Anda di halaman 1dari 46

HUKUM KEPEGAWAIAN

“Sanksi Disiplin dan Penyelesaian Sengketa Kepegawaian”

Dosen Pembimbing: Gusliana, HB, SH., M.Hum

Disusun Oleh :

Lili Rahayu (1709114608)

M. Abd. Muzaki (1709110241)

Mhd Ichsan (1609123334)

Miftahul Janah (1709110335)

Muklis Al-anam (1709110335)

Nuratisyah (1709110288)

Okta Dila Ardia Putri (1709114305)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS RIAU

2019/2020
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha


Esa atas semua limpahan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “Sanksi Disiplin dan Penyelesaian Sengketa
Kepegawaian”

Dan kami mengucapkan terima kasih kepada bapak/ibu dosen yang telah
membimbing kami dalam proses pembuatan makalah ini. Adapun maksud dan
tujuan kami dalam menyusun makalah ini, yaitu dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Kepegawaian. Dan kami menyadari bahwa di dalam makalah
ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kami
mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun sebagai bahan
evaluasi guna untuk memperbaiki makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan sebagai referensi oleh para pembaca yang ingin menambah wawasannya.

Pekanbaru, 13 April 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................
Daftar Isi....................................................................................................................
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................................
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Sanksi Disiplin Pegawai Negeri Sipil
(PNS).................................
B. Hukuman Disiplin PNS..................................................................................
C. Objek Penjatuhan Disiplin PNS.....................................................................
D. Tata Cara Penjatuhan & Penyampaian Sanksi
Disiplin...................................
E. Tata Cara Pengajuan
Keberatan......................................................................
F. Proses Penjatuhan Hukuman
Disiplin.............................................................
G. Pengertian Sengketa
Kepegawaian.................................................................
H. Penyelesaian Sengketa Kepegawaian Melalui Upaya
Administratif..............
I. Penyelesaian Sengekta Kepegawaian Melalui
PTUN.....................................
J. Analisis Kasus................................................................................................
Bab III Penutup
A. Kesimpulan....................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadinata
kata pegawai berarti: "orang yang berkerja pada Pemerintah
(Perusahaan dan sebagainya)." Sedangkan "negeri" berarti: "negara"
atau "pemerintah." Jadi pegawai negeri adalah orang yang bekerja pada
Pemerintah atau negara. Aparatur Negara sebagai sarana kepegawaian
memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam
penyelenggaraan fungsi pemerintah. Arti penting tersebut oleh Utrecht
dikaitkan dengan pengisian jabatan pemerintahan, yang diisi oleh Pegawai
Negeri Sipil.
Aparatur Negara merupakan sarana yang sangat penting dalam
mencapai tujuan negara, sebagaimana yang tercantum dalam dalam
Pembukaan UUD 1945 (Alinea ke-IV). Tujuan tersebut antara lain adalah
melindungi segenap bangsa dan seluruh Tumpah Darah Indonesia.
Tujuan pembangunan nasional adalah untuk membentuk satu
masyarakat adil dan makmur, seimbang materiil dan spiritualnya
berdasarkan Pancasila dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kelancaran pelaksanaan pemerintah dan pembangunan
nasional, terutama sekali tergantung pada pesempumaan Aparatur Negara.
Pentingnya peran Aparatur Negara ini tidak terlepas dari diberikannya
perlindungan hukum dan kepastian hukum yang diberikan oleh Pemerintah
bagi Aparatur Negara dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu,
Pemerintah telah berupaya sungguh-sungguh untuk merumuskannya
dalam suatu kerangka perundang-undangan tentang kepegawaian yang
semakin lama bertambah sempuma.
Di Indonesia keberadaan pegawai negeri sipil diatur secara khusus
melalui peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian yang
mengatur kedudukan, norma, standar dan prosedur yang berkaitan dengan
hak dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil, larangan, sanksi dan upaya
perlindungan hukum. Dalam melaksanakan tugas, Pegawai Negeri Sipil
terikat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur
keseluruhan tahap kepegawaian yang meliputi pengangkatan,
pengembangan karier, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Upaya
untuk menyempurnakan tersebut di tandai dengan beberapa kali
perubahan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
Aparatur Negara tersebut. Setelah Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 43 tahun 1999, kini lahir Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Perubahan yang terjadi khususnya
mengenai mekanisme penyelesaian sengketa Aparatur Sipil Negara
(ASN).
Pada Pasal 5 Undang-Undang No.43 tahun 1999 menyatakan
bahwa setiap pegawai negeri wajib mentaati segala peraturan perundangan
yang berlaku dan melaksanakan kedinasan yang dipercayakan kepadanya
dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggungjawab. Perwujudan
pemerintah yang bersih dan berwibawa diawali dengan penegakan disiplin
nasional di lingkungan aparatur negara khususnya Pegawai Negeri Sipil.
Dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pengelolaan
pembangunan dan pelayanan publik, Pegawai Negeri Sipil sebagai aparat
birokrasi senantiasa diatur dengan sejumlah kewajiban, larangan dan
sanksi kepegawaian yang disebut dengan disipilin Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah peraturan yang mengatur
kewajiban, larangan, dan sanksi apabila kewajiban-kewajiban tidak ditaati
atau dilanggar oleh Pegawai Negeri Sipil. Dengan maksud untuk mendidik
dan membina Pegawai Negeri Sipil, bagi mereka yang melakukan
pelanggaran atas kewajiban dan larangan dikenakan sanksi berupa
hukuman disiplin. Dalam upaya meningkatkan kedisiplinan Pegawai
Negeri Sipil tersebut, sebenarnya Pemerintah Indonesia telah memberikan
suatu regulasi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 53
Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Kenyataan
menunjukan bahwa dalam menjalankan tugas masih terdapat oknum
Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku terlebih khusus ketentuan yang terdapat dalam
Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, oleh karena
itu, salah satu indikasi rendahnya kualitas Pegawai Negeri Sipil tersebut
adalah adanya pelanggaran disiplin yang banyak dilakukan Pegawai
Negeri Sipil. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidaktertiban dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pegawai Negeri Sipil seharusnya
menjadi teladan bagi masyarakat secara keseluruhan agar masyarakat
dapat percaya terhadap peran yang dijalankannya dalam kedudukannya
sebagai pelayan publik. Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara dan
abdi masyarakat diharapkan selalu siap menjalankan tugas yang telah
menjadi tanggung jawabnya, namun dalam realita, Pegawai Negeri Sipil
sering melakukan pelanggaran disiplin yang dapat menghambat efektifitas
kinerja baik Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Pegawai Negeri
Sipil yang melakukan pelanggaran hukum disiplin seyogianya dijatuhi
sanksi hukuman disiplin. Walaupun sanksi hukuman disiplin merupakan
konsekuensi atas pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai
Negeri Sipil, namun sanksi hukuman disiplin yang diberikan harus
dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku
maupun asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Seringkali
Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi sanksi hukuman disiplin menganggap
bahwa sanksi yang dijatuhkan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau merupakan tindakan penyalagunaan
wewenang maupun tindakan sewenang-wenang dan melanggar asa-asas
umum pemerintahan yang baik, sehingga Pegawai Negeri Sipil
mempunyai hak hukum untuk malakukan upaya hukum berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan
beberapa ketentuan yang berlaku, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
Pegawai Negeri Sipil meliputi upaya administratif berupa keberatan dan
banding administratif maupun dengan peradilan administrasi atas sengketa
kepegawaian di Pengadilan Tata Usaha Negara.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk sanksi/hukuman disiplin yang diberikan kepada
Pegawai Negeri Sipil yang melanggar peraturan?
2. Apa saja objek dari penjatuhan sanksi disiplin kepada Pegawai Negeri
Sipil?
3. Bagaimana cara penjatuhan dan penyampaian sanksi disiplin?
4. Bagaimana cara mengajukan keberatan?
5. Apa itu sengketa kepegawaian?
6. Bagaimana penyelesaian dari sengketa kepegawaian?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sanksi Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) & Jenis-jenis


Sanksi Disiplin
Sanksi Disiplin merupakan hukuman yang diberikan kepada Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang tidak mampu menjalankan dan mantaati kewajiban dan
menghindari larangan-larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan dan /atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar
maka akan dijatuhi hukuman disiplin.
Tingkat dan Jenis Hukuman Disiplin PNS
Tingkat hukuman disiplin telah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor
53 tahun 2010 tentang disiplin PNS yang mana tingkat dan jenis sanksi atau
hukuman telah diatur dalam pasal-pasal berikut:1
Dalam pasal 7 ayat:
(1) Ttingkat sanksi sebagai berikut :
a. hukuman disiplin ringan;
b. hukuman disiplin sedang; dan
c. hukuman disiplin berat

1
Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS
(2) Jenis hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri dari:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan
c. pernyataan tidak puas secara tertulis
(3) Jenis hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terdiri dari:
a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;
b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan
c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.
(4) Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
terdiri dari:
a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah
c. pembebasan dari jabatan;
d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS;
dan
e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

B. Pelanggaran dan Jenis Hukuman


Pasal 8:
 Hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
dijatuhkan bagi terhadap kewajiban:
a. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka 3, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja;
b. menaati segala peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 4, apabila pelanggaran berdampak negatif pada
unit kerja;
c. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan
penuh pengabdian kesadaran, dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 5, apabila pelanggaran berdampak
negatif pada unit kerja;
d. menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat PNS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 6, apabila pelanggaran
berdampak negatif pada unit kerja;
e. mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri,
seseorang, dan/atau golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka 7, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja;
f. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut
perintah harus dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka 8, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja;
g. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk
kepentingan negara sebagaimana dalam Pasal 3 angka 9, apabila
pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja;
h. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada
hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau pemerintah
terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 10, apabila pelanggaran berdampak
negatif pada unit kerja.
i. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 11 berupa:
1) eguran lisan bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan
yang sah selama 5 (lima) hari kerja;
2) teguran tertulis bagi PNS, yang tidak masuk kerja tanpa alasan
yang sah selama 6 (enam) sampai dengan 10 (sepuluh) hari
kerja; dan
3) pernyataan tidak puas secara tertulis bagi PNS yang tidak
masuk kerja tanpa alasan yang selama 11 (sebelas) sampai
dengan 15 (lima belas) hari kerja;
j. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan
sebaik-baiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 13,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja;
k. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 14, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
l. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 15, apabila pelanggaran dilakukan
dengan tidak sengaja;
m. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan
karier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 16, apabila
pelanggaran dilakukan dengan tidak sengaja; dan
n. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 17, apabila
pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja.

Hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)


dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap kewajiban:
a. mengucapkan sumpah/janji PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka 1, apabila pelanggaran dilakukan tanpa alasan yang sah.
b. mengucapkan sumpah/janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 angka 2, apabila pelanggaran dilakukan tanpa alasan yang sah;
c. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka 3, apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi yang
bersangkutan;
d. menaati segala peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 4, apabila pelanggaran berdampak negatif bagi
instansi yang bersangkutan;
e. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan
penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 5, apabila pelanggaran berdampak
negatif bagi instansi yang bersangkutan;
f. menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat PNS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 6, apabila pelanggaran
berdampak negatif bagi instansi yang bersangkutan;
g. mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri,
seseorang, dan/atau golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka 7, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang
bersangkutan;
h. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut
perintah harus dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka 8, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang
bersangkutan;
i. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk
kepentingan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 9,
apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi yang
bersangkutan;
j. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada
hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah
terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 10, apabila pelanggaran berdampak
negatif pada instansi yang bersangkutan;
k. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 11 berupa:
1) penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun bagi PNS
yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 16 (enam
belas) sampai dengan 20 (dua puluh) hari kerja;
2) penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun bagi PNS yang
tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 21 (dua puluh
satu) sampai dengan 25 (dua puluh lima) hari kerja; dan
3) penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun
bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 26
(dua puluh enam) sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja.
l. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 12, apabila pencapaian sasaran kerja
pada akhir tahun hanya mencapai 25% (dua puluh lima persen) sampai
dengan 50% (lima puluh persen);
m. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan
sebaik-baiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 13,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang
bersangkutan;
n. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 14, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
o. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 15, apabila pelanggaran dilakukan
dengan sengaja;
p. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan
karier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 16, apabila
pelanggaran dilakukan dengan sengaja; dan
q. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 17, apabila
pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan.

Pasal 10:
Hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4)
dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap kewajiban :
1) setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 3,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara;
2) menaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 4, apabila pelanggaran berdampak negatif
pada pemerintah dan/atau negara;
3) melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan
penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada
pemerintah dan/atau negara;
4) menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat PNS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 6, apabila pelanggaran
berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara;
5) mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri,
seseorang, dan/atau golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka
7, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau
negara;
6) memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah
harus dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 8, apabila
pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara;
7) bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 9, apabila pelanggaran
berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara;
8) melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal
yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah
terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 10, apabila pelanggaran berdampak negatif
pada pemerintah dan/atau negara;
9) masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 11 berupa
a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun
bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 31
(tiga puluh satu) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) hari kerja;
b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih
rendah bagi PNS yang menduduki jabatan struktural atau
fungsional tertentu yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah
selama 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) hari
kerja;
c. pembebasan dari jabatan bagi PNS yang menduduki jabatan
struktural atau fungsional tertentu yang tidak masuk kerja tanpa
alasan yang sah selama 41 (empat puluh satu) sampai dengan 45
(empat puluh lima) hari kerja; dan
d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS bagi PNS yang
tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 46 (empat puluh
enam) hari kerja atau lebih;
10) mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 12, apabila pencapaian sasaran kerja pegawai pada
akhir tahun kurang dari 25% (dua puluh lima persen);
11) menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-
baiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 13, apabila
pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara;
12) memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 14, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
13) menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 17, apabila pelanggaran
berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara.
Pelanggaran Terhadap Larangan
Pasal 11
 disiplin ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dijatuhkan
bagi pelanggaran terhadap larangan:
1. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau
meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen
atau surat berharga milik negara, secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit
kerja;
2. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau
orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan
untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja
3. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 angka 9, apabila pelanggaran dilakukan dengan
tidak sengaja;
4. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat
menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga
mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 angka 10, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
5. menghalangi berjalannya tugas kedinasan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 angka 11, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja.
Pasal 12
 disiplin sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dijatuhkan
bagi pelanggaran terhadap larangan:
1. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau
meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen
atau surat berharga milik negara secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada
instansi yang bersangkutan;
2. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau
orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan
untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang
bersangkutan;
3. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 9, apabila pelanggaran dilakukan dengan sengaja;
4. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat
menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga
mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 angka 10, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. menghalangi berjalannya tugas kedinasan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 angka 11, apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi;
6. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan cara ikut serta sebagai pelaksana kampanye,
menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut
PNS, sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf a, huruf b, dan huruf
c;
7. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara
mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan,
atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya,
anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
angka 13 huruf b;
8. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan
surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat
Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 14; dan
9. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang
mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi
peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi
pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS
dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf a dan huruf d.
Pasal 13
 disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dijatuhkan
bagi pelanggaran terhadap larangan:
1. menyalahgunakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka
1;
2. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang
lain dengan menggunakan kewenangan orang lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 2;
3. tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain
dan/atau lembaga atau organisasi internasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 3;
4. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya
masyarakat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 4;
5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau
meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen
atau surat berharga milik negara secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada
pemerintah dan/atau negara;
6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau
orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan
untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah
dan/atau negara;
7. memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik
secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk
diangkat dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 7;
8. menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang
berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 angka 8;
9. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat
menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga
mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 angka 10, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
10. menghalangi berjalannya tugas kedinasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 angka 11, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah
dan/atau negara;
11. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan cara sebagai peserta kampanye dengan
menggunakan fasilitas negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
angka 12 huruf d;
12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara
membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf a; dan
13. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan
dalam kegiatan kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan
yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama
masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf b
dan huruf c.
Pasal 14
Pelanggaran terhadap kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 angka 9, Pasal 9 angka 11, dan Pasal 10
angka 9 dihitung secara kumulatif sampai dengan akhir tahun berjalan.

C. Objek Penjatuhan Disiplin Pegawai Negeri Sipil

Dalam melaksanakan pembinaan terhadap Pegawai Negeri Sipil, badan


atau Pejabat Administrasi Negeri setelah mempelajari hasil laporan pemeriksaan
terhadap Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan pelanggaran disiplin harus
mengeluarkan keputusan (beschikking). Keputusan yang dirasakan merugikan
PNS inilah yang menjadi “pangkal sengketa” yang perlu mendapat penyelesaian
secara adil.

Dalam hal penjatuhan hukuman didiplin, keputusan hukuman yang


ditetapkan oleh atasan pejabat yang berwenang menghukum dan keputusan yang
diambil oleh Badan Pertimbangan Kepegawaian tidak dapat diajukan keberatan
dan mengikat serta wajib dilaksanakan oleh semua pihak yang bersangkutan, baik
oleh PNS yang mengajukan keberatan ataupun oleh pejabat yang berwenang
menghukum. Pada dasarnya hak untuk membela kepentingan hukum merupakan
salah satu bentuk hak asasi yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang.
Untuk itu hak untuk membela kepentingan hukum, khususnya dalam
hubungannya dengan Keputusan TUN telah dicantumkan dalam Pasal 53 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Peradilan TUN bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN yang berhak untuk
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak
sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.2

D. Tata Cara Penjatuhan dan Penyampaian Sanksi Disiplin

Dalam melakukan proses pemeriksaan pejabat yang berwenang melakukan


serangkaian pemeriksaan berupa cross check pelanggaran, mendengar pernyataan
langsung dari PNS yang disangka, mendengar atau meminta keterangan dari pihak
lain agar dapat objektif dalam penjatuhan hukuman. Tujuan yang hendak dicapai
dalam penjatuhan hukuman adalah agar PNS tersebut sadar akan tindakan
sehingga tidak mengulanginya dan apabila telah memenuhi kategori hukuman
berat PNS tersebut diberhentikan. Pejabat yang berwenang menghukum adalah :

1. Presiden, bagi PNS yang :


a) Berpangkat pembina Tingkat I (Gol IV/b keatas) sepanjang
mengenai jenis hukuman berat (Pasal 6 Ayat (4) huruf c dan d);
b) Yang memangku jabatan struktural Eselon I (Khusus untuk
membebaskan jabatan);
2. Menteri, untuk semua jabatan struktural Eselon I (Khusus untuk
membebaskan jabatan);

2
Sri Hartini dkk, 2014, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, hlm. 144.
3. Pejabat yang berwenang (menteri) dapat mendelegasikan wewenang
kepada pejabat lain (kecuali untuk Pasal 6 Ayat (4) huruf c dan d) dengan
ketentuan:
a) Untuk hukuman disiplin ringan, dapat didelegasikan kepada Eselon
IV;
b) Untuk hukuman disiplin ringan dan sedang (penundaan kenaikan
gaji berkala), dapat didelegasikan kepada Eselon III;
c) Untuk hukuman disiplin ringan dan sedang kepada Eselon III;
d) Untuk hukuman disiplin ringan, sedang dan berat (kecuali huruf c
dan d) kepada Eselon I;
4. Gubernur, dapat memerintahkan pejabat bawahannya untukm memeriksa
PNS yang di sangka;
5. Perwakilan RI di luar negeri;
6. Bupati/Walikota seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

Dalam penjatuhan hukuman syarat-syarat nya berupa :

1. Dilakukan dengan pertimbangan yang seksama dan objektif;


2. Dilakukan oleh pejabat yang berwenang menghukum;
3. Penyampaiannya dapat secara lisan;
4. Harus menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai pelanggaran yang
dilakukan;
5. Meskipun beberapa pelanggaran dilakukan PNS, namun hanya dapat
dijatuhi satu jenis hukuman;
6. Seorang PNS yang sudak pernah dijatuhi hukuman dan melakukan
pelanggaran yang sama harus dijatuhi hukuman yang lebih berat.3

E. Tata Cara Pengajuan Keberatan

Hukuman disiplin yang dapat diajukan upaya administratif keberatan


adalah hukuman disiplin sedang yang berupa penundaan kenaikan gaji berkala

3
Ibid., hlm. 148.
selama 1 (satu) tahun atau penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun
yang dijatuhkan oleh:[7]

1. Pejabat struktural eselon I dan pejabat yang setara ke bawah;


2. Sekretaris Daerah/Pejabat struktural eselon II Kabupaten/Kota ke
bawah/Pejabat yang setara ke bawah;
3. Pejabat struktural eselon II ke bawah di lingkungan instansi vertikal dan
unit dengan sebutan lain yang atasan langsungnya Pejabat struktural
eselon I yang bukan Pejabat Pembina Kepegawaian; dan
4. Pejabat struktural eselon II ke bawah di lingkungan instansi vertikal dan
Kantor Perwakilan Provinsi dan unit setara dengan sebutan lain yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Pejabat Pembina
Kepegawaian.

Proses pengajuan keberatan

1. Keberatan diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang


menghukum dengan memuat alasan keberatan dan tembusannya
disampaikan kepada pejabat yang berwenang menghukum. Keberatan
diajukan dalam jangka waktu 14 hari, terhitung mulai tanggal yang
bersangkutan menerima keputusan hukuman disiplin.
2. Pejabat yang berwenang menghukum, harus memberikan tanggapan atas
keberatan yang diajukan oleh PNS yang bersangkutan. Tanggapan
disampaikan secara tertulis kepada atasan Pejabat tersebut, dalam jangka
waktu 6 (enam) hari kerja terhitung mulai tanggal yang bersangkutan
menerima tembusan surat keberatan.
3. Atasan pejabat tersebut wajib mengambil keputusan atas keberatan yang
diajukan oleh PNS dalam jangka waktu 21 hari kerja terhitung mulai
tanggal yang bersangkutan menerima surat keberatan.
4. Apabila dalam jangka waktu tersebut pejabat yang berwenang
menghukum tidak memberikan tanggapan atas keberatan, maka atasan
pejabat tersebut mengambil keputusan berdasarkan data yang ada. Atasan
pejabat yang berwenang menghukum dapat memanggil dan/atau meminta
keterangan dari pejabat yang berwenang menghukum, PNS yang dijatuhi
hukuman disiplin, dan/atau pihak lain yang dianggap perlu.
5. Atasan Pejabat yang berwenang menghukum dapat memperkuat,
memperingan, memperberat, atau membatalkan hukuman disiplin yang
dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum yang ditetapkan
dengan keputusan Atasan Pejabat yang berwenang menghukum.
6. Keputusan atasan pejabat yang berwenang menghukum bersifat final dan
mengikat. Apabila dalam waktu lebih 21 hari kerja atasan pejabat yang
berwenang menghukum tidak mengambil keputusan atas keberatan, maka
keputusan pejabat yang berwenang menghukum batal demi hukum.

F. PROSES PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN

Penjatuhan hukuman disiplin:

1. Pertimbangan dalam menentukan jenis hukuman disiplin:


a. Harus ada pertimbangan secara seksama sebelum menjatuhkan
hukuman disiplin.
b. Pegawai yang terbukti melakukan beberapa pelanggaran, hanya
dijatuhi 1 (satu) jenis hukuman disiplin yang terberat, setelah
mempertimbangkan semua pelanggaran yang dilakukan.
c. Pegawai yang pernah dijatuhi hukuman disiplin kemudian mengulangi
pelanggaran yang sama, dijatuhi hukuman disiplin yang lebih berat
dari hukuman disiplin terakhir yang diterima.
2. Dampak bagi Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin
a. Teguran Lisan dan Teguran Tertulis
1) Ditetapkan dalam surat keputusan, dengan menyebutkan
pelanggaran disiplin yang dilakukan.
2) Gaji dan Tunjangan tetap dibayarkan penuh kepada Pegawai
selama menjalani hukuman disiplin.
b. Pernyataan Tidak Puas Secara Tertulis
1) Ditetapkan dalam surat keputusan, dengan menyebutkan
pelanggaran disiplin yang dilakukan.
2) Gaji dan Tunjangan struktural atau fungsional tetap dibayarkan
penuh.
3) Tunjangan bahaya nuklir dihentikan sementara selama 1 (satu)
bulan.

G. Pengertian Sengketa Kepegawaian

Sengketa Kepegawaian adalah sengketa/perselisihan yang timbul sebagai


akibat ditetapkannya Keputusan Tata Usaha Negara di bidang kepegawaian oleh
Badan atau Pejabat yang berwenang mengenai kedudukan, kewajiban, hak dan
pembinaan Pegawai Negeri Sipil (Soegeng Prijodarminto, 1993:12-13). Masalah
Sengketa Kepegawaian diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang menyatakan bahwa penyelesaian
sengketa di bidang kepegawaian dilakukan melalui peradilan untuk itu, sebagai
bagian dari Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam Undang-Undang
No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Sengketa Kepegawaian merupakan salah satu bagian dari sengketa tata


usaha negara dan keputusan/penetapan di bidang kepegawaian merupakan objek
sengketa tata usaha negara dari Peradilan Tata Usaha Negara.

H. Penyelesaian Sengketa Kepegawaian Melalui Upaya Administratif

Upaya administratif adalah prosedur yang dapat ditempuh oleh Pegawai


Negeri Sipil yang tidak puas terhadap hukuman disipin yang dijatuhkan
kepadanya berupa keberatan atau banding administratif. Hal tersebut diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara Tata Usaha
Negara pada tanggal 15 Januari 2014 disebutkan dalam Bab XIII Penyelesaian
Sengketa:

1. dalam Pasal 129 ayat (1) bahwa Sengketa Pegawai Aparatur Sipil Negara
(ASN) diselesaikan melalui upaya administratif.
2. dalam ayat (2) disebutkan bahwa Upaya Administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari keberatan dan banding administratif.
3. dalam ayat (3) disebutkan bahwa Keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang
menghukum dengan memuat alasan keberatan dan tembusannya
disampaikan kepada pejabat yang berwenang menghukum.

Sengketa yang dilaksanakan dapat mundul dari beberapa faktor salah


satunya faktor yang di berikan dari pejabat yang berwenang kepada pegawai yang
terdapat dibawah kestrukturalnnya dan di keluarkan sanksi, adapunsanksi tersebut
diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin pegawai negeri sipil. Ketika aparatur sipil negara tersebut tidak puas atas
hukuman disipilin yang telah ditetapkan kepada dirinya maka aparatur sipil negara
tersebut dapat mengajukan upaya administratif. Ada dua cara penyelesaian
sengketa kepegawaian yaitu khusus untuk pelanggaran disiplin diupayakan
terlebih dahulu penyelesaian melalui saluran Upaya Administratif yaitu Keberatan
dan Banding Administratif. Keberatan kepada atasan yang berwenang
menghukum sedangkan Banding Administratif kepada Badan Pertimbangan ASN
yang selanjutnya akan penulis bahas bahwa lembaga yang menyelesaikan banding
admnistratif ini melalui badan pertimbangan kepegawaian.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang


Aparatur Sipil Negara sesuai ketentuan Pasal 129 maka pelanggaran disiplin yang
dijatukakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan semua pelanggaran non
disiplin yang juga dijatuhkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian semuanya
diselesaikan ke Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara. Hal tersebut sudah
sejalan dengan Pasal 48 dan 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 mengatur tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan salah satu pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang wewenang Pengangkatan, Pemindahan
dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil baik dengan hormat maupun tidak
dengan hormat.
Penjelasan Pasal 48 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan dengan upaya administratif adalah
suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata
apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara, yang
dilaksanakan dilingkungan pemerintah sendiri. Upaya Administratif itu terdiri
dari:

1. Keberatan, yakni jika penyelesaiannya harus dilakukan sendiri oleh Badan


atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu.
2. Banding, yakni apabila penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan
atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
Upaya administratif yang saat ini telah dirubah, bukan tanpa sebab
kebutuhan perubahan proses pelaksanaan sengketa kepegawaian harus
direalisasikan. Disamping karena disebab perubahan nomenklatur yang
mendasar yakni perubahan norma hukum, di di sisi lain dalam mengajukan
keberatan pada badan pertimbangan kepegawaian sebelum berubahnya
menjadi badan pertimbangan aparatur sipil negara, banyak problematik
yang mendasar yang memang harus diselesaikan melalui norma hukum
yang baru.

Misalnya syarat untuk mengajukan keberatan kepada Badan Pertimbangan


Kepegawaian adalah: Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan berpangkat
Pembina Gol.Ruang IV/a kebawah. Pegawai Negeri Sipil tersebut dijatuhi
hukuman disiplin yang berupa pemberhentian dengan hormat, tidak atas
permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil atau pemberhentian tidak dengan
hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Untuk itu akan diungkapkan pola kerja dan
cara penyelesaian sengketa kepegawaian, yang berkaitan dengan Badan
Pertimbangan Kepegawaian. Perlu ditetapkan hal tersebut karena dalam
kenyataannya cara penyelesaian sengketa kepegawaian oleh Badan Pertimbangan
Kepegawaian kurang mendukung perlindungan hukum bagi Pegawai Negeri Sipil,
antara lain terlihat dalam hal sebagai berikut :

1. Putusan Badan Pertimbangan Kepegawaian didasarkan juga pada


kebijaksanaan,sehingga masih diwarnai oleh unsur subyektifitas.
2. Pemeriksaan dalam sidang hanya dilakukan terhadap berkas perkara, tidak
terhadap Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan pejabat yang
berwenang sebagai para pihak dalam sengketa tersebut. Di lain pihak
berkas perkara sering tidak lengkap dikirim olehinstansi yang
bersangkutan.

Upaya terakhir yang bisa dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil terhadap
keputusan Penjatuhan hukuman disiplin adalah mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Didalam UU. 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-UndangNomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilann Tata
Usaha Negara, dinyatakan dalam Pasal 48 sebagai berikut:
(1). Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh
atau Badan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
secara administrative sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata
Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya adminstrasi yang
tersedia.

(2). Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan


sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh
upaya administrative yang bersangkutan telah digunakan.
Dalam pelaksanaannya dengan kaitannya pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
diidentifikasi adanya permasalahan sebagai berikut :

1. Belum adanya pengaturan pendelegasian wewenang baik untuk hukuman


disiplin maupun untuk pemberian/penolakan izin perkawinan maupun
perceraian.
2. Belum adanya tertib administrasi dalam penyampaian Surat Keputusan
Hukuman Disiplin.
3. Adanya perbedaan pengertian terhadap Pegawai Negeri Sipil yang sedang
menjalani hukuman disiplin dengan Pegawai Negeri Sipil yang sedang
mengajukan banding administratif ke Badan Pertimbangan Aparatur Sipil
Negara atas pemberhentiannya.
4. Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan dilakukan bukan oleh Pejabat yang
berwenang atau tanpa perintah dari pejabat yang berwenang menghukum.
5. Tanggapan Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat maupun Daerah yang
diminta oleh Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara atas banding
administratif yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil Pusat maupun
Daerah disampaikan cukup lama.

(3). Transformasi Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) Menjadi Badan


Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) Wewenang Badan Pertimbangan
Aparatur Sipil Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa kepegawaian yang
merupakan amanat undang-undang yang dalam pelaksanaannya diatur dalam
peraturan pemerintah yang sampai saat ini masih dalam tahap pembahasan
sehingga terhadap pemberhentian karena pelanggaran yang dilakukan seorang
PNS yang bukan disiplin di gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat
dimana kedudukan Pejabat Pembina Kepegawaian berkantor, sedangkan
pemberhentian karena pelanggaran disiplin diajukan banding administratif ke
Badan Pertimbangan Kepegawaian. Presiden memberikan wewenang
penyelesaian sengketa kepegawaian kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, dalam hal ini memberikan wewenang untuk menyelesaikan sengketa
kepegawaian kepada Badan Pertimbangan ASN sebagai atasan Pejabat yang
berwenang menghukum melalui jalur banding administratif, yang dituangkan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Pemerintah dalam hal ini Presiden
RI, jadi wewenang penyelesaian sengketa kepegawaian tersebut sebetulnya harus
dilaksanakan oleh satu badan lembaga pemerintah tersendiri.

Paradigma penyelesaian sengketa kasus kepegawaian berubah sejak


ditetapkannya UU Aparatur Sipil Negara (ASN) Nomor 5 Tahun 2014. Dalam
pasal 129 disebutkan sengketa pegawai ASN diselesaikan melalui upaya
administratif. Menguatkan aturan tersebut di tahun yang sama, UU Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga ditetapkan. Dalam pasal 75
UU tersebut menegaskan bahwa warga masyarakat yang dirugikan terhadap
keputusan dan atau tindakan dapat mengajukan upaya administratif kepada
pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan. Artinya, seluruh
kasus yang berkaitan dengan pemerintahan, harus diupayakan secara administratif
terlebih dahulu sebelum naik banding dan mengajukan tuntutan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN). Demikian pula dalam Pasal 129 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014, antara lain dijelaskan bahwa Badan Pertimbangan Aparatur
Sipil Negara yang merupakan suatu lembaga bagi Pegawai Negeri Sipil untuk
mengajukan banding administratif apabila yang bersangkutan dijatuhi sanksi
hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil atau pemberhentian tidak dengan hormat
sebagai Pegawai Negeri Sipil baik pelanggaran disiplin maupun non disiplin yang
berpangkat pembina utama golongan ruang IV ke bawah.

Pada prinsipnya sengketa kepegawaian ASN baik itu pelanggaran disiplin


ataupun tidak, harus diselesaikan secara internal melalui upaya administratif
terlebih dahulu. Upaya administratif ini dilakukan dengan dua cara: Pertama,
mengajukan keberatan kepada atasan pejabat yang berwenang memberikan
hukuman dengan memberikan tembusan kepada pejabat yang berwenang
menghukum; Kedua, mengajukan banding administratif ke Badan Pertimbangan
ASN (BPASN). “BAPEK akan menjadi cikal bakal BP ASN, tanggung jawab dan
kewenangannya akan lebih luas lagi, tidak hanya menangani permasalahan
kepegawaian yang berkaitan dengan kedisiplinan PNS saja dan ini harus benar-
benar disiapkan dari regulasi dan struktur organisasinya. Disamping itu, Badan
Pertimbangan Aparatur Sipil Negara juga memberikan pertimbangan kepada
Presiden mengenai usul penjatuhan hukuman disiplin pemberhentian dengan
hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil maupun tidak dengan hormat terhadap
Eselon I serta pembebasan dari jabatan bagi Pejabat Eselon I, yang diajukan oleh
Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, dan Pimpinan
Lembaga Pemerintah Nonkementerian. Untuk yang akan datang pasti banyak
Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan banding administratif ke Badan
Pertimbangan Kepegawaian antara lain bahwa:

a. Keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian sebagai Pejabat Tata Usaha


Negara secara subyektif dianggap sewenang-wenang dan tidak memenuhi
rasa keadilan.
b. Keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian sebagai Pejabat Tata Usaha
Negara secara subyektif dinilai Pegawai.
Namun demikian sampai saat ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa
wewenang penyelesaian sengketa kepegawaian diselesaikan melalui upaya
banding administratif ke Badan Pertimbangan ASN. Bila demikian dapat pula
dikatakan, bahwa wewenang penyelesaian sengketa kepegawaian tersebut sah,
sebab ia diberikan oleh lembaga yang berkompeten untuk memberikannya dan
melalui prosedur yang sah pula, yakni dituangkan ke dalam Pasal 32, 34 Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.

Sengketa kepegawaian tersebut timbul akibat ketidakpuasan atas sanksi yang


ditetapkan kepada ASN tersebut.

I. PENYELESAIAN SENGKETA KEPEGAWAIAN MELALUI PTUN

Secara historis sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang


Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah mengatur peradilan yang
menyelesaikan sengketa kepegawaian. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 35 yang
berbunyi: “Penyelesaian sengketa di bidang kepegawaian dilakukan melalui
peradilan untuk itu, sebagai Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman”.

Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan


Tata Usaha Negara, sengketa kepegawaian diatur secara tegas sebagai bagian dari
kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 1 angka 4 yang menyebutkan bahwa: “Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Bahkan setelah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian melalui UndangUndang Nomor 43
Tahun 1999, Pasal 35 diubah menjadi 3 (tiga) ayat, yang ayat (1) menetukan
bahwa: “Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha
Negara”. Sementara di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara tidak menunjuk secara tegas lingkungan peradilan yang
berwenang menyelesaikan sengketa kepagawaian. Namun, landasan hukum
kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara cukup berdasarkan ketentuan Pasal 1
Angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.

Hubungan korelasi antara Upaya Administratif dengan Peradilan Tata


Usaha Negara dapat dilihat pada Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa “Dalam hal
suatu badan hukum atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa tata
usaha negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia”. Sedangkan ayat (2)
mengatur bahwa “Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan”.

Namun perlu diperhatikan di sini adalah Surat Edaran Mahkamah Agung


Nomor 2 Tahun 1991 yang memberikan petunjuk kepada badan Peradilan Tata
Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang terdapat
upaya administratif. Petunjuk tersebut yaitu:

1. Jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar


dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan
terjadinya sengketa Tata Usaha Negara upaya administratif yang
tersedia adalah Keberatan, maka penyelesaian selanjutnya adalah
dengan mengajukan gugatan ke Pangadilan Tata Usaha Negara
(PTUN).
2. Jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan
terjadinya sengketa Tata Usaha Negara upaya administratif yang
tersedia adalah Banding Administratif saja atau Keberatan dan
Banding Administratif, maka penyelesaian selanjutnya adalah dengan
mengajukan gugatan ke Pangadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PTTUN).

Namun jika dikaji lebih mendalam terhadap penyelesaian sengketa


kepegawaian, maka apabila Banding Administratif telah ditempuh, selanjutnya
diajukan gugatan langsung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN)
bukan ke PTUN. Oleh karena dalam sengketa kepegawaian yang hanya tersedia
Banding Administratif kepada Bapek diajukan gugatan ke PTTUN. Jadi dalam
konteks ini, PTTUN adalah pengadilan tingkat pertama bukan tingkat banding.

Pada saat akan mengajukan gugatan sengketa kepegawaian ke Peradilan


Tata Usaha Negara (baik PTUN maupun PTTUN) ada hal-hal yang perlu
diperhatikan:

1. Upaya administratif. Jika upaya administratif (Keberatan/ Banding


Administratif) tersedia, maka sebelum mengajukan gugatan harus
menempuh upaya administratif yang tersedia, agar gugatan tidak
prematur, karena jika gugatan prematur akan menyebabkan gugatan
tidak dapat diterima (niet on kelijk verklaark).
2. Tenggang waktu mengajukan gugatan. Di dalam sengketa tata usaha
negara tenggang waktu mengajukan gugatan ditentukan secara
limitatif. Adapun tenggang waktu yang dimaksud adalah 90 hari sejak
diterimanya atau diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang
menjadi obyek sengketa. Dengan demikian, diambil kesimpulan bahwa
tenggang waktu gugatan yang disediakan apabila tidak puas terhadap
keputusan upaya administratif, maka dihitung sejak saat diterimanya
keputusan dari Pejabat atau Instansi yang mengeluarkan keputusan
(jika upaya administratif yang tersedia hanya Keberatan), atau sejak
saat diterima keputusan dari Pejabat atasan atau instansi atasan atau
instansi lain yang berwenang (jika upaya administratif hanya berupa
banding administratif saja atau berupa Keberatan dan Banding
Administratif). Jika tenggang waktu tidak diperhatikan sehingga
daluarsa (vriajring) sudah lewat 90 (sembilan puluh) dapat
menyebabkan gugatan tidak dapat diterima (niet on kelijk verklaark).
3. Gugatan harus ditujukan kepada pengadilan yang berwenang. Dalam
mengajukan gugatan harus dilakukan secara tertulis dan ditujukan
kepada pengadilan yang berwenang, yaitu kepada pengadilan tempat
kedudukan tergugat (actor squitor forum rei). Apabila tergugat lebih
dari satu dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum, maka
gugatan diajukan kepada pengadilan tempat salah satu tergugat.
Sedangkan jika tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan
tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan kepada
pengadilan tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan
kepada pengadilan yang bersangkutan. Khusus terhadap tergugat yang
berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta. Gugatan yang diajukan tidak memperhatikan
kompetensi relatif juga menyebabkan gugatan tidak dapat diterima
(niet on kelijk verklaark).
4. Di dalam sengketa kepegawaian, tuntutan gugatan terhadap Keputusan
Tata Usaha Negara yang menimbulkan terjadinya sengketa
kepegawaian dapat berupa permohonan kepada pengadilan untuk
menyatakan Keputusan tersebut tidak sah atau batal dan dapat disertai
dengan tuntutan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.
5. Apabila Putusan PTTUN masih tidak memberikan kepuasan kepada
PNS yang bersangkutan, maka dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Setelah hal-hal tersebut diperhatikan, maka surat gugatan dapat diajukan


kepada Peratun. Gugatan tersebut haruslah dibuat secara tertulis dengan memuat
identitas para pihak, hak gugat (legal standing) yang menguraikan kedudukan
Penggugat dan obyek sengketa, dasar atau alasan gugatan (fundamentum petendi
atau posita), dan amar tuntutan (petitum).

Sebenarnya legal standing bukan syarat mutlak dalam sistematika surat


gugatan, namun perlu juga kiranya dimuat untuk memperkuat posita, karena
dalam hukum acara Peratun dan Perdata ada prinsip no interest no suit (tidak ada
kepentingan, maka tidak ada sengketa). Pada bagianposita harus menguraikan
peristiwa hukum dan dasar gugatan secara runut, rinci, dan jelas, karena jika dasar
gugatan tidak jelas atau kabur (obscuur libel) maka akan menyebabkan gugatan
tidak dapat diterima (niet on kelijk verklaark). Sedangkan untuk petitum pada
prinsipnya memuat permohonan agar keputusan yang menjadi obyek sengketa
dinyatakan batal atau tidak sah.

Istilah “batal” dalam konteks putusan yang “prospektif” atau bersifat ex


nunc atau pro futuro, yaitu putusan tersebut berlaku ke depan.4 Dengan kata lain,
keputusan tersebut dipandang sebagai sesuatu yang sah sampai saat dinyatakan
“batal” (dibatalkan), sehingga akibatakibat hukum dari keputusan yang dibatalkan
tersebut tetap diakui atau sah menurut hukum. Adapun cacat yuridis yang
menyebabkan suatu keputusan menjadi batal meliputi cacat wewenang, prosedur,
dan/atau substansi. Untuk keputusan yang dinyatakan tidak sah (nullity) berlaku
surut “retroaktif” terhitung dari saat dikeluarkannya keputusan itu atau bersifat ex
tunc. Dengan kata lain keputusan dinyatakan tidak sah dikeluarkan karena tidak
sesuai dengan hukum atau melawan hukum.5 Adapun penyebab suatu keputusan
tidak sah apabila dibuat oleh Badan atau Pejabat yang tidak berwenang, dibuat
oleh Badan atau Pejabat yang melampaui kewenangannya (ultra vires), dan/atau
dibuat oleh Badan dan/ atau Pejabat yang bertindak sewenang-wenang
(willekeur).

Setelah surat gugatan diajukan ke Peratun yang berwenang melalui


kepaniteraannya dan sudah melalui tahapan penelitian administratif, maka akan
dilakukan rapat permusyawaratan yang dikenal dengan sebutan dismissal
procedur (prosedur yang disederhanakan) dan pemeriksaan persiapan dalam
sidang yang tertutup. Dismissal procedur untuk memeriksa pokok gugatan apakah
merupakan kompetensi Peratun atau tidak, termasuk juga masalah tenggang waktu
mengajukan gugatan, alasan gugatan dan tuntutan. Tahapan dismissal prosedur ini
hanya ada di dalam hukum acara Peratun dan tidak ditemui di dalam hukum acara
perdata. Pada tahapan dismissal procedur Ketua Pengadilan berwenang untuk
mengeluarkan penetapan dismissal mengenai gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima (niet on kelijk verklaark) atau tidak berdasar (niet gegrond).
4
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman RepublikIndonesia, (Bandung: Universitas Islam Bandung
Press, 1995), h. 31
5
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah,
(Bandung: Alumni, 2005), h. 243.
Jika pada tahap dismissal procedur telah dilewati maka masuk tahapan
pemeriksaan persiapan yang bertujuan untuk menyempurnakan surat gugatan
melalui petunjuk-petunjuk hakim. Apabila tahapan-tahapan tersebut telah dilalui,
maka dilakukan pemeriksaan persidangan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut:

1. Pembacaan surat gugatan;


2. Jawaban (yang dapat memuat nota keberatan/ tangkisan/eksepsi);
3. Replik;
4. Duplik;
5. Pemeriksaan alat bukti;
6. Kesimpulan para pihak; dan
7. Putusan (vonis).

Apabila para pihak tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama
(PTUN untuk sengketa kepegawaian yang hanya melalui upaya Keberatan
Administratif dan PTTUN untuk sengketan kepegawaian yang melalui upaya
Banding Administratif) dapat mengajukan upaya hukum banding (appeal) dan
apabila masih juga tidak puas dapat mengajukan kasasi. Namun khusus terhadap
obyek sengketa berupa keputusan pejabat daerah yang hanya berlaku di daerah
yang bersangkutan saja tidak dapat diajukan kasasi.6

J. ANALISA KASUS

6
Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo. UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Berdasarkan laporan dari Harianjogja.com, Selama 2019 Pemkab
Gunungkidul menjantuhkan sanksi kepada tujuh pegawai negeri sipil (PNS) yang
melanggar kedisiplinan. Adapun hukuman bervariasi mulai dari pemecatan hingga
sanksi penurunan pangkat selama tiga tahun. Berdasarkan data dari Badan
Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Gunungkidul, dari tujuh orang ini
salah seorang PNS dipecat karena tersangkut masalah korupsi saat menjabat
sebagai sekretaris desa. Setelah divonis dan memiliki kekuatan hukum tetap, yang
bersangkutan langsung diberhentikan.

Adapun sanksi pelanggaran disiplin berat dijatuhkan kepada dua pegawai


karena tidak masuk lebih dari 36 hari dan dijatuhi sanksi penurunan pangkat
selama tiga tahun. Empat pegawai lainnya dijatuhi sanksi hukuman penurunan
pangkat selama dua tahun. Kepala Sub Bidang Status dan Kedudukan Pegawai
BKPP Gunungkidul, Sunawan, mengatakan surat keputusan hukuman telah
diberikan kepada masing-masing pegawai. “Semua sudah mendapatkan SK,
termasuk yang diberhentikan karena kasus korupsi program prona,” kata Sunawan
kepada wartawan, Jumat (17/1/2020).
Menurut dia, sanksi hukuman yang diberikan sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan. Sebagai contoh dua orang yang dijatuhi hukuman
penurunan pangkat selama tiga tahun karena dinilai melakukan pelanggaran berat.
Keduanya dihukum karena tidak masuk kerja tanpa keterangan selama 42 hari dan
36 hari. “Kalau sampai 46 hari tidak masuk tanpa keterangan, maka yang
bersangkutan bisa diberhentikan sebagai PNS,” katanya.

Untuk empat kasus lain meliputi dua pegawai tersangkut masalah


perselingkuhan dan dua lainnya terjerat kasus foto vulgar. Adapun pemberian
sanksi mengacu pada aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah
No.53/2010 tentang Disiplin Pegawai, sehingga hukuman untuk setiap
pelanggaran tidak sama. “Sebelum hukuman turun, tim memeriksa pegawai
bersangkutan dengan melihat kesalahan yang diperbuat. Setelah diperiksa,
keempat PNS itu dijatuhi hukuman penurunan pangkat selama dua tahun,”
katanya.

Analisis:

Ketentuan tentang PNS dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014


tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah
warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan tertentu, yang ditunjuk
sebagai Pegawai ASN yang tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk
mendapatkan jabatan pemerintahan.

Definisi melanggar disiplin disebut dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan


Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang
berbunyi: Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau tindakan PNS
yang tidak menaati kewajiban dan / atau larangan larangan disiplin PNS, baik
yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja. Dengan tidak
mengesampingkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pengadilan,
PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin. Hukuman
disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada PNS karena menolak peraturan
disiplin PNS. Ada 3 tingkatan hukuman bagi PNS yaitu:

a. hukuman disiplin ringan :
1)    teguran lisan;
2)    teguran tertulis; dan
3)    pernyataan Tidak Puas Beroperasi tertulis
b. hukuman disiplin sedang :
1)    menghabiskan kenaikan berkala selama 1 (satu) tahun;
2)    naik kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun;
3)    Penurunan pangkat setinggi lebih rendah selama 1 (satu) tahun
c.  hukuman disiplin berat :
1)    Penurunan pangkat setinggi lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
2)    pemindahan dalam rangka penurunan.
3)    pembebasan dari jabatan;
4)    pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
PNS; dan
5)    pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
 
Bahwa sanksi hukuman yang diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran
yang dilakukan. Sebagai contoh dua orang yang dijatuhi hukuman penurunan
pangkat selama tiga tahun karena dinilai melakukan pelanggaran berat. Keduanya
dihukum karena tidak masuk kerja tanpa keterangan selama 42 hari dan 36 hari.
Hal ini merupakan salah satu penjatuhan sanksi sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Tujuan hukuman disiplin PNS adalah untuk memperbaiki, membina dan


mendidik PNS yang melakukan pelanggaran disiplin, agar kembali memiliki sikap
ketaatan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu setiap
pejabat yang berwenang menghukum wajib memeriksa lebih dahulu dengan
seksama PNS yang melakukan pelanggaran disiplin, agar diketahui latar belakang
dan motif terjadinya pelanggaran disiplin, sehingga hukuman disiplin yang
dijatuhkan benar-benar sesuai dan memenuhi asas keadilan.

Bahwa ada Tingkat dan Jenis Hukuman Disiplin PNS yang ketiga adalah
hukuman disiplin berat. Hukuman disiplin berat terdiri dari:

1. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun


Hukuman disiplin yang berupa penurunan pangkat pada pangkat
yang setingkat lebih rendah, ditetapkan untuk masa sekurang-
kurangnya 6 (enam) bulan, dan untuk paling lama satu tahun. Setelah
masa menjalani hukuman disiplin penurunan pangkat selesai, maka
pangkat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dengan sendirinya
kembali pada pangkat yang semula. Masa dalam pangkat terakhir
sebelum dijatuhi hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, dihitung
sebagai masa kerja untuk kenaikan pangkat berikutnya. Kenaikan
pangkat berikutnya Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman
disiplin berupa penurunan pangkat, baru dapat dipertimbangkan
setelah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sekurangkurangnya
satu tahun dikembalikan pada pangkat semula.
2. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah
Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih
rendah dengan memperhatikan jabatan yang lowong dan persyaratan
jabatan
3. Pembebasan dari jabatan. Hukuman disiplin yang berupa pembebasan
dari jabatan adalah pembebasan dari jabatan organik
Pembebasan dari jabatan berarti pula pencabutan segala wewenang
yang melekat padajabatan itu. Selama pembebasan dari jabatan,
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan menerima penghasilan penuh
kecuali tunjangan jabatan.
4. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negeri Sipil
Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin berupa
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negeri Sipil, apabila memenuhi syarat masa kerja dan usia
pensiun menurut peraturan perundangundanganyang berlaku, yang
bersangkutan diberikan hak pensiun.
5. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS
Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin
pemberhentian tidak dengan hormat, maka kepada Pegawai Negeri
Sipil tersebut tidak diberikan hak-hak pensiunnya meskipun memenuhi
syarat-syarat masa kerja usia pensiun.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sanksi Disiplin merupakan hukuman yang diberikan kepada Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang tidak mampu menjalankan dan mantaati kewajiban
dan menghindari larangan-larangan yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dan /atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati
atau dilanggar maka akan dijatuhi hukuman disiplin.
Tingkat dan Jenis Hukuman Disiplin PNS
Tingkat hukuman disiplin telah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor
53 tahun 2010 tentang disiplin PNS yang mana tingkat dan jenis sanksi atau
hukuman telah diatur dalam pasal-pasal berikut:
(1) Ttingkat sanksi sebagai berikut :
a. hukuman disiplin ringan;
b. hukuman disiplin sedang; dan
c. hukuman disiplin berat
(2) Jenis hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a terdiri dari:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan
c. pernyataan tidak puas secara tertulis
(3) Jenis hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b terdiri dari:
a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;
b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan
c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.
(4) Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
terdiri dari:
a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah
c. pembebasan dari jabatan;
d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
PNS; dan
e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Dalam hal penjatuhan hukuman didiplin, keputusan hukuman yang
ditetapkan oleh atasan pejabat yang berwenang menghukum dan keputusan
yang diambil oleh Badan Pertimbangan Kepegawaian tidak dapat diajukan
keberatan dan mengikat serta wajib dilaksanakan oleh semua pihak yang
bersangkutan, baik oleh PNS yang mengajukan keberatan ataupun oleh
pejabat yang berwenang menghukum. Pada dasarnya hak untuk membela
kepentingan hukum merupakan salah satu bentuk hak asasi yang dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang. Untuk itu hak untuk membela kepentingan
hukum, khususnya dalam hubungannya dengan Keputusan TUN telah
dicantumkan dalam Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN bahwa
orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan TUN yang berhak untuk mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi
Penjatuhan hukuman disiplin:
1. Pertimbangan dalam menentukan jenis hukuman disiplin:
a. Harus ada pertimbangan secara seksama sebelum menjatuhkan hukuman
disiplin.
b. Pegawai yang terbukti melakukan beberapa pelanggaran, hanya dijatuhi 1
(satu) jenis hukuman disiplin yang terberat, setelah mempertimbangkan semua
pelanggaran yang dilakukan.
c. Pegawai yang pernah dijatuhi hukuman disiplin kemudian mengulangi
pelanggaran yang sama, dijatuhi hukuman disiplin yang lebih berat dari
hukuman disiplin terakhir yang diterima.
2. Dampak bagi Pegawai yang dijatuhi Hukuman Disiplin
a. Teguran Lisan dan Teguran Tertulis
1) Ditetapkan dalam surat keputusan, dengan menyebutkan pelanggaran
disiplin yang dilakukan.
2) Gaji dan Tunjangan tetap dibayarkan penuh kepada Pegawai selama
menjalani hukuman disiplin.
b. Pernyataan Tidak Puas Secara Tertulis
1) Ditetapkan dalam surat keputusan, dengan menyebutkan pelanggaran
disiplin yang dilakukan.
2) Gaji dan Tunjangan struktural atau fungsional tetap dibayarkan penuh.
3) Tunjangan bahaya nuklir dihentikan sementara selama 1 (satu) bulan.

Sengketa Kepegawaian merupakan salah satu bagian dari sengketa tata


usaha negara dan keputusan/penetapan di bidang kepegawaian merupakan
objek sengketa tata usaha negara dari Peradilan Tata Usaha Negara. Lalu
apabila terdapat sengketa kepegawaian bagaimana upaya penyelesaiannya?
Terdapat upaya penyelesaian sengketa:
1. Penyelesaian sengketa kepegawaian melalui upaya administratif
Upaya administratif adalah prosedur yang dapat ditempuh oleh
Pegawai Negeri Sipil yang tidak puas terhadap hukuman disipin yang
dijatuhkan kepadanya berupa keberatan atau banding administratif. Hal
tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
aparatur sipil negara Tata Usaha Negara pada tanggal 15 Januari 2014
disebutkan dalam Bab XIII Penyelesaian Sengketa.
Kesemua sanksi yang diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin pegawai negeri sipil. Ketika
aparatur sipil negara tersebut tidak puas atas hukuman disipilin yang telah
ditetapkan kepada dirinya maka aparatur sipil negara tersebut dapat
mengajukan upaya administratif. Ada dua cara penyelesaian sengketa
kepegawaian yaitu khusus untuk pelanggaran disiplin diupayakan terlebih
dahulu penyelesaian melalui saluran Upaya Administratif yaitu Keberatan
dan Banding Administratif. Keberatan kepada atasan yang berwenang
menghukum sedangkan Banding Administratif kepada Badan
Pertimbangan ASN yang selanjutnya akan penulis bahas bahwa lembaga
yang menyelesaikan banding admnistratif ini melalui badan pertimbangan
kepegawaian.
Pada prinsipnya sengketa kepegawaian ASN baik itu pelanggaran
disiplin ataupun tidak, harus diselesaikan secara internal melalui upaya
administratif terlebih dahulu. Upaya administratif ini dilakukan dengan
dua cara: Pertama, mengajukan keberatan kepada atasan pejabat yang
berwenang memberikan hukuman dengan memberikan tembusan kepada
pejabat yang berwenang menghukum; Kedua, mengajukan banding
administratif ke Badan Pertimbangan ASN (BPASN).
2. Penyelesaian Sengketa Kepegawaian melalui PTUN
Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, sengketa kepegawaian diatur secara tegas
sebagai bagian dari kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 4 yang menyebutkan bahwa:
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Bahkan setelah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian melalui UndangUndang
Nomor 43 Tahun 1999, Pasal 35 diubah menjadi 3 (tiga) ayat, yang ayat
(1) menetukan bahwa: “Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui
Peradilan Tata Usaha Negara”. Sementara di dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tidak menunjuk
secara tegas lingkungan peradilan yang berwenang menyelesaikan
sengketa kepagawaian. Namun, landasan hukum kompetensi Peradilan
Tata Usaha Negara cukup berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Pada penyelesaian sengketa kepegawaian, maka apabila Banding
Administratif telah ditempuh, selanjutnya diajukan gugatan langsung ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) bukan ke PTUN. Oleh
karena dalam sengketa kepegawaian yang hanya tersedia Banding
Administratif kepada Bapek diajukan gugatan ke PTTUN. Jadi dalam
konteks ini, PTTUN adalah pengadilan tingkat pertama bukan tingkat
banding.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Sri Hartini, dkk, 2014, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika.
Manan, Bagir, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia,
Bandung: Universitas Islam Bandung Press.
Fachruddin, Irfan, 2005, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap
Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin Pegawai


Negeri Sipil.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha


Negara

Anda mungkin juga menyukai