Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PEMERIKSAAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

Di susun sebagai salah satu syarat mengikuti perkuliahan


Hukum Tata Usaha Negara / Peradilan Tata Usaha Negara

Disusun oleh :
Kelompok 7

NAMA NIM
Memelsy Ayu W : ABA118018
Ahmad Ilham Gujali : ABA118003
Masaris : ABA118004
Ahmad Irfan Musthafa : ABA118020
Mixcel Theo Markus : 203030204052
Riski Widianto : 203030204049
Rika Aulia : 203020204018
Rensianae : 203030204053
Novita : 203030204041
Tiara Butar-butar : 203020204012

Dosen Pengampu Mata Kuliah:

Sakman, S.Pd., M.Pd


NIP. 198603142014041001

PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn)


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
dari para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Palangka Raya, September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..............................................................................................1
B. Rumusan dan Batasan Masalah..................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
A. Pengertian Pemeriksaan Dalam HTUN/PTUN..........................................................3
B. Pengertian Pelaksanaan Dalam HTUN/PTUN...........................................................4
C. Proses/Alur Pemeriksaan Persiapan...........................................................................7
D. Langkah-Langkah Pemeriksaan Perkara Pidana Dengan Cara Singkat..............10
E. Pelaksanaan Hasil Putusan Pidana...........................................................................11
BAB III PENUTUP................................................................................................................14
A. Kesimpulan..................................................................................................................14
B. Kritik dan Saran.........................................................................................................14
DAFTAR KEPUSTAKAAN.................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1


ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Sebagai negara hukum Indonesia menganut konsepsi welfare state (negara kesejahteraan),
sebagaimana diisyaratkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang merupakan
tujuan negara. Dalam konsepsi welfare state, pemerintah diberi wewenang yang luas
untuk campur tangan (staatsbemoeienis) di segala lapangan kehidupan masyarakat dalam
rangka menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg). Campur tangan tersebut
tertuang dalam ketentuan perundangundangan, baik dalam bentuk undang-undang,
maupun peraturan pelaksanaan lainnya yang dilaksanakan oleh administrasi negara,
selaku alat perlengkapan negara yang menyelenggarakan tugas servis publik.3 Negara
hukum pada dasarnya terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi
rakyat.4 Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan dilandasi oleh
dua prinsip; prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum.

Dalam negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan haruslah


berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur). Sebagai
konsekuensi dari negara hukum, wajib adanya jaminan bagi administrasi negara sebagai
alat perlengkapan negara untuk dapat menjalankan pemerintahan dan warga negara
memiliki hak dan kewajiban mendapat jaminan perlindungan. Oleh karena itu, kekuasaan
pemerintah tidak dapat lepas dari perkembangan asas legalitas yang telah dimulai sejak
konsep negara hukum klasik formele rechtstaat atau liberale rechtsstaat yaitu
wetmatigheid van bestuur artinya pemerintahan menurut undang-undang. Setiap tindakan
pemerintah harus berdasarkan kepada undang-undang.

Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah mengadakan hubunganhubungan


baik yang bersifat hubungan hukum maupun hubungan nyata dengan sesama aparat
negara maupun dengan pihak perorangan baik yang berbentuk badan hukum maupun
manusia pribadi (individu). Dalam menjalin hubungan hukum inilah terbentuk kegiatan-
kegiatan atau aktivitas Pemerintah yang berunsurkan perbuatan-perbuatan aparat
pemerintah. 8 Dalam hukum administrasi yang penting adalah tindakan hukum, sebab
suatu tindakan hukum akan menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu bagi mereka yang
terkena tindakan tersebut.

Menurut ketentuan Undang-undang No. 5 tahun 1986, tindakan hukum yang


dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha negara yang dituangkan dalam suatu keputusan
(beschikking), harus merupakan tindakan hukum dalam lapangan hukum tata usaha
negara (hukum publik).
Tindakan hukum yang dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha negara yang
dituangkan dalam suatu keputusan tata usaha negara (beschikking) dapat diuji
keabsahannya melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).

1
PTUN adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
terhadap sengketa tata usaha negara yang memiliki tugas dan wewenang untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Salah satu kewenangan PTUN yang paling penting selama proses pemeriksaan
persidangan berlangsung adalah kewenangan untuk mengeluarkan suatu putusan
(penetapan) sementara atau putusan sela atas keputusan pemerintah atau keputusan TUN
yang sedang disengketakan. Begitu gugatan masuk dan didaftarkan di Kepaniteraan
PTUN, pada saat itu juga PTUN dapat menghentikan keputusan pemerintah tersebut
untuk tidak dilaksanakan, selama pemeriksaan proses perkara berlangsung. Putusan yang
demikian disebut putusan penundaan, yang diatur di dalam Pasal 67 Undang-Undang No.
5 Tahun 1986.

Pada asasnya suatu gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan TUN yang
disengketakan (digugat). Asas tersebut bersumber pada asas bahwa setiap keputusan TUN
harus dianggap sah menurut hukum (het vermoeden van rechtmatigheid = praesumtio
iustae causa). Karena keputusan itu dianggap demi kepastian hukum keputusan itu dapat
dilaksanakan selama belum dibuktikan sebaliknya sampai ada pembatalan.

B. Rumusan dan Batasan Masalah


Berdasarkan permasalahan di atas, pemakalah menemukan satu rumusan masalah
yang menjadi fokus pembahasan pada judul materi di atas, yaitu:
1. Pengertian Pemeriksaan Dalam HTUN/PTUN
2. Pengertian Pelaksanaan Dalam HTUN/PTUN
3. Proses/Alur Pemeriksaan Persiapan
4. Lankah-langkah Pemeriksaan Perkara Pidana Dengan Acara Singkat
5. Pelaksanaan Hasil Putusan Pidana

C. Tujuan
Adapun tujuan pemakalah dalam mengkaji permasalahan di atas adalah agar :
1. Memahami Pengertian Dalam HTUN/PTUN
2. Memahami Pengertian Pelaksanaan Dalam HTUN/PTUN
3. Memahami Proses/Alur Pemeriksaan Persiapan
4. Memahami Langkah-langkah Pemeriksaan Perkara Pidana Dengan Acara Singkat
5. Memahami Pelaksanaan Hasil Putusan Pidana

2
BAB II
PEMBAHASAN
PEMERIKSAAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

A. Pengertian Pemeriksaan Dalam HTUN/PTUN

Dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara


Perpajakan Nomor 28 tahun 2007, pengertian pemeriksaan adalah serangkaian
kegiatan untuk mencari, menghimpun, dan mengolah data serta keterangan dan bukti
lainnya yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan.

Pemeriksaan Persiapan merupakan prosedur pendahuluan dalam Peradilan


Tata Usaha Negara yang memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim yang telah
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan, agar wajib mengadakan pemeriksaan persiapan
untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas atau untuk mematangkan perkara
sebelum pemeriksaan pokok sengketa di muka umum dimulai, yang ketentuannya
dapat dilihat dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Pemeriksaan
Persiapan ini dapat pula dilakukan oleh Hakim Anggota yang ditunjuk oleh Ketua
Majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Ketua Majelis (Ratna et al.,
n.d.). Pemeriksaan persiapan terutama dilakukan untuk menerima bukti-bukti dan
surat-surat yang berkaitan. Dalam hal adanya tanggapan dari Tergugat, tidak dapat
diartikan sebagai replik dan duplik. Bahwa untuk itu harus dibuat berita acara
pemeriksaan persiapan(Pattipawae, 2015).

Pemeriksaan persiapan adalah langkah awal dalam penyelesaian sengketa Tata


Usaha Negara. Pemeriksaan persiapan memiliki peranan yang sangat penting, sebagai
pintu gerbang suatu sengketa tata usaha negara untuk diperiksa pada Pengadilan Tata
Usaha Negara. Eksistensi pemeriksaan persiapan dalam penyelesaian sengketa di
Pengadilan Tata Usaha adalah untuk mematangkan perkara, dengan memanggil
Penggugat untuk menyempurnakan surat gugatannya yang belum sempurna atau

3
belum jelas dan terhadap Tergugat dapat dimintai keterangan atau penjelasan
berkenaan tentang Surat Keputusan yang diterbitkannya. (Ayustina et al., 2019).

B. Pengertian Pelaksanaan Dalam HTUN/PTUN

Pelaksanaan Putusan PTUN Pelaksanaan putusan PTUN (Eksekusi) adalah


aturan tentang cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh perlengkapan negara guna
membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim apabila
pihak yang kalah tidak bersedia mematuhi isi putusan dalam waktu yang ditentukan.
Eksekusi dapat diartikan suatu tindakan lanjut dalam hal melaksanakan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Eksekusi
putusan pengadilan adalah pelaksanaan putusan pengadilan oleh atau dengan bantuan
pihak luar dari para pihak.

Hal-hal yang berkaitan dengan eksekusi adalah pembatalan Surat Keputusan


yang diikuti dengan rehabilitasi, sanksi administratif dan eksekusi putusan untuk
membayar sejumlah uang (dwangsom). Adapun macam-macam eksekusi pengadilan
diantaranya :

a. Eksekusi Otomatis.
Eksekusi otomatis terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak diubah oleh Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 dan
oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Berdasarkan perintah Ketua Pengadilan
yang mengadilinya dalam tingkat pertama salinan putusan pegadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat
tercatat oleh Penitera Pengadilan setempat selambat-lambatnya dalam waktu 14
(empat belas) hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009 ayat (1) ketentuan waktu 14 (empat belas) hari diubah menjadi
14 (empat belas) hari kerja. Putusan yang mewajibkan kepada pejabat atau badan
pemerintah untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pada dasarnya
memerlukan pelaksanaan.

Namun Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004 memberikan penyelesaian secara otomatis, yaitu apabila
dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan
kepada pihak tergugat dan tergugat tidak melaksanakan pencabutan Keputusan 78
Tata Usaha Negara (KTUN) yang telah dinyatakan batal tersebut, maka KTUN
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap lagi. Penyelesaian otomatis ini
dipertahankan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Akan tetapi ketentuan
waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan dan
tergugat tidak melaksanakan pencabutan obyek sengketa, maka KTUN tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 diubah

4
menjadi “setelah 60 (enam puluh) hari kerja diterima”, tergugat tidak melaksanakan
pencabutan KTUN yang bersangkutan maka obyek yang disengketakan tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.

Menurut Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha


Negara (PERATUN), Ketua Pengadilan perlu membuat surat yang menyatakan
KTUN yang dinyatakan batal atau tidak sah oleh putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Surat tersebut
dikirimkan kepada para pihak oleh Panitera dengan surat tercatat yang
pelaksanaannya dilakukan oleh juru sita (Mahkamah Agung, 2008: 66). Sesuai sifat
dari KTUN masih perlu mempublikasikan pernyataan tersebut agar masyarakat
mengetahui bahwa KTUN yang bersangkutan sudah tidak berkekuatan hukum lagi.

b. Eksekusi Hierarkis.
Eksekusi hierarkis diatur oleh Pasal 116 ayat (3), (4) dan (5)MUndang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak lagi diterapkan 79 setelah disahkannya Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004. Ditentukan bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus
melaksanakan kewajibannya melaksanakan pencabutan KTUN dan menerbitkan
KTUN yang baru atau menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan
kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Jika tergugat masih tidak mau
melaksanakannya (berdasarkan Pasal 116 ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986), Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut
jenjang jabatan.

Instansi atasan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan


dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat tergugat melaksanakan
putusan pengadilan tersebut (lihat Pasal 116 ayat (5) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986). Dalam hal instansi atasan dimaksud tidak mengindahkannya maka Ketua
Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat yang bersangkutan melaksanakan
putusan Pengadilan (lihat Pasal 116 ayat (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).

Unsur eksekusi hierarkis kembali muncul dalam Undang-undang Nomor 51


Tahun 2009, pada Pasal 116 ayat (6). Ketua Pengadilan diharuskan untuk mengajukan
hal ketidaktaatan pejabat tergugat atau termohon eksekusi kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan 80 pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan. Di samping itu juga mengajukannya kepada
lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.

c. Eksekusi Upaya Paksa.


Selama berlakunya mekanisme eksekusi hierarkis tingkat keberhasilan
pelaksanaan putusan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara relatif rendah, yaitu

5
30 sampai 40 persen. Dengan lahirnya mekanisme “upaya paksa” ini, banyak pihak
yang menaruh harapan bahwa instrumen ini akan dapat memberikan sumbangan yang
signifikan bagi efektivitas pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara di masa
mendatang. Pembaharuan Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan
ayat (3) sampai dengan ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 mengubah
mekanisme pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dari “eksekusi
hierarkis” menjadi “upaya paksa”.

Perubahan ini adalah sebagai koreksi terhadap lemahnya kekuasaan (power)


badan peradilan yang memberikan peraturan perundang-undangan dan dinilai tidak
mampu memberikan tekanan kepada pihak pejabat atau badan pemerintah untuk
melaksanakan putusan. Ditentukan pada ayat (3) pasal 116 Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004 bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan 81 menerbitkan KTUN yang
baru atau menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian
setelah 3 (tiga) bulan sejak putusan disampaikan kepada pihak tergugat (menurut
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, 90 (Sembilan puluh) hari kerja sejak
diterima) dan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, penggugat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama agar
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Perubahan
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 pada dasarnya tidak mengubah cara upaya
paksa ini.

Setelah Ketua Pengadilan memerintahkan untuk melaksanakan putusan (Pasal


116 ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009) ternyata tergugat tidak bersedia melaksanakannya, maka
terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa “pembayaran
sejumlah uang paksa” dan/ atau “sanksi administratif” dan pejabat yang tidak
melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud “diumumkan pada media
massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan tersebut”. Pada
penelitian ini, penulis membatasi pada penelitian dari faktor hukumnya yaitu
ketentuan atau mekanisme eksekusi yang diatur dalam Pasal 116 Undangundang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tidak meneliti contoh-contoh kasus dan
putusan pengadilan.

Secara yuridis formal telah memberikan kekuatan atau upaya pemaksa bagi
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengimplementasikan putusannya.
Akan tetapi hanya merupakan pengaturan pokok pelaksanaan eksekusi atau putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara, karena mekanisme dan tata cara pelaksanaannya
belum diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 116 ayat (7) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.
Sehingga dirasakan ketentuan dari ketiga Undang-undang Peradilan Tata Usaha

6
Negara khususnya Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 masih belum
efektif dalam eksekusi putusan di Peradilan Tata Usaha Negara.

D. Proses/Alur Pemeriksaan Persiapan

Proses Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara Didahului oleh


pengajuan gugatan sampai dengan putusan dan eksekusi. Proses berpekara di
Peradilan TUN pada intinya melalui tahap-tahap sebagai berikut :

Pemeriksaan Pendahuluan:

1. Pemeriksaan administrasi  di Kepaniteraan


2. Dismissal Prosedur oleh Ketua PTUN (Pasal 62 UU No.5/1986)
3. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 UU No.5/1986)

Pemeriksaan Persidangan:

1. Pembacaan Gugatan (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)


2. Pembacaan Jawaban (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)
3. Replik (Pasal 75 ayat 1 UU No.5/1986)
4. Duplik (Pasal 75 ayat 2 UUNo.5/1986)
5. Pembuktian (Pasal 100 UU No.5/1986)
6. Kesimpulan (Pasal 97 ayat 1 UU No.5/1986)
7. Putusan (Pasal 108 UU No.5/1986)

Pembacaan Putusan (Pasal 108 UU No.5/1986):

1. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum


2. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan
pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua sidang salinan putusan ini
disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.
3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akibat
putusan pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum

Materi Muatan Putusan (Pasal 109 UU No.5/1986):

1. Kepala Putusan yang berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA

7
2. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan
para pihak yang bersengketa
3. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas
4. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi
dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa
5. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan
6. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara
7. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak

Amar Putusan (Pasal 97 ayat 7 UU No.5/1986):

1. Gugatan ditolak
2. Gugatan dikabulkan
3. Gugatan tidak diterima
4. Gugatan gugur

Amar tambahan dalam putusan PERATUN (Pasal 97 ayat 8 & 9 UU No.5/1986)

Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan/Pejabat TUN yang
mengeluarkan keputusan TUN. Kewajiban sebagaimana dimaksud di atas berupa:

1. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan


2. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan Tata
Usaha Negara yang baru
3. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3

Cara Pengambilan Putusan (Pasal 97 ayat 3, 4, dan 5 UU No.5/1986)

1. Putusan dalam Musyawarah Majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis
merupakan hasil Permufakatan Bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat Putusan diambil
dengan suara terbanyak
2. Apabila Musyawarah Majelis Sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah
majelis berikutnya
3. Apabila dalam Musyawarah Majelis berikutnya tidak dapat diambil suara
terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan

Jangka Waktu Penyelesaian Sengketa TUN

8
Jangka waktu penyelesaian sengketa TUN adalah maksimal 6 bulan (SEMA
No. 03 Tahun 1998 Tertanggal 10 September 1998). Apabila penyelesaian lebih dari 
6 bulan Hakim/Majelis  Hakim melaporkan kepada Mahkamah Agung (MA) disertai
alasan-alasan.

Minutasi Putusan (Pasal 109 ayat 3 UU No.5/1986)

Putusan harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera/Panitera


Pengganti yang turut bersidang  selambat-lambatnya 30 hari sesudah Putusan
diucapkan.

Pelaksanaan Putusan (Pasal 116 UU No.51/2009)

1. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,


dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan
setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat
pertama selambat – lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
2. Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
3. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah
90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan,
maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
4. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau
sanksi administratif.
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera
sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
6. Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk
memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan
kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.

9
7. Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata
cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur
dengan peraturan perundang-undangan.

E. Langkah-Langkah Pemeriksaan Perkara Pidana Dengan Cara Singkat

Berdasarkan pasal 203 KUHAP maka yang diartikan dengan perkara acara
singkat adalah perkara pidana yang menurut Penuntut Umum pembuktian serta
penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.Pengajuan perkara pidana
dengan acara singkat oleh Penuntut Umum dapat dilakukan pada hari-hari
persidangan tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.Pada hari yang telah ditetapkan tersebut penuntut umum langsung
membawa dan melimpahkan perkara singkat ke muka Pengadilan.

Ketua Pengadilan Negeri sebelum menentukan hari persidangan dengan acara


singkat, sebaiknya mengadakan koordinasi dengan Kepala Kejaksaan Negeri setempat
dan supaya berkas perkara dengan acara singkat diajukan tiga hari sebelum hari
persidangan.Penunjukan Majelis/ Hakim dan hari persidangan disesuaikan dengan
keadaan di daerah masing-masing. Pengembalian berkas perkara kepada kejaksaan
atas alasan formal atau berkas perkara tidak lengkap.Pengembalian berkas perkara
dilakukan sebelum perkara diregister. Cara pengembalian kepada kejaksaan dilakukan
secara langsung pada saat sidang di pengadilan tanpa prosedur adminstrasi.Dalam
acara singkat, setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis serta menanyakan identitas
terdakwa kemudian Penuntut Umum diperintahkan untuk menguraikan tindak pidana
yang didakwakan secara lisan, dan hal tersebut dicatat dalam Berita Acara Sidang
sebagai pengganti surat dakwaan (pasal 203 ayat 3 KUHAP).

Tentang pendaftaran perkara pidana dengan acara singkat, didaftar di Panitera


Muda Pidana setelah Hakim memulai pemeriksaan perkara.Apabila pada hari
persidangan yang ditentukan terdakwa dan atau saksi-saksi tidak hadir, maka berkas
dikembalikan kepada Penuntut Umum secara langsung tanpa penetapan, sebaiknya
dengan buku pengantar (ekspedisi). Hakim dalam sidang dapat memerintahkan
kepada penuntut umum mengadakan pemeriksaan tambahan untuk menyempurnakan
pemeriksaan penyidikan jika hakim berpendapat pemeriksaan penyidikan masih
kurang lengkap.Perintah pemeriksaan tambahan dituangkan dalam surat penetapan.

Pemeriksaan tambahan dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari, sejak


penyidik menerima surat penetapan pemeriksaan tambahan. Jika hakim belum
menerima hasil pemeriksaan tambahan dalam waktu tersebut, maka hakim segera
mengeluarkan penetapan yang memerintahkan supaya perkara diajukan dengan acara

10
biasa.Pemeriksaan dialihkan ke pemeriksaan acara cepat dengan tata cara sesuai Pasal
203 ayat (3) huruf b KUHAP. Untuk kepentingan persidangan Hakim menunda
persidangan paling lama 7 hari.Putusan perkara pidana singkat tidak dibuat secara
khusus tetapi dicatat dalam Berita Acara Sidang.BAP dibuat dengan rapi, tidak kotor,
dan tidak menggunakan tip ex jika terdapat kesalahan tulisan diperbaiki dengan
renvoi.

Ketua Majelis Hakim/ Hakim yang ditunjuk bertanggung jawab atas ketepatan
batas waktu minutasi. Paling lambat sebulan setelah pembacaan putusan, berkas
perkara sudah diminutasi. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan
kepada terdakwa atau penasihat hukumnya, dan penuntut umum.

F. Pelaksanaan Hasil Putusan Pidana

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai Pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Putusan pengadilan menurut
Pasal 185 ayat (1) HIR dibedakan atas dua macam, yakni putusan akhir (lind voonis) dan
bukan putusan akhir (putusan sela (tussen vonnis). Putusan akhir adalah putusan yang sifatnya
mengakhiri suatu sengketa dalam tingkat tertentu, sedangkan putusan sela adalah putusan
yang dikeluarkan oleh hakim sebelum mengeluarkan putusan akhir dengan maksud
mempermudah pemeriksaan perkara selanjutnya dalam rangka memberikan putusan akhir.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara juga dikenal adanya dua macam putusan,
yakni Putusan Akhir dan Putusan Sela atau putusan bukan akhir (Pasal 113 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Putusan yang diucapkan
dipersidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan apa yang tertulis, sebab bila terjadi
perbedaan antara putusan yang diucapkan dan putusan yang tertulis akan berakibat batal demi
hukum, sehingga putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan dan tidak berkekuatan hukum
tetap. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 97 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Dari ketentuan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :

1) Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, masing-masing pihak diberikan


kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan.
2) Setelah kedua pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan
bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah
dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa
tersebut.
3) Putusan dalam musyawarah majelis diusahakan untuk memperoleh hasil mufakat, kecuali
apabila hal itu setelah diupayakan dengan sungguhsungguh tidak tercapai, maka berlaku
aturan sebagai berikut:

a) Putusan diambil dengan suara terbanyak.

b) Apabila ketentuan (a) tersebut juga tidak dihasilkan putusan, maka musyawarah
ditunda sampai musyawarah berikutnya.

11
c) Apabila dalam musyawarah berikutnya tidak dapat diambil putusan dengan suara
terbanyak, maka suara terakhir, diletakan pada hakim Ketua Majelis yang
menentukan.

d) Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka
untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua
belah pihak.
4) Putusan pengadilan dapat berupa:

a) Menolak gugatan, apabila setelah diperiksa gugatan penggugat tidak terbukti.


b) Gugatan dikabulkan, berarti dalam pemeriksaan dapat dibuktikan bahwa Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan melanggar Peraturan perundang-undangan
dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam putusan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha
Negara.
c) Gugatan tidak dapat diterima, apabila setelah diperiksa gugatan penggugat tidak
berdasarkan hukum yang berarti gugatan tidak memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan. Dalam hal ini penggugat dapat memasukan gugatan baru.
d) Gugatan dinyatakan gugur, apabila penggugat, para penggugat atau kuasanya tidak
hadir pada waktu sidang yang telah ditentukan meskipun telah di panggil secara
patut tanpa alasan yang jelas.

5) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara.

6) Kewajiban diatas berupa:

a) Pencabutan keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau


b) Pencabutan keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c) Penerbitkan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3 (KTUN Fiktif
neatif).

7) Kewajiban tersebut dapat disertai pembebanan ganti rugi.

8) Dalam hal putusan Pengadilan menyangkut sengketa kepegawaian, maka di samping


kewajiban sebagaimana tersebut diatas, dapat pula disertai pemberian rehabilitasi
(pemulihan Penggugat pada harkat, martabat dan posisi semula).

Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, putusan pengadilan dibagi dalam 3 jenis
putusan, yaitu:
a) Putusan yang bersifat pembebanan (condemnatoir) Putusan yang mengandung
pembebanan. Misalnya Tergugat dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang
digugat; Tergugat dibebani membayar ganti kerugian atau Tergugat dibebani melakukan
rehabilitasi. (Pasal 97 ayat 9 butir / huruf a,b,c, Pasal 97 ayat 10 dan 11). Contoh : surat
pemberhentian pegawai dibatalkan dan melakukan rehabilitasi.

12
b) Putusan yang bersifat pernyataan (declaratoir) Putusan yang hanya menegaskan suatu
keadaan hukum yang sah. Misalnya penetapan dismisal (Pasal 62). Contoh gugatan tidak
diterima atau tidak berdasar. Penetapan perkara diperiksa dengan acara cepat (Pasal 98).
Beberapa perkara perlu digabungkan atau dipisah-pisahkan, dan lain-lain.
c) Putusan yang bersifat penciptaan (konstitutif) Putusan yang melenyapkan suatu keadaan
hukum atau melahirkan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. (Pasal 97 ayat 9
huruf b).

Tiga macam kekuatan yang terdapat pada putusan hakim yaitu kekuatan mengikat (resjudicata
pro vertate habetur), kekuatan eksekutorial (suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan
tetap dapat dijalankan), kekuatan pembuktian (putusan pengadilan merupakan akta otentik)
Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemeriksaan persiapan adalah langkah awal dalam penyelesaian sengketa Tata


Usaha Negara. Pemeriksaan persiapan memiliki peranan yang sangat penting, sebagai
pintu gerbang suatu sengketa tata usaha negara untuk diperiksa pada Pengadilan Tata
Usaha Negara. Eksistensi pemeriksaan persiapan dalam penyelesaian sengketa di
Pengadilan Tata Usaha adalah untuk mematangkan perkara, dengan memanggil
Penggugat untuk menyempurnakan surat gugatannya yang belum sempurna atau
belum jelas dan terhadap Tergugat dapat dimintai keterangan atau penjelasan
berkenaan tentang Surat Keputusan yang diterbitkannya. (Ayustina et al., 2019).
Pelaksanaan Putusan PTUN Pelaksanaan putusan PTUN (Eksekusi) adalah aturan
tentang cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh perlengkapan negara guna membantu
pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim apabila pihak yang
kalah tidak bersedia mematuhi isi putusan dalam waktu yang ditentukan. Proses
Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara Didahului oleh pengajuan
gugatan sampai dengan putusan dan eksekusi. Berdasarkan pasal 203 KUHAP maka
yang diartikan dengan perkara acara singkat adalah perkara pidana yang menurut
Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana.Pengajuan perkara pidana dengan acara singkat oleh Penuntut Umum dapat
dilakukan pada hari-hari persidangan tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan
Negeri yang bersangkutan.Pada hari yang telah ditetapkan tersebut penuntut umum
langsung membawa dan melimpahkan perkara singkat ke muka Pengadilan. Putusan
akhir adalah putusan yang sifatnya mengakhiri suatu sengketa dalam tingkat tertentu,
sedangkan putusan sela adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim sebelum mengeluarkan
putusan akhir dengan maksud mempermudah pemeriksaan perkara selanjutnya dalam rangka
memberikan putusan akhir.

14
B. Kritik dan Saran
Pemakalah menyadari bahwa penjelasan di atas masih terdapat kekurangan, baik
dari segi isi maupun dari segi penulisan. Maka dari itu, diharapkan kepada pembaca kritik
dan saran sebagai masukan yang membangun demi perbaikan makalah ini selanjutnya.
Pemakalah juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen Pengampu mata kuliah
yang telah memberikan arahan dan masukan terhadap pembahasan makalah di atas.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Utama
Ayustina, E., Korassa, P., Made, N., Karma, S., & Suryani, P. (2019). Pemeriksaan Persiapan Dalam
Proses Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar ( Putusan No 4 / G / 2017 /
Ptun . Dps ). 1(4), 57–61.

Pattipawae, D. R. (2015). Fugsi Pemeriksaan Dismissal Dalam. 20(1), 37–55.

Ratna, P., Pratiwi, S., Tuni, P., Landra, C., Hukum, B., Fakultas, A., & Universitas, H. (n.d.).
Pelaksanaan pemeriksaan persiapan dalam peradilan tata usaha negara. Pelaksanaan
Pemeriksaan Persiapan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, 1–5.

Pendukung

Satjipto Seno, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru Bandung.

Oemar Seno Aji, Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia
Indonesia, 1986

Internet/ website
Jurnal

"Pemeriksaan Perkara Pidana Acara Singkat" https://pn-nunukan.go.id/2015-06-06-01-33-


01/pemeriksaan-perkara-pidana-acara-singkat.html

http://repository.unpas.ac.id/28633/5/H.%20BAB%203.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai