Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global antar negara yang tergolong kejahatan
transnasional, bahkan membawa implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi dan keuangan
negara yang besar dan dapat digolongkan sebagai kejahatan yang sangat luar biasa, sehingga
harus diberantas. Pemberantasan korupsi harus selalu dijadikan prioritas agenda utama
pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak serta sebagai bagian dari program
untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara.
Perbuatan korupsi dapat saja mempunyai dua motif sekaligus, yakni korupsi yang
sepintas lalu hanya mendapatkan uang tetapi sesungguhnya sudah dipersiapkan untuk
kepentingan politik, demikian pula korupsi yang kelihatannya hanya merugikan di bidang
perekonomian tetapi dapat juga misalnya dipergunakan untuk mempengaruhi jalannya pemilihan
umum agar mengalami kegagalan melalui manipulasi suara. Korupsi telah banyak terjadi di
banyak bidang dalam proses pembangunan, karena seiring dengan pesatnya pembangunan yang
semakin maju,terasa pula semakin meningkatnya kebocoran-kebocoran dana pembangunan,
terbukti dalam kasus korupsi yang bermilyar rupiah. Perkembangan masalah korupsi di
Indonesia sudah sedemikian parahnya dan dianjurkan suatu tindakan tegas, sehingga timbul
ketakutan untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi
sudah masuk dalam katagori membahayakan. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak
terkendali akan membawa bencana yang tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional
tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Sanksi terhadap pelaku korupsi sudah diperberat, namun hampir setiap hari kita masih
membaca atau mendengar adanya berita mengenai korupsi. Berita mengenai operasi tangkap
[1]
tangan (OTT) terhadap pelaku korupsi masih sering terjadi. Yang cukup menggemparkan adalah
tertangkap tangannya 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang oleh KPK. Kemudian, tidak kalah
menggemparkannya adalah berita mengenai tertangkap tangannya anggota DPRD Kota Mataram
yang melakukan pemerasan terkait dengan dana bantuan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang
terdampak bencana gempa bumi Lombok, NTB. Dapat ditegaskan bahwa korupsi itu selalu
bermula dan berkembang di pemerintahan dan perusahaan-perusahaan milik negara. Dengan
bukti-bukti yang nyata dengan kekuasaan itulah pejabat publik dan perusahaan milik negara
dapat
menekan atau memeras para orang-orang yang memerlukan jasa pelayanan dari pemerintah
maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Korupsi pada bidang swasta juga sudah separah
dengan korupsi yang terjadi pada bidang publik, bilamana aktivitas bisnisnya terkait atau
berhubungan dengan sektor publik, misalnya sektor perpajakan, perbankan dan pelayanan publik
1.3 TUJUAN
[2]
BAB II PEMBAHASAN
Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan ada sembilan tipe korupsi yaitu:
1. Political bribery adalah termasuk kekuasaan dibidang legislatif sebagai badan pembentuk
Undang-Undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan
karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan
aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen
dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka.
2. Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak
pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang
untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan
umum.
4. Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas
Negara maupun uang Negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan Negara.
5. Discretionary corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam
menentukan kebijakan.
6. Illegal corruption ialah korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau
interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik
itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim.
[3]
7. Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionary corruption dan illegal
corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok.
8. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk
kepentingan pribadi.
Dalam konteks hukum pidana, tidak semua tipe korupsi yang kita kenal tersebut
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Oleh Karena itu, perbuatan apa saja yang dinyatakan
sebagai korupsi, kita harus merujuk pada Undang-Undang pemberantasan korupsi. Secara garis
besar perbuatan terlarang dalam UU No. 31 Tahun1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 terkualifikasi
dengan sebutan tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi. Untuk lebih mudah mengingatnya, jenis-jenis tindak pidana korupsi yaitu:
1. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara
adalah korupsi (Pasal 2 ayat 1).
2. Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat
merugikan keuangan negara adalah korupsi (Pasal 3).
3. Menyuap pegawai negeri adalah korupsi (Pasal 5 ayat 1 huruf a, pasal 5 ayat 1
huruf b).
4. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya adalah korupsi (pasal
13).
5. Pegawai negeri menerima suap adalah korupsi (pasal 5 ayat 2, pasal 12 huruf a,
pasal 12 huruf b).
6. Pegawai neegeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya adalah
korupsi (pasal 11).
7. Menyuap hakim adalah korupsi (pasal 6 ayat 1 huruf a).
8. Menyuap advokat adalah korupsi (pasal 6 ayat 1 huruf b).
9. Hakim dan Advokat menerima suap adalah korupsi (pasal 6 ayat 2).
10. Hakim menerima suap adalah korupsi (pasal 12 huruf c).
11. Advokat menerima suap adalah korupsi (pasal 12 huruf d).
12. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan adalah
korupsi (pasal 8).
[4]
13. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaanadministrasi adalah korupsi
(pasal 9).
14. Pegawai negeri merusak bukti adalah korupsi (pasal 10 huruf a).
15. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti adalah korupsi (pasal 10
huruf b).
16. Pegawai negeri membantu orang lain merusak bukti adalah korupsi (pasal 10
huruf c).
17. Pegawai negeri memeras adalah korupsi (pasal 12 huruf e, pasal 12 huruf f).
18. Pegawai negeri memeras pegawai negeri lain adalah korupsi (pasal 12 huruf f).
19. Pemborong berbuat curang adalah korupsi (pasal 7 ayat 1 huruf a).
20. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang adalah korupsi (pasal 7 ayat 1
huruf b).
21. Rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah korupsi (pasal 7 ayat 1 huruf c).
22. Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang adalah korupsi (pasal
7 ayat 1 huruf d ).
23. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang adalah korupsi (pasal 7
ayat 2).
24. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain adalah
korupsi (pasal 12 huruf h).
25. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya adalah korupsi (pasal
12 huruf i).
26. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK adalah
korupsi (pasal 12 B).
1. Pelaku (subjek), sesuai dengan Pasal 2 ayat (1). Unsur ini dapat dihubungkan
dengan Pasal 20 ayat (1) sampai (7), yaitu:
2. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas suatu korporasi, maka tuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
[5]
3. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama.
4. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.
5. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili orang lain.
6. Hakim dapat memerintah supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintah supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang
pengadilan.
7. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus
di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
8. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan
ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
9. Melawan hukum baik formil maupun materil.
10. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
11. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.
12. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
[6]
Sedangkan menurut S. H. Alatas korupsi terjadi disebabkan oleh faktor faktor berikut:
Pendidikan antikorupsi sejak dini adalah salah satu cara untuk memberantas korupsi.
Dengan pendidikan antikorupsi sejak dini, dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
tindakan-tindakan korupsi sehingga masyarakat dapat ikut andil dalam memberantasnya. Dengan
pendidikan antikorupsi pula dapat meningkatkan pengetahuan mengenai dampak/akibat korupsi
sehingga dapat menghindarinya bahkan ikut serta dalam melawannya.
Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat
setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan Masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang
kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat
hanya akan mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan selfishness.6 Tidak akan ada kerja
sama dan persaudaraan yang tulus. Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara7 dan
dukungan teoritik oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif
terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam
di antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-
[7]
lain Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika
korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam masyarakat. Theobald
menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism. Chandra
Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan
diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan berpikir tentang dirinya sendiri
semata-mata. Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan publik
untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin
akan hilang.
Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah
rusaknya generasi muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah menjadi makanan sehari-hari,
anak tumbuh dengan pribadi antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa
korupsi sebagai hal biasa (atau bahkan budaya), sehingga perkembangan pribadinya menjadi
terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak bertanggung jawab. Jika generasi muda suatu bangsa
keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya masa depan bangsa tersebut.
Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan
pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Jika demikian keadaannya, maka
masyarakat tidak akan percaya terhadap pemerintah dan pemimpin tersebut, akibatnya mereka
tidak akan patuh dan tunduk pada otoritas mereka. Praktik korupsi yang meluas dalam politik
seperti pemilu yang curang,kekerasan dalam pemilu, money politics dan lain- lain juga dapat
menyebabkan rusaknya demokrasi, karena untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa korup
itu akan menggunakan kekerasan (otoriter) atau menyebarkan korupsi lebih luas lagi di
masyarakat. Di samping itu, keadaan yang demikian itu akan memicu terjadinya instabilitas
sosial politik dan integrasi sosial, karena terjadi pertentangan antara penguasa dan rakyat.
Bahkan dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan jatuhnya kekuasaan pemerintahan secara tidak
terhormat, seperti yang terjadi di Indonesia.
[8]
d. BAHAYA KORUPSI BAGI EKONOMI BANGSA
Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa. Jika suatu projek ekonomi
dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan projek, nepotisme
dalam penunjukan pelaksana projek, penggelepan dalam pelaksanaannya dan lain-lain bentuk
korupsi
dalam projek), maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari projek tersebut tidak akan
tercapai. Penelitian empirik oleh Transparency International menunjukkan bahwa korupsi juga
mengakibatkan berkurangnya investasi dari modal dalam negeri maupun luar negeri, karena para
investor akan berpikir dua kali untuk membayar biaya yang lebih tinggi dari semestinya dalam
berinvestasi (seperti untuk penyuapan pejabat agar dapat izin, biaya keamanan kepada pihak
keamanan agar investasinya aman dan lain-lain biaya yang tidak perlu). Sejak tahun 1997,
investor dari negara-negera maju (Amerika, Inggris dan lain-lain) cenderung lebih suka
menginvestasikan dananya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) kepada negara yang
tingkat korupsinya kecil.
1. Kasus BLBI
[9]
Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Nak Indonesia (BLBI) menjadi salah satu kasus
korupsi terbesar yang ada di Indonesia. BLBI adalah program pinjaman dari Bank
Indonesia kepada sejumlah bank yang mengalami masalah pembayaran kewajiban
saat menghadapi krisis moneter 1998. Bank yang telah mengembalikan bantuan
mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL), namun belakangan diketahui SKL itu
diberikan sebelum bank tertentu melunasi bantuan. Menurut keterangan dari KPK
kerugian negara akibat kasus megakorupsi ini mencapai Rp 3,7 triliun.
1. Asabri
Kasus PT Asabri menjadi sorotan meskipun belum diketahui secaa pasti, namun
total kerugian Negara diyakini mencapai Rp.10 triliun.
2. Jiwasraya
3. Kasus E-KTP
Kasus pengadaan E-KTP menjadi kasus korupsi yang paling fenomenal. Kasus ini
menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang telah bergulir
sejak 2011 dengan total kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Ada sekitar 280
saksi yang telah diperiksa KPK atas kasus ini dan hingga kini ada 8 orang yang
telah ditetapkan sebagai tersangka.
4. Pelindo II
[10]
KPK. Kasus ini menyeret nama mantan Dirut PT Pelindo RJ Lino yang telah
ditetapkan tersangka sejak 2015 lalu. Dalam kasus ini, Lino juga diduga
menyalahgunakan wewenangnya dengan menunjuk langsung HDHM dari China
dalam pengadaan tiga unit QCC.
Pemerintahan boleh saja berganti, tapi upaya memerangi korupsi tidak akan pernah
padam. Berbagai landasan dan instrumen hukum telah dibentuk di Indonesia untuk
memberangus dan memberantas tindak pidana korupsi. Berbekal undang-undang dan
peraturan pemerintah, korupsi berusaha dicegah dan pelakunya diberi hukuman yang
setimpal.
[11]
seumur hidup serta denda maksimal Rp 30 juta bagi semua delik yang
dikategorikan korupsi.
Walau UU telah menjabarkan dengan jelas tentang definisi korupsi, yaitu
perbuatan merugikan keuangan negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain, namun kenyataannya korupsi, kolusi, dan nepotisme masih marak
terjadi di masa itu. Sehingga pada pemerintahan-pemerintahan berikutnya,
undang-undang antikorupsi bermunculan dengan berbagai macam perbaikan di
sana-sini. UU No. 3 tahun 1971 ini dinyatakan tidak berlaku lagi setelah
digantikan oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Usai rezim Orde Baru tumbang diganti masa Reformasi, muncul Tap MPR
Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
KKN. Sejalan dengan TAP MPR tersebut, pemerintah Presiden Abdurrahman
Wahid membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan
korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi,
Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan
beberapa lainnya.Dalam TAP MPR itu ditekankan soal tuntutan hati nurani rakyat
agar reformasi pembangunan dapat berhasil, salah satunya dengan menjalankan
fungsi dan tugas penyelenggara negara dengan baik dan penuh tanggung jawab,
tanpa korupsi. TAP MPR itu juga memerintahkan pemeriksaan harta kekayaan
penyelenggara negara, untuk menciptakan kepercayaan publik.
[12]
Dalam UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN ini dijelaskan definisi soal korupsi, kolusi dan nepotisme, yang
kesemuanya adalah tindakan tercela bagi penyelenggara negara.
Dalam UU juga diatur pembentukan Komisi Pemeriksa, lembaga
independen yang bertugas memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan
penyelenggara negara untuk mencegah praktik korupsi. Bersamaan pula ketika itu
dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman.
[13]
perkara oleh penegak hukum. Atas peran sertanya, masyarakat juga akan
mendapatkan penghargaan dari pemerintah yang juga diatur dalam PP ini.
[14]
8. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional
Pencegahan Korupsi (Stranas PK)
[15]
Pemberantasan korupsi bukan sekadar penindakan, namun juga
pendidikan dan pencegahan. Oleh karena itu Menteri Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi mengeluarkan peraturan untuk menyelenggarakan pendidikan
antikorupsi (PAK) di perguruan tinggi.
Melalui Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban
Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi,
perguruan tinggi negeri dan swasta harus menyelenggarakan mata kuliah
pendidikan antikorupsi di setiap jenjang, baik diploma maupun sarjana. Selain
dalam bentuk mata kuliah, PAK juga bisa diwujudkan dalam bentuk kegiatan
Kemahasiswaan atau pengkajian, seperti kokurikuler, ekstrakurikuler, atau di
unit kemahasiswaan. Adapun untuk Kegiatan Pengkajian, bisa dalam bentuk
Pusat Kajian dan Pusat Studi
[16]
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Tindak pidana korupsi dikatogorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes)
yang tidak hanya menimbulkan bencana bagi perkonomian nasional, tetapi juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.
2. Dalam pelaksanaan modus operasinya, pelaku tindak pidana korupsi seringkali
memanfaatkan celah berupa adanya batasan yurisdiksi dari satu negara dengan negara
yang lain.
3. Secara sistematis, penyelidikan dan penyidikan sebagai langkah awal pemberantasan
tindak pidana korupsi harus melibatkan kerjasama negara-negara lain.
4. Selain diperlukan sumber daya manusia yang handal, hukum nasional yang memadai,
juga diperlukan adanyasuatu payung hukum internasional dalam mendukung pelaksanaan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.
[17]
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2006. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.
PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Chaerudin DKK. 2008. Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. PT
Refika Aditama: Bandung
Erdianto Effendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia - Suatu Pengantar. PT. Refika Aditama:
Bandung
Ermansjah Djaja. 2010. Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
Sinar Grafika: Jakarta Evi Hartanti. 2012. Tindak Pidana Korupsi: Edisi Kedua. Sinar
Grafika: JakartaHamzah, Andi, Korupsi di Indonesia dan Pemecahannya, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1991).Salim, Emil, “Mungkinkah Ada Demokrasi di
Indonesia”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi,
(Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994).
Singh, Khushwant, “Are We a Corrupt People?”,dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India,
(New Delhi: Chetana Publications, 1975).
Susetiawan, “Harmoni, Stabilitas Politik dan Kritik Sosial”, Kritik Sosial dalam Wacana
Pembangunan, (Yogyakarta: UII Press, 1997). Theobald, Robin, (1990), Corruption,
Development and Underdevelopment, (London: The McMillan Press Ltd.
Umer Chapra, M., Islam and Economic Challenge, (USA: IIIT dan The Islamic Foundation,
1995).
[18]