Anda di halaman 1dari 45

ABSTRAK

Peraturan Daerah adalah aturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan persetujuan kepala daerah guna penyelenggaraan otonomi daerah.
Peneliti melihat adanya kesenjangan antara Raperda dan Perda. Kesenjangan ini
terlihat dari jumlah Raperda yang telah dibuat yaitu 21 (dua puluh satu) Raperda
dan hasilnya yang terealisasikan ke dalam Perda yaitu 14 (empat belas) Perda.
Adapun Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian sosiolegal, dimana
peneliti melakukan studi tekstual, yakni menganalisis secara kritikal terhadap
pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, dan melakukan studi empirik
dalam hal melihat kinerja Badan Pembentukan Peraturan Daerah Dewan
Perwakilan Rakyat Pronsinsi Bali dan faktor yang mempegaruhi. Selanjutnya
dikaji dan dianalisis dari data dan bahan hukum yang telah terkumpul dan
memberikan kesimpulan.
Hasil Penelitian menunjukan, indikator yang dipakai Peneliti sebagai ukuran
dalam mengukur kinerja, yaitu pertama, indikator kuantitas menunjukan kerugian
di mana terdapat suatu pola kesenjangan jumlah antara Rancangan Peraturan
Daerah dan Peraturan Daerah dari tahun 2015-2017. Kedua, indikator kualitas
menujukan keuntungan di mana suatu pola karakter produk hukum Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 11 Tahun 2017 tentang Bendega telah bersifat
responsif. Ketiga, indikator ketepatan waktu menunjukan keuntungan di mana
dapat dilihat suatu pola karakter kesesuaian waktu dan langkah atau tahapan
dalam penyusunan Peraturan Daerah. Selanjutnya faktor–faktor yang
mempengaruhi kinerja, yaitu faktor pendukung adalah adanya peraturan dan
urgensi berdasarkan Program Pembentukan Peraturan Daerah. Faktor penghambat
adalah Urgensi diluar Program Pembentukan Peraturan Daerah, ketidaksiapan
naskah akademik yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
ketidaksiapan naskah akademik dari pihak pemrakarsa, ketidakcukupan waktu,
dan pihak yang terlibat dalam pembentukan Peraturan Daerah.

Kata Kunci: Kinerja, Peraturan Daerah, Bapemperda, Provinsi Bali

viii
ABSTRACT

Regional Regulation is a rule established by the Regional House of


Representatives to implement regional autonomy. Researchers see a gap between
the Regional Regulation and Regional Regulations. This gap can be seen from the
number of draft regulations that have been made, namely 21 (twenty one) draft
regulations and the results realized in the Regional Regulation, namely 14
(fourteen) Regional Regulations.
The type of research used is socio-legal research, where researchers conduct
textual studies, which is to analyze generally the articles in the rules, and to
conduct studies in the visible matters of the Pronsinsi Bali Provincial Regulatory
Body and influencing factors. Further examined and analyzed from the data and
legal materials that have been collected and provide conclusions.
The results indicate that there indicators used by the researcher as the
measure in performance measure, that is, first, the indicator of the number of Risk
Shown where the existing Local and Regional Regulation Rules Numbers from
2015-2017. Secondly, the quality indicator addresses the advantages over which
the personality traits of Bali Provincial Regulation No. 11 of 2017 on Bendega
have become responsive / populist. Third, the timeliness indicator shows the
advantages of which can be observed characteristic pattern of time conformity
and steps in the preparation of the Regional Regulation. The subsequent factors
that influence, the supporting factor is the existence of regulations and urgency
based on the Program for Establishment of Local Regulations. The inhibiting
factors are the External Urgency of the Formulation Program, the lack of
academic concepts derived from the Correctional Council, the insufficiency of
time, and the parts involved in the formation of the Regional Regulations.

Keywords: Performance, House of Representative Assembly Provincial of the


Bali, Local Regulation

ix
RINGKASAN

Penelitian ini membahas permasalahan hukum mengenai kinerja Badan


Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Bali dalam menjalankan tugas pada
periode tahun 2015-2017, Penulisan tesis ini tersusun dalam 5 bab, dengan
penjabaran ringkas terurai sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan, memuat mulai dari judul dengan rumusan masalah
yaitu:
1. Bagaimana kinerja Badan Pembentukan Peraturan Daerah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali selama periode Tahun 2015-
2017?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Badan Pembentukan
Peraturan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali?
Serta memuat tentang ruang lingkup dan pokok permasalahan, tujuan
penelitian secara umum maupun secara khusus, serta secara sistematis
menjabarkan metode penelitian yang di pergunakan dalam penelitian ini dimana
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian sosiolegal,
dimana penelitian sosiolegal lebih memetingkan latar belakang atau motif, obyek,
dan tujuan dari penelitian itu, yaitu bekerjanya hukum dan perwujudan tujuan
hukum secara lebih baik.
BAB II, berisi tentang penjabaran teori-teori secara umum yang di pakai
dalam pemecahan rumusan masalah pada penelitian ini.untuk menjawab rumusan
masalah Adapun teori yang digunakan untuk membahas permasalahan penelitian
ini meliputi;
1. Teori sistem hukum dari Lawrence M Friedman.
2. Teori perundang-undangan dari Rosjidi Ranggawidjaja
3. Teori pembentukan peraturan perundang dari Ann Seidman dan Robert
Seidman dan Organisation for Economic Co-operation and Development.
Dalam bab II ini juga di jabarkan secara mendalam pengertian mengenai
definisi kinerja secara epistimologis, dan juga penjabaran fungsi Lembaga yang
akan di teliti kinerjanya (dalam penelitian ini Badan Pembentukan Peraturan
Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali khususnya)

x
BAB III, bagian ini berisi penjabaran umum mengenai Gambaran Umum
Badan Pembentukan Peraturan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Bali, dan juga menjabarkan Tugas Badan Pembentukan Peraturan Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali, serta pada akhirnya dapat
mengukur Kinerja Badan Pembentukan Peraturan Daerah Dewan dengan
menggunakan metode dan teori efektivitas sebagaimana yang telah di jabarkan
pada bab sebelumnya sehingga sekaligus menjawab rumusan masalah II
BAB IV, memuat pada prinsipnya mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja badan pembentuk peraturan daerah dewan peraturan rakyat daerah
provinsi bali, sehingga dapat menjawab rumusan masalah kedua dimana bertujuan
untuk mengetahui Faktor Penghambat yang Mempengaruhi Kinerja Badan
Pembentuk Peraturan Daerah Dewan Peraturan Rakyat Daerah Provinsi Bali,
sehingga kedepanya Lembaga ini dapat berkembang menjadi lembaga yang lebih
baik.
BAB V, bagian penutup yang berisi simpulan dari keseluruah hasil penelitian,
dengan saran kedepan terkait Kinerja Badan Pembentuk Peraturan Daerah Dewan
Peraturan Rakyat Daerah Provinsi Bali, sehingga kedepanya Lembaga ini dapat
berkembang menjadi lembaga yang lebih baik.

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ............................................................. i


HALAMAN PRASYARAT GELAR MAGISTER ............................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ........................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................. xiii
ABSTRACT .............................................................................................. ix
RINGKASAN ........................................................................................... x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xv
DAFTAR GRAFIK .................................................................................. xvi
DAFTAR DIAGRAM .............................................................................. xvii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 6
1.3 Ruang Lingkup Masalah ...................................................................... 6
1.4 Tujuan Penulisan .................................................................................. 6
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................ 6
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 6
1.5 Manfaat Penulisan ................................................................................. 7
1.5.1 Manfaat Teoritis.......................................................................... 7
1.5.2 Manfaat Praktis ........................................................................... 7
1.6 Orisinalitas Penulisan............................................................................ 7
1.7 Landasan Teoritis .................................................................................. 8
1.8 Metode Penelitian.................................................................................. 23
1.8.1 Jenis Penelitian............................................................................ 23
1.8.2 Jenis Pendekatan ......................................................................... 25

xii
1.8.3 Sifat Penelitian ............................................................................ 26
1.8.4 Sumber Data dan Sumber Bahan Hukum ................................... 27
1.8.5 Teknik Pengumpulan Sumber Data dan Sumber Bahan Hukum 28
1.8.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian.......................................... 29
1.8.7 Teknik Pengolahan, Analisis Data dan Analisis Bahan Hukum . 30
BAB II TINJAUAN UMUM
2.1 Kinerja................................................................................................... 35
2.1.1 Pengertian Kinerja ...................................................................... 35
2.1.2 Indikator dan Pengukuran Kinerja .............................................. 36
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja ............................... 41
2.2 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah........................................................ 43
2.2.1 Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ........................... 43
2.2.2 Fungsi, Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.......................................... 45
2.3. Badan Pembentukan Peraturan Daerah ................................................ 67
2.3.1 Pengertian dan Sejarah Badan Pembentukan Peraturan Daerah . 67
2.3.2 Tugas dan Fungsi Pembentukan Peraturan Daerah..................... 69
2.3.3 Peran Badan Pembentukan Peraturan Daerah............................. 70
BAB III KINERJA BADAN PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI BALI
3.1 Deskripsi Objek Penelitian.................................................................... 82
3.1.1 Gambaran Umum Badan Pembentukan Peraturan Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali ...................... 82
3.1.2 Tugas Badan Pembentukan Peraturan Daerah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali .................................. 83
3.2. Pengukuran Kinerja Badan Pembentukan Peraturan Daerah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali............................................. 90
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA
BADAN PEMBENTUK PERATURAN DAERAH DEWAN
PERATURAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BALI
4.1 Faktor Pendukung yang Mempengaruhi Kinerja Badan Pembentuk
Peraturan Daerah Dewan Peraturan Rakyat Daerah Provinsi Bali ...... 125

xiii
4.2 Faktor Penghambat yang Mempengaruhi Kinerja Badan Pembentuk
Peraturan Daerah Dewan Peraturan Rakyat Daerah Provinsi Bali ...... 130
BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 142


5.2 Saran...................................................................................................... 142
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xiv
DAFTAR TABEL

1.1 Perbandingan Raperda dan Perda Provinsi Bali Tahun 2017 ........... 4
1.2 Daftar Penelitian Paling Mendekati Dengan Objek Kajian .............. 6
1.3 Skala Penilaian Kinerja Ordinal ....................................................... 30
2.1 Perbedaan Atribusi Kewenangan Perundang-undangan dan
Delegasi Kewenangan Perundang-undangan.................................... 53
2.2 Hubungan Fungsi dengan Hak-hak DPRD....................................... 56
2.3 Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut
para Sarjana Indonesia ......................................................................
75
3.1 Susunan Pimpinan dan Keanggotaan Bapemperda DPRD Provinsi
Bali Periode Keanggotaan 2014-2019 .............................................. 83
3.2 Daftar Sumber Pengajuan Raperda DPRDProvinsi Bali Tahun
2015-2017 ......................................................................................... 97
3.3 Daftar Sumber Perda yang Berasal dari DPRD Provinsi Bali
Tahun 2015-2017.............................................................................. 99
3.4 Skala Penilaian Raperda dan Perda Provinsi Bali Tahun 2015-
2017 .................................................................................................. 101
3.5 Karakter Bentuk terhadap Perda 11/2017......................................... 103
3.6 Karakter Isi terhadap Perda 11/2017 ................................................ 105
3.7 Asas Formal dan Materiil ................................................................. 109

xv
DAFTAR GRAFIK

3.1 Jumlah Raperda yang ditetapkan dalam Propemperda Tahun 2015-


2018...................................................................................................... 93
3.2 Jumlah Perda Provinsi Bali Tahun 2015-2018..................................... 98

xvi
DAFTAR DIAGRAM

3.1 Sumber Raperda yang ditetapkan dalam Propemperda Provinsi Bali 95


Tahun 2015-2018 .................................................................................
3.2 Sumber Perda Provinsi Bali Tahun 2015-2017 .................................... 99

3.3 Persebaran Raperda dan Perda Provinsi Bali Tahun 2015-2017.......... 100

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar Raperda dan Perda Provinsi Bali Tahun 2015-2017

2 Pedoman Wawancara

xviii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam latar belakang ini, fokus permasalahan berkaitan dengan Badan

Pembentukan Peraturan Daerah akronim Bapemperda sebagai salah satu alat

kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi akronim DPRD. Untuk

menjalankan sebuah pemerintahan di dalam sebuah bangsa yang memiliki banyak

perbedaan kepentingan, pemerintah daerah membuat aturan-aturan yang sesuai

dengan kepentingan masyarakat di suatu daerah untuk menjawab kepentingan

masyarakat tersebut. Pemerintah Daerah bersama DPRD yang berkedudukan

sebagai unsur penyelanggara Pemerintahan Daerah dalam menjalankan tugasnya

disetiap daerah, membuat aturan–aturan yang dapat menjawab kepentingan

masyarakat di daerah tersebut. Aturan–aturan ini di sebut Peraturan Daerah

akronim Perda.

Perda adalah aturan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan Kepala

Daerah guna penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagaimana yang telah diatur

dalam Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang

perubahan kedua Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU 23/2014), menyatakan dalam

Pasal 236 ayat (1) menyatakan bahwa untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah

dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda. Selanjutnya Perda

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan

bersama Kepala Daerah. DPRD Provinsi Bali membentuk Perda guna menjawab

1
2

kepentingan masyarakat yang ada di dearahnya yang pastinya berbeda dengan

kepentingan masyarakat di daerah lain.

Dalam menjalankan tugas pembentukan Perda, DPRD Provinsi Bali memiliki

alat kelengkapan yang bersifat tetap untuk membantu DPRD Provinsi Bali dalam

menjalankan tugas pembentukan Perda. Alat kelengkapan ini disebut sebagai

Bapemperda DPRD Provinsi. Sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 110 ayat (1)

huruf (d) UU 23/2014 menyatakan bahwa Bapemperda merupakan alat

kelengkapan DPRD Provinsi.

Selanjutnya kata “alat kelengkapan DPRD” seperti yang telah disebutkan

sebelumnya memiliki arti kiasan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata

“alat” memiliki beberapa makna yang salah satunya; nomina (kata benda) yang

bersifat kiasan yaitu: “yang dipakai untuk mencapai maksud”. Dapat dimaknai

bahwa Bapemperda DPRD Provinsi adalah alat yang bersifat kiasan yang

digunakan untuk mencapai suatu “maksud”. Kata “maksud” sebagaimana yang

tertera sebelumnya merupakan tugas dari pada DPRD Provinsi.


.
Bapemperda DPRD Provinsi merupakan alat kelengkapan DPRD yang

bersifat tetap, dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD.

Adapun salah satu tugas dari Bapemperda DPRD Provinsi Bali adalah membuat

Program Pembentukan Peraturan Daerah akronim Propemperda, untuk diberikan

kepada ketua DPRD dengan melihat urgensi. Sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 38 ayat (5) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014

tentang Peraturan Pelaksaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya


3

disebut Pepres 87/2014), dan dalam Pasal 15 ayat (5) Peraturan Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia Nomor Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan

Produk Hukum Daerah (selanjutnya disebut Permendagri 80/2015).

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 dan 34 ayat (2) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) dapat dipahami bahwa Program

Legislasi Daerah akronim Prolegda memuat Propemperda Provinsi dengan judul

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi akronim Raperda Provinsi yang ditetapkan

untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas. Raperda Provinsi

dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur. Raperda Provinsi sebagaimana

dimaksud disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/ atau Naskah Akademik.

Selanjutnya Raperda di DPRD dibahas oleh DPRD bersama Kepala Daerah dan

apabila disetujui bersama akan ditetapkan menjadi Perda. Adapun Raperda

Provinsi dan Perda Provinsi Bali Tahun 2017 dapat dilihat dalam tabel 1.1.

Tabel 1.1
Perbandingan Raperda dan Perda Provinsi Bali Tahun 2017

Perda
No. Judul Raperda No. No. Perda/ Judul Perda
Rekomendasi
1. Perda Provinsi Bali tentang 1. No. 1 Tahun Perlindungan dan
Pertanggungjawaban APBD Tahun 2017 Pengelolahan
Anggran 2016 Lingkungan Hidup
(PPLH)
2. Penambahan Penyertaan Modal Daerah 2. No. 2 Tahun RPJMD Provinsi Bai
Berupa Aset Tanah dan Bangunan 2017 Than 2013-2018
3. Revisi atas Perda Nomor 2 Tahun 2011 3. No. 3 Tahun Lembaga Perkreditan
tentang Retribusi Jasa Umum 2017 Desa
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah 4. No. 4 Tahun Pengeloaan
2017 Pertambangan
Mineral Bukan
Logam dan Bantuan
5. Penanggulangan Rabies 5. No. 5 Tahun Revisi Perda No. 2
2017 Tahun 2011 tentang
Retribusi Jasa Umum
6. Perlindungan dan Pengelolahan 6. No. 6 Tahun Hak Keuangan dan
Lingkungan Hidup (PPLH) 2017 Administrasi Dewan
4

7. Perda Provinsi Bali tentang Perubahan atas 7. No. 7 Tahun Fasilitas Pencegahan
Perda tentang APBD Tahun Anggaran 2017 Penyalahgunaan
2017 Narkotika
8. Pertambangan Mineral Bukan Logam dan 8. No. 8 Tahun Pertanggungjawaban
Bantuan 2017 Pelaksanaan APBD
TA. 2016
9. Pengelolaan Sapi Bali 9. No. 9 Tahun Perubahan APBD
2017 TA. 2017
10. Perda Provinsi Bali tentang Perubahan atas 10. No. 10 Tahun Pengelolaan Sapi
Perda Provinsi Bai Nomor 16 Tahun 2009 2017 Bali
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali Tahun 2009-2029
11. Perubahan atas Perda Provinsi Bali Nomor 11. No. 11 Tahun Bendega
9 Tahun 2012 tentang Subak 2017
14. Perda Provinsi Bali tentang APBD Tahun 12. No. 12 Tahun APBD Tahun 2018
Anggaran 2018 2017
15. Keolahragaan 13. No. 14 Tahun Retribusi Jasa Usaha
2017
16. Pengeloaan BMD 14. No. 13 Tahun Retribusi Perijinan
2017 Tertentu
17. Jasa Usaha Lingkungan
18. Atraksi Budaya Tradisional Bali
19 Badan Usaha Milik Daerah
20. Pemasaran Perlindungan Hasil Pertanian,
Perkebunan dan UMKM
21. Krama Nelayan
Sumber: Sekretariat DPRD Provinsi Bali

Dari tabel yang telah tertera di atas, Peneliti melihat adanya kesenjangan

antara Raperda dan Perda. Kesenjangan ini terlihat dari jumlah Raperda yang

telah dibuat yaitu 21 (dua puluh satu) Raperda dan hasilnya yang terealisasikan ke

dalam Perda yaitu 14 (empat belas) Perda. Kedudukan DPRD sebagai lembaga

Pemerintah Daerah mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dengan

Pemerintah Daerah dalam membangun dan mengusahakan dukungan dalam

penetapan kebijakan Pemerintah Daerah, yang dapat menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat sehingga kebijakan dimaksud dapat diterima

oleh masyarakat luas. Oleh karena itu DPRD sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan daerah merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah yang wajib

menerapkan prinsip-prinsip Good Governance yaitu: efisien, efektif, ekonomis,

transparan, bertanggungjawab, keadian, kepatuhan dan manfaat dalam


5

melaksanakan kegiatannya untuk percapaian sasaran program-program yang

tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah.

Kesenjangan yang terlihat dari jumlah Raperda yang telah dibuat yaitu 21 (dua

puluh satu) Raperda dan hasilnya yang terealisasikan ke dalam Perda yaitu 14

(empat belas) Perda membuat Peneliti memiliki tertarik untuk melakukan

penelitian pada Bapemperda DPRD Provinsi Bali yaitu untuk menilai kinerja

Bapemperda DPRD Provinsi Bali dalam menjalankan tugas sebagai sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah telah menerapkan prinsip-prinsip Good

Governance secara efektif dan efisien dari kinerja mereka dalam 3 (tiga) tahun

periode kepengurusan. Dalam pengkajian istilah kinerja merupakan terjemahan

dari bahasa Inggris yaitu performance yang bila diartikan sebagai, “unjuk kerja”,

“prestasi”, “penampilan”. Secara etimologis, kata kinerja dalam bahasa Indonesia


1
berasal dari kata dasar “kerja” yang dapat diartikan prestasi atau hasil kerja . dapat

ditarik suatu kesimpulan bahwa kinerja merupakan suatu capaian atau hasil kerja

dalam kegiatan atau aktivitas atau program yang telah direncanakan sebelumnya

guna mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi

dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu.

Berdasarkan uraian yang telah diberikan, Peneliti memiliki tujuan untuk

melakukan penelitian pada Bapemperda DPRD Provinsi Bali yaitu untuk menilai

kinerja Bapemperda DPRD Provinsi Bali dalam menjalankan tugas di periode

tahun 2015-2017, dengan memberi judul “Kinerja Badan Pembentukan Peraturan

Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali”.

1
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, h. 470.
6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah diberikan, maka Peneliti membuat rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kinerja Badan Pembentukan Bapemperda DPRD Provinsi Bali

selama periode tahun 2015-2017?

2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Bapemperda DPRD

Provinsi Bali?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan terdapat kesesuaian antara

pembahasan dengan permasalahan, maka perlu diberikan batasan sebagai berikut:

1. Permasalahan pertama akan dikaji dan dianalisis, tentang kinerja

Bapemperda DPRD Provinsi Bali dalam periode tahun 2015-2017.

2. Permasalahan kedua akan dikaji dan dianalisis, mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi kinerja Bapemperda DPRD Provinsi Bali.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui secara umum

tentang Bapemperda DPRD Provinsi Bali.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Pengukuran kinerja Bapemperda DPRD Provinsi Bali.


7

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Bapemperda DPRD

Provinsi Bali.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis mengenai tugas

Bapemperda DPRD Provinsi Bali, di samping itu penelitian ini juga diharapkan

dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum

pemerintahan.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis kepada

masyarakat berupa informasi tentang Raperda dan Perda Provinsi Bali periode

tahun 2015-2017.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Penulisan penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena

tidak ada unsur plagiat dalam proses menulis. Dan berdasarkan penelusuran

terhadap topik penelitian ditemukan hasil penelitian lainnya yang tampak paling

mendekati dengan objek kajian yang dilakukan oleh Peneliti, lebih lanjut

diuraikan dalam tabel 1.2.

Tabel 1.2
Daftar Penelitian Paling Mendekati Dengan Objek Kajian
No. Nama Peneliti Judul Rumusan Masalah
1. Setyoko Werdy Eksistensi Badan 1. Bagaimana peran DPRD Kabupaten
Utomo, NIM. Legislasi Daerah DPRD Grobogan tentang pembentukan Perda.
8150408011 Kabupaten Grobogan 2. Bagaimana eksistensi Badan Legislasi
dari Universitas dalam Pembentukan Daerah DPRD Kabupaten Grobogan
Negeri Perda dalam pembentukan Perda.
Semarang 2015 3. Bagaimana peran Kepala
8

Daerah/Bupati dalam pembentukan


Perda.
4. Bagaimana alur pembentukan Perda
dalam perspektif Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
5. Kendala apa saja yang di alami Badan
Legislasi Daerah DPRD Kabupaten
Grobogan selama proses pembentukan
Perda
2. Teni Dwi Pelaksanaan Fungsi 1. Bagaimana pelaksanaan fungsi legislasi
Ariyanti, NIM Legislasi DPRD DPRD Kabupaten Ngawai periode
E0006240, dari Kabupaten Ngawi 2004-2009.
Universitas 2. Faktor-faktor apa sajakah yang
Sebelas Maret menghambat pelaksanaan fungsi
2010 legislasi DPRD Kabupaten Ngawi
periode 2004-2009.

Dari kedua contoh penelitian di atas, jika dibandingkan dengan penelitian

yang ditulis oleh Peneliti, tentunya penelitian memiliki perbedaan yang cukup

signifikan dari segi substansi atau hal yang menjadi pokok pembahasan. Apabila

ditinjau dari segi fokus penelitian, adapun titik fokus penelitian dari penelitian

pertama adalah untuk mengetahui peran DPRD Kabupaten Grobogan tentang

pembentukan Perda, penelitian kedua berorientasi pada pelaksanaan fungsi

legislasi DPRD kabupaten Ngawai.

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

Pada bagian ini yang menjadi landasan teoritis dalam penelitian ini meliputi

teori-teori, konsep-konsep dan asas-asas hukum dan pendapat para ahli hukum.

Adapun teori yang digunakan untuk membahas permasalahan penelitian ini

meliputi;

1. Teori sistem hukum dari Lawrence M Friedman.

2. Teori perundang-undangan dari Rosjidi Ranggawidjaja


9

3. Teori pembentukan peraturan perundang dari Ann Seidman dan Robert

Seidman dan Organisation for Economic Co-operation and Development.

1. Teori Sistem Hukum

Urgensi dari menggunakan teori sistem hukum untuk memahami sistem

pemerintahan dalam hal ini berkaitan dengan tugas Bapemperda DPRD Bali

sebagai alat kelengkapan DPRD Provinsi Bali dalam konteks Raperda dan hasil

dari pembentukan Perda.

Teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang

berjudul The Legal System, A Social Science Perspective, 1975 dinyatakan bahwa

A legal system in actual operation is a complex organism in wich structur,

2
substance and culture interact yang berarti bahwa sistem hukum dalam

operasional pelaksanaannya adalah sebagai suatu kesatuan yang mencakup

struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum.

Teori sistem hukum menegaskan bahwa agar suatu hukum itu dapat berperan

secara optimal maka diperlukan kesatuan ketiga unsur dari sistem hukum yaitu

3
struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum .

a. Legal Structure (Struktur Hukum)

Structure to be sure, is one basic and obvious element of the legal

system (struktur adalah suatu dasar dan merupakan unsur nyata dari sistem

hukum). Struktur hukum mencakup keseluruhan institusi hukum beserta

2
Lawrence M Friedman, 1975, The Legal System, A Social science perspective, Rusell Sage
Foundation, New York, h. 16.
3
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan teori Peradilan
(Judicialprudence) termaasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, h.
225.
10

aparatnya, yang termasuk didalamnya lembaga kepolisian dengan

polisinya, lembaga kejaksaan dengan jaksanya, lembaga pengadilan dengan

hakimnya. Jadi struktur hukum itu mencakup keseluruhan lembaga hukum

dan penegak hukum.

b. Legal Substance (Substansi Hukum)

The substance is composed of substantive rules and rules about how

institutions should behave (substansi terdiri dari aturan substantive dan

aturan tentang bagaimana lembaga harus bersikap). Substansi merupakan

kandungan keseluruhan aturan hukum termasuk asas hukum dan norma

hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk petugas

pengadilan.

c. Legal Cultur (Budaya Hukum)

Legal culture refers, then, to those parts of general culture, costums,

opinion, wais of doing, that bend social forces toward or away from the law

and in particularways (budaya hukum merupakan bagian dari budaya pada

umumnya, berupa adat istiadat, pandangan, ide-ide cara berfikir dan

tingkah laku, kesemuanya itu dapat membentuk kekuatan sosial yang

bergerak mendekati hukum dan cara-cara tertentu). Termasuk dalam

budaya hukum ini adalah sikap, perilaku manusia, kebiasaan-kebiasaan

dapat membentuk kekuatan sosial untuk mentaati hukum atau sebaliknya

melanggar hukum.
11

2. Teori Perundang-undangan

Relevansi penggunaan teori perundang-undangan pada penelitian ini adalah

menjelasakan pemahaman tentang peraturan perundang-undangan dengan

menggunakan karakter bentuk dan isi pengaturan, yang didasarkan Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 11 Tahun 2017 tentang Bendega (selanjutnya disebut

Perda Bali 11/2017). Karakter bentuk pengaturan yaitu memahami kewenangan

pengaturan, Struktur pengaturan dan karakter isi pengaturan yaitu memahami

ruang lingkup materi muatan pengaturan, Kesesuaian materi pasal dan/ atau ayat

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan sifat materi muatan.

Menurut A. Hamid S. Attamimi membedakan antara teori perundang-

undangan dan ilmu perundang-undangan, yang menurutnya teori perundang-

undangan berorientasi pada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman dan

bersifat kognitif, sedangkan ilmu perundang-undangan (dalam arti sempit)

4
berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif .

Menurut Peneliti dengan teori perundang-undangan dan ilmu perundang-

undangan adalah bagian dari ilmu pengetahuan perundang-undangan. Selanjutnya

Rosjidi Ranggawidjaja, menguraikan teori perundang-undangan berorientasi pada

usaha menjelaskan pemahaman (yang bersifat dasar) antara lain pemahaman

tentang undang-undang, pembentukan undang-undang, fungsi perundang-


5
undangan, peraturan perundang-undangan, dan sebagainya serta bersifat kognitif .

4
H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Penerbit
CV Mandar Maju, Bandung, h. 14-15.
5
Ibid, h. 15.
12

Dalam hal ini Peneliti akan mengfokuskan pada pemahaman peraturan perundang-

undangan.

Konsep “peraturan perundang-undangan”, terdiri dari 2 (dua) kata yakni

“peraturan” dan “perundang-undangan”. Istilah peraturan Perundang-undangan

digunakan oleh A. Hamid S. Attamimi, Sri Soemantri, dan Bagir Manan. Menurut

A. Hamid S. Attamimi, istilah tersebut berasal dari istilah wettelijke regels atau

wettelijke regeling, namun istilah tersebut tidak mutlak digunakan secara

konsisten. Ada kalanya istilah ‘Perundang-undangan’ saja yang digunakan.

Penggunaan istilah ‘peraturan Perundang-undangan’ lebih relevan dalam

pembicaraan mengenai jenis atau bentuk peraturan (hukum), namun dalam

konteks lain lebih tepat digunakan istilah Perundang-undangan, misalnya dalam

menyebut teori Perundang-undangan, dasar-dasar Perundang-undangan, dan

sebagainya. Istilah Perundang-undangan, dalam bahasa Indonesia berasal dari kata

dasar yakni undang-undang. Hamid Attamimi, mengartikan Undang-Undang

dalam pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia yaitu produk yang dibentuk

oleh Presiden dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara yang

dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia


6
akronim DPR RI (wet in formele zin) . Dapat dipahami oleh Peneliti bahwa

pengertian Undang-Undang dalam pengertian materiil yaitu peraturan yang tidak

saja dikeluarkan bersama-sama oleh DPRD, melainkan juga oleh badan-badan

pemerintah, seperti menteri, dan sebagainya. Secara formal, wet sama dengan

6
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h. 199.
13

Undang-Undang. Sedangkan wet dalam arti materiil sama dengan peraturan

perundang-undangan.

Sebagaimana pandangan terbaginya 2 (dua) klasifikasi perundang-undangan

dalam arti materiil dan formil. Yohanes Usfunan mengatakan, undang-undang

dalam arti materiil adalah setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang yang daya mengikatnya kepada setiap orang, inilah yang dimaksud

dengan Peraturan Perundang-undangan. Dalam arti formal Undang-Undang

adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan


7
eksekutif dan legislatif yang mengikat secara umum . Dapat dipahami oleh

Peneliti bahwa perundang-undangan memiliki pola yang sama wewenang oleh

pemegang kekuasaan dalam hal in pejabat. Sehubungan dengan definisi

Perundang-undangan, Bagir Manan memberikan gambaran umum tentang

8
pengertian Perundang-undangan sebagai berikut :

1. Peraturan Perundang-undangan merupakan keputusan tertulis yang


dikeluarkan Pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang, berisi aturan
tingkah laku yang bersifat mengikat umum.
2. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan
mengenai hak, kewajiban, fungsi, status, atau suatu tatanan.
3. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau
abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada objek,
peristiwa atau gejala konkret tertentu.

Selanjutnya dengan berdasarakan pada pendapat Bagir Manan Peneliti juga

melihat menurut pendapat, P. J. P. Tak dalam bukunya Rechtsvorming in

7
Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik
Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis, Orasi Ilmiah Universitas Udayana,
Denpasar, h. 11.
8
Bagir Manan, 1994, Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dalam Pembangunan Hukum Nasional, (makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah
tentang Kedudukan Biro-Biro Hukum/Unit Kerja Departemen/ LPND dalam Pembangunan
Hukum, Jakarta, Tanggal 19-20 Oktober 1994, h. 13.
14

Nederland mengartikan peraturan Perundang-undangan (undang-undang dalam

arti materiil) adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan Pejabat yang

9
berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat umum .

Peraturan Perundang-undangan adalah perwujudan kehendak dari pemegang

kekuasaan tertinggi yang berdaulat, maka peraturan Perundang-undangan

10
merupakan hukum tertinggi dan adalah satu-satunya sumber hukum . Dari

pengertian ini dapat diartikan bahwa di luar peraturan Perundang-undangan tidak

ada sumber hukum yang lain. A. Hamid S. Attamimi juga memberikan batasan

terhadap pengertian peraturan perundangan sebagai semua aturan hukum yang

dibentuk oleh semua tingkat lembaga dalam bentuk tertentu, dengan prosedur

11
tertentu, biasanya disertai sanksi dan berlaku umum serta mengikat rakyat .

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 UU 12/2011 mendefiniskan Peraturan

Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang

mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau

Pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan

Perundang-undangan.

Dari beberapa definisi di atas dapat diidentifikasikan ciri, unsur dan batasan

peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:

1. Peraturan Perundang-undangan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai

bentuk atau format tertentu. Pemaknaan dari “peraturan tertulis” ini bukan

9
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind. Hill, co, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Bagir Manan I), h. 8.
10
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 248.
11
A. Hamid S. Attamimi, op.cit, hal. 61.
15

dimaksudkan sekedar bentuknya yang dituliskan saja. Esensi “peraturan

tertulis” disini sebagaimana dimaksud menekankan pada kharakter dari

peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dipisahkan dari ciri

dibentuk oleh lembaga/pejabat negara serta melalui prosedur yang

ditetapkan

2. Dibentuk, ditetapkan, dan dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang, baik

di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Yang dimaksud dengan Pejabat

yang berwenang adalah Pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan

yang berlaku, baik berdasarkan atribusi ataupun delegasi. Seorang

perancang peraturan berkewajiban mengetahui secara benar jenis aturan

tersebut dan bagaimana konsekuensi logis pada hierarkinya. Pengetahuan

yang memadai tentang hal tersebut dapat menghindarkan kesalahan

pemilihan bentuk peraturan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum

yang berlaku. Dalam konteks hukum, wewenang yang diberikan oleh

negara baik diatur dalam konstitusi maupun peraturan di bawahnya selalu

harus dapat dipertanggungjawabkan oleh lembaga/ organ pelaksana. Oleh

sebab itu, ada organ yang secara langsung memperoleh wewenang dari

konstitusi atau Perundang-undangan lainnya, namun juga ada wewenang

yang dilimpahkan oleh organ negara yang satu kepada organ negara

lainnya;

3. Peraturan Perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku.

Jadi, peraturan Perundang-undangan bersifat mengatur (regulerend), tidak

bersifat sekali jalan (einmahlig);


16

4. Peraturan Perundang-undangan mengikat secara umum karena memang

ditujukan pada umum, artinya tidak ditujukan kepada seseorang atau

individu tertentu (tidak bersifat individual).

3. Teori pembentukan peraturan perundang

Urgensi untuk menggunakan teori pembentukan peraturan perundang-udangan

ROCCIPI yaitu sebagai metode penyelesaian masalah yang dapat digunakan

untuk mengidentifikasi prilaku bermasalah perorangan dalam struktur

kelembagaan dan perilaku kelembagaan yang menghambat pemerintahan yang

baik. Selanjutnya urgensi menggunakan teori pembentukan peraturan perundang-

udangan Regulatory Impact Analysis yaitu sebagai metodologi untuk

meningkatkan mutu peraturan yang sudah ada, dalam hal ini mengkaji Perda Bali

11/2017 dengan menggunakan metode logika berpikir Regulatory Impact

Analysis.

Teori pembentukan peraturan perundang-udangan ROCCIPI adalah teori

perundang-undangan yang yang dikembangkan Ann Seidman, Robert B.

Seidman, dan Nalin Abeyserkere adalah untuk mendapatkan masukan penjelasan

tentang prilaku bermasalah yang membantu dalam penyusunan undang-undang.

Dalam teori ini terdapat metode pemecahan masalah yang memuat 7 (tujuh)

kategori, yakni: Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity

(Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process

(Prosese), dan Ideology (Ideologi).

Inti dari metodelogi pemecahan masalah dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan dengan langkah-langkah tersebut adalah dalam rangka


17

perubahan masyarakat yang demokratis yang berdasarkan pada asas-asas

kepemerintahan yang baik (good governance). Untuk memudahkan tingkat

implementasinya kategori-kategori metode ini dapat dipilah menjadi dua

kelompok faktor penyebab, yaitu:

Pertama, faktor-faktor subyektif, terdiri dari apa yang ada dalam benak para

pelaku peran: Kepentingan-kepentingan mereka dan “ideologi-ideologi (nilai-nilai

dan sikap)” mereka. Hal-hal ini merupakan apa yang semula diidentifikasikan

12
kebanyakan orang berdasarkan naluri sebagai “alasan” dari perilaku masyarakat .
13
Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Kepentingan (atau insentif). Kategori ini mengacu pada pandangan pelaku


peran tentang akibat dan manfaat untuk mereka sendiri. Hal ini termasuk
bukan hanya insentif materiil tetapi juga insentif non-materiil, seperti
penghargaan dan acuam kelompok berkuasa. Fokus pada penjelasan yang
berkaitan dengan kepentingan umumnya menghasilkan tindakan
perundang-undangan yang menerapkan tindakan motivasi ke arah
kesesuaian yang bersifat langsung hukuman dan penghargaan yang
dirancang untuk mengubah kepentingan-kepentingan tersebut.
2. Ideologi (nilai dan sikap). Ideologi merupakan kategori subjektif kedua
dari kemungkinan penyebab perilaku. Bila ditafsirkan secara luas, kategori
ini mencakup motivasi-motivasi subjektif dari perilaku yang tidak dicakup
dalam “kepentingan”. Motivasi tersebut termasuk semua hal mulai dari
nilai, sikap dan selera, hingga ke mitos dan asumsi-asumsi tentang dunia,
kepercayaan keagamaan dan ideologi politik, social dan ekonomi yang
kurang lebih cukup jelas.

Faktor-faktor subjektif yaitu Kepentingan dan Ideologi memang menawarkan

penjelasan secara parsial perilaku bermasalah. Akan tetapi, sesuai dengan

12
Robert B. Seidman., Aan Seidman dan Nain Abeyeskere, 2002, Penyusunan RUU dalam
Perubahan Masyarakat yang Demokrasi Sebuah Panduan untuk Pembuat RUU, Business
Advisory Indonesia University of San Francisci School of Law Indonesia Program (diterjemahkan
oleh Johanes Usfunan, dkk), Jakarta. h. 117.
13
Gede Marhaendra Wija Atmaja, dkk, 2016, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan
(Teknik Penyusunan Naskah Akademik dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan),
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, (selanjutnya disingkat Gede Marhaendra Wija
Atmaja I), h. 42.
18

hakekatnya, penjelasan tersebut terfokus pada penyebab perilaku perorangan di

dalam struktur kelembagaan yang ada. Sebagai akibatnya, pemecahan perundang-

undangan dirancang untuk mengubah kepentingan dan ideologi perorangan.

Penyelesaian-penyelesaian perundang-undangan yang ditujukan hanya pada

penyebab-penyebab subjektif dari perilaku bermasalah tidak dapat mengubah

faktor-faktor kelembagaan objektif yang dapat menyebabkan bertahannya perilaku

tersebut.

Kedua, faktor-faktor obyektif. Berbeda dengan faktor subjektif, kategori-

ketegori objektif ROCCIPI yaitu peraturan, kesempatan, kemampuan, komunikasi

dan proses memusatkan perhatian pada penyebab perilaku kelembagaan yang

menghambat pemerintahan yang bersih. Kategori ini harus merangsang seorang

penyusun rancangan undang-undang untuk memformulasikan hipotesa penjelasan

yang agak berbeda dan usulan pemecahan. Masing-masing dapat dijelaskan


14
sebagai berikut :

1. Peraturan. Kebanyakan masalah yang mencapai tahap penyusunan


rancangan undang-undang tidak ada dengan tiba-tiba. Hampir selalu,
batang tubuh undang-undang yang layak mempengaruhi perilaku. Orang
berperilaku sedemikian rupa, bukan di hadapan satu peraturan, tetapi di
depan kesatuan kerangka undang-undang. Keberadaan peraturanperaturan
tersebut dapat membantu menjelaskan perilaku bermasalah dengan satu
atau beberapa dari lima alasan berikut ini:
a. Susunan kata dari peraturan tersebut mungkin kurang jelas atau rancu,
sehingga sampai memberikan wewenang tentang apa yang harus
dilakukan;
b. Beberapa peraturan mungkin mengijinkan atau mengijinkan perilaku
yang bermasalah;
c. Peraturan tersebut tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku
bermasalah.
d. Peraturan tersebut mungkin mengijinkan pelaksanaan yang tidak
transparan, tidak bertanggung jawab dan tidak partisipatif.

14
Ibid., h. 43-44.
19

e. Peraturan tersebut mungkin memberikan kewenangan yang tidak perlu


kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan bagaimana
mengubah perilaku bermasalah tersebut.
2. Kesempatan. Apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju oleh suatu
undang-undang memungkinkan mereka untuk berperilaku sebagaimana
diperintahkan oleh undang-undang tersebut? Atau, sebaliknya, apakah
lingkungan tersebut membuat perilaku yang sesuai tidak mungkin terjadi?
Misalnya, bila kebijakan pemerintah berpihak pada peningkatan
penanaman tanaman keras di tengah dominasi petani tanaman pangan,
apakah para petani tersebut memiliki akses masuk menembus pasar
tanaman keras? Apabila tidak, mereka akan kekurangan kesempatan untuk
menjual barang-barang mereka di pasar.
3. Kemampuan. Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan
berperilaku sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada? Berangkat
dari situasi ini, maka kategori ini memfokuskan perhatian pada ciri-ciri
pelaku yang menyulitkan atau tidak memungkinkan mereka berperilaku
sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang ada. Misalnya, apabila
petani tanaman pangan kekurangan kredit atau keahlian teknis,
kemungkinan mereka tidak memiliki kemampuan menanam tanaman
pangan.
4. Komunikasi. Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-undang
mungkin dapat menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak sesuai.
Apakah para pihak yang berwenang telah mengambil langkah-langkah
yang memadai untuk mengkomunikasikan peraturanperaturan yang ada
kepada para pihak yang dituju? Tidak ada orang yang dengan secara sadar
mematuhi undang-undang bila dia mengetahui perintah.
5. Proses. Menurut kriteria dan prosedur apakah dengan Proses yang
bagaimana para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-
undang atau tidak? Biasanya, bila sekelompok pelaku peran terdiri dari
perorangan, kategori “Proses” menghasilkan beberapa hipotesa yang
berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orang-orang biasanya
memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau tidak. Akan
tetapi, dalam hal organisasi yang kompleks (misalnya, sebuah
perusahaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serikat buruh, dan
khususnya instansi pelaksana pemerintah, Proses dapat saja merupakan
kategori ROCCIPI yang paling penting.

Ketujuh agenda ROCCIPI bukan suatu urutan prioritas, namun hanya alat

bantu agar mudah mengingat. Tidak seluruh kategori harus terpenuhi. Bisa jadi

penyebab perilakunya hanya kategori ROCCIPI, karena tidak ada penyebab dalam

kategori IPI. Kategori-kategori dalam ROCCIPI bisa jadi belum lengkap, karena

itu terbuka untuk ditambahkan dengan kategori baru. Berdasarkan paparan yang
20

telah disebutkan sebelumnya Peneliti ingin melihat dan menilai kesesuaian antara

peraturan yang mengatur tugas Bapemperda DPRD Provinsi Bali dengan kategori-

kategori yang terdapat dalam metodeogi penyelesaian masalah ROCCIPI.

Peneliti berkeyakinan bahwa kesesuaian antara kategori-kategori yang

terkandung dalam metodeogi penyelesaian masalah ROCCIPI dan peraturan yang

mengatur tugas Bapemperda DPRD Provinsi Bali dapat menjadi faktor

pendukung dan penghambat yang mempengaruhi Kinerja Badan Legislasi Daerah

Provinsi Bali. Peneliti berkeyakinan bahwa, tingkat kesesuaian antara kategori-

kategori yang terkandung dalam teori ROCCIPI dan peraturan yang mengatur

tugas Bapemperda DPRD berbanding lurus dengan tingkat Kinerja Bapemperda

DPRD Provinsi Bali. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kesesuiannya maka

akan semakin tinggi pula tingkat kinerja Bapemperda DPRD Provinsi Bali.

Selanjutnya Kepustakaan dan praktik pembentukan legislasi juga mengenal

metode legislasi, diantaranya adalah Analisis Dampak Regulasi. Istilah aslinya

adalah Regulatory Impact Analysis dengan akronim RIA. Terjemahan lainnya

adalah Analisis Dampak Peraturan, Analisis Pengaruh Regulasi, dan Analisis

Pengaruh Peraturan. Regulatory Impact Assessment adalah sebuah metodologi

untuk meningkatkan mutu peraturan yang sudah ada dan peraturan baru.

Metodologi tersebut memberikan peluang bagi pengguna untuk memeriksa

apakah peraturan sudah sesuai dengan kriteria mutu yang dijabarkan dalam

checklist yang dikembangkan dan direkomendasikan oleh Organisation for

Economic Co-operation and Development akronim OECD. Melalui Regulatory

Impact Analysis akan ditinjau peraturan yang ada dan mengubah prosedur yang
21

birokratif menjadi prosedur yang smart dengan merumuskan peraturan yang lebih
15
baik sehingga dapat menjadi daya tarik dalam hal investasi bagi sebuah daerah .

Tujuan Regulatory Impact Analysis adalah terciptanya good regulatory

governance–tata kelola pemerintahan yang mengembangkan perumusan peraturan

yang efektif, berorientasi pasar, melindungi lingkungan dan kehidupan sosial.

16
Prinsip-prinsip Regulatory Impact Analysis adalah :

1. Minimum Efective Regulation. Regulasi bibuat apabila benar-benar


diperlukan.
2. Competitive Neutrality. Netralitas terhadap persaingan dengan
menggunakan mekanisme pasar.
3. Transparancy & Participation. Transparan dengan pelibatan stakeholder.

Secara lebih spesifik, metode Regulatory Impact Analysis merupakan alat

untuk mencapai standar internasional untuk kebijakan berkualitas sebagaimana

tercantum dalam Organisation for Economic Co-operation and Development

17
checklist sebagai berikut :

1. Apakah masalah yang dihadapi sudah didefinisikan dengan benar?


2. Sudahkah tindakan pemerintah diupayakan?
3. Apakah PPu itu merupakan bentuk terbaik dari tindakan pemerintah?
4. Apakah ada landasan hukum untuk PPu?
5. Apa jenjang pemerintahan yang tepat untuk melakukan tindakan ini?
6. Apakah manfaatnya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan?
7. Apakah distribusi usaha di masyarakat transparan?
8. Apakah PPu tersebut jelas, dapat dipahami dan mudah diakses oleh
pemakai?
9. Apakah semua pihak yang berkepentingan telah diberi kesempatan untuk
menyampaikan pendapat/ pandangan mereka? Bagaimana dapat mencapai
kepatuhan?

15
KPPOD, 2013, Panduan Pembuatan Kebijakan (Peraturan Daerah Ramah Investasi), Ford
Foundation dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta, h. 5.
16
Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002, Buku Pedoman Kaji Ulang Peraturan
Indonesia, Balitbang Deperindag, USAID, Dinas Perindag Bali, PEG, Bali, h. 4-7.
17
Emmy Suparmiatun, 2011, Kajian Ringkas Pengembangan Dan Implementasi Metode
Regulatory Impact Analysis Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) Di
Kementerian PPN/BAPPENAS, Biro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS, Jakarta, h. 5-6.
22

10. Bagaimana pelaksanaan regulasi tersebut?

Penjelasan singkat mengenai tahapan metode Regulatory Impact Assessement

yang dapat membantu pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan dan

18
melakukan review atas kebijakan yang ada, yaitu :

1. Perumusan Masalah.
2. Identifikasi tujuan (sasaran) Kebijakan.
3. Analisis manfaat dan biaya.
4. Komunikasi (konsultasi) dengan stakeholders.
5. Penentuan opsi (alternatif kebijakan) terbaik.
6. Perumusan strategi implementasi kebijakan.

Selain sebagai tahap, metode Regulatory Impact Assessement juga dapat

diposisikan sebagai alat. Dalam hal ini, metode Regulatory Impact Assessement

merupakan alat untuk menghasilkan kebijakan, tata kelola dan pembangunan yang

lebih baik. Ada dua kunci dalam penerapan metode Regulatory Impact

Assessement yang dianggap mampu memenuhi harapan tersebut, yaitu: Pertama,

adanya partisipasi masyarakat dapat meningkatkan transparansi, kepercayaan

masyarakat dan mengurangi risiko sebuah kebijakan. Kedua, menemukan

opsi/pilihan yang paling efektif dan efesien sehingga dapat mengurangi biaya

implementasi bagi pemerintah dan biaya transaksi bagi masyarakat.

Di samping sebagai tahap dan alat, metode Regulatory Impact Assessement

juga dapat diposisikan sebagai sebuah logika berfikir. Metode Regulatory Impact

Assessement dapat digunakan oleh pengambil kebijakan untuk berfikir logis,

mulai dari identifikasi masalah, identifikasi pilihan untuk memecahkan masalah,

18
Asian Development Bank, 2002, Regulatory Impact Assessment, Guide Book, Jakarta, h.
23-40.
23

19
serta memilih satu kebijakan berdasarkan analisis terhadap semua pilihan .

Metode Regulatory Impact Assessement mendorong pengambil kebijakan untuk

berfikir terbuka dengan menerima masukan dari berbagai komponen yang terkait

dengan kebijakan yang hendak diambil. Dalam Penelitian ini Peneliti

berkeyakinan untuk menggunakan metode logika berfikir Regulatory Impact

Assessement untuk mengkaji Perda Bali 11/2017, dikarenakan ini dapat menjadi

logika berpikir mengapa Perda ini ditetapkan.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

sosiolegal. Karakteristik penelitian sosiolegal dapat Peneliti identifikasi melalui

dua hal yaitu:

Pertama, penelitan sosiolegal mengembangkan berbagai metode baru hasil

perkawinan antara metode penelitian hukum dengan ilmu sosial, seperti penelitian

sosiolegal kualitiatif, etnografi sosiolegal, etnografi hukum, pendekatan hukum

20
kualitatif feminis, dan studi kasus untuk meneliti budaya . Dapat dipahami oleh

Peneliti bahwa Penelitian ini melakukan analisis terhadap hukum sebagai

keharusan atau hukum sebagai terapan, atau keduanya secara bersamaan.

Penelitian terhadap norma pada kedua wilayah itu, keharusan dan terapan, baik

19
Nasokah, 2008, Implementasi Regulatory Impact Assessment Sebagai Upaya Menjamin
Partisipasi Masyarakat Dalam Penyusunan Peraturan Daerah. Jurnal Hukum: V. 3. N. 15, h, 454-
457, tersedia di http://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/download/28/1835, diakses 23 Juni 2018.
20
Sulistyowati Irianto dan Shidarta, 2017, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi,
Cet. 4, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, h. 178.
24

secara tersendiri dan terpisah atupun secara korelasi dan sebagai kesatuan,

tergantung, pada motif, obyek, dan tujuan penelitian itu.

Kedua, penelitian sosiolegal melakukan studi tekstual, khususnya terhadap

pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, kebijakan dan putusan

pengadilan dengan menganalisisnya secara kritis, dengan tidak lupa menjelaskan

bagaimanakah makna yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut merugikan atau

meguntungkan sutu kelompok masyarakat, lalu dengan cara bagaimana pasal-

pasal tersebut berimplikasi demikian. Penelitian sosiolegal berurusan pula dengan

jantung persoalan dalam penelitian hukum, yaitu membahas konstitusi sampai


21
peraturan perundang-undangan pada tingkat paling rendah . Peneliti memaknai

bahwa penelitian sosiolegal lebih memetingkan latar belakang atau motif, obyek,

dan tujuan dari penelitian itu, yaitu bekerjanya hukum dan perwujudan tujuan

hukum secara lebih baik. Penelitian sosiolegal meletakan bekerjanya dan dan

perwujudan tujuan hukum sebagai orientasi utama, bukan penentuan batas

normatif dan terapan.

Penelitian hukum ini tidak dapat dibatasi hanya pada satu sisi dari wilayah

norma, karena keharusan memperoleh makna dari terapan dan terapan

memperoleh makna dari keharusan. Ini menjadi alasan Peneliti menggunakan

penelitian sosiolegal dikarenakan Penelitian Peneliti mengkaji kedua wilayah

norma itu merupakan kenyataan norma hukum. Melakukan studi tekstual, yakni

menganalisis secara kritikal terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-

21
Ibid,.
25

undangan, yakni Perda Bali 11/2017 dan melakukan studi empirik dalam hal

melihat kinerja Bapemperda DPRD Provinsi Bali.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan hukum adalah proses pemecahan masalah melalui tahap yang

22
ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian . Dapat dipahami bahwa

pendekatan merupakan tahapan bagi Peneliti untuk menilai kinerja Bapemperda

DPRD Provinsi Bali. Pada penelitian ini Peneliti menggunakan 3 (tiga) jenis

23
pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua

peraturan hukum maupun regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang diteliti. Peneliti memaknai bagi penelitian untuk kegiatan

akademis, pendekatan perundang-undangan sangat diperlukan untuk

mencari ratio legis dan dasar ontologis dalam hal menangkap kandungan

filosofis lahirnya undang-undang. Dalam pendekatan perudang-undangan

Peneliti diharapkan mampu memahami hierarki dan asas-asas dalam

peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Peneliti melakukan analisis

makna hukum terhadap Perda Bali 11/2017.

22
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 112.
23
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister
(S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, h. 30.
26

2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (conceptual approach)

Pendekatan analisis konsep hukum dilakukan dengan menelaah

24
pandangan dan doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum . Peneliti

menilai bahwa pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap

pandangan atau doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat

menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum dalam mengkaji

isu hukum yang dihadapi. Pendekatan ini digunakan untuk memahami

mengenai pendelegasian kewenangan, pembentukan hukum dan Perda.

3. Pendekatan Fakta (The fact Approch)

Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengetahui fakta-fakta yang ada

atau terjadi dalam dilokasi penelitian dengan mengumpulkan informasi-

informasi tentang kejadian yang ada hubungannya dengan masalah yang

aka dibahas. Lokasi Penelitian ini berada di DPRD Provinsi Bali. Alasan

pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pemahaman bahwa DPRD

Provinsi Bali memiliki cakupan yang luas dan produk hukum berupa Perda

Provinsi Bali memiliki cakupan regional yang berada pada Provinsi.

Provinsi membawahi kabupaten-kabupaten dan tingkat Perda Provinsi Bali

lebih tinggi tingkatan dengan Perda Kabupaten/ kota.

1.8.3 Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan tujuan menggambarkan secara

mendalam dan kritis berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang

24
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Interpratama Offset, Jakarta, h. 19.
27

25
timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian ini . Dalam penelitian ini

akan digambarkan secara rinci fakta yang ditemukan dalam penelitian lapangan

terkait dengan kinerja Bapemperda DPRD Provinsi Bali. Fakta-fakta tersebut

kemudian dianalis secara kritis.

1.8.4 Sumber Data dan Sumber Bahan Hukum

1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitan sosiolegal ini meliputi data primer dan

data sekunder. Data primer adalah merupakan data yang diperoleh langsung

dari responden dan informan di lapangan penelitian. Data penelitian dapat

diperoleh dari pihak-pihak yang berwenang dalam hal ini Bapemperda

DPRD Provinsi Bali. Data Primer bersumber dari pejabat di Kantor

Bapemperda DPRD Provinsi Bali sebagai responden dan informan lainnya

dilapangan penelitian.

Sumber data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian

keputakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber

pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah

terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum.

2. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitan sosiolegal ini meliputi bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah

bahan hukum yang bersumber dari asas dan norma hukum. Perwujudan

asas dan kaidah hukum ini dapat berupa: mencakup perundang-undangan

25
Sunggono Bambang, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum, Rajawali Pres, Jakarta, h. 41.
28

yaitu Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

(selanjutnya disebut UUD NKRI 1945), UU 23/2014, UU 12/2011, Pepres

87/2014, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010

tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (seanjutnya disebut

PP 16/2010), Permendagri 80/2015, Perda Bali 11/2017 dan Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provini Bali Tahun 2009-2029 (selanjutnya disebut Perda Bali

16/2009), Peraturan DPRD Provinsi Bali Nomor 21 Tahun 2014 tentang

Tata Tertib DPRD Provinsi Bali (selanjutnya disebut Tata Tertib DPRD

Provinsi Bali 21/2014) serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang

terkait lainnya.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang bersumber dari buku

(text books), jurnal, karya tulis yang termuat di media massa, kamus dan

ensiklopedia serta internet dengan menyebut nama situs.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Sumber Data dan Sumber Bahan Hukum

Teknik pengumpulan sumber data yang dipergunakan adalah Teknik

wawancara langsung dengan responden dan informan digunakan untuk

mengumpulkan data primer. Teknik dengan cara mencatat dari hasil wawancara

yang dilakukan terhadap responden dan informan. Teknik studi dokumen

digunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Teknik dengan cara mencatat dari

hasil penelusuran studi dokumen melalui kepustakaan.


29

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode

26
bola salju (snowball method) . Yang dimaksud dengan metode bola salju adalah

metode menggelinding secara terus menerus yang mengacu kepada peraturan

perundang-undangan, bukuk-buku hukum, jurnal huum, dan lainnya dalam daftar

pustaka yang berkaitan dengan Bapemperda DPRD. Bahan hukum yang diperoleh

melalui penelitian kepustakaan selanjutnya akan diinventaris, disusun dan

dianalisis, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini dapat

terjawab.

1.8.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan teknik non probability sampling yaitu tidak semua subyek populasi

sebagai individu mendapat kemungkinan kesempatan yang sama untuk dijadikan

27
sampel . Penentuan sampelnya menggunakan model purposive sampling.

Purposive sampling adalah pengambilan contoh/ sampel dengan cara langsung

berdasarkan tujuan tertentu. Dalam penelitian ini penentuan sampelnya hanya

terbatas pada pihak-pihak yang terkait dengan Bapemperda DPRD Provinsi Bali.

Alasan menentukan penelitian pada Bapemperda DPRD Provinsi Bali

dikarenakan DPRD Provinsi Bali memiliki cakupan yang luas dalam tingkat

perda, yaitu perda Provinsi. Perda Provinsi terletak pada tingkat ke 6 (enam)

hirarki peraturan perundang-undangan UU 12/2011. Adanya kriteria yang

mendukunng dan sesuai dengan peneitian ini berkaitan dengan perda Provinsi.

26
Djam’an Satori, 2010, Metodelogi Penelitan Kualitatif, Alfabeta, Bandung, h. 18.
27
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, h. 74.
30

Jadi dapat dipahami bahwa pentingnya menggunakan teknik sampling ini yaitu

non sampling dan menetapkan ciri khusus sesuai tujuan penelitian.

1.8.7 Teknik Pengolahan, Analisis Data dan Analisis Bahan Hukum

1. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Mengedit data, yaitu semua data yang diperoleh dari hasil pengumpulan

data dipilah-pilahkan berdasarkan kualifikasinya sebagai data

pendukung terhadap proses penelitian.

b) Koding data yaitu dengan cara memberikan tanda pada masing-masing

data berdasarkan sumber dan kualifikasi data.

2. Teknik Analisis Data

Setelah dilakukan pengolahan data maka tahap langkah selanjutnya

dilakukan analisa data. Data kuantitatif yang akan dianalisis secara

deskriptif persentase dengan langkah-langkah menurut Riduan sebagai

28
berikut :

a) Menghitung jumlah masing-masing aspek atau sub variabel.


b) Merekap jumlah.
c) Menghitung nilai rata-rata.
d) Menghitung persentase dengan rumus persamaan :

Keterangan: DP = Deskriptif Persentase (%)


n = Jumlah yang diperoleh)
N = Jumlah Ideal

28
Riduan, 2004, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula,
Alfabeta, Bandung, h. 71-95.
31

Selanjutnya skala penilaian dibuat berdasarkan pertimbangan skala

pengukuran ordinal. Peneliti menggunakan skala ordinal dengan

pertimbangan skala pengukuran yang tidak hanya menyatakan kategori,

tetapi juga menyatakan peringkat yang diukur. Skala pengukuran

ordinayang tertuang dalam tabel 1.3.

Tabel 1.3
Skala Penilaian Kinerja Ordinal
No. Nilai Angka (%) Interpretasi
1. > 80 Sangat Baik
2. 60 - 79,9 Baik
3. 50 - 59,9 Sedang
4. 0 - 49,9 Kurang
Sumber: Ridwan, 2004

Untuk menentukan jenis deskriptif persentase yang diperoleh masing-

masing indikator dalam variabel, dan perhitungan deskriptif persentase

kemudian ditafsirkan dalam bentuk suatu uraian secara diskriptif analistis.

Selanjutnya dengan merujuk pada Miles dan Huberman, yang

membedakan empat tahap dalam proses analisis, yakni pengumpulan data,

reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Menurut Miles

dan Huberman, analisis data terkandung dalam tiga tahapan terakhir.


29
Penggunaannya dalam penelitian hukum ini adalah ;

a) Reduksi data (data reduction), adalah proses pemilihan,


penyedehanaan, abstraksi data berdasarkan tema-tema yang
ditentukan dalam kaitan dengan kinerja Bapemperda DPRD
Provinsi Bali.
b) Penyajian data (data display), adalah proses interpretasi, proses
pemberian makna, terhadap unsur-unsur maupun totalitas,
kemudian menyajikan hasil reduksi data dalam bentuk uraian
naratif dan/atau tabulatif dikaitkan dengan permasalahan yang
diajukan; dan

29
Nyoman Kutha Ratna, 2010, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-Ilmu Sosial
Humaniora Pada Umumnya, Yogyakarta, h. 310-31.
32

c) Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and


verification), proses akhir analisis adalah penarikan kesimpulan,
yakni memberikan jawaban atas permasalahan yang telah diajukan,
yang dalam proses penelitian berlangsung setiap kesimpulan terus-
menerus diverifikasi sehingga benar-benar diperoleh kesimpulan
yang valid.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa penyajian data (data

display), merupakan proses interpretasi, proses pemberian makna,

terhadap unsur-unsur maupun totalitas. Untuk melakukan interpretasi

tersebut dilakukan interpretasi berbasis hermeneutika hukum.

3. Teknik Analisis

Dalam menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul,

Peneliti menggunakan teknik analisis deskripsi, interpretasi, evaluasi, dan

argumentasi:

a) Teknik deskripsi dalam penelitian ini meliputi isi dan struktur

hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh Peneliti

untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadihkan

rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum menjadi obyek

penelitian.

b) Teknik interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

interpretasi historis, intepretasi sistematis dan interpratasi

hermeneutika. Hermeneutika hukum merupakan penerapan

hermeneutika pada bidang hukum yang intinya adalah kegiatan

menginterpretasi teks hukum, yakni pemberian makna pada kata-

kata dalam peraturan perundang-undangan dan/ atau peraturan


33

kebijakan. Hermeneutika hukum bekerja berdasarkan prinsip-


30
prinsip dalam aras lingkaran hermeneutika hukum, yakni :

i. Berkerja dalam tiga horizon, yaitu horizon pengarang (author),


horizon teks, dan horizon pembaca (reader). Direfleksikan di
bidang hukum, horizon pengarang adalah konteks kelahiran
teks hukum (aturan hukum), horizon teks adalah aturan hukum,
dan horizon pembaca adalah konteks penerapan aturan hukum.
Dalam penelitian ini, interpretasi atas peraturan mengenai
Bapemperda DPRD Provinsi Bali berbasiskan pada tiga
horizon tersebut, paling tidak horizon teks dan horizon konteks
penerapan.
ii. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara bagian-bagian dan
keseluruhan, sehingga terbentuknya pemahaman secara lebih
utuh, yakni tiap ayat hanya bisa dipahami berdasarkan
pemahaman atas pasalnya dan tiap pasal hanya dapat dipahami
berdasarkan pemahaman atas undang-undangnya bahkan
dengan sistem hukum yang melingkupinya, sebaliknya undang-
undang (sebagai keseluruhan) hanya dapat dipahami
berdasarkan pemahaman atas pasal atau ayat sebagai bagian
dari undang-undang sebagai keseluruhan.
iii. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara kaedah dan fakta, yakni
proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.
Penafsir harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya
kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam
cahaya fakta-fakta. Dengan perkataan lain, penalaran dilakukan
dari fakta-fakta ke kaidah-kaidah dalam aturan hukum (ia
mengkualifikasi), untuk kemudian dari kaidah-kaidah dalam
aturan aturan hukum itu ke fakta-fakta (ia menginterpretasi),
dan hal itu terjadi berulang-ulang sampai menemukan sebuah
penyelesaian. Yang dimaksud kaidah-kaidah hukum di sini
adalah kaidah-kaidah hukum dalam UU 12/2011 dan peraturan
pelaksanaannya, dan yang dimaksud dengan fakta-fakta di sini
adalah data yang diperoleh dari studi empirik.
iv. Interpretasi secara hermeneutikal berlangsung secara holistik
dalam rangkaian keterkaitan satu interpretasi hukum dengan
interpretasi hukum lainnya. Model interpretasi ini digunakan
dalam penelitian ini dengan cara menafsirkan pendapat dan
Perda Bali 11/2017.

30
Gede Marhaendra Wija Atmaja, Memahami Interpretasi Secara Hermeneutikal: Menalar
Pertimbangan Hukum Pumk Nomor 50/PUUXII/2014, Bahan dipersiapkan Dalam Rangka
Penerbitan Buku 50th Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, (selanjutnya disingkat
Gede Marhaendra Wija Atmaja II), 19 Agustus 2014, h. 5-7.
34

v. Interpretasi secara hermeneutikal memerlukan ketepatan


pemahaman (subtilitas intellegendi), ketepatan penafsiran
(subtilitas explicandi), dan ketepatan penerapan (subtilitas
applicandi). Dalam penelitian ini, tindakan yang dilakukan
adalah memahami teks hukum dengan cara menafsirkannya,
Perda Bali 11/2017.

c) Teknik evalusi adalah berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau

tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh Peneliti

terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,

keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupu

dalam bahan hukum sekunder.

d) Teknik argumentasi, argumentasi dalam penelitian ini berupa suatu

argument yang dikemukan untuk memperkuat penilain, serta

melakukan penalaran hukum. Teknik argumentasi tidak bisa

dilepaskan dari teknik evaluasi, karena penilaian harus didasarkan

pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. dalam

pembahasan permasalahan hukum semakin banya argument makin

menujukan kedalaman penalaran hukum.

Anda mungkin juga menyukai