Anda di halaman 1dari 119

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERKAIT


KETENAGAKERJAAN

Kompetisi Legislative Drafting


IMA-HTN CONSTITUSIONAL LAW FEST 2022

Disusun Oleh:
Ridwan Setiawan (1111200266)
Almas Sultan (1111200258)
Annisa Intan Prameswari (1111200205)

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA


SERANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya Kami dapat menyelesaikan Penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang tentang Undang-Undang Cipta Kerja dengan tepat waktu yang
telah ditentukan oleh Panitia IMA-HTN Constitutional Law Fest (ICLF) Tahun 2022.
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Undang-
Undang Cipta Kerja ini dibuat berdasarkan teknik penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Lampiran I Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Kami banyak mengucapkan terimakasih kepada panitia yang telah
memberikan kesempatan kepada Kami untuk mengikuti lomba ini dan semua
pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Undang-Undang Cipta Kerja terutama kepada
Dosen Pembimbing Kami Ibu Hj. Lia Riesta Dewi, S.H., M.H.
Semoga Naskah Akademik ini bermanfaat dan dapat menjadi pertimbangan
juri untuk kami masuk ke 5 (lima) besar dan diberikan kehormatan untuk dapat
mempresentasikan gagasan Kami dihadapan para juri yang telah banyak
pengalaman dalam menyusun Rancangan Undang-Undang.

Serang, 7 Mei 2022


Hormat Kami

Penyusun

i
ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disusun oleh


Pemerintah menjadi suatu UU Omnibus Law dengan materi muatan terdiri dari
perubahan beberapa UU yang disatukan dalam 1 (satu) UU. Salah satu UU yang
diubah adalah UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. UU Nomor 11
Tahun 2020 dianggap merugikan tenaga kerja. Sehingga UU Nomor 11 Tahun 2020
tersebut perlu diubah. Perubahan tersebut mengenai Cuti Tahunan dan Hari Libur,
Penggunaan dan Pembatasan Tenaga Kerja Asing (TKA), Upah Minimum, Alih Daya,
Batas waktu kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK). Perubahan Undang-Undang tentang Cipta Kerja disusun
atas dasar kehendak pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat dalam
mengakomodasi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Pendekatan penelitian yang
digunakan yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus,
pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan. Perubahan UU Nomor 11
Tahun 2020 meliputi Pasal 81 angka 4 perubahan atas Pasal 42 , Pasal 81 angka 15
perubahan atas Pasal 59, Pasal 81 angka 20 perubahan atas Pasal 66, Pasal 81
angka 23 perubahan atas Pasal 79, Pasal 81 angka 25 perubahan atas Pasal 88C,
Pasal 81 angka 30 perubahan atas Pasal 92, dan Pasal 81 angka 37 perubahan atas
Pasal 151.
Kata Kunci: Omnibus Law, Cipta Kerja, Tenaga Kerja,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
ABSTRAK ......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 15
C. Tujuan dan Kegunaan ...................................................................... 16
D. Metode Penelitian .......................................................................... 16
BAB II KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIS .............................................. 19
A. Kajian Teoritik ................................................................................ 19
1. Teori Hak Asasi Manusia (HAM) ....................................................... 19
2. Teori Negara Hukum ......................................................................... 20
3. Teori Good Governance .................................................................... 22
4. Teori Good Corporate Governance (GCG) ........................................ 24
5. Teori Kepastian Hukum ..................................................................... 26
6. Teori Keadilan ................................................................................... 27
7. Teori Negara Kesejahteraan .............................................................. 32
8. Teori Otonomi Daerah ...................................................................... 35
9. Teori Ketenagakerjaan ...................................................................... 37
10. Teori Sumber Daya Manusia ........................................................... 43
11. Teori Upah....................................................................................... 46
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma
...................................................................................................... 49
1. Asas-Asas dalam Pembentukan suatu Peraturan Perundang-
Undangan ........................................................................................... 50
2. Asas/Prinsip dalam Peraturan Perubahan Terkait Undang-Undang
Cipta Kerja .......................................................................................... 51

iii
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta
Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat ....................................... 55
1. Kajian Praktik Hari Libur dan Cuti ..................................................... 56
2. Kajian Praktik Tenaga Kerja Asing (TKA)............................................ 57
3. Kajian Praktik Outsourcing atau Alih Daya........................................ 58
4. Kajian Praktik Upah Minimum .......................................................... 59
5. Kajian Praktik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ................... 61
6. Kajian Praktik Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ............................ 62
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur
Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Negara .................... 63
BAB III LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS ............................... 67
A. Landasan Filosofis ........................................................................... 67
B. Landasan Sosiologis ........................................................................ 70
C. Landasan Yuridis ............................................................................. 76
BAB IV ANALISIS (JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN) .......................................................................................... 84
A. Sasaran........................................................................................... 84
B. Jangkauan dan Arah Pengaturan ..................................................... 84
C. Ruang Lingkup dan Materi Muatan .................................................. 85
BAB V KESIMPULAN ....................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 95
BIODATA PENULIS ........................................................................................ 106
LAMPIRAN DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG........................................107

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor penting yang tidak dapat
dipisahkan dari berkembangnya sebuah organisasi atau perusahaan. Pengertian
sumber daya manusia sendiri terbagi menjadi dua, yaitu secara mikro dan
secara makro. Dalam arti mikro, sumber daya manusia yaitu individu yang
bekerja pada sebuah perusahaan atau institusi, sedangkan secara makro
sumber daya manusia memiliki arti jumlah penduduk dalam usia produktif yang
ada di suatu wilayah.1 Sumber daya manusia secara mikro disebut sebagai
karyawan, pegawai, buruh, pekerja, dan tenaga kerja. Kemudian, sumber daya
manusia secara makro sendiri cakupannya lebih luas seperti penduduk suatu
negara yang sudah memasuki usia angkatan kerja, baik yang sudah bekerja
maupun yang belum bekerja.2 Sonny Sumarsono berpendapat bahwa sumber
daya manusia yaitu jasa atau usaha yang dapat diberikan dalam proses
produksi.3 Dalam arti lain sumber daya manusia mendeskripsikan nilai usaha
yang dilakukan oleh seseorang untuk jangka waktu tertentu dalam
menghasilkan suatu barang dan jasa.4
Sumber daya manusia dipekerjakan dalam sebuah perusahaan untuk
mencapai suatu tujuan yang hendak dicapai. Hal ini dikenal dengan istilah
ketenagakerjaan. Ketenagakerjaan merupakan istilah yang sering didengar
dalam kehidupan sehari-hari. Ketenagakerjaan memiliki arti sebagai suatu
hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan aturan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan

1
Eri Susan. (2019). “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam.
Vol. 9 No. 2. hlm 954.
2
Ibid. hlm. 955.
3
Sonny Sumarsono. (2003). “Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan
Ketenagakerjaan”. Graha Ilmu: Yogyakarta. hlm 4.
4
Dwiyana Pangesthi. (2020). “Human Resources Penting Bagi Organisasi, Bisnis maupun Non
Bisnis”. (https://www.brilio.net/serius/11-pengertian-sumber-daya-manusia-menurut-para-ahli-
200416b.html). diakses pada tanggal 19 April pukul 12.30.

1
ketenagakerjaan agar senantiasa tercipta keadilan anTara pemberi kerja dan
penerima kerja. Dengan adanya aturan yang mengatur mengenai
ketenagakerjaan dapat memperjelas batasan dan hal-hal apa saja yang boleh
dilakukan dan dilarang.
Terkait pelaksanaan ketenagakerjaan, sebelumnya diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 1 ayat (1)
memberi penjelasan bahwa ketenagakerjaan ialah segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Dalam ketenagakerjaan hal pokok yang dibahas ialah mengenai “tenaga kerja”.
Arti dari tenaga kerja diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa, “Tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat”.
Terdapat tiga asas yang cukup dikenal dalam asas pembangunan nasional
yaitu asas merata, asas adil, dan asas demokrasi Pancasila. Berikut beberapa hal
yang menjadi tujuan dari adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu:5
(1) pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja yang dilakukan secara
manusiawi dan optimal; (2) agar terjadi pemerataan kesempatan kerja, diatur
mengenai pekerja yang kompeten di bidangnya yang sejalan dengan kebutuhan
pembangunan nasional; dan (3) menitikberatkan pada peningkatan
kesejahteraan tenaga kerja agar tenaga kerja dan keluarga dapat terlindungi.
Pengaturan terkait ketenagakerjaan diharapkan dapat menunjang
kesejahteraan tenaga kerja. Sebab, dalam mewujudkan suatu kebijakan publik
yang dapat membangun nuansa kesejahteraan terletak pada kemauan politik
nasional (political wil), selain itu juga berdasarkan pelaksanaan tindakan dari
kemauan politik nasional tersebut (political action).6 Kesejahteraan tenaga kerja
akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Apabila kesejahteraan tenaga kerja

5
Susanto, Susanto. (2017). “Harmonisasi Hukum Makna Keuangan Negara Dan Kekayaan
Negara Yang Dipisahkan Pada Badan Usaha Milik Negara”. Proceedings. Vol. 2 No.1.
6
Agus Suryono. (2014). “Kebijakan Publik Untuk Kesejahteraan Rakyat”. Jurnal Ilmiah Vol. 6 No.
2. hlm. 98.

2
terjamin, produktivitasnya pun akan meningkat. Sebab pikiran dan tenaganya
akan lebih terfokus dalam bekerja jika kebutuhannya terpenuhi dengan baik. Di
sisi lain, tenaga kerja harus meningkatkan kualitasnya dalam bekerja agar
produktivitas perusahaan juga akan bertambah agar pendapatan pekerja pun
bisa meningkat lagi.7
Berbicara mengenai ketenagakerjaan, tidak terlepas dari istilah tenaga
kerja serta keterkaitannya dengan angkatan kerja. Angkatan kerja ialah
penduduk yang telah memasuki usia kerja, baik itu yang sudah bekerja, belum
bekerja, atau bahkan yang sedang mencari pekerjaan.8 Penduduk usia kerja
sendiri ialah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas. Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) yang membagi penduduk Indonesia terdiri atas: (1)
penduduk yang termasuk angkatan kerja, yaitu penduduk usia kerja yang
bekerja/punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan pengangguran; (2)
penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja, ialah penduduk usia kerja baik
yang berumah tangga maupun yang masih sekolah, atau yang melaksanakan
kegiatan lainnya selain dari kegiatan pribadi. Berdasarkan data yang dikaji oleh
Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2021 jumlah penduduk yang termasuk
angkatan kerja yaitu sebanyak 140.152.575 jiwa dan jumlah penduduk yang
bukan termasuk angkatan kerja sebanyak 66.555.724 jiwa.9
Negara hukum dapat diartikan bahwa tidak ada satupun yang berada di
atas hukum serta hukumlah yang paling berkuasa. Penyelenggaraan kekuasaan
pemerintah harus dijalankan berdasarkan hukum, bukan perintah dari kepala
negara. Negara hukum sebagai salah satu kelanjutan dari pemikiran tentang
pembatasan kekuasaan yang memiliki prinsip konstituasionalisme-demokrasi.
Inti dari pemikiran negara hukum yakni adanya pembatasan terhadap

7
Dinas Tenaga Kerja, “Pengertian Angkatan dan Tenaga Kerja.” (https://dis
naker.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/pengertian-angkatan-dan-tenaga-kerja-34).
diakses pada tanggal 18 April 2022 pukul 22.24.
8
Ibid.
9
Data Badan Pusat Statistik terkait Angkatan kerja pada tahun 2021. dari
(https://www.bps.go.id/statictable/2016/04/04/1907/penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-
menurut-provinsi-dan-jenis-kegiatan-selama-seminggu-yang-lalu-2008---2021.html). diakses pada
19 April 2021 pukul 10.40.

3
kekuasaan melalui suatu aturan yuridis, undang-undang. Secara umum,
terdapat dua macam konsep tentang negara hukum. Konsep tersebut terdiri
dari konsep negara hukum dalam arti rechtstaat, dan negara hukum dalam
pengertian sebagai rule of law. 10
Ciri-ciri dari negara hukum dapat dirangkum dalam 3 (tiga) hal yaitu: (1)
Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, agar pemerintah
negara dalam menjalankan kewenangannya tidak sewenang-wenang; (2) Asas
legalitas, setiap tindakan negara harus didasarkan pada hukum yang telah
berlaku dan harus ditaati oleh pemerintah dan aparaturnya; (3) Pemisahan
kekuasaan, hal tersebut bertujuan agar hak-hak asasi terlindungi sehingga perlu
adanya pemisahan kekuasaan.11 Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), bahwa
Indonesia adalah negara hukum, maka, penyelenggaraan segala bentuk
pemerintahan harus berdasarkan hukum.12
Pancasila merupakan pilihan Bangsa Indonesia sebagai jati diri, ideologi,
dan juga sebagai asas pemersatu bangsa. Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara sangat diperlukan bagi Bangsa Indonesia untuk tetap menjaga
eksistensi bangsa. Hal ini disebabkan oleh setiap sila-sila yang terkandung
memiliki nilai-nilai luhur bangsa yang sesuai dengan kepribadian dari Bangsa
Indonesia.13 Sila ke-5 yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
sebagai landasan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berdasarkan pada keadilan secara merata. Dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), Alinea ke-
4 menjelaskan bahwa, “...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

10
Wahyudi Djafar. (2010). “Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan
Atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia”. Jurnal Konstitusi Vol. 7 No. 5, hlm. 151-
152.
11
Achmad Irwan Hamzani. (2014). “Menggagas Indonesia Sebagai Negara Hukum yang
Membahagiakan Rakyatnya”. Yustisia. hlm. 137.
12
Ibid.
13
Alvira Oktavia Safitri, dkk. (2021). “Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Implementasinya
dalam Berbagai Bidang”. EduPsyCouns Journal Vol. 3 No. 1, hlm. 89.

4
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Kedua landasan diatas perlu diimplementasikan secara berkeadilan yang
menyeluruh, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan. Perlunya peningkatan
kesejahteraan umum bagi seluruh Rakyat Indonesia, terkhususnya bagi tenaga
kerja sehingga menghasilkan pemerataan keadilan dan kesejahteraan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
Tahun 1945) sebagai hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-
undangan harus dijadikan acuan dalam pembentukan segala peraturan
perundang-undangan dibawahnya. Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945, bahwa, “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Lebih lanjut, didukung dengan
Pasal 28D ayat (2) yang menjelaskan bahwa, “Setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja.” Berdasarkan kedua pasal di atas, bahwa setiap orang berhak memiliki
kesempatan untuk bekerja, dan sebagai hasil dari pekerjaan yang dilakukan,
diberikan upah yang sepadan sebagai bentuk apresiasi serta perlakuan yang adil
dan layak dalam penghidupan dan hubungan kerja. Semua harus adil dan
merata sesuai dengan tugas yang dikerjakan serta pemenuhan hak-hak setiap
warga negara.
Implementasi dari negara hukum, maka seluruh tindakan harus
berdasarkan pada aturan hukum, termasuk pengaturan terkait
ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), perkembangan hukum ketenagakerjaan di
Indonesia dimulai sejak pasca kemerdekaan. Hal tersebut ditandai dengan
diratifikasinya konvensi ILO (International Labour Organization). Beberapa
undang-undang lahir sebagai bentuk ratifikasi tersebut. Peraturan pada masa
ini cenderung memberi jaminan sosial serta perlindungan pada buruh. Dengan
terciptanya undang-undang perburuhan yang progresif serta menguatkan

5
perlindungan terhadap buruh di Indonesia, hingga pada 19 September 1945
terbentuk BBI (Barisan Buruh Indonesia). Tujuan BBI bersifat umum sehingga
semua serikat buruh dianggap sebagai bagian dari BBI. Hingga pada 17
November 1945, BBI mengalami perpecahan menjadi dua kubu. Kedua kubu
tersebut menginginkan menjadi partai politik dan tetap bergerak dibidang sosial
dan ekonomi.
Tahun 1950, partai politik berkembang pesat dan partai-partai politik
tersebut ikut mendirikan serikat buruh sebagai onderbouw dengan maksud
untuk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya guna memperoleh hak suara
dalam pemilihan umum Tahun 1955. Sehingga menyebabkan munculnya
Peraturan Menteri Nomor 90 Tahun 1955 tentang Pendaftaran Serikat Buruh
yang sifatnya Liberalistik. Pengaturan mengenai syarat-syarat serikat buruh
cukup ringan. Syaratnya cukup memiliki anggaran dasar, susunan penguru dan
daftar nama anggota tanpa ketentuan minimum, luas wilayah, serta perangkat
organisasi. Hingga untuk membenahi kekurangan dalam pengaturan tersebut,
disahkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian
Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan. Undang-undang tersebut
mengakui keberadaan serikat buruh dalam pembuatan perjanjian. Selain itu,
disahkan pula Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan. Perselisihan buruh yang timbul masih merupakan
perselisihan normatif dan berkaitan dengan upah.14
Masa Orde Baru, hubungan perburuhan yang dibangun pemerintah diberi
anam Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP). HPP merupakan hubungan
perburuhan pancasila antara para pihak yang berkaitan dengan proses produksi
baik mengenai baranag atau jasa yang dilandasi nilai-nilai yang merupakan
perwujudan dari keseluruhan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Dalam
perkembangannya, HPP berubah istilah menjadi HIP (Hubungan Industrial
Pancasila), disebabkan hubungan perburuhan merupakan labour relation, yang

14
Dina Susiana. (2020). “Perkambangan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia”. Pustaka Abadi:
Jember. hlm. 39-41.

6
semula permasalahan perburuhan antara pekerja dengan pengusaha hanya
berpengaruh pada hubungan tersebut, namun sebenarnya dapat
mempengaruhi masalah lain, seperti ekonomi, sosial, poitik, dan budaya. Era
Orde Baru tetap memberlakukan produk hukum pada Era Orde Lama, serta
hanya mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang
digunakan sebagai pelengkap. Namun, pada kenyataannya meniadakan ketiga
undang-undang tersebut serta merugikan buruh. Era Orde Lama mengeluarkan
Kepmenaker Nomor 4 Tahun 1986, Kepmenaker Nomor 3 Tahun 1993,
Permenaker Nomor 62 Tahun 1993, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.15
Era Reformasi memiliki perkembangan pengaturan terkait buruh mulai
signifikan. Pada masa pemerintahan Presiden B.J Habibie, diratifikasinya
Convention No. 122 Concerning the Immediate Action to Abolish and to
Eliminate the Worst Forms of Child Labor (tindakan segera untuk menghapus
dan mengurangi bentuk-bentuk terburuk pekerja anak diratifikasi dengan
Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tanggal 8 Maret 2000). Namun, dengan
diratifikasinya konvensi tersebut, dapat ditafsirkan bahwa Indonesia memiliki
perlakuan yang buruk terhadap pekerja anak. Pada masa Pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarno Putri,
pengaturan terkait ketenagakerjaan tidak teralu nampak. Namun, pada masa
Presiden Megawati terjadi banyak permasalahan terkait ketenagakerjaan yang
kurang mendapat perhatian. Salah satunya yakni terkait revisi Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2000 diundur masa berlakunya hingga 1 Oktober 2002, pada akhirnya disahkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada tanggal
25 Maret 2003. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,

15
Mohammad Fandrian Adhistiro, dkk. (2021). “Hukum Ketenagakerjaan”. Unpam Press:
Tangerang Selatan. hlm. 6-10.

7
terdapat pemangkasan dan berbagai upaya peningkatan pelayanan dan kinerja
baik pekerja maupun pegawai, serta adanya upaya pemberantasan korupsi.16
Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai tercetus konsep
Omnibus Law. Omnibus Law sudah banyak diterapkan di negara penganut
sistem common law seperti di negara Malaysia dan Singapura. Tujuan dari
adanya Omnibus Law adalah untuk mempercepat penyusunan peraturan
perundang-undangan serta mengoreksi peraturan perundang-undangan. Selain
itu, pembentukan Omnibus Law di Indonesia yakni menggabungkan 1.244 pasal
dan 79 undang-undang dalam satu peraturan. Tujuan lain dari pembentukan
Omnibus Law untuk menggantikan undang-undang yang telah ada sebelumnya
dengan undang-undang yang baru.17 Berdasarkan arahan Presiden Joko
Widodo, beberapa materi muatan pembentukan Omnibus Law terdiri dari
undang-undang Perpajakan, Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, dan
Undang-Undang Pemberdayaan UMKM. Penggabungan ketiga undang-undang
tersebut akan menggantikan peraturan yang beragam dan lintas sektoral.18
Omnibus Law atau yang umumnya dikenal dengan penyebutan RUU Cipta
Kerja disusun oleh Pemerintah menjadi suatu program unggulan Jokowi-Ma’ruf
Amin untuk menekan pertumbuhan ekonomi dan masuk dalam Prolegnas
Prioritas Tahun 2020.19 Pada 31 Juli 2019, BPHN (Badan Pembinaan Hukum
Nasional), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan Focus
Grup Discussion (FGD) terkait dengan “Penyempurnaan dan Pembentukkan
Peraturan Perundang-Undangan terkait Pedoman dan Analisis dan Evaluasi
Hukum”. Berdasarkan saran serta masukkan dari FGD yang telah dilakukan,

16
Abdullah Sulaiman, dkk. (2019). “Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan”. Yayasan Pendidikan
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM): Jakarta. hlm. 49-53.
17
Moh. Zainal, dkk. “Analisis Politik Hukum Tentang Omnibus Law di Indonesia”. Jurnal Jendela
Hukum. hlm. 20.
18
Adhi Setyo Prabowo, dkk. (2020). “Politik Hukum Omnibus Law di Indonesia”, Jurnal Pamator
Vo.13 No.1. hlm. 2.
19
Agus Darmawan. (2020). “Politik Hukum Omnibus Law Dalam Konteks Pembangunan
Ekonomi Indonesia”. Indonesian Journal of Law and Policy Studies Vol. 1 No.1. hlm. 15.

8
kemudian dijadikan sebagai gagasan atas perumusan Omnibus Law sebagai
suatu kebijakan resmi.20
Berdasarkan hasil konsep dari Omnibus Law yang telah digagas
berdasarkan Focus Grup Discussions (FGD) yang telah dilakukan, maka terbitlah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja atau yang sering
disebut dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Secara resmi, Undang-Undang
Cipta Kerja telah berlaku sejak di masukan dalam Lembaran Negara (LN) Nomor
245 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 6673. Undang-Undang Cipta
Kerja disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Oktober 2020. Dalam
Undang-Undang Cipta Kerja terdapat XII bab yang memiliki materi muatan
antara lain peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
ketenagakerjaan; kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan
UMKM; kemudahan berusaha; kebijakan fiskal nasional; serta dukungan riset
dan inovasi.21
Harapan dengan dibentuknya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja
agar memangkas regulasi yang selama ini diberlakukan serta menyatukan
ribuan pasal yang tersebar diberbagai undang-undang yang berlaku, baik secara
formil maupun materil terdapat banyak sekali kekurangan, ketidaksesuain, serta
memiliki kecenderungan untuk menguntungkan disalah satu pihak saja.
Undang-Undang Cipta Kerja menjadi salah satu undang-undang yang banyak
diuji pada Mahkamah Konstitusi (MK) selama tahun 2021. Gugatan-gugatan
yang diajukan diajukan dari berbagai pihak, seperti pekerja, karyawan,
mahasiswa, bahkan pelajar. Dari sembilan gugatan yang diajukan, hanya satu
gugatan yang diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu dalam putusan MK
Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja memiliki cacat secara

20
Jimly Asshiddiqie. (2020). “Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia”. Konstitusi Press
(Konpress): Jakarta. hlm. 15.
21
Soetomo. (2020). “UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Resmi Berlaku”. dari
(https://www.jpnn.com/news/uu-nomor-11-tahun-2020-tentang-cipta-kerja-resmi-berlaku).
diakses pada tanggal 26 April 2022 pukul 13.01.

9
formil/cacat prosedural, sehingga Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.22
Terhadap kerugian sebagaimana dijelaskan dalam Putusan MK Nomor
27/PUU-VII/2009 pada angka 10, ternyata dalam proses pembentukan Undang-
undang Cipta Kerja secara nyata dan terang benderang, serta telah diketahui
publik dalam membentuk Undang-undang Cipta Kerja, pembentuk undang-
undang menggunakan cara yang menunjukan tidak fair, jujur, dan bertanggung
jawab. Bahkan selama proses pembentukan Undang-undang Cipta Kerja,
pembentuk undang-undang melakukan proses pembentukan Undang-undang
melakukan prosesnya secara tertutup, tidak fair, dan banyak melakukan
kebohongan publik, terutama pasca disetujuinya bersama RUU Cipta Kerja oleh
DPR dan Presiden pada tanggal 05 Oktober 2020.23
Undang-Undang Cipta Kerja selain cacat formil, juga terdapat cacat materil
terkhususnya dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.
Materi muatan undang-undang yang hanya menunjang kesejahteraan bagi
pengusaha, serta mengesampingkan kesejahteraan tenaga kerja. Padahal,
tenaga kerja merupakan bagian pokok daripada berlangsungnya proses
produksi baik barang maupun jasa. Maka, perlu adanya pasal-pasal perubahan
demi terjadinya pemerataan keadilan dan kesejahteraan baik untuk tenaga
kerja, perusahaan, maupun pemerintah.
Hari libur merupakan waktu yang diberikan pada seseorang atau
sekelompok orang yang telah ditentukan melalui kebijakan suatu negara atau
wilayah agar dibebaskan atau ditangguhkan dari kegiatan ataupun aktivitas-
aktivitas sehari-hari. Dalam Pasal 81 angka 23 perubahan atas Pasal 79
memangkas waktu libur dan cuti yang merupakan hak dari para pekerja.
Berdasarkan Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020,
bahwa pekerja hanya mendapat waktu libur satu hari dalam seminggu,

22
Fitria Chusna Farisa. (2022). “Sembilan Gugatan UU Cipta Kerja di MK Selama 2021, Hanya
Satu Dikabulkan Sebagian”. dari (https://nasional.kompas.com/read/2022/02/11/
20472591/sembilan-gugatan-uu-cipta-kerja-di-mk-selama-2021-hanya-satu-dikabulkan?page=all)
diakses pada tanggal 26 April 2022 pukul 13.38.
23
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020

10
sehingga waktu bekerja berlangsung selama 6 hari. Tentunya hal ini akan
berpengaruh pada kinerja dari seorang pekerja. Diakibatkan oleh kurangnya
istirahat serta terlalu memaksakan tubuh untuk bekerja akan berdampak buruk
terhadap diri pekerja itu sendiri, maupun berpengaruh pada tingkat
produktivitas dari pekerja.
Berdasarkan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
menjelaskan waktu cuti tahunan yang diberikan paling sedikit 12 hari kerja
dengan syarat bahwa pekerja harus bekerja selama 12 bulan secara berturut-
turut. Kemudian dalam Pasal 79 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
menjelaskan bahwa pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hal ini tidak memberikan
kepastian hukum bagi para pekerja serta dikhawatirkan menimbulkan
kesewenang-wenangan dari pihak perusahaan untuk memberikan waktu cuti
tahunan yang sebenarnya tidak diatur secara jelas dalam undang-undang.
Era Revolusi Industri 4.0 menjadikan pemerataan dan kemajuan yang pesat
di segala bidang. Hal tersebut mengakibatkan tenaga kerja baik dari dalam
negeri ataupun luar negeri diperbolehkan melakukan pertukaran tenaga kerja
demi mengikuti perkembangan zaman serta mengembangkan teknologi serta
pecepatan untuk perusahaan agar produksi yang dilakukan dapat lebih efektif
dan efisien. Tenaga Kerja Asing (TKA) merupakan seseorang yang memiliki visa
di Indonesia dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 memberikan izin yang cukup
mudah bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk bekerja di Indonesia. Hal ini
tercantum dalam Pasal 81 angka 4 perubahan atas Pasal 42. Dalam Pasal 42 ayat
(1) bahwa dalam mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA) proses seleksi hanya
terdapat satu tingkat, yakni dengan menunjukkan RPTKA (Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing) yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat. Sehingga hal
tersebut memudahkan bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk dapat bekerja di
Indonesia. Selain itu, keterangan terkait syarat-syarat dalam pengajuan RPTKA
dihapuskan, yang sebelumnya terdapat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor

11
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 44 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 pun dihapuskan. Hal ini menjadi perhatian dikarenakan
dalam permasalahan internal Indonesia, permasalahan terkait pengangguran
masih menjadi pokok permasalahan yang harus dibenahi serta diberikan solusi,
sehingga tingkat pertumbuhan perekonomian turut meningkat. Selain itu, TKA
yang bekerja di Indonesia haruslah dibatasi, diberi batas waktu serta diawasi,
sehingga tidak merugikan pihak tenaga kerja Indonesia.
Outsourcing berasal dari Bahasa Inggris, yaitu alih daya. Nama lain dari
outsourcing yakni contracting out. Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa
perusahaan yang dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan/penyediaan
jasa pekerja/buruh yang di buat secara tertulis.24 Dalam Undang-Undang Cipta
Kerja, outsourcing dikenal dengan istilah alih daya.
Pasal 64 dan 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dihapuskan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020, tidak terdapat pengaturan lebih rinci terkait jenis
pekerjaan yang dapat dilakukan oleh pekerja alih daya. Hal ini dapat
mengakibatkan perusahaan dengan sewenang-wenang merekrut pekerja alih
daya serta menempatkan pekerja alih daya pada pekerjaan pokok yang
berkaitan langsung dengan proses produksi, bukan pada posisi pekerjaan
penunjang. Selain itu juga, pekerja alih daya tidak mendapat pesangon.25 Hal ini
dapat menimbulkan potensi dari pihak perusahaan untuk lebih banyak
mempekerjakan pekerja alih daya pada pekerjaan inti yang pada akhir masa
kerjanya tidak diberikan pesangon. Tentunya hal ini tidak sesuai antara tingkat
kesulitan pekerjaannya dengan imbalan yang didapatkan.

24
Siti Kunarti. (2009). “Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (Outsourcing) dalam Hukum
Ketenagakerjaan”. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 1. hlm. 67-68.
25
Ady Thea DA. “Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja”. dari
(https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-bedanya-outsourcing-di-uu-ketenagakerjaan-dan-
uu-cipta-kerja-lt60657d8d20b58?page=1). diakses pada tanggal 19 April 2022 pukul 17.20.

12
Upah pekerja merupakan faktor yang sangat penting untuk kehidupan
pekerja demi pemenuhan kebutuhan hidup bagi tenaga kerja yang bekerja pada
suatu perusahaan. Pemberian upah oleh perusahaan tidak semata mata karena
kewajiban untuk membayarnya, melainkan sebagai menghargai produktivitas
tenaga kerja karena telah membantu perusahaan dalam memproduksi barang
dan jasa. Sehingga perusahaan dapat meraup keuntungan. Upah minimum
merupakan standar upah yang diterima oleh pekerja sesuai perhitungan
Komponen hidup layak (KHL) di sebuah perusahaan. Dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, tolak ukur dalam penentuan upah minimum
berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Namun, dalam Undang-Undang
Cipta Kerja tolok ukur dalam penentuan besarnya upah diubah berdasarkan
pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi, yang mana dalam hal ini besaran upah
bagi pekerja bersifat dinamis, dengan tanpa memperhatikan kelayakan hidup
dari pekerjanya.
Berdasarkan aturan sebelumnya mengenai upah minimum kota/kabupaten
(UMK) dan upah minimum telah tercantum pada pasal 89 dan 90 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, dalam Pasal
88C ayat (2), dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota perlu mendapat
rekomendasi dari Gubernur. Dengan persyaratan yang sedemikian rupa,
menjadikan penetapan terkait upah minimum kabupaten/kota tidak efisien,
dan penetapan upah minimum kabupaten/kota hanya sebagai opsi/pilihan.
Selain itu, apabila penentuan upah ditetapkan oleh pemerintahan
kabupaten/kota, dapat melihat berdasarkan potensi Sumber Daya Alam (SDA)
serta berdasarkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang meliputi tingkat
pendidikan, dan lainnya. Maka, Pemerintah Provinsi cukup memberikan
batasan terkait besaran upah minimum kabupaten/kota.
Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan perubahan dalam
Undang-Undang Cipta Kerja menjelaskan bahwa pengusaha dalam menyusun
struktur dan skala upah hanya dengan mempertimbangkan berdasarkan
kemampuan perusahaan dan produktivitas. Dalam PP Nomor 36 Tahun 2021

13
tentang Pengupahan pun mengatur terkait pertimbangan penentuan besaran
struktur dan skala upah dengan mempertimbangkan jabatan dan golongan.
Dalam Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003, penentuan
besaran struktur dan skala upah berdasarkan pertimbangan golongan, jabatan,
masa kerja, pendidikan, serta kompetensi.
Perjanjian Kerja Waktu Terbatas (PKWT) adalah suatu perjanjian kerja
antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.26 Penentuan batas waktu terkait
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja PKWT dihapuskan. Dalam Pasal 59
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 diatur terkait batas waktu pekerja PKWT
yakni selama 3 tahun. Namun, dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Cipta
Kerja tidak diatur secara rinci terkait batasan waktu tersebut pekerja berwaktu.
Hal ini menyebabkan ketidakpastian waktu berakhirnya pekerjaan, serta
berpotensi untuk menghilangkan kesempatan dari pekerja untuk menjadi
pekerja tetap di suatu perusahaan.
Peraturan Pemerintah (PP) merupakan salah satu peraturan pelaksana dari
berlakunya suatu undang-undang. Peraturan Pemerintah yang berlaku terkait
peraturan pelaksana dari pembahasan PKWT adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,
Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Dalam PP ini
mengatur terkait batasan waktu terkait berlangsungnya pekerja PKWT sebagai
tindak lanjut dari Pasal 59 ayat (1) yang tidak mengatur batasan waktu, yang
mana dalam PP ini memberikan batasan waktu bagi PKWT selama 5 tahun,
dengan perpanjangan waktu yang tidak lebih dari 5 tahun.
Pemberhentian seorang pekerja dari pekerjaannya dikenal dengan istilah
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam Undang-Undang Cipta Kerja terkait
PHK diatur dalam Pasal 151-156. Dalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, diatur terkait mekanisme PHK yakni wajib melalui perundingan

26
Fithriatus Shalihah. (2017). “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Hubungan Kerja
Menurut Hukum Ketenagakerjaan Indonesia dalam Perspektif HAM”. UIR Law Review Vol. 1 No. 2.
hlm. 151

14
yang dilakukan antara pengusaha dengan perserikatan buruh. Namun, dalam
Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja, tidak mengatur hal tersebut.
Sehingga, pekerja hanya menerima surat PHK tanpa dengan melakukan
perundingan antara perusahaan dengan pekerja/perserikatan buruh. Hal
tersebut mengusahakan agar semaksimal mungkin menghindari adanya
pemecatan secara sepihak tanpa alasan yang jelas.
Berdasarkan penjelasan diatas, naskah akademik ini bermaksud untuk
memberikan usulan rancangan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang terkait dengan bidang ketenagakerjaan.
Urgensi adanya perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja diharapkan dapat memberikan solusi dan penyelesaian masalah
terkait permasalahan di bidang ketenagakerjaan sehingga terwujudnya
kesejahteraan sosial terkhususnya bagi tenaga kerja di Indonesia. Maka
diperlukan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Terkait
Ketenagakerjaan.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan yang
akan dikaji untuk penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:
1. Bagaimana menyusun peraturan perubahan mengenai ketenagakerjaan
yang baik dan benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat
Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945?
2. Mengapa perlu rancangan perubahan Undang-Undang Cipta Kerja yang
baru sebagai dasar pemecahan masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan
kesejahteraan tenaga kerja?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan
yuridis dari perubahan Undang-Undang Cipta Kerja?

15
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan,
dan arah pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja?

C. Tujuan dan Kegunaan


Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan cara menyusun aturan yang baik dan benar sesuai kebutuhan
kondisi masyarakat Indonesia yang berlandakan pancasila dan UUD NRI
tahun 1945.
2. Merumuskan Rancangan Undang-Undang Perubahan mengenai Undang-
undang Cipta Kerja yang baru sebagai dasar pemecahan masalah yang
dihadapi dalam pelaksanaan kesejahteraan tenaga kerja.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis dari
pembentukan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Selain itu, Kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini sebagai acuan atau
bahan referensi untuk penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-
Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja Terkait Ketenagakerjaan.

D. Metode Penelitian
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Terkait
Ketenagakerjaan menggunakan Metode Penelitian Hukum Yuridis Normatif.
Metode Penelitian Hukum Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang

16
mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.27
Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan peraturan perundang-
undangan, pendekatan kasus, pendekatan konsep, dan pendekatan
perbandingan. Pendekatan perundang-undangan, yakni suatu pendekatan yang
akan meneliti berbagai aturan hukum. Selain itu, untuk mendukung peraturan
perundang-undangan perlu pendekatan lain, seperti pendekatan
perbandingan, dan lainnya. Pendekatan kasus yakni pendekatan yang bertujuan
untuk mempelajari penerapan norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam
praktik hukum. Pendekatan konsep yakni pendekatan yang digunakan untuk
menyamakan persepsi atau pemahaman terhadap bahasa hukum yang
multitafsir.28 Pendekatan perbandingan merupakan penelaahan yang
menggunakan dua atau lebih sistem hukum untuk dibandingkan apakah
mengenai perbedaannya atau persamaannya.29
Data terbagi menjadi 2, yakni data primer dan data sekunder. Data primer
merupakan data yang ditemukan langsung oleh peneliti di lapangan. Sedangkan
data sekunder merupakan data yang sudah tersedia dan tidak dibatasi oleh
tempat dan waktu.30 Dalam penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta Kerja Terkait Ketenagakerjaan menggunakan data sekunder. Data
sekunder terdiri dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan
Hukum Tersier:31
1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama, sebagai bahan
hukum yang bersifat autoritatif, yaitu bahan hukum yang mempunyai

27
Kornelius Bemuf, dkk. (2020). “Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen Mengurai
Permasalahan Hukum Kontemporer”. Jurnal Gema Keadilan Vol. 7 No. 1. hlm. 24.
28
Suhaimi. (2018). “Problem Hukum dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum Normatif”. Jurnal
YUSTITIA Vol. 19 No. 2. hlm. 207-208.
29
Meray Hendrik Mezak. (2006). “Jenis, Metode, dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum”.
Law Riview Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Vol. 5 No. 3. hlm. 92.
30
Ibid. hlm. 93.
31
I Ketut Suardita. (2017). “Pengenalan Bahan Hukum (PBH)”, dari
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7847bff4505f0416fe0c446c60f7e8ac.p
df). diakses pada tanggal 20 April 2022 pukul 00.05.

17
otoritas. Bahan hukum yang termasuk yakni peraturan perundang-
undangan, yaitu:
a) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
d) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 Tentang Penggunaan
Tenaga Kerja Asing;
e) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja
Waktu, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja; dan
f) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan.
2. Bahan hukum sekunder merupakan dokumen atau bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti buku-buku,
artikel, jurnal, serta karya tulis ilmiah lainnya.
3. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk
serta penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum tersier terdiri dari Kamus, Website, Ensiklopedia, dan lainnya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan Naskah
Akademik ini menggunakan studi kepustakaan. Studi kepustakaan menurut
Syaibani adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun
informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau yang sedang
diteliti.32 Teknik analisis data yang digunakan dalam naskah akademik ini yaitu
teknik analisis data kualitatif. Teknik analisis data kualitatif yaitu suatu upaya
yang diakukan dengan jalan bekerja data, mengklasifikasikan data, memilah-
milah data, mensistensikan, mencari serta menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan memutuskan apa yang dapat di ceritakan pada orang lain.33

32
Ainul Azizah. “Studi Kepustakaan Mengenai Landasan Teori dan Praktik Konseling Naratif”.
dari (https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bk-unesa/article/view/18935). diakses pada
tanggal 24 April 2022 pukul 9.05.
33
Anonim. (2015). “Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif”. Dari
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7847bff4505f0416fe0c446c60f7e8ac.p
df). diakses pada tanggal 20 Januari 2022 pukul 00.07.

18
BAB II
KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritik
Bab ini akan menjelaskan literatur akademik terkait penerapan
ketenagakerjaan dengan menganalisis menggunakan perspektif kajian secara
khusus yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Bagian selanjutnya dari naskah
akademik ini akan menguraikan terkait praktik empiris ketenagakerjaan.
1. Teori Hak Asasi Manusia (HAM)
Mengacu pada instrumen-instrumen nasional mengenai Hak Asasi
Manusia (HAM), tidak satupun secara eksplisit mengatur tentang definisi
HAM. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gudmundur Alfredsson, "What
is human rights? None of the International human rights instruments
expressly define what human rights is". Namun, apabila mencermati
mengenai hakikat dari HAM setidaknya dapat diperoleh melalui materi yang
terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights yang diterima serta
diumumkan oleh majelis PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui
resolusi 217 A (III), yang terdiri atas Mukadimah dan Pasal 1 sampai 30.34
Konsep HAM tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Negara Hukum
yang tentunya mengedepankan serta melindungi HAM. HAM merupakan hak
dasar yang dimiliki setiap manusia sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa
yang tidak dapat diganggu gugat keberadaannya. Hak-hak tersebut melekat
pada diri seorang manusia sejak ia lahir. Pada masa lalu, sebelum diakui
adanya kesamaan derajat antara manusia satu dengan manusia lainny,
sehingga menimbulkan akibat terjadinya penindasan antara manusia satu
dengan lainnya. Contoh konkretnya yakni dapat dilihat dari masa penjajahan
dari satu bangsa ke bangsa lain.35

34
Hesti Armiwulan. (2004). “Hak Asasi Manusia dan Hukum”. Yustika Vol. 7 No. 2. hlm. 317.
35
Fauzan Khairazi. (2015). “Implementasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia”.
Jurnal Inovatif Vol. 7 No. 1. hlm. 80.

19
John Locke disebut sebagai bapak Hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun
ada perjanjian membentuk satu kesatuan masyarakat atau negara, rakyat
tetap memiliki hak alamiah (natural rights) sebagai inalienable rights. Negara
harus memperhatikan hak-hak alamiah dari setiap penduduknya, yaitu life,
liberty, property, sebagaimana yang dikemukakan oleh John Locke dalam
bukunya Two Treaties of Civil Government:36
”But though men when they enter into society give up the equality, libert, and
executive power they had in the state of nature into the hands of society, to
be so far disposed of by the legislative as the good society shall require, yet
it being only with the intention in everyone the better preserve himself, his
liberty and property,... the power of the society or legislative cosntitute by
them can never supposed to extend further than the common good but is
obliged to secure everyone’s property by providing against those three
defects above mentioned that made the state of Nature an uneasy”.
Pandangan lain dikemukakan oleh Rousseau yang menolak sistem hak
milik pribadi, sedangkan Locke memandang hak milik pribadi merupakan
salah satu hak asasi. Menurut Rousseau, hak milik pribadi merupakan salah
satu sumber kegaduhan. Di masa klasik, penolakan terhadap sistem hak milik
pribadi didapati juga pada ajaran Plato. Ada pula beberapa pemikiran yang
menolak sistem hak milik pribadi dan yang paling terkenal adalah Karl Marx
(Marxisme).37
2. Teori Negara Hukum
Pemikiran tentang negara hukum telah direnungkan oleh Plato yang
kemudian dikembangkan oleh Aristoteles. Gagasan Plato dipengaruhi oleh
realitas negaranya yang dipimpin oleh penguasa tamak, haus harta dan gila
kehormatan, penguasa memerintah dengan sewenang-wenang tanpa
memperdulikan nasib rakyatnya. Keadaan tersebut mendorong Plato
memikirkan bentuk negara ideal yang bebas dari pemimpin rakus, tamak dan

36
Bagir Manan, dkk. (2016). “Konstitusi dan Hak Asasi Manusia”. PJIH Vol. 3 No. 3. hlm. 450.
37
Ibid. hlm. 451.

20
kejam sekaligus sebagai tempat keadilan dijunjung tinggi. Plato dalam the
Republic menegaskan bahwa negara ideal yang berintikan kebaikan bisa
diwujudkan, jika kekuasaan dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan,
yakni filsuf (the philosopher king). Perkembangan pemikiran berikutnya
tergambar dalam the statesman dan the law di mana Plato menegaskan
pemikiran barunya tentang negara ideal, bahwa yang bisa diwujudkan
bukanya negara ideal terbaik seperti dalam (the Republic), akan tetapi negara
terbaik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum atau
pemerintahan oleh hukum.38
Ide negara hukum merupakan gagasan tentang suatu bentuk negara
ideal yang diinginkan oleh manusia untuk diwujudkan dalam kenyataan.
Latar belakang timbulnya pemikiran negara hukum merupakan reaksi
terhadap kesewenang-wenangan di masa lampau. Oleh karena itu, unsur-
unsur negara hukum mempunyai hubungan erat dengan sejarah dan
perkembangan masyarakat dari suatu bangsa. Semakin maju taraf
perkembangan suatu masyarakat (bangsa), akan semakin kompleks ide
negara hukumnya. Ide negara hukum sesungguhnya telah lama
dikembangkan oleh para filsuf sejak zaman Yunani Kuno. Negara hukum yang
dikembangkan pada zaman Yunani Kuno dikenal dengan negara hukum
klasik. Cita negara hukum untuk pertama sekali dikemukakan oleh Plato dan
kemudian pemikiran tersebut dipertegas oleh Aristoteles.39
Sejarah pemikiran negara hukum sebenarnya sudah tua, jauh lebih tua
dari pengetahuan negara atau kenegaraan. Pemikiran negara hukum dimulai
sejak Plato dengan konsepnya “bahwa penyelenggaraan negara yang baik
adalah berdasarkan peraturan (hukum) yang baik yang disebut dengan istilah
“nomoi”. Pernyataan Plato yang menyatakan “…berdasarkan peraturan
(hukum)… istilah nomoi” pada dasarnya merupakan hukum negara atau

38
M. Muslih. (2013). “Negara Hukum Indonesia dalam Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch
(Tiga Nilai Dasar Hukum”. Legalitas Vol. 4 No. 1. hlm. 130-131.
39
Widyawati. “Penegakan Hukum dalam Negara Hukum Indonesia yang Demokratis”. Hukum
Ransendental Pengembangan dan Penegakan Hukum di Indonesia. hlm. 513.

21
hukum positif atau misi. Justru pernyataan negara hukum sendiri terlihat dari
kalimat “Penyelenggaraan negara yang baik…” yang merupakan visi negara.
Gagasan negara hukum yang telah dikemukan Plato merupakan konsep
nomoi yang dibuat pada masa tuanya. Sementara itu dalam tulisan pertama
Politeia dan Politicos, belum muncul negara hukum. Negara hukum
kemudian dipertegas oleh Aristoteles yang menuliskan Politica. Pengertian
negara hukum Aristoteles dikaitkan dengan arti daripada dalam
perumusannya yang masih terikat pada “polis”. Pengertian negara hukum
Aristoteles timbul dari “polis” yang memiliki wilayah negara kecil, seperti
kota, berpenduduk sedikit, dan tidak seperti negara-negara sekarang yang
mempunyai wilayah luas dan penduduk banyak (vlakte staat).40
Plato dan Aristoteles mengintrodusir negara hukum adalah negara yang
diperintah oleh negara yang adil. Dalam filsafatnya, keduanya menyinggung
angan-angan (cita-cita) manusia yang berkorespondensi dengan dunia,
dengan mutlak yang disebut:41
a. Cita-cita untuk mengejar kebenaran;
b. Cita-cita untuk mengejar keindahan; dan
c. Cita-cita untuk mengejar keadilan.
3. Teori Good Governance
Pengertian kepemerintahan (governance) adalah suatu kegiatan
(proses), bahwa governance lebih merupakan “……Serangkaian proses
interaksi sosial politik antara pemerintahan dan masyarakat dalam berbagai
kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi
pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.” United Nations
Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul
“Governance for Sustainable Human Development, January 1997”,
menyebutkan pengertian governance adalah “Governance is the exercise of

40
Sarip. (2018). “Kemajemukan Visi Negara Hukum Pancasila dalam Misi Hukum Negara
Indonesia”. Refleksi Hukum Vol. 2 No. 2. hlm. 111.
41
Ramli, Muhammad Afzal, dkk. (2019). “Studi Kritis Terhadap Ragam Konsep Negara Hukum”.
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 10 No. 2. hlm. 136.

22
economic, political, and administrative authory to manage a country’s affairs
all levels and means by which states promote social cohesion, integration,
and ensure the well-being of their population” (Kepemerintahan adalah
pelaksanaan kewenangan/kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan
administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap
tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong
terciptanya kondisi kesejahteraan integritas, dan kohesivitas sosial dalam
masyarakat).42
Kata Good dalam good governance memiliki arti efektif dan efisien
fungsional dari pemerintahan dalam pelaksanaan tugasnya untuk mecapai
tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Konsep stewardship tidak
dibebani kewajiban untuk melaporkan dan mengacu pada pengelolaan atas
aktivitas secara ekonomis dan efisien, sedangkan accountability mewajibkan
pada pertanggungjawaban oleh seorang steward kepada pemberi tanggung
jawab. Sedangkan menurut Clarke dan Branson tata pemerintahan yang baik
adalah tentang pengelolaan aset pemilik dengan cara terbaik. Ahli teori
Stewardship telah mengemukakan bahwa individu memiliki hubungan
perjanjian dengan organisasinya yang mewakili komitmen moral dan
mengikat kedua belah pihak untuk bekerja menuju tujuan bersama, tanpa
mengambil keuntungan satu sama lain. Keberhasilan tata kelola sebuah
organisasi perlu berada pada empat pilar yang diwakili oleh dewan direksi,
manajemen, auditor internal dan auditor eksternal. Setiap pilar harus efektif
dan bekerjasama dengan baik untuk mendukung tercapainya tujuan dan
sasaran organisasi. Good governance merupakan salah satu cara mengukur
kinerja suatu organisasi, yang didalamnya terdapat akuntabilitas dan
transparansi.43
Good Governance merupakan upaya perbaikan kinerja sektor publik
yang dilakukan melalui pengembangan dan penguatan hubungan yang

42
Sahya Anggara. (2012). “Ilmu Administrasi Negara”. Pustaka Setia: Bandung. hlm. 202-203.
43
Riny Jefri. (2018). “Teori Stewardship dan Good Goveranance”. Jurnal Riset Vol. 4 Nom. 3. hlm.
16-17.

23
makin harmonis (adanya sinergi) antara kekuatan negara (state), swasta
(private), dan masyarakat sipil (civil society) yang didukung oleh penataan
kembali keseimbangan kekuasaan dan peran ketiga kekuatan sentral dalam
pendayagunaan aneka sumber daya ekonomi dan sosial bagi
pembangunan.44
Rencana strategi dalam good governance, yaitu perlunya pendekatan
baru dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan yang terarah pada
terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yakni: “… Proses
pengelolaan pemerintah yang demokratis, profesional, menjunjung tinggi
supremasi hukum dan HAM, desentralistik, partisipatif, transparan, keadilan,
bersih dan akuntabel, selain berdaya guna, berhasil guna, dan berorientasi
pada peningkatan daya saing bangsa.”45
4. Teori Good Corporate Governance (GCG)
Menurut Cadbury Committee of United Kingdom, good corporate
governance adalah yang mengatur hubungan antara pengurus perusahaan,
pemegang saham, pihak kreditur, pemerintahan, karyawan, dan pemegang
kepentingan internal maupun eksternal yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan suatu perusahaan. Dalam buku Effendi, good corporate
governance adalah suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang
memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signfikan guna memenuhi
tujuan bisnisnya melalui pengamanan aset perusahaan dan meningkatkan
nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang. Adapun tujuan
penerapan good corporate governance suatu perusahaan adalah sebagai
berikut:46
a. Mengembangkan dan meningkatkan nilai perusahaan;

44
Hendra Wijayanto. (2015). “Transparansi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Melalui Penerapan E-Budgeting (Dalam Perspektif Teori Good Governance)”. IJPA-The Indonesian
Journal of Public Administration Vol. 1 No. 1. hlm. 76.
45
Op.Cit. hlm. 209.
46
Fatimah, dkk. “Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan dengan
Kinerja Keuangan Sebagai Variabel Intervening. E-Journal Riset Manajemen. hlm. 55.

24
b. Mengelola sumber daya dan resiko secara lebih efektif dan efisien;
c. Meningkatkan disiplin dan tanggng-jawab dari organ perusahaan demi
menjaga kepentingan para Shareholder dan Stakeholder perusahaan;
d. Meningkatkan kontribusi perusahaan (khususnya perusahaan-
perusahaan pemerintah) terhadap perekonomian nasional;
e. Meningkatkan investasi nasional; dan
f. Mensukseskan program privatisasi perusahaan-perusahaan
pemerintah.
Good Corporate Governance (GCG) sebagaimana dimuat dalam
Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia yang
dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Januari
2004 adalah “suatu tata kelola yang mengandung lima prinsip utama yaitu
keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), tanggung jawab
(responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).”
Menurut Tricker, tata kelola merupakan istilah yang muncul dari interaksi di
antara manajemen, pemegang saham, dan dewan direksi serta pihak terkait
lainnya, akibat adanya ketidakkonsistenan antara “apa” dan “apa yang
seharusnya”, sehingga isu tata kelola perusahaan muncul.47
Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem
yang meliputi input, proses dan outputdan seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antarastakeholderterutama dalam arti sempit
hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi
demi tercapainya tujuan perusahaan. good corporate governance
dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut dan mencegah
terjadinya penyimpangan dalam menerapkan strategi perusahaan dan untuk
memastikan bahwa apabila terjadi kesalahan-kesalahan maka akan dapat
diperbaiki dengan segera. Oleh karenanya, menurut Tricker sebagaimana
dikutip oleh Zarkasyi, munculnya good corporate governance akibat

47
Isniar Budiarti. “Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (GCG) Pada Dunia
Perbankan”. Majalah Ilmiah UNIKOM. hlm. 266.

25
terjadinya kesenjangan hubungan yang terjadi dalam perusahaan dengan
yang seharusnya terjadi.48
5. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum secara historis muncul sejak ada gagasan pemisahan
kekuasaan yang dinyatakan oleh Montesquieu, bahwa dengan adanya
pemisahan kekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu ditangan
pembentuk undang-undang, sedangkan hakim (peradilan) hanya bertugas
menyuarakan isi undang-undang saja. Pendapat Moentesquieu, yang ditulis
dalam bukunya De iesprit des Lois (The Spirit of Laws) pada tahun 1978,
merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan kaum monarki, di mana
kepala kerajaan amat menentukan sistem hukum. Peradilan pada saat itu
secara nyata menjadi pelayanan monarki.49
Kepastian hukum dapat dimaknai sebagai seseorang yang akan
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian
diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi
masyarakat yang dikenakan peraturan. Pengertian kepastian hukum dapat
dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum di
masyarakat. Hal ini untuk tidak menimbulkan banyak salah tafsir. Kepastian
hukum yaitu adanya kejelasan skenario yang bersifat umum dan mengikat
semua warga warga masyarakat termasuk konsekuensi-konsekuensi
hukumnya. Kepastian hukum dapat juga berarti hal yang dapat ditentukan
oleh hukum dalam hal-hal konkret. Kepastian hukum adalah jaminan bahwa
hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh
haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan.50
Radburch berpendapat cukup mendasar mengenai kepastian hukum,
terdapat 4 hal yang berkaitan dengan makna kepastian hukum. Pertama,
bahwa hukum itu positif yakni perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum

48
Akhmad Faozan. (2013). “Implementasi Good Corporate Governance dan Peran Dewan
Pengawas Syariah di Bank Syariah”. La_Riba Jurnal Ekonomi Islam Vol. 7 No. 1. hlm. 5.
49
I Nyoman Putu Budiartha. (2016). “Hukum Outsourcing”. Setara Press: Malang. hlm. 38.
50
Tata Wijayanta. (2014). “Asas Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan dalam Kaitannya
dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2. hlm. 219.

26
itu berdasarkan pada fakta hukum yang ditetapkan itu pasti. Ketiga, bahwa
kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping mudah dilaksanakan,
dan keempat, hukum positif tidak boleh mudah berubah. Kepastian
merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk
norma yang tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna
karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap
orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika
suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur
secara jelas dan logis. Jelas dan artian tidak menimbulkan keragu-raguan
(multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi bagian dari suatu sistem
norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan
konflik.51
Kenyataanya, apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan
hukum, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini
dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-
prinsip keadilan hukum, sebaliknya tidak jarang pula keadilan hukum
mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Apabila dalam praktiknya
terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka
keadilan hukum yang harus diutamakan.52
6. Teori Keadilan
Konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad
ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The Law
of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap

51
Indra Puji Lestari. Skripsi: “Prinsip Kepastian Hukum Akta Waris yang Dibuat Tanpa
Melibatkan Salah Seorang Ahli Waris Karena Alasan Tidak Cakap Hukum.” (Jember: 2019). hlm. 33-
34.
52
Rahmat Ramadhani. (2017). “Jaminan Kepastian Hukum yang Terkandung Dalam Sertipikat
Hak Atas Tanah”. De Lega Lata Vol. 2 No. 1. hlm. 144.

27
diskursus nilai-nilai keadilan.53 John Rawls yang dipandang sebagai perspektif
“liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah
kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions).
Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat
mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang
telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari
keadilan.54
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan
sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada
pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu
dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan
kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi
asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari
oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan
(equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of
society). Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh
John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta
dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan
doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan
tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls
menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil
dengan teorinya disebut sebagai “Justice as fairness”.55
Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program
penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan
dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang
sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama
bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial

53
Ibid. hlm 139.
54
Ibid. hlm 140.
55
John Rawls. (2006). “A Theory of Justice. Oxford University Press: London”. (Yang sudah
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo). “Teori Keadilan”.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm. 90

28
ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat
timbal balik.56
Prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-
orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus
diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan
terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan
menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang
memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai
pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi
ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.John Rawls, filsuf Amerika Serikat
yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan
bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial,
sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran".57 Tapi, menurut
kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di
dunia yang adil".58 Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak
berat sebelah. Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan
tindakan didasarkan atas norma-norma objektif. Keadilan pada dasarnya
adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama, adil menurut yang
satu belum tentu adil bagi yang lainnya, ketika seseorang menegaskan bahwa
ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan
ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui. Skala keadilan sangat
bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala didefinisikan dan

56
Hans Kelsen. (2011). “General Theory of Law and State”. (Diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien). Nusa Media: Bandung. hlm. 7.
57
John Rawls. (1999). “A Theory of Justice, Revised Edition”. OUP: Oxford. hlm 3.
58
Thomas Nagel. (2005). “The Problem of Global Justice, Philosophy and Public Affairs”. hlm.
113.

29
sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum
dari masyarakat tersebut.59
Keadilan di Indonesia digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar
negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila lima
tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup
bersama. Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat
keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan
dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan
masyarakat, bangsa, dan negara, serta hubungan manusia dengan
Tuhannya.60
Menurut Plato sebagaimana dikutip oleh Suteki dan Galang Taufani,
keadilan adalah di luar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan
adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemen-
elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:
1. Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi
oleh para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara
tegas dengan domba manusia;
2. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian
khusus terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada
persatuannya, aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan
pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta kolektivisasi
kepentingan-kepentingan anggotanya.61
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam
karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam
buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan,
yang, berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari

59
M. Agus Santoso. (2014). “Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum”. Cetakan
kedua. Kencana: Jakarta. hlm. 85.
60
M. Agus Santoso. Op.Cit. hlm 86.
61
Suteki, Galang Taufani. (2018). “Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan Praktik)”.
Rajawali Pers: Depok. hlm. 98-102.

30
filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya
dengan keadilan”.62
Intinya, pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak
persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak
persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan
manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat
dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum
sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya
sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya. Lebih lanjut,
keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam
keadilan, keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif
ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut
pretasinya. Keadilan komutatif memberikan sama banyaknya kepada setiap
orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan
peranan tukar menukar barang dan jasa.63
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah
bahwa apa yang ada di pikiran Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan
barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.
Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai
kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.64
Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang
di bawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang
dan subur. Karena keadilan menurutnya adalah keadilan kemerdekaan,
keadilan perdamaian, keadilan demokrasi-keadilan toleransi.65

62
Carl Joachim Freiedrich. (2004). “Filsafat Hukum Perspektif Historis”. Nuansa dan Nusamedia:
Bandung. hlm. 24.
63
Ibid. hlm. 25.
64
Pan Mohamad Faiz. (2009). “Teori Keadilan John Rawls. Jurnal Konstitusi Vol. 6 No. 1. hlm.
135.
65
Satjipto Rahardjo. (2014). “Ilmu Hukum”. Citra Aditya Bakti: Bandung. hlm. 174.

31
7. Teori Negara Kesejahteraan
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa ide Negara Kesejahteraan ini
merupakan pengaruh dari faham sosialis yang berkembang pada abad ke-19,
yang populer pada saat itu sebagai simbol perlawanan terhadap kaum
penjajah yang kapitalis-liberalis. Diterimanya paham sosialisme dalam
perumusan cita kenegaraan dalam konstitusi kita, di samping prinsip
demokrasi yang populer di lingkungan negara-negara liberal. Hal ini
berkaitan dengan diadopsikannya konsep "Negara Pengurus (Welfare
State),66 Pada intinya negara memang diharapkan turut bertanggungjawab
untuk mengintervensi pasar, mengurus kemiskinan, dan memelihara orang
miskin.67
Kesepakatan menganut negara kesejahteraan (welfare state) pertama
kali digagaskan oleh Soekarno dan Mohamad Hatta yang kemudian
mendapatkan kesepakatan oleh para founding father yakni UUD 1945. yakni
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangas, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dengan berdasar
kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Terdapat enam hal yang dijadikan sebagai alasan mengapa memilih
negara kesejahteraan, yaitu: pertama, adalah untuk mempromosikan
efisiensi ekonomi (promoting economic efficiency); Kedua, untuk
mengurangi kemiskinan (Reducing Proverty); Ketiga, Mempromosikan
kesamaan sosial (promotingsocial equality); Keempat, mempromosikan

66
Yamin, M (1959). Naskah Persiapan UUD 194: Risalah Sidang BPUPKI/PPKI. Sekretariat Negara
RI: Jakarta. Hlm 299.
67
Djauhari.2014. Pergederan pemikiran negara kesejahteraan pasca amandemen UUD 1945,
Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume I No. 3 September-Desember 2014. Hlm 329.

32
integrasi sosial atau menghindari eklusi sosial (promoting social intergration
and avoiding social exclusion); kelima, mempromosikan otonomi atau
kemandirian individu (promoting autonomy).68 Dalam negara kesejahteraan
itu sendiri terkandung empat prinsip umum yaitu, Pertama, Prinsip Hak-Hak
Sosial dalam Negara Demokrasi. Kedua, Prinsip Welfare Rights; Ketiga,
Prinsip Kesetaraan Kesempatan Bagi Warga Negara; dan Keempat, Prinsip
Keseimbangan Otoritas Publik dan Ekonomi, dan Efisiensi Ekonomi.
Berdasarkan hal tersebut negara dituntut bertanggung jawab
mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni
yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis
membahayakan dan mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia
dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat
seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan asosiasi-
asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada
tujuan nasional. Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan
dengan perantara pemerintah beserta segala alat perlengkapannya.
Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur, maka
dari itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan kekuasaan
harus dapat menempatkan diri.69 Menurut Roger H. Soltau tujuan negara
adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya
cipta sebebas mungkin. Ide dasar konsep negara kesejahteraan berangkat
dari upaya negara untuk mengelola semua sumber daya yang ada demi
mencapai salah satu tujuan negara yaitu meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya. Cita-cita ideal ini kemudian diterjemahkan dalam sebuah
kebijakan yang telah dikonsultasikan kepada publik sebelumnya dan
kemudian dapat dilihat apakah sebuah negara betul-betul mewujudkan
kesejahteraan warga negara atau tidak. Masalah kemiskinan dan kesehatan

68
Robert. G. (1999). “The Real Worlds of Werfare Capitalism”. Cambridge University Press:
Cambridge” .hlm.22.
69
Miriam Budiardjo. Op.Cit. hlm.48.

33
masyarakat merupakan sebagian dari banyak masalah yang harus segera
direspons oleh pemerintah dalam penyusunan kebijakan kesejahteraan.
Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara kesejahteraan
haruslah berkorelasi dengan kemaslahatan dan kemakmuran rakyat. Prinsip
ini menjadi tugas utama yang harus diwujudkan dalam negara kesejahteraan.
Menurutnya, ada dua hal yang terkait langsung dengan upaya pembangunan
ekonomi: Pertama, perwujudan negara kesejahteraan bukanlah sesuatu
yang terpisah dari upaya pembangunan ekonomi. Seperti yang telah
dinyatakan, pembangunan ekonomi harus membuat masyarakat semakin
sejahtera, bukan sebaliknya. Kedua, tujuan perwujudan negara
kesejahteraan bukan hanya karena alasan kesamaan (equality), tetapi juga
demi efisiensi dalam proses ekonomi. Negara kesejahteraan sering
diasosiasikan dengan proses distribusi sumber daya yang ada kepada publik,
baik secara tunai maupun dalam bentuk tertentu (cash benefits or benefits
in kind). Konsep kesejahteraan juga terkait erat dengan kebijakan sosial-
ekonomi berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara umum.
Beberapa bidang yang paling mendesak untuk diperhatikan dalam kebijakan
kesejahteraan adalah masalah pendidikan, kesehatan dan penyediaan
lapangan kerja.70
Tenaga kerja adalah unsur yang sangat penting dalam skema negara
kesejahteraan. Tidak hanya mereka adalah subyek penggerak ekonomi
negara melalui kontribusi pembayaran pajak dan perputaran kegiatan
ekonomi, melainkan juga sebagai obyek yang menjadi tujuan untuk
disejahterakan. Negara harus mengatur tata kelola ketenagakerjaan
integratif, dengan mengidentifikasi kebutuhan sisi permintaan (demand)
yakni industri yang membutuhkan tenaga kerja, dan sisi ketersediaan
(supply) tenaga kerja.71 Pada sisi demand, pemerintah perlu mengidentifikasi
jumlah dan kualifikasi tenaga kerja dibutuhkan untuk menopang kebutuhan

70
Simarmatam, T.H. (1998). “Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan kebijakan
dan perbandingan pengalaman”. PSIK Piramida: Jakarta. Hlm 22.
71
Setiyonom. 2014. “Pemerintahan dan manajemen sektor publik”. CAPS: Yogyakarta. Hlm 25.

34
industri secara optimum. Sedangkan pada sisi supply, pemerintah perlu
mengatur ketersediaan tenaga kerja melalui pendidikan dan training sesuai
dengan kebutuhan demand.
8. Teori Otonomi Daerah
Otonomi Daerah berasal dari istilah “autonomy” yang berasal dari
Bahasa Yunani, yang terdiri dari kata “auto” yang berarti sendiri dan
“nomous” yang berarti hukum atau peraturan. Menurut Kansil, otonomi
daerah ialah suatu hak, dan wewenang, serta kewajiban daerah untuk
mengatur serta untuk mengurus rumah tangganya atau daerahnya sendiri
sesuai dengan perundang-undangan yang masih berlaku. Menurut Mariun,
otonomi daerah ialah suatu kebebasan atau kewenangan yang dipunyai
suatu pemerintah daerah sehingga memungkinkan mereka dalam membuat
sebuah inisiatif sendiri untuk mengelola serta mengoptimalkan sumber daya
yang dipunyai daerahnya. Otonomi daerah ialah suatu kebebasan atau
kewenangan untuk dapat bertindak sesuai dengan suatu kebutuhan
masyarakat pada daerah setempat.72
Wujud pelaksanaan campurtangan pemerintah pusat dengan memberi
wewenang kepada pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah.
Dengan adanya otonomi daerah maka Pemerintah Daerah berwenang untuk
menetapkan berapa besaran upah minimum regional di daerah baik
Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota guna melindungi hak-hak
buruh dan juga untuk mewujudkan kesejahteraan buruh/pekerja yang
meiliki posisi tawar rendah.73
Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah
kewewenangan (urusan) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang
bersangkutan. Penyerahan berbagai kewenangan dalam rangka

72
Dewi Mulyanti. (2017). “Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah Melalui Judicial Riview
dan Executive Riview”. Vol. 5 No. 1.
73
Firman Widia Nanda. (2015). “Peran Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Upah Minimum
Regional Bagi Usaha Kecil dan Menegah”. hlm. 4-5.

35
desentralisasi ini tentunya harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan
pembiayaan. Sumber pembiayaan yang paling penting adalah sumber
pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD (Pendapatan Asli Daerah) di
mana komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen
pajak daerah dan retribusi daerah.74
Kebijakan upah minimum merupakan sistem pengupahan yang telah
banyak diterapkan di beberapa negara, yang pada dasarnya bisa dilihat dari
dua sisi. Pertama, upah minimum merupakan alat proteksi bagi pekerja
untuk mempertahankan agar nilai upah yang diterima tidak menurun dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kedua, sebagai alat proteksi bagi
perusahaan untuk mempertahankan produktivitas pekerja.75 Dalam
penetapan upah minimum, ada beberapa indikator sebagai dasar
pertimbangan. Yang pertama adalah dilihat dari laju pertumbuhan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB). Kenaikan PDRB akan menyebabkan
pendapatan dari sektor pajak, dan retribusi meningkat. PDRB yang
digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan dari tahun ke tahun yaitu dengan menggunakan PDRB atas
Harga Konstan.76
Munculnya ketentuan upah minimum akan mendorong terjadinya
distorsi dalam pasar tenaga kerja. Artinya dengan ketentuan upah minimum,
maka buruh mempunyai kekuatan monopoli yang cenderung melindungi
buruh yang telah berjalan dalam perusahaan. Kekuatan serikat buruh yang
cenderung memaksimalkan pendapatan dari buruh yang ada akan
mendeskriminasi pendatang baru dalam pasar tenaga kerja. Komponen
Upah Minimum adalah kebutuhan pokok dari seseorang yang diperlukan

74
Mohammad Riduansyah. (2003). “Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Guna
Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah”. Makara, Sosial Humaniora Vol. 7 No. 2. hlm. 49-50.
75
Rini Sulistiawati. (2012). “Pengaruh Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan
Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia”. Eksos Vol. 2 No. 3. hlm. 198.
76
Nyoman Sutama, dkk. (2019). “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penetapan Upah
Minimum Kabupaten Sumbawa Tahun 2013-2017”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 16 No. 3. hlm.
282.

36
untuk mempertahankan kondisi fisik dan mentalnya agar dapat menjalankan
fungsinya sebagai salah satu factor produksi.Kebutuhan ini merupakan
kebutuhan yang minimum baik ditinjau dari segi jumlah maupun segi
kualitas, barang dan jasa yang dibutuhkan, sehingga merupakan kebutuhan
yang tidak dapat dihindari atau dikurangi lagi.77
9. Teori Ketenagakerjaan
Berdasarkan pendapat Sumitro Djojohadikusumo, mengenai arti tenaga
kerja adalah semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja, termasuk
mereka yang menganggur meskipun bersedia dan sanggup bekerja dan
mereka yang menganggur terpaksa akibat tidak ada kesempatan kerja.78
Menurut Aris Ananta dan Tjiptoherjanto, tenaga kerja dapat diartikan
sebagian dari keseluruhan penduduk yang secara potensial dapat
menghasilkan barang dan jasa. Atau dengan kata lain, tenaga kerja dapat
diartikan bagian dari penduduk yang dapat menghasilkan barang dan jasa
apabila ada permintaan terhadap barang dan jasa tersebut.79 Dalam
pengertian tersebut, yang termasuk ke dalam golongan tenaga kerja adalah
semua orang yang telah bisa atau ikut serta dalam menciptakan barang
maupun jasa baik di dalam perusahaan maupun perorangan.
Tenaga Kerja merupakan orang yang masih pada usia kerja yaitu antara
15 sampai 64 tahun. Orang yang masih dalam usia kerja ini dapat
digolongkan menjadi dua macam, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan
kerja, atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang dapat
memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka,
dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut.80 Angkatan
kerja (labor force) adalah bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya

77
Supardi. Skripsi: “Rasionalitas dalam Menentukan Upah Minimum di Kabupaten Mandailing
Natal”. (Padangsidimpuan: 2018). hlm. 26.
78
Sumitro Djojohadikusumo. (1987). “Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Perkembangan”.
Jakarta: LP3ES. hlm. 34.
79
Aris Ananta. (1990). “Liberalisasi Ekspor dan Impor Tenaga Kerja Suatu Pemikiran Awal”.
Pusat Lembaga Demografi, FE, UI.
80
Irawan dan M. Suparmoko. (1996). “Ekonomika Pembangunan edisi Kelima”. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta. hlm. 67.

37
terlibat, atau berusaha terlibat, dalam kegiatan produksi yaitu produksi
barang dan jasa.81 Bukan angkatan kerja adalah mereka yang sedang
bersekolah, mengurus rumah tangga tanpa mendapat upah, lanjut usia,
cacat jasmani dan sebagainya, dan tidak melakukan suatu kegiatan yang
dapat dimasukkan kedalam kategori bekerja, sementara tidak bekerja, atau
mencari pekerjaan.82
Membahas ketenagakerjaan maka tidak terlepas dari teori-teori
dibawah ini:
a. Teori Hubungan Industri
Hubungan Industrial merupakan suatu tatanan sosial yang
menjelaskan dinamika dalam hubungan diantara para pelaku produksi
yang bertujuan untuk menciptakan kondisi ideal yaitu hubungan industri
yang rukun, ramah, dan menguntungkan banyak pihak yang terlibat.
Dalam kenyataannya, hubungan industrial tidak hidup di dalam ruangan
yang hampa dan terlepas dari berbagai pengaruh faktor lainnya.
Hubungan senantiasa diwarnai oleh landasan filosofis dan idealis yang
dianut dan diyakini oleh bangsa dan negara. Landasan tersebut
menggambarkan sikap negara dalam memandang kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, sehingga menjadi ideologi, dasar negara
yang menggambarkan nilai leluhur dari bangsa tersebut, serta
menggambarkan tujuan ideal yang ingin dicapai.
Berdasaran istilah, Hubungan Industrial terbagi dari dua sisi, pertama
dari sisi konsep hubungan, dan kedua dari sisi konsep industrial.
Hubungan memiliki konotasi adanya dua atau lebih unsur yang satu sama
lain saling berkaitan atau saling berhubungan. Dimana perbuatan salah
satu pihak dapat berpengaruh pada pihak lainnya, baik sepihak maupun
sama sama saling mempengaruhi. Industrial berasal dari kata industri

81
Mulyadi. (2012). “Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan”. Jakarta:
Rajawali Pers. hlm. 60.
82
Gatiningsih, dan Eko Sutrisno. (2017). “Kependudukan dan Ketenagakerjaan”. Sumedang:
Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN. hlm. 3.

38
(industry), yang sedikitnya memiliki tiga konotasi. Pertama, sebagai
sebuah proses produksi, yaitu proses perubahan yang bersifat
transformasional dari bahan baku menjadi bahan jadi, baik barang
maupun jasa. Kedua, menggambarkan sebuah tempat, dimana proses
produksi tersebut berlangsung. Ketiga, menggambarkan rangkaian
kegiatan dari orang-orang yang sedang melakukan proses produksi
(supply chain process).83
Kesimpulan dari teori hubungan industrial yakni mengatur hubungan
semua pihak yang saling mempengaruhi atau berkepentingan terkait
proses produksi ataupun pelayanan jasa di suatu perusahaan. Hubungan
industrial tersebut harus diciptakan sedemikian rupa agar aman,
harmonis, serasi dan sejalan demi peningkatan kesejahteraan semua
pihak dalam perusahaan karena meningkatnya produktivitas. Beberapa
tujuan mengenai hubungan industrial yaitu menciptakan ketenangan
kerja dan ketenangan berusaha, Menciptakan iklim yang kondusif bagi
peningkatan produktivitas untuk pengembangan usaha dan peningkatan
kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, dan Menciptakan iklim
yang mendorong kemajuan usaha dan peningkatan investasi dalam
rangka pertumbuhan ekonomi nasional yang mampu memperluas
kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran.
Hubungan Industrial (Industrial Relations) diartikan pula sebagai
kegiatan yang mendukung terciptanya hubungan harmonis antara pelaku
bisnis yaitu pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah, sehingga tercapai
ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha (Industrial Peace). Oleh
karena itu, hubungan industrial (industrial relation) tidak hanya sekedar
manajemen organisasi perusahaan, yang menempatkan pekerja/buruh
sebagai pihak yang selalu dapat diatur. Namun, hubungan industrial

83
Adjat Daradjat Kartawijaya. (2018). “Hubungan Industrial”. Alfabeta: Bandung. hlm 2.

39
meliputi fenomena baik didalam maupun di luar tempat kerja yang
berkaitan dengan penempatan dan pengaturan hubungan kerja.84
Menurut Subijanto hubungan industrial atau hubungan perburuan
pada hakikatnya merupakan hubungan antar pihak-pihak terkait dengan
kepentingan, yaitu antara pekerja/buruh dan pengusaha (majikan), serta
organisasi buruh (serikat pekerja) dan organisasi pengusaha. Berdasarkan
uraian di atas, maka jika diperinci pada dasarnya hubungan industrial
(industrial relation) meliputi hal-hal:
1. Pembentukan perjanjian kerja/perjanjian kerja bersama yang
merupakan titik tolak adanya hubungan industrial (industrial
relation). Kewajiban pekerja/buruh melakukan pekerjaan pada atau
dibawah pimpinan pengusaha, yang sekaligus merupakan hak
pengusaha atas pekerjaan dari pekerja/buruh;
2. Kewajiban pekerja/buruh melakukan pekerjaan pada atau dibawah
pimpinan pengusaha, yang sekaligus merupakan hak pengusaha atas
pekerjaan dari pekerja/buruh;
3. Kewajiban pengusaha membayar upah kepada pekerja/buruh yang
sekaligus merupakan hak pekerja/buruh atas upah;
4. Berakhirnya hubungan industrial (industrial relation); dan
5. Caranya perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan
diselesaikan dengan sebaik-baiknya.85
b. Teori Hubungan Kerja
Hubungan Kerja merupakan hubungan hukum dalam hal
pelaksanaan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha dalam suatu
perusahaan yang menaungi batasan perjanjian kerja dan peraturan
kerja yang telah disetujui oleh kedua belah pihak baik pekerja maupun
perusahaan. Dengan begitu, maka baik pekerja maupun pengusaha
yang bersangkutan saling mengikatkan diri oleh isi perjanjian tersebut

84
Luis Marmisah. (2019). “Hubungan Industrial Dan Kompensasi (Teori Dan Praktik)”.
Deepublish: Sleman. hlm 2.
85
Ibid. hlm. 3

40
dan masing-masing telah mendapatkan hak, dimana perusahaan
berhak memerintah dengan memberi pekerjaan kepada pekerja tanpa
melewati batas batas yang sudah tercantum pada perjanjian kerja, dan
pekerja juga berhak menerima gaji dan tunjangan dan jaminan lain
yang diberikan pengusaha tanpa melewati batasan perjanjian kerja
yang sudah ditentukan.
Menurut Hartono Wisoso dan Judiantoro, hubungan kerja adalah
kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur
demi kepentingan orang lain yang memerintahnya
(pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah
disepakati.86 Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa pengertian
hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan
pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu
tertentu maupun tidak tertentu.87
Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha
dengan pekerja berdasarkan keterikatan pada suatu perjanjian kerja.
Dengan demikian, Perjanjian melahirkan perikatan yang merupakan
hubungan kerja. Yang berarti dengan adanya perjanjian atau
persetujuan, kedua belah pihak dinyatakan bersedia untuk
berhubungan atau saling terkait yang dimana pada hubungan kerja,
pihak yang terkait adalah pekerja dengan perusahaan.
Terdapat enam unsur/komponen yang harus dipenuhi secara
mutlak untuk dapat dikatakan sebuah hubungan kerja, dimana apabila
salah satu diantaranya tidak dipenuhi maka bukan hubungan kerja.
Keenam unsur/komponen tersebut adalah adanya pengusaha sebagai
pemberi kerja, pekerja yang melaksanakan pekerjaan, perjanjian kerja,
pekerjaan yang harus dikerjakan, perintah sebagai hak dari pemberi

86
Hartono Judiantoro. (1992). “Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan”. Rajawali
Pers: Jakarta. hlm. 10.
87
Tjepi F. Aloewic. (1996). “Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan
Penyelesaian Perselisihan Industrial”. BPHN: Jakarta. hlm. 32.

41
kerja, upah sebagai imbalan jasa bagi pekerja.88 Dengan begitu,
apabila keenam komponen tersebut terpenuhi maka hubungan antara
pemberi kerja dengan pekerja dapat terjalin dengan baik.
Keenam unsur atau komponen hubungan kerja di atas yang
bersifat mendasar dan mutlak (absolut), proses dan bentuk hubungan
industrial juga dipengaruhi oleh faktor-faktor atau variabel yang
bersifat relatif, tetapi dengan tingkat pengaruh yang signifikan. Hal
tersebut adalah sistem tata nilai yang dipilih oleh organisasi
perusahaan yang membentuk iklim organisasi, serta sarana-sarana
hubungan industrial yang dimiliki perusahaan yang terdiri dari: Serikat
Pekerja, Organisasi Pengusaha, Lembaga Kerja Sama Bipartit, Lembaga
Kerja Sama Tripartit, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama,
Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, serta Peradilan
Penyelesaian Hubungan Industrial, yang masing-masing merupakan
alat (tool) untuk memudahkan dan melancarkan proses dan tujuan
hubungan industrial, yaitu hubungan industrial yang harmonis untuk
tercapainya pertumbuhan dan pengembangan perusahaan, serta
meningkatnya kesejahteraan pekerja.89
Pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha yang sangat
penting dalam proses produksi dalam rangka meningkatkan
kesejateraan pekerja/buruh dan keluarganya, menjamin kelangsungan
perusahaan, dan mengingkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia
pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu serikat pekerja/serikat
buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan kepentingan
pekerja/buruh dan menciptakan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan. Oleh karena itu pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh harus memiliki rasa tanggung jawab atas
kelangsungan perusahaan dan sebaliknya pengusaha harus

88
Adjat Daradjat Kartawijaya. Op.Cit. hlm 51.
89
Ibid. hlm 53-54.

42
memperlakukan pekerja/buruh sebagai mitra sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan.90
10. Teori Sumber Daya Manusia
Sonny Sumarsono berpendapat bahwa Sumber Daya Manusia (SDM)
memiliki dua arti yang berbeda diantaranya adalah: (1) SDM merupakan
suatu usaha kerja atau jasa yang memang diberikan dengan tujuan dalam
melakukan proses produksi. Dengan kata lain Sumber Daya Manusia
adalah kualitas usaha yang dilakukan seseorang dalam jangka waktu
tertentu guna menghasilkan jasa atau barang; (2) Masih terkait dengan
hal yang pertama, pengertian SDM yang kedua adalah dimana manusia
mampu bekerja menghasilkan sebuah jasa atau barang dari usaha
kerjanya tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan beragam
kegiatan yang memiliki nilai ekonomis atau dengan kata lain adalah
kegiatan tersebut bisa menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan hidup. 91
Setiap oganisasi atau perusahaan memerlukan sumber daya untuk
mencapai tujuannya. Sumber daya merupakan sumber energi, tenaga,
kekuatan (power) yang diperlukan untuk menciptakan daya, gerakan,
aktivitas, kegiatan, dan tindakan. Sumber daya tersebut antara lain terdiri
atas sumber daya alam, sumber daya finansial, sumber daya manusia,
sumber daya ilmu pengetahuan, dan sumber daya teknologi. Diantara
sumber tersebut, sumber daya yang terpenting adalah sumber daya
manusia (SDM – human resources). SDM merupakan sumber daya yang
digunakan untuk menggerakan dan menyinergikan sumber daya lainnya
untuk mencapai tujuan organisasi. Tanpa SDM, sumber daya lainnya
menganggur (idle) dan kurang bermanfaat dalam mencapai tujuan
organisasi.92

90
Koko Kosidin. (1999). “Perjanjian kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan”.
Mandar Maju: Bandung. hlm. 4.
91
Sonny Sumarsono.Op.Cit.
92
Wirawan. (2012). “Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia”. Salemba Empat: Jakarta. hlm. 1.

43
M. T. E. Hariandja berpendapat bahwa Sumber Daya Manusia adalah
salah satu faktor yang paling utama pada suatu perusahaan dilihat dari
faktor-faktor lainnya selain modal usaha. Oleh karenanya, SDM sangat
diperlukan untuk dikelola dengan baik agar efektivitas dan efisiensi
perusahaan semakin meningkat.93
Menurut Hasibuan, Sumber Daya Manusia memiliki arti keahlian
terpadu yang berasal dari daya pikir serta daya fisik yang dimiliki oleh
setiap orang. Yang melakukan serta sifatnya dilakukan masih memiliki
hubungan yang erat seperti keturunan dan lingkungannya, sedangkan
untuk prestasi kerjanya dimotivasi oleh sebuah keinginan dalam
memenuhi keinginannya. SDM meliputi daya pikir serta daya fisik pada
setiap individu. Lebih jelasnya SDM merupakan suatu kemampuan pada
setiap manusia yang ditentukan oleh daya pikir serta daya fisiknya. SDM
atau manusia menjadi unsur yang sangat penting dalam berbagai kegiatan
yang dilakukan. Meskipun peralatan yang ada cukup canggih, tanpa
adanya SDM berkualitas hal tersebut tidak akan berarti apa-apa. Sebab
Daya Pikir merupakan modal dasar yang dibawa sejak lahir sedangkan
keahlian dapat diperoleh dari usaha (belajar dan pelatihan). Kecerdasan
seseorang dapat diukur dari tingkat Intellegence Quotient (IQ) dan
Emotional Quality (EQ). 94 CIPD (The Chartered Institute of Personnel and
Development) menjelaskan bahwa Sumber Daya Manusia adalah suatu
strategi perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan yang bertujuan
dalam mengelola manusia (karyawan) agar memiliki kinerja usaha yang
maksimal termasuk pada kebijakan pengembangan serta proses untuk
mendukung strategi.95

93
Mariot Tua Efendi Hariandja. (2002). “Manajemen Sumber Daya Manusia”. PT Grasindo:
Jakarta. hlm. 2
94
Hasibuan. (2003). “Organisasi dan Motivasi Dasar Peningkatan Produktivitas”. Bumi Aksara:
Jakarta. hlm. 244.
95
LinovHR. (2022). “7 Pengertian Sumber Daya Manusia Menurut Para Ahli”.
(https://www.linovhr.com/sumber-daya-manusia-menurut-para-ahli/). diakses pada 1 Mei 2022
pukul 08.36.

44
Mathis dan Jackson memiliki pandangannya terkait sumber daya
manusia. Mereka menjelaskan bahwa SDM merupakan suatu rancangan
dari berbagai sistem formal pada sebuah organisasi dengan tujuan
memastikan penggunaan keahlian manusia secara efektif serta efisien
untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan sesuai dengan keinginan.96
Perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) adalah proses/langkah
yang akan dilakukan terhadap SDM dalam organisasi (baik pada
perusahaan ataupun pada lembaga pendidikan), yaitu berupa pengadaan
SDM (personel/personalian kepegawaian) yang tepat, dalam waktu yang
tepat, sebagai upaya dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 97

Perencana sumber daya manusia adalah proses dimana para manajemen


menjamin bahwa mereka memiliki jumlah dan jenis orang yang tepat
ditempat kerja yang pas, dan pada saat yang tepat mampu menyelesaikan
tugas-tugas yang akan menolong organisasi tersebut mencapai sasaran-
sasaran secara keseluruhannya secara efektif dan efisien. secara
sederhana proses ini dapat disingkat menjadi tiga langkah, yaitu sebagai
berikut: (a) Menilai sumber daya manusia yang ada sekarang; (b) Menilai
kebutuhan-kebutuhan sumber daya manusia masa depan; (c)
Mengembangkan suatu program untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sumber daya manusia masa depan.98
Tujuan adanya perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) adalah
sebagai berikut: (1) Untuk menentukan kualitas dan kuantitas karyawan
yang akan mengisi semua jabatan dalam perusahaan; (2) Untuk menjamin
tersedianya tenaga kerja masa kini maupun masa depan, sehingga setiap
pekerjaan ada yang mengerjakannya; (3) Untuk menghindari terjadinya
mismanajemen dan tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas; (4) Untuk
mempermudah koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi (KIS) sehingga

96
Mathis, R.L. & J.H. Jackson. (2006). “Human Resources Management: Manajemen Sumber
Daya Manusia”. Terjemahan Dian Angelia. Salemba Empat: Jakarta. hlm. 3.
97
Ali Nurdin, dkk. (2006). “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Faza Media: Jakarta. hlm. 27.
98
Iwan Purwanto. (2006). “Manajemen Strategi”. Cetakan pertama. Yrama Widya: Bandung.
hlm. 158.

45
produktivitas kerja meningkat; (5) Untuk menghindari kekurangan dan
atau kelebihan karyawan; (6) Untuk menjadi pedoman dalam
menetapkan program penarikan, seleksi, pengembangan, kompensasi,
pengintegrasian, pemeliharaan, kedisiplinan, dan pemberhentian
karyawan; (7) Menjadi pedoman dalam melaksanakan mutasi (vertikal
atau horizontal) dan pensiun karyawan; (8) Menjadi dasar dalam
melakukan penelitian karyawan.99
Sumber daya manusia merupakan satu-satunya sumber daya yang
memiliki akal perasaan, keinginan, keterampilan, pengetahuan,
dorongan, daya dan karya. Semua potensi sumber daya manusia tersebut
berpengaruh terhadap upaya organisasi/perusahaan dalam mencapai
tujuan. Betapapun majunya teknologi, perkembangan informasi,
tersedianya modal dan memadainya bahan, jika tanpa sumber daya
manusia sulit bagi organisasi untuk mencapai tujuannya. 100
11. Teori Upah
Teori tentang pembentukan harga (pricing) dan pendayagunaan input
(employment) disebut teori produktivitas marjinal (marginal productivity
theory), lazim juga disebut teori upah (wage theory). Produktivitas marjinal
tidak terpaku semata-mata pada sisi permintaan (demand side) dari pasar
tenaga kerja saja. Telah diketahui suatu perusahaan kompetitif yang
membeli tenaga kerja di suatu pasar yang kompetitif sempurna akan
mengerahkan atau menyerap tenaga kerja sampai ke suatu titik dimana
tingkat upah sama dengan nilai produk marjinal. Jadi pada dasarnya, kurva
VMP (Value Marginal Product) merupakan kurva permintaan suatu
perusahaan akan tenaga kerja. Tingkat upah dan pemanfaatan input
(employment) sama-sama ditentukan oleh interaksi antara penawaran dan
permintaan. Berbicara mengenai teori produktivitas marjinal upah sama
saja dengan berbicara mengenai teori permintaan harga-harga, dan kita

99
Malayu S.P. Hasibuan. (2002). “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Bumi Aksara: Jakarta.
hlm. 250.
100
Edy Sutrisno. (2009). “Manajemen Sumber Daya Manusia”. Kencana: Jakarta. hlm. 1.

46
tak kan dapat berbicara mengenai teori permintaan harga-harga tersebut
karena sesungguhnya harga itu tidak hanya ditentukan oleh
permintaannya, tapi juga oleh penawarannya.101 Teori-teori yang
berkaitan dengan teori upah adalah sebagai berikut:
a. Teori Upah Teladan
Teori upah teladan memperhatika kearifan lokal yang ditampilkan
dalam bentuk petatah-petitih dari nenek moyang Bangsa Indonesia,
seperti: (1) berat sama dipikul dan ringan sama dijinjingyang maksudnya
jika perusahaan merugi, pekerjapun ikut menanggung kerugian tersebut
dengan ikhlas upahnya dikurangi secara proporsional; (2) orang yang
tua (besar) sayang dengan yang muda, dan yang muda hormat dengan
yang tua; (3) kuah (gulai makanan) tumpah di piring saudara, bukan
tumpah dilantai. Maksudnya, memberi lebih pada “saudara” tidak apa-
apa meskipun terasa berat tetapi tidak apa-apa sebab jatuhnya juga
sama saudara.102
Teori upah teladan dengan asas kekeluargaan merupakan satu
keluarga atau satu kesatuan yang utuh dalam perusahaan. Pihak pekerja
tidak dipisahkan dengan pihak pengusaha, dalam arti berhadap-
hadapan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai. Kemudian, jika
ada permasalahan antara kedua belah pihak, penyelesaian masalah
dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan tidak
mengutamakan penyelesaian sesuatu dengan pola “tawar-menawar”
(bargaining position) yang akan menimbulkan pihak yang menang dan
pihak yang kalah. Filosofi kearifan lokal sebagai dasar asas kekeluargaan
berperan penting dalam menciptakan hubungan yang harmonis.103

101
Maimun Sholeh. (2007). “Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja Serta Upah: Teori Serta
Beberapa Potretnya di Indonesia”. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan Vol. 4 No. 1. hlm. 68-69.
102
Zulkarnain Ibrahim. (2013). ”Hukum Pengupahan yang Berkeadilan Substantif (Kajian Teoritis
Terhadap Teori Upah Teladan)”. MMH Jilid 42 No. 2. hlm. 297.
103
Ibid.

47
b. Teori Upah Hedonik
Merujuk pada tujuan untuk memperoleh implikasi dasar, teori upah
Hedonik telah digunakan untuk mempelajari hubungan antara pekerja
yang terancam dengan upah. Selanjutnya, persamaan pendapatan log
parsial Mincerian didasarkan pada tradisi Model Laki-laki Becker telah
digunakan untuk proses penganggaran. Berdasarkan teori upah
Hedonik, individu mendapatkan penghasilan bervariasi karena terdapat
perbedaan karakteristik pekerjaan. Seperti yang dinyatakan oleh Adam
Smith, upah antara karyawan berbeda karena lima faktor properti
sesuatu bekerja. Kualitas-kualitas itu adalah kemauan atau penerimaan
pekerjaan, level sulitnya suatu pekerjaan, kelangsungan suatu
pekerjaan, tanggung jawab karyawan dalam suatu pekerjaan dan
prospek karir masa depan. Dalam aspek kesiapan terhadap pekerjaan,
Adam Smith menguraikan tiga faktor yang menyebabkan upah setiap
individu berbeda. Faktor-faktor ini adalah hal-hal yang aman dari
bahaya pekerjaan, tingkat kesulitan pekerjaan dan status pekerjaan dari
sudut pandang masyarakat. Satu karyawan harus dibayar upah yang
lebih tinggi jika pekerjaan itu sulit, berat, berbahaya, menjijikkan dan
status yang rendah di mata masyarakat.
Pembayaran Upah yang tinggi ini adalah kompensasi untuk menarik
karyawan untuk mengisi lowongan internal pekerjaan yang dimaksud.
Ini adalah dasar dari terjadinya perbedaan upah antar pekerjaan.
Dengan cara secara rasional, karyawan hanya tertarik untuk bekerja
dalam pekerjaan yang menyenangkan atau disebut sebagai
'Hedonisme'. Hubungan antara ciri-ciri tidak menyenangkan bekerja
dengan upah menghasilkan teori atau model upah Hedonis.
Teori upah hedonis memberikan karakteristik pekerjaan yang tidak
menyenangkan diterjemahkan menjadi bentuk 'risiko pekerjaan'. Risiko
ini juga berbeda sesuai dengan pekerjaan masing-masing. Fenomena ini
dapat dikaitkan dalam penentuan karyawan yang terancam. Asumsi

48
utama dari teori ini adalah bahwa setiap karyawan memiliki
kecenderungan pilihan individu untuk mengambil risiko atau menjadi
pekerja yang terancam. Setiap risiko meningkat akan diikuti oleh
kenaikan upah untuk menarik minat karyawan mengisi lowongan
pekerjaan yang tidak seru. Hubungan yang sama dapat dilihat ketika
majikan memilih seorang karyawan. Seperti yang diketahui umumnya,
biaya majikan akan meningkat setiap kali risiko lapangan kerja
berkurang. Mengingat tujuan majikan adalah untuk memaksimalkan
keuntungan, meningkatkan biaya produksi pemberi kerja hanya dapat
diimbangi melalui pengurangan upah. Implikasinya, pekerja dilibatkan
dalam pekerjaan yang berisiko atau memiliki gelar kesulitan pekerjaan
yang tinggi harus dibayar dengan gaji yang lebih tinggi. Dengan
memperhatikan aspek karyawan dan pengusaha, hipotesis penelitian ini
menyatakan bahwa karyawan yang terancam harus menerima hadiah
atau upah yang lebih tinggi sebagai kompensasi.104

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma


Paul Scholten berpendapat bahwa suatu asas bukan norma hukum, yang
sudah dapat dipakai langsung dalam praktek. Suatu asas belum masak, belum
siap, belum matang untuk langsung dipakai dalam praktek. Menurut Mahadi,
agar asas dapat dipraktikan maka isinya harus diberi bentuk yang lebih
konkrit.105 Asas dalam kajian ini berkaitan dengan ketenagakerjaan. Asas dan
prinsip yang digunakan dalam kajian ini terbagi menjadi enam pembagian,
yaitu:
1. Asas-Asas dalam Pembentukan suatu Peraturan Perundang-Undangan
Asas-asas yang termasuk dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan yakni sebagai berikut:

104
Hazrul Shahiri. (2017). “Pulangan Monetari Pekerja Terancam di Malaysia Berdasarkan Teori
Upah Hedonik”. Jurnal Ekonomi Malaysia 51(1). hlm. 72-73.
105
Johan Jasin. (2019). “Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Era Otonomi Daerah”.
Deepublish: Sleman. hlm. 15.

49
a. Asas Kejelasan Tujuan, dalam asas ini menjelaskan bahwa setiap
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas, serta kehendak yang akan dicapai;
b. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat, dalam asas ini
menjelaskan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangn harus
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang. Peraturan
perundang-undangan dapat dibatalkan demi hukum jika dibuat oleh
lembaga yang tidak berwenang;
c. Asas Kesesuain antara Jenis, hierarki, dan materi muatan, dalam asas ini
menjelaskan bahwa dalam pembentukan suatu peraturan perundang-
undangan perlu memperhatikan materi muatan yang tepat dan sesuai
dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan;
d. Asas Dapat Dilaksanakan, dalam asas ini menjelaskan bahwa setiap
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus
mempertimbangkan efektivitas peraturan perundang-undangan
tersebut di masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis;
e. Asas Kedayagunaan dan kehasilgunaan, dalam asas ini menjelaskan
bahwa setiap pembentukan suatu peraturan perundang-undangan
dibuat serta digunakan karena benar-benar dibutuhkan serta
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara;
f. Asas Kejelasan Rumusan, dalam asas ini menjelaskan bahwa setiap
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi
teknis penyusunan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa
hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai interpretasi dalam pelaksanaanya;
g. Asas Keterbukaan, dalam asas ini bahwa pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan, atau penetapan, hingga pengundangan
harus bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh

50
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam pembentukannya.
2. Asas/Prinsip dalam Peraturan Perubahan Terkait Undang-Undang Cipta
Kerja
Asas/prinsip yang termasuk dalam perubahan terkait Undang-Undang
Cipta Kerja yakni sebagai berikut:
a. Prinsip Good Governance, prinsip ini diartikan sebagai mekanisme,
praktek dan tata cara pemerintahan dan warga mengatur sumber daya
serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam Konsep Governance,
pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi
aktor yang menentukan. Implikasi peran pemerintah sebagai
pembangunan maupun penyedia jasa layanan dan infrastruktur akan
bergeser menjadi bahan pendorong terciptanya lingkungan yang
mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas. Governance menuntut
redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya redefinisi pada peran
warga. Adanya tuntutan yang lebih besar pada warga, antara lain untuk
memonitor akuntabilitas pemerintahan itu sendiri.106
Dapat disimpulkan bahwa Good Governance merupakan suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang bertanggung jawab
dan sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik
secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal and political frame work bagi tumbuhnya aktifitas
usaha.
b. Asas Keterpaduan, perlindungan dan pengelolaan tenaga kerja harus
sesuai dengan nilai moral dan aturan perundang-undangan yang
berlaku. Keterpaduan dilakukan dengan memadukan berbagai unsur

106
Sumarto Hetifa. (2003). “Inovasi, Partisipasi dan Good Governance”. Bandung: Yayasan Obor
Indonesia. Hlm. 1-2.

51
dan menyinergikan berbagai komponen yang terkait antara subjek
hukum yang dikaji dengan Undang-undang yang terkait.
c. Asas Kepastian Hukum, kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti,
ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil.
Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu
harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat
adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan
fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa
dijawab secara normatif, bukan sosiologi.107
Menurut asas ini, negara hukum yang mengutamakan landasan
ketentuan peraturan perundang undangan, kepatutan, keajegan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
Kepastian hukum adalah suatu jaminan bahwa suatu hukum harus
dijalankan dengan cara yang baik atau tepat sasaran.
d. Asas Kemanfaatan, suatu undang-undang dibuat harus memperhatikan
asas manfaat. Asas Manfaat memiliki arti bahwa Undang-undang
tersebut memberikan atau membawa manfaat kepada orang banyak
dan pembentukannya tidak sia-sia. Asas ini juga dikenal dengan istilah
“greatest good for the greatest number of citizens” yang dicetuskan oleh
Jeremy Bentham.
e. Asas Keterbukaan, menurut asas ini, masyarakat berhak untuk
mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap
memperhatikan golongan, dan rahasia negara. Setiap Informasi Publik
bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi
Publik. Informasi yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan
undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada
pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi

107
Dominikus Rato. (2010) “Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum”.
Laksbang Pressindo: Yogyakarta. hlm. 59.

52
diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan
saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi
kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
f. Asas Kecermatan, asas kecermatan adalah sebuah bentuk tindakan yang
berdasarkan informasi dan dokumen secara menyeluruh untuk
mendukung legalitas penetapan dan pelaksanaan keputusan atau
tindakan sehingga keputusan atau tindakan yang bersangkutan
dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan atau tindakan tersebut
ditetapkan atau dilakukan. Asas kecermatan mengandung arti bahwa
suatu tindakan atau keputusan harus dibuat berdasarkan informasi dan
dokumen yang lengka demi terenuhinya legalitas penetapan atau
pelaksanaan keputusan sehingga tindakan dan keputusan tersebut
dapat dilaksanakan.
g. Prinsip National Treatment, menurut prinsip ini, apabila Indonesia
mengimpor produk dari suatu negara maka produk tersebut harus
diberlakukan sama seperti yang ada dari dalam negeri. Prinsip ini juga
berlaku terhadap semua pajak dan pungutan-pungutan yang ada. Selain
itu berlaku juga terhadap berbagai persyaratan dan aturan yang
mempengaruhi aktivitas perdagangan maupun penggunaan produk
didalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan yang setimpal
dengan proteksionisme sebagai bentuk akibat upaya atau kebijakan
administratif atau legislatif.
h. Asas Perlindungan, menurut Soetjipto Rahardjo perlindungan hukum
adalah upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara
mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya dan salah satu sifat
sekaligus tujuan dari hukum itu sendiri adalah memberikan
perlindungan kepada masyarakat. Hal itu diwujudkan dalam bentuk
adanya kepastian hukum agar masyarakat dapat menikmati hak-hak
yang diberikan sebagai perlindungan hukum terhadap masyarakat.108

108
Satjipto Rahardjo. (2000). “Ilmu hukum”. Citra Aditya Bakti: Bandung. hlm. 53

53
Asas perlindungan berguna untuk perlindungan hukum untuk
terwujudnya keadilan serta kepastian hukum melalui aturan-aturan
hukum yang telah ditetapkan. Perlindungan hukum diberikan kepada
subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif
maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis.
i. Asas Akuntabilitas, pengertian akuntabilitas menurut Syahrudin Rasul
adalah kemampuan memberi jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi
atas tindakan sekelompok orang terhadap masyarakat luas dalam suatu
organisasi.109 Asas akuntabilitas merupakan kewajiban untuk
memberikan pertanggungjawaban atau menerangkan kinerja dan
tindakan seseorang, badan hukum, atau pimpinan dari sebuah
organisasi kepada pihak yang mempunyai kewenangan dan hak untuk
meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
j. Asas Keadilan atau Kewajaran, asas ini menghendaki setiap tindakan
badan atau pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek
keadilan dan kewajaran dalam membentuk suatu aturan hukum. Asas
keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang dan
selaras dengan hak setiap orang. Asas kewajaran menekankan agar
setiap aktivitas pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di
tengah masyarakat, baik itu berkaitan dengan moral. Alam berbagai
literatur hukum banyak teori-teori yang berbicara mengenai keadilan.
Salah satu diantara teori keadilan itu adalah teori etis, menurut teori ini
hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh
keyakinan.
k. Prinsip Kebebasan Berserikat, menurut prinsip ini, kebebasan yang
mendasari prinsip kebebasan berserikat adalah kebebasan untuk
berkumpul dan berpendapat serta berekspresi, kebebasan untuk
mendirikan dan bergabung dalam organisasi atau kelompok, serta

109
Rasul Syahrudin. (2002). ”Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan Anggaran”.
Detail Rekod: Jakarta.

54
kebebasan untuk menjalankan fungsi administrasi organisasi atau
kelompok, membuat aturan organisasi atau kelompok dan menjalankan
kegiatannya, di mana kebebasan-kebebasan tersebut tidak bersifat
mutlak karena dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Prinsip
kebebasan berserikat berfungsi sebagai hak dasar bagi pekerja untuk
berorganisasi dan membentuk serikat pekerja termasuk dalam lapangan
hukum perburuhan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai prinsip kebebasan berserikat menjadi hukum dasar bagi para
pekerja untuk membentuk suatu organisasi pekerja atau biasa disebut
Serikat Buruh.110

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta


Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat
Pembentukan Omnibus Law Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja mengatur salah satunya terkait ketenagakerjaan demi
kesejahteraan pekerja. Dalam pembentukan aturan pelaksana dari Undang-
Undang Cipta Kerja, yakni dengan membentuk Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Presiden. Dibentuk Tim Serap Aspirasi yang dilakukan guna
penjabaran peraturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja yakni melalui
Portal resmi Undang-Undang Cipta Kerja (https://uu-ciptakerja.go.id/). Sampai
31 Januari 2021, Tim Serap Aspirasi telah mengumpulkan 238 aspirasi
masyarakat yang terkait dengan 39 peraturan pelaksanaan Undang-Undang
Cipta Kerja dengan rincian poin sebanyak 2.585 poin. Kemudian, pembentukan
tim secara konkrit dengan beranggotakan tokoh, akademisi, dan praktisi sesuai
dengan keahlian serta kebutuhan, melakukan kegiatan serap aspirasi, serta
membentuk posko Cipta Kerja.111

110
Bahder Johan Nasution. (2004). “Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat bagi
Pekerja”. edisi 1. Penerbit Mandar Maju.
111
Kementerian Koordinatir Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2021). “Peraturan
Pelaksanaan UU Cipta Kerja, Ciptakan Era Baru Berusaha untuk Perluasan Lapangan Kerja”. dari
(https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/1668/peraturan-pelaksanaan-uu-cipta-kerja-ciptakan-
era-baru-berusaha-untuk-perluasan-lapangan-kerja). diakses pada tanggal 3 Mei 2022 pukul 20.38.

55
1. Kajian Praktik Hari Libur dan Cuti
Praktik penyelenggaraan terkait implementasi Undang-Undang Cipta
Kerja terkait hari libur dan cuti ini dimulai semenjak undang-undang ini
disahkan. Hal ini tentu harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh
pengusaha untuk menerapkan Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur
perihal keterkaitan dengan ketenagakerjaan. Perusahaan harus mengambil
langkah bijak dalam menyikapi pemberlakuan ketentuan baru tersebut.
Hari libur dan cuti sebagai salah satu bagian dari hak para pekerja yang
secara mutlak harus didapatkan oleh setiap pekerja. Apabila merujuk pada
tugas dan tanggung jawab pemerintah yang hendak mewujudkan dirinya
sebagai pendorong dan pemberdaya tenaga kerja masih belum dapat
dikatakan terwujud ketika disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang
cenderung mengabaikan hak-hak dari tenaga kerja. Undang-Undang Cipta
Kerja berada posisi yang sangat rentan apabila dihadapkan dengan masalah
eksploitasi serta diskriminasi dalam lingkungan kerja. Seperti halnya hak
tenaga kerja wanita dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, misalnya
merasa aman saat hamil. Oleh karena itu, para pekerja khususnya
perempuan menjadi kehilangan akses terhadap hak cuti haid, hak cuti
melahirkan, hak cuti keguguran ataupun kesempatan untuk menyusui di
tempat kerja yang mana hal ini tidak dianggap produktif oleh pengusaha. 112
Hari libur dalam aturan Undang-Undang Cipta Kerja hanya memberikan
1 (satu) hari libur selama seminggu, dan juga pengaturan terkait cuti tahunan
diberikan waktu paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja
melakukan pekerjaannya selama 12 bulan berturut-turut. Hal ini
bertentangan dengan asas perlindungan dan asas kebermanfaatan yang
berupaya melindungi serta memberikan manfaat kesejahteraan bagi tenaga
kerja. Tentunya hal ini mempengaruhi tingkat produktivitas dari pekerja.
Produktivitas pekerja merupakan salah satu indikator untuk mengatur

112
Otti Ilham Khair. (2021). “Analisis Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Perlindungan Tenaga
Kerja di Indonesia”. Widya Pranata Hukum Vol. 3 No. 2. hlm. 53.

56
tingkat efisiensi. Sebab, pencapaian target serta prestasi manajemen sangat
tergantung pada produktivitas pekerja, dalam hal ini produktivitas Sumber
Daya Manusia (SDM).113
2. Kajian Praktik Tenaga Kerja Asing (TKA)
Indonesia sebagai salah satu negara yang mengikatkan diri sebagai
anggota dari World Trade Organization (WTO) dengan melakukan ratifikasi
terhadap The Agreement of World Trade Organization Establishment dan
yang secara resmi menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.
Sebagai salah satu anggota dari WTO, maka Indonesia harus menjalankan
kewajibannya sebagai anggota WTO untuk membuka akses pasar negara
anggotanya, baik dalam perdagangan maupun jasa. Salah satu bentuk
perdagangan jasa yang cukup rentan dan menjadi potensial yakni dikenal
dengan Tenaga Kerja Asing (TKA).114
Perwujudan atas kewajiban pelaksanaan komitmen terhadap WTO,
maka semenjak saat itu TKA bisa masuk ke Indonesia. Menanggapi hal
tersebut, Indonesia membentuk peraturan terkait ketenagakerjaan yang juga
mengatur lalu lintas masuk dan keluarnya TKA di Indonesia. Hingga
pembaharuan pengaturan terkait ketenagakerjaan di perbaharui dalam
Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, dalam pengaturan tersebut
memudahkan TKA untuk mendapat izin dengan mudah untuk masuk dan
bekerja di Indonesia. Hal tersebut bertentangan dengan kondisi masyarakat
saat ini, terkhususnya di masa pandemi COVID-19 ini.
Kedatangan TKA ke Indonesia disaat meningkatnya tingkat
pengangguran serta larangan untuk mudik akibat krisis yang diakibatkan oleh
pandemi COVID-19 sangat bertentangan dengan tujuan dari negara
Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Penggunaan TKA

113
Disnaker. (2019). “Produktivitas Tenaga Kerja”. dari
(https://disnaker.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/produktivitas-tenaga-kerja-42).
diakses pada tanggal 26 April 2022 pukul 21.39.
114
Frankiano B. Randang. (2011). “Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia dalam Menghadapi
Persaingan dengan Tenaga Kerja Asing”. Servanda Jurnal Ilmiah Hukum. hlm. 66.

57
yang tidak tepat waktu dan tepat sasaran dapat menimbulkan rasa
kesenjangan dan ketidaksesuaian dengan perwujudan kesejateraan rakyat.
Pengaturan terkait penggunaan TKA lebih lanjut diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor Nomor 34 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Asing. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut mengatur lebih lanjut terkait
RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing), batasan waktu
penggunaan TKA beserta masa perpanjangannya, serta pengaturan lainnya.
Peraturan Pemerintah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan
memiliki kedudukan yang lebih rendah dari Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Tap MPR, dan Undang-Undang/Perpu.
Peraturan Pemerintah menjadi peraturan pelaksana dari undang-undang,
yang mana memiliki substansi terkait pengaturan pelaksanaan dari undang-
undang, yang memiliki daya atur yang lebih rendah.115 Serta, apabila
sebagian besar pengaturan dalam undang-undang lebih banyak diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah, akan bertolak belakang dengan tujuan
Omnibus Law sebagai undang-undang yang akan memangkas regulasi, serta
khawatir dasar pembuatan PP lebih mengarah pada kebutuhan politik,
daripada kesejahteraan bersama.
3. Kajian Praktik Outsourcing atau Alih Daya
Outsourcing atau alih daya merupakan suatu sistem kerja yang seiring
berjalannya waktu berkembang menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan
pengusaha untuk melakukan hubungan kerja yang fleksibel, mudah untuk
melakukan perekrutan tenaga kerja serta mudah melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK).116 Meskipun PHK tidak diizinkan, namun pada
dasarnya pekerja alih daya merupakan pekerja yang memiliki Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT). Dalam Undang-Undang Cipta Kerja pun tidak
mengatur pembatasan terkait jenis pekerjaan yang dikerjakan pekerja alih

115
Ni’matul Huda. (2006). “Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan”. Jurnal Hukum Vol. 13 No. 1. hlm. 28.
116
Op.Cit .hlm. 5.

58
daya, yang mana pada umumnya, pekerja alih daya hanya bekerja di bidang
pekerjaan penunjang saja. Tidak boleh mendapat bagian pekerjaan inti.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal
menyatakan bahwa kerap terjadi perbudakan modern di PT. Perusahaan
Listrik Negara (Persero) atau PLN kepada tenaga kerja alih daya. Banyak
pekerja yang lembur tidak dibayarkan, padahal tenaga kerja alih daya
seringkali diutamakan apabila terjadi kerusakan listrik di suatu tempat. Selain
itu, karyawan alih daya juga diberi THR di bawah ketentuan menteri. Dan
terakhir, PLN memberi perintah kerja kepada tenaga kerja outsourcing diluar
kontrak dengan agen (vendor).117
Pemerintah belum melakukan tindakan terkait masalah tersebut karena
pengusaha/perusahaan merasa mereka masih sesuai jalur yang telah
ditetapkan Undang-Undang. Maka perlu ada aturan khusus untuk tenaga
kerja alih daya agar lebih dimanusiakan dengan penetapan pembatasan
pekerjaan tenaga kerja alih daya.
Pada masa yang akan datang, dikhawatirkan perusahaan lebih memilih
menggunakan jasa tenaga kerja alih daya daripada karyawan tetap. Sehingga
perusahaan dapat mempekerjakan karyawan outsourcing untuk segala
macam tugas, termasuk pekerjaan lapangan, pekerjaan lepas, dan pekerja
penuh waktu. Dengan begitu penggunaan tenaga kerja outsourcing akan
semakin bebas jika tidak ada regulasi yang mengaturnya dari pemerintah,
baik Undang-Undang Cipta Kerja maupun aturan lain turunannya.
4. Kajian Praktik Upah Minimum
Upah sebagai bentuk apresiasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan
oleh pekerja. Selain itu, upah merupakan hak dari pekerja serta upah sebagai
tujuan utama bagi seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan di suatu
perusahaan. Upah merupakan kewajiban yang harus dibayarkan pada
pekerja sesuai dengan jenis pekerjaan dan tingkat kesulitan suatu pekerjaan.

117
CNN Indonesia. (2021). “Buruh Bongkar Perilaku PLN Kepada Pegawai Outsourcing”. dari
(https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210610153033-85-652737/buruh-bongkar-perilaku-
pln-kepada-pegawai-outsourcing). diakses pada 27 April 2022 pukul 10.55.

59
Upah Minimum merupakan upah bulanan terendah yang telah
ditetapkan setiap tahunnya sebagai suatu jaring pengaman di suatu wilayah.
Upah minimum sebagai batas terendah nilai upah karena aturan melarang
pengusaha untuk membayar upah pekerjanya kurang dari upah minimum
yang telah ditetapkan.118
Acuan dalam penetapan upah minimum dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Namun, dalam
Undang-Undang Cipta Kerja, acuan penetapan upah minimum berdasarkan
pada pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Menurut Presiden Konferensi
Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, apabila
persyaratan berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi kenaikan upah
minimum setiap tahunnya dapat memilih antara inflasi atau pertumbuhan
ekonomi. Di sisi lain, pekerja tidak mengetahui terkait hal tersebut ataupun
tidak tahu cara membaca neraca cash flow perusahaan. Selain itu, formula
perhitungan besaran upah minimum memiliki formula yang cukup rumit.119
Keputusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan nomor 91/PUU-
XVIII/2020 menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja mengalami cacat secara
formil. Perwakilan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (Perda KSPI)
DKI Jakarta melakukan aksi pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang
memutuskan Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional serta
harus direvisi. Sehingga berdasarkan keputusan MK ini, menuntut agar SK
terkait penetapan UMP untuk dicabut serta menyesuaikan UMP berdasarkan
keberlakuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, diakibatkan Undang-

118
Gajimu. “Pengertian dan mekanisme Penetapan Upah Minimum”. dari
(https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/pengupahan/upah-minimum#apa-yang-dimaksud-
dengan-upah-minimum-). Diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 19.11.
119
Lidya Yuniartha. (2021). “KHL Tetap Relevan Untuk Dasar Penghitungan Upah Minimum”.
dari (https://newssetup.kontan.co.id/news/khl-tetap-relevan-untuk-dasar-penghitungan-upah-
minimum). diakses pada tanggal 1 Mei 2022 pukul 17.00.

60
Undang Cipta Kerja diberikan waktu revisi selama 2 tahun agar bisa berlaku
kembali.120
Kemudian, pada Jumat, 14 Januari 2022 yang lalu, ribuan buruh
melakukan aksi demo di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Aksi tersebut dilakukan sebagai tanggapan serikat pekerja setelah DPR
berencana merevisi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2022. Dalam aksinya
meminta para kepala daerah menaikan upah minimum provinsi atau UMP di
angka 5-7 persen. Ribuan buruh mendesak pemerintah mengevaluasi
kembali ketetapan gubernur yang hanya menaikan UMP buruh relatif
rendah.121
Tolok ukur penetapan upah minimum yang mengacu pada inflasi dan
pertumbuhan ekonomi, upah minimum kabupaten atau kota yang
mensyaratkan berdasarkan rekomendasi dari gubernur, serta penetapan
struktur dan skala upah hanya berdasarkan pada kemampuan perusahaan,
produktivitas serta jabatan dan golongan tertentu. Beberapa hal tersebut
tidak sesuai dengan Asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas
mendapat kehidupan yang layak. Sebab terdapat beberapa permasalahan
yang dinilai hanya menguntungkan di satu pihak saja.
5. Kajian Praktik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diatur dalam perundang-
undangan guna memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dengan dasar
pertimbangan agar tidak terjadi pengangkatan tenaga kerja yang sifat
pekerjaannya secara terus-menerus atau merupakan pekerjaan
tetap/permanen suatu badan.122 Perlindungan tenaga kerja melalui PKWT

120
Eko Ari Wibowo. (2021). “UU Cipta Kerja Inkosntitusional, KSPI Akan Demo Tuntut Revisi
Upah Minimum”. dari (https://nasional.tempo.co/read/1533200/uu-cipta-kerja-inkonstitusional-
kspi-akan-demo-tuntut-revisi-upah-minimum). diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 19.38.
121
Nyoman Ary Wahyudi. (2022). “Ribuan Buruh Demo Geruduk DPR Desak Setop Bahas UU
Cipta Kerja”. dari (https://ekonomi.bisnis.com/read/20220114/12/1489040/ribuan-buruh-demo-
geruduk-dpr-desak-setop-bahas-uu-cipta-kerja). diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 19.47
122
Falentino Tampongangoy. (2013). “Penerapan Sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu di
Indonesia”. Lex Privatum Vol. 1 No.1. hlm. 148.

61
agar memberikan kepastian bagi tenaga kerja serta memberikan keuntungan
juga bagi perusahaan yang hanya membutuhkan pekerja yang hanya bersifat
sementara dengan jangka waktu tertentu.
Pengaturan mengenai PKWT sebenarnya sudah diatur dalam Undang-
Undang Ketenagakerjaan. Hanya saja, dalam Undang-Undang Cipta Kerja
terdapat materi muatan perubahan terkait pengaturan tentang PKWT. Dalam
Undang-Undang Cipta Kerja menghapus batas waktu maksimal dari waktu
tertentu dari suatu pekerjaan. Sebagai tindak lanjut dari ketidakjelasan
ketentuan waktu terkait PKWT, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 35
Tahun 2021. Dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur batasan waktu
terkait PKWT, yakni selama 5 tahun, dengan perpanjangan tidak lebih dari 5
tahun.
Ketidakjelasan penentuan waktu terkait batas waktu pekerja yang
berkaitan dengan PKWT ini dapat menimbulkan rasa ketidakpastian bagi
para pekerja. Selain itu, dengan tidak tegasnya batasan waktu yang tidak
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dapat menyebabkan
perusahaan lebih memilih merekrut pekerja dengan PKWT.
6. Kajian Praktik Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai bentuk pemutusan perjanjian
kerja antara pekerja dengan perusahaan tempat penyelenggara tempat
bekerja. PHK menimbulkan hilangnya hak serta kewajiban bagi pihak
perusahaan maupun pekerja terhadap masing-masing tugas, pokok, dan
fungsinya. Masalah PHK menjadi permasalahan yang paling sensitif dalam
dunia ketenagakerjaan serta perlu mendapat perhatian yang serius dari
semua pihak.123
Pengaturan terkait PHK dalam Undang-Undang Cipta Kerja memberikan
kemudahan bagi perusahaan untuk memberikan surat pemecatan bagi
tenaga kerja, tanpa melakukan perundingan sebagaimana yang diatur dalam

123
Sri Zulhartati. (2010). “Pengaruh Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Karyawan
Perusahaan”. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora Vol. 1 No. 1. hlm. 77.

62
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Namun, dalam Undang-Undang
Cipta Kerja memberikan kesempatan tersebut bagi perusahaan, dengan
melakukan pemecatan tanpa didukung dengan alasan yang jelas.
Perayaan Hari Buruh Sedunia pada tanggal 1 Mei 2021, massa buruh dari
berbagai konfederasi dan serikat menggelar aksi unjuk rasa di sejumlah
daerah. Salah satu tuntutan dalan unjuk rasa tersebut meminta pada
pemerintah untuk mencabut pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja.
Salah satu tuntutan dari aksi unjuk rasa tersebut dikarenakan dalam
pengaturan Undang-Undang Cipta Kerja rentan terjadinya PHK.124 Tentunya
hal ini bertentangan dengan kepastian hukum, sebab tidak adanya
pengaturan dan regulasi yang jelas.

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur Dalam
Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya
Terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo
pada tanggal 2 November 2020 yang merangkum sekitar 79 undang-undang
dan 1.239 pasal menjadi 15 bab dan 174 pasal yang mencakup 11 klaster. 125
Salah satu klaster tersebut ialah klaster ketenagakerjaan. Keunggulan dari
disahkannya Undang-undang Cipta Kerja ialah mempermudah peningkatan
investasi di Indonesia. Selain itu juga diharapkan dengan adanya undang-
undang ini dapat memperluas lapangan kerja disertai dengan mudahnya
penerapan tenaga kerja.
Undang-undang Cipta Kerja digagas sebagai perubahan atas beberapa
undang-undang termasuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

124
Tsarina Maharani. (2021). “5 Poin UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh”. dari
(https://nasional.kompas.com/read/2021/05/01/11505841/5-poin-uu-cipta-kerja-yang-dinilai-
rugikan-buruh?page=all). diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 21.33.
125
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2020). “UU Ciptaker Hadir Untuk Indonesia
Lebih Maju”. dari (https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/30590/t/U U+Ciptaker+Hadir+Unt
uk+Indonesia+lebih+Maju#:~:text=Anggota%20Badan%20Legislasi%20(Baleg)%20DPR%20RI%20
Guspardi%20Gaus%20mengatakan%20bahwa,akan%20dapat%20meningkatkan%20iklim%20inve
stasi). diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 20.13.

63
Ketenagakerjaan. Namun, Undang-undang Cipta Kerja tidak sepenuhnya
memiliki dampak yang positif. Terdapat beberapa aturan yang diatur pada
Undang-undang Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan yang dinilai
merugikan pihak buruh/pekerja. Walaupun begitu, pelaksanaan beberapa
program yang sudah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja tetap berjalan.
Pemerintah dalam melaksanakan Undang-undang Cipta Kerja membuat
Peraturan Pemerintah untuk mengatur aturan lanjutan yang tidak diatur dalam
Undang-undang. Namun, aturan yang dibuat pemerintah belum maksimal
dan/atau masih belum menutupi kekurangan dari UU Cipta Kerja. Dalam
pelaksanaan Undang-undang Cipta Kerja terdapat beberapa program kerja.
Diantaranya Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan Kartu Prakerja. Hal itu
tentu saja berdampak pada keuangan negara secara luas.
Presiden Joko Widodo telah menerbitkan beberapa aturan terkait Program
Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja yang menjadi korban
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). JKP menawarkan bantuan uang tunai,
informasi pasar lowongan kerja, dan pelatihan kerja. JKP diberikan kepada
buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Program ini bertujuan
untuk menjaga martabat kehidupan tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan.126
Pemerintah mendukung program ini secara materil dengan memberi modal
awal demi terlaksananya fungsi BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp.
6.000.000.000.000,- (enam triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN).127
Besarnya anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah dilakukan untuk
kesejahteraan pekerja pasca diberhentikan oleh perusahaan. Menteri
Ketenegakerjaan berpendapat bahwa program JKP tidak membebani lagi iuran
kepada pekerja/buruh karena dana program JKP sudah sepenuhnya berasal dari

126
BPJS Ketenagakerjaan. (2021). dari (https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/jaminan-
kehilangan-pekerjaan.html). diakses pada 28 April 2022. Pukul 11.00.
127
Toto Hari Saputra. (2021). “9 Aspek Keuangan Negara Dalam UU Cipta Kerja Terkait
Peningkatan Investasi”. dari (https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/9-aspek-
keuangan-negara-dalam-uu-cipta-kerja-terkait-peningkatan-investasi/). diakses pada 28 April 2022
pukul 12.15.

64
anggaran pemerintah.128 Dengan adanya bantuan ini juga tidak mengugurkan
kewajiban pengusaha/perusahaan untuk membayar biaya pesangon yang di
PHK.
Program selanjutnya adalah program kartu Prakerja. Program ini
merupakan pengembangan kompetensi kerja dan kewirausahaan berupa
bantuan biaya yang ditujukan untuk pencari kerja, pekerja yang terkena PHK,
atau pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi, termasuk pelaku
usaha mikro dan kecil. Untuk pelaksanaan Program Prakerja, Pemerintah telah
mengalokasikan dana dari APBN sebesar Rp. 21 Triliun, Per Oktober 2021. Dana
tersebut sudah disalurkan kepada 2.7 juta peserta sebesar Rp. 9 Triliun.129
Besarnya dana yang dikeluarkan APBN harus berbanding lurus dengan
program yang dijalankan, sehingga pengeluaran anggaran menjadi efektif dan
tepat sasaran. Meskipun Program JKP memiliki anggaran cukup besar, program
ini dibutuhkan oleh tenaga kerja pasca dikeluarkan oleh perusahaan.
Berdasarkan perubahan materi muatan dalam Undang-undang Cipta Kerja
pada Naskah Akademik ini, diperlukan lembaga baru yaitu Badan Pengawas
Nasional Tenaga Kerja Asing (BPN-TKA) yang merupakan badan turunan dari
Kementerian Ketenagakerjaan. Adapun tugas pokok dan fungsi dari BPN-TKA
adalah untuk mengawasi tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia. Dengan
didirikannya BPN-TKA akan berpengaruh terhadap implikasi beban keuangan
APBN di Indonesia.
Implikasi beban keuangan negara terhadap pembentukan BPN-TKA
diperkirakan meenggunakan anggaran negara sebesar Rp500 Miliar Rupiah.
Anggaran sebesar Rp500 Miliar Rupiah tersebut akan dianggarkan setiap
tahunnya demi terlaksananya sistem pengawasan terhadap penggunaan tenaga
kerja asing di Indonesia. Biaya tersebut dianggarkan untuk gaji karyawan, biaya

128
Vendy Yhulia Susanto. (2022). “Program JKP Tak Gugurkan Kewajiban Perusahaan Bayar
Pesangon Pekerja yang Kena PHK”. dari (https://nasional.kontan.co.id/news/program-jkp-tak-
gugurkan-kewajiban-perusahaan-bayar-pesangon-pekerja-yang-kena-phk). diakses pada 28 April
2022 pukul 12.15.
129
Dany Saputra. (2021). “Kemenkeu: Realisasi Anggaran Kartu Prakerja 2021 Sudah Capai
Rp9,42 Triliun”. dari (https://ekonomi.bisnis.com/read/20211201/9/1472411/kemenkeu-realisasi-
anggaran-kartu-prakerja-2021-sudah-capai-rp942-triliun). diakses pada 28 April 2022.

65
operasional, ATK (Alat Tulis Kerja), biaya tunjangan, serta biaya-biaya lainnya
yang berkaitan dengan kegiatan pengawasan tenaga kerja asing.
Berdasarkan uraian diatas, dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta Kerja terkait ketenagakerjaan memberikan implikasi terhadap beban
keuangan negara dalam pembentukan Badan Pengawas Nasional Tenaga Kerja
Asing. Pembentukan badan tersebut memberikan pengaruh terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Terkait seluruh gagasan perubahan
dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terkait
ketenagakerjaan tidak memberikan pengaruh pada beban keuangan negara
yang signifikan.

66
BAB III
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.130 Pancasila
merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Pandangan hidup adalah
kristalisasi dan institusionalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki, diyakini
kebenarannya, dan menimbulkan tekad untuk mewujudkannya.131 Sebagai
pandangan hidup, nilai-nilai Pancasila yang bersifat nasional dijadikan dasar
sebagai perwujudan dari aspirasi banga Indonesia (cita-cita hidup bangsa).
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, artinya nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diyakini kebenarannya,
kebaikannya, keindahannya, dan kegunaannya oleh bangsa Indonesia yang
dijadikan sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Terdapat konsepsi dasar mengenai kehidupan yang di cita-citakan,
dasar pemikiran, dan gagasan mengenai wujud kehidupan dalam Pancasila.132
Pancasila memberikan arah tentang hukum harus menciptakan keadaan negara
yang lebih baik dengan berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pancasila sebagai pandangan hidup berarti
nilai-nilai Pancasila melekat dalam kehidupan masyarakat dan dijadikan norma
dalam bersikap dan bertindak.

130
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
131
Arlanda Nissa Rahma, dkk. (2021). “Implementasi Pancasila Sebagai Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Sehari-Hari”. Jurpis: Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. Vol. 12 No.
1. hlm. 64.
132
Ibid.

67
Sila kesatu Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
menekankan pada nilai religius. Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan
keterkaitan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan
sakral, suci, agung, dan mulia. Memahami ketuhanan sebagai pandangan hidup
adalah mewujudkan masyarakat yang berketuhanan, yakni membangun
masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai
ridho Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukannya.133 Perilaku dan
perbuatan pengusaha/perusahaan dan tenaga kerja haruslah dilandasi dengan
keimanan serta ketakwaan dan moral yang baik. Dengan begitu tidak terjadi
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pengusaha/perusahaan terhadap
tenaga kerja.
Sila kedua menjelaskan mengenai “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.
Sila ini menekankan sikap kepada sesama manusia untuk berlaku adil tanpa
membedakan satu sama lain, dan mengakui persamaan derajat, serta mengakui
persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia. Dalam sila ini, semua
warga negara Indonesia memiliki hak yang setara dalam pemenuhan
kesejahteraan.134 Dalam hal ini, hak yang harus diperoleh oleh tenaga kerja ialah
hak mendapatkan perlakuan yang adil di dalam perusahaan tanpa membeda-
bedakan dengan tenaga kerja yang lain. Selain itu, tenaga kerja juga memiliki
kewajiban dalam melakukan pekerjaan yang baik dan benar sesuai aturan yang
diatur oleh perusahaan/pengusaha. Dengan begitu, akan terciptanya
harmonisasi yang berkesinambungan antara perusahaan/pengusaha dengan
tenaga kerja dalam membangun sinergitas perusahaan.
Sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia” memiliki arti bahwa keadilan sosial adalah sifat masyarakat yang adil
dan makmur, kebahagiaan buat semua orang, tidak ada penghisapan, tidak ada
penindasan, dan penghinaan, semuanya bahagia, cukup sandang dan

133
Yohana.R.U.Sianturi & Dinie Anggraeni Dewi. (2021). “Penerapan Nilai Nilai Pancasila Dalam
Kehidupan Sehari Hari dan Sebagai Pendidikan Karakter”. Jurnal Kewarganegaraan. Vol. 5 No. 1.
134
Jonathan Averino. (2020). “Implementasi Pancasila Sebagai Dasar Kehidupan Bersama di
Indonesia”. (https://binus.ac.id/character-building/pancasila/implementasi-pancasila-sebagai-
dasar-kehidupan-bersama-di-indonesia/). diakses pada 26 April 2022 pukul 19.05.

68
pangan.135 Nilai keadilan sosial adalah nilai yang menjunjung norma
berdasarkan ketidakberpihakkan, keseimbangan, serta pemerataan terhadap
suatu hal. 136 Seluruh rakyat Indonesia berhak atas penghidupan yang layak,
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dan segala hal yang
berkaitan dengan kesejahteraan warga negara tanpa terkecuali tenaga kerja dan
pengusaha. Pelaksanaan dari sila kelima Pancasila ini sangat penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai aspek. Keadilan sosial
harus dilaksanakan dengan sebenar-benarnya dalam menjalankan pemenuhan
hak tenaga kerja dan pengusaha. Tidak boleh ada penindasan, penghinaan, atau
apapun itu yang melanggar hak asasi manusia, sehingga dapat tercipta
keseimbangan dalam perusahaan antara pengusaha dengan tenaga kerja.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Alinea ke-4 tertulis dengan jelas tujuan terbentuknya negara Indonesia yaitu,
“...untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...”.
Berdasarkan tujuan tersebut, terkait dengan ketenagakerjaan, Indonesia yang
menganut paham negara kesejahteraan,137 berarti terdapat tanggung jawab
negara untuk mengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang
kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public services)
yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh
masyarakat. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara yang demokrasi harus

135
Billyman Laoli, dkk. (2019). “Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa”. Poltekes
Kemenkes Medan. Makalah Jurusan Keperawatan. hlm. 13.
136
Yohana.R.U.Sianturi & Dinie Anggraeni Dewi. Op. Cit. hlm. 224.
137
Hafiz Habibur Rahman. (1971). Political Science and Government, Eighth Enlarged edition
(Dacca: Lutfor Rahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh Das Road), hlm. 89. “… The Social Welfare
Theory of Rights: The advocate of the social welfare theory hold that rights are conditions of social
welfare. They are creations of society, and therefore law, cbustoms, traditions and the natural rights
“should all yield to what is socially useful or socially desireble.” The ultiratians, Bentham and Mill
are the real exponents of the social welfare theory of rights. They set up the principle of the greatest
happiness of the greatest number, and made it the criterion of utility. But, utility, they believed
should be determined by consideration of reason and experience. The social welfare theory of rights
has much to commend. But one cannot say what social welfare actually means. Does it mean the
greatest happiness of the greatest number to be common good? In fact, much political wrong has
been done, during recent time, to the individuality of man in the name of social goods.”

69
mewujudkan tujuan tersebut termasuk memberikan perlindungan dan jaminan
kesejahteraan umum terhadap seluruh rakyat Indonesia khususnya tenaga kerja
dan pengusaha.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.138
Hari libur dan cuti tahunan merupakan hak dari setiap pekerja, yang harus
dipenuhi oleh setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja. Dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, hari libur dan cuti tahunan diatur
dalam Pasal 81 Angka 23 perubahan atas Pasal 79. Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf
b, menjelaskan bahwa istirahat mingguan hanya selama 1 (satu) hari selama 6
(enam) hari kerja. Dengan terdapatnya perubahan waktu libur yang hanya
berlangsung selama satu hari dalam seminggu, dapat mengurangi waktu
istirahat dari pekerja. Selain itu, kurangnya istirahat dari para pekerja juga dapat
menimbulkan berkurangnya produktivitas dan kinerja dari pekerja.
Berdasarkan Pasal 79 ayat (3), terdapat syarat untuk bisa memanfaatkan
cuti tahunan yang diberikan kesempatan minimal 12 hari. Syarat untuk bisa
memanfaatkan cuti tahunan tersebut yakni dengan bekerja selama 12 bulan
secara berturut-turut. Hal tersebut tentu bertentangan dengan hak setiap
buruh serta mengindikasikan pekerja sebagai budak. Pekerja memang harus
totalitas dalam melakukan pekerjaannya serta meningkatkan produktivitas
serta kinerjanya. Namun, tidak dengan syarat yang sedemikian rupa. Terutama
untuk pekerja wanita, yang mana seharusnya juga diatur terkait cuti hamil, cuti
melahirkan, cuti haid, cuti keguguran, serta kebutuhan cuti lainnya. Hal ini
bertentangan dengan asas perlindungan dan asas kebermanfaatan yang

138
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Op.Cit.

70
berupaya melindungi serta memberikan manfaat kesejahteraan bagi tenaga
kerja.
Terkait Tenaga Kerja Asing, yang mana diatur dalam Pasal 81 Angka 4
perubahan atas Pasal 42 memberikan kemudahan perizinan masuk bagi TKA
hanya dengan menggunakan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja (RPTKA) yang
telah disahkan Pemerintah Pusat. Selain menggunakan RPTKA, perizinan
masuknya TKA ke Indonesia harus menggunakan Izin Mempekerjakan Tenaga
kerja Asing (IMTA). Selain itu, tidak adanya batasan yang diberikan terkait
besaran TKA yang masuk ke Indonesia.
Perumusan dan pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja ini
dilakukan pada saat pandemi COVID-19. Disaat banyaknya pekerja Indonesia
yang di PHK diakibatkan oleh perekonomian yang tidak stabil, serta larangan
untuk melakukan mudik disaat libur lebaran, Indonesia secara terbuka memberi
kebebasan masuk bagi TKA. Salah satu fenomena yang pernah terjadi yakni
masuknya TKA China yang datang pada saat lebaran tahun 2021.139 Pada tanggal
8 Mei 2021 sebanyak 157 TKA asal China tiba di Indonesia menggunakan
Pesawat Southern Airlines CZ387 dari Ghuangzou. Masih pada masa pandemi
COVID-19, rombongan TKA juga masuk ke Indonesia melalui Bandara Cut Nyak
Dien sebanyak pada pertengahan tahun 2020 sebanyak 500 orang.140
Penjelasan diatas menjadi permasalahan yang serius bagi Indonesia.
Banyaknya tenaga kerja Indonesia yang menganggur, berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa sejak Agustus 2021 terdapat 9,1
juta orang. Walaupun jumlah tersebut menurun sebesar 670.000 per Agustus
tahun 2020 jumlah tersebut tetap tinggi.141 Dengan dimudahkannya TKA masuk

139
Athika Rahma. (2021). “TKA China Melenggang ke Indonesia Gara-Gara UU Cipta Kerja?”.
dari (https://www.liputan6.com/bisnis/read/4558867/tka-china-melenggang-ke-indonesia-gara-
gara-uu-cipta-kerja). diakses pada tanggal 28 April 2022 pukul 11.43.
140
Luthvi Febryka Nola. (2021). “Pengendalian Tenaga Kerja Asing Pada Masa Pandemi COVID-
19”. Puslit Vol. 13 No. 10. hlm. 1.
141
Yohana Artha Uly. (2021). “Jumlah Pengangguran di Indonesia Turun Jadi 9,1 Juta Orang”.
dari (https://money.kompas.com/read/2021/11/05/211102226/jumlah-pengangguran-di-
indonesia-turun-jadi-91-juta-
orang?page=all#:~:text=JAKARTA%2C%20KOMPAS.com%20%2D%20Badan,mencapai%209%2C77
%20juta%20orang.). diakses pada tanggal 28 April 2022 pukul 12.11.

71
ke Indonesia tanpa memprioritaskan penyelesaian permasalahan
pengangguran di Indonesia terlebih dahulu menunjukan belum terwujudnya
kesejahteraan rakyat, terkhususnya bagi tenaga kerja.
Outsourcing dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan alih daya, yang
merupakan pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada
suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa melakukan proses
administrasi dan manajemen berdasarkan definisi beserta kriteria yang telah
disepakati para pihak.142 Pengaturan terkait jenis pekerjaan yang dapat
dilakukan oleh pekerja alih daya tidak diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Sedangkan, dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur
terkait jenis pekerjaan yang dapat dapat dilakukan oleh pekerja alih daya.
Pekerjaan yang tidak boleh dilakukan oleh pekerja alih daya merupakan
pekerjaan yang berkaitan langsung dengan kegiatan pokok seperti proses
produksi, dan hanya boleh bekerja dalam bidang kegiatan penunjang.
Permasalahan yang terjadi sebagai bentuk implementasi dari penerapan
Undang-Undang Cipta Kerja terkait pekerjaan alih daya yakni Presiden
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyatakan bahwa
kerap terjadi perbudakan modern di PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero)
atau PLN kepada tenaga kerja alih daya. Banyak pekerja yang lembur tidak
dibayarkan, padahal tenaga kerja alih daya seringkali diutamakan apabila terjadi
kerusakan listrik di suatu tempat. Selain itu, karyawan alih daya juga diberi THR
di bawah ketentuan menteri. Dan terakhir, PLN memberi perintah kerja kepada
tenaga kerja outsourcing diluar kontrak dengan agen (vendor).143
Berdasarkan pemaparan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Pasal 66 Undang-Undang Cipta Kerja berpotensi untuk menjadikan
permanen sistem alih daya. Yang mana, dalam pasal tersebut tidak memberi
batasan yang jelas, sehingga berpotensi tenaga kerja alih daya dapat diposisikan

142
Bernat Panjaitan. (2016). “Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga Kerja Pada
Perusahaan (Tinjauan Yuridis Terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan). Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 4 No. 1. hlm. 12.
143
Op.Cit.

72
di bagian inti pekerjaan atau bisa juga diposisikan dalam pekerjaan
penunjang.144 Namun, apabila pekerja alih daya diposisikan dalam pekerjaan
bagian inti, berpotensi untuk merugikan pekerja alih daya, sebab pekerja alih
daya hanya mendapatkan upah dan tidak mendapatkan pesangon saat masa
kerjanya berakhir.
Upah Minimum merupakan penerimaan bulanan minimum (terendah)
sebagai bentuk imbalan pengusaha terhadap pekerjanya atas jasa yang telah
dilakukannya serta dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan
atas dasar suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan serta
dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan
pekerjanya termasuk tunjangan, baik pekerja maupun keluarganya.145 Upah
minimum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 terbagi atas
Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan
Upah Minimum Sektoral. Penentuan UMP dalam Pasal 81 angka 25 perubahan
atas Pasal 88C ayat (1) menentukan penetapan UMP menjadi kewajiban
Gubernur.
Pasal 88C ayat (2) menjelaskan bahwa dalam penetapan UMK, gubernur
dapat menetapkan dengan syarat tertentu. Dengan dapatnya gubernur dalam
menetapkan UMK, melalui syarat tertentu, tidak memberikan kebebasan bagi
pemerintahan kabupaten/kota dalam menentukan UMK wilayahnya masing-
masing. Sebab, pemerintah kabupaten/kota lebih mengetahui potensi SDM
maupun SDA wilayahnya sendiri. Selain itu, acuan penetapan upah minimum
tidak lagi berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), melainkan berdasarkan
pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Yang mana, apabila acuan berdasarkan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tidak memberikan kepastian dan besaran
upah tidak tetap serta tidak memperhatikan komponen kelayakan kehidupan
setiap buruh. Serta, Berdasarkan dalam Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Cipta

144
Nurul Hayat. (2020). “Peneliti LIPI: Pasal 66 UU Cipta Kerja Melanggengkan Sistem Alih
Daya.” dari (https://www.antaranews.com/berita/1770021/peneliti-lipi-pasal-66-uu-cipta-kerja-
melanggengkan-sistem-alih-daya). diakses pada tanggal 20 April 2022 pukul 12.59.
145
Febrika Nurtiyas. Skripsi: “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Upah Minimum
Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2010-2014.” (Yogyakarta: 2016).

73
Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 acuan struktur dan skala
upah hanya berdasarkan kemapuan perusahaan, produktivitas, golongan serta
jabatan.
Tahun 2021 lalu, ribuan buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak kenaikan
UMP 2022 yang telalu kecil. Demo yang dilakukan berlangsung disejumlah kota,
seperti Jakarta, Bandung, dan lainnya. Kenaikan UMP yang dinilai kecil, yakni
kenaikan sebesar 1,09% diakibatkan oleh kondisi ekonomi dan inflasi yang
rendah. Demo yang dilakukan terkait kenaikan UMP 2022 yang rendah
dilakukan oleh elemen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI).
Besaran UMP 2021 di DKI Jakarta yakni sebesar Rp. 4.416.186,548. Sedangkan
dengan kenaikan yang hanya 1,09%, UMP DKI Jakarta tahun 2022 hanya naik
menjadi Rp. 4.452.724.146 Hal ini menunjukan ketidakefektifan pertumbuhan
ekonomi dan inflasi sebagai acuan besaran upah minimum sebab, tidak
menunjang kebutuhan hidup layak bagi kesejahteraan buruh.
Perjanjian Kerja merupakan kesepakatan yang dilakukan antara pengusaha
dengan pekerja yang berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan. Perjanjian
kerja terbagi menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu,
yaitu perjanjian kerja antar pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan
tertentu.147 Dalam Pasal 81 angka 15 perubahan atas Pasal 59 tidak
memberikan batasan waktu terkait jangka waktu bekerja pekerja PKWT.
Namun, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, beberapa waktu
setelah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, barulah diatur terkait batasan
waktu pekerja PKWT, yakni selama 5 tahu, dengan masa perpanjangan kerja
tidak lebih dari 5 tahun.

146
Adi Wikanto. (2021). “Tolak Kenaikan UMP 2022, Buruh Akan Demo di Lokasi Ini”. dari
(https://regional.kontan.co.id/news/tolak-kenaikan-ump-2022-buruh-akan-demo-di-lokasi-
ini?page=all). diakses pada tanggal 1 Mei 2022 pukul 06.14.
147
Op.Cit.

74
Jangka waktu yang cukup lama dalam PKWT berpotensi pekerja PKWT tidak
bisa diangkat sebagai karyawan tetap. Selain itu, tidak adanya kepastian hukum
bagi pekerja PKWT menjadikan hal tersebut bertentangan dengan asas
kepastian hukum. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar
demonstrasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 12 April
2022. Adapun aturan yang disorot KSPI meliputi empat Peraturan Pemerintah
(PP) turunan yakni PP 34 tentang Tenaga Kerja Asing, PP 35 tentang PKWT, Alih
Daya, Waktu Kerja hingga PHK, PP 36 tentang Pengupahan, dan terakhir PP 37
tentang Penyelenggaraan Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Sekretaris Jenderal
(Sekjen) KSPI Ramidi mengatakan terdapat banyak masalah yang sudah
berulang kali disinggung oleh KSPI, seperti perubahan pesangon, jam kerja,
ketentuan PKWT, hingga dihapusnya aturan Upah Minimum Kabupaten Kota
(UMK).148
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam Undang-Undang Cipta Kerja pun
menjadi permasalahan yang cukup serius. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja
menghapus aturan terkait kewajiban perundingan dalam hal pemutusan
hubungan kerja. Usaha perundingan yang dilakukan antara pengusaha dengan
serikat buruh/buruh untuk menghindari adanya pemutusan hubungan kerja
yang tidak beralasan. Sehingga tetap menjaga hak-hak setiap buruh dan
memberi kepastian.
Ratusan pekerja usaha jasa ekspedisi J&T Tangerang berunjuk rasa di depan
kantor perusahaan itu di Rukan TangCity, Kecamatan Cikokol, Kota Tangerang.
Para pekerja perusahaan jasa kurir tersebut menuntut perusahaan
membatalkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Total pekerja yang di
PHK per tanggal 4 yakni sebanyak 350 pekerja. Para pendemo yang mendatangi
kantor perusahaan itu menyampaikan tuntutannya dengan orasi. Mereka juga
membentangkan spanduk berisi permasalahan yang mereka alami. Selain
persoalan PHK yang menakutkan ratusan pekerja, kebijakan perusahaan terkait

148
Dimas Choirul. (2021). “Demo di MK, KSPI: Cabut UU Cipta Kerja!”. dari
(https://nasional.okezone.com/read/2021/04/12/337/2393302/demo-di-mk-kspi-cabut-uu-cipta-
kerja). diakses pada tanggal 1 Mei 2022 pukul 07.27.

75
sistem kerja melibatkan pihak ketiga (vendor) merugikan para kurir. Selain itu,
para pekerja juga mempertanyakan hak pembayaran gaji yang dinilai tidak
sesuai. Selain itu, kebijakan perusahaan tidak berpihak kepada pekerja dengan
target para kurir diminta mengantarkan 300 paket dalam sehari.149
Berdasarkan uraian landasan sosiologis diatas, perlu adanya perubahan
terkait substansi dan materi muatan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Maka,
perlu adanya Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Terkait
Ketenagakerjaan.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan
Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain,
peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau
tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang
sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak
memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.150
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI)
Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Setiap Warga Negara
Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Menjadi dasar bahwa seluruh warga negara Indonesia memiliki
hak yang sama baik atas pekerjaan dan penghidupan sesama manusia.

149
Kirom. (2021). “Tuntut Pembatalan PHK, Ratusan Pekerja Perusahaan Ekspedisi di Tangerang
Gelar Demo”. dari (https://www.merdeka.com/peristiwa/tuntut-pembatalan-phk-ratusan-pekerja-
perusahaan-ekspedisi-di-tangerang-gelar-demo.html). diakses pada tanggal 1 Mei 2022 pukul
09.24.
150
Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.Op. Cit

76
Kemudian dalam Pasal 28D ayat (2) juga menjelaskan bahwa, “Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja”. Berdasarkan pasal tersebut setiap orang
termasuk tenaga kerja dan pengusaha berhak mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dalam bekerja.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dalam
Pasal 1 Angka 1 yang menjelaskan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 151
Sama halnya dengan pekerja/buruh dan pengusaha yang memiliki hak asasi
manusia sejak lahir yang harus dilindungi dan dihormati oleh negara. Dengan
begitu diharapkan tidak terjadi ketimpangan maupun diskriminasi antara
pekerja/buruh dengan pengusaha dalam hubungan kerja. Yang nantinya dengan
saling menghormati hak masing-masing dapat saling membantu dan
melengkapi dalam mencapai tujuan bersama. Karena pada dasarnya semua
orang memiliki hak asasi manusia yang harus dilindungi.
Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang
menyebutkan bahwa:
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan,
berhak atas pekerjaan yang layak;
(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan
berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil;
(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang
sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat
perjanjian kerja yang sama;
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang
sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil

151
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

77
sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan
keluarganya.
Pasal 38 tersebut menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak atas
pekerjaan yang layak. Setiap orang juga berhak dalam memilih pekerjaan yang
disukainya dengan syarat-syarat yang adil. Kemudian baik pria maupun wanita
dengan pekerjaan yang sebanding maka berhak mendapatkan upah yang sama
dan adil serta syarat perjanjian yang sama pula tanpa adanya perbedaan
sehingga dapat menjamin kehidupan setiap warga negara dan keluarganya.
Undang-Undang Ketenagakerjaan merupakan peraturan yang mengatur
berbagai hal terkait dengan ketenagakerjaan di Indonesia. Undang-undang
tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang mana memuat aturan sebagai berikut: (1) Landasan, asas, dan tujuan
pembangunan ketenagakerjaan; (2) Perencanaan tenaga kerja dan informasi
ketenagakerjaan; (3) Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi
tenaga kerja; (4) Pelatihan kerja; (5) Pelayanan penempatan tenaga kerja; (6)
Penggunaan tenaga kerja asing; (7) Pembinaan Hubungan Industrial; (8)
Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial; (9) Perlindungan bagi
pekerja termasuk hak-hak dasarnya; dan (10) Pengawasan ketenagakerjaan.152
Berdasarkan Pasal 4 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Kesejahteraan pekerja merupakan
pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan
rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja yang secara langsung
atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan
kerja yang aman dan sehat. 153 Dengan tingkat kesejahteraan yang memadai
akan mendukung kinerja dan produktivitas dari pekerja itu sendiri dan dengan

152
Daud Silalahi & Lawencon Associates. (2021). “UU Ketenagakerjaan: Sejarah &
Perkembangannya di Indonesia”. (https://www.dslalawfirm.com/id/sejarah-undang-undang-
ketenagakerjaan/#respond). diakses pada 30 April 2022 pukul 14.00.
153
Pasal 1 angka 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

78
kinerja yang bagus maka dapat mendukung dalam mencapai tujuan
perusahaan. Selain memberikan kesejahteraan, tenaga kerja juga harus
mendapatkan perlindungan dalam mencapai kesejahteraan tersebut. Hak-hak
dari tenaga kerja harus dilindungi termasuk keluarga tenaga kerja. Oleh karena
itu kesejahteraan tenaga kerja menjadi hal yang harus diperhatikan karena
merupakan bagian dari tujuan adanya undang-undang ketenagakerjaan ini.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengamanatkan setiap
tenaga kerja harus memiliki kesempatan yang sama tanpa adanya diskriminasi
untuk memperoleh pekerjaan. Diskriminasi adalah suatu bentuk sikap dan
perilaku yang melanggar hak asasi manusia. Diskriminasi dapat juga diartikan
sebagai perlakuan berbeda terhadap individu yang didasari dengan faktor
tertentu seperti ras, agama, gender. 154 Dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999, Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan aspek kehidupan lainnya. 155 Segala bentuk diskriminasi tidak
diperbolehkan dalam hal memperoleh kesempatan pekerjaan bagi tenaga kerja.
Semua tenaga kerja memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pekerjaan.
Kemudian dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan
bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa
adanya diskriminasi dari pengusaha. Pengusaha tidak boleh membedakan
perlakuan antara pekerja/buruh yang satu dengan yang lain. Semua harus
diperlakukan sama demi melindungi hak dari semua pekerja/buruh.

154
Linda Unsriana. (2014). “Diskriminasi Gender Dalam Novel Ginko Karya Junichi Watanabe”.
Jurnal Lingua Cultura Vol. 2 No. 1. hlm. 41.
155
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Op. Cit.

79
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagai
undang-undang raksasa yang mencakup 11 klaster termasuk klaster
ketenagakerjaan merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 3 huruf b Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020, salah satu tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Cipta Kerja
ialah untuk menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Setiap warga negara termasuk pekerja/buruh dijamin dalam memperoleh
pekerjaan sehingga diharapkan dengan adanya undang-undang ini
pekerja/buruh dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan dengan lapangan-
lapangan kerja yang diciptakan dari adanya undang-undang ini. Selain itu
pekerja/buruh mendapat imbalan dari pekerjaan yang telah dilakukan yang
diharapkan imbalan yang didapatkan akan sesuai dengan jenis pekerjaan/
produktivitas dari pekerja/buruh tersebut. Sehingga diharapkan dengan
imbalan yang sesuai maka dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja juga menjadi tujuan yang penting dalam mendukung
terciptanya kesejahteraan pekerja/buruh. Pekerja/buruh harus diperlakukan
adil agar tidak ada diskriminasi antar sesama pekerja/buruh, seperti misalnya
pembagian kerja yang sesuai dengan kemampuan dan tanggung jawab,
pembagian gaji/upah, diskriminasi gender, dan sarana pengembangan
kemampuan. 156 Dengan begitu akan terciptanya hubungan kerja yang
harmonis, dinamis, dan berkeadilan dalam perusahaan.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan telah mengeluarkan putusan terkait perkara
pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

156
Gajimu.com. (2022). “Pertanyaan Mengenai Perlakuan Adil di Tempat Kerja”.
(https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/perlakuan-adil-saat-bekerja/Adil%20di%20Tempat%20
Kerja). diakses pada tanggal 30 April 2022 pukul 20.44.

80
NRI 1945).157 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-
XVIII/2020 dalam Bagian II halaman 19 angka 10 bahwa dalam melakukan upaya
pengujian formil suatu Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945 terdapat syarat
yang harus dipenuhi. Syarat tersebut telah ditegaskan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 yang menyatakan salah satu
syaratnya adalah:
“Oleh karenanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional setiap
warga yang telah memberikan hak pilih dalam pemilihan umum, yang
menghasilkan terpilihnya wakil rakyat di DPR, dipandang terjadi ketika wakil
rakyat secara kelembagaan tidak melaksanakan tugas yang dipercayakan secara
fair, jujur, wajar dan bertanggung jawab. Tugas utama anggota DPR adalah hadir
di dalam rapat-rapat DPR untuk menyuarakan aspirasi konstituennya serta
mengambil keputusan dengan prosedur dan tata cara yang fair dan jujur,
sehingga Undang-Undang dan kebijakan lain yang dibentuk, yang bukan
merupakan hasil kerja yang fair, jujur, dan sungguh-sungguh, yang harus
mengikat warga negara secara keseluruhan termasuk Pemohon a quo, pasti
menimbulkan kerugian konstitusional bagi pemberi mandat. Ukuran fairness,
kejujuran, kesungguhan, dan kepercayaan tersebut dijalankan secara
bertanggung jawab, adalah kehadiran yang sungguh-sungguh dalam rapat DPR
sehingga tidak merupakan hambatan berkenaan dengan kuorum yang tidak
terpenuhi, karena ketidaksungguhan tersebut, serta menaati prosedur dan tata
cara pengambilan keputusan yang telah ditentukan”.
Syarat-syarat tersebut telah dilanggar dalam proses pembentukan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Dalam Bagian II halaman 21
angka 12 Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menjelaskan bahwa dalam
proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja secara nyata-nyata dan
terang benderang, serta telah diketahui publik, dalam membentuk Undang-
Undang Cipta Kerja, Pembentuk Undang-Undang menggunakan cara yang

157
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. “Kedudukan dan Kewenangan”.
(https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=3&menu=2). diakses pada 30 April 2022
pukul 21.23.

81
menunjukkan tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara terbuka, fair,
jujur, dan bertanggung jawab. Bahkan selama proses pembentukan Undang-
Undang Cipta Kerja, pembentuk Undang-Undang melakukan prosesnya secara
tertutup, tidak fair, dan banyak melakukan kebohongan publik. Terutama pasca
disetujuinya Bersama RUU Cipta Kerja oleh DPR dan Presiden pada tanggal 05
Oktober 2020. Hal ini harus menjadi perhatian penting dalam membentuk
suatu perundang-undangan.
Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terdapat asas keterbukaan.
Maksudnya ialah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.158 Dengan
demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
luasnya dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara tidak
langsung Undang-Undang Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan yang
ada dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Jika asas keterbukaan tidak
diimplementasikan maka akan berimplikasi kurang terbangunnya kesadaran
masyarakat dalam menerapkan hukum. Dalam Putusan MK tersebut juga
menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan
pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD NRI 1945 dan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 (Cacat Formil/Cacat Prosedural).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan
pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional dengan sejumlah
syarat yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan poin [3.19] dalam
pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan terdapat tiga
alasan mengapa proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja harus
dinyatakan cacat formil, yaitu (1) tata cara pembentukan Undang-Undang Cipta
Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar,

158
Penjelasan atas Asas Keterbukaan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

82
serta sistematika pembentukan undang-undang; (2) terjadinya perubahan
penulisan beberapa substansi pasca persetujuan Bersama DPR dan Presiden;
dan (3) bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan.
Undang-Undang Cipta Kerja dalam pelaksanaannya menerbitkan peraturan
dibawahnya khususnya dalam bidang ketenagakerjaan yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing,
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan
Pemutusan Hubungan Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021
tentang Pengupahan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Progam Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Peraturan-peraturan
tersebut mengatur lebih lanjut mengenai substansi atau penyelenggaraan yang
di dalam Undang-Undang Cipta Kerja dianggap masih belum dijelaskan secara
komprehensif. Namun hadirnya PP tersebut menimbulkan penolakan dari
serikat buruh.159 Terkait dengan Pengupahan, variable baru perhitungan upah
tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara yuridis diperlukan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terkait
Ketenagakerjaan yang diharapkan dapat memberikan solusi dan penyelesaian
masalah terkait permasalahan di bidang ketenagakerjaan sehingga terwujudnya
kesejahteraan sosial terkhususnya bagi tenaga kerja di Indonesia.

159
CNN Indonesia. (2021). “Serikat Buruh Bakal Demo Tolak Aturan Turunan UU Cipta Kerja”.
(https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210225132028-92-
610770/serikat-buruh-bakal-demo-tolak-aturan-turunan-uu-cipta-kerja/amp). diakses pada
tanggal 30 April 2022 pukul 14.50.

83
BAB IV
ANALISIS (JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN)

A. Sasaran
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Terkait
Ketenagakerjaan bertujuan untuk memberikan usulan gagasan baru, serta
memberikan penyempurnaan beberapa pengaturan dalam Undang-Undang
Cipta Kerja demi tercapainya kesejahteraan sosial, terkhususnya pekerja/buruh.
Sebagaimana yang dimaksud dalam Alinea Ke-4 Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), bahwa
salah satu tujuan dari Negara Indonesia yakni untuk memajukan kesejahteraan
umum. Maka, perlu diwujudkan melalui pengaturan yang efektif serta merata
sehingga seluruh pihak, baik pekerja, pengusaha, maupun pemerintah
mendapat kesejahteraannya.

B. Jangkauan dan Arah Pengaturan


Jangkauan dan arah pengaturan dalam Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja Terkait Ketenagakerjaan mencakup penyempurnaan dan
penambahan gagasan pengaturan terkait Hari libur dan cuti tahunan,
mengawasi serta membatasi kinerja TKA di Indonesia. Selain itu, mengubah
pengaturan terkait acuan besaran upah minimum serta struktur dan skala upah.
Kemudian, memperjelas bidang pekerja alih daya, memperjelas dan
mempertegas pengaturan terkait batas waktu PKWT, serta mengembalikan
gagasan terkait perundingan PHK antara serikat buruh/buruh dengan
pengusaha.
Perubahan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja akan menjangkau subjek
pengaturan antara lain serikat buruh/buruh, serikat pengusaha/pengusaha,

84
pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Objek yang diatur dalam gagasan
perubahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yaitu:
1. Penambahan waktu libur serta penghapusan syarat terkait praktik cuti
tahunan sehingga tidak mengindikasikan perbudakan serta meningkatkan
produktivitas setiap pekerja dengan waktu libur dan cuti yang baik;
2. Pengembalian pengaturan terkait IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja
Asing), serta memberikan batasan penggunaan Tenaga Kerja Asing di
Indonesia (TKA) serta mengawasi kinerja TKA dengan membentuk Badan
Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing (BPN-TKA);
3. Mengubah acuan besaran upah minum, kembali berdasarkan KHL
(Kebutuhan Hidup Layak), mengembalikan struktur dan skalah upah sebagai
perhitungan upah bagi perusahaan, serta memberikan wewenang pada
Gubernur untuk memberikan batasan maksimal Upah Minimum
Kabupaten/Kota;
4. Penambahan gagasan terkait batas waktu pekerja PKWT menyesuaikan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 Tentang Penggunaan
Tenaga Kerja Asing beserta perpanjangannya;
5. Penambahan substansi terkait penjelasan jenis/bidang pekerjaan bagi
pekerja alih daya; dan
6. Pengembalian pengaturan terkait perundingan pra Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) antara serikat buruh/buruh dan pengusaha sehingga
menghindari terjadinya PHK sepihak.

C. Ruang Lingkup dan Materi Muatan


1. Ketentuan Umum
Perubahan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dalam ketentuan
umum terdapat penambahan ayat terkait pengertian Badan Pengawas
Tenaga Kerja Asing. Dalam ketentuan umum, ditambahkan istilah IMTA (Izin
Menggunakan Tenaga Kerja). Dalam ketentuan umum, Izin Menggunakan
Tenaga Kerja Asing, yang selanjutnya disebut IMTA adalah perizinan yang

85
diberikan oleh pemerintah guna mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di
Indonesia, yang telah lulus dalam perizinan pada tahap Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Selanjutnya, Badan Pengawas Nasional Tenaga
Kerja Asing, yang selanjutnya disingkat BPN-TKA adalah badan di bawah
Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang mengawasi Tenaga Kerja
Asing selama bekerja di Indonesia.

2. Materi Muatan
a. Hari Libur dan Cuti Tahunan
Ketentuan Pasal 81 Angka 23 perubahan atas Pasal 79 ayat (2) huruf
b menjelaskan bahwa, “Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu” diubah. Perubahan mengatur waktu
istirahat mingguan menjadi 2 (hari) untuk waktu kerja selama 5 (lima)
hari.
Ketentuan Pasal 79 ayat (3) menjelaskan bahwa, “Cuti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada
pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja
setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus” diubah. Terkait persyaratan cuti tahunan,
yakni ditunjukan dalam frasa “secara terus menerus” dihapuskan.
Kemudian,perubahan berupa penyisipan ayat diantara ayat (3) dan ayat
(4) yang membahas substansi terkait pengaturan cuti tahunan bagi
pekerja yang telah bekerja kurang dari 12 (dua belas bulan), sehingga
perubahan substansi beberapa ayat tersebut berpengaruh terhadap ayat-
ayat berikutnya.
b. Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA)
Ketentuan Pasal 81 Angka 4 perubahan atas Pasal 42 ayat (1)
menjelaskan bahwa, “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga
kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang
disahkan oleh Pemerintah Pusat”. Selanjutnya, terdapat penambahan

86
ayat baru terkait tahapan perizinan bagi TKA yang akan masuk ke
Indonesia dengan menambahkan IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja
Asing).
Pasal 42 ayat (4) menjelaskan bahwa, “Tenaga kerja asing dapat
dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan
tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan
jabatan yang akan diduduki”. Penambahan pasal dengan melakukan
penyisipan diantara Pasal 42 dan Pasal 43, yakni Pasal 42A yang mengatur
terkait perubahan dengan melakukan penambahan ayat dengan substansi
terkait jumlah batasan penggunaan TKA di Indonesia, dengan batas
maksimal penggunaan TKA di Indonesia sebesar 15% berdasarkan jumlah
angkatan kerja setiap tahunnya di Indonesia serta waktu kerja bagi tenaga
kerja asing dan waktu perpanjangannya.
Penyisipan pasal 42B diantara Pasal 42A dan Pasal 43 dengan
substansi terkait Badan Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing (BPN-TKA),
terkait kewenangannya dalam mengawasi penggunaan TKA di Indonesia
dan mengatur mengenai keanggotaan badan tersebut yang selanjutnya
diatur dalam Peraturan Menteri.
Ketentuan Pasal 81 angka 5 dan 6 perubahan atas Pasal 43 dan 44
yang dihapus dilakukan perubahan, yakni dengan memunculkan kembali
pasal-pasal tersebut dengan menyisipkan Pasal 43A yang memuat
pertimbangan serta kedudukan dan tata cara pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja asing. Selanjutnya dilakukan penyisipan Pasal
44A diantara Pasal 43A dan Pasal 45 dengan mengatur bahwa pemberi
kerja wajib menaati peraturan mengenai jabatan dan standar kompetensi
yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
c. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), serta Struktur dan Skalah Upah
Pasal 81 Angka 25 perubahan atas Pasal 88C menjelaskan bahwa:
(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.

87
(2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/ kota
dengan syarat tertentu.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
(4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 meliputi
pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang
bersangkutan.
(5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.
(6) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang
berwenang di bidang statistik.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan syarat tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.”
diubah sebagaimana yang dimaksud dalam lampiran draf rancangan
undang-undang, yaitu:
(1) Gubernur dapat menetapkan menetapkan upah minimum provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan besaran batas maksimal upah
minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
(3) Penetapan besaran batas maksimal upah minimum kabupaten/kota
dengan melibatkan perserikatan buruh dan pengusaha.
(4) Besaran batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bahwa
Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan besaran upah
minimum kabupaten/kota.
(5) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak.
(6) Upah minimum kabupaten/kota harus lebih tinggi dari upah
minimum provinsi.

88
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum
diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah.
d. Batas Kerja bagi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Pasal 81 Angka 15 perubahan atas Pasal 59 ayat (1) menjelaskan
bahwa:
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama;
c. pekerjaan yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan; atau
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.”
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan perubahan pada
Pasal 59 ayat (1) huruf b dengan ketentuan bahwa pekerjaan
diperkirakan selesai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Selanjutnya
terdapat penambahan ayat (5) yang mengatur terkait perpanjangan
pekerjaan PKWT jika pekerjaan tersebut belum selesai dengan ketentuan
perpanjangan tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
e. Pembatasan Jenis Pekerjaan Alih daya
Pasal 81 Angka 20 perubahan atas Pasal 66 menjelaskan bahwa:
“(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh
yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat
secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian
kerja waktu tidak tertentu.

89
(2) Pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat
kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi
tanggung jawab perusahaan alih daya.
(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan
pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi
pergantian perulsahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya
tetap ada.
(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk
badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.”
Dilakukan penyisipan 1 (satu) pasal antara Pasal 66 dan Pasal 77 yaitu Pasal
66A dengan mengatur bahwa pekerja/buruh pada perusahaan alih daya
dilarang untuk dipekerjakan pada bagian pokok di perusahaan, melainkan
hanya diperbolehkan bekerja di bagian penunjang dengan syarat adanya
hubungan dan perjanjian kerja antara kedua belah pihak.
f. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Ketentuan Pasal 81 Angka 37 perubahan atas Pasal 151 ayat (1)
menjelaskan bahwa, “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja serikat
buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi
pemutusan hubungan kerja.”

90
Ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3) diubah dengan ketentuan bahwa
dalam pemutusan hubungan kerja wajib adanya perundingan bipartit
antara pengusaha dan pekerja/buruh. Selanjutnya pada ayat (3) jika tidak
terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka penyelesaian
masalah tersebut diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Ketentuan pada ayat (4) dihapuskan.

91
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan dalam hal-hal sebagai


berikut:
1. Penyusunan RUU mengenai Perubahan Undang-Undang Tentang Cipta
Kerja dilakukan dalam rangka mengakomodasi Putusan MK Nomor
91/PUU-XVIII/2020 dan pemenuhan aspirasi dari berbagai kalangan yang
pada awalnya meminta agar Undang-Undang Cipta Kerja tidak disahkan.
Perubahan dilaksanakan berdasarkan nilai yang terkandung sesuai butir-
butir sila ke-4.
2. Perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini
dilakukan untuk pengoptimalan dan pengelolaan pengusaha/perusahaan
dalam pemanfaatan tenaga kerja di tingkat nasional sehingga produktivitas
pekerja dapat lebih maksimal tanpa adanya tindak diskriminatif dalam
bentuk apapun. Perubahan Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini disusun
karena adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat
dan mengakomodasi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Tentang
Undang-Undang Cipta Kerja.
3. Adapun materi muatan yang akan diatur dalam RUU Perubahan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja adalah adanya
perubahan ketentuan pasal, yaitu pada Pasal 81 angka 4 perubahan atas
Pasal 42, Pasal 81 angka 15 perubahan atas Pasal 59, Pasal 81 angka 20
perubahan atas Pasal 66, Pasal 81 angka 23 perubahan atas Pasal 79, Pasal
81 angka 25 perubahan atas Pasal 88C, Pasal 81 angka 30 perubahan atas
Pasal 92, dan Pasal 81 angka 37 perubahan atas Pasal 151, dengan uraian
sebagai berikut:
a. Ketentuan Pasal 81 angka 4 perubahan atas Pasal 42, disisipkan Pasal
42B diantara Pasal 42A dan Pasal 43;

92
b. Ketentuan Pasal 81 angka 15 perubahan atas Pasal 59 dilakukan
perubahan pada Pasal 59 ayat (1) huruf b dan penambahan 1 (satu)
ayat;
c. Ketentuan Pasal 81 angka 20 perubahan atas Pasal 66 disisipkan 1 (satu)
pasal yaitu Pasal 66A diantara Pasal 66 dan Pasal 77;
d. Ketentuan mengenai hari libur dan cuti tahunan yang terdapat pada
Pasal 81 angka 23 perubahan atas Pasal 79 dilakukan perubahan pada
Pasal 79 ayat (2) huruf b dan ayat (3) serta penambahan 1 (satu) ayat;
e. Ketentuan pada Pasal 81 angka 25 perubahan atas Pasal 88C dilakukan
perubahan pada Pasal 88C;
f. Ketentuan pada Pasal 81 angka 30 dilakukan perubahan pada Pasal 92
ayat (1);
g. Ketentuan pada Pasal 81 angka 37 perubahan atas Pasal 151 dilakukan
perubahan pada Pasal 151 dengan mengubah 2 (dua) ayat dan
menghapus 1 (satu) ayat.
4. Sasaran dalam penyusunan naskah akademik ini disusun dalam rangka
penyempurnaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja. Arah dan jangkauan pengaturan merupakan bentuk perancangan
undang-undang yang telah di gagas. Pada bab sebelumnya, telah
dipaparkan terkait sasaran, arah dan jangkauan pengaturan, serta ruang
lingkup materi yang akan di susun lebih lanjut dalam rancangan undang-
undang.
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-
Undang Cipta Kerja. Perubahan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja harus
segera diwujudkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang secepat
mungkin dibahas di DPR. Dalam penyusunan perubahan Undang-Undang Cipta
Kerja diharapkan dapat melibatkan partisipasi masyarakat sehingga Undang-
Undang yang dibentuk dapat sesuai dengan ciri negara Indonesia yaitu negara
demokrasi. Sebagai tindak lanjut Undang-Undang ini jika sudah disahkan, maka
perlu diatur mengenai aturan pelaksanaanya berupa Peraturan Pemerintah.

93
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Abdullah Sulaiman, dkk. (2019). Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan. Yayasan
Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM): Jakarta.
Achmad Irwan Hamzani. (2014). Menggagas Indonesia Sebagai Negara Hukum
yang Membahagiakan Rakyatnya. Yustisia.
Adjat Daradjat Kartawijaya. (2018). Hubungan Industrial. Alfabeta: Bandung.
Agusfian Wahab. (2003). Perburuhan. PT. Grafindo Persada: Jakarta.
Ali Nurdin, dkk. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Faza Media: Jakarta.
Aris Ananta. (1990). Liberalisasi Ekspor dan Impor Tenaga Kerja Suatu Pemikiran
Awal. Pusat Lembaga Demografi. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia.
Carl Joachim Freiedrich. (2004). Filsafat Hukum Perspektif Historis. Nuansa dan
Nusamedia: Bandung.
Dina Susiana. (2020). Perkambangan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.
Pustaka Abadi: Jember.
Dominikus Rato. (2010). Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami
Hukum. Laksbang Pressindo: Yogyakarta.
Dorethea Wahyu A. (2021). Karakteristik dan Konteks Hubungan Industrial. Jakarta.
Edy Sutrisno. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Kencana: Jakarta.
Gatiningsih dan Eko Sutrisno. (2017). Kependudukan dan Ketenagakerjaan. IPDN
Press: Sumedang.
Hafiz Habibur Rahman. (1971). Political Science and Government, Eighth Enlarged
edition (Dacca: Lutfor Rahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh Das Road).
Hans Kelsen. (2011). General Theory of Law and State. (Diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien). Nusa Media: Bandung.
Hartono Judiantoro. (1992). Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
Rajawali Pers: Jakarta.
Hasibuan. (2003). Organisasi dan Motivasi Dasar Peningkatan Produktivitas. Bumi
Aksara: Jakarta.

94
I Nyoman Putu Budiartha. (2016). Hukum Outsourcing. Setara Press: Malang.
Irawan dan M. Suparmoko. (1996). Ekonomika Pembangunan. Edisi Kelima.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Iwan Purwanto. (2006). Manajemen Strategi. Cetakan pertama. Yrama Widya:
Bandung.
Jimly Asshiddiqie. (2020). Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia. Konstitusi
Press (Konpress): Jakarta
Johan Jasin. (2019). Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Era Otonomi
Daerah. Deepublish: Sleman.
John Rawls. (1999). A Theory of Justice, Revised Edition. OUP: Oxford.
John Rawls. (2006). A Theory of Justice. Oxford University Press: London. (Yang
sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo). Teori Keadilan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Koko Kosidin. (1999). Perjanjian kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan
Perusahaan. Mandar Maju: Bandung.
Luis Marmisah. (2019). Hubungan Industrial Dan Kompensasi (Teori Dan Praktik).
Deepublish: Sleman.
M. Agus Santoso. (2014). Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum.
Cetakan kedua. Kencana: Jakarta.
Malayu S.P. Hasibuan. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara:
Jakarta.
Mariot Tua Efendi Hariandja. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. PT
Grasindo: Jakarta.
Mathis, R.L. & J.H. Jackson. (2006). Human Resources Management: Manajemen
Sumber Daya Manusia”. Terjemahan Dian Angelia. Salemba Empat: Jakarta.
Mohammad Fandrian Adhistiro, dkk. (2021). Hukum Ketenagakerjaan. Unpam
Press: Tangerang Selatan.
Mulyadi. (2012). Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan.
Cetakan Kelima. Rajawali Pers: Jakarta.

95
Rasul Syahrudin. (2002). Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan
Anggaran. Detail Rekod: Jakarta.
Robert. G. (1999). The Real Worlds of Werfare Capitalism. Cambridge University
Press: Cambridge.
Sahya Anggara. (2012). Ilmu Administrasi Negara. Pustaka Setia: Bandung.
Satjipto Rahardjo. (2000). Ilmu hukum. Cetakan ke-V. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Satjipto Rahardjo. (2014). Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Setiyono. (2014). Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik. CAPS: Yogyakarta.
Simarmata, T.H. (1998). Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan
kebijakan dan Perbandingan Pengalaman. PSIK Piramida: Jakarta.
Sonny Sumarsono. (2003). Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan
Ketenagakerjaan. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Sumarto Hetifa. (2003). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Bandung:
Yayasan Obor Indonesia.
Sumitro Djojohadikusumo. (1987). Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan
Perkembangan. LP3ES: Jakarta.
Suteki, Galang Taufani. (2018). Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan
Praktik). Rajawali Pers: Depok.
Tjepi F. Aloewic. (1996). Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja
dan Penyelesaian Perselisihan Industrial. Cetakan ke-11. BPHN: Jakarta.
Wirawan. (2012). Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Salemba Empat: Jakarta.
Yamin, M. (1959). Naskah Persiapan UUD 194: Risalah Sidang BPUPKI/PPKI.
Sekretariat Negara RI: Jakarta.

ARTIKEL JURNAL
Adhi Setyo Prabowo, dkk. (2020). Politik Hukum Omnibus Law di Indonesia. Jurnal
Pamator Vol.13 No.1.
Agus Darmawan. (2020). Politik Hukum Omnibus Law Dalam Konteks
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Indonesian Journal of Law and Policy
Studies Vol. 1 No.1.

96
Agus Suryono. (2014). Kebijakan Publik Untuk Kesejahteraan Rakyat. Jurnal Ilmiah
Volume. 6 No. 2.
Akhmad Faozan. (2013). Implementasi Good Corporate Governance dan Peran
Dewan Pengawas Syariah di Bank Syariah. La_Riba Jurnal Ekonomi Islam
Vol. 7 No. 1.
Alvira Oktavia Safitri, dkk. (2021). Pancasila Sebagai Dasar Negara dan
Implementasinya dalam Berbagai Bidang. EduPsyCouns Journal Vol. 3 No.
1.
Arlanda Nissa Rahma, dkk. (2021). Implementasi Pancasila Sebagai Pandangan
Hidup Bangsa Indonesia Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Jurpis: Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial. Volume. 12 No. 1.
Bagir Manan, dkk. (2016). Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. PJIH Vol. 3 No. 3.
Bernat Panjaitan. (2016). Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga Kerja
Pada Perusahaan (Tinjauan Yuridis Terhadap Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Jurnal Ilmiah “Advokasi” Vol. 4 No.
1.
Dewi Mulyanti. (2017). Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah Melalui
Judicial Riview dan Executive Riview. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol. 5 No.
1.
Djauhari. (2014). Pergederan pemikiran negara kesejahteraan pasca amandemen
UUD 1945. Jurnal Pembaharuan Hukum. Volume I No. 3 September-
Desember 2014.
Eri Susan. (2019). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jurnal Manajemen
Pendidikan Islam. Volume. 9 No. 2.
Falentino Tampongangoy. (2013). Penerapan Sistem Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu di Indonesia. Lex Privatum Vol. 1 No.1.
Fatimah, dkk. (2019). Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Nilai
Perusahaan dengan Kinerja Keuangan Sebagai Variabel Intervening. E-
Journal Riset Manajemen.

97
Fauzan Khairazi. (2015). Implementasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Jurnal Inovatif Vol. 7 No. 1.
Fithriatus Shalihah. (2017). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam
Hubungan Kerja Menurut Hukum Ketenagakerjaan Indonesia dalam
Perspektif HAM. UIR Law Review Vol. 1 No. 2.
Frankiano B. Randang. (2011). Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia dalam
Menghadapi Persaingan dengan Tenaga Kerja Asing. Servanda Jurnal Ilmiah
Hukum. Volume 5. No. 1.
Hazrul Shahiri. (2017). Pulangan Monetari Pekerja Terancam di Malaysia
Berdasarkan Teori Upah Hedonik. Jurnal Ekonomi Malaysia. Vol. 51. Issue
1.
Hendra Wijayanto. (2015). Transparansi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Melalui Penerapan E-Budgeting (Dalam Perspektif Teori Good
Governance). IJPA-The Indonesian Journal of Public Administration Vol. 1
No. 1.
Hesti Armiwulan. (2004). Hak Asasi Manusia dan Hukum. Yustika Vol. 7 No. 2.
Isniar Budiarti. (2011). Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
(GCG) Pada Dunia Perbankan. Jurnal Majalah Ilmiah UNIKOM. Vol. 2 No. 2.
Kornelius Bemuf, dkk. (2020). Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen
Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer. Jurnal Gema Keadilan Vol. 7
No. 1.
Linda Unsriana. (2014). Diskriminasi Gender Dalam Novel Ginko Karya Junichi
Watanabe. Jurnal Lingua Cultura Vol. 2 No. 1.
Luthvi Febryka Nola. (2021). Pengendalian Tenaga Kerja Asing Pada Masa Pandemi
COVID-19. Puslit Vol. 13 No. 10.
Maimun Sholeh. (2007). Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja Serta Upah:
Teori Serta Beberapa Potretnya di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan
Pendidikan Vol. 4 No. 1.
Moh. Zainal, dkk. (2021). Analisis Politik Hukum Tentang Omnibus Law di
Indonesia. Jurnal Jendela Hukum Volume 2. No. 1.

98
Mohammad Riduansyah. (2003). Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Makara Sosial Humaniora Volume. 7 No. 2.
Otti Ilham Khair. (2021). Analisis Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap
Perlindungan Tenaga Kerja di Indonesia. Widya Pranata Hukum Vol. 3 No.
2.
Pan Mohamad Faiz. (2009). Teori Keadilan John Rawls. Jurnal Konstitusi Vol. 6 No.
1.
Rahmat Ramadhani. (2017). Jaminan Kepastian Hukum yang Terkandung Dalam
Sertipikat Hak Atas Tanah. De Lega Lata Vol. 2 No. 1.
Riny Jefri. (2018). Teori Stewardship dan Good Goveranance. Jurnal Riset Vol. 4 No.
3.
Siti Kunarti. (2009). Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (Outsourcing) dalam
Hukum Ketenagakerjaan. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 1.
Sri Zulhartati. (2010). Pengaruh Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Karyawan
Perusahaan. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora Vol. 1 No. 1.
Susanto, Susanto. (2017). Harmonisasi Hukum Makna Keuangan Negara Dan
Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Pada Badan Usaha Milik Negara.
Proceedings. Vol. 2 No.1.
Tata Wijayanta. (2014). Asas Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan dalam
Kaitannya dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga. Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 14 No. 2.
Thomas Nagel. (2005). The Problem of Global Justice, Philosophy and Public
Affairs. Volume. 33. Issue 2.
Wahyudi Djafar. (2010). Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah
Catatan Atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia. Jurnal
Konstitusi Vol. 7 No. 5.

99
Yohana.R.U.Sianturi & Dinie Anggraeni Dewi. (2021). Penerapan Nilai Nilai
Pancasila Dalam Kehidupan Sehari Hari dan Sebagai Pendidikan Karakter.
Jurnal Kewarganegaraan. Vol. 5 No. 1.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Asing
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Kehilangan Pekerjaan

PUTUSAN PENGADILAN
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Tentang Pengujian
Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

SKRIPSI/MAKALAH
Febrika Nurtiyas. (2016). Skripsi: “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Upah Minimum Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2010-2014.” (Yogyakarta).
Indra Puji Lestari. (2019). Skripsi: Prinsip Kepastian Hukum Akta Waris yang Dibuat
Tanpa Melibatkan Salah Seorang Ahli Waris Karena Alasan Tidak Cakap
Hukum. (Jember).

100
Billyman Laoli, dkk. (2019). Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa. Poltekes
Kemenkes Medan. Makalah Jurusan Keperawatan.

WEBSITE/INTERNET
Ady Thea DA. “Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta
Kerja”. dari (https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-bedanya-
outsourcing-di-uu-ketenagakerjaan-dan-uu-cipta-kerja-
lt60657d8d20b58?page=1). diakses pada tanggal 19 April 2022.
Ainul Azizah. “Studi Kepustakaan Mengenai Landasan Teori dan Praktik Konseling
Naratif”. dari (https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bk-
unesa/article/view/18935). diakses pada tanggal 24 April 2022.
Anonim. (2015). “Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif”. dari
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7847bff4505f04
16fe0c446c60f7e8ac.pdf). diakses pada tanggal 20 April 2022.
Athika Rahma. (2021). “TKA China Melenggang ke Indonesia Gara-Gara UU Cipta
Kerja?”. Dari (https://www.liputan6.com/bisnis/read/4558867/tka-china-
melenggang-ke-indonesia-gara-gara-uu-cipta-kerja). diakses pada tanggal
28 April 2022.
BPJS Ketenagakerjaan. (2021). dari (https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id
/jaminan-kehilangan-pekerjaan.html). diakses pada 28 April 2022.
CNN Indonesia. (2021). “Buruh Bongkar Perilaku PLN Kepada Pegawai
Outsourcing”. dari (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/202106
10153033-85-652737/buruh-bongkar-perilaku-pln-kepada-pegawai-
outsourcing). diakses pada 27 April 2022.
CNN Indonesia. (2021). “Serikat Buruh Bakal Demo Tolak Aturan Turunan UU Cipta
Kerja”. dari (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210225132028-
92-610770/serikat-buruh-bakal-demo-tolak-aturan-turunan-uu-cipta-
kerja). diakses pada tanggal 30 April 2022.
Dany Saputra. (2021). “Kemenkeu: Realisasi Anggaran Kartu Prakerja 2021 Sudah
Capai Rp9,42 Triliun”. dari (https://ekonomi.bisnis.com/r

101
ead/20211201/9/1472411/kemenkeu-realisasi-anggaran-kartu-prakerja-
2021-sudah-capai-rp942-triliun). diakses pada 28 April 2022.
Data Badan Pusat Statistik terkait Angkatan kerja pada tahun 2021. dari
(https://www.bps.go.id/statictable/2016/04/04/1907/penduduk-
berumur-15-tahun-ke-atas-menurut-provinsi-dan-jenis-kegiatan-selama-
seminggu-yang-lalu-2008---2021.html). diakses pada 19 April 2022.
Daud Silalahi & Lawencon Associates. (2021). “UU Ketenagakerjaan: Sejarah &
Perkembangannya di Indonesia”. dari (https://www.
dslalawfirm.com/id/sejarah-undang-undang- ketenagakerjaan/). diakses
pada 30 April 2022.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2020). “UU Ciptaker Hadir Untuk
Indonesia Lebih Maju”. dari (https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/305
90/t/UU+Ciptaker+Hadir+Untuk+Indonesia+lebih+Maju#:~:text=Anggota
%20Badan%20Legislasi%20(Baleg)%20DPR%20RI%20Guspardi%20Gaus%
20mengatakan%20bahwa,akan%20dapat%20meningkatkan%20iklim%20i
nvestasi). diakses pada tanggal 27 April 2022.
Dinas Tenaga Kerja, “Pengertian Angkatan dan Tenaga Kerja.” dari
(https://disnaker.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/pengertian-
angkatan-dan-tenaga-kerja-34). diakses pada tanggal 18 April 2022.
Dinas Tenaga Kerja. (2019). “Produktivitas Tenaga Kerja”. dari
(https://disnaker.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/produktivitas-
tenaga-kerja-42). diakses pada tanggal 26 April 2022.
Dwiyana Pangesthi. (2020). “Human Resources Penting Bagi Organisasi, Bisnis
maupun Non Bisnis”. (https://www.brilio.net/serius/11-pengertian-
sumber-daya-manusia-menurut-para-ahli-200416b.html). diakses pada
tanggal 19 April 2022.
Eko Ari Wibowo. (2021). “UU Cipta Kerja Inkosntitusional, KSPI Akan Demo Tuntut
Revisi Upah Minimum”. dari (https://nasional.tempo.co/read/1533200/uu-
cipta-kerja-inkonstitusional-kspi-akan-demo-tuntut-revisi-upah-
minimum). diakses pada tanggal 27 April 2022.

102
Fitria Chusna Farisa. (2022). “Sembilan Gugatan UU Cipta Kerja di MK Selama
2021, Hanya Satu Dikabulkan Sebagian”. dari
(https://nasional.kompas.com/read/2022/02/11/20472591/sembilan-
gugatan-uu-cipta-kerja-di-mk-selama-2021-hanya-satu-
dikabulkan?page=all).
Gajimu.com. (2022). “Pengertian dan mekanisme Penetapan Upah Minimum”. dari
(https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/pengupahan/upah-
minimum#apa-yang-dimaksud-dengan-upah-minimum-). diakses pada
tanggal 27 April 2022.
Gajimu.com. (2022). “Pertanyaan Mengenai Perlakuan Adil di Tempat Kerja”. dari
(https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/perlakuan-adil-saat-
bekerja/Adil%20di%20Tempat%20Kerja). diakses pada tanggal 30 April
2022.
I Ketut Suardita. (2017). “Pengenalan Bahan Hukum (PBH)”. dari
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7847bff4505f04
16fe0c446c60f7e8ac.pdf). diakses pada tanggal 20 April 2022.
Jonathan Averino. (2020). “Implementasi Pancasila Sebagai Dasar Kehidupan
Bersama di Indonesia”. dari (https://binus.ac.id/character-
building/pancasila/implementasi-pancasila-sebagai-dasar-kehidupan-
bersama-di-indonesia/). diakses pada 26 April 2022.
Kementerian Koordinatir Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2021).
“Peraturan Pelaksanaan UU Cipta Kerja, Ciptakan Era Baru Berusaha untuk
Perluasan Lapangan Kerja”. dari
(https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/1668/peraturan-pelaksanaan-
uu-cipta-kerja-ciptakan-era-baru-berusaha-untuk-perluasan-lapangan-
kerja). diakses pada tanggal 3 Mei 2022.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. “Kedudukan dan Kewenangan”. dari
(https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=3&menu=2).
diakses pada 30 April 2022

103
Nurul Hayat. (2020). “Peneliti LIPI: Pasal 66 UU Cipta Kerja Melanggengkan Sistem
Alih Daya.” dari (https://www.antaranews.com/berita/1770021/peneliti-
lipi-pasal-66-uu-cipta-kerja-melanggengkan-sistem-alih-daya). diakses
pada tanggal 20 April 2022.
Nyoman Ary Wahyudi. (2022). “Ribuan Buruh Demo Geruduk DPR Desak Setop
Bahas UU Cipta Kerja”. dari (https://ekonomi.bisnis.com
/read/20220114/12/1489040/ribuan-buruh-demo-geruduk-dpr-desak-
setop-bahas-uu-cipta-kerja). diakses pada tanggal 27 April 2022.
Soetomo. (2020). “UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Resmi Berlaku”.
dari (https://www.jpnn.com/news/uu-nomor-11-tahun-2020-tentang-
cipta-kerja-resmi-berlaku). diakses pada tanggal 27 April 2022.
Toto Hari Saputra. (2021). “9 Aspek Keuangan Negara Dalam UU Cipta Kerja Terkait
Peningkatan Investasi”. dari (https://www.kemenkeu.go.id/publikasi
/artikel-dan-opini/9-aspek-keuangan-negara-dalam-uu-cipta-kerja-terkait-
peningkatan-investasi/). diakses pada 28 April 2022.
Tsarina Maharani. (2021). “5 Poin UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh”. dari
(https://nasional.kompas.com/read/2021/05/01/11505841/5-poin-uu-
cipta-kerja-yang-dinilai-rugikan-buruh?page=all). diakses pada tanggal 27
April 2022.
Vendy Yhulia Susanto. (2022). “Program JKP Tak Gugurkan Kewajiban Perusahaan
Bayar Pesangon Pekerja yang Kena PHK”. dari
(https://nasional.kontan.co.id/news/program-jkp-tak-gugurkan-
kewajiban-perusahaan-bayar-pesangon-pekerja-yang-kena-phk). diakses
pada 28 April 2022.
Yohana Artha Uly. (2021). “Jumlah Pengangguran di Indonesia Turun Jadi 9,1 Juta
Orang”. dari (https://money.kompas.com/read/2021/11/05/211102226
/jumlah-pengangguran-di-indonesia-turun-jadi-91-juta-orang?page=all#:
~:text=JAKARTA%2C%20KOMPAS.com%20%2D%20Badan,mencapai%209
%2C77%20juta%20orang.). diakses pada tanggal 28 April 2022.

104
BIODATA PENULIS

Nama : Ridwan Setiawan


NIM : 1111200266
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 23 Oktober 2002
Alamat Rumah : Jalan Kavling Tipar Timur Blok 3 No. 22D, Jakarta Utara
Alamat Email : wanridwan230@gmail.com
Nomor HP/Whatsapp : 0895342876703
Motto Hidup : Kesuksesan membutuhkan perjuangan, pengorbanan,
kesabaran, dan keikhlasan.
Asal Universitas : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Nama : Almas Sultan


NIM : 1111200258
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 27 April 2001
Alamat Rumah : Perum Greenhills Blok B3 No. 8, Majasari, Pandeglang
Alamat Email : almassultan99@gmail.com
Nomor HP/Whatsapp : 0895358271765
Motto Hidup : Hidup itu sederhana, yang ribet itu Saya.
Asal Universitas : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Nama : Annisa Intan Prameswari


NIM : 1111200205
Tempat/Tanggal Lahir : Majalengka, 03 Juni 2002
Alamat Rumah : Papan Indah, Blok HB 6 No. 1, Mangunjaya
Tambun Selatan, Bekasi
Alamat Email : anindah02@gmail.com
Nomor HP/Whatsapp : 081395615709
Motto Hidup : Hiduplah dengan bahagia
Asal Universitas : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

105
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2020
TENTANG
CIPTA KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah


Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak
warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan;
b. bahwa dengan semakin kompetitif dunia pekerjaan di era
globalisasi, perlu adanya pembatasan serta pengawasan terkait
tenaga kerja asing di Indonesia;
c. bahwa upah bagi tenaga kerja merupakan hal yang penting
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi tenaga kerja dan
keluarganya demi kehidupan yang layak;

106
d. bahwa produktivitas tenaga kerja memiliki peran penting dalam
pembangunan nasional, sehingga perlunya peningkatan
kualitas setiap tenaga kerja;
e. bahwa kepastian dan keadilan hukum dimaksudkan untuk
menjamin hak-hak dasar bagi tenaga kerja serta menjamin
kesempatan yang sama tanpa ada perlakuan diskriminasi;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;

Mengingat : 1. Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20,
Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat
(2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVI/MPR 11998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka
Demokrasi Ekonomi;
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020
Tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

107
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-
UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 ditambahkan angka 13 dan 14 sehingga
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1
13. Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing, yang selanjutnya
disebut IMTA adalah perizinan yang disahkan oleh
Kementerian Ketenagakerjaan guna mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing di Indonesia, yang telah lulus dalam
perizinan pada tahap Rencana Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (RPTKA).
14. Badan Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing, yang
selanjutnya disingkat BPN-TKA adalah badan di bawah
Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang
mengawasi Tenaga Kerja Asing selama bekerja di
Indonesia.

2. Ketentuan Pasal 42 ditambahkan 3 (tiga) ayat yaitu ayat (7), dan


ayat (8), sehingga berbunyi sebagai berikut:

108
Pasal 42
(7) Pemberi kerja sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
juga wajib memiliki Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing
yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
(8) Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(7) merupakan Kementerian Ketenagakerjaan.

3. Diantara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu


Pasal 42A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42A
(1) Penggunaan tenaga kerja asing dibatasi maksimal 15% (lima
belas persen) dari jumlah angkatan kerja setiap tahunnya di
Indonesia.
(2) Penggunaan tenaga kerja asing diberikan batas waktu kerja
selama 3 tahun dengan perpanjangan waktu.
(3) Perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berlaku satu kali perpanjangan dengan waktu tidak lebih dari
2 (dua) tahun.

4. Diantara Pasal 42A dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu


Pasal 42B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42B
(1) Badan Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing sebagai
lembaga pelaksana kebijakan dalam mengawasi kinerja
tenaga kerja asing di Indonesia.
(2) Terkait keanggotaan Badan Pengawas Nasional Tenaga
Kerja Asing diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
(3) Sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) Badan
Pengawas Nasional Tenaga Kerja Asing bertanggung jawab

109
terhadap Kementerian Ketenagakerjaan dengan
melaporkan hasil pengawasan secara berkala.

5. Diantara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu


Pasal 43A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43A
(1) Penggunaan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang memuat:
a. pertimbangan penggunaan tenaga kerja asing;
b. kedudukan tenaga kerja asing dalam suatu perusahaan;
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana
penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

6. Diantara Pasal 44 dan Pasal 45 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu


Pasal 44A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44A
(1) Pemberi kerja bagi tenaga kerja asing wajib menaati aturan
mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku
(2) Aturan mengenai jabatan dan standar kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

7. Ketentuan Pasal 59 ayat (1) huruf b diubah dan Pasal 59 ayat (5)
ditambahkan sehingga berbunyi:
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat
untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu sebagai berikut:

110
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam
jangka waktu 5 tahun;
(5) Sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila
pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai, perpanjangan
Pekerjaan Kerja Waktu Tertentu tidak lebih dari 5 (lima)
tahun.

8. Di antara Pasal 66 dan Pasal 77, disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu


Pasal 66A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 66A
Pekerja/buruh alih daya tidak boleh dipekerjakan untuk
melaksanakan kegiatan pokok oleh pemberi kerja, melainkan
hanya melaksanakan pekerjaan dibidang penunjang, dengan
syarat memiliki perjanjian dan hubungan kerja antara kedua
belah pihak.

9. Ketentuan pasal 79 ayat (2) huruf b dan ayat (3) diubah, dan
ditambahkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (7) sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 79
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit
meliputi:
b. istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang
wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan,
paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama lebih
dari 12 (dua belas) bulan.

111
(7) Cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
diberikan kepada pekerja/buruh, paling sedikit 6 (enam)
hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan
bekerja selama kurang dari 12 (dua belas) bulan.

10. Ketentuan Pasal 88C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 88C
(1) Gubernur dapat menetapkan menetapkan upah minimum
provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan besaran batas maksimal
upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
(3) Penetapan besaran batas maksimal upah minimum
kabupaten/kota dengan melibatkan perserikatan buruh
dan pengusaha.
(4) Besaran batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota dapat
menetapkan besaran upah minimum kabupaten/kota.
(5) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak.
(6) Upah minimum kabupaten/kota harus lebih tinggi dari
upah minimum provinsi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah
minimum diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah.

11. Ketentuan Pasal 92 ayat (1) diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 92
(1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di
perusahaan dengan memperhatikan kemampuan

112
perusahaan, produktivitas, jabatan dan golongan,
pendidikan, serta kompetensi.

12. Ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) diubah serta
menghapus ayat (4) sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 151
(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja, wajib dilakukan
perundingan bipartit antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
(3) Apabila tidak terjadi kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.

Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

JOKO WIDODO

113
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR...

114

Anda mungkin juga menyukai