Anda di halaman 1dari 84

Membangun Budaya Anti-Korupsi

Gandjar Laksmana Bonaprapta


Anggota Bidang Studi Hukum Pidana FHUI
Latar Belakang

Korupsi dianggap sebagai ‘wabah penyakit’ yang


tidak mudah dihilangkan/diberantas. Yang
terbaik adalah mencegah korupsi.

Prof. Romli Atmasasmita:


“Ada 2 (dua) alasan sulitnya pemberantasan
tindak pidana korupsi, yaitu pertama, karena
alasan historis/ budaya, dan kedua, karena
lemahnya perundang-undangan.”
Mantan Ketua OPSTIB Laksamana Soedomo:

“ Sumber-sumber potensial terjadinya korupsi dan


penyelewengan:

1. Proyek pembangunan fisik.


2. Proyek pengadaan barang.
3. Bea dan cukai.
4. Perpajakan.
5. Pemberian ijin usaha dan kredit perbankan.

Korupsi terjadi pada kegiatan yang berkisar


pada kualitas, harga, dan komisi.”
Kejahatan Luar Biasa

1. Berpotensi dilakukan oleh setiap orang.


2. Random target/victim.
3. Kerugiannya besar dan meluas.
4. Terorganisasi atau oleh organisasi.

+ bersifat lintas negara


(Korupsi, TPPU, Terorisme, Pelanggaran berat HAM,
dan Narkotika)
Tindak Pidana Korupsi
 Diatur di dalam 12 Pasal di dalam UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20
tahun 2001;
 Terdiri atas 7 macam perbuatan utama;
 Apabila dijabarkan lebih rinci menjadi 30 (tigapuluh) bentuk perbuatan;
 Hanya 2 (dua) dari 12 Pasal dalam UU tersebut yang berkaitan dengan
kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara.
7 Perbuatan Utama Korupsi
1. Merugikan keuangan negara.
2. Suap.
3. Penggelapan dalam jabatan.
4. Pemerasan (paksaan mengeluarkan uang).
5. Perbuatan curang.
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan.
7. Gratifikasi.
1. Kerugian keuangan a. Pasal 2
negara: b. Pasal 3

a. Pasal 5 ayat (1) huruf a


b. Pasal 5 ayat (1) huruf b
2. Suap:
c. Pasal 13
d. Pasal 5 ayat (2)
e. Pasal 12 huruf a
f. Pasal 12 huruf b
g. Pasal 11
h. Pasal 6 ayat (1) huruf a
i. Pasal 6 ayat (1) huruf b
j. Pasal 6 ayat (2)
k. Pasal 12 huruf c
l. Pasal 12 huruf d
3. Penggelapan dalam a. Pasal 8
jabatan: b. Pasal 9
c. Pasal 10 huruf a
d. Pasal 10 huruf b
e. Pasal 10 huruf c

a. Pasal 12 huruf e
4. Paksaan mengeluarkan
b. Pasal 12 huruf g
uang (pemerasan):
c. Pasal 12 huruf f

a. Pasal 7 ayat (1) huruf a


b. Pasal 7 ayat (1) huruf b
5. Perbuatan curang: c. Pasal 7 ayat (1) huruf c
d. Pasal 7 ayat (1) huruf d
e. Pasal 7 ayat (2)
f. Pasal 12 huruf h
6. Benturan kepentingan dalam a. Pasal 12 huruf i
pengadaan:

7. Gratifikasi: a. Pasal 12B jo. Pasal 12C


9 Nilai Dasar Anti-Korupsi
JUjur
PEduli
MANdiri
DIsiplin
TANGgungjawab
KERja keras
SEderhana
BErani
aDIL
SUBYEK HUKUM TINDAK PIDANA
UU No. 31 tahun 1999
1. Setiap Orang (Pasal 1 angka 3) yang meliputi:
a. orang perseorangan: siapa saja, setiap orang, pribadi kodrati;
b. korporasi (Pasal 1 angka 1): kumpulan orang atau kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum;

2. Pegawai Negeri:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang
kepegawaian (sekarang UU ASN);
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP;
c. orang yang menerima gaji/upah dari keuangan negara/daerah;
d. orang yang menerima gaji/upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara/daerah;
e. orang yang menerima gaji/upah dari korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara/masyarakat.
3. Penyelenggara negara.

Penyelenggara Negara
Menurut UU No. 28 Tahun 1999, Penyelenggara Negara, meliputi:
- Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
- Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
- Menteri
- Gubernur
- Hakim
- Pejabat Negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan
- Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku
Pengertian Pegawai Negeri menurut KUHP
Pasal 92 ayat (1)

Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-


orang yang dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum,
begitu juga orang-orang yang, bukan karena
pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk
undang-undang badan pemerintahan, atau
badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh
Pemerintah atau atas nama Pemerintah; begitu
juga semua anggota dewan waterschap, dan
semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala
golongan Timur Asing yang menjalankan
kekuasaan yang sah.
Pasal 92 ayat (2)

Yang disebut pejabat dan Hakim termasuk juga


Hakim wasit; yang disebut Hakim termasuk
juga orang-orang yang menjalankan peradilan
administratif, serta ketua-ketua dan anggota-
anggota pengadilan agama.

Pasal 92 ayat (3)

Semua anggota angkatan perang juga dianggap


sebagai pejabat.
Delik Korupsi
dan Unsur-unsurnya
Tindak Pidana Korupsi
dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001

Pasal 2 ayat (1)


 Setiap orang;
 secara melawan hukum;
 melakukan perbuatan;
 memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;
 yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;

Ancaman pidana:
 4-20 tahun penjara; dan
 Denda Rp. 200 jt-Rp. 1 miliar.
Pasal 2 ayat (2)
Apabila dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan.

Yaitu apabila pelanggaran terhadap ayat (1) dilakukan


terhadap:
 dana penanggulangan keadaan bencana alam nasional;
 dana penanggulangan keadaan darurat/bahaya militer;
 dana penanggulangan kerusuhan sosial yang meluas;
 dana penanggulangan krisis ekonomi/moneter;
atau
 mengulangi kejahatan korupsi/residivis.
{Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 20 tahun 2001}
Unsur Ps. 2
1. Unsur “setiap orang”
Pasal 1: setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk
korporasi.
Orang perseorangan adalah siapa saja, setiap orang, pribadi
kodrati/manusia ciptaan Tuhan (naturlijk persoon), pengemban hak dan
kewajiban dalam hukum pidana, yang dapat dimintai
pertangggungjawaban di hadapan hukum pidana.
2. Unsur “melawan hukum”
meliputi pengertian melawan hukum dalam arti
formil maupun materil. (lihat penjelasan Sifat
Melawan Hukum di bagian awal).

3. Unsur “melakukan perbuatan”


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
melakukan perbuatan berarti melakukan
sesuatu yang diperbuat, berupa tindakan
(apapun).
Dalam Hukum Pidana dikenal adanya jenis delik
formil dan delik yang dilakukan secara aktif.
4. Unsur “memperkaya”
Menurut KBBI, memperkaya diartikan sebagai perbuatan menambah
kekayaan. Memperkaya juga dapat diartikan sebagai setiap
perbuatan/tindakan yang mengakibatkan bertambahnya aset dan harta
kekayaan.
5. Unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
Kata “dapat” sejalan dengan bagian Penjelasan Umum yang menyatakan
Tindak Pidana Korupsi yang diatur oleh UU No. 31/1999 sebagai berjenis
delik formil, yaitu delik yang sempurna dengan telah dilakukannya
perbuatan yang dilarang oleh UU.
Kerugian keuangan negara tidak menjadi syarat.
Pengertian kerugian keuangan negara diatur di dalam
bagian Penjelasan Umum UU No. 31/1999, yaitu:

Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh


kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di
dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala
hak dan kewajiban yang timbul karena :
a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik
ditingkat pusat maupun di daerah.
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan
pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan
hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal
negara atau perusahaan yang menyertakan modal
pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Demikian pula pengertian “perekonomian negara”,
Penjelasan Umum UU No. 31/1999 menjelaskan
sebagai
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang
didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di
tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Kerugian perekonomian negara tidaklah menjadi
syarat untuk dapat diterapkannya pasal ini.
Pasal 3
 Setiap orang
 dengan tujuan
 menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi
 menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
 yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
 yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara

Ancaman pidana:
 1-20 tahun penjara; dan
 Denda Rp. 50 jt-Rp. 1 miliar.
1. Unsur “setiap orang”
Unsur ini telah dijelaskan pada penerapan unsur Pasal 2.

2. Unsur “dengan tujuan”


Unsur dengan tujuan merupakan penjabaran dari ajaran kesalahan
dan pertanggungjawaban pidana, yaitu opzet atau kesengajaan atau
dengan sengaja.
Dengan tujuan merupakan bentuk kesengajaan sebagai tujuan.
3. Unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi”
Menurut KBBI menguntungkan berarti mendapatkan laba atau manfaat.
Keuntungan yang diperoleh harus merupakan keuntungan materil.
Keuntungan materil tidak harus berupa uang.
4. Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana”
Syarat utama diterapkannya unsur ini adalah bahwa pelaku adalah orang
yang sungguh-sungguh mempunyai kewenangan, kesempatan, atau sarana.
Orang yang tidak memilikinya tidak dapat menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana, dan oleh karenanya dalam hal demikian
terdapat melawan hukum.
5. Unsur “yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”
Unsur ini harus dikaitkan dengan unsur sebelumnya, karena terdapat
alternatif di dalam penerapannya berupa
a) penyalahgunaan kewenangan karena jabatan atau kedudukan;
b) Penyalahgunaan kesempatan karena jabatan atau kedudukan; dan
c) Penyalahgunaan sarana karena jabatan atau kedudukan.
6.Unsur “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
Unsur ini telah dijelaskan pada pembahasan atas unsur yang sama yang
terdapat pada Pasal 2.
Suap!
 Pemberian yang ada maunya.
 Pemberian yang diserahkan dengan maksud agar penerima mengikuti
kehendak pemberi.
 Pemberian yang diserahkan dengan maksud agar penerima mengikuti
kehendak pemberi baik yang bertentangan maupun tidak bertentangan
dengan kewajiban penerima.
Sekilas
Ada 6 gradasi perbuatan memberi (dan menerima):
1. Pemberian yang boleh bahkan wajib dilakukan.
2. Pemberian yang ‘berbau’ suap karena ada maunya.
3. Pemberian yang merupakan suap tetapi bukan korupsi (UU No. 11/1980)
4. Pemberian yang dianggap suap alias gratifikasi (Ps. 12B).
5. Pemberian yang termasuk kategori suap (Ps. 13).
6. Pemberian sebagai suap yang sesungguhnya [Ps. 5 ayat (1)].
Suap sebagai TP Korupsi
1. Pemberian sesuai Ps. 5 ayat (1) huruf a, penerima diancam dengan Ps.
12a.
2. Pemberian sesuai Ps. 5 ayat (1) huruf b, penerima diancam dengan Ps.
12b.
3. Pemberian sesuai Ps. 6 ayat (1), penerima diancam dengan Ps. 12 c.
4. Pemberian sesuai Ps. 6 ayat (2), penerima diancam dengan Ps. 12 d.
5. Pemberian sesuai Ps. 13, penerima diancam dengan Ps. 11.
6. Pemberian sesuai Ps. 12B. Penerima?
Pasal 5 ayat (1) huruf a:
 Setiap orang
 memberi atau menjanjikan sesuatu
 kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
 dengan maksud
 supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya
 yang bertentangan dengan kewajibannya

Ancaman pidana:
 Penjara 1-5 tahun; dan
 Denda Rp. 50- jt-Rp. 250 jt.
Unsur Ps. 5 ayat (1) huruf a
1. Unsur “setiap orang” telah dijelaskan pada
bagian terdahulu.
2. Unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu”
Unsur ini merupakan alternatif perbuatan berupa
memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu.
Serupa dengan Pasal 13, unsur memberi atau
menjanjikan mempunyai pengertian yang sama.
Apa yang diberi atau diperjanjikan itu adalah
“sesuatu” yaitu sangat luas artinya, bukan lagi
benda sebagaimana dimaksud Ps. 209 KUHP.
Yurisprudensi yang berkaitan dengan Pasal 209 KUHP:

1. H.R. 24 Nov. 1890, W.5969


Pasal ini dapat juga diperlakukan seandainya hadiah itu tidak
diterima

2. H.R. 25 April 1916. N.J. 1916, 300, W. 9896.


“memberi hadiah” di sini mempunyai arti yang lain daripada
menghadiahkan sesuatu semata-mata karena kemurahan hati.
Ia meliputi setiap penyerahan dari sesuatu yang bagi orang lain
mempunyai nilai.

3. M.A. 22 Juni 1955 No. 145 K/Kr/1955.


Pasal 209 KUHP tidak mensyaratkan bahwa pemberian itu
diterima dan maksud daripada Pasal 209 KUHP ialah untuk
menetapkan sebagai suatu kejahatan tersendiri, suatu
percobaan yang dapat dihukum menyuap.
3. Unsur “penyelenggara negara” telah dijelaskan pada
bagian subjek hukum.
4. Unsur “dengan maksud”
Unsur dengan maksud telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya.
5. Unsur “supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya”
Pada waktu memberikan hadiah atau janji, pelaku
menghendaki agar pegawai negeri atau penyelenggara
negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu
menurut kehendaknya.
Cukup membuktikan bahwa pada waktu memberikan
hadiah atau janji, pelaku mempunyai maksud tertentu.
6. Unsur “yang bertentangan dengan kewajibannya”
Pelaku harus mengetahui bahwa dengan melaksanakan kehendaknya itu si
pegawai negeri atau penyelenggara negara telah tidak memenuhi
kewajibannya.

Catatan: mengingat Pasal 5 merupakan pasal yang diadopsi dari Ps. 209
KUHP, maka jurisprudensi yang terdapat pada Ps. 209 KUHP dapat
diterapkan dalam Ps. 5!
Unsur Ps. 13
1. Unsur “setiap orang”
Unsur ini telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya.
2. Unsur “memberi hadiah atau janji”
Unsur ini mempunyai alternatif: memberi
hadiah, atau memberi janji.
Memberi hadiah adalah menyerahkan sesuatu,
sesuatu itu adalah hadiah.
Menurut KBBI, hadiah adalah pemberian kenang-
kenangan, penghargaan, penghormatan.
Hadiah diberikan bila seseorang memenuhi prestasi tertentu, karenanya
hadiah selalu diberikan di belakang.
Memberi janji memenuhi juga makna berjanji, mengikat janji, atau
“janjian”.

3. Unsur Pegawai Negeri.


(Telah dijelaskan di bagian awal)
4. Unsur “dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya”
Unsur ini terkait dengan unsur pegawai negeri sebagai tujuan pemberian
hadiah atau janji.
Pegawai negeri yang dituju memiliki kekuasaan atau kewenangan,
kekuasaan atau kewenangan mana melekat pada jabatan atau
kedudukannya.
5. Unsur “oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan tersebut”
Unsur ini terbukti apabila si pemberi mengetahui, menduga, atau
mengira, bahwa kekuasaan atau kewenangan tertentu melekat pada si
pejabat sehubungan dengan jabatan atau kedudukannya.
Pasal 5 ayat (1) huruf b:
 Setiap orang
 memberi sesuatu
 kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
 karena atau berhubungan dengan sesuatu
 yang bertentangan dengan kewajiban
 dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya

Ancaman pidana:
 1-5 tahun penjara; dan
 Denda Rp. 5- jt-Rp. 250 jt.
Unsur Ps. 5 ayat (1) huruf b
1. Unsur “setiap orang”
Unsur ini telah dijelaskan pada bagian
terdahulu.
2. Unsur “memberi sesuatu”
Unsur ini telah dijelaskan pada bagian
terdahulu.
3. Unsur “pegawai negeri atau penyelenggara
negara”
Unsur ini telah dijelaskan pada bagian
terdahulu.
Pasal 6
(1) - Setiap orang
- Yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
hakim
- Dengan maksud
- Untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
- Yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang yang menurut UU ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang
- dengan maksud
- untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan
Pasal 7 ayat (1) huruf a:
 pemborong; atau
ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan; atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan
 melakukan perbuatan curang
 yang dapat membahayakan:
• keamanan orang atau barang, atau
• Keselamatan negara dalam keadaan perang.
Pasal 7 ayat (1) huruf b:
 Setiap orang
 yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan
 sengaja
 membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud huruf a.
Pasal 7 ayat (1) huruf c:
 Setiap orang
 yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI dan atau Polri
 melakukan perbuatan curang
 yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang
Pasal 7 ayat (1) huruf d:
 Setiap orang
 yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan atau Polri
 sengaja
 membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud huruf c.
Pasal 7 ayat (2):
 (setiap) Orang
 Yang menerima
• penyerahan bahan bangunan; atau
• penyerahan barang keperluan TNI dan atau Polri;

- dan membiarkan perbuatan curang


sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a
atau c.
Pasal 8:
 Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai
negeri
 yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
 secara terus menerus atau untuk sementara waktu
 sengaja:
• menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya; atau
• Membiarkan uang atau surat berharga itu
• diambil atau digelapkan oleh orang lain; atau
• membantu dalam melakukan perbuatan (mengambil
atau menggelapkan uang atau surat berharga) tersebut.
1. H.R. 27 Juli 1938, 1939 No. 123
Bagi seorang pegawai kantor pos, benda-benda pos
seperti perangko, materai, kartu pos dan
sebagainya itu merupakan surat-surat berharga.
Berdasarkan undang-undang Pos, benda-benda
tersebut diperuntukkan guna membayar beberapa
hak dan kewajiban tertentu, sehingga di dalam
peredarannya benda-benda tersebut mempunyai
suatu fungsi, yang disebut sebagai kertas berharga.
2. M.A. 23 Maret 1957 No. 73 K/Kr/1956
Dipergunakannya sejumlah uang oleh pegawai
negeri untuk pos lain daripada yang telah
ditentukan, merupakan kejahatan penggelapan
termaksud Pasal 415 KUHP.
Pasal 9
 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
 Yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum:
• secara terus menerus, atau
• untuk sementara waktu
 Dengan sengaja
 Memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi
Pasal 10 huruf a
- Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
- yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau sementara
waktu
- menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai
- barang, akta, surat, atau daftar
- yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang
- yang dikuasai karena jabatannya
Pasal 10 huruf b
- Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
- yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau sementara waktu
 membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai,
 Barang, akta, surat, atau daftar
Pasal 10 huruf c
- Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
- yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau sementara waktu
 Membantu orang lain menghancurkan, menghilangkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai
 Barang, akta, surat, atau daftar
Pasal 11

 Pegawai negeri atau penyelenggara negara


 menerima hadiah atau menerima janji
 diketahui atau patut diduga
 hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungan dengan jabatannya”
Yurisprudensi yang berkaitan dengan Pasal 418 KUHP:

1. H.R. 10 April 1893, W. 6333.


Adalah tidak perlu bahwa pemberian itu diterima oleh
si pegawai negeri di dalam sifatnya sebagai pegawai
negeri.

2. M.A. 13 Desember 1960 No. 50 K/Kr/1960.


Undang-undang atau hukum tidak mengenal
ketentuan, bahwa apabila seorang pegawai negeri
dituduh melakukan kejahatan yang dimaksud oleh
Pasal 418 KUHP, maka orang yang memberi kepada
pegawai negeri itu harus dituntut lebih dahulu atas
kejahatan tersebut di dalam Pasal 209 KUHP
3. M.A. 19 November 1974 No. 77 K/Kr/1973

Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi c.q. menerima hadiah,


walaupun menurut anggapannya uang yang diterima itu dalam
hubungannya dengan kematian keluarganya, lagipula penerima
barang-barang itu bukan terdakwa melainkan istri/atau anak-anak
terdakwa.

4. M.A. 23 Desember 1955 No. 1/1955/M.A.Pid.

Seorang menteri adalah “pegawai negeri” dalam arti yang


dimaksudkan di dalam pasal-pasal 418 dan 419 KUHP. Dalam hal
dua orang atau lebih dituduh bersama-sama dan bersekutu
melakukan kejahatan menurut pasal-pasal 418 dan 419 KUHP,
tidaklah perlu masing-masing dari mereka, memenuhi segala unsur
yang oleh pasal itu dirumuskan untuk tindak pidana tersebut. In
casu tidak perlu mereka semua melakukan tindakan menerima
uang.
Pasal 12 huruf a
 pegawai negeri atau penyelenggara negara
 Yang menerima hadiah atau janji
 Padahal diketahui atau patut diduga
 Hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkan
 Agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
 Yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 12 huruf b
 Pegawai negeri atau penyelenggara negara
 Yang menerima hadiah
 Padahal diketahui atau patut diduga
 Diberikan sebagai akibat atau disebabkan
 Telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
 Yang bertentangan dengan kewajibannya.
H.R. 4 Feb. 1947, 1947, No. 170

 Untuk pengetahuan seperti yang dimaksudkan di dalam angka 1 hanyalah


apakah pegawai negeri itu menyadari bahwa pemberian itu dimaksudkan
untuk menggerakkan dirinya untuk melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajibannya di dalam pelaksanaan tugasnya; tidak menjadi soal
apakah yang memberikan itu mempunyai maksud bahwa perbuatan itu
akan dilakukan atau tidak
Pasal 12 huruf c
 Hakim
 Yang menerima hadiah atau janji
 Padahal diketahui atau patut diduga
 Diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili.
Pasal 12 huruf d
 Advokat
 Menerima hadiah atau janji
 Padahal diketahui atau patut diduga
 Diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan
Pasal 12 huruf e
 Pegawai negeri atau penyelenggara negara
 Dengan maksud
 Menguntungkan diri sendiri atau orang lain
 Secara melawan hukum
 Dengan menyalahgunakan kekuasaannya
 Memaksa seseorang
 Memberikan sesuatu yang dibayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Pasal 12 huruf f
 Pegawai negeri atau penyelenggara negara
 Pada waktu menjalankan tugas
 Meminta, menerima, atau memotong
 Pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara lain atau
kepada kas umum
 Seolah mereka itu mempunyai utang kepadanya
 Padahal diketahui bukan utang
Yurisprudensi atas Pasal 425 ke-1
MA 23 Januari 1956 No. 25 K/Kr/1955

Salah satu unsur dari Pasal 425 ke-1 KUHP adalah “menjalankan
perbuatan itu di dalam jabatannya. Karena pembuatan daftar
penerimaan uang dan pembayaran gaji orang-orang yang dimintai uang
oleh terdakwa itu bukanlah tugas terdakwa sebagai klerek pada Jawatan
Pengajaran Daerah, akan tetapi menjadi tugas dari Kepala Sekolah Rakyat
yang bersangkutan, sedang terdakwa hanya dimintai bantuan, maka
permintaan uang tersebut tidak dilakukan terdakwa dalam jabatannya.
Pasal 12 huruf g
 Pegawai negeri atau penyelenggara negara
 Pada waktu menjalankan tugas
 Meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan
barang
 Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya
 Padahal diketahui bukan utang.
Pasal 12 huruf h
 Pegawai negeri atau penyelenggara negara
 Pada waktu menjalankan tugas
 Menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai
 Seolah sesuai per-UU-an
 Telah merugikan orang yang berhak
 Padahal diketahuinya
 Perbuatan tersebut bertentangan dengan per-UU-an
Pasal 12 huruf g
 Pegawai negeri atau penyelenggara negara
 Langsung maupun tidak langsung
 Turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan
 Yang pada saat perbuatan dilakukan
 Seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Pasal 15
 Setiap orang
 Yang melakukan: percobaan, atau pembantuan, atau
permufakatan jahat
 Untuk melakukan tindak pidana korupsi…

Ancaman pidana:
 dalam hal percobaan, disamakan dengan delik selesai;
 dalam hal pembantuan, disamakan dengan pelaku
utamanya;
 Dalam hal permufakatan jahat, disamakan dengan
seandainya delik itu sungguh dilakukan.
Pasal 12B ayat (1):
 Setiap gratifikasi
 Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
 Dianggap pemberian suap
 Apabila berhubungan dengan jabatan
 Dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Pengertian Gratifikasi
adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, rabat
(diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun
di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik
atau tanpa sarana elektronik.

(Penjelasan Pasal 12B)


Gratifikasi
Dasar Pemikiran:
“Tidak sepantasnya pegawai negeri/pejabat publik menerima pemberian
atas pelayanan yang mereka berikan”

“Seseorang tidak berhak meminta dan mendapat sesuatu melebihi haknya


sekedar ia melaksanakan tugas sesuai tanggungjawab dan kewajibannya”
Perbedaan Suap dan Gratifikasi
Dalam suap harus terdapat meeting of mind, dalam gratifikasi tidak.
Bahkan bisa terjadi, pemberi gratifikasi tidak mengetahui apa yang ia
kehendaki dari si penerima.

Gratifikasi diberikan, BUKAN:


1. supaya pejabat berbuat sesuatu;
2. karena pejabat telah berbuat sesuatu;
TETAPI semata-mata karena ia pejabat!
Gagasan Plato (427 SM – 347 SM)

“Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa


menerima hadiah-hadiah. Mereka yang membangkang, kalau terbukti
bersalah, harus dibunuh tanpa upacara”
Gratifikasi merupakan setiap penerimaan seseorang dari orang lain yang
bukan tergolong ke dalam tindak pidana suap.

Gratifikasi kepada pegawai negeri/penyelenggara negara yang


berhubungan dengan jabatan atau kedudukannya dianggap suap.
Rumus:

Suap = Gratifikasi + Jabatan


Pembuktian Gratifikasi

1. oleh penerima gratifikasi, apabila nilainya Rp. 10,000,000,00


(sepuluh juta rupiah) atau lebih.

2. oleh penuntut umum, apabila nilainya kurang dari Rp. 10,000,000,00


(sepuluh juta rupiah)
Gratifikasi tidak dianggap sebagai suap apabila
penerima menyampaikan laporan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi, selambat-lambatnya 30 hari
sejak menerima gratifikasi tersebut
Tatacara Pelaporan dan Penentuan Status
Gratifikasi (Pasal 16 UU No. 31/1999 jo. UU
No. 20/2001
1. Laporan ditujukan kepada KPK, dibuat secara tertulis dengan mengisi
formulir dan melampirkan dokumen terkait (bila ada).
2. Laporan setidaknya memuat nama serta alamat pemberi dan penerima
gratifikasi, jabatan, tempat/waktu/nilai gratifikasi.
3. Dalam kurun waktu 30 hari sejak laporan diterima, KPK akan
menetapkan status gratifikasi tersebut menjadi milik penerima atau
milik negara.

Gratifikasi yang menjadi milik negara wajib diserahkan kepada Menteri


Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
Ungkapan sehari-hari yang mengindikasikan adanya
perbuatan korupsi berupa gratifikasi yang diucapkan
(terutama) pada saat dilakukannya perbuatan
memberi:

 “ucapan terima kasih”


 “anggap saja sedekah”
 “bagi-bagi rejeki”
 “uang perkenalan”
 “lagi happy”
 “oleh-oleh”
 “kenang-kenangan”
 “sudah biasa”
 “tidak ada maksud apa-apa”

Apa lagi?
Tidak kenal pemberi dan tidak
tahu asal-muasal barang
pemberian bukan alasan untuk
menerima, tetapi justru alasan
untuk menolak!
Sekian.
Mohon maaf dan terima kasih...

Gandjar Laksmana Bonaprapta


+628164843422
gandjar_elbe@yahoo.com
@gandjar_bondan

Anda mungkin juga menyukai