Disusun oleh :
Kelompok 7
NAMA NIM
Memelsy Ayu W : ABA118018
Ahmad Ilham Gujali : ABA118003
Masaris : ABA118004
Ahmad Irfan Musthafa : ABA118020
Mixcel Theo Markus : 203030204052
Riski Widianto : 203030204049
Rika Aulia : 203020204018
Rensianae : 203030204053
Novita : 203030204041
Tiara Butar-butar : 203020204012
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
dari para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..............................................................................................1
B. Rumusan dan Batasan Masalah..................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
A. Pengertian Pemeriksaan Dalam HTUN/PTUN..........................................................3
B. Pengertian Pelaksanaan Dalam HTUN/PTUN...........................................................4
C. Proses/Alur Pemeriksaan Persiapan...........................................................................7
D. Langkah-Langkah Pemeriksaan Perkara Pidana Dengan Cara Singkat..............10
E. Pelaksanaan Hasil Putusan Pidana...........................................................................11
BAB III PENUTUP................................................................................................................14
A. Kesimpulan..................................................................................................................14
B. Kritik dan Saran.........................................................................................................14
DAFTAR KEPUSTAKAAN.................................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
PTUN adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
terhadap sengketa tata usaha negara yang memiliki tugas dan wewenang untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Salah satu kewenangan PTUN yang paling penting selama proses pemeriksaan
persidangan berlangsung adalah kewenangan untuk mengeluarkan suatu putusan
(penetapan) sementara atau putusan sela atas keputusan pemerintah atau keputusan TUN
yang sedang disengketakan. Begitu gugatan masuk dan didaftarkan di Kepaniteraan
PTUN, pada saat itu juga PTUN dapat menghentikan keputusan pemerintah tersebut
untuk tidak dilaksanakan, selama pemeriksaan proses perkara berlangsung. Putusan yang
demikian disebut putusan penundaan, yang diatur di dalam Pasal 67 Undang-Undang No.
5 Tahun 1986.
Pada asasnya suatu gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan TUN yang
disengketakan (digugat). Asas tersebut bersumber pada asas bahwa setiap keputusan TUN
harus dianggap sah menurut hukum (het vermoeden van rechtmatigheid = praesumtio
iustae causa). Karena keputusan itu dianggap demi kepastian hukum keputusan itu dapat
dilaksanakan selama belum dibuktikan sebaliknya sampai ada pembatalan.
C. Tujuan
Adapun tujuan pemakalah dalam mengkaji permasalahan di atas adalah agar :
1. Memahami Pengertian Dalam HTUN/PTUN
2. Memahami Pengertian Pelaksanaan Dalam HTUN/PTUN
3. Memahami Proses/Alur Pemeriksaan Persiapan
4. Memahami Langkah-langkah Pemeriksaan Perkara Pidana Dengan Acara Singkat
5. Memahami Pelaksanaan Hasil Putusan Pidana
2
BAB II
PEMBAHASAN
PEMERIKSAAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN
3
belum jelas dan terhadap Tergugat dapat dimintai keterangan atau penjelasan
berkenaan tentang Surat Keputusan yang diterbitkannya. (Ayustina et al., 2019).
a. Eksekusi Otomatis.
Eksekusi otomatis terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak diubah oleh Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 dan
oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Berdasarkan perintah Ketua Pengadilan
yang mengadilinya dalam tingkat pertama salinan putusan pegadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat
tercatat oleh Penitera Pengadilan setempat selambat-lambatnya dalam waktu 14
(empat belas) hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009 ayat (1) ketentuan waktu 14 (empat belas) hari diubah menjadi
14 (empat belas) hari kerja. Putusan yang mewajibkan kepada pejabat atau badan
pemerintah untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pada dasarnya
memerlukan pelaksanaan.
Namun Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004 memberikan penyelesaian secara otomatis, yaitu apabila
dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan
kepada pihak tergugat dan tergugat tidak melaksanakan pencabutan Keputusan 78
Tata Usaha Negara (KTUN) yang telah dinyatakan batal tersebut, maka KTUN
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap lagi. Penyelesaian otomatis ini
dipertahankan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Akan tetapi ketentuan
waktu 4 (empat) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dikirimkan dan
tergugat tidak melaksanakan pencabutan obyek sengketa, maka KTUN tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 diubah
4
menjadi “setelah 60 (enam puluh) hari kerja diterima”, tergugat tidak melaksanakan
pencabutan KTUN yang bersangkutan maka obyek yang disengketakan tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
b. Eksekusi Hierarkis.
Eksekusi hierarkis diatur oleh Pasal 116 ayat (3), (4) dan (5)MUndang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak lagi diterapkan 79 setelah disahkannya Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004. Ditentukan bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus
melaksanakan kewajibannya melaksanakan pencabutan KTUN dan menerbitkan
KTUN yang baru atau menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan
kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Jika tergugat masih tidak mau
melaksanakannya (berdasarkan Pasal 116 ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986), Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut
jenjang jabatan.
5
30 sampai 40 persen. Dengan lahirnya mekanisme “upaya paksa” ini, banyak pihak
yang menaruh harapan bahwa instrumen ini akan dapat memberikan sumbangan yang
signifikan bagi efektivitas pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara di masa
mendatang. Pembaharuan Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan
ayat (3) sampai dengan ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 mengubah
mekanisme pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dari “eksekusi
hierarkis” menjadi “upaya paksa”.
Secara yuridis formal telah memberikan kekuatan atau upaya pemaksa bagi
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengimplementasikan putusannya.
Akan tetapi hanya merupakan pengaturan pokok pelaksanaan eksekusi atau putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara, karena mekanisme dan tata cara pelaksanaannya
belum diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 116 ayat (7) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.
Sehingga dirasakan ketentuan dari ketiga Undang-undang Peradilan Tata Usaha
6
Negara khususnya Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 masih belum
efektif dalam eksekusi putusan di Peradilan Tata Usaha Negara.
Pemeriksaan Pendahuluan:
Pemeriksaan Persidangan:
7
2. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan
para pihak yang bersengketa
3. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas
4. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi
dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa
5. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan
6. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara
7. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak
1. Gugatan ditolak
2. Gugatan dikabulkan
3. Gugatan tidak diterima
4. Gugatan gugur
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan/Pejabat TUN yang
mengeluarkan keputusan TUN. Kewajiban sebagaimana dimaksud di atas berupa:
1. Putusan dalam Musyawarah Majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis
merupakan hasil Permufakatan Bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat Putusan diambil
dengan suara terbanyak
2. Apabila Musyawarah Majelis Sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah
majelis berikutnya
3. Apabila dalam Musyawarah Majelis berikutnya tidak dapat diambil suara
terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan
8
Jangka waktu penyelesaian sengketa TUN adalah maksimal 6 bulan (SEMA
No. 03 Tahun 1998 Tertanggal 10 September 1998). Apabila penyelesaian lebih dari
6 bulan Hakim/Majelis Hakim melaporkan kepada Mahkamah Agung (MA) disertai
alasan-alasan.
9
7. Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata
cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur
dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pasal 203 KUHAP maka yang diartikan dengan perkara acara
singkat adalah perkara pidana yang menurut Penuntut Umum pembuktian serta
penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.Pengajuan perkara pidana
dengan acara singkat oleh Penuntut Umum dapat dilakukan pada hari-hari
persidangan tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.Pada hari yang telah ditetapkan tersebut penuntut umum langsung
membawa dan melimpahkan perkara singkat ke muka Pengadilan.
10
biasa.Pemeriksaan dialihkan ke pemeriksaan acara cepat dengan tata cara sesuai Pasal
203 ayat (3) huruf b KUHAP. Untuk kepentingan persidangan Hakim menunda
persidangan paling lama 7 hari.Putusan perkara pidana singkat tidak dibuat secara
khusus tetapi dicatat dalam Berita Acara Sidang.BAP dibuat dengan rapi, tidak kotor,
dan tidak menggunakan tip ex jika terdapat kesalahan tulisan diperbaiki dengan
renvoi.
Ketua Majelis Hakim/ Hakim yang ditunjuk bertanggung jawab atas ketepatan
batas waktu minutasi. Paling lambat sebulan setelah pembacaan putusan, berkas
perkara sudah diminutasi. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan
kepada terdakwa atau penasihat hukumnya, dan penuntut umum.
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai Pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Putusan pengadilan menurut
Pasal 185 ayat (1) HIR dibedakan atas dua macam, yakni putusan akhir (lind voonis) dan
bukan putusan akhir (putusan sela (tussen vonnis). Putusan akhir adalah putusan yang sifatnya
mengakhiri suatu sengketa dalam tingkat tertentu, sedangkan putusan sela adalah putusan
yang dikeluarkan oleh hakim sebelum mengeluarkan putusan akhir dengan maksud
mempermudah pemeriksaan perkara selanjutnya dalam rangka memberikan putusan akhir.
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara juga dikenal adanya dua macam putusan,
yakni Putusan Akhir dan Putusan Sela atau putusan bukan akhir (Pasal 113 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Putusan yang diucapkan
dipersidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan apa yang tertulis, sebab bila terjadi
perbedaan antara putusan yang diucapkan dan putusan yang tertulis akan berakibat batal demi
hukum, sehingga putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan dan tidak berkekuatan hukum
tetap. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 97 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Dari ketentuan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :
b) Apabila ketentuan (a) tersebut juga tidak dihasilkan putusan, maka musyawarah
ditunda sampai musyawarah berikutnya.
11
c) Apabila dalam musyawarah berikutnya tidak dapat diambil putusan dengan suara
terbanyak, maka suara terakhir, diletakan pada hakim Ketua Majelis yang
menentukan.
d) Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka
untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua
belah pihak.
4) Putusan pengadilan dapat berupa:
5) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara.
Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, putusan pengadilan dibagi dalam 3 jenis
putusan, yaitu:
a) Putusan yang bersifat pembebanan (condemnatoir) Putusan yang mengandung
pembebanan. Misalnya Tergugat dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang
digugat; Tergugat dibebani membayar ganti kerugian atau Tergugat dibebani melakukan
rehabilitasi. (Pasal 97 ayat 9 butir / huruf a,b,c, Pasal 97 ayat 10 dan 11). Contoh : surat
pemberhentian pegawai dibatalkan dan melakukan rehabilitasi.
12
b) Putusan yang bersifat pernyataan (declaratoir) Putusan yang hanya menegaskan suatu
keadaan hukum yang sah. Misalnya penetapan dismisal (Pasal 62). Contoh gugatan tidak
diterima atau tidak berdasar. Penetapan perkara diperiksa dengan acara cepat (Pasal 98).
Beberapa perkara perlu digabungkan atau dipisah-pisahkan, dan lain-lain.
c) Putusan yang bersifat penciptaan (konstitutif) Putusan yang melenyapkan suatu keadaan
hukum atau melahirkan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. (Pasal 97 ayat 9
huruf b).
Tiga macam kekuatan yang terdapat pada putusan hakim yaitu kekuatan mengikat (resjudicata
pro vertate habetur), kekuatan eksekutorial (suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan
tetap dapat dijalankan), kekuatan pembuktian (putusan pengadilan merupakan akta otentik)
Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
14
B. Kritik dan Saran
Pemakalah menyadari bahwa penjelasan di atas masih terdapat kekurangan, baik
dari segi isi maupun dari segi penulisan. Maka dari itu, diharapkan kepada pembaca kritik
dan saran sebagai masukan yang membangun demi perbaikan makalah ini selanjutnya.
Pemakalah juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen Pengampu mata kuliah
yang telah memberikan arahan dan masukan terhadap pembahasan makalah di atas.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Utama
Ayustina, E., Korassa, P., Made, N., Karma, S., & Suryani, P. (2019). Pemeriksaan Persiapan Dalam
Proses Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar ( Putusan No 4 / G / 2017 /
Ptun . Dps ). 1(4), 57–61.
Ratna, P., Pratiwi, S., Tuni, P., Landra, C., Hukum, B., Fakultas, A., & Universitas, H. (n.d.).
Pelaksanaan pemeriksaan persiapan dalam peradilan tata usaha negara. Pelaksanaan
Pemeriksaan Persiapan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, 1–5.
Pendukung
Satjipto Seno, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru Bandung.
Oemar Seno Aji, Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia
Indonesia, 1986
Internet/ website
Jurnal
http://repository.unpas.ac.id/28633/5/H.%20BAB%203.pdf
15