Anda di halaman 1dari 43

PENGAWASAN DAN PENGUJIAN PRODUK HUKUM DAERAH

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pemerintah
Daerah
Dosen Pengampu: Nur Habibi M.H,.

Disusun oleh kelompok 10:

1. Muhammad Ayatullah Rabbani 11200453000023


2. Sulthan Adib Amarullah Yahya 11200453000035
3. Riza Puspita Danian 11200453000032
4. Agus Saputra 11200480000035
5. Khalifah Azzahra Kautsar 11200480000052

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“TEORI SOSIOLOGIS TENTANG TERBENTUKNYA HUKUM PIDANA” ini
tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen Bapak Nur Habibi M.H., pada mata kuliah Hukum Pemerintah Daerah.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “TEORI
SOSIOLOGIS TENTANG TERBENTUKNYA HUKUM PIDANA” bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nur Habibi M.H,. .selaku
Dosen Pada mata kuliah Hukum Pemerintah Daerah yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang penulis tekuni. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Ciputat, 19 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 3

1.3 Tujuan Makalah ..................................................................................... 3

BAB II PENDAHULUAN .................................................................................. 4

2.1 Pengertian Pengawasan .......................................................................... 4

2.2 Bentuk Pengawasan Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Produk


Hukum Daerah ................................................................................................. 6

2.3 Pengawasan Pemerintah terhadap Produk Hukum Daerah ...................... 9

A. Bentuk Pengawasan Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Produk


Hukum Daerah.............................................................................................. 9

B. Jenis-Jenis Pengawasan Peraturan Daerah ............................................ 12

C. Mekanisme Pengawasan Terhadap Produk Hukum Dalam


Konstruksi Politik Hukum........................................................................... 15

2.4 Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah Antara Pemerintahpusat


Dan Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ............ 17

A. Pengawasan Perda Oleh Pemerintah Pusat Menurut UU No.32 Tahun


2004 ........................................................................................................... 17

2.5 Pengujian Produk Hukum Daerah ........................................................ 23

A. Pengujian Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung ............................ 26

B. Pengujian Peraturan Daerah oleh Pemerintah ....................................... 27

ii
C. Legitimasi Konstitusional Pengujian Peraturan Daerah ........................ 29

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 35

3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 35

3.2 Kritik & Saran ..................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 37

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beberapa pulau besar


dan kecil. Pulau besar terdiri dari 5 pulau yaiut Sumatra, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Sementara untuk pulau kecil jumlahnya ribuan.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki
17.504 pulau. Tiap wilayah di Indonesia dibagi dalam wilayah daratan dan
perairan untuk dikelola oleh pemerintah daerah di dalam batas-batas
wilayahnya masing-masing. Provinsi merupakan tingkat pertama
pembagian wilayah di Indonesia, disusul dengan kabupaten atau kota
berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 Ayat 1. Pemerintah daerah Provinsi, daerah
Kabupaten dan Kota mengatur urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan sesuai dengan Undang-Undang Nonmor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Daerah menjalankan
otonominya secara luas kecuali dalam urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Berdasarkan penjelasan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945
dikatakan bahwa sistem pemerintahan daerah di Indonesia dibagi dalam
daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang
lebih kecil. Daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale
rechtgemeenschappen) atau daerah yang bersifat administrasi belaka diatur
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dalam hal ini juga
diadakan badan perwakilan daerah pada setiap daerah-daerah yang bersifat
otonom. Oleh karenanya, dalam ranah daerah pun pemerintahan tetap
bersendi pada permusyawaratan. Di Indonesia terdapat kurang lebih 250
zelfbesturendelandchappen dan volksgemeen schappen, seperti desa di Jawa
dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya. Daerah-daerah tersebut memiliki susunan asli dan karenanya
dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia sangat menghormati kedudukan daerah-daerah tersebut dengan

1
tetap mengindahkan hak-hak asal usul daerah tersebut dalam peraturan
negara yang terkait kedaerahan.
UUD 1945 dalam pasal 18A mengamanatkan tentang hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daera provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi, kabupaten serta kota, diatur
dengan undang-undang yang tetap memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah. Selain itu, juga diatur dalam undang-undang tentang
hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan SDA dan sumber-
sumber lainnya antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Selanjutnya dalam pasal 18B UUD 1945 dinyatakan bahwa negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus yang diatur dengan undang-undang. Negara juga mengakui
serta menghormati kesatuan-lesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya, sepanjang hal tersebut masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap


produk hukum (Perda)?
2. Bagaimana mekanisme pengawasan produk hukum daerah?
3. Bagaimana hubungan pengawasan produk hukum daerah antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam NKRI?
4. Bagaimana mekanisme pengujian Peraturan Pemerintah Daerah
(Perda)?

1.3 Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui bentuk pengawasan yang dilakukan pemerintah


terhadap produk hukum (Perda).
2. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan produk hukum daerah.
3. Untuk mengetahui hubungan pengawasan produk hukum daerah antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam NKRI.
4. Untuk mengetahui mekanisme pengujian Peraturan Pemerintah Daerah
(Perda).

3
BAB II
PENDAHULUAN
2.1 Pengertian Pengawasan

Kata “pengawasan” berasal dari akar kata “awas” yang berarti


“penjagaan”. Istilah pengawasan ini banyak dikenal dalam ilmu manajemen
dan ilmu administrasi yang berperan sebagai salah satu unsur dalam kegiatan
pengelolaan.1 Selain dalam bahasa Indonesia, istilah pengawasan juga
terdapat dalam bahasa Inggris yang disebut controlling yang diartikan
dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga makna atau arti dari
istilah controlling lebih luas daripada hanya sekedar pengawasan. Akan
tetapi di kalangan akademisi atau sarjana, istilah controlling sudah
disamaartikan dengan pengawasan. Jadi pengawasan juga termasuk sebagai
pengendalian. 2

Pengendalian berakar pada kata “kendali” yang berarti


mengarahkan, memperbaiki, kegiatan yang salah arah dan meluruskannya
sehingga menuju ke arah yang lebih benar. Dalam penggunaan istilah
tersebut, tampak nyata bahwa ada yang tidak setuju dengan
disamaartikannya antara controlling dengan pengawasan. Mereka
berpendapat bahwa pengertian controlling lebih luas maknanya daripada
pengawasan. Dikatakan bahwa pengawasan hanyalah sebuah kegiatan
mengawasi saja atau hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan
hasil kegiatasan pengawasan tadi, sedangkan controlling adalah tidak hanya
melakukan pengawasan tetapi juga melakukan pengendalian, seperti
menggerakkan, memperbaiki, dan meluruskan menuju ke arah yang lebih
benar. 3

1
Anton M. Moeliono, Dkk., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm.
68.
2
Victor M. Situmarang Dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengaswasan Melekat Dalam Lingkungan
Aparatur Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 18.
3
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Cetakan Kedua, Nusa Media, Bandung, 2019, hlm.
101.

4
Beberapa ahli berbeda pendapat terkait pengertian pengawasan
secara terminologinya. Menurut Prayudi, pengawasan adalah proses
kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan,
atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau
diperintahkan. Maka dari itu hasil dari pengawasan harus bisa menunjukkan
sampai mana kecocokan atau ketidakcocokan terjadi dan apa penyebabnya.
Dengan demikian, pengawasan dapat bersifat (1) politik, apabila sasarannya
adalah efektivitas, (2) yuridis, apabila tujuannya legalitas, (3) ekonomis,
apabila sasarannya efisiensi, (4) moril dan susila, apabila sasarannya adalah
untuk mengetahui keadaan moralitas. 4 Sedangkan menurut Sujamto
pengawasan adalah “segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan
menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan
kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak”. Adapun
batasan tentang pengendalian sebagai “segala usaha atau kegiatan untuk
menjamin dan mengarahkan agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan dapat
berjalan dengan semestinya”. Jadi, keduanya baik pengawasan maupun
pengendalian adalah sebuah usaha atau kegiatan. 5

Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa pengawasan terhadap segala


kegiatan Pemerintah Daerah termasuk Keputusan Kepada Daerah dan
Peraturan Daerah, merupakan suatu akibat mutlak dari adanya Negara
Kesatuan. Di dalam Negara Kesatuan kita tidak mengenal bagian yang lepas
dari atau sejajar dengan negara, tidak pula mungkin ada negara di dalam
negara. Pada umumnya, dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan
haruslah diusahakan selalu ada keserasian atau harmoni antara tindakan
pusat atau negara dengan tindakan daerah, agar supaya kesatuan negara
dapat tetap terpelihara.6 Menurut Oppenheim “Kebebasan bagian-bagian

4
S. Prayudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1995, hlm. 84.
5
Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, Hlm. 19.
Lihat juga Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan Di Indonesia, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta,
199, Hlm. 42.
6
Irawan Soejito, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepada Daerah, Bina
Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 9.

5
negara sama sekali tidak boleh berakhir dengan kehancuran hubungan
negara. Di dalam pengawasan tertinggi letaknya jaminan, bahwa selalu
terdapat keserasian antara pelaksanaan bebas dari tugas Pemerintah daerah
dan kebebasan tugas negara oleh Penguasa Negara itu.”7

2.2 Bentuk Pengawasan Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Produk


Hukum Daerah

Dalam UU No.23 tahun 2014 dijelaskan mengenai hubungan


pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan telah diubah menjadi UU
No.9 tahun 2015 tentang perubahan kedua atas UU No.23 tahun 2014 8.
Dalam UU tersebut ada pembagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah diberikan hak dan wewenang untuk mengurus sendiri
pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya, namun lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif memiliki kewenangan saling kontrol/mengawasi
(system check and balances).9

Prosedur dalam pengawasan produk hukum daerah pasca


amandemen UUD 1945, menghadapi perubahan yang cukup signifikan.
Perubahan ini mulai terlihat sejak lahirnya kewenangan lembaga negara,
yang menunjukan adanya konsep pemisahan kekuasaan lembaga negara
sehingga tidak berpusat pada satu lembaga saja. 10 Pengawasan yang
dilakukan pemerintah pusat bukan serta-merta sebagai bentuk pengekangan
terhadap pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi daerah.
Pengawasan yang dilakukan pemerintah agar pemerintah tetap berada dalam

7
Oppenheim, Nederlands Gemeenterecht, dikutip kembali oleh Irawan Soejito, Ibid.
8
“UU Nomor 23 Tahun 2014.”
9
Prof Dr Jimly Asshiddiqie S.H, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Sinar Grafika, 2021),
hlm 72.
10
“ Benyamin Ngaji - KEWENANGAN PEMBATALAN PRODUK HUKUM DAERAH OLEH PEMERINTAH
DI TINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA RI TAHUN 1945.Pdf,” accessed
September 18, 2023, http://e-journal.uajy.ac.id/id/eprint/8893

6
prinsip NKRI agar tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan yang lebih tinggi, demi terwujudnya good government. 11

Untuk melakukan pengawasan Pusat terhadap Daerah, Pasal 114 UU


No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan wewenang
kepada Pemerintah untuk membatalkan Perda dan Keputusan Kepala
Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-
undangan lainnya.12

Perubahan UUD 1945 Pengujian normatif atau pengujian norman


hukum dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang biasa
disebut judicial review yang berdasarkan pasal 24A UUD 1945 (perubahan)
yang merupakan kewenangan dari Mahkamah Agung untuk menguji
peraturan perundang-undangan. Dalam bukunya, Jimly asshidiqie
mengatakan bahwa pengawasan terhadap produk hukum daerah dilakukan
dengan beberapa sistem pengawasan yaitu sistem pengawasan internal dan
eksternal13. Sistem pengawasan internal yaitu sistem yang dapat dilakukan
secara internal yang dilakukan oleh lembaga pembentuk produk hukum itu
sendiri, sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh pihak-pihak
independen diluar pemerintah daerah seperti lembaga-lembaga pengawas
hukum.

Pengawasan represif merupakan pengawasan terhadap seluruh


produk hukum daerah yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perudang-undangan yang lebih tinggi. Pengawasan
preventif, yang dilakukan melalui mekanisme pengesahan oleh pihak
berwenang terhadap rancangan peraturan kepala daerah, khususnya yang

11
Yuri Sulistyo, Rosita Indrayati, and Antikowati, “GOVERNMENTAL CONTROL OF REGIONAL LAW
PRODUCT (REGIONAL RULES) THROUGHOUT THE REVOCATION MECHANISM OF LOCAL
REGULATION BASED ON THE LAW NUMBER 32 OF 2004 ON REGIONAL GOVERNMENT,” 2013, hal.
4.
12
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Nusa Media, 2019), hal. 10.
13
asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, 156.

7
mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pengawasan preventif (preventif toezicht) sebagai upaya untuk mencegah
agar produk-produk hukum daerah yang dibentuk oleh Pemerintahan
Daerah, tidak keluar dari tujuan nasional dan juga tidak bertentangan dengan
produk hukum yang tingkatnya lebih tinggi. 14

Pengawasan preventif merupakan bentuk pengawasan yang tepat


dalam konteks pembinaan penyelenggaran otonomi daerah dan tugas
pembantuan. Model pengawasan dengan cara mencegah serta mengevaluasi
sebelum memberikan pengesahan terhadap peraturan kepala daerah
merupakan sebuah langkah untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan
serta menghindari kemungkinan terjadi pembatalan (vernietiging) terhadap
produk hukum daerah.

Pengawasan pemerintah terhadap perda diaktualisasikan dalam


bentuk pengujian perda yang dilakukan oleh pemerintah yang kemudian
disebut dengan executive review dan kemudian berlanjut pada mekanisme
pembatalan perda apabila perda tersebut dinilai bertentangan dengan
kepentingan umum dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Selain itu pengawasan ini juga bertujuan agar perda yang dibuat oleh
pemerintah daerah telah sesuai dengan asas-asas dan prosedur pembentukan
peraturan perundang-undangan.

Pengawasan juga dapat dibedakan dari dua sisi, yaitu pengawasan


dari sisi saat/waktu pelaksanaan dan pengawasan dari sisi obyek.

1. Pengawasan dari sisi saat/waktu terdiri dua jenis yaitu kontrol priori
dan kontrol a-posteriori. Kontrol priori dilakukan bilamana
pengawasan dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu putusan atau
ketetapan pemerintah atau pun peraturan lainnya yang
pengeluarannya memang menjadi wewenang Pemerintah.
Sedangkan dalam kontrol a-posteriori dilakukan bilamana

14
“ Benyamin Ngaji, hal. 20

8
pengawasan itu baru dilakukan sesudah dikeluarkannya
keputusan/ketetapan Pemerintah atau sesudahterjadinya
tindakan/perbuatan Pemerintah. 15
2. Pengawasan dari sisi objek terdiri atas dua jenis kontrol yaitu
pertama kontrol dari sisi hukum (rechmatigheidstoetsing) dan
kontrol dari sisi kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing). Kontrol dari
sisi hukum ini pada prinsipnya menitikberatkan pada segi legalitas,
yaitu penilaian tentang sah atau tidaknya suatu perbuatan
pemerintah. Sedangkan kontrol dari sisi kemanfaatan disini ialah
pada prinsipnya menilai perbuatan pemerintah berdasarkan benar
tidaknya perbuatan tersebut dari segi pertimbangan kemanfaatannya,
khususnya dalam kerangka pencapaian kesejahteraan masyarakat. 16

2.3 Pengawasan Pemerintah terhadap Produk Hukum Daerah

A. Bentuk Pengawasan Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Produk


Hukum Daerah

Konsep pengawasan di sini khususnya adalah pengawasan


terhadap produk-produk hukum yang dibuat oleh pemerintah daerah.
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah ini bukan lantas dilihat
sebagai suatu pengekangan atau pengkebirian terhadap kebebasan
pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah yang mana
dalam hal ini adalah kebebasan pemerintah daerah dalam membuat
perda. Pengawasan ini dilakukan oleh pemerintah karena pemerintah
daerah tetap berada dalam koridor NKRI yang mana walaupun daerah
diberikan kewenangan dan kebebasan untuk mengurus sendiri rumah
tangga pemerintahanya namun tidak lantas pemerintah daerah bebas
tanpa batas. Pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintah daerah tetap

15
M Nur Sholikin, dkk, Laporan Kajian Implementasi Pengawasan Perda Oleh Pemerintah Dan
Mahkamah Agung, Pusat Kajian Hukum Dan Kebijakan Indonesia, 2011. hlm. 9
16
Ibid.

9
harus dalam koridor NKRI dan di bawah pengawasan pemerintah pusat,
pemerintahan daerah agar terwujud good government.
Pengawasan pemerintah terhadap perda dilakukan agar
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi.
Pengawasan pemerintah terhadap perda diaktualisasikan dalam bentuk
pengujian perda yang dilakukan oleh pemerintah yang kemudian disebut
dengan executive review dan kemudian berlanjut pada mekanisme
pembatalan perda apabila perda tersebut dinilai bertentangan dengan
kepentingan umum dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Selain itu pengawasan ini juga bertujuan agar perda yang dibuat oleh
pemerintah daerah telah sesuai dengan asas-asas dan prosedur
pembentukan peraturan perundangundangan. Executive Review terhadap
suatu perda, apabila secara murni mengacu pada ketentuan normatif
hukum pada Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bukanlah
menjadi suatu permasalahan, karena pemerintah daerah merupakan
bagian dari pemerintah pusat atau berada dibawah pemerintah pusat.
Sehingga, pemerintah pusat juga mempunyai kewenangan untuk menguji
dan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah daerah.
Pengujian terhadap suatu peraturan daerah yang dilakukan oleh
pemerintah pusat adalah dalam rangka pengawasan dan pembinaan
terhadap pemerintahan daerah. Dasar hubungan antara pusat dan daerah
adalah bahwa pemerintah pusat menyerahkan sebagian wewenang
pemerintahannya kepada daerah untuk diatur dan diurus sendiri sebagai
urusan rumah tangga daerah (otonom).
Pertama tentang istilah dari pengawasan itu sendiri, istilah
pengawasan disini dapat dijumpai dalam berbagai peraturan
perundangundangan tentang pemerintahan daerah. Pada intinya
pengawasan terhadap pemerintahan daerah dibedakan menjadi dua, yaitu
pengawasan preventif dan pengawasan represif. Konsep pengawasan
represif tersebut di aktualisasikan dalam bentuk keputusan pembatalan

10
terhadap produk-produk hukum daerah yang mana dalam hal ini adalah
perda yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan
yang lebih tinggi. Pengawasan represif menjadi konsep hukum yang
menunjuk fungsi dan wewenang untuk membatalkan produk-produk
hukum (perda), apabila perda tersebut dinilai bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Dengan demikian bertumpu pada pengertian tersebut, maka
sebenarnya konsep pengawasan represif tersebut tidak lain adalah konsep
pengujian atau hak uji perda. Konsep pengujian memiliki beberapa jenis
yang mana diantaranya adalah toetsingsrecht dan judicial review.
Toetsingsrecht yang banyak diterjemahkan oleh beberapa penulis dan
ahli hukum sebagai hak menguji dapat diartikan sebagai kewenangan
untuk menilai peraturan perundangundangan terhadap Undang-Undang
Dasar, atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.19
Sebagaimana diketahui produk hukum itu secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu produk hukum tertulis yang
berbentuk regeling atau hukum yang bersifat mengatur/pengaturan dan
beschikking atau hukum yang bersifat memutuskan/penetapan. Jadi
konsep toetsingsrecht hanya terbatas pada pengujian terhadap regeling
dan tidak untuk menguji beschikking. Fungsi pengujian dalam konsep
judicial review merupakan wewenang hakim untuk menguji semua
produk hukum baik berupa regeling maupun beschikking 17
Menurut Leonard D. White, pengawasan dimaksudkan untuk
menjamin bahwa kekuasaan itu digunakan untuk tujuan yang
diperintah dan mendapat dukungan serta persetujuan dari rakyat;
serta untuk melindungi hak asasi manusia yang telah dijamin oleh
undang-undang daripada tindakan penyalahgunaan kekuasaan18

17
Sulistyo, Yuri, et al. "Pengawasan Pemerintah terhadap Produk Hukum Daerah (Peraturan
Daerah) melalui Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah." e-Journal Lentera Hukum, vol. 1, no. 1, 2014, hlm
4-5
18
Sukarna. 1990. Prinsip-Prinsip Administrasi Negara. Bandung: Mandar Maju. Hlm 114

11
B. Jenis-Jenis Pengawasan Peraturan Daerah

Dalam sistem ketatanegaraan maka pengawasan terhadap


perbuatan pemerintah dapat dilihat dari beberapa sudut. Dari
semua cara pengawasan tersebut dapatlah dirinci sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi sifatnya, terdiri atas: pengawasan yang
bersifat preventif dan pengawasan yang bersifat represif.
2. Dilihat dari segi obyek yang diawasi, terdiri atas pengawasan
yang berobyek peraturan, dan pengawasan yang berobyek
keputusan.
3. Dilihat dari segi pelaku yang mengawasi, terdiri atas:
pengawasan politik; pengawasan oleh masyarakat; pengawasan
internal/administratif; pengawasan yuridis; pengawasan oleh
Ombudsman; dan pengawasan independent
Selanjutnya akan dijelaskan satu per satu mengenai setiap jenis
pengawasan tersebut.
1. Pengawasan yang bersifat preventif dan represif.
Secara harfiah pengawasan preventif berarti pengawasan yang
bersifat mencegah. Mencegah artinya menjaga jangan sampai
suatukegiatan itu terjerumus pada kesalahan. Pengawasan
preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum
dikeluarkannya suatu keputusan/ketetapan pemerintah, disebut
juga pengawasan a-priori. Pengawasan preventif yang
sifatnya mencegah agar pemerintah tidak membuat
peraturan/ketetapan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam pengertian yang lebih
operasional, pengawasan preventif ditujukan agar pemerintah
tidak menetapkan peraturan/ketetapan yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang

12
lebih tinggi atau peraturan perundang-undangan
lainnya.Pengawasan represif adalah pengawasan yang
dilakukan sesudah dikeluarkannya keputusan/ketetapan
pemerintah sehingga bersifat korektif dan memulihkan suatu
tindakan yang keliru. Disebut juga pengawasan aposteriori.
Pengawasan represif merupakan pengawasan yang berupa
penangguhan atau pembatalan terhadap keputusan/ketetapan
yang telah ditetapkan pemerintah.
2. Pengawasan terhadap peraturan dan pengawasan terhadap
keputusan
Pengawasan terhadap peraturan dibedakan atas dua jenis.
Pengawasan seperti ini disebut juga hak uji (materil). Untuk
peraturan yang berbentuk peraturan perundang-undanganan
yang secara hirarki berada di bawah undang-undang, maka
pengawasan yang dilakukan adalah melalui peradilan di dalam
lingkungan Mahkamah Agung. Untuk peraturan perundang-
undangan yang berbentuk undang-undang, maka
pengawasannya dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi.
3. Pengawasan berdasarkan pelaku yang melakukan pengawasan,
yang terdiri dari enam jenis, yaitu:
a. Pengawasan politik, pengawasan yang dilakukan oleh
lembaga perwakilan (legislatif), seperti DPR, DRD,
DPRD. Pengawasan yang dilakukan badan legislatif
untuk mengusahakan pelaksanaan pemerintah sejalan
dengan kehendak politik yang telah di tetapkan.
Pengawasan ini pada umumnya berbentuk kegiatan
dengar pendapat, kunjungan kerja, pembentukan
panitiakhusus dan pembentukan panitia kerja. Saat
ini pengawasan jenis ini belum optimal.
b. Pengawasan oleh masyarakat, yang terdiri atas
pengawasan langsung (direct control)misalnya melalui

13
unjuk rasa, atau public hearing, dimana pengawasan
jenis ini memiliki tingkat keberhasilan yang rendah.
Disebut juga pengawasan melembaga, yaitu pengawasan
yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara
terlembaga.Pengawasan tidak langsung (indirect control),
dimana pengawasan dilakukan melalui media perantara
atau dengan cara terselubung, seperti tulisan di kolom
suara pembaca di surat kabar, ataupun melalui
pertunjukkan drama bersifat kritik sosial. Disebut juga
pengawasan dengan cara yang tidak terlembaga.
c. Pengawasan internal atau pengawasan administrasi,
adalah pengawasanyang dilakukan oleh satu badan yang
secara struktural/organisastoris masih termasuk dalam
lingkungan pemerintahan sendiri. Biasanya pengawasan
ini dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya
secara hirarkis, 19
dimana pengawasan jenis ini terdiri atas:
1). pengawasan melekat, yaitu pengawasan atasan
langsung kepada bawahan. Pengawasan ini bersifat
preventif ;
2). pengawasan fungsional, yaitu
3). pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang
diadakan khusus untuk membantu pimpinan dalam
menjalankan fungsi di lingkungan organisasi yang
menjadi tanggung jawabnya.Pengawasan fungsional
ini dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang
memiliki tugas dan fungsi melakukan pengawasan

19
Nina Jayanti, “MEKANISME PENGAWASAN TERHADAP PRODUK HUKUM DALAM KONSTRUKSI
POLITIK HUKUM”, vol. 4 No. 2, September 2019, 212-213

14
melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan
penilaian. Pengawasan ini bersifat represif. 20
d. Pengawasan Yuridis, atau pengawasan oleh lembaga
peradilan, yaitu terdiri dari tiga jenis, pengawasan
melalui lembaga peradilan di dalam naungan Mahkamah
Agung, dan peradilan Mahkamah Konstitusi, serta
Peradilan Tata Usaha Negara. Pengawasan berupa
hak uji materiil (judicial review) terhadap peraturan
perundang- undangan di bawah UU, dilakukan oleh
peradilan di dalam naungan Mahkamah Agung,
sedangkan Mahkamah Konstitusimelakukan pengawasan
hak uji materiil terhadap UU. Pengawasan terhadap
tindakan hukum tata usaha negara, dilakukan oleh
Peradilan Tata Usaha Negara.
e. Pengawasan independen, dari lembaga swadaya
masyarakat. Kehadiran pengawasan independen ini
merupakan salah satu ciri-ciri negara demokrasi.
f. Pengawasan oleh Ombudsman

C. Mekanisme Pengawasan Terhadap Produk Hukum Dalam


Konstruksi Politik Hukum

Politik hukum merupakan perbuatan aparat yang


berwenang dalam memilih beberapa alternatif yang tersedia untuk
menghasilkan karya hukum demi terwujudnya tujuan negara.
Karya hukum, atau produk hukum yang dihasilkan tersebut
dapat berupa peraturan perundang-undangan (regelling) ataupun
keputusan (beschikking).

20
Pudyatmoko, S.Y. dan W. Riawan Tjandra. 1996. Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai
Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya.Hal.
61.

15
Pengawasan terhadap produk hukum dalam konstruksi
politik hukum sangat berkaitan erat dengan dengan tujuan mencapai
penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Mekanisme
pengawasan tersebut dapat dilakukan oleh sesamaaparat
pemerintah atau aparat lain di luar tubuh eksekutif secara
fungsional, dapat pula dilakukan oleh kekuasan kehakiman.
Berikut skema mekanisme pengawasan:

Dari skema ini terlihat bahwa mekanisme pengawasan


dapat dilakukan melalui sejumlah jalur. Namun untuk
melakukan pengawasan terhadap produk hukum dalam
konstruksi politik hukum dimana dalam hal ini adalah
pengawasan terhadap produk hukum, baik itu berupa peraturan
perundang-undangan maupun keputusan, maka mekanismenya
dilakukan melalui kekuasaan kehakiman
Di dalam konstruksi politik hukum, maka pengawasan
dilakukan terhadap produk hukum yang telah dibuat oleh
aparat berwenang, sehingga disini yang terjadi adalah
pengawasan represif, yaitu pengawasan yang dilakukan
sesudah dikeluarkannya keputusan/ketetapan pemerintah sehingga
bersifat korektif dan memulihkan suatu tindakan yang keliru
Mahkamah Konstitusi melakukanpengawasan terhadap produk
hukum berupa undang-undang (uji materil), sedangkan

16
peradilan di lingkungan Mahkamah Agung melakukan pengawasan
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang.Pengawasan terhadap perbuatan aparat yang berwenang
oleh kekuasaan kehakiman selalu akan berbentuk pengawasan
represif, artinya, pengawasan tersebut dilakukan setelah ada
perbuatan konkrit dari aparat yang berwenang yang dianggap
merugikan pihak lawan berbuat.21

2.4 Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah Antara


Pemerintahpusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia

Ateng Syafrudin menyatakan pengawasan dalam kaitannya dengan


penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah suatu proses kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan
rencana dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Secara umum
ditinjau dari segi Hukum Administrasi Negara, 22
pengawasan menurut
pendapat Prajudi Atmosudirdjo diartikan sebagai proses kegiatan-kegiatan
yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan atau
diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau
diperintahkan. Adapun menurut Sujamto, pengawasan adalah segala usaha
atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya
mengenai pelaksanaan tugas sesuai dengan yang semestinya atau tidak.23

A. Pengawasan Perda Oleh Pemerintah Pusat Menurut UU No.32


Tahun 2004

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang menganut


asas desentralisasi, karenanya dalam menyelenggarakan

21
Muchsan. 1992. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Hlm 49
22
Ateng Syafrudin, Naskah Lepas Masalah-masalah Hukum Otonomi Daerah (Arti Pengawasan),
(Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003), hlm. 1.
23
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 81

17
pemerintahannya, dibentuklah daerah otonom yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hakekat isi
otonomi adalah kebebasan dan kemandirian satuan Pemerintah lebih
rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan
Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan
mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan
pemerintahan yang lebih rendah. Untuk melaksanakan tugasnya
dalam menyelenggarakan pemerintahan di Daerah, Pemerintah
Daerah beserta DPRD diberi wewenang untuk membuat Peraturan
Daerah. Peraturan Daerah ini merupakan produk hukum yang berisi
peraturan-peraturan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah dan
tugas pembantuan. Perda dimaksudkan juga sebagai landasan atau
acuan bagi Pemerintah Daerah untuk menjalankan tugas Otonomi
Daerah untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan Daerah.

Perda sebagai produk hukum tidak terlepas dari tata


peraturan perundang-undangan Nasional, di dalam Pasal 7 (1) UU
No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan disebutkan bahwa : Jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun


1945
2. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah.

Melihat ketentuan ini, ternyata bahwa Perda mempunyai


tempat dan menjadi bagian dalam susunan tata urutan perundang-
undangan nasional. Dicantumkannya Perda dalam tata urutan
perundang-undangan Indonesia menunjukkan bahwa kedudukan

18
Perda dihargai sebagaimana peraturan perundang-undangan lainnya,
akan tetapi dalam pembuatan suatu Perda harus selalu diingat bahwa
Daerah Otonomi walaupun diberi kebebasan yang luas tetapi tetap
berada dalam naungan negara kesatuan RI.

Keberadaan perda menjadi sesuatu keharusan bagi Daerah


dalam rangka menyelenggarakan kewenangannya untuk mengatur
urusan rumah tangga Daerah, baik yang bersumber dari otonomi
daerah maupun yang bersumber dari tugas pembantuan. Perda yang
dibuat berdasarkan Otonomi Daerah berisikan segala sesuatu yang
mengatur urusan pemerintahan yang menjadi wewenangan Daerah,
baik yang bersifat substansial maupun mengenai cara-cara
menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut, sedangkan Perda
yang dibuat dalam bidang tugas pembantuan tidak mengatur
substansi urusan pemerintahan, melainkan terbatas pada pengaturan
tentang cara-cara menyelenggarakan urusan yang memerlukan
bantuan.

Kewenangan membuat Perda adalah wujud dari pelaksanaan


hak otonomi dari suatu Daerah dan merupakan salah satu sarana
dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah, karenanya kewenangan
Daerah untuk membuat suatu Perda harus sesuai dengan
kewenangan yang diberikan kepadanya Dalam pembuatan suatu
perda, harus diperhatikan bahwa fungsi perda adalah untuk
melancarkan tugas Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan, karenanya harus diperhatikan aturan-aturan dasar
yang memayunginya seperti tidak bertentangan dengan kepentingan
umum, peraturan yang lebih tinggi dan peraturan Daerah lainnya,
bila ketentuan dasar ini dilanggar, maka perda itu dapat dibatalkan
atau batal demi hukum

19
Definisi kepentingan umum sangat luas, menurut Bagir
Manan, ada dua pengertian pokok tentang kepentingan umum yaitu
:

1. kepentingan umum sebagai dasar untuk membatasi hak


seseorang. Kepentingan umum di sini memberikan
wewenang kepada Pemerintah untuk melakukan tindakan
atas hak-hak seseorang yang akan dipergunakan untuk
kepentingan umum, seperti pencabutan hak atau pembebasan
hak.
2. kepentingan umum sebagai dasar untuk membatasi
pemerintah. Pemerintah pada asasnya tidak diperbolehkan
untuk melakukan tindakan atau membuat keputusan yang
bertentangan dengan kepentingan umum

Indikator kepentingan umum menurut Tim Kajian Akademik


Koordinator Kerjasama FH UNPAD dengan Biro Hukum Prov. Jabar
yang dibuat pada bulan Desember 2000 adalah :

1. Kepentingan Daerah setempat yaitu : bahwa dalam


pembuatan suatu Perda, partisipasi masyarakat sangat
diperlukan, hal ini untuk mencegah agar Perda tidak akan
bertentangan dengan kepentingan masyarakat Daerah
tersebut, karena Perda telah menyikapi, merespon dan
mengakomodasikan berbagai aspirasi dan kepentingan
masyarakat Daerah tersebut.
2. Kepentingan Daerah lainnya yaitu : Perda tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan Daerah lainnya, hal ini
bertujuan agar Perda tersebut tidak dipermasalahkan
masyarakat Daerah lainnya yang merasa dirugikan dengan
dikeluarkannya Perda tersebut.
3. Kepentingan nasional yaitu : bahwa dalam pembuatan Perda,
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.

20
Daerah harus mengingat bahwa Indonesia adalah suatu
negara kesatuan yang berbentuk republik, karenanya
Otonomi Daerah bukanlah kemerdekaan Daerah, tetapi
kemandirian dalam kerangka dan ikatan negara kesatuan
Republik Indonesia.

Pada pembuatan suatu Perda harus selalu diingat bahwa


Perda sebagai kaidah hukum berkaitan dengan suatu tertib hukum,
yaitu bahwa setiap kaidah hukum harus terkait dan tersusun dalam
suatu sistem yang satu sama lain tidak boleh saling
mengesampingkan. Doktrin atau ajaran tertib hukum ini
mengandung beberapa hal :

1. Dalam hal peraturan perundang-undangan tingkatan lebih


rendah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang tingkatannya lebih tinggi, maka peraturan perundang-
undangan tingkatan lebih rendah dapat dibatalkan bahkan
dapat dinyatakan batal demi hukum.
2. dalam hal peraturan perundang-undangan yang sederajat
bertentangan dengan peraturan perundangundangan
sederajat lainnya, maka berlaku peraturan perundang-
undangan yang terbaru dan peraturan perundang-undangan
lama dianggap telah dikesampingkan (Lex Posterior Derogat
Priori)
3. dalam hal peraturan perundang-undangan yang mengatur
bidang-bidang yang merupakan kekhususan dari bidang-
bidang umum yang diatur oleh peraturan perundang-
undangan yang sederajat, maka berlaku peraturan

21
perundang-undangan yang mengatur bidang khusus (Lex
Specialis Derogat Lex Generalis) 24

Pada suatu negara kesatuan terdapat prinsip yang


mengatakan bahwa pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan terletak di tangan Pemerintah Pusat, karenanya
otonomi yang diberikan kepada Daerah bukanlah kemerdekaan
tetapi kebebasan yang terbatas atau dapat dikatakan bahwa
kemandirian itu adalah wujud dari pemberian kesempatan bagi
Daerah yang harus dipertanggungjawabkan.Oleh karena itu
Pemerintah Pusat berhak melakukan pengawasan terhadap
Pemerintah Daerah dalam mejalankan tugasnya menyelengarakan
pemerintahan di Daerah. Mengenai hal ini Amrah Muslimin
berpendapat bahwa : prinsip yang terkandung di dalam negara
kesatuan adalah bahwa Pemerintah Pusat berwenang campur tangan
yang lebih intensif terhadap persoalan-persoalan di Daerah dan
kewenangan Pemerintah Pusat ini hanya terdapat dalam suatu
perumusan umum dalam UUD.Pengawasan Pemerintah Pusat
terhadap Daerah merupakan pengikat kesatuan, agar bandul
kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga
mengurangi bahkan mengancam kesatuan, tetapi pengawasan tidak
boleh mengakibatkan pengurangan terhadap nilai-nilai yang
terkandung dalam dasar-dasar desentralisasi serta patokanpatokan
sistem rumah tangga Daerah seperti dasar kerakyatan dan kebebasan
Daerah itu untuk berprakarsa, karenanya bandul pengawasan harus
bergerak seimbang, tidak terlalu longgar tetapi tidak pula terlalu
ketat

Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah


harus memenuhi syarat sebagai berikut;

2424
I Gde Pantja Astawa, op.cit, hlm.12.

22
1. harus sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan melalui
peraturan perundang-undangan
2. tidak boleh menyimpang atau melanggar kepentingan
nasional dan batas-batas wewenang yang telah diberikan.
3. Pemerintah Pusat berhak untuk mengawasi Pemerintah
Daerah baik secara preventif dan represif25

2.5 Pengujian Produk Hukum Daerah

Dalam ranah sistem ketatanegaraan dan studi perundang-


undangan, terdapat beberapa jenis peninjauan atau pengujian terhadap
produk-produk perundang-undangan yang dapat dilakukan oleh tiga
cabang kekuasaan negara yang berbeda.26 Pertama, jika suatu produk
perundang-undangan ditinjau oleh badan legislatif, seperti undang-
undang, sering disebut sebagai legislative review. Kedua, jika produk
perundang-undangan diperiksa oleh pemerintah, seperti oleh Menteri atau
Gubernur, maka ini digolongkan sebagai tindakan executive review.
Ketiga, jika suatu produk perundang-undangan diperiksa melalui lembaga
peradilan, maka ini dapat disebut sebagai mekanisme judicial review.

Istilah pengujian secara a-priori dan pengujian secara a-posteriori


diarahkan pada pengertian executive preview dan executive review.
Pengujian executive preview merujuk kepada proses pemeriksaan dan
persetujuan terhadap peraturan perundang-undangan sebelum disahkan,
yang harus dilakukan oleh instansi yang memiliki kedudukan hierarkis
lebih tinggi dibandingkan dengan instansi yang mengeluarkan peraturan
tersebut. Fokus utama dari pengujian ini adalah mencegah masalah
sebelum terjadi dengan tujuan menjaga kemanfaatan dan keabsahan

25
R. Joeniarto, Perkembangan, op.cit, hlm.209.
26
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara: Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006). h. 153

23
peraturan perundang-undangan sebelum peraturan tersebut dinyatakan
berlaku secara umum.

Sementara itu, pengujian secara executive review adalah ketika


peraturan perundang-undangan yang telah disahkan dan mulai berlaku
diperiksa kembali dan dapat dibatalkan oleh instansi yang memiliki
kedudukan hierarkis lebih tinggi daripada instansi yang mengeluarkan
peraturan tersebut. Pengujian ini terjadi setelah peraturan tersebut berlaku
dan fokusnya adalah pada koreksi dan perbaikan tindakan atau peraturan
yang mungkin keliru atau tidak sesuai.

Pengujian a-posteriori, sebaliknya, terjadi setelah peraturan atau


keputusan telah dikeluarkan atau setelah tindakan atau perbuatan
pemerintah dilakukan. Titik beratnya adalah pada upaya mengoreksi dan
memulihkan tindakan yang salah yang telah dilakukan oleh pemerintah
atau lembaga yang menerbitkan tindakan tersebut.27

Untuk memastikan pemerintahan daerah beroperasi sesuai dengan


hukum yang berlaku, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengawasi
dan membimbing daerah (baik kabupaten/kota, termasuk desa).
Kewenangan pengawasan pemerintah mencakup pemeriksaan apakah
peraturan daerah dan keputusan kepala daerah di setiap daerah sesuai
dengan kepentingan umum atau hukum yang lebih tinggi dan/atau
peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam konteks ini, pelaksanaan
Otonomi Daerah oleh pemerintah daerah didasarkan pada kewenangan
Presiden yang bertanggung jawab atas pemerintahan secara keseluruhan.

Karena tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan ada


di tangan Presiden, maka wajar jika kewenangan untuk membatalkan
peraturan daerah berada di tangannya. Namun, Presiden tidak secara
langsung membatalkan peraturan daerah tersebut. Presiden

27
Jimly Asshiddiqie. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002). h. 7-9

24
mendelegasikan kewenangan pembatalan peraturan daerah Provinsi
kepada Menteri sebagai asisten Presiden yang bertanggung jawab atas
Otonomi Daerah. Sementara itu, kewenangan pembatalan peraturan
daerah Kabupaten/Kota diberikan oleh Presiden kepada gubernur sebagai
perwakilan Pemerintah Pusat di daerah.

Ini berarti bahwa peraturan daerah Provinsi dan peraturan gubernur


yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, kepentingan umum,
dan/atau etika dapat dibatalkan oleh Menteri. 28 Demikian pula, peraturan
daerah Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan
dengan hukum yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau etika dapat
dibatalkan oleh gubernur sebagai perwakilan Pemerintah Pusat.29 Jika
dalam hal tertentu gubernur sebagai perwakilan Pemerintah Pusat tidak
membatalkan peraturan daerah Kabupaten/Kota dan/atau peraturan
bupati/wali kota yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau etika, Menteri memiliki kewenangan untuk
membatalkannya melalui keputusan Menteri. 30

Agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam pembatalan


peraturan daerah, pemerintah daerah Provinsi dapat mengajukan keberatan
atas pembatalan peraturan daerah Provinsi yang dilakukan oleh Menteri
kepada Presiden. Sementara itu, pemerintah daerah Kabupaten/Kota dapat
mengajukan keberatan atas pembatalan peraturan daerah Kabupaten/Kota
yang dilakukan oleh gubernur sebagai perwakilan Pemerintah Pusat
kepada Menteri.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, keputusan


yang diambil oleh Presiden dan Menteri adalah keputusan yang bersifat

28
Pasal 251 ayat (1) UU Pemda (UU No. 23/2014 jo. UU No. 2/2015)
29
Pasal 251 ayat (2) UU Pemda (UU No. 23/2014 jo. UU No. 2/2015)
30
Pasal 251 ayat (3) dan (4) UU Pemda (UU No. 23/2014 jo. UU No. 2/2015)

25
final. Jika pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten/kota) tetap
melaksanakan peraturan daerah yang telah dibatalkan oleh Menteri atau
gubernur sebagai perwakilan Pemerintah Pusat, mereka akan dikenai
sanksi berupa: a) sanksi administratif; dan/atau b) penundaan evaluasi
rancangan peraturan daerah.31 Sebaliknya, jika daerah tidak setuju dengan
keputusan pembatalan peraturan daerah, kepala daerah dapat mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Agung.32

A. Pengujian Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung

Mahkamah Agung (MA) sebagai institusi yang mengemban fungsi


kehakiman diberikan hak oleh Konstitusi 1945 untuk melakukan evaluasi
terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dibandingkan
undang-undang.33 Hak ini dikenal sebagai judicial review atau
pemeriksaan hukum terhadap peraturan perundang-undangan oleh badan
kehakiman. Kemudian, berdasarkan Pasal 9 ayat (2) Undang–Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, MA memiliki wewenang untuk menguji; 1) peraturan
pemerintah; 2) peraturan presiden; dan 3) peraturan daerah.

Dasar hukum untuk kewenangan MA dalam melakukan


pemeriksaan terhadap peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan
peraturan daerah tercantum dalam beberapa undang-undang. Dasar
konstitusionalnya terdapat dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, yang
menyatakan bahwa "Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
dan memiliki wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang."

31
Pasal 252 ayat (1) – (4) UU Pemda (UU No. 23/2014 jo. UU No. 2/2015)
32
Ni’matul Huda. Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2019). h. 250
33
Moh. Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Depok:
Rajawali Pers, 2017). h. 124, cet. 4

26
Selain itu, Pasal 11 ayat (2) huruf b UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa "Mahkamah Agung
mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang."34 Terakhir, Pasal 31 ayat
(2) UU Nomor 5 Tahun 2004, yang diubah oleh Undang–Undang Nomor
3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, mengatur hal ini dengan lebih
rinci.

Dalam menjalankan kewenangannya dalam menguji peraturan


perundang-undangan, MA mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) Nomor 1 Tahun 2011 tentang hak uji materiil. 35

B. Pengujian Peraturan Daerah oleh Pemerintah

Wewenang pengujian peraturan daerah (Perda) oleh Pemerintah


didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Pasal 251 UU Pemda secara spesifik
mengatur prosedur pembatalan Perda dan Peraturan Kepala Daerah. Pasal
ini menentukan bahwa jika Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur
bertentangan dengan peraturan perundang–undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, maka Menteri memiliki
kewenangan untuk membatalkannya. Sementara itu, jika Perda
Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota bertentangan dengan
peraturan perundang–undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,

34
Taufiqurrahman Syahuri, dkk. Pengkajian Konstitusi: Problematika Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum
dan HAM RI, 2014). h. 60. Lihat juga, Bagir Manan. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut
UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994). h. 187. Bandingkan dengan, Janpatar
Simamora. Analisis Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial Review Di Indonesia, Artikel
dalam, Jurnal Mimbar Hukum, 2013, Vol. 25, No. 3, h. 389
35
Jefri S. Pakaya. Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam, Jurnal
Legislasi Indonesia, 2017, Vol. 14, No. 1, h. 93

27
dan/atau kesusilaan, Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dapat
membatalkannya.

Selanjutnya, Pasal 251 UU Pemda juga mengatur bahwa jika


Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda
Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang–undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum, dan/atau kesusilaan, maka Menteri dapat membatalkannya. Proses
pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur diatur oleh keputusan
Menteri, dan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pembatalan
tersebut, kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda tersebut.
Selanjutnya, DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda yang telah
dibatalkan. Jika penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi tidak
menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi oleh Gubernur dengan
alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang–undangan,
Gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden dalam waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari setelah menerima keputusan
pembatalan tersebut.

Untuk pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati,


keputusan tersebut ditetapkan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pembatalan,
kepala Daerah harus menghentikan pelaksanaan Peraturan Kepala Daerah
tersebut. Selanjutnya, Kepala Daerah mencabut Peraturan Kepala Daerah
yang telah dibatalkan. Jika penyelenggara Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota tidak menerima keputusan pembatalan tersebut dengan
alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang–undangan,
Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri dalam

28
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari setelah menerima keputusan
pembatalan tersebut.36

C. Legitimasi Konstitusional Pengujian Peraturan Daerah

Setelah perubahan pada UUD 1945, peraturan daerah mendapatkan


dasar konstitusional sebagai alat hukum untuk mengatur pemerintahan
daerah sesuai dengan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Peraturan Daerah hanya
dapat mengatur hal-hal terkait otonomi daerah, tugas pembantuan, dan
penjelasan lebih lanjut dari peraturan hukum yang lebih tinggi. Peraturan
Daerah juga dapat mencakup isu-isu lokal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. 37

Mekanisme pembuatan dan badan yang terlibat dalam proses


pembuatan Peraturan Daerah serupa dengan undang-undang. Seperti
undang-undang, pembentukan Peraturan Daerah melibatkan badan
legislatif dan eksekutif secara bersama-sama. Undang-undang dibuat oleh
badan legislatif pusat dengan persetujuan dari Presiden, sedangkan
Peraturan Daerah dibuat oleh badan legislatif daerah dengan kepala
pemerintah daerah setempat. Ini berarti bahwa Peraturan Daerah adalah
produk legislatif yang melibatkan perwakilan rakyat yang dipilih secara
langsung oleh rakyat.

Sebagai produk dari perwakilan rakyat dan pemerintah, Peraturan


Daerah dapat dianggap sebagai produk hukum (peraturan legislasi),
sedangkan peraturan lainnya adalah produk regulasi atau peraturan
eksekutif. Perbedaan utama antara Peraturan Daerah dan undang-undang
terletak pada cakupan wilayahnya; undang-undang berlaku di seluruh
negara, sementara Peraturan Daerah hanya berlaku di wilayah

36
Jefri S. Pakaya. Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam, Jurnal
Legislasi Indonesia, 2017, Vol. 14, No. 1, h. 91-98
37
Alwadud Lule. Dualisme Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam, Jurnal Crepido,
Vol. 03, No. 02, 2021, h. 112

29
pemerintahan daerah yang bersangkutan, seperti provinsi, kabupaten, atau
kota. Oleh karena itu, Peraturan Daerah sering disebut sebagai "hukum
lokal."38

Karena Peraturan Daerah melibatkan kepala daerah dan DPRD,


yang merupakan badan politik, mungkin saja ada ketentuan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme untuk
mengontrol agar Peraturan Daerah yang dibuat oleh kepala daerah bersama
DPRD tetap sesuai dengan norma yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.

Menurut UU Pemerintahan Daerah, rancangan Peraturan Daerah


yang telah disetujui harus diajukan kepada Menteri untuk Peraturan
Daerah Provinsi dan Gubernur untuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
untuk dilakukan klarifikasi. Ini dilakukan untuk memeriksa kesesuaian
Peraturan Daerah dengan kepentingan umum, peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, dan kesusilaan. Proses klarifikasi Peraturan
Daerah, yang sering disebut sebagai tinjauan eksekutif, adalah langkah
yang diperlukan untuk mengawasi Peraturan Daerah yang dihasilkan oleh
pemerintahan daerah dengan baik. Dengan demikian, pengujian
konstitusional Peraturan Daerah merupakan kewenangan Menteri Dalam
Negeri dan Gubernur.

Namun, perspektif konstitusi (UUD 1945) memberikan wewenang


kepada Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian terhadap legalitas
peraturan daerah. Mekanisme pengawasan norma hukum oleh lembaga
kehakiman dikenal sebagai "pengujian yudisial." Secara konstitusional,
kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD

38
Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Pres, 2017). h.
63-64. Lihat juga, Alwadud Lule. Dualisme Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam, Jurnal
Crepido, Vol. 03, No. 02, 2021, h. 113

30
1945, yang menyatakan bahwa, "Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang…." Dalam kerangka hukum nasional, peraturan daerah
adalah jenis peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-
undang dalam hierarki hukum, setelah Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Presiden. 39

Jika peraturan daerah dianggap sebagai jenis peraturan perundang-


undangan yang berada di bawah undang-undang, maka Mahkamah Agung
memiliki kompetensi untuk menguji Peraturan Daerah, baik yang
dikeluarkan oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini
menciptakan dua lembaga yang dapat mengawasi atau menguji peraturan
daerah, yaitu Pemerintah melalui mekanisme tinjauan eksekutif dan
Mahkamah Agung melalui pengujian yudisial.

Selain itu, ada perbedaan dalam standar normatif yang digunakan


dalam pengujian peraturan daerah melalui tinjauan eksekutif dan
pengujian yudisial. Pengujian yudisial oleh Mahkamah Agung terbatas
pada pertanyaan apakah peraturan daerah tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (secara substansial) dan
apakah proses pembuatannya sesuai dengan prosedur yang berlaku (secara
formal). Di sisi lain, tinjauan eksekutif oleh Menteri dan Gubernur, sebagai
perwakilan Pemerintah Pusat, dilakukan dengan standar yang lebih luas,
mencakup pertimbangan terhadap kepentingan umum dan/atau kesusilaan.
Kepentingan umum dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah
mencakup gangguan terhadap kerukunan antar warga masyarakat, akses
terhadap layanan publik, ketertiban umum, aktivitas ekonomi untuk

39
Hartiwiningsih, dkk. Menelisik Pengujian Peraturan Daerah Dalam Bingkai Hukum
Responsif, (Bogor: Unida Press, 2019). h. 62. Lihat juga, Henni Muchtar. Paradigma Hukum
Responsif (Suatu kajian tentang Makamah Konstitusi sebagai Lembaga Penegak Hukum), Artikel
dalam, Jurnal Humanus, 2012. Vol. XI, No. 2, h. 160

31
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan/atau diskriminasi
berdasarkan suku, agama, ras, golongan, dan jenis kelamin.

Pengujian oleh Mahkamah Agung terbatas pada pertanyaan apakah


peraturan daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi (secara substansial) dan apakah proses pembuatannya
sesuai dengan prosedur yang berlaku (secara formal). Jadi, apakah
Mahkamah Agung dapat menguji peraturan daerah yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tetapi hanya bertentangan dengan kepentingan umum? Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa ruang lingkup standar normatif pengujian
peraturan daerah yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sangat terbatas
dibandingkan dengan Menteri dan Gubernur, sesuai dengan Pasal 250 UU
No. 23 Tahun 2014.40

Dalam situasi ini, pemeriksaan atau pengujian yang dilakukan oleh


Pemerintah yang dapat mengakibatkan pembatalan suatu Peraturan Daerah
(Perda) adalah salah satu bentuk pengawasan terhadap daerah dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama terkait dengan
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh daerah. Hal ini karena, dengan
diterapkannya prinsip otonomi yang membagi kewenangan antara
pemerintah pusat dan daerah, Pemerintah Daerah seringkali membuat dan
mengeluarkan berbagai peraturan untuk mengatur dan mengelola
wilayahnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Oleh karena itu, seringkali terjadi
tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan peraturan daerah serta ketidakselarasan antara peraturan daerah
dengan peraturan yang berada di atasnya. Namun, penting untuk dicatat
bahwa kewenangan pemerintah untuk melakukan executive review

40
Alwadud Lule. Dualisme Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam, Jurnal Crepido,
Vol. 03, No. 02, 2021, h. 114

32
terhadap Perda, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, telah
dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 tanggal 5 April 2017,


Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa frasa "Perda
Kabupaten/Kota dan" dalam Pasal 251 ayat (2) dan ayat (4), frasa "Perda
Kabupaten/Kota dan/atau" dalam Pasal 251 ayat (3), frasa "penyelenggara
Pemerintah Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan", frasa "Perda Kabupaten/Kota
atau" dalam Pasal 251 ayat (8) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945
serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya, MK
melengkapi Putusan tersebut dengan mengeluarkan Putusan Nomor
56/PUU-XIV/2016 bertanggal 30 Mei 2017 yang menyatakan frasa "Perda
Provinsi dan" dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (4), frasa "Perda Provinsi
dan" dalam Pasal 251 ayat (7), dan Pasal 251 ayat (5) UU Pemda juga
bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat.41

MK dalam Putusan tersebut memberikan beberapa pertimbangan


sebagai berikut. Pertama, Perda adalah salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan yang berada di bawah Undang-Undang dalam
hierarki perundang-undangan. Oleh karena itu, pengujian terhadapnya
hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sesuai dengan Pasal
24A ayat (1) UUD 1945, bukan oleh lembaga lain. Kedua, alasan untuk
membatalkan Perda berdasarkan UU Pemda, yaitu karena melanggar
kepentingan umum dan/atau kesusilaan, merupakan hal yang menjadi
ranah MA untuk menerapkan kriteria atau tolak ukur yang sesuai.
Pembatalan Perda Kabupaten/Kota oleh gubernur, menurut MK, tidak
sesuai dengan sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia karena
Perda Kabupaten/Kota berbentuk peraturan (regeling) sedangkan

T. Risman. Pembatalan Peraturan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, (Banda


41

Aceh: UIN AR-RANIRY, 2021). h. 51-52

33
keputusan gubernur berbentuk keputusan (beschikking). Ketiga, potensi
adanya dualisme putusan pengadilan antara putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) yang memeriksa legalitas keputusan gubernur atau
Menteri dan putusan pengujian Perda oleh MA terhadap substansi perkara
yang sama, tetapi berbeda dalam bentuk produk hukum, menurut MK
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yaitu


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor
56/PUU-XIV/2016, baik Gubernur maupun Menteri Dalam Negeri tidak
memiliki kewenangan lagi untuk membatalkan Peraturan Daerah Provinsi
maupun Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, pembatalan Peraturan Daerah
sekarang harus melewati proses judicial review di Mahkamah Agung. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 24A ayat (1).42

T. Risman. Pembatalan Peraturan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, (Banda


42

Aceh: UIN AR-RANIRY, 2021). h. 52

34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan


apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa
yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan. Maka dari itu hasil
dari pengawasan harus bisa menunjukkan sampai mana kecocokan atau
ketidakcocokan terjadi dan apa penyebabnya. Dengan demikian,
pengawasan dapat bersifat (1) politik, apabila sasarannya adalah efektivitas,
(2) yuridis, apabila tujuannya legalitas, (3) ekonomis, apabila sasarannya
efisiensi, (4) moril dan susila, apabila sasarannya adalah untuk mengetahui
keadaan moralitas
Pengawasan pemerintah terhadap perda dilakukan agar kebijakan-
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah tidak bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi. Pengawasan
pemerintah terhadap perda diaktualisasikan dalam bentuk pengujian perda
yang dilakukan oleh pemerintah yang kemudian disebut dengan executive
review dan kemudian berlanjut pada mekanisme pembatalan perda apabila
perda tersebut dinilai bertentangan dengan kepentingan umum dan
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Kewenangan membuat Perda adalah wujud dari pelaksanaan hak
otonomi dari suatu Daerah dan merupakan salah satu sarana dalam
menyelenggarakan Otonomi Daerah, karenanya kewenangan Daerah untuk
membuat suatu Perda harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan
kepadanya Dalam pembuatan suatu perda, harus diperhatikan bahwa fungsi
perda adalah untuk melancarkan tugas Pemerintah Daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan, karenanya harus diperhatikan aturan-
aturan dasar yang memayunginya seperti tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan peraturan Daerah
lainnya, bila ketentuan dasar ini dilanggar, maka perda itu dapat dibatalkan
atau batal demi hukum

35
Mekanisme pembuatan dan badan yang terlibat dalam proses
pembuatan Peraturan Daerah serupa dengan undang-undang. Seperti
undang-undang, pembentukan Peraturan Daerah melibatkan badan
legislatif dan eksekutif secara bersama-sama. Undang-undang dibuat oleh
badan legislatif pusat dengan persetujuan dari Presiden, sedangkan
Peraturan Daerah dibuat oleh badan legislatif daerah dengan kepala
pemerintah daerah setempat. Ini berarti bahwa Peraturan Daerah adalah
produk legislatif yang melibatkan perwakilan rakyat yang dipilih secara
langsung oleh rakyat.

Sebagai produk dari perwakilan rakyat dan pemerintah, Peraturan


Daerah dapat dianggap sebagai produk hukum (peraturan legislasi),
sedangkan peraturan lainnya adalah produk regulasi atau peraturan
eksekutif. Perbedaan utama antara Peraturan Daerah dan undang-undang
terletak pada cakupan wilayahnya; undang-undang berlaku di seluruh
negara, sementara Peraturan Daerah hanya berlaku di wilayah
pemerintahan daerah yang bersangkutan, seperti provinsi, kabupaten, atau
kota. Oleh karena itu, Peraturan Daerah sering disebut sebagai "hukum
lokal."

3.2 Kritik & Saran

Kami sebagai penulis tentu menyadari jika makalah diatas masih


jauh dari kata sempurna dengan banyaknya kesalahan dan kekurangan yang
ada. Penulis akan sangat menghargai kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca dan pihak lainnya sebagai acuan dalam memperbaiki makalah
tersebut menjadi lebih baik dari sebelumnya

36
DAFTAR PUSTAKA
Moeliono Anton M, Dkk., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1995

Situmarang Victor M. Dan Juhir Jusuf, Aspek Hukum Pengaswasan Melekat Dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta, 1994

Huda Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Cetakan Kedua, Nusa Media,


Bandung, 2019

Atmosudirjo Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 1995

Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta,


1983,. Lihat juga Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan Di Indonesia,
Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 1999

Soejito Irawan, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepada


Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983

Oppenheim, Nederlands Gemeenterecht, dikutip kembali oleh Irawan Soejito

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Asshiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Sinar Grafika,


2021)

Benyamin Ngaji - KEWENANGAN PEMBATALAN PRODUK HUKUM


DAERAH OLEH PEMERINTAH DI TINJAU DARI PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA RI TAHUN 1945.Pdf,” accessed
September 18, 2023

Sulistyo Yuri, Indrayati Rosita, and Antikowati, “GOVERNMENTAL CONTROL


OF REGIONAL LAW PRODUCT (REGIONAL RULES)
THROUGHOUT THE REVOCATION MECHANISM OF LOCAL
REGULATION BASED ON THE LAW NUMBER 32 OF 2004 ON
REGIONAL GOVERNMENT,” 2013

37
asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia

Sholikin M Nur, dkk, Laporan Kajian Implementasi Pengawasan Perda Oleh


Pemerintah Dan Mahkamah Agung, Pusat Kajian Hukum Dan Kebijakan
Indonesia, 2011

Sulistyo, Yuri, et al. "Pengawasan Pemerintah terhadap Produk Hukum Daerah


(Peraturan Daerah) melalui Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah." e-Journal Lentera Hukum, vol. 1, no. 1, 2014

Sukarna. 1990. Prinsip-Prinsip Administrasi Negara. Bandung: Mandar Maju

Jayanti Nina, “MEKANISME PENGAWASAN TERHADAP PRODUK HUKUM


DALAM KONSTRUKSI POLITIK HUKUM”, vol. 4 No. 2, September 2019

Pudyatmoko, S.Y. dan W. Riawan Tjandra. 1996. Peradilan Tata Usaha


Negara Sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah. Yogyakarta:
Penerbitan Universitas Atma Jaya

Muchsan. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan


Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty 1992

Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Jakarta: PT. Rajagrafindo Pres, 2017

. Hukum Acara: Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi


Press,
2006

. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,


Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002

Hartiwiningsih, dkk. Menelisik Pengujian Peraturan Daerah Dalam Bingkai


Hukum Responsif, Bogor: Unida Press, 2019

38
Huda, Ni’matul. Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung: Nusa Media, 2019

Lule, Alwadud. Dualisme Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam, Jurnal


Crepido, 2021 Vol. 03, No. 02

Manan, Bagir. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994

MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Depok:


Rajawali Pers, 2017

Muchtar, Henni. Paradigma Hukum Responsif (Suatu kajian tentang Makamah


Konstitusi
sebagai Lembaga Penegak Hukum), Artikel dalam, Jurnal Humanus, 2012. Vol. XI,
No. 2
Risman, T. Pembatalan Peraturan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,
Banda Aceh: UIN AR-RANIRY, 2021
S. Pakaya, Jefri. Redesain Sistem Pengujian Peraturan Daerah, Artikel dalam,
Jurnal Legislasi Indonesia, 2017, Vol. 14, No. 1
Simamora, Janpatar. Analisis Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial
Review Di Indonesia, Artikel dalam, Jurnal Mimbar Hukum, 2013, Vol. 25,
No. 3
Syahuri, Taufiqurrahman, dkk. Pengkajian Konstitusi: Problematika Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementrian Hukum dan HAM RI, 2014

Syafrudin Ateng, Naskah Lepas Masalah-masalah Hukum Otonomi Daerah (Arti


Pengawasan), (Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
2003)

39

Anda mungkin juga menyukai