Filsafat
dan
Teori Hukum
D
Medan
DAFTAR ISI
HUKUM .............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Tidak dapat kah ilmu pengetahuan menjawabnya? Dapat : hanya tidak dapat ia
memberikan jawaban yang serba memeuaskan, karena ia tidak lain daripada jawaban
sepihak, karena ilmu pengetahuan hukum hanya melihat apa yang dapat dilihat oleh
pancaindera, bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang tersembunyu
didalamnya; ia semata-mata melihat hukum sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam
perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. Kaidah-kaidah
hukum sebagai pertimbangan nilai terletak diluar pandanganny. Kaidah-kaidah hukum
termasuk dunia yang lain daripada kebiasaan-kebiasaan hukum. Kaidah hukum bukan
termasuk dunia kenyataan, dunia “sein”, dunia alam (natuur), melainkan termasuk
dunia nilai, termasuk dunia “sollen” dan “mogen”, jadi termasuk dunia yang lain dari
dunia penyidik ilmu pengetahuan. Dimana ilmu pengetahuan hukum berakhir,
disanalah mulai filsafat hukum; ia mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak
terjawab oleh ilmu pengetahuan. Jumlah pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak
terhingga banyaknya, ilmu pengetahuan tidak member jawabaa satu pun juga atas
pertanyaan hukum tersebut. Segala pertanyaan hukum dapat merupakan objek
pertimbangan filsafat, sebagaimana juga Socrates membuat hal-hal dari hidup sehari-
hari yang biasa sebagai titik pangkal dari pandangan-pandangan filsafatnya. Akan
tetapi, ahli hukum pada hakikatnya lebih suka mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang
terpenting. Apa yang dimaksud dengan itu merupakan pula suatu penilaian dalam
pandangan seorang penyidik yang memegang peranan yang penting. Keadaan waktu
dapat mempengaruhi pandangan itu, sepanjang ia dapat membuat pertanyaan-
pertanyaan tertentu menjadi masalah-masalah yang penting. Namun, ada juga
pertanyaan-pertanyaan yang pokok, yang menjawabnya, rupa-rupanya merupakan
permulaan dari segala kepandian jurudik dan justru karena itu adalah sukar. Peranyaan-
pertanyaan yang timbul dengan mendesak pada tiap-tiap manusia yang memikirkan
keadilan dan ketidakadilan, dan yang juga dipelajari oleh ahli-ahli pikir yang besar-
besar dari setiap zaman. Kita akan berhenti sebentar pada masalah pokok tentang
filsafat hukum itu, tentunya bukan untuk segera memberi jawaban , melainkan hanya
dengan harapan, membengkitkan perhatian untuk soal itu.
Filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang
tidak dapat diraba oleh pancaindera” dari hukum (deonzichtbare ethische wereld achter
het recht) filsafat hukum menjadi suatu ilmu normative, seperti halnya dengan (ilmu)
politik hukum. Filsafat hukum berusaha mencari suatu “rechtsideal” yangdapat menjadi
“dasar hukum” dan “etis” (ethisch) bagi berlakunya system hukum positif suatu
masyarakat (seperti “grundnorn” yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa
jerman yang menganut aliran-aliran seperti neokantianisme). Filsafat pada umumnya
mencari “etische waarde” dan “ideale levenshouding” yang dapat menjadi dasar
petunjuk-petunjuk hidup kita. Pada zaman sekarang khusus dijerman dan amerika serikat
ada perhatian besar terhadap filsafat hukum. Di indonesia ada kecenderungan untuk
mendasarkan pelajaran hukum sebanyak-banyaknya atas filsafat (Universitas negeri Gaja
Mada). Kerugian (nadeel) yang dapat ditimbulkan oleh suatu pelajaran hukum yang
didasarkan atas filsafat ialah hal peninjauan para pelajar dapat dijauhkan dari
“sosialewerlekijkheid” dari hukum. Uraian lainnya tentang filsafat hukum adalah dari
Kusumadi Pudjosewojo (1961), yang mengajukan beberapa pertanyaan penting yang
harus diselidiki oleh filsafat hukum. Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan karena
sifatnya yang sangat mendasar tidak dapat dijawab oleh ilmu pengatahuan hukum.
Adapun pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan adalah sebagai berikut :
Menurut asal katanya, filsafat berasal dari kata yunani “Filosofia”. Filosofia
merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata “filo” dan “sofia”. Filo berate cinta (yaitu
ingin) dan sofia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, filosofia dapat diartikan sebagai
cinta akan kebijaksanaan .
Dari sudut isinya terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis
filsafat. Bagaimana pun, dari berbagai perumusan tadi dapat ditarik intisarinya bahwa
filsafat itu merupakan karya manusia tentang hakikat sesuatu.
Masal-masalh dasar yang menjadi perhatian para filsuf masa dahulu terbatas pada
masalah tujuan hukum. (terutama masalah keadilan), hubungan kaum alam dan hukum
positif, hubungan Negara dan hukum dan lain-lain. Filsafat hukum hanyalah merupakan
produk sampingan. Demi kelengkapan filsafatnya para filsuf harus juga membahas segala
aspek dari filsafat termasuk juga hukum. Walaupun terbatas pengaruhnya sangat besar
hingga saat ini. Pemikiran-pemikiran hukum dari plato, banyak memperoleh perhatian
dan pembahasan para ahlihukum dewasa ini.
I. Zaman purbakala
1. Masa yunani
a. Masa pra-socrates (±500 S.M)
b. Masa scrates, plato dan Aristoteles
c. Masa stoa
2. Masa Romawi
a. Cicero
b. St. agustinus dan lain-lain
II. Abad Pertengahan
1. Masa Gelap
2. Masa Scholastik
III. Zaman Renaissance
IV. Zaman baru
V. Zaman Modern
Dimulai dengan masa pra-socrates (disebut demikian oleh karena para filsuf pada
masa itu tidak dipengaruhi oleh filsuf besar Socrates), boleh dikatakan filsafat hukum
belum berkembang. Alasan utama karena para filsuf pada masa ini memusatkan
perhatiannya kepada alam semesta, yaitu yang menjadi masalah bagi mereka tentang
bagaimana terjadinya alam semesta ini. Filsuf Thales yang hidup pada tahun 624-548
S.M. mengemukakan bahwa alam semesta terjadi dari air. Anaximandros mengatakan
bahwa inti alam itu adalah suatu zat yang tidak tentu sifat-sifatnya yang disebut To
Apeiron. Anaximenes berpendapat sumber dari alam semesta ialah udara. Sedang
Pitagoras yang hidup sekitar 532 S.M. menyebutkan bilangan sebagai dasar dari segala-
galanya.
Dari sekian filsuf alam tersebut diatas, Pitagoras menyinggung sepintas tenteng
salah satu isi alam semesta, yaitu manusia. Menurut pendapatnya, tiap manusia itu
memiliki jiwa yang selalu berada dalam proses Katharsis, yaitu pembersihan diri. Setiap
kali jiwa memasuki tubuh manusia, maka manusia harus melakukan pembersihan diri
agar jiwa tadi dapat masuk kedalam kebahagiaan. Jika dinilai tidak cukup melakukan
Katharsis jiwa itu akan memasuki lagi tubuh manusia lain. Pandangan pitagoras diatas
penting dalam kaitannya dengan mulai disinggungnya manusia sebagai objek filsafat.
Sebab bagaimana telah disinggung dimuka, hanya dengan kaitan manusia ini,
pembicaraan akan sampai kepada hukum.
Kaum Sofist yang alhir pada akhir abad lima dan permualaan abad empat sebelum
masehi menekankan pembedaan antara alam (physis) dan konvensi (nomos). Hukum
mereka masukkan kedalam kategori terakhir karena menurutnya hukum adalah hasil
karya cipta manusia (hukum invention) dan menjustifikasi (membenarkan) kepatuhan
pada hukum hanya sejauh memajukan keuntngan bagi yang bersangkutan. Pada masa ini
masalah filsafat hukumyang penting untuk pertama kalinya dirumuskan hukum dalam
defenisi formal. Alcibiades (Xenophon, Memorabilis I, 2) mengatakan pada Pericles
menjawab bahwa tidak ada seorangpun yang patut menerima pujian kecuali jika ia
mengetahui apa suatu (aturan) hukum itu. Pericles menjawab bahwa aturan hukum
adalah apa yang disetujui dan diputuskan (enacted) oleh mayoritas dalam dewan.
Keputusan yang diperoleh hanya dengan paksaan (compulsion) adalah kekuatan saja dan
bukan hukum, sekalipun aturan hukum itu diberlakukan oleh kekuasaan yang sah
(souvereign power) dalam Negara. Dalam percakapan antara Socrates dan Hippias (sofis)
mempertahankan bahwa hukum (law) adalah apa yang sesuai dengan hukum (lawful)
identik dengan keadilan (justice) atau apa yang benar (right). Mereka mengaku kaidah
hukum (laws) dapat diubah atau dihapuskan.
Bila kaum sofis menganggap bahwa manusia bersifat egoisd an antisocial, maka
Socrates, Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang
dimotivasi oleh perhatian bagi orang lain dan perhatian bagi diri sendiri, yang
memperoleh kebahagian dalam kehidupan sosial.
Plato telah membahas hampir semua masalah yang tercakup dalam filsafat
hukum. Baginya keadilan (justice) adalah tindakan yang benar, tidak dapat diidentifikasi
dengan hanya kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah suatu cirisifat manusia
yang mengkoordinasi dan membetasi pelbagai elemen dari psike manusia pada
lingkungannya yang tepat (proper spheres) agar krmungkinan manusia dal keutuhannya
berfungsi dengan baik.
Menurut Plato hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos)
yang dirumuskan dalam keputusan Negara (laws, 644d). ia menolak anggapan bahwa
otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerinta
(governing power).
Aristoteles tidak pernah mendefenisikan hukum secara formal. Ia membahas
hukum dalam berbagai konteks. Dengan cara yang berbeda-beda Aristoteles mengatakan
bahwa “hukum adalah suatu jenis ketertiban dan hukum yang baik adalah ketertiban yang
baik” (politics 1326a), akal yang tidak dipengaruhi oleh nafsu” (ibid. 1287.a) dan “jalan
tengah” (ibid. 1287.b).
Seperti juga Plato, Aristoteles menolak pandangan kaum sofis bahwa hukum
hanyalah konvensi. Namun demikian ia juga mengakui bahwa seringkali hukum hanyalah
merupakan ekspresi dari kemauan suatu kelas khusus (sekelompok orang, a particular
class) dan menekan peranan kelas menengah (middle class) sebagai suatu factor
stabilisasi.
Abad pertengahan, yang merupakan masa yang khas, yang ditandai dengan suatu
pandanga hidup manusia yang merasa dirinya tidak berarti tanpa Tuhan, dimana
kekuasaan gereja demikian besarnya mempengaruhi segala kehidupan, akhirnya
berlalu, dan muncul suatu zaman baru yang disebut Renaissance. Zaman ini
ditandai dengan tidak terikatnya lagi alam pikiran manusia dari iktana-ikatan
keagamaan, manusia menemukan kembali kepribadiannya. Akibat dari perubahan
ini, terjadi perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan
teknologi yang sangat pesat, berdirinya Negara-negara baru, ditemukannya dunia-
dunia baru, lahirnya segala macam ilmu-ilmu baru dan sebagainya. Semua itu
akan terjadi oleh karena adanya kebebasan dan para individu untuk menggunakan
pikirannya tanpa adanya rasa takut.
Filsuf hukum yang paling penting pada abad ketujuh belas, Thomas Hobbes
(1588-1679) memutuskan tradisi hukum alam yang menimbulkan banyak
kontroversi. Ia banyak menggunakan istilah-istilah “hak alamiah” (law of nature)
dan “akal beriar” (right reason). Akan tetapi, yang pertama baginya adalah tidak
lain “kemerdekaan yang tiap orang miliki untuk menggunakan kekuasaan
(kekuatan) nya sendiri menurut kehendaknya sendiri, demi preservasi hakikatnya
sendiri, yang berarti kehidupannya sendiri”. (Leviathan 14); yang kedua adalah
azas-azas kepentingan sendiri (self-interest) yang seringkali diidentifikasikan
yang ketiga. Kondisi alamiah dari manusia adalah peperangan abadi (perpetual
war) dimana didalamnya tidak ada standar perilaku yang berlaku umum.
Filsafat hukum Immanuel Kant (1724-1804) dapat disebut sebagai filsafat tentang
keadilan yang didalamnya konsep kebebasan memainkan peranan sentral. Kant
berusaha menemukan suatu pemahaman sistematk mengenai suatu azas-azas yang
melandasi semua kaidah hukum positif yang akan memungkinkan kita
menentukan kesesuaian kaidah hukum tersebut dengan azas-azas moral. Kaidah-
kaidah hukum dibedakan dari kaidah-kaidah moral dala hal mengatur perilaku
eksternal terlepas dari motivasi-motivasinya, mesti tidak berarti hakim harus
mengabaikan motivasi pelanggaran hukum pada saat menjatuhkan hukuman.
Kaidah hukum melibatkan kewenangan (authority) untuk memaksakan kepatuhan
dan untuk menghukum pelanggaran-pelanggaran.
Ad V. Zaman Modern
Rudolf von Jhering (1818-1892) menolak teori Hegel karena Hegel menganggap
hukum sebagai suatu ekspresi dari kemauan umum (general will) dan tidak
mampu melihat bahwa faktor-faktor utilitaristis dan kepentingan-kepentingn
menentukan eksistensi hukum. Jhering juga menolak anggapan bahwa hukum
adalah ekspresi spontan dari bawah sadar (sunconscious forces) seperti yang
dikatakan Savigny. Ia juga menolak Savigny karena Savigny tidak dapat melihat
peranan dari perjuangan secara sadar untuk melindungi kepentingan-kepentingan.
Namun seperti juga para Hagelian, Jhering menganut orientasi cultural yang luas.
Kontribusi Jhering adalah keyakinannya (penekenannya) bahwa fenomena hukum
tidak dapat dipahaim tanpa pemahaman sistematik terhadat tujuan-tujuan yang
telah menimbulkan (fenomena hukum), studi tentang tujuan-tujuan itu yang
berakar dalam kehidupan yang sosial yang tanpa itu tidak akan mungkin ada
aturan-aturan hukum. Tidak ada tujuan berarti tidak ada kemauan.
Ilmu-ilmu hukum
Politik hukum
Filsafat hukum
Teori hukum
Sosiologi hukum
Perbandingan hukum
Sejarah hukum
Ilmu hukum positif
Teori Hukum
Selain istilah teori hukum, cabang ilmu hukum ini dikenal juga dengan sebutan
pelajaran ilmu umum, ilmu hukum sistematis, atau ilmu hukum dogmatis. Teori hukum
mempelajari tentang pengertian-pengertian pokok dan sistematika hukum. Pengertian-
pengertian pokok itu seperti misalnya subyek hukum, perbuatan hukum, obyek hukum,
peristiwa hukum, badan hukum dan lain-lain, memiliki pengertian yang bersifat umum
dan bersifat teknis. Pengertian-pengertian pokok ini amat penting untuk dapat memahami
system hukum pada umumnya, maupun system hukum positif. Oleh karena itu, teori
hukum dipelajari secara intensif mendahului teori hukum positif dan dilanjutkan secara
lebih mendasar melalui suatu cabang ilmu yang lain yaitu filsafat hukum.
Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah cabag ilmu sosilogi yang mempelajari hukum sebagai
suatu gejala sosial,. Sebagai salah satu ilmu ayng masih muda, hingga saat ini belum
berkembang sebagaimana yang diharapkan. Menurut Apeldoorn, lambatnya
perkembangan ilmu ini oleh karena masih terdapat perselisihan dikalangan para ahlinya
tentang apa yang menjadi ruang lingkup penyelidikan. Selain itu, pada mula lahirnya,
banyak memperoleh tantangan dari para ahli hukum di satu pihak maupun para ahli
sosiologi di lain pihak.
Perbandingan Hukum
Mempelajari hukum dari segi sejarahnya mulai dikenal setelah Friedrich Carl von
Savigny, pelopor mazhab sejarah, mengguanakannya dalam penyelidikan hukum yang
dilakukannya. Dengan menggunakan metode ini, dicari asal mula suatu system hukum
dalam suatu Negara/masyarakat, perkembangannya dari dahulu hingga sekarang.
Beberapa pertanyaan penting yang mampu dijawab dengan melalui metode ini ialah
(Satjipto Raharjo 9182:316) :
Antropologi Hukum
Seperti diketahui, perhatia para ahli antropologi budaya terhadap hukum bermula
sesudah tahun 1919 ditandainya dengan terbitnya beberapa karangan penting, yaitu dari
R.F Barton tentang system hukum suku bangsa ifugao di Luzon, Pilipina, B.Malinowski
tetntang penduduk trobriand Irian Timur, R.S Ratharay tentang penduduk Ashanti, Afrika
Barat (Koentjaraningrat, 1958:315) .Dari kalangan ahli hukum sendiri, pada pertengahan
abad ke-19, diketahui banyak dihasikan karangan-karangan dibidang teori antropologi
budaya. Beberapa diantaranya juga membahas mengenai hukum. Metode yang digunakan
ialah perbandingan hukum, yaitu menbandingkan system hukum Eropa dan system
masyarakat setempat.
Psikologi Hukum
1. Psikologi perkembangan atau juga disebut psikologi genetis yaitu psikologi yang
membicarakan perkembangan psyche manusia dari kecil sampai tua, dan
psikologi ini mencakup:
a. Psikologi anak
b. Psikologi puber dan adolesensi (psikologi pemuda)
c. Psikologi orang dewasa
d. Psikologi orang tua
2. Psikologi Sosial
Yaitu psikologi yang khusus menguraikan tentang kegaiatan-kegiatan atau
aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial, misalnya
seperti situasi kelompok, situasi massa dan sebagainya.
3. Psikologi Pendidikan
Yaitu psikologi yang khusus menguraikan kegiatan-kegiatan antara aktivitas-
aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi pendidikan, misalnya
bagaimana cara menarik perhatian agar para pelajar dengan mudah dapat
diterima, bagaimana cara belajar dan sebagainya.
4. Psikologi Kepribadiaan dan Typologi
Yaitu psikologi yang khusus menguraikan tentang struktur kepribadiaan manusia,
serta mengenai tipe-tipe kepribadian manusia.
5. Psychologidifferential dan psikodiagnotis
Yaitu psikologi yang khusus membicarakan tentang perbedaan antara individu
satu dengan individu lainnya, misalnya dalam segi bakatnya da mengenai cara-
cara menentukan perbedaan-perbedaan tersebut.
6. Psikopatologi
Yaitu psikologi yang khusus menguraikan mengenai keadaan psikis yang tidak
tampak (abnormal)
7. Psikologi Kriminal
Yaitu psikologi yang khusus berhubungan dengan soal kejahatan atau kriminalitas
8. Psikologi Perusahaan
Yaitu psikologi yang khusus berhubungan dengan soal-soal perusahaan.
Jurimetriks
Tentang sejauh mana manfaat mempelajari filsafat hukum, dikutip dibawah ini
pendapat Mochtar Kusumaatmdja (1975:9), sebagai berikut:
BEBERAPA ALIRAN/MAZHAB
a. Legal Positivism
b. Pragmatic Legal Realism
c. Neo Kantian and Ethical Jurisprudence
d. Functional Antrhopological or Sociological Jurisprudence
e. Naturalistic Jurisprudence
Aliran ini berpendapat bahwa hukum itu berlaku universal dan abadi.
Menurut Friedmann sejarah tentang hukum alam adalah sejarah umat manusia
dalam sejarahnya untuk menemukan apa yang dinamakan absolute justice( keadilan yang
mutlak) disamping sejarah tentang kegagalan umat manusia didalam kegagalan tersebut.
Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakat dan keadaan
politik.
Sepanjang sejarah dapat diketahui banyaknya peranan hukum ini dalam berbagai
fungsi, seperti misalnya:
Hukum alam yang bersumber dari Tuhan dianut misalnya oleh kaum Scholastik
abad pertengahan seperti pemikiran dari Thomas van Aquino, Gratianus (decretum), Jhon
Salisbury, Dante, Pierre Dubois, Marsilius Padua, Johannes Hush, dan lain-lain.
Mengenai konsepsinya tentang hukum alam ini, Thomas Aquino menbagi azas-
azas hukum alam itu menjadi 2 (dua) jenis, yaitu Principia Prima dan Principia
Secundaria. Principia Secundaria diturunkan dari Principia Prima itu tidak lain asas-
asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir dan bersifat mutlak dalam arti tidak dapat
diasingkan darinya. Karena sifatnya yang demikian, Principia Prima itu tidak dapat
berubah ditempat manapun dan dalam kaedaan apapun. Sebagai contoh misalnya sepuluh
perintah Tuhan.
Sebelum lahirnya aliran ini telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum
dikenal sebagai legisme. Pemikiran hukum ini berkembang sejak abad pertengahan dan
telah banyak berpengaruh diberbagai Negara tidak kecuali Indonesia. Aliran ini
mengidentikan hukum dengan undang-undang. Tak ada hukum diluar undang-undang.
Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Dijerman pandangan ini banyak
dianut dan dipertahankan oleh misalnya Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jhering,
Hans Nawiasky, Hans Kelsens, dan lain-lain. Dinegara inggris berkembang dalam bentuk
yang agak lain yang kita kenal dengan Positivisme hukum seperti dari Jhon Austyn
dengan Analitycal Jurisprudencenya/positivismenya. Agak berlainan oleh karena hukum
yang berlaku dinegara inggris adalah common law tidak tertulis. Diindonesia sendiri
pengaruh pemikiran legisme itu sangat jelas dapat dibaca pada pasal 15 Algemene
Bepalingen van Wetgeving yang antara lain berbunyi (dalam bahasa Indonesia) :
Ada dua buku Jhon yang terkenal yakni “The Province of Jurisprudence
Detremined” dan “Lectures of Jurisprudence”. Buku kedua berisikan kuliah-kuliah
Autisn semasa hidup tentang Jurisprudence. Tentang hukum, Austin berkata dalam buku
kumpulan tersebut sebagai berikut : “law is a command of the Lawgiver”. Hkum
merupakan perintah dari penguasa- dalam arti bahwa printah dari mereka yang
memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Selanjutnya, Austin
berkata bahwa hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur mahluk yang
berfikir, perintah yang dilakukan oleh mahluk yang berfikir yang memegang dan
mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu system yang logis,
tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari
keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk.
Menurut Jhon Asutin, apa yang dinamakannya sebagai hukum (point b pertama)
mengandung didalamnya suatu perintah, saksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-
ketentuan yang tidak memenuhi unsure-unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
positive law, tetapi hanyalah merupakan positive morality. Unsur perintah ini berarti
bahwa pertama satu pihak menghendaki orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak
yang diperintah akan mengalamipenderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati,
ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, keempat, hal
ketiga dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Yang
berdaulat ini mungkin a souvereign person atau a souvereign body of person.
a. Ajaran tidak berkaitan dengan soal atau penilaian baik dan buruk, sebab penialain
tersebut berada diluar hukum
b. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhada masyarakat, namun
secara yuridis tidak penting bagi hukum.Astin memisahkan secara tegas antara
moral didatu pihak dan hukum dipihak lain
c. Pandangannya bertolak belakang dengan, baik penganut hukum alam maupun
mazhab sejarah
d. Hakikat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari
yang berdaulat/penguasa
e. Kedaulatan adalah hal diluar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau
sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang
telah ada dalam kenyataan
f. Ajaran Austin kurang/tidak memberiakn tempat bagi hukum yang hidup dalam
masyarakat.
II. Ajaran Hukum Murni dari Hans Kelsen
Kami golongkan juga ajaran ini pada aliran positivism oleh karena pandangan-
pandangannya yang tidak jauh berbeda dengan Austin. Hans Kelsen sebagai seorang Neo
Kantian aga berbeda pemikirannya misalnya dengan Neo Kantian yang lain Rudolf
Stammler. Hans Kelsen tegas tidak menganut berlakunya suatu hukum alam walau
mengemukakan adanya asa-asas hukum umum sebagaimana tercermin dalam
Grounnorm/Ursprungnormnya. Sebaliknya Rudolf Stammler sebagaimana telah
diuraikan pandangannya terdahulu, menerima dan menganut berlakunya suatu hukum
alam walau ajaran hukum alamnya adalaha hukum alam yang tidak universal, tetapi daya
berlakunya dibatasi oleh ruang dan waktu.
Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan.
Pertama, ajarannya tenyang hukum yang bersifat murni dan kedua yang berasal dari
muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang mengutamakan tentang adanya
hirarki dari pada perundang-undangan.
Inti ajaran murni Hens Kelsen adalah :
Bahwa hukum itu harus dibersikan dari anasir-anasir yang tidak yuridis
seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya.
Dari unsur etis berarti, konsepsi hukum Hans Kelsen tidak member tempat
berlakunya suatu hukum alam. Etika memberikan suatu penilaian tentang baik dan buruk.
Ajaran Kelsen menghindari diri dari soal penilaian ini.
Dari unsur sosiologis berarti bahwa ajaran hukum Hens Kelsen tidak member
tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembangdidalam masyarakat. Ajaran
hukum Kelsen hanya memandang hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama
sekali terlepas dari desain/atau kenyataan sosial. Hukum merupakan sollenskategori dan
bukan seinskategori : orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk enaatinya
sebagai suatu kehendak Negara. Hukum itu tidak lain merupakan sebagai suatu kaidah
ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya. Yang membeli
barang seharusnya membayar. Apakah dalam kenyatan sipembeli itu membayar atau tidak
itu soal yang menyangkut kenyataan dalam masyarakat dan hal itu bukan menjadi wewenang
ilmu hukum.
Ajaran Stufenteori berpendapat bahwa suatu system hukum adalah suatu hirarki
dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum
lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang lebih tinggi adalah Grundnorm atau
norma dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret
daripada ketentuan yang lebi tinggi. Sebagaimana contoh, dapat kiat lihat dalam
ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republuk Indonesia yang menetapkan sebagai berikut:
Menurut Kelsen antara ilmu hukum yang merupakan usaha untuk memperoleh
ilmu hukum positif disatu pihak dengan politik hukum sebagai suatu usaha untuk
menegakkan keadilan dilain pihakharus dibedakan. Ajaran murni tentang hukum adalah
suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang
senyatanya itu, yakni apakah hukum positif yang senyatanya itu adil atau tidak adil. Ini
bukan berarti terdapat pertentangan antara sebagian dari peraturan-peraturan tertentu
terhadap peraturan-peraturan lainnya sebagai keseluruhan. Karena menurut ajaran Hans
ini hukum adalah identik dengan hukum positif atau undang-undang maka yang dapat
dibicarakan oleh filsafat hukum terbatas pada perihal tentang melawan hukum dan tidak
melawan hukum, yaitu tentang apa yang dilarang atau yang diizinkan oleh hukum positif.
Terhadap hal ini telah dipermasalahkan dalam ilmu-ilmu hukum positif sehingga dengan
begitu filsafat hukum bagi ajaran Hans Kelsen ini tampaknya tidak diperlukan lagi.
Kekuatan pengaruh dari ajaran Hans Kelsen ini terletak pada upayanya yang
senantiasa menyingkirkan setiap pertanyaan yang timbul, baik dari hukum positif pada
umumnya maupun dari ajaran positivisme Hukumnya sendiri. Positivism hukum yang
sesungguhnya adalah suatu positivism karena ia beranggapan tidak ada tempat bagi
teorinya untuk mempermasalahan pertanyaan-pertanyaan tadi. Dengan begitu, positivism
hukum ini tampaknya seolah-olah menolak filsafat hukum, namun secara diam-diam
menyatakan dirinya sebagai filsafat hukum adalah mengidentikkan hukum dengan tata
hukum dalam versi undang-undang, hukum yang tertulis, yang merupakan pencerminan
dari kehendak serta disahkan oleh penguasa sesuai dengan ajarannya bahwa filsafat
hukumnya dalah filsafat hukum positivistic atau otentik. Dengan demkian, secara teoritis
hal ini akan berakibat bahwa para yuris khususnya para hakim tidak akan berdaya untuk
membentah jika mereka diperintahkan melakukan apa saja sepanjang perintah itu datang
dari pejbat atau badan yang memiliki kekuasaan untuk juga memaksakan pelaksanaan
perintahnya tersebut.
Dilain pihak ajaran positivism hukum dari Hans Kelsen ini mengandung
kelemahan.
C. ALIRAN UTILITARIANISME
Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-183) Jhon Stuart mill (1806-
1873), Rodolf von Jhering (18..-1889). Dengan memegang prinsip manusia akan
melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan
mengurangi penderitaan, Bentham mencoba menerapkannya dibidang hukum. Atas dasar
ini, baik buruknya suatu perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikian
pun dengan perundang-undangan, baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut
diatas. Jadinya, undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian
terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik.
D. MAZHAB SEJARAH
Pendasar dari mazhab ini ialah Friedrich Carl von Savigny dan Puchta. Ada dua
pengaruh terhadap lahirnya mazhab ini, yakni pengaruh Monstesque dalam buku
“L’espirt de Lois” yang terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara
jiwa sesuatu bangsa dengan hukumnya dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai
timbul diawal abad ke-19. Lahirnya mazhab ini merupakan suatu reaksi yang lansung
terhadap suatu pendapat yang diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya yang
berbunyi Uber Die Notwendigkeit Einis Allgemeinen Bulgerlichen Rechts Fur
Deutshland- keperluan akan adanya kondifikasi hukum perdata bagi negeri jerman. Ahli
hukum perdata jerman ini menghendaki agar dijerman diberlakukan kondifikasi perdata
dengan dasar hukum perancis (kode napoleon). Seperti diketahui setelah perancis
meninggalkan jerman timbul masalah hukum apa yang hendak diperlakukan dinegara ini.
Juga, merupakan suatu reaksi yang tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran
hukum positif.
Bagaimanakah inti pemikiran dari mazhab sejarah ini? Dalam buku Von Savigny
yang termasyur “von beruf unserer zeit fur gesetzgebung und rechtswissenschaft”-
tentang tugas zaman kita bagi pembentukan undang-undang dan ilmu hukum, antara lain
dikatakan :
Das recht wrid nicht gemacht, est is und wird mit dem volke
Hukum itu tidak dibuat tetapi, tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat.
E. SOCIALOGICAL JURISPRUDENCE
Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen Ehrlich,
Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain. Inti pemikiran mazhab ini yang
berkembang di Amerika :
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup didalam masyarakat.
Mezhab ini mengetengahkan tentang pentingnya Living Law hukum yang hidup
didalam masyarakat. Dan kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu
senthese dari Desentnya, yaitu positivism hukum dan antidesenya mazhab sejarah.
Dengan demikian, sociological jurisprudence berpegang kepada pendapat pentingnya,
baik akal maupun pengalaman. Pandangan ini berasal dari Roscoe Pund yag inti sarinya
antara lain: kedua konsepsi masing-masing aliran (maksudnya positivism hukum dan
mazhab sejarah) ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup mengahdapi ujian akal
dapat hidup terus. Yang menjadi unsure-unsur kekal dala hukum itu hanyalah pernyataan-
pernyataan akal yang berdiri diatas pengalama dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman
dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat
bertahan sendiri didalam system hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan
dikembangkan oleh akal, yang diumumkan oleh wibawa oleh badan-badan yang
membuat undang-undang atau mengesahkan undang-undang yang dibuat dalam
masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu sendiri.
Friedman membahas mazhab ini dalam kaitannya sebagai salah satu subaliran dari
positivism hukum. Sebab, pangkal pikiran dari mazhab ini masih bertitik tolak pada
pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum. Pendasar-pendasar dari mazhab ini
ialah Jhon Chipman, Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Liewellyn, Jerome Frank,
William James dan lain-lain. Rouscoe Puond pun dapat juga digolongkan pada mazhab
ini selain sociological jurisprudence berkenaan dengan pendapatnya bahwa hukum itu
merupaka A Tool of social angineering.
Menurut Liewellyn, realism ini bukanlah merupakan suatu aliran didalam filsafat
hukum, tetapi ialah merupakan suatu gerakan (movement) dala cara berfikir tenteng
hukum. Adapun cirri-ciri dari gerakan ini ialah :
Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum merupakan salah
satu sumber dari kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik
dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, intelegasia dan moral). Selain itu, hukum pun
merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh karena kekuasaan itu mempunyai sifat yang
buruk, yaitu selalu memegang merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki
kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya. Contoh yang popular adalah sepak
terjang raja yang absolute dan dictator.
Cara pertama dengan menelaah dari konsep sanksi. Adanya perilaku yang tidak
mematuhi aturan-aturan humuk yang menyebabkan diperlukan sanksi untuk menegakkan
peraturan-peraturan hukum tadi. Karena sanksi dalam kenyataannya merupakan suatu
kekerasan, maka penggunanya memerlukan legistimasi yuridis (pembenaran hukum) agar
menjadikannya sebagai kekerasan yang sah. Legistimasi yuridis yang dapat diberikan
untuk membenarkan digunakannya sanksi sebagai kekerasan yang sah adalah fakta,
bahwa perilaku ketidakpatuhan terhadap hukum tersebut merupakan yang pertama dari
kekerasan yang harus ditanggulangi, yaitu ditindak atau ditidakadakan dan jika mungkin
dicegah. Penanggulangan dari bentuk pertama kekerasan itu adalah dengan bentuk sanksi
sebagai kekerasan kedua, yaitu kekerasan yang sah. Dipergunakannya sanksi sedemikian
menyebabkannya sanksi tersebut harus ditetapkan atau dirumusakan oleh system aturan
hukum itu sendiri. Timbulnya pertanyaan, apakah sanksi itu harus dimasukkan essensi
daripada hukum? Agar sanksi dapat berfunsi denga baik sehingga semua system aturan
hukum dapat berdaya guna serta berhasil guna, mak diperlukan adanya kekuasaan (lorce)
yang memberikan dukungan tenaga maupun perlindungan bagi system aturan hukum
berikut dengan sanksi tersebut.
Cara kedua dengan menelaahnya dari konsep penegakan konstitusi. Pembinaan
system aturan-aturan hukum dalam suatu Negara yang teratur adalah diatur oleh hukum
itu sendiri. Perihal ini biasnya tercantum dalam konsitusi dari Negara yang bersangkutan.
Penegakan konstitusi itu, termasuk penegakan prosedur yang benar dalam pembinaan
hukum itu tadi mengamsumsukan digunakannya kekuatan (force).
Dalam uraian diatas terdapat istilah “kekerasan” dan “kekuatan”. Kedua istilah ini
digunakan dalam konteks penegakan aturan-aturan hukum. Dengan kekerasan diartikan
sebagai penggunaan kekuatan secara tidak sah. Pertanyaan yang timbul adalah, apa
artinya sah (yustifikasi) itu? Dalam pengertian hukum, kekuatan yang sah adalah
kekuatan yang diatur secara ekspilisit dalam kaidah-kaidah hukum positif. Penggunaan
kekuatan semacam inilah yang diartikan sebagai kekuasaan. Tampak disini terdapat
adanya dukungan yang erat antara hukum dengan kekuasaan, sebab kekuasaan
sedemikian akan memungkinkan seseorang atau sekelompok orang lain untuk
mewujudkan perilaku tertentu, yaitu perilaku hukum.
B. HUKUM SEBAGAI ALAT PEMBAHARUAN DALAM MASYARAKAT
Sifat mekanisme itu tampak dengan digunakannya istilah “tool” oleh Roscoe
Pound.
Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-
undang atau yurispudensi atau kombinasi keduanya. Seperti telah dikemukakan di muka,
di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-undangan. Yurispudence juga
berperan, namun tidak seberapa. Lain halnya dengan Negara-negara yang menganut
system presiden, sudah barang tentu peranan yurisprudence akan jauh lebih panjang.
Agar dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan
itu dapat berjalan sebagaiman mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk
itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran Sociological Yurisprudence,
yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat.
Aturan hukum disatu pihak dengan nilai-niali sosial budaya dilain pihak terdapat
kaitan yang erat. Hal ini telah dibuktikan berkat penyelidikan beberapa ahli antropologi
hukum, baik bersifat perintis seperty Sir Henry Maine, A.M. Post dan Yosef Kohler
maupun Malinowski dan R.H Lowie di abad ini.
Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai budaya masyarakat itu ternyata
bahwa hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang
hidup masyarakat.
Indonesia masa kini berada dalam masa transisi, yaitu sedang terjadi perubahan
nilai-nilai dalam masyarakat dari nilai-nilai yang bersifat tradisional ke nilai-nilai yang
modern. Namun mesih menjadi persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan
dengan nilai-nilai baru mana yang akan manggantikannya. Sudah barang tentu dalam
proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan-hambatan yang kadang-kadang
akan menimbulkan keresahan-keresahan maupun kegoncangan didalam masyarakat.
Mochtar Kusumaatmadja misalnya, mengemukaka beberapa hambatan utama seperti jika
yang akan diubah itu identik dengan kepribadiaan nasional, sikap golongan intelektual
dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai-nilai yang dianjurkan
disamping sifat heterogenitas bangsa Indonesia, yang baik tingkat kemajuannya, agama
serta bahasanya berbeda satu dengan lainnya.
Filsafat hukum mencoba mencari dasar kekuatan mengikat dari pada hukum,
yaitu apakah ditaatinya hukum itu disebabkan oleh hukum itu dibentuk oleh pejabat yang
berwenang atau memang masyarakat mengakuinya karena hukum tersebut dinilai sebagai
suatu hukum yang hidup didalam masyarakat itu?
Dalam hubungan denga pertanyaan yang pertama terdapat beberapa teori penting
yang patut diketengahkan :
Yang tidak langsung, menggagap raja-raja bukan melainkan sebagai eakil Tuhan
didunia. Dalam kaitan lain, dengan sendirinya juga karena bertindak sebagai “wakil”,
semua hukum yang dibuatnya wajib pula ditaati oleh segenap warganya. Pandangan ini
walau berkembang hingga zaman Renaissance, namun hingga saat ini masih juga ada
yang mendasarkan otoritas hukum pada factor Ketuhanan itu.
Pada pokoknya teori ini berpendapat bahwa orang taat dan tunduk pada hukum
oleh karena berjanji untuk menaatinya. Hkum dianggap sebagai kehendak bersama, suatu
hasil consensus (perjanjian) dari segenap anggota masyarakat.
Tentang perjanjian ini, terdapat perbedaan pendapat antara Tomas Hobbes, Jhon
Locke dan J.J.Rousseau.
Dalam buku-bukunya “De Vice” (1642) dan “Leviathan” (1651), Thomas Hobbes
membentangkan pendapatnya yang intinya sebagai berikut :
Pada mulanya manusia itu hidup dalam suasana bellum omnium contra omnes
(the war of all against all), selalu dalam keadaan berperang. Agar tercipta suasana damai
dan tentram, lalu diadakan perjanjian diantara mereka (pactum onionis). Setelah itu,
disusul perjanjian antara semua dengan seseorang tertentu (pactum subjectionis) yang
akan diserahkan kekuasaan untuk mepimpin mereka. Kekuasaan yang dimiliki oleh
pemimpin ini adalah mutlak. Timbullah kekuasaan yang bersifat absolut.
Konstruksi Jhon Locke dalam bukunya “two treatises on civil Government”
(1960), agak berbeda karena pada waktu perjanjian itu disertakan pula syarat-syarat yang
antara lain kekuasaan yang diberikan dibatasi dan dilarang melanggar hak-hak asasi
manusia.
Pada intinya teori ini berpendapat bahwa ditaatinya hukum itu karena Negara
mengkehendakinya.
Pada waktu mengulas tentang dasar kekuatan mengikat dari hukum sebagai
jawaban atas pertanyaan apakah sebabnya orang menaati hukum, kita mengenal beberapa
teori seprti teori kedaulatan Tuhan, perjanjian masyarakat, dan kedaulatan Negara. Jika
ditelaah bunyi teori-teori termaksud, maka tampaknya bahwa dalam usaha menjawab
dasar mengikat sesuatu hukum tersirat juga ulasan wewenang Negara untuk menghukum
warganya terutama atas segala perbuatannya yang dapat menggoncangkan,
membahayakan, dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Negara adalah badan yang mewakili Tuhan di dunia yang memiliki kekuasaan
penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia. Para pelnggar ketertiban itu
perlu memperoleh hukuman agar ketertiban hukum tetap terjamin.
Dalam tatanan masyarakat modern, terjalin erat dan hasil dan berfungsinya
profesi-profesi. Profesi-profesi dalam system sosial okupasi (pekerjaan) menempati
kedudukan yang sangat strategis “Talcott Parson dalam “Essays In Sociological Theory”
(1964).
Terhadap profesi-profesi tadi dapat terjadi kemerosotan dalam kegiatan
pengembagannya sebagai akibat terlarangnya etika dank ode etik profesi oleh sebagia
pengembangannya. Pertanyaan tentang etika dank ode etik profesi serta mengapa profesi
memerlukan etika dan kode etik akan menghasilkan jawaban yang bergantung pada
pengertian kata profesi.
Kata profesi dan professional sesungguhnya memliki beberapa arti. Profesi dalam
percakapan sehari-hari dalam percakapan sehari-hari dapat diartikan sebagai pekerjaan
(tetap) untuk memperoleh nafkah (Belanda :baab; inggris; job atau occupation), baik
legal maupun tidak. Dalam artian lebih teknis, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan
tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan
dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi, dengan imbalan bayaran yang
tinggi. Keahlian diperoleh lewat proses pengalaman, dengan belajar di lembaga
pendidikan tertentu, latihan intensif, atau paduan dari ketiganya. Ditinjau dari pengertian
ini, sring dibedakan pengertian professional dengan profesionalisme sebagai lawan dari
amatir dan amatirisme, juga sering dikatakan pekerjaan tetap sebagai lawan dan
pekerjaan sambilan.
Rescoe Puond, seorang filsuf hukum tokoh aliran Soiological Jurisprudence yang
terkenal dengan gagasannya tentang hukum sbagai “a tool for social engineering”,
pandangannya dengan pengertian profesi pada dasarnya sejalan dengan parsons,
“professional bukanlah kapitalis, pekerja (buruh), admsistrator pemerintah, birokrat
ataupun petani pemilik tanah. Batas lingkup profesi sebagai institute tidak jelas dan tegas.
Dalam kenyataannya terdapat kelompok-kelompok marginal yang status
keprofesionalannya ekuivokal. Namun demikian, criteria inti untuk mengkualifikasi uatu
okupasi sebagai sutu profesi sudah cukup jelas, yakni bahwa profesi mengisyaratan
pendidikan teknuk yang formal, dilengkapi dengan cara pengujian yang
terinstitusionalisasikan adekuasi pendidikannya dan kompetensi orang-orang hasil
didikannya. Pengujian para calon pengemban profesi sangat mengutamakan evaluasi
rasionalitas kognitif yang diterapan pada bidang khusus tertentu karenanya sangat
menekan unsur intelektual. Criteria yang kedua, yakni penguasaan tradisi cultural dalam
menggunakan keahlian tertentu serta ketempilan dalam penggunaan tradisi tertentu.
Dalam lingkungn suatu profesi berlaku suatu system niali yang berfungsi sebagai standar
normative yang harus menjadi kerangka orintasi dalam pengembanan profesi yang
bersangkutan. Ketiga untuk menjamin bahwa kompetensi dari suatu kompleks okupasi
(system sosial pekerjaan) akan digunakan dengan cara-cara yang secara sosial
bertanggung jawab, maka haruslah memiliki sejumlah institusional, berupa organisasi
profesi, etika, dank ode etik profesi dengan prosedur penegakannya, serta cara rekrutasi
pengemban profesi. Dar criteria inti tadi, secara umum dapat dikatakan bahwa profesi
menunjuk pada kompleks okupasional yang disiplin-disiplin intelektual di sekitarnya
meliputi humaniora, ilmu alam dan ilmu sosial, terorganisasikan serta system-sistem
cultural (nilai-nilai) yang diolah oleh dan di dalam kompleks okupasi tersebut (1972:
536).
Ciri khusus profesi sebagai suatu system okupasional menurut Parsons adalah
bahwa profesi tidak berorintasi pada (disinterestedness).
Dari uraian-uraian di atas dapat kita tarik rumusan pengertian profesi, bahwa
profesi adalah : pekerjaan tetap berupa pelayanan (service occupation). Pelaksanaannya
dijalankan dengan menerapkan pengetahuan ilmiah dalam bidang tertentu, dihayati
sebagai suatu panggilan hidup, serta terikat pada etika umum dan etika khusus (etika
profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesame manusia. Dari
pengertian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu fungsi
kemasyarakatan tertentu yang perwujudannya mensyaratkan disiplin ilmu tertentu. Ada 5
(lima) system okupasi yang dapat dikualifikasi sebagai profesi dalam pengertian ini, yakn
: kaimanan (ulama), kedokteran, hukum, jurnalistik, dan pendidikan. Kelimanya
berikatan langsung dengan martabat manusiawi dalam keutuhannya, berupa relasi dengan
yang transeden , kepastian hukum yang berkeadilan, informasi yang relevan, dan
solidaritas yang dinamis kreatif.
Secara formal yuridis kedudukan pengemban profesi dan kliennya adalah sama.
Namun, secara sosio pisikologis dalam hubungan ini terdapat ketidakseimbangan
disebabkan oleh ketidakmampuan pasien atau klien untuk dapat menilai secara obyektif
pelaksanaan kompetensi ternikal pengemban profesi yang diminta pelayanan
profesionalnya. Jadi, hubungan horizontal antara pengemban profesi dan kliennya
sesungguhnya hanyalah merupakana hubungan kepercayaan. Karenanya, dalam
menjalankan pelayanan professional dalam pengemban profesi dituntut untuk
menjiwaiinya dengan sikap etis tertentu. Sikap etis inilah yang dinamakan etika profesi.
Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian internal dari sikap hidup dalam
menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi. Kepatuhan pada etika profesi
bergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan karena awam tidak dapat
menilai. Karenanya, kalangan pengemban profesi itu sendiri membutuhkan adanya
pedoman objektif yang lebih konkret bagi perilku profesionalnya yang kemudian
diwujudkan dalam seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi
daam mengemban profesi yang disebut kode etik profesi (disingkat kode etik) berupa
tertulis ataupun tidak tertulia. Pada dasarnya, di satu pihak kode etik termasuk kelompok
kaidah moral positif yang bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan,
dan di lain pihak bertujuan untuk melindungi pasein atau klien (warga masyarakat) dari
penyalahgunaan keahlian dan/atau otoritas.
Profesi Hukum
Hakim
Tugas hakim pada dasarnya adalah member keputusan dalam setiap parkara
(konflik) yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hakim, nilai
hukum daripada perilaku, serta kedudukan hakim pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
perkara yang dihadapkan kepadanya.
Berdasarkan uraian tadi, dapat kita tarik kesimpulan bahwa sikap etis atau etika
profesi hakim harus berintikan : Taqwa terhadat Tuhan Yang Maha Esa, jujur, adil ,
bijaksana, imparsial (tidak memihak), sopan, sabar, memegang tegh rahasia jabatan, dan
solidaritas sejati. Kesemuanya itu harus tercermin dalam perilaku sehari-hari, karena
hanya dengan bersikap etis sedemikian para hakim akan mampu memelihara martabat
dan kewibaannya.
Advokat
Pada dasarnya ada 2 (dua) tugas pokok advokat, yakni memberikan nasihat
hukum untuk menjauhkan klien dari konflik dan mengajukan atau membela kepentingan
klien di pengadilan. Peran utama seorang advokat pada saat berperkara di pengadilan
adalah mengejukan pelbagai fakta dan pertimbangan yang relevan dari sudut pihak
kliennya sehingga memungkinkan bagi hakim untuk menetapka keputusan yang adil.
Profesi advokat pada dasarnya dapat berperan pada semua bidang karya hukum, sehingga
pada dasarnya etika profesi hakim juga berlaku bagi advokat.
Uraian di atas merupakan gambaran profesi dan profesi hukum dalam bentuk
ideal. Dalam kenyataan konkret, hampir tidak ada sesuatu yang dapat adil dan ideal
seutuhnya, karenanya sering kali kita menemukan penyimpangan-penyimpangan atau
pengukhususan-pengkhhususan. Namun, jika kita menemukan kasus penyimpangan yang
cukup jauh serta mencakup banyak aspek yang luas sekali, maka mungkin kita dapat
berpekara tentang krisis atau perubahan fundamental dengan segala akibat
kemasyarakatan.
Orang pada umumnya akan merasa kepuasan jika berhasil menjalankan pola-pola
perilaku yang dianggap benar (diterima) oleh masyarakat, sebaliknya merasa malu jika
tidak berhasil (gagal) menjalankannya. Mekanisme perilaku yang mengintegrasikan
kepuasan individual dan ekspektasi (harapan) kemasyarakatan akan berfungsi secara
mulus jika terjadi keselarasan antara hasil karya objektif dan landasan serta lambing-
lambang rekognisi. Jika keselarasan ini mengalami gangguan, orang akan merasa
kehilangan rasa aman dan berada dalam situasi konflik. Seorang yang berpegang teguh
pada hasil karya objektif yang seharusnya (mematuhi etika dan kode etik profesi) tidak
akan mengorbankan hasil karya objektif untuk memperoleh lambang-lambang rekognisi.
Dari uraian di atas kembali dapat kita tarik kesimpulan bahwa profesi adalah
sejumlah fungsi kemasyarakatan yang paling penting yang berjalan dalam suatu kerangka
institusional, termasuk pengemban dan pengajaran ilmu dan humaniora dan penerapan
praktikalnya dalam bidang-bidang pelayanan rohani, teknologi, kedokteran, hukum,
informasi, dan pendidikan. Bidang-bidang ini berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang
fundamental bagi perwujudan martabat manusia dalam keadaaan rill. Dalam
perwujudannya, sebagai konsekuensi dan keyakinan pada pentingnya fungsi-fungsi itu
tidaklah selalu berlangsung dengan sendirinya, melainkan sangat dipengaruhi oleh
berinteraksinya pelbagai kekuatan kemasyarakatan. Ini berarti perwujudannya secara
nyata memerlukan upaya tersendiri yang terdiri dari paduan pelbagai kekuatan yang
memerlukn usaha secara sadar dengan dukungan kemauan yang kuat untuk menegakkan
etiak dank ode etik profesi. Untuk itu, perlu diusahakn agar profesi-profesi mampu
mempertahankan ekonominya melalui organisasi profesi yang diakui dan dihormati
kemandiriannya oleh penguasa politik, didukung oleh kurikulum, proses dan metode
pendidikan yang juga memuat usaha untuk menumbuhkan sikap etis secara sistematis dan
sesuai untuk peserta didikannya.
BAB VII
AZAS HUKUM
Pengartian azas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen
hukum atau pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berfikir tentang hukum
atau titik tolak bagi pembentukan undang-undang dan interprestasi undang-undang atau
prinsip-prinsip yang kedudukannya lebih tinggi daripada hukum yang ditentukan
manusia, Ada tiga macam azas hukum (Huijbers, 1995: 82):
1. Azas objektif hukum yang bersifat moral. Prinsip ini tlah ada pada para pemikir
Zaman klasik
2. Azas objektif hukum yang bersifat rasional, yaitu prinsip-prinsip yang termasuk
pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional. Prinsip-prinsip inin
juga tlah diterima sejak dahulu, akan tetepi baru diungkapkan secara nyata sejak
mulai zaman modern,m yaitu sejak timbulnya negara-negara nasional dan hukum
yang dibuat oleh kaum yuris secara profesional.
3. Azas subjektif hukum yang bersifat moral dan rasional, yaitu hak-hak yang ada
pada manusia dan yang menjadi titik tolak pembentuka hukum. Perkembangan
hukum paling nampak pada bidang ini.
Hukum dalam arti objektif menandakan kaidah yang sebagai normatif mengatur
kaidah kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam arti subjektif menandakan hak dan
kewajiban yang ada pada orang yang merupaka anggota masyarakat, yakni sebagai
subjek hukum. Seperti azaa-azas yang
A. AZAS OBJEKTIF HUKUM
A. Azas Rasional
Azas rasional hukum, yaitu azas yang bertalian dengan suatu aturan hidup
bersama yang masuk akal, dan kerenanya diterima sebagai titik tolak bagi pembentukan
suatu tata hukum yang baik. Azas rasional hukum meliputi azas bagi hukum objektif
(undang-undang) dan hukum subjektif (hak), yaitu antara lain:
B. AZAS MORAL
Azas moral hukum, yaitu azas yang lebih dipandang sebagai sesuatu yang idil,
yang belum tentu dapat diwudkan dala tata hukum yang direncanakan. Sejak zaman
Romawi prinsip-prinsip moral inindipandang sebagai hukum kodrat, entah hukum itu
dianggap positivis berpandangan bahwa undang-undang harus dibuat dengan berpedoman
pada prinsip moral (“minimun hukum kodrat”). Akan tetapi prisip ini hanya sebagai
prinsip regulatif saja, artinya undang-undang itu tetep hukum, walaupun melawan prinsip
moral (Hart,1979:76). Gustav Radbruc berpendapat bahwa diperlukan sedikit natural law
yang berfungsi sebagai prinsip konsitutif hukum.
Emil Brunner (1889-1966) menyatakan bahwa negara harus tunduk pada suatu
norma kritis, yaitu hukum kodrat. Hukum kodrat itu bukan hukum, bila dipandang secara
tersendiri, akan tetapi berfungsi sebagai prinsip konsitutif bagi undang-undang. Sehingga
undang-undang yang tidak menurut hukum kodrat, tidak dapat diakui sebagai hukum.
Menurut isinya hukum kodrat itu merupakan buah usaha manusia untuk bertindak secara
adil, yaitu hukum kodrat mengandaikan kerelaan hati orang-orang untuk mengakui suatu
aturan hidup yang melebihi kesukaan individual. Aturan hidup itu menjadi sasaran bagi
seseorang yang bersikap adil adalah sang pencipta, yang menjadi nyata dalam kesadaran
manusia tentang tugasnya didunia. Tugasnya itu selalu tidak sama, sebab berkembang
bersama dengan kesadaran etnis manusia. Seorang yang beriman akan menerima
petunjuk dari firman Tuhan. Akan tetapi orang yang tidak beriman seperti Aritoteles akan
memikirkan makna keadilan juga (Brunner, 1943 dalam Huijbers, 1988:256-259).
Kehendak untuk belaku baik terhadap sesama manusia bermuara pada pergaulan
antar pribadi, berdasarkan prinsip-prinsip rasioanal dan moral. Kehendak yang sesama
juga mendorong manusia untuk membuat suatu aturan hidup bersama yang sesuai dengan
prinsip-prinsip moral tersebut, yaitu dengan membentuk suatu sistem norm-norma yang
harus ditaati semua pihak yang termasuk dalam suatu masyarakat tertentu.
1. Hak yang dianggap melekat oada tiap-tiap manusia sebagai manusia sebab
berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri. Hak ini merupakan bagian dari
eksistensi etis manusia di dunia ini. John Locke menerangkan bahwa manusia
pada zaman purbakala pun mengetahui hakdan kewajiban yang ada oada dirinya
sebagaimana diajarkan olah alam. Menurut Locke,”The state of nature has a law
of nature to govern it, which obliges everyone, and reason, which is that law,
teaches all mankind who will but consult it, taht being all equal and independent,
no one ounght to harm another in his life, healt. Liberty or possesions” (“Negara
alam” telah memiliki “hukum alam” untuk mengaturnya, yang mewajibkan
seseorang dan dengan alasantersebut ia kita sebut sebagai hukum, mengajarkan
semua jenis manusia yang akan meminta petunjuknya, dengan memperlakukanya
sama rata dan tidak saling bergantung, tidak ada yang salaing menyakiti satu sama
lain dalam kehidupannya, kesehatannya, kebebasan atau dalam hal kepemilikan
(Copleston, 1961-1975:138)
2. Hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan perundang-undangan. Hak
ini tidak langsung berhubungan dengan martabat manusia, tetapi menjadi hak
sebab termuat falam undang-undang yang sah.
1) Secara ontologis
a. Menurut filsuf Yunani, Skolastik dan Arab, manusia adalah mahluk istimewa
yang tinggal pada tangga yang paling atas seluruh hierarki mahluk-mahluk,
sebagai wujud yang berakal budi dan/atau ciptaan Tuhan.
b. Max Scheker: manusia merupakan suatu mahluk rohani yang melebihi
mahluk-mahluk lainnya karena akal budinya yang transeden.
c. G Marcel: manusia bersifat istimewakarena sebagai pribadi yang memerlukan
orang lain.
2) Secara etis
Hak-hak asasi manusia diakui sebagai bagian humanisasi hidup yang telah
tergalang sejak manusia menjadi sadar tentang tepatnya dan tugasnya di dunia ini. Oleh
karena itu hak asasi dianggap sebagai fundamen yang diatasnya seluruh organisasi hidup
bersama harus dibangaun. Hak-hak azasi dibagi dalam dua jenis:
1. Hak azasi individual yaitu hak atas hidup dan perkembangan hidup seperti hak
atas kebebasan batin, hak atas nama baik, hak atas kebebasan agama dan
sebagainya. Hak-hak dasar ini disusun terutama demi perlindungan pribadi
manusia terhadap kekuasaan Negara.
2. Hak azasi sebaga mahluk sosial, yang dibagi dalam hak-hak ekonomis, sosial dan
kultural.
PENEGAKAN HUKUM
Mungkin ada berpendapat bahwa memberi hukuman tersebut balas dendam, atau
biar orang bersalah itu”kapok”,jera,sehingga tidak melakukannya lagi. Atau mungkin
pula sebagai contoh umum,dapat dikatakan bahwa memberikan hukuman merupakan
pengobatan atau treatment, atau merupakan denda karena melanggar peraturan. Agar
suatu hukum dapat dikatakan adil, maka hukuman itu hams mengandung aspek legal dan
aspek moral, sehingga tercapai ketentraman lahir maupun batin, tidak hanya untuk si
pelanggar hukum, melainkan juga pada masyarakat pada umumnya.
Hegel berpendapat bahwa hukuman merupakan kehendak umum, general will. Ini
tidak berarti bahwa general will kehendak kolektif, tetapi general will menyatakan
dirinya dalam hukum, dan dikenala sebagai hukum positif yaitu hukum yang sesuai
dengan rasio. Hukum mengharuskan setiap individu harus dihargai dan diperlakukuan
sebagai manusia bebas. Maka menurut Hegel, hukuman adalah konsekuensi dari
perbuatan yang melanggar hukum (Yong Ohoitemer,1997:9-17).
Diamping itu Retributivisme yang mengadakan evaluasi hukum, ada aliran yang
lain, yaitu alaran Utilitarisme. Kaum utilitarisme mengatakan bahwa pemberian hukuman
berarti pencegahan, preventif. Teori ini sudah ada sejak zaman Plato. Pada dasarnya teori
ini berpendirian bahwa hukuman tidak dapat membatalkan kesalahan yang telah dibuat
oleh seseorang, tetapi hukuman itu justru mengingatkan pada masa depan si pelaku
pelanggaran. Teori Plato ini juga diikuti oleh beberapa filsuf, diantaranya oleh Jeremy
Bentham dari inggris.
1. Hukuman dapat memberiakn akibat jera seserang yang diberi hukuman. Ini berarti
bahwa hukuman memberikan efek preventif.
2. Hukuman sebagai rehalibitasi, memberi kesempatan pada terhukum untuk
memperbaiki diri. Mungkin lembaga pemasyarakatan di indonesia diharapakan
untuk merehabilitir para terhukum.
3. Hukuman sebagai pendidikan moral, bersifat edukatif agar si terhukum menjadi
taat pada hukum (YoungOhitimur, 1997:26-48).
Negara Indonesia adalah negara hukum, begitu yang dinyatakan dalam konsitusi
kitaUUD Negara RI 1945 pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam amendemennyayang
ketiga, Agustus 2001 yang lalu. Sehingga seharusnya seluruh sandi kehidupan dalam
bermasyarakat dan bernegara kita hatus berdasarkan pada norma-norma hukum. Artinya
hukum harus dijadikan panglima dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan
dalam individu, masyarakat dan Negara. Tetapi sampai saat ini dalam kenyataannya
masyarakat seperti tidak percaya kepada hukum sebagai satu-satunya solusi atas
permasalahan yang terjadi disekitarnya. Mungkin hal ini disebkan karena sudah sangat
kronisnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum, istilah ini tidak lazim dipakai
dalam bahasa Indonesia dimana penyumbang krisis tersebut adalah dari para penegak
hukumnya sendiri.
Para pencari keadilan yang notebane adalah masyarakat kecil sering dibuat
frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit.
Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba
yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan
hewan besar tetapi hewan tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-
laba. Contoh paling nyata adalah penanganan kasus-kasus korupsi, hampir sebagian besar
permasalahan yang mengindikasikanadanya tindak pidana korupsi tidak pernah tersentuh
oleh hukum. Apalagi jika kasus tersebut melibatkan “orang-orang besar” yang dekat
dengan kekuasaan dan konglomerat. Kalaupun hal ini ditindak lanjuti oleh pihak
kkejaksaan, maka kelanjutan kasus tersebut semakin suram. Karena biasanya kasus-kasus
yang melibatkan”orang-orang besar” akan di “ peti-es”kan oleh kejaksaan dengan
mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan)atau kalaupun sampai masuk
ke pengadilan, maka akan dikenakan pemidanaan yang sangat ringan atau putusan
bebeas.
Disisi lain kita melihat proses dehumanisasi ini semakin cepat yang diakibatkan
oleh kehancuran moral dan ahlak manusia. Manusia tidak lagi memiliki rasa empati
terhadap manusia lainnya yang ditimpa kemalangan, disisi lain negara telah tidak lagi
“mengurusi” rakyatnya. Masyarakat mulai frustasi dengan sisitem yang dibuat oleh
negara, karena jelas bahea sisitem yang ada sangat tidak memihak kepentingan orang
banyak. Sistem tersebut lebih memihak kepada para pemodal, politisi busuk, konglomerat
hitam,penjahat kemanusiaan, penjarah uang rakyat, dan penguasa yang menyembah
berhala materialisme.
Masyarakat sudah tidak percaya lagi kepda keadilan yang ditegakkan oleh hukum,
masyarakat juga tidak lagi mau memperhatikan nilai-nilai moral dan susila yangselama
ini mapan. Kemudian kita rasakan bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini mengarah
pada pemikiran yang formalistik, intoleransi, kebekuan dan kejmudan fanatisme buta,
serta semakin menguatnya paham-paham otoriter dan fasisme (Fakih,2002:xiv).
3. Mafia Peradilan
Masalah yang sering menjadi sorotan sejak dahulu adalah mandulnya institusi
penegak hukum. Kepolisian, kejaksaan, hakim dan pengacara seakan menjadi jejaring
(baca: mafia) peradilan yang terus mencari “mangsa” yang notabane para pencari
keadilan. Uang menjadi suatu hal yang menjadi prinsip dalam penyelesaian persoalan-
persoalan hukum. Azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan hanya menjadi
slogan saja, karena kenyataan malah berbelit-belit, lama dan mahal. Peradilan menjadi
seperti kantor lelang yang menjajankan “dagangan-hukumnya” dengan variasi harga
denag penawaran tinggi.
Istilah mafia yang mungkin kita kenal selama ini adalah cerita-cerita tentang
mafia Sisilia di Italia yang menjalankan kejahata-kejahatan secara terorganisasi. Kita
disini menggunakan kata “mafia” untuk menunjukan pada praktik korup peradilan,
karena kata ini dianggap mewakili jejaring korupsi di lingkungan peradilan dan penegak
hukum. Kata ini menunjukan pada satu bentuk korupsi yang dilakukan dari kepolisian,
kejaksaan, hingga ke pengadilan (disina termasuk Hakim dan Panitera), yang juga
melibatkan Pengacara. Yang sering dijadikan apologi oleh para petinggai penegak hukum
tersebut adalah perilaku korup tersebut dilakukan oleh oknum, bukan institusi. Tetapi
peryataannya jiak yang melakukan perilaku korup tersebut adalah semua orang yang ada
dalam institusi, sulit kita membedakan apakah ini oknum ataukah institusinya yang
bobrok.
DAFTAR PUSTAKA
Apeldoorn, L.J.van:
Koendjaraningrat
Kusumaatmadja, Mochtar :
Pudjawijatna,I.R. :
Paton, G.W :
Soetikno :
Soekanto, Soerjono :
Satjipto Rahadjo :
Soedjono, D
Asdi, Endang Daruni, 1990, Imp Ertif Kategoris Dalam Filsafat Moral,
Immmanuel Kant, Yogyakarta: Lukman Offset
Friedman, W., 1990, Teoti dan Filsafat Hukum, Susunan I, Jakarta: Rajawali Press.
----------------, 1990, Teoti dan Filsafat Hukum, Susunan II, Jakarta: Rajawali Press.