Anda di halaman 1dari 9

PERAN AKREDITASI KLINIK DALAM IMPLEMENTASI BUDAYA

KESELAMATAN PASIEN DI KLINIK FIRDAUS YOGYAKARTA

THE ROLE OF CLINIC ACCREDITATION IN IMPLEMENTATION OF


PATIENT SAFETY CULTURE IN FIRDAUS CLINIC YOGYAKARTA

Novera Wardalia1, Arlina Dewi2


Program Studi Magister Manajemen Rumah Sakit, Program Pasca
sarjana, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

INTISARI
Latar belakang : Di Indonesia tingkat kejadian tidak diinginkan dari
keselamatan pasien pada tahun 2007 sebesar 46,2% dan pada tahun 2010
meningkat menjadi 63%. Klinik Firdaus merupakan salah satu dari fasilitas
kesehatan tingkat pertama atau primer yang sedang mempersiapkan proses
akreditasi serta perbaikan dari berbagai sistem, termasuk perbaikan pada
system keselamatan pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
prosentase perubahan dimensi keselamatan pasien yang dicapai setelah
penerapan dokumen akreditasi dibandingkan sebelum penerapan dokumen
akreditasi di Klinik Firdaus.
Metode : Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif,
menggunakan kuesioner AHRQ (Agency for Healthcare Research and
Quality) budaya keselamatan pasien yang telah diterjemahkan dan terdiri
dari 12 dimensi. Data sekunder diambil pada bulan oktober 2017 (sebelum
penerapan dokumen akreditasi), dan data primer diambil pada bulan Juli
2018 (setelah penerapan dokumen akreditasi) di Klinik Firdaus.
Hasil dan pembahasan : terjadi peningkatan pada 10 dimensi budaya
keselamatan pasien sesudah penerapan dokumen akreditasi klinik.
Perubahan tertinggi (44%) pada dimensi umpan balik dan komunikasi, tidak
terjadi perubahan pada dimensi persepsi mengenai keselamatan pasien, dan
penurunan pada dimensi frekuensi kejadian dilaporkan (6%). Secara
keseluruhan 12 dimensi, rata-rata perubahan meningkat 20,2% setelah
penerapan dokumen akreditasi.
Kesimpulan: Penerapan dokumen akreditasi klinik dapat
meningkatkan budaya keselamatan pasien.

Kata Kunci: Akreditasi klinik, Budaya keselamatan pasien


ABSTRACT

Background: Patient safety is an important problem in improving the


quality and performance of the primary care system, in Indonesia the level of
undesirable events in 2007 was 46.2% and in 2010 increased to 63%, so
patient safety was an important factor to pay attention. Firdaus Clinic is one
primary health care that are preparing the process of clinic accreditation and
improvement of various systems, including improvements in patient safety
systems. The purpose of this study was to determine the percentage change
in the dimensions of patient safety achieved after the application of
accreditation documents compared to before the application of accreditation
documents in Firdaus Clinic.

Methods: This type of research is quantitative descriptive research,


with a questionnaire that consist of 12 dimensions from AHRQ (Agency for
Healthcare Research and Quality) at 2004 which has been translated, using
secondary data that taken before the application of accreditation documents
on October 2017, and primary data on July 2018 after the application of
accreditation documents at the Firdaus Clinic.

Results and discussion: an enhancement in the 10 dimensions of


patient safety culture after the application of clinic accreditation documents.
The highest change (44%) in the dimensions of feedback and
communication, there was no change in the dimensions of perception about
patient safety, and a decrease in the dimensions of frequency of reported
events (6%). Overall 12 dimensions, the average change increased by 20.2%
after the application of accreditation documents.

Conclusion: The application of clinical accreditation documents can


improve patient safety culture.

Keywords: Clinical accreditation, patient safety culture


PENDAHULUAN mendorong peningkatan
Isu keselamatan pasien kemampuan anggota organisasi
menjadi perhatian sejak Institute mengenai risiko, kecelakaan dan
of Medicine menemukan 44.000 – kondisi terburuk dari kesehatan,
98.000 kasus kematian di Amerika mendorong peningkatan komitmen
tahun 1999 disebabkan oleh masyarakat mengenai
medical error (Mulyati, 2016). keselamatan, menentukan model
Pada tahun 2015, setidaknya dan mampu membuat program
5% pasien rawat inap di Amerika kesehatan dan keselamatan
mengalami kejadian tidak organisasi.
diinginkan. WHO Budaya keselamatan pasien
mempublikasikan bahwa disusun oleh berbagai dimensi,
kesalahan medis terjadi pada 8% yaitu kerja tim, kepemimpinan,
sampai 12% dari ruang rawat inap, beban kerja, komunikasi, dan
sedangkan 23% dari warga uni sistem keamanan (NHS, 2010).
eropa 18% mengaku telah Dengan adanya budaya
mengalami kesalahan medis yang keselamatan pasien, diharapkan
serius di rumah sakit dan 11% tindakan medical error dapat
telah diresepkan obat yang salah. diminimalisir. Hal ini dikarenakan
Adapun di Indonesia tingkat budaya keselamatan adalah kunci
kejadian tidak diinginkan pada pokok dalam mencapai kenaikan
tahun 2007 sebesar 46,2% dan angka penerapan keselamatan
pada tahun 2010 meningkat kerja dan kesehatan kerja dalam
menjadi 63% (Sumarni, 2017). suatu organisasi (KKP-RS, 2007).
Dengan melihat data-data tersebut, Dengan demikian faktor-faktor
maka keselamatan pasien sangat seperti faktor kepegawaian,
penting. kepemimpinan dan manajemen,
Colla et al (2005) seperti yang lingkungan fisik dan akreditasi
dikutip oleh Mulyati (2016) rumah sakit, dan juga kriteria
menyebutkan bahwa budaya perawat pelaksana dapat
keselamatan pasien mempunyai mempengaruhi penerapan system
tujuan untuk mendapatkan norma- budaya keselamatan pasien
norma perilaku, meminimalkan (Marquis & Huston, 2010; Jardali
cedera dan kecelakaan, el at, 2011; Negussie, 2010).
mendorong keselamatan pasien Jardali et al (2011)
menjadi perhatian di organisasi, menyebutkan terakreditasinya
fasilitas kesehatan adalah yang
mempunyai staf dengan frekuensi METODE PENELITIAN
dan persepsi terhadap pelaporan Jenis penelitian ini adalah
terkait insiden keselamatan pasien penelitian deskriptif kuantitatif.
yang juga tinggi daripada fasiitas Subyek dalam penelitian ini
kesehatan yang tidak terakreditasi. adalah seluruh tenaga kesehatan di
Hal ini berarti, semakin baik klinik Firdaus. Data di ambil
akreditasi suatu fasilitas menggunakan kuisioner dari
kesehatan, maka semakin baik AHRQ (Agency for Healthcare
mutu pelayanannya. Research and Quality) tahun 2004
Hasil penelitian oleh yang telah diterjemahkan dan
Kusbaryanto (2010) yang terdiri dari 12 dimensi. Data
menyebutkan bahwa akreditasi sekunder yang diambil sebelum
rumah sakit merupakan salah satu penerapan dokumen akreditasi
cara untuk menilai mutu pada bulan oktober 2017, dan data
pelayanan di rumah sakit. Mutu primer yang diambil pada bulan
pelayanan kesehatan di fasilitas Juli 2018, setelah penerapan
kesehatan dikatakan baik, apabila dokumen akreditasi di Klinik
jumlah kejadian tidak diinginkan Firdaus.
atau medical error mengalami
penurunan. HASIL PENELITIAN
Klinik Firdaus sebagai Penerapan budaya
fasilitas kesehatan tingkat pertama keselamatan pasien dikatakan baik
atau primer, saat ini sedang apabila respon positif sebesar
mempersiapkan proses akreditasi. sama dengan 76% atau lebih,
Berdasarkan hasil studi dikatakan budaya sedang apabila
sebelumnya (pramayanti, 2017), respon positif sebesar 56-75% dan
diperoleh data bahwa dari 12 dikatakan penerapan budaya
dimensi safety culture, baru 3 keselamatan pasien yang lemah
dimensi yang termasuk dalam bila respon positif kurang dari
kategori baik, yaitu dimensi sama dengan 55%.
kerjasama, kerjasama antar bagian
serta dimensi pemindahan dan
pergantian. Sedangkan tujuh
dimensi lainnya termasuk dalam
kategori cukup.
keseluruhan mengenai
Tabel 1. Kategori 12 dimensi keselamatan pasien (74%), dan
budaya keselamatan dimensi penyusunan staf (67%).

Tabel 2. Perubahan prosentase 12


Dimensi Budaya Keselamatan
Pasien

Berdasarkan tabel di atas


maka dari 12 dimensi budaya
keselamatan pasien, terdapat 9
dimensi yang sudah diterapkan
dengan baik oleh Klinik Firdaus, Tabel di atas menunjukkan
yaitu dimensi keterbukaan prosentase perubahan dimensi
informasi (94%), dimensi umpan keselamatan pasien setelah
balik dan komunikasi (100%), akreditasi di Klinik Firdaus
dimensi handsoff dan transisi Yogyakarta, yaitu peningkatan
prosentase untuk dimensi
(88%), dimensi dukungan
keterbukaan informasi terjadi
manajemen untuk keselamatan sebesar 39%, dimensi umpan balik
pasien (84%), dimensi respon dan komunikasi sebesar 44%,
yang tidak menyalahkan (77%), dimensi handsoff dan transisi
dimensi organizational learning sebesar 7%, dimensi dukungan
(97%), dimensi tindakan promotif manajemen untuk keselamatan
keselamatan oleh manajer (88%), pasien sebesar 30%, dimensi
respon yang tidak menyalahkan
dimensi kerjasama antar unit sebesar 27%, dimensi
(88%), dan dimensi kerjasana tim organizational learning sebesar
dalam satu unit (98%), serta 38%, dimensi penyusunan staf
terdapat 1 dimensi dengan sebesar 11%, dimensi tindakan
kategori kurang yaitu dimensi promotif keselamatan oleh
Frekuensi kejadian diaporkan manajer sebesar 20%, dimensi
kerjasama antar unit sebesar 12%,
(41%). Sedangkan dimensi yang
dan dimensi kerjasama tim dalam
lain termasuk dalam kategori satu unit sebesar 20%. Selain itu,
cukup yaitu dimensi persepsi terdapat penurunan pada dimensi
frekuensi kejadian dilaporkan untuk mengurangi tindakan yang
sebesar 6%, dan pada dimensi dapat membahayakan pasien.
persepsi keseluruhan mengenai Rumah sakit kecil
keselamatan pasien tidak terdapat memberikan frekuensi laporan
perubahan prosentase bila insiden keselamatan pasien lebih
dibandingkan dengan penelitian banyak daripada rumah sakit
sebelumnya. besar, dan memiliki persepsi yang
Namun secara keseluruhan, baik tentang keselamatan pasien.
penerapan budaya keselamatan Rumah sakit kecil mempunyai
pasien setelah akreditasi lebih baik budaya yang hampir sama diantara
daripada sebelum penerapan para anggotanya, sehingga
akreditasi. Ditunjukkan oleh nilai mempermudah dalam membagi
rata-rata prosentase setelah nilai-nilai yang sama terutama
penerapan dokumen akreditasi terkait dengan keselamatan pasien.
lebih besar daripada sebelum Hasil analisis juga
akreditasi (83 > 62,8). Untuk menunjukkan bahwa dimensi
melihat perbedaan dimensi budaya umpan balik dan komunikasi
keselamatan antara kedua mempunyai prosentase tertinggi,
penelitian dapat dilihat pada yaitu sebanyak 100%. Hal ini
gambar di bawah ini. mengindikasikan bahwa seluruh
tenaga kesehatan di Klinik Firdaus
PEMBAHASAN sudah menerapkan budaya
Hasil analisis menunjukkan keselamatan pasien pada dimensi
bahwa terjadi peningkatan umpan balik dan komunikasi
prosentase penerapan budaya dengan sangat baik. Hal ini terlihat
keselamatan pasien di Klinik dari adanya pemberian umpan
Firdaus Yogyakarta setelah balik kepada setiap staf atas
akreditasi. Ditun jukkan oleh nilai perubahan yang dilakukan sesuai
rata-rata penerapan budaya laporan. Selain itu, staf juga diberi
keselamatan pasien setelah tahu terhadap kesalahan-kesalahan
akreditasi yang lebih besar yang terjadi di klinik dan saling
daripada sebelum akreditasi (83 > mendiskusikannya agar kesalahan
62,8). Hal ini menunjukkan bahwa tersebut tidak terjadi lagi. Hasil
akreditasi klinik mempunyai penelitian ini sesuai dengan
pengaruh terhadap meningkatnya penelitian Puji lestari (2014) yang
implementasi budaya keselamatan menunjukkan bahwa dimensi
pasien di Klinik Firdaus. Budaya umpan balik terhadap kesalahan
keselamatan pasien merupakan tergolong tinggi yaitu sebesar
suatu pola yang disusun secara 84%. Hal ini dikarenakan sebagian
terpadu menurut keyakinan dan besar responden mempunyai
nilai-nilai yang terdapat dalam persepsi yang termasuk dalam
suatu organisasi yang bertujuan kategori tinggi.
Hasil penelitian ini juga pelaporan termasuk kategori
menunjukkan tiga prosentase rendah dengan persentase sebesar
terendah diperoleh dari dimensi 63,6%. Selain itu, hasil penelitian
frekuensi kejadian dilaporkan ini juga sesuai dengan penelitian
yaitu sebesar 41%, penyusunan Amirullah dkk (2014) yang
staf sebesar 67% dan persepsi menunjukkan dimensi terendah
keseluruhan mengenai adalah frekuensi pelaporan
keselamatan pasien sebesar 74%. kejadian (53,86%).
Dimensi frekuensi kejadian Dimensi terendah kedua
dilaporkan menunjukkan adalah penyusunan staf sebesar
prosentase terendah yaitu sebesar 67%. Penyusunan staf
41%. Walshe dan Boaden seperti menunjukkan seberapa besar
yang dikutip oleh Amirullah dkk ketersediaan petugas yang sesuai
(2014) menyebutkan bahwa dengan kebutuhan yang ada di
pelaporan kejadian adalah suatu klinik dan bagaimana
cara yang paling penting dalam mengelolaanya agar efektif. Hasil
membantu pengidentifikasian analisis menunjukkan bahwa
terhadap masalah yang terkait dimensi penyusunan staf termasuk
keselamatan pasien dan membantu kategori rendah. Hal ini
dalam penyediaan data pada suatu dikarenakan masih banyaknya staf
rumah sakit ataupun lembaga yang menganggap pekerjaannya
kesehatan lainnya, karena bisa lebih lama daripada staf di bagian
digunakan sebagai pembelajaran lain. Selain itu, masih ada
dan evaluasi bagi prosedur beberapa staf yang merasa bekerja
pelayanan kesehatan yang sudah dengan terburu-buru karena
dilakukan. Kondisi ini disebabkan jumlah pasien yang banyak dan
masih banyak staf yang masih masih ada beberapa staf yang
merasa bingung dengan perbedaan merasa bekerja lebih lama dari
antara kejadian KNC, KTD dan pada jam kerja yang sebenarnya.
KPC. Selain itu, Klinik Firdaus Hasil penelitian ini sesuai dengan
juga sudah melakukan pencatatan penelitian Wijaya dkk (2015) yang
dan pelaporan, namun belum menunjukkan bahwa dimensi staf
maksimal. Hal ini karena Klinik dan pegawai termasuk kategori
Firdaus baru berdiri selama tiga rendah dengan persentase 62,6%.
tahun, sehingga masih dalam Dimensi terendah ketiga
tahap belajar dan dalam proses adalah persepsi keseluruhan
membudayakan dimensi frekuensi mengenai keselamatan pasien
kejadian yang dilaporkan diantara sebesar 74%. Bea (2013) seperti
para staf. Hasil penelitian ini yang dikutip oleh Astini (2016)
sesuai dengan penelitian Wijaya menyebutkan bahwa persepsi
dkk (2015) yang menunjukkan keseluruhan mengenai
bahwa dimensi frekuensi keselamatan pasien yang rendah
akan menyebabkan berkurangnya penelitian sekarang meningkat
kesadaran petugas kesehatan menjadi 77%. Demikian juga
dalam melaporkan setiap kejadian untuk dimensi dukungan yang
yang ada di rumah sakit. Hasil juga mengalami peningkatan
penelitian ini sesuai dengan menjadi 84% dimana pada
penelitian Astini (2016) penelitian sebelumnya hanya
menunjukkan bahwa rata-rata sebesar 54%. Untuk hasil
respon positif sebesar 53,03% persentase pada dimensi pelaporan
yang termasuk rendah. menurun,dimana pada penelitian
Apabila dibandingkan dengan sebelumnya hanya 47%, sekarang
penelitian sebelumnya, hasil mengalami penurunan menjadi
penelitian ini berbeda dengan 41%.
penelitian Pramayanti (2017),
dimana hasil penelitiannya KESIMPULAN
menunjukkan bahwa dimensi
frekuensi pelaporan adalah 1. Penerapan dokumen akreditasi
dimensi yang mempunyai nilai klinik meningkatkan budaya
paling rendah, kemudian diikuti
keselamatan pasien di Klinik
oleh dimensi respon yang tidak
menyalahkan dan dimensi Firdaus.
dukungan. Sedangkan dalam 2. Terjadi peningkatan pada 10
penelitian ini, dimensi terendah dimensi budaya keselamatan
adalah dimensi frekuensi kejadian pasien setelah penerapan
dilaporkan, diikuti oleh dimensi dokumen akreditasi klinik.
penyusunan staf dan dimensi Perubahan tertinggi pada
persepsi keseluruhan mengenai
dimensi umpan balik dan
keselamatan pasien. Apabila
dikaitkan dengan hasil penelitian komunikasi, tidak terjadi
ini, maka dimensi-dimensi budaya perubahan pada dimensi
keselamatan pasien lebih banyak persepsi mengenai keselamatan
yang mengalami peningkatan, pasien, dan penurunan pada
dimana dimensi respon tidak dimensi frekuensi kejadian
menyalahkan mengalami dilaporkan.
peningkatan, dimana sebelumnya
hanya sebesar 50%, pada
DAFTAR PUSTAKA

Amirullah, Nurul Athifah, Syahrir A.Pasinringi, Irwandy Kapalawi. Gambaran


Budaya Keselamatan Pasien di RSUD Syekh Yusuf Kabupaten Gowa. Naskah
Publikasi. Bagian Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin

Astini, Annisa Faradina. (2016). Gambaran Budaya Keselamatan Pasien di RS


Stella Mari Makassar. Prosiding SNaPP2016 Kesehatan. Vol. 6 No. 1. hlm:
152-163

Jardali, Fadi., Hani D, Diana J, Maha J, Nour H. (2011). Predictors and Outcomes
of Patient Safety Culture in Hospital. BMC Health Services Research. Vol. 11
No. 45. hlm: 1-12

KKP-RS. (2007). Pedoman Pelaporan Keselamatan Pasien. Jakata: KKP-RS

Marquis, B.L & Huston, C.J. (2010). Kepemimpinan dan Manajemen


Keperawatan: Teori dan Apliaksi. Edisi Keempat. Jakarta: EGC

Mulyati, Lia., Dedy R., Yana H. (2016). Faktor Determinan yang Mempengaruhi
Budaya Keselamatan Pasien di RS Pemerintah Kabupaten Kuningan. e-Journal
STIKES Kuningan. Vol. 4 No. 2. hlm: 179-190

NHS. 2013. National Health Service Standard Contract. NHS England. Pp. 1-22.
Available at : England.nhs.uk

Poerwani, SK dan Evie Sopacua. (2006). Akreditasi Sebagai Upaya Peningkatan


Mutu Pelayanan Rumah Sakit. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 9 No.
3. hlm: 125-133

Pujilestari, Agustina.,Alimin Maidin dan Rini Anggraeni. (2014). Budaya


Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo
Kota Makassar. Jurnal MKMI. hlm: 57-64

Sumarni. (2017). Analisis Implementasi Patient Safety Terkait Peningkatan Mutu


Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia.
Vol. 5 No. 2. hlm: 91-99

Wijaya, Aris Suparman., Arlina Dewi, Della Mawros Dwita. (2015).


Analisis Budaya Keselamatan Pasien di RSU PKU Muhammadiyah
Bantul.

Anda mungkin juga menyukai