Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pemerintah
Daerah
Dosen Pengampu: Nur Habibi M.H,.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen Bapak Nur Habibi M.H., pada mata kuliah Hukum Pemerintah Daerah.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “TEORI
SOSIOLOGIS TENTANG TERBENTUKNYA HUKUM PIDANA” bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nur Habibi M.H,. .selaku
Dosen Pada mata kuliah Hukum Pemerintah Daerah yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang penulis tekuni. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
ii
C. Legitimasi Konstitusional Pengujian Peraturan Daerah ........................ 29
3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 35
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
tetap mengindahkan hak-hak asal usul daerah tersebut dalam peraturan
negara yang terkait kedaerahan.
UUD 1945 dalam pasal 18A mengamanatkan tentang hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daera provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi, kabupaten serta kota, diatur
dengan undang-undang yang tetap memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah. Selain itu, juga diatur dalam undang-undang tentang
hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan SDA dan sumber-
sumber lainnya antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Selanjutnya dalam pasal 18B UUD 1945 dinyatakan bahwa negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus yang diatur dengan undang-undang. Negara juga mengakui
serta menghormati kesatuan-lesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya, sepanjang hal tersebut masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
2
1.2 Rumusan Masalah
3
BAB II
PENDAHULUAN
2.1 Pengertian Pengawasan
1
Anton M. Moeliono, Dkk., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm.
68.
2
Victor M. Situmarang Dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengaswasan Melekat Dalam Lingkungan
Aparatur Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 18.
3
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Cetakan Kedua, Nusa Media, Bandung, 2019, hlm.
101.
4
Beberapa ahli berbeda pendapat terkait pengertian pengawasan
secara terminologinya. Menurut Prayudi, pengawasan adalah proses
kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan,
atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau
diperintahkan. Maka dari itu hasil dari pengawasan harus bisa menunjukkan
sampai mana kecocokan atau ketidakcocokan terjadi dan apa penyebabnya.
Dengan demikian, pengawasan dapat bersifat (1) politik, apabila sasarannya
adalah efektivitas, (2) yuridis, apabila tujuannya legalitas, (3) ekonomis,
apabila sasarannya efisiensi, (4) moril dan susila, apabila sasarannya adalah
untuk mengetahui keadaan moralitas. 4 Sedangkan menurut Sujamto
pengawasan adalah “segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan
menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan
kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak”. Adapun
batasan tentang pengendalian sebagai “segala usaha atau kegiatan untuk
menjamin dan mengarahkan agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan dapat
berjalan dengan semestinya”. Jadi, keduanya baik pengawasan maupun
pengendalian adalah sebuah usaha atau kegiatan. 5
4
S. Prayudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1995, hlm. 84.
5
Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, Hlm. 19.
Lihat juga Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan Di Indonesia, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta,
199, Hlm. 42.
6
Irawan Soejito, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepada Daerah, Bina
Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 9.
5
negara sama sekali tidak boleh berakhir dengan kehancuran hubungan
negara. Di dalam pengawasan tertinggi letaknya jaminan, bahwa selalu
terdapat keserasian antara pelaksanaan bebas dari tugas Pemerintah daerah
dan kebebasan tugas negara oleh Penguasa Negara itu.”7
7
Oppenheim, Nederlands Gemeenterecht, dikutip kembali oleh Irawan Soejito, Ibid.
8
“UU Nomor 23 Tahun 2014.”
9
Prof Dr Jimly Asshiddiqie S.H, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Sinar Grafika, 2021),
hlm 72.
10
“ Benyamin Ngaji - KEWENANGAN PEMBATALAN PRODUK HUKUM DAERAH OLEH PEMERINTAH
DI TINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA RI TAHUN 1945.Pdf,” accessed
September 18, 2023, http://e-journal.uajy.ac.id/id/eprint/8893
6
prinsip NKRI agar tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan yang lebih tinggi, demi terwujudnya good government. 11
11
Yuri Sulistyo, Rosita Indrayati, and Antikowati, “GOVERNMENTAL CONTROL OF REGIONAL LAW
PRODUCT (REGIONAL RULES) THROUGHOUT THE REVOCATION MECHANISM OF LOCAL
REGULATION BASED ON THE LAW NUMBER 32 OF 2004 ON REGIONAL GOVERNMENT,” 2013, hal.
4.
12
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Nusa Media, 2019), hal. 10.
13
asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, 156.
7
mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pengawasan preventif (preventif toezicht) sebagai upaya untuk mencegah
agar produk-produk hukum daerah yang dibentuk oleh Pemerintahan
Daerah, tidak keluar dari tujuan nasional dan juga tidak bertentangan dengan
produk hukum yang tingkatnya lebih tinggi. 14
1. Pengawasan dari sisi saat/waktu terdiri dua jenis yaitu kontrol priori
dan kontrol a-posteriori. Kontrol priori dilakukan bilamana
pengawasan dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu putusan atau
ketetapan pemerintah atau pun peraturan lainnya yang
pengeluarannya memang menjadi wewenang Pemerintah.
Sedangkan dalam kontrol a-posteriori dilakukan bilamana
14
“ Benyamin Ngaji, hal. 20
8
pengawasan itu baru dilakukan sesudah dikeluarkannya
keputusan/ketetapan Pemerintah atau sesudahterjadinya
tindakan/perbuatan Pemerintah. 15
2. Pengawasan dari sisi objek terdiri atas dua jenis kontrol yaitu
pertama kontrol dari sisi hukum (rechmatigheidstoetsing) dan
kontrol dari sisi kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing). Kontrol dari
sisi hukum ini pada prinsipnya menitikberatkan pada segi legalitas,
yaitu penilaian tentang sah atau tidaknya suatu perbuatan
pemerintah. Sedangkan kontrol dari sisi kemanfaatan disini ialah
pada prinsipnya menilai perbuatan pemerintah berdasarkan benar
tidaknya perbuatan tersebut dari segi pertimbangan kemanfaatannya,
khususnya dalam kerangka pencapaian kesejahteraan masyarakat. 16
15
M Nur Sholikin, dkk, Laporan Kajian Implementasi Pengawasan Perda Oleh Pemerintah Dan
Mahkamah Agung, Pusat Kajian Hukum Dan Kebijakan Indonesia, 2011. hlm. 9
16
Ibid.
9
harus dalam koridor NKRI dan di bawah pengawasan pemerintah pusat,
pemerintahan daerah agar terwujud good government.
Pengawasan pemerintah terhadap perda dilakukan agar
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi.
Pengawasan pemerintah terhadap perda diaktualisasikan dalam bentuk
pengujian perda yang dilakukan oleh pemerintah yang kemudian disebut
dengan executive review dan kemudian berlanjut pada mekanisme
pembatalan perda apabila perda tersebut dinilai bertentangan dengan
kepentingan umum dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Selain itu pengawasan ini juga bertujuan agar perda yang dibuat oleh
pemerintah daerah telah sesuai dengan asas-asas dan prosedur
pembentukan peraturan perundangundangan. Executive Review terhadap
suatu perda, apabila secara murni mengacu pada ketentuan normatif
hukum pada Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bukanlah
menjadi suatu permasalahan, karena pemerintah daerah merupakan
bagian dari pemerintah pusat atau berada dibawah pemerintah pusat.
Sehingga, pemerintah pusat juga mempunyai kewenangan untuk menguji
dan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah daerah.
Pengujian terhadap suatu peraturan daerah yang dilakukan oleh
pemerintah pusat adalah dalam rangka pengawasan dan pembinaan
terhadap pemerintahan daerah. Dasar hubungan antara pusat dan daerah
adalah bahwa pemerintah pusat menyerahkan sebagian wewenang
pemerintahannya kepada daerah untuk diatur dan diurus sendiri sebagai
urusan rumah tangga daerah (otonom).
Pertama tentang istilah dari pengawasan itu sendiri, istilah
pengawasan disini dapat dijumpai dalam berbagai peraturan
perundangundangan tentang pemerintahan daerah. Pada intinya
pengawasan terhadap pemerintahan daerah dibedakan menjadi dua, yaitu
pengawasan preventif dan pengawasan represif. Konsep pengawasan
represif tersebut di aktualisasikan dalam bentuk keputusan pembatalan
10
terhadap produk-produk hukum daerah yang mana dalam hal ini adalah
perda yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan
yang lebih tinggi. Pengawasan represif menjadi konsep hukum yang
menunjuk fungsi dan wewenang untuk membatalkan produk-produk
hukum (perda), apabila perda tersebut dinilai bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Dengan demikian bertumpu pada pengertian tersebut, maka
sebenarnya konsep pengawasan represif tersebut tidak lain adalah konsep
pengujian atau hak uji perda. Konsep pengujian memiliki beberapa jenis
yang mana diantaranya adalah toetsingsrecht dan judicial review.
Toetsingsrecht yang banyak diterjemahkan oleh beberapa penulis dan
ahli hukum sebagai hak menguji dapat diartikan sebagai kewenangan
untuk menilai peraturan perundangundangan terhadap Undang-Undang
Dasar, atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.19
Sebagaimana diketahui produk hukum itu secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu produk hukum tertulis yang
berbentuk regeling atau hukum yang bersifat mengatur/pengaturan dan
beschikking atau hukum yang bersifat memutuskan/penetapan. Jadi
konsep toetsingsrecht hanya terbatas pada pengujian terhadap regeling
dan tidak untuk menguji beschikking. Fungsi pengujian dalam konsep
judicial review merupakan wewenang hakim untuk menguji semua
produk hukum baik berupa regeling maupun beschikking 17
Menurut Leonard D. White, pengawasan dimaksudkan untuk
menjamin bahwa kekuasaan itu digunakan untuk tujuan yang
diperintah dan mendapat dukungan serta persetujuan dari rakyat;
serta untuk melindungi hak asasi manusia yang telah dijamin oleh
undang-undang daripada tindakan penyalahgunaan kekuasaan18
17
Sulistyo, Yuri, et al. "Pengawasan Pemerintah terhadap Produk Hukum Daerah (Peraturan
Daerah) melalui Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah." e-Journal Lentera Hukum, vol. 1, no. 1, 2014, hlm
4-5
18
Sukarna. 1990. Prinsip-Prinsip Administrasi Negara. Bandung: Mandar Maju. Hlm 114
11
B. Jenis-Jenis Pengawasan Peraturan Daerah
12
lebih tinggi atau peraturan perundang-undangan
lainnya.Pengawasan represif adalah pengawasan yang
dilakukan sesudah dikeluarkannya keputusan/ketetapan
pemerintah sehingga bersifat korektif dan memulihkan suatu
tindakan yang keliru. Disebut juga pengawasan aposteriori.
Pengawasan represif merupakan pengawasan yang berupa
penangguhan atau pembatalan terhadap keputusan/ketetapan
yang telah ditetapkan pemerintah.
2. Pengawasan terhadap peraturan dan pengawasan terhadap
keputusan
Pengawasan terhadap peraturan dibedakan atas dua jenis.
Pengawasan seperti ini disebut juga hak uji (materil). Untuk
peraturan yang berbentuk peraturan perundang-undanganan
yang secara hirarki berada di bawah undang-undang, maka
pengawasan yang dilakukan adalah melalui peradilan di dalam
lingkungan Mahkamah Agung. Untuk peraturan perundang-
undangan yang berbentuk undang-undang, maka
pengawasannya dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi.
3. Pengawasan berdasarkan pelaku yang melakukan pengawasan,
yang terdiri dari enam jenis, yaitu:
a. Pengawasan politik, pengawasan yang dilakukan oleh
lembaga perwakilan (legislatif), seperti DPR, DRD,
DPRD. Pengawasan yang dilakukan badan legislatif
untuk mengusahakan pelaksanaan pemerintah sejalan
dengan kehendak politik yang telah di tetapkan.
Pengawasan ini pada umumnya berbentuk kegiatan
dengar pendapat, kunjungan kerja, pembentukan
panitiakhusus dan pembentukan panitia kerja. Saat
ini pengawasan jenis ini belum optimal.
b. Pengawasan oleh masyarakat, yang terdiri atas
pengawasan langsung (direct control)misalnya melalui
13
unjuk rasa, atau public hearing, dimana pengawasan
jenis ini memiliki tingkat keberhasilan yang rendah.
Disebut juga pengawasan melembaga, yaitu pengawasan
yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara
terlembaga.Pengawasan tidak langsung (indirect control),
dimana pengawasan dilakukan melalui media perantara
atau dengan cara terselubung, seperti tulisan di kolom
suara pembaca di surat kabar, ataupun melalui
pertunjukkan drama bersifat kritik sosial. Disebut juga
pengawasan dengan cara yang tidak terlembaga.
c. Pengawasan internal atau pengawasan administrasi,
adalah pengawasanyang dilakukan oleh satu badan yang
secara struktural/organisastoris masih termasuk dalam
lingkungan pemerintahan sendiri. Biasanya pengawasan
ini dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya
secara hirarkis, 19
dimana pengawasan jenis ini terdiri atas:
1). pengawasan melekat, yaitu pengawasan atasan
langsung kepada bawahan. Pengawasan ini bersifat
preventif ;
2). pengawasan fungsional, yaitu
3). pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang
diadakan khusus untuk membantu pimpinan dalam
menjalankan fungsi di lingkungan organisasi yang
menjadi tanggung jawabnya.Pengawasan fungsional
ini dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang
memiliki tugas dan fungsi melakukan pengawasan
19
Nina Jayanti, “MEKANISME PENGAWASAN TERHADAP PRODUK HUKUM DALAM KONSTRUKSI
POLITIK HUKUM”, vol. 4 No. 2, September 2019, 212-213
14
melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan
penilaian. Pengawasan ini bersifat represif. 20
d. Pengawasan Yuridis, atau pengawasan oleh lembaga
peradilan, yaitu terdiri dari tiga jenis, pengawasan
melalui lembaga peradilan di dalam naungan Mahkamah
Agung, dan peradilan Mahkamah Konstitusi, serta
Peradilan Tata Usaha Negara. Pengawasan berupa
hak uji materiil (judicial review) terhadap peraturan
perundang- undangan di bawah UU, dilakukan oleh
peradilan di dalam naungan Mahkamah Agung,
sedangkan Mahkamah Konstitusimelakukan pengawasan
hak uji materiil terhadap UU. Pengawasan terhadap
tindakan hukum tata usaha negara, dilakukan oleh
Peradilan Tata Usaha Negara.
e. Pengawasan independen, dari lembaga swadaya
masyarakat. Kehadiran pengawasan independen ini
merupakan salah satu ciri-ciri negara demokrasi.
f. Pengawasan oleh Ombudsman
20
Pudyatmoko, S.Y. dan W. Riawan Tjandra. 1996. Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai
Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya.Hal.
61.
15
Pengawasan terhadap produk hukum dalam konstruksi
politik hukum sangat berkaitan erat dengan dengan tujuan mencapai
penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Mekanisme
pengawasan tersebut dapat dilakukan oleh sesamaaparat
pemerintah atau aparat lain di luar tubuh eksekutif secara
fungsional, dapat pula dilakukan oleh kekuasan kehakiman.
Berikut skema mekanisme pengawasan:
16
peradilan di lingkungan Mahkamah Agung melakukan pengawasan
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang.Pengawasan terhadap perbuatan aparat yang berwenang
oleh kekuasaan kehakiman selalu akan berbentuk pengawasan
represif, artinya, pengawasan tersebut dilakukan setelah ada
perbuatan konkrit dari aparat yang berwenang yang dianggap
merugikan pihak lawan berbuat.21
21
Muchsan. 1992. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Hlm 49
22
Ateng Syafrudin, Naskah Lepas Masalah-masalah Hukum Otonomi Daerah (Arti Pengawasan),
(Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003), hlm. 1.
23
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 81
17
pemerintahannya, dibentuklah daerah otonom yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hakekat isi
otonomi adalah kebebasan dan kemandirian satuan Pemerintah lebih
rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan
Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan
mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan
pemerintahan yang lebih rendah. Untuk melaksanakan tugasnya
dalam menyelenggarakan pemerintahan di Daerah, Pemerintah
Daerah beserta DPRD diberi wewenang untuk membuat Peraturan
Daerah. Peraturan Daerah ini merupakan produk hukum yang berisi
peraturan-peraturan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah dan
tugas pembantuan. Perda dimaksudkan juga sebagai landasan atau
acuan bagi Pemerintah Daerah untuk menjalankan tugas Otonomi
Daerah untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan Daerah.
18
Perda dihargai sebagaimana peraturan perundang-undangan lainnya,
akan tetapi dalam pembuatan suatu Perda harus selalu diingat bahwa
Daerah Otonomi walaupun diberi kebebasan yang luas tetapi tetap
berada dalam naungan negara kesatuan RI.
19
Definisi kepentingan umum sangat luas, menurut Bagir
Manan, ada dua pengertian pokok tentang kepentingan umum yaitu
:
20
Daerah harus mengingat bahwa Indonesia adalah suatu
negara kesatuan yang berbentuk republik, karenanya
Otonomi Daerah bukanlah kemerdekaan Daerah, tetapi
kemandirian dalam kerangka dan ikatan negara kesatuan
Republik Indonesia.
21
perundang-undangan yang mengatur bidang khusus (Lex
Specialis Derogat Lex Generalis) 24
2424
I Gde Pantja Astawa, op.cit, hlm.12.
22
1. harus sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan melalui
peraturan perundang-undangan
2. tidak boleh menyimpang atau melanggar kepentingan
nasional dan batas-batas wewenang yang telah diberikan.
3. Pemerintah Pusat berhak untuk mengawasi Pemerintah
Daerah baik secara preventif dan represif25
25
R. Joeniarto, Perkembangan, op.cit, hlm.209.
26
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara: Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006). h. 153
23
peraturan perundang-undangan sebelum peraturan tersebut dinyatakan
berlaku secara umum.
27
Jimly Asshiddiqie. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002). h. 7-9
24
mendelegasikan kewenangan pembatalan peraturan daerah Provinsi
kepada Menteri sebagai asisten Presiden yang bertanggung jawab atas
Otonomi Daerah. Sementara itu, kewenangan pembatalan peraturan
daerah Kabupaten/Kota diberikan oleh Presiden kepada gubernur sebagai
perwakilan Pemerintah Pusat di daerah.
28
Pasal 251 ayat (1) UU Pemda (UU No. 23/2014 jo. UU No. 2/2015)
29
Pasal 251 ayat (2) UU Pemda (UU No. 23/2014 jo. UU No. 2/2015)
30
Pasal 251 ayat (3) dan (4) UU Pemda (UU No. 23/2014 jo. UU No. 2/2015)
25
final. Jika pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten/kota) tetap
melaksanakan peraturan daerah yang telah dibatalkan oleh Menteri atau
gubernur sebagai perwakilan Pemerintah Pusat, mereka akan dikenai
sanksi berupa: a) sanksi administratif; dan/atau b) penundaan evaluasi
rancangan peraturan daerah.31 Sebaliknya, jika daerah tidak setuju dengan
keputusan pembatalan peraturan daerah, kepala daerah dapat mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Agung.32
31
Pasal 252 ayat (1) – (4) UU Pemda (UU No. 23/2014 jo. UU No. 2/2015)
32
Ni’matul Huda. Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2019). h. 250
33
Moh. Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Depok:
Rajawali Pers, 2017). h. 124, cet. 4
26
Selain itu, Pasal 11 ayat (2) huruf b UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa "Mahkamah Agung
mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang."34 Terakhir, Pasal 31 ayat
(2) UU Nomor 5 Tahun 2004, yang diubah oleh Undang–Undang Nomor
3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, mengatur hal ini dengan lebih
rinci.
34
Taufiqurrahman Syahuri, dkk. Pengkajian Konstitusi: Problematika Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum
dan HAM RI, 2014). h. 60. Lihat juga, Bagir Manan. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut
UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). h. 187. Bandingkan dengan, Janpatar
Simamora. Analisis Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial Review Di Indonesia, Artikel
dalam, Jurnal Mimbar Hukum, 2013, Vol. 25, No. 3, h. 389
35
Jefri S. Pakaya. Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam, Jurnal
Legislasi Indonesia, 2017, Vol. 14, No. 1, h. 93
27
dan/atau kesusilaan, Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dapat
membatalkannya.
28
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah menerima keputusan
pembatalan tersebut.36
36
Jefri S. Pakaya. Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam, Jurnal
Legislasi Indonesia, 2017, Vol. 14, No. 1, h. 91-98
37
Alwadud Lule. Dualisme Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam, Jurnal Crepido,
Vol. 03, No. 02, 2021, h. 112
29
pemerintahan daerah yang bersangkutan, seperti provinsi, kabupaten, atau
kota. Oleh karena itu, Peraturan Daerah sering disebut sebagai "hukum
lokal."38
38
Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Pres, 2017). h.
63-64. Lihat juga, Alwadud Lule. Dualisme Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam, Jurnal
Crepido, Vol. 03, No. 02, 2021, h. 113
30
1945, yang menyatakan bahwa, "Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang…." Dalam kerangka hukum nasional, peraturan daerah
adalah jenis peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-
undang dalam hierarki hukum, setelah Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Presiden. 39
39
Hartiwiningsih, dkk. Menelisik Pengujian Peraturan Daerah Dalam Bingkai Hukum
Responsif, (Bogor: Unida Press, 2019). h. 62. Lihat juga, Henni Muchtar. Paradigma Hukum
Responsif (Suatu kajian tentang Makamah Konstitusi sebagai Lembaga Penegak Hukum), Artikel
dalam, Jurnal Humanus, 2012. Vol. XI, No. 2, h. 160
31
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan/atau diskriminasi
berdasarkan suku, agama, ras, golongan, dan jenis kelamin.
40
Alwadud Lule. Dualisme Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam, Jurnal Crepido,
Vol. 03, No. 02, 2021, h. 114
32
terhadap Perda, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, telah
dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.
33
keputusan gubernur berbentuk keputusan (beschikking). Ketiga, potensi
adanya dualisme putusan pengadilan antara putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) yang memeriksa legalitas keputusan gubernur atau
Menteri dan putusan pengujian Perda oleh MA terhadap substansi perkara
yang sama, tetapi berbeda dalam bentuk produk hukum, menurut MK
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
35
Mekanisme pembuatan dan badan yang terlibat dalam proses
pembuatan Peraturan Daerah serupa dengan undang-undang. Seperti
undang-undang, pembentukan Peraturan Daerah melibatkan badan
legislatif dan eksekutif secara bersama-sama. Undang-undang dibuat oleh
badan legislatif pusat dengan persetujuan dari Presiden, sedangkan
Peraturan Daerah dibuat oleh badan legislatif daerah dengan kepala
pemerintah daerah setempat. Ini berarti bahwa Peraturan Daerah adalah
produk legislatif yang melibatkan perwakilan rakyat yang dipilih secara
langsung oleh rakyat.
36
DAFTAR PUSTAKA
Moeliono Anton M, Dkk., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1995
Situmarang Victor M. Dan Juhir Jusuf, Aspek Hukum Pengaswasan Melekat Dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta, 1994
37
asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
38
Huda, Ni’matul. Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung: Nusa Media, 2019
Manan, Bagir. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994
39