Anda di halaman 1dari 12

Nama : Safitri

Nim :220360041

Mata Kuliah : Hukum Internasional

Dosen Pengampuh: Asram A.T Jadda,SH.,MH

KEJAHATAN DUNIA MAYA (CYBERCRIME)

Perkembangan pesat internet telah menimbulkan berbagai sengketa dan konflik


hukum yang cukup serius bagi pemakainya, banyak berbagai persoalan yang tidak terduga
sebelumnya makin bermunculan.Maraknya penggunaan internet di berbagai bidang
kehidupan sering menimbulkan persoalan-persoalan hukum seperti penipuan, pencurian,
pembobolan dan merusak data dengan penyebaran virus, dll.

Cyber crime dapat diartikan sebagai kegiatan ilegal dengan perantara komputer
yang dapat dilakukan melalui jaringan elektronik global. Pada jaringan komputer seperti
internet, masalah kriminalitas menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang
luas. Kriminalitas dalam internet atau cyber crime pada dasarnya adalah suatu tindak
pidana yang berkaitan dengan cyber space, baik yang menyerang fasilitas umum di dalam
cyber space atau pun kepemilikan pribadi. Bermacam-macam kejahatan yang dapat timbul
dari “permainan” internet, seperti penipuan, penghinaan, pornografi, bahkan kejahatan
terhadap keamanan negara, seperti pembocoran rahasia negara. Money laundering dan
terorisme juga dapat dilakukan melalui internet, terutama dengan penyertaan dan
permufakatan jahat. Sehubungan dengan itu, asas berlakunya hukum pidana terutama asas
universalitas semestinya diperluas terhadap beberapa bentuk delik baru tersebut.
Peningkatan tindak pidana penipuan secara online menyebar di berbagai daerah di
Indonesia.

Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh pada tahun 2016
telah menangani kasus cybercrime atau kejahatan di dunia maya sebesar 14 (empat belas)
kasus, jumlah tersebut mengalami peningkatakan dari tahun sebelumnya, kasus tersebut
terdiri dari kasus pornografi, penipuan online, jual beli online, pencemaran nama baik dan
judi online.1 Hukum positif Indonesia yang mengatur kejahatan secara online (cybercrime)
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perbuhan atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tindak pidana
penipuan yang dilakukan secara online secara khusus diatur dalam dalam undang-undang
nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas undang-undang 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi elektronik walaupun dalam UU ITE ini tidak secara rinci
menyatakan adanya tindak pidana penipuan, tetapi secara implisit terdapat unsur yang
hampir sama dengan tindak pidana penipuan yang diatur secara umum dalam Pasal 378
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).

Para Pengguna jasa internet kerap mengalami berbagai permasalahan, hal ini karena
aturan main di dunia maya belum jelas, selain itu juga akibat kurang amannya sistem
dalam pengaturan internet. Kenyataannya perkembangan dunia maya tak mungkin dapat
dicegah, bukan saja lintas wilayah, tapi batas negara pun ditembusnya. Transaksi-transaksi
yang dilakukan melalui media internet belum dapat dijangkau hukum, salah satu
contohnya adalah E-mail Wakil Ketua MPR dibajak penipu untuk kepentingan sejumlah
uang. Pemberitaan di media massa tentang kasus-kasus tersebut begitu maraknya, sebab
hal itu merupakan hal baru yang belum ada landasan hukumnya. Bila disimak,
persoalannya justru terletak pada vakumnya regulasi hukum di bidang siber (cyber) atau
internet. Ketiadaan aturan hukum internet membuat suburnya kejahatan atau pelanggaran.

Dengan kata lain suatu perbuatan dapat dijatuhi pidana jika memenuhi unsur-unsur
tindak pidana (delik) yang menjadi standar atau dasar untuk dapat dikatakan suatu
perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Dapat dikatakan UU ITE masih belum sempurna
atau masih kabur untuk digunakan sebagai dasar acuan untuk tindakan penipuan, hal ini
dikarenakan tindakan penipuan itu sendiri memiliki berbagai bentuk untuk melakukan
kejahatan atau luasnya kualifikasi pengertian dari spamming itu sendiri.

Istilah “cybercrime” merujuk pada suatu tindakan kejahatan yang


berhubungandengan dunia maya (cyberspace) dan tindakan kejahatan yang
menggunakankomputer. Ada ahli yang menyamakan tindakan kejahatan cyber
(cybercrime) dengan tindakan komputer, dan ada ahli yang membedakan di antara
keduanya. Secara umum yang dimaksud kejahatan komputer atau kejahatan di dunia cyber
(cybercrime) adalah upaya memasuki atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan
komputer tanpa ijin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan
perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan
tersebut.

Jenis-jenis kejahatan dalam kategori cybercrime diantaranya :

 Cyber-terorisme ;
 Cyber-pornography : penyebarluasan obscene materials termasuk
pornography, indecent exposure, dan child pornography ;
 Cyber-harassment : pelecehan sexual melalui e-mail, websites, atau chats
programs ;
a) Cyber-stalking : crimes of stalking melalui penggunaan komputer dan
internet ;
b) Hacking : penggunaan programming abilities dengan maksud yang
bertentangan dengan hukum ;
c) Carding (credit-card fraud) ;

Ciri-ciri khusus cybercrime, yakni :

 Non violence (tanpa kekerasan) ;


 Sedikit melibatkan kontak fisik (minimize of physical contact) ;
 Menggunakan peralatan (equipment) dan teknologi ;
 Memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media dan informatika)
global ;

Karakteristik Cybercrime Dalam perkembangannya kejahatan konvensional


cybercrime dikenal dengan :

1. Kejahatan kerahbiru
2. Kejahatan kerah putih

Cybercrime memiliki karakteristik unik yaitu :

1. Ruang lingkup kejahatan


2. Sifat kejahatan
3. Pelaku kejahatan
4. Modus kejahatan
5. Jenis kerugian yang ditimbulkan

Berdasarkan pasal 26 ayat 2 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 yang berbunyi


“setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat
mengajukan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini,” dalam hal
ini, Lukman Hakim Saifuddin mempunyai hak untuk mendapatkan keadilan, dengan
penerapan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang perbuatan yang
dilarang, yang berbunyi :”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik.” Dalam pasal ini pelaku yang membajak e-mail Wakil Ketua MPR, Lukman
Hakim Saifuddin telah menyebarkan berita bohong dengan unsur penipuan untuk
mendapatkan kepentingan dengan sejumlah uang dengan mengirimkan surat kepada
kontak-kontak yang ada di e-mail milik Lukman Hakim Saifuddin, sehingga pelaku dapat
dikenakan pidana sebagaimana tertera dalam pasal 45 ayat 2 tentang ketentuan pidana
Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 yang berbunyi “Setiap orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu milyard rupiah).”

Dalam kasus yang menimpa Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin tersebut,
pelaku kejahatan dunia maya yang membajak e-mail Wakil Ketua MPR Lukman Hakim
Saifuddin juga dapat diterapkan dengan pelanggaran pasal 378 KUHP tentang penipuan
yang berbunyi “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoendanigheid)
palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.”

Ketentuan pidana yang terdapat dalam KUHP pasal 378 tersebut disebutkan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun, akan tetapi dalam pasal 45 Undang-Undang nomor 11
tahun 2008 disebutkan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.

Apakah undang-undang pidana kita mampu menjerat pelaku pidana yang dilakukan
di dunia maya (cybercrime) ?

Sehubungan dengan perangkat perundang-undangan dalam mengantisipasi


maraknya kejahatan dengan menggunakan internet (cybercrime), undang-undang pidana
kita belum mampu menjerat pelaku tindak pidana yang dilakukan di dunia maya
(cybercrime).

Sekalipun perangkat hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


sudah dimiliki Indonesia, namun peraturan itu masih belum cukup mampu menjerat
pelaku tindak pidana di internet, apalagi dalam pasal 1 KUHP disebutkan “tidak ada
perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan Undang-
Undang.” Asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia lege).

Dari segi kepastian hukum, memang asas nullum delictum seyogyanya dipegang
teguh, tetapi dari sisi rasa keadilan tampaknya asas ini sering mengundang silang
pendapat, apalagi bila dalam hal ini hakim dalam memeriksa perkara tidak menggunakan
kewajibannya untuk menggali hukum (rechtsvinding) lantaran berpatokan pada asas
pidana yang menekankan perlunya perumusan delik (kriminalisasi) terlebih dahulu.

Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas
yaitu :

a). Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

b). Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi,
akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.

c). Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[7]


Selain pasal 1 KUHP tersebut, kesulitan hukum untuk menjerat pelaku tindak
pidana yang dilakukan di dunia maya berkaitan dengan masalah pembuktian, karena
hukum positif Indonesia mengharuskan adanya alat bukti, saksi, keterangan ahli serta
terdakwa dalam pembuktian, sedangkan dalam hal kejahatan terkait dengan teknologi
informasi sulit dilakukan pembuktiannya. Dalam hal pembuktian terhadap kejahatan dunia
maya, telah disebutkan pada pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-Undang nomer 11 tahun 2008.

Mengenai hal ini Soedjono Dirdjosisworo menyatakan :”Perubahan dan penyesuaian


soal serta perkembangan teknologi selama setengah abad sejak 1958 (Undang-Undang
nomor 73 tahun 1958) demikian pesatnya, dan kepesatan perkembangan social dan
teknologi serta semakin berpengaruhnya globalisasi yang terus didorong oleh teknologi
informasi dan komunikasi sangatlah terasa bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
sudah sejak lama tidak mampu secara sempurna mengakomodasi dan mengantisipasi
kriminalitas yang meningkat, baik kualitatif maupun kuantitatif dengan jenis, pola dan
modus operandi yang tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (contoh
menonjol adalah cybercrime).”

Ketiadaan Undang-Undang yang menjadi penyebab tidak dapat dihukumnya pelaku


kejahatan tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena apabila hal ini tidak segera
diselesaikan akan menimbulkan keresahan di masyarakat dan pada akhirnya hukum akan
kehilangan wibawanya. Dengan memperhatikan hal-hal sebagaimana dikemukakan diatas
nampak jelas bahwa kebutuhan perundang-undangan baru yang mengatur mengenai
kejahatan di dunia maya (cybercrime) sudah tidak dapat ditunda-ditunda lagi, dimana
dibutuhkan perubahan terhadap hukum pidana Indonesia berkaitan dengan munculnya
kemajuan teknologi informasi (pengkajian dari aspek politik hukum). Beberapa faktor yang
perlu diperhatikan dalam melaksanakan penyesuaian materi hukum sebagai konsekuensi
terhadap perubahan perundang-undangan, yaitu ius constitutum (hukum yang berlaku),
perubahan masyarakat dan ius constituendum (hukum yang harus ditetapkan).

Bagimana tindakan pemerintah untuk mengantisipasi hal tersebut?

Guna menindaklanjuti tuntutan globalisasi serta kemajuan teknologi informasi yang


menghendaki segala aktivitas manusia berlangsung dengan cepat, transparan serta tanpa
dibatasi oleh wilayah (bordeless), maka dewasa ini pembaharuan hukum pidana sebagai
bagian kebijakan hukum pidana telah diupayakan oleh berbagai pihak, baik dari kalangan
praktisi hukum, akademisi maupun pemerintah melalui Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang masih terus diolah.

Pembaharuan hukum pidana (penal reform) harus dilakukan dengan pendekatan


kebijakan, oleh karena pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana merupakan bagian
dari suatu kebijakan. Pendekatan kebijakan sebagai bagian dari kebijakan sosial, kebijakan
penegakan hukum (substansi hukum), pendekatan nilai-nilai social politik dan kebijakan
kriminal. Berkenaan dengan peran Hukum Pidana terhadap perkembangan teknologi
informasi, maka perlu diperhatikan beberapa hal penting sebagai upaya penyempurnaan
terhadap ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, antara lain daya
berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana harus diperluas, sehingga tidak hanya
mengacu pada asas/prinsip yang selama ini dianut dalam pasal 2- pasal 9 KUHP yaitu asas
personal, asas territorial dan asas universal. Untuk merumuskan dan menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang dapat dikenai sanksi pidana dan untuk menjerat pelaku
tindak pidana yang melakukan kejahatan di dunia maya (cybercrime) dapat digunakan
lembaga penafsiran hukum (interpretasi) Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan
kekosongan hukum.

Era globalisasi dan teknologi informasi membawa pengaruh terhadap munculnya


berbagai bentuk kejahatan yang sifatnya baru (cybercrime), merupakan suatu fenomena
yang memerlukan penanggulangan secara cepat dan akurat.

Perubahan terhadap beberapa ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana merupakan salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mengatasi jenis
kejahatan baru (cybercrime). Dengan diperlakukannya berbagai perubahan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Nasional diharapkan sebagai akibat dari timbulnya
berbagai perubahan dalam masyarakat akan berdampak pada pulihnya kepercayaan
masyarakat terhadap hukum.

Berbagai kasus pelanggaran hukum melalui media internet kini kerap terjadi di
Indonesia, negeri yang merupakan negara hukum (recht-staats). Kelemahan hukum sering
dijadikan kambing hitam, sehingga banyak perbuatan pidana terlepas dari jerat hukum.

Hukum itu sangat dinamis, hukum bukan barang mati dan tidak matematis. Soal
kebenaran dalam hukum tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi kelompok, karena hukum
itu pada hakekatnya harus dapat merespons rasa keadilan yang tumbuh di tengah
masyarakat. Hukum bukan hanya sekedar permainan pasal-pasal secara legalitas, akan
tetapi hukum harus mengikat secara sosiologis.

Bila suatu aturan hukum belum ada peran hakim harus diutamakan, hakim tidak
boleh bersikap pasif, tetapi hakim harus menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana terkandung dalam pasal 27 (1)
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman nomor 14 tahun 1970.

Contoh Kasus

1. Pencurian dan penggunaan account internet milik orang lain.

Pencurian account ini berbeda dengan pencurian secara fisik karena pencurian
dilakukan cukup dengan menangkap “user_id” dan “password” saja. Tujuan dari pencurian
itu hanya untuk mencuri informasi saja. Pihak yang kecurian tidak akan merasakan
kehilangan. Namun, efeknya akan terasa jika informasi tersebut digunakan oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab. Hal tersebut akan membuat semua beban biaya penggunaan
account oleh si pencuri dibebankan kepada si pemilik account yang sebenarnya. Kasus ini
banyak terjadi di ISP (Internet Service Provider). Kasus yang pernah diangkat adalah
penggunaan account curian yang dilakukan oleh dua Warnet di Bandung.

Dunia perbankan dalam negeri juga digegerkan dengan ulah Steven Haryanto, yang
membuat situs asli tetapi palsu layanan perbankan lewat Internet BCA. Lewat situs-situs
“Aspal”, jika nasabah salah mengetik situs asli dan masuk ke situssitus tersebut, identitas
pengguna (user ID) dan nomor identifikasi personal (PIN) dapat ditangkap. Tercatat 130
nasabah tercuri data-datanya, namun menurut pengakuan Steven pada situs Master Web
Indonesia, tujuannya membuat situs plesetan adalah agar publik memberi perhatian pada
kesalahan pengetikan alamat situs, bukan mengeruk keuntungan. Persoalan tidak berhenti
di situ.

Pasalnya, banyak nasabah BCA yang merasa kehilangan uangnya untuk transaksi
yang tidak dilakukan. Ditengarai, para nasabah itu kebobolan karena menggunakan
fasilitas Internet banking lewat situs atau alamat lain yang membuka link ke Klik BCA,
sehingga memungkinkan user ID dan PIN pengguna diketahui. Namun ada juga modus
lainnya, seperti tipuan nasabah telah memenangkan undian dan harus mentransfer
sejumlah dana lewat Internet dengan cara yang telah ditentukan penipu ataupun saat kartu
ATM masih di dalam mesin tiba-tiba ada orang lain menekan tombol yang ternyata
mendaftarkan nasabah ikut fasilitas Internet banking, sehingga user ID dan password
diketahui orang tersebut. Modus kejahatan ini adalah penyalahgunaan user_ID dan
password oleh seorang yang tidak punya hak. Motif kegiatan dari kasus ini termasuk ke
dalam cybercrime sebagai kejahatan “abu-abu”. Kasus cybercrime ini merupakan jenis
cybercrime uncauthorized access dan hacking-cracking. Sasaran dari kasus ini termasuk ke
dalam jenis cybercrime menyerang hak milik (against property). Sasaran dari kasus
kejahatan ini adalah cybercrime menyerang pribadi (against person).

Beberapa solusi untuk mencegah kasus di atas adalah:

 Penggunaan enkripsi untuk meningkatkan keamanan. Penggunaan enkripsi yaitu


dengan mengubah data-data yang dikirimkan sehingga tidak mudah disadap (plaintext
diubah menjadi chipertext). Untuk meningkatkan keamanan authentication (pengunaan
user_id dan password), penggunaan enkripsi dilakukan pada tingkat socket. Hal ini akan
membuat orang tidak bias menyadap data atau transaksi yang dikirimkan dari/ke server
WWW. Salah satu mekanisme yang popular adalah dengan menggunakan Secure Socket
Layer (SSL) yang mulanya dikembangkan oleh Nerscape. Selain server WWW dari
netscape, server WWW dari Apache juga dapat dipakai karena dapat dikonfigurasikan agar
memiliki fasilitas SSL dengan menambahkan software tambahan, sperti open SSL.

 Penggunaan Firewall Tujuan utama dari firewall adalah untuk menjaga agar akses
dari orang tidak berwenang tidak dapat dilakukan. Program ini merupakan perangkat yang
diletakkan antara internet dengan jaringan internal. Informasi yang keluar dan masuk
harus melalui atau melewati firewall. Firewall bekerja dengan mengamati paker Intenet
Protocol (IP) yang melewatinya.

 Perlunya CyberLaw Cyberlaw merupakan istilah hukum yang terkait dengan


pemanfaatan TI. Istilah lain adalah hukum TI (Low of IT), Hukum Dunia Maya (Virtual
World Law) dan hukum Mayantara.

 Melakukan pengamanan sistem melalui jaringan dengan melakukan pengaman


FTP, SMTP, Telnet dan pengaman Web Server.

2. Penyerangan terhadap jaringan internet KPU

Jaringan internet di Pusat Tabulasi Nasional Komisi Pemilihan Umum sempat down
(terganggu) beberapa kali. KPU menggandeng kepolisian untuk mengatasi hal tersebut.
“Cybercrime kepolisian juga sudah membantu. Domain kerjasamanya antara KPU dengan
kepolisian”, kata Ketua Tim Teknologi Informasi KPU, Husni Fahmi di Kantor KPU, Jalan
Imam Bonjol, Menteng , Jakarta Pusat (15 April 2009).

Menurut Husni, tim kepolisian pun sudah mendatangi Pusat Tabulasi Nasional KPU
di Hotel Brobudur di Hotel Brobudur, Jakarta Pusat. Mereka akan mengusut adanya dugaan
kriminal dalam kasus kejahatan dunia maya dengan cara meretas. “Kamu sudah
melaporkan semuanya ke KPU. Cybercrime sudah datang,” ujarnya. Sebelumnya, Husni
menyebut sejak tiga hari dibuka, Pusat Tabulasi berkali-kali diserang oleh peretas.” Sejak
hari lalu dimulainya perhitungan tabulasi, samapai hari ini kalau dihitung-hitung, sudah
lebuh dari 20 serangan”, kata Husni, Minggu(12/4). Seluruh penyerang itu sekarang, kata
Husni, sudah diblokir alamat IP-nya oleh PT. Telkom. Tim TI KPU bias mengatasi serangan
karena belajar dari pengalamn 2004 lalu. “Memang sempat ada yang ingin mengubah
tampilan halaman tabulasi nasional hasil pemungutan suara milik KPU. Tetapi segera kami
antisipasi.”

Kasus di atas memiliki modus untuk mengacaukan proses pemilihan suara di KPK.
Motif kejahatan ini termasuk ke dalam cybercrime sebagai tindakan murni kejahatan. Hal
ini dikarenakan para penyerang dengan sengaja untuk melakukan pengacauan pada
tampilan halaman tabulasi nasional hasil dari Pemilu. Kejahatan kasus cybercrime ini dapat
termasuk jenis data forgery, hacking-cracking, sabotage and extortion, atau cyber terorism.
Sasaran dari kasus kejahatan ini adalah cybercrime menyerang pemerintah (against
government) atau bisa juga cybercrime menyerang hak milik (against property).

Beberapa cara untuk menanggulangi dari kasus:

 Kriptografi : seni menyandikan data. Data yang dikirimkan disandikan terlebih


dahulu sebelum dikirim melalui internet. Di komputer tujuan, data dikembalikan ke bentuk
aslinya sehingga dapat dibaca dan dimengerti oleh penerima. Hal ini dilakukan supaya
pihak-pihak penyerang tidak dapat mengerti isi data yang dikirim.

 Internet Farewell: untuk mencegah akses dari pihak luar ke sistem internal.
Firewall dapat bekerja dengan 2 cara, yaotu menggunakan filter dan proxy. Firewall filter
menyaring komunikasi agar terjadi seperlunya saja, hanya aplikasi tertentu saja yang bisa
lewat dan hanya komputer dengan identitas tertentu saja yang bisa berhubungan. Firewall
proxy berarti mengizinkan pemakai dalam untuk mengakses internet seluas-luasnya, tetapi
dari luar hanya dapat mengakses satu komputer tertentu saja.

 Menutup service yang tidak digunakan.

 Adanya sistem pemantau serangan yang digunakan untuk mengetahui adanya


tamu/seseorang yang tak diundang (intruder) atau adanya serangan (attack).  Melakukan
back up secara rutin.  Adanya pemantau integritas sistem. Misalnya pada sistem UNIX
adalah program tripwire. Program ini dapat digunakan untuk memantau adanya
perubahan pada berkas.  Perlu adanya cyberlaw: Cybercrime belum sepenuhnya
terakomodasi dalam peraturan / Undang-undang yang ada, penting adanya perangkat
hukum khusus mengingat karakter dari cybercrime ini berbeda dari kejahatan
konvensional.

 Perlunya Dukungan Lembaga Khusus: Lembaga ini diperlukan untuk memberikan


informasi tentang cybercrime, melakukan sosialisasi secara intensif kepada masyarakat,
serta melakukan riset-riset khusus dalam penanggulangan cybercrime.

3. Penipuan Gojek

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di depan, maka uraian hasil


penelitian ini dipilah menjadi 4 bagian, yakni penipuan Gojek, UU ITE tentang Penipuan,
Routine Activity Theory dan Strategi Pencegahan.

Beberapa waktu belakangan ini, masyarakat diresahkan dengan adanya penipuan


yang mengatasnamakan Gojek. Penipuan ini memilki modus dengan mengirimkan kode
OTP ke korban yang dikirim melalui OTP dengan berdalih bahwa korban mendapatkan
undian dari pihak Gojek, padahal pihak Gojek sendiri tidak permah mengadakan undian,
apalagi sampai meminta kode OTP dari korban. Kode OTP sendiri biasa digunakan untuk
memverifikasi saat akan log-in ke sebuah akun milik korban. Jika pelaku telah memiliki
kode ini, pelaku akan mudah untuk masuk ke akun Gojek yang akan dituju. Untuk
meyakinkan korbannya, pelaku akan menyebutkan nama korban terlebih dahulu, agar
korban mempercayai bahwa itu bukan sebuah penipuan.

Dalam kasus penipuan ini, korban akan dirugikan karena saldo Gopay dalam akun
gojeknya akan diambil oleh pelaku. Hal ini sudah sering dialami oleh pelanggan Gojek.
Pihak Gojek menghimbau kepada masyarakat, agar tidak memberikan kode OTP
sembarangan, karena kode OTP tersebut digunakan oleh sesorang untuk masuk ke akun
Gojeknya dan menghimbau agar penggunanya lebih berhati-hati untuk segala bentuk
penipuan yang mengatasnamakan pihak Gojek.

UU ITE tentang Penipuan

Penipuan yang mengatasnamakan pihak Gojek dilakukan melalui telepon seluler.


Dalam UU ITE sendiri, masih banyak pasal-pasal rancu di dalamnya. Ada beberapa modus
penipuan yang terbagi menjadi: 1) Penipuan yang dilakukan penjual produk atau penyedia
jasa kepada konsumen; 2) Penipuan menggunakan nama palsu atau martabat palsu dengan
akses ilegal terlebih dahulu; 3) Penipuan menggunakan nama palsu atau martabat palsu, di
luar dari hubungan produsen – konsumen; 4) Penipuan oleh calon pembeli kepada penjual
produk atau penyedia jasa. Untuk modus operandi yang profilnya dijelaskan pada angka 1,
dapat diterapkan Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (1) Perubahan UU ITE. Setiap
proses yang dilakukan dalam profil modusnya mencocoki setiap unsur pasal dalam Pasal
28 ayat (1) UU ITE jo.

Pasal 45A ayat (1) Perubahan UU ITE, yaitu korban merupakan konsumen, terdapat
berita bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen, berita bohong tersebut
disebarkan atau disampaikan menggunakan transmisi, distribusi, dan/atau dapat
diaksesnya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Mengenai analisis
proposisi dalam unsur pasal lebih jauh terdapat pada pembahasan konstruksi hukum di
bawah. Untuk modus penipuan yang disebutkan dalam angka 2, secara profil dapat
dikenakan perbarengan (konkursus). Untuk akses ilegalnya dapat dikenakan Pasal 30 jo.
Pasal 46 UU ITE, sedangkan untuk penipuannya apabila merugikan konsumen dapat
diancamkan pula Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (1) Perubahan UU ITE, atau
apabila korbannya selain konsumen dapat diancamkan Pasal 378 KUHP.

Bedasarkan kasus diatas, penulis akan mengaitkan kasus penipuan ini dengan teori
kriminologi aktivitas rutin yang dikembangkan oleh Cohen dan Felson. Mereka
menyimpulkan bahwa kejahatan terjadi pada sesorang dapat sebagai korban potensial
karena 3 variabel, yaitu palaku yang termotivasi (motivated offenders), target yang
menjadi sasaran (suitable target), dan ketiadaan perlindungan target (absence of capable
guardians) (Routine Activity Theory:Crime Prevention, USA, 2011). Ketiga unsur variabel
ini akan menjelaskan terjadinya tindak penipuan melalui telepon genggam. Terkadang
munculnya tindak kejahatan karena ada kesempatan dan tersedianya potensi korban
memicu munculnya pelaku yang termotivasi. Seperti halnya pada kasus penipuan
pengguna Gojek yang timbul karena adanya kesempatan dan korban potensial. Kemudian,
pelaku penipuan ini memilih para pengguna Gojek sebagai target yang sesuai dengan
modus kejahatannya.

Hal inilah memotivasi para pelaku untuk melakukan tindak penipuan secara online.
Penipuan ini membutuhkan sebuah nomor untuk menelepon korbannya dan
membuatuhkan aplikasi Gojek untuk mencoba masuk ke akun korbannya. Selain itu,
pengguna Gojek sebagai korban potensial merupakan target yang sesuai bagi pelaku
penipuan ini. Hal ini dikarenakan lokasi terjadinya penipuan tidak berkontak langsung
dengan target atau korban secara fisik, kejadiannya tidak kasat mata, dan pengawasannya
berbeda harus melalui sistem teknologi internet.

Penipuan ini memanfaatkan teknologi, penipuan akan menjadi lebih canggih dan
akan mudah untuk mendapatkan uang tanpa menanggung resiko yang berat. Dan yang
terakhir yaitu absence of capable guardians. Variabel ini merupakan ketiadaan
perlindungan dari wali terhadap kejahatan. Kemungkinan terjadinya kejahatan meningkat
bila ada satu atau orang lebih yang termotivasi untuk melakukan kejahatan, adanya target
yang sesuai atau korban potensial, dan tidak adanya penjaga formal atau informal yang
dapat menghalangi tindakan pelaku potensial. Penulis menganggap ketiadaan
perlindungan target adalah salah satu yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan.

Strategi Pencegahan

Sebuah perusahaan dimana pihak Gojek itu sendiri cukup memberikan edukasi mengenai
awareness dalam kasus penipuan ini. Pihak Gojek menghimbau dalam media sosialnya, agar pada
pengguna lebih berhati-hati lagi dalam mempercayai suatu informasi. Kode OTP ini tidak boleh diberi
tahu kepada siapapun, karena kode OTP ini sama halnya dengan PIN kartu ATM, yang harus dijaga
kerahasiaannya dari pihak manapun. Pihak Gojek sendiri tidak pernah meminta kode OTP untuk alasan
apapun kepada pengguna. Selain itu, untuk mengurangi beberapa resiko tindak kejahatan penipuan,
perlu adanya absence of capable guardian oleh pemerintahan sebagai peran formal. Seharusnya pihak
Pemerintah seperti Kementerian Komunikasi dan Informasi melakuakan pemblokiran terhadap nomor-
nomor yang digunakan para pelaku untuk menipu korbanya.

Hal tersebut tentunya menjadi salah satu cara mencegah munculnya nomor-nomor yang
digunakan untuk penipuan. Pencegahan kejahatan dengan melalui pendekatan sosial menjadi jalan
alternatif bagi penulis untuk memecah masalah penipuan ini. Dengan melalui suatu lembaga agar
menyosialisasikan sebuah kecenderungan terjadinya kejahatan dan memberikan solusi untuk
mengurangi risiko dan kecenderungan tersebut merupakan hal-hal yang sangat perlu untuk diterapkan.
Berbagai upaya pencegahan dan solusi pemecahan masalah adalah dengan memberikan
sosialisasi terhadap risiko terjadinya kejahatan penipuan mengatasnamakan perusahaan oleh
Pemerintah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Tidak hanya memberi peringatan kepada para
penggunanya sebagai bentuk kewaspadaan, tetapi harusnya pemerintah lebih maksimal memberikan
upaya yang lebih. Seperti halnya memberikan edukasi bagi pengguna untuk tidak mempercayai orang
yang tidak dikenal, tidak memberikan kode OTP, dan lebih berhati-hati lagi dalam menerima informasi.

Pihak Gojek memberikan edukasi mengenai awareness dalam kasus penipuan ini. Pihak Gojek
menghimbau dalam media sosialnya, agar pada pengguna lebih berhati-hati lagi dalam mempercayai
suatu informasi. Dan para pengguna Gojek jangan memberikan kode OTP yang dikirimkan melalui sms,
karena para penipu mengatasnamakan Gojek untuk masuk kedalam akun pengguna dan mengambil
saldo Gopay yang ada didalamnya.

Selain itu, Pemerintah seharusnya tidak hanya memberi peringatan kepada para penggunanya
sebagai bentuk kewaspadaan, tetapi harusnya pemerintah lebih maksimal memberikan upaya yang
lebih. Seperti halnya memberikan edukasi bagi pengguna untuk tidak mempercayai orang yang tidak
dikenal, tidak memberikan kode OTP, dan lebih berhati-hati lagi dalam menerima informasi.

Anda mungkin juga menyukai