JURNAL PERUNDANG-UNDANGAN
Volume 9 Nomor 1, Juli 2021
DAFTAR ISI
Dukungan optimalisasi layanan penyaluran delegasi masyarakat oleh Sekretariat Jenderal DPR RI
dalam Pelaksanaan Tugas DPR RI berdasarkan Pasal 72 Huruf G Undang-Undang tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
Reny Amir ....................................................................................................................................... 45-64
Analisis Yuridis Perubahan Penggolongan Narkotika untuk Ganja dalam Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Nita Ariyulinda ............................................................................................................................... 65-88
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam
Menangani Terorisme Siber di Indonesia
Muhammad Hasbi ........................................................................................................................ 89-112
Peran Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat menurut Peraturan Perundang-undangan
Imron Razali ............................................................................................................................... 113-134
Fungsi Pengawasan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
R. Muhamad Ibnu Mazjah ......................................................................................................... 135-160
Tinjauan Kritis terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Dahiri .......................................................................................................................................... 185-208
i
Tinjauan Yuridis Penjatuhan Sanksi Pelanggaran Etik Aparatur Sipil Negara oleh Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum
Muhammad Reza Baihaki dan Muhammad Raziv Barokah .................................................... 209-232
Analisis Tanggung Jawab Hukum Pengangkut pada Kecelakaan Pesawat Terbang dari Perspektif
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Ryzzadharma Simatupang .......................................................................................................... 233-252
Panduan Penulisan Naskah ....................................................................................................... 252-258
ii
PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat rahmat dan karuniaNya, sehingga Redaksi dapat menerbitkan Jurnal
Perundang-undangan “Prodigy” Volume 9 Nomor 1, Juli 2021. Jurnal ini memuat
topik bahasan di bidang hukum dan perundang-undangan yang merupakan
hasil kajian lebih lanjut maupun elaborasi dari suatu naskah akademik dan
rancangan undang-undang, analisis dari suatu peraturan perundang-undangan,
kajian terhadap pelaksanaan per-aturan perundang-undangan, kajian atas
peristiwa hukum yang terjadi, kajian dan teori dari konsepsi hukum, serta
gagasan dan analisis terhadap fungsi legislasi.
iii
kewenangan dan kelembagaan lembaga-lembaga pemerintahan yang penting
diluar konstitusi dalam tataran perundang-undangan; Kesembilan, Tinjauan
Kritis terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; Kesepuluh, Tinjauan
Yuridis penjatuhan sanksi pelanggaran etik Aparatur Sipil Negara oleh Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum; dan Kesebelas, Analisis tanggung
jawab hukum pengangkut pada kecelakaan pesawat terbang dari perspektif
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Redaksi
iv
PRODIGY
JURNAL PERUNDANG-UNDANGAN
VOL. 9 NO. 1 JULI 2021 ISSN 2356-1105
Kata Kunci yang dcantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin
dan biaya
M. Nurfaik
Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI
Analisis Yuridis Pengaturan Upaya Hukum Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha Ditinjau Dari Perspektif Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, halaman
UU tentang Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus law banyak mengubah undang-
undang termasuk UU tentang Persaingan Usaha. Salah satu substansi yang diubah dalam UU
tentang Cipta Kerja yaitu mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU. Pengaturan mengenai
upaya hukum terhadap Putusan KPPU juga diatur dalam PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No. 3
Tahun 2019 dan SEMA No. 1 Tahun 2021. Peraturan tersebut masih menimbulkan permasalahan
terkait perbedaan pengaturan jangka waktu dalam upaya hukum terhadap Putusan KPPU.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis akan mengkaji mengenai pengaturan upaya hukum
terhadap Putusan KPPU serta legalitas pengaturannya ditinjau dari perspektif pembentukan
peraturan perundang-undangan. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
dengan mengkaji bahan hukum kepustakaan atau data sekunder. Pada saat ini, pengaturan
mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU terdapat di beberapa peraturan yaitu UU tentang
Cipta Kerja, PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No. 3 Tahun 2019, dan SEMA No. 1 tahun 2021.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU
belum mencerminkan asas kejelasan rumusan dan asas ketertiban dan kepastian hukum. Oleh
karena itu, pengaturan mengenai jangka waktu dalam upaya hukum terhadap Putusan KPPU perlu
diperjelas rumusannya melalui revisi UU tentang Persaingan Usaha.
v
Legal Analysis on The Legal Effort Arrangements against the Commission for The Supervision of
Business Competition Decision Reviewed from the Perspective of Legislative Drafting
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, page 1-20
Law on Job Creation which was formulated using the omnibus law method has changed many laws including
Law on Business Competition. One of the substances amended in Law on Job Creation, that’s regarding legal
efforts against The Commission for The Supervision of Business Competition Decision. The legal effort
arrangements against The Commission for The Supervision of Business Competition Decision are also regulated
in Government Regulation Number 44 of 2021, Supreme Court Regulation Number 3 of 2019, and Supreme
Court Circular Letter Number 1 of 2021. The regulation still raises problems related to the regulation of the
period for legal efforts against The Commission for The Supervision of Business Competition Decision. Based on
these problems, the author will examine the legal effort arrangements against The Commission for The
Supervision of Business Competition Decision and the legality of the regulation reviewed from the perspective of
legislative drafting. This paper uses normative legal research methods by examining the legal literature or
secondary data. At this time, the legal effort arrangements against The Commission for The Supervision of
Business Competition Decision are contained in several regulations such as Law on Job Creation, Government
Regulation Number 44 of 2021, Supreme Court Regulation Number 3 of 2019, and Supreme Court Circular
Letter Number 1 of 2021. Laws and regulations governing the legal efforts against The Commission for The
Supervision of Business Competition Decision have not reflected the principles of clarity of formulation and the
principles of order and legal certainty. Therefore, the regulation regarding the period of legal efforts against The
Commission for The Supervision of Business Competition Decision needs to be clarified through the revision of
Law on Business Competition.
Keywords: legal effort, the commission for the supervision of business competition decision, legislative drafting
vi
PRODIGY
JURNAL PERUNDANG-UNDANGAN
VOL. 9 NO. 1 JULI 2021 ISSN 2356-1105
Kata Kunci yang dcantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin
dan biaya
Yudarana Sukarno Putra
Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI
Tinjauan Yuridis Dasar Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Bermakna Konstitusional
Bersyarat Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga
atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, halaman
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 7 Tahun 2020), merupakan produk
hukum yang terbaru dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(UU No. 24 Tahun 2003). Sebagai undang-undang terbaru perubahan yang ada dalam undang-
undang ini diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan yang ada selama ini salah satunya yakni
mengenai dasar hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang bermakna konstitusional bersyarat.
Selama ini belum ada dasar kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan putusan
semacam itu, maka timbul permasalahan yakni bagaimanakah UU No. 7 Tahun 2020 dapat menjadi
dasar hukum pengenaan putusan yang bermakna konstitusional bersyarat, begitu juga bagaimanakah
pelaksanaan selama ini, dan bagaimanakah solusi hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk
kedepannya. Tujuan tulisan ini untuk mendapatkan jawaban dari sejumlah pertanyaan tersebut
karena saat ini Mahkamah Konstitusi masih sering menerbitkan putusan konstitusional bersyarat.
Metode penulisan ini adalah yuridis normatif. Penulis mencoba menjawab permasalahan yang ada
dengan pendekatan studi kepustakaan. Berdasarkan pembahasan diketahui bahwa UU No. 7 Tahun
2020 masih belum memiliki dasar hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan putusan
yang konstitusional bersyarat. Adapun bentuk putusan yang semacam ini pertama kali digunakan
dalam Putusan MK Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 perihal
pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Untuk solusi
kedepannya karena Indonesia menganut sistim civil law maka diperlukan adanya perubahan undang-
undang. Untuk itu disimpulkan bahwa karena UU No. 7 Tahun 2020 belum memberikan dasar
hukum yang cukup maka perlu kedepannya ada perubahan keempat dari UU No. 24 Tahun 2003.
Kata kunci: dasar hukum, civil law, putusan konstitusional bersyarat
vii
Juridical Review a Legal Basis of the Conditional Constitutional of Constitutional Court Verdict
Post Enactment of Law Number 7 Year 2020 about the Third Changes of Law Number 24 Year
2003 about the Constitutional Court
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, page 21-44
Law Number 7 Year 2020 about the Third Amendment to Law Number 24 of 2003 about the Constitutional
Court (Law No. 7 Year 2020), is the latest legal product of Law Number 24 of 2003 about the Constitutional
Court (Law No. 24 Year 2003). As the latest law, the amendments to this law are expected to be able to
improve the existing deficiencies, one of which is the legal basis for the Constitutional Court decisions which
have a constitutional meaning. Since so far there has been no basis for authority for the Constitutional Court to
issue such a decision, the problem arises, namely, what is Law No. 7 year 2020 can be the legal basis for the
imposition of decisions that have constitutional meaning, as well as how has been the implementation so far,
and what is the legal solution for the Constitutional Court in the future. The purpose of this paper is to obtain
answers to a number of these questions because currently the Constitutional Court is still frequently issuing
conditional constitutional decisions. This writing method is normative juridical. The author tries to answer the
existing problems with a literature study approach. Based on the discussion it is known that Law no. 7 Year
2020 still does not have a legal basis for the Constitutional Court to issue decisions that are conditionally
constitutional. This kind of decision was first used in the Constitutional Court Decision Number 058-059-060-
063 / PUU-II / 2004 and 008 / PUU-III / 2005 regarding the review of Law Number 7 Year 2004
concerning Water Resources. For a solution in the future, because Indonesia adheres to a civil law system, it is
necessary to change the law. For this reason, it is concluded that because of Law no. 7 Year 2020 has not
provided a sufficient legal basis so it is necessary in the future there is a fourth amendment from Law no. 24
Year 2003.
Keywords: legal basis, civil law, conditional constitutional verdict
viii
PRODIGY
JURNAL PERUNDANG-UNDANGAN
VOL. 9 NO. 1 JULI 2021 ISSN 2356-1105
Kata Kunci yang dcantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin
dan biaya
Reny Amir
Kepala Bagian Upacara dan Penyaluran Delegasi Masyarakat Biro Protokol
Sekretariat Jenderal DPR RI
Dukungan Optimalisasi Layanan Penyaluran Delegasi Masyarakat oleh Sekretariat Jenderal DPR
RI dalam Pelaksanaan Tugas DPR RI Berdasarkan Pasal 72 Huruf G Undang-Undang tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, halaman
Mekanisme pembentukan undang-undang harus dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat
berpartisipasi memberikan masukan dalam suatu permasalahan. Salah satu fungsi DPR RI yaitu
fungsi legislasi, membentuk UU. Materi muatan UU yang ditujukan bagi kepentingan masyarakat
luas tentu harus membuka masuknya aspirasi masyarakat agar menghasilkan suatu UU yang
demokratis, aspiratif, dan partisipatif. Setjen DPR RI sebagai supporting system berfungsi memberikan
dukungan pelaksanaan tugas DPR RI dalam menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3.
Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat
dalam bidang legislasi di DPR RI dan bagaimana upaya Setjen DPR RI sebagai supporting system
mendukung DPR RI melaksanakan tugas menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat dalam
bidang legislasi di DPR RI dan upaya Setjen DPR RI mendukung DPR RI melaksanakan tugas
menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur
dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif
dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Penyerapan aspirasi/partisipasi masyarakat
dalam bidang legislasi di DPR RI dapat dilakukan pada tiga tahap pembentukan UU, yaitu pada
tahap penyusunan, pembahasan, dan tahap pelaksanaan UU. Dukungan yang dilakukan Setjen DPR
RI dalam pelaksanaan tugas DPR RI sesuai Pasal 72 huruf g UU tentang MD3 yaitu dengan
mengoptimalkan layanan penyaluran delegasi masyarakat agar menjadi lebih efektif dan efisien
dengan menghadirkan SILUGAS, yaitu program optimalisasi layanan penyaluran delegasi
masyarakat berbasis elektronik.
Kata kunci: aspirasi masyarakat, legislasi, Sekretariat Jenderal DPR RI
ix
Support of the Optimization of Community Delegation Distribution Services by the Secretariat
General of the DPR RI In Implementing the Duties of the DPR RI Based on Article 72 Letters G
MD3 Law
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, page 45-64
The mechanism for the formation of laws must be carried out in a transparent manner so that the public can
participate. One of the functions of the DPR RI is the legislative function. The contents of the law which are
aimed at the interests of the wider community must certainly open the entry of people's aspirations in order to
produce a law that is democratic, aspirational and participatory. The Secretariat General of the DPR RI as a
supporting system functions to provide support for the DPR RI's duties in absorbing, gathering, accommodating
and following up people's aspirations as regulated in Article 72 letter g of the Law on MD3. This writing raises
the issue of how to absorb people's aspirations or participation in legislation in the DPR RI and how the efforts
of the Secretariat General to support the DPR RI in carrying out its task as regulated in Article 72 letter g of
the Law on MD3. This paper aims to determine the absorption of people's aspirations or participation in the
legislation and the efforts of the the Secretariat General to support the DPR RI in carrying out the task of
absorbing, gathering, accommodating and following up on people's aspirations. This writing uses a normative
juridical method with a statutory approach. The absorption of public aspirations/participation in the legislation
can be carried out at three stages of law formation, namely at the drafting, deliberation, and implementation of
the law. Meanwhile, the efforts made by the Secretariat General in optimizing the distribution of community
delegation services to be more effective and efficient by presenting SILUGAS, which is an electronic-based
community delegation service optimization program.
Keywords: people's aspirations, legislation, the Secretariat General of the DPR RI
x
PRODIGY
JURNAL PERUNDANG-UNDANGAN
VOL. 9 NO. 1 JULI 2021 ISSN 2356-1105
Kata Kunci yang dcantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa
izin dan biaya
Nita Ariyulinda
Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI
Analisis Yuridis Perubahan Penggolongan Narkotika Untuk Ganja Dalam Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 Terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, halaman
Saat ini Komisi PBB untuk Narkotika telah mengambil keputusan mengeluarkan ganja dari
golongan IV menjadi golongan 1 dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Di Indonesia, UU tentang Narkotika ganja masuk dalam
golongan 1 yang artinya ganja hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian dan tidak
dapat digunakan untuk terapi. Dengan adanya perubahan penggolongan narkotika dalam konvensi
tersebut maka bagaimana dengan posisi ganja yang diatur dalam UU tentang Narkotika.
Permasalahan dalam penulisan ini yaitu bagaimana perubahan penggolongan narkotika khususnya
untuk ganja dari golongan 1V ke golongan I dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961
memengaruhi posisi ganja dalam UU tentang Narkotika dan apakah dengan perubahan tersebut
UU tentang Narkotika masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan
zaman. Tujuan penulisan yaitu untuk mengetahui bagaimana perubahan penggolongan narkotika
untuk ganja dalam Konvensi Tunggal Narkotika memengaruhi terhadap penggolongan ganja
dalam UU tentang Narkotika dan apakah dengan perubahan penggolongan Narkotika tersebut
UU tentang Narkotika masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan
zaman. Metode penulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif dengan
pendekatan peraturan perundang-undangan dan kajian pustaka atau literatur sebagai bahan
sekunder. UU tentang Narkotika mengatur bahwa perubahan penggolongan narkotika
berdasarkan pada kesepakatan internasional dan kepentingan nasional. Kepentingan nasional
artinya mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis, yuridis dan karakteristik masyarakat
Indonesia. Perubahan penggolongan narkotika dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tidak
serta merta memengaruhi penggolongan narkotika untuk ganja dalam UU tentang Narkotika
karena harus mempertimbangkan juga dari aspek kepentingan nasional. Jika dilihat dari aspek
kepentingan nasional maka UU tentang Narkotika masih sesuai dengan kebutuhan hukum dan
perkembangan zaman.
Kata kunci: Narkotika, Ganja, Konvensi, UU tentang Narkotika
xi
The Changes Of The Classification Of Narcotics For Marijuana In The Single Convention Of Narcotics
1961 On Law Number 35 Year 2009 Regarding Narcotics
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, page 65-88
Currently, the United Nations Commission on Narcotics has decided to issue marijuana from group IV to group
1 in the 1961 Single Convention on Narcotics so that it can be used for medical purposes. In Indonesia, the
Law on Narcotics marijuana is included in group 1, which means that marijuana can only be used for research
purposes and cannot be used for therapy. With the change in the classification of narcotics in the convention,
what about the position of marijuana as regulated in the Law on Narcotics. The problem in this paper is how
the change in the classification of narcotics, especially for marijuana from group 1V to group I in the 1961
Single Convention on Narcotics affects the position of marijuana in the Law on Narcotics and whether with
these changes the Law on Narcotics is still in accordance with the legal needs and developments of the times.
The purpose of writing is to find out how changes in the classification of narcotics for marijuana in the Single
Convention on Narcotics affect the classification of marijuana in the Law on Narcotics and whether with the
change in the classification of Narcotics, the Law on Narcotics is still in accordance with the legal needs and
developments of the times. This writing method uses a normative juridical writing method with an approach to
legislation and literature review or literature as secondary material. The Law on Narcotics stipulates that
changes in the classification of narcotics are based on international agreements and national interests. National
interest means considering the philosophical, sociological, juridical and characteristic aspects of Indonesian
society. Changes in the classification of narcotics in the Single Convention on Narcotics 1961 do not necessarily
affect the classification of narcotics for marijuana in the Law on Narcotics because they must also consider
aspects of the national interest. When viewed from the aspect of national interest, the Law on Narcotics is still
in accordance with legal needs and the times.
Keywords: Narcotics, Marijuana, Convention, Law on Narcotics
xii
PRODIGY
JURNAL PERUNDANG-UNDANGAN
VOL. 9 NO. 1 JULI 2021 ISSN 2356-1105
Kata Kunci yang dcantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa
izin dan biaya
Muhammad Hasbi
Staf Ahli Anggota DPR RI
Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dalam Menangani Terorisme Siber di Indonesia
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, halaman
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada saat ini
masih dipergunakan untuk menangani semua persoalan hukum di dunia siber. Perkembangan
dunia informasi melalui internet semakin hari semakin canggih termasuk potensi bahaya yang
ditimbulkan. Salah satu bahaya yang perlu diwaspadai yakni mengenai adanya potensi terorisme
siber. Terkait dengan permasalahan tersebut, tulisan ini menganalisis kegunaan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam menangani terorisme
siber. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam pembahasan akan
diketahui bahwa ternyata begitu luas tantangan ke depan dalam dunia siber ini. Adapun mengenai
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebetulnya
sudah terdapat sejumlah norma yang dapat digunakan untuk manangani terorisme siber. Hal yang
lebih baik adalah bahkan dibentuk undang-undang khusus untuk itu. Pada akhinya disimpulkan
bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk
saat ini dengan sejumlah norma yang ada masih mampu untuk menangani terorisme siber. Saran
dari tulisan ini yakni perlu ada penguatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik untuk dapat lebih khusus menangani terorisme siber termasuk
juga kalau dimungkinkan maka perlu dibentuk undang-undang khusus
xiii
Analysis of the Law Number 11 Year 2008 Concerning Information and Electronic Transaction
in Countering Cyber Terrorism in Indonesia
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, page 89-112
Law Number 11 Year 2008 concerning Information And Electronic Transaction at the moment there are
used for handle all legal problem in the cyber world.The rise of the information via the internet like we know is
getting sophisticated including the potential danger incurred. One danger to be aware of the potential cyber
terrorism. Relating to these problems, this writing analyze uses of the Act Number 11 Year 2008 for
Information And Electronic Transaction can be used to counter cyber terrorism.The purpose of this writing is to
analyse whether the Act Number 11 Year 2008 for Information And Electronic Transaction can be used to
counter cyber terrorism. This paper uses the normative legal research. In the discussion we will know that it was
so extensively challenges ahead in this cyber world. But in the the Act Number 11 Year 2008 for Information
And Electronic Transaction, were actually there are some norm that can be used to counter cyber terorism.
What is best is even formed a special act therefore. In end concluded that the the Act Number 11 Year 2008
for Information And Electronic Transaction for now with a norm still be able to counter cyber terrorism. The
advice of this writing should be strengthening the Act Number 11 Year 2008 for Information And Electronic
Transaction to be more specific countering cyber terrorism including if possible needs to be formed in a special
act.
xiv
PRODIGY
JURNAL PERUNDANG-UNDANGAN
VOL. 9 NO. 1 JULI 2021 ISSN 2356-1105
Kata Kunci yang dcantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin
dan biaya
Imron Razali
Tenaga Ahli Anggota DPD RI
Peran Fraksi Di Dewan Perwakilan Rakyat Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, halaman
Fraksi merupakan perpanjangan tangan partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Kondisi ini
menjadi persoalan yang mengemuka hingga saat ini karena seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat
adalah wakil rakyat dan bukan wakil partai. Partai politik saat ini mendapatkan penilaian yang
buruk hal ini berimbas juga ke penilaian lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang berisi partai poltik.
Karena fraksi wajib ada di Dewan Perwakilan Rakyat maka perlu ada analisis bagaimana sebetulnya
peran fraksi selama ini di Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan analisis misalnya dalam hal
legislasi fraksi memiliki peran memberikan usulan dalam penyusunan prolegna dan, menyampaikan
pendpat mini pada akhir pembicaraan tingkat I pembahasan rancangan undanh-undang, Membahas
fraksi memang tidak dapat dipisahkan dengan partai politik namun harus ada batasan yang tegas
untuk kedepannya. Dapat dilakukan seabagai solusi yakni fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat tidak
hanya disi oleh 1 partai saja namun dapat juga diisi oleh beberapa partai. Hal ini akan berdampak
kepada lebih mudahnya pengambilan keputusan karena jumlah fraksi yang cenderung sedikit.
xv
The Role of Faction in the House of Representatives in the Statutory Regulations
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, page 113-134
Faction Is the extension of political party in The House of Representatives. This condition become a trouble that
leak because The House of Representatives it supposed to be the representatives of the people not for the political
party. Nowadays, political party get a bad persception by the people and that also react to the persception of The
House of Representatives that containing political party. Because facsion is mandatory to The House of
Representatives, therefore we must analyze the role so far in the house of representatives. An example analysis of
faction in legislation process is like faction have an important role in the preparation of Law Agenda and
provide a suggestions, faction also must have make an simple political party opinion in the discussion of making
the law. Therfore when we discuss the faction we cannot separate it to the political party but must make a
limitation for the future. We can make a solution like faction its not contain just one politcaly party, but it can
be contain by two or more political party. That rule can make an affect in decision-making of The House of
Representatives. It will make the decision-making job become easier because the number of faction is small.
Keywords: faction, statutory regulations, The House Of Representatives
xvi
PRODIGY
JURNAL PERUNDANG-UNDANGAN
VOL. 9 NO. 1 JULI 2021 ISSN 2356-1105
Kata Kunci yang dcantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa
izin dan biaya
R. Muhamad Ibnu Mazjah
Komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia
Fungsi Pengawasan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia dalam
Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, halaman
Tugas dan fungsi pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap perilaku dan kinerja jaksa
dan/atau pegawai kejaksaan oleh Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) hakekatnya
merupakan mandat peraturan perundang-undangan yang tak terpisahkan dengan tujuan dari
sistem peradilan pidana terpadu yang bertumpu kepada cita hukum ideal berdasarkan asas negara
hukum dan asas negara demokrasi. Meski demikian, di dalam praktik perangkat norma tentang
pengawasan terhadap perilaku dan kinerja jaksa di dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun
2011 memuat aturan yang menimbulkan tafsir yang tidak koheren dengan cita hukum ideal
dimaksud. Hal ini pada akhirnya berdampak terhadap efektivitas pelaksanaan tugas KKRI. Untuk
itu, penelitian ini mengajukan sebuah konsep tentang dimensi perilaku dan kinerja sebagai suatu
diskursus di dalam pengembanan tugas KKRI. Perilaku digambarkan sebagai reaksi atau respons
yang timbul akibat interaksi seseorang dengan lingkungannya baik dalam konteks pelaksanaan
tugas maupun di luar tugas. Perilaku memiliki tiga domain yakni kognitif, afektif, dan psikomotor
yang membentuk pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang dengan intensitas dan tingkatannya
yang berbeda-beda. Adapun kinerja merupakan wujud nyata daripada perilaku dalam lingkup
pelaksanaan tugas yang dibebankan atas dasar kecakapan, pengalaman, kesungguhan, dan
tanggung jawab sesuai mekanisme hukum dan kode etik. Diskursus tentang dimensi perilaku dan
kinerja ini disajikan dengan harapan memberi penguatan terhadap pengembanan tugas KKRI
sebagai pelaksana fungsi penyeimbang atas pelaksanaan kewenangan negara oleh kejaksaan,
sehingga tercipta suatu proses penegakan hukum yang menjunjung tinggi etika, kebenaran, dan
hak asasi manusia. Penulisan ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif guna
memberikan gagasan yang bersifat preskriptif atau sesuatu yang bersifat seyogianya melalui
pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.
Kata kunci : pengawasan, Komisi Kejaksaan, sistem peradilan pidana terpadu, perilaku, kinerja
xvii
Oversight Functions of the Commission of Prosecution of the Republic of Indonesia in the
Integrated Criminal Justice System
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, page 135-160
Oversight by the Commission of Prosecution of The Republic of Indonesia (hereinafter referred to as the
Commission) is essentially a statutory mandate that is inseparable from the objectives of the integrated criminal
justice system within the framework of the rule of law. However, in practice, Presidential Regulation Number
18 of 2011 contains rules that create interpretations that are not coherent with the ideal legal ideals, so that it
affects the effectiveness of the Commission's duties. For this reason, this study proposes a concept about the
dimensions of behavior and performance as a discourse in carrying out the task of the Commission. Behavior
that is described as a reaction or response that arises as a result of a person's interaction with his environment
both in the context of carrying out tasks and outside the task. Behavior has three domains, namely cognitive,
affective and psychomotor which shape a person's knowledge, attitudes and actions with different intensities and
levels. The performance is a tangible manifestation of behavior in carrying out tasks that are imposed on the
initial experience, experience, and responsibility according to legal mechanisms and codes of ethics. The discourse
on the dimensions of behavior and performance is presented with the hope of providing reinforcement to the
implementation of the Commission's duties as the executor of the balancing function, so as to create a law
enforcement process that upholds ethics, truth and human right. This scientific writing uses a normative research
method through a law approach and a conceptual approach.
Keywords: oversigth, The Commission of Prosecution, Integrated Criminal Justice System, Behavior,
Performance
xviii
PRODIGY
JURNAL PERUNDANG-UNDANGAN
VOL. 9 NO. 1 JULI 2021 ISSN 2356-1105
Kata Kunci yang dcantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa
izin dan biaya
Muamar Syafrudin
Staf Ombudsman RI
Penguatan Kewenangan dan Kelembagaan Lembaga-lembaga Pemerintahan yang Penting
Diluar Konstitusi dalam Tataran Perundang-undangan
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, halaman
Kekuasaan negara haruslah diawasi untuk itu lahir lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki
fungsi penting dalam pemerintahan. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan sebelum reformasi
ditandai dengan praktik maladministrasi termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sehingga
mutlak diperlukan reformasi birokrasi pemerintah. Dalam rangka reformasi penyelenggaraan
negara dan pemerintahan di Indonesia, didirikan lembaga baru yang tidak pernah ada pada masa
pemerintahan orde lama dan orde baru yang berkuasa sebelumnya. Salah satu lembaga baru adalah
Ombudsman Republik Indonesia (ORI), sehingga dalam praktik ketatanegaraan Indonesia saat ini,
terdapat 4 (empat) pilar kekuasaan yang berkedudukan setara, yaitu Eksekutif, Legislatif, Yudisial
dan Lembaga Negara Khusus yang terdiri dari BPK, Ombudsman, Komnas HAM dan KPK.
Dengan metode penelitian normatif dan pendekatan konseptual dengan menjadikan Ombudsman
sebagai obyek penelitian didapat temuan bahwa BPK, Ombudsman, Komnas HAM dan KPK yang
termasuk dalam lembaga negara khusus diposisikan sejajar dengan Legislatif, Eksekutif dan
Yudisial. Walaupun pengaturannya hanya didasarkan pada undang-undang. Lembaga
pemerintahan yang ada saat ini peran dan fungsinya masih terbatas karena keterbatasan
pengaturan yang ada saat ini dalam undang-undang untuk itu perlu ada penguatan dalam tataran
undang-undang agar lembaga-lembaga ini dapat lebih berperan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
xix
Strengthening the Authority and Institutional of the Important Government Agencies Outside
the Constitution by the Regulations)
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, page 161-184
The powers of the state has to watched by the state organ, these organ was born and have an essential function
in the government The administration of the state and government before the reforms was marked by the
practice of maladministration including corruption, collusion and nepotism (KKN), so that it was absolutely
necessary to reform the government bureaucracy. In the framework of reforming the implementation of the state
and government in Indonesia, some new institutions were established which had never existed during the reign
of the old order and the new order that had been in power before. One of the new institutions is the
Ombudsman of the Republic of Indonesia (ORI), so that in the current Indonesian constitutional practice,
there are 4 (four) pillars of equal position, namely Executive, Legislative, Judicial and Special State
Institutions consisting of BPK, Ombudsman, Komnas HAM and KPK. With normative research methods
and conceptual approaches by taking the Ombudsman as the object of research obtained findings that the
BPK, the Ombudsman, the National Human Rights Commission and the Corruption Eradication
Commission included in the special state institutions are positioned parallel to the Legislative, Executive and
Judicial. Although the settings are only based on the Act. Government agencies that exists when the role and
functions of the remains limited because current in law therefore there should be a reinforcement in law to give
this one institutions more of a role in the national and state life.
xx
PRODIGY
JURNAL PERUNDANG-UNDANGAN
VOL. 9 NO. 1 JULI 2021 ISSN 2356-1105
Kata Kunci yang dcantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin
dan biaya
Dahiri
Analis APBN Pusat Kajian Anggaran
Badan Keahlian DPR RI
Tinjauan Kritis Terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, halaman
Terbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (UU tentang PLP2B) bertujuan untuk melindungi lahan-lahan pertanian khususnya
lahan pangan pokok dari alih fungsi ke lahan nonpertanian. Meskipun UU tentang PLP2B telah
cukup komprehensif mengatur tentang alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan berikut
aturan turunannya, tetapi alih fungsi lahan masih tetap terjadi dengan laju alih fungsi lahan sebesar
96.512 hektar per tahun. Hal ini menunjukkan sinyalemen negatif terhadap pelaksanaan UU
tentang PLP2B. Tujuan dalam penulisan ini yaitu untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan UU tentang PLP2B dan upaya meningkatkan peran UU tentang PLP2B
untuk mengatasi alih fungsi lahan. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi adalah insentif
bagi pemerintah daerah tidak ada, insentif bagi petani tumpang tindih, dan belum ada kelembagaan
dan besaran pembaiayan dalam kegiatan pengembangan ekstensifikasi. Untuk meningkatkan peran
UU tentang PLP2B, maka upaya yang perlu dilakukan yaitu pertama, pemberian insentif bagi
pemerintah daerah dengan dana alokasi khusus bidang pertanian. Kedua, insentif bagi petani PL2B
dengan pemberian bantuan alat mesin pertanian prapanen dan pascapanen dan menjamin stabilitas
harga dengan menyerap hasil hasil produksi petani. Ketiga, membentuk kelembagaan dalam
kegiatan ekstensifikasi dan perhitungan besaran biaya ekstensifikasi menggunakan indeks kemahalan
konstruksi.
xxi
Critical Review Of The Implementation Of Law Number 41 Of 2009 About Land Protection
Sustainable Food Agriculture
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, page 185-208
The Establishment of Law Number 41 Year 2009 about land protection sustainable food agriculture (Law on
land protection) have purpose protect agricultural lands, especially staple food lands, from conversion to non-
agricultural land. Although the Law on land protection has been quite comprehensive in regulating the
conversion of land functions for sustainable food agriculture and its derivative regulations, land conversion is
still occurring with a land conversion rate of 96.512 hectares per year. This shows a negative signal towards
the implementation of the Law on land protection. The purpose of this is to analyze the factors that influence
the implementation of the Law on land protection and efforts to increase the role of the Law on land
protection to address the land conversion. This paper is prepared using a normative and empirical juridical
approach. The results showed that the influencing factors were the absence of incentives for local governments,
overlapping incentives for farmers, and there was no institutional and amount of financing in extensification
development activities. To increase the role of the Law on land protection, efforts that need to be made are
first, providing incentives for local governments with special allocation funds in agriculture. Second, incentives
for land protection sustainable food agriculture farmers by providing pre-harvest and post-harvest agricultural
machine tools and ensuring price stability by absorbing farmers' products. Third, forming an institution for
extensification activities and calculating the amount of the extensification fee using the Construction
Expensive Index.
Keyword: land use change, agricultural, incentives, extensification.
xxii
PRODIGY
JURNAL PERUNDANG-UNDANGAN
VOL. 9 NO. 1 JULI 2021 ISSN 2356-1105
Kata Kunci yang dcantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa
izin dan biaya
Ryzzadharma Simatupang
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional
Analisis Tanggung Jawab Hukum Pengangkut pada Kecelakaan Pesawat Terbang dari Perspektif
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Pesawat terbang merupakan alat transportasi yang umum digunakan pada saat ini karena
dianggap cepat dan aman. Adapun dasar hukum dari tingkatan undang-undang yakni Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Selain memberikan kemudahan, ternyata
transportasi udara masih memiliki kekurangan yakni terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
Permasalahan yang timbul dari kecelakaan pesawat terbang yakni terkait tanggung jawab hukum
pengangkut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Tujuan
penulisan ini yakni untuk mengetahui tanggung jawab hukum pengangkut dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis
normatif yakni dengan pendekatan kepustakaan untuk mendalami isu mengenai hukum
penerbangan ini. Hasil yang didapatkan yakni pengangkut memiliki tanggung jawab untuk
memberikan ganti kerugian kepada korban/ahli waris korban. Kesimpulannya yakni Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan memiliki dasar hukum yang mengatur
tanggung jawab pengangkut dalam hal terjadi kecelakaan pesawat terbang.
Kata kunci: tanggung jawab hukum pengangkut, kecelakaan pesawat terbang, undang-undang
tentang penerbangan
xxiii
An Analysis Of Carrier's Legal Responsibility On A Airplane Accident From The Perspective Of
The Law Number 1 Of 2009 About Aviation
Jurnal Prodigy Vol. 9 No. 1, Juli 2021, page 233-252
Airplanes are a common transportation that being used today because they are considered the fastest and
safest. The legal basis of law about this is The Law Number 1 of 2009 about Aviation. Even though
providing convenience, it turns out that air transportation still has a drawback such as the airplane accidents.
The Problems that arise from airplane accidents are related to the carrier’s legal responsibility in The Law
Number 1 of 2009 about Aviation. The purpose of this paper is to determine the carrier’s legal responsibility
in Law Number 1 of 2009 about Aviation. The writing method used is normative juridical, namely with a
library approach to explore this issue of aviation law. The results obtained are that the carrier has the
responsibility to provide compensation for the victim or victim's heir. The Law Number 1 of 2009 about
Aviation has a legal basis that regulates the carrier’s responsibility in an airplane accident.
xxiv
ANALISIS YURIDIS PENGATURAN UPAYA HUKUM TERHADAP
PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DITINJAU DARI
PERSPEKTIF PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(LEGAL ANALYSIS ON THE LEGAL EFFORT ARRANGEMENTS AGAINST
THE COMMISSION FOR THE SUPERVISION OF BUSINESS COMPETITION
DECISION REVIEWED FROM THE PERSPECTIVE OF LEGISLATIVE
DRAFTING)
M. Nurfaik
Abstrak
UU tentang Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus law banyak mengubah undang-undang
termasuk UU tentang Persaingan Usaha. Salah satu substansi yang diubah dalam UU tentang Cipta
Kerja yaitu mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU. Pengaturan mengenai upaya hukum
terhadap Putusan KPPU juga diatur dalam PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No. 3 Tahun 2019 dan
SEMA No. 1 Tahun 2021. Peraturan tersebut masih menimbulkan permasalahan terkait perbedaan
pengaturan jangka waktu dalam upaya hukum terhadap Putusan KPPU. Berdasarkan permasalahan
tersebut, penulis akan mengkaji mengenai pengaturan upaya hukum terhadap Putusan KPPU serta
legalitas pengaturannya ditinjau dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan.
Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji bahan hukum
kepustakaan atau data sekunder. Pada saat ini, pengaturan mengenai upaya hukum terhadap Putusan
KPPU terdapat di beberapa peraturan yaitu UU tentang Cipta Kerja, PP No. 44 Tahun 2021,
PERMA No. 3 Tahun 2019, dan SEMA No. 1 tahun 2021. Peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU belum mencerminkan asas kejelasan
rumusan dan asas ketertiban dan kepastian hukum. Oleh karena itu, pengaturan mengenai jangka
waktu dalam upaya hukum terhadap Putusan KPPU perlu diperjelas rumusannya melalui revisi UU
tentang Persaingan Usaha.
Abstract
Law on Job Creation which was formulated using the omnibus law method has changed many laws including
Law on Business Competition. One of the substances amended in Law on Job Creation, that’s regarding legal
efforts against The Commission for The Supervision of Business Competition Decision. The legal effort
arrangements against The Commission for The Supervision of Business Competition Decision are also regulated
in Government Regulation Number 44 of 2021, Supreme Court Regulation Number 3 of 2019, and Supreme
1
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 1-20
Court Circular Letter Number 1 of 2021. The regulation still raises problems related to the regulation of the
period for legal efforts against The Commission for The Supervision of Business Competition Decision. Based on
these problems, the author will examine the legal effort arrangements against The Commission for The
Supervision of Business Competition Decision and the legality of the regulation reviewed from the perspective of
legislative drafting. This paper uses normative legal research methods by examining the legal literature or
secondary data. At this time, the legal effort arrangements against The Commission for The Supervision of
Business Competition Decision are contained in several regulations such as Law on Job Creation, Government
Regulation Number 44 of 2021, Supreme Court Regulation Number 3 of 2019, and Supreme Court Circular
Letter Number 1 of 2021. Laws and regulations governing the legal efforts against The Commission for The
Supervision of Business Competition Decision have not reflected the principles of clarity of formulation and the
principles of order and legal certainty. Therefore, the regulation regarding the period of legal efforts against The
Commission for The Supervision of Business Competition Decision needs to be clarified through the revision of
Law on Business Competition.
Keywords: legal effort, the commission for the supervision of business competition decision, legislative drafting
I. Pendahuluan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban
hukum. 2
A. Latar Belakang
Salah satu unsur negara hukum yang dianut
Indonesia telah menegaskan dalam kons-
oleh Indonesia yakni pemerintah berdasarkan
titusinya sebagai negara hukum sebagaimana
peraturan perundang-undangan mengandung
diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang
makna bahwa segala aspek kehidupan dalam
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan
(UUD NRI Tahun 1945). Konsep negara hukum
harus sesuai dengan sistem hukum nasional dan
terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) atau
nilai-nilai pancasila. 3 Pemerintah berdasarkan
kedaulatan hukum yang berarti bahwa penentu
peraturan perundang-undangan mengandung
dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah
makna bahwa dalam penyelenggaraan urusan
hukum. 1
pemerintahan harus dijalankan berdasarkan
Maksud dari negara hukum yaitu bahwa undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga
tidak ada satu pun yang berada di atas hukum yang berwenang yakni Dewan Perwakilan Rakyat
dan hukumlah yang berkuasa. Penyelenggaraan (DPR) dan Presiden. 4
kekuasaan pemerintahan harus didasarkan atas
Jenis dan hierarki peraturan perundang-
hukum, bukan titah kepala negara. Negara dan
undangan telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
lembaga-lembaga lain dalam bertindak apapun
harus dilandasi oleh hukum dan dapat 2
M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi
dipertanggung jawabkan secara hukum. Kekuasa- tentang Prinsip-Prinsipnya, Dilihat dari Segi Hukum Islam,
an menjalankan pemerintahan berdasarkan ke- Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa
daulatan hukum (supremasi hukum) dan Kini, Bogor: Kencana, 2003, hal. 30.
3
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at,
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, hal 152.
1 4
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani,
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan
Konstitusi Press, 2005, hal 152. Tesis, Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2017, hal. 8.
2
ANALISIS YURIDIS PENGATURAN UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Usaha Tidak Sehat (UU tentang Persaingan
Pembentukan Perundang-Undangan sebagai- Usaha). Salah satu substansi yang diubah dalam
mana telah diubah dengan Undang-Undang UU tentang Cipta Kerja yaitu mengenai upaya
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas hukum terhadap Putusan Komisi Pengawas Per-
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang saingan Usaha (Putusan KPPU) sebagaimana
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diatur dalam Pasal 118 UU tentang Cipta
(UU tentang Pembentukan Peraturan Per- Kerja yang telah mengubah Pasal 44 dan Pasal 45
undang-undangan) yang terdiri atas UUD NRI UU tentang Persaingan Usaha.
Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pe-
Pengaturan mengenai upaya hukum ter-
merintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
hadap Putusan KPPU juga diatur dalam Per-
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
aturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021
Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
tentang Pelaksanaan tentang Larangan Praktek
Kabupaten/Kota.
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Selain itu, dalam Pasal 8 ayat (1) UU (PP No. 44 Tahun 2021). PP No. 44 Tahun 2021
tentang Pembentukan Peraturan Perundang- merupakan peraturan pelaksanaan dari UU
undangan juga mengatur jenis peraturan per- tentang Cipta Kerja. Selain itu, Mahkamah
undang-undangan lain yang mencakup peraturan Agung juga telah mengeluarkan Surat Edaran
yang ditetapkan oleh Majelis Per-musyawaratan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2021
Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, tentang Peralihan Pemeriksaan Keberatan
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Usaha ke Pengadilan Niaga (SEMA No. 1 Tahun
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau 2021) untuk merespon UU tentang Cipta Kerja
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan perihal upaya hukum keberatan terhadap
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Putusan KPPU. SEMA No. 1 Tahun 2021 ini
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat dikeluarkan karena masih menunggu perubahan
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/ Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan
Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Keberatan terhadap Putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (PERMA No. 3 Tahun 2019).
Sehubungan dengan itu, salah satu jenis
peraturan perundang-undangan di Indonesia Adapun pengaturan upaya hukum terhadap
yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Putusan KPPU yang terdapat dalam beberapa
tentang Cipta Kerja (UU tentang Cipta Kerja). peraturan tersebut masih menimbulkan per-
UU Cipta Kerja terdiri dari 15 (lima belas) bab masalahan terkait perbedaan pengaturan jangka
dan 186 (seratus delapan puluh enam) pasal. UU waktu. Pengaturan tersebut dapat menimbulkan
tentang Cipta Kerja ini menggunakan metode ketidakpastian hukum serta terjadi permasalahan
omnibus law sehingga undang-undang tersebut dalam implementasi terkait pengaturan me-
mengubah banyak undang-undang termasuk ngenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis akan
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan mengkaji mengenai pengaturan upaya hukum
3
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 1-20
terhadap Putusan KPPU saat ini serta legalitas Tulisan ini akan mengkaji perihal peng-atur-
pengaturannya ditinjau dari perspektif pem- an mengenai upaya hukum terhadap Putusan
bentukan peraturan perundang-undangan. KPPU yang terdapat dalam UU tentang Cipta
Kerja, PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No. 3
B. Permasalahan
Tahun 2019, dan SEMA No. 1 Tahun 2021 yang
Berdasarkan latar belakang di atas maka ditinjau dari perspektif pembentukan peraturan
permasalahan yang menjadi pokok pembahasan perundang-undangan baik dari aspek pem-
dalam tulisan ini adalah: bentukannya ataupun penerapannya. 6
1. Bagaimana pengaturan upaya hukum ter- Bahan hukum yang digunakan untuk meng-
hadap Putusan KPPU saat ini? analisis tulisan ini yaitu bahan hukum primer,
2. Bagaimana legalitas pengaturan upaya bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
hukum terhadap Putusan KPPU ditinjau tersier. Bahan hukum primer diartikan sebagai
dari perspektif pembentukan peraturan bahan hukum yang mengikat seperti norma atau
perundang-undangan? kaidah dasar, bahan hukum sekunder yaitu
C. Tujuan bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. 7 Bahan hukum
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk
mengenai: maupun penjelasan terhadap bahan hukum
1. Pengaturan upaya hukum terhadap Putusan primer dan sekunder. 8
KPPU saat ini. Bahan hukum primer dalam tulisan ini ter-
2. Legalitas pengaturan upaya hukum terhadap diri dari peraturan perundang-undangan yang
Putusan KPPU ditinjau dari perspektif pem- terkait dengan upaya hukum terhadap Putusan
bentukan peraturan perundang-undang-an. KPPU. Sementara itu, bahan hukum sekunder
D. Metode Penulisan dalam tulisan ini merupakan bahan hukum yang
menganalisis bahan hukum primer, seperti karya-
Untuk menjawab permasalahan yang telah
karya penelitian ilmiah para ahli hukum. Bahan
dirumuskan dalam penelitian ini, penulis meng-
hukum terakhir yaitu bahan hukum tersier yang
gunakan metode penelitian hukum normatif
terdiri dari bahan-bahan yang memberi informasi
(doktriner) atau penelitian hukum kepustakaan.
terkait bahan hukum primer dan sekunder,
Dinamakan penelitian hukum doktriner di-
antara lain kamus, jurnal, internet, dan lain-lain.
karenakan penelitian ini hanya ditujukan pada
peraturan-peraturan tertulis yaitu meneliti bahan
hukum pustaka atau data sekunder belaka untuk
mengetahui dan mengkaji perihal peraturan-
peraturan terkait upaya hukum terhadap Putusan 6
Dian Puji N. Simatupang, Paradoks
KPPU. 5
Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara
dan Implikasinya terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah,
Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2011, hal. 66.
5 7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Ibid., hal. 118-119.
8
Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, hal.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 13-14. 13-14.
4
ANALISIS YURIDIS PENGATURAN UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
5
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 1-20
6
ANALISIS YURIDIS PENGATURAN UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Pasal 44 ayat (2) UU tentang Persaingan Usaha Maria Farida Indrati Soeprapto mengatakan
yang menyatakan bahwa pelaku usaha dapat bahwa secara teoritik, istilah “perundang-
mengajukan keberatan kepada pengadilan niaga undangan” (legislation), wetgeving atau gesetgebung
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah mempunyai dua pengertian yaitu: pertama,
menerima putusan tersebut. Selanjutnya, ter- perundang-undangan merupakan proses pem-
hadap putusan pengadilan niaga juga dapat bentukan atau proses membentuk peraturan-
diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung peraturan negara baik di tingkat pusat maupun
Republik Indonesia dalam waktu 14 (empat belas di tingkat daerah; kedua, perundang-undangan
hari) sebagaimana diatur dalam Pasal 118 UU adalah segala peraturan negara yang merupakan
tentang Cipta Kerja yang mengubah ketentuan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di
dalam Pasal 45 ayat (2) UU tentang Persaingan tingkat pusat maupun di tingkat daerah. 21
Usaha.
Selain itu, H. Soehino juga memberikan
2. Teori Peraturan Perundang-Undangan pengertian istilah perundang-undangan sebagai
berikut: pertama, proses atau tata cara pem-
a. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan bentukan peraturan–peraturan perundangan
negara dari jenis dan tingkat tertinggi yaitu
Secara teoretik dalam khazanah ilmu
undang-undang sampai yang terendah, yang
hukum, terdapat beberapa definisi istilah meng- dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari ke-
enai “perundang-undangan” atau kata “peraturan kuasaan perundang-undangan; kedua, keseluruh-
perundang-undangan”, jika menggunakan bahasa an produk peraturan-peraturan perundangan
baku yang merujuk di dalam UU tentang tersebut. 22
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
maka terminologi perundang-undangan lazim Dalam hukum positif Indonesia, peraturan
disebut juga wetegeving, gesetgebung ataupun perundang-undangan diartikan sebagai peraturan
legislation. Istilah perundang-undangan (legislation, tertulis yang memuat norma hukum yang meng-
ikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
wetgeving atau gesetgebung) dalam beberapa
oleh lembaga negara atau pejabat yang ber-
kepustakaan memiliki dua pengertian yang
wenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
berbeda, dalam kamus umum yang berlaku,
peraturan perundang-undangan. 23 Sedangkan
istilah legislation dapat diartikan dengan
pembentukan peraturan perundang-undang-an
perundang-undangan dan pembuat undang-
diartikan sebagai pembuatan peraturan per-
undang. Istilah wetgeving diterjemahkan dengan
pengertian membentuk undang-undang ke-
21
Ibid.
seluruhan daripada undang-undang negara. 22
Mahendra Kurniawan, dkk, Pedoman
Sedangkan istilah gesetgebung diterjemahkan Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Yogyakarta:
dengan pengertian perundang-undangan. 20 Kreasi Total Media, 2007, hal. 5.
23
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
20
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 3. Undangan.
7
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 1-20
undang-undangan yang mencakup tahapan hatikan materi muatan yang tepat sesuai
perencanaan, penyusunan, pembahasan, peng- dengan jenis dan hierarki peraturan per-
esahan atau penetapan, dan pengundangan. 24 undang-undangan;
4. Asas Dapat Dilaksanakan, asas ini meng-
b. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
artikan bahwa setiap pembentukan per-
Undangan
aturan perundang-undangan harus memper-
Dalam membentuk peraturan perundang- hitungkan efektivitas peraturan perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan pada undangan tersebut di dalam masyarakat,
asas pembentukan peraturan perundang- baik secara filosofis, sosiologis, maupun
undangan yang baik, yang meliputi: 25 yuridis;
1. Asas Kejelasan Tujuan, asas ini mengartikan 5. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan, asas
bahwa setiap pembentukan peraturan ini mengartikan bahwa setiap peraturan per-
perundang-undangan harus mempunyai undang-undangan dibuat karena memang
tujuan yang jelas yang hendak dicapai; benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
2. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
yang Tepat, asas ini mengartikan bahwa berbangsa, dan bernegara;
setiap jenis peraturan perundang-undangan 6. Asas Kejelasan Rumusan, asas ini meng-
harus dibuat oleh lembaga negara atau artikan bahwa setiap peraturan perundang-
pejabat pembentuk peraturan perundang- undangan harus memenuhi persyaratan
undangan yang berwenang, peraturan teknis penyusunan peraturan perundang-
perundang-undangan tersebut dapat dibatal- undangan, sistematika, pilihan kata atau
kan atau batal demi hukum apabila dibuat istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak mudah di mengerti sehingga tidak me-
berwenang; nimbulkan berbagai macam interpretasi
3. Asas Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, dan dalam pelaksanaannya; dan
Materi Muatan, asas ini mengartikan bahwa 7. Asas Keterbukaan, asas ini mengartikan
dalam pembentukan peraturan perundang- bahwa dalam pembentukan peraturan per-
undangan harus benar-benar memper- undangundangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
24
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 penetapan, dan pengundangan bersifat
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan transparan dan terbuka.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Dengan demikian, seluruh lapisan masya-
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- rakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
Undangan. untuk memberikan masukan dalam pembentuk-
25
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
an peraturan perundang-undangan. Selain asas
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan sebagaimana diubah dengan Undang- diatas, materi muatan yang terdapat dalam suatu
Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
8
ANALISIS YURIDIS PENGATURAN UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
26
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
Selain asas-asas tersebut, peraturan per-
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undang-undangan tertentu dapat berisi asas lain
Undangan sebagaimana diubah dengan Undang- sesuai dengan bidang hukum peraturan per-
Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
undang-undangan yang bersangkutan.
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
9
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 1-20
10
ANALISIS YURIDIS PENGATURAN UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
30
Retno Saraswati, Problematika Hukum
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Yustisia,
Vol. 2 No. 3, September-Desember 2013, hal. 98-99.
11
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 1-20
12
ANALISIS YURIDIS PENGATURAN UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah persaingan usaha dapat berjalan lebih cepat dan
Agung Republik Indonesia dalam jangka waktu tidak berlarut-larut penyelesaiannya.
14 (empat belas) hari kerja setelah menerima
Adapun sebagai tindak lanjut atas diundang-
pemberitahuan putusan Pengadilan Niaga.
kannya UU tentang Cipta Kerja, khususnya
Kemudian untuk pemeriksaan kasasi di
mengenai pengaturan upaya hukum terhadap
Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut,
Putusan KPPU, Mahkamah Agung juga telah
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
mengeluarkan SEMA No. 1 Tahun 2021. SEMA
perundang-undangan.
No. 1 Tahun 2021 ini dikeluarkan karena masih
Selain UU tentang Cipta Kerja dan PP No. menunggu perubahan atas PERMA No. 3 Tahun
44 Tahun 2021, pengaturan mengenai upaya 2019. SEMA No. 1 Tahun 2021 menetapkan
hukum terhadap Keputusan KPPU juga terdapat hal-hal sebagai berikut:
dalam PERMA No. 3 Tahun 2019. PERMA No.
1. Pengadilan negeri untuk tidak lagi menerima
3 Tahun 2019 mengatur lebih detil mengenai
keberatan terhadap Putusan KPPU terhitung
tata cara pengajuan keberatan, panjar biaya
tanggal 2 Februari 2021.
perkara, tata cara pemeriksaan keberatan,
2. Pengadilan negeri yang telah menerima
putusan, dan pelaksanaan putusan.
keberatan terhadap Putusan KPPU sebelum
Dalam Pasal 4 ayat (1) PERMA No. 3 Tahun tanggal 2 Februari 2021, tetap menyelesaikan
2019 dijelaskan bahwa keberatan diajukan paling pemeriksaan dan mengadili perkara tersebut.
lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah 3. Pengadilan niaga sesuai kewenangan yang
tanggal pembacaan Putusan KPPU jika terlapor diberikan undang-undang untuk menerima,
hadir atau setelah tanggal pemberitahuan memeriksa, dan mengadili perkara keberatan
Putusan KPPU jika terlapor tidak hadir dalam terhadap Putusan KPPU terhitung tanggal 2
sidang pembacaan putusan. Selanjutnya terkait Februari 2021.
putusan, Pasal 13 ayat (1) PERMA No. 3 tahun 4. Kecuali ditentukan lain oleh UU tentang
2019 mengatur bahwa majelis hakim mem- Cipta Kerja, tata cara penerimaan keberatan
bacakan putusan paling lambat 30 (tiga puluh) terhadap putusan KPPU oleh pengadilan
hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan. niaga dilaksanakan sesuai PERMA No. 3
Dalam upaya hukum terhadap putusan Tahun 2019 dan petunjuk pelaksanaannya.
KPPU tidak dimungkinkan untuk dilakukan Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa
peninjauan kembali. Hal itu semakin dipertegas upaya hukum terhadap putusan KPPU tersebar
di dalam Pasal 15 PERMA No. 3 Tahun 2019 di beberapa peraturan yaitu UU tentang Cipta
yang menyatakan bahwa terhadap putusan Kerja, PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No. 3
keberatan, terlapor dalam hal ini pelaku usaha Tahun 2019, dan SEMA No. 1 tahun 2021.
dan/atau KPPU hanya dapat mengajukan upaya
hukum kasasi kepada mahkamah agung sebagai
upaya hukum terakhir. Larangan peninjauan
kembali dalam perkara sengketa persaingan
usaha ini dimaksudkan untuk efisiensi dan
kepastian hukum. Sehingga diharapkan perkara
13
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 1-20
2. Legalitas Pengaturan Upaya Hukum atas maka dari beberapa pengaturan mengenai
Terhadap Putusan KPPU Ditinjau Dari upaya hukum terhadap Putusan KPPU tersebut
Perspektif Pembentukan Peraturan yang termasuk ke dalam jenis peraturan per-
Perundang-Undangan undangan-undangan adalah UU tentang Cipta
Kerja, PP No. 44 Tahun 2021, dan PERMA No.
Peraturan perundang-undangan yang ber-
3 Tahun 2019.
laku di Indonesia merupakan sumber hukum
utama dalam penyelenggaraan negara. 35 Jenis dan Adapun SEMA No. 1 Tahun 2021 tidak ter-
hierarki peraturan perundang-undangan yang masuk ke dalam jenis peraturan perundang-
ada di Indonesia yakni UUD NRI Tahun 1945, undangan. Surat Edaran Mahkamah Agung
undang-undang/peraturan pemerintah pengganti (SEMA) memang berperan penting dalam
undang-undang, peraturan pemerintah, peratur- mengatasi lambannya produksi hukum positif di
an presiden, peraturan daerah provinsi, dan Indonesia. Pada dasarnya SEMA memang di-
peraturan daerah kabupaten/kota. 36 Selain itu, ciptakan dengan itikad baik yaitu untuk meng-
terdapat juga jenis peraturan perundang- atasi kekosongan hukum yang ada dalam
undangan lain yang salah satunya yaitu Peraturan lembaga yudikatif. Salah satu contohnya adalah
Mahkamah Agung. Jenis peraturan perundang- SEMA No. 1 Tahun 2021 yang dikeluarkan
undangan lain ini diakui keberadaannya dan karena masih menunggu perubahan atas PERMA
mempunyai kekuatan hukum mengikat se- No. 3 Tahun 2019 sebagai konsekuensi di-
panjang diperintahkan oleh peraturan per- undangkannya UU tentang Cipta Kerja.
undang-undangan yang lebih tinggi atau
Maria Farida Indrati mengingatkan bahwa
dibentuk berdasarkan kewenangan. 37
surat edaran tidak termasuk kategori peraturan
Pada saat ini, terdapat beberapa pengaturan perundang-undangan. Meskipun muncul kesan
mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU sebagai peraturan, sifatnya hanya untuk kalangan
yaitu UU tentang Cipta Kerja, PP No. 44 Tahun internal. Jika ditinjau dari segi materi muatan,
2021, PERMA No. 3 Tahun 2019, dan SEMA surat edaran menjelaskan atau membuat
No. 1 Tahun 2021. Berdasarkan ketentuan di prosedur untuk mempermudah, atau mem-
35
perjelas peraturan yang mesti dilaksanakan
Pipin Syarifin dan Daedah Jubaedah, Ilmu
karena sifatnya hanya memperjelas, surat edaran
Perundang-Undangan, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2012, hal 47. tidak boleh bertentangan apalagi menegasikan
36
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun peraturan perundang-undangan. 38
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan sebagaimana diubah dengan Undang- Produk hukum MA yang dapat di-
Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan klasifikasikan sebagai peraturan perundang-
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk berdasarkan kewenang-
Undangan. an ini adalah Peraturan Mahkamah Agung
37
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
38
Undangan sebagaimana diubah dengan Undang- Hukumonline, Surat Edaran Bukan Per-
Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan aturan Perundang-Undangan, dimuat dalam https://
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 www.hukumonline.com/berita/baca/hol18765/surat
tentang Pembentukan Peraturan Perundang- edaranbukanperaturan-perundangundangan/, diakses
Undangan. tanggal 2 April 2021.
14
ANALISIS YURIDIS PENGATURAN UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
15
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 1-20
terhadap Putusan KPPU telah mencerminkan (1) dilakukan baik menyangkut aspek
asas-asas di atas maka perlu memaparkan formil maupun materiil atas fakta yang
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU menjadi dasar putusan Komisi.
tentang Cipta Kerja, PP No. 44 Tahun 2021, dan (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
PERMA No. 3 Tahun 2019, yaitu sebagi berikut: pada ayat (2) dilakukan dalam jangka
a. Pasal 118 UU tentang Cipta Kerja yang waktu paling cepat 3 (tiga) bulan dan
mengubah Pasal 44 ayat (2) UU tentang paling lama 12 (dua belas) bulan.
Persaingan Usaha, “Pelaku usaha dapat meng- (4) Kecuali ditentuk lain dalam Peraturan
ajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga Pemerintah ini, tata cara pemeriksaan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keberatan di pengadilan Niaga dilaku-
menerima pemberitahuan putusan tersebut.”. kan sesuai dengan hukum acara
Selanjutnya, Pasal 118 UU tentang Cipta perdata.”
Kerja yang mengubah Pasal 45 UU tentang Selanjutnya, Pasal 20 PP No. 44 Tahun 2021,
Persaingan Usaha, (1) “Pihak yang keberatan dengan putusan
pengadilan Niaga sebagaimana di-
(1) “Pengadilan Niaga harus memeriksa
maksud dalam Pasal 19 dapat meng-
keberatan pelaku usaha sebagaimana
ajukan permohonan kasasi kepada
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2)
Mahkamah Agung Republik Indonesia
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak
dalam jangka waktu 14 (empat belas)
diterimanya keberatan tersebut.
hari kerja setelah menerima pemberitahu-
(2) Pihak yang keberatan terhadap putusan an putusan Pengadilan Niaga.
Pengadilan Niaga sebagaimana di-
(2) Pemeriksaan kasasi di Mahkamah
maksud pada ayat (1) dalam waktu 14
Agung Republik Indonesia sebagaimana
(empat belas) hari dapat mengajukan
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
kasasi kepada Mahkamah Agung
dengan ketentuan peraturan perundang-
Republik Indonesia.
undangan.”
(3) Ketentuan mengenai tata cara pe- c. Pasal 4 ayat (1) PERMA No. 3 Tahun 2019,
meriksaan di Pengadilan Niaga dan
“Keberatan diajukan paling lambat 14 (empat
Mahkamah Agung Republik Indonesia
belas) hari terhitung setelah tanggal pembacaan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Putusan KPPU jika terlapor hadir atau setelah
peraturan perundang-undangan.”
tanggal pemberitahuan Putusan KPPU jika
b. Pasal 19 ayat (1) PP No. 44 Tahun 2021, terlapor tidak hadir dalam sidang pembacaan
(1) “Pelaku Usaha dapat mengajukan putusan.” Selanjutnya, Pasal 13 ayat (1)
keberatan kepada Pengadilan Niaga PERMA No. 3 tahun 2019, “majelis hakim
sesuai domisili Pelaku Usaha selambat- membacakan putusan paling lambat 30 (tiga
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan
setelah menerima pemberitahuan putus- keberatan.”
an Komisi.
(2) Pemeriksaan keberatan di Pengadilan
Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat
16
ANALISIS YURIDIS PENGATURAN UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat PP No. 1 Tahun 2021, dan PERMA No. 3
dilihat bahwa terdapat pengaturan yang berbeda Tahun 2019. Perbedaan tersebut dapat dilihat
terkait jangka waktu di UU tentang Cipta Kerja, dalam tabel berikut:
Upaya Hukum UU tentang PP No. 44 Tahun 2021 PERMA No. 1 Tahun 2019
Cipta Kerja
Pengajuan 14 (empat 14 (empat belas) hari 14 (empat belas) hari terhitung
Keberatan belas) hari kerja setelah menerima setelah tanggal pembacaan Putusan
setelah pemberitahuan putusan KPPU jika terlapor hadir atau
menerima setelah tanggal pemberitahuan
pemberitahua Putusan KPPU jika terlapor tidak
n putusan hadir dalam sidang pembacaan
putusan
Pemeriksaan paling cepat 3 (tiga) bulan putusan keberatan paling lambat
Keberatan dan paling lama 12 (dua 30 (tiga puluh) hari sejak
- belas) bulan dimulainya pemeriksaan keberatan
17
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 1-20
setelah tanggal pembacaan Putusan KPPU jika Rumusan yang demikian dapat menimbulkan
terlapor hadir atau setelah tanggal pem- berbagai macam interpretasi dalam pelaksana-
beritahuan Putusan KPPU jika terlapor tidak annya.
hadir dalam sidang pembacaan putusan. Hal itu
Selain itu, materi muatan dalam peraturan
berbeda dengan Pengaturan dalam UU tentang
perundang-undangan mengenai upaya hukum
Cipta Kerja dan PP No. 44 Tahun 2021, bahwa
terhadap putusan KPPU juga belum men-
jangka waktu tersebut terhitung setelah
cerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum
menerima pemberitahuan putusan.
karena terdapat ketentuan yang mengatur ber-
Kedua, jangka waktu pemeriksaan keberatan. beda untuk hal yang sama yaitu terkait jangka
Jangka waktu pemeriksaan keberatan yang diatur waktu pengajuan keberatan, pemeriksaan ke-
dalam PP No. 44 Tahun 2021 adalah paling beratan, dan pengajuan kasasi. Hal itu dapat
cepat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua menimbulkan tidak terwujudnya ketertiban
belas) bulan sedangkan PERMA No. 3 Tahun dalam masyarakat melalui jaminan kepastian
2019 mengatur bahwa putusan keberatan harus hukum.
sudah dibacakan paling lambat 30 (tiga puluh)
III. Penutup
hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan.
A. Simpulan
Ketiga, Jangka waktu pengajuan kasasi.
Jangka waktu pengajuan kasasi yang diatur dalam Berdasarkan uraian di atas maka penulis
UU tentang Cipta Kerja adalah 14 (empat belas) memberikan kesimpulan sebagai berikut:
hari, yang dapat dimaknai sebagai hari kalender 1. Pada saat ini, pengaturan upaya hukum
dan tidak jelas jangka waktu tersebut terhitung terhadap putusan KPPU terdapat di be-
sejak kapan. Sedangkan pengaturan jangka waktu berapa peraturan yaitu UU tentang Cipta
pengajuan kasasi dalam PP No. 44 tahun 2021 Kerja, PP No. 44 Tahun 2021, PERMA No.
adalah 14 (empat belas) hari kerja setelah 3 Tahun 2019, dan SEMA No. 1 tahun
menerima pemberitahuan putusan. 2021.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan 2. Peraturan perundang-undangan yang meng-
bahwa pembentukan peraturan perundang- atur mengenai upaya hukum terhadap
undangan mengenai upaya hukum terhadap Putusan KPPU belum mencerminkan salah
putusan KPPU belum mencerminkan salah satu satu asas pembentukan peraturan per-
asas pembentukan peraturan perundang- undang-undangan yang baik yaitu asas ke-
undangan yang baik yaitu asas kejelasan jelasan rumusan karena rumusannya dapat
rumusan. rumusan dalam peraturan perundang- menimbulkan berbagai macam interpretasi.
undangan mengenai upaya hukum terhadap Selain itu, materi muatannya juga belum
putusan KPPU terkait jangka waktu pengajuan mencerminkan asas ketertiban dan kepasti-
keberatan, pemeriksaan keberatan, dan peng- an hukum karena terdapat perbedaan peng-
ajuan kasasi tidak memenuhi persyaratan teknis aturan jangka waktu terkait pengajuan ke-
penyusunan peraturan perundang-undangan, beratan, pemeriksaan keberatan, dan peng-
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa ajuan kasasi.
hukum yang jelas dan mudah dimengerti.
18
ANALISIS YURIDIS PENGATURAN UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Buku
Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar
Metode Penelitian Hukum Edisi Revisi.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at. Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
Azhary, M. Tahir. Negara Hukum: Suatu Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Madinah dan Masa Kini. Bogor:
Kencana, 2003.
HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani.
Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi dan Tesis. Depok: PT.
RajaGrafindo Persada, 2017.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara Edisi
Revisi. Cet. VII. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2011.
19
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 1-20
Kurniawan, Mahendra, dkk. Pedoman Naskah Hukumnya. Yuridika, Vol. 27 No. 2, Mei
Akademik PERDA Partisipatif. Yogyakarta: 2012.
Kreasi Total Media, 2007.
Simatupang, Dian Puji N. Paradoks Rasionalitas Bahan yang Tidak Diterbitkan
Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1
dan Implikasinya terhadap Kinerja Keuangan Tahun 2021 tentang Peralihan Pemeriksa-
Pemerintah. Jakarta: Badan Penerbit FHUI, an Keberatan terhadap Putusan Komisi
2011. Pengawas Persaingan Usaha ke Pengadilan
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Niaga.
Hukum Normatif, suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. Laman
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang- Asshiddiqie, Jimly. Fungsi Campuran KPPU
Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Sebagai Lembaga Quasi-Peradilan. Dimuat
Yogyakarta: Kanisius, 2007. dalam http://www.jimly.com/makalah/
_________________________________. Ilmu namafile/61/Makalah_KPPU_Koreksian.p
Perundang-Undangan (Proses an Teknik df, diakses tanggal 31 Maret 2021.
Penyusunan). Yogyakarta: Kanisius, 1998. Hukumonline. Surat Edaran Bukan Peraturan
Syarifin, Pipin dan Daedah Jubaedah. Ilmu Perundang-undangan. Dimuat dalam
Perundang-Undangan. Bandung: CV. https://www.hukumonline.com/berita/ba
Pustaka Setia, 2012. ca/hol18765/surat-edaran-bukan-
Wantu, Fence M. Idee Des Recht Kepastian peraturan-perundangundangan/, diakses
Hukum, Keadilan, dan kemanfaatan. tanggal 2 April 2021.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Hukumonline. Kekuatan Hukum Produk-Produk
____________________. Hukum Acara Pidana Hukum MA (Perma, SEMA, Fatwa, SK
Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Reviva KMA). Dimuat dalam https://www.
Cendekia, 2011. hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl
6102 / kekuatan - hukum- produk -produk-
hukum –ma -perma- -sema --fatwa-- sk- kma,
Jurnal
diakses tanggal 2 April 2021.
Basarah, Ahmad. Kajian Teoritis Terhadap
Auxiliary State`s Organ Dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. Masalah-Masalah
Hukum, Vol. 43 No. 1, Januari 2014.
Furqon, Eki. Kedudukan Lembaga Negara
Independen Berfungsi Quasi Peradilan dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Nurani
Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 1,
Juni 2020.
Saraswati, Retno. Problematika Hukum Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Yustisia, Vol. 2 No. 3, September-
Desember 2013.
Sukardi dan E. Prajwalita Widiati. Pendelegasian
Pengaturan oleh Undang-Undang Kepada
Peraturan yang Lebih Rendah dan Akibat
20
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI BERMAKNA KONSTITUSIONAL BERSYARAT PASCA
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
Abstrak
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 7 Tahun 2020), merupakan produk hukum
yang terbaru dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No.
24 Tahun 2003). Sebagai undang-undang terbaru perubahan yang ada dalam undang-undang ini
diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan yang ada selama ini salah satunya yakni mengenai
dasar hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang bermakna konstitusional bersyarat. Selama ini
belum ada dasar kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan putusan semacam itu,
maka timbul permasalahan yakni bagaimanakah UU No. 7 Tahun 2020 dapat menjadi dasar hukum
pengenaan putusan yang bermakna konstitusional bersyarat, begitu juga bagaimanakah pelaksanaan
selama ini, dan bagaimanakah solusi hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk kedepannya. Tujuan
tulisan ini untuk mendapatkan jawaban dari sejumlah pertanyaan tersebut karena saat ini Mahkamah
Konstitusi masih sering menerbitkan putusan konstitusional bersyarat. Metode penulisan ini adalah
yuridis normatif. Penulis mencoba menjawab permasalahan yang ada dengan pendekatan studi
kepustakaan. Berdasarkan pembahasan diketahui bahwa UU No. 7 Tahun 2020 masih belum
memiliki dasar hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk menerbitkan putusan yang konstitusional
bersyarat. Adapun bentuk putusan yang semacam ini pertama kali digunakan dalam Putusan MK
Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 perihal pengujian Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Untuk solusi kedepannya karena Indonesia
menganut sistim civil law maka diperlukan adanya perubahan undang-undang. Untuk itu
21
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
disimpulkan bahwa karena UU No. 7 Tahun 2020 belum memberikan dasar hukum yang cukup
maka perlu kedepannya ada perubahan keempat dari UU No. 24 Tahun 2003.
Abstract
Law Number 7 Year 2020 about the Third Amendment to Law Number 24 of 2003 about the Constitutional
Court (Law No. 7 Year 2020), is the latest legal product of Law Number 24 of 2003 about the Constitutional
Court (Law No. 24 Year 2003). As the latest law, the amendments to this law are expected to be able to
improve the existing deficiencies, one of which is the legal basis for the Constitutional Court decisions which have
a constitutional meaning. Since so far there has been no basis for authority for the Constitutional Court to issue
such a decision, the problem arises, namely, what is Law No. 7 year 2020 can be the legal basis for the
imposition of decisions that have constitutional meaning, as well as how has been the implementation so far, and
what is the legal solution for the Constitutional Court in the future. The purpose of this paper is to obtain
answers to a number of these questions because currently the Constitutional Court is still frequently issuing
conditional constitutional decisions. This writing method is normative juridical. The author tries to answer the
existing problems with a literature study approach. Based on the discussion it is known that Law no. 7 Year
2020 still does not have a legal basis for the Constitutional Court to issue decisions that are conditionally
constitutional. This kind of decision was first used in the Constitutional Court Decision Number 058-059-060-
063 / PUU-II / 2004 and 008 / PUU-III / 2005 regarding the review of Law Number 7 Year 2004
concerning Water Resources. For a solution in the future, because Indonesia adheres to a civil law system, it is
necessary to change the law. For this reason, it is concluded that because of Law no. 7 Year 2020 has not
provided a sufficient legal basis so it is necessary in the future there is a fourth amendment from Law no. 24 Year
2003.
22
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
salah satu fungsi MK yakni dalam rangka dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 jo. UU
menjaga konstitusi. Fungsi pengujian undang- No. 8 Tahun 2011 maka seharusnya Dewan
undang ini tidak dapat lagi dihindari Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden
penerapannya sebab UUD NRI Tahun 1945 (Pemerintah) selalu berupaya agar berhati-hati
menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi dalam membentuk suatu undang-undang. Ada-
supremasi parlemen melainkan supremasi pun tujuan dari kehati-hatian dalam membentuk
konstitusi. 2 undang-undang yakni agar tidak bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 dan selalu
Adapun salah satu kewenangan yang
menjaga hak konstitusional warga negara yang
dimiliki MK adalah melakukan pengujian
dijamin oleh konstitusi. 3
undang-undang terhadap UUD NRI Tahun
1945 sebagaimana yang telah diatur dalam Hadirnya MK dipengaruhi oleh per-
ketentuan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 jo. kembangan prinsip negara hukum, prinsip kons-
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang titusionalisme, sistem pemerintahan yang demo-
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 kratis dan pemisahan kekuasaan, serta jaminan
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
No. 8 Tahun 2011). Selain perubahan terakhir- Dengan kata lain, keberadaan institusi MK
nya yakni UU No. 7 Tahun 2020, sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan pengembanan
terdapat satu lagi perubahan UU No. 24 Tahun terhadap prinsip-prinsip tersebut dan mem-
2003 yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun berikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak
2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah asasi manusia. 4 Untuk itu, maka dalam rangka
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun menjaga dan melindungi hak asasi setiap rakyat
2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Indonesia hadirlah kewenangan MK untuk
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang melakukan pengujian undang-undang terhadap
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang UUD NRI Tahun 1945. Berbagai putusan MK
(UU No. 4 Tahun 2014), namun dasar hukum telah memberikan dampak yang luas dan berarti
tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak bagi kemajuan hukum dan perundang-undangan.
berlaku oleh MK melalui Putusan MK Nomor 1-
Adapun MK berperan untuk menilai
2/PUU-XII/2014. Dalam amar putusan itu juga
konstitusionalitas produk legislasi yang dihasil-
MK menyatakan bahwa dengan dicabutnya UU
kan oleh para pembentuk undang-undang.
No. 4 Tahun 2014 maka UU No. 8 Tahun 2011
Lembaga seperti MK menurut Friedman mer-
berlaku kembali.
upakan salah satu contoh lembaga-lembaga atau
Melalui keberlakuan sejumlah undang- institusi-institusi hukum yang baik dan dapat
undang yang mengatur mengenai MK terutama berfungsi untuk merangkai struktur, jejaring,
3
Saldi Isra, Peran Mahkamah Konstitusi dalam
dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Penguatan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jurnal
Republik Indonesia, 2013, hal. 4. Konstitusi, Vol.11, No 3, September 2014, hal. 420-
2
Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi Dan Peran 421.
4
Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-
Republik Indonesia, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Vol. pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006,
6, No. 1, Maret 2009, hal.1. hal.10.
23
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
atau bangunan dimana subtansi hukum dapat dari undang-undang dalam bentuk Peraturan
bekerja. 5 MK. Hal ini dijamin juga dalam Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Sebagaimana lembaga peradilan pada
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
umumnya, maka MK pun lebih banyak “ber-
Adapun peraturan MK tersebut yakni Peraturan
bicara” melalui putusannya. Adapun terkait
MK Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman
dengan putusan MK, telah terdapat batasan
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-
putusan yang dapat dikeluarkan oleh MK dalam
Undang.
UU No. 24 Tahun 2003 jo. UU No. 8 Tahun
2011. Walaupun terdapat batasan tersebut, Penulis menilai tidak adanya dasar hukum
seringkali juga ditemukan bahwa terdapat bagi MK dalam menerbitkan putusan yang
putusan-putusan MK yang berbeda yakni bermakna konsitutsional bersyarat layak untuk
memiliki pemaknaan secara konsititusional dikaji dan dianalisis dalam bentuk tulisan karena
bersyarat. Hal tersebut biasa dikenal dengan jelas berkaitan dengan asas kepastian hukum.
istilah putusan conditionally constitutional Asas kepastian hukum ini dalam hukum pidana
(konstitusional bersyarat). Hal ini menimbulkan erat kaitannya dengan asas legalitas. Berdasarkan
diskursus tersendiri, karena ada batasan jenis ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang
putusan MK dalam undang-undang baik itu UU Hukum Pidana (KUHP), asas legalitas dipahami
No. 24 Tahun 2003 maupun UU No. 8 Tahun sebagai tiada suatu perbuatan dapat dipidana
2011, namun hingga saat ini jenis putusan apabila belum ada aturan pidana yang
bermakna konstitusional bersyarat ini masih mengaturnya terlebih dahulu.
sering digunakan oleh MK. Perlu diketahui
Lebih lanjut, dalam peradilan tata Negara
bahwa jenis putusan bersyarat ini sebenarnya
yang dipraktekkan MK, ketika MK menafsirkan
secara yuridis formil tidak dikenal baik dalam
suatu frasa atau ayat atau pasal yang dinilai ber-
UU No. 24 Tahun 2003 maupun dalam
tentangan prinsip atau nilai-nilai HAM, kebenar-
perubahan terakhir saat ini yaitu UU No. 7
an, keadilan dan hierarki norma, maka konstruk-
Tahun 2020. Putusan MK terkait dengan
si UU No. 24 Tahun 2003 maupun UU No. 8
pengujian undang-undang terhadap UUD NRI
Tahun 2011 yang belum mengakomodir ataupun
Tahun 1945 pada saat ini hanya mengenal
memiliki dasar hukum untuk menerbitkan
norma yang menyatakan pasal-pasal yang
putusan bersyarat mer-upakan suatu problem
diujikan bertentangan (menyatakan permohonan
tersendiri. Problem ini menarik untuk dikaji
dikabulkan) atau tidak bertentangan (menyata-
karena di satu sisi MK juga memiliki kewenangan
kan permohonan ditolak), serta menyatakan per-
sebagai the final interpreter of the constitution dalam
mohonan tidak dapat diterima. 6 Meskipun
kerangka menjalankan fungsi sebagai the
memang MK berwenang pula untuk membentuk
guardian of the constititution, protector of citizen’s
peraturan yang menutup kekosongan hukum
constitutional rigaht dan protector of human right.
5
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Bahkan hal yang terpenting yang perlu diingat
Ilmu Sosial, Cetakan Keempat, Bandung: Nusamedia, yakni putusan lembaga peradilan adalah
2011, hal. 21. mengikat (Res judicata pro veritate hebituer). Oleh
6
Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. karena itu, maka dalam hal ini Penulis mencoba
24
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
menjadikan problematika hukum ini sebagai meliputi surat-surat pribadi, bukubuku, sampai
tema dalam tulisan ini. pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan
oleh pemerintah. 7
B. Permasalahan
Dalam tulisan ini, Penulis mencoba me-
Berdasarkan latar belakang yang telah
lakukan pendekatan normatif yang dititik-
diuraikan di atas maka pokok permasalahan
beratkan pada permasalahan mengenai putusan
dalam tulisan ini yaitu:
MK yang bermakna konstitusional bersyarat.
1. Bagaimanakah dasar hukum bagi MK dalam
Penulis menggunakan sejumlah literatur baik itu
UU No. 7 Tahun 2020 untuk mengenakan
buku-buku tentang MK, undang-undang MK,
putusan yang bermakna konstitusional
maupun putusan-putusan MK. Penulis dalam
bersyarat?
tulisan ini juga mendalami dan menganalisis
2. Bagaimanakah pelaksanaan putusan MK
beberapa contoh putusan MK yang bermakna
bermakna konstitusional bersyarat?
konstitusional bersyarat.
3. Bagaimanakah solusi hukum bagi MK agar
dapat menerbitkan putusan MK yang II. Pembahasan
bermakna konstitusional bersyarat? A. Kerangka Konsepsional
C. Tujuan 1. Penafsiran Hukum
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, Montesqieu memiliki pandangan klasik
maka tujuan penulisan ini bertujuan untuk bahwa hakim dalam menerapkan undang-
mengetahui: undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya
1. Dasar hukum bagi MK dalam UU No. 7 tidak menjalankan peranannya secara mandiri.
Tahun 2020 untuk mengenakan putusan Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong
yang bermakna konstitusional bersyarat. undang-undang, sehingga tidak dapat mengubah
2. Pelaksanaan putusan MK bermakna kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat
konstitusional bersyarat. menambah dan tidak dapat pula menguranginya.
3. Solusi hukum bagi MK agar dapat Ini sebabnya menurut Montesqieu, undang-
menerbitkan putusan MK yang bermakna undag adalah satu-satunya sumber hukum
konstitusional bersyarat. positif. 8
25
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
26
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
nemukan peraturan hukum yang sesuai dengan dipergunakan sebagai pedoman perilaku untuk
kondisi aktual yang dipersoalkan. 15 banyak orang. 17
17
Cst Kansil, Kamus istilah Hukum, Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2009, hal. 385.
18
Gustav Radbruch dalam Muhammad Erwin,
15
Joko Widarto, Penerapan Asas Putusan Hakim Filsafat Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, 2012,
Harus DIanggap Benar (studi Putusan Mahkamah hal.123.
Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013), Lex Jurnalica, 19
Ibid.
20
Volume 13, Nomor 1, April 2016, hal. 69. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus,
16
Al Wisnu Broto, Hakim dan Peradilan Di Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara (Aktualisasi dalam Teori
Indonesia (Dalam Beberapa Aspek Kajian), Yogyakarta: negara Indonesia), Bandung: Fajar Media, 2013, hal.
Penerbit Universitas Atma Jaya, 1997, hal. 2. 219.
27
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
jadi tertib. Oleh sebab itu, kepastian akan eksekutif merupakan bentuk nyata dari
mengarahkan masyarakat kepada ketertiban. 21 dianutnya prinsip check and balances. Penggunaan
kewenangan hakim untuk melakukan pengujian
Kepastian hukum terwujud melalui pem-
terhadap produk hukum dinamakan judicial
berlakuan hukum yang jelas, tepat, konsisten dan
konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat review, yakni apabila merujuk pada praktik di
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya Indonesia salah satunya adalah pengujian
subjektif. 22 Hukum adalah kumpulan peraturan- undang-undang terhadap UUD NRI Tahun
peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu 1945 yang dilakukan oleh MK. Judicial review
kehidupan bersama, keseluruhan peraturan adalah suatu mekanisme pengawasan norma
tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu melalui pengadilan, khususnya norma dalam
kehidupan bersama yang dapat dipaksakan sebuah undang-undang yang telah disahkan dan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Kepastian telah diundangkan secara resmi. 24
hukum tersebut akan menjamin seseorang Tugas MK dalam sistem hukum Indonesia
melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan adalah menguji konstitusionalitas norma
hukum yang berlaku, se-baliknya tanpa ada undang-undang terhadap UUD NRI Tahun
kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki 1945. Tugas MK ini untuk melakukan pengujian
ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. undang-undang lahir dalam sistem hukum
Untuk itu maka kepastian hukum dibutuhkan Indonesia pasca amandemen ketiga dari UUD
dalam menegakkan kons-titusi. Adapun NRI Tahun 1945. Hal ini dilatar belakangi oleh
konstitusi dapat diartikan sebagai suatu kenyataan bahwa dalam sistem hukum Indonesia
pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu sebelum amandemen ketiga, tidak dikenal
negara, yang dipersiapkan sebelum maupun mekanisme dalam menjamin konsistensi antara
sesudah berdirinya negara yang bersangkutan. 23 undang-undang dan UUD NRI Tahun 1945.
Untuk itu maka kepastian hukum pun menjadi Sebelum adanya MK, mekanisme pengujian yang
hal yang tidak bisa ditawar kembali. dikenal dengan sebutan judicial review yang
Judicial Review dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). 25
Namun, Judicial review yang dilakukan oleh MA
Pemisahan kekuasaan melahirkan prinsip hanya meliputi pengujian terhadap peraturan di
“checks and balances”, yang merupakan salah satu bawah undang-undang.
dasar lahirnya judicial review. Diujinya produk-
produk hukum yang dibuat oleh legislatif dan Setelah Amandemen ketiga UUD NRI
Tahun 1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia
21
Sidharta Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan terdiri dari MA dan MK. Bertambahnya
Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, kekuasaan kehakiman sebagaimana disebut di
Bandung: PT Refika Aditama, 2007, hal. 8.
22
Nur Agus Susanto, Dimensi Aksiologis Dari
24
Putusan Kasus “ST” Kajian Putusan Peninjauan Kembali Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian
Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012, Jurnal Yudisial Vol. 7 Konstitusional di Berbagai Negara,
No. 3 Desember 2014, hal. 23. Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 7.
23 25
M. Agus Santoso, Perkembangan Konstitusi di Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14
Indonesia, Jurna Yustisia, Vol 2, No. 3, September- tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Desember, 2013, hal. 120. Kehakiman.
28
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
atas memiliki dampak pada munculnya mekanis- lima) tahun, dan mempunyai pekerjaan di
me konstitusional review selain mekanis-me bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas)
judicial review. Kewenangan MK dalam tahun.
melakukan konstitusional review diatur dalam Dalam perubahan juga terdapat sub-tansi
Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. pengaturan mengenai proses pemilihan hakim
Menurut Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun MK yang harus secara objektif, akuntabel,
1945, MK berwenang mengadili pada tingkat transparan, dan terbuka. Perubahan juga men-
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat cakup penambahan bagian pemberhentian
final untuk menguji UU terhadap UUD. 26 hakim MK dan memperkuat pengaturan meng-
Ketentuan yang terdapat dalam konstitusi di atas enai penegakan etik sebagai bentuk menjaga
selanjutnya dipertegas melalui Undang-Undang integritas hakim konstitusi. Ada juga hal yang
Nomor 48 tahun 2009 tentang Peradilan Umum menarik dalam perubahan tersebut yakni
dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 penghapusan Pasal 59 ayat (2) mengenai
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perubahan undang-undang yang telah diuji DPR
Perundang-Undangan. dan Presiden segera menindaklanjuti sesuai
B. Analisis dengan peraturan perundang-undangan. Ke-
tentuan tersebut sebelumnya diatur dalam UU
1. Dasar Hukum Bagi MK dalam UU No. 7
No. 8 Tahun 2011, namun dalam UU No. 7
Tahun 2020 untuk Menerbitkan Putusan
Tahun 2020 ini pasal tersebut dihapuskan se-
yang Bermakna Konstitusional Bersyarat
hingga tidak ada keharusan bagi pembentuk
Dalam UU No. 7 Tahun 2020 hanya undang-undang (baik DPR maupun Presiden)
terdapat 15 (lima belas) angka perubahan. 27 untuk segera menindaklanjuti dengan perubahan
Perubahan-perubahan tersebut yakni terkait undang-undang jika ada putusan MK.
dengan masa jabatan hakim MK, pengaturan
Sebagai sebuah produk hukum yang terbaru
ketua dan wakil ketua MK untuk dapat dipilih
tentunya UU No. 7 Tahun 2020 mem-bawa
kembali intuk jabatan yang sama, dan tata cara
harapan besar bagi segenap rakyat Indonesia. Hal
mengenai pemilihan ketua dan wakil ketua MK.
ini dikarenakan peran MK yang begitu vital
Selain itu terdapat ketentuan mengenai ke-
sebagai satu-satunya lembaga yang dapat menguji
paniteraan MK baik masa usia pensiunnya
undang-undang terhadap UUD NRI Tahun
maupun tugas teknis administratifnya. Syarat
1945. Adanya perubahan undang-undang MK ini
hakim MK yang harus berijazah doktor dan
selayaknya “angin segar” bagi rakyat karena satu-
berlatar belakang pendidikan di bidang hukum,
satunya jalur yang kons-titusional untuk menguji
batas usia paling rendah berusia 55 (lima puluh
undang-undang yang dihasilkan, sekaligus
sebagai bentuk fungsi kontrol publik terhadap
26
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 negara.
tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Adapun hal yang masih belum ataupun
Konstitusi.
27 kurang menurut Penulis yakni belum adanya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 dasar hukum bagi MK dalam UU No. 7 Tahun
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
29
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
2020 untuk menerbitkan putusan yang jenis ini memuat saran atau paduan berupa tafsir
bermakna konstitusional bersyarat. Belum ada- untuk menyelesaikan permasalahan legislatif
nya dasar hukum bagi MK untuk menerbitkan (berkaitan dengan tafsir konstitusional terhadap
putusan yang bermakna konstitusional bersyarat norma yang diuji), sehingga sesuai dengan
tentunya sangat disayangkan. Hal ini dikarena- konstitusi. 30 Putusan jenis ini dikatakan juga
kan dalam implementasinya putusan jenis ini sebagai peringatan kepada legislative dalam
sudah dilakukan sejak tanggal 19 Juli 2005 dalam konteks perumusan norma.
Putusan MK Nomor 058-059-060-063/PUU-
Dengan adanya studi komparatif di se-
II/2004 dan 008/PUU-III/2005 perihal peng-
jumlah negara-negara lain maka wajar sebetulnya
ujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
MK di Indonesia pun menerapkan putusan yang
tentang Sumber Daya Air (UU tentang Sumber
bermakna konstitusional bersyarat. Kekurang-
Daya Air).
annya adalah sejak UU No. 24 Tahun 2003
Jika menggunakan benchmarking di negara- beserta perubahannya dalam UU No. 8 Tahun
negara lain, sebenarnya penggunaan model 2011, UU No. 4 Tahun 2014 (yang sudah
putusan yang bersifat bersyarat ini juga terdapat dicabut keberlakuannya), dan terakhir UU No. 7
di sejumlah negara. Negara-negara tersebut Tahun 2020, belum ada landasan hukum bagi
misalnya Korea Selatan dan Italia. 28 Adapun MK untuk menerbitkan putusan yang bermakna
untuk konteks MK Korea Selatan, mulai tahun konstitusional bersyarat. Hal ini sesuai Pasal 57
1990-an telah dikenal model putusan-putusan UU No. 24 Tahun 2003 yang hanya menegaskan
disana disebut limited unconstitutionaly/ bahwa putusan MK hanya menyatakan tidak
constitutionality, yang mana MK Korea Selatan mengikat jikalau dinyatakan bertentangan
menggunakan istilah “unconstitutional as dengan UUD NRI Tahun 1945, begitupula
interpreted” dan “constitutional as interpreted”. Jenis sebaliknya jika tidak terbukti bertentangan maka
putusan ini digunakan dalam hal terdapat bahasa tetap mengikat sebagaimana biasanya. Dengan
dalam suatu undang-undang yang tidak jelas demikian maka sebenarnya tidak terdapat ruang
(apakah itu konstitusional atau tidak), sehingga bagi MK untuk berinovasi dalam putusannya
MK harus memberikan interpretasi sehingga seperti halnya menerbitkan putusan yang
norma yang diuji tidak dinyatakan inkons- bermakna konstitusional bersyarat.
titusional. 29 Italia juga menggunakan jenis Penulis juga telah menganalisis Peraturan
putusan yang sejenis dengan putusan bersyarat, MK Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman
yang dinamakan sentenza di monito. Putusan Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang, untuk mengetahui lebih lanjut
28
Jibong Lim, Korean Constitutional Court Standing mengenai peraturan teknis beracara terkait
at the Crossroads: Focusing on Real Cases and Variational pengujian undang-undang. Sebagaimana di-
Types of Decisions, Loyola of Los Angeles Internasional
ketahui MK berwenang pula untuk membentuk
and Comparative Law Review, Volume 24, Tahun
2002, hal. 342-343. Lihat juga The Constitutional peraturan untuk menutup kekosongan hukum
Court of Korea, The First Ten Years of the Korean
30
Constitutional Court (1988-1998), Republic of Korea: Corte Costituzionale, La Corte Costituzionale (The
the Constitutional Court of Korea, 2001, hal. 90 Italian Constitutional Court), Roma: Segreteria
29
Ibid. Generale – Corte Constituzionale, 2012, hal. 36
30
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
dari undang-undang dalam bentuk Peraturan itu sebagai conditionally constitutional. 31 Setelah
MK yang dijamin dalam Pasal 8 ayat (1) Undang- putusan yang bermakna konstitusional bersyarat
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pada pengujian UU tentang Sumber Daya Air
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. tersebut, MK dalam menerbitkan putusan yang
Namun demikian, Penulis tetap tidak menemu- bermakna bersyarat, tidak hanya mencantumkan
kan landasan hukum bagi MK untuk menerbit- klausul bersyarat dalam pertimbangan
kan putusan yang bermakna konstitusional hukumnya, melainkan juga mencantumkannya
bersyarat. Bahkan dalam Pasal 36 Peraturan MK dalam amar putusan.
tersebut, justru lebih ditegaskan batasan putusan
Penulis menganalisis bahwa pada umumnya
MK yakni jikalau dikabulkan permohonan
MK mencoba menjawab pengujian undang-
Pemohon maka harus secara tegas menyatakan
undang dengan cara menggunakan klausula
bahwa ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU
bersyarat ketika ditemukan rumusan undang-
dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum
undang yang normanya sangat umum. Hal yang
mengikat. Dalam hal ini tidak ada ketentuan
biasanya terjadi adalah bilamana terdapat suatu
tambahan yang memungkinkan variasi putusan
pasal dalam undang-undang yang memiliki
bersyarat. Oleh karenanya, adalah sangat di-
rumusan umum tersebut tidak dapat diketahui
sayangkan revisi UU No. 24 Tahun 2003 yang
langsung apakah dalam pelaksana-annya
terakhir yakni UU No. 7 Tahun 2020, tidak
mengandung ada atau tidaknya per-tentangtan
berupaya melengkapi dasar hukum yang belum
dengan UUD NRI Tahun 1945. 32 Terkait
ada hingga kini, yakni dasar hukum bagi MK
dengan hal tersebut, hakim konstitusi Harjono
untuk menerbitkan Putusan MK yang Bermakna
berpendapat sebagai berikut: 33
Konstitusional Bersyarat.
Oleh karena itu, kita mengkreasi dengan
2. Pelaksanaan Putusan MK yang Bermakna
mengajukan sebuah persyaratan: jika
Konstitusional Bersyarat
sebuah ketentuan yang rumusannya ber-
Sebagaimana Penulis sampaikan di atas, sifat umum di kemudian hari dilaksanakan
putusan pertama kali yang bermakna kons- dalam bentuk A, maka pelaksanaan A itu
titusional bersyarat yakni pada Putusan MK tidak bertentangan dengan Konstitusi.
Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
008/PUU-III/2005 tentang Pengujian atas UU 31
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-
tentang Sumber Daya Air. Apabila dilihat lebih 060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005
lanjut dalam pertimbangan hukumnya membuka perihal pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-
peluang terhadap UU tentang Sumber Daya Air
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
untuk dilakukan pengujian kembali apabila 1945, 19 Juli 2005, hal. 495.
32
dalam pelaksanaannya ditafsirkan lain dari Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa:
maksud yang termuat dalam pertimbangan Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H., M.C.L., Wakil
Ketua MK, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
hukum, atau yang disebut oleh MK pada waktu Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hal. 178.
33
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2010, hal.142.
31
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
Akan tetapi, jika berangkat dari perumusan penafsiran tertentu supaya tidak me-
yang umum tersebut kemudian bentuk nimbulkan ketidakpastian hukum atau
pelaksanaannya kemudian B, maka B akan terlanggarnya hak-hak warga negara.
bertentangan dengan Konstitusi. Dengan
Untuk lebih memahami putusan MK yang
demikian, ia bisa diuji kembali.
bermakna konstitusional bersyarat, berikut ini
Dengan menggunakan pandangan dari terdapat 5 (lima) karakteristik yang menjadi ciri
hakim konstitusi Harjono di atas, dapat khasnya: 35
diketahui bahwa norma tersebut yang dilakukan
1. Terdapat tafsir atau persyaratan tertentu,
pengujian terhadapnya tetap dinyatakan
sehingga suatu norma yang diuji tetap
konstitusional, namun mengenai konstitusi-
konstitusional sepanjang dilaksanakan
onalitas norma tersebut terdapat persyaratan
sesuai dengan tafsir atau syarat yang
tertentu. Adapun persyaratan tersebut mer-
ditentukan;
upakan sesuatu yang harus dipenuhi oleh subjek
2. Didasarkan pada amar putusan yang
hukum tertentu yang ditujukan oleh suatu
menyatakan permohonan ditolak;
peraturan perundang- undangan menurut
3. Klausul bersyarat dapat ditemukan dalam
putusan tersebut. Dengan demikian, maka
pertimbangan hukum saja, atau pada
norma tersebut dapat diuji kembali bilamana
pertimbangan hukum dan amar putusan;
dalam pelaksanaannya terdapat ketidaksesuaian
4. Mensyaratkan adanya pengujian kembali
dengan tafsir yang telah diberikan oleh MK
apabila dalam pelaksanaannya tidak
dalam putusan tersebut. Hal semacam ini dapat
sesuai dengan syarat-syarat konstitusi-
ditemukan contohnya dalam Putusan Nomor
onalitas yang ditentukan dalam putusan
19/PUU-VIII/2010 yakni mengenai pengujian
sebelumnya; dan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Dalam pertimbangan hukum putusan 5. Baik secara eksplisit maupun implisit
tersebut di poin [3.15.8] dinyatakan bahwa: 34 mendorong adanya legislative review oleh
pembentuk Undang-Undang.
Mahkamah juga menyatakan bahwa
apabila suatu norma yang dimohonkan Jika dilihat secara seksama dari kelima
untuk diuji ternyata dapat ditafsirkan karakteristik di atas, maka dapat diketahi bahwa
secara berbeda dan perbedaan tafsir karakteristik pertama, kedua, dan ketiga mer-
tersebut menyebabkan ketidakpastian upakan karakteristik yang berkaitan dengan ada-
hukum yang menyebabkan dilanggarnya nya penafsiran atau persyaratan yang diberikan,
hak konstitusi warga negara, maka didasarkan pada amar putusan yang menolak
Mahkamah memberi putusan conditionally permohonan, dan tentang letak klausul ber-
constitutional yaitu dengan memberi syarat. Hal ini jelas berbeda dengan karakteristik
keempat dan kelima yang menurut pandangan
34
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35
19/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang- Faiz Rahman dan Dian Agung Wicaksono,
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Eksistensi dan Karakteristik Putusan Bersyarat Mahkamah
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2,
Indonesia Tahun 1945, 1 November 2011, hal. 137. Juni 2016, hal. 361-363.
32
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Penulis merupakan hal yang ingin dicapai ketika pemenuhan syarat sebagaimana ditetapkan
MK menerbitkan putusan yang bermakna oleh Mahkamah harus dialokasikan dalam
konstitusional bersyarat. 36 APBN. Namun demikian, oleh karena
Adapun selain jenis putusan MK yang APBN Tahun 2009 sedang berjalan dan
memiliki pemaknaan secara konstitusional apabila diberlakukan langsung akan
bersyarat, sebenarnya ada jenis lainnya putusan menimbulkan ketidakpastian hukum,
MK inkonstitusional bersyarat. Penulis menilai maka Mahkamah menetapkan agar
bawa MK terkadang menggunakan cara semacam pengalokasian dana hasil cukai tembakau
ini dikarenakan putusan MK yang memiliki untuk provinsi penghasil tembakau dalam
pemaknaan konstitusional bersyarat terkadang APBN dipenuhi paling lambat mulai
tidak pas digunakan ketika terdapat kesalahan Tahun Anggaran 2010.
subjek hukum tertentu yang ditujukan oleh Putusan MK yang bermakna inkonstitusi-
suatu peraturan perundang-undangan menurut onal bersyarat ini merupakan kebalikan dari
37
putusan tersebut. Adapun contohnya dimuat putusan konstitusional bersyarat, sehingga
dalam pertimbangan hukum Putusan MK norma yang diujikan dinyatakan bertentangan
Nomor 54/PUU-VI/2008 di poin [3.23] yakni dengan UUD NRI Tahun 1945 apabila tidak
38
sebagai berikut: memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh MK
Mahkamah berpendapat bahwa keduduk- dalam putusannya.
an pasal a quo pada saat sekarang adalah Lebih lanjut, jika kita kembali ke topik
inkonstitusional dan akan menjadi kons- utama yakni terkait dengan putusan MK yang
titusional apabila syarat sebagaimana bermakna konstitusional bersyarat, sebenarnya
dimaksud di atas dipenuhi. Konstitusi- jenis putusan MK yang semacam ini telah
onalitas pasal a quo akan berakibat menjadi dinamika tersendiri dalam kewenangan
langsung terhadap alokasi APBN, karena pengujian undang-undang terhadap UUD NRI
Tahun 1945 di MK. Adapun untuk lebih
36
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059- memahami putusan MK yang bermakna
060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005
pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 konstitusional bersyarat, Penulis akan mencoba
tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang membahas 2 (dua) putusan MK terbaru terkait
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 19
Juli 2005, hal. 495. yang memiliki pemaknaan konstitusional ber-
37
Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, syarat didalam putusannya. Kedua putusan yang
dan Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi
akan coba dibahas yakni Putusan MK Nomor
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-
Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012, hal. 687. 70/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor
38
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU- 55/PUU-XVIII/2020.
VI/2008 Pengujian Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang- Pertama, Putusan MK Nomor 70/PUU-
Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik XVII/2019 adalah putusan MK berkaitan
Indonesia Tahun 1945, 14 April 2009, hal. 61.
33
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
39
Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua
Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Mahkamah Konstitusi, 2010, hal. 92. Korupsi, hal. 45.
40 41
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU- Ibid., Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
XVII/2019 tentang Pengujian Undang-Undang 70/PUU-XVII/2019, hal. 19.
34
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
35
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
Dampak sejumlah norma diputuskan oleh mempunyai kekuatan hukum mengikat se-
MK harus dimaknai secara bersyarat tersebut panjang tidak dimaknai Partai yang telah lulus
yakni diharapkan pemberantasan korupsi di verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali
Indonesia tidak terganggu dan tetap dapat untuk Pemilu selanjutnya. 42
berjalan se-bagaimana seharusnya. Untuk itu
Menurut Pemohon, Pasal 173 ayat (1) UU
norma semula dalam UU tentang KPK baik di
tentang Pemilu yang subtansinya menekan-kan
Pasal 12C ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat
kepada kewajiban menjalankan verifikasi faktual
(2), dan Pasal 47 ayat (1) yang masih umum
bagi seluruh partai politik untuk dapat
menurut MK, maka diberikan penafsiran lain
diikutsertakan sebagai partai politik peserta
agar lebih tepat sasaran.
pemilihan umum (Pemilu) adalah sangat mem-
Penulis juga menganalisis bahwa pola beratkan. Pemohon menjelaskan bahwa proses
konstitusional bersyarat ini merupakan “metode” verifikasi faktual yang telah dilalui oleh
yang digunakan MK untuk mensolusikan ke- Pemohon di Pemilu 2019 yang lalu mem-
wenangannya yang terbatas di negatif legislator butuhkan biaya yang amat besar. Biaya tersebut
karena menunggu perubahan undang-undang cukup besar karena diantaranya terdapat
dari pembentuk undang-undang cukup me- keharusan untuk menghadirkan setidaknya 1000
makan waktu. Begitu juga agar penafsiran dari anggota Pemohon atau 1/1000 dari jumlah
MK dapat langsung diwujudkan dalam bentuk penduduk di 75% Kabupaten/Kota dari seluruh
norma yang tidak salah ditafsirkan nantinya oleh Provinsi. Proses tersebut juga amat melelahkan
DPR dan Pemerintah ketika membentuk karena tidaklah mudah mengatur jadwal 1000
perubahan dari UU tentang KPK tersebut, maka orang tersebut agar bisa hadir ketika Komisi
MK langsung mengeksekusinya dengan cara ini. Pemilian Umum (KPU) beserta jajarannya
melakukan proses verifikasi faktual tersebut.
Kedua, Putusan MK Nomor 55 PUU-
XVIII/2020 terkait dengan pengujian materiil Syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 173
untuk Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang ayat (2) UU tentang Pemilu memang sebagian
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum besar merupakan syarat umum pendirian partai
(UU tentang Pemilu). Dalam petitumnya
Pemohon mengujikan norma Pasal 173 ayat (1) 42
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55 PUU-
UU tentang Pemilu dan berharap agar secara XVIII/2020 tentang pengujian Undang-Undang
bersyarat dinyatakan bertentangan dan tidak Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,
hal. 21.
36
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
43 44
Ibid., Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55 Ibid., Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55
PUU-XVIII/2020, hal. 7. PUU-XVIII/2020, hal. 64.
37
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
melakukan verifikasi faktual untuk Pemilu presidensial dimana dengan demikian partai
berikutnya. Namun jika kita coba kesampingkan politik yang berkancah di pentas nasional
sejenak tujuan Pemohon yang tidak tercapai, jumlahnya akan semakin ramping menyesuaikan
ataupun MK yang ultra petita karena melampaui dengan kebutuhan sistim presidensial.
apa yang dimintakan oleh Pemohon, dapat kita
Adapun Penulis juga memberikan catatan
kaji juga dari sisi jenis putusan yang
bahwa amar putusan konstitusional berysarat ini
konstitusional bersyarat.
juga dapat dipandang merupakan cara bagi MK
Jika kita analisis dengan rumus yang telah untuk secara tidak langsung membuat norma
kita ketahui sebelumnya yakni bahwa putusan baru. Adanya norma baru tidak dapat dipungkiri
MK yang bermakna konstitusional bersyarat karena MK dalam hal ini telah memaknai suatu
muncul pada norma yang bersifat umum. undang-undang dan kedepannya setiap orrang
Adapun perlu diketahui bentuk akhir dari Pasal harus memperhatikan penafsiran MK atas
173 ayat (1) UU tentang Pemilu adalah berbunyi konstitusionalitas ketentuan materiil undang-
“Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai undang yang sudah diuji tersebut. 45
politik yang telah lulus verifikasi oleh KPU”. Hal ini
Seharusnya MK berada dalam ranah yakni
jelas berbeda dengan norma aslinya yang ber-
sebagai negative legislator. Posisi positif legislator
bunyi “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan
berada di pembentuk undang-undang yakni DPR
partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi dan Pemerintah. Namun demikian, ketika
oleh KPU”. Adapun frasa “ditetapkan/” telah melihat amar Putusan MK Nomor 55 PUU-
dibatalkan keberlakuannya oleh MK dalam XVIII/2020 dimana MK mewajibkan norma
Putusan MK Nomor 105/PUU-XIV/2016. Oleh Pasal 173 ayat (1) dipandang dengan cara
karenanya Pemohon menguji kembali norma pandang baru sesuai yang MK persyaratkan di
Pasal 173 ayat (1) UU tentang Pemilu ini karena dalam amar putusannya, maka hal ini serupa
telah terdampak dengan Putusan MK Nomor dengan MK membuat norma baru.
105/PUU-XIV/2016 sehingga semua partai
poltik harus melalui verifikasi faktual. MK menggunakan terobosan mewujud-kan
norma baru ini karena baik ada atau tidak ada
Penulis menilai MK bukan hanya tidak dasar hukum dari jenis putusan yang konstitusi-
konsisten dengan putusan sebelumnya di onal bersyarat, MK menggunakan sifat putusan-
Putusan MK Nomor 105/PUU-XIV/2016 yang
nya yang declaratoir dan constitutief terutama
secara tegas menyatakan semua partai harus
dalam pengujian undang-undang. 46 Untuk itu
diverifikasi, sedangkan di Putusan MK Nomor
maka pernyataan terhadap suatu pasal yang
55 PUU-XVIII/2020 ini verifikasi faktual hanya
untuk partai yang tidak lolos ambang batas DPR.
45
Tentunya banyak pertimbangan yang diper- Mohammad Mahrus Ali, et al., Tindak Lanjut
Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat
timbangkan oleh MK baik itu realitas verifikasi Konstitusional Bersyarat Serta Memuat Norma Baru,
faktual selama ini yang senyatanya hanya Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 3, September, 2015,
dilakukan secara sampling. Sebagai salah satu hal. 634.
46
Asmaeny Azis, Constitutional Complaint dan
upaya penghematan anggara Pemilu. Begitu juga
Constitutional Question dalam Negara Hukum, Jakarta:
termasuk sebagai wujud penguatan sistim Kencana, 2018, hal. 76.
38
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
39
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
memperluas kewenangan MK untuk mem- (2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar
berikan putusan yang salah satunya bermakna putusannya menyatakan bahwa pem-
konstitusional bersyarat disamping putusan yang bentukan undang-undang dimaksud tidak
telah diatur sebelumnya. Hal ini penting untuk memenuhi ketentuan pembentukan
dapat segera diwujudkan karena dalam undang-undang berdasarkan Undang-
perjalanannya MK seringkali menerbitkan Undang Dasar Negara Republik
putusan yang bermakna konstitusional bersyarat. Indonesia Tahun 1945, undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan
Tidak adanya pengaturan seperti saat ini
hukum mengikat.
maka akan berpengaruh kepada kepastian
hukum dari putusan MK itu sendiri karena (3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang me-
memutuskan hal yang diluar dari kewenang- ngabulkan permohonan wajib dimuat
annya. Adapun dalam perubahan keempat dari dalam Berita Negara dalam jangka waktu
UU No. 23 Tahun 2004, guna menampung paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
kewenangan agar MK dapat menerbitkan sejak putusan diucapkan.
putusan yang bermakna konstitusional bersyarat,
Pasal 57A
Penulis mengusulkan suatu norma yakni sebagai
berikut: (1) Putusan Mahkamah Konstitusi dengan
persyaratan tertentu sebagaimana di-
Penyisipan ayat 1a dalam Pasal 57 dan Pasal
maksud dalam Pasal 57 ayat (1a) dapat
57A
berbentuk:
Pasal 57
a. konstitusional bersyarat; dan
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar b. inkonstitusional bersyarat.
putusannya menyatakan bahwa materi
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai-
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
mana dimaksud pada ayat (1)
undang-undang bertentangan dengan
disebabkan karena suatu norma
Undang-Undang Dasar Negara Republik
diujikan masih bersifat umum dan
Indonesia Tahun 1945, materi muatan
berpotensi multitafsir.
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-
undang tersebut tidak mempunyai Dengan demikian Penulis memandang
kekuatan hukum mengikat. penting bagi pembentuk undang-undang agar
segera merevisi kembali UU No. 23 Tahun 2004
(1a)Dalam hal ayat, pasal, dan/atau bagian
karena kehadiran UU No. 7 Tahun 2020
undang-undang bertentangan dengan
ternyata belum menyelesaian problematika tidak
Undang-Undang Dasar Negara
adanya dasar hukum bagi MK untuk
Republik Indonesia Tahun 1945
meberbitkan putusan yang bermakna
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
konstitusional bersyarat.
masih dapat dipandang konstitusional
maka dapat diberlakukan persyaratan
tertentu.
40
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
41
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
42
TINJAUAN YURIDIS DASAR HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang __________________. Hukum Tata Negara dan
Sumber Daya Air. Pilar-pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi
Press, 2006.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-
VI/2008 perihal Pengujian Undang- Arief, Sidharta. Meuwissen Tentang Pengembanan
Undang Nomor 39 Tahun 2007 Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan
tentang Perubahan Atas Undang- Filsafat Hukum, Bandung: PT Refika
Undang Nomor 11 Tahun 1995 Aditama, 2007.
tentang Cukai. Azis, Asmaeny. Constitutional Complaint dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU- Constitutional Question dalam Negara
VIII/2010 perihal Pengujian Undang- Hukum. Jakarta: Kencana, 2018.
Undang Nomor 36 Tahun 2009 Broto, Al Wisnu. Hakim dan Peradilan Di
tentang Kesehatan. Indonesia (Dalam Beberapa Aspek Kajian).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU- Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma
XVII/2019 perihal pengujian Undang- Jaya, 1997.
Undang Nomor 19 Tahun 2019 Corte Costituzionale. La Corte Costituzionale (The
tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Italian Constitutional Court), Roma:
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Segreteria Generale – Corte
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Constituzionale, 2012.
Pidana Korupsi.
Erwin, Muhammad. Filsafat Hukum. Jakarta:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55 PUU- Raja Grafindo, 2012.
XVIII/2020 perihal pengujian Undang-
Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Administrasi Terhadap Tindakan
Pemilihan Umum. Pemerintah. Bandung: PT. Alumni,
2004.
43
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 21-44
Mertokusumo, Sudikno. Bab-Bab Tentang Isra, Saldi. Peran Mahkamah Konstitusi dalam
Penemuan Hukum. Yogyakarta: PT. Citra Penguatan Hak Asasi Manusia di
Aditya Bakti, 1993. Indonesia. Jurnal Konstitusi, Vol.11, No
3, September 2014.
_________________________. Mengenal
Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Gaffar, Janedjri M. Kedudukan, Fungsi Dan Peran
Liberty, 2005. Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jurnal
_______________________. Penemuan Hukum
Mahkamah Konstitusi, Vol. 6, No. 1,
Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty,
Maret 2009.
2009.
Khalid, Afif. Penafsiran Hukum Oleh Hakim
Maggalatung, Salman dan Nur Rohim Yunus.
Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia.
Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara (Aktualisasi
Jurnal Al’ Adl, Volume VI, Nomor 11,
dalam Teori negara Indonesia). Bandung:
Januari-Juni 2014.
Fajar Media, 2013.
Lim, Jibong. Korean Constitutional Court Standing
The Constitutional Court of Korea. The First Ten
at the Crossroads: Focusing on Real Cases
Years of the Korean Constitutional Court
and Variational Types of Decisions,
(1988-1998), Republic of Korea: the
Loyola of Los Angeles Internasional and
Constitutional Court of Korea, 2001.
Comparative Law Review, Volume 24,
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Tahun 2002.
Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah
Mahrus Ali, Mohammad et.al. Tindak Lanjut
Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal
Putusan Mahkamah Konstitusi yang
dan Kepaniteraan Mahkamah
Bersifat Konstitusional Bersyarat Serta
Konstitusi, 2010.
Memuat Norma Baru. Jurnal Konstitusi,
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Vol. 12, No. 3, September, 2015.
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rahman, Faiz dan Dian Agung Wicaksono.
cetakan kedelapan. Jakarta: Sinar
Eksistensi dan Karakteristik Putusan
Grafika, 2004.
Bersyarat Mahkamah Konstitusi. Jurnal
Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni
Jurnal 2016.
Agus Susanto, Nur. Dimensi Aksiologis Dari Widarto, Joko. Penerapan Asas Putusan Hakim
Putusan Kasus “ST” Kajian Putusan Harus DIanggap Benar (studi Putusan
Peninjauan Kembali Nomor 97 Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-
PK/Pid.Sus/2012. Jurnal Yudisial Vol. 7 XI/2013). Lex Jurnalica, Volume 13,
No. 3 Desember 2014. Nomor 1, April 2016.
44
DUKUNGAN OPTIMALISASI LAYANAN PENYALURAN DELEGASI MASYARAKAT
OLEH SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI DALAM PELAKSANAAN TUGAS DPR RI
BERDASARKAN PASAL 72 HURUF G UNDANG-UNDANG TENTANG MAJELIS
PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN
PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Mekanisme pembentukan undang-undang harus dilakukan secara transparan agar masyarakat dapat
berpartisipasi memberikan masukan dalam suatu permasalahan. Salah satu fungsi DPR RI yaitu
fungsi legislasi, membentuk UU. Materi muatan UU yang ditujukan bagi kepentingan masyarakat
luas tentu harus membuka masuknya aspirasi masyarakat agar menghasilkan suatu UU yang
demokratis, aspiratif, dan partisipatif. Setjen DPR RI sebagai supporting system berfungsi memberikan
dukungan pelaksanaan tugas DPR RI dalam menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3.
Penulisan ini mengangkat permasalahan bagaimana penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat
dalam bidang legislasi di DPR RI dan bagaimana upaya Setjen DPR RI sebagai supporting system
mendukung DPR RI melaksanakan tugas menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti
aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU tentang MD3. Tulisan ini bertujuan
untuk mengetahui penyerapan aspirasi atau partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI
dan upaya Setjen DPR RI mendukung DPR RI melaksanakan tugas menyerap, menghimpun,
menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU
tentang MD3. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan
perundang-undangan. Penyerapan aspirasi/partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi di DPR RI
dapat dilakukan pada tiga tahap pembentukan UU, yaitu pada tahap penyusunan, pembahasan, dan
tahap pelaksanaan UU. Dukungan yang dilakukan Setjen DPR RI dalam pelaksanaan tugas DPR RI
sesuai Pasal 72 huruf g UU tentang MD3 yaitu dengan mengoptimalkan layanan penyaluran delegasi
masyarakat agar menjadi lebih efektif dan efisien dengan menghadirkan SILUGAS, yaitu program
optimalisasi layanan penyaluran delegasi masyarakat berbasis elektronik.
45
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 45-64
Abstract
The mechanism for the formation of laws must be carried out in a transparent manner so that the public can
participate. One of the functions of the DPR RI is the legislative function. The contents of the law which are
aimed at the interests of the wider community must certainly open the entry of people's aspirations in order to
produce a law that is democratic, aspirational and participatory. The Secretariat General of the DPR RI as a
supporting system functions to provide support for the DPR RI's duties in absorbing, gathering, accommodating
and following up people's aspirations as regulated in Article 72 letter g of the Law on MD3. This writing raises
the issue of how to absorb people's aspirations or participation in legislation in the DPR RI and how the efforts of
the Secretariat General to support the DPR RI in carrying out its task as regulated in Article 72 letter g of the
Law on MD3. This paper aims to determine the absorption of people's aspirations or participation in the
legislation and the efforts of the the Secretariat General to support the DPR RI in carrying out the task of
absorbing, gathering, accommodating and following up on people's aspirations. This writing uses a normative
juridical method with a statutory approach. The absorption of public aspirations/participation in the legislation
can be carried out at three stages of law formation, namely at the drafting, deliberation, and implementation of
the law. Meanwhile, the efforts made by the Secretariat General in optimizing the distribution of community
delegation services to be more effective and efficient by presenting SILUGAS, which is an electronic-based
community delegation service optimization program.
46
DUKUNGAN OPTIMALISASI LAYANAN PENYALURAN DELEGASI MASYARAKAT OLEH SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI
47
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 45-64
dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Pelaksanaan Sebagai supporting system, Setjen DPR RI harus
tugas tersebut sebagai upaya untuk meningkat- terus berupaya untuk meningkatkan perannya
kan kinerja lembaga perwakilan berdasarkan agar fungsi representasi DPR RI dalam me-
prinsip saling mengimbangi checks and balances, nyerap, menghimpun, menampung dan me-
yang dilandasi prinsip penyelenggaraan pe- nindaklanjuti aspirasi rakyat dapat dilakukan
merintahan yang bersih dan berwibawa serta dengan efektif dan efisien.
sekaligus meningkatkan kewibawaan dan ke-
Berkembangnya peradaban, majunya
percayaan masyarakat terhadap fungsi represent-
teknologi komunikasi dan informasi serta
tasi lembaga perwakilan yang memperjuangkan
terjadinya perubahan sosial yang cepat, sangat
aspirasi masyarakat. 3
berpengaruh terhadap kondisi jiwa masyarakat
Dalam mendukung kelancaran pelaksanaan khususnya pada tingkat ketegangan dan
tugas DPR RI tersebut, berdasarkan Pasal 413 emosional masyarakat. 4 Oleh karena itu,
sampai dengan Pasal 415 Undang-Undang dukungan Setjen DPR RI dalam meningkatkan
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Per- kualitas pelayanan khususnya kepada masyarakat
musyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan (delegasi masyarakat) dalam menyampaikan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan aspirasinya guna menciptakan citra positif DPR
Perwakilan Rakyat Daerah (UU tentang MD3) RI di masyarakat menjadi sangat penting untuk
dibentuk Sekretariat Jenderal DPR (Setjen DPR dilakukan.
RI), yang susunan organisasi dan tata kerjanya
Berdasarkan uraian sebelumnya tersebut,
diatur dengan peraturan Presiden atas usul
penting untuk dikaji keterkaitan antara pe-
lembaga DPR. Setjen DPR RI sebagai unsur
nyampaian aspirasi masyarakat sebagaimana di-
pendukung (Supporting System) DPR RI berfungsi
jamin konstitusi dan dukungan Setjen DPR RI
memberikan dukungan pelaksanaan tugas dan
dalam mendukung tugas DPR RI sebagaimana
fungsi konstitusional DPR RI tersebut.
termaktub dalam Pasal 72 huruf g UU tentang
Hal ini sesuai dengan Pasal 3 Peraturan MD3 khususnya di bidang legislasi melalui pe-
Presiden Nomor 26 Tahun 2020 Tentang manfaatan teknologi yang berbasis elektronik
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat demi peningkatan kualitas pelayanan ke-
Republik Indonesia (Perpres No. 26 Tahun dewanan.
2020) yang menyatakan bahwa Setjen DPR RI
B. Permasalahan
mempunyai tugas mendukung kelancaran pe-
laksanaan wewenang dan tugas DPR RI di Berdasarkan pemaparan mengenai latar
bidang persidangan, administrasi, dan keahlian. belakang yang diuraikan sebelumnya maka per-
3
Lihat Penjelasan Umum dan Pasal 72 huruf
g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
4
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan H. Sadjijono, Hukum Antara Sollen dan Sein
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan (Dalam Perspektif Praktek Hukum di Indonesia), Ubhara
Perwakilan Rakyat Daerah. Press, Surabaya, 2017, hal. 80.
48
DUKUNGAN OPTIMALISASI LAYANAN PENYALURAN DELEGASI MASYARAKAT OLEH SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI
masalahan yang menjadi pokok bahasan dalam mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan
tulisan ini yaitu: perundang-undangan, putusan pengadilan, per-
janjian serta doktrin (ajaran). 5
1. bagaimana penyerapan aspirasi atau
partisipasi masyarakat dalam bidang legislasi Berkaitan dengan permasalahan dalam
di DPR RI? tulisan ini maka pengkajian dilakukan dengan
menganalisis Pasal 72 huruf g UU MD 3,
2. bagaimana upaya Setjen DPR RI sebagai
Keputusan Sekretariat Jenderal DPR RI, dan
supporting system mendukung DPR RI
Pedoman Penyaluran Delegasi Masyarakat di
melaksanakan tugas menyerap, meng-
Sekretariat Jenderal DPR RI. Penulisan ini
himpun, menampung dan menindaklanjuti
dilakukan dengan cara studi kepustakaan atau
aspirasi rakyat sebagaimana diatur dalam
data sekunder yang terdiri atas bahan hukum
Pasal 72 huruf g UU tentang MD3.
primer, bahan hukum sekunder, serta bahan
Hal ini sangat penting untuk dilakukan hukum tersier. 6 Adapun kajian bahan hukum
meng-ingat masih kurangnya sosialisasi mengenai primer dalam penulisan ini terdiri dari peraturan
upaya penyerapan aspirasi yang datang secara perundang-undangan serta buku yang terkait
langsung ke DPR RI. dengan hukum, penyampaian pendapat di muka
C. Tujuan Penulisan umum, dan penyampaian aspirasi masyarakat
lainnya.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui:
II. Pembahasan
1. penyerapan aspirasi atau partisipasi
masyarakat dalam bidang legislasi di DPR A. Kerangka Konsepsional
RI; dan 1. Undang-Undang
2. upaya Setjen DPR RI sebagai supporting Penyelenggaraan negara yang baik me-
system mendukung DPR RI melaksanakan megang peran penting bagi pencapaian cita-cita
tugas menyerap, menghimpun, menampung perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang
dan menindaklanjuti aspirasi rakyat sebagai- adil dan makmur. 7 Berdasarkan Pasal 20 UUD
mana diatur dalam Pasal 72 huruf g UU NRI Tahun 1945, DPR RI memegang kekuasaan
tentang MD3. dalam membentuk undang-undang. Sedangkan
D. Metode Penulisan
5
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto
Metode penulisan ini menggunakan metode Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
yuridis normatif dengan pendekatan per-aturan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 34.
6
perundang-undangan. Penelitian hukum H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cetakan Ke-3, hal. 23-
normatif adalah penelitian hukum yang me-
24.
letakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem 7
Bambang Waluyo, Penegakan Hukum Di
norma. Sistem norma yang dimaksud adalah Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal.92.
49
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 45-64
berdasarkan Pasal 5 UUD NRI, Presiden berhak dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
mengajukan rancangan undang-undang kepada persetujuan bersama Presiden. Undang-Undang
DPR RI. 8 Undang-undang merupakan hukum merupakan bagian dari Peraturan perundang-
dalam bentuk tertulis yang dibentuk berdasarkan undangan sehingga pembentukan Undang-
kewenangan yang dimiliki oleh pembentuk Undang juga mencakup tahapan perencanaan,
undang-undang. Pembentukan undang-undang penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
merupakan bagian dari pembangunan hukum penetapan, dan pengundangan.
yang mencakup pembangunan sistem hukum
Begitupula dalam pembentukan peraturan
nasional dengan tujuan mewujudkan tujuan
perundang-undangan yang harus berdasarkan
negara yang dilakukan secara terencana melalui
pada asas pembentukan peraturan perundang-
program secara sistematik. Hal ini tercermin
undangan yang baik, pembentukan undang-
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
undang juga harus dilakukan sesuai asas
yang dibuat ketika pergantian pemerintahan baik
pembentukan peraturan peraturan perundang-
untuk jangka panjang (Prolegnas prioritas 5
undangan khususnya asas keterbukaan. Yang
tahunan) maupun jangka pendek (Prolegnas
dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah
prioritas tahunan) yang ditetapkan setiap
bahwa dalam pembentukan peraturan per-
tahunnya.
undang-undangan mulai dari perencanaan, pe-
Secara yuridis, berdasarkan Undang-Undang nyusunan, pembahasan, pengesahan atau pe-
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan netapan, dan pengundangan bersifat transparan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
telah diubah denganUndang-Undang Nomor 15 masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang- luasnya untuk memberikan masukan dalam
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. 9
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2. Partisipasi Masyarakat
(UU tentang Pembentukan Peraturan Per-
undang-undangan), pembentukan peraturan per- Partisipasi masyarakat (public participation)
undang-undangan adalah pembuatan Peraturan pada tatanan pemerintahan yang demokratis
Perundang-undangan yang mencakup tahapan menghendaki adanya keterlibatan publik dalam
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pe- proses pengambilan keputusan (decision-making
ngesahan atau penetapan, dan pengundangan. process). Adanya keterbukaan pemerintah ter-
Khusus mengenai Undang-Undang, dalam UU hadap publik dimungkinkan keterlibatan
tentang Pembentukan Peraturan Perundang- masyarakat untuk berpartisipasi, baik dari proses
undangan, Undang-Undang didefinisikan se- perancangan peraturan sampai dengan diberlaku-
bagai peraturan perundang-undangan yang kannya suatu peraturan. Akan tetapi keterlibatan
8 9
Lihat Pasal 5 dan Pasal 20 UUD NRI Tahun Lihat Pasal 7 UU tentang P3 beserta
1945. penjelasan Pasalnya.
50
DUKUNGAN OPTIMALISASI LAYANAN PENYALURAN DELEGASI MASYARAKAT OLEH SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI
masyarakat untuk ikut serta dalam pembentukan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. 13Hal
suatu peraturan perundang-undangan akan men- ini merupakan jaminan sekaligus menggambar-
jadi lebih efisien sesuai dengan harapan kita kan hak konstitusional setiap warga negara atas
bersama untuk mencapai suatu pemerintahan mengeluarkan pendapat atau mengeluarkan
yang baik (good governance). 10 pikiran dengan lisan dan tulisan. Jaminan ter-
sebut ditindaklanjuti dengan pengaturan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
Pasal 72 huruf g UU tentang MD3 yang me-
menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah
nyatakan bahwa DPR RI bertugas menyerap,
negara hukum. Konsekuensinya seluruh hukum
menghimpun, menampung, dan menindak-
yang berlaku di negara Indonesia merupakan
lanjuti aspirasi masyarakat.
suatu sistem. Suatu sistem merupakan suatu
tatanan dan satuan yang utuh, yang terdiri atas Hampir 97 persen negara yang ada pada
bagian serta unsur yang saling berkaitan dan zaman modern sekarang mengklaim menganut
saling berhubungan fungsional secara teratur, sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat, tetapi
dan merupakan totalitas. Konsekuensinya kaidah praktik dalam penerapannya di lapangan ber-
dalam pasal-pasal yang terkandung dalam UUD beda-beda antara satu negara dengan yang lain. 14
NRI Tahun 1945 harus konsisten dan koheren Menurut Miriam Budardjo, badan legislatif
dengan pembukaan UUD NRI Tahun 1945. 11 adalah lembaga yang “legislate” atau lembaga
pembuat undang-undang. Anggota -anggotanya
Dengan merujuk pada tujuan bernegara
dianggap mewakili rakyat dan nama lain yang
yang salah satunya yaitu "... memajukan
sering dipakai adalah parlemen. Keterlibatan
kesejahteraan umum", maka akan bisa dimaknai
rakyat dalam pengelolaan dan pengambilan ke-
bahwa pembentukan Undang-Undang harus
putusan pemerintahan menjadi indikator ke-
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
daulatan rakyat, namun tidak dimaksudkan
masyarakat. Tujuan ini kemudian dipertegas di
bahwa seluruh rakyat harus terlibat secara
dalam batang tubuh UUD NRI Tahun 1945
langsung. Untuk itu, diperlukan adanya lembaga
yakni Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 12 dan
perwakilan rakyat yang bertugas untuk menerima
dan menyalurkan aspirasi masyarakat, merumus-
kan peraturan sebagai pijakan di dalam
10
Tomy M. Saragih, Konsep Partisipasi
pengelolaan pemerintahan, dan melakukan
Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah
Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan, Jurnal Sasi,
Vol. 17 No. 3, Bulan Juli-September 2011, hal.11-20. tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-
11
M.S Kaelan dalam Bagus Prasetyo, Analisis Undang.”
13
Yuridis Tentang Upah Minimum Dalam Undang-Undang Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas
Ditinjau Dari Perspektif Konstitusi, Prodigy, Jurnal kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
Perundang-undangan, Vol 8 No.1, Juli 2020, hal.80. pendapat.”
12 14
Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara &
menyatakan bahwa “Kemerdekaan berserikat dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal.
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan 294.
51
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 45-64
budgeting sesuai dengan kehendak dan kebutuhan DPR RI sebagai lembaga legislatif berfungsi
masyarakat. 15 sebagai lembaga penyerap dan penyalur aspirasi
masyarakat.
Secara umum, fungsi Lembaga Legislatif
dapat digambarkan sebagai Policy Making karena Menurut Romli Atmasasmita, faktor konten
merumuskan kebijakan umum yang sesuai suatu undang-undang memerlukan perhatian
dengan tuntutan masyarakat, budgeting, karena sebagai salah satu indikator kesadaran hukum
menyusun anggaran penerimaan dan belanja karena pengetahuan dan pemahaman pem-
negara, dan controlling, karena mengawasi pe- bentuk undang-undang mempengaruhi produk
laksanaan undang–undang dan penerimaan dan suatu undang-undang, dan kualitas undang-
penggunaan anggaran. Untuk melaksanakan undang akan mempengaruhi persepsi dan sikap
berbagai fungsi tersebut maka anggota DPR RI serta kepatuhan masyarakat terhadap undang-
tersebut memiliki sejumlah hak dan kewajiban. undang yang bersangkutan. Secara umum,
Adapun salah satu dari kewajibannya tersebut bentuk partisipasi masyarakat dapat dilakukan
yaitu melaksanakan tugasnya untuk menyerap, pada 3 (tiga) tahap pembentukan undang-
menghimpun, menampung, dan menindak- undang, yaitu pada tahap ante legislative, tahap
lanjuti aspirasi masyarakat. legislative, dan tahap post legislative. 18
Menurut Suharto, Masyarakat adalah se- Pada tahap ante legislative sebenarnya
kelompok orang yang memiliki perasaan yang terdapat empat bentuk partisipasi masyarakat
sama atau menyatu satu sama yang lainnya yang dapat dilakukan, yaitu: 1) penelitian; 2)
karena mereka saling berbagi identitas, ke- diskusi, lokakarya dan seminar; 3) pengajuan
pentingan yang sama, perasaan memiliki, dan usul inisiatif; dan 4) perancangan RUU.
biasanya tinggal di satu tempat yang sama. 16 Kemudian, pada tahap legislative terdapat enam
Istilah partisipasi masyarakat dapat dijumpai bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilaku-
dalam berbagai terminologi. Beberapa di- kan dalam proses pembentukan undang-undang,
antaranya menyebutkan, peran serta masyarakat, yaitu: 1) audiensi atau RDPU di DPR; 2) RUU
inspraak (Bahasa Belanda), public participation alternatif; 3) masukan melalui media cetak; 4)
(Inggris), atau partisipasi publik. 17 Hal ini berarti masukan melalui media elektronik; 5) unjuk
rasa; dan 6) diskusi, lokakarya, serta seminar.
Sedangkan pada tahap post legislative terdapat
15
Patawari, Konsep Negara Hukum Dan tiga bentuk partisipasi masyarakat, berupa: 1)
Keterwakilan Rakyat (Perbandingan Sistem Parlemen
Beberapa Negara), Perpustakaan Nasional: Katalog unjuk rasa terhadap RUU baru; 2) tuntutan
Dalam Terbitan (KDT), 2017, hal.vii. judicial review terhadap UU baru; dan 3)
16
Edie Suharto, Membangun Masyarakat
Memberdayakan,Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan,
Kesejahteraan Sosial dan Pekerja Sosial, Bandung: Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009, hal. 185.
18
Refika Aditama, 2006, hal.47. Saifudin, Partisipasi Publik dalam
17
Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Peraturan Perundang-undangan yang Baik: Gagasan Yogyakarta: FH UII Press, 2009, hal. 306-316.
52
DUKUNGAN OPTIMALISASI LAYANAN PENYALURAN DELEGASI MASYARAKAT OLEH SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI
sosialisasi UU baru melalui penyuluhan, diskusi, ningkatkan kualitas pelayanan kepada masya-
lokakarya dan seminar. 19 rakat dalam menyalurkan delegasi masyarakat
yang ingin berpartisipasi dalam memberikan
Adapun faktor yang mempengaruhi
masukan di bidang legislasi guna menciptakan
partisipasi masyarakat dapat terjadi secara
citra positif DPR RI di masyarakat. Hal tersebut
internal seperti kemampuan dan kemauan dari
merupakan bagian dari peran Setjen DPR RI
masyarakat untuk berpartisipasi serta faktor
mendukung tugas DPR RI dalam menyerap,
secara eksternal seperti peran dari lembaga
menghimpun, menampung dan menindaklanjuti
formal yang ada termasuk aparat didalamnya.
aspirasi rakyat. 20
Dengan demikian, dalam negara hukum yang
demokratis peranan rakyat sangat diperlukan Selain itu, dalam rangka mendukung tugas
dalam menentukan masalah apa yang akan dan wewenang DPR RI sebagai lembaga
dibahas dan diputuskan serta berperan dalam parlemen yang modern, terbuka, aspiratif, dan
pengambilan keputusan. Hal ini dapat disebut berintegritas, Setjen DPR RI harus menjadi
sebagai bentuk hubungan antara hukum dan supporting system yang profesional dan modern.
masyakat yang mencerminkan bahwa hukum Salah satu upaya mewujudkan tujuan tersebut
dibentuk oleh, dan diperlukan bagi masyarakat. adalah dengan melakukan berbagai perbaikan
Hal tersebut seperti adigium, “ubi societies, ubi melalui serangkaian upaya terpadu di sektor
ius”, bahwa tiada hukum tanpa masyarakat dan birokrasi yang meliputi tata kelola pemerintahan
tiada masyarakat tanpa hukum, yang diungkap- yang berkualitas, terlaksananya keterbukaan
kan oleh Cicero sebagai seorang filosof. informasi dan pemerintahan berbasis elektronik,
dan peningkatan kualitas pelayanan kedewanan.
3. Sekretariat Jenderal DPR RI
Hal ini sejalan dengan Pasal 3 Perpres No.
Peningkatan partisipasi masyarakat harus
26 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa
menjadi target utama bagi DPR RI khususnya di
Sekretariat Jenderal mempunyai tugas men-
bidang legislasi. Pemberian kemudahan akses
dukung kelancaran pelaksanaan wewenang dan
masukan masyarakat melalui media informasi
tugas Dewan Perwakilan Rakyat Republik
website dapat menjadi alternatif di saat keter-
Indonesia di bidang persidangan, administrasi,
batasan waktu untuk menjemput aspirasi ke
dan keahlian. Khusus mengenai penyerapan
daerah. Sekretariat Jenderal DPR RI (Setjen DPR
aspirasi masyarakat, dalam Pasal 20 ayat (2)
RI) sebagai unsur pendukung (Supporting System)
Peraturan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan
DPR RI berfungsi memberikan dukungan pe-
Rakyat Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
laksanaan tugas dan fungsi konstitusional DPR
2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
RI tersebut. Sebagai supporting system, Sekretariat
Jenderal DPR RI harus terus berupaya untuk me- 20
Pasal 72 huruf g Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
19
Saifudin, Partisipasi Publik dalam Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal. Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat
306-316. Daerah.
53
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 45-64
Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI Berdasarkan Pasal 118 Peraturan DPR RI
sebagaimana diubah dengan Peraturan Sekretaris Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib
Jenderal DPR RI Nomor 2 Tahun 2016 di- (Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020), Badan
sebutkan bahwa subbagian Penyaluran Delegasi Legislasi dalam menyusun Prolegnas di
Masyarakat mempunyai tugas pelaksanaan pe- lingkungan DPR dilakukan dengan memper-
nyaluran delegasi masyarakat dalam rangka timbangkan usulan rancangan undang-undang
penyampaian aspirasi masyarakat kepada Dewan dari Fraksi, komisi, Anggota, dan/atau
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, pe- masyarakat. Selanjutnya, dalam Pasal 128 Tatib
laksanaan urusan logistik keprotokolan, dan DPR RI, dalam penyusunan rancangan undang-
pelaksanaan tata usaha Bagian U-PDM. undang, baik Anggota, komisi, gabungan komisi,
atau maupun Badan Legislasi dapat meminta
B. Analisis
masukan dari masyarakat sebagai bahan untuk
1. Pelaksanaan Penyerapan Aspirasi Atau menyempurnakan konsepsi rancangan undang-
Partisipasi Masyarakat Dalam Bidang undang. Untuk mendapatkan masukan tersebut,
Legislasi di DPR RI dapat melakukan rapat dengar pendapat umum;
DPR RI memiliki tiga fungsi utama, yang kunjungan kerja ke daerah; dan kunjungan kerja
salah satunya yaitu fungsi legislasi. Fungsi ke luar negeri.
legislasi ini diamanatkan berdasarkan Pasal 20 Dalam pembahasan Rancangan Undang-
ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu, “Dewan Per- Undang (RUU), Komisi, gabungan komisi,
wakilan Rakyat memegang kekuasaan mem- Badan Legislasi, Badan Anggaran, atau panitia
bentuk undang undang.” Hal ini berimplikasi khusus dapat meminta menteri yang mewakili
bahwa setiap pembentukan Undang-Undang Presiden membahas rancangan undang-undang
harus melalui DPR RI sebagai lembaga legislatif untuk mengundang masyarakat dalam Rapat
yang menjadi representasi dari rakyat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk
Indonesia. 21 Meskipun DPR RI memegang mendapatkan masukan terhadap rancangan
kekuasaan dalam membentuk undang-undang, undang-undang yang sedang dibahas. Selain itu,
berdasarkan Pasal 5 UUD NRI, Presiden juga dapat juga mengadakan kunjungan kerja ke
memiliki hak mengajukan rancangan undang- daerah dalam rangka mendapatkan masukan dari
undang kepada DPR RI. Namun, dikarenakan pemerintah daerah dan/atau masyarakat di
keterbatasan waktu yang dimiliki penulis maka daerah. Bahkan, dapat juga mengadakan
uraian selanjutnya hanya terkait rancangan kunjungan kerja ke luar negeri dengan dukungan
undang-undang yang berasal dari DPR RI. anggaran DPR dan persetujuan pimpinan DPR.
Hal ini tertuang dalam Pasal 156 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3). Namun, terkait usulan rencana
21
kunjungan ke luar negeri tersebut setidaknya
Moh. Mahfud MD, 2011, Perdebatan
harus melihat urgensi; kemanfaatan; dan
Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Rajawali Pers, Jakarta, hlm.123 keterkaitan negara tujuan dengan materi RUU.
54
DUKUNGAN OPTIMALISASI LAYANAN PENYALURAN DELEGASI MASYARAKAT OLEH SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI
23
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari,
2011, Dasar-dasar Politik Hukum, Rajawali Pers,
22
Lihat Pasal 156 Tatib DPR RI. Jakarta, hlm. 27-28.
55
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 45-64
56
DUKUNGAN OPTIMALISASI LAYANAN PENYALURAN DELEGASI MASYARAKAT OLEH SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI
(SILUGAS) yang dapat diakses melalui website Dukungan Setjen DPR RI terkait layanan
www.dpr.go.id atau pdm.dpr.go.id. penyaluran delegasi masyarakat ini didasarkan
atas 3 (tiga) bentuk, yaitu:
Gambar 1: Alur Pelayanan Delegasi Masyarakat melalui penyampaian aspirasi secara mandiri.
57
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 45-64
Terdapat 3 (tiga) peran yang terlibat dalam Masyarakat Biro Protokol, Bagian Sekretariat
semua proses penyaluran delegasi ini, yaitu : AKD dan Sekretariat Fraksi.
Bagian Upacara dan Penyaluran Delegasi
58
DUKUNGAN OPTIMALISASI LAYANAN PENYALURAN DELEGASI MASYARAKAT OLEH SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI
5) Bagian Upacara dan Penyaluran Delegasi Terdapat 4 (empat) peran yang terlibat dalam
Masyarakat di Biro Protokol menerima, me- proses pelayanan penyaluran delegasi masyarakat
nyalurkan, dan mendampingi delegasi masya- melalui penyampaian aspirasi secara langsung,
rakat hingga delegasi masyarakat meninggal- yaitu Bagian Pengamanan Dalam, Bagian
kan kompleks perkantoran DPR RI. Upacara dan Penyaluran Delegasi Masyarakat di
6) Operator Bagian Upacara dan Penyaluran Biro Protokol, Bagian Sekretariat AKD, dan
Delegasi Masyarakat di Biro Protokol meng- Sekretariat Fraksi.
input status permohonan menjadi selesai.
Gambar 3: Alur Pelayanan Delegasi Masyarakat melalui penyampaian pendapat di muka umum.
Untuk menggunakan Aplikasi Layanan lain yang diperlukan untuk diserahkan ke-
Penyaluran Delegasi Masyarakat Setjen DPR RI pada petugas di bagian Operator Direktorat
melalui penyampaian pendapat di muka umum Pengamanan Objek Vital dan/atau Bagian
maka alur yang digunakan adalah sebagai Pengamanan Dalam.
berikut:
2) Operator Direktorat Pengamanan Objek
1) Delegasi melaporkan maksud dan tujuan ke- Vital atau Bagian Pengamanan Dalam
giatan yang akan dilakukan serta persyaratan menginput maksud dan tujuan delegasi
59
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 45-64
masyarakat tersebut dan meminta delegasi capainya kualitas penyampaian aspirasi dalam
menunggu hingga terdapat kepastian pe- pelaksanaan tugas dan wewenang DPR RI
nerima delegasi masyarakat. sebagaimana diamanatkan dalam UU tentang
3) Operator Bagian Upacara dan Penyaluran MD3 dapat meningkatkan kinerja DPR RI
Delegasi Masyarakat di Biro Protokol sebagai representasi lembaga perwakilan yang
menindaklanjuti permohonan dan ber- memperjuangkan aspirasi masyarakat.
koordinasi dengan Bagian Sekretariat AKD Selain itu, upaya ini merupakan upaya
atau Sekretariat Fraksi. Setjen DPR RI yang memiliki kewajiban dalam
4) Operator Bagian Sekretariat AKD atau memfasilitasi setiap delegasi masyarakat me-
Sekretariat Fraksi menginput nama pimpin- nyampaikan aspirasinya untuk menyempurna-
an/ anggota/ pihak yang menerima kan sistem yang telah ada sebagai bagian
permohonan penyampaian aspirasi delegasi penting dari perkembangan supporting system
masyarakat. yang profesional dan modern dalam mem-
5) Bagian Upacara dan Penyaluran Delegasi berikan dukungan pelaksanaan tugas dan fungsi
Masyarakat di Biro Protokol menerima, konstitusional DPR RI.
menyalurkan, dan mendampingi delegasi
Melalui penguatan berbagai produk hukum
masyarakat hingga delegasi masyarakat
terkait aplikasi tersebut telah menjadikan se-
meninggalkan komplek perkantoran DPR
buah aplikasi yang lebih informatif dan fungsi-
RI.
onal karena dapat sebagai alat bantu koordinasi
6) Operator Bagian Upacara dan Penyaluran
semua pihak yang terkait, serta menjadikan
Delegasi Masyarakat di Biro Protokol meng-
SILUGAS sebagai basis data yang terpusat
input status permohonan menjadi selesai.
untuk semua data PDM yang diperlu-kan se-
Terdapat 5 (lima) peran yang terlibat dalam hingga dapat digunakan untuk keperluan
proses Pelayanan penyaluran Delegasi Masya- evaluasi, laporan, dan statistik. Terakhir,
rakat melalui penyampaian pendapat di muka SILUGAS akan dipromosikan secara luas baik
umum, yaitu Direktorat Pengamanan Obyek menggunakan media sosial resmi milik DPR RI
Vital, Bagian Pengamanan Dalam, Bagian maupun dengan mensosialisasikan secara
Upacara dan Penyaluran Delegasi Masyarakat di langsung antara lain kepada berbagai
Biro Protokol, Bagian Sekretariat AKD, dan komunitas, perguruan tinggi, dan DPRD.
Sekretariat Fraksi.
Dengan mengoptimalkan aplikasi yang
Dukungan Setjen DPR RI melalui optimal- telah ada sebelumnya, diharapkan lebih me-
isasi aplikasi ini diharapkan akan menjadikan mudahkan unit kerja terkait dan memastikan
penyampaian aspirasi masyarakat dapat terdata koordinasi antar unit kerja akan bekerja dengan
dengan baik karena rekam jejak penyaluran baik dan bertanggung jawab. Selain itu, hal ini
delegasi masyarakat dapat terlihat secara tentu akan lebih memudahkan bagi masyarakat
transparan pada aplikasi dan harapan ter- untuk mengetahui tahap atau alur ketika akan
60
DUKUNGAN OPTIMALISASI LAYANAN PENYALURAN DELEGASI MASYARAKAT OLEH SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI
61
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 45-64
62
DUKUNGAN OPTIMALISASI LAYANAN PENYALURAN DELEGASI MASYARAKAT OLEH SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI
Ali, H. Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Legal Survey), diterjemahkan oleh Tim
Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Ke-3, Kawantama, UNESCO, Jakarta: 2004.
2011.
Patawari, Konsep Negara Hukum Dan Keterwakilan
Dewata, Mukti Fajar Nur dan Achmad, Yulianto. Rakyat (Perbandingan Sistem Parlemen
Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Beberapa Negara), Perpustakaan Nasional:
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Katalog Dalam Terbitan (KDT), 2017.
2010.
Sadjijono, H. Hukum Antara Sollen dan Sein
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. Dasar- (Dalam Perspektif Praktek Hukum di
dasar Politik Hukum, Rajawali Pers: Indonesia), Ubhara Press: Surabaya, 2017.
Jakarta, 2011.
Saifudin, Partisipasi Publik dalam Pembentukan
M.S Kaelan, Inkonsisteni Dan Inkoherensi Dalam Peraturan Perundang-undangan,
UUD NRI Tahun 1945 Hasil Amandemen Yogyakarta: FH UII Press, 2009.
(Kajian Filosofis-Yuridis), Jakarta: Badan
Suharto, Edie. Membangun Masyarakat
Pengkajian Majelis Permusyawaratan
Memberdayakan, Rakyat: Kajian Strategis
Rakyat Republik Indonesia Bekerjasama
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan
dengan Paradigma Yogyakarta, 2017,
Pekerja Sosial, Bandung: Refika Aditama,
dalam Bagus Prasetyo, Analisis Yuridis
2006.
Tentang Upah Minimum Dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Waluyo, Bambang. Penegakan Hukum Di
Ketenagakerjaan Ditinjau Dari Perspektif Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Konstitusi, Prodigy, Jurnal Perundang- Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan
undangan, Vol 8, No.1, Juli 2020. Perundang-undangan yang Baik: Gagasan
Mahfud, Mohammad, MD. Perdebatan Hukum Pembentukan Undang-undang
Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Berkelanjutan, Jakarta: Raja Grafindo
Rajawali Pers: Jakarta, 2011. Persada, 2009.
63
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 45-64
Laman
64
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK
GANJA DALAM KONVENSI TUNGGAL NARKOTIKA 1961 TERHADAP
UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Abstrak
Saat ini Komisi PBB untuk Narkotika telah mengambil keputusan mengeluarkan ganja dari
golongan IV menjadi golongan 1 dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Di Indonesia, UU tentang Narkotika ganja masuk dalam
golongan 1 yang artinya ganja hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian dan tidak
dapat digunakan untuk terapi. Dengan adanya perubahan penggolongan narkotika dalam konvensi
tersebut maka bagaimana dengan posisi ganja yang diatur dalam UU tentang Narkotika.
Permasalahan dalam penulisan ini yaitu bagaimana perubahan penggolongan narkotika khususnya
untuk ganja dari golongan 1V ke golongan I dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 memengaruhi
posisi ganja dalam UU tentang Narkotika dan apakah dengan perubahan tersebut UU tentang
Narkotika masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Tujuan
penulisan yaitu untuk mengetahui bagaimana perubahan penggolongan narkotika untuk ganja dalam
Konvensi Tunggal Narkotika memengaruhi terhadap penggolongan ganja dalam UU tentang
Narkotika dan apakah dengan perubahan penggolongan Narkotika tersebut UU tentang Narkotika
masih sesuai atau tidak dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman. Metode penulisan ini
menggunakan metode penulisan yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-
undangan dan kajian pustaka atau literatur sebagai bahan sekunder. UU tentang Narkotika mengatur
bahwa perubahan penggolongan narkotika berdasarkan pada kesepakatan internasional dan
kepentingan nasional. Kepentingan nasional artinya mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis,
yuridis dan karakteristik masyarakat Indonesia. Perubahan penggolongan narkotika dalam Konvensi
Tunggal Narkotika 1961 tidak serta merta memengaruhi penggolongan narkotika untuk ganja dalam
UU tentang Narkotika karena harus mempertimbangkan juga dari aspek kepentingan nasional. Jika
dilihat dari aspek kepentingan nasional maka UU tentang Narkotika masih sesuai dengan kebutuhan
hukum dan perkembangan zaman.
65
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
Abstract
Currently, the United Nations Commission on Narcotics has decided to issue marijuana from group
IV to group 1 in the 1961 Single Convention on Narcotics so that it can be used for medical purposes. In
Indonesia, the Law on Narcotics marijuana is included in group 1, which means that marijuana can only be
used for research purposes and cannot be used for therapy. With the change in the classification of narcotics in
the convention, what about the position of marijuana as regulated in the Law on Narcotics. The problem in this
paper is how the change in the classification of narcotics, especially for marijuana from group 1V to group I in
the 1961 Single Convention on Narcotics affects the position of marijuana in the Law on Narcotics and whether
with these changes the Law on Narcotics is still in accordance with the legal needs and developments of the times.
The purpose of writing is to find out how changes in the classification of narcotics for marijuana in the Single
Convention on Narcotics affect the classification of marijuana in the Law on Narcotics and whether with the
change in the classification of Narcotics, the Law on Narcotics is still in accordance with the legal needs and
developments of the times. This writing method uses a normative juridical writing method with an approach to
legislation and literature review or literature as secondary material. The Law on Narcotics stipulates that changes
in the classification of narcotics are based on international agreements and national interests. National interest
means considering the philosophical, sociological, juridical and characteristic aspects of Indonesian society.
Changes in the classification of narcotics in the Single Convention on Narcotics 1961 do not necessarily affect
the classification of narcotics for marijuana in the Law on Narcotics because they must also consider aspects of
the national interest. When viewed from the aspect of national interest, the Law on Narcotics is still in
accordance with legal needs and the times.
66
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK GANJA
memutuskan ganja dan resinnya tidak lagi penghalang untuk perkembangan ilmu pe-
diklasifikasikan sebagai zat paling berbahaya. ngetahuan maupun untuk pemanfaatannya
Pemungutan suara juga mengakui manfaat medis dalam dunia medis.
dari ganja dan memberi dorongan pada upaya
Keputusan PBB tersebut setidaknya me-
legalisasi ganja medis di negara-negara yang
nimbulkan reaksi dari berbagai negara maupun
meminta panduan PBB.
masyarakat negara tersebut. Sebagaimana di-
Sebelum adanya perubahan penggolongan, ketahui Indonesia sebagai salah satu negara yang
ganja dan turunannya ditempatkan pada golong- menolak keputusan mengeluarkan ganja dari
an I dan golongan IV. Berdasarkan ketentuan golongan IV menjadi golongan 1 dalam
Kovensi Tunggal Narkotika 1961, narkotika yang Konvensi Tunggal Narkotika 1961. 6 Dengan
berada dalam golongan IV hanya memiliki adanya perubahan golongan ganja dalam
manfaat medis yang terbatas namun tingkat Konvensi Tunggal Narkotika 1961 maka di
ketergantungan dan potensi penyalahgunaannya Indonesia menimbulkan adanya tanggapan
sangat tinggi sehingga termasuk dalam subyek bahwa dengan adanya keputusan PBB tersebut
kontrol yang paling ketat jika dibandingkan maka membuka peluang ganja akan dapat
dengan narkotika golongan I sampai golongan dimanfaatkan di bidang kesehatan/medis dan
III. 4 Dengan adanya perubahan penggolongan tidak lagi menjadi penghalang untuk
tersebut, ganja tidak lagi disamakan dengan perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk
heroin atau opioid yang memiliki ancaman pemanfaatannya dalam dunia medis.
resiko tertinggi. Manfaat kesehatan yang dapat
Legalisasi ganja sebetulnya telah digaungkan
diperoleh dari tanaman ganja semakin diakui
cukup lama di Indonesia. Potensi pemanfaatan
yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-
ganja untuk perkembangan ilmu pengetahuan
praktik pengobatan ganja medis di berbagai
dan medis di Indonesia sudah diserukan oleh
negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan
beberapa koalisi atau perkumpulan. Beberapa
gejala epilepsi, dan lain-lain. 5 Langkah yang
dari koalisi tersebut mendampingi tiga orang ibu
diambil PBB ini cukup berpengaruh terhadap
dari anak-anak yang mengalami cerebral palsy yang
posisi ganja dalam kebijakan narkotika secara
mengajukan permohonan uji materil terhadap
internasional sehingga tidak lagi menjadi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika (UU tentang Narkotika) ke
https://mediaindonesia.com/megapolitan/367385/ Mahkamah Konstitusi yang melarang pengguna-
Ganja-masih-tetap-dalam-konvensi-,Narkotika-1961,
diakses tanggal 4 Maret 2021. an narkotika golongan I untuk kepentingan
4
Tim Redaksi, PBB Ubah Sistem Penggolongan kesehatan. 7
Narkotika yang Memperkuat Posisi Ganja Medis, dimuat
dalam
6
http://ijrs.or.id/pbb-ubah-sistem- Faruk Amaz, Indonesia Tolak Rekomendasi
penggolongan-Narkotika-yang-memperkuat-posisi- WHO soal Legalisasi Ganja, dimuat dalam
Ganja-medis/, diakes tanggal 4 Maret 2021. https://www.beritasatu.com/nasional/649663/indon
5
Tim ICJR, PBB Ubah Sistem Penggolongan esia-tolak-rekomendasi-who-soal-legalisasi-Ganja,
Narkotika yang Memperkuat Posisi Ganja Medis, dimuat diakses tanggal 4 Maret 2021.
7
dalam https://icjr.or.id/pbb-ubah-sistem- Tim Redaksi, Konvensi Tunggal PBB 1961,
penggolongan-narkotika-yang-memperkuat-posisi- dimuat dalam https://voi.id/bernas/21977/tentang-
ganja-medis/, diakses tanggal 23 Maret 2021. konvensi-tunggal-pbb-1961-dan-pengaruhnya-
67
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
Terkait hal ini pihak pemohon yang terdiri pengetahuan dan teknologi serta termasuk dalam
dari tiga orang ibu dari anak-anak yang subyek kontrol yang paling ketat 10.
mengalami cerebral palsy berharap agar ganja di
Indonesia salah satu negara yang meratifikasi
Indonesia dapat digunakan untuk kepentingan
Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Pengesahan
medis. Hal ini dikarenakan pemohon 1 sudah
ratifikasi tersebut melalui Undang-Undang
mencoba menggunakan minyak ganja untuk
Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan
terapi anaknya dan memberikan hasil yang lebih
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta
baik untuk kondisi kesehatan anaknya. Pemohon
Protokol Yang Mengubahnya (UU tentang
1 tersebut mengusahakan pelayanan kesehatan
tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika
untuk anaknya di negara bagian Victoria
1961 Beserta Protokol Yang Mengubahnya). Ikut
Australia. Pemohon II dan pemohon III ingin
sertanya Indonesia dalam Konvensi Tunggal
mencoba melakukan pengobatan seperti yang
Narkotika 1961 serta Protokol yang meng-
dilakukan oleh pemohon I, tetapi mengingat
ubahnya maka kerjasama internasional dalam
Indonesia melarang penggunaan ganja untuk
bidang pencegahan dan pemberantasan kejahat-
pengobatan maka mereka tidak berani melaku-
an narkotika dapat dilakukan lebih terjamin.
kan pengobatan seperti itu. 8
Dengan adanya keputusan dari CND yang
Di Indonesia, penggolongan narkotika di-
memutuskan mengeluarkan Ganja dari golongan
atur dalam UU tentang Narkotika. Berdasarkan
IV dalam Konvensi Tunggal 1961 Narkotika
lampiran UU tentang Narkotika, ganja masuk
menjadi golongan 1 dan disertai dengan adanya
dalam golongan I. Dalam UU tentang Narkotika
pihak-pihak yang menyuarakan atau menanggapi
yang dimaksud dengan golongan I yaitu
agar ganja dilegalkan untuk kepentingan medis
narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
sementara dalam UU tentang Narkotika ganja
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
salah satu jenis narkotika yang dilarang untuk
tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai
kepentingan medis. Berdasarkan uraian di atas,
potensi sangat tinggi mengakibatkan keter-
penulis tertarik untuk membahas mengenai
gantungan. 9 Dengan demikian ganja hanya dapat
perubahan penggolongan narkotika khususnya
digunakan pemanfaatannya untuk kepentingan
untuk ganja dari golongan IV menjadi golongan
pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam
1 dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961
Konvensi Tunggal Narkotika 1961, narkotika
terhadap UU tentang Narkotika..
golongan I dapat digunakan untuk kepentingan
medis atau pengobatan, sedangkan narkotika B. Permasalahan
golongan IV hanya dapat digunakan untuk ilmu Berdasarkan latar belakang di atas, yang
menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini,
adalah:
68
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK GANJA
69
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
Narkotika dan obat-obatan terlarang adalah pada penurunan atau perubahan kesadaran dan
bahan/zat yang dapat memengaruhi kondisi hilangnya rasa nyeri. 16 Adapun jenis-jenis
kejiwaan/psikologi (pikiran, perasaan, dan narkotika, antara lain:
perilaku) seseorang, serta dapat menimbulkan
1. Morfin
ketergantungan fisik dan psikologi. Narkotika
Morfin berasal dari kata morpheus adalah
dan obat-obatan terlarang terbagi terhadap empat alkaloid analgesik yang sangat kuat yang
kelompok yaitu kelompok Cannabis, Amphetamine ditemukan pada opium. Zat ini bekerja
Type Stimulants (ATS), Opiad, dan Tranquilizer. langsung pada sistem saraf pusat sebagai
penghilang rasa sakit.
1. Cannabis = marijuana/Ganja dan hasish 2. Heroin
(getah Ganja).
Heroin dihasilkan dari pengolahan morfin
2. ATS = amphetamin, ekstasi, katinon dan secara kimiawi. Akan tetapi, reaksi yang
shabu (methamphetamin). ditimbulkan heroin menjadi lebih kuat dari
3. Opiad =heroin (putau), morfin, opium, pada morfin itu sendiri, sehingga
pethidin, codein, subutek/subuxon dan mengakibatkan zat ini sangat mudah
methadone. menembus ke otak.
4. Tranquilizer = luminal, nipam, pil koplo, 3. Ganja
mogadon, valium, camlet, dumolid, kokain Ganja adalah tumbuhan budidaya yang
dan ketamine. 14 menghasilkan serat, kandungan zat narkotika
terdapat pada bijinya. Narkotika ini dapat
Dalam UU tentang Narkotika, narkotika
membuat si pemakai mengalami euforia (rasa
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman senang yang berkepanjangan tanpa sebab).
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi 4. Kokain
sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan Kokain merupakan berasal dari tanaman
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, Erythroxylon coca di Amerika Selatan. Biasanya
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, daun tanaman ini dimanfaatkan untuk
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang mendapatkan efek stimulan, yaitu dengan cara
dikunyah. Kokain dapat memicu metabolisme
dibedakan dalam golongan-golongan. 15 Menurut
sel menjadi cepat.
Badan Narkotika Nasional, narkotika adalah zat
5. LSD atau Lysergic Acid / Acid / Trips / Tabs
sintetis maupun semi sintetis yang dihasilkan
tanaman atau lainnya yang dapat berdampak LSD Adalah jenis narkotika yang tergolong
halusinogen. Biasanya berbentuk lembaran
Penanggulangannya, Jurnal Hukum, Vol. XXV No. 1, kertas kecil, kapsul, atau pil. 17
April 2011, hal. 441.
14
Briliawan Gama Rahmatullah dan Dina Penggolongan Narkotika berdasarkan UU
Mahfuzah, Konsepsi Pengaturan UU Narkotika dan UU tentang Narkotika dibagi menjadi 3 golongan
Psikotropika, Bahaya Penyalahgunaan Narkoba yaitu narkotika golongan satu, narkotika
(Narkotika Dan Obat-obatan Terlarang), dimuat dalam
golongan dua, dan narkotika golongan tiga. 18
http://lso-
pukash.umm.ac.id/id/pages/detail/departemen-
16
keilmuan/konsepsi-pengaturan-uu-narkotika-dan-uu- Humas BNN, Jenis-Jenis Narkoba, dimuat
psikotropika-bahaya-penyalahgunaan-narkoba- dalam https://kalteng.bnn.go.id/jenis-jenis-narkoba/,
narkotika-dan-obatobatan-terlarang.html, diakses diakses tanggal 4 Mei 2021.
17
tanggal 25 Maret 2021. Ibid.
15 18
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Lihat Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
70
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK GANJA
Narkotika golongan I adalah narkotika yang morfina, Kodeina, Nikokodina, Polkodina, dan
paling berbahaya dan daya adiktifnya sangat Propiram. 24
tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan
Dari penggolongan narkotika ada beberapa
untuk kepentingan apapun, kecuali untuk
jenis yang diperbolehkan digunakan untuk ke-
penelitian atau ilmu pengetahuan. 19 Contoh
perluan pengobatan proses penyembuhan pe-
narkotika golongan I antara lain Tanaman
nyakit tertentu yang berada dibawah pengawasan
Papavar Somnifarum, Opium Mentah, Opium
dokter, selain itu biasanya dipakai dokter untuk
Masak seperti candu, jicing, dan jicingko,
membius pasien saat akan dilakukan operasi.
Tanaman Koka, Kokain Mentah, Kokaina,
Ada beberapa kalangan yang menggunakan
Tanaman Ganja, Tetrahydrocannabinol, dan Delta
narkotika dengan tujuan yang tidak sesuai
9 tetrahydrocannabinol. 20
dengan peruntukannya atau disalahgunakan
Narkotika golongan II adalah narkotika sehingga memberikan efek yang tidak baik untuk
berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan kesehatan dan mengakibatkan adiksi (ketagihan)
terakhir dan dapat digunakan dalam terapi yang berakibat pada ketergantungan. 25
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
Berdasarkan UU tentang Narkotika, ganja
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
masuk dalam golongan 1 narkotika dan
mengakibatkan ketergantungan. 21 Contoh
merupakan salah satu jenis narkotika yang
narkotika golongan II antara lain Alfasetilmetadol, dilarang digunakan untuk kepentingan pelayan-
Alfa-metadol, Benzetidin, Betametadol, Betaprodina, an kesehatan. Ganja hanya digunakan untuk
Desktromoramida, Diampromida, Furetidina, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahu-
Klonitazena, Kodoksima, Levorfanol, Metazosina, an. Berdasarkan penggolongan narkotika, ganja
dan Morfina. 22 Narkotika golongan III adalah (Cannabis sativa atau Cannabis indica) adalah
narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak tumbuhan budidaya penghasil serat, namun
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan lebih dikenal sebagai obat psikotropika karena
pengembangan ilmu pengetahuan serta mem-
adanya kandungan zat tetrahidrokanabinol (THC,
punyai potensi ringan mengakibatkan keter-
tetra-hydro-cannabinol) yang dapat membuat pe-
gantungan, 23 contohnya antara lain
makainya mengalami euforia (rasa senang yang
Asetildihidrokodeina, Dekstropropoksefina, Etil- berkepanjangan tanpa sebab) 26.
71
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
dan batang dari tanaman yang dipotong, di- (PFC), dan serebellum pada pengguna ganja
keringkan dan dicacah dan biasanya dibentuk kronis. 31
menjadi rokok. Nama lain untuk tanaman ganja
Di Indonesia, Ganja kerap disebut sebagai
adalah marijuana, grass, weed, pot, tea, Mary
cimeng, marijuana, gele, atau pocong. Orang-
janedan produknya hemp, hashish, charas, bhang,
orang menggunakan Ganja dengan memasuk-
ganja, dagga dansinsemilla 27. Tanaman ganja
kannya ke dalam lintingan rokok atau pipa
biasanya dibuat menjadi rokok mariyuana.
(bong). 32 Tanaman semusim ini tingginya dapat
Karena ganja sifatnya sebagai halusinogen dan
mencapai 2 meter. Berdaun menjari dengan
dapat menimbulkan euforia, efek negatif ganja
bunga jantan dan betina ada di tanaman berbeda
membuat orang menjadi malas. Efek paling
(berumah dua). Bunga ganja berukuran kecil
buruk dari ganja menjadikan reaksi pemakai
dalam dompolan di ujung ranting. Ganja hanya
lebih lambat, dan peganja cenderung kurang
tumbuh di pegunungan tropis dengan ketinggian
waspada. 28
di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. 33
Penggunaan ganja memiliki pengaruh yang Awal mulanya tanaman ganja hanya ditemukan
buruk terhadap kesehatan fisik maupun psikis di negara-negara beriklim tropis. Namun
(mental). Dari segi fisik ganja dapat me- belakangan ini, negara-negara beriklim dingin
nyebabkan kanker paru karena kandungan tar telah banyak membudidayakan tanaman ganja,
dalam ganja lebih tinggi dibandingkan dengan yaitu dengan cara dikembangkan di rumah kaca.
tar dalam tembakau, selain itu juga dapat meng-
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1
ganggu atau menghambat fungsi otak 29. Dari
Tahun 1980 tentang Ketentuan Penanaman
psikis atau mental, ganja dapat membuat se-
Papaver, Koka, dan Ganja, lembaga pendidikan
seorang berhalusinasi, sulit tidur, delusi, dan
atau lembaga pengetahuan bisa menanam ganja
meningkatkan rasa cemas 30. Ganja juga
setelah memperoleh izin. Lembaga ini harus
memengaruhi fungsi kognitif, defisit dalam
membuat laporan setiap enam bulan sekali
pembelajaran verbal, penurunan daya ingat
mengenai lokasi, luas tanaman, dan hasil. Setiap
(memori) dan perhatian hal ini dilaporkan pada
pengguna ganja berat dan dikaitkan dengan
31
durasi penggunaan, frekuensi penggunaan, dan Dr. Luh Nyoman Alit Aryani SpKJ(K),
Gangguan Psikotik Pada Penggunaan Ganja, Penelitian
dosis kumulatif THC. Perubahan struktur otak
Program Pendidikan Dokter Spesialis Ibagian/Smf
dilaporkan terjadi di hippocampus, prefrontal cortex Psikiatri Fk Unud/Rsup Sanglah Denpasar Tahun
2017, dimuat dalam
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_d
27
Camellia. V, Gangguan Sehubungan Kanabis, ir/bf0d8aaadd6d4004755973b52eab2218.pdf,
Medan: Departemen Psikiatri FK USU, 2010, hal. diakses tanggal 4 Mei 2021, hal.7.
43. 32
Kompas, Membandingkan Ganja dan Sabu yang
28
Enik Isnaini, Penggunaan Ganja Dalam Ilmu Menjerat Para Artis, dimuat dalam
Pengobatan Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun https://sains.kompas.com/read/2019/10/07/13195
2009 tentang Narkotika, Jurnal Independent: Vol.5 7423/membandingkan-ganja-dan-sabu-yang-menjerat-
No.2, 2017, hal. 36. para-artis?page=all, diakses tanggal 24 Maret 2021.
29 33
Nurhafni S, Bahaya Narkoba. Binjai: Akademi BNN, Ulasan tentang Ganja, dimuat dalam
Kebidanan Kharisma Husada, 2015, hal. 73. https://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2
30
Haryanto, Dampak Penyalahgunaan Narkoba, 012/04/02/354/ulasan-tentang-ganja, diakses tanggal
Bandung: Cipta Pustaka, 2012, hal. 46. 19 Maret 2021.
72
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK GANJA
6 (enam) bulan harus membuat dan mengirim- perjanjian antara organisasi internasional dengan
kan laporan tertulis kepada Menteri Kesehatan organisasi internasional. 36
melalui Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan
Salah satu kerjasama internasional berkaitan
Alat Kesehatan dengan tembusan kepada Kepala
dengan penanggulangan kejahatan Narkotika
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
yaitu United Nation's Single Convention on Narcotic
dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Drugs 1961. Konvensi Tunggal Narkotika 1961
Apabila mengalami kehilangan tanaman ganja,
(Single Convention on Narcotic Drugs, 1961)
lembaga dimaksud harus melapor ke polisi.
merupakan hasil dari United Nations Conference
2.Konvensi for the Adoption of a Single Convention on Narcotic
Pengertian konvensi menurut Kamus Besar Drugs yang diselenggarakan di New York dari
Bahasa Indonesia, diartikan sebagai permufakat- tanggal 24 Januari sampai dengan tanggal 25
an atau kesepakatan (terutama mengenai adat, Maret 1961, dan yang dibuka untuk penanda-
tradisi) dan perjanjian antarnegara, para tanganan pada tanggal 30 Maret 1961. Adapun
penguasa pemerintahan. Secara umum konvensi tujuan dari Konvensi tersebut, yaitu:
merupakan suatu bentuk kebiasaan dan ter- 1. Menciptakan satu konvensi internasional yang
pelihara dalam praktek serta tidak bertentangan dapat diterima oleh negara-negara di dunia
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam dan dapat mengganti peraturan-peraturan
konteks hukum internasional sebuah konvensi pengawasan internasional atas penyalah-
dapat berupa perjanjian internasional tertulis gunaan Narkotika yang terpisah-pisah di
yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan dalam delapan buah perjanjian internasional;
internasional, yurisprudensi atau prinsip hukum 2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan per-
umum. 34 edaran Narkotika dan membatasi pengguna-
Konvensi merupakan salah satu istilah dari annya khusus untuk kepentingan pengobatan
perjanjian internasional. Konvensi merupakan dan pengembangan ilmu pengetahuan;dan
per-janjian internasional yang diikuti oleh 3. Menjamin adanya kerjasama internasional
negara-negara dalam suatu konferensi yang dalam pengawasan peredaran Narkotika
biasanya membahas isu yang sangat penting, untuk mencapai tujuan. 37
biasanya konvensi akan berlaku sebagai kaidah
Konvensi Single Convention on Narcotic Drugs
hukum internasional dan dapat berlaku secara
tahun 1961 yang kemudian diubah dengan
luas. 35 Unsur utama dari perjanjian internasional
Procotocol Amending the Single Convention on
adalah perjanjian antara negara-negara. Per-
Narcotic Drugs 1961 (Protokol 1971 tentang
janjian internasional yakni perjanjian antara
perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961),
negara dengan organisasi internasional dan
36
Samekto, FX. Adji, Negara dalam Dimensi
34
Agusman, D.D., Hukum Perjanjian Hukum Internasional, Bandung: Citra Aditya Bhakti,
Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2010, hal. 2009, hal. 74.
59. 37
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang
35
Danel Aditia Situngkir, Perjanjian Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi
Internasional Dan Dampaknya Bagi Hukum Nasional, Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol Yang
Kertha Wicaksana, Vol.3 No. 1, 2019, hal. 22. Mengubahnya.
73
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
adalah perjanjian internasional yang melarang 5.The drugs in Schedule IV shall also be
produksi dan pasokan Narkotika dan obat- included in Schedule I and subject to all
obatan terlarang kecuali di bawah lisensi untuk measures of control applicable to drugs in the
tujuan tertentu, seperti perawatan medis dan latter Schedule. 39
penelitian 38. Dalam Single Convention on Narcotic
Dalam sidang khusus ke-17 pada bulan
Drugs tahun 1961 ini mengelompokkan
Februari 1990 PBB mencanangkan Tahun 1991-
narkotika menjadi 4 (empat) schedule yaitu:
2000 sebagai The United Nations Decade Againts
1. The drugs in Schedule I are subject to all Drug Abuse dengan membentuk The United
measures of control applicable to drugs under Nations Drug Control Programme (UNDCP). Badan
this Convention and in particular to those ini secara khusus bertugas untuk melakukan
prescribed in article 4 c), 19, 20, 21, 29, 30, koordinasi atas semua kegiatan internasional di
31, 32, 33, 34 and 37. bidang pengawasan peredaran narkotika di
2. The drugs in Schedule II are subject to the negara-negara anggota PBB. Dalam rangka
same measures of control as drugs in penanggulangan tindak pidana narkotika yang
Schedule I with the exception of the measures bersifat transnasional, PBB menyelenggarakan
prescribed in article 30, paragraphs 2 and 5, Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the
in respect of the retail trade. Treament of Offenders pada 27 Agustus-7
3. in Schedule III are subject to the same September 1990 di Hawana, Cuba. 40 Resolusi
measures of control as the drugs which they ketiga-belas dari kongres ini menyatakan bahwa
contain, but estimates (article 19) and untuk menanggulangi kejahatan narkotika
statistics (article 20) distinct from those dilakukan antara lain:
dealing with these drugs shall not be required (a) Meningkatkan kesadaran keluarga dan
in the case of such preparations, and article masyarakat terhadap bahaya narkotika me-
29, paragraph 2 c) and article 30, paragraph lalui penyuluhan-penyuluhan dengan meng-
1 b) ii) need not apply. ikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-
4.Preparations in Schedule III are subject to the lembaga pendidikan dalam pencegahan
same measures of control as preparations bahaya narkotika; dan
containing drugs in Schedule II except that (b) Program pembinaan pelaku tindak pidana
article 31, paragraphs 1 b) and 3 to 15 and, narkotika dengan memilah antara pelaku
as regards their acquisition and retail pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan
distribution, article 34, paragraph b), need pelaku bukan pengguna (drug-dealers) melalui
not apply, and that for the purpose of pendekatan medis, psikologis, psikiatris,
estimates (article 19) and statistics (article
20) the information required shall be
restricted to the quantities of drugs used in 39
Lihat artikel 2 dalam Single Convention On
the manufacture of such preparations. Narcotic Drugs, 1961, As Amended By The 1972 Protocol
Amending The Single Convention On Narcotic Drugs,
1961.
38 40
Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksan Ali Zai dan Yuliana Yuli W, Peran Indonesia
RI, Modul Narkotika, Jakarta: Badan Diklat Kejaksaan, Dalam Penanggulangan Narkotika, Jurnal Yuridis: Vol.2
2019, hal. 5. No.2, Desember 2015, hal. 193.
74
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK GANJA
maupun pendekatan hukum dalam rangka an United Nations Convention Against Illicit Traffic
pencegahan. 41 in Narcotic Drugs And Psychotropic Substance,
1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Indonesia adalah salah satu negara yang
tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
turut menandatangani konvensi tersebut, dan
Narkotika dan Psikotropika, Tahun 1988),
kemudian meratifikasinya melalui Undang-
dengan pertimbangan bahwa Pemerintah
undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang
Republik Indonesia memandang perlu untuk
Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961
bersama-sama dengan anggota masyarakat dunia
beserta Protokol yang Mengubahnya. Instrumen
lainnya aktif mengambil bagian dalam upaya
hukum yang kemudian dibentuk oleh
memberantas peredaran gelap narkotika dan
pemerintah untuk menanggulangi kejahatan
psikotropika, oleh karena itu telah menanda-
Narkotika di dalam negeri adalah Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang tangani United Nations Convention Againts Illicit
Narkotika. Undang-Undang Nomor 9 Tahun Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic
1976 menjadi pengganti dari Undang-Undang Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-
tentang Obat Bius warisan pemerintah kolonial Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie Narkotika dan Psikotropika, 1988) di Wina,
1927 (Stbl. 1927 Nomor 278 jo. Nomor 536) Australia pada tanggal 17 Maret 1989 dan telah
yang mengatur peredaran, perdagangan, dan pula meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika
penggunaan obat bius. 1961 dengan UU tentang tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 ini Protokol Yang Mengubahnya dan Konvensi
berjalan selama 11 (sebelas) tahun yang Psikotropika 1971, dengan Undang-Undang
kemudian dilakukan perubahan pada tanggal 6 Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan
Maret sampai dengan tanggal 24 Maret 1972 di Convention On Psychotropic Subtances 1971
Jenewa yang menghasilkan Protokol dan yang (Konvensi Psikotropika 1971), serta
dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 25 membentuk Undang-Undang Nomor 9 Tahun
Maret 1972, termasuk oleh Indonesia. 42 1976 tentang Narkotika.
Transformasi yang dilakukan oleh Indonesia
yakni meratifikasinya dalam Undang-Undang B. Analisis
Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesah- 1. Pengaruh Perubahan Golongan Ganja dalam
Konvensi Tunggal Narkotika 1961
41
Ibid, terhadap UU tentang Narkotika
42
Briliawan Gama Rahmatullah dan Dina
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 memberi
Mahfuzah, Konsepsi Pengaturan UU Narkotika dan UU
Psikotropika, Bahaya Penyalahgunaan Narkoba pengaruh besar kepada seluruh negara di dunia
(Narkotika Dan Obat-obatan Terlarang), dimuat dalam untuk mengatur regulasi tanaman ganja. Di
https://lso- Indonesia, Konvensi Tunggal Narkotika 1961 di
pukash.umm.ac.id/id/pages/detail/departemen-
keilmuan/konsepsi-pengaturan-uu-narkotika-dan-uu- ratifikasi melalui UU tentang Pengesahan
psikotropika-bahaya-penyalahgunaan-narkoba- Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta
narkotika-dan-obatobatan-terlarang.html, diakses Protokol Yang Mengubahnya. Berdasarkan UU
tanggal 19 Maret 2021.
tentang tentang Pengesahan Konvensi Tunggal
75
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
Narkotika 1961 Beserta Protokol Yang Meng- beberapa kali melakukan penggantian undang-
ubahnya, yang menjadi dasar pertimbangan undang tersebut, yaitu melalui Undang-Undang
Indonesia meratifikasi Konvensi Tunggal Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika diganti
Narkotika 1961 yaitu 43 pada saat itu Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
sedang dalam membangun agar tercapai manusia tentang Narkotika dan selanjutnya Undang-
masyarakat adil dan makmur, untuk mencapai Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
tujuan tersebut diperlukan segenap tenaga dan Narkotika pun dicabut dan dinyatakan tidak
pikiran dari tiap warga negara Indonesia. berlaku, digantikan dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tujuan tersebut dapat tercapai apabila
rakyat dalam keadaan sehat jasmaniah dan UU tentang Narkotika secara tegas telah
rohaniah, bebas dari pengaruh buruk narkotika, mengatur subtansi antara lain mengenai peng-
obat perangsang, obat penenang, dan minuman golongan, impor, ekspor, produksi, menanam,
keras. Oleh sebab itu pemakaian narkotika perlu menyimpan, mengedarkan, dan/atau mengguna-
diawasi dengan ketat dan perlu diadakan kan narkotika, yang jika dilakukan tanpa pe-
tindakan pencegahan terhadap penyalahgunaan ngendalian dan pengawasan dari pihak yang
narkotika dan para pecandu narkotika (addicts) berwenang, dapat dikategorikan sebagai tindak
yang ada di Indonesia perlu diberi perawatan dan pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap
pengobatan untuk kemudian direhabilitasi ke narkotika. Subtansi yang ada di dalam UU
dalam masyarakat. Dengan ikut sertanya tentang Narkotika tentunya sejalan dengan yang
Indonesia dalam Konvensi Tunggal Narkotika ada di dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
1961 serta Protokol yang Mengubahnya, dan Adapun dasar pertimbangan perubahan peng-
mengesahkannya sebagai undang-undang, maka aturan Narkotika ke dalam UU tentang
kerjasama internasional dalam bidang pen- Narkotika antara lain:
cegahan dan pemberantasan kejahatan narkotika
a. menitikberkatkan pada derajat kesehatan
dapat dilakukan lebih terjamin. Di samping itu
manusia yang merupakan salah satu modal
ketentuan-ketentuan di dalam Konvensi Tunggal
dalam melakukan pembangunan nasional;
tersebut beserta Protokol yang mengubahnya
b. upaya peningkatan di bidang pengobatan dan
pada umumnya tidak bertentangan dengan
pelayanan kesehatan, antara lain dengan
kepentingan Indonesia, dengan demikian dapat
mengusahakan ketersediaan narkotika jenis
diterima dan dipergunakan sebagai dasar untuk
tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat
menyusun perundang-undangan nasional dalam
serta melakukan pencegahan dan pem-
bidang narkotika.
berantasan bahaya penyalahgunaan dan per-
Sejak meratifikasi konvensi tersebut hingga edaran gelap narkotika dan prekursor
sampai saat ini, Indonesia telah menyusun narkotika; dan
perundang-undangan tentang narkotika dan c. Narkotika di satu sisi merupakan obat atau
bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan
43
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang atau pelayanan kesehatan dan pengembangan
Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula
Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol Yang menimbulkan ketergantungan yang sangat
Mengubahnya.
76
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK GANJA
77
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
terdapat dalam Konvensi Tunggal Narkotika Tunggal Narkotika 1961 artikel 4 mengatur
1961 mengalami perubahan yaitu dari golongan bahwa memungkinkan suatu negara dapat
IV menjadi golongan 1, sehingga dengan mengatur lebih ketat dari konvensi demi
perubahan ini maka ganja dapat dimanfaatkan melindungi masyarakatnya. Dilihat dari sisi ini
dalam pengobatan. maka UU tentang Narkotika sudah jelas
menyatakan bahwa ganja masuk dalam narkotika
Penggolongan narkotika yang diatur dalam
golongan 1 yang hanya digunakan untuk
UU tentang Narkotika Pasal 6 ayat (2) untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan,
pertama kali ditetapkan dalam Lampiran I dan
mengingat masih terus maraknya penyalah-
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari UU
gunaan narkotika di masyarakat 46 dan menimbul-
tentang Narkotika. Selanjutnya untuk meng-
kan ketergantungan yang sangat tinggi sehingga
antisipasi zat baru yang berpotensi sangat tinggi
membahayakan kesehatan seseorang. 47
penyalahgunaan dan ketergantungan serta mem-
bahayakan kesehatan masyarakat yang belum Perubahan penggolongan narkotika khusus
termasuk dalam golongan narkotika maka dalam ganja dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961
Pasal 6 ayat (3) UU tentang Narkotika mengatur tidak bisa memaksa setiap negara untuk
bahwa ketentuan perubahan penggolongan mematuhi hal tersebut, karena kewenangan
narkotika diatur dengan Peraturan Menteri. untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat
Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur pada kedaulatan negara. Dalam hukum
terkait perubahan penggolongan narkotika sudah Internasional tidak mewajibkan suatu negara
mengalami beberapa kali perubahan. untuk meratifikasi suatu perjanjian inter-
nasional 48. Jika suatu negara akan meratifikasi
Jika dilihat dalam penjelasan Pasal 6 ayat (3)
suatu perjanjian/kesepakatan internasional maka
UU tentang Narkotika yaitu yang dimaksud
dengan perubahan penggolongan narkotika
46
Sepanjang tahun 2020 BNN telah berhasil
adalah penyesuaian penggolongan narkotika
memetakan 92 jaringan sindikat narkotika. Sebanyak
berdasarkan kesepakatan internasional dan 88 jaringan sindikat telah berhasil diungkap dimana
pertimbangan kepentingan nasional. Artinya 14 diantaranya merupakan jaringan sindikat berskala
untuk perubahan penggolongan narkotika harus internasional, dan setidaknya ada 27 warga binaan
lembaga pemasyarakatan (Lapas) dari seluruh
atas dasar kesepakatan internasional dan per- Indonesia yang terlibat aktif dalam pengendalian
timbangan kepentingan nasional, tidak boleh narkotika dari dalam Lapas. Berangkat dari jaringan
hanya dilihat dari kesepakatan internasional atau tersebut BNN berhasil mengungkap 806 kasus tindak
pidana narkotika dengan total tersangka sebanyak
pertimbangan kepentingan nasional saja. Oleh 1247 orang. Sejumlah barang bukti disita diantaranya
sebab itu berdasarkan penjelasan Pasal 6 ayat (3) 1,12 ton shabu, 2,36 ton daun ganja, dan 340.357
UU tentang Narkotika maka penggolongan ganja butir ekstasi. Humas BNN, Press Release Akhir Tahun
2020; “Sikap Bnn Tegas, Wujudkan Indonesia Bebas Dari
dan turunannya tidak bisa serta merta berubah
Narkoba, dimuat dalam https://bnn.go.id/press-
penggolongannya berdasarkan pada perubahan release-akhir-tahun-2020/, diakses tanggal 11 Juni
penggolongan narkotika khususnya ganja dalam 2021.
47
perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Rita Dwi Astuti, Narkoba, Jakarta: PT Rinjeni
Abadi, 2012.
karena dalam hal ini perlu dikaji pula dari aspek 48
Rosmawati, Pengaruh Hukum Internasional
kepentingan nasional. Selain itu dalam Konvensi Terhadap Perkembangan Hukum Nasional, Kanun Jurnal
Hukum, No. 61, Th. XV, 2013, hal. 456.
78
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK GANJA
negara tersebut akan melihat apakah isi dari Perubahan penggolongan narkotika khusus-
perjanjian/kesepakat tersebut sesuai dengan nya untuk ganja dan turunannya dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 menyebabkan
nasional. ganja tidak hanya digunakan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan tetapi dapat
Selanjutnya dalam menyikapi perubahan
juga dimanfaatkan untuk kepentingan medis.
penggolongan ganja dalam Konvensi Tunggal
Hal tersebut membuka peluang untuk ganja dan
Narkotika 1961, Pemerintah memerlukan
turunannya dapat digunakan untuk pengobatan
penelitian yang bersifat komprehensif dan harus
medis. Beberapa negara sudah memberlakukan
mengetahui dan memahami karakteristik negara
penggunaan ganja untuk kepentingan peng-
pengambil inisiatif pengajuan perubahan
obatan medis yaitu negara bagian Victoria di
konvensi serta latar belakang politik dari peng-
Australia, Korea Selatan, Sri Lanka, Thailand,
ajuan perubahan konvensi tersebut dihubungkan
Israel, Lebanon, Turki, dan Canada. 49 Walaupun
dengan kepentingan nasional. Pertimbangan
negara-negara tersebut sudah membuka ganja
kepentingan nasional artinya Indonesia tidak
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan peng-
serta merta membuat kebijakan yang sama
obatan medis tetapi tetap dengan beberapa
dengan kesepakatan internasional atau kebijakan
persyaratan dan pembatasan yang ketat.
negara lain tetapi harus menyesuaikan dengan
karakteristik masyarakat Indonesia serta Saat ini di Indonesia pengaturan terkait
mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis, narkotika sudah mengunci bahwa ganja mer-
dan yuridis dalam membuat peraturan upakan salah satu jenis narkotika yang masuk
perundang-undangan terkait narkotika. dalam golongan I narkotika sehingga tidak ada
peluang untuk dapat dipergunakan sebagai peng-
Perubahan penggolongan narkotika khusus-
obatan medis atau terapi. Hal ini dikarenakan
nya untuk ganja dan turunannya dari golongan
mengingat akan bahayanya ganja yang dapat
IV menjadi golongan I dalam Konvensi Tunggal
menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi,
Narkotika 1961 tidak serta merta memaksa
selain itu ganja efeknya dapat menyebabkan gila
Indonesia sebagai negara berdaulat yang wajib
dan yang jelas lagi dapat merusak organ tubuh. 50
melindungi masyarakat dan meng-utamakan
Penggunaan ganja terkait dengan meningkatnya
kepentingan nasionalnya untuk mengubah
risiko gangguan mental termasuk skizofrenia,
hukum nasionalnya. Artinya, perubahan
depresi, cemas dan ketergantungan. Penggunaan
Konvensi tersebut tidak memengaruhi posisi
ganja yang masuk dalam penggolongan narkotika
49
golongan I dalam UU tentang Narkotika yang Kompas, 10 Negara yang Legalkan Ganja
sebagai Obat Medis, dimuat dalam https:// www.
sangat ketat pengawasannya dan hanya dapat kompas.com/tren/read/2020/08/29/211000365/10
digunakan untuk kepentingan pengembangan -negara-yang-legalkan-ganja-sebagai-obat-medis? Page =
ilmu pengetahuan. all, diakses tanggal 24 Maret 2021.
50
Kepala Bidang Mutu dan Riset Pusat
2. Perubahan Penggolongan Narkotika untuk Laboratorium Narkotika Badan Narkotika Nasional
Ganja dalam Konvensi Tunggal Narkotika (BNN), Rieska Dwi Widayati Riska, BNN Kembali
1961, UU tentang Narkotika Masih Sesuai Tegaskan Bahwa Ganja Dilarang Dan Berbahaya,
atau Tidak dengan kebutuhan Hukum dan dimuat dalam https://bnn.go.id/bnn-kembali-tegas-
Perkembangan Zaman kan-bahwa-ganja-dilarang-berbahaya/, diakses tanggal
25 Maret 2021.
79
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
ganja setiap hari meningkatkan risiko sebesar memberikan pelindungan dan pelayanan ke-
lima kali untuk mengalami psikotik. Bukti yang sehatan yang maksimal kepada warga negaranya.
paling kuat adalah munculnya gangguan mental
Jika dilihat secara yuridis, dalam UU tentang
pada individu yang memiliki kerentanan genetik
Narkotika Pasal 7 mengatur bahwa narkotika
terhadap gangguan mental. 51
hanya dapat digunakan untuk kepentingan pe-
Dengan adanya perubahan penggolongan layanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
narkotika terhadap ganja dan turunannya dari pengetahuan dan teknologi. Kemudian dalam
golongan IV menjadi golongan I dalam Konvensi penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU tentang
Tunggal Narkotika 1961, di Indonesia Narkotika, narkotika golongan I hanya dapat
menimbulkan berbagai opini masyarakat bahw digunakan untuk pengembangan ilmu pe-
UU tentang Narkotika tidak lagi sesuai dengan ngetahuan dan teknologi. Kemudian dalam Pasal
perkembangan dan kemajuan zaman serta 8 ayat (1) UU tentang Narkotika menyatakan
meminta agar Indonesia dapat mengubah UU bahwa narkotika golongan I dilarang digunakan
tentang Narkotika terkait penggolongan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam
narkotika khususnya untuk ganja dan penjelasan Pasal 7 UU tentang Narkotika, yang
turunannya sehingga dapat dimanfaatkan untuk dimaksud pengembangan ilmu pengetahuan dan
pengobatan medis atau terapi. 52 teknologi adalah penggunaan narkotika terutama
Masih sesuai atau sudah tidak sesuai dengan untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi,
kebutuhan hukum dan perkembangan zaman termasuk untuk kepentingan pendidikan,
terkait dengan penggolongan narkotika golongan pelatihan, penelitian dan pengembangan serta
I khususnya ganja yang diatur dalam UU tentang keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi
Narkotika maka hal ini tidak hanya dilihat dari pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan
perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 pengawasan, penyelidikan, penyidikan, dan
terkait perubahan penggolongan pada ganja, pemberantasan peredaran gelap narkotika.
tetapi juga harus dilihat dari berbagai peraturan Kepentingan pendidikan, pelatihan dan ke-
perundang-undangan lainnya yang saling terampilan adalah termasuk untuk kepentingan
berkaitan (pertimbangan yuridis), selain per- melatih anjing pelacak narkotika dari pihak
timbangan yuridis maka harus dilihat juga aspek Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bea dan
sosiologis yaitu kondisi di masyarakat terkait Cukai dan Badan Narkotika Nasional serta
dengan keberadaan narkotika dan diperhatikan instansi lainnya. 53
juga pertimbangan filosofis sebagaimana di- Di dalam Pasal 13 ayat (1) UU tentang
amanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Narkotika, terkait dengan penelitian yaitu
Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara penelitian dilakukan oleh sebuah lembaga
penelitian yang diselenggarakan oleh Pemerintah
51
Dadang Hawari, Terapi (Detoksifikasi) Miras & ataupun swasta setelah mendapat izin dari
Narkoba (NAZA). Jakarta: Fakultas Kedokteran Menteri kesehatan. Dengan demikian, penelitian
Universitas Indonesia, 2011. yang dilakukan terhadap narkotika golongan I
52
Lihat berkas Permohonan No. 106/PUU-
XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi
53
terkait golongan 1 narkotika yaitu ganja. Lihat penjelasan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
80
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK GANJA
harus berdasarkan pada standar profesi membutuhkan obat yang mengandung ganja
penelitian kesehatan sebagaimana diatur dalam untuk penyembuhan penyakit maka hal ini
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 pasien dapat mendatangkan obat tersebut dari
tentang Penelitian dan Pengembangan luar Indonesia dengan special access scheme (SAS)
Kesehatan (PP No. 39 Tahun 1995). Kemudian yaitu melalui mekanisme jalur khusus sebagai-
dari hasil penelitian tersebut akan ditemukan mana yang diatur dalam Peraturan Menteri
informasi ilmiah, membuktikan kebenaran atau Kesehatan Nomor 51 Tahun 2014 tentang
tidak kebenaran hipotesis. Dalam penelitian Pemasukan Alat Kesehatan Melalui Mekanisme
tersebut mungkin dapat saja dihasilkan yaitu Jalur Khusus (Permenkes No. 51 Tahun 2014).
apakah golongan I narkotika khususnya ganja SAS adalah pemasukan alat kesehatan yang tidak
dimungkinkan bisa digunakan/dimanfaatkan memiliki izin edar yang sangat dibutuhkan ke
untuk keperluan medis atau tidak dan kemudian dalam wilayah Indonesia melalui jalur khusus. 54
dilanjutkan dengan menguji penerapannya
Berdasarkan Permenkes No. 51 Tahun 2014
untuk tujuan praktis.
Pasal 16 huruf a SAS non donasi hanya dapat
Hal ini berarti penggunaan narkotika diperuntukkan bagi kebutuhan penggunaan
golongan I dapat dimanfaatkan untuk kepenting- khusus atas permintaan dokter. Permohonan izin
an medis tergantung dari hasil penelitian dan SAS non donasi dilakukan oleh pimpinan
tentunya akan ditindak lanjuti sesuai dengan institusi/ lembaga pemerintah atau non
syarat, standar dan prosedur sesuai dengan pemerintah yang bergerak di bidang kesehatan
ketentuan peraturan perundang-undangan atau pasien/ dokter yang menangani. 55 Tentunya
terkait dengan penelitian. Hal ini sesuai dengan pengajuan SAS non donasi yang dilakukan oleh
penjelasan Pasal 42 ayat (1) UU tentang pasien atau dokter yang menangani pasien harus
Kesehatan yang menyatakan bahwa penelitian memenuhi persyaratan dan tata cara sesuai
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan dengan ketentuan peraturan perundang-undang-
teknologi kesehatan dilakukan untuk meng- an terkait dengan SAS serta tanpa mengurangi
hasilkan, salah satunya mengenai informasi jaminan atas keamanan, mutu dan kemanfaatan
kesehatan untuk mendukung pembangunan bagi pengguna serta adanya pengawasan yang
kesehatan. Selain itu dilakukannya penelitian dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
tersebut bertujuan untuk memberikan pe-
Dengan demikian nampak jelas bahwa
lindungan kepada masyarakat dari bahaya
negara sangat berhati-hati terhadap penggunaan
narkotika golongan I yang berpotensi sangat
atau pemanfaatan narkotika untuk pengobatan
tinggi mengakibatkan ketergantungan.
seseorang, yang bertujuan untuk memberikan
Pemenuhan kebutuhan untuk mendapatkan keamanan, pelindungan, dan pelayanan ke-
pengobatan yang sesuai dengan kondisi penyakit
seseorang merupakan tanggung jawab negara. 54
Lihat Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri
Dalam hal ini kondisi penyakit seseorang dengan Kesehatan Nomor 51 Tahun 2014 tentang
obat yang dibutuhkan sesuai dengan penyakit Pemasukan Alat Kesehatan Melalui Mekanisme Jalur
Khusus.
pasien merupakan hasil diagnosa penyakit dari 55
Lihat Pasal 17 Peraturan Menteri Kesehatan
dokter. Jika hasil dari diagnosa tersebut, pasien Nomor 51 Tahun 2014 tentang Pemasukan Alat
Kesehatan Melalui Mekanisme Jalur Khusus.
81
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
sehatan yang maksimal sebagaimana diamanat- narkotika golongan II dan III yang dapat
kan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang dimanfaatkan penggunaannya untuk kepenting-
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. an kesehatan marak dijual bebas, dibeli tanpa
Pasal 28H ayat (1) ini merupakan dasar resep dokter. Dalam hal ini sudah banyak dari
pertimbangan filosofis dalam pengaturan terkait kalangan artis maupun masyarakat umum yang
narkotika. bahwa setiap orang berhak hidup ditangkap oleh aparat penegak hukum karena
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, an menyalahgunakan obat-obatan tersebut tidak
mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat sesuai dengan peruntukannya (sebagai obat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. penenang) dan diperoleh tanpa resep dokter,
Dengan demikian ini merupakan tanggung jawab yang mana mereka membeli obat-obatan tersebut
negara untuk memberikan lingkungan yang sehat dengan alasan untuk kesehatan.
dan pelayanan kesehatan maksimal untuk
Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
obat keras daftar G yang masuk kategori
Pertimbangan sosiologis, juga harus golongan narkotika dan psikotropika sangat ketat
diutamakan mengingat tingkat ketergantungan persyaratannya dan berada dibawah pengawasan
narkotika golongan I sangat tinggi dan berbahaya dokter. Obat-obatan tersebut di antaranya jenis
untuk kesehatan maka dilarang digunakan untuk trhexiphenydyl, hexymer, tramadol, dan obat-obat
kepentingan pelayanan kesehatan. Pemberian keras daftar G. Padahal, obat-obatan itu
pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu seharusnya diedarkan dan diperoleh dengan
kepada masyarakat merupakan tanggung jawab resep dokter untuk pengobatan, 57 hal ini
negara sebagaimana diatur dalam ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 43 ayat (3)
Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang UU tentang Narkotika yaitu rumah sakit, apotek,
Kesehatan. Oleh karena itu, negara sangat pusat kesehatan masyarakat, dan balai
mengontrol penggunaan narkotika agar tidak pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika
disalahgunakan di masyarakat. kepada pasien berdasarkan resep dokter. Kondisi
seperti ini memperlihatkan bahwa narkotika
Jika dilihat kondisi masyarakat Indonesia,
golongan II dan golongan III yang sudah diatur
penyalahgunaan narkotika terjadi peningkatan di
dengan ketat dan berada dibawah pengawasan
kalangan remaja. Di mana ada peningkatan
dokter masih dapat diperoleh dengan bebas
sebesar 24 hingga 28 persen remaja yang
tanpa resep dokter dengan alasan untuk
menyalahgunakan narkotika. Kalangan remaja
pengobatan/kesehatan. Bagaimana jika hal ini
yang terpapar narkotika lebih rentan sebagai
terjadi terhadap penyalahgunaan ganja dan
pengguna jangka panjang. Sebab, mereka
turunannya yang memiliki efek samping mem-
memiliki waktu yang cukup panjang dalam
bahayakan kesehatan yang dimanfaatkan oleh
mengonsumsi narkoba. 56 Selain itu untuk obat-
obatan yang masuk dalam psikotropika atau 57
Rindi Nuris Velarosdela,
Polisi Selidiki Peredaran Obat Psikotropika yang Dijual
Bebas di E-Commerce, dimuat dalam
56
PUSLITDATIN, Penggunaan Narkotika https://megapolitan.kompas.com/read/2020/05/10
Kalangan Remaja Meningkat, dimuat dalam /14520341/polisi-selidiki-peredaran-obat-
https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan- psikotropika-yang-dijual-bebas-di-e?page=all, diakses
remaja-meningkat/, diakses tanggal 26 Maret 2021. tanggal 26 Maret 2021.
82
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK GANJA
masyarakat dengan alasan kesehatan tanpa yaitu Hemp. 59 Sehingga tidak semudah itu untuk
anjuran dari dokter. memanfaatkan ganja untuk pengobatan atas
dasar penelitian yang telah dilakukan oleh
Keadaan di masyarakat tidak dapat
beberapa negara karena dari jenis ganja yang
dipungkiri bahwa ada seseorang yang
diteliti berbeda dengan jenis ganja yang ada di
membutuhkan obat untuk penyembuhan
Indonesia. Selain itu berdasarkan PP No. 39
penyakit dan obat tersebut belum atau tidak
Tahun 1995, hasil penelitian dari negara lain
beredar di Indonesia. Dalam keadaan seperti ini
tidak bisa langsung atau otomatis kita
maka seseorang dapat memperoleh obat tersebut
manfaatkan di Indonesia karena banyak hal yang
melalui mekanisme jalur khusus yaitu SAS. Perlu
harus diperhatikan untuk menjadi pertimbangan
diperhatikan bahwa pemakaian obat tersebut
antara lain jenis sampel yang diteliti, kondisi
harus atas dasar hasil pemeriksaan dokter
alam, dan populasi serta harus diuji kembali
terhadap penyakit pasien, selanjutnya pasien/
sesuai dengan standar dan prosedur penelitian
dokter harus memenuhi tata cara dan
atau uji yang ada di Indonesia.
persyaratan SAS sebagaimana telah diatur dalam
Permenkes No. 51 Tahun 2014. Sehingga dalam Dengan demikian jika dilihat dari per-
hal ini negara sangat berhati-hati dalam mem- timbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis,
berikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. subtansi UU tentang Narkotika masih sesuai
dengan kebutuhan hukum dan perkembangan
Selain mempertimbangkan peningkatan
zaman.
kasus penyalahgunaan narkotika, dapat dilihat
juga dari jenis ganja yang ditanam di Indonesia. III. Penutup
Menurut penjelasan Kepala Bidang Mutu dan
A. Simpulan
Riset Pusat Laboratorium Narkotika Badan
Narkotika Nasional (BNN), Rieska Dwi 1. Perubahan penggolongan narkotika khusus-
Widayati, S.SI., M.Si, ganja yang dipakai di nya untuk ganja dari golongan IV ke golong-
dunia internasional adalah medical cannabis yang an I dalam Konvensi Tunggal Narkotika
merupakan ganja sintetis, bukan ganja yang 1961 tidak memengaruhi perubahan peng-
tumbuh di Indonesia. 58 Ganja sintetis ini golongan narkotika khususnya untuk ganja
bukanlah synthetic cannabinoid atau zat yang dan turunannya terhadap UU tentang
terdapat pada tembakau gorilla yang dikenal di Narkotika. Hal ini disebabkan secara hukum
Indonesia dan bukan pula diekstrak dari internasional tidak ada kewajiban suatu
tanaman ganja. Sedangkan yang digunakan negara untuk mengikuti perubahan suatu
untuk industri adalah salah satu varietas cannabis, konvensi dan dalam UU tentang Narkotika
telah mengatur bahwa perubahan peng-
golongan narkotika atas dasar pertimbangan
58 kesepakatan internasional dan pertimbangan
Kepala Bidang Mutu dan Riset Pusat
Laboratorium Narkotika Badan Narkotika Nasional kepentingan nasional.
(BNN), Rieska Dwi Widayati Riska, BNN Kembali 2. Dengan adanya perubahan penggolongan
Tegaskan Bahwa Ganja Dilarang Dan Berbahaya,
Narkotika dalam Konvensi Tunggal Nakotika
dimuat dalam https://bnn.go.id/bnn-kembali-
tegaskan-bahwa-ganja-dilarang-berbahaya/, diakses
59
tanggal 26 Maret 2021. Ibid.
83
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
84
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK GANJA
FX. Samekto, Adji. Negara dalam Dimensi Hukum Adalah Buletin Hukum dan Keadilan,
Internasional. Bandung: Citra Aditya Vol. 3 No. 1, 2019.
Bhakti, 2009.
Rosmawati. Pengaruh Hukum Internasional
Haryanto. Dampak Penyalahgunaan Narkoba. Terhadap Perkembangan Hukum Nasional.
Bandung: Cipta Pustaka, 2012. Kanun Jurnal Hukum, No. 61, Th. XV,
2013.
Hawari, Dadang. Terapi (Detoksifikasi) Miras &
Narkoba (NAZA). Jakarta: Fakultas Situngkir. Danel Aditia, Perjanjian Internasional
Kedokteran Universitas Indonesia, Dan Dampaknya Bagi Hukum Nasional.
2011. Kertha Wicaksana, Vol.3, No. 1, 2019.
S, Notoatmodjo. Promosi Kesehatan dan Perilaku SR, Azmiyati. Gambaran penggunaan NAPZA pada
kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta, anak jalanan di Kota Semarang. Jurnal
2012. Kesehatan Masyarakat (KEMAS): Vol. 9
No.2, 2014.
S, Nurhafni. Bahaya Narkoba. Binjai: Akademi
Kebidanan Kharisma Husada, 2015. Zai, Ali dan Yuli W, Yuliana. Peran Indonesia
Dalam Penanggulangan Narkotika. Jurnal
Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksan RI.
Yuridis: Vol.2 No.2, Desember 2015.
Modul Narkotika. Jakarta: Badan Diklat
Kejaksaan, 2019.
85
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
BNN. Ulasan tentang Ganja. Dimuat dalam 9/211000365/ 10- negara- yang- legalkan-
https://dedihumas.bnn.go.id/read/sectio ganja- sebagai -obat- medis? Page =all,
n/ artikel/ 2012/ 04/ 02/ 354/ ulasan- diakses tanggal 24 Maret 2021.
tentang-ganja, diakses tanggal 19 Maret
Kompas. Membandingkan Ganja dan Sabu yang
2021.
Menjerat Para Artis. Dimuat dalam
BNN, Humas. Press Release Akhir Tahun 2020; https://sains.kompas.com/read/2019/10
“Sikap Bnn Tegas, Wujudkan Indonesia /07/131957423/membandingkan-ganja-
Bebas Dari Narkoba. Dimuat dalam dan-sabu-yang-menjerat-para-
https:// bnn.go.id/ press- release-a khir- artis?page=all, diakses tanggal 24 Maret
tahun- 2020/, diakses tanggal 11 Juni 2021.
2021.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Briliawan Gama Rahmatullah dan Dina Perkara Permohonan No. 106/PUU-
Mahfuzah. Konsepsi Pengaturan UU XVIII/2020. Dimuat dalam https://
Narkotika dan UU Psikotropika, Bahaya www.mkri.id/index.php?page=web.Perka
Penyalahgunaan Narkoba (Narkotika Dan ra2&menu=4, diakses tanggal 27 Maret
Obat-obatan Terlarang). Dimuat dalam 2020.
http://lso-pukash.umm.ac.id/id/ pages/
Rahmatullah. Briliawan Gama dan Dina
detail/ departemen -keilmuan/ konsepsi-
Mahfuzah. Konsepsi Pengaturan UU
pengaturan- uu- narkotika- dan -uu-
Narkotika dan UU Psikotropika, Bahaya
psikotropika -bahaya- penyalahgunaan-
Penyalahgunaan Narkoba (Narkotika Dan
narkoba- narkotika –dan -obatobatan-
Obat-obatan Terlarang). Dimuat dalam
terlarang.html, diakses tanggal 25 Maret
https://lsopukash.umm.ac.id/id/pages/
2021.
detail/ departemen-keilmuan/konsepsi-
Faruk Amaz. Indonesia Tolak Rekomendasi WHO pengaturan -uu- narkotika –dan -uu-
soal Legalisasi Ganja. Dimuat dalam psikotropika -bahaya- penyalahgunaan-
https://www.beritasatu.com/nasional/64 narkoba -narkotika- dan -obatobatan-
9663/indonesia-tolak-rekomendasi-who- terlarang.html, diakses tanggal 19 Maret
soal-legalisasi-Ganja, diakses tanggal 4 2021.
Maret 2021.
Retia Kartika Dewi. PBB Keluarkan Ganja dari
Humas BNN. Jenis-Jenis Narkoba. Dimuat dalam Golongan IV ke Golongan 1, BNN: Masih
https:// kalteng.bnn.go.id/ jenis- jenis- Narkoba. Dimuat dalam https:// www.
narkoba/, diakses tanggal 4 Mei 2021. kompas.com/tren/read/2020/12/05/13
1800065/ pbb- keluarkan- Ganja- dari-
Kompas. 10 Negara yang Legalkan Ganja sebagai
golongan -iv-ke -golongan -i-bnn-- masih-
Obat Medis. Dimuat dalam https://
www.kompas.com/tren/read/2020/08/2
86
ANALISIS YURIDIS PERUBAHAN PENGGOLONGAN NARKOTIKA UNTUK GANJA
87
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 65-88
88
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM MENANGANI
TERORISME SIBER DI INDONESIA
(ANALYSIS OF THE LAW NUMBER 11 YEAR 2008 CONCERNING
INFORMATION AND ELECTRONIC TRANSACTION IN COUNTERING
CYBERTERRORISM IN INDONESIA)
Muhammad Hasbi
Praktisi Hukum / Staf Ahli Anggota DPR RI
*Korespondensi: mmdhasbi70@protonmail.com
Abstrak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada saat ini
masih dipergunakan untuk menangani semua persoalan hukum di dunia siber. Perkembangan dunia
informasi melalui internet semakin hari semakin canggih termasuk potensi bahaya yang ditimbulkan.
Salah satu bahaya yang perlu diwaspadai yakni mengenai adanya potensi terorisme siber. Terkait
dengan permasalahan tersebut, tulisan ini menganalisis kegunaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam menangani terorisme siber. Tulisan ini
menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam pembahasan akan diketahui bahwa
ternyata begitu luas tantangan ke depan dalam dunia siber ini. Adapun mengenai Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebetulnya sudah terdapat
sejumlah norma yang dapat digunakan untuk manangani terorisme siber. Hal yang lebih baik adalah
bahkan dibentuk undang-undang khusus untuk itu. Pada akhinya disimpulkan bahwa Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk saat ini dengan
sejumlah norma yang ada masih mampu untuk menangani terorisme siber. Saran dari tulisan ini
yakni perlu ada penguatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik untuk dapat lebih khusus menangani terorisme siber termasuk juga kalau dimungkinkan
maka perlu dibentuk undang-undang khusus
Abstract
Law Number 11 Year 2008 concerning Information And Electronic Transaction at the moment there are used
for handle all legal problem in the cyber world.The rise of the information via the internet like we know is getting
sophisticated including the potential danger incurred. One danger to be aware of the potential cyber terrorism.
Relating to these problems, this writing analyze uses of the Act Number 11 Year 2008 for Information And
Electronic Transaction can be used to counter cyber terrorism.The purpose of this writing is to analyse whether the
Act Number 11 Year 2008 for Information And Electronic Transaction can be used to counter cyber terrorism.
This paper uses the normative legal research. In the discussion we will know that it was so extensively challenges
89
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
ahead in this cyber world. But in the the Act Number 11 Year 2008 for Information And Electronic
Transaction, were actually there are some norm that can be used to counter cyber terorism. What is best is even
formed a special act therefore. In end concluded that the the Act Number 11 Year 2008 for Information And
Electronic Transaction for now with a norm still be able to counter cyber terrorism. The advice of this writing
should be strengthening the Act Number 11 Year 2008 for Information And Electronic Transaction to be more
specific countering cyber terrorism including if possible needs to be formed in a special act.
90
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
menggunakan sarana teknologi informasi dan para ahli yang menganggap terorisme siber
komunikasi. Dampak negatif dari perubahan sebagai kejahatan dunia siber biasa. Anggapan
pola perilaku pada era kehidupan global tersebut seperti ini tidak saja menjebak kita untuk
nampak dari berkembangnya kriminalitas baik bersikap menyederhanakan persoalan melainkan
secara kuantitatif maupun kualitatif. Kini mulai juga berakibat pada kualitas respon antisipatifnya
muncul berbagai jenis kejahatan dengan dimensi menjadi lamban dan terkesan tidak serius.
baru seperti penyalahgunaan komputer, Padahal jika ditilik secara mendalam penggunaan
kejahatan perbankan dan lain sebagainya yang jaringan internet dimana-mana pada saat ini
semakin sulit untuk ditanggulangi. 5 telah menimbulkan ketergantungan yang secara
tidak langsung berkorelasi bagi berkembangnya
Kejahatan dengan dimensi baru yakni
terorisme siber. 7
dimensi dunia siber ini disebut dengan cyber
crime (kejahatan siber) yang dalam implement- Pada tahun 2008, Indonesia membentuk
tasinya merupakan sebuah kejahatan yang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan Informasi dan Transaksi Elektronik (UU tentang
teknologi internet. Munculnya kejahatan dengan ITE) yang merupakan tindak lanjut dari
pemanfaatan teknologi siber ini karena pola pikir diratifikasinya konvensi yang berkaitan dengan
hampir setiap orang pada dewasa ini meyakini kejahatan dunia maya. 8 Dalam United Nations
informasi dari internet selalu benar. Perspektif Conventions Againts Transnational Organized Crime,
ini muncul karena informasi dari media internet atau yang dikenal dengan Palermo Convention,
tidak lagi mengenal batasan-batasan baik jarak PBB telah menetapkan kejahatan-kejahatan yang
maupun waktu. Ketika tersedianya komunikasi termasuk dalam kejahatan transnasional antara
melalui internet dianggap keberkahan besar dan lain kejahatan siber. Kejahatan siber merupakan
semakin menimbulkan ketergantungan dalam bentuk perkembangan kejahatan transnasional
berbagai kehidupan sehari-hari, maka hal ini yang cukup menghawatirkan saat ini. Konvensi
menjadi peluang munculnya cyber crime. 6 ini meskipun pada awalnya dibuat oleh negara
regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya
Salah satu bentuk kejahatan siber yang
dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi
jarang disinggung namun sebetulnya berbahaya
oleh negara manapun di dunia yang memiliki
dan patut diwaspadai yakni cyberterorisme
komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan ini. 9
(terorisme siber). Pemahaman terorisme siber
Melalui pembentukan UU tentang ITE dan
perlu diketahui dan dipahami secara mendalam
perubahannya yakni Undang-Undang Nomor 19
karena bayang-bayang serangan terorisme selalu
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang
mengintai kita setiap saat. Namun hal lain yang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
perlu dicermati yaitu adanya kecenderungan dari
7
Sutaman, Cyber Crime (Modus Operandi dan
5
Kata pengantar Barda Nawawi Arief dalam Penanggulangannya), Yogyakarta: LaksBang
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan PRESSindo, 2011, hal. 10
8
Penyalahgunaan Komputer oleh Al Wisnubroto, Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2002. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: The Habibie
6
Yvonne Jewkes, Crime Online, USA: Willan Center, 2012. hal. 89
9
Publishing, 2010, hal. 13. Ibid.
91
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
Transaksi Elektronik (UU tentang Perubahan hal ini UU tentang ITE, dan pendekatan konsep
Atas UU tentang ITE) diharapkan berbagai yakni konsep terkait dengan terorisme siber. 11
kejahatan yang menggunakan sarana teknologi Penulisan ini juga merupakan kajian teroritik
termasuk terorisme siber dapat tertanggulangi. yang bersifat preskriptif (saran) untuk pem-
baharuan hukum yang dicita-citakan (ius
B. Permasalahan
constituendum). Secara keilmuan, pendekatan
Dengan memperhatikan latar belakang yang digunakan yakni memadukan pendekatan
tersebut, tulisan ini akan membahas per- hukum untuk mengevaluasi peraturan per-
masalahan sebagai berikut, yakni: undang-undangan yang saat ini berlaku dengan
1. Bagaimanakah pengaturan terorisme siber kondisi kekinian dalam persoalan kejahatan
dalam UU tentang ITE? siber. Secara teknis, data yang digunakan adalah
2. Bagaimana UU tentang ITE dapat me- data sekunder, baik itu berupa bahan hukum,
nanggulangi terorisme siber di Indonesia? khususnya bahan hukum primer, seperti per-
aturan perundang-undangan, maupun bahan
C. Tujuan non-hukum, khususnya berbagai literasi terkini,
Tujuan yang dicapai yakni untuk menganalisis baik buku atau pun khususnya artikel jurnal
dan menjawab: ilmiah. 12 Data tersebut dikumpulkan melalui
studi kepustakaan, termasuk dari media internet,
1. Pengaturan tentang terorisme siber dalam
dan dianalisis secara kualitatif.
UU tentang ITE.
2. Peran UU tentang ITE untuk menang- II. Pembahasan
gulangi terorisme siber di Indonesia. A. Kerangka Konsepsional
D. Metode Penulisan 1. Pengertian Terorisme Siber
Penulisan ini dilakukan dengan melakukan Terorisme siber merupakan salah satu
penelitian mengenai transaksi elektronik baik itu bentuk kejahatan siber yang merupakan imbas
UU tentang ITE dan UU tentang Perubahan dari perkembangan teknologi dan telah meng-
Atas UU tentang ITE, dan juga studi terhadap ubah kebiasaan masyarakat yang pada awalnya
perkembangan-perkembangan hukum secara bersifat konvensional menjadi sebuah kebiasaan
normatif. Penelitian ini dilakukan dengan yang lebih bersifat modern atau dapat disebut
metode normatif dimana penelitian ini men- dengan high technology society. Perubahan
dasarkan pada hukum sebagai sebuah bangunan kebiasaan ini mengakibatkan timbulnya kejahat-
sistem norma. Sistem norma dalam hal ini yakni an dengan penggunaan alat elektronik sebagai
asas-asas, norma, kaidah-kaidah peraturan per- media kejahatan. Faktor utama yang meng-
undang-undangan, perjanjian serta doktrin. 10 akibatkan peralihan kebiasaan tersebut adalah
Penulisan ini juga menggunakan penelitian
dengan pendekatan perundang-undangan dalam 11
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian
Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, 2005, hal. 302.
10 12
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Soerjono Seokanto dan Sri Mamuji, Penelitian
Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Hukum Normatif Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali,
Pustaka Pelajar, 2010, hal. 34. 2013, hal. 27.
92
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
adanya perkembangan teknologi informasi yang Hal ini berarti bahwa terorisme siber merupakan
berpadu dengan media komunikasi dan konvergensi dari terorisme dan dunia siber.
teknologi komputer, yang kemudian menghasil- Tindakan ini merupakan salah satu bentuk
kan suatu piranti baru yang disebut dengan pelanggaran hukum karena memberikan dampak
internet. 13 berupa serangan dan ancaman terhadap
komputer, jaringan, dan informasi yang
Kemunculan internet telah menghasilkan
disimpan di dalamnya dan tindakan terror ini
suatu pola interaksi baru dalam kehidupan
dilakukan untuk mengintimidasi atau memaksa
bermasyarakat, yang pada awalnya lebih bersifat
pemerintah atau orang dengan tujuan politik
nyata (real) berubah menjadi pola interaksi
dan sosial tertentu. 16
masyarakat yang bersifat virtual (cybernetics).
Kondisi ini menimbulkan respon dan tantangan Dari pengertian diatas maka dapat kita
yang beragam di mana salah satunya adalah ada- ketahui bahwa terorisme siber merupakan salah
nya respon dari negara–negara untuk mem- satu bentuk dari tindakan teror yang meng-
berikan pengaturan terhadap dunia siber melalui gunakan metode mutakhir di dunia siber.
pembentukan undang-undang. Salah satu Sejarah tentang terorisme berkembang sejak
respon yang samapun dilakukan oleh regional berabad lampau, ditandai dengan bentuk
seperti Uni Eropa (UE) yang menyusun kejahatan murni berupa pembunuhan dan
convention on cybercrime sebagai tindakan peng- ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan
aturan khusus terhadap dunia siber yang bersifat tertentu. Perkembangannya bermula dalam
publik dalam aspek pidana yang terjadi di dunia bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang
siber. 14 kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik
yang dilakukan secara perorangan maupun oleh
Adapun terkait dengan pengertian terorisme
suatu kelompok terhadap penguasa atau
siber itu sendiri, menurut Dorothy Denning: 15
pemerintah. Sebelum Perang Dunia II, hampir
cyberterrorism is the convergence of terrorism and semua tindakan terorisme terdiri atas pembunuh-
cyberspace. It is generally understood to mean an politik terhadap pejabat pemerintah
unlawful attacks and threats of attacks against (assassination of government official). 17
computers, networks, and the information stored
Terorisme merupakan kejahatan luar biasa
therein when done to intimidate or coerce a
(extraordinary crime) yang membutuhkan pula
government or its people in furtherance of
penanganan dengan memberdayakan cara-cara
political and social objectives.
13
Abdul Wahid dan Muhammad Labib,
Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Jakarta: PT.
Refika Aditama, 2005, hal. 103.
14 16
Ibid., hal. 23. Abdul Wahid dan Muhammad Labib, Kejahatan
15
Pardis Mosemzadeh Tehrani, Cyber Terrorism Mayantara (Cyber Crime), hal. 104.
17
Challenges: The Need For a Global Response to a Multi- Muladi, Hakikat Terorisme dan Prinsip Pengaturan
Juriscitional Crime, Comuter Law & Security Review, dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia,
Volume 29, Nomor 2, Tahun 2013, hal. 208. Volume 2 Nomor III, Desember 2002, hal. 1 – 13.
93
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
yang luar biasa (extraordinary measure) karena terorisme dengan bentuk kejahatan
berbagai hal 18 yaitu: lainnya.
94
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
elektronik, dan lain-lain) yang tersebar di seluruh adalah hacking. Hacking yaitu memasukkan ke
penjuru dunia secara interaktif. 20 dalam sistem komputer dengan mengenalkan
virus agar mudah kena serangan ke jaringan situs
The U.S. Department of Justice memberikan
internet atau ancaman terroristik yang dilakukan
pengertian cyber crime sebagai berikut: “an illegal
melalui komunikasi elektronik, hacking dengan
act requiring knowledge of computer technology for its
kata lain diartikan sebagai perusakan komputer
perpetation, investigation, or prosecution” yakni suatu
jaringan pihak lain. 23
tindakan ilegal yang membutuhkan pengetahuan
teknologi komputer untuk perbuatan jahatnya, 2. Globalisasi di Bidang Teknologi Informasi
investigasi, atau penuntutan. Pengertian tersebut
Peradaban dunia pada masa kini dicirikan
identik dengan yang diberikan Organisation of
dengan fenomena kemajuan teknologi informasi
Europe Community Development, yang mendefinisi- dan globalisasi yang berlangsung hampir di
kan computer crime sebagai: “any illegal,unethical or semua bidang kehidupan. Kemajuan dalam
unauthorized behavior relating to the automatic bidang teknologi dan informasi ini juga me-
processing and/or the transmission of data” yakni nimbulkan pergeseran perilaku dalam masya-
setiap perbuatan ilegal yang tidak etis atau tidak rakat. Pergeseran perilaku dalam masyarakat
sah berkaitan dengan pemprosesan otomatis tersebut kemudian dilakukan sebuah bentuk
dan/atau transmisi data. 21 kodifikasi yang dapat dikatakan sebagai sebuah
Kejahatan siber ini juga memiliki 2 (dua) bentuk catatan sejarah masyarakat dari masa ke
pengertian, yakni secara sempit dan secara luas. masa. Sejarah sebagai sebuah catatan penting
Secara sempit, maka kejahatan siber yakni me- yang merekam proses perubahan terhadap
rupakan setiap perilaku ilegal yang diarahkan manusia dan lingkungan dimana manusia hidup
dengan cara operasi elektronik, yang menarget- baik sebagai makhluk individu maupun sebagai
kan keamanan sistem komputer dan data yang mahluk sosial. Demikian halnya dengan proses
diproses olehnya. Selanjutnya, secara luas perkembangan hukum internasional dan ke-
kejahatan siber adalah setiap perilaku ilegal yang butuhan masyarakat akan terciptanya suatu
dilakukan dengan cara, atau berhubungan regulasi yang memiliki fungsi pengaturan
dengan, jaringan sistem komputer, termasuk terhadap tindakan-tindakan yang merupakan
kejahatan seperti kepemilikan ilegal, menawar- perilaku dari manusia dan terkhusus pada
kan atau mendistribusikan informasi melalui perilaku yang dianggap dapat mengganggu
sistem komputer pada jaringan. 22 keharmonisan kehidupan manusia dan
lingkungan sekitarnya, baik itu dalam bentuk
Salah satu bentuk kejahatan siber yang
kejahatan maupun pelanggaran. Hal ini
merupakan bentuk serangan terhadap jaringan
merupakan alasan mengapa pentingnya kita
komputer dan infrastruktur telekomunikasi
memahami konsep teknologi informasi. 24
20
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom,
Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi,
23
Bandung: Rafika Aditama, 2012, hal. 8. Abdul Wahib dan Mohammad Labib, Kejahatan
21
Ibid. Mayantara (Cyber Crime), Bandung: Refika Aditama,
22
Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya 2014, hal. 129.
24
Pencegahan Kejahatan Berteknologi, hal. 6. Ibid., hal. 130.
95
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
96
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
negara menjadi terhubung kian erat dengan Oleh karena itu, ketika suatu negara-negara yang
negara lain. 31 Adapun globalist merupakan aktor mengikuti kebutuhan teknologi pada saat ini
intelektual dunia global. Alison Brysk, yang memang penuh dengan konsekuensinya sendiri.
merupakan pakar ilmu politik pada Universitas
Efek globalisasi memang menjadikan
California, juga mengungkapkan pandangannya
kedaulatan negara seakan menjadi paradoks,
tentang relasi antara negara dan informasi.
namun siapa yang dapat melawan kekuatan
Menurut Brysk, negara-negara yang melibatkan
global apalagi kekuatan perusahaan trans-
diri dalam globalisasi wajib mempunyai sumber
nasional yang ada didalamnya. 34 Noam
daya teknologi baru, terutama teknologi
Chomsky menceritakan bahwa dunia pada saat
informasi, komputer, dan peranti yang lain
ini sedang berada dalam sistem ekonomi
untuk berhubungan dengan dunia luar. 32
kapitalis yang sangat parah. Negara-negara besar
Lebih lanjut, Joseph E. Stiglitz, mantan menguasai tatanan ekonomi global pada seluruh
senior vice precident World Bank dan pemenang aspek dari industri kebutuhan pokok, kesehatan,
hadiah Nobel di bidang ekonomi pada 2001, sampai industri kreatif seperti film. Sistem
membuat ilustrasi faktual berkenaan dengan ekonomi yang demikian itu membuat negara-
relasi antara globalisasi dan penguasaan negara dunia ketiga meninggalkan lahan
teknologi: 33 perkebunannya dan memilih menjadi buruh
pabrik yang upahnya tidak seberapa. Lalu
kota Bongalore di India memiliki
bersamaan dengan itu muncul konsep globalisasi
teknologi dan orang-orang untuk
dan pengenalan internet di dalamnya. 35
menjalankannya, namun tidak demikian
Globalisasi dan teknologi informasi dan
halnya dengan Afrika. Pada saat
komunikasi memang tidak dapat terpisahkan.
globalisasi dan teknologi baru me-
Bahkan jika merujuk ke buku Noam Chomsky
ngurangi kesenjangan antara India,
tersebut kita akan mengetahi bahwa sebetulnya
China, dan negara-negara industri maju,
globalisasi ini merupakan agenda panjang yang
kesenjangan antara Afrika dan belahan
sudah disusun secara rapi oleh segelintir elit
dunia yang lain justru meningkat.
yang biasa disebut globalist dengan tujuan
Demikian pula halnya dalam suatu
menyatukan tatanan pemerintah-an dunia. 36
negara, kesenjangan antara si kaya dan si
Untuk itu maka memprioritaskan teknologi
miskin semakin meningkat. Dan bersama
informasi sebagai kebutuhan primer yang baru
dengan itu, kesenjangan antara mereka
bagi masyarakat dunia adalah sangat penting
yang mampu dan tidak mampu bersaing
sebagai propaganda menanamkan pemikiran di
juga meningkat.
setiap orang mengenai apa yang benar dan apa
yang salah. Oleh karennya tidak salah jika
31
Shayne Weyker, The Ironies of Information melihat bahwa ini merupakan bagian dari
Technology, California: University of California Press,
2002, hal. 116.
32 34
Ibid., hal. 58. Noam Chomsky, How The World Works,
33
Extrix Mangkepriyanto, Pidana, ITE dan Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2015, hal. 260.
35
Perlindungan Konsumen, Jakarta: Guepedia Publisher, Ibid., hal. 258.
36
2019, hal. 85. Ibid., hal. 305.
97
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
98
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
kan tanda atau alat untuk pengaman penerbang- secara lebih jelas Adapun model tersebut bisa
an, atau membuat pesawat udara tidak dapat digambarkan dalam bentuk sebagai berikut: 41
terpakai sebagian atau seluruhnya. Selanjutnya
Pasal 12 kaitannya dengan kejahatan dengan
bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,
radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau
komponennya yang mengakibatkan atau dapat
mengakibatkan kematian atau luka berat atau
menimbulkan kerusakan harta benda. Demikian
pula dalam Bab IV mengenai tindak pidana lain
yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme
belum mengatur mengenai terorisme siber.
99
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
without terrorism, period. 43 Pernyataan ter- cukup penting yang menjadi sasaran
sebut menegaskan bahwa pelaku terorisme serangan terorisme siber yakni: 46
siber merupakan para teroris. Dengan
1. Agriculture; 2. Food; 3. Water; 4.
demikian maka para pelaku teror ini
Public health; 5. Emergency services; 6.
mereka melancarkan kegiatan terornya
Government; 7. Defense industrial base;
dengan menggunakan fasilitas siber.
8. Information and telecommunications;
Penggunaan komputer sebagai alat dan
9. Energy; 10. Transportation; 11.
sasaran serangan merupakan bentuk
Banking and finance; 12. Chemical
Kedua, mengenai pertanyaan apa dan industry and hazardous materials; 13.
bagaimana (tools), terjadinya terorisme siber Postal and shipping; dan 14. Real estate.
tersebut tentunya dengan premise dasar
Keempat, mengenai pertanyaan meng-
bahwa infrastruktur penting sebuah negara
apa (motif), secara umum ada beberapa
lebih tergantung pada pemanfaatan
motif kenapa internet sering menjadi alat
jaringan komputer untuk bekerjanya. 44
atau sasaran tempat terjadinya kejahatan.
Dengan demikian para pelaku atau
Menurut Phillip W. Brunst ada beberapa
kelompok pelaku melakukan serangan
motivasi umum kenapa kejahatan
secara masif untuk melakukan penetrasi
dilakukan di internet. Adapun beberapa
terhadap jaringan keamanan komputer
faktor yang menjadi motivasinya yaitu: 1),
dan menghilangkan atau mematikan
Location Independence, 2) Speed, 3)
fungsi-fungsi pentingnya.
Anonymity, 4) Internationality, dan 5), Cost-
Ketiga, mengenai pertanyaan dimana Benefit Ratio. 47 Berdasarkan hal tersebut
(targets), negara-negara pada seluruh maka bentuk-bentuk motivasi tersebut
wilayah didunia pada saat ini sangat berlaku bagi kejahatan terorisme siber atau
tergantung pada sistem informasi. Sistem bagi kejahatan dunia siber biasa lainnya.
informasi merupakan kebutuhan dasar Perbedaannya bisa diketahui atau diamati
bagi suatu negara untuk melayani sehubungan dengan agenda yang
kepentingan publik. Oleh karena itu, mendasarinya. Tujuan utama teroris adalah
serangan terorisme siber selalu melahirkan ketakutan, membuat kepanik-
menargetkan sasarannya pada critical an ekonomi atau mendiskriminasi lawan
information infrastructure. 45 Adapun politik.
beberapa infrastruktur informasi yang
Tujuan lainnya bisa jadi adalah
terlepas dari motif utama seperti menurun-
kan pendapatan moneter atau pengumpul-
43
Andrew Michael Colarik, Cyber Terrorism:Political an informasi (baik untuk konvensional
and Economic Implications, USA: Idea Group
Publishing, 2002, hal. 15. 46
Ibid.
44 47
Bradley K. Ashley, Anatomy Of Cyberterrorism: Is Marianne Wade, A War on Terror? The European
America Vulnerable?, hal. 7. Stance on a New Threat, Changing Laws and Human
45
Samuel C. McQuade, Encyclopedia Of Cybercrime, Rights Implications, New York: Springer, 2010, hal. 52-
London: Greenwood Press, 2010, hal. 38. 56.
100
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
atau serangan elektronik). Sebagai catatan Pasal 52. Selanjutnya akan dianalisis
penting, serangan di internet merupakan masing-masing pasal dalam Bab XI tersebut
salah satu cara yang dilakukan untuk mengenai ketentuan pidana.
mencapai tujuan. Isu terkait dengan ini
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal
adalah kesulitan untuk mendeteksi niat
dalam Bab XI mengenai ketentuan pidana
teroris di balik aksinya di internet.
dalam UU tentang ITE, maka dapat
Kelima, mengenai pertanyaan kapan diidentifikasikan beberapa perbuatan yang
(timing), dari motif kenapa internet dilarang (unsur tindak pidana) yang erat
menjadi pilihan sebagai alat atau sasaran kaitannya dengan tindak pidana terorisme
serangan oleh teroris yang dijelaskan di siber pada tiap-tiap pasalnya.
atas, maka konsekuensi logisnya serangan
Penulis melihat bahwa memang dasar
bisa dilakukan kapan saja. Selain faktor-
hukum yang spesifik terkait dengan tindak
faktor tersebut, maka waktu serangan akan
pidana terorisme siber memang belum ada,
sangat ditentukan oleh momentum yang
namun dasar hukum yang sementara dapat
tepat agar ketakutan bisa menyebar luas di
diberlakukan jika terjadi terorisme siber
kalangan masyarakat. Dengan kata lain,
sebenarnya sudah tersedia di UU tentang
waktu serangan akan berkorelasi dengan
ITE. Sebagai contoh misalnya di Pasal 30
tujuan, kemampuan dan faktor rentannya
UU tentang ITE terkait dengan aksi
sistem keamanan dari jaringan yang
kejahatan terorisme siber yang berbentuk
dijadikan alat atau sasaran serangan.
unauthorized acces to computer system dan
Seperti kita ketahui propaganda ketakutan
service. Kemudian, Pasal 31 UU tentang
adalah propaganda yang paling mudah
ITE terkait dengan aksi kejahatan hacking.
dilakukan dan manusia pada umumnya
Dalam Undang-Undang ini terkait dengan
mudah mempercayai hal baru yang belum
aksi kejahatan terorisme siber yang
diketahui secara benar. Oleh karena itu,
berbentuk cyber sabotage dan extortion. Pasal
peluang kapan terorisme siber ini muncul
33 UU tentang ITE menyangkut aksi
bisa kapan saja.
kejahatan terorisme siber yang berbentuk
Atas dasar 5 (lima) aspek utama diatas unauthorized acces to computer system and
penting kiranya kita sekarang melihat apa service. Oleh karena itu, terlihat bahwa
dalam kondisi saat ini UU tentang ITE perspektif UU tentang ITE adalah
sudah mampu atau belum menangani menekankan pada aspek penggunaan/
terorisme siber ini? Dalam UU tentang keamanan sistem informasi eleketronik
ITE yang merupakan undang-undang yang atau dokumen elektronik, dan
mengatur tentang kejahatan-kejahatan yang penyalahgunaan di bidang teknologi dan
berbasis teknologi, sedangkan tindak transaksi elektronik yang dilakukan oleh
pidana terorisme siber merupakan bagian/ para pelaku terorisme siber.
jenis dari kejahatan siber. Ketentuan
Bila kita coba analisis sistem pe-
pidana dalam UU tentang ITE terdapat
rumusan tindak pidana dalam UU tentang
dalam Bab XI Pasal 45 sampai dengan
101
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
102
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
terkait dengan aksi kejahatan terorisme bidang teknologi infomasi dan transaksi
siber yang berbentuk unauthorized acces to elektronik, yang berbentuk tindak pidana
computer system dan service. terorisme siber. Oleh karena itu, nampak
bahwa perspektif UU tentang ITE adalah
Pasal 34 UU tentang ITE dengan
menekankan pada aspek penggunaan/
unsur tindak pidana: memproduksi,
keamanan sistem informasi elektronik atau
menjual mengadakan untuk digunakan,
dokumen elektronik, dan penyalahgunaan
mengimpor, menyediakan perangkat lunak
di bidang teknologi dan transaksi
komputer untuk tujuan kesusilaan atau
elektronik yang dilakukan oleh para pelaku
eksploitasi seksual terhadap anak, pe-
terorisme siber.
nyadapan, merusak, dan menghilangkan
suatu Informasi Elektronik dan/atau Selanjutnya, mengenai sistem
dokumen elektronik dan/atau dokumen perumusan pertanggungjawaban pidana
elektronik milik orang lain atau milik dalam UU tentang ITE. Melihat ketentuan
publik. Hal ini terkait dengan aksi pidana yang ada dalam UU tentang ITE
kejahatan terorisme siber yang berbentuk sebagaimana diatur dalam Pasal 45 sampai
hacking, cyber sabotage dan extortion. Pasal 35 dengan Pasal 52 maka dapat diiden-
UU tentang ITE dengan unsur tindak tifikasikan bahwa pelaku tindak pidana
pidana yakni melakukan perubahan, pen- atau yang dapat dimintakan pertang-
ciptaan, perusakan, penghilangan dan gungjawaban pidana dalam UU tentang
memanipulasi data informasi elektronik/ ITE adalah meliputi individu atau orang
dokumen elektronik dengan tujuan per orang dan korporasi. Ini terbukti dari
Informasi dan/ atau dokumen elektronik ketentuan pasal-pasal tersebut yang diawali
tersebut dianggap seolah-olah data yang dengan kata “Setiap orang …” dan
autentik. Hal ini juga terkait dengan aksi “korporasi…”.
kejahatan hacking.
Masalah pertanggungjawaban pidana
Mengenai unsur sifat melawan hukum berkaitan erat dengan pelaku tindak
dalam UU tentang ITE tersebut, disebut- pidana. Pelaku yang dapat dipidana adalah
kan secara tegas bahwa unsur sifat melawan orang dan korporasi, yang dinyatakan
hukum tersebut dapat dilihat pada dalam Pasal 1 angka 21 dan dalam
perumusan “….setiap orang dengan sengaja ketentuan pidana UU tentang ITE ter-
dan tanpa hak atau melawan hukum sebut. UU tentang ITE mengatur secara
sebagaimana dalam pasal…” seperti lanjut dan terperinci tentang ketentuan
dirumuskan dalam Pasal 30 sampai dengan pertanggungjawaban pidana terhadap
Pasal 37 UU tentang ITE di atas. Melihat korporasi, karena UU tentang ITE tersebut
berbagai ketentuan yang telah dikriminal- membedakan pertanggungjawaban pidana
isasikan dalam UU tentang ITE tersebut, terhadap individu dan korporasi, sebagai-
nampak adanya kriminalisasi terhadap mana yang tercantum dalam Pasal 52 UU
perbuatan-perbuatan yang berhubungan tentang ITE.
dengan penyalahgunaan penggunaan di
103
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
104
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
105
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
terdapat dalam Pasal 27 ayat (3). Pasal ini individu memiliki kemampuan untuk
berpotensi digunakan untuk mem- bertindak sesuai dengan keinginannya. 56
bungkam kebebasan berpendapat. Pasal
Pendapat senada juga disampaikan
karet semacam ini rentan untuk disalah-
oleh Susi Dwi Harijanti yang menyatakan
gunaka oleh orang-orang yang mempunyai
bahwa salah satu prasyarat dari negara yang
kekuatan ekonomi dan politik. Hal ini
demokratis adalah dengan dijaminnya
berbahaya karena bisa jadi nanti walaupun
berbagai hak-hak dari warga negaranya
terdapat kebenaran yang diungkapkan
melalui konstitusi, dan ditinggikannya nilai
namun karena dianggap penghinaan maka
dari konstitusi negara itu sendiri sehingga
pengungkap kebenaran tersebut dapat
ia bersifat supreme. Praktik ini biasa disebut
ditangkap. 53
pula dengan konstitusionalisme. Melalui
Hal ini semakin salah karena, konsep konsepsi ini, tidak hanya kepentingan
demokrasi yang kita pilih saat ini memiliki orang banyak saja yang dijunjung,
hubungan dengan kebebasan, R. William melainkan juga kelompok kecil. Di saat
Liddle mengatakan bahwa demokrasi ini bersamaan, diberikan pula pagar-pagar
dengan sendirinya memerlukan liberal pembatas bagi pemerintahan dalam men-
(kebebasan) dalam pengertian hak-hak jalankan politik. 57
sipil; kalau hak-hak ini tidak ada maka
Hal ini menjadi semakin ironis karena
tidak ada demokrasi. 54 Terkait kebebasan,
sebenarnya kebebasan menyampaikan
ada ungkapan John Stuart Mill, filsuf
pendapat secara khusus diatur dalam
Inggris abad ke-17 yang gigih memper-
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998
juangkan kebebasan dan menegaskannya
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pen-
dalam kehidupan bermasyarakat, ia
dapat di Muka Umum. Pada Pasal 2 ayat
mengakatakan “Semakin luas kebebasan
(1) disebutkan bahwa “setiap warga negara,
berekspresi dibuka dalam sebuah masyarakat
secara perorangan atau kelompok, bebas
atau peradaban maka masyarakat atau
menyampaikan pendapat sebagai perwujudan
peradaban tersebut semakin maju dan
hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam
berkembang.” 55 Kebebasan secara umum
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
dimasukan ke dalam konsep dari filosofi
bernegara”. Selain bunyinya yang secara
politik dan mengenali kondisi dimana
eksplisit menjamin mengenai penyampaian
pendapat secara umum bagi warga negara,
undang-undang ini juga mengatur dengan
53 56
Abi, Potensi Salah Guna UU ITE, dimuat dalam Rizki Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi
https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/index.p Manusia, dan Demokrasi, Yogyakarta: Graha Ilmu,
hp/s13-berita/potensi-salah-guna-uu-ite/, diakses 2013, hal. 55.
57
tanggal 11 September 2020. Susi Dwi Harijanti, Interaksi Konstitusi dalam
54
Hamid Basyaib, Membela Kebebasan, Jakarta: Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri,
Freedom Institute, 2006, hal. 147 Bandung: Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas
55
Ibid., hal. 267. Hukum Universitas Padjadjaran, 2016, hal. x-xi.
106
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
107
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
dihubungkan dengan kata lain yaitu “dari akan tetapi, pada tindakan pencarian,
atau untuk”. Oleh karena itu istilah penerimaan dan bagian dari informasi atau
kebebasan biasanya dikaitkan dengan ide apapun yang sedang dipergunakan.
tiadanya penghalang, pembatas, ikatan, walaupun Kebebasan berbicara dan ke-
paksaan, hambatan, kewajiban dari hal bebasan berekspresi yang terkait erat
tertentu atau untuk melakukan sesuatu. 61 dengan sebuah kebebasan, namun berbeda
dan tidak terkait dengan konsep kebebasan
Lorens Bagus, dalam kamus filsafat,
berpikir atau kebebasan hati nurani. 64
mendefinisikan kebebasan sebagai kualitas
tidak adanya rintangan nasib, keharusan Untuk itu menurut Penulis, daripada
atau keadaan di dalam keputusan atau dalam terorisme siber menggunakan UU
tindakan seseorang. 62 Lorenz Bagus juga tentang ITE yang sudah sering dipersepsi-
membedakan empat macam kebebasan kan negatif dan rawan penyalahgunaan,
dalam sejarah filsafat. Yang pertama adalah maka penting kiranya ada pengaturan baru
daya seleksi salah satu dari dua atau lebih mengenai terorisme siber. 65 Penguatan
alternatif (kemungkinan). Arti kedua ketentuan pidana dalam menanggulangi
menempatkan kebebasan secara konsisten terorisme siber itu merupakan tantangan
seturut dengan ajaran-ajaran determinisme, yang harus diwujudkan, karena bagaimana-
mengidentikan kebebasan dengan berbuat pun kebijakan kriminal tidak dapat dilepas-
seturut kemauan kita, meskipun kemauan kan sama sekali dari masalah nilai karena
kita ditentukan oleh seperangkat sebab. seperti dikatakan oleh Christiansen, yakni:
Arti ketiga adalah kebebasan berpusat dari
the conseption of problem ‘crime and
motif-motif internal manusia. Arti ke-
punishment’ is an essential part of the
empat, kebebasan menuntut suatu kondisi
culture of any society; begitu pula menurut
konotasi normatif, sehingga kebebasan
W. Clifford, the very foundation of any
berarti berbuat apa yang harus diperbuat. 63
criminal justice system consists of the
Kebebasan berbicara (Inggris: Freedom philosophy of given country.
of speech) adalah kebebasan yang mengacu
Untuk itulah maka Penulis
pada sebuah hak untuk berbicara secara
memandang perlu adanya revisi terhadap
bebas tanpa adanya tindakan sensor atau
UU tentang ITE yang memuat peng-
pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak
aturan tentang terorisme siber.
termasuk dalam hal untuk menyebarkan
kebencian. Dapat diidentikan dengan istilah
kebebasan berekspresi yang kadang-kadang
digunakan untuk menunjukkan bukan 64
John W, Johnson. Peran Meedia Bebas. New
hanya kepada kebebasan berbicara lisan, York: Office of International
Informtion Programs U.S. Departement of States,
61
Ibid. 2001, hal. 53.
62 65
Lorenz Bagus. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan
2002, hal. 406. Hukum Pidana, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2012,
63
Ibid. hal.2-3
108
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
109
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
110
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Wade, Marianne. A War on Terror? The European to a Multi-Juriscitional Crime. Comuter Law
Stance on a New Threat, Changing Laws and & Security Review, Volume 29, Nomor 2,
Human Rights Implications. New York: 2013.
Springer, 2010.
Bahan yang Tidak Diterbitkan
Weyker, Shayne. The Ironies of Information
K. Ashley, Bradley. Anatomy Of Cyberterrorism:
Technology. California: University of
Is America Vulnerable?. A Research Paper
California Press, 2002.
Submitted to the Faculty In Partial Fulfillment of
Wahid, Abdul dan Muhammad Labib. Kejahatan the Graduation Requirements, 27 February
Mayantara (Cyber Crime). Jakarta: PT. 2003.
Refika Aditama, 2005. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Jurnal Kebebasan Berekspresi di Internet, Jakarta:
Elsam, 2013.
Jaya Hairi, Prianter. Prinsip dan Standar Hak Asasi
Manusia dalam Pengamanan Unjuk Rasa.
Jurnal Negara Hukum, Volume 3, Nomor Nawawi Arief, Barda. Kebijakan Hukum Pidana
1, 2012.
Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan
Junaid, Hamzah. Pergerakan Kelompok Terorisme Komputer oleh Al. Wisnubroto. Universitas
Dalam Perspektif Barat dan Islam. Jurnal Atma Jaya Yogyakarta 2002.
Sulesana, Volume 8 Nomor 2, 2013. Laman
Muis Naharong, Abdul. Pejuang Kemerdekaan Abi. Potensi Salah Guna UU ITE. Dimuat dalam
adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berit
Terorisme. Jurnal Paramadina, Volume 9, a/index.php/s13-berita/potensi-salah-guna-
Nomor 1 April 2012. uu-ite/. Diakses tanggal 11 September
Muladi. Hakikat Terorisme dan Prinsip Pengaturan 2020.
dalam Kriminalisasi. Jurnal Kriminologi Admintirto. Jerat Setan Pasal Karet. Dimuat
Indonesia Volume 2 Nomor III, Desember dalam https://tirto.id/jerat-setan-pasal-
2002. karet-ehft . Diaskes tanggal 10 September
Zamroni, Mohammad. Perkembangan Teknologi 2020.
Komunikasi dan Dampaknya Terhadap Putra, Antoni. Ancaman Demokrasi Dari Somasi
Kehidupan. Jurnal Dakwah, Volume X, Gubernur Kalimantan Selatan. Dimuat
Nomor 2, Juli-Desember, 2009. dalam https:// pshk.or.id /blog-
Jurnal Internasional id/ancaman- demokrasi- dari-somasi-
gubernur -kalimantan- selatan/. Diakses
Tehrani, Pardis Mosemzadeh. Cyber Terrorism
tanggal 13 Juli 2021.
Challenges: The Need For a Global Response
111
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 89-112
112
PERAN FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENURUT
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(THE ROLE OF FACTION IN THE HOUSE OF REPRESENTATIVES IN THE
STATUTORY REGULATIONS)
Imron Razali
Tenaga Ahli Anggota Dewan Perwakilan Daerah
*Korespondensi: imronrazalii@gmail.com
Abstrak
Fraksi merupakan perpanjangan tangan partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Kondisi ini
menjadi persoalan yang mengemuka hingga saat ini karena seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat
adalah wakil rakyat dan bukan wakil partai. Partai politik saat ini mendapatkan penilaian yang buruk
hal ini berimbas juga ke penilaian lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang berisi partai poltik. Karena
fraksi wajib ada di Dewan Perwakilan Rakyat maka perlu ada analisis bagaimana sebetulnya peran
fraksi selama ini di Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan analisis misalnya dalam hal legislasi fraksi
memiliki peran memberikan usulan dalam penyusunan prolegna dan, menyampaikan pendpat mini
pada akhir pembicaraan tingkat I pembahasan rancangan undanh-undang, Membahas fraksi memang
tidak dapat dipisahkan dengan partai politik namun harus ada batasan yang tegas untuk kedepannya.
Dapat dilakukan seabagai solusi yakni fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat tidak hanya disi oleh 1
partai saja namun dapat juga diisi oleh beberapa partai. Hal ini akan berdampak kepada lebih
mudahnya pengambilan keputusan karena jumlah fraksi yang cenderung sedikit.
Abstract
Faction Is the extension of political party in The House of Representatives. This condition become a trouble that
leak because The House of Representatives it supposed to be the representatives of the people not for the political
party. Nowadays, political party get a bad persception by the people and that also react to the persception of The
House of Representatives that containing political party. Because facsion is mandatory to The House of
Representatives, therefore we must analyze the role so far in the house of representatives. An example analysis of
faction in legislation process is like faction have an important role in the preparation of Law Agenda and provide
a suggestions, faction also must have make an simple political party opinion in the discussion of making the law.
Therfore when we discuss the faction we cannot separate it to the political party but must make a limitation for
the future. We can make a solution like faction its not contain just one politcaly party, but it can be contain by
two or more political party. That rule can make an affect in decision-making of The House of Representatives. It
will make the decision-making job become easier because the number of faction is small.
113
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 113-134
114
PERAN FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MPR. Dengan adanya perubahan terhadap UUD gabungan dapat saja melemahkan atau bahkan
NRI Tahun 1945, kedaulatan tidak lagi dalam mengeyampingkan kedaulatan rakyat tersebut,
ranah kewenangan MPR melainkan langsung jika hal tersebut tidak sejalan dengan keinginan
berada di tangan rakyat dan bertanggungjawab partai karena tentunya setiap anggota partai
pada UUD NRI Tahun 1945. politik sekalipun ketua fraksi harus tunduk
kepada aturan main partai itu sendiri karena jika
Melalui perubahan UUD NRI Tahun 1945
tidak, partai dapat mudah menarik atau mem-
tersebut, Indonesia telah membuka lembaran
berhentikan anggota tersebut yang dengan
baru dalam sistem ketatanegaraan maupun per-
sendirinya dapat menghilangkan jabatannya
politikan, selain kewenangan MPR, juga terjadi
sebagai anggota legislatif. Hal tersebut sudah
adanya perubahan hubungan kinerja antara
sering terjadi melalui mekanisme recall atau pem-
Presiden dengan DPR dalam hal menjalankan
berhentiaan berdasarkan usul partai asalnya,
fungsi legislasi. Pengalaman Indonesia pada
melalui praktek-praktek semacam itulah yang
masa-masa pemerintahan sebelumnya membuka
mengakibatkan beralihnya kedaulatan rakyat
suatu gagasan agar UUD NRI 1945 dilakukan
kepada kedaulatan partai karena terhadap pe-
perubahan, kemudian amandemen yang di-
langgaran kedaulatan rakyat tidak ada
laksanakan oleh MPR memberikan warna ber-
mekanisme langsung. 6
beda terhadap hubungan antar lembaga tinggi
negara. Salah satu persoalan yang diperdebatkan Bagaimana peran fraksi yang sebaiknya dan
saat melakukan amandemen itu adalah persoalan juga sebaiknya bagaimana kedepannya fraksi di
yang berkaitan dengan kekuasaan legislative dan DPR perlu dipertahankan atau tidak maka hal-
eksekutif dalam hal kekuasaan membuat undang- hal tersebut perlu untuk dijawab. Karena kondisi
undang. Dalam perjalanan melaksanakan fungsi- saat ini telah menujukkan adanya kondisi yang
fungsi yang dimiliki DPR dari beberapa periode, perlu diubah.
memang DPR pada era reformasi banyak meng-
B. Permasalahan
alami perubahan yang sangat signifikan. Salah
satu perubahannya adalah penguatan peran Berdasarkan latar belakang yang telah
fraksi yang semakin terlihat. diuraikan di atas maka pokok permasalahan
dalam tulisan ini yaitu:
Ketentuan mengenai fraksi dalam UU
tentang MD3 juga dikatakan dibentuk untuk 1. Bagaimana peran dan keberadaan fraksi
mengoptimalkan pelaksanaan fungsi wewenang sebaagi perpanjangan tangan partai poltik
tugas DPR serta hak dan kewajiban anggota DPR selama ini menurut peraturan perundang-
justru telah tidak berjalan dengan seharusnya. 5 undangan?
Karena fraksi merupakan pengerucutan dari 2. Upaya apakah yang dapat dilakukan untuk
masing-masing anggota legislatif yang memiliki meningkatkan efektifitas peran fraksi di
latar belakang partai yang sama terkecuali fraksi DPR?
5
Ketentuan Pasal 82 ayat (4) Undang-Undang
6
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Konstitusi: Perspektif Baru tentang ‘Rule of Law and Rule
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan of Ethics & Constitusional Law and Constitutional Ethic,
Rakyat Daerah. Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hal. 247.
115
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 113-134
9
Dimuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
7
Soerjono Seokanto dan Sri Mamuji, Penelitian Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
10
Hukum Normatif Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali, Miriam Budiarjo, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta:
2013, hal. 14. Gramedia, 2010, hal. 404.
8 11
Ibid. Ibid., hal. 86.
116
PERAN FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Setelah Budi Utomo, kemudian diikuti merintahan belanda akan dilarang kegiatan-
dengan bermunculannya partai politik nya dan dianggap illegal dimana pemimpin-
modern, antara lain Indische Partij (IP), Indische nya akan diberikan hukuman. 13
Social Democratische Vereeniging (ISDV), Partai
Kemudian setelah kemerdekaan, terdapat
Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional
jaminan mengenai kebebasan berserikat yang
Indonesia (PNI), Partai Indonesia Raya
diberikan oleh Indonesia melalui UUD NRI
(Perindra), Gerakan Rakyat Indonesia
Tahun 1945. Secara tertulis Indonesia
(Gerindro), Partai Indonesia (Pertindo), dan
berdasarkan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI
Partai Rakyat Indonesia (PRI). Sementara itu,
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap
Indische partij dikenal sebagai partai politik orang berhak atas kebebasan berserikat, ber-
yang menjadi pelopor timbulnya organisasi kumpul, dan mengeluarkan pendapat. Ber-
politik modern di masa sebelum kemerdeka- dasarkan ketentuan tersebut, maka Pasal 28E
an. Mengingat pada saat itu partai dinilai ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 memiliki
memiliki pemikiran yang ekstrim oleh substansi yang jauh lebih tegas mengenai
Belanda, hal tersebut mengakibatkan Indische kebebasan berserikat yang menjadi dasar bagi
Partij hanya mampu bertahan selama delapan partai politik di era pasca reformasi. Meski-
bulan. Sementara itu, ketiga pemimpinnya pun dasar konstitusi sebelum amandemen
diasingkan ke Kupang, Banda, dan Bangka, ketentuan di dalam Pasal 28 UUD NRI
dan setelah itu diasingkan jauh ke Belanda. 12 Tahun 1945 asli memiliki kandungan makna
Setelah bertahun-tahun diasingkan di yang lebih dalam, yakni kemerdekaan ber-
negeri Belanda, mantan pemimpin Indische serikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
Partij (IP) yakni Ki Hajar Dewantara dan dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
Setyabudi kembali ke Indonesia untuk ditetapkan dengan undang-undang. Oleh
mendirikan kembali partai politik dengan sebab itu, hak berserikat, berkumpul, dan
nama National Indische Partij (NIP) pada 1919. mengeluarkan pendapat yang dirumuskan
Kemudian secara langsung juga mempelopori dalam Pasal 28E UUD NRI 1945 setelah
terbentuknya beberapa partai politik lain amandemen harus dijamin olehnegara dalam
seperti Partai Nasional Indonesia, Partai hal perlindungan dan penghormatan serta
Indonesia, Indische Social Democratische pengembangan dalam rangka peri kehidupan
Verening (ISDV), dan Partai Indonesia Raya. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sebelum kemerdekaan, Partai-partai politik Miriam Budiardjo juga menyebutkan be-
tersebut tidak semuanya mendapatkan status berapa fungsi dari partai politik. 14 Partai
badan hukum dari kolonial Belanda dengan politik sebagai saranan komunikasi politik.
kata lain bahwa sebagian disebut sebagai Salah satu tugas dari partai politik adalah
partai politik ilegal. Bahkan, partai-partai yang menyalurkan aneka ragam pendapat, aspirasi
ada baik legal maupun ilegal tidak dapat masyarakat dan meng aturnya sedemikian
beraktivitas secara normal di zaman kolonial rupa sehingga ke simpangsiuran pendapat
Belanda. Sebab partai yang menentang pe-
13
Ibid., hal. 91.
12 14
Ibid. Ibid., hal. 163-164.
117
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 113-134
dalam masyarakat berkurang. Dalam konteks memahami setiap produk hukum atau
ini, partai politik merupakan salah satu bagian kebijakan dari pemerintah yang telah diber-
dari sistem pada sistem komunikasi. Adapun lakukan. 16
sistem komunikasi pada kegiatan politik
2. Konsep Peran dan Fungsi DPR
dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah:
1.Pesan yang disampaikan yaitu aspirasi yang Pasal 20A UUD NRI Tahun 1945
terdapat dalam masyarakat 2). Penyampai mendudukan lembaga DPR sebagai lembaga
pesan yaitu masyarakat yang mempunyai yang memiliki fungsi-fungsi yang begitu vital
aspirasi 3). Sarana/wadah penyampai pesan bagi negara, yakni fungsi legislasi, aggaran
adalah Partai Politik dan Anggota Legislatif dam pengawasan. 17 Anggota DPR juga dipilih
berasal dari partai politik. 4). Penerima Pesan oleh rakyat secara langsung melalui pemilih-
adalah pemerintah daerah ataupun pemerin- an umum. 18 Dengan berbagai peran-peran
tah pusat. Bagian-bagian dari sistem tersebut pentingnya, DPR merupakan lembaga per-
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat wakilan yang seharusnya merupakan pe-
dipisahkan. Oleh karena itu, maka pemaham- nyambung lidah rakyat. DPR sebagai lembaga
an akan fungsi parati politik sebagai sarana perwakilan memiliki peran penting karena
komunikasi politik oleh partai politik adalah rakyat menitipkan mandatnya untuk meng-
hal yang wajib dan harus dilaksanakan. 15 awasi jalannya pemerintahan yang dijalankan
oleh eksekutif melalui lembaga tersebut.
Partai poltik sebagai sarana sosialisasi
Konsep pengawasan DPR terhadap kerja-
politik. Partai politik juga main peranan
kerja eksekutif tersebut biasa disebut dengan
sebagai sarana sosialisasi politik (Instrument Of
cheks and balances.
Political Socialization). Dalam ilmu politik,
sosialisasi politik diartikan sebagai proses Munculnya mekanisme cheks and balances
melalui mana seseorang memperoleh sikap ini dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945
dan orientasi terhadap phenomena politik, menurut Sri Soemantri Martosoewignjo di-
yang umumnya berlaku dalam masyarakat maksudkan sebagai upaya untuk meng-
dimana ia berada. Dalam konsteks ini juga hindari manipulasi kekuasaan seperti yang
partai politik merupakan wadah bagi sosiali- pernah terjadi pada masa pemerintahan
sasi produk hukum dan kebijakan yang telah Soekarno dan Pemerintahan Soeharto. 19 Di
dibuat oleh pemegang kekuasaan (legislatif samping itu, perubahan itu untuk menye-
maupun eksekutif). Partai politik merupakan imbangkan kekuasaan antara legislatif,
pihak yang berpran untuk melakukan
pemberitahuan/ sosialisasi produk hukum 16
Ibid.
atau kebijakan dari pemerintah kepada 17
Dimuat dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-
masyarakat terutama masa pemilihnya. Oleh Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
karena itu, jika partai politik menyadari dan 18
Dimuat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
melaksanakan fungsi tersebut, maka tidak ada Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
19
lagi masyarakat yang tidak mengetahui dan Ibrahim R., Sistem Pengawasan Konstitusional
AntaraKekuasaan Legislatif dan Eksekutif Dalam
Pembaharuan UUD 1945, Disertasi Pascasarjana
15
Ibid. UNPAD, Bandung, 2003, hal. 2.
118
PERAN FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
119
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 113-134
diharapkan sederajat dan saling mengendali- nuansa checks and balances seperti telah
kan satu sama lain sesuai dengan prinsip dikemukan sebelumnya. Sebagai bagian dari
yang dikenal dengan prinsip checks and konsep penyelenggaraan pemerintahan,
balances. Masyarakat yang semakin ber- prinsip checks and balances itupun akhirnya
kembang ternyata menghendaki negara menyingkirkan paham pembagian kekuasaan
memiliki struktur organisasi yang lebih secara vertikal. Adanya pembatasan pada
responsif terhadap tuntutan publik. kekuasaan negara dan organ-organ pe-
Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik nyelenggara negara yang menerapkan prinsip
dalam pelaksanaan pelayanan masyarakat pembagian kekuasaan secara vertikal, me-
maupun dalam pencapaian tujuan penyeleng- miliki kecenderungan untuk menjadi
garaan pemerintahan, menjadi harapan sewenang-wenang. Oleh karena itu, kekuasa-
masyarakat yang ujungnya ditumpukan an harus selalu dibatasi dengan cara
kepada negara. Perkembangan dan harapan memisah-misahkan kekuasaan ke dalam
tersebut memberikan pengaruh terhadap cabang-cabang dengan kedudukan yang
struktur organisasi negara, termasuk bentuk, sederajat dan saling mengimbangi serta
serta fungsi lembaga-lembaga negara. mengendalikan satu sama lain.
120
PERAN FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
mendasar, yaitu beralihnya supremasi MPR Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata
menjadi supremasi konstitusi. Sejak masa Tertib (Peraturan Tata Tertib DPR) dan UU
reformasi, Indonesia tidak lagi menempatkan tentang Parpol. Dalam ketentuan-ketentuan
MPR sebagai lembaga tertinggi negara tersebut fraksi-fraksi mengalami penguatan dari
sehingga semua lembaga negara sederajat masa ke masa. Pada masa Orde Lama (DPR
kedudukannya dalam sistem checks and Periode 1950-1959), masa Orde Baru (DPR
balances. Hal ini merupakan konsekuensi dari Periode 1966-1998), dan awal Era Reformasi
supremasi konstitusi, di mana konstitusi (DPR 1999-2004) ketentuan mengenai fraksi
diposisikan sebagai hukum tertinggi yang hanyalah tercantum pada Peraturan Tata Tertib
mengatur dan membatasi kekuasaan DPR. 26
lembaga-lembaga penyelenggara negara.
Selanjutnya, memasuki era reformasi (DPR
Dengan demikian, Perubahan UUD NRI Periode 2004 sampai dengan saat ini) ketentuan
Tahun 1945 ini juga telah meniadakan mengenai fraksi dapat kita analisis ternyata
konsep superioritas suatu lembaga negara terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22
atas lembaga-lembaga negara lainnya dari Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Selain pemahaman kelembagaan negara dari Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
teori dan konsep kekuasaan negara oleh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU
organ negara, kelembagaan negara dapat pula tentang Susunan dan Kedudukan). Bahkan
dipahami dari teori dan perspektif mengenai semenjak DPR Periode 2009-2014, ketentuan
organisasi secara umum. Organisasi merupa- tentang fraksi mulai diatur dalam undang-
kan suatu tempat atau wadah orang-orang undang partai politik dan UU tentang MD3.
berkumpul, bekerjasama secara rasional dan Kondisi ini memperlihatkan bahwa peran dan
sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin keberadaaan fraksi semakin diperkuat.
dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber
Fraksi sebagai political group yang ada di DPR
daya sarana-parasarana, data, dan hal-hal yang
tidak dapat terpisahkan dari eksistensi partai
digunakan secara efisien dan efektif untuk
politik. Partai politik memiliki peran yang sangat
mencapai tujuannya. Wewenang dan pem-
penting dalam sistem demokrasi yang telah
bagiannya dalam organisasi merupakan pem-
tumbuh dan berkembang secara subur di
berian wewenang kepada seseorang dalam
Indonesia. Partai mempunyai peran yakni sebagai
posisi tertentu di organisasi. Perubahan
alat penghubung yang strategis antara proses
UUD NRI Tahun 1945 ini yang kemudian
pembentukan kebijakan pemerintah (dalam arti
pada akhirnya mempengaruhi peran dan
fungsi DPR sebagai suatu lembaga
26
Andi Iswanto, Peran Fraksi DPR RI (Studi kasus
B. Peran dan Keberadaan Fraksi Sebagai Peran Fraksi PG, Prakfi PKS, dan Fraksi PPP Dalam
Perpanjangan Tangan Partai Politik di DPR Penentuan Ambang Batas Parlemen Dalam Pembaasan
Dalam Peraturan Perundang-Undangan Rancangan Undang-UNdang Tetang Perubahan Atas
Undang-UNdang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Peran fraksi di DPR diatur dalam UU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
Jurnal Politik Vol. 1 No. 2 April 2013, FISIP UI,
tentang MD3, Peraturan Dewan Perwakilan
2013, hal. 26.
121
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 113-134
luas) dengan warga negaranya. Sebetulnya partai diwakilinya sebagai dasar aspirasi untuk me-
politiklah yang menentukan jalan atau tidaknya nentukan arah kebijakan kegiatan bernegara.
penyelenggaraan sistem demokrasi di suatu Berdasarkan pendapat dari Robert Micheles
negara. 27 Oleh sebab itu, partai politik menjadi dikatakan bahwa mengenai partai politik, yakni
pilar yang sangat penting bagi kekuatan lembaga satu-satunya organisasi sarana ekonomi atau
dalam sistem politik yang demokratis (the degree politik yang membentuk kemauan kolektif. 30
of institutionalization). 28 Maka dari itu, berorganisasi dalam sistem
demokrasi merupakan prasyarat mutlak bagi
Namun saat ini, kondisi riil menunjukkan
setiap perjalanan perjuangan politik. Seluruh
praktik-praktik partai politik yang mencoreng
aspek bangsa harus mengakui bahwa peranan
marwah demokrasi bahkan tidak jarang melaku-
partai politik sangat penting dalam rangka
kan tindak pidana sehingga menjadikan partai
dinamika pelembagaan demokrasi. Adanya
politik dipandang secara skeptis yang menyebut-
organisasi, tentulah memberikan dampak bagi
kan bahwa partai politik hanya kendaraan bagi
kepentingan bersama menjadi kuat keduduk-
elit yang hendak mencapai kekuasaan untuk
annya saat menghadapi pihak lawan atau saingan
pemenuhan nafsu. Sebenarnya hal demikian
politik untuk mencapai suatu kekuasaan baik
tidaklah perlu terjadi, sebab apabila kelompok
eksekutif maupun legislatif.
masyarakat hendak maju menduduki kekuasaan-
kekuasaan tertentu terutama kekuasaan legislatif, Berdasarkan ketentuan UU tentang Partai
maka yang bersangkutan perlu menjaga marwah Politik sebagaimana diubah denagn Undang-
dan moral pejabat publik demi terciptanya sistem Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubah-
politik suci yang demokratis. Negara demokrasi an Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
dalam kedudukan serta peranan lembaga negara tentang Partai Politik, ditegaskan bahwa partai
haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling politik berhak membentuk fraksi di MPR, DPR,
mengendalikan dalam hubungan “check and dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
balances”. Namun hal demikian jika lembaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan, 31
tersebut tidak berfungsi dengan baik atau lemah- dapat kita analisi bahwa memang fraksi ini
nya wibawa dalam menjalankan fungsinya adalah bagian dari perpanjangan tangan partai.
dengan baik, maka terjadi partai-partai politik Bahkan jika kita hubungkan dengan tujuan
yang rakus dalam menguasai dan mengendalikan umum partai politik perannya partai begitu
proses penyelenggaraan fundamental fungsi pe- sentral untuk mengembangkan kehidupan
merintahan. Partai politik juga berperan sebagai demokrasi berdasarkan Pancasila dengan men-
media dan wahana yang sangat signifikan. 29 junjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 32 Kondisi
Dilihat dari sudut pandang manapun juga,
normatif ini memperlihatkan bahwa fraksi
partai politik memiliki peran dalam hal memper-
juangkan nilai dan kepentingan konstituen yang 30
Robert Michels, Political Parties, A Sosiological
Study of The Oligarchical Tendecies of Modern Democracy
27
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat (Terjemahan), Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 23.
Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, 31
Dimuat dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang
Jakarta: Konstitusi Press, 2010, hal. 52. Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
28 32
Ibid. Dimuat dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang-
29
Ibid. Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
122
PERAN FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
penting dalam hal proses pelembagaan demo- Jika kita coba elaborasi pemahaman
krasi tersebut yang juga tergantung pada pe- mengenai partai politik dalam UU tentang Partai
lembagaan partai politik sebagai bagian yang tak Politik dan begitu juga undang-undang perubah-
dapat dipisahkan dari sistem demokrasi. annya, dapat kita temukan bahwa partai politik
pada awalnya dibentuk atas dasar keinginan
Demokrasi tanpa partai politik adalah hal
untuk menyatukan berbagai kelompok masya-
yang tidak mungkin, pendapat ini dikatakan oleh
rakat yang mempunyai visi dan misi yang sama,
Yves Meny dan Andrew Knapp. 33 Sistem politik
sehingga pikiran dan orientasi mereka dapat
yang hanya terdapat satu partai politik sangat
dikonsolidasikan. Berangkat dari hal tersebut,
sulit mendapatkan aspirasi yang objektif dari
dapat diuraikan bahwa partai politik merupakan
masyarakat, sebab keadaan tersebut akan men-
kelompok terorganisir, dimana anggota anggota-
jadi alat pemaksa bagi kekuasaan untuk me-
nya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita
langgengkan jabatannya tanpa melalui sistem
yang sama, yang bertujuan untuk mewujudkan
politik yang demokratis, apalagi tanpa partai
cita-cita tersebut dengan memperoleh kekuasaan
politik sama sekali. Sehingga legitimasi ke-
politik dan merebut kedudukan politik. Untuk
kuasaan bagi pejabat politik yang naik akan
dapat mencapai tujuannya maka partai politik
menjadi lemah, dikarenakan tidak terdapat
harus mampu melaksanakan fungsinya dengan
lawan politik yang sifatnya heterogen dari partai
baik
politik lainnya.
Membahas fraksi memang tidak bisa lepas
Jika kita analisis peran dan keberadaan fraksi
dari membahas partai politik karena keduanya
sebagai perpanjangan tangan partai politik,
adalah saling tak terpisahkan, hal ini juga
penulis menilai kondisi fraksi yang ada saat ini
diperkuat dengan sistem politik yang negara
lebih banyak membebani kerja-kerja DPR karena
Indonesia gunakan saat ini dalam kerangka
kepentingan partisan yang dimilikinya. Jika
mekanisme perwakilan. Hubungan fraksi sebagai
menggunakan kerangka konsepsional mengenai
penjelmaan partai dan DPR sebagai suatu
konsep partai politik maupun konsep peran dan
lembaga perwakilan pada saat ini sesuai dengan
fungsi DPR, memang jelas keduanya sulit untuk
pandangan Padmo Wahjono yang berpendapat
sejalan. Partai politik lebih mendahulukan ke-
bahwa timbulnya pola perwakilan ini sudah
butuhan partai secara praktis dan hal ini
berkembang sejak jaman Romawi abad per-
berkelanjutan dalam peran-peran fraksi di DPR,
tengahan. 34 Pada jaman tersebut terdapat
sedangkan DPR seharusnya bekerja untuk rakyat.
perebutan kekuasaan antara tuan tanah dan
Dalam situasi ini penting memang kita menemu-
pusat kekuasaan pada masa Romawi lalu
kan “benang merah” untuk menyelesaikan kedua
muncullah ide mengenai sitem perwkialn yang
polarisasi persoalan ini, namun tetap berpegang
terpengaruh dari perkembangan hukum perdata
teguh kepada perspektif pilar demokrasi yang
Romawi. 35 Perkembangan hukum dan demokrasi
yang diemban oleh partai politik.
sesuai sejarah tersebut pada akhirnya ber-
33
Yves Meny and Andrew Knapp, Government and
34
Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, German, Padmo Wahjono, Kuliah-Kuliah Ilmu Negara,
Third Section, Oxford: Oxford University Press, Jakarta: Ind-Hill.co., 2010, hal. 186.
35
2011, hal. 86. Ibid.
123
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 113-134
pengaruh pada kita yang menganut asas hukum kegiatan yang menguntungkan pribadinya
eropa continental. dengan uang yang berasan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal
Untuk lebih lanjut membahas hubungan
tersebut bertujuan untuk menghindari oligarki-
fraksi sebagai perpanjangan tangan partai politik
sentralistik pada elit partai. Adanya perubahan
di DPR, maka perlu kita lihat juga masing-
mendasar pada hubungan partai politik me-
masing dari periodesasinya. Pada masa DPR
ngenai recall menjadikan kedudukan anggota
Periode 1999-2004 yang lahir dari hasil Pemilu
DPR itu sendiri lebih dapat berdaulat dan
1999, hal ini merupakan tonggak awal demokrasi
bersifat independen, tanpa adanya intervensi
langsung yang sehat. Sebagai bagian yang penting
yang dilakukan pemerintah maupun partai
dalam proses penyelesaian reformasi di tahun
politiknya sendiri. Namun, Penulisngnya per-
1998 dan awal dari proses pembaharuan sistem
ubahan sistem politik pada tahun 1999 tidak
politik di Indonesia, pada saat itu harapan dari
membawa perubahan yang berarti terkait kualitas
masyarakat yaitu menjadikan Pemilu 1999 lebih
lembaga DPR. Kinerja anggota dewan yang
memiliki kualitas dalam menghasilkan wakil-
mengecewakan membuktikan adanya kelemahan
wakil rakyat dengan prinsip langsung, umum,
dalam sistem perwakilan politik di Indonesia.
bebas, rahasia, jujur, dan adil. 36
Jika kita menilik lebih jauh dari sisi per-
Pada periode DPR 1999-2004 ini juga jika
undang-undangan di UU tentang Susduk,
kita analisis dari sisi perundang-undangan ter-
memang tidak jelas ada pengaturan mengenai
dapat UU tentang Susunan dan Kedudukan
fraksi di DPR. Namun, jika lihat penjelasan Pasal
(walaupun pada saat ini undang-undang ini
37 ayat (4) UU tentang Susduk dapat kita
sudah tidak belaku lagi dengan adanya UU
temukan penjelasan yang menyebut bahwa pem-
tentang MD3). Dalam perspektif UU tentang
bentukan fraksi dimaksud agar DPR dan DPRD
Susunan dan kedudukan ini tidak lagi men-
mampu melaksanakan tugas, wewenang, dan
cantumkan proses penggantian antar waktu yang
haknya secara optimal dan efektif. Hal ini
disebabkan oleh usulan dari partai politik
memang jika analisis begitu penting karena
pengusung anggota dewan di DPR RI. Namun,
memang partai politik adalah penyambung lidah
klasul pasal tentang hak recall partai politik yang
rakyat dan saaat itu memang kondisinya belum
sebelumnya ada di Pasal 14 Undang-Undang
diatur jelas dalam undang-undang. Itulah
Nomor 16 Tahun 1969 tentang tentang Susduk
mengapa pada periode DPR 1999-2004 ini,
MPR, DPR, dan DPRD jo. Undang-Undang
hasilnya tidak memperbesar pertanggungjawaban
Nomor 5 Tahun 1995 tentang Susduk MPR,
anggota dewan dan lembaga perwakilan terhadap
DPR, dan DPRD dirubah menjadi ketentuan
rakyat yang memberikan mandat terhadapnya.
Pasal 14 dan Pasal 42 UU tentang Susduk
Karena memang pada DPR periode ini,
dengan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota
sesungguhnya rakyat tidak memiliki instrumen
DPR yang kedapatan melakukan usaha atau
yang efektif untuk mengevaluasi anggota dewan
selain dari proses penyelenggaraan pemilu.
36
T.A. Legowo, Lembaga Perwakilan Rakyat di Sehingga, ciri dan sifat utama sistem perwakilan
Indonesia: Studi Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan politik di Indonesia pada periode ini tetap
UUD 1945 (Kritik, Masalah, dan Solusi), Jakarta:
FORMAPI, 2012, hal. 28. kurang menunjukan kemajuan yang berarti
124
PERAN FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
dalam hal penguatan hubungan antara rakyat, antar waktu (recall) terhadap anggota DPR RI
partai politik, dan wakil-wakilnya di parlemen. yang bersangkutan. Secara normatif, hal
demikian dibentuk untuk menjaga hubungan
Selanjutnya, pada masa DPR Periode 2004-
rakyat dengan wakil rakyat melalui keberadaan
2009 dan Periode 2009-2014 semua bermulai
fraksi-fraksi di DPR RI, sehingga bilamana
dari hasil Pemilu di tahun 2004 yang
anggota dewan keluar dari jalur aspirasi rakyat,
berdasarkan dalam Pasal 22E ayat (2) UUD NRI
maka fraksi dapat mengevaluasi. Namun di sisi
Tahun 1945. Lebih kurangnya hal ini adalah
lain, justru praktik yang ada ialah oligarki
dampak dari amandemen Ketiga UUD Tahun
sentralistis terjadi lagi, yaitu partai politik terlalu
1945 yang mana menyatakan bahwa Pemilu
mengintervensi kadernya yang berada di DPR.
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Sehingga, kedaulatan dan sifat independensi
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
anggota DPR ternodai oleh kepentingan fraksi-
Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan
fraksi di DPR. Selain itu, penting sekali untuk
Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini kemudian
menganggarkan keuangan untuk partai politik. 38
dielaborasi dengan sistem Pemilu anggota DPR
menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun Pada DPR Periode 2004-2009 dan Periode
2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan 2009-2014, peran fraksi semakin terlihat dan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, mirip degan yang dikatakan oleh B.N. Marbun
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bahwa fraksi diterjemahkan sebagai kelompok
mengatur bahwa Pemilu dilaksanakan dengan orang yang mempunyai dan memperjuangkan
sistem proporsional dengan calon daftar suatu aliran politik dalam parelemen atau dewan-
terbuka. 37 dewan perwakilan. 39 Apa yang muncul dalam
DPR di dua periode ini tidak dapat dilepaskan
Kemajuan pesar dalam 2 (dua) periode ini
dari perkembagan politik di Indonesia. Yang
baik DPR Periode 2004-2009 dan Periode 2009-
demikian ini muncul karena peran fraksi akan
2014, yakni terdapat pula beberapa undang-
selalu berubah seuai perkenbangan politik di
undang yang berlaku sebagai penunjang sistem
jaman tertsebut. Berdasarkan bilamana kita lihat
politik yang telah diperbaharui berdasarkan Pasal
peraturan perundang-undangan sejak tahun
22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Sehingga,
1956 mislanya dapat kita lihat pernguatan posisi
konstalasi perpolitikan dalam hubungannya
fraksi. Kendati demikian, peran anggota DPR
antara partai politik dengan lembaga DPR RI
sebagai wakil rakyat tidak tereduksi dengan
semakin progresif. Hal demikian dibuktikan
keberadaan fraksi.
dengan diaktifkannya kembali hak recall bagi
partai politik yang memiliki anggota di DPR. Peran fraksi semakin nampak bilamana kita
Apabila terdapat hal-hal yang tidak sejalan telaah lagi misalnya dalam Peraturan Dewan
dengan visi dan misi partai politik, maka tidak
segan partai politik mengajukan penggantian 38
Teguh Imansyah, Regulasi Partai Politik dalam
Mewujudkan Penguatan Peran dan Fungsi Kelembagaan
Partai Politik, Jurnal RechtsVinding: Media
37
Dimuat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor Pembinaan Hukum Nasional, Volume 1, Nomor 3,
12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Desember 2012, hal. 385.
39
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan B.N. Marbun, Kamus Politik, Edisi Revisi, Jakarta:
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. pustaka Sinar Harapan, 2011, hal. 153.
125
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 113-134
126
PERAN FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Dalam tataran ideal mestinya tugas kedewanan- ubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun
dilakukan oleh alat kelengkapan DPR tanpa 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
pelibatan fraksi. Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Selanjutnya pada DPR Periode 2014-2019,
dalam Pasal 7 huruf g yang menyatakan perlunya
Penulis melihat demokrasi perwakilan yang
meningkatkan kinerja sesuai tugas dan we-
terjadi pada proses penyelenggaraan sistem
wenangnya agar dapat bersikap lebih proaktif
politik periode 2014-2019 terdapat pemahaman
dan sungguh-sungguh dalam menyerap dan
yang lebih matang mengenai konsep aspirasi
menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan yang
rakyat melalui partai politik dalam lembaga DPR
disampaikan oleh masyarakat. Sehingga turunan
RI. Kemudian, demi menunjang representasi
dari perundang-undangan tersebut terdapat Pasal
rakyat dan aspirasi rakyat yaitu disusunnya Pasal
12 huruf j Peraturan Tata Tertib DPR sebagai-
69 ayat (2) UU tentang MD3 dan Pasal 210
mana telah diubah dengan Peraturan Dewan
Peraturan Tata Tertib DPR yang pada intinya
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 3
menyatakan bahwa pelaksanaan fungsi-fungsi DP
Tahun 2015 di mana fungsi pengawasan DPR
dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.
salah satunya dilaksanakan dengan cara me-
Untuk mengimplementasikan tugas yang di-
nyerap, menghimpun, menampung, dan
amanatkan oleh peraturan perundang-undangan
menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
di atas, maka DPR membentuk Tim Mekanisme
masyarakat. Selain itu Undang-Undang Nomor
Penyampaian Hak Mengusulkan dan Memper-
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
juangkan Program Pembangunan Daerah
Publik menjadikan upaya mendekatkan DPR
Pemilihan. DPR pada masa pasca reformasi di
dengan rakyat merupakan suatu keharusan.
periode 2014-2019 tetap ber-komitmen me-
Sehingga, hal demikian tidak lagi hanya meng-
ningkatkan kecepatan dalam memberikan
andalkan keberadaan fraksi sebagai wadah
tanggapan atas surat pengaduan dan aspirasi
aspirasi rakyat yang terlembaga di DPR, namun
masyarakat yang telah disampaikan melalui
juga adanya keterbukaan informasi publik guna
fraksi-fraksi yang ada di parlemen. Sesungguhnya
memenuhi kebutuhan masyarakat atas informasi
aspirasi rakyat merupakan keinginan kuat dari
dari lembaga DPR. Maka dari itu, keberadaan
masyarakat yang disampaikan kepada DPR dalam
partai politik sebagai penghubung langsung ke
bentuk pernyataan sikap, pendapat, harapan,
wakil rakyat perlu dioptimalkan dengan baik dan
kritik, masukan dan saran terkait dengan tugas,
meminimalisir agregasi kepentingan dari
fungsi, dan kewenangan DPR. 40
oligarkis sentralis partai politik terhadap
Lebih lanjut, DPR berdasarkan Pasal 72 anggotanya.
huruf g dan Pasal 81 huruf j UU tentang MD3
Secara umum pada DPR Periode 2014-2019,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
dapat dianalaisis bahwa peran fraksi masih
Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Per-
semkin kuat. Secara nyata fraksi di DPR juga
40
DPR, Langkah DPR Menuju Parlemen Modern dalam berperan dalam menentukan komposisi ke-
Demokrasi Indonesia: Laporan Kinerja DPR (1 Oktober anggotaan, mengusulkan nama anggota, meng-
2014—13 Agustus 2015) Ringkasan, Jakarta: Dewan ganti nama anggota alat kelengkapan DPR.
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Agustus
2015, hal. 45. Bahkan fraksi berperan besar dalam mengajukan
127
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 113-134
calon pimpinan alat kelengkapan DPR. Hal ini untuk apa dan apakah hal ini membawa ke-
dikarenakan dalam setiap pembentukan alat manfaatan.
kelengkapan DPR, keterlibatan fraksi selalu ada,
Untuk menilai apakah sudah baik atau
baik dalam hal penentuan komposisi keanggota-
benar kondisi saat ini dimana fraksi begitu
an, mengusulkan nama anggota, mengganti
berkuasa di DPR sedangkan DPR seharusnya
anggota maupun dalam mengajukan nama calon
adalah wakil rakyat dalam peran pentingnya
pimpinan alat kelengkapan DPR.
mengontrol hagemoni kekuatan eksekutif maka
Kemudian setelah periode DPR Periode dapat dilihat pendapat Dennis F. Thompson.
2014-2019, pada saat ini sedang dijalankan DPR Menurut Dennis F. Thompson 42 seharusnya
periode 2019-2024. Sejauh ini masih ada lagi legislatif diberikan suatu kekuasaan untuk me-
kategorisasi hubungan DPR dengan partai politik nentukan pilihan-pilihan peran dan keputusan
di periode sebelumnya yakni periode DPR 2014- dan pertimbangan mereka akan suatu kebijakan.
2019, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor Hubungan legislator dengan rakyat tidak boleh
2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas terlalu jauh dan erlu adanya suatu susunan
UU tenatng MD3 bahwa keterlibatan fraksi perwakilan yang benar-benar seimbang di antara
hampir sama dengan rezim undang-undang berbagai jenis wakil.
sebelumnya. Untuk saat ini di tahun 2020
DPR seharusnya bertidak dan befikir sebagai
perubahan arah politik tentang fraksi masih
wakil dari rakyat bukan hagemoni partai poltik
belum terlihat, namun Penulis berpendapat hal
yang berorientasi pada kekuasaan saja hal ini
yang ada di beberapa periode terkahir DPR
dikarenakan DPR merupakan suatu lembaga
masih akan berlanjut karena hal ini didukung
negara.Lembaga negara adalah sebuah organisasi
dalam beberapa pengaturan peraturan per-
berbentuk lembaga pemerintahan atau "Civilized
undang-undangan.
Organization", yang dibuat oleh negara dan
Menarik sebetulnya jika kita mau mem- bertujuan untuk membangun negara itu sendiri.
bedah peran fraksi karena kedudukan atau Dalam konstuksi kedudukan DPR harus
tingkatan eksistesi atau kehadiran fraksi yang disesuikan perannya antara peran eksekutif,
memberikannya peranan-peranan tertentu dalam legislative, dan yudikatif seusai konsep trias
kedudukannya sebagai kepanjangan tangan politika. Waluapun memang trias Politika juga
partai. Peran itu berarti kedudukan atau status hanya dapat diterapkan secara murni di
takni sesuatu tingkatan eksistensi yang me- negaranegara hukum klasik (klasieke rechsstaat),
rupakan sumber bagi timbulnya peranan-peranan tetapi tidaklah mudah diterapkan di negara
tertentu. 41 Untuk itu kita harus memahami hukum modern yang memiliki pekerjaan
bahwa fraksi sebaagi perpanjangan tangan partai administrasi negara yang luas. 43
dalam lembaga yang seharusnya represntasi
rakyat dalam bingkai NKRI itu kegunaannya
42
Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat
Negara, Penerjemah Benjamin Molan, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2015, hal. 149.
41 43
A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum
Tanya jawab, Edisi Ketiga, Bogor: Ghalia Indonesia, Administrasi Negara, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2010, hal. 108. 2010, hal. 13.
128
PERAN FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DPR memiliki peran besar dalam hal cheks beberapa pemikiran yang dapat diadopsi dan
and balances.Sebagai bagian dari konsep muara ini semau dimulai dari pemahaman
penyelenggaraan pemerintahan, prinsip checks menyeluruh dari UUD NRI Tahun 1945. Pasal
and balances berupaya menyingkirkan paham 22E UUD NRI Tahun 1945 dalam ayat (1)
pembagian kekuasaan secara vertikal. Adanya menyebutkan bahwa peserta pemilihan umum
pembatasan pada kekuasaan negara dan organ- untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
organ penyelenggara negara yang menerapkan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal, Daerah adalah partai politik. Konsepsi ini jelas
memiliki kecenderungan untuk menjadi se- berarti partai politik perannya begitu besar dan
wenang-wenang. Oleh karena itu, kekuasaan tidak dapat ditawar-tawar kembali. Untuk itu
harus selalu dibatasi dengan cara memisah- maka perlu ada juga upaya mengubah cara
misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang panjang menilai partai politik bagi masyarakat
dengan kedudukan yang sederajat dan saling awam. Rusadi Kantaprawira mendefinisikan
mengimbangi serta mengendalikan satu sama partai politik yaitu organisasi manusia dimana di
lain. dalamnya terdapat pembagian tugas dan petugas
untuk mencapai suatu tujuan, mempunyai
Peran-peran check and balances yang se-
ideologi mempunyai program politik sebagai
betulnya secara ekplisit sudah tercantum dalam
sarana pelaksanaan atau cara pencapaian tujuan
UUD NRI Tahun 1945 juga diuatkan denagn
secara secara lebih pragmatis menurut penahap-
UUD tentang MD3. Dalam peraturan per-
an jangka dekat sampai yang jangka panjang serta
undang-undangan tersebut terlihat bahwa NKRI
mempunyai ciri berupa keinginan untuk
adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang
berkuasa. 44 Dari definisi tersebut jika kita analisis
dalam pelaksanaannya menganut prinsip ke-
maka akan kita pahami dimana partai politik
rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijak-
memainkan peran penghubung yang sangat
sanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
strategis antara proses-proses pemerintahan
Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat ber-
dengan warga negara. Namun demikian, banyak
dasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
juga pandangan kritis dan bahkan skeptis
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ per-
terhadap partai politik. Yang paling serius di
wakilan, perlu diwujudkan lembaga per-
antaranya menyatakan bahwa partai politik itu
musyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat,
sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan
dan lembaga perwakilan daerah yang mampu
politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau
mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta
berniat memuaskan kekuasaannya sendiri. Ketika
dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi
cara pandang awam melihat partai politik telah
rakyat, termasuk kepentingan daerah, agar sesuai
berubah maka akan kurang rasa ketidak-
dengan tuntutan perkembangan kehidupan
percayaan terhadap proses jalannya kegiatan
berbangsa dan bernegara.
bernegara.
Atas sejumlah pengaturan peraturan
perundang-undangan tersebut, sebagai suatu
solusi pengefektifan peran fraksi dan komposisi 44
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia:
fraksi kedepannya, Penulis mengusulkan ada Suatu Model Pengantar, Bandung: Sinar Baru, 2014,
hal. 63.
129
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 113-134
Solusi selanjutnya adalah, jika melihat Tata Pengefektifan peran fraksi sebagai per-
Tertib DPR di Pasal 20 ayat (3) dapat kita panjangan tangan partai politik yang mem-
dapatkan norma dimana fraksi dapat juga pengaruhi peran dan fungsi-fungsi DPR sedikit
dibentuk oleh gabungan dari 2 (dua) atau lebih banyak akan tersolusikan juga dengan hal ini.
partai politik. Hal ini menurut Penulis penting Dampak positif dari peran fraksi yang lebih
untuk menjadi pilihan kedepan, karena sekali optimal ini yakni DPR akan semakin men-
lagi dari perjalanan demokrasi kita sejak jalankan perannya sebagai pemegang mandat
reformasi problematika kita adalah terkait representatif. Hal ini sesuai dengan teori me-
banyaknya jumlah partai politik, dan kita selalu ngenai hubungan antara si wakil rakyat dengan
mencari solusi penyederhanannya. Penulisngnya rakyat sekali pemberi mandat. 45
upaya penyederhanaan yang dirajut dalam
III. Penutup
perundang-undangan tertuama undang-undang
Pemilu sering tidak optimal, jalan moderat sering A. Simpulan
diambil. Ekses negative dari itu semau adlah Berdasarkan hasil pembahasan mengenai
jumlah partai tetap saja banyak di DPR dan hal peran partai politik dalam fraksi di DPR dapat
ini menajdi problem baru karena semau ber- disimpulkan sebagai berikut, yaitu:
dampak ke pengambilan keputusan dalam
penyelenggaraan lembaga DPR. Untuk itu 1. Peran dan keberadaan fraksi sebagai
menurut Penulis kembali ke model jaman dulu perpanjangan tangan partai politik di DPR
yang pernah digunakan yakni membentuk fraksi diatur dalam UU tentang MD3 dan per-
gabungan di DPR sebaagi suatu kewajiban adalah ubahannya, Peraturan Tata Tertib DPR, dan
solusi baik. Hal ini akan berdampak denagn peraturan perundang-undangan lainnya yang
adanya penyamaan visi dan arah pandang terkait. Adanya pengaturan fraksi di se-
menyikapi persoalan misalnya namun tidak dari jumlah peraturan perundang-undangan ter-
sudut pandang lagi per partai per fraksi
melainkan gabungan sikap secara gabungan 45
Teori mandat ini dalam ilmu pengetahuan tentang
fraksi yang terdiri dari partai-partai. Hal ini akan kenegaraan dikenal dengan beberapa istilah, yaitu 1.
Teori Mandat Imperatif, si wakil sudah mendapat
mepercepat lahirnya kesamaan pandangan dan
instruksi dari yang diwakili, kewenangan si wakil
pemikiran yang menyatu dan mengasilkan amat sangat terbatas, yaitu pada apa yang ditentukan
keputusan yang lebih cepat. atau diinstruksikan oleh yang diwakili. 2. Teori
Mandat Bebas, si wakil memiliki kebebasan dalam
Dengan ini pula maka kita tidak akan di- menentukan apa yang akan dilakukan di lembaga
kejar-kejar juga dengan mencari solusi bagaimana perwakilan (DPR RI). Sehingga, tidak tergantung
pada instruksi yang diwakilkan. 3. Teori Mandat
caranya menyederhakana jumlah partai politik Representatif, rakyat sebagai pemegang kedaulatan
karena semua metode sebetulnya sudah dicoba dan sudah memiliki kesadaran bernegara. Selanjutnya
namun tidak optimal saja. Denagn penggunaan rakyat memberikan mandatnya pada badan
perwakilan secara keseluruhan untuk melaksanakan
fraksi gabungan ini di DPR maka tidak perlu ada
kedaulatan rakyat tersebut. Si wakil tidak memiliki
lagi penyederhanaan partai poltik juga yang hubungan langsung dan tidak bertanggung jawab
begitu ekstrim dari hasil Pemilu. pada yang diwakili. Terdapat dalam Makmur Amir
dan Reni Dwi Purnomowati, Lembaga Perwakilan
Rakyat, Jakarta: Pusat Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2010, hal 12
130
PERAN FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
sebut memang tidak dapat dihindari, karena politik berhak membentuk fraksi di DPR RI
partai politik merupakan pilar demokrasi guna menjaga keberlangsungan pelaksanaan
yang wajib ada. Peranan partai politik ialah visi misi partai serta aspirasi rakyat di DPR
sebagai wadah yang strategis dalam sistem RI. Fungsi fraksi sudah seharusnya dibuat
politik di Indonesia guna penghubung lebih membumi lagi atas prinsip mandat
antara proses pembentukan kebijakan dari rakyat dan perlu adanya mekanisme
pemerintah baik di eksekutif maupun di yang mengatur fungsi partai politik dalam
legislatif dengan warga negaranya. Se- hal pendidikan partai politik yang lebih
sungguhnya justru partai politiklah yang realistis. Hubungan fraksi dengan DPR RI
menentukan terselenggara atau tidaknya tidak serta merta menihilkan permasalahan.
sistem demokrasi di Indonesia. Sebab dalam Permasalahan yang terjadi ialah keberadaan
partai politik terdapat bentuk pelembagaan fraksi yang terlalu mengintervensi ke-
wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, daulatan dan independensi anggota dewan
pandangan, dan keyakinan bebas dalam di DPR RI. Sehingga, perlu adanya
masyarakat yang demokratis. Selain itu, mekanisme yang jelas dan terukur terkait
peranan partai fraksi sebagai perpanjangan recall yang dilakukan partai politik melalui
tangan dari politik sebenarnya dapat dinilai fraksi atas keterkaitan agregasi aspirasi rakyat
secara positif jika dapat dipergunakan di dalamnya.
dengan cara dan pola yang tepat. Kemudian
2. Terkait dengan upaya yang dapat dilakukan
partai politik juga menurut peraturan
agar kedepan peran fraksi dapat lebih efektif
perundang-undangan yang berlaku dalam
mendukung kinerja DPR, hal ini dapat
sejarah perkembangan partai politik pasca
dilakukan dengan memperbaiki pengaturan
reformasi ialah berfungsi sebagai pendidikan
baik itu dalam UU tentang Partai Politik,
politik, menyerap, menyalurkan dan mem-
UU tentang MD3, maupun peraturan pe-
perjuangkan ke-pentingan masyarakat, serta
laksanannya. Hal yang penting dan dapat
mempersiapkan anggota masyarakat untuk
dilakukan dalam pembentukan peraturan
mengisi jabatan-jabatan politik sesuai
perundang-undangan kedepan adalah bagai-
dengan mekanisme demokrasi yang ada di
mana menempatkan fraksi agar tidak meng-
Indonesia melalu demokrasi perwakilan.
utamakan kepentingan partainya dalam
Pada pola hubungan antara partai politik
setiap keputusan yang diambil untuk fungsi-
dengan DPR RI cukup sederhana, yaitu
fungsi DPR.
partai politik memiliki hak untuk ikut serta
dalam proses pemilihan umum anggota B. Saran
legislatif di DPR RI, kemudian di dalam Pemahaman komprehensif mengenai fraksi
lembaga DPR yaitu terdiri atas anggota dan partai poltik ini agar dapat dirasakan
partai politik peserta pemilihan umum yang maksimal dampaknya maka harus diejawantah-
dipilih melalui pemilihan umum, partai kan dalam beberapa judul rancangan undang-
politik memiliki hak recall terhadap anggota- undang yang terkait yang ada di Prolegnas 2019-
nya di parlemen, setiap anggota DPR harus 2024. Dalam hal ini maka penting untuk
menjadi anggota salah satu fraksi, dan partai diupayakan segera pembentukan rancangan
131
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 113-134
Buku
132
PERAN FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Thompson, Dennis F. Etika Politik Pejabat
Universitas Indonesia, 2010. Negara. Penerjemah Benjamin Molan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015.
Budiarjo, Miriam. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia, 2010.
133
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 113-134
134
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
(OVERSIGHT FUNCTIONS OF THE COMMISSION OF PROSECUTION OF
THE REPUBLIC OF INDONESIA IN THE INTEGRATED CRIMINAL
JUSTICE SYSTEM)
R. Muhamad Ibnu Mazjah
Anggota/Komisioner
Komisi Kejaksaan Republik Indonesia
komjak07@gmail.com
Abstrak
Tugas dan fungsi pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap perilaku dan kinerja jaksa
dan/atau pegawai kejaksaan oleh Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) hakekatnya
merupakan mandat peraturan perundang-undangan yang tak terpisahkan dengan tujuan dari sistem
peradilan pidana terpadu yang bertumpu kepada cita hukum ideal berdasarkan asas negara hukum
dan asas negara demokrasi. Meski demikian, di dalam praktik perangkat norma tentang pengawasan
terhadap perilaku dan kinerja jaksa di dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 memuat
aturan yang menimbulkan tafsir yang tidak koheren dengan cita hukum ideal dimaksud. Hal ini pada
akhirnya berdampak terhadap efektivitas pelaksanaan tugas KKRI. Untuk itu, penelitian ini
mengajukan sebuah konsep tentang dimensi perilaku dan kinerja sebagai suatu diskursus di dalam
pengembanan tugas KKRI. Perilaku digambarkan sebagai reaksi atau respons yang timbul akibat
interaksi seseorang dengan lingkungannya baik dalam konteks pelaksanaan tugas maupun di luar
tugas. Perilaku memiliki tiga domain yakni kognitif, afektif, dan psikomotor yang membentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang dengan intensitas dan tingkatannya yang berbeda-beda.
Adapun kinerja merupakan wujud nyata daripada perilaku dalam lingkup pelaksanaan tugas yang
dibebankan atas dasar kecakapan, pengalaman, kesungguhan, dan tanggung jawab sesuai mekanisme
hukum dan kode etik. Diskursus tentang dimensi perilaku dan kinerja ini disajikan dengan harapan
memberi penguatan terhadap pengembanan tugas KKRI sebagai pelaksana fungsi penyeimbang atas
pelaksanaan kewenangan negara oleh kejaksaan, sehingga tercipta suatu proses penegakan hukum
yang menjunjung tinggi etika, kebenaran, dan hak asasi manusia. Penulisan ilmiah ini menggunakan
metode penelitian normatif guna memberikan gagasan yang bersifat preskriptif atau sesuatu yang
bersifat seyogianya melalui pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.
Kata kunci : pengawasan, Komisi Kejaksaan, sistem peradilan pidana terpadu, perilaku, kinerja
Abstract
Oversight by the Commission of Prosecution of The Republic of Indonesia (hereinafter referred to as the
Commission) is essentially a statutory mandate that is inseparable from the objectives of the integrated criminal
justice system within the framework of the rule of law. However, in practice, Presidential Regulation Number 18
of 2011 contains rules that create interpretations that are not coherent with the ideal legal ideals, so that it
135
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
affects the effectiveness of the Commission's duties. For this reason, this study proposes a concept about the
dimensions of behavior and performance as a discourse in carrying out the task of the Commission. Behavior that
is described as a reaction or response that arises as a result of a person's interaction with his environment both in
the context of carrying out tasks and outside the task. Behavior has three domains, namely cognitive, affective and
psychomotor which shape a person's knowledge, attitudes and actions with different intensities and levels. The
performance is a tangible manifestation of behavior in carrying out tasks that are imposed on the initial
experience, experience, and responsibility according to legal mechanisms and codes of ethics. The discourse on the
dimensions of behavior and performance is presented with the hope of providing reinforcement to the
implementation of the Commission's duties as the executor of the balancing function, so as to create a law
enforcement process that upholds ethics, truth and human right. This scientific writing uses a normative research
method through a law approach and a conceptual approach.
Keywords: oversigth, The Commission of Prosecution, Integrated Criminal Justice System, Behavior, Performance
136
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
KKRI) adalah melakukan pengawasan, pe- dirugikan akibat perilaku menyimpang dan
mantauan, dan penilaian terhadap kinerja dan merasa tidak puas terhadap kinerja aparat
perilaku jaksa dan/atau pegawai kejaksaan dalam kejaksaan. Ketidakpuasan itu pada saatnya me-
melaksanakan tugas dan wewenangnya yang nyebabkan penurunan terhadap tingkat ke-
diatur di dalam peraturan perundang-undangan percayaan publik (public trust) kepada lembaga
dan kode etik, serta melakukan pengawasan, kejaksaan. Di sisi lain, sesuai mekanisme hukum
pemantauan, dan penilaian terhadap perilaku ketidakpuasan tersebut dapat disalurkan melalui
jaksa dan/atau pegawai kejaksaan baik di dalam pelaporan pengaduan masyarakat kepada KKRI.
maupun di luar kedinasan. Tak terkecuali itu,
Sebagai gambaran, laporan pengaduan
KKRI juga memiliki tugas untuk melakukan pe-
masyarakat (Lapdumas) yang disampaikan
mantauan dan penilaian atas kondisi organisasi,
kepada KKRI berjumlah sekitar 1000 Lapdumas
tata kerja, kelengkapan sarana dan prasarana,
dalam setiap tahunnya. Diambil contoh dalam 2
serta sumber daya manusia di lingkungan
tahun terakhir, yakni pada 2019, Lapdumas yang
kejaksaan.
diterima sebanyak 1044. Lapdumas tersebut
Diantara objek pengawasan KKRI, aspek tidak seluruhnya terkait dengan dugaan
kinerja dan sumber daya manusia memiliki pelanggaran perilaku dan kinerja jaksa dan/atau
keterkaitan erat karena isu yang berkenaan pegawai kejaksaan, akan tetapi terdapat pula
dengan sumber daya manusia meliputi pula Lapdumas yang menyentuh dugaan pelanggaran
aspek kinerja. Penilaian kinerja (performance perilaku dan kinerja aparat penegak hukum di
appraisal) pada dasarnya merupakan salah satu luar kejaksaan, yakni aparat kepolisian dan
faktor kunci guna mengembangkan suatu hakim. Terhadap dugaan pelanggaran yang
organisasi secara efektif dan efisien. 3 Khusus di dilakukan oleh penegak hukum di luar kejaksaan
lembaga kejaksaan yang menjalankan fungsi KKRI meneruskan Lapdumas tersebut kepada
penuntutan dan kewenangan lainnya berdasar- lembaga terkait seperti Komisi Kepolisian
kan ketentuan undang-undang, kinerja prima Nasional (Kompolnas), Komisi Yudisial (KY),
dari aparatnya menjadi modal bagi pelaksanaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
tugas mewujudkan keadilan di tengah-tengah Korupsi (KPK). Sedangkan terhadap laporan
masyarakat. Terlebih di era keterbukaan pengaduan masyarakat yang berkenaan dengan
informasi yang kini tengah memasuki era 4.0, dugaan pelanggaran perilaku dan kinerja jaksa
sorotan masyarakat terhadap kinerja aparat dan/atau pegawai kejaksaan, KKRI melakukan
penegak hukum kian tajam. tindak lanjut atau meneruskan laporan peng-
aduan masyakat tersebut kepada Jaksa Agung
Hal ini tentu berdampak terhadap tuntut-an
yang tindak lanjutnya diserahkan kepada aparat
masyarakat atas pelaksanaan tugas dan tanggung
pengawas internal. 4
jawab yang diemban KKRI. KKRI menjadi
tumpuan harapan masyarakat yang me-rasa
4
Uraian tentang kewenangan terkait dengan
3
Ambar Teguh Sulistiyani dan Rosidah, diterimanya laporan pengaduan masyarakat dapat
Manajemen Sumber Daya Manusia Konsep, dan dilihat di dalam R. Muhamad Ibnu Mazjah, Dimensi
Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik, Pengawasan Pada Tindak Lanjut Laporan Pengaduan
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015, hal. 276. Masyarakat Kepada Komisi Kejaksaan Dalam Tinjauan
137
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
Di sisi lain, dalam pelaksanaan tugas KKRI respons. Belum adanya respons terhadap
tersebut muncul pertanyaan berkenaan dengan rekomendasi tindak lanjut KKRI tersebut
kewenangan KKRI untuk melakukan tindak sebagian besar ditengarai karena berhimpitan
lanjut dalam hal pengawasan, pemantau-an dan dengan terminologi yang acap dikenal dengan
penilaian terhadap dugaan terjadinya istilah teknis yudisial. Permasalahan mencuat
pelanggaran dari segi perilaku dan kinerja aparat karena di Pasal 13 Perpres tentang KKRI
kejaksaan pada suatu proses penanganan terdapat norma hukum yang menyatakan “pe-
perkara. Di dalam sistem peradilan pidana, laksanaan tugas dan kewenangan Komisi
proses penanganan perkara tersebut meliputi Kejaksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
tahap penyelidikan, penyidikan, hingga eksekusi. dan Pasal 4, tidak boleh mengganggu kelancaran
Tentunya, pelaksanaan tugas dan kewenangan tugas kedinasan jaksa dan/atau pegawai kejaksa-
pada setiap tahapan yang ada melibatkan sebuah an atau mempengaruhi kemandirian jaksa dalam
proses berpikir, bersikap, dan bertindak secara melakukan penuntutan”.
benar. Namun nilai kebenaran di dalam proses
Keberadaan norma hukum tersebut, di
penegakan hukum terkadang hanya meng-
dalam praktik memberikan kesan gamang ter-
akomodir kepastian hukum yang bermuara
hadap pelaksanaan tugas dan kewenangan
kepada putusan atau vonis pengadilan. Di dalam
menindaklanjuti penanganan Lapdumas ber-
proses penuntutan, laporan pengaduan
kenaan dengan dugaan pelanggaran kinerja dan
masyarakat terhadap kinerja aparat kejaksaan
perilaku jaksa dan/atau pegawai kejaksaan dalam
senantiasa muncul.
menangani perkara hukum. Kondisi tersebut
Dapat diilustrasikan lagi, dari 1044 pada akhirnya menimbulkan asumsi adanya
Lapdumas yang diterima tersebut, 562 ketidakkoherensian antara tujuan dari sistem
diantaranya adalah Lapdumas yang terkategori peradilan pidana terpadu dengan upaya
dugaan pelanggaran kinerja dan perilaku jaksa peningkatan kualitas kinerja kejaksaan melalui
dan/atau pegawai kejaksaan. Hasil rapat pleno pembentukan lembaga kontrol dalam hal ini
KKRI memutuskan, 550 Lapdumas diteruskan KKRI.
untuk ditindaklanjuti atau diklarifikasi kepada
B. Permasalahan
terlapor. Akan tetapi, dari 550 Lapdumas yang
diteruskan kepada kejaksaan untuk dilakukan Seiring dengan paparan diatas, maka
proses, pada tahun yang sama hanya sekitar 35% dirumuskan masalah sebagai berikut:
yang mendapatkan respons. Respons adalah 1. Apa makna dan dimensi perilaku dan
tanggapan, laporan, atau hasil yang telah dicapai kinerja jaksa dan/ atau pegawai kejaksaan
terkait penanganan Lapdumas yang diteruskan sebagai objek dari pengawasan, pemantauan,
tersebut (dalam bentuk pemeriksaan atau dan penilaian KKRI?
klarifikasi kepada terlapor). Artinya, masih pada
2. Apa fungsi pengawasan terhadap perilaku
tahun yang sama sekitar 65% laporan yang
dan kinerja yang dilakukan oleh KKRI
diteruskan untuk diproses belum mendapatkan
dalam sistem peradilan pidana terpadu?
138
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
D. Metode Penulisan
139
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
penataan secara terpadu karena melibatkan lintas Substansi hukum adalah menyangkut aspek-
aparat penegak hukum sesuai kewenangan yang aspek pengaturan hukum atau peraturan
dimilikinya. Keterpaduan di dalam suatu sistem perundang-undangan. Struktur hukum lebih
tersebut meliputi empat komponen inti di dalam kepada aparatur hukum serta sarana dan
sistem peradilan pidana, yakni kepolisian, ke- prasarana hukum, serta budaya hukum
jaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakat- menyangkut perilaku masyarakat. 11 Ketiga
an. komponen tersebut dinilai amat menentukan
berjalannya suatu sistem hukum dapat berjalan
Perlu ditegaskan bahwa istilah sistem
baik atau tidak.
peradilan pidana memiliki dua aspek yakni aspek
sistem dan aspek peradilan pidana. Sistem Sedangkan aspek peradilan pidana setara
menurut Subekti adalah suatu susunan atau dengan istilah acara pidana. Hukum acara
tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang pidana dimaknai sebagai keseluruhan peraturan
terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu hukum yang mengatur bagaimana caranya alat-
sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau alat penegak hukum melaksanakan dan
pola, hasil suatu penulisan untuk mencapai suatu mempertahankan hukum pidana. 12 Keberadaan
tujuan. 7 Suatu sistem mengandung beberapa asas hukum acara pidana sesuai dengan tujuan
yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara hukum yang berfungsi
8
pembentukannya. Untuk itu, hukum adalah untuk melindungi hak asasi warga negaranya
suatu sistem yang mempunyai arti suatu susunan serta membatasi kekuasaan pejabat termasuk
atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, penegak hukum. Seiring konsep negara hukum,
keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian yang setiap tindakan aparatur negara harus didasarkan
berkaitan satu sama lain. 9 pada ketentuan hukum. Indonesia yang
cenderung menganut sistem hukum bercorak
Sudikno Mertokusumo mengartikan sistem
civil law system berpedoman kepada ketentuan
hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari
hukum yang tertuang di dalam peraturan
unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama
perundang-undangan. Hukum acara pidana oleh
lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan
karena itu memberikan batasan agar di dalam
tersebut. 10 Berjalinan dengan bagian-bagian yang
mewujudkan keadilan pada hukum pidana
saling berkaitan dan mempunyai interaksi satu
formil tidak diwarnai dengan maladministrasi
sama lain, L.M. Friedman membagi hukum
dan penyalahgunaan wewenang dalam proses
sebagai sebuah sistem menjadi subsistem hukum
pelaksanaannya.
ke dalam tiga bagian yang meliputi, substansi
hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Berdasarkan rumusan dari aspek sistem dan
peradilan pidana di atas, maka sistem peradilan
7
Inu Kencana Syafiie dalam Fajar
pidana pada intinya adalah sistem yang mengatur
Nurhardianto, Sistem Hukum dan Posisi Hukum tentang tata kerja dari komponen-komponen
Indonesia, Jurnal TAPIs, Vol. 11, 2015, hal. 35
8 11
Ibid Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi dan
9
Ibid. Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Jakarta: Gramedia
10
Sudikno Mertokusumo dalam Lutfil Ansori, Pustaka Utama, 2005, hal. 1.
12
Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif, Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara
Jurnal Yuridis, Volume 4, 2017, hal. 150. Pidana, Jakarta: Djambatan, 2013, hal. 76.
140
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
yang terlibat di dalam proses penegakan hukum yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
pidana yang saling terkait dalam menjalankan dan lembaga pemasyarakatan merupakan
hukum acara pidana secara benar. Menurut komponen inti. Di luar itu, terdapat komponen
Muladi istilah sistem peradilan pidana atau lain yang juga terpaut dengan tata kerja sistem
criminal justice system telah menjadi suatu istilah peradilan pidana. Sebagai ilustrasi, perlu
yang menunjukkan mekanisme kerja dalam dicermati ketentuan di dalam Pasal 24 ayat (3)
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan UUD 1945 yang menyinggung tentang eksistensi
sistem. 13 Menurut Joan Miller, criminal justice badan-badan yang berkaitan dengan kekuasaan
system mempunyai arti yang luas mulai dari kehakiman disebutkan diatur di dalam undang-
perencanaan undang-undang pidana sampai undang.
keluarnya narapidana dari penjara atau Pengaturan tentang badan-badan yang
pemasyarakatan. 14 berkaitan dengan kekuasaan kehakiman ber-
Menurut Yahya Harahap, sistem peradilan dasarkan ketentuan undang-undang selanjutnya
pidana yang digariskan Undang-Undang Nomor merujuk kepada Undang-Undang Nomor 48
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU
Hukum Acara Pidana (UU tentang KUHAP) tentang Kekuasaan Kehakiman). Pasal 38 ayat (2)
diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi UU tentang Kekuasaan Kehakiman, kemudian
fungsional di antara penegak hukum sesuai meneguhkan bahwa terdapat penegak hukum
dengan tahap proses kewenangan yang diberikan lain di luar institusi pemerintah yakni advokat
undang-undang kepada masing-masing penegak yang memiliki kesetaraan dengan kepolisian,
hukum. 15 Berdasarkan kerangka landasan kejaksaan, dan juga pengadilan. Oleh karena itu,
dimaksud aktifitas pelaksanaan criminal justice sebenarnya advokat yang keberadaannya diatur
system merupakan fungsi gabungan (collection of di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
function) dari legislator, polisi, jaksa, pengadilan, 2003 tentang Advokat (UU tentang Advokat)
dan penjara, serta badan yang berkaitan baik juga merupakan bagian dari sistem peradilan
yang ada di lingkungan pemerintahan atau di pidana. Tanpa adanya keberadaan advokat dalam
luarnya. 16 suatu proses peradilan akan meniadakan validitas
proses persidangan yang berjalan. 17
Badan atau lembaga lainnya baik di dalam
maupun di luar pemerintahan memiliki cakupan Di dalam perkembangan konsep negara
yang luas. Itulah mengapa sempat disinggung modern, tentu bukan hanya advokat yang
bahwa komponen dalam sistem peradilan pidana merupakan bagian dari komponan pada sistem
peradilan pidana. Pengembanan hukum juga
13
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, melahirkan konsekuensi adanya fungsi kontrol
Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, hal. ix.
14 terhadap jalannya penyelenggaraan kekuasaan
Joan Miller dalam Andi Hamzah, Perlindungan
Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Acara Pidana negara sesuai fungsi yang diberikan. Oleh karena
Perbandingan dengan Beberapa Negara, Jakarta: itu penataan sistem dalam konteks sistem
Universitas Trisakti, 2010, hal. 146. peradilan pidana terpadu, pada akhirnya
15
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan,
17
Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 90. Indriyanto Seno Adji, KUHAP Dalam
16
Ibid. Prospektif, Jakarta: Diadit Media, 2011, hal. 5.
141
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
142
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
terjadinya angka kejahatan. Sedangkan tujuan antropologi. Cabang ilmu sosiologi mempelajari
yang kedua adalah untuk melindungi hak asasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
warga negara dari perilaku aparat penegak perilaku seseorang berkenaan dengan faktor
hukum dalam menjalankan kewenangannya yang sosial atau faktor eksternal antara lain,
diatur di dalam undang-undang. Dalam kalimat lingkungan, struktur sosial, pranata-pranata
yang lebih sederhana sistem peradilan pidana sosial, dan permasalahan sosial. Antropologi
tidak hanya mengatur perbuatan warga mempelajari tentang faktor yang mempengaruhi
masyarakat pada umumnya, tetapi mengatur perilaku seseorang dari sudut budaya antara lain,
penguasa/aparat penegak hukum dalam hal ini nilai-nilai, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan
pembatasan dan pengawasan pengendalian masyarakat hingga tradisi. Adapun psikologi
kekuasaan negara. 22 mempelajari tentang sebab-sebab yang
mempengaruhi perilaku manusia dari aspek
Pada fase inilah, sistem peradilan pidana tidak
internal, antara lain yakni, perhatian, motivasi,
dapat dipisahkan dari politik hukum pidana yang
persepsi, inteligensi, fantasi, emosi, dan lain
dijalankan oleh pemerintah dan legislator.
sebagainya.
Politik hukum pidana berperan dalam pe-
nyelenggaraan negara guna mengatur hal-hal Fokus dari artikel ini tidak lebih jauh
berkaitan dengan rekayasa atau penciptaan membahas tentang ketiga cabang ilmu tentang
sistem hukum yang dapat mendukung tercapai- faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, akan
nya tujuan di dalam sistem peradilan pidana. tetapi sebatas tentang pemahaman dan
Maka dari itu di dalam perkembangannya, ter- pengertian perilaku serta domain perilaku
dapat kekoherensian antara munculnya lembaga- sebagai objek pengawasan, pemantauan, dan
lembaga negara yang berfungsi untuk melakukan penilaian KKRI dalam kaitannya sebagai
pengawasan terhadap perilaku aparat penegak komponen sistem peradilan pidana terpadu.
hukum mulai dari institusi pengadilan, kepolisi- Tentunya, peran perilaku di dalam penegakan
an, dan kejaksaan dengan gagasan tentang sistem
hukum amat vital karena penegakan hukum
peradilan pidana yang tujuannya antara lain
tidak semata-mata mencari kepastian melainkan
adalah untuk melindungi hak asasi warga negara
menegakan nilai dan keadilan.
dari perilaku aparat penegak hukum dalam
menjalankan kewenangannya yang diatur di Sebagaimana Jimly Asshiddiqie mengibarat-
dalam undang-undang. kan “kapal penegakan hukum tidak akan sampai
ke pulau keadilan jika samudera etiknya kering
2. Dimensi Perilaku dan Kinerja Jaksa
dan tidak berfungsi”. 23 Samudera etik yang tidak
dan/atau Pegawai Kejaksaan Sebagai Objek
Pengawasan, Pemantauan, dan Penilaian berfungsi boleh jadi disebabkan karena aspek
KKRI perilaku yang tidak mendapatkan porsi perhatian
seimbang demi alasan penegakan hukum semata.
a. Perilaku
Banyak contoh kasus penegakan hukum yang
Aspek perilaku dari sudut pandang
23
keilmuan merupakan pengembangan dari tiga Jimly Asshiddiqie, Hukum Ibarat Kapal, Etika
cabang ilmu yakni psikologi, sosiologi, dan Samuderanya, dimuat dalam
https://www.jpnn.com/news/jimly-hukum-ibarat-
22
Rocky Marbun, Sistem Peradilan Pidana kapal-etika-samuderanya?page=2, diakses tanggal 16
Indonesia Suatu Pengantar, hal. 35. Februari 2021.
143
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
Lebih jauh, perilaku baik dan perilaku Pandangan tersebut tak terlepas dari ajaran
buruk dalam hidup manusia merupakan hal yang Skriner, seorang ahli psikologi. Skiner merumus-
diperbincangkan di dalam etika yang merupakan kan bahwa perilaku merupakan respons atau
salah satu cabang dari filsafat. Filsafat etik tidak reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
hanya menaruh perhatian pada soal benar dan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia
salah seperti filsafat hukum, tetapi lebih dari itu terjadi melalui proses: Stimulus Organisme
juga persoalan baik dan buruk. 25 Tujuan Respons, sehingga teori Skiner disebut teori S-O-
utamanya adalah kehidupan yang baik bukan R (stimulus – organisme – respons). 29
sekedar kehidupan yang selalu benar dan tidak Selanjutnya Skiner menjelaskan adanya dua jenis
pernah salah. Namun dalam praktik, keduanya respons, yaitu respondent respons atau reflexive,
menyangkut substansi yang menjadi esensi pokok yakni respons yang timbul oleh rangsangan-
persoalan etika, yaitu benar dan salah, serta baik rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut
dan buruknya perilaku manusia dalam elciting stimulus, karena menimbulkan respons-
kehidupan bersama. 26 Dengan pemahaman dan respons yang relatif tetap. 30 Contohnya,
kesadaran yang jelas tentang makna perilaku, hidangan yang lezat akan menimbulkan nafsu
fungsi pengawasan dapat lebih berdaya guna makan. Respondens respond juga meliputi perilaku
serta menjadi samudera yang siap mengantarkan emosional misalnya perasaan gembira dan sedih
kapal menuju pulau keadilan sebagaimana apabila mendengar kabar baik dan kabar buruk.
diungkapkan Jimly Asshiddiqie tentang makna
Respons yang kedua adalah operant respond
penegakan hukum yang berkeadilan dimaksud.
atau instrumental respons, yakni respons yang
timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh
24
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tanpa Etika
stimulus atau rangsangan yang lain. Perangsang
Melahirkan Ketidakadilan, dimuat dalam yang terakhir disebut reinforcing stimuli atau
https://republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/ reinforce, karena berfungsi untuk memperkuat
04/05/onxe9x361-jimly-assiddiqie-hukum-tanpa-etika-
melahirkan-ketidakadilan, diakses pada tanggal 16 27
Sarwono W. Sarlito dalam Bambang Syamsul
Februari 2021. Arifin, Psikologi Sosial, Bandung: Pustaka Setia, 2015,
25
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika hal. 2.
28
Konstitusi Perspektif Baru Tentang ‘Rule of Law and Rule Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Perilaku
of Ethics’ & Constitutional Law and Constituional Ethics, Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta, 2014, hal. 20.
29
Jakarta: Sinar Grafika, 2017, hal. 42. Ibid.
26 30
Ibid. Ibid.
144
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
145
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
146
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
didikan, penempatan, mutasi dan promosi, dan oleh manajemen manusia. 38 Pemahaman tentang
tanggung jawab dalam pemberian tugas secara manajemen sumber daya manusia adalah pe-
personal memiliki peran sentral dalam mem- ngembangan dan pemanfaatan pegawai dalam
bentuk karakter insan adhyaksa yang memiliki in- rangka terciptanya tujuan dan sasaran individu,
tegritas dan kapabilitas sebagai tulang punggung organisasi, masyarakat, bangsa dan internasional
kejaksaan dalam pelaksanaan tugasnya. yang efektif. 39
147
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
tingkat motivasi seorang pekerja. 44 Faktor yang tercipta di tengah-tengah masyarakat sebagai
mempengaruhi pencapaian kinerja, menurut salah satu tujuan hukum.
Keith Davis adalah faktor kemampuan (ability)
B. Analisis
dan faktor motivasi (motivation). Faktor
kemampuan dirumuskan sebagai pengetahuan 1. Fungsi Pengawasan Komisi Kejaksaan
(knowledge) ditambah dengan keterampilan. Republik Indonesia dalam Sistem
Peradilan Pidana Terpadu
Adapun faktor motivasi memiliki rumusan:
motivation = attitude + situation. Dengan kata Sebagaimana bunyi ketentuan Undang-
lain, motivasi terbentuk dari sikap (attitude) Undang Nomor 16 Tahun 2004 (UU tentang
seseorang pegawai dalam menghadapi situasi Kejaksaan) kata “dapat” di dalam Pasal 38
(situation) kerja. 45 bermakna, keberadaan KKRI masih bersifat
fakultatif belaka. Kendati demikian situasi
Berdasarkan pengertian dan batasan tentang penegakan hukum yang semakin kompleks dan
kinerja tersebut dapat disimpulkan, pertama, dinamis memberikan pengaruh terhadap arti
hasil dari kinerja dapat berupa sesuatu yang penting akan keberadaan lembaga pengawas
berwujud atau konkret dan sesuatu yang bersifat eksternal yang dipandang sebagai suatu
abstrak. Sebagai contoh sesuatu yang bersifat kebutuhan mendesak. Hal itu pula yang menjadi
abstrak misalnya adalah nilai keadilan, sebagai dasar pemikiran tentang lahirnya lembaga
sesuatu yang tidak dapat dilihat dan diukur pengawas eksternal untuk mengawasi sebuah
namun dapat dirasakan. Penilaian tentang lembaga penegak hukum. Sebagaimana
kinerja dalam konteks kuantitatif yang dapat disampaikan Ajeng Triwahyuni, alasan yang
dilakukan yakni dengan melihat produktivitas pertama dilatarbelakangi pengawasan internal
pegawai dalam menyelesaikan tugas yang yang dilakukan di lembaga penegak hukum tidak
diberikan kepadanya, misalnya angka penyelesai- berjalan secara efektif dan kental dengan praktik
an dalam penanganan perkara baik pada proses korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan kedua,
penuntutan, penyidikan dan penyelidikan, serta lembaga penegak hukum tersebut memerlukan
tugas-tugas lainnya. kepercayaan publik untuk melaksanakan tugas
dan fungsinya. 46 Menurut Coky Ramadhan,
Kedua, kinerja memiliki kaitan erat dengan pengawas internal memiliki beragam permasalah-
perilaku. Dapat dikatakan, kinerja merupakan an yang membuat fungsi pengawasan berjalan
wujud dari perilaku terbuka dan tertutup dari tidak sebagaimana mestinya, karena adanya aspek
pegawai atau individu dengan melibatkan unsur kemandirian dan semangat membela korps yang
atau domain kognitif, afektif, dan psikomotor tinggi, rendahnya kualitas dan integritas personel
yang diimplementasikan dalam menjalankan pengawas, dan sistem pengawasan internal yang
tugas berdasarkan amanah undang-undang. Hasil lemah. 47
kinerja secara kualitatif sebagai aktualisasi dari
suatu olah pikir, olah sikap dan olah tindak 46
Ajeng Triwahyuni, Strategi Penguatan Komisi
tersebut pada akhirnya adalah rasa keadilan yang Kejaksaan Dalam Mendorong Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi, Jurnal Teropong, Vol. 1, 2013,
hal. 33.
44
Ibid. 47
Coky R. Ramadhan, “Kedudukan, Tugas,
45
A.A. Prabumangkunegara, Manajemen Sumber dan Kewenangan Komisi Kejaksaan”, Jurnal
Daya Manusia Perusahaan, hal. 67-68. Teropong, Vol. 1, November 2013, hal. 5.
148
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
Lahirnya KKRI berdasarkan Perpres tentang terkait pengawasan, pemantauan, dan penilaian
KKRI sebenarnya merupakan bagian dari sebuah terhadap kinerja dan perilaku jaksa dan/atau
design dalam mencapai tujuan sistem peradilan pegawai kejaksaan. 49
pidana menjadi lebih terpadu di level pe-
Selanjutnya bidang Pemantauan dan
merintah selaku pengambil kebijakan. Pelaksana-
Penilaian Kinerja Organisasi Kejaksaan bertugas
an tugas dan fungsi KKRI selaras dengan tujuan
mengkoordinasikan kegiatan pemantauan dan
peradilan pidana dimana salah satunya untuk
penilaian atas kondisi organisasi, tata kerja,
memberikan perhatian terhadap perilaku aparat
kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber
penegak hukum dalam menjalankan tugas dan
daya manusia di lingkungan kejaksaan. Serta,
kewenangannya. Tak terkecuali itu, pengawasan
Bidang Hubaga bertugas mengoordinasikan
terhadap kinerja personel atau individu pegawai
pembangunan dan pelaksanaan hubungan
kejaksaan juga dilakukan sebagai bagian dari
dengan lembaga-lembaga negara, lembaga
penataan sumber daya manusia di dalam sebuah
pemerintah, institusi perguruan tinggi, lembaga-
organisasi, terlebih kejaksaan menjadi poros
lembaga masyarakat, dan institusi lainnya dalam
penegakan hukum dalam sistem peradilan
kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan
pidana yang menghubungkan antara dua
wewenang KKRI. Meskipun di dalam pelaksana-
lembaga yakni kepolisian dan pengadilan.
an tugas para komisioner dibagi menjadi masing-
Dalam rangka menjabarkan tugas dan ke- masing bidang, namun di dalam hal tanggung
wenangannya, KKRI membagi dirinya atas jawab dan pengambilan keputusan tetap
empat bidang yang berdiri sebagai pilar didasarkan pada prinsip kolektif kolegial.
penyangga di dalam melaksanakan fungsinya.
Dari empat bidang di KKRI tersebut Bidang
Empat bidang tersebut meliputi Bidang Laporan
Lapdumas bersentuhan dengan persoalan teknis
Pengaduan Masyarakat (Bidang Lapdumas),
dan operasional perihal pengawasan terhadap
Bidang Pengawasan, Pemantauan, dan Penilaian
perilaku dan kinerja jaksa dan atau pegawai
Kinerja dan Perilaku Jaksa dan/atau Pegawai
kejaksaan. Tujuan penanganan Lapdumas ber-
Kejaksaan (Bidang Wastaunil), Bidang Pe-
dasarkan Peraturan Komisi Kejaksaan No.5/
mantauan dan Penilaian Kinerja Organisasi
KK/ 04/ 2012 tentang Tata Cara Penanganan
Kejaksaan, dan Bidang Hubungan Kelembagaan
Laporan Pengaduan Masyarakat adalah untuk
dan Masyarakat (Bidang Hubaga). Bidang
meningkatkan kinerja, menegakkan kode peri-
Lapdumas menjalankan tugas teknis
laku, disiplin pegawai, dan peraturan perundang-
mengkoordinasikan pengolahan laporan
undangan di lembaga kejaksaan. Setiap laporan
pengaduan masyarakat dari aspek administratif
pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada
maupun substansi yang meliputi pengkajian,
KKRI berdasarkan Pasal 4 (a) dan 4 (b) Perpres
analisis, rekomendasi dan pemantauan pe-
tentang KKRI kemudian dapat dilakukan tindak
nanganan Lapdumas. 48 Bidang Wastaunil
lanjut oleh perangkat pengawasan fungsional
menjalankan tugas mengoordinasikan kegiatan-
KKRI atau diteruskan kepada Jaksa Agung untuk
kegiatan yang berkaitan dengan arah kebijakan
ditindaklanjuti oleh aparat pengawas internal
48
Pasal 10 Peraturan Komisi Kejaksaan
kejaksaan. Keputusan terhadap kedua opsi
Republik Indonesia No. 01/KK/04/2012 tentang
49
Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kejaksaan. Pasal 11, Ibid.
149
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
tersebut diambil melalui rapat pleno KKRI. 50 an. 52 Objek pengawasan, pemantauan dan
KKRI juga berkewajiban untuk melaporkan hasil penilaian terhadap semua unsur pegawai
pemeriksaan yang dilakukannya kepada aparat kejaksaan tersebut memang merupakan hal yang
penegak hukum lain meliputi Kepolisian apabila vital karena setiap pegawai langsung atau tidak
ditemukan adanya dugaan tindak pidana umum langsung adalah komponen organik yang
dan kepada Jaksa Agung atau KPK dalam hal mendukung perputaran aktivitas organisasi
terjadinya dugaan tindak pidana korupsi. 51 Hal sesuai peran dan fungsinya masing-masing.
ini menegaskan bahwa organ KKRI merupakan
Sulit dibayangkan apabila di dalam pe-
elemen penyeimbang pada proses penegakan
laksanaan tugas dan kewenangan jaksa dalam
hukum yang melibatkan komponen sistem
melakukan penuntutan atau penyidikan tidak
peradilan pidana utamanya oleh kejaksaan serta
didukung oleh sumber daya manusia pegawai
berfungsi untuk mengawal hal-hal yang
baik dari segi teknis maupun administratif. Sisi
berkenaan dengan isu kebijakan hukum pidana
teknis berkenaan dengan dukungan yang bersifat
dan sistem peradilan pidana.
operasional kepada para jaksa di dalam men-
2. Fungsi Pengawasan Terhadap Perilaku dan jalankan tugasnya pada masing-masing bidang
Kinerja Jaksa dan/atau Kejaksaan Oleh teknis yang ada, seperti bidang pembinaan,
Komisi Kejaksaan Republik Indonesia bidang pidana khusus (Pidsus), pidana umum
Sebagai Instrumen Pendukung Sistem (Pidum), perdata dan tata usaha negara (Datun)
Peradilan Pidana Terpadu serta bidang intelijen (intel) kejaksaan.
Sedangkan segi administratif menekankan ke-
a. Pengawasan Perilaku
pada persoalan administrasi, surat menyurat, pe-
Kewenangan pengawasan KKRI memiliki layanan masyarakat, pemberian informasi publik
keunikan yang membedakannya dengan peng- hingga pelaporan pertanggungjawaban dalam
awasan oleh lembaga pengawas ekternal pada tugas secara berjenjang yang mencerminkan asas
komponen sistem peradilan pidana lainnya yakni akuntabilitas, responsibilitas, dan transparansi.
lembaga pengadilan dan kepolisian, yaitu KY dan
Sebagai gambaran terkait dukungan pegawai
Kompolnas. Pengawasan KKRI terhadap perilaku
pada bidang teknis, misalnya berkenaan dengan
menyentuh seluruh organ yang terdapat di
penanganan perkara di persidangan. Di dalam
institusi kejaksaan, baik jaksa maupun pegawai
pelaksanaan tugas secara operasional di bidang
tata usaha kejaksaan. Bandingkan dengan KY
penuntutan institusi kejaksaan selain melibatkan
yang tugas dan kewenangannya hanya berkenaan
jaksa penuntut umum juga melibatkan pegawai
dengan perilaku individu hakim serta
yang bertugas untuk menjemput, mengawal, dan
Kompolnas yang objek pengawasannya pada
membawa mobil tahanan. Dari sisi administratif
institusi kepolisian hanya pada anggota kepolisi-
bertugas menyiapkan hal-hal yang berkaitan
dengan administrasi peradilan. Setiap lini tugas
50
Pasal 10 Peraturan Komisi Kejaksaan
52
Republik Indonesia No. 05/KK/04/2012 tentang Lihat Pasal 13, (b), 19 A, dan Pasal 20
Tata Cara Penanganan Laporan Pengaduan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Masyarakat. Komisi Yudisial dan Pasal 3 Peraturan Presiden
51
Pasal 12 Perpres No.18 Tahun 2011 tentang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian
Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. Nasional.
150
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
para pegawai kejaksaan merupakan representasi setiap individu. Faktor stimulus yang mem-
dari aktivitas kelembagaan sehingga kejaksaan berikan pengaruh dominan terhadap kognisi
dapat berdiri tegak sebagai bagian dari mata seseorang adalah kualitas pendidikan baik
rantai penegakan hukum. Satu pihak saja pendidikan, budaya hukum di lingkungan
melakukan penyimpangan perilaku saat internal institusi maupun eksternal yang terlibat
menjalankan tugas dan fungsi penegakan dalam sistem peradilan pidana maupun pada
hukum, hasilnya akan berdampak kurang baik lingkup pergaulan, perangkat regulasi dan
terhadap penegakan hukum. kebijakan serta nilai dan tradisi yang berlaku di
lingkungan internal institusi.
Hakekat tugas adalah refleksi terhadap
kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan. Berkenaan dengan faktor pendidikan, MA
Pertanggungjawaban dimaksud meliputi per- Rahman mengemukakan, Kejaksaan Agung
tanggungjawaban berdasarkan kode etik dan sebagai instansi pengguna lulusan hukum kecewa
pertanggungjawaban sesuai ketentuan per- terhadap kualitas lulusan tersebut dan tidak
undangundangan. Konteks pertanggungjawaban secemerlang yang diharapkan untuk membantu
profesi didasarkan pada penilaian atas keahlian meningkatkan kinerja kejaksaan. 53 Pendidikan
teknis, pengetahuan, dan hati nurani. Oleh hukum di Indonesia memang tidak menekankan
karena itu, jangkauan dari pertanggungjawaban pada pembangunan integritas dan penanaman
tersebut seluas jangkauan terhadap ilmu perilaku kepercayaan diri yang berbasis kompetensi dan
itu sendiri. Hal ini sesuai dengan kerangka keilmuan serta kurang menuntut mahasiswa
konsepsional yang telah dikemukakan bahwa untuk berpikir kritis terhadap hukum dan
perilaku dikelompokkan menjadi dua bentuk penegakan hukum. 54 Intinya, pendidikan hukum
yakni perilaku tertutup (covert behavior) dan di Indonesia kurang kompetitif bagi setiap anak
perilaku terbuka (overt behavior). didik sehingga pendidikan hukum hanya sekedar
hafalan tanpa makna, tidak ada pendalaman
Beranjak dari konsep perilaku tertutup dan
tentang aspek hukum filosofis, sosiologis, dan
perilaku terbuka, unsur yang menjadi objek
teleologis sehingga cenderung menghasilkan
pengawasan perilaku menjadi tidak sebatas pada
sarjana hukum menjadi “tukang” bukan sebagai
sikap dan perbuatan nyata yang dapat dilihat
agen yang kritis dalam proses pembaharuan
atau diamati secara langsung. Pengawasan,
hukum di Indonesia. 55
pemantauan, dan penilaian selayaknya men-
jangkau pula aspek pengetahuan yang me- Di dalam praktik penegakan hukum
rupakan ranah kognitif dari ilmu perilaku. polemik berkaitan dengan pengetahuan dan
Pengawasan terhadap ranah kognitif meliputi kemampuan teknis acap muncul dalam isu yang
penilaian pengetahuan dan kemampuan dari membahas tentang dugaan pelanggaran perilaku.
masing-masing personil berikut faktor-faktor yang Sebagai contoh perkara dalam perkara hukum
mempengaruhi pengetahuan dan sikapnya. Pada
53
fase ini, pemantauan dan penilaian terhadap Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif
aspek kognisi juga tak luput memberikan Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan
Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta Publishing,
perhatian terhadap lingkungan sosial yang 2012, hal. XI.
menjadi stimulus kualitas pengetahuan dari 54
Ibid
55
Ibid.
151
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
yang menjadi perhatian publik adalah berkenaan lanjut atas dugaan pelanggaran perilaku jaksa
dengan dugaan pelanggaran perilaku perihal dalam penanganan dalam perkara tersebut. Pada
penyusunan argumentasi pada surat tuntutan titik ini yang hendak ditekankan, perihal isu
pidana (requisitor) kejaksaan. Surat tuntutan ketidakcakapan dan ketidakprofesionalan me-
pidana dimaksud dengan Nomor Register miliki kaitan erat dengan isu tentang
Perkara: PDM-56/ JKT.UTR/ 02/ 2020 dan pengetahuan dengan berbagai aspek yang mem-
Nomor Register Perkara: PDM-57/ JKT. UTR/ pengaruhinya. Pengetahuan menjadi basis tolak
02/ 2020 menyangkut perkara penganiayaan ukur dalam menilai kualitas dan kapabilitas
terhadap Novel Baswedan berupa penyiraman dalam menjalankan tugasnya.
wajah korban dengan menggunakan cairan
Pelaksanaan tugas pengawasan perilaku
kimia.
berkaitan dengan pengetahuan, kecakapan, dan
Berkaitan dengan dugaan pelanggaran kemampuan teknis bukan semata-mata persoalan
perilaku tersebut KKRI menerima Lapdumas dan pembahasan isu tentang benar atau salah
yang disampaikan Novel Baswedan dan tim sebuah proses dilakukan, kemudian memberikan
kuasa hukumnya dengan berkas Nomor Register: rekomendasi tentang sanksi disiplin. Lebih dari
RSM 5745-0372 yang pada pokoknya menilai itu penekanan dalam melakukan pengawasan
terjadi kejanggalan dalam proses penuntutan perilaku pada sisi tersebut tetap dilandasi pada
jaksa penuntut umum berujung tuntutan 1 filsafat etik yakni untuk mengetahui segala proses
tahun penjara kepada dua terdakwa yang yang dilakukan berjalan baik atau buruk. Dalam
dianggap terlalu rendah. Sesuai dengan tugas dan konteks ini, pengawasan, pemantauan dilakukan
kewenangannya, KKRI melakukan pemantauan untuk menghasilkan sebuah penilaian apakah
terhadap proses persidangan perkara itu. Hal rangkaian proses yang berjalan di bidang
yang menjadi sorotan diantaranya adalah reaksi penuntutan berjalan dengan baik, objektif,
masyarakat bernada sarkasme akibat pertimbang- professional, dan proporsional menurut ukuran
an hukum yang diuraikan dalam surat tuntutan. yang layak. Dengan demikian, dapat ditemukan
Jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja suatu rekomendasi yang mampu mendukung
menyiram Novel Baswedan dengan air keras. 56 terciptanya suatu proses tata kerja dan
Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin kemandirian dalam pelaksanaan tugas di bidang
menyiramkan cairan keras ke badan Novel penuntutan baik oleh jaksa maupun institusi
Baswedan. 57 mampu berjalan secara ideal.
152
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
seperti dugaan melakukan intimidasi, menekan individu serta motivasinya. Sementara motivasi
dan/atau arogan terhadap terdakwa atau seseorang merefleksikan sikap atas situasi kerja
pelapor, berselingkuh atau melakukan tindakan yang dihadapinya. Dengan demikian, kinerja
kesusilaan dan memeras, meminta uang atau yang baik cenderung dihasilkan dari perilaku
menerima pemberian. Akan tetapi apabila atau sikap yang baik dan perilaku atau sikap yang
ditinjau secara keseluruhan jangkauan aspek buruk akan cenderung melahirkan kinerja yang
perilaku yang meliputi ranah kognitif, afektif, buruk.
dan psikomotor di dalam pelaksanaan tugas
Meskipun demikian, kinerja berdasarkan
KKRI dapat dikatakan memang belum menjadi
kuantitas dimungkinkan untuk mencapai hasil
fokus perhatian. Ke depan pengawasan ranah
tanpa memperhatikan aspek perilaku. Terkait
kognitif dan afektif sebagai basis penilaian atas
kinerja yang tidak memperhatikan aspek peri-
pengetahuan dan sikap dengan tingkatan-
laku, yang terjadi adalah pencapaian terhadap
tingkatan yang telah disebutkan perlu
penegakan hukum yang hanya mengejar asas
mendapatkan porsi lebih karena aspek ini
kepastian. Sementara aspek keadilan, ke-
merupakan tumpuan dalam membangun
manfaatan, dan hak asasi manusia menjadi
karakter sesuai visi misi kejaksaan yakni menjadi
terabaikan.
penegak hukum yang profesional, proporsional
dan akuntabel. Ukuran penilaian terhadap kinerja dikaitkan
dengan tugas dan kewenangan kejaksaan dalam
b. Pengawasan Kinerja
hal penuntutan pada akhirnya tidak semata-mata
Analisis tentang kinerja yang dipaparkan bersifat kuantitatif. Hal itu disebabkan
berikut ini terlebih dahulu beranjak dari konsep produktivitas jaksa dan/ atau pegawai kejaksaan
kinerja yang didefinisikan sebagai hasil kerja dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh secara kuantitas dan kualitas tergantung
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya kebijakan dari pimpinan atau penanggung jawab
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan yang memberikan tugas pada tiap-tiap personel
kepadanya. Faktor yang mempengaruhi kinerja sesuai peran dan tugasnya masing-masing. Bidang
adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor pidana khusus lebih banyak menjadi perhatian
motivasi (motivation). Faktor kemampuan di- karena kewenangannya melakukan penyidikan
rumuskan sebagai pengetahuan (knowledge) dalam perkara tindak pidana korupsi. Secara
ditambah dengan keterampilan. Sedangkan kuantitas ukuran kinerja yang dapat dijadikan
motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seseorang acuan adalah angka penyelesaian kasus korupsi
pegawai dalam menghadapi situasi (situation) serta angka pengembalian kerugian negara.
kerja. Intinya, yang menjadi indikator dari aspek
kinerja adalah pencapaian hasil kerja secara nyata
Merujuk pada konsep kinerja diketahui
serta isu persoalan berkaitan dengan penerapan
bahwa isu yang berkenaan dengan masalah
hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
kinerja berjalinan erat dengan aspek perilaku.
Faktor yang memengaruhi kinerja sebenarnya Hal itu tercermin di dalam sejumlah
dihasilkan dari kemampuan atau pengetahuan Lapdumas yang disampaikan kepada KKRI.
sebagai domain kognitif dari masing-masing Beberapa kasus yang terkategori sebagai dugaan
153
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
terhadap pelanggaran kinerja antara lain dilakukan tindak lanjut tidak dan/atau belum
penundaan sidang dengan agenda pembacaan mendapatkan respons. Pada 2020, KKRI
tuntutan, tuntutan ringan sehingga dianggap meneruskan 489 laporan masyarakat ke
tidak profesional, tidak cermat dalam me- Kejaksaan untuk ditindaklanjuti pengawas
nyatakan berkas perkara sudah lengkap, tidak internal. Dari jumlah tersebut, hanya 31%
prosedural dalam melakukan penahanan, diduga Lapdumas yang mendapatkan respons, artinya
memaksakan perkara perdata menjadi perkara telah dilakukan upaya klarifikasi terhadap
pidana, diduga diskriminatif dalam penanganan terlapor maupun satuan kerja di daerah yang
perkara, penanganan perkara yang berlarut-larut, melaksanakan pengawasan fungsional.
tidak cermat dalam membuat surat dakwaan,
Sejumlah Lapdumas yang diteruskan namun
tidak mengembalikan barang bukti atau me-
belum mendapatkan respons terindikasi pada
ngembalikan barang bukti tidak sesuai putusan
persoalan yang menyangkut teknis yudisial. Persis
pengadilan, tidak prosedural dalam menetapkan
pada isu teknis yudisial inilah kerap muncul
kerugian negara perkara korupsi, dan lain
stagnasi dalam pelaksanaan tugas dan ke-
sebagainya. Sepintas persoalan-persoalan tersebut
wenangan pengawasan KKRI terhadap kinerja
memang berkenaan dengan pelaksanaan tugas
jaksa dan/ atau pegawai kejaksaan. Bahkan
dan fungsi berikut pencapaiannya. Akan tetapi
penanganan Lapdumas yang diteruskan kepada
permasalahan yang berkenaan dengan dugaan
kejaksaan untuk ditindaklanjuti, proses pe-
pada pelanggaran kinerja tersebut tersisip
nyelesaiannya melebihi waktu tiga bulan.
persoalan yang menyentuh aspek perilaku.
Hal ini sejalan dengan Nota Kesepahaman
Beralih kepada isu penanganan Lapdumas
Jaksa Agung Republik Indonesia dengan Ketua
tentang dugaan pelanggaran kinerja, telah KKRI Nomor: Kep-009/ A/ JA: Kep-009/ A/
disinggung bahwa Lapdumas yang diteruskan JA/ 05/ 2011 dan Nomor: NK-001/ KK/ 05/
KKRI untuk ditindaklanjuti pengawas internal 2011 tentang Mekanisme Kerja Antara Ke-
kejaksaan masih belum menunjukkan angka jaksaan RI dengan KKRI dalam Melaksanakan
indikasi penyelesaian secara tuntas pada setiap Pengawasan, Pemantauan dan Penilaian atas
tahunnya dalam setiap laporan. Pada 2019 dari Kinerja dan Perilaku Jaksa dan Pegawai
550 Lapdumas yang diteruskan baru 197 yang Kejaksaan. Pasal 5 ayat 2 (f) Nota Kesepahaman
mendapat respons. Perinciannya dari 550 tersebut menyepakati selambat-lambatnya dalam
Lapdumas 487 diantaranya adalah kepada Jaksa waktu tiga bulan Jaksa Agung Muda Bidang
Agung dan jajarannya, selebihnya kepada Pengawasan harus sudah melaporkan hasil
instansi lain meliputi Kompolnas, Komisi pemeriksaan kepada KKRI. Pengawasan,
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pemantauan, dan penilaian yang dilakukan oleh
KPK dan KY. Khusus yang diteruskan kepada KKRI terhadap Lapdumas berkaitan dugaan
kejaksaan dari 487 laporan pengaduan pelanggaran yang dilakukan oleh jaksa karenanya
masyarakat yang diteruskan presentase yang belum menjadi atensi dalam proses penegakan
mendapatkan respons sejumlah 34,9%. hukum yang berjalan. Patut diduga hal itu terjadi
karena penafsiran Pasal 13 Perpres No.18 Tahun
Bila dipresentasekan masih sekitar sekitar 2011 yang memandang tugas dan kewenangan
63,1% Lapdumas yang diteruskan untuk KKRI tidak mencakup wilayah teknis yudisial.
154
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
Kondisi ini menimbulkan kesan bila ada lanjut pasca putusan dibacakan, maka pada
Lapdumas yang disampaikan ke KKRI berkaitan akhirnya menyebabkan fungsi pengawasan yang
dengan dugaan pelanggaran kinerja jaksa dilakukan kehilangan makna untuk menjadi
berkenaan dengan penanganan teknis perkara penyeimbang dalam pelaksanaan tugas
meskipun berkaitan dengan aspek perilaku men- penegakan hukum.
jadi hal yang sulit disentuh. Lebih-lebih
Lapdumas berikutnya adalah dugaan
pengawas internal tidak sepenuhnya dapat me-
pelanggaran terkait kinerja jaksa oleh perwakilan
ngendalikan secara langsung tindak lanjut
3 ribu pemegang polis atau nasabah PT Asuransi
lapdumas sepanjang berkaitan dengan teknis
Jiwa WanaArtha Life. Para pemegang polis itu
yudisial. Hal ini mengacu kepada Peraturan Jaksa
mempermasalahkan dibekukannya rekening efek
Agung RI Nomor: Per-022/A/JA/03/2011
atas nama WanaArtha terkait dengan perkara
tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan
korupsi Jiwasraya sehingga menimbulkan gagal
RI Pasal 35 ayat (2) menyebutkan “Hasil telaahan
bayar kepada puluhan ribu nasabah WanaArtha.
Lapdumas tersebut berupa: a. tidak ditemukan
Menurut nasabah tidak semua dana yang disita
bukti awal dugaan pelanggaran disiplin; b. telah
tersebut adalah milik Wana Artha Life,
ditemukan bukti awal dugaan pelanggaran
melainkan berasal dari dana premi milik nasabah
disiplin; dan c. substansi permasalahannya
atau pemegang polis yang dikelola investasinya
merupakan lingkup bidang teknis.” Selanjutnya
oleh WanaArtha 58.
di dalam Pasal 35 ayat (3) butir c menyebutkan,
terhadap telahaan sebagaimana dimaksud butir c Laporan kepada KKRI merefleksikan upaya
(menyangkut bidang teknis) ditindaklanjuti nasabah tersebut untuk mencari solusi atas hak
dengan melakukan eksaminasi khusus atau mereka yang terusik tanpa harus menunggu
diteruskan kepada bidang teknis terkait. Respons putusan berkekuatan hukum tetap perkara
terhadap Lapdumas yang terkategori dalam tersebut karena membutuhkan waktu dan proses
bidang yudisial inilah yang nampaknya yang panjang. Di sisi lain, upaya yudisial tidak
mengalami ketersendatan. mampu mengakomodir sepenuhnya tindakan
aparat penegak hukum yang dianggap merugikan
Dalam skala kecil terdapat Lapdumas yang
dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum.
bersentuhan dengan aspek teknis yudisial yang
Seperti halnya gugatan praperadilan yang
ditindaklanjuti secara langsung oleh KKRI
dilakukan oleh para nasabah WanaArtha Life
sebagaimana lapdumas Nomor Register Nomor:
yang mempermasalahkan tindakan penyidik
RSM 5745-0732. Terhadap Lapdumas yang
kejaksaan tersebut dinyatakan gugur karena
menjadi sorotan dan atensi publik tersebut KKRI
pengadilan telah menggelar sidang perkara
mengambil langkah untuk melakukan tindak
lanjut berupa inspeksi kasus guna mengungkap
ada atau tidaknya dugaan pelanggaran yang
58
Artikel berita, Datangi Komisi Kejaksaan :
terjadi. Akan tetapi upaya tindak lanjut itu
Kawal Kejagung Adil Sikapi Penyitaan Dana Nasabah
dilakukan pasca sidang putusan Novel Baswedan WanaArtha, dimuat dalam
selesai dibacakan, dengan mendasari argumentasi https://m.suarakarya.id/detail/117484/Datangi-
untuk mendapatkan informasi yang lebih Komjak-Kawal-Kejagung-Adil-Sikapi-Penyitaan-Dana-
Nasabah-WanaArtha diakses pada tanggal 5 Mei
komprehensif. Dengan dilakukannya tindak 2021.
155
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
pokok 59 kasus korupsi PT Jiwasraya. Langkah itu, pelaksanaan tugas dalam konteks ketentuan
hukum bahkan terobosan KKRI mengoreksi Pasal 13 Perpres tentang KKRI memang
tindakan penegak hukum dalam kasus-kasus merupakan hal yang seyogianya, dalam arti
semacam ini menjadi sangat strategis. penafsiran tentang frasa “tidak boleh
mengganggu kelancaran tugas kedinasan jaksa
Laporan pemegang polis tersebut oleh KKRI
dan/atau pegawai kejaksaan” atau
diterima dengan berkas bernomor Register :
“mempengaruhi kemandirian jaksa dalam
(6039-0666) jo (RSM 5958-0525). Hasil rapat
melakukan penuntutan” harus dilihat dengan
pleno KKRI pada 30 September 2020
menggunakan kacamata hukum administrasi,
memutuskan Lapdumas tersebut diteruskan
yang memberikan perhatian terhadap perilaku
Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan untuk
menyimpang dari aparat yang diukur dengan
ditindaklanjuti. Namun hingga Mei 2021, belum
konsep maladministrasi.
ada respons maupun laporan pihak Jaksa Agung
Muda Bidang Pengawasan terkait rekomendasi Tindakan maladministrasi ditandai dengan
KKRI perihal dugaan pelanggaran tersebut. tindakan aparat yang tidak mengindahkan
Belum adanya tindak lanjut dari KKRI perihal norma-norma perilaku yang menjadi pedoman di
belum adanya laporan hasil pemeriksaan tersebut dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
pada akhirnya diwarnai adanya kekhawatiran Merujuk konsep perilaku yang memiliki
akan tindakan KKRI yang bertentangan dengan jangkauan hingga meliputi aspek kognitif, maka
keberadaan Pasal 13 Perpres tentang KKRI. pengawasan, pemantauan, dan penilaian ter-
hadap kemampuan dan keterampilan sebagai
Lantas, benarkah Pasal 13 Perpres tentang
rumusan dari pengetahuan dengan tingkatan
KKRI merupakan norma larangan bagi KKRI
atau intensitas yang telah disebutkan pada
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya
kerangka konsepsional guna mengukur
sepanjang terkait dengan terminologi teknis
kapabilitas individu di dalam konteks
yudisial? Penafsiran tersebut, menurut penulis
pelaksanaan tugasnya, seyogianya bukan justru
merupakan penafsiran yang tidak sejalan dengan
dipandang mengganggu kelancaran tugas
tujuan pembentukan KKRI sebagai penjabaran
kedinasan dan memengaruhi kemandirian jaksa
dari asas negara hukum dan asas negara
dalam melakukan penuntutan, akan tetapi
demokrasi yang memberikan perhatian terhadap
merupakan kewajiban positif dalam pelaksanaan
isu pembatasan kekuasaan dan perlindungan hak
tugas KKRI. Pelaksanaan tugas dengan me-
asasi manusia melalui sarana fungsi kontrol atau
merhatikan seluruh aspek secara komprehensif,
check and balance system. Dalam konteks sistem
tentu saja dilaksanakan dengan memperhatikan
peradilan pidana, fungsi kontrol dimaksud
prinsip good governance (principle of good governance)
diimplementasikan melalui pengawasan terhadap
yang bersandarkan kepada prinsip administrasi
perilaku dan kinerja sebagai sarana mewujudkan
yang baik (principles of good administration).
kepastian hukum yang berkeadilan. Oleh karena
Penjabaran dari prinsip good governance dan good
59
Artikel berita, Praperadilan Nasabah administration ini secara normatif didasarkan
WanaArtha Gugur, dimuat dalam https://www. kepada norma-norma hukum serta peraturan-
beritasatu.com/nasional/648703/praperadilan-
peraturan KKRI sebagai pedoman di dalam
nasabah-wanaartha-gugur, di akses pada tanggal 8 Mei
2021. mengatur gerak langkahnya.
156
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
Dari sisi teleologis, pembentukan KKRI yang Komisi Ombudsman sebelum Undang-
ditujukan untuk meningkatkan kualitas kinerja Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
kejaksaan mutatis mutandis melahirkan Ombudsman lahir merinci tindakan mal-
tanggungjawab dalam pengembanan fungsi administrasi antara lain: penundaan berlarut,
pengawasan yang paripurna. Selaras dengan itu, tidak menangani, persekongkolan, pemalsuan, di
Marwan Effendy, mengungkapkan bahwa objek luar kompetensi, tidak cakap, penyalahgunaan
kerja KKRI yakni mengawasi teknis yudisial wewenang, bertindak sewenang-wenang, per-
akuntabilitas dari kinerja jaksa. 60 Tugas ini mintaan imbalan, penyimpangan prosedur, me-
dimulai dari teknis penyelidikan, penyidikan dan lalaikan kewajiban, bertindak tidak layak,
penggelapan barang bukti, tidak adil, penguasaan
penuntutan. 61 Pengawasan kinerja ini juga dapat
tanpa hak, nyata-nyata berpihak, pelanggaran
dipandang sebagai hal yang membedakan antara
undang-undang dan perbuatan melawan
pengawasan terhadap jaksa dan/atau pegawai
hukum. 62 Di situlah letak pentingnya lembaga
kejaksaan dengan pengawasan hakim yang
pengawas eksternal dalam mengawal akuntabil-
dilakukan oleh KY.
itas penyelenggaraan kekuasaan, termasuk pada
Selain itu, berdasarkan kerangka konseptual lini proses penegakan hukum. Terlepas dari tidak
tentang dimensi perilaku dan kinerja yang telah ditemukannya pelanggaran dari aspek perilaku
diuraikan di atas, dapat diberikan deskripsi maupun kinerja dalam suatu laporan pengaduan
tentang dimensi pengawasan perilaku dan masyarakat yang telah dilakukan tindak lanjut,
kinerja. Menurut khazanah keilmuan, objek dari penafsiran tentang Pasal 13 Perpres tentang
perilaku meliputi tiga domain atau ranah yakni KKRI menurut penulis hendaknya tetap di-
kognitif, afektif, dan psikomotor. Pada suatu dasarkan pada argumentasi yang berbasis kepada
proses penegakan hukum, wujud dari perilaku fungsi pengawasan sebagai salah satu komponen
dalam sistem peradilan pidana terpadu.
yang memiliki dampak dalam kehidupan
manusia merupakan domain afektif dan Dengan demikian, KKRI dapat merefleksi-
psikomotor. Hal ini disebabkan kedua domain kan tugasnya menjadi pilar yang menyangga
tersebut dapat teraktualisasikan ke dalam sikap tegaknya nilai etika dan hak asasi warga negara di
dan tindakan nyata sehingga persoalan yang dalam proses penegakan hukum serta menjadi
muncul dapat dideteksi. Sedangkan aspek sarana dalam membangun kesadaran-kesadaran
kognisi yang berkenaan dengan pengetahuan hukum baik terhadap masyarakat maupun
lebih sulit dideteksi namun memiliki pengaruh penegak hukum. Di samping itu, dengan
yang besar terhadap perkembangan sumber daya pelaksanaan tugas dan kewenangan KKRI
terhadap perilaku dan kinerja jaksa diharapkan
manusia dan organisasi kejaksaan.
dapat menciptakan suatu penegakan hukum
yang lebih berkualitas, terwujudnya kepastian
hukum yang berkeadilan serta menguatnya
60
Marwan Effendy dalam Artikel Berita Koran kepercayaan publik kepada lembaga kejaksaan.
Tempo 28 Februari 2005, “Menanti Lahirnya Pengawas
Kejaksaan”, dimuat dalam
62
https://koran.tempo.co/read/nasional/34682/mena Tatiek Sri Djamiati dalam Philipus M.
nti -lahirnya-pengawas-kejaksaan, diakses pada tanggal Hadjon at all, Hukum Administrasi dan Good
19 Februari 2021. Governance, Jakarta: Universitas Trisakti, 2012, hal.
61
Ibid. 87.
157
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
158
FUNGSI PENGAWASAN KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU
Peraturan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Hasibuan, Malayu S.P. Manajemen Sumber Daya
Nomor 01/KK/04/2012 tentang Organisasi Manusia. Jakarta: Bumi Aksara, 2019.
dan Tata Kerja Komisi Kejaksaan.
Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. Manajemen
Peraturan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung:
Nomor 05/KK/04/2012 tentang Tata Cara Remaja Rosdakarya, 2019.
Penanganan Laporan Pengaduan
Marbun, Rocky. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Masyarakat.
Suatu Pengantar. Malang: Setara Press, 2015.
159
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 135-160
Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. Arti kata kinerja dimuat dalam
Manajemen Sumber Daya Manusia Konsep, dan https://kbbi.web.id/kinerja, diakses tanggal
Pengembangan dalam Konteks Organisasi 18 Februari 2021.
Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015.
Artikel Berita. Dimuat dalam https:// m.
suarakarya .id/ detail/ 117484/ Datangi-
Komjak –Kawal –Kejagung -Adil- Sikapi-
Jurnal
Penyitaan- Dana- Nasabah- Wana Artha
Ansori, Lutfil. Reformasi Penegakan Hukum diakses pada tanggal 5 Mei 2021.
Perspektif Hukum Progresif. Jurnal Yuridis,
Artikel Berita. Datangi Komisi Kejaksaan: Kawal
Vol. 4, 2017.
Kejagung Adil Sikapi Penyitaan Dana Nasabah
Magdalena, Ina, at all. Tiga Ranah Taksonomi WanaArtha. Dimuat dalam https:/ /
Bloom. Jurnal Edukasi dan Sains, Vol. 2, Juni m.suarakarya.id / detail/ 117484/ Datangi-
2020. Komjak-Kawal-Kejagung-Adil-Sikapi-
Mazjah, R. Muhamad Ibnu. Dimensi Pengawasan Penyitaan Dana-Nasabah-WanaArtha,
diakses pada tanggal 5 Mei 2021.
Pada Tindak Lanjut Laporan Pengaduan
Masyarakat Kepada Komisi Kejaksaan Dalam Artikel berita. Praperadilan Nasabah WanaArtha
Tinjauan Hukum Progresif. Jurnal Negara Gugur. Dimuat dalam https:// www.
Hukum, Vol. 11, 2020. beritasatu. Com /nasional/ 648703/
Nurhardianto, Fajar. Sistem Hukum dan Posisi praperadilan- nasabah- wanaartha- gugur, di
akses pada tanggal 8 Mei 2021.
Hukum Indonesia. Jurnal TAPIs, Vol. 11,
2015. Asshiddiqie, Jimly. Hukum Ibarat Kapal, Etika
Ramadhan, Coky R. Kedudukan, Tugas, dan Samuderanya. Dimuat dalam https:/
/www.jpnn.com/ news/ jimly- hukum-
Kewenangan Komisi Kejaksaan. Jurnal
ibarat –kapal -etika samuderanya? page=2
Teropong, Vol. 1, November 2013.
diakses tanggal 16 Februari 2021.
Triwahyuni, Ajeng. Strategi Penguatan Komisi
__________________. Hukum Tanpa Etika
Kejaksaan Dalam Mendorong Pencegahan dan
Melahirkan Ketidakadilan. Dimuat dalam
Pemberantasan Korupsi. Jurnal Teropong, Vol.
https:// republika .co.id /berita /nasional/
1, 2013.
hukum/ 17/ 04/ 05/ onxe9x361- jimly-
assiddiqie- hukum- tanpa- etika-melahirkan-
Laman ketidakadilan, diakses pada tanggal 16
Februari 2021.
Alasan Jaksa Tuntut Penyerang Novel 1 Tahun
Bui: Tak Sengaja Lukai Mata. Dimuat dalam Effendy, Marwan. “Menanti Lahirnya Pengawas
https://news.detik.com/ berita/d-5049859/ Kejaksaan”, dimuat dalam https:// koran.t
alasan -jaksa- tuntut-penyerang-novel-1-tahun- empo.co/ read/ nasional/ 34682/ menanti-
bui-tak- sengaja- lukai -mata, diakses pada lahirnya- pengawas- kejaksaan, diakses pada
tanggal 2 Mei 2021. tanggal 19 Februari 2021.
160
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA
PEMERINTAHAN YANG PENTING DILUAR KONSTITUSI DALAM
TATARAN PERUNDANG-UNDANGAN
(STRENGTHENING THE AUTHORITY AND INSTITUTIONAL OF THE
IMPORTANT GOVERNMENT AGENCIES OUTSIDE THE CONSTITUTION
BY THE REGULATIONS)
Muamar Syafrudin
Staf Ombudsman RI
*Korespondensi: aquanozapatistazz@gmail.com
Abstrak
Kekuasaan negara haruslah diawasi untuk itu lahir lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki
fungsi penting dalam pemerintahan. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan sebelum reformasi
ditandai dengan praktik maladministrasi termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sehingga
mutlak diperlukan reformasi birokrasi pemerintah. Dalam rangka reformasi penyelenggaraan negara
dan pemerintahan di Indonesia, didirikan lembaga baru yang tidak pernah ada pada masa
pemerintahan orde lama dan orde baru yang berkuasa sebelumnya. Salah satu lembaga baru adalah
Ombudsman Republik Indonesia (ORI), sehingga dalam praktik ketatanegaraan Indonesia saat ini,
terdapat 4 (empat) pilar kekuasaan yang berkedudukan setara, yaitu Eksekutif, Legislatif, Yudisial dan
Lembaga Negara Khusus yang terdiri dari BPK, Ombudsman, Komnas HAM dan KPK. Dengan
metode penelitian normatif dan pendekatan konseptual dengan menjadikan Ombudsman sebagai
obyek penelitian didapat temuan bahwa BPK, Ombudsman, Komnas HAM dan KPK yang termasuk
dalam lembaga negara khusus diposisikan sejajar dengan Legislatif, Eksekutif dan Yudisial. Walaupun
pengaturannya hanya didasarkan pada undang-undang. Lembaga pemerintahan yang ada saat ini
peran dan fungsinya masih terbatas karena keterbatasan pengaturan yang ada saat ini dalam undang-
undang untuk itu perlu ada penguatan dalam tataran undang-undang agar lembaga-lembaga ini dapat
lebih berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Abstract
The powers of the state has to watched by the state organ, these organ was born and have an essential function in
the government The administration of the state and government before the reforms was marked by the practice of
maladministration including corruption, collusion and nepotism (KKN), so that it was absolutely necessary to
reform the government bureaucracy. In the framework of reforming the implementation of the state and
government in Indonesia, some new institutions were established which had never existed during the reign of the
old order and the new order that had been in power before. One of the new institutions is the Ombudsman of the
Republic of Indonesia (ORI), so that in the current Indonesian constitutional practice, there are 4 (four) pillars of
equal position, namely Executive, Legislative, Judicial and Special State Institutions consisting of BPK,
161
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
Ombudsman, Komnas HAM and KPK. With normative research methods and conceptual approaches by taking
the Ombudsman as the object of research obtained findings that the BPK, the Ombudsman, the National
Human Rights Commission and the Corruption Eradication Commission included in the special state
institutions are positioned parallel to the Legislative, Executive and Judicial. Although the settings are only based
on the Act. Government agencies that exists when the role and functions of the remains limited because current in
law therefore there should be a reinforcement in law to give this one institutions more of a role in the national
and state life.
162
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN
dari terlihat belum lama ini Presiden Joko 1945 melalui mekanisme pengaduan
4
Widodo membubarkan 18 lembaga negara konstitusional (constitutional complain).
sebagai dampak banyaknya lembaga-lembaga
Sehubungan dengan fenomena munculnya
negara yang begitu banyak ini. 3
pemerintahan konstitusional, ada pendapat
Walaupun pada akhirnya membubarkan 18 Daniel S. Lev yang memiiki pemikiran yakni:
(delapan belas) lembaga belum lama ini, perlu “Secara historis, menuculnya pemerintahan konstitusi-
diketahui bahwa sebenarnya pada awalnya onal senantiasa berhubungan dengan terbatasinya
dahulu keinginan untuk mewujudkan lembaga- negara dan kekuasaan para pengelolanya. Karena itu,
lembaga yang independen ini merupakan upaya konstitusionalisme, abstraksi yang sedikit lebih tinggi
dalam rangka mengontrol kekuasaan eksekutif. daripada the rule of law ataupun rechtsstaat berarti
Hal ini ditambah bahwa dewasa ini terdapat paham “negara terbatas” di mana kekuasaan politik
kecenderungan penambahan kewenangan untuk resmi dikelilingi oleh hukum yang jelas dan yang
melakukan diskresi dalam menjalankan pe- penerimaannya akan mengubah menjadi wewenang
merintahan. Pemerintah tidak dapat menolak yang ditentukan secara hukum. 5
untuk memberikan pelayanan atau tidak
Atas dasar pemikiran ini maka hadirnya
melakukan tindakan administratif dengan alasan
ajaran bahwa eksekutif sebagai pengemban
tidak ada dasar hukum yang mengaturnya. Ini
kekuasaan negara yang diketahui kian dominan
semua adalah konsekuensi bahwa penye-
harus tetap ditundukkan kepada wibawa
lenggaraan negara bertujuan untuk mewujudkan
perintah Undang-Undang Dasar (konstitusi),
kesejahteraan rakyat (welfare state). Dalam era ini,
demikian dikatakan oleh Soetandyo Wignjo-
jika masyarakat telah memahami norma-norma
soebroto melalui pemikirannya: “…berdasarkan
dasar yang menampung hak-hak azasinya, serta
ajaran tentang harus diwujudkannya apa yang disebut
menyadari akan hak dan kewajibannya tersebut,
rechtsstaat atau the rule of law. Apabila upaya ini
maka masyarakat dapat menuntut pemenuhan
gagal, maka yang akan terwujud dalam kehidupan
hak-hak tersebut kepada penyelenggara pe-
bermasyarakat dan bernegara bangsa bukan lagi
merintahan, jika mereka tidak mendapatkan pe-
rechtsstaat (negara hukum) melainkan machtsstaat
layanan publik yang baik dan benar. Masyarakat
(negara kekuasaan). Dinyatakan dalam ungkapan
juga dapat mempertahankan hak-hak konstitusi-
lain, yang terjadi bukan lagi the rule of law melainkan
onalnya yang dijamin dalam UUD NRI Tahun
the rule of the ugly political man.” 6
163
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
Pola pikir ini yang kemudian menjado public (public policy). 7 Warga negara yang
landasan mengapa pandangan trias politica tidak merupakan pemilik urusan pelayanan publik,
lagi relevan dengan perkembangan jaman. juga dapat berpartisipasi secara aktif dalam
Bahkan berawal dari pembentukan negara penyelenggaraan pelayanan publik yang prima,
hukum klasik yang memosisikan pemerintah mulai dari proses penetapan standar pelayanan
sebagai penjaga malam (nachtwachtterstaat), me- sampai dengan pengawasan pelayanan organ
rupakan konsep negara hukum yang menjunjung negara kepada rakyatnya.
tinggi kebebasan warga negara dalam berusaha
Keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan
dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga
penyelenggaraan pemerintahan tersebut ber-
pemerintah tidak diperkenankan mencampuri
angkat dari kesadaran hukum, yaitu kesadaran
urusan warga negara, terutama yang bersifat
terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
perdata (private), kemudian berkembang menjadi
tentang hukum meliputi pengetahu-an,
negara hukum formal yang berdimensi kepastian
pemahaman, penghayatan, kepatuhan dan
hukum dan pemisahan kekuasaan negara yang
ketaatan terhadap hukum. Pemberian pelayanan
berlandaskan trias politica. publik oleh aparatur pemerintah sebenarnya
Dewasa ini muncul aliran baru negara merupakan implikasi dari fungsi aparat negara
hukum modern yang demokratis yang me- sebagai pelayan masyarakat dengan tujuan untuk
rupakan evolusi dari negara kesejahteraan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Karena itu,
(welfare state), merupakan konsep negara hukum kedudukan aparatur pemerintah dalam pe-
yang menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai nyelenggaraan pelayanan publik sangat strategis,
tujuan utamanya sehingga negara diberi ke- karena akan sangat menentukan target pen-
bebasan untuk melakukan diskresi dalam men- capaian pemerintah mampu memberikan
jalankan pemerintahan untuk mewujudkan pelayanan yang optimal bagi orang banyak. 8
tujuan tersebut. Lembaga-lembaga bantu seperti Lembaga-lembaga pemerintahan seperti
Ombudsman, BPK, KPK dan Komnas HAM BPK, Ombudsman, Komnas HAM, dan KPK
yang termasuk pilar kekuasaan keempat memiliki adalah wujud keikutsertaan masyarakat. Namun
fungsi pengawasan penyelenggaraan pemerintah- degan melihat kondisi saat ini dimana untuk
an yang menjunjung tinggi partisipasi masyarakat klasifikasi pejabat negara saja masih merupakan
(participatory government) dalam setiap tahapan, suatu permasalahan yang belum memiliki solusi,
sejak dari pembentukan pemerintahan melalui maka terhadap lembaga pemerintahan BPK,
pemilihan umum yang diselenggarakan secara
jujur dan adil, penyusunan kebijakan sampai 7
Nuriyanto, Rembug Pelayanan Publik (RPP) Sebagai
dengan pelaksanaan kebijakan dalam kehidupan
Aktualisasi Pelayanan Publik Berlandaskan Demokrasi
masyarakat. Pada tahapan akhir peran serta Pancasila (Rembug of The Public Services as an
masyarakat juga sangat diharapkan kehadirannya Actualization of The Public Services Base On The
Democracy of Pancasila), Jurnal Konstitusi, Volume 12,
dalam mengawasi pelaksanaan suatu kebijakan
Nomer 2, 2015, hal. 290.
8
Nuriyanto, Penyelenggaraan Pelayanan Publik di
Indonesia, Sudahkah Berlandaskan Konsep Welfare State?,
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September
2014, hal. 432-433.
164
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN
Ombudsman, Komnas HAM, dan KPK harus Kemudian seperti keilmuan hukum
diperkuat dan tidak bisa menunggu lagi normative pada umumnya, maka telaah hukum
mengingat kehidupan bernegara terus berjalan. positif tersebut meliputi telaah dogmatika
hukum, telaah teori hukum dan telaah filsafat
B. Permasalahan
hukum. Pada tataran dogmatika hukum titik
Berdasarkan latar belakang yang telah di- berat ditekankan terhadap identifikasi peraturan
uraikan di atas maka pokok permasalahan dalam perundang undangan yang berkaitan dengan
tulisan ini yakni: kedudukan Ombudsman sebagai lembaga negara
1. Bagaimanakah lembaga - lembaga pe- pengawas pelayanan publik dalam struktur
merintahan di luar konstitusi? ketatanegaraan Indonesia, sedangkan pada
tataran teori hukum dilakukan telaah terhadap
2. Bagaimanakah penguatan bagi lembaga- teoriteori yang dipergunakan sebagai pisau
lembaga pemerintahan di luar konstitusi analisis perimbangan kekuasaan negara. Dari segi
tersebut dalam tataran undang-undang? filsafat hukum pengkajiannya ditekankan kepada
C. Tujuan relevansi kedudukan dan hubungan lembaga
negara dalam melakukan pengawasan pe-
Berdasarkan rumusan permasalahan yang
nyelenggaraan pemerintahan sebagai organisasi
telah diungkapkan sebelumnya, maka tujuan
jabatan (ambtenorganisatie) 9 atau kekuasaan
penulisan yang dilakukan berdasarkan topik
negara yang memiliki alat-alat kelengkapan (die
bahasan ini bertujuan:
staatsorgane). 10
1. Untuk mengetahui realitas lembaga-
lembaga pemerintahan di luar
konsitutsi pada saat ini. II. Pembahasan
165
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
nyelenggaraan negara dan pemerintahan “Tuntutan seperti ini kini sudah merupakan
mengemuka ke seluruh penjuru dunia. suatu isu global, marak sekali dalam
Gelombang demokratisasi juga seringkali di kehidupan transnasional yang tidak lagi
suarakan pada semua aspek kehidupan masya- mementingkan state centrism dengan
rakat. Terkai dengan fenomena demokratisasi kewenangan kewenangan konstitusional dan
tersebut, Jimly Asshiddiqie pernah memiliki kekuasaan yang terpusat di tangan para
pemikiran yaitu: penguasa tanpa diimbangi hak-hak asasi
para warga. Perkembangan seperti ini
“...pengertian-pengertian yang berkenaan dengan
mestilah terus diantisipasi, dan cepat atau
pentingnya meningkatkan keberdayaan
lambat mengharuskan para penyelenggara
masyarakat madani atau civil society dalam
kekuasaan negara dan para adminis-
hubungan antara negara (state), masyarakat
tratornya untuk merespon peran yang tengah
(society) dan pasar (market), berkembang sangat
dan/atau akan terjadi, dengan sikap yang
pesat disertai oleh gelombang globalisasi yang
lebih positif, realistis, adaptif dan tentu saja
mempengaruhi peri kehidupan seluruh umat
juga arif. 12
manusia. Pengertian-pengertian mengenai
masyarakat madani yang perlu ditingkatkan
keberdayaannya (empowering), haruslah
Karena fenomena demikian lalu dilaku-
menjadi perhatian sungguh-sungguh setiap
kan langkah-langkah reformasi, restrukturi-
penyelenggara negara. Bahkan, untuk
sasi dan refungsionalisasi pada tingkat mikro
menjamin peradaban bangsa di masa depan,
kelembagaan baik pada sisi internal institusi-
ketiga wilayah (domain) negara, masyarakat,
institusi negara dan institusi masyarakat
dan pasar itu sama-sama harus dikembangkan
maupun dunia usaha. Soetandyo Wignjo-
keberdayaannya dalam hubungan yang
soebroto dalam mengkritisi praktik pe-
fungsional, sinergis dan seimbang.” 11
nyelenggaraan negara dengan pembagian
Berangkat dari kesadaran akan kondisi kekuasaan antara Legislatif, Eksekutif dan
masyarakat yang semakin maju tersebut, sejak Yudisial dalam model trias politica, memiliki
saat reformasi di Indonesia juga muncul pemikiran:
keinginan untuk menggunakan model-model
“…dalam perkembangan mutakhir pada
yang lebih manusiawi dalam pembangunan
peralihan millennium ketiga Masehi ini model
bangsa, dengan kemungkinan yang harus
trias politica yang digagas oleh Montesquieu
dibuka seluas-luasnya dan membangkitkan
pada pertengahan abad ke-18, atau pula ide
keberdayaan masyarakat guna meningkatkan
separation of power berikut balance of power
kualitas sumber daya manusiah (human
yang dikemukakan Benyamin Franklin dari
resources). Menurut Soetandyo Wignjosoebroto,
jaman yang sama, jelas kalau sudah tak lagi
dari perspektif sosiologis dan pandangan luas
secara global, menyatakan pemikirannya bahwa: 12
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma,
Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan
11
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Perkumpulan Untuk Pembaruan Hukum Berbasis
Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika, 2011, hal. 64-65. Masyarakat dan Ekologi (Huma), 2012, hal. 529-530.
166
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN
sesuai dengan kenyataan. Apabila the civil law badan (body), organ (organ atau orgaan), dan
system memosisikan badan legislatif sedangkan lembaga mempunyai makna yang esensinya
the common law system menempatkan badan kurang lebih sama. Oleh karena itu, untuk
yudikatif sebagai pemeran utama dalam sistem bidang hukum, ketiganya dapat digunakan
bekerjanya hukum nasional kini di peralihan untuk menyebutkan suatu organisasi yang tugas
abad 20-21 terbukti bahwa badan eksekutif dan fungsinya menyelenggarakan pemerintahan
itulah yang berperan sebagai pengendali utama negara, yaitu “organ negara”, “badan negara”
bekerjanya sistem hukum. 13 atau “lembaga negara”. Namun demikian
ditekankan perlunya konsistensi penggunaan
Pemikiran Soetandyo Wignjosoebroto
istilah agar tidak digunakan dua istilah untuk
diatas yang model trias politica tersebut,
maksud yang sama. 15
berkelindan bilamana menggunakan pola pikir
teori organ. Berdasarkan teori organ, negara Lebih lanjut lagi, terkait dengan lembaga
dipandang sebagai suatu organisme. Lembaga- negara ini, sesuai dengan pendapat Hans
lembaga negara yang ada dalam suatu negara Kelsen dalam latar belakang tulisan ini, suatu
dikenal dengan alat perlengkapan negara (Die organ itu seharusnya berkesesuaian dengan
Staatsorgane). Alat perlengkapan negara fungsinya. Fungsi, menurut C.S.T Kansil dan
dibentuk untuk menjalankan fungsi-fungsi Christine S.T. Kansil, ialah suatu lingkungan
negara. Pelaksanaan fungsi fungsi, seperti kerja dalam hubungan dengan keseluruhannya
wetgeving (legislatif), uitvoering (eksekutif), dan dan tidak terlepas satu sama lain selaku bagian-
rechtspraak (yudikatif), menentukan persyaratan bagian untuk mencapai tujuan. Dengan
yang berbedabeda kepada organ organ (badan- demikian, fungsi menentukan kedudukan
badan atau lembaga-lembaga) tersebut, suatu badan. Satu fungsi dapat dipegang oleh
sehubungan dengan kehidupan masyarakat satu badan atau lebih dan sebaliknya, beberapa
yang intern dan ekstern. 14 fungsi dapat dipegang oleh satu badan. 16
Namun pada akhirnya lahirnya lembaga
Selanjutnya, berdasarkan beberapa
indpenden ini harus sesuai dengan teori
pengertian yang diperoleh dari Kamus Besar
lembaga negara/organ negara dimana jangan
Bahasa Indonesia (untuk lembaga), Kamus
sampai kekuasaan negara terpuusat pada satu
Hukum Fockema Andreae (untuk orgaan) serta
organ tunggal yang menggabungkan gungsi-
Black’s Law Dictionary (untuk body), HAS
fungsi kenegaraan, karena hal ini memiliki
Natabaya mengambil kesimpulan bahwa istilah
13
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam
15
Masyarakat, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013, hal. 35- HAS Natabaya, Lembaga (Tinggi) Negara Menurut
37. UUD 1945, dalam Refly Harun, Zainal A.M. Husein,
14
R. Kranenburg dalam A. Hamid S. Attamimi, dan Bisariyadi (ed.), Menjaga Denyut Konstitusi, Refleksi
Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara – Suatu Studi Press, 2004, hal. 63.
16
Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa
Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V. Kewenangan Lembaga Negara Oleh Mahkamah
Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, 1990, hal. Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3,
99. Juni 2010, hal. 13.
167
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
potensi lebih besar untuk disalahgunakan pembagian kekuasaan dan pembatasan fungsi
(abuse de droit, atau mesbruik van recht). 17 departemen yang berbeda-beda, dan me-
resepkan keleluasaan dan cara pelaksanaan
2. Konsep Konstitusi
kekuasaan yang berdaulat. Sebuah piagam yang
Konstitusi merupakan semua karakteristik memberikan seluruh kewenangannya dari pe-
yang tak terhitung yang menentukan sifat dasar milik kewenangan itu. Instrumen tertulis yang
negara, dan termasuk yang berkarakter disepakati oleh rakyat dari negara bagian
ekonomi dan sosial sebagai urusan pe- (misalnya Konstitusi Amerika Serikat) atau
merintahan modern yang sempit. 18 Penggunaan negara tertentu. Sebagai aturan mutlak
istilah konstitusi tersebut baru dikenal pada tindakan dan keputusan untuk semua
zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), departemen (misalnya kantor-kantor cabang)
sedangkan pada zaman Yunani kuno istilah dan pejabat pemerintah sehubungan dengan
“constitution” dan “jus” tidak dikenal. Mula- semua poin yang tertutup, yang harus
mula istilah konstitusi digunakan untuk mengontrol sampai harus diubah oleh otoritas
menyebut “the act of legislation by the emperor” yang didirikannya (dengan amandemen) dan
(kegiatan legislatif oleh Kaisar). Bersamaan bertentangan dengan setiap tindakan atau tata
dengan banyak aspek dari hukum Romawi yang cara setiap departemen atau petugas tersebut
dipinjam ke dalam pemikiran hukum di adalah batal demi hukum. 19
kalangan gereja, maka istilah teknis
Berdasarkan pemikiran Brian Thompson,
“constitution” juga dipinjam untuk menyebut
dikatakan bahwa “… constitution is a document
hukum gereja yang berlaku di seluruh gereja
which contains the rules for the the operation of an
ataupun untuk beberapa peraturan hukum
organization”. (sebuah konstitusi adalah sebuah
gereja yang berlaku di gereja-gereja tertentu
dokumen yang berisi peraturan untuk
(ecclesiastical province). Karena itu, kitab-kitab
beroperasinya sebuah organisasi). 20 Negara
hukum Romawi dan hukum gereja (kanon)
sebagai salah satu bentuk organisasi, pada
itulah yang sering dianggap sebagai sumber
umumnya memiliki naskah (piagam) yang
rujukan paling awal mengenai penggunaan
disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang
perkataan “constitution” dalam sejarah.
Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang
Sebuah bangsa atau negara memiki organ sampai sekarang tidak memiliki satu naskah
hukum dasar berupa konstitusi, baik itu tertulis tertulis yang disebut konstitusi. Konstitusi di
atau tidak tertulis. Konstitusi ini menghadirkan kedua negara ini tidak pernah dibuat secara
karakter dan konsepsi pemerintahannya, me- tertulis, tetapi tumbuh menjadi konstitusi
nempatkan prinsip-prinsip dasar yang disesuai- dalam pengalaman praktik ketatanegaraan.
kan dengan pandangan hidup, pengorganisasi- Namun para ahli tetap dapat menyebut adanya
an pemerintahan, dan pembuatan peraturan,
19
Bryan A Garner, Black Law Dictionary, seventh
17
Yan Pramudya, Kamus Hukum, Semarang: Aneka edition, United States of America: West Group,
Ilmu, 1977, hal. 306. 2013, hal. 311.
18 20
Charles Howard Mc Ilwain, Constitutionalisme; Brian Thompson, Textbook on Constitutional and
Ancient and Modern, New York: Cornell University Administrative Law, edisi ke-3, London: Blackstone
Press, 2016, hal. 26. Press ltd., 1997, hal. 3.
168
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN
konstitusi dalam konteks hukum tata negara Kata “suatu” menunjukkan bahwa UUD
Inggris dan Israel. Memang konstitusi tidak NRI Tahun 1945 yang disusun tersebut tidak
selalu harus tertulis, akan tetapi bisa juga tidak mesti permanen. Ia dapat diganti dan diubah
tertulis dan secara berturut-turut dijadikan sesuai dengan kebutuhan demi memenuhi asas
rujukan dalam praktik kenegaraan dan keadilan sosial, sebagai keadilan substantif
pemerintahan. 21 sebagai tujuan terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang berfalsafah
Berbicara mengenai konstitusi suatu negara
Pancasila. UUD NRI Tahun 1945 sekarang,
tidak terlepas dari sejarah suatu bangsa itu
yang telah mengalami empat kali perubahan,
sendiri. Berdasarkan pemiliran Harjono
meliputi hampir keseluruhan materi UUD NRI
disebutkan bahwa:
Tahun 1945. Naskah asli UUD NRI Tahun
“Sebelum membuat konstitusi untuk Indonesia, 1945 yang hanya berisi 71 butir ketentuan,
kita harus memahami terlebih dahulu siapa itu dalam perubahan keempat berkembang
bangsa Indonesia dan dalam lingkungan seperti menjadi 199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199
apa bangsa itu hidup. Oleh karena sang butir ketentuan yang ada dalam UUD NRI
perumus konstitusi itu harus mengerti sejarah Tahun 1945, hanya 25 butir (l2%) ketentuan
pembentukan Indonesia sebagai bangsa, agar yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya,
bangsa Indonesia hidup dalam habitat sebanyak l74 butir (88%) ketentuan merupakan
sejarahnya sendiri”. 22 materi yang baru atau telah mengalami
Sejarah suatu bangsa amat lekat dengan perubahan. 24
konstitusi yang sudah menjadi norma dasar Dari sisi kualitatif, perubahan UUD NRI
konsensualnya, perubahan terhadap konstitusi Tahun 1945 tersebut bersifat sangat mendasar
juga merupakan suatu keniscayaan. karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat
Lebih lanjut, dalam pemikiran Harjono yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh
dikatakan bahwa: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
menjadi dilaksanakan menurut UUD NRI
“Dalam pembentukan konstitusi
Tahun 1945. Hal ini menyebabkan semua
Indonesia, pembukaan dan batang tubuh
lembaga negara dalam UUD NRI Tahun 1945
tidak selalu otomatis lekat, sehingga dalam
alinea terakhir pembukaan UUD NRI berkedudukan sederajat dan melaksanakan
Tahun 1945 disebutkan kalimat: Maka kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya
disusunlah kemerdekaan kebangsaan masing-masing. Perubahan lain adalah dari
Indonesia itu dalam suatu Undang- kekuasaan presiden yang sangat besar
Undang Dasar Negara Indonesia”. 23 (concentration of power and responsibility upon the
21 24
Ibid. Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan
22
Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa; Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun
Pemikiran Dr. Harjono, SH, M.CL, Wakil Ketua 1945, Makalah disampaikan dalam simposium yang
Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hal. 26-27. Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003,
23
Ibid. hal. 1.
169
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
170
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN
Indonesia (MPR RI), Dewan Perwakilan bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Badan Jadi benar benar merupakan lembaga yang
Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah independen secara struktural, fungsional
Agung Republik Indonesia, Mahkamah maupun finansial. 28 Jika ditinjau dengan
Konstitusi Republik Indonesia, Komisi Yudisial, pemikiran Jack M. Beermann, lembaga negara
Komisi Pemilihan Umum. Oleh karena sistem yang independen memiliki karakteristik sebagai
pembagian kekuasaan negara berdasarkan berikut:
Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubah-
1) They are headed by multy-member commissions or
an ke-empat tidak lagi menganut prinsip
boards. (Lembaga yang dipimpin oleh banyak
struktural hirarkis melainkan fungsional dan
anggota komisi atau badan).
kesejajaran, saling terkait satu dengan yang lain
2) The agency heads serve for a term of years usualy
dan saling dapat mengontrol (check and
longer then the term of the President. (Pimpinan
balances), maka Ombudsman Republik
lembaga menjabat dalam jangka waktu
Indonesia memiliki kedudukan yang sejajar
beberapa tahun, biasanya lebih lama dari
dengan lembaga-lembaga negara seperti yang
masa jabatan Presiden).
disebutkan di atas. 27
3) The agency heads may not be removed without
Posisi Ombudsman yang harusnya setara
good cause. (Pimpinan lembaga tidak dapat
dengan lembaga-lembaga negara lain itu juga
diberhentikan tanpa alasan yang kuat).
dipertegas di dalam Pasal 2 UU tentang ORI
4) The agency must be bipartisan with the usual
yang berbunyi:
requirement being that no more than half plus
“Ombudsman merupakan lembaga negara yang one of members (e.g. three of five) may be of the
bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan same political party. (Lembaga negara tersebut
organik dengan lembaga negara dan instansi harus didukung partai-partai politik dengan
pemerintahan lainnya, serta dalam syarat tertentu yang tidak lebih dari setengah
menjalankan tugas dan wewenangnya bebas tambah satu anggota (misalnya: tiga dari
dari campur tangan kekuasaan lainnya”. lima), mungkin komisioner tersebut terdiri
Pada Pasal 2 UU tentang ORI dikatakan dari partai politik yang sama). 29
bahwa Ombudsman di Indonesia bukan Karakteristik lembaga independen tersebut
merupakan bagian dari lembaga negara (staat konteksnya adalah praktik ketatanegaraan
organen) lainnya, juga bukan merupakan Amerika Serikat (AS) yang pemerintahannya
lembaga pemerintah (bestuur organ). bercorak presidensial dan partai politiknya
Ombudsman juga tidak ada hubungan hanya 2 (dua) partai politik, bukan multi partai
structural organik baik sebagai atasan ataupun seperti di Indonesia. Masa jabatan Presiden di
bawahan dari lembaga lain. Di dalam AS juga hanya 4 (empat) tahun, sehingga
menjalankan tugas dan wewenangnya pun
28
Ibid, hal. 127.
27 29
Galang Asmara, Ombudsman Republik Indonesia Jack M. Beermann, Inside Adminaistrative Law:
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, What Matters and Why, New York: The Netherlands,
Surabaya: Laksbang Justisia, 2012, hal. 126. 2011, hal. 7.
171
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
ditentukan masa jabatan lembaga independen Adapun Bagir Manan dalam bukunya juga
harus ditetapkan selama 5 (lima) tahun. Ini mengategorikan 3 (tiga) jenis lembaga negara
dimaksudkan untuk menghindarkan intervensi yang dilihat berdasarkan fungsinya, pertama,
dari eksekutif, karena masa jabatan lembaga lembaga negara yang menjalankan fungsi
independen yang lebih lama. Contoh dari negara secara langsung atau bertindak untuk
kekuasaan keempat adalah keberadaan badan- dan atas nama negara, seperti Lembaga
badan administratif independen di Amerika Kepresidenan, DPR, dan Lembaga Kekuasaan
Serikat, seperti Kantor Audit Nasional dan Kehakiman. Lembaga-lembaga yang menjalan-
Kementerian Luar Negeri. Sedangkan di kan fungsi ini disebut alat kelengkapan negara.
Belanda, tidak hanya Ombudsman Nasional, Kedua, lembaga negara yang menjalankan
tetapi juga Kantor Audit Nasional dan Dewan fungsi administrasi negara dan tidak bertindak
Negara, dalam kapasitas sebagai penasihat pada untuk dan atas nama negara. Artinya, lembaga
rancangan undang-undang, harus dilihat ini hanya menjalankan tugas administratif yang
sebagai bagian dari kekuasaan keempat di tidak bersifat ketatanegaraan. Lembaga yang
Belanda, karena posisi konstitusional khusus menjalankan fungsi ini disebut sebagai lembaga
mereka diwujudkan dengan tempat administratif. Ketiga, lembaga negara pe-
independen mereka sendiri dalam konstitusi nunjang atau badan penunjang yang berfungsi
dan karena mereka diatur dalam bab terpisah untuk menunjang fungsi alat kelengkapan
pada konstitusi dalam melaksanakan tugas- negara. Lembaga ini disebut sebagai auxiliary
tugas konstitusionalnya, tiga lembaga negara ini organ/agency.
memegang kekuatan utama, yang dapat
Berdasarkan kategorisasi tersebut, dapat
dibedakan secara substansial dari tiga kekuatan
disimpulkan bahwa yang dimaksud pejabat
lain, yaitu legislatif, eksekutif dan yudisial).
negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya
Jika kita berkaca ke Indoensia, sejatinya berada pada lembaga negara yang merupakan
sebelum feformasi bahkan istilah lembaga- alat kelengkapan negara beserta derivatifnya
lembaga negara tidak dijumpai dalam UUD berupa lembaga negara pendukung. Sebagai
NRI Tahun 1945. Konstitusi Republik contoh pejabat negara adalah anggota DPR,
Indonesia Serikat (RIS) 1950 secara eksplisit Presiden, dan Hakim. Pejabat-pejabat tersebut
menyebut Presiden, menteri-menteri, Senat, menjalankan fungsinya untuk dan atas nama
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah negara. Menurut Jimly, hierarki antarlembaga
Agung (MA), dan Dewan Pengawas Keuangan negara penting untuk ditentukan, karena harus
sebagai alat-alat perlengkapan negara RIS. 30 ada pengaturan mengenai perlakuan terhadap
UUDS 1950 juga menegaskan bahwa alat-alat orang yang menduduki jabatan dalam lembaga
perlengkapan negara mencakup Presiden dan negara. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat
Wakil Presiden (Wapres), menteri-menteri, dipakai, yaitu kriteria hierarki bentuk sumber
DPR, MA, dan Dewan Pengawas Keuangan, hal normatif yang menentukan kewenangannya,
ini ditegaskan dalam UUDS 1950 Pasal 4. dan kualitas fungsinya yang bersifat utama atau
penunjang dalam sistem kekuasaan negara.
30
Lihat Konstitusi Republik Indonesia Seriktat Sehubungan dengan itu, maka dari segi
Tahun 1950 Bab III.
172
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN
fungsinya, ada yang bersifat utama atau primer, Ombudsman), Ombudsman penyelidik
dan ada pula yang bersifat sekunder atau (investigator Ombudsman) dan penunjang
penunjang (auxiliary). 31 Sedangkan dari segi (supporter) peradilan. Ombudsman adalah
hierarkinya, dapat dibedakan ke dalam tiga lembaga negara khusus yang menyelenggarakan
lapis. Organ lapis pertama dapat disebut kekuatan khusus yang tidak identik dengan
sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kekuasaan lembaga negara lain. Karakter
kedua disebut sebagai lembaga negara, Ombudsman dan kekuatan mereka
sedangkan lapis ketiga merupakan lembaga menempatkan mereka tidak hanya di kalangan
daerah. 32 lembaga-lembaga negara, tetapi juga di antara
Adapun berdasarkan sejumlah pandangan check and balance (pengawas dan penyeimbang)
pakar diatas, hal ini pula sejalan dengan bentuk secara administratif dalam kekuasaan negara. 34
klasik Ombudsman yang merupakan sebuah Kewenangan perimbangan kekuasaan
bentuk institusi yang dibentuk oleh konstitusi (check and balance) yang dilakukan oleh
atau undang-undang dan diselenggarakan oleh Ombudsman, dilakukan dengan mengembang-
pejabat independen mendapatkan kepatuhan kan standar penilaian khusus, yaitu dengan
tertinggi yang merespon badan legislatif yang menyusun dan menjelaskan mekanisme
menerima pengaduan masyarakat kepada internal proses pembuatan rekomendasi
institusi pemerintah, pejabat dan pegawai dan Ombudsman. Kriteria yang digunakan oleh
yang mempunyai kewenangan untuk me- Ombudsman sebagai standar penilaian biasanya
lakukan investigasi untuk melakukan perbaikan tidak datang seiring dengan pembentukan
dan untuk memberikan laporan hasil inves- lembaga Ombudsman. Standar nilai tersebut
tigasi kepada masyarakat. Pada negara-negara biasanya dibuat selama tahun-tahun awal
Eropa sebagai contoh, ditemukan lembaga Ombudsman ini berdiri. Ombudsman biasanya
Ombudsman di Belanda atau Malta). 33 Terkait butuh waktu dan latihan yang diperlukan
dengan semua bentuk institusi Ombudsman, dalam memenuhi fungsinya untuk dapat
dapat diamati bahwa meskipun lembaga- menciptakan dan mengembangkan standar
lembaga ini tidak dapat sepenuhnya termasuk nilai tersebut. 35
dalam salah satu bagian tradisional trias politica
Pada negara Indonesia, dengan kedudukan
(kekuasaan legislatif, kekuasaan yudisial dan
Ombudsman sebagai lembaga negara yang
kekuasaan eksekutif). Lembaga-lembaga negara
independen dan sejajar dengan lembaga negara
tersebut berfungsi dalam hubungan langsung
lainnya diperkuat lagi dengan keberadaannya
dengan kekuasaan negara lainnya. Ada yang
yang bersifat nasional tunggal. Artinya hanya
statusnya sebagai wakil dari parlemen (parliment
ada satu lembaga Ombudsman di Indonesia
31
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang
34
Demokratis, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2009, hal. Dacian C. Dragos Alternative Dispute Resolution
467. in European Administratif Law, London: Spriger, 2014,
32
Ibid. hal. 568.
33 35
Galang Asmara, Ombudsman Republik Indonesia Milan Remac, Standards of Ombudsman
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, hal. Assessment: A New Normative Concept?, Utrech Law
23. Review, Volume 9, Issue 3, July, 2013, hal. 71.
173
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
yang bersifat nasional dan berkedudukan di ibu Dari sisi kewenangan juga, kewenangan
kota negara serta memiliki wilayah kerja kepada yang dimiliki oleh Ombudsman hampir sama
rakyat atau wakil rakyat secara langsung, maka dengan kewenangan yang dimiliki oleh BPK,
lembaga tersebut dapat digolongkan sebagai KPK dan Komnas HAM, dan oleh karena itu
lembaga negara meskipun kelembagaannya dalam struktur ketatanegaraan lembaga negara
dibentuk atas perintah undang-undang dan dan komisi khusus tersebut ditempatkan pada
belum diatur dalam konstitusi. Selain itu, struktur kekuasaan yang sama sebagai
lembaga tersebut secara struktural bukan kekuasaan keempat dengan label Lembaga
merupakan bagian dari lembaga negara yang Pemerintahan (non kementerian jika merujuk
ada dan secara fungsional terlepas dari ke Undang-Undang Kementerian Negara).
pengaruh (intervensi) kekuasaan lembaga Walaupun pada umumnya lembaga Negara
negara lainnya. Kriteria lain adalah, lembaga khusus tersebut di Negara lain disebut The State
tersebut harus bersifat nasional. Hal ini untuk Auxiliary Bodies (Lembaga Negara Pembantu)
membedakannya dengan lembaga daerah. Saat dalam teori Prof Jimly dalam bukunya beliau. 36
ini sudah terbentuk perwakilan di seluruh
Pemikiran mengenai klasifikasi lembaga
Indonesia dengan kewenangan yang mutatis
negara pembantu ini, dalam hal ini Penulis
mutandis, tetapi kantor perwakilan tersebut
sedikir berbeda pendapat, karena dalam
secara struktural hanya menjadi kepanjangan
pemikiran penulis, istilah tersebut muncul
tangan Ombudsman di Jakarta. Kewenangan
karena sifatnya hanya membantu lembaga
tersebut menurut ketentuan Pasal 15 UU
negara yang ada dalam trias politica, sedangkan
tentang ORI merupakan kewenangan mandat
faktanya di Indonesia lembaga negara khusus
dari Ombudsman yang sudah ditentukan oleh
tersebut mempunyai kekuasaan dan
undang-undang.
kewenangan khusus dan independen. Selain
Posisi dan kedudukan Ombudsman BPK dan Ombudsman, beberapa lembaga
apabila dikaitkan dengan struktur kelembagaan negara dan komisi lainnya yang telah terbentuk,
negara dalam sistem ketatanegaraan Republik misalnya Komnas HAM yang dibentuk
Indonesia menurut Undang-Undang Dasar berdasarkan Undang-Undang Nomor 39
1945, sebagai lembaga pemereintahan sebetul- Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, KPK
nya sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
seperti MPR, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Tindak Pidana Korupsi, Komisi Penyiaran
Pemilihan Umum (KPU), Presiden, Bank Indonesia (KPI) yang dibentuk berdasarkan
Indonesia (BI), Mahkamah Agung (MA), UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi tentang Penyiaran, Komisi Pengawas
Yudisial (KY). Padahal kenyataannya, dalam Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk
praktik kewenangan sebagai lembaga pengawas
pelayanan publik, Ombudsman berwenang 36
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta; Sekretariat
baik oleh eksekutif, yudisial maupun legislatif. Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2006, hal. 62
174
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN
175
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
“Memang sebelum ditetapkannya Undang- dengan sistem check and balance yang berlaku
Undang Ombudsman, Rekomendasi antara legislatif dan eksekutif. Dalam sistem
Ombudsman tidak mengikat secara hukum, parlementer, menteri bertanggung jawab kepada
sehingga memerlukan landasan politis yang parlemen bukan kepada Presiden, sehingga
sangat kuat. Pencantuman Ombudsman dalam parlemen sewaktu-waktu dapat meminta per-
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 akan tanggungjawaban Menteri. Menteri-Menteri
menempatkan keberadaan Rekomendasi tersebut sangat menghormati dan mematuhi
Ombudsman secara filosofis (sekaligus secara Rekomendasi Ombudsman yang notabene ber-
politis) bernilai tinggi, sehingga rekomendasi tindak sebagai perpanjangan tangan parlemen
tersebut akan lebih dipatuhi oleh penyelenggara dalam mengawasi proses proses penyelenggaraan
negara. 38 pelayanan publik.
Kondisi saat ini dimana kewenangan Pada saat ini terdapat lebih dari lima puluh
Ombudsman hanya sebatas rekomendasi negara telah mencantumkan pengaturan lembaga
sehingga tidak menjadi kewajiban untuk Ombudsman dalam konstitusi, antara lain
dipatuhi adalah kondisi kekurangan yang juga Belanda, Denmark, Finlandia, Filipina,
dialami hampir oleh lembaga-lembaga Thailand, Afrika Selatan, Argentina dan
pemerintah lainnya yang serupa. Agar lembaga- Meksiko. 39 Untuk info yang aling terakhir
lembaga pemerintahan yang penting diluar mengatur dalam konstitusi adalah Ombudsman
konstitusi dapat lebih “bergigi” maka perlu ada Thailand yang usianya lebih muda bahkan dari
pengaturan dalam tataran yang lebih kuat dalam Ombudsman di Indonesia, telah terlebih dahulu
undang-uhndang. Atau bahkan jika secara mencantumkan ketentuan tentang lembaga
ekstrim dapat juga dimasukkan dalam konstitusi. Ombudsman dalam struktur lembaga negara
Karena lembaga-lembaga yang diawasi oleh dalam konstitusinya.
Ombudsman adalah jelas lembaga negara dengan
Hendra Nurtjahjo pernah berpemikiran
pejabatnya pejabat negara dan hal ini jelas
bahwa pentingnya kedudukan Ombudsman
menyulitkan lembaga-lembaga pemerintahan
diatur dalam amandemen UUD NRI Tahun
dalam mengoptimalkan kinerjanya.
1945, dengan alasan sebagai berikut:
Sebagai contoh untuk Ombudsman missal-
“Pertama, Ombudsman penting dijadikan
nya, agar bisa kuat jika DPR dan Presiden
lembaga utama (primary institution) untuk
berkomitmen kuat dalam penegakan hukum
mencapai tujuan negara. Tujuan dibentuknya
maka semestinya tidak hanya diatur dalam
organisasi negara beserta aparaturnya adalah
undang undang tetapi sudah sepantasnya
untuk melayani warga negara (publik). Warga
dibentuk berdasarkan konstitusi. Di negara-
negara memiiki hak untuk mendapatkan layanan
negara yang menganut sistem parlementer dan
administrasi yang baik (the right to good
memilih bentuk Parliamentary Ombudsman,
administration) melalui tata kelola pemerintahan
efektifitas Ombudsman juga sangat ditentukan
39
Galang Asmara, Ombudsman Republik Indonesia
38
Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia, Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, hal.
Jakarta: Pradnya Paramita, 2005, hal. 32. 91.
176
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN
yang baik (good governance). Hal ini hanya bisa negara utama (main state institution). Fungsi-
berlangsung dengan pengawasan secara intensif fungsi lembaga negara yang konvensional, yaitu
dari warga negara pengadu melalui Ombudsman. fungsi eksekutif, legislative dan yudikatif
Kedua, norma pengawasan Ombudsman dapat membutuhkan fungsi inspektif yang bersifat
dikategorikan sebagai norma dasar dalam permanen sebagai counterpart dalam memper-
struktur norma hukum negara (legal order) yang kuat pelaksanaan demokrasi dan konstitusi-
menjadi substansi pokok dari konstitusi. Unsur onalisme. 41
pengawasan adalah unsur pokok dan inherent di
Pentingnya pengaturan lembaga Ombuds-
dalam manajemen sebuah organisasi, termasuk
man dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya
organisasi negara. Ketiga, keberadaan
seperti halnya Komnas HAM dan KPK
Ombudsman menyumbangkan peran
diperlukan karena fungsinya penting namun
penyeimbang permanen bagi cabang kekuasaan
organnya dirasakan tidak kuat pada kondisi saat
konvensional. Birokrasi lembaga eksekutif,
ini. Kerena untuk dapat mengawasi kehidupan
yudikatif dan legislatif memerlukan external
berbangsa dan bernegara yang begitu kompleks
scrutiny karena birokrasi atau administrative
maka lembaga-lembaga sebagai organ negara ini
process merupakan bagian yang esensial dari
haruslah kuat. Karena jalannya pemerintahan
sebuah lembaga”. 40
harus diawasi dan tidak boleh ada kekuasaan
Dalam rangka mewujudkan demokrasi yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau
Pancasila dalam penyelenggaraan pemerintahan penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power)
penting adanya kesetaraan, di samping baik pada negara berbentuk kerajaan maupun
kebebasan. Untuk mewujudkan kesetaraan republik. Secara maknawi, tunduk pada hukum
tersebut dibutuhkan fungsi check and balance. mengandung pengertian pembatasan kekuasaan
Fungsi ini, khususnya dalam penyelenggaraan seperti halnya ajaran pemisahan dan pembagian
pelayanan publik sudah menjadi tugas dan kekuasaan.
tanggung jawab Ombudsman, hal ini dinyatakan
Untuk itu pada akhirnya demi memperkuat
oleh Hendra Nurtjahjo bahwa:
lembaga-lembaga pemerintah seperti Ombuds-
“Fungsi checks ombudsman adalah fungsi ketata- man BPK, Komnas HAM, dan KPK, yang
negaraan yang khas, yaitu fungsi inspektif (dalam penting namun tidak diatur melalui mandat
penyelenggaraan administrasi publik) yang dapat konstitusi maka diperlukan pengaturan khusus
bergerak multi arah, termasuk arah checks dalam bentuk undang-undang. Kehadiran
vertical ke atas. Kekhasan ini berbeda dengan undang-undang ini juga menurut penulis penting
fungsi-fungsi ketatanegaraan lain yang dimiiki untuk memperjelas status lembaga-lembaga yang
secara konvensional oleh lembaga-lembaga negara tidak disebut dalam konstitusi ataupun tidak
yang diletakkan kedudukannya sebagai lembaga tegas disebut dalam undang-undangnya masing-
masing dipimpin oleh pejabat negara atau bukan.
40
Hendra Nurtjahjo, Fungsi dan Kedudukan Pengklasifikasian pejabat negara atau bukan
Ombudsman Dalam Sistem Checks and Balances tersebut penting karena dengan adanya kejelasan
Ketatanegaraan Indonesia, Ringkasan Disertasi
Program Doktoral Pasca Sarjana, Fakultas Hukum,
41
Universitas Indonesia, 2016, hal. 121. Ibid.
177
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
ini maka kehadiran lembaga-lembaga peme- UUD NRI Tahun 1945 juga turut serta
rintahan seperti Ombudsman, Komnas HAM, mengubah kedudukan Dewan Pertimbangan
dan KPK akan lebih bermanfaat dalam Agung menjadi lembaga yang berada di bawah
kehidupan berbangsa dan bernegara. kekuasaan eksekutif, dan menambahkan be-
berapa lembaga baru yang dinilai dibutuhkan
Pentingnya penguatan dari segi regulasi baik
pada masa era reformasi, lembaga tersebut yaitu
untuk kelembagaan maupun kewenangan
Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial dan
lembaga-lembaga negara yang penting di luar
Dewan Perwakilan Daerah. 42 Tujuan perubahan
konstitusi ini juga sejalan juga dengan semangat
UUD NRI Tahun 1945 juga terkait dengan
pembenahan kelembagaan negara semenjak
penguatan kewenangan beberapa lembaga negara
reformasi. Tuntutan reformasi menghendaki
yang ada, seperti DPR, Presiden Komisi
perubahan besar-besaran dalam struktur
Pemilihan Umum, Badan Pemeriksa Keuangan,
kekuasaan negara, salah satunya perubahan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pemerintah
terhadap struktur kelembaganegaraan. Perubah-
Daerah, Pemisahan kelembagaan antara TNI dan
an UUD NRI Tahun 1945 telah merubah
Polisi. Lembaga negara yang dihapus adalah DPA
paradigma sistem ketatanegaraan Indonesia, yang
yang kemudian diubah dengan Wantimpres,
juga berdampak pada sistem kelembagaan
yang dimasukkan dalam UUD NRI Tahun 1945
negara. Paradigma perubahan tersebut turut serta
terkait bab kekuasaan pemerintah, yang sebelum-
mengubah struktur, kedudukan dan kewenangan
nya merupakan lembaga negara yang berdiri
masing- masing lembaga negara, khususnya
sendiri.
lembaga negara yang diadopsi dalam UUD NRI
Tahun 1945. Penataan kembali (rekonstruksi) kelembaga-
an negara pasca perubahan UUD NRI Tahun
Sebagaimana diketahui bahwa perubahaan
1945, dimulai dengan ditetapkannya kedudukan
UUD NRI Tahun 1945 mencakup empat kali
MPR sebagai lembaga negara yang sederajat
masa perubahan yaitu dimulai pada tahun 1999,
dengan lembaga lainnya. Dimana hal tersebut,
tahun 2000, tahun 2001 dan tahun 2002.
berbeda dengan kedudukan MPR pada masa
Keempat kali perubahan tersebut mempunyai
orde baru yang dikenal sebagai lembaga tertinggi
tujuan dasar yaitu salah satunya adalah pe-
negara. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1
ngurangan kapasitas kewenangan Presiden yang
ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, menyebutkan
terlalu besar pada masa era orde baru, dan
bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
memaksimalkan kewenangan Dewan Perwakilan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal
Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif. Atas
tersebut tentu berbeda dengan pengaturan
dasar tersebut maka munculah pergeseran
kekuasaan dalam bidang legislasi, dimana sebelumnya yang menyebutkan bahwa “kedaulat-
sebelumnya Presiden mempunyai peran sangat an berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
besar dalam menentukan dan merumuskan oleh majelis permusyawaratan rakyat”. 43
suatu undang-undang. Sementara itu, DPR
hanyalah sebagai “partner” berdiskusi belaka
hingga proses pengesahannya. Selain adanya 42
Ibid., hal. 86.
pembatasan kewenangan Presiden, perubahan 43
Ibid., hal. 91.
178
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN
Apabila dikaji secara spesifik dapat dilihat Mahkamah tersendiri yang disebut dengan
bahwa kedudukan MPR pada masa era orde baru Mahkamah Konstitusi. 44
adalah sebagai jelmaan rakyat dan pengusung
Pendapat Jimly di atas, pada umumnya telah
kedaulatan rakyat. Sementara itu, saat ini setelah
diakomodir secara utuh dalam Pasal 24 dan Pasal
perubahan hal tersebut diubah sehingga pe-
24C UUD 1945 yang menentukan tentang
mangku kedaulatan rakyat adalah rakyat sendiri
pembentukan dan kewenangan MK, khususnya
dengan dilandasi oleh UUD NRI Tahun 1945.
dalam penyelesaian sengketa kewenangan
Maka, struktur kelembagaan negara yang pada
lembaga negara.
masa era orde baru didudukkan secara
horizontal, maka saat ini kedudukan masing- Lebih lanjut lagi, terkait dengan topik
masing lembaga negara adalah sederajat, secara bahasan penulis, bahwa jelas beberapa kali
vertikal. Dimana setiap lembaga negara amandemen konstitusi dilakukan dengan tujuan
mempunyai kedudukan yang sama yang mewujudkan hubungan yang kesetaraan dalam
kewenangannya diatur langsung maupun tidak hubungan bernegara. Kesetaraan ini akan
langsung oleh UUD NRI Tahun 1945. terwujud jika masing-masing lembaga tersebut
sama tinggi tidak ada yang merasa lebih tinggi
Perlu disadari pula bahwa perkembangan
dibanding yang lainnya. Dalam hal ini jika
kelembagaan negara pada saat ini juga telah
dikaitkan dengan kebutuhan saat ini dimana
berkembang pesat dengan muculnya beberapa
jaman semakin berkembang, lembaga negara
lembaga baru yang berdasarkan pengaturannya
tidak bisa hanya terbatas apa yang ada di
diatur oleh peraturan perundang-undangan di
konstitusi saja. Lembaga di luar konstitusi seperti
bawah UUD 1945. Sehingga disatu sisi,
Ombudsman, Komnas HAM, dan KPK, karena
memunculkan paradigma baru yaitu sengketa
perannya jelas dan tegas maka seharusnya pun
kewenangan lembaga negara. Sebagaimana
mengalami penguatan.
pendapat Jimly Asshidiqie juga menegaskan
bahwa: Penguatan untuk Ombudsman, Komnas
HAM, dan KPK ini juga sesuai dengan pendapat
“Sehubungan dengan gagasan mekanisme
Jimly Asshiddiqie yang menyebutkan bahwa
checks and balances, fungsi penyelesaian
setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945, tidak
sengketa diantara lembaga negara yang se-
dikenal lagi adanya lembaga tertinggi negara.
derajat dengan itu, perlu diatur mekanisme-
Sesuai doktrin pemisahan kekuasaan (separation
nya. Jika sebelum amandemen MPR
of power) berdasarkan prinsip checks and balances
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi
antara cabang-cabang kekuasaan negara. Sebagai
negara, penjelmaan seluruh rakyat Indonesia
contoh, lembaga MPR pun menjadi memiliki
berwenang dan merupakan pemegang ke-
kedudukan yang sederajat dengan lembaga-
kuasaan tertinggi untuk mengatasi per-
lembaga negara lainnya. 45 Perubahan ketentuan
sengketaan semacam itu, maka dimasa yang
ini dalam rangka penataan ulang sistem
akan datang, perlu dibentuk suatu
44
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang
Demokratis, hal. 23.
45
Ibid., hal. 183.
179
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
ketatanegaraan Indonesia agar dapat diwujudkan dorongan untuk mewujudkan idenya sesegera
secara optimal sistem ketatanegaraan yang mungkin karena adanya momentum politik yang
menganut sistem saling mengawasi dan saling lebih memberi kesempatan untuk dilakukannya
mengimbangi (checks and balances) antar lembaga demokratisasi di segala bidang. Oleh karena itu,
negara dalam kedudukan yang setara, dalam hal trend pembentukan lembaga-lembaga negara itu
ini antara MPR dan lembaga negara lainnya untuk tumbuh bagaikan cendawan di musim
seperti Presiden dan DPR. Perubahan ketentuan hujan, sehingga jumlahnya banyak sekali, tanpa
konstitusi tersebut berarti terjadi perubahan disertai oleh penciutan peran birokrasi yang
fundamental dalam sistem ketatanegaraan kita, besar.
yakni dari sistem yang vertikal dan hierarkis
Pembentukan lembaga-lembaga baru
dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem
umumnya telah mengakibatkan bukan efisiensi
yang horizontal-fungsional dengan prinsip saling
yang dihasilkan, melainkan justru menambah
mengimbangi dan saling mengawasi
46
inefisiensi karena meningkatkan beban anggaran
antarlembaga negara.
negara dan menambah jumlah personil pe-
Di camping itu, penguatan untuk merintah menjadi semakin banyak. Kadang-
Ombudsman, Komnas HAM, dan KPK ini kadang ada pula lembaga yang dibentuk dengan
penting karena hal ini didukung oleh adanya maksud hanya bersifat ad hoc untuk masa waktu
prinsip keterbukaan yang mendorong tertentu Akan tetapi, karena banyak jumlahnya,
terkonsolidasinya kepentingan dan tuntutan sampai waktunya habis, lembaganya tidak atau
masyarakat sebagai dampak modernisasi belum juga dibubarkan, sementara para peng
sekaligus perubahan sosial politik dalam urusnya terus menerus digaji dari anggaran pen
masyarakat yang selama ini kurang sekali dapatan dan belanja negara ataupun anggaran
diagregasikan secara memadai oleh lembaga- pendapatan dan belanja daerah.
lembaga negara yang tersedia.
Menurut Cornelis Lay, kehadiran lembaga-
Adapun jika kita melihat proses perubahan lembaga negara baru dalam skala massif, dapat
kelembagaan negara pada umumnya saat ini, dilihat sebagai bagian dari dua kemugkinan
walaupun telah melahirkan pergeseran sekenario besar, pertama, merupakan mekanisme
paradigma dalam melihat pembedaan secara penyesuaian diri atau adaptasi dalam tradisi
tegas ranah negara dan ranah non-negara yang Huntingtunion, yang dilakukan negara dalan
menjadi skema dasar dan konstruksi argumentasi kerangka pengaturan trias politika. Kedua, se-
trias politika, namun harus diakui lahirnya ide baliknya, merupakan bentuk kekalahan gagasan
demi ide tersebut masih bersifat reaktif, sektoral, trias politika dihadapan perkembangan barn dan
dan bahkan dadakan, belum dibungkus dengan pergeseran paradigma pemerintah. 48 Untuk itu
ide-ide yang komprehensif dan utuh. 47 Ide maka penguatan kelembagaan dan kewenangan
pembaruan yang menyertai pembentukan komisi- bagi lembaga-lembaga negara yang penting di luar
komisi negara itu pada umumnya didasarkan atas konstitusi seperti Ombudsman, Komnas HAM,
48
Conelis Lay, State Auxiliary, Jurnal Hukum
46
Ibid. Jentera: Edisi 12 Tahun III April-Juni
47
Ibid., hal. 27. 2006, hal. 14.
180
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN
dan KPK ini menjadi sangat penting. Urgensi ini bagi lembaga-lembaga pemerintahn tersebut
juga untuk mengurangi semakin bermuncul- seperti misalnya dipertegas klasifikasi
annya lembaga-lembaga negara baru dan pada pejabatnya yakni apakah seorang pejabat
akhirnya nanti akan berdampak kepada semakin negara atau tidak. Ketidakadaaan
tidak cukupnya keuangan negara yang kita miliki. pengaturan khusus yang mengatur
mengernai lembaga-lmebaga ini secara
III. PENUTUP
umum untuk semua adalah alsan utama
A. Simpulan mengapa belum optimalnya saat ini peran
1. Bahwa untuk menjawab pertanyaan dari lembaga-lembaga seperti Ombudsman,
mengenai kondisi saat ini maka menurut KPK, dan Komnas HAM tersebut.
penulis, lem-baga-lembaga pemerintahan B. Saran
seperti Ombuds-man Komnas HAM, dan
Dengan adanya pengklasifikasian pejabat
KPK memiliki peran yang penting namun
negara atau bukan tersebut penting karena
pengaturannya belum optimal sehingga
dengan adanya kejelasan ini maka kehadiran
belum dapat memberikan dampak yang
lembaga - lembaga pemerintahan seperti
maksimal dalam kehidupan bernegara.
Ombudsman, Komnas HAM, dan KPK akan
Peran lembaga-lemabga pemerintah-an ini
lebih bermanfaat dalam kehidupan berbangsa
penting karena kekuasaan negara perlu
dan bernegara. Klasifikasi pejabat negara yang
diawasi. Dalam praktik penyelenggaraan
terdapat di dalam peraturan perundang
pemerintahan di Indonesia saat ini,
undangan saat ini masih belum jelas dan tidak
Ombudsman, KPK, dan Komnas HAM yang
ditetapkan berdasarkan konsep, karena ada
termasuk dalam lembaga negara khusus
yang hanya diserahkan pada pembentuk DPR
diposisikan sejajar Legislatif, Eksekutif, dan
dan Presiden atau apa yang tertulis secara
Yudisial. Walaupun pengaturan lembaga
eksplisit di undang-undang. Untuk mengatasi
negara dan komisi tersebut, selain BPK pada
permasalahan tersebut maka perlu ada
saat hanya didasarkan pada Undang-
pembenahan dalam tataran undang-undang.
Undang. Pada masa yang akan datang agar
lembaga negara dan komisi tersebut semakin
legitimate dan kiprahnya semakin dapat
dirasakan oleh masyarakat luas dan mampu
mendorong terwujudnya penyelenggaraan
Negara yang bersih dan bebas dari KKN,
sehingga memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada rakyat untuk
menggapai kesejahteraan dan keadilan yang
didambakan sejak berdirinya NKRI.
181
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
__________________. Membangun Budaya Sadar S. Lev, Daniel. Hukum dan Politik di Indonesia:
Konstitusi, dalam buku Memahami Hukum Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta:
Dari Konstruksi Sampai Implementasi, LP3ES, cet. Ketiga, 2013.
Jakarta; Rajawali Press, cet. 3, 2012.
182
PENGUATAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAHAN
183
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 161-184
184
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN
PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
(CRITICAL REVIEW OF THE IMPLEMENTATION OF LAW NUMBER 41 OF
2009 ABOUT LAND PROTECTION SUSTAINABLE FOOD AGRICULTURE)
Dahiri
Analis APBN Ahli Muda
Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian DPR RI
*Korespondensi: dahiridai@gmail.com
Abstrak
Terbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (UU tentang PLP2B) bertujuan untuk melindungi lahan-lahan pertanian khususnya
lahan pangan pokok dari alih fungsi ke lahan nonpertanian. Meskipun UU tentang PLP2B telah cukup
komprehensif mengatur tentang alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan berikut aturan
turunannya, tetapi alih fungsi lahan masih tetap terjadi dengan laju alih fungsi lahan sebesar 96.512
hektar per tahun. Hal ini menunjukkan sinyalemen negatif terhadap pelaksanaan UU tentang PLP2B.
Tujuan dalam penulisan ini yaitu untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
UU tentang PLP2B dan upaya meningkatkan peran UU tentang PLP2B untuk mengatasi alih fungsi
lahan. Tulisan ini disusun dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi adalah insentif bagi pemerintah daerah tidak ada,
insentif bagi petani tumpang tindih, dan belum ada kelembagaan dan besaran pembaiayan dalam
kegiatan pengembangan ekstensifikasi. Untuk meningkatkan peran UU tentang PLP2B, maka upaya
yang perlu dilakukan yaitu pertama, pemberian insentif bagi pemerintah daerah dengan dana alokasi
khusus bidang pertanian. Kedua, insentif bagi petani PL2B dengan pemberian bantuan alat mesin
pertanian prapanen dan pascapanen dan menjamin stabilitas harga dengan menyerap hasil hasil
produksi petani. Ketiga, membentuk kelembagaan dalam kegiatan ekstensifikasi dan perhitungan
besaran biaya ekstensifikasi menggunakan indeks kemahalan konstruksi.
Kata kunci: alih fungsi lahan, pertanian, insentif, ekstensifikasi.
Abstract
The Establishment of Law Number 41 Year 2009 about land protection sustainable food agriculture (Law on
land protection) have purpose protect agricultural lands, especially staple food lands, from conversion to non-
agricultural land. Although the Law on land protection has been quite comprehensive in regulating the conversion
of land functions for sustainable food agriculture and its derivative regulations, land conversion is still occurring
with a land conversion rate of 96.512 hectares per year. This shows a negative signal towards the implementation
of the Law on land protection. The purpose of this is to analyze the factors that influence the implementation of
the Law on land protection and efforts to increase the role of the Law on land protection to address the land
conversion. This paper is prepared using a normative and empirical juridical approach. The results showed that the
influencing factors were the absence of incentives for local governments, overlapping incentives for farmers, and
there was no institutional and amount of financing in extensification development activities. To increase the role
of the Law on land protection, efforts that need to be made are first, providing incentives for local governments with
185
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
special allocation funds in agriculture. Second, incentives for land protection sustainable food agriculture farmers
by providing pre-harvest and post-harvest agricultural machine tools and ensuring price stability by absorbing farmers'
products. Third, forming an institution for extensification activities and calculating the amount of the
extensification fee using the Construction Expensive Index.
Keyword: land use change, agricultural, incentives, extensification.
Sumber: Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, diolah (data sekunder).
1
Eko Handoyo, Konversi Lahan Pertanian ke Non
Pertanian: Fungsi Ekologis yang Terabaikan. Jurnal Forum
Ilmu Sosial, Vol. 37 No.2, Desember 2010, hal. 119.
186
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009
Dari gambar di atas terlihat bahwa luas se-penuhnya tercapai, tetapi pada tahun 2016
lahan sawah tahun 2009 sampai dengan 2010 terdapat penambahan luasan lahan sawah hasil
mengalami penurunan, tetapi luas lahan sawah kegiatan ekstensifikasi, sehingga luas lahan
pada tahun 2011 dan 2012 mengalami sawah berhasil ditingkatkan kembali. Akan
peningkatan. Peningkatan ini tidak lain karena tetapi, setelah kegiatan selesai luas lahan sawah
hasil kegiatan ekstensifikasi atau per-luasan juga kembali mengalami penurunan.
lahan sawah baru. Namun, setelah kegiatan
Penurunan tersebut tidak lain akibat alih
tersebut selesai luas lahan sawah pada tahun
fungsi lahan yang semakin marak terjadi. Lebih
berikutnya kembali mengalami trend penurunan
mirisnya lagi, laju alih fungsi lahan terbesar
pada periode tahun 2013-2015. Melihat kondisi
terjadi di daerah-daerah sentra produksi pangan
tersebut, maka pada tahun 2015 pemerintah
nasional, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan
kembali melakukan kagiatan ekstensifikasi yang
Sumatera Selatan (Tabel 1).
dikenal dengan program cetak 1 juta hektar
sawah baru. Meskipun hasil 1 juta tersebut tidak
Tabel 1. Laju Alih fungsi antara Tahun 2000-2015 di Sentra Produksi Padi
Sumber: Anny Mulyani, Analisis Konversi Lahan Sawah: Penggunaan Data Spasial Resolusi Tinggi Memperlihatkan Laju
Konversi yang Mengkhawatirkan, Jurnal Tanah dan Iklim, Vol. 40 No. 2, Desember 2016, hal. 126.
Laju alih fungsi lahan sawah nasional lahan sawah (dari sawah menjadi lahan lain)
diperkirakan sebesar 96.512 hektar per tahun. 2 diperkirakan mencapai 100.000 hektar per tahun.
Dengan laju tersebut lahan sawah yang saat ini Bila alih fungsi lahan produktif ini tidak diatasi,
seluas 8,1 juta hektar diprediksi akan menciut maka luas lahan sawah diperkirakan pada 40-50
menjadi hanya 5,1 juta hektar pada tahun 2045. 3 tahun yang akan datang akan habis menjadi
Sejalan dengan hasil penelitian di atas, Alih fungsi kawasan nonpertanian. 4 Sedangkan kebutuh-an
2 4
Anny Mulyani, Analisis Konversi Lahan Sawah: Pending Dadih, Membangunkan Lahan Tidur
Penggunaan Data Spasial Resolusi Tinggi Memperlihatkan dan Mencetak Sawah Wujudkan Swasembada, dimuat
Laju Konversi yang Mengkhawatirkan, Jurnal Tanah dan dalam
Iklim, Vol. 40 No. 2, Desember 2016, hal. 132. https://www.tribunnews.com/bisnis/2017/08/15/m
embangunkan-lahan-tidur-dan-mencetak-sawah-
3
Ibid. wujudkan-swasembada, diakses tanggal 1 September
2020.
187
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
5
Meirina Rokhmah, Potensi dan Kendala Pembangunan Wilayah dan Kota, Vol. 8 No.2, Juni
Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan 2012, hal. 163.
Berkelanjutan di Kabupaten Demak, Jurnal
188
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009
dari ketiganya dapat tercapai secara baik. hal itu dibentuk sistem kelembagaan
Kondisi dimaksud memungkinkan pem- pasar yang mampu memberikan
bangunan pertanian ke depan diarahkan pelayanan pokok, terutama yang tidak
pada pertanian yang tangguh dan berdaya dapat dilakukan oleh sektor swasta.
saing tinggi. 6 Ketiga dimensi pembangunan e. Insentif.
pertanian terkini yaitu sebagai berikut: Sistem insentif dan kebijakan makro,
1. Dimensi Broad-Based (Berspektrum Luas) perdagangan dan sektoral lain yang
Dimensi pembangunan pertanian ini tidak mengganggu sektor pertanian. 7
berorientasi pada pertumbuhan pertain- 2. Dimensi Pemerataan dan Pengentasan
an. Strategi yang dilakukan dalam Kemiskinan.
pembangunan ini yaitu: Strategi pemerataan yang dilaksana-
a. Inovasi. kan dalam pembangunan pertanian.
Inovasi dilakukan pada hal-hal seperti Dimensi pemerataan dan kemiskinan
sistem penelitian yang dilaksanakan, meliputi promosi pembangunan
pengembangan dan penyuluhan pertanian berspektrum luas, pelaksanaan
pertanian (swasta dan pemerintah) landreform dengan program redistribusi
yang menghasilkan dan berbasis pasar, investasi sumber daya
menyebarluaskan teknologi baru untuk manusia (SDM) di perdesaan, peranan
peningkatan produktivitas pertanian. wanita dalam pertanian dan kegiatan
b. Infrastruktur. rumah tangga, partisipasi masyarakat
Dibangunnya sistem infrastruktur perdesaan dalam setiap pengambilan
perdesaan yang memadai, khususnya keputusan, dan pengembangan secara
infrastruktur berupa jalan, aktif perekonomian perdesaaan nonusaha
transportasi, dan irigasi. tani. 8
c. Input. 3. Dimensi Keberlanjutan dan Pelestarian
Sistem pengadaan dan distribusi Lingkungan Hidup.
pelayanan pertanian yang efisien, Pembangunan pertanian yang
terutama input modern, pengolahan dilaksanakan harus mampu mencapai
bahan baku, air untuk irigasi, dan target suatu pertumbuhan dan produk-
sistem perkreditan. tivitas yang tinggi serta mampu meng-
d. Institusi. entaskan kemiskinan di Indonesia. Selain
Sistem kelembagaan pasar yang efisien hal itu, pembangunan pertanian juga
dan membawa petani dalam diharapkan tidak merusak sumber daya
memperoleh akses memadai terhadap alam dan mampu menjaga keberlanjutan
pasar domestik dan pasar dunia. Selain lingkungan hidup. 9
6
Tuhana Taufiq Andrianto, Pengantar Ilmu Agrobisnis, Agroindustri, dan Agroteknologi), Yogyakarta:
Pertanian (Agraris, Agrobisnis, Agroindustri, dan Global Pustaka Utama, 2014, hal. 316.
8
Agroteknologi), Yogyakarta: Global Pustaka Utama, Ibid
9
2014, hal. 315. Ibid
7
Bustanul Arifin dalam Tuhana Taufiq
Andrianto, Pengantar Ilmu Pertanian (Agraris,
189
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
10
Iwan Setiawan dan Wahyu, BUMN PANGAN
11
(Evolusi Menuju Kedaulatan Pangan), Jakarta: Penebar Ibid
Swadaya, 2017, hal. 69.
190
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009
12
Simatupang dan Maulana dalam BAPPENAS Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas, 2013, hal.
dan JICA, Analisis Nilai Tukar Petani (NTP)Sebagai 7.
13
Bahan Penyusunan RPJMN Tahun 2015-2019, Jakarta: Ibid., hal. 8.
191
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
14 15
Tuhana Taufiq Andrianto, Pengantar Ilmu Muhammad Iqbal dkk, Analisis Konsistensi
Pertanian (Agraris, Agrobisnis, Agroindustri, dan Subtansi dan Implentasi serta Dampak Peraturan
Agroteknologi), Yogyakarta: Global Pustaka Utama, Perundang-undangan Perlindungan Lahan Pertanian
2014, hal. 298. Pangan Berkelanjutan di Provinsi Jawa Barat, Jurnal
Pertanahan, Vol. 6 No.1, September 2016, hal. 32.
192
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009
16 18
Ibid. Tri Adi, Asa Mengungkit Kemandirian Daerah,
17
Ihsan Wira Sanjaya, Kebijakan Publik dimuat dalam https:// analisis. kontan.co.id/ news/
Perlindungan Lahan Pertanian Di Kabupaten Batang: asa-mengungkit-kemandirian-daerah?page=all, diakses
Analisis Teori David Easton, Jurnal Hukum Khairah tanggal 9 Oktober 2020.
Ummah, Vol.12 No.4, Desemeber 2017, hal. 825.
193
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
Berdasarkan ketiga faktor yang telah dijelas- Masih minimnya peran pemerintah daerah
kan di atas, maka upaya-upaya yang perlu dalam menetapkan luasan LP2B dalam RTRW
dilalukan untuk meningatkan peran UU tentang merupakan salah satu faktor pemicu alih fungsi
PLP2B dalam mengatasi alih fungsi lahan yaitu lahan yang terjadi selama ini. Namun,
sebagai berikut:
penetapan tersebut harus tetap memperhatikan
1. Insentif Bagi Pemerintah daerah potensi daerah masing-masing, karena tidak
UU tentang PLP2B belum mengatur untuk semua daerah memiliki potensi untuk
pangan berkelanjutan dalam Rencana Tata juga harus mengevaluasi insentif yang diberikan
Ruang Wilayah (RTRW). Padahal alih fungsi ke daerah. Karena insentif selama ini tidak ada
lahan yang terjadi saat ini sebenarnya tidak lepas bagi pemerintah daerah. Pemerintah harus
juga dari peran pemerintah daerah. Setiap ada merancang insentif kepada pemerintah daerah
pembangunan pada suatu wilayah pastilah supaya dapat mendorong peningkatan PADnya,
19 20
Tim Pusat Kajian Anggaran BKD DPR RI dan Indah, Kegiatan Perluasan Areal Sawah Dalam
Kementerian Pertanian, Laporan Monitoring dan Menunjang Swasembada Pangan Berkelanjutan,
Evaluasi Program Cetak 1 Juta Hektar Sawah Baru di Kementerian Pertanian, April 2018, hal. 40.
Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung, Pusat Kajian
Anggaran BKD DPR RI, November 2018, hal. 4.
194
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009
misalnya pemerintah daerah diberikan dana ini tidak akan menambah beban bagi APBN,
alokasi khusus (DAK) bidang pertanian serta karena DAK bidang pertanian selama ini sudah
mencoba menstimulasi dimana pemerintah ada. Namun, pemberian DAK bidang pertanian
pusat membeli lahan-lahan sawah produktif di selama ini tidak berdasarkan daerah yang
daerah-daerah strategis yang rawan alih fungsi menetetapkan luas lahan pertanian pangan
dan kemudian dijadikan aset pemerintah pusat berkelanjutan dalam RTRW. Realokasi
seperti kehutanan. 21 Hal tersebut sesuai amanat anggaran DAK bidang pertanian ini merupakan
dari Pasal 61 UU tentang PLP2B disebutkan solusi yang tepat untuk memberikan insentif
bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah bagi pemerintah daerah yang ikut melaksanakan
wajib melindungi dan memberdayakan petani, UU tentang PLP2B. Oleh karena itu, UU
kelompok petani, koperasi petani, dan asosiasi tentang PLP2B perlu direvisi dengan me-
petani. Hal tersebut menunjukan bahwa nambahkan insentif bagi pemerintah daerah
pemerintah pusat berupaya memberikan yang ikut menetapkan luas lahan pertanian
regulasi agar terdapat lahan pertanian yang pangan berkelanjutan dalam RTRW.
dapat dikuasai dan digunakan sehingga dalam
2. Insentif Bagi Petani
jangka panjang dapat tercipta ketahanan dan Pemberian insentif bagi petani sebenarnya
kedaulatan pangan. Dengan insentif tersebut, sudah termuat dalam Pasal 37 UU tentang
maka pemerintah daerah mungkin dapat lebih PLP2B. Insentif tersebut menurut Pasal 38 UU
tertarik untuk ikut andil dalam perlindungan tentang PLP2B diberikan kepada petani berupa:
lahan pertanian pangan berkelanjutan. a. keringanan pajak bumi dan bangunan.
b. pengembangan infrastruktur pertanian.
Jika penetapan luasan LP2B dalam RTRW
c. pembiayaan penelitian dan pengembangan
tidak segera ditingkatkan, maka meskipun
benih dan varietas unggul.
regulasi yang bertujuan untuk melindungi lahan
d. pemudahan dalam mengakses infromasi
pertanian telah dikeluarkan oleh pemerintah,
dan teknologi.
alih fungsi lahan pertanian untuk penggunaan
e. penyedian sarana dan prasarana produksi
nonpertanian terus terjadi sebagai trade off
pertanian.
berlangsungnya pembangunan nasional. Oleh
f. jaminan penerbitan sertifikat bidang tanah
karena itu, upaya menarik minat pemerintah
pertanian pangan melalui pendaftaran
daerah untuk menetetapkan luas lahan
tanah secara sporadik dan sistematik.
pertanian pangan berkelanjutan dalam RTRW,
g. penghargaan bagi petani berprestasi.
maka pemerintah daerah tersebut diberikan
DAK bidang pertanian. Sedangkan pemerintah Kemudian aturan turunan insentif sudah
daerah yang tidak menetetapkan luas lahan diterbitkan dalam PP No. 12 Tahun 2012.
pertanian pangan berkelanjutan dalam RTRW Namun, Insentif bagi petani dalam PP No.12
tidak diberikan DAK bidang pertanian. Solusi Tahun 2012 masih tumpang tindih antara
21
Ibid., hal. 38.
195
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
insentif dari pemerintah dan pemerintah daerah umum. Sebagai studi kasus, alih fungsi lahan
baik provinsi mapun kabupten/kota. Hal ini sawah menjadi bukan sawah di Kabupaten
memicu tidak fokusnya pemerintah pusat dan Banyuasin disebabkan adanya alih komoditi dari
pemerintah daerah untuk memberikan insentif. tanaman pangan ke tanaman nonpangan karena
Akibatnya insentif dipandang sebagai program margin harga komoditas nonpangan dianggap
22
normatif bagi petani . Sehingga Insentif khusus lebih menguntungkan bagi petani. Selain itu
bagi petani yang mengikuti PLP2B belum terdapat kebutuhan untuk perumahan, dan
terlihat jelas. Seperti kriteria penerima bantuan pemenuhan fasilitas umum yang terjadi secara
alsintan masih normatif, penerima bantuan masif, sehingga alih fungsi lahan pertanian
alsintan adalah Kelompok Tani/ Gapoktan/ pangan di Banyuasin pada 2017 sudah mencapai
UPJA/ Korporasi Petani/ Kelompok Usaha 14.000 hektar. 25
Bersama (KUB)/ Masyarakat Tani/ Kelompok
Menurut penulis, terjadinya alih komoditi
Masyarakat yang mendukung pembangunan
merupakan tekanan terhadap sektor tanaman
pertanian. 23 Klausul pembangunan pertanian
pangan. Secara alamiah seseorang akan mencari
masih bersifat normatif, belum spesifik pada
keuntungan yang lebih, begitu juga halnya yang
PLP2B. Hal ini merupakan salah satu faktor
terjadi pada alih komoditi pagan ke nonpangan.
tidak berjalannya insentif bagi petani yang
Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteran
mengikuti PLP2B (petani PLP2B), sehingga
subsektor tanaman pagan masih lebih rendah
petani juga tidak terikat dengan UU tentang
dari pada kesejahteraan subsektor lainnya. Hal
PLP2B. Contoh lainnya seperti di Mamminasata
ini merupakan salah satu faktor banyaknya
Provinsi Sulawesi Selatan, solusi mengendalikan
masyarakat atau petani yang beralih komoditi.
alih fungsi lahan tidak lain harus memberikan
Tingkat kesejahteraan petani tersebut tercermin
insentif dan disinsentif kepada pemilik lahan,
dalam NTP. NTP sendiri terdiri dari nilai tukar
petani penggarap, dan kelompok tani. 24 Artinya
subsektor petani tanaman pangan (NTPP), nilai
insentif bagi petani tidak ada. Hal tersebut
tukar petani subsektor hortikultura (NTPH),
merupakan pemicu maraknya alih fungsi lahan
nilai tukar petani subsektor perkebunan
pertanian pangan menjadi nonpangan.
(NTPPK), dan nilai tukar petani subsektor
Selain itu, alih fungsi lahan tersebut lebih peternakan (NTPPT) dengan perkembangannya
sering terjadi karena alih komoditi, kebutuhan disajikan dalam Gambar 2.
tempat tinggal, dan keperluan untuk fasilitas
22
Ibid., hal. 36. Sulawesi Selatan, J. Analisis, Vol. 6 No. 2, Desember
23
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana 2017, hal.145.
25
Pertanian Kementerian Pertanian, Pedoman Teknis Tim Pusat Kajian Anggaran BKD DPR RI,
Pengadaan dan Penyaluran Bantuan Alat dan Mesin Laporan Pengumpulan Data-Data Ke Kabupaten
Pertanian APBN TA. 2019, Jakarta: Kementerian Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan Dalam Rangka
Pertanian, 2019, hal. 7. Analisis Program Cetak 1 Juta Ha Sawah Baru, Pusat
24
Wikantari dkk, Pengendalian Alih Fungsi Lahan Kajian Anggaran BKD DPR RI, April 2018, hal.3.
Pertanian Pangan Di Kawasan Mamminasata Provinsi
196
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009
120.00 110.00
115.00
105.00
110.00
105.00 100.00
100.00 95.00
95.00
90.00
90.00
85.00 85.00
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Dari Gambar 2. terlihat bahwa tingkat subsektor tanaman pagan belum mampu lebih
kesejahteraan petani subsektor tanaman tingkat kesejahteraan dari subsektor
sepanjang tahun 2010-2014 merupakan hortikultura dan peternakan. Hal ini menjadi
terendah dari pada subsektor lainnya dan selalu pemicu terjadinya alih komoditi.
di bawah tingkat kesejahteraan petani nasioal
Dengan rendahnya tingkat kesejahteraan
(NTP). Periode tahun 2015-2017 NTPP tetap
petani tanaman pangan, maka partisipasi
menjadi terendah dan di bawah NTP nasional.
masyarakat untuk ikut dalam pengendalian
Namun, pada tahun 2018-2019 NTPP cukup
lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi
membaik karena sudah bisa di atas NTP
tidak menarik. Masyarakat pastinya akan
nasional. Tetapi, NTPP masih tetap dibawah
memilih komoditi yang lebih menguntungkan.
tingkat kesejahteraan subsektor hortikultura dan
Sebagai contoh, perbandingan antara
perternakan. Artinya usahatani subsektor
pendapatan subsektor tanaman pangan dengan
hortikulura dan peternakan lebih menghasilkan
subsektor hortikultura yang diberikan dalam
nilai ekonomis yang lebih tinggi dari pada
Tabel 2.
subsektor tanaman pangan. Kondisi ini
menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan
197
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
Dari Tabel 2 di atas, jelas terlihat bahwa besar. Hal ini menjadi faktor utama alih fungsi
pendapatan subsektor hortikultura jauh lebih lahan pertanian pangan menjadi lahan
menguntungkan dari pada subsektor tanaman nonpangan. Kondisi ini juga tercermin dari
pangan. Suatu pilihan yang realistis jika petani persentase luas lahan pertanian sawah hanya
tanaman pangan beralih komoditi, mengingat sebesar 22 persen, sementara ladang nonsawah
pendapatan komoditi hortikultura jauh lebih sebesar 46 persen (Gambar 3).
198
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009
Dari Gambar 4 di atas, terlihat bahwa mempercepat kegiatan persiapan lahan dan
proporsi anggaran untuk alsintan dari tahun penanaman. 26 Selain mesin untuk pengolahan
2013 hanya sebesar 18,37 persen dengan tanah, mesin tanam (rice transpanter) juga
anggaran Rp0,14 triliun menjadi 64,74 persen berperan dalam meningkatkan produksi dan
pada tahun 2018 dengan anggaran Rp3,31 menekan biaya tanam. Biaya tanam
triliun. Proporsi hanya mengalami sedikit menggunakan rice transpanter hanya sebesar
penurunan pada tahun 2016. Pengadaan Rp1.137.500 lebih kecil dari konvensional
alsintan terbesar yaitu traktor roda dua, rice (tanpa rice transpanter) sebesar Rp2.790.000.
transpanter, dan pompa air. Ketiga alsintan ini Kemudian hasil produksi menggunakan rice
merupakan alsintan untuk hulu produksi transpanter sebanyak 5,05 ton per hektar lebih
pertanian (prapanen). Penggunaan traktor besar dari konvensional (tanpa rice transpanter)
untuk pengolahan tanah dapat meningkatkan hanya sebanyak 4,84 ton per hektar. 27
produktivitas dan pendapatan usahatani padi. Berdasarkan beberapa penelitian di atas telah
Penggunaan traktor pada pengolahan tanah menunjukkan bahwa pemanfaatan teknlogi
telah meningkatkan produktivitas sebesar 667 alsintan dapat meningkatkan produktivitas dan
kilogram per hektar. Penggunaan traktor pada menurunkan biaya produksi. Dengan demikian
pengolahan tanah juga telah meningkatkan pendapatan petani yang menggunakan alsintan
pendapatan sebesar Rp.2.843.400 per hektar. akan lebih besar dari petani yang tidak
Selain itu, penggunaan traktor telah mengurangi menggunakan alsintan.
penggunaan tenaga kerja sehingga dapat
26 27
Komariyati, dkk, Pengaruh Penggunaan Traktor Sudirman Umar dan Sulha Pangaribuan,
Terhadap Pendapatan dan Penggunaan Tenaga Kerja Pada Evaluasi Penggunaan Mesin Tanam Bibit Padi (rice
Usahatani Padi di Kabupaten Samba, AGRARIS: Journal transplanter) Sistem Jajar Legowo di Lahan Pasang Surut,
of Agribusiness and Rural Development Research, Vol Jurnal Teknik Pertanian Lampung, Vol. 6. No. 2, Juli
4, No. 2, Desember 2018, hal. 92. 2017, hal. 110.
199
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
Untuk lebih meningkatkan produktivitas tani beberapa tahun silam, tetapi mesin
dan pendapatan petani, maka penggunaan perontok tersebut dinilai masih kurang. Petani
alsintan tidak sebatas pada hulu produksi harus antri untuk memakai mesin perontok
pertanian melainkan hilir produksi pertanian padi, karena perkelompok hanya ada satu unit
(pascapanen) juga perlu penggunaan alsintan. dengan per kelompok memiliki anggota hingga
Namun, penggunaan alsintan pada pascapanen belasan orang. 29 Artinya petani masih banyak
masih relatif minim. Padahal alsintan prapanen yang membutuhkan alsintan pascapanen,
dan pascapanen harus berjalan bersama-sama karena alsintan pascapanen sangat erat juga
sehingga produktivitas dan pendapatan petani kaitannya dalam produktivitas, seperti mesin
yang dinginkan dapat tercapai. Masih minimnya prontok padi tersebut.
penggunaan alsintan pada pascapanen ter- Pemanfataan mesin perontok padi (power
cermin dari data Direktortar Jenderal Prasarana thresher) mampu menekan hasil yang tercecer,
dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) Kementerian sehingga produksi lebih meningkat. Hasil
Pertanian bahwa mesin traktor roda 2 (dua) produksi yang menggunakan power thresher
untuk prapanen sepajang tahun 2013-2017 total sebanyak 5.306 kilogram. Sedangkan hasil
ada sebanyak 112.395 unit dengan setiap tahun produksi yang tidak menggunakan power thresher
selalu ada pengadaannya. Sedangkan mesin hanya sebanyak 4.464 kilogram. 30 Adopsi
prontok padi (power thresser) untuk pascapanen teknologi mekanisasi dalam kegiatan panen
sepanjang tahun 2013-2017 total hanya ada lebih efisien baik dari sisi tenaga kerja, biaya
1.646 unit dengan pegadaan hanya ada pada maupun waktu, dan mengurangi kehilangan
tahun 2015. Oleh karena itu, pemberian hasil. Biaya panen dengan gebot sebesar
bantuan alsintan pascapanen masih memang Rp4.800.000, power thresher sebesar
perlu ditingkatkan. Hal tersebut juga tercermin Rp3.000.000 - 3.400.000, dan biaya panen
dari salah satu daerah sentra produksi padi di dengan kombine harvester sebesar Rp2.100.000.
Kabupaten Sumedang. Para petani sangat Selain biaya, kehilangan hasil gabah dengan
berharap pemerintah bisa menambah bantuan gebot sebesar 14-16 persen, power thresher sebesar
alsintan perontok padi, karena alsintan tersebut
dapat meningkatkan produktivitas hingga 12
ton per hektar. 28 Kekurangan mesin perontok
juga terjadi di Desa Melai. Pemerintah telah
memberikan mesin perontok kepada kelompok
28
Acam, Punya Mesin Perontok Padi, Panen di ani-padi-di-desa-melai-butuh-mesin-perontok-gabah,
Sumedang Capai 12 Ton per Hektar, dimuat dalam diakses tanggal 10 Oktober 2020.
30
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d- Rahmat Kurniawan dan Diah Wahyudati,
4966111/punya-mesin-perontok-padi-panen-di- Analisis Perbandingan Pendapatan Petani Padi yang
sumedang-capai-12-tonhektare, diakses tanggal 10 Menggunakan Mesin Perontok Padi dan yang tidak
Oktober 2020. Menggunakan Mesin Perontok Padi di Kelurahan Pulokerto
29
Sulaiman, Petani Padi di Desa Melai Butuh Kecamatan Gandus Kota Palembang, Societa, Jurnal
Mesin Perontok Gabah, dimuat dalam Ilmu-Ilmu Agribisnis, Vol. IV-2, Desember 2015, hal.
https://pekanbaru.tribunnews.com/2018/11/22/pet 77.
200
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009
10-12,5 persen, dan combine harvester sebesar 2- Sedangkan petani bukan PLP2B tidak diberikan
3,5 persen. 31 alsintan yang lengkap. Artinya pemberian
Dari uraian di atas dapat disimpulkan alsintan harus memprioritaskan petani PLP2B.
bahwa pemanfaatan alsintan secara utuh mulai 2. Stabilitas Harga
dari produksi prapanen dan pascapanen dapat
Panen raya merupakan waktu yang
meningkatan produktivitas. Dengan meningkat-
ditunggu-tunggu oleh para petani, karena
nya produktivitas tersebut, maka produksi hasil
saatnya untuk menikmati hasil kerja selama
pertanian akan semakin tinggi, sehingga
kurang lebih 3 bulan. Namun hal tersebut tidak
pendapatan petani akan lebih besar. Oleh
seindah yang diharapkan, karena cenderung
karena itu, pemberian bantuan alsintan
pada saat waktu panen raya harga gabah anjlok.
prapanen dan pascapanen harus menjadi bagain
Petani mengeluhkan harga gabah selalu turun
dari regulasi dalam pengendalian lahan
setiap musim panen raya. Dalam kurun waktu
pertanian pangan berkelanjutan. Petani yang
2008-2019 harga gabah selalu mengalami
ikut berpartisipasi dalam pengendalian lahan
penuruan saat musim panen raya tiba yang
pertanian pangan berkelanjutan (petani PLP2B)
disajikan dalam Gambar 5.
diberikan bantuan alsintan lengkap yang terdiri
dari alsintan prapanen dan pascapanen.
Gambar 5. Tren Harga Gabah Kering Panen 2008-2019 (Rupiah per Kilogram)
5,500
5,000
4,500
4,000
3,500
3,000
2,500
2,000
08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Pada gambar 5 di atas, terlihat bahwa trend panen, karena langsung mendapatkan hasilnya
harga gabah sepanjang tahun 2008 sampai sehingga dapat segera mengembalikan modal
dengan 2019 selalu turun pada triwulan sendiri atau modal hasil dari pinjaman. Namun,
pertama, padahal triwulan pertama tersebut pada musim panen raya harga gabah cenderung
merupakan masa panen raya. Saat ini petani anjlok. Anjloknya harga gabah tersebut akan
cenderung lebih suka menjual gabah kering berdampak langsung pada hasil pendapatan
31
Tri Bastuti Purwantini dan Sri Hery Terhadap Kelembagaan Usaha Tani Padi, Jurnal Analisis
Susilowati, Dampak Penggunaan Alat Mesin Panen Kebijakan Pertanian, Vol. 16 No.1, Juni 2018, hal. 85.
201
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
yang ikut turun. Sebagai contoh, anjloknya lembaga yang diamanatkan untuk menyerap
harga gabah daerah sentra produksi beras di hasil produksi tersebut diatur lebih lanjut dalam
Indramayu harga gabah kering panen di tingkat peraturan pemerintah.
petani sudah mencapai Rp3.500 sampai dengan
3. Ekstensifikasi
Rp3.800 per kilogram. 32 Kondisi serupa juga
Ekstensifikasi merupakan amanat dari Pasal
terjadi di Kulonprogo, dimana berdasarkan
27 ayat (1) UU tentang PLP2B. Kemudian
informasi dari Kepala Dinas Pertanian dan
kegiatan ekstensifikasi juga dimuat dalam Pasal
Pangan Kulonprogo disampaikan bahwa harga
29 Ayat (1) huruf a UU tentang PLP2B
gabah kering saat ini berkisar Rp3.000 sampai
dilakukan dengan pencetakan LP2B. Aturan
Rp3.200 per kilogram dari harga sebelumnya
turunan ekstensifikasi juga sudah dimuat dalam
yang bisa mencapaiRp3.800 per kilogram.
PP NO. 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan
Adapun penyebab anjloknya harga tersebut
Perlindungan Lahan Pertania Pangan Ber-
dikarenakan masa panen raya dan Badan
kelanjutan. Namun, PP NO. 30 Tahun 2012
Urusan Logistik (Bulog) juga belum melakukan
tersebut belum mengatur kewenangan lembaga
penyerapan yang optimal ke tingkat petani. 33
dan besaran pembiayaan dalam kegiatan
Kondisi ini menunjukkan bahwa peran
pengembangan ekstensifikasi.
pemerintah dalam menjaga harga pada saat
Padahal kegiatan esktensifikasi ini sebenar-
panen raya masih kurang. Adapun upaya yang
nya sudah pernah dilakukan pasca berlakunya
perlu dibuat regulasinya adalah pemerintah
UU tentang PLP2B. Kemudian pada tahun
menjamin harga tetap stabil dengan menyerap
2015, kegiatan ini menjadi salah satu program
hasil produksi petani. Sebagai contoh petani di
unggulan pemerintah dengan program
Jepang, petani di Jepang mendapatkan fasilitas
perluasan 1 juta hektar sawah baru. Objek lahan
yang memadai dalam melakukan usahataninya,
dalam program tersebut adalah mengoptimal-
yaitu sarana input produksi dan diserapnya hasil
kan lahan-lahan rawa. Namun, Optimalisasi
produksi oleh Japan Agriculture atau Koperasi
lahan rawa menjadi sawah sangat tergantung
Pertanian Jepang. 34 Hasil produksi tersebut juga
pada pengelolaan air. Kondisi air di daerah rawa
bukan gabah kering panen, melainkan gabah
pada musim hujan dapat berlimpah bahkan
kering giling. Artinya, hal ini dapat menjadi
membanjiri persawahan yang ada, tapi pada
stimulus untuk petani meningkatkan nilai
musim panas lahan dapat menjadi kekeringan.
tamba hasil pertaniannya. Dengan adanya nilai
Kondisi tersebut tidak terlepas bagaimana sistem
tambah, maka pendapatan petani juga aka
pengelolaan air yang dibuat. Pengelolaan air ini
semakin besar, karena harga gabah kering giling
merupakan kunci utama dalam mewujudkan
jauh tinggi dari gabah kering panen. Adapun
keberhasilan usaha tani padi rawa. Pengelolaan
32
Takmid, Harga Gabah Kering Indramyu Anjlok l4382/harga-gabah-di-kulon-progo-anjlok, diakses
hingga Rp3800 per kilogram, dimuat dalam tanggal 28 Agustus 2020.
34
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3933829/ha Amran Sulaiman, Tinjau Sawah, Mentan
rga-gabah-kering-indramayu-anjlok-hingga-rp-3800-per- Dapat Ilmu dari Petani Jepang, dimuat dalam
kilogram, diakses tanggal 28 Agustus 2020. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-
33
Tri Hidayatun, Harga Gabah Anjlok di Kulon 4546316/tinjau-sawah-mentan-dapat-ilmu-dari-petani-
Progo, dimuat dalam jepang, diakses tanggal 10 Oktober 2020.
https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/ppaa
202
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009
air ini harus dapat mengendalikan air masuk primer harus berdasarkan sebaran program
maupun keluar sehingga ketersediaan air dapat perluasan lahan sawah/optimalisasi lahan rawa
mecukupi sesuai kebutuhan tanaman. Pe- dengan berkoordinasi dengan Kementerian
ngelolaan air yang dimaksud terdiri dari saluran Pertanian. Oleh karena itu, kordinasi dan
air makro dan saluran air mikro. Saluran makro terintegrasinya program kewenangan lembaga-
merupakan saluran utama dari sumber air untuk lembaga untuk pengembangan kegiatan
mencapai area persawahan. Sedangkan saluran ekstensifikasi sangat diperlukan.
mikro merupakan sistem tata air di dalam Selain persoalan kelembagaan, dukung-an
persawahan supaya air dapat mengaliri semua anggaran juga merupakan salah satu faktor
bidang lahan pertanian. 35 dalam program ekstensifikasi lahan rawa.
Dalam program optimalisasi lahan rawa, Dukungan anggaran jelas sangat menentukan
pembuatan saluran makro tidak termasuk dalam dalam optimlasisasi lahan rawa menjadi sawah.
biaya komponen optimaliasi tersebut, tapi biaya Besaran anggaran cetak sawah per hektar dibuat
saluran mikro sudah termasuk dalam komponen dengan biaya seragam sebesar Rp16.000.000 per
optimalisasi lahan rawa. Oleh karena itu, saluran hektar. Hasil tersebut merupakan nilai ambang
air makro masih menjadi persoalan dalam terendah dari hasil analisa biaya cetak sawah per
optimalisasi lahan rawa. Persoalan ini juga hektar yang dilakukan oleh empat universitas
ditemukan langsung oleh penulis saat monitoring yaitu Institute Pertanian Bogor (IPB),
dan evaluasi program cetak sawah di Kabutapen Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas
Mesuji Provinsi Lampung pada tanggl 20 Padjajaran (UNPAD), dan Universitas
November 2018. Jumadi selaku ketua kelompok Hasanudin (UNHAS) (Tabel 3).
tani meminta supaya pemerintah dapat juga
memberikan bantuan untuk saluran primer.
Tabel 3. Analisa Biaya Cetak Sawah Per Hektar.
Saluran tersebut sangatlah penting untuk
meningkatkan intensitas tanam dan No Sumber Biaya (Rp)
produktivitas. Pada dasarnya pemilihan lahan 1 IPB 28.988.524
cetak sawah baru tersebut selalu memperhatikan 2 UGM 38.001.873
ketersediaan sumber air, tapi tidaklah mungkin 3 UNPAD 16.001.446
cetak sawah selalu bertepatan langsung disisi 4 UNHAS 24.154.153
sumber air. Dengan demikian peran
Sumber: Direktur Perluasan Lahan dan Perlindungan
pembangunan saluran primer menjadi penting Lahan Ditjen PSP Kementerian Pertanian 2018.
untuk dapat menghubungkan lahan cetak sawah
Besaran biaya cetak sawah sebesar
dengan sumber air. Namun, domain saluran
Rp16.000.000 per hektar belum mencerminkan
primer tersebut bukanlah domain Kementerian
perwakilan daerah lain. Mungkin biaya tersebut
Pertanian melainkan Kementerian PUPR.
realistis dengan daerah Jawa Barat, tapi biaya
Untuk itu, Kementerian PUPR dalam
perhitungan IPB sebesar Rp28.988.524 lebih
merencanakan pembangunan irigasi/saluran
35
Tim Pusat Kajian Anggaran BKD DPR RI, Analisis Program Cetak 1 Juta Ha Sawah Baru, Pusat
Laporan Pengumpulan Data-Data Ke Kabupaten Kajian Anggaran BKD DPR RI, April 2018, hal.4.
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan Dalam Rangka
203
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
besar dari UNPAD. Besaran ambang batas lokasi lahan, dan karakteristik lahan yang
bawah tersebut tidak menjamin dapat mengover berbeda.
daerah lainnya. Berdasarkan tabel 4 juga
Lahan Sidang Muara Jaya 1 lebih jauh lagi
diperoleh bahwa setiap estimasi masing-masing
akses masuknya dan kondisi jalan yang perlu
universitas memiliki karakteristik daerah yang
dibuka terlebih dahulu supaya bisa dilewati.
berbeda-beda. Besarnya biaya tersebut juga lebih
Bahkan pada saat peninjauan lokasi harus
baik tidak seragam, karena setiap daerah
menggunakan perahu sampan untuk dapat
memiliki medan dengan tingkat kesulitan yang
mencapai lokasi, karena jalan darat yang masih
berbeda-beda. Kondisi tersebut tersebut
berupa tanah sangat sulit dilalui. Jelas bahwa
diperoleh berdasarkan hasil monitoring dan
penggunaan perahu tersebut akan menimbulkan
evaluasi di Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung
tambahan biaya lagi bagi para entitas perluasan
(Tabel 4).
lahan sawah dalam melakukan kegiatannya.
Tabel 4. Hasil Perhitungan Biaya Cetak Sawah Karena itu para entitas program perluasan lahan
di Kabupaten Mesuji sawah rawa di provinsi Lampung sangat
mengeluhkan harga yang diberikan oleh
No Daerah Biaya (Rp)
pemerintah pusat dengan satu harga tersebut.
1 Sidang Muara Jaya 1 25.267.863 Padahal masing-masing daerah memiliki
2 Sidang Muara Jaya 2 17.750.811 karakteristik dan tingkat kesulitan yang berbeda-
3 Sungai Badak Mesuji 19.085.631 beda. Untuk mengukur karakteristik dan tingkat
kesulitan tersebut, maka perhitungan biaya
Sumber: Dinas Pertanian Kabupetan Mesuji dan Dinas
dapat menggunakan Indeks Kemahalan
Pertanian Provinsi Lampung (data primer).
Konstruksi (IKK). IKK digunakan sebagai proxy
Tabel 4 di atas menunjukkan perbedaan untuk mengukur tingkat kesulitan geografis
yang cukup besar antara biaya di dua kecamatan suatu daerah, semakin sulit letak geografis suatu
walaupun dalam satu kabupaten. Perbedaan daerah maka semakin tinggi pula tingkat harga
tersebut tidak lain dikarena lokasi dan medan di daerah tersebut. IKK ini telah
lahan. Lahan rawa Sungai Badak Mesuji lebih memperhitungkan IKK baik provinsi maupun
dekat dari pusat kota maupun jalan raya utama kabupaten/kota. 36
povinsi atau kabupaten dibandingkan dengan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka
lahan rawa daerah lainnya. Lebih mirisnya lagi
upaya mengoptimalkan kegiatan ekstensifikasi
luas lahan rawa dalam satu desa dalam satu
diperlukan suatu regulasi yang mengatur ke-
kecamatan (Sidang Muara Jaya 1 dan Sidang
giatan tersebut. Namun, regulasi dari peraturan
Muara Jaya 2) memiliki perbedaan harga yang
pemerintah belum mengatur kelembagaan dan
cukup besar sebesar Rp7.517.051,19. Perbedaan
biaya kegiatan ekstensifikasi. Oleh karena itu, PP
ini tidak lain disebabkan faktor kondisi lahan,
No. 30 Tahun 2012 perlu direvisi dengan
menambahkan aturan ekstensifikasi yaitu:
36
Badan Pusat Statistik, Indeks Kemahalan
Konstruksi Provinsi dan Kabupaten/Kota 2018, Jakarta:
Badan Pusat Statistik, 2018, hal. 7.
204
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009
205
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
Buku
206
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009
Alat dan Mesin Pertanian APBN TA. 2019. Purwantini, Tri Bastuti dan Susilowati, Sri Hery.
Jakarta: Kementerian Pertanian, 2019. Dampak Penggunaan Alat Mesin Panen
Terhadap Kelembagaan Usaha Tani Padi.
Setiawan, Iwan dan Wahyu. BUMN PANGAN
Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 16
(Evolusi Menuju Kedaulatan Pangan). Jakarta:
No.1, Juni 2018.
Penebar Swadaya, 2017.
Umar, Sudirman dan Pangaribuan, Sulha.
Evaluasi Penggunaan Mesin Tanam Bibit Padi
Jurnal (rice transplanter) Sistem Jajar Legowo di Lahan
Mulyani, Anny dkk. Analisis Konversi Lahan Sawah: Pasang Surut. Jurnal Teknik Pertanian
Penggunaan Data Spasial Resolusi Tinggi Lampung, Vol. 6. No. 2, Juli 2017.
Memperlihatkan Laju Konversi yang Rokhmah, Meirina. Potensi dan Kendala Kebijakan
Mengkhawatirkan. Jurnal Tanah dan Iklim, Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Vol. 40 No. 2, Desember 2016. Berkelanjutan di Kabupaten Demak. Jurnal
Handoyo, Eko. Konversi Lahan Pertanian ke Non Pembangunan Wilayah dan Kota, Vol. 8
Pertanian: Fungsi Ekologis yang Terabaikan. No.2, Juni 2012.
Jurnal Forum Ilmu Sosial, Vol. 37 No.2, Sanjaya, Ihsan Wira. Kebijakan Publik Perlindungan
Desember 2010. Lahan Pertanian Di Kabupaten Batang:
Iqbal, Muhammad dkk. Analisis Konsistensi Analisis Teori David Easton. Jurnal Hukum
Subtansi dan Implentasi serta Dampak Khairah Ummah, Vol.12 No.4, Desemeber
Peraturan Perundang-undangan Perlindungan 2017.
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Wikantari dkk. Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Provinsi Jawa Barat. Jurnal Pertanahan, Vol. Pertanian Pangan Di Kawasan Mamminasata
6 No.1, September 2016. Provinsi Sulawesi Selatan. J. Analisis, Vol. 6
Komariyati, dkk. Pengaruh Penggunaan Traktor No. 2, Desember 2017.
Terhadap Pendapatan dan Penggunaan Tenaga
Kerja Pada Usahatani Padi di Kabupaten
Bahan Yang Tidak Diterbitkan
Samba. AGRARIS: Journal of Agribusiness
and Rural Development Research. Vol 4, Tim Pusat Kajian Anggaran BKD DPR RI.
No. 2, Desember 2018. Laporan Pengumpulan Data-Data Ke
Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera
Kurniawan, Rahmat dan Wahyudati, Diah.
Selatan Dalam Rangka Analisis Program Cetak
Analisis Perbandingan Pendapatan Petani Padi
1 Juta Ha Sawah Baru. Pusat Kajian
yang Menggunakan Mesin Perontok Padi dan
Anggaran BKD DPR RI, April 2018.
yang tidak Menggunakan Mesin Perontok Padi
di Kelurahan Pulokerto Kecamatan Gandus Tim Pusat Kajian Anggaran BKD DPR RI dan
Kota Palembang. Societa: Jurnal Ilmu-Ilmu Kementerian Pertanian. Laporan Monitoring
Agribisnis, Vol. IV-2, Desember 2015. dan Evaluasi Program Cetak 1 Juta Hektar
Sawah Baru di Kabupaten Mesuji Provinsi
207
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 185-208
Lampung. Pusat Kajian Anggaran BKD DPR sawah- wujudkan -swasembada, diakses
RI, November 2018. tanggal 1 September 2020.
Indah. Kegiatan Perluasan Areal Sawah Dalam Hidayatun, Tri. Harga Gabah Anjlok di Kulon Progo.
Menunjang Swasembada Pangan Berkelanjut- Dimuat dalam https:// republika.co.id/
an. Kementerian Pertanian, April 2018. berita/ nasional/ daerah/ ppaal4382/
harga- gabah- di-kulon- progo- anjlok,
diakses tanggal 28 Agustus 2020.
Laman
Sulaiman. Petani Padi di Desa Melai Butuh Mesin
Adi, Tri. Asa Mengungkit Kemandirian Daerah. Perontok Gabah. Dimuat dalam https:/
Dimuat dalam https:// analisis. /pekanbaru.tribunnews.com/ 2018 /11/
kontan.co.id/ news/ asa- mengungkit- 22/ petani- padi- di- desa- melai -butuh –
kemandirian- daerah? page= all, diakses mesin –perontok -gabah, diakses tanggal 10
tanggal 9 Oktober 2020. Oktober 2020.
Acam. Punya Mesin Perontok Padi, Panen di Sulaiman, Amran. Tinjau Sawah, Mentan Dapat
Sumedang Capai 12 Ton per Hektar. Dimuat Ilmu dari Petani Jepang. Dimuat dalam https
dalam https:// finance. detik.com/ berita- :// finance. Detik .com/ berita-ekonomi -
ekonomi- bisnis/ d-4966111/ punya- mesin- bisnis/ d-4546316/ tinjau- sawah- mentan-
perontok- padi- panen- di-sumedang- apai- dapat –ilmu -dari- petani -jepang, diakses
12-tonhektare, diakses tanggal 10 Oktober tanggal 10 Oktober 2020.
2020.
Takmid. Harga Gabah Kering Indramyu Anjlok
Dadih, Pending. Membangunkan Lahan Tidur dan hingga Rp3800 per kilogram. Dimuat dalam
Mencetak Sawah Wujudkan Swasembada. https:// www.liputan6.com /bisnis/ read/
Dimuat dalam https:/ /www.tribunnews 3933829 /harga -gabah- kering -indramayu-
.com / bisnis / 2017/ 08/ 15/ mem- anjlok -hingga- rp- 3800 -per -kilogram,
bangunkan -lahan- tidur- dan-mencetak - diakses tanggal 28 Agustus 2020.
208
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
Penegakan sanksi etik bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berada dalam lembaga penyelenggara
pemilihan umum (Pemilu) memunculkan problematika berupa persinggungan kompetensi antara
rezim kepegawaian dan penyelenggaraan etika oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan
Umum (DKPP). Di satu sisi, hal demikian diakibat adanya perluasan makna penyelenggara pemilu
yang juga mencakup ASN dalam lembaga penyelenggara pemilu, sebagaimana ditentukan dalam
beberapa putusan DKPP. Namun demikian, di lain sisi, kewenangan DKPP sebagai penyelengggara
penegakan etika pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum, secaa limitatif hanya untuk mengadili anggota KPU dan Bawaslu. Artikel ini mencoba untuk
mendudukan pengertian penyelenggara pemilu dan kewenangan DKPP untuk mengadili dan
memutus penyelenggara etik bagi ASN yang berada dalam penyelenggara pemilu. Lebih lanjut, artikel
ini disusun dengan menggunakan penelitian normatif-yuridis, yang menjadikan peraturan perundang-
undangan sebagai pendekatan dalam penelitian ini (statuta approach). Hasil dari penelitian
menunjukan dua temuan utama yaitu: Pertama, ASN yang berada dalam lembaga penyelenggara
pemilu bukan merupakan penyelenggara pemilu. Kedua, berdasarkan konsepsi penegakan etika, ASN
tunduk pada rezim kepegawaian, sehingga tidak selazimnya tunduk pada penegakan kode etik yang
dibentuk oleh DKPP. Dengan demikian, Peraturan DKPP yang menempatkan ASN sebagai objek
dari penegakan etika harus direvisi berdasarkan konstruksi rezim hukum kepegawaian yang berlaku.
Abstract
The enforcement of ethical sanctions for State Civil Apparatus (ASN) who work for the Electoral Management
Body raises problems in the form of competency intersections between the employment regime and the
implementation of ethics by the Electoral Management Honorary Council (DKPP). On the one hand, this is due
to the expansion of the meaning of electoral administrators to include ASN in the Electoral Management Body,
as determined in several DKPP decisions. However, on the other hand, DKPP's authority as the electoral ethics
209
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
enforcement body based on Law Number 7 of 2017 concerning General Elections is limited only to prosecute
members of the KPU and Bawaslu. This article attempts to occupy the meaning of electoral administrators and
the authority of DKPP to adjudicate and judge on ethical enforcement to ASN who work for the Electoral
Management Body. Furthermore, this article has been prepared using normative-juridical research, which makes
statutory as the approach in this research (statutory approach). The results of the study show two main findings,
namely: First, ASN who work for the Electoral Management Body are not the electoral administrators. Second,
based on the concept of ethical enforcement, ASN are subject to the employment regime, so they are not subject to
the ethical enforcement established by DKPP. Thus, the DKPP Regulation which places ASN as the object of
ethical enforcement must be revised based on the construction of the applicable civil service law regime.
210
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
termasuk, tujuan, sasaran serta prinsip kepastian 2. Jajaran sekretariat KPU dan Bawaslu.
dalam penjatuhan saksi.
Sedangkan di sisi lain, melalui Undang-
Permasalahan muncul manakala terdapat Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
dualisme dalam penegakan sanksi administratif Sipil Negara (UU tentang ASN), terdapat
terhadap pelanggaran netralitas ASN yang berada ketentuan yang secara explicit verbis menentukan
dalam lembaga penyelenggara Pemilihan Umum bahwa ASN wajib memiliki prinsip netralitas. 5
(pemilu) seperti jajaran Sekretariat Jenderal Lebih lanjut, penegakan terhadap prinsip
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sekretariat netralitas tersebut juga secara normatif
Jenderal Badan Pengawas Pemilihan Umum dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
(Bawaslu) dan Sekretariat Dewan Kehormatan 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps
Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Hal ini dan Kode Etik ASN jo. Peraturan Pemerintah
diakibatkan oleh tidak jelasnya kedudukan Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin ASN,
Aparatur Sipil Negara dalam lembaga yang juga disertai dengan jenis-jenis sanksi,
penyelenggara pemilihan umum tersebut, apakah berupa penjatuhan sanksi ringan, hingga sanksi
tergolong sebagai penyelenggara pemilu atau berat, melalui pejabat pembina kepegawaian. 6
hanya sebagai instrumen fasilitator dan
Berdasarkan kedua rezim tersebut, jika
pendukung lembaga penyelenggara pemilu.
dihadapkan pada ASN yang berada dalam
Di satu sisi, ASN yang berada dalam jajaran lembaga penyelenggara pemilihan umum seperti
lembaga penyelenggara pemilu dianggap sebagai KPU dan Bawaslu, maka akan menimbulkan
bagian dari penyelenggara pemilihan umum sebuah pertanyaan mendasar apakah secara
sehingga secara praktis akan terikat pada kode administratif akan ditindak melalui rezim
etik dan kode perilaku penyelenggara pemilihan administrasi kepegawaian, yang penegakan sanksi
umum, sebagaimana tertuang dalam Peraturan disiplin ASN dilakukan secara berjenjang, atau
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu akan dilakukan berdasarkan rezim penyelenggara
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pedoman Perilaku pemilu, yang penegakannya akan dilakukan
dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu (Peraturan melalui proses ajudikasi oleh DKPP sebagai quasi
DKPP No. 2 tahun 2017), tepatnya pada Pasal 5 yudisial. 7
ayat (2) disebutkan:
211
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
Dalam tataran praktis, DKPP pertama kali pemikiran ketentuan tersebut secara explicit verbis
menjatuhkan sanksi terhadap ASN melalui kembali dipertegas secara limitatif dengan
Putusan 25- 26/ DKPP- PKE- I/ 2012. Postulat menekankan pada norma “anggota KPU” dan
demikian relatif masih dipertahankan, kendati “anggota Bawaslu” sebagaimana tertuang dalam
instrumen pemilu (UU tentang Pemilu) telah Pasal 155 ayat (2), Undang-Undang Nomor 7
direvisi, bahkan selama tahun 2019, DKPP telah Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU
menjatuhkan sanksi terhadap ASN dengan dasar tentang Pemilu) yang menyatakan:
pelanggaran terhadap Peraturan DKPP No. 2
DKPP dibentuk untuk memeriksa dan
Tahun 2017, hal demikian terlihat dari beberapa
memutus aduan dan/atau laporan adanya
putusan DKPP, seperti Putusan 111-PKE-DKPP/
dugaan pelanggaran kode etik yang,
V/ 2019, Putusan 144- PKE- DKPP/ VI/ 2019,
dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU
Putusan 174- PKE- DKPP/ VII/ 2019, dan
provinsi, anggota, KPU KabupatenfKota,
Putusan 234- 235- PKE- DKPP/ VIII/ 2019.
anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi
Berdasarkan preseden tersebut maka ASN dan anggota Bawaslu bupaten/Kota.
yang berada pada lembaga penyelenggara pemilu
Secara normatif, ketentuan demikian
secara tidak langsung dikategorikan sebagai
sebenarnya telah senafas dengan norma dalam
penyelenggara pemilu itu sendiri. Hal demikian
Pasal 5 ayat (3) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun
secara yuridis, dinilai memiliki pertentangan
2017 yang menentukan bahwa penegakan kode
norma dan tidak sesuai dengan gagasan awal
etik jajaran sekretariat KPU dilaksanakan sesuai
pembentukan DKPP, mengingat ratio decidendie
dengan peraturan perundang-undangan di
lahirnya DKPP adalah untuk mengawasi perilaku
bidang aparatur sipil negara, 9 akan tetapi
anggota KPU dan anggota Bawaslu sebagai
subtansi norma tersebut dinilai inkonsisten,
penyelenggara pemilu. 8 Bahkan kerangka
mengingat dalam Pasal yang sama tepatnya pada
ayat (2) menyebutkan bahwa Kode Etik dan
norma yang terkodifikasi. Lihat Keterangan Ahli
Fernando M Manulang dalam Salinan Putusan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu wajib
Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT, hal. 221.
8
Semula nomenklatur dewan etik pemilu dimaksudkan untuk menyelesaikan pelanggaran etika
adalah Dewan Kehormatan KPU, yang komposisinya ASN di lingkungan KPU maupun Bawaslu.
9
adalah anggota KPU dan anggota Bawaslu, Secara lengkap pasal 5 ayat (2) berbunyi:
berdasarkan jumlah yang proporsional. Dalam huruf a. anggota KPU, anggota KPU Provinsi atau
praktiknya konsepsi tersebut diubah oleh MK KIP Aceh, anggota KPU Kabupaten/Kota atau KIP
Berdasarkan pertimbangan Putusan Mahkamah Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan
Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010, yang KPPSLN serta Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu
menyebutkan bahwa pembentukan lembaga etika Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas
pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka Pemilu Kelurahan/Desa, Pengawas Pemilu Luar
pembentuk undang-undang (open legal policy) Negeri, dan Pengawas TPS; Huruf b. Jajaran
sehingga diharapkan kedepan pembentukan lembaga sekretariat KPU dan Bawaslu
etik didasari pada komposisi yang proporsional antara Sedangkan pada ayat (3) disebutkan: Penegakan Kode
KPU dan Bawaslu sebagai kerangka pengawasan Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
terhadap penyelenggara Pemilu yang dalam hal ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
adalah anggota KPU dan anggota Bawaslu. Lihat perundang-undangan di bidang Aparatur Sipil Negara
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU- Lihat Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang
VIII/2010, hal.116. Berdasarkan kerangka pemikiran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
tersebut terlihat bahwa pembentukan DKPP bukan Pemilihan Umum.
212
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
dan mengikat kepada jajaran sekretariat Jenderal kedudukan ASN yang berada dalam lembaga
KPU dan seketarian Bawaslu. 10 penyelenggara pemilihan umum apakah
tergolong sebagai penyelenggara pemilu sehingga
Berdasarkan postulat tersebut, maka ter-
tunduk pada rezim penegakan kode etik dan
lihat adanya dualisme penegakan sanksi adminis-
pedoman perilaku yang diselenggarakan oleh
tratif bagi ASN yang berada di lingkungan
DKPP.
penyelenggara pemilihan umum, apakah akan
tunduk pada ketentuan rezim administrasi B. Permasalahan
kepegawaian yang berlaku, atau akan tunduk
1. Bagaimanakah penjatuhan sanksi pelanggar-
kepada rezim pemilu yang diatur oleh lembaga
an etik bagi Aparatur Sipil Negara yang
dewan kehormatan penyelenggara pemilu.
berada pada lembaga penyelenggara pemilu,
Secara konseptual, tulisan ini dimaksudkan apakah menggunakan rezim hukum
untuk merefleksikan usaha dalam memper- kepegawaian sebagaimana ditentukan dalam
tengahkan kedua rezim antara hukum UU tentang ASN dan ketentuan pelaksana-
administrasi dan hukum tata negara, sebab nya atau menggunakan rezim pemilu
keduanya kendati tidak dapat terpisahkan sebagaimana ditentukan dalam UU tentang
namun dapat dibedakan. Lebih lanjut, penting Pemilu yang menempatkan DKPP sebagai
untuk mendudukan persoalan kedua rezim ini quasi yudisial?
secara proporsional, hal ini dimaksudkan agar
2. Bagaimanakah Dewan Kehormatan Pe-
kedua rezim dapat berlangsung secara kom-
nyelenggara Pemilihan Umum sebaiknya
plementer, karena seperti yang diungkapkan
menegakkan etika kepemiluan untuk
Oppenheim sebagaimana oleh Arifin P Soeria
Aparatur Sipil Negara di lembaga pe-
Atmadja: “Staatsrectz zonder Administratief is
nyelenggara Pemilu?
vleugel lam, en Administratiefrecht zonder Staatsrecht
is vluegel vrij”. 11 C. Tujuan
Tulisan ini mencoba untuk menelisik lebih Secara umum penelitian ini bertujuan untuk
dalam mengenai kedudukan ASN dalam memberikan pemahaman yang komprehensif
lembaga penyelenggara pemilu dan konsepsi tentang definisi penyelenggara pemilu yang
sanksi administratif bagi ASN dalam lembaga dituangkan dalam UU tentang Pemilu. Lebih
penyelenggara pemilu. Lebih lanjut artikel secara lanjut, penyelenggara pemilu disamping merupa-
preskriptif mencoba menelisik mengenai kan fungsi pemerintahan, namun secara
administratif juga harus tetap dilekatkan pada
10
Hal yang menarik dari ketentuan ini adalah jabatan dan organisasi, sehingga norma
bahwa Peraturan DKPP luput untuk mencantumkan
penyelenggara pemilu tidak serta merta melekat
sekretariat DKPP sebagai pihak yang wajib dan terikat
untuk tunduk pada pedoman perilaku dan etika pada seluruh jajaran ASN yang berada dalam
penyelenggara pemilu. Hal demikian kembali instansi penyelenggara pemilihan umum.
mensiratkan bahwa lazimnya ASN penyelenggara
pemilu tunduk pada rezim kepegawaian, sebagai satu Adapun secara khusus, penelitian ini akan
kesatuan wadah birokrasi. mencoba menelisik disharmonisasi regulasi
11
Arifin P Soeria Atmadja, Keuangan Publik
dalam penegakan kode etik bagi ASN yang
dalam Perspektif Hukum; Teori, Praktik, dan Kritik,
Depok: Rajagrafindo, 2017, hal. XIV. berada di instansi Komisi Pemilihan Umum.
213
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
Lebih lanjut disharmonisasi norma tersebut lembaga- lembaga negara lainnya secara
diakibatkan karena adanya kegagalan dalam oprasional dilaksanakan oleh para perangkatnya,
mengidentifikasi arti dari penyelenggara pemilu, yaitu ASN. 12
sehingga sanksi yang dijatuhkan oleh DKPP
Lebih lanjut, kompleksnya perangkat
cenderung mengalami modifikasi dan keluar
kenegaraan yang terafiliasi dari berbagai unsur
ketentuan yang dituangkan dalam Peraturan
kementerian dan kelembagaan menjadi dasar
DKPP.
untuk mendesain menajemen administrasi ke-
D. Metode Penelitian pegawaian agar terfokus dan terarah dalam
mencapai tujuan bernegara, sebagaimana
Penelitian ini menggunakan penelitian
diungkapkan oleh Paul Pigors dan Charles A.
normatif- yuridis yang menitik beratkan
Mayers:
penelitian terletak pada kepustakaan. Dengan
demikian artikel ini akan lebih banyak menelaah Personnel administrations is the art of
dan mengkaji data-data sekunder tanpa mem- acquiring, developing, and maintaining a
berikan hipotesa. Lebih lanjut, secara spesifik competent workforce in such manner as to
studi kepustakaan dilakukan guna memperoleh accomplish, with maximum effeciency and
data sekunder yaitu dokumen atau bahan hukum economy the function and objectives of the
yang selanjutnya dipelajari secara sistematis organization. 13
dengan cara membaca dan menganalisa bahan-
Bertalian dengan hal tersebut, E. Utrecht
bahan yang tersedia, baik berupa peraturan
mengemukakan bahwa pada umumnya pejabat
perundang- undangan, peraturan-peraturan
publik berstatus sebagai pegawai negeri sipil
lainnya maupun literatur-literatur yang bersifat
(ASN), seperti halnya pemegang jabatan dari
teoritis dan mempunyai hubungan dengan
suatu jabatan negara (politieke ambtsdrager).
permasalahan guna memperoleh pandangan
Sebaliknya tidaklah setiap pegawai negeri
preskriptif. Dengan demikian penelitian ini akan
merupakan pemegang jabatan publik. 14 Bertalian
menggunakan pendekatan perundang-undangan
dengan hal tersebut, SF. Marbun mencoba secara
(statuta approach) dan pendekatan konseptual
korelatif menghubungkan dengan definis ASN,
(conceptual approach).
menurutnya terdapat definisi stimpulatif
II. Pembahasan (penetapan tentang makna yang diberikan oleh
A. Kerangka Konsepsional
214
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
215
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
No. 42 Tahun 2004) yang dalam Pasal 6 huruf h, Makna dari netralitas ini menurut Marbun
menyebutkan bahwa ASN harus menjunjung yaitu agar bebasnya PNS dari pengaruh
nilai-nilai dasar berupa profesionalisme, kepentingan Parpol atau tidak berperan dalam
netralitas dan bermoral tinggi. proses politik, namun masih tetap mempunyai
hak politik untuk memilih, dan berhak untuk
Konsistensi dari politik hukum demikian
dipilih dalam pemilihan umum. Dengan
sampai saat ini tetap berlangsung melalui UU
demikian birokrasi pemerintahan akan stabil dan
tentang ASN yang juga berdasarkan ketentuan
dapat berperan mendukung serta merealisasikan
peraturan pelaksananya, Peraturan Pemerintah
kebijakan atau kehendak politik maupun yang
Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
sedang berkuasa dalam pemerintahan. Selain itu
Negeri Sipil (PP No. 53 Tahun 2010)
tujuan netralitas ini untuk memberikan pelayan-
menentukan adanya prinsip netralitas dan
an kepada masyarakat secara profesional, jujur,
larangan bagi ASN untuk memihak kepada
adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas
kepentingan politik tertentu. Secara konseptual,
negara, pemerintahan, dan pembangunan, serta
tujuan dari netralitas ini untuk memberikan
tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan
pelayanan kepada masyarakat secara profesional,
kepada masyarakat. 22
jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan
tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan, Secara normatif, selama ini kriteria yang
serta tidak diskriminatif dalam memberikan digunakan dalam mengidentifikasi dan meng-
pelayanan kepada masyarakat. 20 kualifikasi jenis-jenis kegiatan politik sebagai
pelanggaran netralitas PNS yaitu: Pertama,
Lebih lanjut, Pengaturan terhadap netral-
Keikutsertaan Pegawai PNS dalam pelaksanaan
itas ASN dimaksudkan untuk memperoleh
Kampanye. Kedua, Pegawai PNS menjadi peserta
kepastian, kegunaan dan keadilan hukum guna
kampanye dengan menggunakan Atribut Partai/
membatasi kekuasaan terhadap kemungkinan
bergeraknya kekuasaan atas nalurinya sendiri, PNS. Ketiga, Sebagai peserta kampanye dengan
yang pada akhirnya mengarah pada penyalah- mengerahkan PNS dilingkungan kerjanya.
gunaan kekuasaan (abuse of power). Hal demikian Keempat, Sebagai Peserta kampanye dengan
di satu sisi secara tidak langsung membatasi hak menggunakan fasilitas negara. Kelima, membuat
bersikap dalam politik bagi ASN. Namun di sisi keputusan dan/ atau tindakan yang meng-
lain, konsep pembatasan didasarkan pada untungkan atau merugikan salah satu calon
konsepsi negara hukum demokratis yang pasangan selama masa kampanye. Keenam,
berorientasi pada penerapan good governance guna Mengadakan suatu kegiatan yang mengarah
menciptakan perubahan kaidah perilaku yang kepada keberpihakan terhadap calon pasangan
menempatkan hubungan dinas publik dalam yang menjadi peserta Pemilu sebelum, selama,
hukum kepegawaian. 21 dan sesudah kampanye yang meliputi pertemuan,
ajakan, himbauan seruan dan pemberian barang
kepada PNS dalam lingkungan kerjanya, anggota
20
Ibid. Sipil Negera, Jurnal Media Hukum, Vol.23 No.1
21
Tedy Sudrajat dan Agus Mulya Karsona, Tahun 2016, hal. 93.
22
Menyoal Makna Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam S.F Marbun dan Moh. Mahfud Md, Pokok-
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Pokok Hukum Administrasi Negara, hal. 69.
216
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
keluarga, dan masyarakat. Ketujuh, Menjadi berdasarkan kewenangan yang dimilikinya untuk
anggota panitia pemilihan kecamatan (PPK), tidak secara simultan dikaitkan dengan pilihan
Panitia Pemungutan suara (PPS) dan Kelompok politiknya. Kendati demikian secara normatif,
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam beberapa praktik juga dinilai dapat melanggar
kegiatan Pemilukada tanpa izin dari atasan prinsip netralitas ASN seperti ikut serta sebagai
langsung. pelaksana kampanye baik menggunakan atribut
ataupun tidak, serta mengerahkan PNS lain
Akan tetapi dalam pengejawentahan
untuk terlibat dalam kampanye dan
prinsip netralitas secara praktik ternyata
menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan
menimbulkan beberapa anomali, sebab artikulasi
kampanye dll.
dari netralitas secara normatif tidak dijelaskan
bagaimana saja bentuk dari netralitas ASN. UU Dari segi penegakan disiplin ASN,
tentang ASN hanya menentukan bahwa ASN pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat
memiliki prinsip netralitas berdasarkan Pasal 2. digolongkan dalam pelanggaran disiplin sedang
Sedangkan dalam ketentuan penjelasan dan/atau pelanggaran disiplin berat. Disiplin
disebutkan: sedang berdasarkan Pasal 12 mencakup sanksi
berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama
bahwa dalam upaya menjaga netralitas ASN
1 (satu) tahun, penundaan kenaikan pangkat
dari pengaruh partai politik dan untuk
selama 1 (satu) tahun dan penurunan pangkat
menjamin keutuhan, kekompakan, dan
setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. 24
persatuan ASN, serta dapat memusatkan
Sedangkan ASN tergolong melakukan pe-
segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada
langgaran disiplin tingkat berat berdasarkan
tugas yang dibebankan, ASN dilarang
Pasal 13 25 dengan jenis sanksi berupa penurunan
menjadi anggota dan/atau pengurus partai
pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga)
politik. 23
217
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
tahun, pemindahan dalam rangka penurunan dari badan /organ, segi waktu dilaksanakannya
jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari pengawasan, dan segi objek yang diawasi. 29 Lebih
jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak lanjut, setelah menguraikan jenis kontrol
atas permintaan sendiri sebagai PNS dan tersebut, menurut Lotulung, kontrol yang
pemberhentian tidak dengan hormat. 26 dilakukan oleh pengadilan dalam hukum
administrasi negara diposisikan sebagai kontrol
3. Penegakan Hukum Administrasi
eksternal, a-posteriori dan berdasarkan segi
Pemerintahan
hukum.
P. Nicolai sebagaimana dikutip oleh Ridwan
Adapun berdasarkan aspek sanksi, beberapa
HR mengemukakan:
ahli hukum administrasi menyebutkan bahwa
“De bestuursrechtelijk handhavings-middelen sanksi merupakan salah satu instrumen ter-
omvatten (1) het toezich dat bestuursorganen penting dalam penegakan hukum administrasi,
kunnen uitoefenen op de naliving van de bij of Philipus M Hadjon misalnya mengatakan bahwa
krachtens de wet gestelde voorschriften en van pada umumnya tidak ada gunanya memasukan
de bij besluit individueel opgeledge kewajiban dan larangan bagi warga negara
verplichtingen, en (2) de toepassing van dan/atau organ/pejabat administrasi manakala
bestuurechttelijke sanctie bevoeghied. 27 aturan-aturan tingkah laku itu tidak dapat
Senada dengan yang dikemukakan Nicolai, dipaksakan oleh tata usaha negara. 30 Di samping
J.B.J.M Ten Berge sebagaimana dikutip oleh itu urgensi dalam penegakan sanksi juga
Philpus M Hadjon mengemukakan bahwa, diungkapkan Nicolai yang mengatakan bahwa
instrumen penegakan hukum administrasi 29
Konsepsi pengawasan berdasarkan segi
negara meliputi pengawasan dan penegakan kedudukan badan/organ yang melaksanakan kontrol
sanksi. 28 Bertalian dengan apa yang dikemukakan terhadap badan/organ yang dikontrol, dapat
dalam penegakan hukum administrasi, Paulus E. dibedakan atara jenis internal dan eksternal. Lebih
lanjut menurut Lotulung, kontrol internal berarti
Lotulung menyebutkan bahwa terdapat beberapa bahwa pengawasan itu dilakukan oleh badan yang
macam pengawasan, berdasarkan segi kedudukan secara organisatoris/struktur yang masih termasuk
dalam lingkungan pemerintah sendiri. Sedangkan
kontrol eksternal adalah pengawasan yang dilakukan
26
Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah oleh otgan atau lembaga-lembaga yang secara
Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai organisatoris/struktur berada di luar pemerintah.
Negeri Sipil. Adapun dari segi waktu dilaksanakannya pengawasan
27
Terjemahan: Sarana penegakan hukum kontrol dibedakan antar dua jenis yaitu, a-priori dan
administrasi Negara berisi 1) pengawasan bahwa kontrol a-posteriori. Kontrol a-priori bilamana
organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pengawasan itu dilaksanakan sebelum dikeluarkannya
pada atau berdasarkan undang-undang yang tindakan administrasi pemerintahan, sedangkam a-
ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap posteriori adalah bilamana pengawasan dilakukan
keputusan yang meletakan kewajiban kepada setelah adanya tindakan administrasi pemerintah.
indicvidu dan 2) penerapan kewenangan sanksi Adapun dari segi objek yang diawsasi, terdapat
pemerintahan. Lihat P Nicolai, et.al. Bestuursrecht, kontrol dari segi hukum dan segi manfaat. Paulus
Amsterdam, 1994, hal. 469. Lihat Ridwan HR, Effendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi
Hukum Administrasi Negara, hal. 296. Hukum terhadap Pemerintah, Bandung: Citra Aditya
28
Arief Sidharta, Butir-butir Gagasan tentang Bakti,1993. hal. XV-XVIII.
30
Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang layak, Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 337. Perizinan, Surabaya: Yuridika, 1993, hal. 245.
218
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
219
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
sedangkan sanksi pidana ditunjukan kepada si dan tugas tersebut, dengan menempatkan 3 (tiga)
pelanggar dengan memberikan hukuman berupa lembaga yaitu, KPU, Bawaslu dan DKPP, yang
penjatuhan nestapa. Sanksi administratif masing-masing memiliki fungsi khusus dalam
dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu penyelenggaraan pemilihan umum.
dihentikan, dengan demikian sifat sanksi adalah
Secara konseptual KPU diposisikan sebagai
reparatoir artinya memulihkan keadaan semula.
lembaga yang melaksanakan pemilu, sedangkan
Disampiing itu perbedaan antara sanksi pidana
Bawaslu lembaga yang mengawasi penyelenggara-
dan sanksi administrasi ialah tindakan
an pemilu. Adapun DKPP adalah lembaga yang
penegakan hukumnya. sanksi administrasi
bertugas menangani pelanggaran kode etik
diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa
penyelenggara pemilu. Lebih lanjut, KPU dalam
melalui prosedur pengadilan sedangkan sanksi
hal ini terdiri dari 1 (satu) orang ketua
pidana hanya dijatuhkan oleh hakim melalui
merangkap anggota dan 6 (enam) anggota KPU
proses pidana. 34
yang dipilih melalui mekanisme seleksi lembaga
B. Problematika Penegakan Kode Etik dan non-struktural.
Pedoman Penyelenggara Pemilu
Sebagai pelaksana pemilu, secara struktural
1. Komisi Pemilihan Umum sebagai KPU terdiri dari KPU, KPU Provinsi dan KPU
Penyelenggaraan Pemilu Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS dan
KPPSLN. sehingga dengan demikian unit
UU tentang Pemilu di dalam konsideran
kelembagaan bersifat hirarkis dalam hal
menimbang-nya menyebutkan bahwa “untuk
penyelenggaraan pemilihan umum. 36 Lebih
menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional
lanjut secara kedudukan kelembagaan, ditentu-
perlu diselenggarakan pemilihan umum”. Lebih
kan bahwa KPU berkedudukan di Ibu Kota
lanjut, secara explisit verbis dalam Pasal 1 angka 7
Negara, KPU Provinsi berkedudukan di Ibu Kota
menyebutkan bahwa penyelenggara pemilu
Provinsi, sedangkan KPU Kabupaten/Kota
adalah lembaga KPU, Bawaslu dan DKPP yang
berkedudukan di Pusat pemerintahan kota.
merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan
pemilu. Dengan demikian berdasarkan konsepsi Namun demikian, UU tentang Pemilu
administrasi pemerintahan, maka dapat juga menentukan dalam ketentuan yang terpisah,
dikatakan penyelenggaraan pemilu merupakan bahwa KPU dalam menjalankan tugasnya
bentuk dari penyelenggaraan urusan Pemerintah- dibantu oleh Sekretariat Jenderal KPU,
an (dalam arti luas) “bestuurszorg.” 35 Lebih lanjut, sedangkan untuk KPU Provinsi dan KPU
untuk menjalankan fungsi tersebut maka negara, Kabupaten/kota dibantu oleh sekretariat KPU
yang merupakan organisasi jabatan, menentukan Provinsi dan/atau Kabupaten/kota. Dengan
organ/badan/lembaga yang menjalankan fungsi demikian kedudukan Sekretariat Jenderal KPU
dan Sekretariat KPU Provinsi dan KPU
34
Kabupaten/ Kota merupakan komponen pe-
Philipus M Hadjon, et.al, Pengantar Hukum
nunjang untuk mendukung kelancaran tugas dan
Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2002, hal. 239.
35
Lihat Penjelasan Ketentuan Umum
36
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pasal 6 Undang-undang Nomor 7 tahun
Pemilihan Umum. 2017 Tentang Pemilihan Umum.
220
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
wewenang KPU, KPU Provinsi dan KPU ukuran untuk dapat disebut sebagai badan/organ
Kabupaten/Kota. 37 TUN hanya dapat dilihat berdasarkan fungsi
yang dilaksanakan, bukan nama sehari-hari,
Keterpisahan KPU, KPU Provinsi dan
bukan pula kedudukan strukturalnya dalam
KPU Kabupaten/Kota dengan sekretariat
salah satu lingkungan kekuasaan dalam negara. 39
Jenderal dan/atau Sekretariat terlihat ketika
Dengan demikian, ASN di lembaga
Pasal 78 UU tentang Pemilu menentukan bahwa
penyelenggara pemilu yang merupakan unsur
pegawai KPU, sekretariat KPU Provinsi, dan
penunjang dalam sekretariat jenderal KPU dan
sekretariat KPU Kabupaten Kota berada dalam
telah memiliki pangkat dalam suatu jabatan
satu kesatuan manajemen kepegawaian. Sehingga
tertentu tidak secara mutatis mutandis tergolong
secara konseptual rezim kepegawaian akan
sebagai penyelenggara pemilu.
sepenuhnya berdasarkan ketentuan manajemen
kepegawaian pada umumnya. Postulat demikian Penyelenggaraan Pemilu sebagai fungsi jika
secara tidak langsung mensiratkan pembagian digunakan pendekatan historis, dilekatkan
dalam organisasi/jabatan negara, antara pegawai dengan perkembangan pedoman etika dan
dan pejabat pemerintah sebagaimana perilaku, sebagaimana yang telah dilakukan
diungkapkan oleh S.F Marbun yang dapat dalam berbagai profesi, seperti profesi hukum,
terlihat dari mekanisme pemilihan/rekrutmen, kedokteran, politik, filsafat, administrasi publik,
masa jabatan dan status pangkat. 38 dan sektor-sektor lainnya. Lebih lanjut, tradisi
membangun etika dalam profesi tersebut
Lebih lanjut, analisa selanjutnya akan
dirumuskan sebagai standar yang diidealkan bagi
bergeser kepada fundamental pembahasan
para anggota suatu komunitas profesi atau
mengenai apakah keduanya tetap digolongkan
jabatan tertentu yang membutuhkan kepercayaan
sebagai penyelenggara pemilu. Penulis
publik. 40
berpandangan penting untuk kembali
dipertimbangkan artikulasi penyelenggaraan Penting kembali ditegaskan bahwa dalam
pemilu sebagai “fungsi urusan pemerintahan” realitas penyelenggara pemerintahan, negara
(bestuurzork) dan bukan sebagai jabatan atau memiliki dua kepala (twee petten) yaitu sebagai
lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste jabatan (ambt) atau subyek hukum, yakni
werkzaamheden). Dengan demikian maka definisi pendukung hak dan kewajiban, serta sebagai
penyelenggara pemilu mencakup fungsi (yang wakil dari jabatan (ambtsdrager) atau pejabat
melekat) pada lembaga/organ seperti KPU, sebagai personifikasi hak dan kewajiban. 41
Bawaslu dan DKPP, sehingga bukan Sehingga dalam konstruksi demikian, pejabat
badan/organ tersendiri. Postulat demikian
selaras dengan apa yang diungkapkan oleh 39
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,
Indroharto dalam menentukan kriteria hal. 70.
badan/pejabat tata usaha negara, mengingat 40
Jimly Ashiddiqie, Sejarah Etika Profesi dan
Etika Jabatan Publik, dimuat dalam http:/ /www.jimly.
com/ makalah/ namafile/ 172/ SEJARAH_ ETIKA_
37
Pasal 77 Undang-undang Nomor 7 Tahun PROFESI_ DAN_ ETIKA_JABATAN_PUBLIK.pdf., diakses
2017 Tentang Pemilihan Umum. tanggal 22 Juni 2021.
38 41
S.F Marbun, Hukum Administrasi Negara, E Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi
hal. 265. Negara Indonesia, hal. 145.
221
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
penyelenggara pemilu, dalam KPU akan dilekat- KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU
kan kepada jajaran Ketua dan/atau Anggota Kabupaten / Kota, anggota Bawaslu, anggota
Komisi Pemilihan Umum dan tidak kepada Bawaslu provinsi dan anggota, Bawaslu Kabupaten /
seluruh jajaran sekretariat Jenderal KPU, Kota.”
mengingat ASN dilekatkan pada hubungan ke-
Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat
dinasan yang berbeda dengan Pejabat Pe-
limitasi norma dalam ketentuan peradilan etik
nyelenggara Pemilu.
yang diselenggarakan oleh DKPP, sebab Pegawai
Lebih lanjut, untuk menentukan pe- KPU tidak termasuk dalam objek kewenangan
nyelenggara pemilu yang tergolong sebagai DKPP, dengan demikian hal tersebut mensirat-
pejabat penyelenggara pemilu (yang tunduk) kan bahwa rezim etik pejabat KPU dan pegawai
pada rezim kode etik dan pedoman perilaku KPU tidak berada dalam ruang yang sama.
pemilu yang ditangani DKPP, dapat ditelusuri
Kedua, lex specialis derogat legi generalis. 44
dari meninjau aspek preferensi hukum, yang
Peraturan DKPP dalam Pasal 5 ayat 2 me-
dapat mencakup asas lex superior derogat legi
nentukan bahwa kode etik disamping berlaku
inferiori; lex specialis derogat legi generalis; dan lex
kepada Anggota KPU dan Bawaslu, juga meng-
posteriori derogate legi priori. 42
ikat kepada seluruh jajaran sekretariat jenderal
Pertama, asas lex superior derogat legi KPU dan Bawaslu. Namun demikian ketentuan
inferiori, 43 jika merujuk pada ketentuan Pasal 158 norma tersebut menemukan permasalahan
ayat (1) UU tentang Pemilu, menentukan “DKPP ketika dihadapkan pada pra-syarat penggunaan
bersidang untuk melakukan pemeriksaan dugaan asas ini. Mengingat asas specialitas demikian
adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh harus didasari pada beberapa prinsip: 45
222
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus Ketiga, lex posteriori derogate legi priori, yaitu
berada dalam lingkungan hukum (rezim) aturan hukum yang terbaru mengesampingkan
yang sama dengan lex generalis. norma hukum yang lebih lama. Pelanggaran etik
bagi ASN dalam penyelenggara pemilu Secara
Berdasarkan UU tentang ASN, aparatur
normatif telah terlebih dahulu ditentukan dalam
sipil negara merupakan satu kesatuan
berbagai regulasi di bidang kepegawaian, seperti
manajemen kepegawaian. Dengan demikian
UU tentang ASN, PP Nomor 42 tahun 2004 Jo
administrasi kepegawaian merupakan fungsi
PP Nomor 53 tahun 2010. Bahkan secara
dasar dari manajemen yang menembus setiap
spesifik mengenai instansi penyelenggara pemilu,
tingkatan. 46 Dengan demikian, selazimnya
telah ditentukan dalam ketentuan peraturan
penegakan kode etik ASN di jajaran Sekretariat
instansi terkait seperti Peraturan Presiden
Jenderal KPU dan Bawaslu masih tetap berada
Nomor 105 Tahun 2018 tentang Kedudukan,
pada rezim hukum kepegawaian. Kondisi
Tugas, Fungsi, Wewenang dan Tata Kerja
demikian sebenarnya secara afirmatif telah
Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum,
ditentukan dalam Peraturan DKPP Nomor 2
Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Provinsi
Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman
dan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum
Perilaku Penyelenggara Pemilu, tepatnya pada
Kabupaten/Kota.
Pasal 5 ayat (3) yang menyebutkan “Penegakan
Kode Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf Lahirnya Peraturan DKPP yang mencoba
b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan menarik rezim etik ASN kepada proses ajudikasi
perundang-undangan di bidang Aparatur Sipil secara teoritis tidak dapat dibenarkan mengingat
Negara” penggunaan asas tersebut juga terikat pada dua
prinsip utama yaitu, Aturan hukum yang baru
Namun demikian, dalam pandangan
harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan
penulis, Peraturan DKPP tersebut menyimpan
hukum yang lama, serta aturan hukum baru dan
suatu susunan norma yang tidak terstruktur,
lama mengatur aspek yang sama.
sehingga hal tersebut memunculkan sebuah
anomali, ketika jenis norma etik tertuang dalam Mengenai hirarki regulasi, Peraturan DKPP
peraturan DKPP tersebut mengikat bagi pegawai merupakan delegasi dari UU tentang Pemillu,
ASN dalam lingkungan penyelenggara pemilu, yang secara subtansial menentukan pe-
namun diterapkan sanksi berdasarkan konstruksi nyelenggaraan pemilihan umum serta badan/
manajemen kepegawaian. 47 organ yang terlibat sebagai satu kesatuan fungsi
pemilu. Sedangkan PP Disiplin ASN merupakan
delegasi dari UU tentang ASN yang secara
46
Disiplin F. Manao, Penyalahgunaan subtansial menentukan nilai-nilai prinsip dasar
wewenang Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh ASN
Hukum Administrasi Negara, Bandung: Kreasi Sahabat,
2017, hal. 42. sebagai bentuk bestuurzorg. Kendati relatif
47
Dalam perspektif penggunaan wewenang
hemat peneliti telah terjadi penyalahgunaan
wewenang (detornement de pouvoir) berupa melampaui merupakan kewenangannya. Namun demikian,
wewenang, oleh karena DKPP telah memeriksa, mengingat keterbatasan penulisan, artikel ini tidak
mengadili dan memutus pelanggaran etik ASN dalam akan membahas lebih dalam sisi penyalahgunaan
penyelenggara pemilu yang secara yuridis bukan wewenang.
223
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
memiliki derajat yang sama, namun terdapat sebaliknya, ASN yang bukan merupakan pihak
perbedaan subtansi materi muatan, sehingga teradu, melainkan sebagai roda penggerak
lazimnya peraturan DKPP tidak dapat menegasi- lembaga penyelenggara pemilu yang diklaim oleh
kan rezim hukum kepegawaian dalam penegakan DKPP sebagai pihak yang terbukti telah
disiplin dan kode etik ASN. Terlebih instrumen melanggar kode etik penyelenggara pemilu. 49
yuridis dalam peraturan DKPP tersebut terbilang
Berdasarkan konsepsi demikian maka secara
sangat minim.
tidak langsung DKPP telah menjatuhkan putus-
2. Putusan DKPP Berupa Penjatuhan Sanksi an yang bersifat detournemen de provoir atau ultra
bagi ASN di Lembaga Penyelenggara vires 50, mengingat ASN sebagai satu kesatuan
Pemilu manajemen telah terlebih dahulu terikat pada
norma-norma di bidang hukum kepegawaian dan
Penjatuhan sanksi etik terhadap ASN di
bukan sebagai penyelenggara pemilu yang
lembaga penyelenggara pemilu pertama kali
dimaksudkan dalam UU tentang Pemilu. Selain
dilakukan oleh DKPP pada tahun 2012, melalui
itu, putusan tersebut dinilai mencampur adukan
putusan DKPP No. 23- 25/ DKPP- PKE- I/ 2012.
ranah teknis administrasi pemilu dan etika,
Pihak pengadu pada perkara tersebut adalah
seperti penentuan verifikasi peserta hingga
Ketua Bawaslu RI (pengadu I) dan seorang
penyelenggaraan disiplin dan kode etik ASN,
penggiat pemilu, Said Salahudin (pengadu II),
yang selazimnya tunduk pada berbagai ketentuan
sedangkan pihak teradu adalah Ketua KPU dan
Anggota KPU RI. 48
49
Ultra vires atau biasa diartikan sebagai diluar
Hal yang relatif kontroversial dari perkara batas kewenangan lazim dikenal dalam sistem anglo
tersebut adalah bahwa berdasarkan konstruksi saxon, sedangkan dalam eropa continental, istilah
para pihak yang ada dalam proses ajudikasi yang digunakan adalah detournemen de provoir atau
exce’s de pouvoir. Lihat S.F Marbun, Hukum
tersebut, DKPP memberikan putusan bahwa Administrasi Negara, hal.163. Berdasarkan prinsip ini,
pihak teradu, Ketua dan Anggota KPU, dinilai penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh
tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk pejabat/badan administrasi dilarang untuk bertindak
diluar batas wewenang yang dimiliki. Sri Nur Hari
melanggar kode etik penyelenggara pemilu,
Susanto, Larangan Ultra Vores (Exces De Pouvoir) dalam
Tindakan Pemerintahan (Sudi Komparasi Konsep Antara
48
Dalam aduannya, pengadu I mendalilkan Sistem Hukum Anglo Sazon dan Sistem Hukum
bahwa penyelenggara pemilu, dalam hal ini Ketua Kontinental), Administrative Law and Governance
dan anggota KPU, dinilai tidak menghargai dan Journal, Vol.3 No.2 Juni 2020, hal. 262.
50
menghormati sesama lembaga, cacat prosedur dalam Pertimbangan demikian secara subyektif
menyelenggarakan urusan pemilihan umum akibat diambil oleh DKPP berdasarkan keterangan
penundaan pengumuman pemberitahuan hasil Komisioner KPU Ida Budiati, yang mengemukakan
penelitian administrasi hasil perbaikan, yang bahwa Sekretariat Jenderal mengadakan rapat tanggal
seyogyanya diumumkan antara tanggal 23-25 Oktober 24 Oktober 2012 sebagai bagian dari pemboikotan
2012 menjadi tanggal 28 Oktober 2012. Sedangkan Pemilu dan pembangkangan birokrasi. Namun
pengadu II, mendalilkan bahwa Teradu Ketua dan demikian, DKPP gagal untuk melihat fakta
Anggota KPU RI diduga tidak cermat, tidak adil, persidangan secara komprehensif, mengingat
tidak berasaskan Kepastian hukum, tidak tertib, tidak keterangan teradu telah dibantah oleh pihak
terbuka, tidak profesional, dan tidak akuntabilitas, sekretariat jenderal KPU, Suripto Bambang, yang
dalam penyelenggaraan Verifikasi Peserta Pemilu. dalam keterangannya membantah semua tudingan
Lihat salinan putusan DKPP No. 23-25/DKPP-PKE- Komisioner Ida Budiati. Lihat putusan DKPP No. 23-
I/2012. hal. 5-7. 25/DKPP-PKE-I/2012.
224
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
yang menaungi Administrasi pemerintahan dan Pemilu. Sebab di satu sisi, sanksi yang dijatuhkan
manajemen ASN. 51 oleh DKPP didasari pada pertimbangan hukum
dan bukan pertimbangan etika semata, sehingga
Lebih lanjut, melalui putusan tersebut,
secara sekuensial implikasi putusannya pun akan
konsepsi penyelenggara pemilu kini mengalami
berakibat secara hukum, 52 yang dalam hal ini
perluasan, hingga kepada seluruh jajaran ASN
secara langsung bersinggungan dengan sistem
baik di tingkat pusat (KPU RI dan Bawaslu RI)
manajemen kepegawaian yang berlaku pada
maupun di tingkat daerah (KPU Provinsi dan
instansi terkait. Sedangkan di sisi lain, jika
KPU Kabupaten/ Kota serta Bawaslu Provinsi
mengamati jenis sanksi yang dijatuhkan oleh
dan Bawaslu Kabupaten/ Kota). Implikasi dari
DKPP, terdapat ketentuan sanksi yang
perluasan arti penyelenggara pemilu tersebut
dimodifikasi oleh DKPP dengan menentukan
pada akhirnya memunculkan kontinuitas per-
saksi berupa pemindahan ASN kepada instansi
tentangan norma dalam penegakan rezim hukum
asal, yang justru norma aquo tidak ditemukan
kepegawaian dan rezim hukum etika dalam
dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017.
penyelenggara pemilu.
Setidaknya terhadap anomali tersebut dapat
Seperti dalam beberapa putusan DKPP yang
dilihat dari kedua putusan yaitu, Putusan DKPP
menjatuhkan sanksi di luar ketentuan norma
No. 174- PKE- DKPP/ VII/ 2019 menjatuhkan
etika dalam penyelenggaraan pemilu, yang
sanksi berupa pemberhentian tetap kepada
lazimnya dipedomani oleh DKPP. Secara
sekretaris KPU Kabupaten Maybrat dan Putusan
limitatif Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017
DKPP Nomor No. 144- PKE- DKPP/ V/ 2019
menentukan bahwa sanksi terhadap pelanggaran
yang menjatuhkan sanksi teguran keras disertai
kode etik dan pedoman perilaku berupa teguran
dengan pemberhentian dari Jabatan Kasubag
tertulis, pemberhentian sementara, hingga pada
Hukum KPU Kabupaten Mappi. Melalui dua
pemberhentian tetap. Lebih lanjut, sepanjang
putusan tersebut Sekretariat Jenderal KPU wajib
tahun 2019 tercatat beberapa putusan DKPP
menindaklanjuti untuk memberhentikan ASN
yang menjatuhkan sanksi terhadap beberapa
terkait. Hal demikian tidak terlepas dari
ASN di lingkungan penyelenggara pemilu. Mulai
paradigma final dan mengikatnya putusan DKPP
dari sanksi yang bersifat teguran seperti pada
sebagaimana yang pernah dikemukakan dalam
putusan No. 111- DKPP/ V/ 2019 dan Putusan
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-
No. 144- PKE- DKPP/ V/ 2019, hingga pada
pemberhentian tetap seperti pada putusan No.
52
234- 235PKE- DKPP/ VIII/ 2019 dan Putusan Fernando M Manulang dalam kasus Evi
Novida Ginting mengemukakan bahwa, putusan
No. 174- PKE- DKPP/ VII/ 2019. DKPP yang menjatuhkan sanksi berupa
pemberhentian kepada anggota KPU secara
Hal yang relevan untuk dikritisi adalah sekuensial ditindaklanjuti dengan prosedur
penjatuhan sanksi yang tentukan oleh DKPP administratif. Hal demikian dapat dikatakan sebagai
terhadap ASN di lingkungan Penyelenggara sanksi administratif. Bahkan jika melihat ratio
decidendie putusan tersebut, dapat dikatakan bersifat
anomali, sebab konstruksi yang dibangun dari
51
William Hendri, Tinjauan Yuridis DKPP argumentasi dalam pertimbangan putusan tidak
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 bersifat etika melainkan bersifat hukum. Lihat
terhadap Putusan DKPP No.23-25/DKPP-PKE-I/2012, keterangan ahli Fernando M Manulang dalam
Jurnal Selat, Vol.2 No.1 Oktober 2014, hal. 195-196. Putusan Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT, hal. 222.
225
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
XI/2013 yang menentukan bahwa putusan ASN terkait ke instansi asal dan Putusan No.
DKPP bersifat final dan mengikat bagi KPU 144- PKE- DKPP/ V/ 2019 yang menjatuhkan
Bawaslu dan Presiden. sanksi peringatan keras kepada sekretaris KPU
Kabupaten Buleleng disertai dengan pengem-
Namun demikian, putusan DKPP tersebut
balian ASN terkait ke instansi asal.
akan bertentangan secara konseptual dalam
hukum administrasi khususnya berkaitan dengan Catatan terhadap postulat tersebut adalah
penjatuhan sanksi. Pertama, sanksi administrasi Pertama, sanksi pengembalian terhadap ASN ke
tidak membutuhkan pihak ketiga seperti melalui instansi asal tidak ditemukan dalam Peraturan
prosedur ajudikasi melalui peradilan yang DKPP Nomor 2 Tahun 2017, hal demikian
dilakukan oleh DKPP sebagai quasi yudisial. J.J dilekatkan sebagai bagian dari sanksi teguran
Oosternbrink sebagaimana dikutip oleh Ridwan keras. Namun demikian dalam pandangan
HR mengemukakan: penulis sanksi semacam ini justru merupakan
bentuk dari penambahan jenis sanksi yang
“Administratief sancties zijn dus sancties, die
ditentukan dalam norma sanksi Peraturan
voortspruiten uit de relatie overheid-onderdaan en
DKPP, dengan denmikian melalui putusan
die zonder tussenkomst van derden en met name
tersebut DKPP telah memperluas arti sanksi yang
zonder rechterlijke machtiging rechtstreeks door de
ditentukan dalam Peraturan DKPP. Bahkan jika
administratief zelf kunnen wonder opgelgeld”
merujuk pada PP 53 Tahun 2010 tentang
(sanksi administratif muncul dari hubungan
Disiplin ASN jenis sanksi semacam ini tidak
antara pemerintah-warga dan yang
ditemukan, mengingat sanksi dalam PP 53
dilaksanakan tampa perantara pihak ketiga,
Tahun 2010 bersifat hirarkis dan limitatif mulai
yaitu kekuasaan peradilan, tetapi dapat
dari penjatuhan hukuman disiplin ringan,
dilaksanakan secara langsung). 53
hukuman disiplin sedang dan hukuman disiplin
Kedua, menegenai status pemberhentian, berat, yang masing-masing memiliki tingkat-
putusan DKPP tidak secara explicit menentukan annya.
status pemberhentian, akankah disematkan
Kedua, mengenai pengembalian ASN ke
sebagai pemeberhentian dengan hormat atau
instansi asal dalam aspek kepegawaian akan
dengan tidak hormat. Sebab hal demikian akan
sukar untuk diterapkan. Hal yang luput untuk
berdampak pada hak-hak ASN setelah yang
diperhatikan dari putusan DKPP tersebut adalah
bersangkutan diberhentikan.
mengenai manjemen kepegawaian ASN di
Disamping putusan yang memberhentikan, lingkungan instansi terkait. Pengembalian ASN
terdapat putusan DKPP yang berupa teguran ke instansi asal berarti menempatkan ASN baru
disertai dengan pengembalian ASN ke instansi dalam lingkungan kerja instansi lama. Penting
asal. Seperti dalam putusan DKPP Nomor No. untuk dilihat bahwa dalam memasukan ASN
111- DKPP/ V/ 2019 yang menjatuhkan sanksi kepada instansi didasari pada ada tidaknya
berupa peringatan keras kepada Sekretaris KPU formasi, baik dalam hal ini jenis pekerjaan, sifat
Kabupaten Lahat disertai dengan pengembalian pekerjaan, perkiraan beban kinerja dan jenjang
pangkat yang tersedia serta kemampuan
53
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, keuangan. Lebih lanjut, pengembalian ASN
hal. 299.
226
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
kepada instansi asal harus didasari pada pe- melampaui wewenangnya selaku penyelenggara
ngetahuan dan pemahaman mengenai mana- pemilu dalam lingkup etik.
jemen ASN tersebut, termasuk dalam hal ini
Bahkan dalam tataran praktis, Putusan
adalah pengisian posisi yang kosong, seperti
DKPP yang dikategorikan sebagai putusan cacat
Sekretaris KPU yang ditentukan berdasarkan
yuridis (juridische gebreken) pernah dijadikan objek
integrasi antara merrit system dan carrier system
sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara
yang dilakukan dengan seleksi jabatan.
(PTUN). Seperti Putusan Nomor 82/ G/ 2020/
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat PTUN- JKT yang pada pokoknya membatalkan
bahwa lazimnya penegakan kode etik dan sanksi Keputusan Presiden Nomor 34/P.Tahun 2020
terhadap pelanggaran etik dan pedoman perilaku tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat
ASN yang berada dalam lingkungan Anggota Komisi Pemilihan Umum Tahun 2017-
penyelenggara pemilu harus ditentukan oleh 2022, sebagai tindak lanjut dari Putusan DKPP
instansi KPU sendiri dan tidak melibatkan pihak No. 317- PKE- DKPP/ X/ 2019. Lebih lanjut,
ke-3 dalam hal ini DKPP yang menjatuhkan berdasarkan konsep keputusan berantai (ketting
sanksi melalui proses ajudikasi. Lebih lanjut, hal verguning) 54 tersebut, PTUN melalui ratio
demikian secara konseptual dapat dibenarkan decidendia menyebutkan bahwa ketentuan yang
berdasarkan obiter dicta dan ratio decidendie lahir dari Putusan DKPP batal dengan
Putusan MK. Seperti dalam Putusan MK No. sendirinya. 55
31/ PUU- XI/ 2013, yang menyebutkan bahwa
Dengan demikian, hemat penulis, penting
kendatipun putusan DKPP bersifat final dan
kiranya bagi penyelenggara pemilu untuk mem-
mengikat, namun kekuatannya tidak dapat
perhatikan batasan dimensi etik dan administrasi
dipersamakan dengan lembaga/badan yudisial
dalam berbagai kewenangan yang dimiliki.
seperti kekuasaan kehakiman.
Sebab, pelaksanaan kedua rezim tersebut meng-
Lebih lanjut, berdasarkan obiter dicta yang alami persentuhan wilayah yang buram (grey
pernah tertuang dalam Putusan MK No. 115/ area). Lebih lanjut, kondisi demikian akan
PHPU. D- XI/ 2013 dalam mendudukan ke- mengarah pada politisasi etika dalam hukum,
wenangan antar lembaga penyelenggara pemilu,
MK berpandangan bahwa berbagai putusan 54
Konsepsi ketting verguning sebagai keputusan
DKPP yang melampaui wewenang dapat dinilai berantai dikemukakan beberapa ahli hukum
cacat hukum sehingga tidak mengikat dan dapat administrasi, Seperti Harsanto Nursadi. Lebih lanjut,
secara khusus ketting verguning lazimnya dikenal dalam
disimpangi oleh penyelenggara pemilu (KPU dan administrasi negara di bidang perizinan. Beberapa
Bawaslu), terlebih jika putusan tersebut, ahli hukum belanda menyebutnya dengan izin
merupakan ruang lingkup sengketa keputusan berantai, namun secara umum hal tersebut diartikan
sebagai keputusan, mengingat izin oleh pemerintah
KPU yang dikeluarkan dalam lingkup
dituangkan dalam instrumen keputusan. Lihat Andri
kewenangannya. Dengan demikian, maka ter- G Wibisana, Pengelolaan Lingkungan Melalui Izin
dapat derajat Putusan DKPP yang oleh Terintegrasi dan Berantai: Sebuah Perbanding atas
penyelenggara pemilu harus dikualifisir sebagai Perizinan Lingkungan di Berbagai Negara, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Vol.48 No.2 Tahun
putusan yang tepat atau sebuah putusan yang 2018, hal. 224.
55
Putusan PTUN Jakarta No. 82/ G/ 2020/
PTUN- JKT, hal. 257.
227
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
mengingat penyelenggara pemilu maupun ASN pemilu, berdampak pada tidak sistemiknya
yang menjalankan perintah jabatan dengan penegakan hukum antara rezim ke-
kondisi freiese ermessen akan dengan mudah pegawain dan etika penyelenggara pemilu.
dituduh sebagai pelanggaran etik maupun Alhasil penjatuhan sanksi kepada ASN
administrasi. Sebagai contoh norma etik yang oleh DKPP, menciptakan problematika
dituangkan dalam Peraturan DKPP dalam Pasal tersendiri berupa inkonsistensi penegakan
15 huruf d yang menentukan adanya pencegahan norma, seperti muatan sanksi yang tidak
segala bentuk dan jenis penyalahgunaan tugas, jelas dan terukur, hingga pengambilalihan
wewenang dan jabatan. Namun secara normatif kompetensi kewenangan peradilan TUN
ketentuan demikian relatif memiliki kesamaan oleh DKPP, yang pada akhirnya dapat
dengan norma hukum yang dituangkan dalam berujung pada tindakan penyalahgunaan
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun wewenang (detornement de pouvoir). Meng-
2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang ingat ASN yang berada dalam lembaga
menentukan larangan penyalahgunaan penyelenggara pemilu, kendatipun terlibat
wewenang. Lebih lanjut, untuk menentukan sebagai roda penggerak dalam administrasi
mengenai penyalahgunaan wewenang dan atau pemilu, namun kedudukannya tidak
jabatan, norma tersebut lazimnya diarahkan sebagai penyelenggara pemilu.
kepada peradilan administrasi dan bukan melalui
B. Saran
peradilan etik.
Sebagai upaya mempertengahkan kedua
III. Penutup
rezim tersebut, maka dibutuhkan pembatasan
A. Simpulan kewenangan (restrain) oleh DKPP dalam menye-
lenggarakan administrasi pemilu dan penegakan
1. Penegakan sanksi atas pelanggaran etik
kode etik pemilu. Dimulai dengan melakukan
dalam penyelenggara pemilu mengalami
pembatasan terhadap artikulasi penyelenggara
perluasan makna, yang semula dikonsepsi-
pemilu yang terbatas pada Ketua dan Anggota
kan hanya mencakup Ketua dan Anggota
KPU/Bawaslu, sehingga ASN tidak termasuk
KPU/Bawaslu, kini menjadi seluruh
dalam penyelenggara pemilu. Lebih lanjut, secara
jajaran ASN yang berada dalam lembaga
normatif penting untuk mempertimbangkan
penyelenggara pemilu seperti sekretariat
penghapusan Pasal 5 ayat (2) Peraturan DKPP
jenderal KPU dan Bawaslu, bahkan hingga
No. 2 tahun 2017 yang mewajibkan ASN untuk
tingkat daerah (sekretariat Provinsi dan
tunduk pada Pedoman Perilaku dan Kode Etik
Kabupaten/kota). Hal ini merupakan
Penyelenggara Pemilu agar lebih memberikan
implikasi dari kesalahan dalam memahami
kepastian bahwa ASN bukan termasuk objek dari
ratio legis pembentukan DKPP dan definisi
pengawasan dan penindakan dalam rezim etika
penyelenggara pemilu yang dikonsepsikan
pemilu.
dalam UU tentang Pemilu.
228
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Putusan Pengadilan Tata Usana Negara Nomor
Aparatur Sipil Negara. 82/G/2020/PTUN-JKT tentang gugatan
atas Keputusan Presiden Republik
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang
Indonesia Nomor 34/P.Tahun 2020
Pemilihan Umum.
tentang Pemberhentian Dengan Tidak
Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1999 Hormat Anggota Komisi Pemilihan
tentang Perubahan Atas Peraturan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022.
Pemerintah No. 5 Tahun 1999 tentang
Pegawai Negeri Sipil Yang Menjadi
Anggota Partai Politik. Buku
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 Atmadja, Arifin P. Soeria. Keuangan publik dalam
tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil perspektif hukum: teori, kritik, dan praktik.
Menjadi Anggota Partai Politik. Depok, Rajawali Pers, 2017.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Perizinan.
tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Yuridika, Surabaya. 1993.
Etik ASN. _______, Philipus M, and Titiek Sri Djatmayati,
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
tentang Disiplin Aparatur Sipil Yogyakarta, 2002.
Pemerintah.
_______, Philipus M. and Titiek Sri Djatmayati,
Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Yogyakarta. 2002.
Penyelenggara Pemilihan Umum.
HR, Ridwan, Hukum administrasi negara. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2018.
229
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
230
TINJAUAN YURIDIS PENJATUHAN SANKSI PELANGGARAN ETIK APARATUR SIPIL NEGARA
231
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 209-232
232
ANALISIS TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT PADA KECELAKAAN PESAWAT TERBANG
Pesawat terbang merupakan alat transportasi yang umum digunakan pada saat ini karena dianggap
cepat dan aman. Adapun dasar hukum dari tingkatan undang-undang yakni Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Selain memberikan kemudahan, ternyata transportasi udara
masih memiliki kekurangan yakni terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Permasalahan yang timbul
dari kecelakaan pesawat terbang yakni terkait tanggung jawab hukum pengangkut dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Tujuan penulisan ini yakni untuk mengetahui
tanggung jawab hukum pengangkut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif yakni dengan pendekatan
kepustakaan untuk mendalami isu mengenai hukum penerbangan ini. Hasil yang didapatkan yakni
pengangkut memiliki tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian kepada korban/ahli waris
korban. Kesimpulannya yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan memiliki
dasar hukum yang mengatur tanggung jawab pengangkut dalam hal terjadi kecelakaan pesawat
terbang.
Kata kunci: tanggung jawab hukum pengangkut, kecelakaan pesawat terbang, undang-undang tentang
penerbangan
Abstract
Airplanes are a common transportation that being used today because they are considered the fastest and safest.
The legal basis of law about this is The Law Number 1 of 2009 about Aviation. Even though providing
convenience, it turns out that air transportation still has a drawback such as the airplane accidents. The
Problems that arise from airplane accidents are related to the carrier’s legal responsibility in The Law Number 1
of 2009 about Aviation. The purpose of this paper is to determine the carrier’s legal responsibility in Law
Number 1 of 2009 about Aviation. The writing method used is normative juridical, namely with a library
approach to explore this issue of aviation law. The results obtained are that the carrier has the responsibility to
provide compensation for the victim or victim's heir. The Law Number 1 of 2009 about Aviation has a legal
basis that regulates the carrier’s responsibility in an airplane accident.
233
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 233-252
234
ANALISIS TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT PADA KECELAKAAN PESAWAT TERBANG
Komite Nasional Keselamatan Transportasi bulan setelah pesawat Lion Air jatuh, yakni pada
(KNKT) mencatat dalam laporan akhir Ethiopian Airlines ET 302 yang menggunakan
investigasinya, bahwa terdapat 9 (sembilan) sebab pesawat dengan model yang sama. Akibatnya,
yang mengakibatkan jatuhnya pesawat udara mulai bulan Maret 2019, seluruh Pesawat Boeing
tersebut 2, yang pada inti dan utamanya 737 Max 8 dilarang terbang di seluruh dunia. 5
disebabkan oleh desain Maneuvering Character-
Dalam berbagai penyelidikan, akhirnya
istics Augmentation System (MCAS) sebagai sistem
diketahui bahwa segala permasalahan dari model
yang digunakan untuk menghadapi Angle of pesawat ini sudah dimulai sejak proses pem-
Attack (AoA) dikarenakan berubahnya sudut buatan pesawat, sebelum Pesawat Boeing 737
antara sayap dan aliran udara (airflow) akibat Max 8 dijual ke pasaran. Misalnya, terdapat
penggunaan mesin yang lebih besar dan lebih pengaduan dari karyawan Boeing kepada
kuat, LEAP-1B Engine, dan desain ujung sayap Department of Justice Amerika Serikat yang me-
(winglet) yang berbeda. 3 Masalah dari sistem ini nyatakan bahwa Boeing telah sengaja meng-
adalah adanya error karena cukup dengan abaikan pengembangan sistem keselamatan demi
menyalanya satu sensor AoA (dari dua sensor) menekan biaya dan tercapainya keuntungan yang
yang mendeteksi kenaikan pesawat terlalu tinggi lebih. Padahal, para insinyur Boeing telah men-
menyebabkan sistem yang ada di dalam pesawat desak agar pengembangan sistem keselamatan
berpikir bahwa telah terjadi stall (kehilangan daya tersebut dapat dilaksanakan sehingga dapat me-
angkat) sehingga mengaktifkan MCAS dan minimalkan risiko kecelakaan. 6 Lebih jauh lagi,
otomatis menggerakan sayap belakang ke atas, dalam uji coba pesawat 737 Max 8, salah seorang
menciptakan efek aerodinamik yang membuat pilot Boeing pernah melaporkan bahwa pesawat
hidung pesawat menurun (nose down) tanpa telah bermasalah akibat software (MCAS) yang
kendali pilot. Akibatnya, ditambah karena tidak ada, sehingga sama seperti kasus Lion, pesawat
tersedianya indikator penunjuk sikap atau angle memangkas ketinggian sendiri tanpa bisa di-
of attack disagree dan juga tidak adanya petunjuk kendalikan oleh pilot. 7 Selanjutnya, Boeing
mengenai mekanisme baru ini dalam buku memaksakan agar Pesawat Boeing 737 Max 8
panduan serta pelatihan pesawat, membuat pilot terlihat sama dengan para pendahulunya pada
mengalami kesulitan untuk memberikan respons varian “The Baby Boeing” untuk menyaingi
yang tepat terhadap pergerakan MCAS. 4 model pesawat baru dari Airbus, yakni A321neo
Selanjutnya, kejadian serupa kembali terjadi lima dan agar maskapai penerbangan (pengangkut/
airline) mau membeli model ini yang dianggap
2
Komite Nasional Keselamat Transportasi, “menghemat jutaan dolar” karena maskapai
Final Aircraft Accident Investigation Report, 2019, hal.
tidak perlu menggelontorkan banyak uang lagi
204-215. Lihat juga, Detik, Penyebab Pasti Jatuhnya
Lion Air di Laut Karawang, dimuat dalam https:// untuk belajar ulang mengenai perawatan dan
news. detik. com/ berita/ d-4760418/ penyebab-pasti-
5
jatuhnya-lion-air-di-laut-karawang, diakses tanggal 21 Ibid.
6
Maret 2021. NYTimes, Boeing 737 Max Crashes, dimuat
3
Tirto, Politik Uang Ala Boeing, dimuat dalam dalam https:// www. nytimes. com/ 2019/ 10/ 02/
https:// tirto.id/ politik -uang- ala –boeing -ekUc, business/ boeing- 737- max-crashes.html., diakses
diakses tanggal 20 Maret 2021. tanggal 21 Maret 2021.
4 7
Ibid Ibid.
235
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 233-252
penggunaan pesawat ini. 8 Dengan demikian, pada kecelakaan pesawat terbang dari perspektif
dapat disimpulkan bahwa Boeing telah me- UU tentang Penerbangan.
ngetahui masalah ini dan tetap mengabaikannya
D. Metode Penulisan
sebelum model 737 Max 8 dijual ke pasaran. 9
Penulis dalam tulisan ini mencoba
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
menganalisis dengan menggunakan cara pandang
berkaitan dengan aspek hukum, apakah Undang-
penulisan yakni yuridis normatif. Metode adalah
Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pe-
metode penulisan dengan cara kepustakaan
nerbangan (UU tentang Penerbangan) telah
yakni dilakukan dengan cara meneliti bahan-
cukup lengkap dalam menghadapi situasi seperti
bahan pustaka atau data sekunder. 10
ini sehingga dapat diidentifikasi tanggung jawab
pengangkut dalam hal kecelakaan pesawat ini? Penulisan ini menggunakan pengumpulan
Untuk menjawab hal tersebut maka penulis data berdasarkan studi dokumen yang terkait
mencoba menulis dengan judul tulisan “analisis dengan permasalahan yang diajukan. 11 Adapun
tanggung jawab hukum pengangkut pada ke- menurut Peter Mahmud Marzuki penulisan
celakaan pesawat terbang dari perspektif undang- dengan metode hukum normatif merupakan
undang nomor 1 tahun 2009 tentang penerbang- suatu proses untuk menemukan suatu aturan
an”. hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
B. Permasalahan
dihadapi. 12
Berdasarkan latar belakang di atas,
II. Pembahasan
pemasalahan yang menjadi pokok pembahasan
dalam tulisan ini adalah bagaimana tanggung A. Kerangka Konsepsional
jawab hukum pengangkut pada kecelakaan 1. Konsep Tanggung Jawab Pengangkut
pesawat terbang dari perspektif UU tentang
Penerbangan? Peter Salim menjelaskan bahwa tanggung
jawab dapat dikelompokkan menjadi tiga ke-
C. Tujuan lompok besar. Adapun masing-masing “tanggung
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk me- jawab” itu dapat memiliki bentuk accountability,
ngetahui tanggung jawab hukum pengangkut responsibility, dan liability. 13 Tanggung jawab
10
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian
8
Tirto, Ada Apa Di Balik Kecelakaan Beruntun Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hal.
Boeing 737 Max 8, dimuat dalam https:// tirto.id/ada- 27-28.
11
apa-di-balik-kecelakaan-beruntun- boeing- 737- max -8- Muhammad Abdul Kadir, Hukum dan
dj1L, diakses tanggal 22 Maret 2021. Penelitian Hukum, Cetakan V, Bandung: Citra Aditya
9
SeattleTimes, Failed Certification FAA Missed Bakti, 2014, hal. 81.
12
Safety Issues In The Afety Issues In The 737 Max System Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,
Implicated In The Lion Air Crash, dimuat dalam Cet. ke- 8, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
https:// www. Seattletimes .com/ business/ boeing- 2015, hal. 3.
13
aerospace/ failed- certification- faa- missed-safety- Peter Salim, Contemporary English-Indonesian
issues- in- the- 737- max- system-implicated- in- the - Dictionary, Jakarta: Modern English Press, 2015, hal.
lion- air- crash/, diakses tanggal 20 Maret 2021. 213.
236
ANALISIS TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT PADA KECELAKAAN PESAWAT TERBANG
dalam arti accountability biasanya berkaitan diderita pihak lain, misalnya dalam perjanjian
dengan keuangan atau pembukuan misalnya pengangkutan udara, maskapai penerbangan ber-
dalam kalimat “dimintakan pertanggungan jawab tanggungjawab atas keselamatan penumpang dan
atas hasil pembukuannya” atau dalam kalimat /atau barang yang diangkutnya sampai di tempat
“akuntan itu harus bertanggung jawab”. Frasa tujuan. Oleh karena itu, apabila timbul kerugian
“tanggung jawab” dalam kedua kalimat tersebut yang diderita oleh penumpang maka maskapai
berarti accountability yang menyangkut masalah penerbangan harus bertanggung jawab dalam arti
keuangan. Accountability dapat pula diartikan liability. Tanggung jawab di sini diartikan
sesuatu yang berkaitan dengan pembayaran, maskapai penerbangan wajib membayar ganti
misalnya dalam kalimat "bank tersebut harus rugi yang diderita oleh penumpang dan apabila
menyerahkan nota pertanggungan jawab”. ingkar janji, maskapai penerbangan dapat
Perkataan “pertanggungan jawab” dapat diarti- digugat di pengadilan.
kan accountability. 2. Konsep Transportasi/Pengangkutan
Tanggung jawab juga memiliki arti Muhammad Abdul Kadir mendefinisikan
responsibility yang bermakna “ikut memikul transportasi sebagai proses kegiatan pemindahan
beban” akibat dari suatu perbuatan. Contoh penumpang dan/ atau barang dari suatu tempat
kalimatnya “seorang jenderal yang bertanggung ke tempat lain dengan menggunakan berbagai
jawab (responsible) adalah mereka yang memegang jenis alat pengangkut mekanik yang diakui dan
tongkat komando perintah prajurit”. “Tanggung diatur undang-undang sesuai dengan bidang
jawab” di sini diartikan yang “memikul beban”. 14 angkutan dan kemajuan teknologi. 17 Selanjutnya,
Selanjutnya, tanggung jawab yang berarti transportasi (pengangkutan) memiliki tiga
liability memiliki arti sebagai kewajiban untuk dimensi pokok, yaitu pengangkutan sebagai
membayar uang atau melaksanakan jasa lain, usaha, pengangkutan sebagai perjanjian dan
kewajiban yang pada akhirnya harus dilaksana- pengangkutan sebagai proses. 18 Pengangkutan
kan. 15 UU tentang Penerbangan mendefinisikan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 19
tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban 1) berdasarkan suatu perjanjian;
perusahaan angkutan udara untuk mengganti 2) kegiatan ekonomi di bidang jasa;
kerugian yang diderita oleh penumpang dan/ 3) berbentuk perusahaan; dan
atau barang serta pihak ketiga. 16 Dengan demiki- 4) menggunakan alat angkut mekanik.
an, dapat diartikan tanggung jawab (liability)
Secara bahasa, transportasi berasal dari
adalah kewajiban membayar ganti kerugian yang
bahasa latin, yaitu transportare, trans berarti
14 seberang atau sebelah lain dan portare berarti
H.K. Martono, Hukum Angkutan Udara,
Berdasarkan UURI No. 1 Tahun 2009
17
tentang Penerbangan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hal. Muhammad Abdul Kadir, Arti Penting dan
215. Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di Indonesia,
15
Henry Campbell Black, Black’s Law Yogyakarta: Penerbit Genta Press, 2017, hal. 1.
18
Dictionary, Revised Fifth Edition, St. Muhammad Abdul Kadir, Hukum
Paul Minn: West Publisher.Co, 2014, hal. 306. Pengangkutan Niaga, Bandung: Penerbit Citra Aditya
16
Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 1 Bhakti, 2011, hal. 12.
19
Tahun 2009 tentang Penerbangan. Ibid.
237
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 233-252
mengangkut atau membawa. Dengan demikian, tempat ke tempat lain, sehingga pengangkut
transportasi berarti mengangkut atau membawa menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa
sesuatu ke sebelah lain atau dari suatu tempat ke bagi masyarakat yang membutuhkan untuk pe-
tempat lainnya. Hal ini berarti bahwa transport- mindahan atau pengiriman barang-barangnya. 23
asi merupakan jasa yang diberikan, guna Secara yuridis, definisi atau pengertian peng-
menolong orang atau barang untuk dibawa dari angkutan pada umumnya tidak ditemukan
suatu tempat ke tempat lain lainnya. Sehingga, dalam peraturan perundang-undangan di
transportasi dapat didefenisikan sebagai usaha Indonesia. Walaupun demikian, pengangkutan
dan kegiatan mengangkut atau membawa barang itu menurut hukum atau secara yuridis dapat di-
dan/ atau penumpang dari suatu tempat ke definisikan sebagai suatu perjanjian timbal balik
tempat lainnya. 20 antara pihak pengangkut dengan pihak yang
diangkut atau pemilik barang atau pengirim,
Pengangkutan sebagai perjanjian, pada
dengan memungut biaya pengangkutan.
umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi
selalu didukung oleh dokumen angkutan. Per- Adapun dalam ilmu hukum ekonomi
janjian pengangkutan dapat juga dibuat tertulis dikenal beberapa bentuk nilai dan kegunaan
yang disebut perjanjian carter, seperti carter suatu benda, yaitu nilai atau kegunaan benda
pesawat udara untuk pengangkutan jemaah haji berdasarkan tempat (place utility) dan nilai atau
dan carter kapal untuk pengangkutan barang kegunaan karena waktu (time utility). Kedua nilai
dagangan. Transportasi pada umumnya di- tersebut secara ekonomis akan diperoleh jika
lengkapi dengan perjanjian timbal balik antara barangbarang atau benda tersebut diangkut
pengangkut dan pengirim, dimana pengangkut ketempat dimana nilainya lebih tinggi dan dapat
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan dimanfaatkan tepat pada waktunya. Dengan
pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu demikian, pengangkutan memberikan jasa ke-
tempat ke tempat tujuan tertentu dengan pada masyarakat yang disebut ”jasa peng-
selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri angkutan”. 24
untuk membayar uang angkutan. 21
Menurut Sri Redjeki Hartono 25
Proses pengangkutan merupakan gerak dari pengangkutan dilakukan karena nilai barang
tempat asal dari mana kegiatan angkutan dimulai akan lebih tinggi di tempat tujuan daripada di
ke tempat tujuan di mana angkutan itu di- tempat asalnya, karena itu dikatakan peng-
akhiri. 22 Menurut Soegijatna Tjakranegara, peng- angkutan memberi nilai kepada barang yang
angkutan adalah memindahkan barang atau diangkut dan nilai ini lebih besar daripada biaya-
commodity of goods dan penumpang dari suatu biaya yang dikeluar-kan. Nilai yang diberikan
20
Ibid., hal. 86.
21 23
Lestari Ningrum, Usaha Perjalanan Wisata Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan
Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Barang dan Penumpang, Jakarta: Rineka Cipta, 1995,
Bakti, 2014, hal. 134. hal. 36.
22 24
Muchtarudin Siregar, Beberapa Masalah Sri Redjeki Hartono, Pengangkutan Dan
Ekonomi dan Managemen Pengangkutan, Jakarta: Hukum Pengangkutan Darat, Seksi Hukum Dagang,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Semarang: FH UNDIP, 2011, hal.8.
25
Indonesia, 1978, hal. 5. Ibid., hal. 19.
238
ANALISIS TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT PADA KECELAKAAN PESAWAT TERBANG
adalah berupa nilai tempat (place utility) dan nilai udara sebagai a machine which can derive support in
waktu (time utility). Nilai tempat (place utility) the atmosphere from the reactions of the air. Batasan
mengandung pengerti-an bahwa dengan adanya terakhir ini juga diterima dalam Konvensi
pengangkutan berarti terjadi perpindahan barang Chicago 1944 sebelum diadakan modifikasi pada
dari suatu tempat, dimana barang tadi dirasakan tahun 1967. Batasan pesawat udara (aircraft)
kurang berguna atau bermanfaat di tempat asal, dalam arti luas mencakup segala macam pesawat
akan tetapi setelah adanya pengangkutan nilai seperti pesawat terbang, kapal terbang, helicopter,
barang ter-sebut bertambah, bermanfaat dan pesawat terbang layang, dan balon udara yang
memiliki nilai guna bagi manusia. Oleh karena bebas dan dapat dikendalikan seperti yang
itu, apabila dilihat dari kegunaan dan manfaat- digunakan untuk bidang meterologi. 28 Berdasar-
nya bagi manusia maka barang tadi sudah kan batasan di atas, harus diperhatikan pula
bertambah nilainya karena ada pengangkutan. pengelompokan pesawat udara dalam Annex 7
Selanjutnya, nilai kegunaan waktu (time utility), International Civil Aviation Organization (ICAO) 29
dengan adanya pengangkutan berarti bahwa khususnya kelompok power driven heavier than air
dapat dimungkinkan terjadinya suatu perpindah- aircraft. 30
an barang dari suatu tempat ke tempat lainnya
Batasan yang tertera dalam Annex 7
dimana barang tersebut lebih diperlukan tepat
Konvensi Chicago 1944 yang dimodifikasi 1967
pada waktunya.
harus dilengkapi dengan batasan yang diterima
Sementara itu, menurut Rustian dalam Pasal XVI Konvensi Jenewa 1948
26
Kamaludin, pada dasarnya pengangkutan atau menyatakan “Aircraft shall include the aircraft,
transportasi atau perpindahan penumpang atau engines, propellers, radio apartus and all other articles
barang dengan transportasi adalah dengan intended for use in the aircraft whether installed
maksud untuk dapat mencapai tempat tujuan therein or temporarily separated therefrom”. Adapun
dan menciptakan atau menaikkan utilitas atau maksud dari pasal di atas yakni pembuat
kegunaan dari barang yang diangkut, yaitu Konvensi 1948 bermaksud untuk membatasi
utilitas karena tempat dan utilitas karena waktu. pengertian pesawat udara yang digunakan untuk
3. Konvensi Pesawat Terbang angkutan udara sipil atau civiele iuchtverkeer. Atas
dasar pengertian di atas, maka terdapat pe-
Pesawat terbang sipil (komersial) dan tidak
ngecualian terhadap balon kabel, balon bebas
termasuk pesawat udara negara, baik pesawat
dan pesawat layang, serta kapal terbang. 31
udara militer maupun yang lain tercakup dalam
pengertian state aircraft termasuk Konvensi
28
Chicago 1944 tentang Penerbangan Inter- John E. Alian, Aerodynamic, the science of oar in
motion, Second Edition, London: Gramedia, 2011,
nasional Sipil (Konvensi Chicago). 27 Batasan ini
hal. 118-160.
mulai digunakan sejak Konvensi Paris 1919 29
ICAO merupakan sebuah organisasi
(Konvensi Paris), yang menggambarkan pesawat penerbangan sipil internasional yang berperan dalam
penyelenggaraan penerbangan sipil internasional.
30
Ibid.
26 31
Ibid., hal. 23. Nederland dengan Besluit 22 Mei 1981,
27
Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 tentang Menetapkan alat-alat terbang yang tidak termasuk
Penerbangan Internasional Sipil. pengertian pesawat udara menurut Luchlvaart Wet 1958.
239
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 233-252
Selain itu, ada juga Konversi Warsawa, yang tercepat dengan cakupan yang luas karena me-
nama lengkapnya adalah “Convention for The miliki beberapa kelebihan, yakni di antaranya: 33
Unification of The Certain Rules Relating to 1. Sisi kecepatan.
Internasional Carriage by Air”, ditandatangani pada
2. Transportasi udara bisa mengantarkan
tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa dan
penumpang ke daerah pegunungan dan
berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September
berjurang-jurang.
1933. Konvensi ini antara lain mengatur hal
3. Bagi angkutan yang jaraknya cukup jauh,
pokok, yaitu pertama mengatur masalah
akan lebih efisien dalam hal mempersingkat
dokumen angkutan udara (chapter II article 3-16)
waktu di dalam perjalanan.
dan yang kedua mengatur masalah tanggung-
jawab pengangkut udara. 32 4. Tersedianya jadwal yang teratur dan
frekuensi penerbangan.
Konvensi Warsawa penting artinya karena
ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalam- Namun di luar dari aspek-aspek positif yang
nya dengan atau tanpa perubahan di beberapa menjadi keunggulannya, tidak jarang alat
negara dipergunakan pula bagi angkutan udara transportasi udara dapat menimbulkan korban
domestik, seperti di Inggris, Negeri Belanda, dan jiwa akibat kecelakaan yang ditimbulkannya.
Indonesia. Dengan demikian, maka setiap Adapun secara konsep, pada prinsipnya ke-
perubahan pada Konvensi Warsawa harus pula giatan pengangkutan udara merupakan hubung-
diikuti dengan seksama di Indonesia, an hukum yang bersifat perdata akan tetapi
karena perkembangan dalam hukum udara mengingat transportasi udara telah menjadi
perdata internasional akan berpengaruh pula kebutuhan masyarakat secara luas maka diperlu-
pada hukum udara perdata nasional di kan campur tangan pemerintah dalam kegiatan
Indonesia. Terutama ketentuan mengenai pengangkutan udara yaitu menentukan kebijak-
besarnya ganti rugi, baik untuk penumpang an-kebijakan atau regulasi yang berhubungan
maupun barang harus sama besarnya, ini berlaku dengan kegiatan pengangkutan udara sehingga
untuk penerbangan domestik maupun inter- kepentingan konsumen pengguna jasa transport-
nasional. asi udara terlidungi.
4. Konsep Pengangkutan Melalui Alat Secara teoritis, hubungan hukum meng-
Transportasi Udara hendaki adanya kesetaraan di antara para pihak.
Salah satu macam transportasi yang sangat Akan tetapi, dalam praktiknya hubungan hukum
diperlukan oleh manusia dalam pemenuhan tersebut sering berjalan tidak seimbang, terutama
kebutuhannya ketika berpergian jarak jauh yakni dalam hubungan hukum antara pelaku usaha
transportasi udara. Transportasi udara menjadi dan konsumen. Hal ini juga terjadi dalam
alat transportasi yang cukup mutakhir dan hubungan hukum antara perusahaan peng-
angkutan udara dengan konsumen atau pe-
32
Ahmad Zazili, Perlindungan Hukum Terhadap
33
Penumpang Pada Transportasi Udara Niaga Berjadwal Rustian Kamaluddin, Ekonomi Transportasi:
Nasional, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Karekteristik, Teori dan Kebijakan, Jakarta: Ghalia
Universitas Semarang, 2008, hal. 43. Indonesia, 2013, hal. 75.
240
ANALISIS TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT PADA KECELAKAAN PESAWAT TERBANG
numpang, dimana konsumen tidak mendapat- adalah tidak memberikan keselamatan dan
kan hak-haknya dengan baik. keamanan penerbangan kepada penumpang,
yaitu berupa terjadinya kecelakaan pesawat yang
Pengaturan mengenai hak dan kewajiban mengakibatkan penumpang meninggal dunia
pihak pengangkut dan pihak pengguna jasa atau dan/atau cacat, keterlambatan penerbangan atau
penumpang dituangkan dalam suatu dokumen “delay”, informasi yang tidak jelas tentang produk
jasa yang ditawarkan dan lain-lain. Dengan
perjanjian pengangkutan. Dalam rangka me-
demikian, untuk memahami permasalahan ini,
lindungi hak dan kewajiban para pihak yang diperlukan KUHPerdata dan UU tentang
melakukan perjanjian diperlukan pemenuhan Penerbangan guna saling memperkuat hak
syarat-syarat seperti yang tertuang dalam Pasal penumpang.
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Sebagai lex specialis dari KUHPerdata,
(KUHPerdata) yang menyatakan bahwa untuk Undang-Undang tentang Penerbangan sangat
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat mungkin menegasikan ketentuan Pasal 1365
yaitu: 34 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Tiap
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa
a. kesepakatan mereka yang mengikatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
diri; menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
untuk menggantikan kerugian tersebut.” Dengan
b. kecakapan untuk membuat suatu
demikian pihak di luar pengangkut dapat dengan
perikatan; mudah menampik gugatan kesalahan terhadap-
c. suatu pokok persoalan tertentu; dan nya. Pasal 1365 KUHPerdata secara konsep
mengenai berbicara mengenai perbuatan me-
d. suatu sebab yang tidak terlarang.
lawan hukum, dimana secara umum perbuatan
Adapun ketika penumpang telah membeli ini mencakup berbuat sesuatu (dalam arti aktif)
tiket untuk melakukan kegiatan penerbangan dan tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif),
maka saat itu juga penumpang telah mengikat- misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal pelaku
kan diri terhadap ketentuan-ketentuan yang mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat,
terdapat pada tiket pesawat dan mendapatkan kewajiban itu timbul dari hukum. (ada pula
perlindungan dalam pemanfaatan jasa pe- kewajiban yang timbul dari suatu kontrak).
nerbangan. Namun karena murahnya tiket yang Dalam perbuatan melawan hukum ini , harus
diberikan oleh pihak maskapai, sering meng- tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat
akibatkan kesalahan teknis dari pihak maskapai serta tidak ada pula unsur kausa yang diper-
dan sering tidak bertanggungjawab dalam kerugi- bolehkan seperti yang terdapat dalarn suatu
an penumpang tersebut dan dapat dikatakan perjanjian kontrak. 36
sebagai bentuk wanprestasi perjanjian dalam hal Pasal 141 ayat (1) UU tentang Penerbangan
ini. 35
menyatakan bahwa “Pengangkut bertanggung jawab
Beberapa kasus yang dapat dikategorikan atas kerugian penumpang yang meninggal dunia,
sebagai bentuk wanprestasi oleh pengangkut
cacat tetap, atau luka-luka yangdiakibatkan kejadian
34
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum angkutan udara di dalam pesawatdan/atau naik
Perdata. turun pesawat udara”. Merujuk Pasal 141 UU
35
Dwi Setiya Arumnandiya, Achmad Busro,
Dewi Hendrawati, Wanprestasi Dalam Perjanjian
36
Transportasi udara Melalui Cara Carter Pesawat Antara M.A. Moegni Djojodordjo, Perbuatan
CV. Saka Export Dengan PT. Lion Air, Diponegoro Law Melawan Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997,
Journal, Volume 5 Nomor 3 Tahun 2016, hal. 7. hal.68.
241
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 233-252
tentang Penerbangan yang hanya membebankan liability yang hanya memperhitungkan kausalitas
kesalahan dan ganti kerugian kepada peng- antara cacat desain dengan kerugian yang timbul
angkut, tentu telah melanggar hak atas kepastian tanpa harus memperhitungkan kesalahan
hukum yang adil dan persamaan di hadapan (kesengajaan), dengan tetap mengajukan gugatan
hukum berdasarkan Pasal 28D ayat (1) Undang- kepada pengadilan.
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
B. Analisis Tanggung Jawab Hukum
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). UU Pengangkut pada Kecelakaan Pesawat
tentang Penerbangan telah memuat pembatasan Terbang Dari Perspektif UU tentang
hak (berupa ganti kerugian) yang tidak Penerbangan
proporsional karena hanya dibebankan kepada Penulis sebelum menganalisis lebih dalam
pengangkut. Hak ini terlanggar karena pihak tentu perlu memberikan gambaran berfikir
yang dinyatakan bersalah secara sah berdasarkan yakni, dalam setiap undang-undang yang dibuat
hukum akan selalu merujuk kepada pengangkut, pembentuk undang-undang, biasanya memiliki
padahal bisa jadi sebenarnya pihak lain yang ide dasar yang mendasari diterbitkannya undang-
bersalah. Hal ini menunjukan relasi yang undang tersebut. Ide dasar ini umumnya
timpang antara pihak pengangkut dan pihak tercermin dalam asas hukum yakni merupakan
lainnya. Adanya pertanggungjawaban yang di- fondasi suatu undang-undang dan peraturan
bebankan kepada pembuat pesawat pada pelaksananya. Bila asas-asas dikesampingkan,
dasarnya bukanlah sebuah khayalan atau sesuatu maka runtuhlah bangunan undang-undang itu
yang belum pernah terlaksana. Di negara-negara dan segenap peraturan pelaksananya. 38 Adapun
lain, seperti di Eropa dan Amerika Serikat, dalam Pasal 2 UU tentang Penerbangan telah
terdapat pengaturan yang menyatakan bahwa dijabarkan asas yakni sebagai berikut:
pihak-pihak selain pengangkut dapat digugat ke
Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas:
pengadilan, khususnya pembuat pesawat.
Misalnya, di Amerika Serikat terdapat The a. manfaat;
General Aviation Revitalization Act of 1994 b. usaha bersama dan kekeluargaan;
(GARA). 37 c. adil dan merata;
d. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
Pasal 141 ayat (2) dan ayat (3) UU tentang
e. kepentingan umum;
Penerbangan sejatinya bahkan menjerat pihak-
f. keterpaduan;
pihak di luar pengangkut, seperti misalnya pem-
g. tegaknya hukum;
buat pesawat. Dengan demikian maka pembuat
h. kemandirian;
pesawat harus bertanggung jawab atas kecelakaan i. keterbukaan dan anti monopoli;
pesawat yang diakibatkan oleh desain pesawat j. berwawasan lingkungan hidup;
(dengan penilaian-penilaian tertentu, misalnya k. kedaulatan negara;
apakah terdapat desain lain yang masuk akal l. kebangsaan; dan
dengan biaya yang wajar sehingga dapat m. kenusantaraan.
mengurangi risiko kecelakaan atau tidak).
Pertanggungjawaban dilaksanakan dengan strict 38
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan
Tindak Pidana Korporasi, Jakarta: Ghalia Indonesia,
37
General Aviation Revitalization Act of 1994. 2012, hal. 25.
242
ANALISIS TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT PADA KECELAKAAN PESAWAT TERBANG
Lebih lanjut mengenai asas, Mertokusumo (1) Pengangkut bertanggung jawab atas
memberikan ulasan asas hukum sebagai kerugian penumpang yang meninggal
berikut: 39 dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang
diakibatkan kejadian angkutan udaradi
bahwa asas hukum bukan merupakan hukum
dalam pesawat dan/atau naik turun
kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar
pesawat udara.
yang umum dan abstrak, atau merupakan
latar belakang peraturan yang kongkrit yang (2) Apabila kerugian sebagaimana dimaksud
terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem pada ayat (1) timbul karena tindakan
hukum yang terjelma dalam peraturan sengaja atau kesalahan dari pengangkut
perundang-undangan dan putusan hakim atau orang yang dipekerjakannya,
yang merupakan hukum positif dan dapat pengangkut bertanggung jawab atas
diketemukan dengan mencari sufatsifat atau kerugian yang timbul dan tidak dapat
ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit mempergunakan ketentuan dalam
tersebut. undangundang ini untuk membatasi
tanggung jawabnya.
Adapun dalam Pasal 2 UU tentang Pe-
nerbangan tersebut terdapat asas manfaat serta (3) Ahli waris atau korban sebagai akibat
adil dan merata, keduanya merupakan asas yang kejadian angkutan udara sebagaimana
jelas mengedepankan adanya tanggungjawab dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan
dalam pelaksanaan penerbangan. penuntutan ke pengadilan untuk
mendapatkan ganti kerugian tambahan
Lebih lanjut, tanggung jawab hukum ke-
selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.
celakaan penerbangan dalam UU tentang Pe-
nerbangan terletak pada pihak pengangkut, baik Dilihat dari ketentuan itu, terlihat bahwa
tanggung jawab tersebut adalah tanggung jawab tanggung jawab dalam dunia penerbangan lebih
terbatas (limited lialibility) yang berdasarkan pada berat terletak pada hukum perdata. Ini dikarena-
tanggung jawab praduga bersalah (presumption of kan dunia penerbangan sangat menghindari
liability) serta tanggung jawab tanpa bersalah pemidanaan untuk menjaga iklim industri
(liability without fault) atau pun tanggung jawab penerbangan (misalnya agar pilot tidak takut
tidak terbatas (unlimited liability) yang ber- untuk mengoperasikan pesawat) serta karena
dasarkan pada tanggung jawab atas dasar kesalah- kecelakaan penerbangan yang disebabkan
an yang disengaja (based on fault liability/wilfull probable cause (banyak sekali sebab) menyulitkan
misconduct). 40 Semua hal tersebut, tercantum penentuan siapa yang patut dianggap bersalah
dalam Pasal 141 UU tentang Penerbangan yang untuk dipidana. 41 Oleh karena itu, kita dapat
terdiri dari 3 (tiga) ayat, yakni sebagai berikut: melihat UU tentang Penerbangan tidak terlalu
banyak membahas pemidanaan di dalamnya.
39
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum:
41
Suatu Pengantar, Jakarta: Liberty, 1996, hal. 5-6. Atip Latipulhayat, The Function and Purpose of
40
K. Martono and Agus Pramono, Hukum Aircraft Accident, Jurnal Mimbar Hukum Volume 27
Udara Perdata Internasional Dan Nasional, hal. 23. Nomor 2, 2015, hal. 315-317.
243
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 233-252
Adapun untuk mengetahui lebih lanjut Makna dari “perbuatan melawan hukum”
tentang tanggung jawab pengangkut transportasi, tidak hanya perbuatan aktif tetapi juga perbuatan
penulis perlu memberitahukan bahwa terdapat 3 pasif, yaitu meliputi tidak berbuat sesuatu dalam
(tiga) prinsip dalam menentukan tanggung jawab hal yang seharusnya menurut hukum orang yang
pengangkut, yakni: 42 harus berbuat. Penetapan ketentuan pasal 1365
KUHPerdata ini memberi kebebasan kepada
1) Prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan
penggugat atau pihak yang dirugikan untuk
(the based on fault atau liability based on fault
principle); membuktikan bahwa kerugian itu timbul akibat
perbuatan melanggar hukum dari tergugat.
2) Prinsip tanggungjawab atas dasar praduga
(rebuttable presumption of liability principle); Sedangkan aturan khusus mengenai tanggung
jawab pengangkut berdasarkan prinsip kesalahan
3) Prinsip tanggungjawab mutlak (no fault,
atau strict liability, absolute liability principle). biasanya ditentukan dalam undang-undang yang
mengatur masing-masing jenis pengangkutan.
Prinsip yang pertama, Prinsip tanggungjawab
atas dasar kesalahan (the based on fault atau Prinsip yang kedua, yaitu prinsip tanggung-
liability based on fault principle). Dalam ajaran ini jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of
bahwa dalam menentukan tanggung jawab peng- liability principle), menurut prinsip ini tergugat
angkutan di dasarkan pada pandangan bahwa dianggap selalu bersalah kecuali tergugat dapat
yang membuktikan kesalahan pengangkut adalah membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau
pihak yang dirugikan atau penggugat. Dalam dapat mengemukakan hal-hal yang dapat
hukum positif Indonesia, prinsip ini membebaskan dari kesalahan. Jadi dalam prinsip
dapat menggunakan pasal 1365 KUHPerdata, ini hampir sama dengan prinsip yang pertama,
yang sangat terkenal dengan pasal perbuatan me- hanya saja beban pembuktian menjadi terbalik
lawan hukum (onrecht matigedaad). 43 Menurut yaitu pada tergugat untuk membuktikan bahwa
konsepsi pasal ini mengharuskan pemenuhan tergugat tidak bersalah.
unsur-unsur untuk menjadikan suatu perbuatan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
melanggar hukum dapat dituntut ganti rugi, Dagang (KUH Dagang), prinsip tanggung jawab
yaitu antara lain: 44 atas dasar praduga bersalah dapat ditemukan
1) adanya perbuatan melawan hukum dari dalam Pasal 468 KUH Dagang yang menyatakan:
tergugat; perjanjian pengangkutan menjanjikan peng-
2) perbuatan tersebut dapat dipersalahkan angkut untuk menjaga keselamatan barang
kepadanya; dan yang harus diangkut dari saat penerimaan
3) adanya kerugian yang diderita akibat sampai saat penyerahannya. Pengangkut harus
kesalahan tersebut. mengganti kerugian karena tidak menyerah-
kan seluruh atau sebagian barangnya atau
karena ada kerusakan, kecuali bila Ia mem-
42
K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional
buktikan bahwa tidak diserahkannya barang
dan Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2017, hal. 146. itu seluruhnya atau sebagian atau kerusak-
43
Ibid., hal. 147. annya itu adalah akibat suatu keiadian yang
44
Ibid.
244
ANALISIS TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT PADA KECELAKAAN PESAWAT TERBANG
selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindari- pihak yang bisa bertanggung jawab (dalam
nya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu konteks pertanggungjawaban perdata) telah
cacat barangnya sendiri atau akibat kesalahan konstitusional? Jika merujuk kepada apa yang
pengirim. Ia bertanggung jawab atas tindakan telah dibahas sebelumnya, dapat dilihat bahwa
orang yang dipekerjakannya, dan terhadap seluruh ganti kerugian dilaksanakan oleh pihak
benda yang digunakannya dalam peng- pengangkut. Jika dalam rangka untuk
angkutan itu. melindungi hak korban, keluarga, hingga pihak
ketiga, maka ganti kerugian oleh pihak
Prinsip yang ketiga, prinsip tanggung jawab
pengangkut menjadi wajar diatur karena pihak
mutlak (no fault, atau strict liability, absolute liability
yang langsung melaksanakan kegiatan pe-
principle). Menurut prinsip ini, bahwa pihak yang
nerbangan, pengoperasian pesawat udara, hingga
menimbulkan kerugian dalam hal ini tergugat
membuat dan melaksanakan perjanjian peng-
selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau
angkutan penumpangserta pengiriman kargo
tidak adanya kesalahan. atau tidak milihat siapa
adalah pihak pengangkut atau maskapai. Dalam
yang bersalah atau suatu prinsip pertanggung-
konsep tanggung jawab praduga tak bersalah dan
jawaban yang memandang kesalahan sebagai
tanpa bersalah, pihak pengangkut berada di
suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan
posisi yang harus selalu bertanggung jawab dan
apakah pada kenyataannya ada atau tidak ada.
merupakan konsekuensi logis untuk menjamin
Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung
kepastian hukum bagi pihak korban, keluarga,
jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan
hingga pihak ketiga.
kerugian bagi penumpang atau pengirim barang.
Prinsip ini dapat dirumuskan dalam kalimat Adapun pengertian tanggung jawab menurut
pengangkut bertanggung jawab atas setiap Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan
kerugian yang timbul karena peristiwa apapun wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ter-
dalam penyelenggaraan pengangkutan. jadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diper-
karakan, dan sebagainya). Pengaturan mengenai
Dalam perundang-undangan mengenai peng
tanggung jawab seperti kita ketahui diatur di
angkutan, prinsip tanggung jawab mutlak tidak
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
diatur. Hal ini tidak mungkin diatur karena
yang mana telah tercantum dalam Pasal 1365
alasan bahwa pengangkut yang berusaha di
hingga Pasal 1367 KUHPerdata. Adapun jika
bidang jasa angkutan tidak perlu dibebani
Pasal 1365 KUHPerdata pada pokoknya berisi
dengan risiko yang terlalu berat. Namun tidak
mengenai perbuatan melawan hukum, Pasal
berarti para pihak tidak boleh menggunakan
1367 KUHPerdata pada pokoknya berisi
prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan, hal
tanggung jawab atas kerugian. Pasal 1367
tersebut berdasarkan asas perjanjian yang bersifat
KUHPerdata itu sendiri adalah sebagai berikut:
kebebasan berkontrak. 45
Seseorang tidak hanya bertanggung jawab,
Selanjutnya, berdasarkan seluruh pisau
atas kerugian yang disebabkan perbuatannya
analisis yang ada maka pertanyaannya, apakah
sendiri, melainkan juga atas kerugian yang
menempatkan pengangkut sebagai satu-satunya
disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang
45
Ibid., hal. 148-149. yang menjadi tanggungannya atau disebabkan
245
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 233-252
246
ANALISIS TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT PADA KECELAKAAN PESAWAT TERBANG
Berdasarkan sejumlah hal di atas, penulis c. Jumlah ganti kerugian untuk pihak ketiga
berpendapat juga bahwa dalam kasus jatuhnya yang menderita luka-Iuka dan harus
pesawat Boeing 737 Max 8 Lion Air JT 610 menjalani perawatan di rumah sakit, klinik
karena merupakan penerbangan domestik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat
mengingat rutenya menghubungkan dua titik inap danjatau rawatjalan ditetapkan paling
dalam suatu negara. Maka hukum nasional banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta
hidup, bukan konvensi internasional, baik rupiah) per orang;
Konvensi Warsawa 1929 maupun Konvensi d. jumlah ganti kerugian untuk kerusakan
Montreal 1999. Permenhub No. 77 Tahun 2011 barang milik pihak ketiga hanya ter-hadap
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU kerugian yang secara nyata diderita
tentang Penerbangan juga menjadi acuan berdasarkan penilaian yang layak, sebagai
pemberian kompensasi bagi keluarga korban berikut:
sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Permenhub 1) untuk pesawat udara dengan kapasitas
No. 77 Tahun 2011 yang menyatakan sebagai sampai dengan 30 (tiga puluh) tempat
berikut: duduk, paling banyak Rp. 50. 000. 000.
000, 00 (lima puluh miliar rupiah);
Jumlah ganti kerugian untuk pihak ketiga yang 2) untuk pesawat udara dengan kapasitas
meninggal dunia, cacat tetap, luka-Iuka dan lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk
kerugian harta benda sebagai akibat dari sampai dengan 70 (tujuh puluh) tempat
peristiwa pengoperasian pesawat udara, duduk, paling banyak Rp. 100. 000. 000.
kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda- 000, 00 (seratus miliar rupiah);
benda dari pesawat udara yang dioperasikan 3) untuk pesawat udara dengan kapasitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f lebih dari 70 (tujuh puluh) tempat duduk
ditetapkan sebagai berikut: sampai dengan 150 (seratus lima puluh)
tempat duduk, paling banyak Rp. 175.
a. Meninggal dunia diberikan ganti rugi
000. 000. 000 ,00 (seratus tujuh puluh
sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
lima miliar rupiah);
rupiah) per orang;
4) untuk pesawat udara dengan kapasitas
b. Pihak ketiga yang mengalami cacat tetap,
lebih dari 150 (seratus lima puluh)
meliputi:
tempat duduk, paling banyak Rp. 250.
1) pihak ketiga yang dinyatakan cacat tetap
000. 000. 000, 00 (dua ratus lima puluh
total oleh dokter dalam jangka waktu
miliar rupiah).
paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja
sejak terjadinya kecelakaan diberi-kan Adapun di dalam Negara Indonesia terdapat
ganti kerugian sebesar Rp. 750. 000. 000, 2 (dua) macam hukum yang berlaku di Indonesia
00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yaitu penerbangan luar negeri dan penerbangan
per orang; dalam negeri. Untuk penerbangan luar negeri
2) pihak ketiga yang dinyatakan cacat tetap terdapat 11 konvensi yang terkait dengan
sebagian oleh dokter dalam jangka waktu penerbangan atau angkutan udara yang telah
paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja diratifikasi di Indonesia yaitu Konvensi Tokyo,
sejakterjadinya kece1akaan diberikan Konvensi Warsawa 1929, Konvensi Den Haag
ganti kerugian sebagaimana termuat
dan lain-lainnya. Sedangkan untuk dalam negeri
dalam Lampiran Peraturan ini.
247
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 233-252
ada UU tentang Penerbangan dan juga beberapa berjudul Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat
peraturan turunannya. Begitu juga peraturan Udara, Bab 8 berjudul Kelaikudaraan dan
yang terkait ketika terkait dengan ganti kerugian Pengoperasian Pesawat Udara, dan Bab 9
seperti misalnya Undang-Undang Nomor 33 berjudul Kepentingan Internasional Atas Objek
Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Pesawat Udara. Kesemua ketentuan yang
Kecelakaan Penumpang yang dibayarkan oleh terkandung dalam ketiga bab tersebut me-
Jasa Raharja. rupakan ketentuan yang diadopsi dari ketentuan
hukum udara internasional. Dapat dikatakan
Lebih lanjut, terkait pokok bahasan yakni
bahwa pengaturan keselamatan dunia penerbang-
UU tentang Penerbangan, sebenarnya pe-
an Indonesia saat ini telah mengacu kepada
nerbangan sebagai salah satu unsur dari trans-
ketentuan penerbangan Internasional, termasuk
portasi harus dikelola secara terpadu sehingga
dalam hal ini acuan terkait tanggung jawab
dapat memenuhi unsur keselamatan dan
pengangkut bilamana terjadi kecelakaan pesawat
keamanan yang semaksimal mungkin. Pasal 10
terbang. Oleh karenanya, jika dimungkinkan ke
ayat (1), ayat (2), dan ayat (7) UU tentang
depan Indonesia dapat membuat UU tentang
penerbangan telah memberikan kewenangan
Penerbangan yang lebih sempurna lagi tentunya
kepada pemerintah untuk membina pe-
dengan mengikuti perkembangan konvensi
nerbangan di Indonesia. Salah satu poin penting
internasional.
yang terdapat di dalam UU tentang Penerbangan
adalah pernyataan mengenai keanggotaan III. Penutup
indonesia dalam ICAO. Dalam penjelasan UU
Penulis dalam bagian penutup ini mem-
tentang Penerbangan, dikatakan bahwa
punyai simpulan dan saran sebagai berikut:
Indonesia (dalam hal ini adalah pemerintah)
memiliki kewajiban untuk menyelaraskan A. Simpulan
pengaturan sistem penerbangannya dengan Berdasarkan pembahasan yang telah ditulis-
ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalam kan di atas, tanggung jawab hukum pengangkut
konvensi Chicago 1944. Dengan adanya pada kecelakaan pesawat terbang dari sudut
ketentuan ini, terdapat satu kejelasan bahwa pandang UU tentang Penerbangan terdapat
pengaturan sistem penerbangan di Indonesia dalam Pasal 141 UU tentang Penerbangan.
diharuskan untuk mengacu pada ketenttuan Tanggung jawab hukum pengangkut ini ada
internasional. Selain itu, penataan terhadap karena pengangkut berada di posisi yang harus
ketentuan ICAO oleh Indonesia merupakan selalu bertanggung jawab dan merupakan
suatu konsekuensi logis dari keikutsertaan konsekuensi logis untuk menjamin kepastian
Indonesia dalam konvensi Chicago 1944 yang hukum bagi pihak korban, keluarga, hingga
melahirkan ICAO. pihak ketiga. Dalam hal ini juga tanggung jawab
UU tentang Penerbangan terdiri dari 15 Bab yang ada berarti pengangkut wajib menanggung
dan 76 Pasal. Dari jumlah tersebut, ketentuan segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh
yang secara langsung berkaitan dengan dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan se-
keselamatan penerbangan terdapat dalam Bab 7 bagainya). Adapun hal ini juga selaras dengan
hingga Bab 9 yang terdiri dari 18 Pasal. Bab 7 pengaturan mengenai tanggung jawab seperti kita
248
ANALISIS TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT PADA KECELAKAAN PESAWAT TERBANG
249
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 233-252
250
ANALISIS TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT PADA KECELAKAAN PESAWAT TERBANG
251
PRODIGY Volume 9, Nomor 1, Juli 2021: 233-252
252
PEDOMAN/PANDUAN PENULISAN NASKAH JURNAL PERUNDANG-
UNDANGAN PRODIGY
1) Naskah yang dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah di bidang peraturan perundang-undangan
seperti hasil pengumpulan data, survei, hipotesis, kajian teori, studi kepustakaan, saduran buku,
dan gagasan kritis konseptual yang bersifat objektif, sistematis, analisis dan deskriptif.
2) Naskah yang dikirim berupa karya tulis asli yang belum pernah dimuat atau dipublikasikan di
media lain.
3) Naskah diketik 1,5 (satu koma lima) spasi di atas kertas A4 dengan huruf Bookman Old Style
ukuran 12 (dua belas).
4) Panjang naskah minimal 25 (dua puluh lima) halaman dan maksimal 35 (tiga puluh lima)
halaman (termasuk daftar pustaka).
5) Penulisan menggunakan bahasa Indonesia baku, lugas, sederhana dan mudah dipahami serta
tidak mengandung makna ganda.
6) Pokok pembahasan atau judul penulisan berupa kalimat singkat dan jelas dengan kata atau frasa
kunci yang mencerminkan tulisan.
7) Redaksi berhak mengubah teknik penulisan (redaksional) tanpa mengubah arti.
8) Redaksi dapat mengusulkan perubahan substansi.
9) Cara penulisan penyingkatan:
a. Singkatan untuk nama undang-undang, UU tentang nama singkat/sebutan undang-undang
seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) atau Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU tentang Nakeswan).
b. Singkatan untuk nama undang-undang yang terlalu panjang termasuk undang-undang
perubahan, singkatan dengan menyebut nomor undang-undang, seperti Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU
No.10 Tahun 2016).
c. Singkatan untuk peraturan pelaksana, singkatan dengan menyebut nomor peraturan seperti
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pelayanan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (PP No.11 Tahun 2016).
d. Konsistensi penyingkatan dalam seluruh penulisan.
e. Penyingkatan peraturan perundang-undangan dimulai di batang tubuh tulisan.
10) Penulisan kutipan langsung lebih dari 4 (empat) baris, ditulis menjorok ke dalam, satu ketuk,
spasi 1 (satu), dan ukuran huruf 12 (dua belas).
11) Penulisan kutipan langsung kurang dari 4 (empat) baris, ditulis langsung (tidak menjorok) dan
diawali dan diakhiri dengan tanda kutip.
12) Pengiriman naskah dilengkapi dengan alamat e-mail untuk korespondensi. Alamat e-mail
korespondensi penulis harus sesuai dengan e-mail yang digunakan untuk mengirim naskah dan
harus e-mail pemilik naskah.
253
13) Metode penulisan disesuaikan dengan tulisan ilmiah dan ejaan Bahasa Indonesia yang
disempurnakan yang secara garis besar sebagai berikut:
a. Judul dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
b. Nama Penulis (unit kerja, nama instansi, dan alamat korespondensi/alamat email penulis).
c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (ditulis dalam 1 (satu) paragraf
dengan 1 (satu) spasi, ukuran huruf 10 (sepuluh), jumlah kata minimal 100 (seratus) dan
maksimal 250 (dua ratus lima puluh) kata.
d. Kata kunci minimal 3 (tiga) dan maksimal 5 (lima) kata terpenting dalam makalah yang
dicantumkan di bawah abstrak.
e. Sistematika penulisan ditulis sebagai berikut:
JUDUL
(TITLE)
Penulis
Jabatan
Instansi
*Korespondensi: e-mail
Abstrak
Abstrak merupakan penyajian uraian ringkas, cermat, dan menyeluruh dari isi tulisan
yang berfungsi untuk memberikan gambaran ringkas tentang isi tulisan dan disusun
sedemikian rupa untuk menggugah pembaca. Penulis hendaknya memperhatikan
ketentuan penulisan abstrak termasuk dalam pemilihan kata yang efisien dan tepat,
menggunakan bahasa baku dan komunikatif, penyusunan kalimat yang syarat makna dan
penataan kalimat menjadi sebuah paragraf yang koheren. Abstrak ditulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris yang terdiri atas satu paragraf dengan maksimum 250 kata,
informasi dalam abstrak mencakup latar belakang, masalah, tujuan, metode penulisan,
hasil, dan kesimpulan. (Book oldman style, 10, spasi tunggal).
Kata kunci: minimal tiga kata dan maksimal lima kata terpenting dalam makalah
(Bookman Old Style 10, spasi tunggal)
Abstract
Abstract is a brief description of the presentation, a careful and thorough the paper that gives
a quick overview of the paper and arranged in such a way to arouse the reader. The author
should consider the abstract provisions consisting the selection of efficient and precise words,
using the standard language and communicative. the sentence structure and meaning is
written in a coherent paragraph. Abstract is written in Bahasa and English which consists of
a single paragraph with a maximum of 250 words, including the information of background,
formulation of the problem, purposes, writing methods/approach, results, and conclusions.
(Book style oldman, 10, single spaced).
Keywords: Minimum three words and maximum five words of most important words in the
paper
DAFTAR PUSTAKA
254
f. Penulisan kutipan menggunakan sistem catatan kaki (footnote), yang ditulis menjorok 1 (satu)
ketuk, masuk ke dalam, huruf Bookman Old Style, ukuran 10 (sepuluh), paragraf single,
dengan mengikuti pedoman sebagai berikut:
Peraturan Perundang-Undangan
Contoh:
3
Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Putusan Pengadilan
Contoh:
4
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, hal. 4.
Buku
Contoh:
1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992,
hal. 21.
Sumber kutipan berikutnya yang menunjuk kepada sumber yang telah disebut dalam catatan
kaki di atasnya, menggunakan Ibid (jika halaman sama) atau Ibid., hal. 35 (jika berbeda
halaman).
Penulisan sumber kutipan yang telah disebut sebelumnya dan telah disisipi sumber kutipan
lain, sebagai berikut:
Contoh:
7
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 53.
Jika kutipan berasal dari sumber kedua maka mengikuti pedoman sebagai berikut:
255
Nama Penulis/Pengarang asal dalam nama Penulis/Pengarang yang bukunya dikutip,
judul buku yang dikutip, Tempat Terbit buku yang dikutip: Penerbit, tahun, halaman.
Contoh:
John Rawls dalam Munir Fuady, Bisnis Kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 60.
Jurnal
Nama Penulis/Pengarang, Judul Tulisan, Nama Jurnal, Volume dan tahun, halaman.
Contoh:
8
Oksidelfa Yanto, Tindak Pidana Pemalsuan Uang Kertas Dalam Perspektif Hukum Pidana
Indonesia, Prodigy: Jurnal Perundang-undangan, Vol. 5 No.1, Juli 2017, hal. 29.
Terjemahan
Contoh:
9
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi (Law and
Society in Transition: Toward Responsive Law), diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco, Jakarta:
HuMa, 2003, hal. 51.
Harian/Surat Kabar
Contoh:
2
Robert Endi Jaweng, Korupsi dan Revisi UU Pemda, Harian Media Indonesia, Jumat, 24
Januari 2014, hal. 9.
256
Tim Naskah Akademik RUU Paten, Laporan Akhir Naskah Akademik RUU Paten Tahun
2008, BPHN-Kemenkumham, Maret 2015, hal. 3.
Laman
Nama Penulis, Judul Tulisan, dimuat dalam http..., diakses tanggal bulan tahun.
Contoh:
4
John Ferry Situmeang, Quo Vadis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dimuat dalam
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52652eaab3489/iquo-vadis-i-mahkamah-
konstitusi-republik-indonesia-broleh--john-ferry-situmeang--sh-, diakses tanggal 27 Januari
2014.
14) Isi, materi, dan susbtansi tulisan merupakan tanggung jawab penulis.
15) Setiap naskah bebas menggunakan referensi dari buku dan jurnal dari tahun berapapun akan
tetapi setiap naskah wajib menggunakan minimal 10 referensi dari buku dan jurnal, baik cetak
maupun online dengan ketentuan menggunakan pustaka terbitan 10 tahun terakhir (minimal
tahun 2011) yang digunakan sebagai sumber kutipan di footnote dan daftar pustaka.
16) Daftar pustaka ditulis menjorok 1 (satu) ketuk pada baris ke 2 (dua), huruf Bookman Old Style,
ukuran 12 (dua belas), dengan mengikuti pedoman sebagai berikut:
Peraturan Perundang-undangan
Contoh:
Putusan Pengadilan
Contoh:
Buku
Nama Penulis/Pengarang (jika nama terdiri dari dua kata atau lebih, nama belakang diletakkan di
depan). Judul Buku. Tempat terbit: Penerbit, tahun.
Contoh:
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
257
Jurnal
Contoh:
Yanto, Oksidelfa. Tindak Pidana Pemalsuan Uang Kertas Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia.
Prodigy: Jurnal Perundang-undangan, Vol. 5 No.1, Juli 2017.
Terjemahan
Nama Penulis/Pengarang. Judul Tulisan (Buku), diterjemahkan oleh... . Tempat terbit: Penerbit,
tahun.
Contoh:
Nonet, Philippe dan Philip Selznick. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi (Law and Society in
Transition: Toward Responsive Law), diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco. Jakarta: HuMa,
2003.
Harian/Surat Kabar
Nama Penulis/Pengarang. Judul Tulisan. Nama Harian/Surat Kabar, Hari, Tanggal Bulan Tahun.
Contoh:
Jaweng, Robert Endi. Korupsi dan Revisi UU Pemda. Harian Media Indonesia, Jumat, 24 Januari
2014.
Contoh:
Tim Naskah Akademik RUU Paten. Laporan Akhir Naskah Akademik RUU Paten Tahun 2008.
BPHN-Kemenkumham, Maret 2015.
Laman
Nama Penulis. Dimuat dalam Judul Tulisan. http ..., diakses Tanggal Bulan Tahun.
Contoh:
Situmeang, John Ferry. Quo Vadis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Dimuat dalam
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52652eaab3489/iquo-vadis-i-mahkamah-
konstitusi-republik-indonesia-broleh--john-ferry-situmeang--sh-, diakses tanggal 27 Januari
2014.
258