Anda di halaman 1dari 9

1

PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN CYBER CRIME

Pendahuluan
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dari waktu ke
waktu menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan, sehingga tidak
ada satu aktivitas manusia yang tidak bersentuhan dengan teknologi
informasi.
Dengan maraknya penggunaan teknologi informasi, maka aktivitas
manusia banyak dimudahkan. Jarak yang selama ini menjadi penghalang
bagi manusia dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan hadirnya
teknologi informasi tidak lagi menjadi penghalang, demikian pula waktu,
dimana selama ini aktivitas manusia, khususnya dalam urusan bisnis
dibatasi hanya pada jam-jam tertentu, dengan datangnya era teknologi
informasi menjadi tidak terbatas karena aktivitas bisnis dapat dijalankan
selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu.
Ironisnya, pada saat teknologi informasi menghadirkan berbagai
kemudahan, pada saat bersamaan aksi-aksi kejahatan pun semakin
mudah dilakukan, sehingga mulai bermunculan kejahatan-kejahatan
konvensional berbasis teknologi informasi (cyber crime), seperti: online
gambling, online pornografi, cyber terrorism dan sebagainya.
Maraknya penggunaan sarana teknologi informasi sebagai alat
bantu dalam melakukan tindak pidana justru menyisakan berbagai
pertanyaan salah satunya perihal sejauhmana perkembangan teknologi
informasi mampu menjadi pendorong peningkatan kualitas hidup umat
manusia, terlebih muncul kesan di masyarakat bahwa aparat penegak
hukum seringkali mengalami kesukaran dalam mengungkap kasus cyber
crime, akibatnya muncul kekhawatiran terhadap keamanan penggunaan
sarana teknologi informasi. Kondisi ini semakin memperoleh pembuktian
ketika indonesia menduduki peringkat pertama dalam cyber crime pada

tahun 2004, tetapi data jumlah kasus cyber crime yang ditangani oleh polri
jumlahnya relatif sedikit.
Dalam menanggulangi maraknya kasus cyber crime aparat polri
senantiasa dituntut mampu menampilkan performa yang professional
sehingga perkembangan teknologi informasi tidak lagi menjadi momok
yang menakutkan tetapi sebaliknya akan banyak mendatangkan manfaat
bagi kesejahteraan umat manusia.

Pengertian cyber crime


Menemukan

definisi

cyber

crime

yang

sifatnya

baku

dan

komprehensif bukanlah pekerjaan mudah mengingat di dalam istilah cyber


crime itu sendiri terkandung berbagai aktifitas yang sifatnya komprehensif.
Karena itu sangat wajar apabila bermunculan berbagai definisi dari cyber
crime dalam berbagai perspektif.
Sekalipun

demikian,

beberapa

definisi

cyber

crime

akan

dikemukakan sekedar menjadi pedoman dalam memahami hal-hal apa


saja yang tercakup di dalamnya, sekalipun definisi-definisi ini dalam
beberapa hal masih mengandung kekurangan.
1.

Kongres PBB ke- 10 yang diselenggarakan di Vienna, pada 10-17 april


2000 (tenth united nations congress on the prevention of crime and the
treatment of offenders), mengkategorisasi cyber crime dalam arti sempit
maupun secara luas, yaitu:
(a)

cyber crime in a narrow sense (computer crime): any


illegal behavior directed by means of electronic operations
that targets the security of computer systems and the data
processed by them;

(b)

cyber crime in a broader sense (computer-related crime):


any illegal behaviour committed by means of, or in relation
to, a computer system or network, including such crimes as
illegal possession, offering or distributing information by
means of a computer system or network.

2.

Undang-undang no. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi


elektronik (uu ite) tidak memasukan definisi cyber crime atau kejahatan
teknologi

informasi

pengelompokkan

dalam

jenis-jenis

ketentuan
perbuatan

umumnya
yang

tetapi

dilarang

melakukan
sebagaimana

disebutkan dalam pasal 27 sampai pasal 36. Uu ite melakukan


pengelompokkan perbuatan yang dilarang yaitu:
1.

3)
4)
5)
6)
7)

Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal,


yaitu:
A.
Distribusi
atau
penyebaran,
transmisi,
dapat
diaksesnya konten illegal, yang terdiri dari:
1) Kesusilaan (pasal 27 ayat [1] uu ite);
2) Perjudian (pasal 27 ayat [2] uu ite);
Penghinaan atau pencemaran nama baik (pasal 27 ayat [3] uu ite);
Pemerasan atau pengancaman (pasal 27 ayat [4] uu ite);
Berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (pasal 28 ayat
[1] uu ite);
Menimbulkan rasa kebencian berdasarkan sara (pasal 28 ayat [2] uu ite);
Mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakutnakuti yang ditujukan secara pribadi (pasal 29 uu ite);
B.
Dengan cara apapun melakukan akses illegal (pasal 30
uu ite);
C.
Intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen
elektronik dan sistem elektronik (pasal 31 uu ite);
2.

Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan


(interferensi), yaitu:
A.
Gangguan
terhadap
informasi
atau
dokumen
elektronik (data interference pasal 32 uu ite);
B.
Gangguan
terhadap
sistem
elektronik
(system
interference pasal 33 uu ite);

3.

Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (pasal


34 uu ite);
Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik
(pasal 35 uu ite);
Tindak pidana tambahan (accessoir pasal 36 uu ite); dan
Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (pasal 52
uu ite).

4.
5.
6.

Dari pengelompokan beberapa perbuatan yang dilarang di atas


sekalipun secara redaksional mengandung perbedaan namun tetap

memiliki persamaan bahwa dikatakan sebagai tindak pidana yang


berkaitan dengan teknologi informasi (cyber crime) yaitu mengacu pada
aktivitas kajahatan dengan komputer atau jaringan komputer yang
menjadikannya sebagai alat atau sasaran kejahatan.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan pada berbagai aktivitas
kejahatan yang dilakukan, maka cyber crime dapat dilihat dari dua sudut
pandang yaitu
1.

Teknologi

informasi

digunakan

sebagai

sarana

untuk

melakukan

kejahatan. Misalnya, pembajakan, pornografi, pemalsuan/pencurian kartu


kredit, penipuan lewat email (fraud), email spam, perjudian online,
pencurian account internet, terorisme, dan sebagainya.
2.

Sistem teknologi informasi dijadikan sebagai obyek/ sasaran kejahatan.


Misalnya, hacker email, atau account pribadi, pembuatan/penyebaran
virus

komputer,

pembobolan/pembajakan

situs,

kejahatan

yang

berhubungan dengan nama domain, dan sebagainya.


Permasalahan dalam penegakan hukum cyber crime
Sekalipun berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh polri dalam
kaitan penanggulangan cyber crime, faktanya masih banyak kasus cyber
crime yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ada beberapa faktor yang
menjadi penyebab terhambatnya proses penegakan hukum cyber crime di
indonesia, di antaranya:
1.

Kasus cyber crime hampir terjadi di seluruh wilayah indonesia, sementara


sumber daya manusia polri yang memahami masalah penanggulangan
cyber crime relatif terbatas. Padahal, dalam menangani kasus cyber crime
diperlukan penyidik yang berpengalaman (bukan penyidik pemula),
pendidikannya pun diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan
menguasai administrasi penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di
bidang komputer (teknologi informasi).

2.

Anggaran untuk mendukung penanggulangan cyber crime masih belum


memadai dibandingkan kompleksitas penanganan kasus cyber crime
karena anggaran untuk penanganan cyber crime jumlahnya disamakan
dengan penanganan kasus-kasus pidana konvensional. Karena itu, sering
terjadi penanganan kasus cyber crime terkesan jalan di tempat, terlebih
untuk kasus cyber crime lintas negara.

3.

Sarana prasarana yang berbasis tekonologi informasi masih terbatas


sifatnya sehingga setiap aparat Polri mengalami kesukaran jika harus
melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus cyber crime. Sekalipun
sudah dimiliki sarana prasarana yang berbasis teknologi informasi namun
jumlahnya terbatas serta tidak mampu menyaingi sarana prasarana yang
dimiliki oleh pelaku kejahatan cyber crime. Misalnya, untuk membuktikan
jejak-jejak

para

hacker

dalam

melakukan

aksinya

terutama

yang

berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, Polri


belum memiliki sarana komputer forensik. Padahal, fasilitas ini diperlukan
untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpan
bukti-bukti kejahatan berupa soft copy, seperti image, program, dan
sebagainya.
4.

Masih belum adanya kesepakatan dikalangan aparat penegak hukum


mengenai keabsahan dari alat bukti elektronik (digital evidence) untuk
menjerat pelaku cyber crime.

5.

Belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur


mengenai cyber crime karena peraturan perundang-undangan yang
digunakan masih tersebar sifatnya di beberapa undang-undang tertentu,
bahkan

tidak

jarang

kitab

undang-undang

hukum

pidana

masih

digunakan untuk menjerat pelaku cyber crime. Misalnya, untuk kasus


carding masih digunakan Pasal 362 KUHP, Pasal 378 KUHP dikenakan
untuk penipuan dengan seolah olah menawarkan dan menjual suatu
produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website

sehingga orang tertarik untuk membelinya, Pasal 335 KUHP dikenakan


untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail
yang dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku.

Peraturan perundang-undangan untuk menanggulangi cyber crime


Dari berbagai pengalaman dalam mengungkap kasus-kasus cyber
crime, sambil menunggu disusunnya peraturan perundang-undangan yang
secara

khusus

mengatur

mengenai

pemberantasan

cyber

crime,

sebagaimana pepatah menyebutkan tiada rotan akarpun jadi, maka


beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan menjerat
pelaku cyber crime, di antaranya:
a.

Kitab undang undang hukum pidana, di antaranya Pasal 311 KUHP


(untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media
internet), pasal 303 KUHP (untuk menjerat permainan judi yang dilakukan
secara online), Pasal 282 KUHP (penyebaran pornografi maupun website
porno), Pasal 378 dan 262 KUHP (dapat dikenakan pada kasus carding),
dan sebagainya.

b.

Undang-undang

no

19

tahun

2002

tentang

hak

cipta.

Tindakan

pembajakan program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana


sebagaimana diatur dalam pasal 72 ayat (3) yaitu barang siapa dengan
sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan
komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) .
c.

Undang-undang

Nomor

36

tahun

1999

tentang

telekomunikasi.

Penyalahgunaan internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi


dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan undang- undang ini,
terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain

sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu setiap orang dilarang melakukan
perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi: (a) akses ke jaringan
telekomunikasi (b) akses ke jasa telekomunikasi (c) akses ke jaringan
telekomunikasi khusus.
d.

Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak


pidana terorisme. Undang-undang ini mengatur mengenai alat bukti
elektronik sesuai dengan pasal 27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital evidence
atau alat bukti elektronik sangat berperan dalam penyelidikan kasus
terorisme, karena saat ini komunikasi antara para pelaku di lapangan
dengan

pimpinan

atau

aktor

intelektualnya

dilakukan

dengan

memanfaatkan fasilitas di internet untuk menerima perintah atau


menyampaikan kondisi di lapangan. Fasilitas yang sering digunakan
adalah

e-mail

dan

chat

room

selain

mencari

informasi

dengan

menggunakan search engine serta melakukan propaganda melalui bulletin


board atau mailing list.
e.

Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi & transaksi


elektronik, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal
36 UU ITE.

Upaya Polri dalam penegakan hukum cyber crime


Upaya Polri dalam menanggulangi cyber crime tidak dapat ditundatunda realisasinya, sekalipun dalam praktiknya masih diperhadapkan
pada berbagai kendala, baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Untuk itu, agar kasus-kasus cyber crime dapat diminimalisir, karena
memang menghilangkannya sangat sulit, maka beberapa upaya yang telah
dilakukan oleh Polri, adalah:

a.

Secara

berkelanjutan

mengikuti

Polri

mengirimkan
cyber

pendidikan/pelatihan

anggotanya
crime

untuk

baik

yang

diselenggarakan di dalam negeri maupun luar negeri, seperti


internet investigator di Hongkong, virtual undercover di Washington,
dan computer forensic di Jepang.
b.

Penambahan sarana prasarana untuk mendukung penanggulangan


cyber crime dilakukan dalam setiap tahun anggaran sekalipun
jumlahnya

masih

terbatas.

Apabila

penambahan

belum

memungkinkan maka Polri menjalin kerjasama dengan instansi


terkait guna pemenuhan sarana prasarana ini. Misalnya dengan PT.
Telkom Indonesia, Asosiasi Provider Indonesia, kalangan perguruan
tinggi dan sebagainya
c.

Membangun kerjasama yang sinergis dengan instansi terkait baik


pemerintah

maupun

non

pemerintah,

guna

mendukung

penanggulangan cyber crime, seperti melalui kerjasama dibidang


pendidikan dan pelatihan, penyediaan saksi ahli, peminjaman
sarana

prasarana,

pengawasan

bersama,

menyusun

prosedur

penggunaan sarana prasarana teknologi informasi yang aman.


d.

Membangun kesepahaman dengan penegak hukum dalam kerangka


criminal justice system agar penyelesaian kasus cyber crime dapat
diselesaikan dengan cepat dan tuntas sekaligus hukuman yang
diberikan dapat menimbulkan efek jera.

e.

Mendorong

lembaga

legislative

dan

eksekutive

agar

segera

mengeluarkan regulasi yang dapat mendukung upaya polri dalam


penanggulangan cyber crime.
f.

Khusus untuk kasus-kasus


menyusun

kesepakatan

cyber crime lintas negara, Polri

dengan

negara

lain

(mutual

legal

assistance) terkait penanganan cyber crime dalam bentuk tukar

menukar informasi, pelatihan bersama, pengawasan bersama, dan


sebagainya.

Penutup
Potensi berkembangnya teknologi informasi dimasa yang datang
akan semakin besar seiring dengan munculnya berbagai inovasi baru
dibidang komputer, selain itu, tingkat melek masyarakat pada teknologi
informasi

akan

semakin

meningkat

terlebih

dengan

kemudahan

masyarakat memperoleh akses pada teknologi informasi ini.


Seiring

dengan

berkembangnya

teknologi

informasi

tentunya

dampak negatif dari revolusi ini akan pula dirasakan oleh masyarakat.
Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan agar kemajuan
teknologi informasi tidak digunakan sebagai sarana merusak sendi-sendi
kehidupan masyarakat bukan dengan cara membatasi penggunaan
teknologi

informasi

tetapi

mengatur

dan

mengawasinya

sekaligus

memberikan sanksi yang berat kepada pelaku yang menyalahgunakan


sarana teknologi informasi untuk tujuan kejahatan.
Perlu juga dibangun kesamaan persepsi diantara semua pihak
terkait bahwa membiarkan teknologi informasi berkembang bebas tanpa
arah hanya akan menimbulkan kehancuran bagi peradaban manusia
karena

itu

semua

pihak

dituntut

untuk

mengantisipasi

dan

menanggulanginya secara dini agar mimpi buruk ini tidak terjadi.


Semoga

Anda mungkin juga menyukai