Anda di halaman 1dari 47

BAB I

LATAR BELAKANG

1. Latar Belakang

Patient safety di rumah sakit merupakan hal yang sangat penting dan mendesak serta merupakan

acuan dan prinsip utama dalam proses pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Setiap

rumah sakit diharuskan memiliki manajemen patient safety demi menjamin keselamatan dan keamanan

bagi pasien (Rachmawati & Harigustian, 2019). Oleh karena patient safety merupakan hal yang penting

maka rumah sakit wajib melaksanakan patient safety di seluruh area pelayanan di rumah sakit.

Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) sebagai salah satu lembaga akreditasi rumah sakit di

Indonesia menjadikan Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) wajib dilaksanakan di semua rumah sakit

(Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2019). Selain itu, beberapa sasaran dari Sasaran Keselamatan Pasien

Menjadi indikator nasional mutu yang merupakan tolok ukur untuk menilai tingkat keberhasilan mutu

pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Dimensi keselamatan sebagai salah satu dimensi

mutu yang harus dilaksanakan di pelayanan kesehatan, artinya meminimalisasi terjadinya kerugian

(harm), cedera dan kesalahan medis yang dapat dicegah kepada mereka yang menerima pelayanan

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2021). Dengan pelaksanaan sasaran keselamatan pasien

dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit diharapkan beberapa dampak yang merugikan pasien dapat

dicegah.

Pelaksanaan patient safety dalam pelayanan kesehatan akan memberikan dampak positif yaitu

pasien akan mendapatkan mutu pelayanan yang maksimal, mengurangi dan meminimalisir adanya

cedera medis yang mungkin saja terjadi pada pasien. Sebab, pihak penyedia layanan kesehatan sudah

menyiapkan segala macam risiko atas terjadinya Kejadian yang Tidak Diharapkan (KTD) (Rachmawati

& Harigustian, 2019). Dampak dari ketidakpedulian akan patient safety menyebabkan kerugian bagi

pasien dan pihak rumah sakit. Secara global, setidaknya 5 pasien meninggal setiap menit karena
perawatan yang tidak aman dan 2,6 juta kematian setiap tahunnya di negara-negara berkembang.

Kerugian yang dialami pasien memberikan beban yang sangat tinggi pada semua sistem perawatan

kesehatan di seluruh dunia. Prevalensi patient safety untuk anak umur 0-1 tahun sebanyak 391, umur 1-

5 tahun sebanyak 232 insiden dan umur > 5-15 tahun sebanyak 210 insiden. Sedangkan prevalensi

untuk dewasa > 15-30 tahun = 704 insiden, >30-65 = 2238, umur > 65 tahun = 642 insiden (Dirjen

Yankes, 2021).

Keselamatan dan kualitas pelayanan rawat inap anak merupakan fenomena yang dinamis dan

kompleks (Lacey, Smith dan Cox). Miller, Elixhauser, dan Zhan mengemukakan bahwa anak-anak yang

dirawat di rumah sakit mengalami insiden keselamatan pasien dibandingkan dengan yang tidak dirawat

yaitu lama rawat 2 sampai 6 kali lipat lebih lama, kematian di rumah sakit 2 hingga 18 kali lipat lebih

besar dan biaya rumah sakit 2 hingga 20 kali lipat lebih tinggi (Hughes, 2008). Hal ini menggambarkan

bahwa anak-anak lebih berisiko untuk mengalami insiden keselamatan pasien dibandingkan orang

dewasa.

Anak-anak lebih rentan terhadap terjadinya efek samping selama rawat inap jika dibandingkan

dengan populasi orang dewasa dan menunjukkan kesalahan dalam perawatan anak di rumah sakit

seperti infeksi akibat pelayanan kesehatan karena kebersihan tangan yang buruk (Silva et al., 2016),

kesalahan pengobatan karena keterbatasan kemampuan berkomunikasi, terutama yang bersifat verbal

dan kesulitan dalam mengungkapkan kebutuhannya (Manias et al., 2019), pelaksanaan identifikasi

pasien yang tidak tepat pada anak dapat menyebabkan serangkaian konsekuensi negatif dalam

perawatan selama rawat inap dan pentingnya serah terima shift, di mana komunikasi yang efektif sangat

penting untuk perawatan yang aman (Silva et al., 2016), penyedia layanan kesehatan harus mengenali

dan mempertimbangkan semua faktor yang meningkatkan risiko jatuh di antara anak-anak yang dirawat

untuk kualitas perawatan dan keselamatan pasien yang lebih baik (Al Sowailmi et al., 2018). Dalam

2
pelaksanaannya, melibatkan berbagai komponen yang ada di rumah sakit, dimana perawat sebagai salah

satu komponen yang mempunyai peranan penting bagi terlaksananya enam SKP. Kepatuhan perawat

menerapkan SKP dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien akan berdampak pada

asuhan yang aman dan berkualitas.

Pelaksanaan keselamatan pasien yang diharapkan oleh rumah sakit adalah 100%, namun secara

total nilai implementasi adalah 92,7%, oleh karena itu manajemen perlu memperhatikan kekurangan

yang dimiliki staf dan selanjutnya melakukan proses perubahan. Presentase paling tinggi adalah

identifikasi pasien (SKP 1), sedangkan yang paling rendah adalah implementasi pada obat-obatan high

alert dan operasi (SKP 3 dan 4) masing-masing capaian 90%. Hal tersebut berbeda dengan penelitian

Insani & Sundari (2018) dan Neri et al., (2018) yaitu SKP 1 merupakan capaian implementasi yang

paling rendah (capaian 67%) dan capaian tertinggi adalah SKP 4 yaitu 90% (Galleryzki et al., 2021).

Kepatuhan petugas melaksanakan identifikasi pasien belum menjadi budaya saat memberikan

pelayanan kepada pasien, masih kurangnya kesadaran petugas tentang pentingnya identifikasi pasien.

masih ada petugas atau PPA di rawat inap yang belum melakukan identifikasi pasien, hand hygiene.

Konfirmasi instruksi verbal per telepon belum ada yang mencapai sesuai standar, pelaksanaan

konfirmasi belum menjadi budaya. Capaian indikator mutu dalam pelaksanaan double check saat

pemberian obat high alert juga masih dibawah 100%. Capaian penerapan keselamatan operasi hampir

setiap bulan belum mencapai target. Hal ini disebabkan pemahaman PPA terhadap keselamatan operasi

masih kurang, mulai dari pelaksanaan sign in, time out dan sign out. Kepatuhan petugas dalam

penerapan kebersihan tangan telah mencapai target kecuali di bulan Februari dan Maret (Faluzi et al.,

2018). Hal ini menggambarkan masih belum optimalnya pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di

rumah sakit.

3
Penelitian yang dilakukan sebelumnya tentang pelaksanaan enam sasaran keselamatan pasien

(SKP) yang sering terabaikan seperti identifikasi pasien, prosedur timeout, kebersihan tangan,

komunikasi pada saat hand over dan lainnya, sehingga menyebabkan kesalahan medis dan menjadi

penyebab utama ketiga kematian di AS (Park, 2018). Keluarga pasien menunjukkan kelemahan dalam

pelaksanaan identifikasi pasien seperti verifikasi gelang identitas tidak dilakukan dan kurangnya gelang

alergi, komunikasi antara dan dengan para profesional yang gagal, kebersihan tangan yang salah dan

terkadang hal itu tidak dilakukan oleh keluarga pasien itu sendiri, risiko jatuh karena tempat tidur yang

tidak aman bagi anak-anak dan praktik tidak aman oleh para profesional (Hoffman et al., 2019). Hal ini

menunjukkan bahwa pelaksanaan sasaran keselamatan pasien dalam pelayanan keperawatan anak masih

kurang.

Keselamatan pasien merupakan hal penting untuk meningkatkan pelayanan kualitas perawatan

kesehatan dan telah menjadi perhatian utama bagi organisasi kesehatan di seluruh dunia. Di tengah

krisis saat ini keselamatan pasien merupakan masalah kualitas yang menjadi sangat penting, terutama

jika perhatian yang diberikan pada pemantauan dialihkan oleh kebutuhan operasional lainnya.

Munculnya virus Covid-19 baru memunculkan kekhawatiran keselamatan pasien baru. Pandemi Covid-

19 telah mengharuskan sistem kesehatan berubah lebih cepat dari (Handayani et al., 2021) .

Salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sasaran keselamatan pasien dalam pelayanan

keperawatan anak adalah adanya perubahan kebijakan selama pandemi Covid 19. Di tengah krisis,

pemantauan keselamatan pasien dan masalah kualitas menjadi sangat penting, terutama jika perhatian

yang diberikan pada pemantauan dialihkan oleh kebutuhan operasional lainnya. Munculnya virus Covid

-19 baru memunculkan kekhawatiran keselamatan pasien baru (Kasda et al., 2020). Kebijakan yang

berkaitan dengan perawatan Covid -19 dan dalam masa transisi menuju normal baru, sangat penting

bagi pimpinan untuk menempatkan keselamatan pasien sebagai jantung dari alur proses layanan.

4
pandemi Covid -19 menjadi tantangan baru dalam sistem kesehatan dan masyarakat di seluruh dunia.

Keselamatan pasien Covid -19 masih harus terus dikembangkan karena virus Covid -19 sendiri

merupakan hal yang belum sepenuhnya diketahui. Masalah keselamatan pasien tidak boleh dilupakan

dan diremehkan bahkan dalam masa pandemi Covid-19 (Nurdin & Wibowo, 2021). Masalah kembali

lagi ke kecukupan pedoman, protokol, penilaian kompetensi, pelatihan protokol dan sebagainya. Ini

juga jelas merupakan masalah keselamatan pasien serta masalah penghindaran litigasi (Tingle, 2020).

Kepatuhan perawat menerapkan sasaran keselamatan pasien harus semakin ditingkatkan

disebabkan munculnya virus Covid-19 yang peningkatan kasusnya begitu cepat dalam waktu yang

sangat singkat. World Health Organization (WHO) akhirnya mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi

pada 12 Maret 2020. Pelaksanaan sasaran keselamatan pasien harus tetap terjaga agar tetap menjamin

keselamatan pasien selama pandemi Covid-19. Dalam SNARS edisi 1.1, elemen penilaian SKP yang

berkaitan dengan pandemi Covid-19, yaitu kebersihan tangan (SKP 5) dan pasien jatuh (SKP 6) sebagai

akibat dari pelayanan yang berisiko tinggi (Luwiharsih, 2020). Oleh karena itu, penerapan sasaran

keselamatan pasien selama pandemi Covid-19 diharapkan lebih ditingkatkan untuk tetap menjaga

asuhan yang aman bagi pasien.

Hasil wawancara dengan Ketua Komite Mutu dan Keselamatan Pasien didapatkan data bahwa

pelaksanaan enam Sasaran Keselamatan Pasien di ruang perawatan anak BLUD RS Benyamin Guluh

tidak terlaksana secara optimal selama pandemi Covid-19. Kejadian obat yang tidak sesuai dengan

diresepkan sering kali terjadi namun tidak dilapoarkan, pelaporan sasaran keselamatan pasien terakhir

pada tahun 2019. Kepatuhan profesional pemberi asuhan (PPA) dalam melaksanakan patient safety

mengalami penurunan., pelaporan insiden keselamatan pasien tidak terlaksana baik internal maupun

eksternal. Kepatuhan perawat dan tenaga kesehatan lainnya untuk melaporkan setiap insiden masih

rendah, kejadian yang dilaporkan hanya yang didapatkan secara kebetulan saja.

5
Berdasarkan fenomena di atas, maka pelaksanaan sasaran keselamatan pasien wajib

dilaksanakan oleh rumah sakit selama masa pandemi Covid -19 agar pasien mendapat jaminan

keamanan terhadap perawatan yang diterima selama dirawat. Perawat sebagai salah satu komponen

dalam melaksanakan sasaran keselamatan pasien mempunyai peran yang sangat penting untuk menjaga

asuhan yang aman bagi pasien. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan peneilitian terkait pengalaman

perawat pada pelaksanaan Sasaran Keselamatan Pasien di Ruang Perawatan Anak selama pandemi

Covid-19

2. Rumusan Masalah

Patient safety di rumah sakit merupakan hal yang sangat penting dan mendesak. Secara global,

setidaknya 5 pasien meninggal setiap menit karena perawatan yang tidak aman. Anak-anak lebih rentan

terhadap terjadinya efek samping selama rawat inap salah satunya infeksi akibat pelayanan kesehatan

karena kebersihan tangan yang buruk, pelaksanaan identifikasi yang tidak tepat pada pasien anak dapat

menyebabkan serangkaian konsekuensi negatif dalam perawatan selama rawat inap dan pentingnya

serah terima shift, di mana komunikasi yang efektif sangat penting untuk perawatan yang aman,

penyedia layanan kesehatan harus mengenali dan mempertimbangkan semua faktor yang meningkatkan

risiko jatuh di antara anak-anak yang dirawat untuk kualitas perawatan dan keselamatan pasien yang

lebih baik. Munculnya virus Covid-19 baru memunculkan kekhawatiran keselamatan pasien baru.

Pandemi Covid-19 telah mengharuskan sistem kesehatan berubah lebih cepat dari biasanya.

Pelaksanaan enam Sasaran Keselamatan Pasien di ruang perawatan anak BLUD RS Benyamin Guluh

tidak terlaksana secara optimal selama pandemi Covid-19. Perawat sebagai salah satu komponen dalam

melaksanakan sasaran keselamatan pasien mempunyai peran yang sangat penting untuk menjaga asuhan

yang aman bagi pasien. Namun, belum ada penelitian yang membahas enam sasaran keselamatan pasien

selama pandemic Covid-19. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana

6
pengalaman perawat pada pelaksanaan sasaran keselamatan pasien selama di ruang perawatan anak

selama pandemi Covid-19.

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat pada pelaksanaan sasaran

keselamatan pasien selama pandemi Covid 19 di Ruang Perawatan Anak BLUD RS Benyamin Guluh

Kab. Kolaka.

4. Pernyataan Originalitas

Keaslian penelitian bertujuan untuk menjamin orisinalitas dan menemukan kebaruan dri

penelitian ini. Peneliti melakukan penelusuran jurnal menggunakan database Pubmed dan Google

Scholar. Berdasarkan artikel tersebut, maka dilakukan telaah untuk melihat persamaan dan perbedaan

dengan penelitian yang akan dilakukan. Peneliti kemudian menganalisa dan menuliskan rangkumannya

sebaagai berikut :

a. Pagala et al., 2017 dengan judul Perilaku Kepatuhan Perawat Melaksanakan SOP Terhadap

Kejadian Keselamatan Pasien di Rumah Sakit X Kendari. Penelitian Explanatory Research dengan

rancangan Cross sectional. Sampel dalam penelitian ini terdapat 134 perawat ruang rawat inap.

Hasil penelitian menunjukan terdapat 4 variabel yang berhubungan yaitu pengetahuan, sikap,

persepsi dukungan supervisor, persepsi dukungan sesama perawat dan faktor yang paling dominan

berhubungan adalah persepsi dukungan pengawas. Persamaannya sampel menggunakan perawat.

Perbedaan yang mendasar variabel penelitian, desain penelitian dan hasil yang diukur.

b. Nursery & Champaca (2019) dengan judul Pelaksanaan enam sasaran keselamatan pasien oleh

perawat dalam mence

c. gah adverse event di rumah sakit. Ada 107 perawat pelaksana yang ikut berpartisipasi sebagai

sampel. Explanatory design dan Focus Group Discussion (FGD). Teknik sampling pada penelitian

7
ini adalah cluster sampling dan simple random sampling. Hasil menunjukkan bahwa pelaksanaan

enam sasaran keselamatan pasien oleh perawat adalah baik. Persamaannya sampel menggunakan

perawat. Perbedaan yang mendasar variabel penelitian, desain penelitian dan hasil yang diukur.

d. Keles et al (2018), judul penelitian Analisis Pelaksanaan Standar Sasaran Keselamatan Pasien di

Unit Gawat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Partisipan dalam penelitian ini adalah

yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di

Unit Gawat Darurat RSUD DR. Sam Ratulangi antaralain Direktur RumahSakit (1), Kepala Unit

Gawat Darurat (1), penanggung jawab keperawatan UGD (1), dokter (2), tenaga keperawatan (3) di

Unit Gawat Darurat dan petugas apoteker (1) RSUD DR. Sam Ratulangi Tondano. Hasil penelitian

menunjukkan pelaksanaan identifikasi pasien, pelaksanaan komunikasi efektif, pelaksanaan

peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, pelaksanaan kepastian tepat-lokasi, tepat-

prosedur, tepat-pasien operasi sudah sesuai dengan standar akreditasi rumah sakit versi 2012

sedangkan pelaksanaan pengurangan risiko infeksi dan pelaksanaan pengurangan risiko pasien

jatuh belum sesuai dengan standar akreditasi rumah sakit versi 2012. Persamaan dalam penelitian

ini adalah menggunakan metode kualitatif. Perbedaan yang mendasar adalah partisipan dalam

penelitian ini.

e. Dewi & Noprianty (2018), judul penelitian Studi fenomenologi: faktor risiko yang berhubungan

dengan kejadian faal pada pasien anak rumah sakit dengan theory Faye G.Abdellah. Jenis penelitian

kualitatif dengan metode pendekatan fenomenologi. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 4

perawat (2 kepala tim dan 2 perawat pelaksana). Hasil penelitian didapatkan 4 tema yaitu

pengetahuan, sumber daya manusia, lingkungan, dan sarana prasarana. Hal ini karena pelaksanaan

pencegahan belum sesuai prosedur operasional, perbandingan jumlah perawat dan pasien yang

tidak seimbang (1 perawat : 6-7 pasien) sedangkan banyak tindakan yang tidak dapat dilakukan

8
oleh 1 perawat, lantai licin, tidak terpasang rel samping tempat tidur dan belum ada bel pasien.

Persamaan menggunakan perawat sebagai partisipan. Perbedaan desain penelitian dan hasil

penelitian.

f. Al Sowailmi et al (2018) dengan judul penelitian Prevalensi cedera jatuh dan faktor risiko jatuh di

antara anak-anak yang dirawat di rumah sakit di rumah sakit anak khusus di Arab Saudi. Desain

penelitian deskriptif, studi prevalensi cross-sectional. Data diperoleh melalui electronic safety

reporting system (srs). semua kejadian jatuh yang dilaporkan selama rawat inap pada anak-anak 14

tahun untuk periode dari 1 april 2015 hingga 30 april 2016. Prevalensi jatuh di antara 4860 anak

yang dirawat adalah 9,9 (per 1000 pasien (48/4860). Sebagian besar kejadian jatuh pada anak laki-

laki pada kelompok umur 1-5 tahun, pada anak dengan risiko tinggi jatuh, dengan status mobilitas

normal dan tidak ada riwayat jatuh sebelumnya. Cedera parah sebanyak 25%. Namun, jatuh di

antara kategori risiko sedang lebih sering parah daripada jatuh di antara anak-anak kategori risiko

tinggi. Perbedaan desain penelitian sampel, variabel dan hasil penelitian.

g. Silva et al (2016), judul penelitian Komunikasi keperawatan handover shift: keamanan pasien

pediatrik. Studi kualitatif, eksploratif-deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Unit Rawat Inap Anak

Rumah Sakit Universitas di Brasil Selatan. Data dikumpulkan dengan wawancara semi-terstruktur,

yang melibatkan 32 profesional keperawatan. Hasilnya membuktikan pentingnya serah terima shift,

di mana komunikasi yang efektif sangat penting untuk perawatan yang aman. Namun demikian,

diperlukan objektivitas yang lebih besar dalam penyampaian informasi, waktu yang digunakan

perlu dikurangi dan catatan serah terima shift perlu disistematisasikan. Persamaan desain penelitian.

Perbedaan sampel, variabel dan hasil penelitian

h. Biasibetti et al (2019), judul penelitian Komunikasi untuk keselamatan pasien di rawat inap anak.

Merupakan penelitian eksploratif-deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dilakukan di unit rawat

9
inap bedah klinis pediatrik dari tiga rumah sakit di Porto Alegre, RS, Brasil. 44 profesional

kesehatan dan 94 pendamping anak-anak yang dirawat di rumah sakit berpartisipasi dalam

penelitian ini, dengan total 138 peserta. Hasil penelitian : Dua kategori muncul: “Hambatan untuk

komunikasi yang efektif”, mengatasi kegagalan dan kesulitan dalam proses komunikasi dan “Alat

untuk meningkatkan komunikasi”, yang menyajikan rekomendasi untuk perbaikan, terutama

instrumentalisasi pendamping/ anggota keluarga. Persamaan desain penelitian. Perbedaan sampel,

variabel dan hasil penelitian

i. Manias et al (2018) dengan judul Tren kesalahan pengobatan dan efek dari faktor yang

berhubungan dengan orang, lingkungan dan komunikasi pada kesalahan pengobatan di rumah sakit

anak. Audit klinis retrospektif dilakukan selama periode 5 tahun dari kesalahan pengobatan

pediatrik yang diserahkan ke sistem pelaporan. Sebanyak 3340 kesalahan pengobatan dilaporkan,

yang berhubungan kesalahan pengobatan. Hasil pasien yang paling umum terkait dengan kesalahan

yang memerlukan pemantauan atau intervensi untuk memastikan tidak ada bahaya yang terjadi.

Perbedaan mendasar adalah sampel dalam penelitian, desain, variabel dan hasil penelitian.

j. Anggraini (2018), judul penelitian Pengetahuan Perawat tentang Penilaian Morse Fall Scale dengan

Kepatuhan Melakukan Assesmen Ulang Risiko Jatuh. Penelitian ini menggunakan rancangan

penelitian deskriptif korelasi dengan metode cross-sectional. Sampel sebanyak 57 perawat. Hasil

dalam penelitian ini, memiliki tingkat pengetahuan kategori baik dan patuh melaksanakan assesmen

ulang risiko jatuh. Terdapat hubungan pengetahuan perawat tentang penilaian Morse Fall Scale

dengan kepatuhan perawat dalam melaksanakan assesmen ulang risiko jatuh, , terdapat hubungan

antara pengetahuan tentang penilaian morse fall scale dengan kepatuhan assesmen ulang risiko

jatuh di ruang rawat inap RSUD Wates. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

sampel penelitian. Perbedaannya yaitu desain penelitian, variabel dan hasil penelitian.

10
k. Pambudi et al., 2018 dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam penerapan 6

skp (sasaran keselamatan pasien) pada akreditasi JCI (Joint Commission International) di ruang

rawat inap rumah sakit Panti Waluya Malang. Desain penelitian yaitu deskriptif analitik dengan

pendekatan cross sectional. Populasinya adalah semua perawat pelaksana di ruang rawat inap

dewasa sebanyak 186 orang. Sampel sebanyak 124 orang ditentukan dengan teknik proporsional

simple random sampling. Berdasarkan hasil analisa Bivariat, faktor yang berpengaruh terhadap 6

SKP yaitu jumlah tanggungan (p=0,018), lama bekerja (p=0,018), pengetahuan perawat (p=0,002),

motivasi perawat (p=0,019), supervisi (p=0,001), dan pengaruh organisasi (p=0,029). Berdasarkan

hasil analisa multivariat didapatkan faktor yang paling dominan adalah Pengetahuan dengan

(OR=17,299), sehingga dapat diasumsikan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan baik

cenderung lebih baik dalam melakukan penerapan 6 SKP dibandingkan dengan perawat yang

memiliki pengetahuan rendah. Persamaan dalam penelitian ini adalah sampel penelitian.

Perbedaannya yaitu desain penelitian, variabel dan hasil penelitian.

l. Gallerizky et al., 2021 dengan judul Hubungan Sikap Keselamatan dengan Implementasi Sasaran

Keselamatan Pasien oleh Perawat di Rumah Sakit. Penelitian merupakan penelitian kuantitatif

dengan metoden deskriptif dan cross-sectional. Metode sampling dengan purposive sampling,

didapatkan sampel sebanyak 345 orang. Terdapat hubungan signifikan antara sikap keselamatan

dengan implementasi keselamatan perawat (r= 0,441, P<0.01 Faktor jenis kelamin, usia,

pengalaman kerja, dan jenjang karier secara signifikan berpengaruh pada implementasi keselamata.

(P < 0.05). Rumah sakit dan manajer perawat memiliki peranan penting dalam meningkatkan

keselamatan pasien untuk menghindari terjadinya insiden keselamatan dengan melakukan

pemanfaatan sumber daya secara optimal. Persamaan dalam penelitian ini adalah desain dan sampel

penelitian. Perbedaannya yaitu variabel dan hasil penelitian.

11
m. Gunawan et al., 2022 dengan judul Hubungan Kepatuhan Cuci Tangan Dan Penggunaan Apd

Perawat Dengan Resiko Kejadian Healthcare Associated Infections (Hais) Pada Masa Pandemi

Covid-19 Di Rsud Mayjend. H.M. Ryacudu Lampung Utara. Jenis penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini berkaitan dengan sifat deskriptif dengan desain penelitian cross sectional.

Subyek penelitian ini adalah seluruh perawat obstetri, anak (perinatal dan NICU), kamar operasi

dan penyakit dalam di RSUD Mayjend.H.M Ryacudu Lampung Utara. Jumlah sample yang dipakai

sebanyak 60 partisipan. Hasil penelitian adalah Uji statistik kepatuhan perawat terhadap chi-square

dalam cuci tangan diperoleh nilai p sebesar 0,033 dimana nilai p < α (0,033 < 0,05) kemudian Ha,

dan nilai Oods Ration diterima sebesar 0,314. Dengan menggunakan uji statistik chi-square perawat

yang menggunakan APD didapatkan nilai p-value 0,241, sehingga nilai p-value < α (0,241 > 0,05)

dan Ho ditolak, serta nilai Oods ration sebesar 0,519. Persamaan dalam penelitian ini adalah sampel

penelitian. Perbedaannya yaitu desain, variabel dan hasil penelitian.

n. Suryani et al., 2021 engan judul Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penerapan Keselamatan

Pasien di RS X Karawang Indonesia. Pendekatan crosssectional dengan teknik simple random

sampling diterapkan dalam penelitian ini. Sebanyak 117 perawat di ruang rawat inap direkrut dalam

penelitian ini. Hubungan yang signifikan menunjukkan pengetahuan, pengawasan, motivasi, dan

pelaksanaan tujuan keselamatan pasien (nilai-p<0.05) Pengawasan dari kepala perawat adalah

faktor yang paling terkait. Dengan meningkatkan mutu Pengawasan, akan mempengaruhi

penerapan tujuan keselamatan pasien; Oleh karena itu, budaya keselamatan pasien dapat diciptakan

dan dicapai dengan baik. Persamaan dalam penelitian ini adalah sampel penelitian. Perbedaannya

yaitu desain, variabel dan hasil penelitian.

o. Yanti et al., 2021, judul penelitian Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Apd Dan Kebersihan

Tangan Di Masa Pandemi penyakit Virus Corona 2019. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif

12
dengan desain deskriptif survei pada 210 perawat di Bali melalui purposive sampling. Penelitian ini

menggunakan alat pengumpulan data berupa kuesioner tentang APD di masa pandemi Coronavirus

Disease 2019 yang terdiri dari 10 pertanyaan dan kuesioner tentang kebersihan tangan di masa

pandemi Coronavirus Disease 2019 yang terdiri dari 8 pertanyaan. Data dianalisis secara univariat

dan disajikan dalam distribusi frekuensi. Hasil analisis mendapatkan pengetahuan perawat tentang

APD di masa pandemi Coronavirus Disease 2019 ada pada kategori baik yaitu 42,2%, cukup

51,9%, dan kurang 5,7%. Kategori pengetahuan perawat tentang kebersihan tangan di masa

pandemi Coronavirus Disease 2019 didapatkan 30% baik, 56,2% cukup, dan 13,8% kurang.

pengetahuan perawat tentang APD dan kebersihan tangan di masa pandemi COVID-19 berada pada

kategori cukup. Persamaan dalam penelitian ini adalah sampel penelitian. Perbedaannya yaitu

desain, variabel dan hasil penelitian.

p. Karo et al 2021 dengan judul Studi Komparatif Pengetahuan Perawat Dalam Pencegahan Risiko

Pasien Jatuh Selama Masa Pandemi Covid-19 Diruang Isolasi Dan Rawat Inap Penyakit Dalam Di

Rumkit Tk Ii Putri Hijau Kesdam I/Bb Medan Tahun 2021. Desain penelitian yang digunakan

adalah Quasi Eksperimen. Pada penelitian ini adalah seluruh perawat ruang isolasi Sebanyak 30

Orang dan Perawat rawat Inap penyakit dalam sebanyak 40 Orang. sedangkan sampel penelitian

sebanyak 30 Orang Perawat Isolasi dan 30 Orang Perawat Rawat Inap Penyakit Dalam. Teknik

sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa rerata pengetahuan perawat isolasi dalam pencegahan resiko pasien jatuh

selama masa pandemic COVID-19 sebesar 12,80 dengan standar deviasi sebesar 3,624 sedangkan

pengetahuan perawat rawat inap sebesar 15,20 dengan standar deviasi 2,987. Ada perbedaan

pengetahuan perawat dalam pencegahan resiko pasien jatuh selama masa pandemi COVID-19

antara perawat isolasi dengan perawat rawat inap penyakit dalam, dengan nilai p= 0,015.

13
Persamaan dalam penelitian ini adalah sampel penelitian. Perbedaannya yaitu desain, variabel dan

hasil penelitian.

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN LITERATUR

1. Konsep Sasaran Keselamatan Pasien (SKP)

Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus menyelenggarakan patient safety dan dilakukan

melalui pembentukan sistem pelayanan yang menerapkan Standar Keselamatan Pasien, Sasaran

Keselamatan Pasien dan tujuh langkah menuju Keselamatan Pasien (Permenkes, 2017). Pelaksanaan

manajemen patient safety di rumah sakit dimulai dengan pembentukan Tim Keselamatan Pasien

Rumah Sakit (KPRS), mengembangkan sistem informasi pencatatan dan pelaporan internal tentang

insiden,melakukan pelaporan insiden ke Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS) secara

rahasia dan agar memenuhi standar keselamatan pasien dan menerapkan tujuh langkah menuju

keselamatan pasien serta rumah sakit pendidik mengembangkan standar layanan media berdasarkan

hasil dari analisis akar masalah dan sebagai tempat pelatihan standar-standar yang baru (Rachmawati &

Harigustian, 2019).

Sasaran Keselamatan Pasien yang wajib diterapkan di rumah sakit yang diakreditaasi oleh

KARS. Penyusunan sasaran ini mengacu pada Nine Life Saving Patient Safety Solution dari World

Health Organization Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh pemerintah (KARS, 2019), dan

juga digunakan oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI) dan dari Joint

Comission International (JCI) (Rachmawati & Harigustian, 2019). Sehingga rumah sakit diharapkan

menjadikan sasaran keselamatan pasien sebagai dasar dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Tujuan SKP adalah untuk mendorong rumah sakit agar melakukan perbaikan spesifik dalam

keselamatan pasien. Sasaran ini menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan di rumah

sakit dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus para ahli atas permasalahan ini. Sistem yang

15
baik akan berdampak pada peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dan keselamatan pasien (KARS,

2019). Dengan mempertimbangkan bahwa untuk menyediakan perawatan kesehatan yang aman dan

berkualitas tinggi diperlukan desain sistem baik, sasaran biasanya sedapat mungkin berfokus pada

solusi yang berlaku untuk keseluruhan sistem (Permenkes, 2017). Sehingga diharapkan adanya

perbaikan mutu pelayanan di rumah sakit dengan pelaksanaan SKP ini.

International Patient safety Goals (IPSG) atau di Indonesia secara nasional untuk seluruh

fasilitas pelayanan kesehatan, diberlakukan Sasaran Keselamatan Pasien Nasional (SKPN) yang terdiri

dari 6 (enam ) sasaran yaitu :

SKP 1 : Mengidentifikasi pasien dengan benar

SKP 2 : Meningkatkan komunikasi yang efektif

SKP 3 : Meningkatkan keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai

SKP 4: Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan pada pasien

yang benar

SKP 5 : Mengurangi risiko infeksi terkait perawatan kesehatan

SKP 6 : Mengurangi risiko cidera pasien akibat terjatuh (Permenkes, 2017).

Sehingga pelaksanaan enam sasaran keselamatan pasien harus dipatuhi oleh semua fasilitas pelayanan

kesehatan di Indonesia.

Sasaran pertama adalah mengidentifikasi pasien dengan benar, hal pertama yang penting

diperhatikan seluruh professional pemberi asuhan (PPA). Dalam melakukan identifikasi pasien

haruslah dengan benar. Karena kesalahan diagnosis maupun pengobatan dalam proses identifikasi

pasien bisa saja terjadi (Rachmawati & Harigustian, 2019). Kesalahan identifikasi ini bisa terjadi saat

pasien sedang terbius, mengalami disorientasi, tidak sadar sepenuhnya, dalam keadaan koma, bertukar

tempat di dalam lingkungan rumah sakit, pindah kamar, terjadi disfungsi sensoris, lupa identitas diri

16
atau faktor lain. Sasaran ini bertujuan untuk memastikan ketepatan pasien yang akan menerima

layanan atau tindakan dan untuk menyelaraskan layanan atau tindakan yang dibutuhkan oleh pasien

(KARS, 2019). Maka proses identifikasi harus dilaksanakan oleh PPA dalam setiap intervensi yang

akan diberikan kepada pasien.

Proses identifikasi yang dilakukan di rumah sakit minimal menggunakan 2 (dua) identitas dari 4

(empat) bentuk identifikasi yaitu nama pasien, tanggal lahir, nomor rekam medik, nomor induk

kependudukan (NIK) atau bentuk lainnya (barcode atau kode QR). Nomor kamar pasien tidak dapat

digunakan untuk identifikasi pasien. Dua (2) bentuk identifikasi digunakan di semua area layanan

rumah sakit seperti di rawat jalan, rawat inap, unit darurat, kamar operasi, unit layanan diagnostik dan

lainnya (KARS, 2019). Oleh karena itu, rumah sakit menetapkan 2 (dua) dari 4 (empat) bentuk

identifikasi yang seragam untuk seluruh kegiatan identifikasi pasien.

Kegiatan identifikasi dengan menggunakan dua bentuk identifikasi dilakukan dalam setiap

keadaan yang terkait dengan intervensi yang akan diberikan kepada pasien. Misalnya pelaksanaan

identitas pasien pada label obat, rekam medis, resep, makanan, spesimen, permintaan dan hasil

laboratorium/radiologi, sebelum pemberian obat, darah, produk darah, pengambilan spesimen,

pemberian diet, identifikasi sebelum tindakan, prosedur diagnostik dan terapeutik, sebelum pemberian

radioterapi, menerima cairan intravena, hemodialisis, pengambilan darah atau pengambiln spesimen

lain, katerisasi jantung, prosedur radiologi diagnostik dan pasien koma. Identifikasi dilakukan dalam

dua cara yaitu secara verbal dan visual (KARS, 2019). Sehingga, identifikasi pasien merupakan hal

wajib yang dilakukan dengan memeriksa gelang identitas pasien.

Hasil penelitian sebelumnya memaparkan bahwa penggunaan gelang masih belum menjadi

prioritas bagi manajemen rumah sakit. Sedikitnya kasus yang disebabkan oleh kesalahan identifikasi

menyebabkan pihak pengelola tidak memprioritaskan karena dampak yang dianggap tidak memerlukan

17
perhatian khusus. Salah identifikasi berdampak fatal meski kasusnya hanya sedikit (Sugiarti et al.,

2020). Identifikasi pasien untuk pelaksanaan sudah mulai dilaksanakan namun belum standar (Sundoro

et al., 2016) ,verifikasi yang sebenarnya dari gelang identitas dilakukan hanya pada awal shift.

Kegagalan untuk memeriksanya diidentifikasi dalam peluang baru, seperti saat memberikan obat,

melakukan prosedur atau pemeriksaan. Dalam situasi ini, para profesional lebih suka memeriksa data

pasien di grafik atau di set identifikasi di tempat tidur (Hoffman et al., 2019), identifikasi pasien anak

sebagai hal yang penting untuk meningkatkan keselamatan mereka (Izabel & Souza, 2015). Oleh

karena itu, identifikasi pasien sangat penting dilakukakan untuk menghindari kesalahan dalam

memberikan layanan atau tindakan kepada pasien.

Sasaran kedua adalah meningkatkan komunikasi yang efektif. Penggunaan komunikasi dan

pemberian informasi yang efektif, efisien, akurat, lengkap, jelas dan dipahami oleh pasien akan

mengurangi kesalahan dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien (Rachmawati & Harigustian,

2019). Komunikasi dapat berbentuk verbal, elektronik atau tertulis. Komunikasi yang buruk dapat

membahayakan pasien. Komunikasi yang rentan terjadi kesalahan adalah saat perintah lisan atau

perintah lewat telepon, komunikasi verbal, saat menyampaikan pemeriksaan kritis yang harus

disampaikan lewat telepon. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan aksen dan dialek, pengucapan

menyulitkan penerima perintah untuk memahami perintah yang diberikan (KARS, 2019). Sehingga

pelaksanaan komunikasi efektif diharapkan mampu mengurangi kesalahan-kesalahan dan

meningkatkan mutu keselamatan pasien.

Kesalahan terbanyak di dunia medis dalam komunikasi adalah komunikasi yang dilakukan

secara lisan ataupun melalui telepon. Maka, suatu perintah medis (misalnya dari dokter ke perawat)

memerlukan pencatatan kembali (di komputer). Setelah itu, diperlukan pemeriksaan kembali (read

back) apakah perintah medis tersebut telah tepat adalah salah satu langkah tepat (Rachmawati &

18
Harigustian, 2019). Oleh karena itu, setiap menerima perintah atau pelaporan hasil permeriksaan

melalui telepon harus menggunakan komunikasi SBAR dan Tbak.

Komunikasi verbal di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan dengan pendekatan komunikasi

SBAR (Situation – Background – Assessment – Recommendation) dan TBAK (tulis – baca –

konfirmasi kembali). Komunikasi SBAR dilakukan pada saat serah terima pasien (antar shift

keperawatan, perpindahan pasien antar unit kerja), petugas melaporkan kondisi pasien kepada Dokter

penanggung jawab Pasien (DPJP). Melaporkan kondisi pasien yang kritis, pemeriksaan penunjang

dengan hasil nilai kritis, kondisi pasien yang mendapat pengobatan dan memerlukan pengawasan

khusus, kondisi pasien yang memerlukan monitoring ketat. Isi laporan SBAR: - S (Situation)

melaporkan situasi pasien, meliputi: nama pasien, umur, lokasi, masalah yang ingin disampaikan,

tanda-tanda vital pasien, kekhawatiran petugas terhadap kondisi pasien. B (Background)

menyampaikan latar belakang atau masalah pasien sebelumnya. A (Assessment) menyampaikan

penilaian terhadap kondisi pasien dengan menyampaikan masalah saat ini. R (Recommendation)

menyampaikan rekomendasi berupa saran, pemeriksaan tambahan, atau perubahan tatalaksana jika

diperlukan (Tutiany et al., 2017). Sehingga dengan penggunaan metode SBAR dalam komunikasi

efektif,diharapkan dapat mengurangi kesalahan pengobatan.

Komunikasi TBAK dilakukan, pada saat petugas menerima instruksi verbal pertelepon/lisan dari

DPJP, petugas menerima laporan hasil tes kritis/critical test/ pemeriksaan cito. Prosedur komunikasi

TBAK dilakukan sebagai berikut:

a. Penerima pesan menuliskan pesan lengkap yang disampaikan pengirim di Catatan

Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT), meliputi: Tanggal dan jam pesan diterima,

Isi pesan secara lengkap. Nama pemberi instruksi dalam kotak stempel KONFIRMASI

19
(penerima pesan membubuhkan stempel KONFIRMASI di sebelah kanan/bawah catatan

instruksi), nama penerima pesan

b. Penerima pesan membacakan kembali instruksi lengkap tersebut kepada pemberi pesan

c. Pemberi pesan mengkonfirmasi isi pesan dengan jawaban “Ya benar”

d. Pemberi pesan/ instruksi menanda tangani dan menulis tanggal dan jam

penandatanganan dalam kotak stempel KONFIRMASI dalam catatan perkembangan

terintegrasi, dalam waktu 1 x 24 jam (Tutiany et al., 2017).

Sejumlah kegiatan yang harus dilakukan dalam sasaran komunikasi yang efektif adalah sebagai

berikut:

a. Perintah secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan lengkap

oleh penerima perintah atau hasil pemeriksaan tersebut.

b. Perintah secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali

secara lengkap oleh penerima perintah atau hasil pemeriksaan tersebut.

c. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi kembali oleh pemberi perintah atau hasil

pemeriksaan tersebut.

d. Kebijakan dan prosedur mendukung praktek yang konsisten dalam melakukan verifikasi

terhadap akurasi dari komunikasi melalui telepon (Permenkes, 2017).

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa keselamatan pasien adalah prioritas dalam

perawatan pasien, dan kesalahan komunikasi adalah penyebab paling umum dari kerugian kejadian

selama perawatan pasien. Alat komunikasi SBAR adalah alat komunikasi terstruktur yang telah

menunjukkan pengurangan efek samping di lingkungan rumah sakit (Shahid & Thomas, 2018).

Pelaksanaan peningkatan komunikasi yang efektif belum dilakukan secara efektif, laporan berbasis

SBAR di rekam medis juga belum dibuat (Sundoro et al., 2016). Faktor pelaksanaan merupakan faktor

20
yang sering menyebabkan sasaran ini belum optimal, tidak mengkonfirmasi ulang perintah dan tidak

menuliskan perintah yang diberikan merupakan permasalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan

sasaran ini (Brigitta et al., 2020). Kualitas komunikasi dalam pelayanan kesehatan sangat penting untuk

promosi keselamatan pasien (Biasibetti et al., 2019). Oleh karena itu, untuk menjamin keamanan pasien,

maka komunikasi antar PPA harus dilaksanakan dengan baik.

Sasaran ketiga adalah meningkatkan keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai. Obat yang

perlu diwaspadai (High-Alert Medications) adalah sejumlah obat-obatan yang memiliki risiko tinggi

menyebabkan bahaya yang besar pada pasien jika tidak digunakan secara tepat (drugs that bear a

heightened risk of causing significant patient harm when they are used in error (ISMP - Institute for

Safe Medication Practices). Obat yang perlu diwaspadai (High-Alert Medications) merupakan obat

yang persentasinya tinggi dalam menyebabkan terjadinya kesalahan/ error dan/ atau kejadian sentinel

(sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse

outcome) termasuk obat-obat yang tampak mirip (nama obat, rupa dan "ucapan mirip, NORUM atau

Look-Alike Sound-Alike, LASA, termasuk pula elektrolit konsentrasi tinggi (Tutiany et al., 2017).

Sehingga rumah sakit diharapkan membuat daftar obat-obat high alert dan disosialisasikan ke ruang

rawat inap dan IGD.

Selain mendapatkan pelayanan kesehatan berupa tindakan dan perawatan, sejumlah pasien juga

tidak akan lepas dari pemberian obat. Hal yang penting diperhatikan oleh petugas medis adalah kehati-

hatian jika rencana pengobatan pasien juga mengharuskan adanya konsumsi obat-obatan. Maka, dalam

manajemen patient safety, rumah sakit harus mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki

keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert). Hal tersebut bertujuan tidak lain untuk menjaga

komitmen rumah sakit dalam tanggung jawab keselamatan pasien (Rachmawati & Harigustian, 2019).

Setiap obat jika salah penggunaannya dapat membahayakan pasien, bahkan bahayanya dapat

21
menyebabkan kematian atau kecacatan pasien, terutama obat-obat yang perlu diwaspadai. Obat yang

perlu diwaspadai adalah obat yang mengandung risiko yang meningkat bila kita salah menggunakan

dan dapat menimbulkan kerugian besar pada pasien (KARS, 2019). Oleh karena itu, sebelum

pemberian obat-obat high alert harus dilakukan double check untuk mencegah terjadinya medication

error.

Kesalahan ini bisa terjadi apabila staf tidak mendapatkan orientasi yang baik di unit asuhan

pasien, bila perawat kontrak tidak diorientasikan sebagaimana mestinya di unit asuhan pasien, atau

pada keadaan darurat/emergensi. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi

kejadian tersebut adalah dengan mengembangkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai

termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Fasilitas pelayanan

kesehatan secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk menyusun

daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan datanya sendiri (Permenkes, 2017).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam studi prospektif ini, kami

menemukan bahwa 75,1% pasien telah terpapar setidaknya satu medication error dan 39,9% pasien

memiliki 3 atau lebih kesalahan. Strategi yang berbeda harus digunakan untuk mengurangi tingkat

kesalahan pengobatan yang tinggi (Dedefo et al., 2016). Hambatan dalam mewaspadai obat high alert

adalah kurangnya pengetahuan tentang obat high alert serta pada kondisi tertentu, pasien tersebut

membutuhkan perhatian yang ekstra ketika menerima obat high alert padahal tenaga perawat terbatas

(Isnaini & Rofii, 2014). Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai belum dijalankan dengan

baik (Sundoro et al., 2016), capaian indikator mutu dalam pelaksanaan double check saat pemberian

obat high alert juga masih dibawah 100% (Faluzi et al., 2018). Sehingga pengetahuan perawat tentang

obat-obat high alert perlu ditingkatkan melalui sosialisasi dan supervise secara berkesinambungan.

22
Sasaran keempat yaitu memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,

pembedahan pada pasien yang benar. Tindakan bedah dan prosedur invasif memuat semua prosedur

investigasi dan atau memeriksa penyakit serta kelainan dari tubuh manusi melalui mengiris,

mengangkat, memindahkan, mengubah atau memasukkan alat laparaskopi/endoskopi ke dalam tubuh

untuk keperluan daignostik dan terapeutik (KARS, 2019).

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kesalahan (Salah-lokasi, salah-prosedur, salah pasien

pada operasi) ini adalah akibat dari:

a. komunikasi yang tidak efektif dan tidak adekuat antar anggota tim

b. tidak ada kelibatan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur

untuk verifikasi lokasi operasi.

c. asesmen pasien yang tidak lengkap

d. catatan rekam medik tidak lengkap

e. budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim

f. masalah yang terkait dengan tulisan yang tidak terbaca, tidak jelas dan tidak lengkap

g. penggunaan singkatan yang terstandarisasi dan dilarang (KARS, 2019).

Kematian dan komplikasi akibat pembedahan dapat dicegah. Salah satu pencegahannya dapat

dilakukan dengan Surgical Safety Checklist (SSC). Surgical Safety Checklist adalah sebuah daftar

periksa untuk memberikan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien. Surgical Safety

Checklist membagi operasi menjadi tiga fase, masing-masing sesuai ke periode waktu tertentu dalam

aliran normal suatu prosedur periode sebelum induksi anestesi (Sign In), periode setelah induksi dan

sebelum sayatan bedah (Time Out), dan periode selama atau segera setelah penutupan luka tetapi

sebelum mengeluarkan pasien dari operasi ruangan (Sign Out). Dalam setiap fase, koordinator Surgical

Safety Checklist harus diizinkan untuk mengonfirmasi bahwa tim telah menyelesaikan tugasnya

23
sebelum itu berlangsung lebih jauh. Saat tim operasi menjadi akrab dengan langkah-langkah Surgical

Safety Checklist, mereka dapat mengintegrasikan pemeriksaan ke dalam pola kerja yang mereka kenal

dan mengungkapkan penyelesaian mereka dari setiap langkah tanpa intervensi eksplisit dari koordinator

Surgical Safety Checklist. Setiap tim harus berusaha untuk menggabungkan penggunaan Surgical Safety

Checklist ke dalam pekerjaannya dengan efisiensi maksimum dan minimum gangguan, sambil bertujuan

untuk mencapai langkah-langkah secara efektif (WHO, 2008). Sehingga penggunaan Surgical Safety

Checklist di kamar operasi harus dipatuhi untuk menjamin keamanan pembedahan.

Penelitian sebelumnya tentang Surgical Safety Checklist diperoleh hasil tentang penggunaan

Surgical Safety Checklist meningkatkan budaya keselamatan dalam suatu institusi dengan memfasilitasi

komunikasi (Pugel et al,.2015). Manfaat lain dari SSC bagi pasien, tim bedah dan pelayanan kesehatan

adalah promosi keselamatan, penggunaan daftar sebagai kesempatan untuk berdialog, sosialisasi

informasi yang relevan, peningkatan mutu pelayanan dan pencegahan efek samping (Tostes & Galvo,

2019). Pentingnya menerapkan SSC, profesional percaya bahwa menerapkan daftar periksa

meningkatkan keselamatan pasien yang menjalani operasi. Namun, saat melengkapi daftar periksa,

hanya sebagian yang percaya bahwa mereka menerapkan 100% langkah dan item (Poveda et al., 2021).

Proses time-out tetap menjadi elemen penting dari daftar periksa WHO dan harus dilakukan dengan

benar untuk menghindari operasi tempat yang salah dan efek samping lainnya (Papadakis et al., 2019).

Penggunaan surgical safety checklist di kamar operasi bermanfaat untuk meningkatkan patient safety

walaupun penerapannya belum 100 %.

Sasaran keselamatan pasien ke-5 adalah: mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan.

Fasilitas pelayanan Kesehatan mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang

terkait pelayanan kesehatan. Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan sebuah tantangan di

lingkungan fasilitas kesehatan. Kenaikan angka infeksi terkait layanan kesehatan menjadi keprihatinan

24
bagi pasien dan petugas kesehatan. Secara umum , infeksi terkait pelayanan kesehatan terjadi di semua

unit layanan kesehatan, termasuk infeksi saluran kencing disbabkan oleh kateter, infeksi

pembuluh/aliran darah terkait pemasangan infus baik perifer maupun sentral, dan infeksi paru-paru

terkait penggunaan ventilator (KARS, 2019). Penerapan kebersihan tangan merupakan salah satu upaya

pencegahan infeksi terkait pelayanan di rumah sakit.

Upaya terpenting menghilangkan masalah infeksi ini dan infeksi lainnya adalah dengan menjaga

kebersihan tangan melalui cuci tangan. Pedoman kebersihan tangan (hand hygiene) tersedia dari World

Health Organization (WHO). Rumah sakit mengadopsi pedoman kebersihan tangan (hand hygiene) dari

WHO ini untuk dipublikasikan di seluruh rumah sakit (KARS, 2019). Staf diberi pelatihan bagaimana

melakukan cuci tangan dengan benar dan prosedur menggunakan sabun, disinfektan serta handuk sekali

pakai (towel), tersedia di lokasi sesuai pedoman (KARS, 2019). Sehingga seluruh staf khususnya

perawat di rumah sakit perlu diberikan sosialisasi tentang 5 momen dan 6 langkah cuci tangan.

Hasil peneltian sebelumnya menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan cuci

tangan 6 langkah adalah faktor usia sedangkankan faktor jenis kelamin, pendidikan, jenis kelamin,

pekerjaan tidak berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah pada momen pertama (Taadi et

al., 2019). Penelitian lain menunjukkan bahwa ada hubungan antara motivasi, fasilitas dan supervisi

dengan kepatuhan perawat dalam melakukan cuci tangan. Faktor yang tidak berhubungan antara lain

pengetahuan dan sikap (Dewi, 2019). Perawat telah berupaya melakukan cuci tangan sesuai standar

yaitu enam langkah, terutama saat lima momen yaitu saat sebelum dan setelah menyentuh pasien,

kontak dengan lingkungan pasien, terpapar cairan pasien dan sebelum melakukan tindakan invasif

(Nursery & Champaca, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan perawat dalam melakukan cuci

tangan dipengaruhi oleh banyak faktor.

25
Sasaran keselamatan pasien ke-6 adalah mengurangi risiko cidera pasien akibat terjatuh. Fasilitas

pelayanan kesehatan mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko pasien dari cedera karena

jatuh (Permenkes, 2017). Jumlah kasus jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien rawat

inap. Berbagai faktor yang meningkatkan risiko pasien jatuh antara lain : kondisi pasien, gangguan

fungsional pasien (contoh gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan atau perubahan fungsi kognitif)

lokasi atau situasi lingkungan rumah sakit, riwayat jatuh pasien, komsumsi obat tertentu dan dan konsumsi

alkohol (KARS, 2019). Pengkajian awal dan pengkajian lanjutan risiko jatuh harus dilakukan guna

mengetahui risiko yang ada.

Program ini memonitor baik konsekuensi yang dimaksudkan atau yang tidak sengaja terhadap langkah-

langkah yang dilakukan untuk mengurangi jatuh. Misalnya penggunaan yang tidak benar dari alat

penghalang atau pembatasan asupan cairan bisa menyebabkan cedera, sirkulasi yang terganggu, atau

integrasi kulit yang menurun. Program tersebut harus diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan (Tutiany

et al., 2017). Sehingga langkah-langkah pencegahan risiko jatuh harus diterapkan dalam upaya peningkatan

patient safety.

Kegiatan yang dilaksanakan:

a. Fasilitas pelayanan kesehatan menerapkan proses asesmen awal risiko pasien jatuh dan

melakukan asesmen ulang terhadap pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau

pengobatan.

b. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil

asesmen dianggap berisiko.

Tujuan dari kebijakan mengurangi risiko cidera karena jatuh adalah identifikasi pasien yang

mempunyai risiko jatuh, optimalisasi penggunaan asesmen jatuh untuk menentukan kategori risiko jatuh,

membandingkan faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik jatuh, mendeskripsikan kebutuhan akan perlunya

26
pemahaman faktor risiko jatuh, pencegahan, dan penanganannya dalam meningkatkan klinis dan kepuasan

pasien, serta menurunkan biaya kesehatan. Memahami kunci keberhasilan program faktor risiko jatuh,

pencegahan, dan penanganannya. Memperoleh sumber daya dalam mengembangkan dan meningkatkan

program faktor risiko jatuh, pencegahan, dan penanganannya (Tutiany et al., 2017).

Penilaian resiko jatuh pasien merupakan suatu penilaian terhadap faktor-faktor yang dapat

menyebabkan pasien jatuh. Ada tiga tipe skala resiko jatuh yang sering dipakai yaitu :

a. Skala penilaian risiko jatuh untuk geriatric/ lanjut usia

b. Morse Fall Scale (MFS) / Skala Jatuh dari morse Untuk Dewasa

c. Humpty Dumpty Fall Scale (HDFS) / Skala Jatuh Humpty Dumpty Untuk Pediatrik (Tutiany et al.,

2017). Oleh karena itu dalam mengkaji risiko jatuh pasien harus memperhatikan usia pasien sehingga

skala yang digunakan tepat.

Penelitian tentang pencegahan risiko cedera akibat jatuh telah dilakukan sebelumya, diantaranya

penelitian yang dilakuan oleh Anggaraini (2018) ada hubungan antara pengetahuan tentang morse fall scale

(MFS) dengan tingkat kepatuhan perawat dalam melaksanakan assesmen ulang risiko jatuh di ruang rawat inap

RSUD Wates. Pelaksanaan pencegahan pasien jatuh adalah baik sebesar 61,7% dan kurang sebesar 38,3%. Hal

ini menunjukkan bahwa tindakan pencegahan pasien jatuh sebagian besar telah terlaksana dengan baik. Perawat

telah melakukan pengkajian awal, pengkajian ulang pada pasien resiko jatuh. Perawat mengkategorikan tingkat

atau level pasien resiko jatuh dan berupaya melakukan prosedur pencegahan pasien jatuh seperti memasang

pagar pengaman, penerangan cukup dan mengupayakan lantai tidak basah (Nursery & Champaca, 2018).

Perawat tidak melaksanakan asesmen awal, asesmen lanjutan maupun asesmen ulang pada pasien rawat inap

yang berisiko jatuh. Hal ini terbukti dalam berkas rekam medis dimana form asesmen risiko jatuh tidak pernah

diisi oleh perawat di rawat inap Bedah dan non Bedah. Pengisian form untuk pasien dewasa dengan skala

morse dan pasien anak-anak dengan skala humpty dumpty (Neri, et al., 2018).

27
2. Penerapan Sasaran Keselamatan Pasien Pada Anak

Beberapa penelitian tentang pelaksanaan sasaran keselamatan pasien pada anak telah dilakukan

sebelumnya. Kejadian buruk yang terjadi di lingkungan rumah sakit masih merupakan masalah yang belum

terpecahkan yang secara serius mempengaruhi keselamatan pasien. Dalam pediatri, pilihan pengobatan

ditawarkan untuk situasi kompleks yang menantang untuk keandalan proses perawatan kesehatan

(Fajreldines et al., 2019). Di rumah sakit anak, kejadian tersebut mencapai 9,2%, dan efek samping lebih

sering terjadi di fasilitas pendidikan daripada di rumah sakit komunitas (Cohen et al., 2012).

Identifikasi adalah strategi kunci untuk memperkuat keselamatan pasien anak. Identifikasi sebagai

elemen yang tepat dan diperlukan untuk keselamatan pasien dan identifikasi sebagai keselamatan dalam

pekerjaan professional. Para profesional mengakui identifikasi pasien anak sebagai hal yang penting untuk

meningkatkan keselamatan. pasien dengan nama yang sama atau mirip dapat menimbulkan kebingungan,

yang merupakan predisposisi risiko atau terjadinya kesalahan dalam identifikasi. Sebagai strategi

keselamatan pasien, mereka selalu menyarankan identifikasi mereka dengan nama, menghindari

penggunaan indikator lain yang dapat menimbulkan kebingungan, seperti nomor tempat tidur, sehingga

memastikan bahwa proses perawatan dilakukan dengan aman, meminimalkan risiko dan meningkatkan

keberhasilan perawatan. pengobatan dan pemulihan (Izabel & Souza, 2015).

Persepsi profesional keperawatan mengungkapkan bahwa, selama serah terima shift, mereka berbagi

informasi, menilai dan memutuskan perawatan apa yang akan diberikan. Pada saat yang sama, tim perawat

berbagi tindakan yang dilakukan selama shift tertentu, melaporkan kejadian dan perubahan kondisi

kesehatan dan masalah lain dari pasien anak. Serah terima shift merupakan kegiatan yang menyita waktu,

kemauan dan komitmen para profesional dan terjadi pada setiap pergantian shift. Durasi transfer informasi

tidak terbatas pada komunikasidi lokus, yaitu, persiapan diperlukan, menggunakan catatan latar belakang,

28
dan analisis akhir tentang apa yang akan ditransmisikan ke profesional lain, dengan mempertimbangkan

informasi standar untuk berkontribusi pada komunikasi yang efektif (Silva et al., 2016).

Komunikasi yang efektif mengarah pada klarifikasi, pemahaman dan berbagi pengetahuan, yang

penting untuk kualitas pemberian perawatan kepada anak-anak dan remaja yang dirawat di rumah sakit.

Mereka juga mempertimbangkan bahwa, ketika masalah tidak diinformasikan atau ketika komunikasi tidak

efektif, ini mengarah pada pemahaman yang salah, dengan dampak negatif bagi keselamatan pasien anak.

Oleh karena itu, ketidaktepatan atau penghilangan data penting dapat menyebabkan masalah bagi anak dan

remaja yang dirawat di rumah sakit, serta bagi para profesional tim keperawatan (Silva et al.,2016).

Profesional keperawatan bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kegiatan ini, menggunakan

kesempatan untuk mengklarifikasi keraguan dan kesalahan yang terdeteksi selama shift, bertujuan untuk

orientasi dan kualifikasi teknis, mengatur ulang rencana perawatan dan membuat daftar prioritas dan

menentukan tindakan yang dimaksudkan untuk menjamin keselamatan pasien anak (Silva et al., 2016).

Serah terima shift, di mana komunikasi yang efektif sangat penting untuk perawatan yang aman. Ketika

masalah tidak diinformasikan atau ketika komunikasi tidak efektif, ini mengarah pada pemahaman yang

salah, dengan dampak negatif bagi keselamatan pasien anak (Silva et al, 2016).

Kualitas komunikasi dalam pelayanan kesehatan sangat penting untuk promosi keselamatan pasien.

Dalam konteks rawat inap anak, hal-hal spesifik yang penting dapat mengganggu proses ini, seperti

kemampuan anak untuk memahami, disposisi pendamping dan keluarga untuk berpartisipasi dan

keragaman proses perawatan kesehatan. Elemen-elemen ini menyoroti pentingnya komunikasi yang

objektif, efisien dan efektif antara semua yang terlibat dalam kesinambungan perawatan (Biasibetti et al.,

2019).

Kesalahan medis anak dan kerugian pasien keduanya berbeda dalam beberapa hal dari kesalahan dan

kerugian yang terkait dengan orang dewasa. Anak-anak berisiko lebih besar untuk kesalahan pengobatan

29
daripada orang dewasa karena perkembangan masa kanak-kanak, demografi, ketergantungan pada orang tua

dan penyedia perawatan lainnya, dan epidemiologi kondisi medis yang berbeda (Mueller et al., 2019).

Anak-anak berisiko tinggi mengalami kesalahan pengobatan. Mereka rentan karena keterbatasan

kemampuan berkomunikasi, terutama yang bersifat verbal dan kesulitan dalam mengungkapkan

kebutuhannya. Ketersediaan formulasi pediatrik yang tidak mencukupi berkontribusi pada kebutuhan untuk

meningkatkan pengobatan (Manias et al., 2019).

Banyak anak mengalami efek samping yang dapat dicegah di rumah sakit anak-anak Kanada, dan kamar

operasi adalah area berisiko tinggi untuk kejadian ini. Daftar periksa bedah yang terstandarisasi dan

diterapkan dengan tepat yang peka terhadap kebutuhan unik anakanak dan keluarga mereka merupakan

elemen integral dalam strategi komprehensif yang menargetkan pengurangan dampak buruk pada anak-

anak yang dirawat di rumah sakit (Skarsgard, 2016). Tingkat prevalensi 9,9 (95% CI= 7,5, 13,1) jatuh per

1000 pasien. Usia rata-rata subjek adalah 3,0 tahun (Al Sowailmi et al., 2018),

3. Penerapan Sasaran Keselamatan Pasien Selama Pandemi Covid 19

Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan

sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat

menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute

Respiratory Syndrome (SARS) (Kemenkes, 2020).

Pandemi berperan sebagai katalis, yaitu sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dan

menimbulkan kejadian baru atau mempercepat suatu peristiwa, yaitu penerapan berbagai kegiatan dan

inovasi mutu pelayanan kesehatan (Indonesian Healthcare Quality Network, 2020).

Pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu di Rumah Sakit telah menjadi harapan dan tujuan utama

dari masyarakat/pasien, petugas kesehatan, pengelola dan pemilik Rumah Sakit serta regulator. Bahkan di

masa pandemi Covid-19 ini pun pelayanan kesehatan tetap dapat dijalankan dengan mengutamakan

30
keselamatan pasien dan tenaga kesehatan yang bertugas. Pelayanan kesehatan pada masa pandemi Covid -

19 akan sangat berbeda dengan keadaan sebelum Covid -19. Rumah Sakit perlu menyiapkan prosedur

keamanan yang lebih ketat dimana protokol PPI diikuti sesuai standar (Depkes RI 2021).

Pene;itian sebelumya menunjukkan kurang optimalnya pelaksanaan handover di era adaptasi kebiasaan

baru (AKB) pandemi Covid-19 di rumah sakit pemerintah. Dengan demikian, pelaksanaan serah terima di

era Covid-19 dapat tetap optimal dengan terus menerapkan metode SBAR sebagai cara komunikasi efektif,

pengisian formulir Covid-19 safety briefing dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk memudahkan

kegiatan perawat, dan memperhatikan faktor-faktor dalam pelaksanaan handover di era AKB (Bardah et al.,

2021).

Kategori pengetahuan perawat tentang kebersihan tangan di masa pandemi Coronavirus Disease 2019

didapatkan 30% baik, 56,2% cukup dan 13,8% kurang. Mayoritas pengetahuan perawat tentang APD dan

kebersihan tangan di masa pandemi Covid -19 berada pada kategori cukup (Yanti et al., 2021).

Pengetahuan perawat isolasi dalam pencegahan resiko pasien jatuh selama masa pandemi Covid -19

sebesar 12,80 dengan standar deviasi sebesar 3,624 sedangkan pengetahuan perawat rawat inap sebesar

15,20 dengan standar deviasi 2,987. Ada perbedaan pengetahuan perawat dalam pencegahan resiko pasien

jatuh selama masa pandemi Covid -19 antara perawat isolasi dengan perawat rawat inap penyakit dalam,

dengan nilai p= 0,015 (Karo et al, 2021).

Ada hubungan pengetahuan terhadap implementasi penerapan keselamatan pasien dengan hasil

terbanyak diperoleh dengan pengetahuan baik dan implementasi penerapan keselamatan pasien baik dan

diperoleh hasil bahwa ada hubungan beban kerja terhadap implementasi penerapan keselamatan pasien.

Hasil terbanyak diperoleh dengan beban kerja tinggi dan implementasi penerapan keselamatan kurang Dan

diperoleh hasil bahwa ada hubungan motivasi terhadap implementasi penerapan keselamatan pasien dan

31
diperoleh dengan motivasi kurang dan implemenasi penerapan keselamatan pasien kurang (Ameliyah,

Rizky & Nursapriani, 2021)

4. Konsep Peran Perawat Dalam Penerapan Sasaran Keselamatan Pasien

Sasaran keselamatan pasien (SKP) di Indonesia mengacu kepada Internatinal Patient Safety Goals

(IPSG) merupakan hal sangat penting untuk dipahami dan diterapkan dalam praktik asuhan keperawatan

(Tutiany et al., 2017). Perawat adalah pemain kunci karena mereka memiliki kontak langsung dan langsung

dengan pasien, dan karena itu kemungkinan besar memiliki informasi penting mengenai perasaan dan

kondisi fisik pasien, informasi yang dibutuhkan oleh anggota tim lainnya (Edgar, 2017).

Setiap perawat menerapkan prinsip Sasaran Keselamatan Pasien (International Patient Safety Goals).

Penerapan keselamatan pasien dapat diwujudkan dengan menetapkan standar, sasaran dan langkah menuju

keselamatan pasien dengan tujuan akhir yaitu memberikan asuhan pasien yang lebih aman (Permenkes,

2017).

Peran perawat dalam melaksanakan Sasaran Keselamatan Pasien dapat dijabarkan dalam pelaksanaan

setiap sasaran meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut :

a. Mengidentifikasi pasien dengan benar

b. Meningkatkan komunikasi yang efektif

c. Meningkatkan keamanan obt-obatan yang harus diwaspadai

d. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan pada pasien

yang benar

e. Mengurangi risiko infeksi terkait perawatan kesehatan

f. Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh (Permenkes, 2017).

Perawat berada dalam peran yang sulit secara unik karena mereka harus mengkoordinasikan

kegiatan mereka dengan dokter dan administrator yang lebih bertenaga dan memiliki status lebih dalam

32
sistem medis. Pada saat yang sama, mereka harus berkoordinasi dengan rekan kerja mereka saat pasien

dipekerjakan saat tinggal di rumah sakit dan dengan berbagai anggota tim lainnya seperti apotek, terapi

fisik, catatan pasien, pekerjaan sosial dan berbagai teknisi. Selain itu mereka berada dalam hirarki

departemen keperawatan mereka sendiri dan harus belajar bagaimana membangun hubungan yang

efektif dengan atasan dan bawahan mereka sendiri (Edgar, 2017).

Masalah keamanan hampir selalu merupakan akibat dari hilangnya informasi atau informasi

yang tersedia tetapi tidak ditindaklanjuti. Ini dimainkan dalam beberapa cara berbeda. Pertama, jika

perawat tidak berkomunikasi dengan baik dengan pasien, dia mungkin tidak mendengar atau

memahami makna dari sesuatu yang pasien coba lakukan mengatakan. Saya menyebutnya "informasi

yang hilang." Kedua, karena pasien akan bertemu dengan anggota tim perawatan lainnya pada waktu

yang berbeda dalam sehari, informasi penting tentang pasien harus disampaikan kepada anggota tim

lainnya pada waktu yang berbeda. Jika perawat tidak memiliki hubungan yang baik dengan anggota tim

yang lain, dia mungkin lupa, atau menahan, atau menyampaikan informasi dengan tergesa-gesa

sehingga tidak benar-benar dicatat. Atau, penerima informasi mungkin terburu-buru atau sibuk atau

dengan cara lain tidak memperhatikan, dan perawat mungkin tidak punya waktu untuk menjelaskan.

Saya menyebutnya "informasi tidak ditindaklanjuti." (Edgar, 2017).

Kasus salah diagnosa, perlakuan salah, pemberian obat yang salah hampir selalu merupakan

akibat dari masalah komunikasi tersebut. Perawat tidak mendengar atau menangkap sesuatu yang ingin

dikatakan pasien, atau tidak dengan jelas menyampaikan informasi ini ke dokter atau orang lain yang

akan berurusan dengan pasien, atau tidak mendengar dengan jelas apa yang dilakukan dokter atau

anggota lain dari tim tersebut mencoba mengatakan kepadanya. Sangat menggoda untuk kemudian

menyalahkan salah satu anggota tim ketika keadaan berjalan buruk dan pasien meninggal dunia, alih-

alih menyadari bahwa setiap anggota tim, terutama perawat, berada dalam peran koordinasi yang sulit

33
di mana hubungan baik sangat penting bagi penyebaran dan pemanfaatan informasi yang relevan dari

pasien (Tutiany et al., 2017).

Peran Perawat dalam Hirarki, jika seseorang mempertimbangkan karya berbagai jenis

organisasi, orang akan dengan cepat menemukan bahwa perawatan kesehatan itu unik karena

mengharuskan pekerjaan dilakukan secara terkoordinasi oleh karyawan dalam berbagai fungsi teknis

dan dalam posisi yang berbeda dalam sebuah hirarki. Perawat berada dalam posisi yang sangat sulit

dalam hal ini karena mereka harus beroperasi tidak hanya di unit keperawatan hierarkis mereka sendiri,

namun juga di hierarki rumah sakit yang lebih luas di mana dokter sangat berkuasa dan dapat mendikte

perawat sementara perawat, dan gilirannya, dapat mendikte ke anggota tim perawatan lainnya (Tutiany

et al., 2017).

Untuk menggambarkan kompleksitas ini, Edgar (2017) mengamati kasus sebuah pusat kanker di

sebuah rumah sakit besar dimana para dokter dan perawat bekerja dengan konsultan untuk

mengidentifikasi sebuah proses yang akan membuatnya lebih nyaman bagi pasien yang akan menerima

pengobatan kemo atau radiologis. Diputuskan bahwa perawat yang hadir untuk perawatan tersebut

harus mengunjungi pasien tersebut pada malam sebelumnya untuk menjelaskan semuanya dan untuk

membantu memperbaiki kecemasan yang tak terelakkan yang dirasakan pasien. Ketika pertama kali

diimplementasikan, perawat yang ditugaskan untuk mengunjungi pasien tersebut pada malam itu pergi

ke catatan pasien untuk membiasakan diri dengan kasus ini, hanya untuk menemukan bahwa catatan

tersebut tidak tersedia karena mereka diperbarui di departemen lain. Perawat itu meminta akses dan

diberi tahu bahwa ini tidak mungkin karena akan memerlukan banyak pekerjaan ekstra dari unit catatan

yang sudah kelebihan beban, dan manajer pusat kanker yang tidak terlibat dalam pembuatan program

baru ini, enggan memesan departemen rekaman medik untuk dipatuhi. Tidak ada yang bisa dilakukan

perawat sampai seluruh tim berkumpul untuk mendiskusikan masalah alur kerja seputar prosedur baru

34
tersebut. Membuat tim bersama terbukti sulit dan diputuskan bahwa keseluruhan prosedur pra-

kunjungan terlalu rumit dan ditinggalkan. Kualitas pasien yang lebih tinggi dikorbankan dan tidak ada

yang bisa dilakukan perawat tentang hal itu.

B. KERANGKA TEORI

- Permenkes No. 11 tahun 2017


- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2020 tentang
Akreditasi Rumah Sakit
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

Rumah Sakit melalui


Komite Mutu dan
Keselamatan Pasien

Sasaran Keselamatan Pasien (SKP)


SKP 1 : Mengidentifikasi pasien dengan benar
SKP 2 : Meningkatkan komunikasi yang efektif
SKP 3 :Meningkatkan keamanan obat-obat yang perlu
diwaspadai
SKP 4: Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur
yang benar, pembedahan pada pasien yang benar
SKP 5 : Mengurangi risiko infeksi terkait perawatan kesehatan
SKP 6 : Mengurangi risiko cidera pasien akibat terjatuh

Faktor Yang Mempengaruhi


Pelaksanaan Sasaran Keselamatan Pasien
1. Pengetahuan
2. Motivasi
3. Supervisi

Perubahan Pelaksanaan Sasaran


Keselamatan Pasien Selama Pandemi
Covid-19
1. Kebijakan
2.
35
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang bagaimana proses penelitian akan dilakukan, yang terdiri dari Desain

Penelitian, Populasi dan Sampel, Intsrumen, Tempat dan Waktu Penelitian, Metode dan Prosedur

Pengumpulan Data, Analisa Data, Etika Penelitian dan Alur Penelitian, Bab ini membahas tentang proses

penelitian dalam mengeksplorasi pengalaman perawat dalam pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di Ruang

Perawatan Anak selama pandemi Covid-19 di BLUD RS Benyamin Guluh Kabupaten Kolaka dengan desain

penelitian, landasan teori, lokasi penelitian, partisipan, teknik pengumpulan data, analisa data, keabsahan data,

etika penelitian dan alur penelitan sebagai berikut :

A. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif deskriptif dengan wawancara mendalam

digunakan untuk menggali, menganalisis dan mendeskripsikan pengalaman perawat anak dalam

melaksanakan sasaran keselamatan pasien selama pandemi Covid-19. Pendekatan ini memberikan

kekayaan, keluasan, dan kedalaman data yang diperlukan untuk membangun pemahaman yang

komprehensif tentang pengalaman perawat anak mengenai pelaksanaan sasaran keselamatan pasien.

B. PARTISIPAN PENELITIAN

Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja di Ruang Perawatan Anak BLUD RS

Benyamin Guluh Kabupaten Kolaka. dan memenuhi kriteria inklusi. Prosedur pemilihan partisipan

dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan jenis sampel homogen yaitu memilih

partisipan sesuai pertimbangan dan tujuan penelitian. Jumlah partisipan pada penelitian ini tidak

ditentukan. Partisipan adalah perawat yang memenuhi kriteria inklusi yaitu perawat yang telah bekerja di

36
Ruang Perawatan Anak setidaknya selama tiga tahun, memiliki gelar sarjana keperawatan, bersedia

menjadi partisipan dengan menandatangani persetujuan menjadi partisipan, serta bersedia diwawancarai

dan direkam selama penelitian. Partisipan dilibatkan pada penelitian disesuaikan dengan masalah dan

tujuan penelitian. Peneliti akan berhenti mengambil partisipan ketika telah tercapai kejenuhan (saturated)

pada data yang diperlukan atau tidak terdapat informasi baru yang ditemukan.

C. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di BLUD RS Benyamin Guluh Kabupaten Kolaka. Dasar pertimbangan

pemilihan tempat tersebut karena BLUD RS Benyamin Guluh merupakan salah satu rumah sakit rujukan di

Sulawesi Tenggara.

Penelitian ini akan dilaksanakan selama 4 pekan pada bulan Mei-Juni 2022 di Ruang Perawatan

Anak BLUD RS Benyamin Guluh Kabupaten Kolaka setelah mendapat persetujuan kelayakan etik dari

Komisi Etik Kesehatan. Pelaksanaan proses wawancara dilaksanakan setelah peneliti dan partisipan

membuat kontrak waktu dan tempat sehari sebelumnnya.

Bulan
No Nama Kegiatan
3–4 5 -6 7-8 9 - 10 11 – 12
1. Ujian Proposal
2. Izin Etik & Administrasi
3. Pengambilan Data
4. Analisa Data
5. Submit Jurnal
6. Oral Presentase
7. Ujian Hasil
8. Ujian Tutup

D. ALAT PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan peneliti sebagai instrument utama penelitian. Peneliti sebagai instrument

utama penelitian berdomisili di wilayah lokasi penelitian dan merupakan seorang perawat ruangan anak.

Peneliti juga sebelumnnya telah divalidasi tentang pemahaman peneliti mengenai metode penelitian

37
kualitatif, penguasaan teori dan pengawasan peneliti terhadap bidang yang diteliti, etika penelitian serta

kesiapan peneliti untuk melakukan penelitian. Hal tersebut dimaksudkan agar proses penelitian dapat

berlangsung dengan baik dan dapat mengekplorasi pengalaman perawat secara optimal. Proses validasi

tersebut telah dilakukan oleh komisi pembimbing dan komisi penguji selama proses bimbingan,

penyusunan proposal dan seminar proposal.

Selama proses penelitian, peneliti juga mengabaikan segala asumsi pribadi peneliti terkait fenomena

yang diteliti. Peneliti juga mengesampingkan pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki dan berusaha

sepenuhnya untuk menempatkan diri serta memandang segala sesuatunya berdasarkan perspektif

partisipan. Peneliti juga menggunakan voice recorder digital sebagai alat bantu dalam mendokumentasikan

setiap perkataan atau yang diucapkaan partisipan, serta dilengkapi dengan alat tulis untuk mencatat respon

non verbal partisipan dan situasi sekitar selama proses wawancara. Hal ini dilakukan karena ekspresi non

verbal juga menjadi sebuah data yang penting dalam proses analisa data.

E. PROSEDUR PENELITIAN

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini yaitu wawancara mendalam (indepth

interview) dengan pedoman wawancara semisstructured (lampiran 2) menggunakan alat perekam suara

(recorder). Waktu pelaksanaan wawancara yaitu sekitar 30-60 menit dengan didahulukan meminta

persetujuan partisipan untuk diwawancarai dan melakukan wawancara sesuai pedoman wawancara.

Pertanyaan wawancara difokuskan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat dalam melaksanakan sasaran

keselamatan pasien selama pandemi Covid-19. Setelah menjelaskan tujuan penelitian, proses, kerahasiaan

dan hak untuk mengundurkan diri setiap saat, peserta diwawancarai di area pribadi Ruang Perawatan Anak.

Peneliti telah menjalin hubungan saling percaya dengan peserta sebelum awal penelitian.

38
Peneliti juga membuat catatan lapangan (field note )yang digunakan untuk mendokumentasikan

respon non verbal partisipan dan situaasi lingkungan sekitar saat proses wawancara berlangsung

kemudian dipindahkan ke dalam komputer milik peneliti. Durasi wawancara berbeda-beda setiap

partisipan.

2. Prosedur Penelitian

a. Prosedur Administratif

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan setelah melalui tahap penyusunan

proposal dan lulus uji etik (ethical clearance) dari komisi etik penelitian. Setelah proposal

dinyatakan layak untuk dilakukan penelitian, peneliti kemudian mengajukan surat permohonan ijin

penelitian dari Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Univeritas Hasannudin. Selanjutnya peneliti

membawa surat tersebut ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten

Kolaka. Setelah penelitian disetujui oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Kabupaten Kolaka, selanjutnya peneliti membawa ijin penelitian ke Diklat BLUD RS Benyamin

Guluh Kabupaten Kolaka. Setelah mendapat disposisi dari Diklat BLUD RS Benyamin Guluh

Kabupaten Kolaka, selanjutnya peneliti membuat janji dan meminta persetujuan kepada perawat yang

memenuhi kriteria partisipan dalam penelitian ini.

b. Prosedur Teknis

Peneliti melakukan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan beberapa tahapan

yaitu:

1) Peneliti menemui partisipan dan menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian.

2) Peneliti memberikan informed consent menjadi partisipan untuk ditandatangani oleh partisipan.

3) Peneliti membuat kontrak waktu dan tempat dengan partisipan untuk dilakukan wawancara

mendalam sehari sebelum dilakukan wawancara.

39
4) Peneliti menjelaskan mekanisme wawancara bahwa tidak ada jawaban benar ataupun salah,

menjelaskan prinsip etik dan menjamin kerahasiaan identitas partisipan.

5) Peneliti memberitahu partisipan bahwa perekaman dilakukan selama wawancara berlangsung jika

partisipan bersedia dan peneliti mencatat respon non verbal partisipan.

6) Peneliti kemudian mulai melakukan wawancara mendalam dengan menggunakan alat perekam

suara (recorder) untuk merekam percakapan peneliti dengan partisipan. Wawancara dimulai dari

aspek yang bersifat umum ke yang bersifat lebih khusus dengan memberikan pertanyaan terbuka.

Durasi wawancara berkisar 30-60 menit.

7) Wawancara selesai setelah peneliti sudah tidak mendapatkan data-data yang baru sesuai dengan

konteks dan tujuan penelitian serta data yang diperoleh telah jenuh.

8) Peneliti melakukan terminasi dengan mengevaluasi dan mengklarifikasi hasil wawancara kepada

partisipan. Peneliti juga membuat kontrak berikutnya apabila diperlukan klarifikasi data.

9) Peneliti kemudian membuat transkrip verbatim hasil wawancara mendalam baik yang

diungkapkan oleh partisipan maupun ekpresi non verbal dari partisipan

40
c. ALUR PENELITIAN

Usulan Tema Tema Disetujui Studi Pendahuluan


Penelitian

Pengurusan surat studi pendahuluan


Penyusunan proposal penelitian
dari Program Studi Magister
kualitatif deskriptif
Keperawatan ke Diklat BLUD RS
Benyamin Guluh Kab. Kolaka

Uji Etik
Etika Penelitian : Respect for human dinity, benefiencence,
non-maleficience & Justice

Izin penelitian ke Diklat BLUD RS Benyamin Guluh Kab.


Kolaka

Pemilihan partisipan menggunakan Purposive Sampling


dengan jenis sampel homogen

Melakukan pengumpulan data dengan wawancara


mendalam dengan panduan semiterstruktur serta direkam
menggunakan alat perekam

Analisa Data

Hasil dan Pembahasan

Keabsahan Data:
Kesimpulan dan Saran Credibility, Dependability,
Confirmability, dan
Transferability

41
F. PENGUMPULAN DATA

Pertanyaan terbuka yang dikembangkan oleh para peneliti digunakan dalam penelitian ini selama

wawancara mendalam satu-ke-satu. Pengumpulan data dilakukan antara Mei 2022 dan Juni 2022 oleh

peneliti. Panduan wawancara dengan pertanyaan kunci terbuka bersama dengan pertanyaan menyelidik

yang terkait dengan respons partisipan digunakan untuk membantu memastikan bahwa tujuan penelitian

telah tercapai. Pertanyaan wawancara berikut difokuskan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat anak

mengenai: pelaksanaan enam sasaran keselamatan pasien selama pandemi Covid-19, upaya-upaya yang

dilakukan dalam pelaksanaan enam SKP serta tantangan atau hambatan yang dihadapi saat melaksanakan

enam SKP.

G. PENGOLAHAN DATA

Sebelum dilakukan analisis data kualitatif, perlu dilakukan :

a. Pengumpulan Data (Data collection) dengan melakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis

di lapangan.

b. Reduksi Data (Data reduction) dengan melakukan pengelompokan data yang selanjutnya disusun

dalam bentuk narasi-narasi, sehingga berbentuk rangkaian informasi yang bermakna sesuai dengan

masalah penelitian.

c. Penyajian data (Data Display) yaitu susunan sekumpulan informasi yang memungkinkan penarikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan.

d. Penarikan kesimpulan (Conclusion Verifications) dimana kesimpulan tersebut diverifikasi selama

e. proses penelitian. Verifikasi tersebut berupa tinjauan atau pemikiran kembali pada catatan lapangan

yang mungkin berlangsung sekilas atau malah dilakukan secara seksama dan memakan waktu lama,

42
serta bertukar pikiran. Sehingga makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,

kekokohannya, dan kecocokannya sehingga membentuk validitasnya.

f. Evaluasi (Evaluation), Melakukan verifikasi hasil analisis data dengan partisipan, yang didasarkan

pada kesimpulan tahap keempat. Tahap ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan interpretasi

dari hasil wawancara dengan sejumlah partisipan yang dapat mengaburkan makna persoalan

sebenarnya dari fokus penelitian.

H. ANALISA DATA DAN KEABSAHAN DATA

1. Analisa Data

Wawancara ditranskripsikan kata demi kata dalam Bahasa Indonesia untuk dianalisis. Pernyataan makna,

pengkodean, kategori dan tema. Transkrip dimasukkan ke dalam perangkat lunak Open Code 3.6 untuk

manajemen data kualitatif dan dibaca dan dibaca ulang beberapa kali untuk membangun pengertian umum

dan refleksi makna di balik pengalaman perawat. Analisis tematik digunakan untuk menganalisis data.

Pernyataan-pernyataan bermakna yang relevan dengan tujuan penelitian disegmentasikan ke dalam kode-

kode, dan kemudian kode-kode serupa disusun menjadi kelompok-kelompok dan pola-pola yang serupa.

Sub-tema awal dihasilkan dari kelompok-kelompok yang memiliki arti yang sama dan selanjutnya

dikelompokkan ke dalam tema-tema. Semua analisis data diperiksa dan didiskusikan di antara semua

peneliti untuk memastikan bahwa analisis tersebut mencerminkan maksud dari makna yang jelas dalam

kumpulan data. Anggota tim mendiskusikan setiap interpretasi yang berbeda sampai tercapai konsensus.

2. Keabsahan Data

Kredibilitas dicapai oleh dua perawat yang membaca analisis tematik, memberikan umpan balik dan

menawarkan koreksi untuk memastikan keakuratan interpretasi. Penyediaan deskripsi temuan yang rinci,

jelas, sistematis dan dapat diandalkan memastikan bahwa transferabilitas telah tercapai. Dokumentasi

proses penelitian, termasuk rekaman audio dan catatan lapangan, digunakan untuk memastikan

43
ketergantungan. Selain itu, tim peneliti melakukan pembekalan untuk membahas analisis data, menafsirkan

dan melaporkan temuan hingga tercapai kesepakatan oleh semua anggota tim peneliti (Hariati, et al.,

2022).

a. Kredibilitas (Keterpercayaan) Data

Kredibilitas data dan keakurasian suata data dari studi kualitatif bertujuan menjelaskan derajat

atau nilai kebenaran dari data yang dihasilkan termasuk proses analisis data. Beberapa cara yang

dilakukan peneliti untuk memperoleh kredibilitas yang tinggi terhadap hasil temuannya antara lain :

1) Memperbanyak waktu bersama partisipan dan melibatkan diri dalam aktivitas sehair-hari bersama

partisipan

2) Member Checking : Peneliti menemui kembali informan dengan membawa hasil transkrip data yang

telah dibuat dalam bentuk laporan atau deskripsi berupa tema dan hasil anlisis data untuk dibaca dan

dicek oleh informan bahwa hasil penelitian tersebut sudah akurat ataupun belum.

3) Thick Description atau melakukan triangulasi yaitu melakukan pendekatan berbeda atau

menggunakan beberapa metode pengumpulan data secara bersamaan.

b. Transferabilitas atau Keteralihan Data

Transferabilitas merujuk pada apakah suatu hasil penelitian kualitatif dapat diaplikasikan dan

dialihkan pada keadaan atau konteks lain atau kelompok atau partisipan lainnya. Dalam penelitian ini,

peneliti akan memberikan uraian yang terperinci tentang keadaan partisipan, cara memilih partisipan

dan sistematis dalam membuat laporan penelitian sehingga pembaca laporan mendapatkan pemahaman

serta gambaran yang jelas mengenai konteks dan fokus penelitian. Peneliti juga berusaha menggunakan

teori yang berkaitan untuk memperkaya hasil penelitian.

c. Dependabilitas (Ketergantungan)

44
Dependabilitas data merupakan kekonsistenan atau kestabilan data pada waktu dan kondisi yang

berbeda. Pada tahap ini peneliti memeriksa keabsahan data. Bukti dependabilitas dibuktikan oleh

peneliti dengan menunjukkan rekam jejak kegiatan penelitian seperti rekaman wawancara, catatan

lapangan serta foto kegiatan yang didapatkan selama proses penelitian. Hasil yang didapatkan ditulis

sesuai dengan hasil rekaman yang ada.

d. Konfirmabilitas

Konfirmabilitas merujuk pada kesediaan peneliti untuk mengukapkan secara terbuka proses dan

elemen elemen peneltiannya. Bagaimana hasil temuan merefleksikan fokus dari pertanyaan penelitian.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengontrol hasil temuan-temuan dengan merefleksikan pada jurnal

terkait, peer review, konsultasi dengan pembimbing dan melakukan konfirmasi informasi dengan

partisipan.

I. ETIKA PENELITIAN

Subyek dalam penelitian ini adalah partisipan yang mengungkapkan pengalamannya dalam

melaksanakan sasaran keselamatan pasien selama masa pandemi Covid-19. Penelitian ini menggunakan

beberapa prinsip etik yaitu prnsip beneficience, respect for human dignity, justice dan anonymity yaitu :

1. Beneficience

Prinsip beneficience diterapkan dengan menumbuhkan kenyamanan hubungan dengan partisipan

melalui membina hubungan saling percaya sejak pertemuan pertama dan senantiasa menfasilitasi

penyaluran emosi dan perasaan partisipan. Prinsip ini dilakukan dengan cara peneliti menjelaskan

secara detail tujuan, manfaat dan teknik penelitian kepada partisipan.

2. Respect for Human Dignity

Prinsip untuk menghormati martabat partisipan juga menjadi aspek yang penting dalam penelitian ini.

Dalam hal ini partisipan diberikan kebebasan secara penuh untuk memutuskan apakah akan mengambil

45
bagian dalam penelitian ini dan diberikan informed consent, juga memiliki hak untuk mengajukan

pertanyaan, menolak memberikan informasi, dan juga kebebasan untuk menarik diri dalam penelitian.

Peneliti juga memperhatikan hak partisipan untuk menjamin kerahasiaan data mereka dengan tidak

mencantumkan nama partisipan, melainkan menggunakan nomor partisipan dan tidak memberikan data

penelitian kepada orang kecuali untuk kepentingan penelitian.

3. Justice

Dalam penelitian ini aspek yang menyangkut keadilan menjadi perhatian peneliti. Seleksi partisipan

yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengacu pada sasaran kebutuhan dalam penelitian, bukan

menyeleksi pada faktor kerentanan partisipan, seperti melihat tingkat sosial partisipan. Memastikan

bahwa mereka juga tidak dieksploitasi. Dalam penelitian ini melakukan wawancara terhadap partisipan.

Peneliti memberikan pengahargaan kepada partisipan tanpa melihat suku, etnis, agama maupun status

sosial.

4. Anonymity

Dalam prinsip etika ini adalah kerahasiaan partisipan dijamin dimana peneliti tidak dapat

menghubungkan partisipan dengan data dari yang bersangkutan yaitu dengan tidak mencantumkan

nama maupun inisial partisipan dalm verbatim hasil penelitian, tetapi mencantumkan kode yang

dimengerti oleh peneliti, seperti penulisan kode P1 untuk partisipan 1, P2 untuk partisipan 2 dan

seterusnya yang disesuaikan urutan wawancara.. Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti

mengajukan persetujuan etik (ethical clearance) penelitian diurus dan diperoleh peneliti sebelum

melaksanakan penelitian melalui Komisi Etik Kedokteran Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kesehatan

Masyarakat Unhas Makassar, dan atau institusi lain yang mempunyai kewenangan mengeluarkan

Ethical Clearance.

46
ss

47

Anda mungkin juga menyukai