkan otoritas hukum pada factor Ketuhanan itu.

Teori Perjanjian Masyarakat

Pendasar-pendasar dar teori perjanjian masyarakat ialah Hugo de Groot atau


Grotius, Thomas Hobbes, Immanuel Kant, Jhon Locke, dan J.J.Rousseau.

Pada pokoknya teori ini berpendapat bahwa orang taat dan tunduk pada hukum
oleh karena berjanji untuk menaatinya. Hkum dianggap sebagai kehendak bersama, suatu
hasil consensus (perjanjian) dari segenap anggota masyarakat.

Tentang perjanjian ini, terdapat perbedaan pendapat antara Tomas Hobbes, Jhon
Locke dan J.J.Rousseau.

Dalam buku-bukunya “De Vice” (1642) dan “Leviathan” (1651), Thomas Hobbes
membentangkan pendapatnya yang intinya sebagai berikut :

Pada mulanya manusia itu hidup dalam suasana bellum omnium contra omnes
(the war of all against all), selalu dalam keadaan berperang. Agar tercipta suasana damai
dan tentram, lalu diadakan perjanjian diantara mereka (pactum onionis). Setelah itu,
disusul perjanjian antara semua dengan seseorang tertentu (pactum subjectionis) yang
akan diserahkan kekuasaan untuk mepimpin mereka. Kekuasaan yang dimiliki oleh
pemimpin ini adalah mutlak. Timbullah kekuasaan yang bersifat absolut.
Konstruksi Jhon Locke dalam bukunya “two treatises on civil Government”
(1960), agak berbeda karena pada waktu perjanjian itu disertakan pula syarat-syarat yang
antara lain kekuasaan yang diberikan dibatasi dan dilarang melanggar hak-hak asasi
manusia.

J.J.Rousseau dalam bukunya “Le Contrac Social ou Pricipes de Doit Politique”


(1672), berpendapat bahwa kekuasaan yang dimiliki oelh anggota masyarakat tetap
berada pada individu-indvidu dan tidak diserahkan pada sesorang tertentu secara mutlak
atau dengan persyaratan tertentu. Konstruksi yang dihasilkannya ialah pemerintah
demokrasi langsung. Tipe pemerintahan seperti ini hanya sesuai bagi suatu Negara
dengan wilayah sempit dan penduduk sedikit. Pemikirannya tidak dapat diterapkan untuk
suatu Negara modern dengan wilayah yang luas dan banyak penduduk.

Teori Kedaulatan Negara

Pada intinya teori ini berpendapat bahwa ditaatinya hukum itu karena Negara
mengkehendakinya.

Hans Klesen misalnya dalam bukunya “Hauptprobleme der Staatslehre” (1811),


“Das Problem der Souveranitat und die Theorie des Volkerechs” (1920), “Allgemeine
Staatslehre” (1925) dan “Reine Rechtslehre” (1934), menganggap bahwa hukum itu
merupakan “Wille des Staates” orang tunduk kepada hukum karena merasa wajib
menaatinya karena hukum itu adalah kehendak Negara.

Teori Kedaulatan Hukum

Hukum mengikat bukan karena Negara mengkehendakinya, melainkan karena


perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya nilai hukum itu karena nilai
batinnya, yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Pendapat it diutarakan oleh
Prof.Mr.H.Krabe dalam bukunya “die lehre der Rechtssouveranitat” (1906).
Selanjutnya, beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal
pada perasaan hukum setiap individu, yaitu perasaan sebagaimana seharusnya hukum itu.
Terdapat banyak kritik terhada pendapat diatas. Pertanyaan-pertanyaan berkisar
pada apa yang dimaksud dengan kesadaran hukum itu? Apa yang diartika sebagai
perasaan hukum itu?

Prof.Mr.H.Krabe mencoba menjawab dengan mengetengahkan rumusan baru,


yaitu bahwa hukum itu barasal dari perasaan hukum bagian terbesar dari anggota
masyarakat. Jadi,bukan perasaan hukum setiap individu! Seorang muridnya yang terkenal
Prof.Mr.R.Kranenburg dalam bukunya “Positief Recht an Rechtsbewustzijn” (1928)
berusaha membelanya dengan teorinya yang terkenal “Asas Keseimbangan”
(evenredigheids postulat).

C. APAKAH SEBABNYA NEGARA BERHAK MENGUKUM SESEORANG?

Berbagai teori mencoba menjawab pertanyaan tersebutsebagai upaya mencari


dasar pembenaran (penghelalan) hukum melekatnya tidak tersebut pada Negara.

Pada waktu mengulas tentang dasar kekuatan mengikat dari hukum sebagai
jawaban atas pertanyaan apakah sebabnya orang menaati hukum, kita mengenal beberapa
teori seprti teori kedaulatan Tuhan, perjanjian masyarakat, dan kedaulatan Negara. Jika
ditelaah bunyi teori-teori termaksud, maka tampaknya bahwa dalam usaha menjawab
dasar mengikat sesuatu hukum tersirat juga ulasan wewenang Negara untuk menghukum
warganya terutama atas segala perbuatannya yang dapat menggoncangkan,
membahayakan, dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Ajaran kedaulatan Tuha misalnya dengan penganutnya yang sangat terkenal


diabad ke-19, Friedrich Julius Stahl berpendapat bahwa :

Negara adalah badan yang mewakili Tuhan di dunia yang memiliki kekuasaan
penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia. Para pelnggar ketertiban itu
perlu memperoleh hukuman agar ketertiban hukum tetap terjamin.

Teori perjanjian masyarakat mencoba menjawab pertanyaan tersebut diatas


dengan mengemukakan otoritas Negara yang bersifat monopoli itu pada kehendak
manusia itu sendiri yang mengehendaki adanya kadamaian dan ketentraman
dimasyarakat. Mereka berjanji akan menaati segala ketentuan yang dibuat Negara dan di
lain pihak bersedia untuk memperoleh hukuman jka dipandang tingkah lakunya akan
berakibat terganggunya ketertiban dalam masyarakat. Mereka telah member kuasa
kepada Negara untuk menghukum sesorang yang melanggar ketertiban.

Penganut-penganut teori kedaulatan Negara mengemukakan pendirian yang lebih


tegas. Karena Negaralah yang berdaulat, maka hanya Negara itu sendiri yang bergerak
menghukum seseorang yang mencoba menggangu ketertiban dalam masyarakat.
Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada Negara.
Negara di sini dianggap sebagai suatu keuthan yang menciptakan peraturan-peraturan
hukum. Jadi, adanya hukum itu karena adanya Negara, dan tidak ada satu hukum pun
yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh Negara. Dalam kaitan dengan hukuman, hukum
ciptaan Negara itu adalah hukun pidana.

Walaupun terdapat berbagai teori seperti tersebut di atas, sesungguhnya hak


Negara untuk menghukum sesorang didasari pemikiran bahwa Negara mwmiliki tugas
berat, yaitu berusaha mewujudkan segala tujuan yang menjadi cita-cita dan keinginan
seluruh warganya. Usaha-usaha yang berupa hambatan-hambatan, penyimpangan-
penyimpangan terhadap perwujudan tujuan tadi patut dicegah dengan memberikan
hukuman kepada pelakunya. Hanya dengan cara demikian, Negara dapat melaksanakan
tugasnya sebagaimana mestinya.

D. ETIKA DAN KODE ETIK PROFESI HUKUM

Banyak dari aspek-aspek terpeneting dari tatanan masyarakat untuk sebagaian


bergantung pada fungsinya profesi-profesi dengan baik. Kegiatan pengembangan dan
penerapan ilmu dilaksanakan dalam suatu konteks professional.

Dalam tatanan masyarakat modern, terjalin erat dan hasil dan berfungsinya
profesi-profesi. Profesi-profesi dalam system sosial okupasi (pekerjaan) menempati
kedudukan yang sangat strategis “Talcott Parson dalam “Essays In Sociological Theory”
(1964).
Terhadap profesi-profesi tadi dapat terjadi kemerosotan dalam kegiatan
pengembagannya sebagai akibat terlarangnya etika dank ode etik profesi oleh sebagia
pengembangannya. Pertanyaan tentang etika dank ode etik profesi serta mengapa profesi
memerlukan etika dan kode etik akan menghasilkan jawaban yang bergantung pada
pengertian kata profesi.

Kata profesi dan professional sesungguhnya memliki beberapa arti. Profesi dalam
percakapan sehari-hari dalam percakapan sehari-hari dapat diartikan sebagai pekerjaan
(tetap) untuk memperoleh nafkah (Belanda :baab; inggris; job atau occupation), baik
legal maupun tidak. Dalam artian lebih teknis, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan
tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan
dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi, dengan imbalan bayaran yang
tinggi. Keahlian diperoleh lewat proses pengalaman, dengan belajar di lembaga
pendidikan tertentu, latihan intensif, atau paduan dari ketiganya. Ditinjau dari pengertian
ini, sring dibedakan pengertian professional dengan profesionalisme sebagai lawan dari
amatir dan amatirisme, juga sering dikatakan pekerjaan tetap sebagai lawan dan
pekerjaan sambilan.

Rescoe Puond, seorang filsuf hukum tokoh aliran Soiological Jurisprudence yang
terkenal dengan gagasannya tentang hukum sbagai “a tool for social engineering”,
pandangannya dengan pengertian profesi pada dasarnya sejalan dengan parsons,
“professional bukanlah kapitalis, pekerja (buruh), admsistrator pemerintah, birokrat
ataupun petani pemilik tanah. Batas lingkup profesi sebagai institute tidak jelas dan tegas.
Dalam kenyataannya terdapat kelompok-kelompok marginal yang status
keprofesionalannya ekuivokal. Namun demikian, criteria inti untuk mengkualifikasi uatu
okupasi sebagai sutu profesi sudah cukup jelas, yakni bahwa profesi mengisyaratan
pendidikan teknuk yang formal, dilengkapi dengan cara pengujian yang
terinstitusionalisasikan adekuasi pendidikannya dan kompetensi orang-orang hasil
didikannya. Pengujian para calon pengemban profesi sangat mengutamakan evaluasi
rasionalitas kognitif yang diterapan pada bidang khusus tertentu karenanya sangat
menekan unsur intelektual. Criteria yang kedua, yakni penguasaan tradisi cultural dalam
menggunakan keahlian tertentu serta ketempilan dalam penggunaan tradisi tertentu.
Dalam lingkungn suatu profesi berlaku suatu system niali yang berfungsi sebagai standar
normative yang harus menjadi kerangka orintasi dalam pengembanan profesi yang
bersangkutan. Ketiga untuk menjamin bahwa kompetensi dari suatu kompleks okupasi
(system sosial pekerjaan) akan digunakan dengan cara-cara yang secara sosial
bertanggung jawab, maka haruslah memiliki sejumlah institusional, berupa organisasi
profesi, etika, dank ode etik profesi dengan prosedur penegakannya, serta cara rekrutasi
pengemban profesi. Dar criteria inti tadi, secara umum dapat dikatakan bahwa profesi
menunjuk pada kompleks okupasional yang disiplin-disiplin intelektual di sekitarnya
meliputi humaniora, ilmu alam dan ilmu sosial, terorganisasikan serta system-sistem
cultural (nilai-nilai) yang diolah oleh dan di dalam kompleks okupasi tersebut (1972:
536).

Ciri khusus profesi sebagai suatu system okupasional menurut Parsons adalah
bahwa profesi tidak berorintasi pada (disinterestedness).

Masyarakat akan memandang para pengemban profesi sebagai orang yang


mewujudkan pelayanan daripada orang yang mencari keuntungan bagi diri sendiri. Sikap
ini merupakan menjadi niali yang standar bagi para pengemban porfesi dalam
mengemban profesinya. Ciri kedua adalah rasionalitas dalam artian melawan
tradisionalisme, kebenaran objektif dijadikan standar normatif tertentu yang termasuk ke
dalam ruang lingkup suatu penelitia ilmiah. Rasionalitas berupa mencapai pertimbangan
lmiah. Cirri ketiga, “spesifitas fungsional”. Dengan bertumpu pada kompetensi teknikal
yang superior, para pengemban profesi memiliki dan menjalankan kewibaan (otoritas)
dalam masyarakat. Otoritas professional ditandai oleh spesifita fungsi yang merupkan
unsure essensial pada pola professional. Seorang professional dianggap memiliki otoritas
hanya pada bidangnya. Cirri keempat, “Universalisme”. Pengambilan keputusan pada
landasan pertimbangan professional didasarkan pada permasalahannya. Bukan pada
“siapa” atau pada keuntungan yang dapat diperoleh. Universalitas menunjang tinggi
objekvitas sebagai lawan dari sunjekvitas (partikularisme).
` Menurut Dietrich Rueschemeyer dalam “Lawyers and Doctors’ A Compari son of
Two Professions”. (Auber,1973:267) profesi dalah pekerjaan pelayanan yang
menerapkan seperangkat pengetahuan sistematika (ilmu) pada masalah-masalah yang
sangat relevan bagi nilai-nilai utama dari masyarakat. Masyarakat awam tidak mampu
menilai karya professional.karena itu, dibutuhkan pengendalian diri secara individual
bagi para pengemban profesi untuk tetap berpegang kuat pada nilai-nilai dan norma-
norma ini dan kemidan diinstitusionalisasikan dala struktur dan kultur dari profesi yang
bersangkutan, sehingga pengendalian yang secara individual itu diperkuat oleh
pengawasan formal dan informal oleh komunitas sejawat. Sebagai imbalan masyarakat
memberikan privilese, dan melindungi otonomi profesi terhadap pengawasan dan campur
tangan awam.

Dari uraian-uraian di atas dapat kita tarik rumusan pengertian profesi, bahwa
profesi adalah : pekerjaan tetap berupa pelayanan (service occupation). Pelaksanaannya
dijalankan dengan menerapkan pengetahuan ilmiah dalam bidang tertentu, dihayati
sebagai suatu panggilan hidup, serta terikat pada etika umum dan etika khusus (etika
profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesame manusia. Dari
pengertian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu fungsi
kemasyarakatan tertentu yang perwujudannya mensyaratkan disiplin ilmu tertentu. Ada 5
(lima) system okupasi yang dapat dikualifikasi sebagai profesi dalam pengertian ini, yakn
: kaimanan (ulama), kedokteran, hukum, jurnalistik, dan pendidikan. Kelimanya
berikatan langsung dengan martabat manusiawi dalam keutuhannya, berupa relasi dengan
yang transeden , kepastian hukum yang berkeadilan, informasi yang relevan, dan
solidaritas yang dinamis kreatif.

Etika Profesi, Kode Etik dan Landasannya

Seorang pengemban profesi harus dapat memutuskan apa yang harus


dilakukannya dalam melaksanakan tindakan pengemban profesionalnya. Hubungan
antara pengemban profesi dan pasien atau kliennya adalah hubungan professional,
hubungan antar subjek pendukung nilai, karena itu secara pribadi ia bertanggung jawab
atas mutu pelayanan jasa yang dijalankan.

Secara formal yuridis kedudukan pengemban profesi dan kliennya adalah sama.
Namun, secara sosio pisikologis dalam hubungan ini terdapat ketidakseimbangan
disebabkan oleh ketidakmampuan pasien atau klien untuk dapat menilai secara obyektif
pelaksanaan kompetensi ternikal pengemban profesi yang diminta pelayanan
profesionalnya. Jadi, hubungan horizontal antara pengemban profesi dan kliennya
sesungguhnya hanyalah merupakana hubungan kepercayaan. Karenanya, dalam
menjalankan pelayanan professional dalam pengemban profesi dituntut untuk
menjiwaiinya dengan sikap etis tertentu. Sikap etis inilah yang dinamakan etika profesi.

Hubunga antara Tuhan dengan manusia merupakan hubungan personal vertical


yang berlandaskan cinta kasih. Hubungan ini merupakan akar dari hubungan personal
horizontal yang bersifat kepercayaan, sehingga akan memotivasi untuk menghayati
profesi sebagai fungsi kemasyarakatan dan memotivasi untuk mewujudkan etika profesi
sebagai sikap hidup dalam mengemban profesi.

Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian internal dari sikap hidup dalam
menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Kepatuhan pada etika profesi
bergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan karena awam tidak dapat
menilai. Karenanya, kalangan pengemban profesi itu sendiri membutuhkan adanya
pedoman objektif yang lebih konkret bagi perilku profesionalnya yang kemudian
diwujudkan dalam seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi
daam mengemban profesi yang disebut kode etik profesi (disingkat kode etik) berupa
tertulis ataupun tidak tertulia. Pada dasarnya, di satu pihak kode etik termasuk kelompok
kaidah moral positif yang bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan,
dan di lain pihak bertujuan untuk melindungi pasein atau klien (warga masyarakat) dari
penyalahgunaan keahlian dan/atau otoritas.
Profesi Hukum

Profesi hukum berkaita dengan masalah mewujudkan dan memelihara ketertiban


yang berkeadilan did ala kehidupan bermasyarakat. Penghormatan terhadap martabat
manusia merupakan titik tolak atau landasan bertumpunya atau tujuan akhir dari hukum.

Untuk mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, huku merupakan sarana yang


mewujud dalam pelbagai kaidah perilku kemasyarakatan yang disebut kaidah hukum.
Keseluruhan kaidah hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tersusun dalam
suatu system yang disebut tata hukum. Ada dan berfungsinya tata hukum dengan kaidah-
kaidah hukumnya serta penegakannya merupakan produk dari perjuangan manusia dalam
mengatasi masalah-masalah kehidupan. Dalam dinamika kesejahteraan manusia, hukum
dan tata hukumnya tercatat sebagai salah satu faktor yang sangat penting dalam proses
pengadaban dan penghalusan dari budi manusia.

Salah satu fungsi kemasyarakatan agar kehidupan manusia tetap bermartabat


adalah dengan menyelenggarakan dan menegakkan ketertiban yang berkeadilan dalam
kehidupan bersama sebagai suatu kebutuhan dasar manusia. Dalam kehidupan sehari-hari
dalam tingkat peradaban yang telah mejemuk, fungsi kemasyarakatan penyelenggarakan
dan penegakan ketertiban yang berkeadilan ini diwujudkan dalam profesi hakim H.F.M
Crombag dalam makalah yang berjudul : “notities over de juridische opleiding” (1972)
yang mengkalsifikasikan peran kemasyarakatan profesi hukum itu ke dalam empat (4)
bidang karya hukum, yakni penyelesaian konflik secara formal (peradilan), pencegahan
konflik (legal drafting, legal advice), penyelesaian konflik secara informal, dan
penerapan hukum di luar konflik. Jabatan-jabatan seperti hakim, advokat dan notaries
termasuk profesi hukum masa kini yang mweujudkan bidang karya hukum secara khas.

Hakim

Untuk menyelesaikan konflik kepentingan yang sering terjadi dalam masyarakat


dengan baik dan teratur demi terpeliharanya ketertiban yang berkedamaian di dalam
masyarakat, diperlukan adanay suatu institusi (kelembagaan) khusus yang mampu
menyelesaikan masalah secara tidak memihak (imparsial) dengan berlandaskan patokan-
patokan yang berlaku secara objektif. Dalam Negara modern penyelesaian konflik ini
dilakukan melalui proses formal yang panjang yang dimuali dengan perang tanding dan
“goodsoordeel” (ordeal) lewat penyelesaian oleh pimpinan masyarakat local, dengan
kepastian yang berkeadilan. Dari sini terbentuklah institusi peradilan lengkap dengan
aturan-aturan yang procedural dan jabatan-jabatan yang berkaitan, yaitu hakim, advokat,
dan jaksa dengan wewenang pokok yang disebut kewenangan (kekuasaan) kehakiman,
untuk melakukan tindakan pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku manusia
tertentu serta menentukan nilai suatu situasi konkret dan menyelesaikan persoalan
(konflik) yang ditimbulkan secara imparsial berdasarkan hukum (patokan objektif).
Dalam kenyataan konkret pengambilan keputusan dalam mewujudkan kewenangan
kehakiman dilaksanakan oleh pejabat lengkap peradilan yang disebut hakim.

Tugas hakim pada dasarnya adalah member keputusan dalam setiap parkara
(konflik) yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hakim, nilai
hukum daripada perilaku, serta kedudukan hakim pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
perkara yang dihadapkan kepadanya.

Untuk dapat menyelesaikan konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang


berlaku, para haki harus selalu mandiri dan bebas dari pihak manapun termasuk
pemerintah sekalipun dalam mengambil keputusan. Para hakim hanya terlibat pada fakta-
fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis
keputusannya. Seperti dikatanakn Mochtar Kusumaatmadja (1974:17) hakim memiliki
kekuasaan yang besar terhadap para pihak (yustisiabel) berkenaan dengan masalah atau
konflik-konflik yang dihadapkan kepadanya.

Berdasarkan uraian tadi, dapat kita tarik kesimpulan bahwa sikap etis atau etika
profesi hakim harus berintikan : Taqwa terhadat Tuhan Yang Maha Esa, jujur, adil ,
bijaksana, imparsial (tidak memihak), sopan, sabar, memegang tegh rahasia jabatan, dan
solidaritas sejati. Kesemuanya itu harus tercermin dalam perilaku sehari-hari, karena
hanya dengan bersikap etis sedemikian para hakim akan mampu memelihara martabat
dan kewibaannya.

Sekarang ini di Indonesia etika profesi telah dijabarkan ke dalam Kode


Kehormatan Kehakiman yang ditetapkan oleh Rapat Kerja pada Ketua Pengadilan Tinggi
da Pengadilan Negeri dibawah pimpinan Mahkamah Agung pada tahun 1966 yang
kemudian diteguhkan dan dimantapkan dalam musyawarah nasional Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI) ke IX pada tanggal 23 Maret 1988.

Advokat

Pada dasarnya ada 2 (dua) tugas pokok advokat, yakni memberikan nasihat
hukum untuk menjauhkan klien dari konflik dan mengajukan atau membela kepentingan
klien di pengadilan. Peran utama seorang advokat pada saat berperkara di pengadilan
adalah mengejukan pelbagai fakta dan pertimbangan yang relevan dari sudut pihak
kliennya sehingga memungkinkan bagi hakim untuk menetapka keputusan yang adil.
Profesi advokat pada dasarnya dapat berperan pada semua bidang karya hukum, sehingga
pada dasarnya etika profesi hakim juga berlaku bagi advokat.

Uraian di atas merupakan gambaran profesi dan profesi hukum dalam bentuk
ideal. Dalam kenyataan konkret, hampir tidak ada sesuatu yang dapat adil dan ideal
seutuhnya, karenanya sering kali kita menemukan penyimpangan-penyimpangan atau
pengukhususan-pengkhhususan. Namun, jika kita menemukan kasus penyimpangan yang
cukup jauh serta mencakup banyak aspek yang luas sekali, maka mungkin kita dapat
berpekara tentang krisis atau perubahan fundamental dengan segala akibat
kemasyarakatan.

Secara sosiologis, Talcott Parsons (1964:44,45) mencoba menjelaskan krisis tersebut.


Para pengemban profesi dalam mengemban profesinya memiliki tujuan pokok (essential
goals) untuk mewujudkan hasil karya yang objektif (objective achievement) dan
pengakuan atau rekognisi. Dalam beberapa hal (kenyataan) pengakuan bias bukan hanya
berupa lambing, melainkan juga dalam konteks lain, misalnya berlaku untuk uang. Uang
tidak hanya penting sebagai nilai tukar tetapi juga dapat berperan penting sebagai
lambing rekognisi, sebagai pengakuan nyata atas kualitas professional. Jika kenyataan
actual teah menyimpang dari kondisi idela, dapat saja terjadi justru hasil karya yang
berkualitas rendah yang dapat dicapai dengan cara yang bertentangan dengan keharusan
menghasilkan pengakuan yang berlebihan. Hal ini dengan sendirinya akan mendorong
lahirnya perilaku menyimpang dari pola-pola institusional dalam skala yang besar.
Situasi seperti ini dapat menimbulkan gejala komersialisme dan ketidakjujuran, misalnya
dalam pengembanan profesi kedokteran dan profesi hukum.

Orang pada umumnya akan merasa kepuasan jika berhasil menjalankan pola-pola
perilaku yang dianggap benar (diterima) oleh masyarakat, sebaliknya merasa malu jika
tidak berhasil (gagal) menjalankannya. Mekanisme perilaku yang mengintegrasikan
kepuasan individual dan ekspektasi (harapan) kemasyarakatan akan berfungsi secara
mulus jika terjadi keselarasan antara hasil karya objektif dan landasan serta lambing-
lambang rekognisi. Jika keselarasan ini mengalami gangguan, orang akan merasa
kehilangan rasa aman dan berada dalam situasi konflik. Seorang yang berpegang teguh
pada hasil karya objektif yang seharusnya (mematuhi etika dan kode etik profesi) tidak
akan mengorbankan hasil karya objektif untuk memperoleh lambang-lambang rekognisi.

Philipe Nonet dan Jeroma E. Carlin mengemukakan dalam “LEGAL


PROFESSION”, yang dimuat dalam INTERNATIONAL ENCYCLOPEDIA OF THE
SOCIAL SCIENCES (vol.9, 1972) bahwa kualitas profesi hukum akan merosot jika:
penguasa politik menguasai profesi dalam rangka menetralkan sumber kritik potensial,
para profesi pengemban hukum akan terperangkap oleh kepentingan klien karena takut
kehilangan klien, pengemban profesi hukum terlalu jauh terlibat dalam kepentingan klien
secara subjektif, dan kualitas lembaga peradilan sangat rendah.

Dari uraian di atas kembali dapat kita tarik kesimpulan bahwa profesi adalah
sejumlah fungsi kemasyarakatan yang paling penting yang berjalan dalam suatu kerangka
institusional, termasuk pengemban dan pengajaran ilmu dan humaniora dan penerapan
praktikalnya dalam bidang-bidang pelayanan rohani, teknologi, kedokteran, hukum,
informasi, dan pendidikan. Bidang-bidang ini berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang
fundamental bagi perwujudan martabat manusia dalam keadaaan rill. Dalam
perwujudannya, sebagai konsekuensi dan keyakinan pada pentingnya fungsi-fungsi itu
tidaklah selalu berlangsung dengan sendirinya, melainkan sangat dipengaruhi oleh
berinteraksinya pelbagai kekuatan kemasyarakatan. Ini berarti perwujudannya secara
nyata memerlukan upaya tersendiri yang terdiri dari paduan pelbagai kekuatan yang
memerlukn usaha secara sadar dengan dukungan kemauan yang kuat untuk menegakkan
etiak dank ode etik profesi. Untuk itu, perlu diusahakn agar profesi-profesi mampu
mempertahankan ekonominya melalui organisasi profesi yang diakui dan dihormati
kemandiriannya oleh penguasa politik, didukung oleh kurikulum, proses dan metode
pendidikan yang juga memuat usaha untuk menumbuhkan sikap etis secara sistematis dan
sesuai untuk peserta didikannya.
BAB VII

AZAS HUKUM

Pengartian azas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen
hukum atau pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berfikir tentang hukum
atau titik tolak bagi pembentukan undang-undang dan interprestasi undang-undang atau
prinsip-prinsip yang kedudukannya lebih tinggi daripada hukum yang ditentukan
manusia, Ada tiga macam azas hukum (Huijbers, 1995: 82):

1. Azas objektif hukum yang bersifat moral. Prinsip ini tlah ada pada para pemikir
Zaman klasik
2. Azas objektif hukum yang bersifat rasional, yaitu prinsip-prinsip yang termasuk
pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional. Prinsip-prinsip inin
juga tlah diterima sejak dahulu, akan tetepi baru diungkapkan secara nyata sejak
mulai zaman modern,m yaitu sejak timbulnya negara-negara nasional dan hukum
yang dibuat oleh kaum yuris secara profesional.
3. Azas subjektif hukum yang bersifat moral dan rasional, yaitu hak-hak yang ada
pada manusia dan yang menjadi titik tolak pembentuka hukum. Perkembangan
hukum paling nampak pada bidang ini.

Hukum dalam arti objektif menandakan kaidah yang sebagai normatif mengatur
kaidah kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam arti subjektif menandakan hak dan
kewajiban yang ada pada orang yang merupaka anggota masyarakat, yakni sebagai
subjek hukum. Seperti azaa-azas yang
A. AZAS OBJEKTIF HUKUM
A. Azas Rasional

Azas rasional hukum, yaitu azas yang bertalian dengan suatu aturan hidup
bersama yang masuk akal, dan kerenanya diterima sebagai titik tolak bagi pembentukan
suatu tata hukum yang baik. Azas rasional hukum meliputi azas bagi hukum objektif
(undang-undang) dan hukum subjektif (hak), yaitu antara lain:

a. Hak manusia sebagai pribadi.


b. Kepentingan masyarakat.
c. Kesamaan hak didepan pengadilan.
d. Perlindungan terhadap yang kurang mampu.
e. Tidak ada ganti rugi tanpa kesalahan (Huijbers, 1995: 87)

B. AZAS MORAL

Azas moral hukum, yaitu azas yang lebih dipandang sebagai sesuatu yang idil,
yang belum tentu dapat diwudkan dala tata hukum yang direncanakan. Sejak zaman
Romawi prinsip-prinsip moral inindipandang sebagai hukum kodrat, entah hukum itu
dianggap positivis berpandangan bahwa undang-undang harus dibuat dengan berpedoman
pada prinsip moral (“minimun hukum kodrat”). Akan tetapi prisip ini hanya sebagai
prinsip regulatif saja, artinya undang-undang itu tetep hukum, walaupun melawan prinsip
moral (Hart,1979:76). Gustav Radbruc berpendapat bahwa diperlukan sedikit natural law
yang berfungsi sebagai prinsip konsitutif hukum.

Emil Brunner (1889-1966) menyatakan bahwa negara harus tunduk pada suatu
norma kritis, yaitu hukum kodrat. Hukum kodrat itu bukan hukum, bila dipandang secara
tersendiri, akan tetapi berfungsi sebagai prinsip konsitutif bagi undang-undang. Sehingga
undang-undang yang tidak menurut hukum kodrat, tidak dapat diakui sebagai hukum.
Menurut isinya hukum kodrat itu merupakan buah usaha manusia untuk bertindak secara
adil, yaitu hukum kodrat mengandaikan kerelaan hati orang-orang untuk mengakui suatu
aturan hidup yang melebihi kesukaan individual. Aturan hidup itu menjadi sasaran bagi
seseorang yang bersikap adil adalah sang pencipta, yang menjadi nyata dalam kesadaran
manusia tentang tugasnya didunia. Tugasnya itu selalu tidak sama, sebab berkembang
bersama dengan kesadaran etnis manusia. Seorang yang beriman akan menerima
petunjuk dari firman Tuhan. Akan tetapi orang yang tidak beriman seperti Aritoteles akan
memikirkan makna keadilan juga (Brunner, 1943 dalam Huijbers, 1988:256-259).

Muhammad Iqbal (1934:1966) mendukung pandangan bahwa hukum merupakan


hasil upaya manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Sikap adil
dan baik diperlukan guna membangun suatu hidup bersama yang diatur melalui hukum
dan cinta kasih. Sikap ini dianggapnya sebagai suatu rasa dasar kemanusiaan yang
berkaitan erat dengan siakap keagamaan juga.

Kehendak untuk belaku baik terhadap sesama manusia bermuara pada pergaulan
antar pribadi, berdasarkan prinsip-prinsip rasioanal dan moral. Kehendak yang sesama
juga mendorong manusia untuk membuat suatu aturan hidup bersama yang sesuai dengan
prinsip-prinsip moral tersebut, yaitu dengan membentuk suatu sistem norm-norma yang
harus ditaati semua pihak yang termasuk dalam suatu masyarakat tertentu.

Kehendak untuk mengatur hidup menghasilkan tiga macam norma:

1. Norma moral yang mewajibkan tiap-tiap orang secara batinah.


Norma ini bersifat subjektif, karena berkaitan dengan suara hati nurani subjek
yang bersangkuta. Selain itu norma ini juga bersifat “menuntut” untuk ditaati.
2. Norma-norma masyarakat, atau norma-norma sopansantun yang
mengaturpergaulan secara umum. Norma ini bersifat objektif, karena
berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan dan bersifattidak ”menuntut”
tetapi hanya mengaundang”.
3. Norma-norma yang mengatur hidup bersama secara umum dengan menentukan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Norma inilah yang dimaksud dengan norma
hukum. Norma ini bersifat objektif, karena berkaitan dengan negara dan bersifat
menuntut untuk ditaati.

Diatas dinyatakan bahwa norma-norma berdasarkan atas kehendak, sebabnya


adalah bahwa suatu keharusan yang dalam tiap-tiap norma mengandaikan bahwa ada
“sesuatu yang menghendaki”. Demikian pula dalam bidang hukum. “suatu yang
menghendaki” itu adalah warga negara yang bersama-sama mau mengatur hidudpnya
secara yudiris. Oleh karena itu dalam bidang hukum, sustu kehendak yuridis merupakan
akar dan syarat seluruh hukum (positif).

R. Stammer menerangakan bahwa kehendak yuridis tersebut bukanlah suatu


realitas psikoligis, seperti halnya kehendak untuk memberikan harta jika seseorang
dirampok. Karena memberikan harta bukanlah suatu kewajiban yuridis, malainkan
semata-mataoleh sebab takut (psikis). Oleh karena itu kehendak psikologis termasuk
bdang”ada”, bukan bidang “harus”. Tampak juga bahwa kehendak psikologis itu bersifat
subjektif, sedangkan kehendak yuridis bersifat netral dan bersifat objektif (kelsen).
Menurut Stammler kehendak bebas dan otonon yang membangun hidup bersama secara
yudiris bersifat formal belaka (dalam arti Fortnen a priori kanti, dan tidak ada sangkut
pautnya dengan isi suatu tata hukum yang bersifat materiil. Oleh karena itu harus
dibedakan dengan teliti antara pengertian hukum yang formal, dan ide hukum yang
meteri (Huijbers, 1988:150-156).

C. NILAI SUBJEKTIF HUKUM


I. Hak dan kewajiban

Hak adalah keistimewaan yang membuka kemungkinan baginya untuk diperlukan


sesuai dengan keistimewaan tersebut. Kewajiban adalah permintaan berupa sikap atau
tindakan yang sesuai dengan keistimewaan yang ada pada orang lain. Ada dua macam
hak:

1. Hak yang dianggap melekat oada tiap-tiap manusia sebagai manusia sebab
berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri. Hak ini merupakan bagian dari
eksistensi etis manusia di dunia ini. John Locke menerangkan bahwa manusia
pada zaman purbakala pun mengetahui hakdan kewajiban yang ada oada dirinya
sebagaimana diajarkan olah alam. Menurut Locke,”The state of nature has a law
of nature to govern it, which obliges everyone, and reason, which is that law,
teaches all mankind who will but consult it, taht being all equal and independent,
no one ounght to harm another in his life, healt. Liberty or possesions” (“Negara
alam” telah memiliki “hukum alam” untuk mengaturnya, yang mewajibkan
seseorang dan dengan alasantersebut ia kita sebut sebagai hukum, mengajarkan
semua jenis manusia yang akan meminta petunjuknya, dengan memperlakukanya
sama rata dan tidak saling bergantung, tidak ada yang salaing menyakiti satu sama
lain dalam kehidupannya, kesehatannya, kebebasan atau dalam hal kepemilikan
(Copleston, 1961-1975:138)
2. Hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan perundang-undangan. Hak
ini tidak langsung berhubungan dengan martabat manusia, tetapi menjadi hak
sebab termuat falam undang-undang yang sah.

Hak dan kewajiban manusia melekat sebagai akibat manusia memiliki


martabat.Manusia memiliki martabat, mengapa? Karena manusia merupakan mahluk
istimewayang tidak ada bandingannya di dunia. Keistimewaan ini nampak dalam
pangkatnya, bobotnya,relasinya, fungsinya sebagai manusia. Bukan sebagai makluk
individual, melainkan sebagai anggota kelas manusia, yang berbeda dengan tumbuh-
tumbuhan dan binatang. Keistimewaan manusia dapat diterangkan sebagai berikut:

1) Secara ontologis
a. Menurut filsuf Yunani, Skolastik dan Arab, manusia adalah mahluk istimewa
yang tinggal pada tangga yang paling atas seluruh hierarki mahluk-mahluk,
sebagai wujud yang berakal budi dan/atau ciptaan Tuhan.
b. Max Scheker: manusia merupakan suatu mahluk rohani yang melebihi
mahluk-mahluk lainnya karena akal budinya yang transeden.
c. G Marcel: manusia bersifat istimewakarena sebagai pribadi yang memerlukan
orang lain.
2) Secara etis

Immanuel Kant menyatakan bahwa nilai manusia terletak dalam kebebasanya


dan otonominya, yang nyata dalam praktis hidup, dalam hidup moralnya. Tetapi
hidup moral yang bernilai itu berakar dalam nilai religiusnya, sebab kebebasanya
dari Tuhan.

II. Hak Azasi

Hak-hak asasi manusia diakui sebagai bagian humanisasi hidup yang telah
tergalang sejak manusia menjadi sadar tentang tepatnya dan tugasnya di dunia ini. Oleh
karena itu hak asasi dianggap sebagai fundamen yang diatasnya seluruh organisasi hidup
bersama harus dibangaun. Hak-hak azasi dibagi dalam dua jenis:

1. Hak azasi individual yaitu hak atas hidup dan perkembangan hidup seperti hak
atas kebebasan batin, hak atas nama baik, hak atas kebebasan agama dan
sebagainya. Hak-hak dasar ini disusun terutama demi perlindungan pribadi
manusia terhadap kekuasaan Negara.
2. Hak azasi sebaga mahluk sosial, yang dibagi dalam hak-hak ekonomis, sosial dan
kultural.

Universal Declaration of Human Right (1948) tidak menciptakan hak-hak azasi,


tetepi hanya memaklumkanya, meliputi:
a. Manusia mempunyai hak-hak kebebasan politik, dimana tiap pribadi harus
dilindungi terhadap penyelewengan dari pihak pemerintah.
b. Manusia mempunyai hak-hak kebebasan sosial, yaitu hak untuk memenuhi
kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, perawatan,kesehatan dan pendidikan.

Manusia mempunyai hak-hak kebebasan sipil dan politik dalam menentukan


pemerintahan dan policy pemerintah tersebut.
BAB X

PENEGAKAN HUKUM

A. PERAMPASAN KEMERDEKAAN DAN PEMIDANAAN

Pelanggaran hukummembawa akibat diberikannya hukuman kepada si pelanggar.


Hukuman itu dapat berbentuk hukuman fisik, hukuman denda ataupun hukuman dalam
bentuk lain. Adanya hukuman yang diberikan tersebut akan menimbulkan masalah yang
mengacu pada keadilan. Sudah adilkah hukuman yang diberikan, khususnya hukuman
yang diberikan sesuai dengan keputusan hakim dan dalam buku legal. Berdasarkan
pemberian hukuman itu akan timbul pernyataan, “Apakah sesungguhnya tujuan memberi
hukuman?” Kecuali itu apakah hukuman tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral?”

Mungkin ada berpendapat bahwa memberi hukuman tersebut balas dendam, atau
biar orang bersalah itu”kapok”,jera,sehingga tidak melakukannya lagi. Atau mungkin
pula sebagai contoh umum,dapat dikatakan bahwa memberikan hukuman merupakan
pengobatan atau treatment, atau merupakan denda karena melanggar peraturan. Agar
suatu hukum dapat dikatakan adil, maka hukuman itu hams mengandung aspek legal dan
aspek moral, sehingga tercapai ketentraman lahir maupun batin, tidak hanya untuk si
pelanggar hukum, melainkan juga pada masyarakat pada umumnya.

Teori yang membenarkan pemberian hukuman pada seseorang yang melanggar


hukum dan dibenarkan secara moral adalah teori Retribitivisme. Menurut teori ini dalam
memberi hukuman haruslah dilihat apakah seorang itu melanggar hukum. Untuk
mengetahui ini perlu dilihat perbuatan pada masa lalu. Kalau memang orang tersebut
pada masa lalu telah melanggar hukum, sudah sepantasnyalah ia menerima hukuman.
Maka hukuman yang diberikan tersebut merupakan retribusi bagi pelanggarannyang
diakibatkan oleh pelanggarnya. Dengan demikian tlah sesuai pemberian hukuman itu dan
karena itu teori retribusi ini juga dinamakan teori proporsionalitas (Yong Ohoitimur,
1997:6).
Pendukung teori ini adalah Immanuel Kant Friedrich Hegel. Kedua filsuf jerman
pada abad ke-18 ini mempunyai pandangan yang berbeda, namun keduanya menyetujui
teori retribitivisme. Kant mengatakan, bahwa bahw menghukum adalah kewajiban moral,
apabila memang terbukti seseorang itu melakukan kesalahan. Jadi menurut Kant,
hukuman merupakan sesuatu yang harus diterima oleh orang yang bersalah dan hukuman
itu adalah hadiah baginya. Pendapat ‘Kant ini dapat dikatakan bahwa ada dua macam
hubungan antara hukuman dan pelanggarannya, yaitu siapa yang melanggar akan
mendapat hukuman. Kedua, hukuman menimbulkan rasa moral, karena seseorang yang
berbuat harus bertanggung jawab (Yong Ohoitimur,1997:7-10)

Hegel berpendapat bahwa hukuman merupakan kehendak umum, general will. Ini
tidak berarti bahwa general will kehendak kolektif, tetapi general will menyatakan
dirinya dalam hukum, dan dikenala sebagai hukum positif yaitu hukum yang sesuai
dengan rasio. Hukum mengharuskan setiap individu harus dihargai dan diperlakukuan
sebagai manusia bebas. Maka menurut Hegel, hukuman adalah konsekuensi dari
perbuatan yang melanggar hukum (Yong Ohoitemer,1997:9-17).

Diamping itu Retributivisme yang mengadakan evaluasi hukum, ada aliran yang
lain, yaitu alaran Utilitarisme. Kaum utilitarisme mengatakan bahwa pemberian hukuman
berarti pencegahan, preventif. Teori ini sudah ada sejak zaman Plato. Pada dasarnya teori
ini berpendirian bahwa hukuman tidak dapat membatalkan kesalahan yang telah dibuat
oleh seseorang, tetapi hukuman itu justru mengingatkan pada masa depan si pelaku
pelanggaran. Teori Plato ini juga diikuti oleh beberapa filsuf, diantaranya oleh Jeremy
Bentham dari inggris.

Berbeda dengan teoti Retributivisme yang memandang pada mementingkan masa


dapan. Dampak apa yang akan terjadi apabila seorang menerima hukuman. Hukuman
yang diberikan diharapkan mengandung konsekuensi positif bagi si terhukum dan juga
bagi orang lain khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Pendapat ini tentu tidak jauh
berbeda dengan teori moral Utilitarisme yang mengatakan suatu tindakan mempunyai
nilai moral apabila tindakan tersebut memberikan konsekuensi yang baik pada orang-
orang lain sebanyak-banyaknya. Prinsip manfaat inilah yang menjadi ukuran bagi
utilitarisme.

Menurut Bentham, konsekuensi yang merupakan akibat dari hukuman yang


berbentuk preventif ini ada dua macam. Pertama hukuman yang diberikan mengakibatkan
seseorang yang dihukum tidak mempunyai kemampuan untuk mengulang perbuatan
pelanggaran. Hal ini disebabkan karena orang itu dihukum seumur hidup atau dikurung,
atau bahkan dihukum mati. Kedua, hukuman mempunyai efek baik, yaitu untuk
memperbaiki si terhukum, sehingga ia tidak akan membuat pelanggaran lagi. Jadi
menurut teori ini,

1. Hukuman dapat memberiakn akibat jera seserang yang diberi hukuman. Ini berarti
bahwa hukuman memberikan efek preventif.
2. Hukuman sebagai rehalibitasi, memberi kesempatan pada terhukum untuk
memperbaiki diri. Mungkin lembaga pemasyarakatan di indonesia diharapakan
untuk merehabilitir para terhukum.
3. Hukuman sebagai pendidikan moral, bersifat edukatif agar si terhukum menjadi
taat pada hukum (YoungOhitimur, 1997:26-48).

B. MASALAH-MASALAH DALAM PENEGAKAN HUKUM


1. Ironi”Negara hukum” Indonesia

Negara Indonesia adalah negara hukum, begitu yang dinyatakan dalam konsitusi
kitaUUD Negara RI 1945 pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam amendemennyayang
ketiga, Agustus 2001 yang lalu. Sehingga seharusnya seluruh sandi kehidupan dalam
bermasyarakat dan bernegara kita hatus berdasarkan pada norma-norma hukum. Artinya
hukum harus dijadikan panglima dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan
dalam individu, masyarakat dan Negara. Tetapi sampai saat ini dalam kenyataannya
masyarakat seperti tidak percaya kepada hukum sebagai satu-satunya solusi atas
permasalahan yang terjadi disekitarnya. Mungkin hal ini disebkan karena sudah sangat
kronisnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum, istilah ini tidak lazim dipakai
dalam bahasa Indonesia dimana penyumbang krisis tersebut adalah dari para penegak
hukumnya sendiri.
Para pencari keadilan yang notebane adalah masyarakat kecil sering dibuat
frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit.
Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba
yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan
hewan besar tetapi hewan tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-
laba. Contoh paling nyata adalah penanganan kasus-kasus korupsi, hampir sebagian besar
permasalahan yang mengindikasikanadanya tindak pidana korupsi tidak pernah tersentuh
oleh hukum. Apalagi jika kasus tersebut melibatkan “orang-orang besar” yang dekat
dengan kekuasaan dan konglomerat. Kalaupun hal ini ditindak lanjuti oleh pihak
kkejaksaan, maka kelanjutan kasus tersebut semakin suram. Karena biasanya kasus-kasus
yang melibatkan”orang-orang besar” akan di “ peti-es”kan oleh kejaksaan dengan
mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan)atau kalaupun sampai masuk
ke pengadilan, maka akan dikenakan pemidanaan yang sangat ringan atau putusan
bebeas.

Saat ini seringkita menyaksikan peristiwa-peristiwa miris, penggusuran orang


miskin kota, ‘penggarukan’ anak jalanan, ‘penertiban’ pedagang kaki lima, tetepi disisi
lain penguasa malahmembiarkanpencurian harta negara dan uang rakyat oleh koruptor,
pemberian keringanan terhadap konglomerat hitam ‘ngemplang’ dana BLBI, pencabutan
subsidi kepada rakyat, kasusus busung lapar yang terjadi di NTT dan NTB yang
menistakan pembangunan yang kita lakukukan selama ini, industrisiliasasi pendidikan
dan penjualan aset-aset negara kepada pihak swasta asing. Kesemuanya itu dilakukan
oleh pemerintah dengan dalaih untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Disisi lain kita melihat proses dehumanisasi ini semakin cepat yang diakibatkan
oleh kehancuran moral dan ahlak manusia. Manusia tidak lagi memiliki rasa empati
terhadap manusia lainnya yang ditimpa kemalangan, disisi lain negara telah tidak lagi
“mengurusi” rakyatnya. Masyarakat mulai frustasi dengan sisitem yang dibuat oleh
negara, karena jelas bahea sisitem yang ada sangat tidak memihak kepentingan orang
banyak. Sistem tersebut lebih memihak kepada para pemodal, politisi busuk, konglomerat
hitam,penjahat kemanusiaan, penjarah uang rakyat, dan penguasa yang menyembah
berhala materialisme.

Masyarakat sudah tidak percaya lagi kepda keadilan yang ditegakkan oleh hukum,
masyarakat juga tidak lagi mau memperhatikan nilai-nilai moral dan susila yangselama
ini mapan. Kemudian kita rasakan bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini mengarah
pada pemikiran yang formalistik, intoleransi, kebekuan dan kejmudan fanatisme buta,
serta semakin menguatnya paham-paham otoriter dan fasisme (Fakih,2002:xiv).

2. Fenomena “Pengadilan Rakyat”

Fenoomena “pengadialan rakyat” kiranya bisa menjadi suatu sinyalamen adanya


kebekua tersebut. Eigenriclzting atau tindakan main hakim sendiri yang oleh prof.
Sudikno Mertokusumo diartikan sebagai tindakan untuk mlaksanakan hak
menurutkehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain
yang berkepentingan (Mertokusumo,1996:23), sepertinya menjadi satu jawaban atas
ketidak percayaan terhadap sistem sosial yang kita bangun selama ini yang termanifestasi
dalam tata aturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat melalui seperangkat
norma,kaidah, dan peraturan legal formal perundang-undangan Negara. Rakyat yang
dalam wujud kesehariannya dikenal sebagai massa, baik secara berkelompok-kelompok
maupun secara massal, dalam “mengadili” pelaku yang diduga meresahkan dan
mengacaukan kehidupan masyarakat, pada umumnya lebih didasarkan pada perasaa
emosional sesaat dengan perlakuan yang tampa kompromi sedikit pun. Sehingga dengan
demikian sudah pasti tidak ada peluang untuk menyelesaikannya dengan cara ber-KKN
atau suap-menyuap sebagaiman kebiasaan dari kebanyakan penegak hukum selama ini.
Profesor Donalt Black (dalam Behavior of law,1976) merumuskan bahwa ketika
pengendalian sosial oleh pemerintah yang sering dinamakan hukum tidak jalan, maka
bentuk laindari pengendalian secara otornatis akan muncul (Ali dalam Kompas
26/06/2002). Suka atau tidak suka, tindakan-tindakan individu maupun massa yang dari
kacamata yuridis dapat digolongkan sebagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting),
pada hakikatnya merupakan wujud pengendalian sosial oleh rakyat.
Adaya praktik “pengendalian rakyat” yang bukan lagi sebagai fenomena, akan
tetapi sudah semakin menguat dalam tradisi masyarakat ini, paling tidak perlu dijadikan
cambuk yang sangat keras bagi para pemimpin bangsa, wakil-wakil rakyat yang diberi
amanah untuk itu dan terutama kepada para penegak dan pembela hukum di negeri ini.

3. Mafia Peradilan

Masalah yang sering menjadi sorotan sejak dahulu adalah mandulnya institusi
penegak hukum. Kepolisian, kejaksaan, hakim dan pengacara seakan menjadi jejaring
(baca: mafia) peradilan yang terus mencari “mangsa” yang notabane para pencari
keadilan. Uang menjadi suatu hal yang menjadi prinsip dalam penyelesaian persoalan-
persoalan hukum. Azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan hanya menjadi
slogan saja, karena kenyataan malah berbelit-belit, lama dan mahal. Peradilan menjadi
seperti kantor lelang yang menjajankan “dagangan-hukumnya” dengan variasi harga
denag penawaran tinggi.

Istilah mafia yang mungkin kita kenal selama ini adalah cerita-cerita tentang
mafia Sisilia di Italia yang menjalankan kejahata-kejahatan secara terorganisasi. Kita
disini menggunakan kata “mafia” untuk menunjukan pada praktik korup peradilan,
karena kata ini dianggap mewakili jejaring korupsi di lingkungan peradilan dan penegak
hukum. Kata ini menunjukan pada satu bentuk korupsi yang dilakukan dari kepolisian,
kejaksaan, hingga ke pengadilan (disina termasuk Hakim dan Panitera), yang juga
melibatkan Pengacara. Yang sering dijadikan apologi oleh para petinggai penegak hukum
tersebut adalah perilaku korup tersebut dilakukan oleh oknum, bukan institusi. Tetapi
peryataannya jiak yang melakukan perilaku korup tersebut adalah semua orang yang ada
dalam institusi, sulit kita membedakan apakah ini oknum ataukah institusinya yang
bobrok.
DAFTAR PUSTAKA

Apeldoorn, L.J.van:

- Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan Mr. Oetarid Sadino, Pradnya Paramita,


Jakarta, 1976.

Bambang Purnomo S.H :

- Azas-azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1978

Koendjaraningrat

- Metode Antrhopology, Penerbit Universitas, 1958.

Kusumaatmadja, Mochtar :

- Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Binacipta,


Bandung.
- Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum, Binacipta, Bandung.

Pudjawijatna,I.R. :

- Pembimbing Kearah Alam Filsafat, P.T. Pembangunan Jakarta, 1963.

Paton, G.W :

- A Textbook of Jurisprudence, Oxford Clarendon Press, 1955.

Purbacaraka, Purnadi dan Sourjono Soekanto :

- Perihal Kaidah Hukum, Alumni Bandung, 1978.


- Renungan Tentang Filsafat Hukum, Lemabaga Penelitian Hukum Fakultas
Hukum Unsri, Palembang, 1978.
Pound, Roscoe :

- Pengantar Filsafat Hukum, Terjemahan Drs. Mohammad Radjab, Bhratara


Jakarta, 1972.
- Tugas Hukum, Terjemahan Drs. Mohammad Radjab, Bhratara Jakarta, 1975.

Soetikno :

- Filsafat Hukum, Jilid I & II Pradnya Paramita, Jakarta, 1976.

Soekanto, Soerjono :

- Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Jakarta, 1977.

Satjipto Rahadjo :

- Ilmu Hukum, Alumni, 1982.

Soedjono, D

- Pengantar Tentang Psikologi Hukum, Alumni, 1983.

Asdi, Endang Daruni, 1990, Imp Ertif Kategoris Dalam Filsafat Moral,
Immmanuel Kant, Yogyakarta: Lukman Offset

Friedman, W., 1990, Teoti dan Filsafat Hukum, Susunan I, Jakarta: Rajawali Press.

----------------, 1990, Teoti dan Filsafat Hukum, Susunan II, Jakarta: Rajawali Press.

Hazairin, 1981, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Jakarta: Bina Aksara.

Mertokusumo, Sudikno, 1996, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberti,


cet 2.

Nasution, Harun, Notohamidjodjo, Filsafat Islam, Jakarta: Artikel Yayasan Paramadina,


t.t.
Ohoitimur, Yong, 1997, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Setierdja, A. Gunawan, 1990, Dialektika Hukum dan Moral, Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai