LATAR BELAKANG
1. Latar Belakang
Patient safety di rumah sakit merupakan hal yang sangat penting dan mendesak serta merupakan
acuan dan prinsip utama dalam proses pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Setiap
rumah sakit diharuskan memiliki manajemen patient safety demi menjamin keselamatan dan keamanan
bagi pasien (Rachmawati & Harigustian, 2019). Oleh karena patient safety merupakan hal yang penting
maka rumah sakit wajib melaksanakan patient safety di seluruh area pelayanan di rumah sakit.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) sebagai salah satu lembaga akreditasi rumah sakit di
Indonesia menjadikan Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) wajib dilaksanakan di semua rumah sakit
(Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2019). Selain itu, beberapa sasaran dari Sasaran Keselamatan Pasien
Menjadi indikator nasional mutu yang merupakan tolok ukur untuk menilai tingkat keberhasilan mutu
pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Dimensi keselamatan sebagai salah satu dimensi
mutu yang harus dilaksanakan di pelayanan kesehatan, artinya meminimalisasi terjadinya kerugian
(harm), cedera dan kesalahan medis yang dapat dicegah kepada mereka yang menerima pelayanan
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2021). Dengan pelaksanaan sasaran keselamatan pasien
dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit diharapkan beberapa dampak yang merugikan pasien dapat
dicegah.
Pelaksanaan patient safety dalam pelayanan kesehatan akan memberikan dampak positif yaitu
pasien akan mendapatkan mutu pelayanan yang maksimal, mengurangi dan meminimalisir adanya
cedera medis yang mungkin saja terjadi pada pasien. Sebab, pihak penyedia layanan kesehatan sudah
menyiapkan segala macam risiko atas terjadinya Kejadian yang Tidak Diharapkan (KTD) (Rachmawati
& Harigustian, 2019). Dampak dari ketidakpedulian akan patient safety menyebabkan kerugian bagi
pasien dan pihak rumah sakit. Secara global, setidaknya 5 pasien meninggal setiap menit karena
perawatan yang tidak aman dan 2,6 juta kematian setiap tahunnya di negara-negara berkembang.
Kerugian yang dialami pasien memberikan beban yang sangat tinggi pada semua sistem perawatan
kesehatan di seluruh dunia. Prevalensi patient safety untuk anak umur 0-1 tahun sebanyak 391, umur 1-
5 tahun sebanyak 232 insiden dan umur > 5-15 tahun sebanyak 210 insiden. Sedangkan prevalensi
untuk dewasa > 15-30 tahun = 704 insiden, >30-65 = 2238, umur > 65 tahun = 642 insiden (Dirjen
Yankes, 2021).
Keselamatan dan kualitas pelayanan rawat inap anak merupakan fenomena yang dinamis dan
kompleks (Lacey, Smith dan Cox). Miller, Elixhauser, dan Zhan mengemukakan bahwa anak-anak yang
dirawat di rumah sakit mengalami insiden keselamatan pasien dibandingkan dengan yang tidak dirawat
yaitu lama rawat 2 sampai 6 kali lipat lebih lama, kematian di rumah sakit 2 hingga 18 kali lipat lebih
besar dan biaya rumah sakit 2 hingga 20 kali lipat lebih tinggi (Hughes, 2008). Hal ini menggambarkan
bahwa anak-anak lebih berisiko untuk mengalami insiden keselamatan pasien dibandingkan orang
dewasa.
Anak-anak lebih rentan terhadap terjadinya efek samping selama rawat inap jika dibandingkan
dengan populasi orang dewasa dan menunjukkan kesalahan dalam perawatan anak di rumah sakit
seperti infeksi akibat pelayanan kesehatan karena kebersihan tangan yang buruk (Silva et al., 2016),
kesalahan pengobatan karena keterbatasan kemampuan berkomunikasi, terutama yang bersifat verbal
dan kesulitan dalam mengungkapkan kebutuhannya (Manias et al., 2019), pelaksanaan identifikasi
pasien yang tidak tepat pada anak dapat menyebabkan serangkaian konsekuensi negatif dalam
perawatan selama rawat inap dan pentingnya serah terima shift, di mana komunikasi yang efektif sangat
penting untuk perawatan yang aman (Silva et al., 2016), penyedia layanan kesehatan harus mengenali
dan mempertimbangkan semua faktor yang meningkatkan risiko jatuh di antara anak-anak yang dirawat
untuk kualitas perawatan dan keselamatan pasien yang lebih baik (Al Sowailmi et al., 2018). Dalam
2
pelaksanaannya, melibatkan berbagai komponen yang ada di rumah sakit, dimana perawat sebagai salah
satu komponen yang mempunyai peranan penting bagi terlaksananya enam SKP. Kepatuhan perawat
menerapkan SKP dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien akan berdampak pada
Pelaksanaan keselamatan pasien yang diharapkan oleh rumah sakit adalah 100%, namun secara
total nilai implementasi adalah 92,7%, oleh karena itu manajemen perlu memperhatikan kekurangan
yang dimiliki staf dan selanjutnya melakukan proses perubahan. Presentase paling tinggi adalah
identifikasi pasien (SKP 1), sedangkan yang paling rendah adalah implementasi pada obat-obatan high
alert dan operasi (SKP 3 dan 4) masing-masing capaian 90%. Hal tersebut berbeda dengan penelitian
Insani & Sundari (2018) dan Neri et al., (2018) yaitu SKP 1 merupakan capaian implementasi yang
paling rendah (capaian 67%) dan capaian tertinggi adalah SKP 4 yaitu 90% (Galleryzki et al., 2021).
Kepatuhan petugas melaksanakan identifikasi pasien belum menjadi budaya saat memberikan
pelayanan kepada pasien, masih kurangnya kesadaran petugas tentang pentingnya identifikasi pasien.
masih ada petugas atau PPA di rawat inap yang belum melakukan identifikasi pasien, hand hygiene.
Konfirmasi instruksi verbal per telepon belum ada yang mencapai sesuai standar, pelaksanaan
konfirmasi belum menjadi budaya. Capaian indikator mutu dalam pelaksanaan double check saat
pemberian obat high alert juga masih dibawah 100%. Capaian penerapan keselamatan operasi hampir
setiap bulan belum mencapai target. Hal ini disebabkan pemahaman PPA terhadap keselamatan operasi
masih kurang, mulai dari pelaksanaan sign in, time out dan sign out. Kepatuhan petugas dalam
penerapan kebersihan tangan telah mencapai target kecuali di bulan Februari dan Maret (Faluzi et al.,
2018). Hal ini menggambarkan masih belum optimalnya pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di
rumah sakit.
3
Penelitian yang dilakukan sebelumnya tentang pelaksanaan enam sasaran keselamatan pasien
(SKP) yang sering terabaikan seperti identifikasi pasien, prosedur timeout, kebersihan tangan,
komunikasi pada saat hand over dan lainnya, sehingga menyebabkan kesalahan medis dan menjadi
penyebab utama ketiga kematian di AS (Park, 2018). Keluarga pasien menunjukkan kelemahan dalam
pelaksanaan identifikasi pasien seperti verifikasi gelang identitas tidak dilakukan dan kurangnya gelang
alergi, komunikasi antara dan dengan para profesional yang gagal, kebersihan tangan yang salah dan
terkadang hal itu tidak dilakukan oleh keluarga pasien itu sendiri, risiko jatuh karena tempat tidur yang
tidak aman bagi anak-anak dan praktik tidak aman oleh para profesional (Hoffman et al., 2019). Hal ini
menunjukkan bahwa pelaksanaan sasaran keselamatan pasien dalam pelayanan keperawatan anak masih
kurang.
Keselamatan pasien merupakan hal penting untuk meningkatkan pelayanan kualitas perawatan
kesehatan dan telah menjadi perhatian utama bagi organisasi kesehatan di seluruh dunia. Di tengah
krisis saat ini keselamatan pasien merupakan masalah kualitas yang menjadi sangat penting, terutama
jika perhatian yang diberikan pada pemantauan dialihkan oleh kebutuhan operasional lainnya.
Munculnya virus Covid-19 baru memunculkan kekhawatiran keselamatan pasien baru. Pandemi Covid-
19 telah mengharuskan sistem kesehatan berubah lebih cepat dari (Handayani et al., 2021) .
Salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sasaran keselamatan pasien dalam pelayanan
keperawatan anak adalah adanya perubahan kebijakan selama pandemi Covid 19. Di tengah krisis,
pemantauan keselamatan pasien dan masalah kualitas menjadi sangat penting, terutama jika perhatian
yang diberikan pada pemantauan dialihkan oleh kebutuhan operasional lainnya. Munculnya virus Covid
-19 baru memunculkan kekhawatiran keselamatan pasien baru (Kasda et al., 2020). Kebijakan yang
berkaitan dengan perawatan Covid -19 dan dalam masa transisi menuju normal baru, sangat penting
bagi pimpinan untuk menempatkan keselamatan pasien sebagai jantung dari alur proses layanan.
4
pandemi Covid -19 menjadi tantangan baru dalam sistem kesehatan dan masyarakat di seluruh dunia.
Keselamatan pasien Covid -19 masih harus terus dikembangkan karena virus Covid -19 sendiri
merupakan hal yang belum sepenuhnya diketahui. Masalah keselamatan pasien tidak boleh dilupakan
dan diremehkan bahkan dalam masa pandemi Covid-19 (Nurdin & Wibowo, 2021). Masalah kembali
lagi ke kecukupan pedoman, protokol, penilaian kompetensi, pelatihan protokol dan sebagainya. Ini
juga jelas merupakan masalah keselamatan pasien serta masalah penghindaran litigasi (Tingle, 2020).
disebabkan munculnya virus Covid-19 yang peningkatan kasusnya begitu cepat dalam waktu yang
sangat singkat. World Health Organization (WHO) akhirnya mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi
pada 12 Maret 2020. Pelaksanaan sasaran keselamatan pasien harus tetap terjaga agar tetap menjamin
keselamatan pasien selama pandemi Covid-19. Dalam SNARS edisi 1.1, elemen penilaian SKP yang
berkaitan dengan pandemi Covid-19, yaitu kebersihan tangan (SKP 5) dan pasien jatuh (SKP 6) sebagai
akibat dari pelayanan yang berisiko tinggi (Luwiharsih, 2020). Oleh karena itu, penerapan sasaran
keselamatan pasien selama pandemi Covid-19 diharapkan lebih ditingkatkan untuk tetap menjaga
Hasil wawancara dengan Ketua Komite Mutu dan Keselamatan Pasien didapatkan data bahwa
pelaksanaan enam Sasaran Keselamatan Pasien di ruang perawatan anak BLUD RS Benyamin Guluh
tidak terlaksana secara optimal selama pandemi Covid-19. Kejadian obat yang tidak sesuai dengan
diresepkan sering kali terjadi namun tidak dilapoarkan, pelaporan sasaran keselamatan pasien terakhir
pada tahun 2019. Kepatuhan profesional pemberi asuhan (PPA) dalam melaksanakan patient safety
mengalami penurunan., pelaporan insiden keselamatan pasien tidak terlaksana baik internal maupun
eksternal. Kepatuhan perawat dan tenaga kesehatan lainnya untuk melaporkan setiap insiden masih
rendah, kejadian yang dilaporkan hanya yang didapatkan secara kebetulan saja.
5
Berdasarkan fenomena di atas, maka pelaksanaan sasaran keselamatan pasien wajib
dilaksanakan oleh rumah sakit selama masa pandemi Covid -19 agar pasien mendapat jaminan
keamanan terhadap perawatan yang diterima selama dirawat. Perawat sebagai salah satu komponen
dalam melaksanakan sasaran keselamatan pasien mempunyai peran yang sangat penting untuk menjaga
asuhan yang aman bagi pasien. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan peneilitian terkait pengalaman
perawat pada pelaksanaan Sasaran Keselamatan Pasien di Ruang Perawatan Anak selama pandemi
Covid-19
2. Rumusan Masalah
Patient safety di rumah sakit merupakan hal yang sangat penting dan mendesak. Secara global,
setidaknya 5 pasien meninggal setiap menit karena perawatan yang tidak aman. Anak-anak lebih rentan
terhadap terjadinya efek samping selama rawat inap salah satunya infeksi akibat pelayanan kesehatan
karena kebersihan tangan yang buruk, pelaksanaan identifikasi yang tidak tepat pada pasien anak dapat
menyebabkan serangkaian konsekuensi negatif dalam perawatan selama rawat inap dan pentingnya
serah terima shift, di mana komunikasi yang efektif sangat penting untuk perawatan yang aman,
penyedia layanan kesehatan harus mengenali dan mempertimbangkan semua faktor yang meningkatkan
risiko jatuh di antara anak-anak yang dirawat untuk kualitas perawatan dan keselamatan pasien yang
lebih baik. Munculnya virus Covid-19 baru memunculkan kekhawatiran keselamatan pasien baru.
Pandemi Covid-19 telah mengharuskan sistem kesehatan berubah lebih cepat dari biasanya.
Pelaksanaan enam Sasaran Keselamatan Pasien di ruang perawatan anak BLUD RS Benyamin Guluh
tidak terlaksana secara optimal selama pandemi Covid-19. Perawat sebagai salah satu komponen dalam
melaksanakan sasaran keselamatan pasien mempunyai peran yang sangat penting untuk menjaga asuhan
yang aman bagi pasien. Namun, belum ada penelitian yang membahas enam sasaran keselamatan pasien
selama pandemic Covid-19. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
6
pengalaman perawat pada pelaksanaan sasaran keselamatan pasien selama di ruang perawatan anak
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat pada pelaksanaan sasaran
keselamatan pasien selama pandemi Covid 19 di Ruang Perawatan Anak BLUD RS Benyamin Guluh
Kab. Kolaka.
4. Pernyataan Originalitas
Keaslian penelitian bertujuan untuk menjamin orisinalitas dan menemukan kebaruan dri
penelitian ini. Peneliti melakukan penelusuran jurnal menggunakan database Pubmed dan Google
Scholar. Berdasarkan artikel tersebut, maka dilakukan telaah untuk melihat persamaan dan perbedaan
dengan penelitian yang akan dilakukan. Peneliti kemudian menganalisa dan menuliskan rangkumannya
sebaagai berikut :
a. Pagala et al., 2017 dengan judul Perilaku Kepatuhan Perawat Melaksanakan SOP Terhadap
Kejadian Keselamatan Pasien di Rumah Sakit X Kendari. Penelitian Explanatory Research dengan
rancangan Cross sectional. Sampel dalam penelitian ini terdapat 134 perawat ruang rawat inap.
Hasil penelitian menunjukan terdapat 4 variabel yang berhubungan yaitu pengetahuan, sikap,
persepsi dukungan supervisor, persepsi dukungan sesama perawat dan faktor yang paling dominan
Perbedaan yang mendasar variabel penelitian, desain penelitian dan hasil yang diukur.
b. Nursery & Champaca (2019) dengan judul Pelaksanaan enam sasaran keselamatan pasien oleh
c. gah adverse event di rumah sakit. Ada 107 perawat pelaksana yang ikut berpartisipasi sebagai
sampel. Explanatory design dan Focus Group Discussion (FGD). Teknik sampling pada penelitian
7
ini adalah cluster sampling dan simple random sampling. Hasil menunjukkan bahwa pelaksanaan
enam sasaran keselamatan pasien oleh perawat adalah baik. Persamaannya sampel menggunakan
perawat. Perbedaan yang mendasar variabel penelitian, desain penelitian dan hasil yang diukur.
d. Keles et al (2018), judul penelitian Analisis Pelaksanaan Standar Sasaran Keselamatan Pasien di
Unit Gawat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Partisipan dalam penelitian ini adalah
yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di
Unit Gawat Darurat RSUD DR. Sam Ratulangi antaralain Direktur RumahSakit (1), Kepala Unit
Gawat Darurat (1), penanggung jawab keperawatan UGD (1), dokter (2), tenaga keperawatan (3) di
Unit Gawat Darurat dan petugas apoteker (1) RSUD DR. Sam Ratulangi Tondano. Hasil penelitian
peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, pelaksanaan kepastian tepat-lokasi, tepat-
prosedur, tepat-pasien operasi sudah sesuai dengan standar akreditasi rumah sakit versi 2012
sedangkan pelaksanaan pengurangan risiko infeksi dan pelaksanaan pengurangan risiko pasien
jatuh belum sesuai dengan standar akreditasi rumah sakit versi 2012. Persamaan dalam penelitian
ini adalah menggunakan metode kualitatif. Perbedaan yang mendasar adalah partisipan dalam
penelitian ini.
e. Dewi & Noprianty (2018), judul penelitian Studi fenomenologi: faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian faal pada pasien anak rumah sakit dengan theory Faye G.Abdellah. Jenis penelitian
kualitatif dengan metode pendekatan fenomenologi. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 4
perawat (2 kepala tim dan 2 perawat pelaksana). Hasil penelitian didapatkan 4 tema yaitu
pengetahuan, sumber daya manusia, lingkungan, dan sarana prasarana. Hal ini karena pelaksanaan
pencegahan belum sesuai prosedur operasional, perbandingan jumlah perawat dan pasien yang
tidak seimbang (1 perawat : 6-7 pasien) sedangkan banyak tindakan yang tidak dapat dilakukan
8
oleh 1 perawat, lantai licin, tidak terpasang rel samping tempat tidur dan belum ada bel pasien.
Persamaan menggunakan perawat sebagai partisipan. Perbedaan desain penelitian dan hasil
penelitian.
f. Al Sowailmi et al (2018) dengan judul penelitian Prevalensi cedera jatuh dan faktor risiko jatuh di
antara anak-anak yang dirawat di rumah sakit di rumah sakit anak khusus di Arab Saudi. Desain
penelitian deskriptif, studi prevalensi cross-sectional. Data diperoleh melalui electronic safety
reporting system (srs). semua kejadian jatuh yang dilaporkan selama rawat inap pada anak-anak 14
tahun untuk periode dari 1 april 2015 hingga 30 april 2016. Prevalensi jatuh di antara 4860 anak
yang dirawat adalah 9,9 (per 1000 pasien (48/4860). Sebagian besar kejadian jatuh pada anak laki-
laki pada kelompok umur 1-5 tahun, pada anak dengan risiko tinggi jatuh, dengan status mobilitas
normal dan tidak ada riwayat jatuh sebelumnya. Cedera parah sebanyak 25%. Namun, jatuh di
antara kategori risiko sedang lebih sering parah daripada jatuh di antara anak-anak kategori risiko
g. Silva et al (2016), judul penelitian Komunikasi keperawatan handover shift: keamanan pasien
pediatrik. Studi kualitatif, eksploratif-deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Unit Rawat Inap Anak
Rumah Sakit Universitas di Brasil Selatan. Data dikumpulkan dengan wawancara semi-terstruktur,
yang melibatkan 32 profesional keperawatan. Hasilnya membuktikan pentingnya serah terima shift,
di mana komunikasi yang efektif sangat penting untuk perawatan yang aman. Namun demikian,
diperlukan objektivitas yang lebih besar dalam penyampaian informasi, waktu yang digunakan
perlu dikurangi dan catatan serah terima shift perlu disistematisasikan. Persamaan desain penelitian.
h. Biasibetti et al (2019), judul penelitian Komunikasi untuk keselamatan pasien di rawat inap anak.
9
inap bedah klinis pediatrik dari tiga rumah sakit di Porto Alegre, RS, Brasil. 44 profesional
kesehatan dan 94 pendamping anak-anak yang dirawat di rumah sakit berpartisipasi dalam
penelitian ini, dengan total 138 peserta. Hasil penelitian : Dua kategori muncul: “Hambatan untuk
komunikasi yang efektif”, mengatasi kegagalan dan kesulitan dalam proses komunikasi dan “Alat
i. Manias et al (2018) dengan judul Tren kesalahan pengobatan dan efek dari faktor yang
berhubungan dengan orang, lingkungan dan komunikasi pada kesalahan pengobatan di rumah sakit
anak. Audit klinis retrospektif dilakukan selama periode 5 tahun dari kesalahan pengobatan
pediatrik yang diserahkan ke sistem pelaporan. Sebanyak 3340 kesalahan pengobatan dilaporkan,
yang berhubungan kesalahan pengobatan. Hasil pasien yang paling umum terkait dengan kesalahan
yang memerlukan pemantauan atau intervensi untuk memastikan tidak ada bahaya yang terjadi.
Perbedaan mendasar adalah sampel dalam penelitian, desain, variabel dan hasil penelitian.
j. Anggraini (2018), judul penelitian Pengetahuan Perawat tentang Penilaian Morse Fall Scale dengan
Kepatuhan Melakukan Assesmen Ulang Risiko Jatuh. Penelitian ini menggunakan rancangan
penelitian deskriptif korelasi dengan metode cross-sectional. Sampel sebanyak 57 perawat. Hasil
dalam penelitian ini, memiliki tingkat pengetahuan kategori baik dan patuh melaksanakan assesmen
ulang risiko jatuh. Terdapat hubungan pengetahuan perawat tentang penilaian Morse Fall Scale
dengan kepatuhan perawat dalam melaksanakan assesmen ulang risiko jatuh, , terdapat hubungan
antara pengetahuan tentang penilaian morse fall scale dengan kepatuhan assesmen ulang risiko
jatuh di ruang rawat inap RSUD Wates. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah
sampel penelitian. Perbedaannya yaitu desain penelitian, variabel dan hasil penelitian.
10
k. Pambudi et al., 2018 dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam penerapan 6
skp (sasaran keselamatan pasien) pada akreditasi JCI (Joint Commission International) di ruang
rawat inap rumah sakit Panti Waluya Malang. Desain penelitian yaitu deskriptif analitik dengan
pendekatan cross sectional. Populasinya adalah semua perawat pelaksana di ruang rawat inap
dewasa sebanyak 186 orang. Sampel sebanyak 124 orang ditentukan dengan teknik proporsional
simple random sampling. Berdasarkan hasil analisa Bivariat, faktor yang berpengaruh terhadap 6
SKP yaitu jumlah tanggungan (p=0,018), lama bekerja (p=0,018), pengetahuan perawat (p=0,002),
motivasi perawat (p=0,019), supervisi (p=0,001), dan pengaruh organisasi (p=0,029). Berdasarkan
hasil analisa multivariat didapatkan faktor yang paling dominan adalah Pengetahuan dengan
(OR=17,299), sehingga dapat diasumsikan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan baik
cenderung lebih baik dalam melakukan penerapan 6 SKP dibandingkan dengan perawat yang
memiliki pengetahuan rendah. Persamaan dalam penelitian ini adalah sampel penelitian.
l. Gallerizky et al., 2021 dengan judul Hubungan Sikap Keselamatan dengan Implementasi Sasaran
Keselamatan Pasien oleh Perawat di Rumah Sakit. Penelitian merupakan penelitian kuantitatif
dengan metoden deskriptif dan cross-sectional. Metode sampling dengan purposive sampling,
didapatkan sampel sebanyak 345 orang. Terdapat hubungan signifikan antara sikap keselamatan
dengan implementasi keselamatan perawat (r= 0,441, P<0.01 Faktor jenis kelamin, usia,
pengalaman kerja, dan jenjang karier secara signifikan berpengaruh pada implementasi keselamata.
(P < 0.05). Rumah sakit dan manajer perawat memiliki peranan penting dalam meningkatkan
pemanfaatan sumber daya secara optimal. Persamaan dalam penelitian ini adalah desain dan sampel
11
m. Gunawan et al., 2022 dengan judul Hubungan Kepatuhan Cuci Tangan Dan Penggunaan Apd
Perawat Dengan Resiko Kejadian Healthcare Associated Infections (Hais) Pada Masa Pandemi
Covid-19 Di Rsud Mayjend. H.M. Ryacudu Lampung Utara. Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini berkaitan dengan sifat deskriptif dengan desain penelitian cross sectional.
Subyek penelitian ini adalah seluruh perawat obstetri, anak (perinatal dan NICU), kamar operasi
dan penyakit dalam di RSUD Mayjend.H.M Ryacudu Lampung Utara. Jumlah sample yang dipakai
sebanyak 60 partisipan. Hasil penelitian adalah Uji statistik kepatuhan perawat terhadap chi-square
dalam cuci tangan diperoleh nilai p sebesar 0,033 dimana nilai p < α (0,033 < 0,05) kemudian Ha,
dan nilai Oods Ration diterima sebesar 0,314. Dengan menggunakan uji statistik chi-square perawat
yang menggunakan APD didapatkan nilai p-value 0,241, sehingga nilai p-value < α (0,241 > 0,05)
dan Ho ditolak, serta nilai Oods ration sebesar 0,519. Persamaan dalam penelitian ini adalah sampel
n. Suryani et al., 2021 engan judul Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penerapan Keselamatan
sampling diterapkan dalam penelitian ini. Sebanyak 117 perawat di ruang rawat inap direkrut dalam
penelitian ini. Hubungan yang signifikan menunjukkan pengetahuan, pengawasan, motivasi, dan
pelaksanaan tujuan keselamatan pasien (nilai-p<0.05) Pengawasan dari kepala perawat adalah
faktor yang paling terkait. Dengan meningkatkan mutu Pengawasan, akan mempengaruhi
penerapan tujuan keselamatan pasien; Oleh karena itu, budaya keselamatan pasien dapat diciptakan
dan dicapai dengan baik. Persamaan dalam penelitian ini adalah sampel penelitian. Perbedaannya
o. Yanti et al., 2021, judul penelitian Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Apd Dan Kebersihan
Tangan Di Masa Pandemi penyakit Virus Corona 2019. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif
12
dengan desain deskriptif survei pada 210 perawat di Bali melalui purposive sampling. Penelitian ini
menggunakan alat pengumpulan data berupa kuesioner tentang APD di masa pandemi Coronavirus
Disease 2019 yang terdiri dari 10 pertanyaan dan kuesioner tentang kebersihan tangan di masa
pandemi Coronavirus Disease 2019 yang terdiri dari 8 pertanyaan. Data dianalisis secara univariat
dan disajikan dalam distribusi frekuensi. Hasil analisis mendapatkan pengetahuan perawat tentang
APD di masa pandemi Coronavirus Disease 2019 ada pada kategori baik yaitu 42,2%, cukup
51,9%, dan kurang 5,7%. Kategori pengetahuan perawat tentang kebersihan tangan di masa
pandemi Coronavirus Disease 2019 didapatkan 30% baik, 56,2% cukup, dan 13,8% kurang.
pengetahuan perawat tentang APD dan kebersihan tangan di masa pandemi COVID-19 berada pada
kategori cukup. Persamaan dalam penelitian ini adalah sampel penelitian. Perbedaannya yaitu
p. Karo et al 2021 dengan judul Studi Komparatif Pengetahuan Perawat Dalam Pencegahan Risiko
Pasien Jatuh Selama Masa Pandemi Covid-19 Diruang Isolasi Dan Rawat Inap Penyakit Dalam Di
Rumkit Tk Ii Putri Hijau Kesdam I/Bb Medan Tahun 2021. Desain penelitian yang digunakan
adalah Quasi Eksperimen. Pada penelitian ini adalah seluruh perawat ruang isolasi Sebanyak 30
Orang dan Perawat rawat Inap penyakit dalam sebanyak 40 Orang. sedangkan sampel penelitian
sebanyak 30 Orang Perawat Isolasi dan 30 Orang Perawat Rawat Inap Penyakit Dalam. Teknik
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rerata pengetahuan perawat isolasi dalam pencegahan resiko pasien jatuh
selama masa pandemic COVID-19 sebesar 12,80 dengan standar deviasi sebesar 3,624 sedangkan
pengetahuan perawat rawat inap sebesar 15,20 dengan standar deviasi 2,987. Ada perbedaan
pengetahuan perawat dalam pencegahan resiko pasien jatuh selama masa pandemi COVID-19
antara perawat isolasi dengan perawat rawat inap penyakit dalam, dengan nilai p= 0,015.
13
Persamaan dalam penelitian ini adalah sampel penelitian. Perbedaannya yaitu desain, variabel dan
hasil penelitian.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN LITERATUR
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus menyelenggarakan patient safety dan dilakukan
melalui pembentukan sistem pelayanan yang menerapkan Standar Keselamatan Pasien, Sasaran
Keselamatan Pasien dan tujuh langkah menuju Keselamatan Pasien (Permenkes, 2017). Pelaksanaan
manajemen patient safety di rumah sakit dimulai dengan pembentukan Tim Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (KPRS), mengembangkan sistem informasi pencatatan dan pelaporan internal tentang
insiden,melakukan pelaporan insiden ke Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS) secara
rahasia dan agar memenuhi standar keselamatan pasien dan menerapkan tujuh langkah menuju
keselamatan pasien serta rumah sakit pendidik mengembangkan standar layanan media berdasarkan
hasil dari analisis akar masalah dan sebagai tempat pelatihan standar-standar yang baru (Rachmawati &
Harigustian, 2019).
Sasaran Keselamatan Pasien yang wajib diterapkan di rumah sakit yang diakreditaasi oleh
KARS. Penyusunan sasaran ini mengacu pada Nine Life Saving Patient Safety Solution dari World
Health Organization Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh pemerintah (KARS, 2019), dan
juga digunakan oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI) dan dari Joint
Comission International (JCI) (Rachmawati & Harigustian, 2019). Sehingga rumah sakit diharapkan
menjadikan sasaran keselamatan pasien sebagai dasar dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Tujuan SKP adalah untuk mendorong rumah sakit agar melakukan perbaikan spesifik dalam
keselamatan pasien. Sasaran ini menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan di rumah
sakit dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus para ahli atas permasalahan ini. Sistem yang
15
baik akan berdampak pada peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dan keselamatan pasien (KARS,
2019). Dengan mempertimbangkan bahwa untuk menyediakan perawatan kesehatan yang aman dan
berkualitas tinggi diperlukan desain sistem baik, sasaran biasanya sedapat mungkin berfokus pada
solusi yang berlaku untuk keseluruhan sistem (Permenkes, 2017). Sehingga diharapkan adanya
International Patient safety Goals (IPSG) atau di Indonesia secara nasional untuk seluruh
fasilitas pelayanan kesehatan, diberlakukan Sasaran Keselamatan Pasien Nasional (SKPN) yang terdiri
SKP 4: Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan pada pasien
yang benar
Sehingga pelaksanaan enam sasaran keselamatan pasien harus dipatuhi oleh semua fasilitas pelayanan
kesehatan di Indonesia.
Sasaran pertama adalah mengidentifikasi pasien dengan benar, hal pertama yang penting
diperhatikan seluruh professional pemberi asuhan (PPA). Dalam melakukan identifikasi pasien
haruslah dengan benar. Karena kesalahan diagnosis maupun pengobatan dalam proses identifikasi
pasien bisa saja terjadi (Rachmawati & Harigustian, 2019). Kesalahan identifikasi ini bisa terjadi saat
pasien sedang terbius, mengalami disorientasi, tidak sadar sepenuhnya, dalam keadaan koma, bertukar
tempat di dalam lingkungan rumah sakit, pindah kamar, terjadi disfungsi sensoris, lupa identitas diri
16
atau faktor lain. Sasaran ini bertujuan untuk memastikan ketepatan pasien yang akan menerima
layanan atau tindakan dan untuk menyelaraskan layanan atau tindakan yang dibutuhkan oleh pasien
(KARS, 2019). Maka proses identifikasi harus dilaksanakan oleh PPA dalam setiap intervensi yang
Proses identifikasi yang dilakukan di rumah sakit minimal menggunakan 2 (dua) identitas dari 4
(empat) bentuk identifikasi yaitu nama pasien, tanggal lahir, nomor rekam medik, nomor induk
kependudukan (NIK) atau bentuk lainnya (barcode atau kode QR). Nomor kamar pasien tidak dapat
digunakan untuk identifikasi pasien. Dua (2) bentuk identifikasi digunakan di semua area layanan
rumah sakit seperti di rawat jalan, rawat inap, unit darurat, kamar operasi, unit layanan diagnostik dan
lainnya (KARS, 2019). Oleh karena itu, rumah sakit menetapkan 2 (dua) dari 4 (empat) bentuk
Kegiatan identifikasi dengan menggunakan dua bentuk identifikasi dilakukan dalam setiap
keadaan yang terkait dengan intervensi yang akan diberikan kepada pasien. Misalnya pelaksanaan
identitas pasien pada label obat, rekam medis, resep, makanan, spesimen, permintaan dan hasil
pemberian diet, identifikasi sebelum tindakan, prosedur diagnostik dan terapeutik, sebelum pemberian
radioterapi, menerima cairan intravena, hemodialisis, pengambilan darah atau pengambiln spesimen
lain, katerisasi jantung, prosedur radiologi diagnostik dan pasien koma. Identifikasi dilakukan dalam
dua cara yaitu secara verbal dan visual (KARS, 2019). Sehingga, identifikasi pasien merupakan hal
Hasil penelitian sebelumnya memaparkan bahwa penggunaan gelang masih belum menjadi
prioritas bagi manajemen rumah sakit. Sedikitnya kasus yang disebabkan oleh kesalahan identifikasi
menyebabkan pihak pengelola tidak memprioritaskan karena dampak yang dianggap tidak memerlukan
17
perhatian khusus. Salah identifikasi berdampak fatal meski kasusnya hanya sedikit (Sugiarti et al.,
2020). Identifikasi pasien untuk pelaksanaan sudah mulai dilaksanakan namun belum standar (Sundoro
et al., 2016) ,verifikasi yang sebenarnya dari gelang identitas dilakukan hanya pada awal shift.
Kegagalan untuk memeriksanya diidentifikasi dalam peluang baru, seperti saat memberikan obat,
melakukan prosedur atau pemeriksaan. Dalam situasi ini, para profesional lebih suka memeriksa data
pasien di grafik atau di set identifikasi di tempat tidur (Hoffman et al., 2019), identifikasi pasien anak
sebagai hal yang penting untuk meningkatkan keselamatan mereka (Izabel & Souza, 2015). Oleh
karena itu, identifikasi pasien sangat penting dilakukakan untuk menghindari kesalahan dalam
Sasaran kedua adalah meningkatkan komunikasi yang efektif. Penggunaan komunikasi dan
pemberian informasi yang efektif, efisien, akurat, lengkap, jelas dan dipahami oleh pasien akan
mengurangi kesalahan dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien (Rachmawati & Harigustian,
2019). Komunikasi dapat berbentuk verbal, elektronik atau tertulis. Komunikasi yang buruk dapat
membahayakan pasien. Komunikasi yang rentan terjadi kesalahan adalah saat perintah lisan atau
perintah lewat telepon, komunikasi verbal, saat menyampaikan pemeriksaan kritis yang harus
disampaikan lewat telepon. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan aksen dan dialek, pengucapan
menyulitkan penerima perintah untuk memahami perintah yang diberikan (KARS, 2019). Sehingga
Kesalahan terbanyak di dunia medis dalam komunikasi adalah komunikasi yang dilakukan
secara lisan ataupun melalui telepon. Maka, suatu perintah medis (misalnya dari dokter ke perawat)
memerlukan pencatatan kembali (di komputer). Setelah itu, diperlukan pemeriksaan kembali (read
back) apakah perintah medis tersebut telah tepat adalah salah satu langkah tepat (Rachmawati &
18
Harigustian, 2019). Oleh karena itu, setiap menerima perintah atau pelaporan hasil permeriksaan
konfirmasi kembali). Komunikasi SBAR dilakukan pada saat serah terima pasien (antar shift
keperawatan, perpindahan pasien antar unit kerja), petugas melaporkan kondisi pasien kepada Dokter
penanggung jawab Pasien (DPJP). Melaporkan kondisi pasien yang kritis, pemeriksaan penunjang
dengan hasil nilai kritis, kondisi pasien yang mendapat pengobatan dan memerlukan pengawasan
khusus, kondisi pasien yang memerlukan monitoring ketat. Isi laporan SBAR: - S (Situation)
melaporkan situasi pasien, meliputi: nama pasien, umur, lokasi, masalah yang ingin disampaikan,
penilaian terhadap kondisi pasien dengan menyampaikan masalah saat ini. R (Recommendation)
menyampaikan rekomendasi berupa saran, pemeriksaan tambahan, atau perubahan tatalaksana jika
diperlukan (Tutiany et al., 2017). Sehingga dengan penggunaan metode SBAR dalam komunikasi
Komunikasi TBAK dilakukan, pada saat petugas menerima instruksi verbal pertelepon/lisan dari
DPJP, petugas menerima laporan hasil tes kritis/critical test/ pemeriksaan cito. Prosedur komunikasi
Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT), meliputi: Tanggal dan jam pesan diterima,
Isi pesan secara lengkap. Nama pemberi instruksi dalam kotak stempel KONFIRMASI
19
(penerima pesan membubuhkan stempel KONFIRMASI di sebelah kanan/bawah catatan
b. Penerima pesan membacakan kembali instruksi lengkap tersebut kepada pemberi pesan
d. Pemberi pesan/ instruksi menanda tangani dan menulis tanggal dan jam
Sejumlah kegiatan yang harus dilakukan dalam sasaran komunikasi yang efektif adalah sebagai
berikut:
a. Perintah secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan lengkap
b. Perintah secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali
c. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi kembali oleh pemberi perintah atau hasil
pemeriksaan tersebut.
d. Kebijakan dan prosedur mendukung praktek yang konsisten dalam melakukan verifikasi
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa keselamatan pasien adalah prioritas dalam
perawatan pasien, dan kesalahan komunikasi adalah penyebab paling umum dari kerugian kejadian
selama perawatan pasien. Alat komunikasi SBAR adalah alat komunikasi terstruktur yang telah
menunjukkan pengurangan efek samping di lingkungan rumah sakit (Shahid & Thomas, 2018).
Pelaksanaan peningkatan komunikasi yang efektif belum dilakukan secara efektif, laporan berbasis
SBAR di rekam medis juga belum dibuat (Sundoro et al., 2016). Faktor pelaksanaan merupakan faktor
20
yang sering menyebabkan sasaran ini belum optimal, tidak mengkonfirmasi ulang perintah dan tidak
menuliskan perintah yang diberikan merupakan permasalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan
sasaran ini (Brigitta et al., 2020). Kualitas komunikasi dalam pelayanan kesehatan sangat penting untuk
promosi keselamatan pasien (Biasibetti et al., 2019). Oleh karena itu, untuk menjamin keamanan pasien,
Sasaran ketiga adalah meningkatkan keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai. Obat yang
perlu diwaspadai (High-Alert Medications) adalah sejumlah obat-obatan yang memiliki risiko tinggi
menyebabkan bahaya yang besar pada pasien jika tidak digunakan secara tepat (drugs that bear a
heightened risk of causing significant patient harm when they are used in error (ISMP - Institute for
Safe Medication Practices). Obat yang perlu diwaspadai (High-Alert Medications) merupakan obat
yang persentasinya tinggi dalam menyebabkan terjadinya kesalahan/ error dan/ atau kejadian sentinel
(sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse
outcome) termasuk obat-obat yang tampak mirip (nama obat, rupa dan "ucapan mirip, NORUM atau
Look-Alike Sound-Alike, LASA, termasuk pula elektrolit konsentrasi tinggi (Tutiany et al., 2017).
Sehingga rumah sakit diharapkan membuat daftar obat-obat high alert dan disosialisasikan ke ruang
Selain mendapatkan pelayanan kesehatan berupa tindakan dan perawatan, sejumlah pasien juga
tidak akan lepas dari pemberian obat. Hal yang penting diperhatikan oleh petugas medis adalah kehati-
hatian jika rencana pengobatan pasien juga mengharuskan adanya konsumsi obat-obatan. Maka, dalam
manajemen patient safety, rumah sakit harus mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki
keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert). Hal tersebut bertujuan tidak lain untuk menjaga
komitmen rumah sakit dalam tanggung jawab keselamatan pasien (Rachmawati & Harigustian, 2019).
Setiap obat jika salah penggunaannya dapat membahayakan pasien, bahkan bahayanya dapat
21
menyebabkan kematian atau kecacatan pasien, terutama obat-obat yang perlu diwaspadai. Obat yang
perlu diwaspadai adalah obat yang mengandung risiko yang meningkat bila kita salah menggunakan
dan dapat menimbulkan kerugian besar pada pasien (KARS, 2019). Oleh karena itu, sebelum
pemberian obat-obat high alert harus dilakukan double check untuk mencegah terjadinya medication
error.
Kesalahan ini bisa terjadi apabila staf tidak mendapatkan orientasi yang baik di unit asuhan
pasien, bila perawat kontrak tidak diorientasikan sebagaimana mestinya di unit asuhan pasien, atau
pada keadaan darurat/emergensi. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi
kejadian tersebut adalah dengan mengembangkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai
termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Fasilitas pelayanan
kesehatan secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk menyusun
daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan datanya sendiri (Permenkes, 2017).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam studi prospektif ini, kami
menemukan bahwa 75,1% pasien telah terpapar setidaknya satu medication error dan 39,9% pasien
memiliki 3 atau lebih kesalahan. Strategi yang berbeda harus digunakan untuk mengurangi tingkat
kesalahan pengobatan yang tinggi (Dedefo et al., 2016). Hambatan dalam mewaspadai obat high alert
adalah kurangnya pengetahuan tentang obat high alert serta pada kondisi tertentu, pasien tersebut
membutuhkan perhatian yang ekstra ketika menerima obat high alert padahal tenaga perawat terbatas
(Isnaini & Rofii, 2014). Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai belum dijalankan dengan
baik (Sundoro et al., 2016), capaian indikator mutu dalam pelaksanaan double check saat pemberian
obat high alert juga masih dibawah 100% (Faluzi et al., 2018). Sehingga pengetahuan perawat tentang
obat-obat high alert perlu ditingkatkan melalui sosialisasi dan supervise secara berkesinambungan.
22
Sasaran keempat yaitu memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,
pembedahan pada pasien yang benar. Tindakan bedah dan prosedur invasif memuat semua prosedur
investigasi dan atau memeriksa penyakit serta kelainan dari tubuh manusi melalui mengiris,
a. komunikasi yang tidak efektif dan tidak adekuat antar anggota tim
b. tidak ada kelibatan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur
f. masalah yang terkait dengan tulisan yang tidak terbaca, tidak jelas dan tidak lengkap
Kematian dan komplikasi akibat pembedahan dapat dicegah. Salah satu pencegahannya dapat
dilakukan dengan Surgical Safety Checklist (SSC). Surgical Safety Checklist adalah sebuah daftar
periksa untuk memberikan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien. Surgical Safety
Checklist membagi operasi menjadi tiga fase, masing-masing sesuai ke periode waktu tertentu dalam
aliran normal suatu prosedur periode sebelum induksi anestesi (Sign In), periode setelah induksi dan
sebelum sayatan bedah (Time Out), dan periode selama atau segera setelah penutupan luka tetapi
sebelum mengeluarkan pasien dari operasi ruangan (Sign Out). Dalam setiap fase, koordinator Surgical
Safety Checklist harus diizinkan untuk mengonfirmasi bahwa tim telah menyelesaikan tugasnya
23
sebelum itu berlangsung lebih jauh. Saat tim operasi menjadi akrab dengan langkah-langkah Surgical
Safety Checklist, mereka dapat mengintegrasikan pemeriksaan ke dalam pola kerja yang mereka kenal
dan mengungkapkan penyelesaian mereka dari setiap langkah tanpa intervensi eksplisit dari koordinator
Surgical Safety Checklist. Setiap tim harus berusaha untuk menggabungkan penggunaan Surgical Safety
Checklist ke dalam pekerjaannya dengan efisiensi maksimum dan minimum gangguan, sambil bertujuan
untuk mencapai langkah-langkah secara efektif (WHO, 2008). Sehingga penggunaan Surgical Safety
Penelitian sebelumnya tentang Surgical Safety Checklist diperoleh hasil tentang penggunaan
Surgical Safety Checklist meningkatkan budaya keselamatan dalam suatu institusi dengan memfasilitasi
komunikasi (Pugel et al,.2015). Manfaat lain dari SSC bagi pasien, tim bedah dan pelayanan kesehatan
adalah promosi keselamatan, penggunaan daftar sebagai kesempatan untuk berdialog, sosialisasi
informasi yang relevan, peningkatan mutu pelayanan dan pencegahan efek samping (Tostes & Galvo,
2019). Pentingnya menerapkan SSC, profesional percaya bahwa menerapkan daftar periksa
meningkatkan keselamatan pasien yang menjalani operasi. Namun, saat melengkapi daftar periksa,
hanya sebagian yang percaya bahwa mereka menerapkan 100% langkah dan item (Poveda et al., 2021).
Proses time-out tetap menjadi elemen penting dari daftar periksa WHO dan harus dilakukan dengan
benar untuk menghindari operasi tempat yang salah dan efek samping lainnya (Papadakis et al., 2019).
Penggunaan surgical safety checklist di kamar operasi bermanfaat untuk meningkatkan patient safety
Sasaran keselamatan pasien ke-5 adalah: mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan.
Fasilitas pelayanan Kesehatan mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang
terkait pelayanan kesehatan. Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan sebuah tantangan di
lingkungan fasilitas kesehatan. Kenaikan angka infeksi terkait layanan kesehatan menjadi keprihatinan
24
bagi pasien dan petugas kesehatan. Secara umum , infeksi terkait pelayanan kesehatan terjadi di semua
unit layanan kesehatan, termasuk infeksi saluran kencing disbabkan oleh kateter, infeksi
pembuluh/aliran darah terkait pemasangan infus baik perifer maupun sentral, dan infeksi paru-paru
terkait penggunaan ventilator (KARS, 2019). Penerapan kebersihan tangan merupakan salah satu upaya
Upaya terpenting menghilangkan masalah infeksi ini dan infeksi lainnya adalah dengan menjaga
kebersihan tangan melalui cuci tangan. Pedoman kebersihan tangan (hand hygiene) tersedia dari World
Health Organization (WHO). Rumah sakit mengadopsi pedoman kebersihan tangan (hand hygiene) dari
WHO ini untuk dipublikasikan di seluruh rumah sakit (KARS, 2019). Staf diberi pelatihan bagaimana
melakukan cuci tangan dengan benar dan prosedur menggunakan sabun, disinfektan serta handuk sekali
pakai (towel), tersedia di lokasi sesuai pedoman (KARS, 2019). Sehingga seluruh staf khususnya
perawat di rumah sakit perlu diberikan sosialisasi tentang 5 momen dan 6 langkah cuci tangan.
Hasil peneltian sebelumnya menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan cuci
tangan 6 langkah adalah faktor usia sedangkankan faktor jenis kelamin, pendidikan, jenis kelamin,
pekerjaan tidak berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah pada momen pertama (Taadi et
al., 2019). Penelitian lain menunjukkan bahwa ada hubungan antara motivasi, fasilitas dan supervisi
dengan kepatuhan perawat dalam melakukan cuci tangan. Faktor yang tidak berhubungan antara lain
pengetahuan dan sikap (Dewi, 2019). Perawat telah berupaya melakukan cuci tangan sesuai standar
yaitu enam langkah, terutama saat lima momen yaitu saat sebelum dan setelah menyentuh pasien,
kontak dengan lingkungan pasien, terpapar cairan pasien dan sebelum melakukan tindakan invasif
(Nursery & Champaca, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan perawat dalam melakukan cuci
25
Sasaran keselamatan pasien ke-6 adalah mengurangi risiko cidera pasien akibat terjatuh. Fasilitas
pelayanan kesehatan mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko pasien dari cedera karena
jatuh (Permenkes, 2017). Jumlah kasus jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien rawat
inap. Berbagai faktor yang meningkatkan risiko pasien jatuh antara lain : kondisi pasien, gangguan
fungsional pasien (contoh gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan atau perubahan fungsi kognitif)
lokasi atau situasi lingkungan rumah sakit, riwayat jatuh pasien, komsumsi obat tertentu dan dan konsumsi
alkohol (KARS, 2019). Pengkajian awal dan pengkajian lanjutan risiko jatuh harus dilakukan guna
Program ini memonitor baik konsekuensi yang dimaksudkan atau yang tidak sengaja terhadap langkah-
langkah yang dilakukan untuk mengurangi jatuh. Misalnya penggunaan yang tidak benar dari alat
penghalang atau pembatasan asupan cairan bisa menyebabkan cedera, sirkulasi yang terganggu, atau
integrasi kulit yang menurun. Program tersebut harus diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan (Tutiany
et al., 2017). Sehingga langkah-langkah pencegahan risiko jatuh harus diterapkan dalam upaya peningkatan
patient safety.
a. Fasilitas pelayanan kesehatan menerapkan proses asesmen awal risiko pasien jatuh dan
melakukan asesmen ulang terhadap pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau
pengobatan.
b. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil
Tujuan dari kebijakan mengurangi risiko cidera karena jatuh adalah identifikasi pasien yang
mempunyai risiko jatuh, optimalisasi penggunaan asesmen jatuh untuk menentukan kategori risiko jatuh,
membandingkan faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik jatuh, mendeskripsikan kebutuhan akan perlunya
26
pemahaman faktor risiko jatuh, pencegahan, dan penanganannya dalam meningkatkan klinis dan kepuasan
pasien, serta menurunkan biaya kesehatan. Memahami kunci keberhasilan program faktor risiko jatuh,
pencegahan, dan penanganannya. Memperoleh sumber daya dalam mengembangkan dan meningkatkan
program faktor risiko jatuh, pencegahan, dan penanganannya (Tutiany et al., 2017).
Penilaian resiko jatuh pasien merupakan suatu penilaian terhadap faktor-faktor yang dapat
menyebabkan pasien jatuh. Ada tiga tipe skala resiko jatuh yang sering dipakai yaitu :
b. Morse Fall Scale (MFS) / Skala Jatuh dari morse Untuk Dewasa
c. Humpty Dumpty Fall Scale (HDFS) / Skala Jatuh Humpty Dumpty Untuk Pediatrik (Tutiany et al.,
2017). Oleh karena itu dalam mengkaji risiko jatuh pasien harus memperhatikan usia pasien sehingga
Penelitian tentang pencegahan risiko cedera akibat jatuh telah dilakukan sebelumya, diantaranya
penelitian yang dilakuan oleh Anggaraini (2018) ada hubungan antara pengetahuan tentang morse fall scale
(MFS) dengan tingkat kepatuhan perawat dalam melaksanakan assesmen ulang risiko jatuh di ruang rawat inap
RSUD Wates. Pelaksanaan pencegahan pasien jatuh adalah baik sebesar 61,7% dan kurang sebesar 38,3%. Hal
ini menunjukkan bahwa tindakan pencegahan pasien jatuh sebagian besar telah terlaksana dengan baik. Perawat
telah melakukan pengkajian awal, pengkajian ulang pada pasien resiko jatuh. Perawat mengkategorikan tingkat
atau level pasien resiko jatuh dan berupaya melakukan prosedur pencegahan pasien jatuh seperti memasang
pagar pengaman, penerangan cukup dan mengupayakan lantai tidak basah (Nursery & Champaca, 2018).
Perawat tidak melaksanakan asesmen awal, asesmen lanjutan maupun asesmen ulang pada pasien rawat inap
yang berisiko jatuh. Hal ini terbukti dalam berkas rekam medis dimana form asesmen risiko jatuh tidak pernah
diisi oleh perawat di rawat inap Bedah dan non Bedah. Pengisian form untuk pasien dewasa dengan skala
morse dan pasien anak-anak dengan skala humpty dumpty (Neri, et al., 2018).
27
2. Penerapan Sasaran Keselamatan Pasien Pada Anak
Beberapa penelitian tentang pelaksanaan sasaran keselamatan pasien pada anak telah dilakukan
sebelumnya. Kejadian buruk yang terjadi di lingkungan rumah sakit masih merupakan masalah yang belum
terpecahkan yang secara serius mempengaruhi keselamatan pasien. Dalam pediatri, pilihan pengobatan
ditawarkan untuk situasi kompleks yang menantang untuk keandalan proses perawatan kesehatan
(Fajreldines et al., 2019). Di rumah sakit anak, kejadian tersebut mencapai 9,2%, dan efek samping lebih
sering terjadi di fasilitas pendidikan daripada di rumah sakit komunitas (Cohen et al., 2012).
Identifikasi adalah strategi kunci untuk memperkuat keselamatan pasien anak. Identifikasi sebagai
elemen yang tepat dan diperlukan untuk keselamatan pasien dan identifikasi sebagai keselamatan dalam
pekerjaan professional. Para profesional mengakui identifikasi pasien anak sebagai hal yang penting untuk
meningkatkan keselamatan. pasien dengan nama yang sama atau mirip dapat menimbulkan kebingungan,
yang merupakan predisposisi risiko atau terjadinya kesalahan dalam identifikasi. Sebagai strategi
keselamatan pasien, mereka selalu menyarankan identifikasi mereka dengan nama, menghindari
penggunaan indikator lain yang dapat menimbulkan kebingungan, seperti nomor tempat tidur, sehingga
memastikan bahwa proses perawatan dilakukan dengan aman, meminimalkan risiko dan meningkatkan
Persepsi profesional keperawatan mengungkapkan bahwa, selama serah terima shift, mereka berbagi
informasi, menilai dan memutuskan perawatan apa yang akan diberikan. Pada saat yang sama, tim perawat
berbagi tindakan yang dilakukan selama shift tertentu, melaporkan kejadian dan perubahan kondisi
kesehatan dan masalah lain dari pasien anak. Serah terima shift merupakan kegiatan yang menyita waktu,
kemauan dan komitmen para profesional dan terjadi pada setiap pergantian shift. Durasi transfer informasi
tidak terbatas pada komunikasidi lokus, yaitu, persiapan diperlukan, menggunakan catatan latar belakang,
28
dan analisis akhir tentang apa yang akan ditransmisikan ke profesional lain, dengan mempertimbangkan
informasi standar untuk berkontribusi pada komunikasi yang efektif (Silva et al., 2016).
Komunikasi yang efektif mengarah pada klarifikasi, pemahaman dan berbagi pengetahuan, yang
penting untuk kualitas pemberian perawatan kepada anak-anak dan remaja yang dirawat di rumah sakit.
Mereka juga mempertimbangkan bahwa, ketika masalah tidak diinformasikan atau ketika komunikasi tidak
efektif, ini mengarah pada pemahaman yang salah, dengan dampak negatif bagi keselamatan pasien anak.
Oleh karena itu, ketidaktepatan atau penghilangan data penting dapat menyebabkan masalah bagi anak dan
remaja yang dirawat di rumah sakit, serta bagi para profesional tim keperawatan (Silva et al.,2016).
kesempatan untuk mengklarifikasi keraguan dan kesalahan yang terdeteksi selama shift, bertujuan untuk
orientasi dan kualifikasi teknis, mengatur ulang rencana perawatan dan membuat daftar prioritas dan
menentukan tindakan yang dimaksudkan untuk menjamin keselamatan pasien anak (Silva et al., 2016).
Serah terima shift, di mana komunikasi yang efektif sangat penting untuk perawatan yang aman. Ketika
masalah tidak diinformasikan atau ketika komunikasi tidak efektif, ini mengarah pada pemahaman yang
salah, dengan dampak negatif bagi keselamatan pasien anak (Silva et al, 2016).
Kualitas komunikasi dalam pelayanan kesehatan sangat penting untuk promosi keselamatan pasien.
Dalam konteks rawat inap anak, hal-hal spesifik yang penting dapat mengganggu proses ini, seperti
kemampuan anak untuk memahami, disposisi pendamping dan keluarga untuk berpartisipasi dan
keragaman proses perawatan kesehatan. Elemen-elemen ini menyoroti pentingnya komunikasi yang
objektif, efisien dan efektif antara semua yang terlibat dalam kesinambungan perawatan (Biasibetti et al.,
2019).
Kesalahan medis anak dan kerugian pasien keduanya berbeda dalam beberapa hal dari kesalahan dan
kerugian yang terkait dengan orang dewasa. Anak-anak berisiko lebih besar untuk kesalahan pengobatan
29
daripada orang dewasa karena perkembangan masa kanak-kanak, demografi, ketergantungan pada orang tua
dan penyedia perawatan lainnya, dan epidemiologi kondisi medis yang berbeda (Mueller et al., 2019).
Anak-anak berisiko tinggi mengalami kesalahan pengobatan. Mereka rentan karena keterbatasan
kemampuan berkomunikasi, terutama yang bersifat verbal dan kesulitan dalam mengungkapkan
kebutuhannya. Ketersediaan formulasi pediatrik yang tidak mencukupi berkontribusi pada kebutuhan untuk
Banyak anak mengalami efek samping yang dapat dicegah di rumah sakit anak-anak Kanada, dan kamar
operasi adalah area berisiko tinggi untuk kejadian ini. Daftar periksa bedah yang terstandarisasi dan
diterapkan dengan tepat yang peka terhadap kebutuhan unik anakanak dan keluarga mereka merupakan
elemen integral dalam strategi komprehensif yang menargetkan pengurangan dampak buruk pada anak-
anak yang dirawat di rumah sakit (Skarsgard, 2016). Tingkat prevalensi 9,9 (95% CI= 7,5, 13,1) jatuh per
1000 pasien. Usia rata-rata subjek adalah 3,0 tahun (Al Sowailmi et al., 2018),
Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan
sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat
menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute
Pandemi berperan sebagai katalis, yaitu sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dan
menimbulkan kejadian baru atau mempercepat suatu peristiwa, yaitu penerapan berbagai kegiatan dan
Pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu di Rumah Sakit telah menjadi harapan dan tujuan utama
dari masyarakat/pasien, petugas kesehatan, pengelola dan pemilik Rumah Sakit serta regulator. Bahkan di
masa pandemi Covid-19 ini pun pelayanan kesehatan tetap dapat dijalankan dengan mengutamakan
30
keselamatan pasien dan tenaga kesehatan yang bertugas. Pelayanan kesehatan pada masa pandemi Covid -
19 akan sangat berbeda dengan keadaan sebelum Covid -19. Rumah Sakit perlu menyiapkan prosedur
keamanan yang lebih ketat dimana protokol PPI diikuti sesuai standar (Depkes RI 2021).
Pene;itian sebelumya menunjukkan kurang optimalnya pelaksanaan handover di era adaptasi kebiasaan
baru (AKB) pandemi Covid-19 di rumah sakit pemerintah. Dengan demikian, pelaksanaan serah terima di
era Covid-19 dapat tetap optimal dengan terus menerapkan metode SBAR sebagai cara komunikasi efektif,
pengisian formulir Covid-19 safety briefing dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk memudahkan
kegiatan perawat, dan memperhatikan faktor-faktor dalam pelaksanaan handover di era AKB (Bardah et al.,
2021).
Kategori pengetahuan perawat tentang kebersihan tangan di masa pandemi Coronavirus Disease 2019
didapatkan 30% baik, 56,2% cukup dan 13,8% kurang. Mayoritas pengetahuan perawat tentang APD dan
kebersihan tangan di masa pandemi Covid -19 berada pada kategori cukup (Yanti et al., 2021).
Pengetahuan perawat isolasi dalam pencegahan resiko pasien jatuh selama masa pandemi Covid -19
sebesar 12,80 dengan standar deviasi sebesar 3,624 sedangkan pengetahuan perawat rawat inap sebesar
15,20 dengan standar deviasi 2,987. Ada perbedaan pengetahuan perawat dalam pencegahan resiko pasien
jatuh selama masa pandemi Covid -19 antara perawat isolasi dengan perawat rawat inap penyakit dalam,
Ada hubungan pengetahuan terhadap implementasi penerapan keselamatan pasien dengan hasil
terbanyak diperoleh dengan pengetahuan baik dan implementasi penerapan keselamatan pasien baik dan
diperoleh hasil bahwa ada hubungan beban kerja terhadap implementasi penerapan keselamatan pasien.
Hasil terbanyak diperoleh dengan beban kerja tinggi dan implementasi penerapan keselamatan kurang Dan
diperoleh hasil bahwa ada hubungan motivasi terhadap implementasi penerapan keselamatan pasien dan
31
diperoleh dengan motivasi kurang dan implemenasi penerapan keselamatan pasien kurang (Ameliyah,
Sasaran keselamatan pasien (SKP) di Indonesia mengacu kepada Internatinal Patient Safety Goals
(IPSG) merupakan hal sangat penting untuk dipahami dan diterapkan dalam praktik asuhan keperawatan
(Tutiany et al., 2017). Perawat adalah pemain kunci karena mereka memiliki kontak langsung dan langsung
dengan pasien, dan karena itu kemungkinan besar memiliki informasi penting mengenai perasaan dan
kondisi fisik pasien, informasi yang dibutuhkan oleh anggota tim lainnya (Edgar, 2017).
Setiap perawat menerapkan prinsip Sasaran Keselamatan Pasien (International Patient Safety Goals).
Penerapan keselamatan pasien dapat diwujudkan dengan menetapkan standar, sasaran dan langkah menuju
keselamatan pasien dengan tujuan akhir yaitu memberikan asuhan pasien yang lebih aman (Permenkes,
2017).
Peran perawat dalam melaksanakan Sasaran Keselamatan Pasien dapat dijabarkan dalam pelaksanaan
d. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan pada pasien
yang benar
Perawat berada dalam peran yang sulit secara unik karena mereka harus mengkoordinasikan
kegiatan mereka dengan dokter dan administrator yang lebih bertenaga dan memiliki status lebih dalam
32
sistem medis. Pada saat yang sama, mereka harus berkoordinasi dengan rekan kerja mereka saat pasien
dipekerjakan saat tinggal di rumah sakit dan dengan berbagai anggota tim lainnya seperti apotek, terapi
fisik, catatan pasien, pekerjaan sosial dan berbagai teknisi. Selain itu mereka berada dalam hirarki
departemen keperawatan mereka sendiri dan harus belajar bagaimana membangun hubungan yang
Masalah keamanan hampir selalu merupakan akibat dari hilangnya informasi atau informasi
yang tersedia tetapi tidak ditindaklanjuti. Ini dimainkan dalam beberapa cara berbeda. Pertama, jika
perawat tidak berkomunikasi dengan baik dengan pasien, dia mungkin tidak mendengar atau
memahami makna dari sesuatu yang pasien coba lakukan mengatakan. Saya menyebutnya "informasi
yang hilang." Kedua, karena pasien akan bertemu dengan anggota tim perawatan lainnya pada waktu
yang berbeda dalam sehari, informasi penting tentang pasien harus disampaikan kepada anggota tim
lainnya pada waktu yang berbeda. Jika perawat tidak memiliki hubungan yang baik dengan anggota tim
yang lain, dia mungkin lupa, atau menahan, atau menyampaikan informasi dengan tergesa-gesa
sehingga tidak benar-benar dicatat. Atau, penerima informasi mungkin terburu-buru atau sibuk atau
dengan cara lain tidak memperhatikan, dan perawat mungkin tidak punya waktu untuk menjelaskan.
Kasus salah diagnosa, perlakuan salah, pemberian obat yang salah hampir selalu merupakan
akibat dari masalah komunikasi tersebut. Perawat tidak mendengar atau menangkap sesuatu yang ingin
dikatakan pasien, atau tidak dengan jelas menyampaikan informasi ini ke dokter atau orang lain yang
akan berurusan dengan pasien, atau tidak mendengar dengan jelas apa yang dilakukan dokter atau
anggota lain dari tim tersebut mencoba mengatakan kepadanya. Sangat menggoda untuk kemudian
menyalahkan salah satu anggota tim ketika keadaan berjalan buruk dan pasien meninggal dunia, alih-
alih menyadari bahwa setiap anggota tim, terutama perawat, berada dalam peran koordinasi yang sulit
33
di mana hubungan baik sangat penting bagi penyebaran dan pemanfaatan informasi yang relevan dari
Peran Perawat dalam Hirarki, jika seseorang mempertimbangkan karya berbagai jenis
organisasi, orang akan dengan cepat menemukan bahwa perawatan kesehatan itu unik karena
mengharuskan pekerjaan dilakukan secara terkoordinasi oleh karyawan dalam berbagai fungsi teknis
dan dalam posisi yang berbeda dalam sebuah hirarki. Perawat berada dalam posisi yang sangat sulit
dalam hal ini karena mereka harus beroperasi tidak hanya di unit keperawatan hierarkis mereka sendiri,
namun juga di hierarki rumah sakit yang lebih luas di mana dokter sangat berkuasa dan dapat mendikte
perawat sementara perawat, dan gilirannya, dapat mendikte ke anggota tim perawatan lainnya (Tutiany
et al., 2017).
Untuk menggambarkan kompleksitas ini, Edgar (2017) mengamati kasus sebuah pusat kanker di
sebuah rumah sakit besar dimana para dokter dan perawat bekerja dengan konsultan untuk
mengidentifikasi sebuah proses yang akan membuatnya lebih nyaman bagi pasien yang akan menerima
pengobatan kemo atau radiologis. Diputuskan bahwa perawat yang hadir untuk perawatan tersebut
harus mengunjungi pasien tersebut pada malam sebelumnya untuk menjelaskan semuanya dan untuk
membantu memperbaiki kecemasan yang tak terelakkan yang dirasakan pasien. Ketika pertama kali
diimplementasikan, perawat yang ditugaskan untuk mengunjungi pasien tersebut pada malam itu pergi
ke catatan pasien untuk membiasakan diri dengan kasus ini, hanya untuk menemukan bahwa catatan
tersebut tidak tersedia karena mereka diperbarui di departemen lain. Perawat itu meminta akses dan
diberi tahu bahwa ini tidak mungkin karena akan memerlukan banyak pekerjaan ekstra dari unit catatan
yang sudah kelebihan beban, dan manajer pusat kanker yang tidak terlibat dalam pembuatan program
baru ini, enggan memesan departemen rekaman medik untuk dipatuhi. Tidak ada yang bisa dilakukan
perawat sampai seluruh tim berkumpul untuk mendiskusikan masalah alur kerja seputar prosedur baru
34
tersebut. Membuat tim bersama terbukti sulit dan diputuskan bahwa keseluruhan prosedur pra-
kunjungan terlalu rumit dan ditinggalkan. Kualitas pasien yang lebih tinggi dikorbankan dan tidak ada
B. KERANGKA TEORI
METODELOGI PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tentang bagaimana proses penelitian akan dilakukan, yang terdiri dari Desain
Penelitian, Populasi dan Sampel, Intsrumen, Tempat dan Waktu Penelitian, Metode dan Prosedur
Pengumpulan Data, Analisa Data, Etika Penelitian dan Alur Penelitian, Bab ini membahas tentang proses
penelitian dalam mengeksplorasi pengalaman perawat dalam pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di Ruang
Perawatan Anak selama pandemi Covid-19 di BLUD RS Benyamin Guluh Kabupaten Kolaka dengan desain
penelitian, landasan teori, lokasi penelitian, partisipan, teknik pengumpulan data, analisa data, keabsahan data,
A. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif deskriptif dengan wawancara mendalam
digunakan untuk menggali, menganalisis dan mendeskripsikan pengalaman perawat anak dalam
melaksanakan sasaran keselamatan pasien selama pandemi Covid-19. Pendekatan ini memberikan
kekayaan, keluasan, dan kedalaman data yang diperlukan untuk membangun pemahaman yang
komprehensif tentang pengalaman perawat anak mengenai pelaksanaan sasaran keselamatan pasien.
B. PARTISIPAN PENELITIAN
Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat yang bekerja di Ruang Perawatan Anak BLUD RS
Benyamin Guluh Kabupaten Kolaka. dan memenuhi kriteria inklusi. Prosedur pemilihan partisipan
dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan jenis sampel homogen yaitu memilih
partisipan sesuai pertimbangan dan tujuan penelitian. Jumlah partisipan pada penelitian ini tidak
ditentukan. Partisipan adalah perawat yang memenuhi kriteria inklusi yaitu perawat yang telah bekerja di
36
Ruang Perawatan Anak setidaknya selama tiga tahun, memiliki gelar sarjana keperawatan, bersedia
menjadi partisipan dengan menandatangani persetujuan menjadi partisipan, serta bersedia diwawancarai
dan direkam selama penelitian. Partisipan dilibatkan pada penelitian disesuaikan dengan masalah dan
tujuan penelitian. Peneliti akan berhenti mengambil partisipan ketika telah tercapai kejenuhan (saturated)
pada data yang diperlukan atau tidak terdapat informasi baru yang ditemukan.
Penelitian ini dilakukan di BLUD RS Benyamin Guluh Kabupaten Kolaka. Dasar pertimbangan
pemilihan tempat tersebut karena BLUD RS Benyamin Guluh merupakan salah satu rumah sakit rujukan di
Sulawesi Tenggara.
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 4 pekan pada bulan Mei-Juni 2022 di Ruang Perawatan
Anak BLUD RS Benyamin Guluh Kabupaten Kolaka setelah mendapat persetujuan kelayakan etik dari
Komisi Etik Kesehatan. Pelaksanaan proses wawancara dilaksanakan setelah peneliti dan partisipan
Bulan
No Nama Kegiatan
3–4 5 -6 7-8 9 - 10 11 – 12
1. Ujian Proposal
2. Izin Etik & Administrasi
3. Pengambilan Data
4. Analisa Data
5. Submit Jurnal
6. Oral Presentase
7. Ujian Hasil
8. Ujian Tutup
D. ALAT PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan peneliti sebagai instrument utama penelitian. Peneliti sebagai instrument
utama penelitian berdomisili di wilayah lokasi penelitian dan merupakan seorang perawat ruangan anak.
Peneliti juga sebelumnnya telah divalidasi tentang pemahaman peneliti mengenai metode penelitian
37
kualitatif, penguasaan teori dan pengawasan peneliti terhadap bidang yang diteliti, etika penelitian serta
kesiapan peneliti untuk melakukan penelitian. Hal tersebut dimaksudkan agar proses penelitian dapat
berlangsung dengan baik dan dapat mengekplorasi pengalaman perawat secara optimal. Proses validasi
tersebut telah dilakukan oleh komisi pembimbing dan komisi penguji selama proses bimbingan,
Selama proses penelitian, peneliti juga mengabaikan segala asumsi pribadi peneliti terkait fenomena
yang diteliti. Peneliti juga mengesampingkan pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki dan berusaha
sepenuhnya untuk menempatkan diri serta memandang segala sesuatunya berdasarkan perspektif
partisipan. Peneliti juga menggunakan voice recorder digital sebagai alat bantu dalam mendokumentasikan
setiap perkataan atau yang diucapkaan partisipan, serta dilengkapi dengan alat tulis untuk mencatat respon
non verbal partisipan dan situasi sekitar selama proses wawancara. Hal ini dilakukan karena ekspresi non
verbal juga menjadi sebuah data yang penting dalam proses analisa data.
E. PROSEDUR PENELITIAN
Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini yaitu wawancara mendalam (indepth
interview) dengan pedoman wawancara semisstructured (lampiran 2) menggunakan alat perekam suara
(recorder). Waktu pelaksanaan wawancara yaitu sekitar 30-60 menit dengan didahulukan meminta
persetujuan partisipan untuk diwawancarai dan melakukan wawancara sesuai pedoman wawancara.
Pertanyaan wawancara difokuskan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat dalam melaksanakan sasaran
keselamatan pasien selama pandemi Covid-19. Setelah menjelaskan tujuan penelitian, proses, kerahasiaan
dan hak untuk mengundurkan diri setiap saat, peserta diwawancarai di area pribadi Ruang Perawatan Anak.
Peneliti telah menjalin hubungan saling percaya dengan peserta sebelum awal penelitian.
38
Peneliti juga membuat catatan lapangan (field note )yang digunakan untuk mendokumentasikan
respon non verbal partisipan dan situaasi lingkungan sekitar saat proses wawancara berlangsung
kemudian dipindahkan ke dalam komputer milik peneliti. Durasi wawancara berbeda-beda setiap
partisipan.
2. Prosedur Penelitian
a. Prosedur Administratif
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan setelah melalui tahap penyusunan
proposal dan lulus uji etik (ethical clearance) dari komisi etik penelitian. Setelah proposal
dinyatakan layak untuk dilakukan penelitian, peneliti kemudian mengajukan surat permohonan ijin
penelitian dari Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Univeritas Hasannudin. Selanjutnya peneliti
membawa surat tersebut ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten
Kolaka. Setelah penelitian disetujui oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Kolaka, selanjutnya peneliti membawa ijin penelitian ke Diklat BLUD RS Benyamin
Guluh Kabupaten Kolaka. Setelah mendapat disposisi dari Diklat BLUD RS Benyamin Guluh
Kabupaten Kolaka, selanjutnya peneliti membuat janji dan meminta persetujuan kepada perawat yang
b. Prosedur Teknis
Peneliti melakukan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan beberapa tahapan
yaitu:
1) Peneliti menemui partisipan dan menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian.
2) Peneliti memberikan informed consent menjadi partisipan untuk ditandatangani oleh partisipan.
3) Peneliti membuat kontrak waktu dan tempat dengan partisipan untuk dilakukan wawancara
39
4) Peneliti menjelaskan mekanisme wawancara bahwa tidak ada jawaban benar ataupun salah,
5) Peneliti memberitahu partisipan bahwa perekaman dilakukan selama wawancara berlangsung jika
6) Peneliti kemudian mulai melakukan wawancara mendalam dengan menggunakan alat perekam
suara (recorder) untuk merekam percakapan peneliti dengan partisipan. Wawancara dimulai dari
aspek yang bersifat umum ke yang bersifat lebih khusus dengan memberikan pertanyaan terbuka.
7) Wawancara selesai setelah peneliti sudah tidak mendapatkan data-data yang baru sesuai dengan
konteks dan tujuan penelitian serta data yang diperoleh telah jenuh.
8) Peneliti melakukan terminasi dengan mengevaluasi dan mengklarifikasi hasil wawancara kepada
partisipan. Peneliti juga membuat kontrak berikutnya apabila diperlukan klarifikasi data.
9) Peneliti kemudian membuat transkrip verbatim hasil wawancara mendalam baik yang
40
c. ALUR PENELITIAN
Uji Etik
Etika Penelitian : Respect for human dinity, benefiencence,
non-maleficience & Justice
Analisa Data
Keabsahan Data:
Kesimpulan dan Saran Credibility, Dependability,
Confirmability, dan
Transferability
41
F. PENGUMPULAN DATA
Pertanyaan terbuka yang dikembangkan oleh para peneliti digunakan dalam penelitian ini selama
wawancara mendalam satu-ke-satu. Pengumpulan data dilakukan antara Mei 2022 dan Juni 2022 oleh
peneliti. Panduan wawancara dengan pertanyaan kunci terbuka bersama dengan pertanyaan menyelidik
yang terkait dengan respons partisipan digunakan untuk membantu memastikan bahwa tujuan penelitian
telah tercapai. Pertanyaan wawancara berikut difokuskan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat anak
mengenai: pelaksanaan enam sasaran keselamatan pasien selama pandemi Covid-19, upaya-upaya yang
dilakukan dalam pelaksanaan enam SKP serta tantangan atau hambatan yang dihadapi saat melaksanakan
enam SKP.
G. PENGOLAHAN DATA
a. Pengumpulan Data (Data collection) dengan melakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis
di lapangan.
b. Reduksi Data (Data reduction) dengan melakukan pengelompokan data yang selanjutnya disusun
dalam bentuk narasi-narasi, sehingga berbentuk rangkaian informasi yang bermakna sesuai dengan
masalah penelitian.
c. Penyajian data (Data Display) yaitu susunan sekumpulan informasi yang memungkinkan penarikan
e. proses penelitian. Verifikasi tersebut berupa tinjauan atau pemikiran kembali pada catatan lapangan
yang mungkin berlangsung sekilas atau malah dilakukan secara seksama dan memakan waktu lama,
42
serta bertukar pikiran. Sehingga makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,
f. Evaluasi (Evaluation), Melakukan verifikasi hasil analisis data dengan partisipan, yang didasarkan
pada kesimpulan tahap keempat. Tahap ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan interpretasi
dari hasil wawancara dengan sejumlah partisipan yang dapat mengaburkan makna persoalan
1. Analisa Data
Wawancara ditranskripsikan kata demi kata dalam Bahasa Indonesia untuk dianalisis. Pernyataan makna,
pengkodean, kategori dan tema. Transkrip dimasukkan ke dalam perangkat lunak Open Code 3.6 untuk
manajemen data kualitatif dan dibaca dan dibaca ulang beberapa kali untuk membangun pengertian umum
dan refleksi makna di balik pengalaman perawat. Analisis tematik digunakan untuk menganalisis data.
Pernyataan-pernyataan bermakna yang relevan dengan tujuan penelitian disegmentasikan ke dalam kode-
kode, dan kemudian kode-kode serupa disusun menjadi kelompok-kelompok dan pola-pola yang serupa.
Sub-tema awal dihasilkan dari kelompok-kelompok yang memiliki arti yang sama dan selanjutnya
dikelompokkan ke dalam tema-tema. Semua analisis data diperiksa dan didiskusikan di antara semua
peneliti untuk memastikan bahwa analisis tersebut mencerminkan maksud dari makna yang jelas dalam
kumpulan data. Anggota tim mendiskusikan setiap interpretasi yang berbeda sampai tercapai konsensus.
2. Keabsahan Data
Kredibilitas dicapai oleh dua perawat yang membaca analisis tematik, memberikan umpan balik dan
menawarkan koreksi untuk memastikan keakuratan interpretasi. Penyediaan deskripsi temuan yang rinci,
jelas, sistematis dan dapat diandalkan memastikan bahwa transferabilitas telah tercapai. Dokumentasi
proses penelitian, termasuk rekaman audio dan catatan lapangan, digunakan untuk memastikan
43
ketergantungan. Selain itu, tim peneliti melakukan pembekalan untuk membahas analisis data, menafsirkan
dan melaporkan temuan hingga tercapai kesepakatan oleh semua anggota tim peneliti (Hariati, et al.,
2022).
Kredibilitas data dan keakurasian suata data dari studi kualitatif bertujuan menjelaskan derajat
atau nilai kebenaran dari data yang dihasilkan termasuk proses analisis data. Beberapa cara yang
dilakukan peneliti untuk memperoleh kredibilitas yang tinggi terhadap hasil temuannya antara lain :
1) Memperbanyak waktu bersama partisipan dan melibatkan diri dalam aktivitas sehair-hari bersama
partisipan
2) Member Checking : Peneliti menemui kembali informan dengan membawa hasil transkrip data yang
telah dibuat dalam bentuk laporan atau deskripsi berupa tema dan hasil anlisis data untuk dibaca dan
dicek oleh informan bahwa hasil penelitian tersebut sudah akurat ataupun belum.
3) Thick Description atau melakukan triangulasi yaitu melakukan pendekatan berbeda atau
Transferabilitas merujuk pada apakah suatu hasil penelitian kualitatif dapat diaplikasikan dan
dialihkan pada keadaan atau konteks lain atau kelompok atau partisipan lainnya. Dalam penelitian ini,
peneliti akan memberikan uraian yang terperinci tentang keadaan partisipan, cara memilih partisipan
dan sistematis dalam membuat laporan penelitian sehingga pembaca laporan mendapatkan pemahaman
serta gambaran yang jelas mengenai konteks dan fokus penelitian. Peneliti juga berusaha menggunakan
c. Dependabilitas (Ketergantungan)
44
Dependabilitas data merupakan kekonsistenan atau kestabilan data pada waktu dan kondisi yang
berbeda. Pada tahap ini peneliti memeriksa keabsahan data. Bukti dependabilitas dibuktikan oleh
peneliti dengan menunjukkan rekam jejak kegiatan penelitian seperti rekaman wawancara, catatan
lapangan serta foto kegiatan yang didapatkan selama proses penelitian. Hasil yang didapatkan ditulis
d. Konfirmabilitas
Konfirmabilitas merujuk pada kesediaan peneliti untuk mengukapkan secara terbuka proses dan
elemen elemen peneltiannya. Bagaimana hasil temuan merefleksikan fokus dari pertanyaan penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mengontrol hasil temuan-temuan dengan merefleksikan pada jurnal
terkait, peer review, konsultasi dengan pembimbing dan melakukan konfirmasi informasi dengan
partisipan.
I. ETIKA PENELITIAN
Subyek dalam penelitian ini adalah partisipan yang mengungkapkan pengalamannya dalam
melaksanakan sasaran keselamatan pasien selama masa pandemi Covid-19. Penelitian ini menggunakan
beberapa prinsip etik yaitu prnsip beneficience, respect for human dignity, justice dan anonymity yaitu :
1. Beneficience
melalui membina hubungan saling percaya sejak pertemuan pertama dan senantiasa menfasilitasi
penyaluran emosi dan perasaan partisipan. Prinsip ini dilakukan dengan cara peneliti menjelaskan
Prinsip untuk menghormati martabat partisipan juga menjadi aspek yang penting dalam penelitian ini.
Dalam hal ini partisipan diberikan kebebasan secara penuh untuk memutuskan apakah akan mengambil
45
bagian dalam penelitian ini dan diberikan informed consent, juga memiliki hak untuk mengajukan
pertanyaan, menolak memberikan informasi, dan juga kebebasan untuk menarik diri dalam penelitian.
Peneliti juga memperhatikan hak partisipan untuk menjamin kerahasiaan data mereka dengan tidak
mencantumkan nama partisipan, melainkan menggunakan nomor partisipan dan tidak memberikan data
3. Justice
Dalam penelitian ini aspek yang menyangkut keadilan menjadi perhatian peneliti. Seleksi partisipan
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengacu pada sasaran kebutuhan dalam penelitian, bukan
menyeleksi pada faktor kerentanan partisipan, seperti melihat tingkat sosial partisipan. Memastikan
bahwa mereka juga tidak dieksploitasi. Dalam penelitian ini melakukan wawancara terhadap partisipan.
Peneliti memberikan pengahargaan kepada partisipan tanpa melihat suku, etnis, agama maupun status
sosial.
4. Anonymity
Dalam prinsip etika ini adalah kerahasiaan partisipan dijamin dimana peneliti tidak dapat
menghubungkan partisipan dengan data dari yang bersangkutan yaitu dengan tidak mencantumkan
nama maupun inisial partisipan dalm verbatim hasil penelitian, tetapi mencantumkan kode yang
dimengerti oleh peneliti, seperti penulisan kode P1 untuk partisipan 1, P2 untuk partisipan 2 dan
mengajukan persetujuan etik (ethical clearance) penelitian diurus dan diperoleh peneliti sebelum
melaksanakan penelitian melalui Komisi Etik Kedokteran Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kesehatan
Masyarakat Unhas Makassar, dan atau institusi lain yang mempunyai kewenangan mengeluarkan
Ethical Clearance.
46
ss
47