ii
Klaster Persyaratan Ivestasi .............................................................................. 35
Klaster Ketenagakerjaan ................................................................................... 39
Klaster Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMKMP .............. 42
Klaster Kemudahan Berusaha ........................................................................... 44
Klaster Dukungan Riset dan Inovasi ................................................................ 46
Klaster Pengadaan Lahan .................................................................................. 47
Klaster Kawasan Ekonomi ................................................................................. 47
Klaster Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Pemerintah ... 49
Klaster Administrasi Pemerintah ...................................................................... 51
Sanksi Pidana dan Administratif ...................................................................... 53
BAB 3: PENUTUP .............................................................................................. 58
Kritik dan Saran ................................................................................................. 58
BAB 4: DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 62
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Pudjo Rahayu Risan, Ayo Semarang.com: Pro kontra Omnibus Law,
https://www.ayosemarang.com/read/2020/03/12/53549/pro-kontra-omnibus-law, diakses pada
24 Juli 2020
1
Awal tahun 2020 pemerintah tengah mempersiapkan RUU Cipta Kerja
dengan menggunakan konsep omnibus law.2 RUU yang sedang di persiapkan
oleh pemerintah ini dimaksudkan untuk menarik investor agar menanamkan
modalnya di Indonesia guna meningkatkan kualitas sektor perekonomian
negara. Pemerintah sendiri memandang perlu adanya RUU Cipta Kerja ini
karena tingginya angka pengangguran di Indonesia yang mencapai 7 juta jiwa
sehingga diharapkan RUU ini mampu membuka lapangan kerja baru.3 Selain
itu guna untuk menyokong pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang selama lima
tahun terakhir berkisar di angka 5%, dan perlu adanya pertumbuhan yang lebih
tinggi untuk mencapai Visi Indonesia di 2045.4 Sejatinya pemerintah telah
melakukan berbagai upaya peningkatan kesejahteraan tenaga kerja antara lain
melalui berbagai program seperti; Kartu Prakerja, Peningkatan manfaat
jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian, dan Penyediaan perumahan
pekerja. Namun hal tersebut dirasa masih kurang, makadari itu untuk lebih
meningkatkan perlindungan kepada pekerja, diperlukan reformasi regulasi
melalui perubahan beberapa ketentuan yang terkait sektor ketenagakerjaan,
melalui Omnibus Law Cipta Kerja.
2
Fajar Kurniawan, Problematika Pembentukan RUU Cipta Kerja Dengan Konsep Omnibus
Law pada Klaster Ketenagakerjaan Pasal 89 Angka 5 Tentang Pemberian Pesangon Kepada
Pekerja yang di PHK, Jurnal Panorama Hukum Vol. 5 No. 1 Juni 2020, hlm 63
3
RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Untuk Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi, Biro
Humas Hukum dan Kerjasama Kemenkum Ham. https://www.kemenkumham.go.id/berita/ruu-
omnibus-law-ciptalapangan-kerja-untuk-tingkatkan-pertumbuhan-ekonomi diakses pada
tanggal 34 Juli 2020
4
Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Republik Indonesia : Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja
2
yang berfungsi sebagai payung hukum (umbrella act). Sementara menurut
Pakar Hukum Tata Negara Fachri Bachmid berpendapat bahwa omnibus Law
adalah sebuah konsep produk hukum yang berfungsi untuk mengkonsolidir
berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan perundang-undangan pada setiap
sektor yang berbeda untuk menjadi produk hukum besar dan holistik.5
Secara Historis Omnibus Law muncul dari tradisi hukum negara-negara
yang menganut sistem Common Law, Lantas pertanyaanya apakah
dimungkinkan Indonesia mengadopsi konsep tersebut? H. Pattrick Glenn
dalam Legal Traditions Of The World 4th mengklasifikasikan Indonesia
kedalam Mixed Legal System (Sistem Hukum Campuran). Hal tersebut
didukung pula oleh pendapat Prof Hikmahanto Juwana Pakar Hukum
Universitas Indonesia bahwa dalam modernisasi dan pembaharuan hukum,
sistem Civil law dan Sistem Comman Law saling mempengaruhi dan tidak
dapat dipisahkan. Beliau mengamati penerapan hukum di Indonesia tidak
murni seratus persen berasal dari sistem Civil Law karena dalam prakteknya
sistem Comman Law sudah ada yang diterapkan di Indonesia sebagai
contohnya adalah konsep Class Action. Sehingga bukan sebuah hal yang tidak
mungkin ketika Pemerintah Indonesia menggadang-gadang akan membuat
omnibus law khususnya RUU Cipta Kerja.
Namun secara teori perundang-undangan di Indonesia, kedudukan
Undang-Undang dari konsep omnibus law belum diatur. Jika melihat sistem
perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang hasil konsep omnibus law
bisa mengarah sebagai Undang-Undang Payung karena mengatur secara
menyeluruh dan kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain.
Tetapi, Indonesia justru tidak menganut Undang-Undang Payung karena posisi
seluruh Undang-Undang adalah sama sehingga secara teori peraturan
perundang-undangan kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam Undang-
5
Bagir Manan,1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung : Alumni,
hlm. 144
3
Undang No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 11
Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.6
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan,
menjelaskan bahwa munculnya gagasan omnibus law dikarenakan adanya
persoalan konflik antar penyelenggara negara, saat ingin melakukan inovasi
atau kebijakan yang kemudian berbenturan dengan peraturan perundang-
undangan. Sehingga, konsep omnibus law menjadi salah satu jalan keluar yang
akan diambil oleh pemerintah. RUU Cipta Kerja digunakan untuk
penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi.
Berkenaan dengan hal ini, omnibus law bisa menjadi cara singkat sebagai
solusi peraturan perundang-undangan yang saling berbenturan, baik secara
vertikal maupun horizontal.
Pendapat tersebut sejalan pula dengan pernyataan Sofyan Djalil selaku
Menteri Agraria dan Tata Ruang bahwa konsep omnibus law adalah langkah
menerbitkan satu UU yang bisa memperbaiki sekian banyak UU yang selama
ini dianggap tumpang tindih dan menghambat proses kemudahan berusaha.
Dengan diterbitkannya satu Undang-Undang untuk memperbaiki sekian
banyak Undang-Undang diharapkan menjadi jalan keluar permasalahan di
sektor ekonomi, sebab dengan banyaknya Undang-Undang tidak bisa
dilakukan percepatan-percepatan karena banyaknya Undang-Undang masih
mengatur dan bisa saling bertentangan.7 Menurut Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian dalam presentasinya mengenai konsepsi omnibus law
memiliki 3 manfaat yaitu, menghilangkan tumpang tindih antar peraturan
perundang-undangan, efisiensi proses perubahan atau pencabutan peraturan
perundang-undangan, dan menghilangkan ego sektoral.8
6
Agnes Fitryantica, 2020, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui
Konsep Omnibus Law, Jurnal Gema Keadilan Volume 6, Edisi III, Oktober - November 2019,
hlm 307.
7
Fajar Kurniawan dan Wisnu Aryo Dewanto, 2020, Problematika Pembentukan RUU Cipta
Kerja Dengan Konsep Omnibus Law Pada Klaster Ketenagakerjaan Pasal 89 Angka 45
Tentang Pemberian Pensangon Kepada Pekerja yang Di PHK, Jurnal Panorama Hukum, Vol.
5 No. 1, Juni 2020, hlm 66.
8
Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Republik Indonesia : Omnibus Law Cipta
Lapangan Kerja
4
Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja sendiri kiranya
merevisi 79 undang-undang dan 1.244 pasal. Dimana didalamnya terdapat 11
pembahasan, yaitu: Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi,
Ketenagakerjaan, Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M,
Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi
Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek
Pemerintah dan Kawasan Ekonomi.9
Meskipun sangat awam sekali di telinga masyarakat Indonesia,
sebenarnya konsep ini telah digunakan dalam 2 undang-undang di Indonesia
namun kurang diperhatikan secara serius oleh masyarakat. Undang-undang
tersebut yakni sebagai berikut :10
9
Ibid
10
Achmad Teguh Wahyudin, Konsep Implementasi Omnibus Law Pada Sistem Perundang-
Undangan
5
ini dikarenakan lebih dari 90% perubahan adalah mencabut kewenangan
pemerintah daerah dan mengembalikannya kepada pemerintah pusat. Hal
tersebut tentunya tidak sejalan dengan semangat reformasi yang menginginkan
adanya pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya.
6
demokratis, peningkatan efisiensi administrasi dan pembangunan sosial
ekonomi, dan kemandirian masyarakat sebagai perwujudan dari otonomi.11
Semangat reformasi yang ingin memberikan otonomi seluas-luasnya
kepada rakyat, pada hakikatnya berasal dari Patokan norma dasar, yakni
Konstitusi Negara Indonesia, UUD NRI Tahun 1945 yang mana dalam pasal
18 berbunyi
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-
tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang
diatur dalam Undang-Undang”.12
Berdasarkan hal tersebut maka kiranya dapat dipahami bahwa pendiri
Bangsa Indonesia sudah mencitakan agar kearifan budaya lokal yang dimiliki
oleh setiap daerah dapat dikembangkan dalam pemerintahan melalui otonomi
daerah.13 Setiap pemerintahan di wilayah provinsi atau daerah kabupaten/kota
memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan
membuat Peraturan Daerah yang dibuat oleh Lembaga Legeslatif di daerah
yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini dimaksudkan, agar
semua persoalan legislasi tidak dijalankan oleh eksekutif yang secara teoritis
ataupun prakteknya merupakan pelaksana pemerintahan. Akan tetapi, legeslatif
memiliki kewenganan untuk membuat regulasi aturan yang sesuai dengan
harapan masyarakat di daerah.
Spirit otonomi daerah adalah spirit distribusi dan pembangunan daerah.
Guna mendorong prakarsa lokal lebih berkembang kearah kemajuan dan
kemandirian. hal tersebut merupakan manifestasi dari aktualisasi Spirit
otonomi daerah karena memuat tentang political sharing, financial Sharing,
dan empowering dalam mengembangkan kapasitas daerah, Peningkatan SDM,
dan partisipasi masyarakat.14 Pemerintahan lokal secara global semakin
dilihat sebagai suatu agen pembangunan yang penting dan seharusnya juga
11
A.F Leemans, 2003, dalam Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi. Partnership
Governance Reform in indonesia. CV. Trio Rimba Persada. hlm 9
12
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
13
Muhammad Zainul Arifin, Konsep Dasar Otonomi Daerah Di Indonesia Pasca Reformasi
14
Ibid
7
diketahui bahwa tingkat ini merupakan yang paling penting bagi partisipasi
“akar masalah”, karena yang paling dapat menanggapi kondisi, dan kebutuhan
setempat.15
15
Roy Marthen Moonti, Hakikat Otonomi Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Di
Indonesia, Jurnal Al-Ishlah FH UMI, Volume. 19 No. 2 November 2017, hlm 29.
16
Ibid, hlm 30.
8
BAB II
PEMBAHASAN
9
Perizinan satu pintu
Terdapat beberapa aturan dalam Undang–Undang ini yang memuat
pengalihan kewenangan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, hal
ini dapat dilihat dari beberapa pasal seperti pasal 9, Penghapusan pasal 10 dan
11, pasal 37, dan masih banyak lagi pasal yang isinya memuat mengenai
pengambil alihan wewenang kepada pemerintah pusat.
Dalam Rancangan Undang-Undang ini, terdapat pula penghapusan
mengenai segala jenis perencanaan tata ruang diantaranya :
1. Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan
2. Rencana Tata Ruang Kawasan Agropolitan
3. Rencana Tata Ruang Kawasan Megapolitan
4. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi (RTR KSP)
5. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota (RTR KSK)
Selanjutnya, jenis-jenis perencanaan tata ruang akan terfokus pada Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sebagai
dokumen yang bersifat wajib. RUU Cipta Kerja juga mengubah istilah terkait
izin tata ruang yang semula bernama Izin Pemanfaatan Ruang menjadi
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Hal ini dilakukan sebagai salah satu
bentuk pengendalian yang lebih ketat terhadap bentuk pemanfaatan ruang
terkait Rencana Tata Ruang.
Kemudian, perubahan terkait penyelenggaraan tata ruang dan
kewenangan penyelenggara penataan ruang yang semula diadakan dan diatur
oleh pemerintah daerah dialihkan menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Adapun kewenangan yang diatur kembali dalam aturan yang baru yaitu
kewenangan dalam pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan penataan ruang, dan pemberian bantuan teknis terkait pelaksanaan
tata ruang serta pelaksanaan penataan ruang dalam lingkup Kawasan Nasional
dan Kawasan Strategis Nasional.
10
Adapun beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan pada perubahan
diatas, antara lain:
Perubahan Rencana Tata Ruang dengan tujuan positif dalam rangka
penyederhanaan hirarki penataan ruang yang berfokus pada Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
harus mampu memgakomodir segala aspek yang dihapus. Sehingga,
penataan ruang menjadi lebih efisien dan seluruh kawasan mampu
terjangkau dengan baik.
Pelimpahan kewenangan dari pemerintah daerah kepada pemerintah
pusat pada perubahan ini cenderung membatasi dan mengurangi peran
pemerintah daerah dalam penyelenggaraannya penataan ruang. Oleh
karena itu, seharusnya pengaturan pada RUU Cipta Kerja ialah
menyangkut sinkronisasi koordinasi pemerintah daerah dan pemerintah
pusat dalam rangka penyelenggaraan Rencana Tata Ruang.
11
Dalam RUU Cipta Kerja terdapat penambahan pasal baru atau norma
baru dalam rangka menjabarkan RZWP-3-K, RZ KSN, RZ KSNT yang harus
diintegrasikan dengan Kawasan RTR darat. Hal ini dimaksudkan guna
menyelaraskan RTR darat dan RTR laut. Selain itu, beberapa pasal-pasal
terkait RZWP-3-K dihapus dan disesuaikan dengan pengaturan yang baru.
Kemudian, perubahan terkait kewenangan pihak yang dapat
mengeluarkan perizinan terkait pemanfaatan ruang menjadi wewenang
pemerintah pusat. Perizinan pemanfaatan ruang tersebut meliputi perairan
pesisir dan laut. Perubahan sanksi yang bersifat umum atau tidak disebutkan
secara spesifik. Didalam perubahan juga mengatur terkait perizinan berusaha
pemanfaatan laut kepada masyarakat lokal, masyarakat tradisional dan
masyarakat hukum adat.
12
kepastian terhadap sumber peta yang menjadi rujukan dalam penyusunan IGT
serta untuk mendorong percepatan penyediaan peta dasar.
Selanjutnya, penyesuaian pasal-pasal terkait penentuan skala peta bumi
yang ditetapkan menjadi pada skala 1:1.000, 1:5.000, 1:25.000, dan 1:250.000.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk penyederhanaan peta dasar sebagai rujukan.
Perubahan pada pasal yang terkait pengumpulan data geospasial seperti
perizinan dilakukan atas seizin pemerintah pusat, dimana maksud dan
tujuannya ialah sebagai bentuk keselamatan dan keamanan serta ketentuan
ketetapan lainnya. Perubahan dilakukan dalam rangka menambahkan ketentuan
terkait pemanfaatan tenaga asing dalam rangka pengumpulan data geospasial
yang perlu dilakukan dengan mekanisme izin. Hal ini dimaksudkan agar dalam
pelaksanaan pengumpulan data geospasial tersebut dapat terlaksana dengan
baik dan memberikan perlindungan keamanan dan keselamatan pengumpul
data tersebut.
13
Hal demikian juga terjadi pada Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Dalam peraturan
sebelumnya UKL-UPL merupakan sebuah proses maupun tindakan dalam
pengelolaan dan pemantauan atas sebuah kegiatan yang tidak berdampak
penting terhadap lingkungan hidup dan diperlukan dalam proses pengambilan
keputusan penyelenggaraan usaha atau kegiatan. Namun, dalam rumusan
perubahan fungsi UKL-UPL menjadi sebuah standar atau patokan dalam
kegiatan mengelola dan pemantauan terhadap usaha atau kegiatan yang tidak
berdampak penting terhadap lingkungan hidup. UKL-UPL ini nantinya akan
menjadi sebuah standar prosedur untuk melakukan pengelolaan dan
pemantauan usaha atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap
lingkungan. Dengan adanya perubahan fungsi UKL-UPL, tentunya diharapkan
adanya keseragaman prosedur dalam pengelolaan dan pemantauan kegiatan
tersebut sehingga nantinya akan mempermudah proses pemantauan yang
dilakukan oleh pemerintah pusat.
Dalam rumusan perubahan, kewenangan Menteri maupun pemerintah
daerah dalam pengelolaan dan penerbitan Izin Lingkungan dilimpahkan
kembali kepada pemerintah pusat. Kemudian, terdapat perubahan pengaturan
pada pihak-pihak terkait atau pihak yang memiliki hak dalam penyusunan
dokumen Amdal untuk dilampirkan dalam pengajuan permohonan izin
berusaha oleh pendiri kegiatan usaha yang akan memiliki dampak kepada
lingkungan. Adapun pihak sebelumnya adalah masyarakat baik yang
terdampak secara langsung maupun tidak langsung dan para pemerhati
lingkungan. Keterlibatan pihak tersebut tentu memberikan pandangan
mengenai dampak yang akan ditimbulkan dari adanya kegiatan usaha tersebut
kepada lingkungan maupun yang dirasakan oleh masyarakat dan lingkungan
sekitar dalam jangka waktu pendek ataupun panjang. Akan tetapi, dalam
rumusan perubahan pihak masyarakat yang diperbolehkan untuk berpartisipasi
dan memberikan tanggapan dalam proses penyusunan dokumen Amdal hanya
masyarakat yang terkena dampak secara langsung dengan keberadaan kegiatan
usaha tersebut. Namun penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria masyarakat
terdampak langsung yang berhak untuk memberikan masukan dalam proses
14
penyusunan Amdal tidak dijelaskan secara rinci. Sehingga, terdapat penafsiran
bahwa masyarakat terdampak langsung yang dimaksudkan oleh rumusan
tersebut adalah masyarakat yang bertempat tinggal dan beraktivitas di sekitar
kawasan kegiatan usaha tersebut. Dengan demikian, anggapan pemerintah
mengenai keterlibatan banyak pihak dalam proses penerbitan dokumen Amdal
merupakan suatu hambatan adalah konsep kebijakan yang mendahulukan
kepentingan iklim berusaha daripada aspek lingkungan dengan prinsip kehati-
hatian.
Perubahan berikutnya terdapat dalam Pasal 88, yakni mengenai
pertanggungjawaban seseorang atas penggunaan/pengelolaan limbah B3 yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Dalam peraturan
yang sebelumnya, tiap orang yang dalam tindakan usahanya menggunakan B3,
menghasilkan da/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup diwajibkan untuk bertanggung
jawab atas kerugian yang terjadi tanpa diperlukannya sebuah pembuktian unsur
kesalahan. Peraturan tersebut menegaskan bahwa tiap orang yang
menggunakan/menghasilkan/mengelola ataupun mengancam kelangsungan
lingkungan hidup secara mutlak akan dikenakan sanksi yang berlaku sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, sehingga tidak ada celah bagi tiap
pelaku untuk menghilangkan barang bukti yang akan memperkuat status
kesalahannya. Akan tetapi, dalam rumusan perubahan, hal mengenai
pertanggungjawaban atas penggunaan/pengelolaan limbah B3 atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup ditambahkan frasa
“berdasarkan pembuktian yang sah”. Meskipun hal ini merupakan salah satu
bentuk pemberian kepastian hukum, tetapi penambahan frasa tersebut akan
memberikan kelonggaran bagi para pelaku penggunaan/pengelolaan limbah B3
atau hal yang menimbulkan ancaman terhadap lingkungan hidup untuk
menghilangkan bukti terkait agar tidak dapat dibuktikan secara sah. Kemudian,
maraknya praktik-praktik kotor yang dilakukan oleh pihak korporasi dalam
proses hukum tentu menegaskan bahwa kemungkinan tersebut akan semakin
besar. Dengan demikian, penambahan frasa “berdasarkan pembuktian yang
15
sah” cenderung merugikan kepentingan umum mengingat masih marak terjadi
praktik-praktik kotor dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
C. Sektor IMB-SLF
16
yang wajib dimiliki oleh arsitek yang sebelumnya diterbitkan oleh pemerintah
daerah provinsi kini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Perubahan ini
memang bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi pemerintah pusat
dalam mengambil kebijakan yang dapat mengikuti dinamika masyarakat dan
global. Namun apabila semuanya diatur dan diterbitkan langsung oleh
pemerintah pusat atau tersentralisasi maka akan berdampak pada pemeriksaan
yang tidak akan bisa dilakukan secara detail atau terperinci sebab banyaknya
permintaan yang masuk sementara hal itu harus diselesaikan dengan cepat.
Kemudian adanya perubahan pada pasal 35 angka 2 dimana pembinaan
pemerintah pusat terhadap profesi arsitek dijelaskan dalam pasal baru dan
menambahkan angka 3 dimana dijelaskan bahwa pemerintah pusat dalam
melakukan hal tersebut dibantu oleh dewan arsitek hal ini memberikan
kepastian hukum mengenai kewenangan pemerintah untuk mengatur
pembinaan terhadap profesi arsitek.
17
ditetapkan pemerintah melalui peraturan perundang-undangan akan
memberikan kepastian hukum karena menggunakan satu sumber tunggal
terkait pengendalian dampak lingkungan.
Penyelenggaraan bangunan gedung yang mana kini penyelenggara
berkewajiban memenuhi standar teknis bangunan gedung serta menambahkan
profesi ahli, penilik bangunan, dan pengkaji teknis sebagai pihak yang juga
ikut terlibat dalam proses bisnis akan membuat penyelenggaraan bangunan
gedung menjadi lebih efektif dan efisien karena mengacu hanya kepada standar
teknis. Namun hal tersebut juga perlu penyediaan standar teknis bangunan
gedung oleh pemerintah. Kemudian, perubahan ini diharapkan akan
meningkatkan lapangan pekerjaan bagi profesi ahli di bidang konstruksi.
Pada pasal 39 baru ada penambahan ketentuan pembongkaran pada ayat
1 huruf d bertujuan untuk mencegah adanya proses pelaksanaan konstruksi
yang menghasilkan bangunan gedung yang tidak dapat dimanfaatkan karena
tidak memenuhi standar keamanan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan.
Dalam pasal selanjutnya terdapat kewajiban menggunakan penyedia jasa
perencana, pelaksana, pengawas, dan pengkajian teknis yang memenuhi syarat
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan pekerjaan
terkait bangunan gedung. Hal ini akan meningkatkan kualitas perencanaan,
pelaksanaan dan pengkajian teknis bangunan gedung karena keterlibatan
profesi dan penyedia jasa konstruksi yang memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan.
Secara umum, rumusan perubahan pada sektor IMB dan SLF meliputi
pelimpahan kewenangan kepada pemerintah pusat dan aturan teknis akan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah serta terdapat beberapa
tambahan norma baru.
18
D. Sektor Kelautan dan Perikaan
Dalam sektor ini perubahan terjadi atas segala jenis perizinan yang telah
diatur sebelumnya pada Undang-Undang Perikanan menjadi perizinan yang
bersifat global yakni perizinan berusaha. Jenis perizinan yang dihapus antara
lain :
a. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)
b. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)
c. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI)
Selanjutnya akan digantikan dengan perizinan secara global yakni
perizinan berusaha yang jenis perizinannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Dalam proses pengajuan ketiga jenis perizinan tersebut terdapat
syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin dengan jangka waktu 11
hari kerja untuk SIUP dan 7 hari kerja untuk SIPI/SIKPI apabila dokumen
persyaratan lengkap dan pelaporan sudah benar.
Kebijakan perizinan satu pintu secara global merupakan suatu terobosan
yang positif dalam rangka efektivitas perizinan. Akan tetapi, segala persyaratan
mutlak untuk mendapatkan izin dan waktu dalam mengurus perizinan serta
pelaksanaan dilapangan yang dimulai melalui penerbitan Peraturan Pemerintah
harus sejalan dengan konsep kemudahan dari perizinan satu pintu yang
ditujukan untuk masyarakat umum.
Kemudian, terdapat pula perubahan dalam hal kewenangan menteri untuk
menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang ditarik ke
pemerintah pusat. Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas
KAJISKAN) yang merupakan lembaga nonstruktural di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri Kelautan dan Perikanan dihapus dengan
alasan kewenangan penetapan ditarik ke pemerintah pusat. Adapun, tugas dari
Komnas KAJISKAN adalah memberikan masukan dan/atau rekomendasi
kepada Menteri Kelautan dan Perikanan melalui penghimpunan dan
19
penelaahan hasil penelitian/pengkajian mengenai sumber daya ikan dari
berbagai sumber, termasuk bukti ilmiah yang tersedia (best scientific evidence
available), dalam penetapan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
sebagai bahan kebijakan dalam pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab
(responsible fisheries) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia.
Pada usulan perubahan tidak disebutkan penetapan yang diambil oleh
pemerintah pusat diambil setelah mendapatkan pertimbangan berupa
rekomendasi oleh lembaga atau ahli di bidangnya untuk menunjang ketepatan
pengambilan kebijakan secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh
karena itu, kajian secara ilmiah dibutuhkan dalam penetapan jumlah tangkapan
dan potensi yang diperbolehkan dengan tetap mencantumkan proses
pertimbangan berupa rekomendasi dari ahli atau lembaga yang terdiri dari ahli
pada aturan yang baru. Perubahan berikutnya adalah menghilangkan peran
pemerintah daerah dalam membina dan memfasilitasi pengembangan usaha
perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan. Perubahan berikutnya
adalah penambahan aturan yang mengharuskan setiap orang mematuhi
ketentuan mengenai genetik ikan yang dilindungi. Hal ini merupakan
perubahan yang baik mengingat konservasi sumber daya ikan meliputi
konservasi ekosistem, jenis ikan, dan genetik ikan. Selain itu, perubahan
lainnya adalah peralihan dari Peraturan Menteri ke Peraturan Pemerintah.
E. Sektor Pertanian
20
didalam WTO, komitmen ini berawal dari Amerika Serikat menjatuhkan sanksi
kepada Indonesia melalui Dispute Settlement Body (DSB) WTO dengan
menuntut Indonesia membayar kepada negara tersebut senilai Rp. 5 trilliun
karena mereka berasumsi telah dicurangi, yaitu dalam sejumlah pasal Undang-
Undang sektor pangan menyebut frasa “dalam negeri”. Frasa tersebut merujuk
kepada upaya perlindungan kepentingan ekonomi nasional, termasuk
didalamnya melindungi petani kecil Indonesia yang terdapat di pasal 13 ayat 1.
RUU Cipta Kerja ini bertujuan untuk menigkatkan dan memperluas
penganekaragaman hasil pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan,
sandang, papan, kesehatan, industry dalam negeri dan memperbesar ekspor.
21
penggemukan sapi potong dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dari
empat bulan, artinya putaran investasi yang ditanam akan memberikan dampak
putaran finansial dan ekonomi yang lebih luas lagi. Bukan sebaliknya, peran
modal menjadi lambat dan tidak memberikan manfaat ekonomi bagi
pembangunan ekonomi wilayah pedesaan.
2. Pasal 36 C Ayat 1
“Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona
dalam suatu negara telah memenuhi persyaratan.”
3. Pasal 36 C Ayat 3
“Pemasukan Ternak Rumininansia Indukan yang berasal dari zona
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain itu harus memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih
dahulu :
a. Dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal oleh
otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh otoritas
Veteriner Indonesia
b. Dilakukan penguat sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam
negeri
c. Di tetapkan tempat menular”
4. Pasal 36 D Ayat 1
“Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona
sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 C harus ditempatkan di pulau
karantina sebagai instlasi karantina hewan pengamanan maksimal untuk
jangka waktu tertentu”
5. Pasal 35 E Ayat 1
“Dalam hal tertentu, dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional,
dapat dilakukan pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dari suatu
negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi syarat dan
tata cara pemasukan Ternak dan/atau/Produk hewan.”
22
Setiap impor produk hewan yang dibutuhkan haruslah memiliki sertifikat bebas
PMK dari badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh otoritas veterier dari
negara asal dan Indonesia. Impor hewan harus dilakukan dalam hal tertentu
yang mana pengertian “dalam hal tertentu” adalah keadaan mendesak, antara
lain akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan ternak dan atau
produk hewan tanpa terpenuhi syarat tertentu, pemasukan produk hewan dari
zona dalam suatu negara atau dengan sistem zona kedalam wilayah NKRI
adalah inkonstitusional. Importasi berbasis zona diperbolehkan dengan prinsip
maksimum security. Pemerintah harus memberikan kepastian hukum terhadap
aktifitas importasi produk hewan yang terjadi paska pembacaan putusan agar
pelaku bisnis importasi tidak melakukan hal yang inskonstitusional,
dikarenakan persyaratan belum dipenuhi sehingga aktifitasnya menjadi status
quo. Impor daging dalam agenda neoliberalisme, hanya menguntungkan
importer dan pemodal besar. Hal tersebut dikarenakan ada kebijakan diantara
lain pencabutan larangan penjualan daging beku dipasar tradisional,
pembukaan impor daging dari negara yang belum bebas Penyakit Mulut dan
Kuku (PMK) serta pembukaan impor jeroan dan secondary cut bagi importer
swasta.
23
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
24
UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan
Petani
F. Sektor Kehutanan
25
diperlukan pengawalan terkait praktik penggunaan 1 bentuk perizinan yang
akan berlaku.
Perubahan yang terjadi dalam pasal-pasal berikutnya lebih cenderung
pada pengubahan istilah dan mempertegas istilah maupun pihak yang nantinya
akan berwenang untuk mengawasi serta ikut campur pada perizinannya. Di
samping itu, perubahan yang terjadi pun tidak jauh dari penghapusan frasa
“diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29” karena adanya penghapusan kedua pasal
tersebut.
G. Sektor ESDM
26
H. Sektor Ketenaganukliran
I. Sektor Perindustrian
J. Sektor Perdagangan
Sentralisasi kewenangan pada pemerintah pusat sangat menonjol dalam
perubahan-perubahan pada sektor perdagangan. Keperluan administrasi yang
sebelumnya dipegang oleh kementerian terkait dialihkan kepada pemerintah
pusat melalui produk hukum berupa Peraturan Pemerintah. Selain itu, sanksi
administratif pada sektor perdagangan juga mengalami perubahan yang
memungkinkan adanya beberapa jenis sanksi. Sebelumnya sanksi administratif
pada sektor perdagangan hanya berupa pencabutan izin dan penarikan barang.
27
K. Sektor PUPR
28
bahwa dalam perubahan UU Ketenagakerjaan harus memuat ketentuan
penggunaan tenaga kerja asing terutama dalam bidang jasa konstruksi untuk
melindungi tenaga kerja lokal.
29
dalam Peraturan Pemerintah. Kemudian, ketentuan lebih lanjut mengenai
Badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan
Sumber Daya Air nantinya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
L. Sektor Transportasi
Dalam sektor transportasi, terdapat 4 Undang-Undang yang
pengaturannya terdampak dengan RUU Cipta Kerja, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
2. Undang-Undang Nomor Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan
3. Undang-Undang Nomor Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
4. Undang-Undang Nomor Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pelayaran
Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pelayaran, pengaturan
mengenai rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-
baling pesawat terbang harus mendapat surat persetujuan setelah dilakukan
pemeriksaan dan pengujian sesuai dengan standar kelaikudaraan. Sementara
itu, dalam RUU Cipta Kerja persetujuan diberikan oleh pemerintah pusat
dengan tetap melalui pemeriksaan dan pengujian yang akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Selain itu, proses sertifikasi pesawat udara, mesin
pesawat udara, dan baling baling pesawat terbang yang sebelumnya
dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum dirubah menjadi
kewenangan pemerintah pusat dan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Jika mengacu pada UU pelayanan publik, lembaga penyelenggara
pelayanan umum untuk proses sertifikasi dapat disejajarkan dengan lembaga
penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut penyelenggara
adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen
yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang untuk kegiatan pelayanan publik,
dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk
kegiatan pelayanan publik. Dengan dihapusnya pengaturan mengenai
sertifikasi yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum, maka
pelaksanaan proses sertifikasi tidak dilakukan oleh lembaga penyelenggaraan
umum (publik) melainkan sebagaimana yang akan diatur oleh Peraturan
30
Pemerintah. Kemudian, perubahan juga terjadi pada pengaturan teknis dari
Peraturan Menteri menjadi Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, pengaturan pada RUU Cipta Kerja yang berdampak dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan adalah memberikan peluang bagi pihak ketiga sebagai pelaksana
penyelenggara terminal dalam lingkungan kerja terminal melalui kerja sama
oleh pemerintah pusat. Selain itu, perubahan pada RUU Cipta Kerja juga
terjadi dalam hal pemeriksaan dan pengujian fisik kendaraan bermotor yang
dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan dapat dikerjasamakan dengan pihak
ketiga. Penghapusan juga terjadi terkait persyaratan yang wajib diperhatikan
terkait pengembangan rancang bangun kendaraan bermotor. Pengembangan
industri dan teknologi yang semula harus meliputi beberapa modernisasi
fasilitas dan metode pengembangan kini dihapuskan. Sehingga, pengembangan
industri dan teknologi dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor
terkait melalui pengesahan dari pemerintah pusat.
Kemudian, dalam UU Pelayaran terdapat penambahan norma baru
mengenai Kapal Asing yang dapat melakukan kegiatan lain dan tidak termasuk
kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan
laut dalam negeri di wilayah perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera
Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia. Berikutnya terdapat
penghapusan pengaturan mengenai pembangunan pelabuhan terkait kelestarian
lingkungan, dan memperhatikan keterpaduan intradan antarmoda transportasi.
Dalam RUU Cipta Kerja, pembangunan dan pengoperasian pelabuhan hanya
memuat persyaratan teknis dari pemerintah pusat. Hal ini tentu memudahkan
perizinan berusaha, tetapi terdapat aspek lain yang harus diperhatikan yakni
lingkungan dan intergrasi transportasi dalam rangka mewujudkan
pembangunan yang efektif dan efesien serta akurat. Selain itu, pengaturan
teknis dan pengaturan yang semula diatur melalui Peraturan Menteri akan
diubah menjadi Peraturan Pemerintah.
Rancangan Undang-Undang Cipta kerja juga berdampak terhadap UU
Perkeretaapian. Dampak tersebut adalah dihapusnya aturan yang bersifat teknis
dan akan diakomodasi dengan Peraturan Pemerintah. Adapun terkait perizinan
31
terkait perkeretaapian dilaksanakan melalui perizinan secara global yakni
perizinan berusaha.
32
N. Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
Terdapat banyak ketentuan baru dalam RUU ini, salah satu yang menjadi
fokusnya adalah memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat sebagai
bentuk perizinan satu pintu, agar memberikan fleksibilitas bagi pemerintah
pusat dalam mengambil kebijakan dan menghindari adanya tumpang tindih
peraturan. Bentuk pemusatan kekuasaan seperti kewenangan yang sebelumnya
dimiliki oleh menteri, menjadi wewenang pemerintah pusat
Kemudian, terdapat beberapa pasal baru yang mengatur mengenai
ketentuan dari kualifikasi seperti apa yang wajib dimiliki oleh pendidikan
tinggi, salah satu kualifikasi yang menarik adalah, pendidikan tinggi harus
memiliki standar penelitian dan standar pengabdian kepada masyarakat. Selain
itu, terdapat ketentuan yang menyebutkan bahwa pendidikan tinggi tidak lagi
berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. Alasan dari dibentuknya ketentuan
ini adalah untuk proses pengembangan pendidikan tinggi, agar bisa menarik
peserta didik asing untuk mencari ilmu di indonesia, serta supaya pihak asing
dapat memberi suntikan modal bagi pendidikan tinggi Indonesia. Akan tetapi,
langkah menghilangkan aspek kebudayaan bangsa perlu pengkajian secara
detail mengenai pengaruhnya terhadap rendahnya minat peserta didik asing
pada pendidikan tinggi di Indonesia dan dampak kebudayaan bangsa sebagai
penghambat pengembangan pendidikan di Indonesia. Dengan demikian,
masyarakat umum menjadi paham terkait urgensi dari dihapusnya dasar
kebudayaan bangsa dalam pendidikan tinggi di Indonesia.
Tidak hanya aturan mengenai pendidikan tinggi dalam negeri, pun dalam
sektor ini juga diatur mengenai bagaimana persyaratan dan kualifikasi lembaga
pendidikan asing apabila ingin menyelenggarakan pendidikan di Indonesia,
namun dihapusnya kewajiban kerjasama dengan mengikutsertakan tenaga
pendidik dan pengelola warga negara indonesia akan membuka peluang bagi
lembaga pendidikan asing dapat dilaksanakan tanpa kerja sama lembaga
pendidikan Indonesia.
Selanjutnya terdapat perubahan pada ketentuan Perguruan Tinggi Swasta
tidak harus berbentuk sebagai sebuah badan hukum serta dapat menerapkan
prinsip nirlaba
33
O. Sektor Kepariwisataan
P. Sektor Keagamaan
34
II. PERSYARATAN INVESTASI
35
kimia, industry kimia). Kemudian terdapat penghapusan pengaturan mengenai
tata cara pemerintah dalam menentukan terbuka atau tertutupnya suatu bidang
usaha pagi penanaman modal asing, yang kemudian digantikan dengan
ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan presiden.
Perubahan tersebut membawa dampak bahwa nantinya izin usaha yang
beredar merupakan izin usaha minim resiko akan kegagalannya serta
memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk menyesuaikan keadaan dan
mendorong investasi di Indonesia. Namun perlu diperhatikan lebih lanjut
mengenai parameter dalam Peraturan Presiden yang berpotensi mengancam
investasi dalam negeri dan menyebabkan investasi asing tidak tekendali.
36
tepat mengingat kepastian berusaha merupakan komponen utama dalam
menciptakan iklim investasi yang kondusif, walaupun penghapusan tersebut
sebagai turunan dari perubahan Pasal 100.
37
harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemegang modal asing. Penghapusan
tersebut berpotensi terhadap penguasaan modal pihak asing pada industri usaha
bidang bandar udara terhadap asing mengingat pengaturan dalam Undang-
Undang Penanaman Modal sebagai aturan acuan tidak mengatur secara detail.
38
III. KLASTER KETENAGAKERJAAN
39
d. Waktu kerja dan waktu istirahat
Perubahan pada sektor ini terjadi dengan adanya penambahan ketentuan
waktu kerja lembur, yang sebelumnya dilakukan paling banyak tiga jam dalam
satu hari atau empat belas jam dalam satu minggu menjadi empat jam dalam
satu hari atau delapan belas jam dalam satu minggu.
e. Pengupahan
Pada sektor ini pemerintah melakukan perubahan dengan menghapus
adanya upah minimum kabupaten/kota dengan hanya menerapkan upah
minimum provinsi yang disusun oleh gubernur. Hal tersebut dapat menuai
polemik tersendiri karena setiap kabupaten memiliki perkembangan industri
dan biaya hidup yang berbeda-beda, sehingga penerapan satu jenis upah
minimum dinilai kurang memperhatikan aspek keadilan. Namun, pada
akhirnya Upah Minimum Kota (UMK) tetep ada dengan disesuaikan
berdasarkan tingkat inflasi. Kemudian, dalam hal pembayaran upah yang
belum dibayarkan oleh pengusaha tidak ada waktu daluarsa bagi hak buruh
untuk melakukan penuntutan pembayaran upah.
f. Pemutusan Hubungan Kerja
Perubahan dalam sektor ini salah satunya ialah mengenai penghapusan
peran serikat buruh dalam upaya penyelesaian pemutusan hubungan kerja.
Disatu sisi hubungan kerja memang dibuat berdasarkan kesepakatan, sehingga
apabila terjadi PHK seharusnya dilakukan melalui mekanisme kesepakatan
antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Namun adanya relasi kuasa diantara
keduanya seringkali membuat posisi buruh tidak diuntungkan sehingga peran
serikat buruh dalam upaya penyelesaian hubungan kerja adalah sesuatu yang
memang dibutuhkan. Selain itu, terdapat perubahan mengenai besaran
pesangon akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari 32 kali gaji menjadi
26-28 kali gaji.
Kemudian terdapat pengaturan yang menghapuskan pelarangan
Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan apabila diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Hal tersebut barang
tentu merupakan upaya pemerintah untuk mengakomdir Putusan MK No.
40
13/PUU-XV/2017. Secara garis besar perubahan dalam ketentutan pemutusan
hubungan kerja adalah upaya sinkronisasi terhadap Putusan MK yang selama
sudah dikeluarkan. Selanjutnya tata cara PHK dan besaran Kompensasi PHK
akan diatur melalui Peraturan Pemerintah.
41
IV. KLASTER KEMUDAHAN, PERLINDUNGAN, DAN
PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH,
SERTA PERKOPERASIAN (UMKMP)
Pada klaster ini terdapat beberapa bagian tambahan yang terdiri dari
setidaknya 12 norma baru. Adanya pengaturan norma baru tersebut didasarkan
atas evaluasi terkait UMKM di Indonesia dan perkembangan dunia digital.
Dalam norma baru diatur mengenai basis data tunggal atau semacam big data
yang dimiliki oleh pemerintah pusat untuk melakukan pendataan terhadap
UMKM yang ditujukan sebagai bahan pertimbangan wajib dalam menentukan
kebijakan mengenai usaha mikro, kecil, dan menegah. Kemudian, pengaturan
norma baru lainnya adalah terkait pengelolaan terpadu, kemitraan, kemudahan
berusaha, insentif fiskal dan pembiayaan, dana alokasi khusus, perlindungan
hukum, pengadaan barang dan jasa, dan sistem atau aplikasi pembukuan.
Selanjutnya, perizinan yang dikenal sebelumnya dalam usaha, mikro,
kecil dan menengah diubah menjadi perizinan berusaha secara elektronik
dengan diberikan Nomor Induk Berusaha (NIB). Nomor Induk Berusaha
adalah perizinan tunggal yang berlaku untuk semua kegiatan usaha meliputi
perizinan berusaha, izin edar, standar nasional Indonesia, dan sertifikasi
jaminan produk halal. Selain itu, terdapat norma baru yakni adanya keharusan
pada Jalan TOL antarkota untuk menyediakan tempat istirahat dan pelayanan
(rest area) dengan partisipasi usaha mikro dan kecil melalui pola kemitraan.
Sementara itu, kriteria usaha, mikro, kecil, dan menengah dihapuskan dan
diganti dengan pengaturan mengenai indikator secara umum. Pengaturan
secara khusus mengenai UMKM akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Perubahan juga dilakukan dengan dihapusnya beberapa pengaturan didalam
UU lainnya yang mengklasifikasikan UMKM dengan alasan agar terdapat satu
aturan mengenai seluruh sektor UMKM.
Pada sektor perkoperasian terdapat perubahan atas Pasal 6 UU
Perkoperasian. Perubahan tersebut terjadi atas persyaratan pendirian koperasi
primer. Sebelumnya, koperasi primer dapat dibentuk oleh sekurang-kurangnya
20 (duapuluh) orang. Namun, pada rancangan yang baru koperasi primer dapat
dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dengan alasan sudah tidak
42
sesuai atas dinamika perokonomian. Perubahan lainnya terkait sistem
perwakilan anggota saat rapat anggota dalam koperasi yang sebelumnya tidak
diatur. Kemudian, terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai buku daftar
anggota yang dalam rancangan dapat berbentuk dokumen tertulis atau
dokumen elektronik. Dalam rancangan juga terjadi penambahan dari UU
sebelumnya yaitu mengenai pelaksanaan usaha koperasi berdasarkan prinsip
syariah.
43
V. KLASTER KEMUDAHAN BERUSAHA
44
Kemudian, dalam RUU Cipta kerja pada klaster kemudahan berusaha
terdapat penghapusan atas nominal modal dasar perseroan yang diubah
menjadi keputusan para pendiri dan diatur lebih lanjut melalui Peraturan
Pemerintah. Alasan perubahan tersebut ialah penyesuaian terhadap ketentuan
dalam PP 29/2016. Dalam konsep hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia, Undang-Undang lebih tinggi kedudukannya dibanding Peraturan
Pemerintah. Maka, seyogyanya aturan yang dibawah tidak boleh bertentangan
dengan aturan yang diatasnya atau disesuaikan dengan aturan yang lebih tinggi.
Akan tetapi, alasan perubahan memuat mengenai perlunya penyesuaian UU
Perseroan Terbatas dengan PP 29/2016. Sehingga, perubahan yang memuat
alasan demikian tidak relevan untuk dijadikan dasar.
Selanjutnya, perubahan pada Pasal 63 UU Keimigrasian dengan
tambahan mengenai ketentuan penjaminan yang tidak berlaku bagi pelaku
usaha berkewarganegaraan asing yang menanamkan modal sebagai
investasinya di Indonesia dengan menyetorkan jaminan keimigrasian sebagai
pengganti penjamin selama berada di Wilayah Indonesia. Secara umum dalam
klaster kemudahan berusaha terdapat beberapa norma baru dan aturan yang
bersifat umum. Sementara pengaturan khusus atau ketentuan lebih lanjut diatur
melalui Peraturan Pemerintah.
45
VI. KLASTER DUKUNGAN RISET DAN INOVASI
Pada rumusan perubahan yang diatur dalam klaster ini, terdapat beberapa
Undang-Undang terdampak. Antara lain, sebagai berikut:
46
VII. KLASTER PENGADAAN LAHAN
47
Selain itu, terdapat norma baru yang menyebutkan Tanah di KEK dapat
ditetapkan sebagai insentif kepada pelaku usaha. Perubahan berikutnya adalah
dihapusnya ketentuan mengenai upah minimum bagi Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) dengan alasan upah minimum akan ditetapkan secara nasional
sebagai jaring pengaman, sehingga tidak perlu ada kekhususan ketentuan upah
minimum bagi kawasan ekonomi khusus. Pengaturan upah minimun secara
nasional tentu tidak sesuai dengan klasifikasi kawasan khusus sebagai kawasan
pengembangan ekonomi yang memiliki fasilitas khusus mengingat yang
menjadi pertimbangan dalam penetapan upah minimum di KEK yaitu upah
minimum sebagai jaring pengaman, kemampuan UMKM & koperasi, dan
kebutuhan hidup layak (KHL).
Selanjutnya, perubahan juga terjadi mengenai lembaga kerja sama
tripartit khusus yang saat ini terdapat penambahan kata “dapat” dalam
rancangan perubahan. Konsekuensinya adalah lembaga kerja sama tripartit
khusus sifatnya tidak harus karena Undang-Undang memakai frasa “dapat”,
sehingga bersifat opsional. Oleh karena itu, segala bentuk kemudahan yang
diakomodir dalam rancangan perubahan perlu disesuaikan agar insentif yang
diberikan kepada pelaku usaha tidak bertentangan dengan pemenuhan hak-hak
pekerja.
Sementara itu, pada kawasan Industri dan Kawasan Perdagangan Bebas
serta Kawasan Pelabuhan Bebas perubahan dilakukan untuk menyesuaikan
atau menyelaraskan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Selain itu, pengaturan secara khusus dihapuskan dengan
maksud untuk diakomodir dengan Peraturan Pemerintah sebagai aturan teknis
yang memuat ketentuan lebih lanjut.
48
IX. KLASTER INVESTASI PEMERINTAH PUSAT DAN KEMUDAHAN
PROYEK PEMERINTAH
49
penyitaan yang dapat dilakukan apabila terbukti melakukan tindak pidana
korupsi.
Kemudian, pada Pasal 6 ayat 4 diatur mengenai keuntungan atau
kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), merupakan keuntungan atau kerugian lembaga.
Semenatara itu, dalam ketentuan sebelumnya diatur bahwa modal yang
didapatkan oleh lembaga dalam menjalakan investasi pemerintah pusat salah
satunya dapat berasal dari modal Negara. Dengan kata lain, ketentuan ini
menyatakan kerugian yang dialami negara saat berinvestasi, baik disengaja
maupun tidak, termasuk tindakan memperkaya orang lain, tidak lagi
dikategorikan sebagai kerugian negara. Seharusnya, lembaga tetap harus terikat
kepada sebuah tanggung jawab dikarenakan modal yang didapatkan dari
negara. Selain itu, esensi utama dari korupsi adalah tindakan yang merugikan
keuangan negara, tetapi unsur itu dihilangkan dalam rancangan ini.
50
X. KLASTER ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Dalam RUU Cipta Kerja ini, terdapat 8 pasal yang terdampak dari
Undang-Undang yang terkait. Alasan perubahan dikarenakan terdapat sejumlah
permasalahan dalam perspektif pengaturan kewenangan. Fenomena ego
sektoral yang hadir dalam kementrian/lembaga atau badan dan/atau pemerintah
daerah, yaitu sebuah dorongan untuk membuat berbagai pengaturan pelaksana
Undang-Undang, yang berakibat terjadinya obesitas regulasi yang saling
tumpang tindih dan tidak sinkron. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah
peraturan baru untuk menata ulang kembali kewenangan Presiden (pemerintah
pusat), agar tercipta regulasi yang responsif dan mencegah tumpang tindihnya
peraturan yang terkait dengan perizinan berusaha.
Dengan mengembalikan kewenangan untuk mengurus hal-hal yang
berkaitan dengan perizinan berusaha seperti penerbitan Izin, standar,
pendafataran, rekomendasi, dan sertifikasi kepada Presiden, hal ini akan
menciptakan sistem pemerintahan yang sesuai dengan filososfi serta kaidah
Ketatanegaraan Indonesia, serta akan mendorong untuk tercipatanya regulasi
yang sinkron dan responsif terkait dengan isu kemudahan berusaha. Akan
tetapi, terdapat pengaturan yang bertentangan dengan Putusan MK. Perubahan
mengenai pembatalan peraturan daerah yang tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku merupakan wewenang dari menteri dan gubernur, sebagai wakil
dari pemerintah pusat (berlaku secara hierarki). Namun putusan tersebut juga
sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK
bernomor 137/PUU-XIII/2015 dan No.56/PUU-XIV/2016 yang menetapkan
MA sebagai lembaga yang berwenang membatalkan perda provinsi dan
kabupaten/kota Tugas dalam kerangka judicial review (uji materi peraturan di
bawah Undang-Undang).
51
Namun, dalam RUU Cipta Kerja, Pasal ini kembali dicantumkan, yakni
perda yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku dengan Peraturan Presiden. Lalu penghapusan sejumlah ayat, karena
sudah diatur bahwa penghapusan merupakan wewenang Presiden. Adapun,
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding).
Sehingga, aturan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak boleh
dimuat kembali dalam Undang -Undang. Oleh karena itu, perlu menjadi sebuah
catatan penting untuk pasal ini, karena sifatnya bertentangan dengan keputusan
Mahkamah Konstitusi.
52
XI. SANKSI PIDANA DAN ADMINISTRATIF
Secara umum, perubahan yang diatur dalam klaster sanksi adalah sanksi
administratif yang diutamakan dalam pemberian sanksi. Sementara itu, sanksi
pidana penjara yang sebelumnya merupakan sanksi pokok atas suatu
pelanggaran menjadi hukuman yang diberikan manakala sanksi administratif
(denda) tidak dilaksanakan. Hal tersebut menjadi perdebatan dalam masyarakat
mengenai keefektifan dari penerapan sanksi pidana administratif dan pidana
penjara. Berikut pembahasan mengenai pidana penjara dan pidana
administratif.
a. Pidana Penjara
Pidana penjara saat ini diatur sebagai ancaman pidana di berbagai
peraturan perundang- undangan. Selain di Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), sejak awal reformasi (1998) hingga 2016 terbentuk 563
peraturan perundang-undangan baru yang 154 diantaraya merupakan aturan
dengan ketentuan pidana. Sebanyak 1.601 (seribu enam ratus satu) perbuatan
yang dikategorikan sebagai tindak pidana, dengan proporsi 716 (tujuh ratus
enam belas) perbuatan merupakan tindak pidana baru yang sebagian besar
diancam dengan sanksi pidana penjara. Tercatat, setidaknya 654 tindak pidana
(91,34%) merupakan tindak pidana dengan sanksi penjara, 45 tindak pidana
(6,28%) dengan sanksi pidana kurungan, dan 17 tindak pidana (2,37%) dengan
sanksi pidana denda.
Pemberlakuan pidana penjara di Indonesia merupakan hukum
peninggalan Kolonial Belanda yang bersifat punitif dan represif. Sifat ini tidak
lepas dari pengaruh ajaran pemidanaan yang berlaku pada saat itu, yaitu
retributif. Teori retributif menyebutkan bahwa hukuman diberikan karena
pelaku kejahatan harus menerima hukuman demi kesalahan. Hukuman
dianggap menjadi retribusi yang adil atas kerugian yang diakibatkan
perbuatannya. Seperti prinsip lex talionis yang dianut oleh teori ini, yaitu “an
eye for an eye”, mengharuskan hukuman yang dijatuhkan setara dengan
kejahatan yang dilakukan. Paham ini telah berkembang di sejumlah negara
Eropa Barat pada abad ke-19 dengan konsep “let the punishment fit the crime”
53
(biarkan hukuman menyesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan) sebagai
dasar utama penjatuhan pidana.
Penerapan pidana penjara di Indonesia saat ini mengutamakan
pendekatan yang menitikberatkan pada penghukuman pemenjaraan terhadap
pelaku tindak pidana. Pendekatan ini didasarkan pada teori yang meyakini
bahwa semakin banyak pelaku kejahatan yang dipenjara, maka akan semakin
sedikit kejahatan yang mungkin dilakukan. Namun, pendekatan tersebut
menunjukkan kegagalan dalam menurunkan angka pengulangan tindak pidana
dan justru menimbulkan permasalahan baru. Hukuman pidana penjara yang
awalnya ditujukan untuk memenuhi nilai keadilan dan mengurangi kejahatan,
justru memberikan bukti sebaliknya. Kondisi yang terjadi akibat kegagalan
pendekatan tersebut adalah kelebihan kapasitas penjara (overcrowding).
Kondisi ini ditunjukan dengan jumlah orang yang terdapat di penjara
mengalami peningkatan dan menjadikan banyak penjara kelebihan kapasitas
yang berujung pada penjara menjadi tidak layak dan bahkan menyebabkan
pembengkakan anggaran negara.
Disamping fenomena overcrowding, pemenjaraan atau hukuman penjara,
meskipun menjadi mekanisme yang penting untuk menghukum pelaku,
bukanlah merupakan “obat” untuk mengatasi seluruh masalah kejahatan. Tidak
ada cukup bukti bahwa pemenjaraan lebih efektif mencegah pelaku
mengulangi tindak pidana. Justru, sejumlah studi komparatif tentang
pemenjaraan dan hukuman non-penjara menunjukkan pemenjaraan membuat
terpidana dalam kondisi yang lebih sulit untuk menyesuaikan diri di
masyarakat setelah mereka menjalani masa hukumannya serta rentan
mengulangi tindak pidana. Adapun, bukti empiris menunjukkan hukuman
penjara yang dijatuhkan tidak memenuhi tujuan pidana yang diharapkan.
Mengutip pendapat Prof Barda Nawawi Arief dalam bukunya Kebijakan
Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
menyatakan bahwa apabila penerapan pidana penjara dikaitkan dengan
pencapaian tujuan pemidanaan, pidana penjara ternyata tidak begitu efektif
untuk menganggulangi kejahatan. Hal ini khususnya terkait dengan tujuan
pemidanaan, yaitu untuk merehabilitasi pelaku, yang terbukti masih banyak
54
tindakan residivisme, sedangkan tujuan pemidanaan adalah agar seseorang
tidak melakukan kejahatan.
b. Pidana Administratif
Pidana administratif adalah salah satu bentuk pemidanaan non-penjara
terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat
administratif. Di Indonesia sendiri, pidana administratif pada umumnya berupa
denda, pencabutan atau pembekuan surat izin, hingga tindakan administratif
lainnya. Sementara itu, pidana administratif telah lazim dilakukan oleh negara
lain untuk memberikan sanksi kepada masyarakatnya, seperti pelayanan
masyarakat, pidana bersyarat, hingga tahanan rumah. Pemberian pidana
administratif ini merupakan salah satu alternatif pemidanaan di samping
penerapan pidana penjara.
Pada dasarnya, pemidanaan bertujuan untuk membuat orang jera
(detterence), membalas perbuatan (retribution), merampas kebebasan pelaku
(incapacitation), dan merubah perilaku pelaku (reformation). Tujuan-tujuan
tersebut merujuk pada sejumlah teori yakni: absolut, relatif, dan gabungan.
Teori absolut menyebutkan bahwa penjatuhan pidana merupakan pembalasan
yang semata-mata karena seseorang telah melakukan kejahatan. Dalam teori
relatif, hukuman digunakan untuk menegakkan tujuan pidana yakni mencegah
kejahatan dan agar seseorang tidak melakukan kejahatan. Sementara teori
gabungan mengemukakan bahwa bahwa tujuan pemidanaan selain harus
membuat jera dan memberikan perlindungan serta pendidikan kepada
masyarakat dan pelaku.
Praktiknya, berbagai tujuan pemidanaan dapat dicapai lebih efektif
dengan cara-cara alternatif hukuman selain penjara. Penggunaan hukuman non
penjara dapat mengurangi pelanggaran HAM seseorang dan mungkin saja lebih
efesien dan menguntungkan dari ukuran standar HAM dan ekonomi. Penelitian
Ministry of Justice UK pada 2007 menunjukkan, partisipasi di program
berkelompok sebagai salah satu bentuk alternatif non pemenjaraan, dapat
mengurangi kemungkinan seseorang mengulangi melakukan tindak pidana.
55
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1990 mengeluarkan UN
Standart Minimum Rules for Non-Custodial Measures atau dikenal sebagai
“Tokyo Rules”. Dokumen ini menyatakan bahwa hukuman non penjara (non-
custodial measures) yang efektif dapat mengurangi kondisi overcrowding.
Tokyo Rules menyatakan bahwa tujuan umum dari hukuman non penjara
adalah menemukan alternatif hukuman yang efektif bagi pelaku kejahatan serta
memberikan kemungkinan kepada penegak hukum untuk dapat mengubah
pidana menjadi hukuman yang memperhatikan kebutuhan individual pelaku
sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan. Dampak positif penghukuman
yang sesuai kebutuhan masing-masing individu nampak nyata, karena
penghukuman alternatif ini memberikan pelaku suatu keadaan bahwa mereka
tetap dapat bebas sehingga memungkinkan mereka tetap dapat bekerja, belajar,
dan berinteraksi dengan keluarga. Hal ini dapat dilihat berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, hukuman non-penjara merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk mengurangi kelebihan kapasitas Rutan dan Lapas
(overcrowding) di Indonesia. Hukuman non penjara yang dimaksud adalah
semua bentuk sanksi, baik hukuman maupun tindakan (treatment) yang
dilakukan di dalam proses peradilan pidana yang mewajibkan pelaku untuk
melaksanakan sanksi tersebut dengan tidak melibatkan adanya pemenjaraan,
Bentuknya antara lain: percobaan, pelayanan masyarakat, pengawasan dengan
alat elektronik, denda, perintah untuk tidak berada di tempat tertentu, dan
penundaan penjatuhan putusan pengadilan. Pengalaman berbagai negara juga
menujukkan bahwa hukuman non penjara dinilai telah berhasil menurunkan
tingkat pemenjaraan (incarceration rates).
Kedua, hukum pidana Indonesia secara terbatas telah mengenal dan
mengatur berbagai hukuman non penjara dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Beberapa bentuk hukuman non penjara tesebut adalah: pidana
percobaan, denda, rehabilitasi, pidana peringatan, pidana dengan syarat,
pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, pembatasan gerak pelaku.
56
Pidana Administratif sendiri memiliki tujuan yang sama dengan
pengaturan pidana, yakni Pertama, sebagai upaya penegakan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Kedua, memberikan hukuman bagi siapapun
yang melakukan pelanggaran atas suatu norma peraturan perundang-undangan.
Ketiga, membuat jera seseorang untuk melakukan kembali pelanggaran hukum.
Keempat, mencegah pihak lain untuk melakukan pelanggaran hukum.
Berdasarkan pengamatan dari berbagai peraturan perundang-undangan dan
literatur yang ada beberapa macam sanksi administratif, yaitu:
- Peringatan/teguran lisan
- Peringatan/teguran tertulis
- Tindakan paksa pemerintahan (bestuursdwang/politie dwang)
- Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan
- Denda administratif
- Pengenaan uang paksa (dwangsom).
Dewasa ini, penggunaan penghukuman alternatif yang menjauhkan dari
penggunaan hukuman penjara telah menjadi tren di beberapa negara. Hal ini
terkait dengan perubahan orientasi tentang tujuan pemidaaan serta adanya
kebutuhan praktis, yakni mengurangi overcrowding.
Dalam hal ini perlu dipertimbangkan oleh pembuat undang-undang
mengenai keefektifan dari pidana penjara dan pidana administratif yang secara
umum diatur dalam klaster sanksi yakni berupa denda. Hal tersebut tentu akan
menciptakan kepercayaan publik kepada pembuat produk hukum. Berdasarkan
pembahasan diatas, pidana penjara masih dibutuhkan dan penerapannya harus
diberikan kualifikasi terhadap pelaku pelanggaran apa saja yang mesti
dilakukan pemenjaraan dengan dibuktikan melalui kajian komprehensif
sebagai dasar pertimbangan. Selain itu, dalam perkembangan hukum Indonesia
pidana administratif dapat diterapkan dengan mempertimbangkan keefektifan
dari penerapannya dan dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan sanksi
tersebut terhadap pelanggar. Dengan demikian, tujuan dari pemidanaan di
Indonesia dapat berdampak positif bagi masyarakat.
57
BAB III
PENUTUP
58
kehasilgunaan. Walaupun, tidak ada konsekuensi yuridis apabila suatu produk
hukum tidak mengandung asas pembentukan peraturan perundang-undangan
sebagai mana telah diatur. Akan tetapi, dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mengandung asas-asas yang sudah diatur. Hal ini
dimaksudkan agar dapat menghindari adanya kesalahan dan kecacatan dalam
pembentukan norma hukum.
2. Sentralisasi Kewenangan
59
Selain itu, posisi aturan pelaksana dalam RUU Cipta Kerja berperan penting
dalam mengatur hal yang bersifat teknis. Sehingga, jika aturan pelaksana tidak
dibuat dalam waktu cepat tentu akan menyebabkan kekosongan hukum. Oleh
karena itu, hal-hal baku yang tidak mengikuti dinamika masyarakat agar dapat
diatur dalam rumusan RUU Cipta Kerja. Dengan demikian, Peraturan
Pemerintah sebagai aturan pelaksana yang bersifat teknis tidak terlalu banyak
demi efektivitas dari pemberlakuan hukum.
5. Partisipasi Publik
60
karena sebagaimana disampaikan oleh Lawrence M Friedmen bahwa berhasil
tidaknya penegakan hukum tergantung pada tiga unsur sistem hukum yakni;
struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan
budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak
hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya
hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu
masyarakat. Animo masyarakat yang begitu tinggi untuk mengagalkan
diundangkanya RUU Cipta Kerja merupakan bukti nyata bahwa terdapat
sebuah permasalahan dalam RUU tersebut baik dalam hal materil maupun
formil dalam perancangannya. Harmonisasi produk hukum, penyederhanaan
perizinan untuk menunjang investasi ataupun tujuan mulia lainnya yang ingin
diwujudkan pemerintah dalam RUU Cipta Kerja tidak akan bisa dicapai
apabila kondisi masyarakat yang tidak dapat mengilhami lahirnya RUU
tersebut. Adapun, sosialisasi menjadi suatu yang posisinya sangat penting
dalam ranga memberikan kesepahaman antara tujuan pembuat dan kritik dari
masyarakat mengingat terdapat asas fiksi hukum (presumption iures de iure).
Dalam pembentukan suatu produk hukum setidaknya terdapat segitiga
kepentingan yang saling tarik-menarik yakni kepentingan hukum, kepentingan
ekonomi, dan kepentingan politik. Akan tetapi, kepentingan yang wajib
diutamakan adalah kepentingan masyarakat dan kesejahteraan umum sebagai
tujuan awal negara. Oleh karenanya, kepentingan terhadap golongan tertentu
hendaknya tidak boleh terjadi di negara yang menjunjung tinggi kepentingan
umum. Dengan demikian, kepentingan umum diatas dari kepentingan lainnya
yang akan berdampak positif pada kemajuan dan kebermanfaatan dari suatu
produk hukum.
61
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Karya Ilmiah
Perundang-Undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
62
Internet
63