Anda di halaman 1dari 18

Christianto, Konsep Hak Untuk Dilupakan sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn 175

KONSEP HAK UNTUK DILUPAKAN SEBAGAI PEMENUHAN HAK


KORBAN REVENGE PORN BERDASARKAN PASAL 26 UNDANG-UNDANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK*
Hwian Christianto**

Laboratorium Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Surabaya


Jalan Tenggilis Mejoyo, Kali Rungkut, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya, Jawa Timur, 60293

Abstract
Revenge porn victims experience prolonged and severe mental suffering due to defamation and negative
stigma. Article 26.1 of Information and Electronic Transaction Act arranged a mechanism that victims shall
request to the internet service provider to block or eliminate an information or content through a court
decision. Juridical-normative research method was used through laws and regulations understandings
related to victims’ rights complemented with understanding the form of victims as predisposed victims
and participating victims. As a result, the right to be forgotten is a part of human rights as recognition of
oneself as a victim, so that the elimination of violating electronic information that is detrimental to the
victim becomes the fulfillment mechanism.
Keywords: revenge porn, victim, right to be forgotten, legal procedure.

Intisari
Korban revenge porn mengalami penderitaan mental yang berkepanjangan dan berat akibat pencemaran
nama baik dan stigma negatif. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
mengatur mekanisme korban harus memohon kepada penyedia jasa internet untuk memblokir atau
menghapus informasi melalui penetapan pengadilan. Metode penelitian yuridis normatif digunakan
melalui pemahaman peraturan perundang-undangan terkait hak korban dilengkapi pemahaman bentuk
korban sebagai predisposed victims dan participating victims. Hasilnya, hak untuk dilupakan merupakan
bagian dari hak asasi manusia sebagai pengakuan diri sebagai korban sehingga penghapusan informasi
elektronik yang melanggar yang merugikan korban menjadi mekanisme pemenuhanya.
Kata Kunci: hak untuk dilupakan, korban, revenge porn.

Pokok Muatan
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................................................... 176
B. Metode Penelitian............................................................................................................................... 179
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan....................................................................................................... 180
1. Posisi Korban Revenge Porn ........................................................................................................ 180
2. Konsep Hak untuk Dilupakan (Right to be Forgotten)................................................................. 183
3. Mekanisme Penerapan Hak untuk Dilu­pakan .............................................................................. 187
D. Kesimpulan ........................................................................................................................................ 190

*
Hasil penelitian yang didanai secara mandiri pada tahun 2020. Penelitian dilaksanakan untuk mengikuti call for paper Jurnal Mimbar Hukum.
**
Alamat korespondensi: hwall4jc@gmail.com atau hwall4jc@yahoo.co.id.
176 MIMBAR HUKUM Volume 32, Nomor 2, Juni 2020, Halaman 175-192

A. Latar Belakang Masalah antara lain membuat, menyebarluaskan, dan


Penggunaan media internet pada masa menginformasikan materi yang melanggar moral.4
sekarang merupakan hal yang sangat penting Perbuatan revenge porn pun masuk dalam ruang
bagi pemenuhan kebutuhan. Pengguna internet di lingkup kedua ketentuan hukum pidana tersebut
Indonesia per tahun 2017 telah mencapai angka sebagai perbuatan yang dilarang dan melanggar
143,26 juta jiwa (54,68%) dari total penduduk kesusilaan.5
Indonesia yang berjumlah 262 juta orang.1 Semakin Istilah ‘revenge porn’ dimaknai sebagai
banyaknya penggunaan internet di Indonesia tidak “the distribution of sexually graphic images of
hanya memberikan keuntungan, akan tetapi juga individuals without their consent”6 atau “the
kerugian akibat penyalahgunaan media internet sharing of intimate images without the consent
sebagai sarana melakukan kejahatan, termasuk of the person depicted...”7. Singkat kata ‘revenge
pornografi. Adebayo & Ojedokun2 menegaskan porn’ dimaknai sebagai penyebarluasan informasi
pengguna internet semakin mudah terpapar bermuatan pornografi tanpa adanya persetujuan,
pornografi melalui penyebarluasan pornografi terutama oleh korban.
di internet, baik secara sukarela, maupun tidak Jika dicermati sebenarnya penyebarluasan
sukarela sebagai bagian dari situasi dunia internet. pornografi tersebut berawal dari persetujuan korban
Penyebarluasan pornografi melalui internet sebagai salah satu pihak yang berkontribusi dalam
merupakan perbuatan yang dilarang berdasarkan pembuatan pornografi sebagai kepentingan diri.
Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang- Persetujuan korban dalam hal ini dimungkinkan
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi mengingat pembuatan pornografi untuk kepentingan
dan Transaksi Elektronik (selanjutnya ditulis UU sendiri dikecualikan dari larangan pornografi
ITE) sebagaimana telah diubah dengan Undang- berdasarkan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Pornografi. Pengecualian tersebut memposisikan
UU No. 11 Tahun 2008 (selanjutnya ditulis UU ITE pembuatan pornografi untuk kepentingan sendiri
Perubahan) serta Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 ayat diperbolehkan sepanjang tidak disebarluaskan.
(1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pembuatan pornografi untuk kepentingan sendiri
Pornografi (selanjutnya ditulis UU Pornografi). pada dasarnya dilakukan dengan persetujuan kedua
Kedua ketentuan hukum pidana tersebut sama- belah pihak, terkait dengan substansi informasi
sama melarang perbuatan menyebarluaskan yang dibuat maupun tujuan pembuatan informasi
pornografi karena melanggar kesusilaan yang tersebut. Kedua belah pihak menempatkan diri
semakin mudah dilakukan melalui media internet.3 sebagai pembuat informasi bermuatan pornografi
Artinya, larangan perbuatan penyebarluasan tersebut. Kedua belah pihak juga menyetujui
pornografi melalui internet atau cyberpornography pembuatan tersebut untuk dokumentasi pribadi,
menyangkut berbagai macam bentuk perbuatan, bukan untuk disebarluaskan. Pada kasus revenge

1
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, “Info Grafis Hasil Survey 2017”, https://apjii.or.id/content/read/39/342/Hasil-Survei-
Penetrasi-dan-Perilaku-Pengguna-Internet-Indonesia-2017, diakses 10 April 2018.
2
Haleemah Bukola Adebayo, et al., “Trajectories of University of Ibadan Undergraduates’ Exposure to Cyber Pornography”, Journal of Social,
Behavioral and Health Sciences, Vol. 12, Issue 1, 2018, hlm. 145.
3
Walter S DeKeseredy, “Critical Criminological Understandings of Adult Pornography and Woman Abuse: New Progressive Directions in
Research and Theory”, International Journal for Crime, Justice and Social Democracy, Vol. 4, No. 4, 2015, hlm. 6.
4
Mu’azu Abdullahi Saulawa, “Cyberpornography: an Analysis of the Legal Framework”, Global Journal of Politics and Law Research, Vol. 3,
No. 2, April 2015, hlm. 45-46.
5
Hwian Christianto, “Revenge porn sebagai Kejahatan Kesusilaan Khusus: Perspektif Sobural”, Jurnal Veritas et Justitia, Vol. 3, No. 2,
Desember 2017, hlm. 302-309.
6
Shigenori Marsui, “The Criminalization of Revenge Porn in Japan”, Washington International Law Journal Association, Vol. 24, No. 2, April
2015, hlm. 289.
7
Tyrone Kirchengast, “The Limits of Criminal Law and Justice: ‘revenge porn’ Criminalization, Hybird Responses and The Ideal Victim”,
UniSA Student Law Review, Vol. 2, No. 42, December 2016 , hlm. 96.
Christianto, Konsep Hak Untuk Dilupakan sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn 177

porn, penyebarluasan informasi bermuatan yang besar akibat cyber-bullying9 dari penyebaran
pornografi tersebut dilakukan oleh salah satu pornografi di media internet. Kondisi tersebut
pasangan dengan tujuan membalas dendam atas rupanya dipahami pembentuk undang-undang
sakit hati yang dilakukan oleh pasangannya. dengan melakukan perubahan UU ITE terkait
Pemahaman dalam tataran teori viktimologi, hak untuk dihapuskan informasi yang merugikan
pembuatan pornografi untuk kepentingan sendiri bagi seseorang. Ketetuan hukum tersebut diatur
walaupun disetujui oleh kedua belah pihak tetap dalam Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UU ITE yang
terdapat korban. Ezzat A. Fattah8 menjelaskan mengatur:
keterkaitan korban dengan kejahatan yang (1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan
terjadi dalam 5 (lima) bentuk, yaitu Pertama perundang-undangan, penggunaan
Non participating victims yaitu korban yang setiap informasi melalui media elek­
menggangap bahwa kejahatan tidak ada dan dirinya tronik yang menyangkut data pribadi
tidak akan terkena kejahatan, Kedua Latent or seseorang harus dilakukan atas
Predisposed Victims yaitu seorang yang karakternya persetujuan Orang yang bersangkutan.
memudahkan dirinya menjadi korban kejahatan, (2) Setiap Orang yang dilanggar haknya
Ketiga Provocative Victims yaitu orang karena sebagaimana dimaksud pada ayat
kondisi atau tingkah lakunya memicu terjadinya (1) dapat mengajukan gugatan atas
kejahatan, Keempat Participating Victims yaitu kerugian yang ditimbulkan berda­
orang yang menjadi korban karena tingkah lakunya sarkan Undang-Undang ini;
sendiri, dan Kelima False Victims yaitu orang yang (3) Setiap Penyelenggara Sistem Elek­
menjadi korban karena kehendaknya sendiri. tronik wajib menghapus Informasi
Berdasarkan kelima pilihan bentuk korban Elektronik dan/atau Dokumen Elek­
tersebut, siapa yang menjadi korban dalam revenge tronik yang tidak relevan yang berada
pornography pun sangat bervariasi jika melihat pada di bawah kendalinya atas permintaan
tahap mana perbuatan itu dilakukan. Misalnya saja, Orang yang bersangkutan berdasarkan
ketika pembuatan pornografi untuk kepentingan penetapan pengadilan.
sendiri dari perspektif viktimologi, kedua belah Ketentuan hukum tersebut memberikan
pihak dapat dikategorikan sebagai korban dalam hak bagi pihak yang merasa dirugikan sebagai
bentuk latent or predisposed victims, provocative akibat penggunaan informasi elektronik di media
victims, participating victims bahkan false victims. elektronik. Hak yang diatur ada 3 (tiga) bentuk,
Hanya saja pada kondisi revenge porn ketika materi yaitu hak untuk memberikan persetujuan atas
pornografi telah tersebarluas, korban revenge porn informasi yang ditampilkan di media internet,
pun semakin sulit ditentukan dalam tataran konsep hak untuk meminta ganti rugi, serta hak atas
viktimologi. Hal tersebut mengingat korban sendiri penghapusan informasi yang merugikan dirinya
dipandang sebagai pelaku yang ikut menyetujui dan oleh penyelenggara sistem elektronik. Terkait hak
dianggap memahami risiko tersebarluasnya materi terakhir ini dapat dimaknai sebagai hak untuk
pornografi. dilupakan yang masih membutuhkan pemahaman
Seseorang yang merasa dirugikan atau lebih lanjut. Pengaturan tersebut di satu sisi
menjadi korban secara khusus dalam revenge menunjukkan upaya pemerintah memberikan
pornography merasa malu dan tekanan psikologis perlindungan kepada korban, secara khusus korban

8
Ezzat Abdel Fattah, “Towards A Criminological Classification of Victims”, Criminology and Police Science Journal, Vol. 58, No. 4, December
1967, hlm. 162-169.
9
Meghan Fay, “The Naked Truth: Insufficient Coverage for Revenge Porn Victims at State Law and the Proposed Federal Legislation to
Adequately Redress Them”, Boston College Law Review, Vol. 59, No. 5, 2018, hlm. 1863.
178 MIMBAR HUKUM Volume 32, Nomor 2, Juni 2020, Halaman 175-192

revenge porn terkait hak untuk dilupakan. Namun dalam ikatan pernikahan siri. Foto-foto tersebut pun
di sisi lain juga masih menimbulkan ketidakjelasan telah diketahui masyarakat melalui akun Facebook
atas pengakuan kedudukan korban yang bertalian walaupun kemudian hari diblokir aksesnya selama
erat dengan pemenuhan hak untuk dihapuskan atas proses peradilan. Tujuan dilakukannya perbuatan
informasi yang dinilai merugikannya. revenge porn tetap sama untuk membalaskan sakit
Sebuah kasus penyebarluasan pornografi hati pelaku.
menegaskan kesulitan ini. AS menyebarluaskan Korban pun mengalami penderitaan mental/
foto telanjang mantan kekasihnya melalui media psikologis, keuangan, dan penderitaan fisik12
sosial. AS memiliki 16 foto bugil (payudara, maupun diskriminasi berupa pelecehan seksual
belahan payudara, dan alat kelamin) korban yang melalui media sosial13 akibat tersebarnya informasi
diperoleh selama berpacaran. Korban kemudian bermuatan pornografi didukung persepsi pornografi
memutuskan AS, sehingga karena merasa sakit hati, selalu melibatkan tubuh dan persepsi seksualitas.14
AS menyebarkan foto tersebut melalui media sosial Ia harus menghadapi cemoohan masyarakat, stigma
Facebook melalui akun Kusuma Furry melalui akun negatif dari masyarakat, bahkan dikucilkan oleh
Fitria Saida dan media sosial Whatsapp dalam grup masyarakat sebagai pelaku pornografi. Bahkan
Social A 2013 melalui sarana telpon genggam Iphone korban revenge porn pun menjadi perhatian
4. Perbuatan tersebut dinilai oleh hakim sebagai masyarakat secara khusus karena terkait foto yang
perbuatan menyebarluaskan informasi bermuatan menampilkan ketelanjangan, pemahaman akan foto
pornografi sesuai UU Pornografi.10 Berdasarkan yang sebenarnya merupakan hal privasi seseorang,
kasus tersebut tampak bahwa tujuan dilakukannya dan pandangan bahwa korban revenge porn bersalah
penyebarluasan informasi bermuatan pornografi dan patut direndahkan.15
sangat khusus untuk melakukan balas dendam atas Kondisi tersebut semakin diperparah dengan
perbuatan korban. Pelaku telah dipidana, hanya saja sulitnya melakukan penghapusan informasi
foto bugil korban masih beredar di masyarakat. bermuatan pornografi dari media internet yang
Kasus serupa juga ditemukan pada kasus semakin tersebar luas. Pihak korban harus berupaya
EW yang menyebarluaskan foto pasangan nikah secara mandiri untuk melakukan pengecekan
sirinya. EW sering mengambil foto badan telanjang akun pertama penyebar informasi dengan bekal
korban maupun foto bersama dirinya dengan telpon pengetahuan teknologi informasi yang terbatas.
genggam miliknya. Foto tersebut juga dikirim ke Pihak penyedia jasa layanan internet pun tidak akan
korban sesuai permintaan korban, hingga korban menghapus informasi bermuatan pornografi secara
memutuskan hubungan pernikahannya. EW merasa otomatis. Pihak korban yang merasa dirugikan akibat
sakit hati lalu mengunggah foto tersebut ke akun suatu informasi harus mengupayakan permohonan
Facebook dengan akun “EDI WOJOD”.11 Serupa penghapusan informasi tersebut dengan alasan yang
tapi tak sama, pembuatan pornografi dilakukan dapat diterima. Proses penghapusan informasi juga
melalui persetujuan kedua belah pihak yang terikat membutuhkan waktu yang lama padahal informasi

10
Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 645/Pid.Ss/2015/PN.Mlg perihal Penyebarluasan Informasi Bermuatan Pornografi, 21 November
2015, hlm. 11-13.
11
Putusan Pengadilan Negeri Mojokerto Nomor 425/Pid.Ss/2015/PN.Mjk perihal Penyebarluasan Foto Pornografi, 24 November 2015, hlm.
12-14.
12
JoAnne Sweeny, “Gendered Violence and Victim-Blaming: The Law’s Troubling Response to Cyber-Harassment and Revenge Pornography”,
International Journal of Technoethics, Vol.8, Issue: 1, 2017, hlm. 3-6.
13
Ita Iya Pulina Perangin-angin, Rahayu, et al., “Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Perempuan
Korban Revenge Porn di Indonesia”, Diponegoro Law Journal, Vol. 8, No. 1, 2019, hlm. 472-473.
14
Patrick Keilty, “Embodied Engagements with online pornography”, The Information Society, Vol. 32, No. 1, 2016, hlm. 68-69.
15
Zak Franklin, “Justice for Revenge Porn Victims: Legal Theories to Overcome Claims of Civil Immunity by Operators of Revenge Porn
Websites”, California Law Review, Vol. 102, 2014, hlm.1306.
Christianto, Konsep Hak Untuk Dilupakan sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn 179

bermuatan pornografi tersebut telah tersebar luas di RUU ITE dan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.
internet. Berdasarkan paparan kondisi pengaturan Pendekatan konseptual dilakukan dengan
hak untuk dilupakan terkait korban revenge porn melakukan pemahaman atas konsep korban
tersebut lebih lanjut dikaji beberapa hal penting, sebagaimana dipahami dalam viktimologi melalui
Pertama arti penting hak untuk dilupakan bagi literatur yang diperoleh dari buku, hasil penelitian,
perlindungan korban, serta Kedua mekanisme dan jurnal sebagai rujukan atas pemahaman hak
penerapan hak untuk dilupakan. untuk dilupakan terkait korban, hak korban,
dan revenge porn. Pendekatan konseptual
B. Metode Penelitian ditujukan untuk memahami konsep hak untuk
Penelitian ini merupakan penelitian hukum16 dilupakan sebagai hak korban yang bermula dari
yang diselenggarakan di Provinsi Jawa Timur pertimbangan hakim atas pengajuan penghapusan
melalui 3 (tiga) pendekatan, yaitu pendekatan video pornografi secara personal. Sedangkan saat
perundang-undangan melalui pemahaman ini telah mengalami perkembangan pemahamannya
ketentuan hukum yang berlaku, baik dari sisi sebagai bagian dari hak seseorang yang dirugikan
hiearkhi, maupun ruang lingkup pengaturan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU ITE.
ketentuan hukum.17 Pendekatan historis melalui Hasil pendekatan perundang-undangan dilengkapi
pemahaman filosofi dan pertimbangan pembentuk pendekatan historis akan dibandingkan dengan
undang-undang pada saat proses pembentukan hasil dari pendekatan konseptual untuk memperoleh
peraturan perundang-undangan18 dan pendekatan kesimpulan ada atau tidak adanya kesesuaian dari
konseptual melalui pemahaman doktrin-doktrin atau regulasi terkait hak untuk dilupakan dengan konsep
pandangan yang berkembang dalam ilmu hukum.19 dari hak untuk dilupakan. Akhirnya diperoleh
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan kesimpulan dari pembahasan yang ada untuk
pemahaman ketentuan hukum yaitu (1) UU ITE dan menjawab rumusan masalah demi pemenuhan hak
(2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang untuk dilupakan bagi korban revenge porn.
Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis Terkait dengan penggunaan data, penelitian
UU Perlindungan Saksi dan Korban). ini menggunakan data primer berupa peraturan
Perihal revenge porn diperoleh dari UU perundang-undangan terkait revenge porn yaitu
Pornografi yang menampung secara umum konsep UU ITE dan UU Pornografi disertai naskah
pornografi, secara khusus Pasal 4 ayat (1) UU akademik dan risalah pembentukan peraturan
Pornografi. Demi melengkapi pemahaman terkait perundang-undangan yang diperoleh secara
hak untuk dilupakan dilakukan pendekatan historis langsung dari narasumber secara langsung, dan
atas pembentukan peraturan perundang-undangan halaman internet ppid.dpr.go.id. Data sekunder
yang dikaji dalam kaitannya dengan revenge dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer
porn sebagai bagian perbuatan yang dilarang. berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Pendekatan historis dilakukan dengan mempelajari Indonesia Tahun 1945, UU ITE, UU Pornografi,
pertimbangan pembentuk undang-undang akan UU Perlindungan Saksi dan Korban, serta putusan
ruang lingkup UU ITE dan UU Pornografi di dalam pengadilan atas perkara penyebarluasan informasi
Naskah Akademik dan Risalah Sidang Pembahasan bermuatan kesusilaan melalui media internet yang

16
Penelitian hukum merupakan upaya menemukan kebenaran koherensi antara aturan hukum dengan norma hukum, norma hukum dan prinsip
hukum dan tindakan seseorang bersesuaian dengan norma hukum atau prinsip hukum. Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 47.
17
Ibid., hlm.136-137.
18
Ibid., hlm.166-167.
19
Ibid., hlm.177-178.
180 MIMBAR HUKUM Volume 32, Nomor 2, Juni 2020, Halaman 175-192

diperoleh secara langsung dari instansi Pengadilan Pengertian ini menekankan ciri khas perbuatan pada
Negeri Mojokerto dan Pengadilan Negeri Malang perolehan informasi tanpa persetujuan orang terkait
Wilayah Hukum Jawa Timur. Selain bahan hukum serta memiliki muatan melanggar kesusilaan dan
primer, bahan hukum sekunder yang digunakan tujuan dilakukannya perbuatan untuk membalas
berupa buku dan artikel jurnal internasional serta dendam. Penyebutan revenge porn sendiri di
nasional yang menjelaskan pemahaman hak untuk antara para ahli hukum sangat beragam. Ada yang
dilupakan dalam konteks revenge porn. Ditambah menyebutnya ‘non-consensual pornography’ atau
bahan hukum sekunder, berupa Kamus Besar ‘involuntary pornography’.22 Kedua pengertian
Bahasa Indonesia untuk menjelaskan istilah yang tersebut memiliki perbedaan dalam hal ciri yang
dipergunakan. ditekankan dari perbuatan revenge porn.
Pandangan pertama lebih menekankan
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan revenge porn sebagai perbuatan menyebarluaskan
1. Posisi Korban Revenge Porn gambar yang memuat tampilan seksual secara
Pemahaman terhadap istilah ‘korban’ eksplisit dari mantan pasangan. Bagi pandangan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (yang pertama, revenge porn termasuk dalam penyebar­
selanjutnya disebut KBBI) diartikan sebagai luasan infomasi yang melanggar kesusilaan dalam
“orang yang menderita (mati dan lain sebagainya) kondisi khusus, yaitu berupa gambar (images)
akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan lain dan objeknya mantan pasangan. Berbeda halnya
sebagainya”.20 Senada dengan arti korban tersebut, dengan pandangan kedua, revenge porn memiliki
Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Saksi dan ciri khas tidak adanya persetujuan korban untuk
Korban menjelaskan ‘korban’ sebagai ‘seseorang menyebarluaskan informasi (images) yang memiliki
yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/ muatan pornografi. Jika diban­dingkan, di antara
atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu kedua pandangan tersebut sama-sama menekankan
tindak pidana.” Ruang lingkup korban dibatasi pada revenge porn sebagai perbuatan menyebarluaskan
pihak yang berada dalam kondisi menderita dalam informasi bermuatan pornografi. Hanya saja dari
bentuk fisik, mental, dan/atau ekonomi sebagai sisi ruang lingkup, pandangan pertama terbatas
akibat tindak pidana. Artinya, seseorang dapat pada informasi dalam bentuk gambar (images) tidak
disebut sebagai korban dalam ruang lingkup hukum dalam bentuk lain, teks, rekaman video, rekaman
pidana sangat bergantung pada perbuatan yang suara, atau bentuk lainnya. Kelemahan pandangan
dilarang oleh ketentuan hukum pidana. Pemahaman pertama justru hanya menekankan kondisi revenge
akan korban tindak pidana tidak dapat dilepaskan porn dari perolehan gambar pornografi dari korban
dari pemahaman perbuatan apa yang dilarang oleh yang merupakan mantan pasangannya. Tidak
Undang-undang, demikian pula revenge porn. diuraikan dengan jelas kondisi korban memberikan
Sebelum membahas ketentuan hukum pidana persetujuan atau tidak terhadap gambar yang
atas perbuatan revenge porn, perlu dipahami terlebih diambil dapat disebarluaskan ataukah tidak.
dahulu bentuk perbuatan tersebut. Perbuatan revenge Persetujuan memang diberikan untuk
porn dijelaskan Marsuri21 sebagai “the practice of membuat gambar diri dan/atau pasangan dalam
posting and distributing sexually explicit images keadaan telanjang atau dalam keadaan yang
of an ex-partner on the Internet after a breakup”. melanggar kesusilaan. Sebuah penelitian menarik

20
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2018, Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 754.
21
Shigenori Marsuri, Loc.cit.
22
Danielle Keats Citron, et al., “Criminalizing Revenge Porn”, https://law.yale.edu/system/files/area/center/isp/documents/danielle_citron_-_
criminalizing_ revenge_porn_-_fesc.pdf, diakses 12 September 2019, hlm. 102.
Christianto, Konsep Hak Untuk Dilupakan sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn 181

dari Hald dan Štulhofer23 menegaskan kecen­ hanya menerangkan tidak adanya persetujuan dari
derungan pornografi lebih besar pada laki-laki seseorang yang menjadi model pornografi. Kedua
heteroseksual daripada perempuan heterseksual, istilah tersebut sama sekali tidak menjelaskan bahwa
sehingga pembuatan pornografi pun sering terjadi. perolehan informasi bermuatan pornografi berasal
Akan tetapi tidak dapat dipahami juga bahwa korban dari hubungan asmara dari pelaku penyebaran dan
tidak memberikan persetujuan bahwa gambar korban itu sendiri.
tersebut di kemudian hari akan disebarluaskan. Penulis sendiri berpandangan bahwa kedua
Demi memperjelas pemahaman akan kedudukan pandangan tersebut dapat dipadukan sebagai
korban dalam revenge porn, berikut akan disajikan pemahaman revenge porn dengan 3 (tiga) ciri khas,
bagan alur perbuatan revenge porn. yaitu pertama, perbuatan penyebarluasan informasi
bermuatan pornografi; kedua, perolehan informasi
Bagan 1. bermuatan pornografi dari hubungan asmara antara
pelaku dan korban; dan ketiga, tujuan perbuatan
Alur Perbuatan Revenge Porn
untuk membalaskan sakit hati atau dendam
pelaku akibat perbuatan korban kepada dirinya.
Ciri pertama menekankan revenge porn sebagai
bagian dari perbuatan menyebarluaskan informasi
yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.
Perihal perbuatan menyebarluaskan informasi
yang memiliki muatan melanggar kesusilaan
dapat disamakan dengan perbuatan sexting. Istilah
‘sexting’ dipahami sebagai perpaduan dua istilah
“sex” dan “texting”24, yaitu perbuatan mengirim,
menerima atau mengirimkan ulang pesan yang
Sumber: Diolah oleh Penulis, 2019 mengandung unsur seksual atau ketelanjangan,
setengah telanjang atau gambar seks dari diri sendiri
Berdasarkan pemahaman atas alur perbuatan atau orang lain melalui telepon genggam, surat
revenge porn tersebut maka ada perubahan kondisi elektronik, internet atau layanan media sosial.25
dari sisi persetujuan korban, semula menyetujui Berdasarkan definisi “sexting” tersebut, perbuatan
pembuatan pornografi, tetapi di kemudian hari revenge porn dapat masuk di dalamnya.
secara sepihak pelaku tanpa persetujuan korban Ciri kedua, cara memperoleh informasi
lalu menyebarluaskan pornogarfi tersebut. yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan
Dengan demikian, kembali pada pandangan menjadi ciri khas kedua dari revenge porn. Pelaku
kedua hanya menekankan larangan perbuatan mendapatkan informasi yang memiliki muatan
revenge porn bahwa perbuatan penyebarluasan melanggar kesusilaan tidak dengan melakukan
itu tidak mendapat persetujuan dari pihak yang perbuatan melawan hukum, seperti pemaksaan,
menjadi model pornografi. Istilah ‘non-consensual perkosaan, ancaman, atau penipuan. Pelaku
pornography’ atau ‘involuntary pornography’ dan korban merupakan pasangan kekasih yang

23
Gert Martin Hald & Aleksandar Štulhofer, “What Types of Pornography Do People Use and Do They Cluster? Assesing Types and Categories
of Pornography Consumption in a Large-Scale Online Simple”, Journal of Sex Research, Vol. 53, No. 7, 2016, hlm. 852.
24
K. Jaishankar, “Sexting: A New Form of Victimless Crime?”, International Journal of Cyber Criminology, Vol. 3, Issue 1, Januari-Juni 2009,
hlm. 21.
25
Fawn T. Ngo, et al., “Sexting: Current Research Gaps and Legislative Issue: General Editors’ Introduction to the Special Issue”, International
Journal of Cyber Criminology, Vol. 11, Issue 2, Juli-Desember 2017, hlm. 162.
182 MIMBAR HUKUM Volume 32, Nomor 2, Juni 2020, Halaman 175-192

menghendaki dibuatnya informasi yang isinya untuk kepentingan sendiri memang dikecualikan
diketahui pula melanggar kesusilaan. Artinya, baik dari larangan pornografi sebagaimana diatur dalam
pelaku dan korban memiliki pengetahuan bahwa Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Artinya,
informasi yang dibuat memiliki muatan yang ia tidak dapat dimasukkan dalam kategori korban
melanggar kesusilaan, demikian pula keduanya perbuatan pornografi secara yurudis normatif.
menyetujui pembuatan informasi tersebut. Penting Walaupun demikian, seseorang menjadi model
untuk dipastikan bahwa pelaku memperoleh atau pemeran adegan dipandang dari sisi teori
informasi yang mengandung muatan melanggar viktimologi.26 Pemahaman teori viktimologi ini
kesusilaan juga dalam rentang waktu pelaku dan nantinya akan dibahas dalam pandangan ahli
korban masih dalam hubungan asmara, serta viktimologi terkait bentuk korban terkait dengan
adanya persetujuan korban. Perihal bentuk dan kejahatan yang terjadi pada dirinya.
muatan informasi yang melanggar kesusilaan pada Pemikiran akan pentingnya melibatkan
dasarnya sangat beragam dapat berupa gambar, korban dalam pemahaman kejahatan tidak dapat
kartun, animasi, teks, rekaman suara ataupun dilepaskan dari Deklarasi PBB tahun 1985
rekaman video. Penggunaan istilah ‘informasi yang Nomor 40/34 tanggal 29 November 1985 tentang
melanggar kesusilaan’ dapat memuat semua bentuk Declaration of Basic Principles of Justice for Victims
informasi yang dibuat oleh pelaku maupun korban. of Crime and Abuse of Power (selanjutnya ditulis
Terkait dengan ciri ketiga, tujuan mem­ Deklarasi PBB Tahun 1985). Berdasarkan deklarasi
balaskan dendam atau sakit hati pelaku atas tersebut peran serta korban dalam kejahatan terkait
perbuatan korban menjadi tujuan disebarluaskannya erat dengan viktimisasi, baik karena keadaan
informasi yang memuat pelanggaran kesusilaan. maupun perbuatan pelaku kejahatan.27 Artinya,
Penyebarluasan informasi yang mengandung korban tetap dipandang penting diperhatikan peran
muatan melanggar kesusilaan tidak semata-mata dan kedudukannya atas kejahatan yang terjadi.
ditujukan supaya orang lain mengetahui informasi Sebagaimana telah dikemukakan sebelum­
asusila. Penyebarluasan informasi memiliki motif nya, 5 bentuk korban terkait kejahatan oleh Ezzat
yang jelas supaya korban merasa malu atau rusak A. Fattah28 yaitu Non-participating Victims (korban
kehormatannya menjadi model pornografi. yang menggangap bahwa kejahatan tidak ada dan
Berdasarkan pemahaman akan ketiga ciri dirinya tidak akan terkena kejahatan), Latent or
revenge porn tersebut korban pada mulanya ikut Predisposed Victims (seorang yang karakternya
berperan serta dalam pembuatan informasi yang memudahkan dirinya menjadi korban kejahatan),
melanggar kesusilaan. Bersama dengan pelaku ia Provocative Victims (orang karena kondisi atau
menyetujui dalam keadaan mengetahui pembuatan tingkah lakunya memicu terjadinya kejahatan),
informasi memiliki muatan yang melanggar Participating Victims (orang yang menjadi korban
kesusilaan dan menghendaki pembuatan tersebut. karena tingkah lakunya sendiri), dan False Victims
Ia menyetujui pembuatan informasi mengandung (orang yang menjadi korban karena kehendaknya
muatan yang melanggar kesusilaan untuk sendiri).
kepentingan sendiri. Perihal pembuatan pornografi

26
Viktimologi memandang adanya hubungan antara pelaku dan korban atas terjadinya kejahatan (revenge porn), orientasi utama pada korban
selain perbuatan dan pelaku (daad-dader-slachtoffer) karena korban memiliki andil atas kejahatan yang terjadi baik kecil maupun besar tetapi
menentukan. Mudzakkir, “Perkembangan Viktimologi dan Hukum Pidana”, Makalah, Pelatihan Hukum Pidana dan Krimilogi Kerjasama
Fakultas Hukum UGM dan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), Yogyakarta, 23-27 Februari 2014, hlm. 4.
27
T. Newburn, 2007, Criminology, Willan Publishing, Portland, hlm. 342.
28
Ezzat Abdel Fattah, “Towards A Criminological Classification of Victims”, Criminology and Police Science Journal, Vol. 58, No. 4, December
1967, hlm 162-169.
Christianto, Konsep Hak Untuk Dilupakan sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn 183

Tipologi korban berbeda dikemukakan oleh tersebut menunjukkan korban mempermudah


Stephen Scafer29 yang membagi bentuk korban diri untuk difoto atau direkam menjadi model
dalam 6 (enam) bentuk, yaitu Unrelated Victims pornografi. Kemudahan yang diberikan korban
yaitu orang yang tidak memiliki peran dalam revenge porn tampak dengan jelas dari persetujuan
kejahatan; Provocative Victims yaitu orang yang yang diberikan, bahkan tanpa penolakan atau
memudahkan dirinya menjadi korban kejahatan; perlawanan atas perbuatan mendokumentasikan
Precipitative Victims yaitu orang yang secara tidak pornografi.
langsung membuat orang lain melakukan kejahatan Artinya, korban revenge porn berada
pada dirinya; Biologically Weak Victims yaitu orang dalam bentuk Latent or Predisposed Victims
menjadi korban karena kondisi fisiknya; Socially atau Provocative Victims. Tidak hanya itu jika
Weak Victims yaitu orang yang menjadi korban diperhatikan korban justru karena perbuatannya
karena tidak mendapat perhatian dalam masyarakat; menjadi korban revenge porn sendiri (Participating
serta Self Victimizing Victims yaitu orang yang Victims). Berdasarkan pemahaman tersebut korban
menjadi korban karena dirinya sendiri pelakunya. memang memiliki kontribusi atas kejahatan
Jika diamati kedua macam tipologi korban tersebut revenge porn. Hanya saja pemahaman akan peran
menekankan hal yang sama terkait kontribusi korban, baik dalam bentuk Predisposed Victims
seseorang menjadi korban kejahatan. Perbedaan dan Participating Victims tidak sejalan dengan
terdapat dalam model korban Scafer yang membagi Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Secara
latent or predisposed victim dalam 2 (dua) bagian yuridis normatif, pembuatan pornografi untuk
yaitu faktor kondisi fisik dan faktor kondisi sosial kepentingan sendiri dikecualikan atas larangan
atas korban. pornografi. UU Pornografi jelas mengabaikan
Seseorang baru menjadi korban revenge kedudukan dan peran serta korban dalam revenge
porn pada saat informasi yang memuat pelanggaran porn dan hanya berfokus pada pelaku yang
kesusilaan disebarluaskan tanpa persetujuan dirinya. membuat pornografi.
Korban dalam situasi demikian diciderai janjinya
tentang tujuan pembuatan informasi yang memiliki 2. Konsep Hak untuk Dilupakan (Right to be
muatan melanggar kesusilaan untuk kepentingan Forgotten)
sendiri. Akibat penyebarluasan informasi yang Hak dan hukum sebenarnya tidak dapat
melanggar kesusilaan korban mengalami tekanan dipisahkan. Pengaturan akan hukum pada hakikatnya
secara mental dengan adanya nama baik yang merupakan pengaturan akan hak yang dimiliki oleh
dicemarkan, stigma negatif dari masyarakat karena setiap orang. Machmud Marzuki31 menegaskan
ikut serta dalam pembuatan pornografi dan materi hal ini dari sisi penggunaan istilah hak dan hukum
informasi yang terus beredar luas di media internet dengan istilah yang sama yaitu ius (bahasa Latin),
(victim blamming).30 Posisi korban dalam revenge droit (bahasa Perancis) dan recht (bahasa Belanda)
porn lebih lanjut dapat dikaji berdasarkan tipologi lebih lanjut dalam penggunaannya dibedakan
korban sebagaimana ditegaskan Ezzat A. Fattah dan dengan penggunaan subjective recht untuk hak
Stephen Scafer. Korban pada dasarnya memiliki dan objective recht untuk hukum. Berdasarkan
pengetahuan akan dirinya menjadi model pornografi hal tersebut pengertian akan ‘hak’ dipahami
atas dasar relasi cinta dengan pelaku. Kondisi sebagai sesuatu yang melekat pada manusia terkait

29
Stephen Scafer, The Beginning of Victimology in IBurt Galaway, et al., 1981, Perspectives on Crime Victims, Mosby, St. Louis, hlm. 10-19.
30
Tegan S. Starr, et al., “Perceptions of Revenge Pornography and Victim Blame”, International Journal of Cyber Crimininology, Vol. 12, Issue
2, July-December 2018, hlm. 428-429.
31
Peter Machmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 165.
184 MIMBAR HUKUM Volume 32, Nomor 2, Juni 2020, Halaman 175-192

dengan dua kebutuhan, yaitu kebutuhan fisik dan DUHAM 1948.


kebutuhan akan eksistensi.32 Hak untuk dilupakan Perkembangan hak privasi di Eropa tidak
sebenarnya merupakan hal yang sangat berkaitan terlepas dari Undang-Undang Hak Asasi Manusia
erat dengan eksistensi diri. Pengakuan akan hak tahun 1998 di Inggris yang membedakan antara
untuk dilupakan dalam Undang-Undang Dasar penghormatan akan hak privasi untuk publikasi
Nergara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak (recognition of privacy) dan perlindungan hak privasi
secara eksplisit diatur. Pemahaman akan hak untuk itu sendiri.35 Wacks36 menegaskan pemahaman ini
dilupakan dapat dikaitkan dengan hak asasi manusia diadopsi oleh negara-negara eropa seperti terdapat
terkait perlindungan hukum dan pengakuan diri. dalam European Convention on Human Rights
Pemikiran terhadap hak untuk dilupakan tidak dapat (ECHR). Darrell37 menjelaskan Amerika Serikat
dilepaskan dari hak privasi dalam penggunaan pun telah membedakan pemahaman hak privasi
teknologi informasi. dalam artian “right of publicity”, yaitu hak untuk
Eksistensi hak privasi sebenarnya telah mencegah penggunaan nama diri oleh orang lain
menjadi perhatian dalam hukum dan hak asasi untuk kepentingan ekonomis tanpa persetujuan
manusia. Thomas Cooley, hakim Amerika Serikat dirinya, serta hak privasi dalam artian “privacy
menyebut istilah “the right to be alone” memulai right”, yaitu hak seseorang untuk merahasiakan diri
pengakuan privasi.33 Deklarasi Universal Hak atau tidak diketahui identitasnya (the right to be left
Asasi Manusia Tahun 1948 (selanjutnya ditulis alone). Hak privasi pun dipahami dalam dua wajah
DUHAM 1948), secara khusus Pasal 3 mengatur berbeda, sebagai hak untuk mempublikasikan
bahwa “Setiap orang berhak atas kehidupan, diri dan hak untuk merahasiakan diri. Hal yang
kebebasan, dan keselamatan sebagai individu”.34 menarik dari pemahaman akan hak privasi tersebut
Walaupun rumusan tersebut tidak secara langsung telah dibedakan antara hak privasi di satu sisi dan
mencantumkan hak privasi, tidak berarti hak privasi penghormatan atas hak privasi orang lain. Lebih
tidak diakui. Pemahaman terhadap rumusan Pasal 3 lanjut Wacks38 menjelaskan kaitan hak privasi
DUHAM 1948 pada dasarnya mengakui kebutuhan dengan penggunaan informasi elektronik merujuk
diri pribadi manusia atas kehidupan, kebebasan, dan pada pemahaman istilah “personal information”
keselamatan. Jika dikaitkan dengan pemahaman sebagai “what is reasonable for an individual to
hak sebagai jaminan kebutuhan manusia untuk regard as private and therefore to wish to control
hidup, maka pengakuan atas kebutuhan diri pribadi or limit use”.
manusia atas kehidupan dan keselamatan menjadi Berdasarkan pemahaman tersebut, maka hak
kebutuhan susbtansi, sedangkan kebutuhan untuk privasi terkait dengan data pribadi seseorang yang
kebebasan menjadi kebutuhan eksistensi. Hak memiliki arti penting menunjukkan diri sebagai
privasi sendiri berposisi sebagai salah satu hak hal yang privasi sehingga terbatas penggunaannya.
yang dimiliki seseorang untuk eksistensi. Oleh Dengan demikian, hak privasi memiliki hubungan
karenanya, pemahaman akan hak privasi dapat erat dengan data informasi seseorang termasuk
dikatakan telah dipikirkan sejak awal dalam penggunaannya sangat terbatas atas persetujuan

32
Ibid., hlm. 172.
33
Ridha Aditya Nugraha, “Perlindungan Data Pribadi dan Privasi Penumpang Maskapai Penerbangan pada Era Big Data”, Jurnal Mimbar
Hukum, Vol. 30, No. 2, Juni 2018, hlm. 263.
34
Ignatius Bagus Susilo, et al., 2003, Kompilasi Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia Berikut Ratifikasinya dalam Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, Surabaya, hlm. 3.
35
Raymond Wacks, 2013, Privacy and Media Freedom, Croydon, Oxford, hlm. 3.
36
Ibid.
37
Keith B. Darrell, 2009, Issues in Internet Law: Society, Technology and the Law, Fifth Edition, Amber Book, Washington, hlm.154-155.
38
Raywomd Wacks, Loc.cit.
Christianto, Konsep Hak Untuk Dilupakan sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn 185

pemilik data. Hal berbeda terkait penghormatan biaya sebesar € 20,000. Hanya saja penyedia jasa
atas hak privasi orang lain, penggunaan informasi internet Google Spain SL & Google Inc. belum
elektronik seharusnya mempertimbangkan melakukan eksekusi atas video yang dimaksudkan,
kepemilikan data milik orang lain atau memiliki sehingga Lembaga Perlindungan Data Spayol dan
substansi informasi dengan orang lain yang memiliki ibu TZ mengajukan perkara ini ke Court of Justice
resiko kerugian. Misalnya saja penggunaan of the European Union (selanjutnya ditulis CJEU).
informasi nama orang lain untuk melakukan Putusan CJEU No. C-131/12 pada 13
penipuan secara daring melalui surat elektronik. Mei 2014, memberikan penegasan pentingnya
Hal ini menjadi perbuatan melanggar hak privasi penghapusan data elektronik yang memuat informasi
orang lain karena tidak menghormati hak privasi merugikan seseorang harus dipenuhi oleh penyedia
orang lain. Hak privasi atas penggunaan informasi jasa internet. Kasus tersebut menunjukkan betapa
elektronik pada awalnya dipandang penting pentingnya pemenuhan hak untuk dilupakan bagi
karena dikaitkan dengan kepentingan ekonomi korban pornografi melalui internet. Suatu informasi
dan komersial bukan hak asasi manusia.39 Senada elektronik dapat dibuat dan disebarluaskan oleh
dengan pandangan tersebut, Lim40 menjelaskan siapapun dan dalam keadaan apapun sehingga
bahwa pengaturan hak privasi terkait penggunaan rentan menimbulkan korban.
internet dipandang penting dari sisi ekonomi Korban pornografi melalui internet pada
tampak dari pengaturan hak privasi di Uni Eropa dasarnya terdapat 3 (tiga) bentuk, pertama seseorang
yang bersifat konvergen dan Amerika Serikat yang yang mengetahui dirinya direkam atau difoto untuk
bersifat divergen terhadap e-commerce. Perubahan tujuan disebarluaskan di media komunikasi; kedua
pentingnya hak privasi sebagai keamanan pribadi seseorang yang mengetahui dirinya direkam/difoto,
baru muncul pada saat terjadi kasus penyebarluasan akan tetapi tidak menghendaki hasil rekaman
pornografi di Spanyol. atau foto disebarluaskan di media komunikasi;
Hak untuk dilupakan atau right to be forgotten dan ketiga seseorang yang tidak mengetahui dan
dikenal dalam kasus Google Spain SL v Agencia tidak menghendaki dirinya direkam atau difoto
Española de Protección de Datos, Mario Costeja serta disebarluaskan di media komunikasi. Korban
González (2014). Kasus berawal dari keterlibatan pornografi tidak mungkin dalam posisi tidak
Taziana Cantone/TZ, seorang perempuan berusia mengetahui dirinya didokumentasikan, namun
30 tahun yang merekam aktivitas seksual dirinya menghendaki dokumentasi tersebut disebarluaskan.
bersama beberapa orang pria sambil mengatakan Seseorang yang berada dalam kondisi terakhir ini
“Stai facendo il video? Bravo! (You’re filming? sebenarnya tidak lagi menjadi korban karena dia
Bravo!). Video tersebut dikirim oleh dirinya menyetujui penyebarluasan tersebut.
kepada mantan kekasihnya, Sergio di Palo dan 5 Korban revenge porn jika dikaitkan dengan
(lima) orang teman lainnya melalui media sosial tiga bentuk korban tersebut dapat dipahami berada
Whatsapp, namun akhirnya beredar luas di media pada bentuk korban kedua, ia mengetahui dirinya
internet, dimuat dalam laman internet dewasa difoto/direkam, akan tetapi tidak menghendaki
bahkan menjadi viral di media internet. TZ pun penyebarluasan foto/rekaman tersebut melalui
mengajukan permohonan untuk memberikan ‘right media komunikasi. Hal penting yang menjadi
to be forgotten” pada dirinya. Pengadilan Italia perhatian pada korban seperti yang dialami TZ
memenuhi permohonan TZ dan membebankan terletak pada nama baik yang rusak, penghinaan

39
A. Charlesworth, “Data Privacy in Cyberspace: Not National vs International but Commercial vs Individual” dalam L. Edwards L & C
Waelde, ed., 2000, Law and the Internet: A Framework for Electronic Commerce, Second Edition, Hart Publishing, Oxford, hlm. 81-82
40
Yee Fen Lim, 2007, Cyberspace Law: Commentaries and Materials, Second edition, Oxford University Press, New York, hlm. 141-149
186 MIMBAR HUKUM Volume 32, Nomor 2, Juni 2020, Halaman 175-192

sebagai model pornografi, cap buruk dari Berbeda dengan Indonesia yang memulai
masyarakat, bahkan penolakan masyarakat. Belum pengenalan hak untuk dilupakan dari pengaturan
lagi jika diingat karakteristik revenge porn sebagai undang-undang. Aswari, et al.43 menegaskan
salah satu bentuk kejahatan siber, rekaman/foto ketentuan hukum Pasal 26 ayat (3) sampai dengan
bermuatan asusila akan terus tersebar luas melalui ayat (5) UU ITE Perubahan secara implisit
berbagai bentuk platform internet yang sangat sulit mengakui hak untuk dilupakan. Walaupun demikian
terdeteksi. Di dalam kedudukan inilah TZ sebagai kedua ketentuan hukum tersebut tidak sepenuhnya
korban melakukan actio iniuriarium (perbuatan mengadopsi konsep hak untuk dilupakan pada kasus
yang berfungsi untuk melindungi keberadaan Google Spain SL v Agencia Española de Protección
seseorang secara eksistensi) untuk menghalangi, de Datos, Mario Costeja González. Pemikiran atas
mencegah, bahkan menghapus informasi yang hak korban sebenarnya menjadi hal penting dalam
merugikan dirinya terutama di internet.41 UU ITE Perubahan, sebagaimana ditegaskan dalam
Hal yang menarik dari kasus Google Spain Penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU ITE Perubahan
SL v Agencia Española de Protección de Datos, yang menegaskan keberadaan hak pribadi (privacy
Mario Costeja González (2014) terletak pada rights). Pemanfaatan teknologi informasi membawa
konsep hak untuk dilupakan (right to be forgotten) dampak pada pentingnya perlindungan hak atas
yang diberikan. Putusan CJEU No. C-131/12 pribadi yang dipahami sebagai: a) Hak pribadi
pada 13 Mei 2014 menegaskan bahwa hak untuk merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi
dilupakan dalam hal ini merupakan hak yang dan bebas dari segala macam gangguan; b) Hak
dimiliki oleh seseorang yang dirugikan akibat data pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi
elektronik yang dimuat oleh penyedia jasa internet. dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai;
Berdasarkan hal tersebut, fokus CJEU pada kasus c) Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi
ini terletak pada penghormatan hak privasi yang akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data
dimiliki oleh korban. Hal tersebut menjadi penting seseorang.
mengingat pemahaman akan CJEU tersebut selaras Berdasarkan hal tersebut, hak pribadi terkait
dengan putusannya yang mewajibkan penyedia penggunaan informasi teknologi diakui terbatas
jasa internet, Google Spain SL, menghapus data pada 3 (tiga) hal pokok, yaitu hak untuk menikmati
informasi korban dari search engine miliknya. kehidupan pribadi dan bebas dari gangguan, hak
Kasus tersebut menjadi tonggak pemahaman akan berkomunikasi bebas dari tindakan memata-
hak untuk dilupakan begitu penting sebagai hak matai, serta hak untuk mengawasi akses informasi
diri pribadi dalam bentuk hak privasi yang harus tentang kehidupan pribadi dan data yang dimiliki.
dihormati oleh orang lain dalam hal penggunaan Ketiga hak pribadi tersebut jika dikaitkan dengan
dan penyebarluasannya. Perkembangan serupa konsep ECHR maka diperoleh pemahaman hak
juga dijelaskan oleh Kumar42 bahwa pengakuan pribadi bentuk pertamalah yang ditegaskan dalam
hak untuk dilupakan atas kasus kekerasan seksual Penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU ITE Perubahan.
diawali dari pertimbangan hakim atas perkara Penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU ITE mengatur
tersebut. Hal tersebut menegaskan perkembangan sebagai berikut:
pengaturan hak untuk dilupakan di negara lain Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi,
diawali dari pertimbangan hakim dalam penangan perlindungan data pribadi merupakan salah
perkara secara aktual. satu bagian dari hak pribadi (privacy rights).

41
Jonathan Brown, “Revenge porn’ and the actio iniuriarum: using ‘old law’ to solve ‘new problems”, Legal Studies, Vol. 38, 2018, hlm. 397.
42
Alok Prasanna Kumar, “Right to be Forgotten’ in Indian Law” , Economic and Political Review, Vol. 52, No. 11, March 2017, hlm. 4.
43
Aan Aswari, et al., “Harmonisasi Hukum Hak untuk Dilupakan bagi Korban Digital terhadap Calon Mahasiswa di Makassar”, Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 20, No. 1, April 2018, hlm. 57.
Christianto, Konsep Hak Untuk Dilupakan sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn 187

Hak pribadi mengandung pengertian sebagai tidak dijelaskan dalam UU ITE maupun UU ITE
berikut: a. Hak pribadi merupakan hak untuk Perubahan.
menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari
Penilaian atas batasan informasi/dokumen
segala macam gangguan. b. Hak pribadi
merupakan hak untuk dapat berkomunikasi elektronik tidak relevan jika digunakan prinsip
dengan Orang lain tanpa tindakan memata- noscitur a sociis, maka dipahami menurut penilaian
matai. c. Hak pribadi merupakan hak orang yang bersangkutan dan ditetapkan oleh
untuk mengawasi akses informasi tentang pengadilan. Oleh karena itu, ukuran penilaian pun
kehidupan pribadi dan data seseorang.
sangatlah subjektif tergantung pada pemahaman
Bentuk hak privasi yang diatur lebih orang yang menjadi korban. Hal tersebut jika
ditekankan pada hak menikmati kehidupan pribadi, dipahami dari sisi pemenuhan hak korban
hak berkomunikasi, dan hak akses informasi sebenarnya merupakan langkah yang sangat minim.
tentang kehidupan pribadi dan data seseorang. Hal Korban harus berinisiatif dan berupaya secara
tersebut menunjukkan penekanan utama terletak mandiri untuk mendapatkan layanan penghapusan
pada pengakuan hak pribadi yang dimiliki oleh informasi/dokumen elektronik yang merugikan
seseorang. Pengakuan atas hak pribadi bentuk dirinya. Pengaturan terhadap batasan konten
kedua, penghormatan atas hak pribadi orang lain informasi/dokumen elektronik memang tidak
sebenarnya dapat ditemukan dalam rumusan terbatas pada penilaian subjektifitas korban, akan
Pasal 26 ayat (3), (4) dan (5) UU ITE Perubahan. tetapi termasuk informasi/dokumen elektronik yang
Pembentuk undang-undang menegaskan kewajiban dilarang oleh UU ITE. Suatu informasi/dokumen
tiap penyelenggara sistem elektronik untuk elektronik yang dipandang tidak relevan oleh
menghapus setiap informasi/dokumen elektronik seseorang atau korban tetap beredar di internet.
yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya
atas permintaan orang yang bersangkutan. 3. Mekanisme Penerapan Hak untuk Dilu­
Ketentuan hukum tersebut menegaskan pakan
pentingnya penghormatan atas hak pribadi orang Ketentuan hukum Pasal 1 UU ITE Perubahan
lain secara khusus yang keberatan karena tidak memberikan perubahan pada Pasal 26 yang
relevan. Berdasarkan pemahaman Pasal 26 ayat memberikan pengaturan tentang perlindungan
(3) UU ITE Perubahan dapat dipahami bahwa data pribadi yang dimiliki seseorang. Semula
penghapusan informasi/dokumen elektronik Pasal 26 UU ITE hanya menegaskan tentang
menjadi suatu kewajiban ketika dimintakan oleh pentingnya persetujuan orang yang bersangkutan
orang yang bersangkutan berdasar penetapan untuk penggunaan informasi dirinya. Perlindungan
pengadilan karena secara substansi dinilai tidak hukum atas data pribadi masih terbatas pada adanya
relevan. Secara harafiah, Pasal 26 ayat (3) UU ITE persetujuan dan penilaian dari orang yang terkait
memang tidak menggunakan istilah “hak untuk dengan data informasi yang digunakan. Proses
dilupakan” akan tetapi “permintaan menghapus penegakan hukum pun diarahkan pada mekanisme
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik litigasi dengan waktu lama, mekanisme bertahap
yang tidak relevan”. Kedua istilah tersebut pada dan biaya yang tidak murah. Kondisi tersebut
dasarnya memiliki pemaknaan yang sama dengan semakin menempatkan orang yang dirugikan dalam
hak untuk dilupakan. Hal yang menarik pemenuhan keadaan sulit dan harus mengeluarkan pembiayaan
hak untuk dilupakan dalam pelaksanaannya harus yang mahal. Belum lagi tidak ada kewajiban bagi
memenuhi syarat substansi dan syarat administrasi. penyedia jasa untuk menghapus data informasi
Syarat substansi yang dimaksudkan merujuk pada yang dianggap merugikan tersebut. Informasi
informasi/dokumen elektronik tersebut tidak merugikan tetap beredar bahkan semakin beredar
relevan. Pemahaman atas frasa “tidak relevan” luas dalam sistem informasi tanpa ada kendali,
188 MIMBAR HUKUM Volume 32, Nomor 2, Juni 2020, Halaman 175-192

begitu pula dengan kerugian yang dialami korban. rasa aman dan perlindungan hukum atas tindakan
Penghapusan data informasi oleh pengguna jasa yang merugikan. Jaminan atas hak untuk dilupakan
dapat dilakukan ketika ada permohonan dari korban menjadi bagian penting dalam penggunaan internet
atau perintah pengadilan untuk itu. Berdasarkan hal mengingat informasi elektronik yang beredar pada
tersebut, korban dalam pengaturan UU ITE tampak hakikatnya merupakan informasi milik seseorang.
belum diatur dengan baik. Hal yang perlu dipahami lebih lanjut terkait
UU ITE Perubahan memberikan penerapan hak untuk dilupakan yang diterapkan
perubahan penting dalam hal perlindungan UU ITE Perubahan. Rumusan Pasal 26 UU ITE
korban. Prinsip utama perlindungan data pribadi Perubahan menegaskan tambahan ayat (3), ayat
seseorang didasarkan pada persetujuan orang (4), dan ayat (5) tentang perlindungan korban
yang bersangkutan (Pasal 26 ayat (1) UU ITE dan prinsip penghapusan informasi elektronik
Perubahan) dipahami sebagai satu bagian dari hak dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan.
pribadi (privacy rights). Penjelasan Pasal 1 angka Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UU ITE Perubahan
3 UU ITE Perubahan menjelaskan pemahaman hak menegaskan hal baru terkait perlindungan korban,
pribadi dalam Pasal 26 UU ITE memiliki 3 (tiga) termasuk korban revenge porn. Hal lain yang baru
pengertian, antara lain (a) Hak pribadi merupakan dalam Pasal 26 UU ITE Perubahan terkait dengan
hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas bagian yang harus dikerjakan oleh penyelenggara
dari segala macam gangguan; (b) Hak pribadi jasa elektronik. Dua hal penting yang ditegaskan
merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan yaitu penyelenggara sistem elektronik wajib
orang lain tanpa tindakan memata-matai; serta melakukan penghapusan dan menyediakan
(c) Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi mekanisme penghapusan informasi elektronik dan/
akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data atau dokumen elektronik yang tidak relevan atas
pribadi seseorang. dasar permintaan orang yang dirugikan berdasarkan
Jika diamati, penjelasan dua makna dari penetapan pengadilan.
hak pribadi tersebut pengaturan perlindungan data Satu sisi UU ITE Perubahan menekankan
pribadi memiliki dua dimensi yang saling terkait pada kewajiban untuk penghapusan informasi
satu sama lain, pertama dimensi diri pribadi elektronik yang tidak relevan, sedangkan di sisi lain
seseorang dan kedua, dimensi pergaulan diri ditegaskan pentingnya mekanisme penghapusan.
dengan orang lain. Pemahaman akan perlindungan Artinya, UU ITE Perubahan memberikan
data pribadi yang dimiliki seseorang di satu sisi penegasan akan kewajiban penghapusan informasi
merupakan pengakuan hak diri atas kehidupan elektronik atas dasar 2 (dua) syarat utama, yaitu
pribadi namun di sisi lain mempertimbangkan juga syarat materiil dan syarat formil yaitu mekanisme
relasi dengan orang lain untuk berkomunikasi dan penghapusan informasi elektronik yang tidak
akses atas informasi tentang kehidupan pribadi relevan. Pertimbangan substansi yang dipersaratkan
dan data seseorang. Berdasarkan pemahaman yaitu informasi elektronik/dokumen elektronik
tersebut tampak bahwa Pasal 26 UU ITE Perubahan tidak relevan. Pemahaman atas frasa “tidak relevan”
mempertimbangkan konsep hak asasi manusia disini tidak dijelaskan dalam UU ITE Perubahan.
sebagaimana diemban dalam Undang-Undang Istilah “relevan” menurut KBBI44 diartikan sebagai
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak “hubungan atau kaitan”. Sehingga jika dipahami
untuk dilupakan merupakan bagian dari hak asasi secara kontekstual dalam Pasal 26 ayat (3) UU ITE
manusia yang dimiliki pribadi untuk memperoleh Perubahan menjadi informasi/dokumen elektronik

44
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Op.cit., hlm. 1139.
Christianto, Konsep Hak Untuk Dilupakan sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn 189

yang tidak ada hubungan atau kaitan menurut orang Berdasarkan bagan tersebut, mekanisme
yang bersangkutan. Suatu informasi/dokumen penghapusan terkait erat dengan informasi/
elektronik dinilai tidak memiliki hubungan atau dokumen elektronik menilai ada yang tidak relevan.
kaitan dapat dimungkinkan dalam arti merugikan Penilaian tersebut tidak serta merta mengharuskan
bagi orang yang bersangkutan. Pemahaman terakhir penyedia jasa elektronik melakukan penghapusan
ini penulis peroleh dengan menggunakan asas informasi/dokumen elektronik terkait. Walaupun
ejusdem generis45 yaitu memahami penggunaan orang terkait melakukan permohonan atau
suatu frasa dengan memahami sistematika ketentuan permintaan secara mandiri, hal tersebut tidak
hukum terkait. Ketentuan hukum Pasal 26 ayat (3) mengikat penyedia jasa elektronik mengabulkan
UU ITE Perubahan tidak terpisahkan dari Pasal permintaan. Orang terkait harus melakukan gugatan
26 ayat (1) UU ITE Perubahan. Prinsip utama dari atas informasi/dokumen elektronik yang tidak
penggunaan informasi di media elektronik yang relevan dengan dasar keberatan adanya adanya
menyangkut data pribadi seseorang harus disetujui kerugian yang ditimbulkan. Jika melihat bentuk
orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat upaya hukum yang diatur dalam Pasal 26 UU ITE
disimpulkan bahwa frasa “tidak relevan” Pasal Perubahan, upaya hukum dalam hal keperdataan
26 ayat (3) dimaksudkan dengan informasi yang yang diatur sedangkan upaya hukum dalam
dinilai merugikan orang yang bersangkutan dengan perkara pidana tidak mendapat pengaturan khusus.
penyebarluasan informasi tersebut. Hal tersebut tidak berarti jika ada perkara pidana
Mekanisme penerapan hak untuk dilupakan terkait penggunaan atau penyalahgunaan informasi/
dengan demikian telah diatur dalam Pasal 26 UU dokumen elektronik yang merugikan ketertiban
ITE Perubahan mulai dari syarat substansi maupun umum atau kepentingan seseorang (korban)
syarat admnistrasi. Mekanisme tersebut dapat tidak dapat diajukan permohonan penghapusan
digambarkan dalam bagan sebagai berikut: informasi/dokumen elektronik.
Penghapusan informasi/dokumen elektronik
Bagan 2. dapat dilakukan setelah terbukti perbuatan yang
didakwakan. Lebih lanjut proses pembuktian di
Mekanisme Penghapusan Informasi/Dokumen
pengadilan atas pengajuan kerugian dibuktikan
Elektronik Menurut Pasal 26 UU ITE
ketika hal yang diajukan keberatan oleh seseorang
Perubahan
atau korban terbukti, maka saat itu juga dimintakan
penetapan pengadilan untuk dapat dilakukan
penghapusan data kepada penyedia jasa informasi.
Tentunya pengadilan pun memiliki kewenangan
untuk memberikan penilaian berdasarkan hukum
dan keadilan demi menghadirkan keadilan
substantif.46 Penetapan pengadilan tersebut menjadi
dasar hukum yang kuat agar penyedia jasa informasi
melakukan penghapusan data pada yang berada di
bawah kendalinya. Hal ini berarti penyedia jasa
informasi wajib melakukan penghapusan pada
Sumber: Diolah oleh Penulis, 2019
search engine atas informasi/dokumen elektronik

45
Ian McLeod, et al., 1996, Legal Method, Palgrave Macmillan, Hampshire, hlm. 281-294.
46
Mohammad Jamin, “Reinforcing the Status of Customary Law as a Basis for Adjidicating in the Judicial Power System in Indonesia”,
International Journal of Advanced Science and Technology, Vol. 29, No. 03, 2020, hlm. 5105.
190 MIMBAR HUKUM Volume 32, Nomor 2, Juni 2020, Halaman 175-192

yang dimintakan. Penghapusan informasi/dokumen atau hak pribadi dengan penekanan perlindungan
Eeektronik yang tidak relevan jika dipahami kepentingan diri dari publikasi informasi/dokumen
dari bentuk pidana yang dijatuhkan merupakan elektronik yang merugikan dirinya. Artinya jika
bentuk tindakan yang diberikan oleh hakim untuk dipahami hak pribadi dalam Penjelasan Pasal 26
melindungi kepentingan korban. Sebagai sebuah UU UTE Perubahan masih termasuk dalam ruang
tindakan maka hakim tetap memerhatikan tuntutan lingkup hak privasi sebagaimana ditegaskan dalam
dari penuntut umum atas informasi/dokumen ECHR yang mengenal dua bentuk, right of pubicity
elektronik yang tidak relevan. Begitu pula dengan dan privacy right. Pengaturan hak pribadi dalam
penetapan penghapusan informasi/dokumen UU ITE Perubahan menunjukkan perhatian atas
elektronik pada perkara perdata yang harus menjadi jaminan hak pribadi, yaitu right to publicity.
satu bagian dari gugatan penggugat atas informasi/ Kedua, hak privasi masih belum diatur
dokumen elektronik yang dianggap tidak relevan. dengan jelas dalam UU ITE Perubahan sehingga
jaminan perlindungan korban tidak jelas terutama
D. Kesimpulan mekanisme pemenuhan haknya. Perlindungan
Berdasarakan hasil penelitian dapat korban pun masih terbatas pada adanya informasi/
disimpulkan bahwa pertama, hak untuk dokumen elektronik yang tidak relevan berdasar
dilupakan telah dimuat dalam Pasal 26 UU ITE adanya kerugian korban. Pemahaman seseorang
secara komprehensif dari sisi substansi dan sebagai korban dalam UU ITE dengan demikian
perolehannya. Pemaknaan hak untuk dilupakan masih terbatas pada ruang lingkup keperdataan
mengalami perkembangan sebagai bagian dari bukan pidana. Mekanisme penanganan korban
hak asasi manusia yang diakui Undang-Undang atas hak untuk dilupakan pun sangat jelas
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menunjukkan pemenuhan kerugian yang dialami
sebagai pemenuhan kebutuhan akan eksistensi korban. Ketiadaan mekanisme pemenuhan hak
diri menyangkut perlindungan hak privasi diri. untuk dilupakan dalam perkara pidana pun harus
Penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU ITE mengenalkan mengikuti mekanisme pemenuhan hak untuk
hak untuk dilupakan sebagai bagian dari hak privasi dilupakan dalam perkara perdata.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Hukum, Kencana Prenada Media Group,


Darell, Keith B., 2009, Issues in Internet Law: Cetakan kedua, Jakarta.
Society, Technology and the Law, Fifth ___________, 2016, Penelitian Hukum, Kencana
Edition, Amber Book, Washington. Prenada Media Group, Jakarta.
Edwards L, et al., 2000, Law and the Internet: Newburn, T., 2007, Criminology, Willan Publishing,
A Framework for Electronic Commerce, Portland.
Second Edition, Hart Publishing, Oxford. Susilo, Ignatius Bagus., et al., 2003, Kompilasi
Galaway, IBurt, et al., 1981, Perspectives on Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia
Crime Victims, Mosby, St. Loius. Berikut Ratifikasinya dalam Peraturan
Lim, Yee Fen., 2007, Cyberspace Law: Perundang-Undangan di Indonesia, Pusat
Commentaries and Materials, Second Studi Hak Asasi Manusia Universitas
edition, Oxford University Press, New Surabaya, Surabaya.
York. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus
Machmud Marzuki, Peter., 2008, Pengantar Ilmu Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Gramedia
Christianto, Konsep Hak Untuk Dilupakan sebagai Pemenuhan Hak Korban Revenge Porn 191

Pustaka Utama, Jakarta. Cluster? Assesing Types and Categories of


Wacks, Raymond., 2013, Privacy and Media Pornography Consumption in a Large-Scale
Freedom, Croydon, Oxford. Online Simple”, Journal of Sex Research,
Vol. 53, No. 7, 2016.
B. Artikel Jurnal Jaishankar, K, “Sexting: A new form of victimless
Adebayo, Haleemah Bukola, et al., “Trajectories crime?”, International Journal of Cyber
of University of Ibadan Undergraduates’ Criminology, Vol. 3, Issue 1, Januari-Juni
Exposure to Cyber Pornography”, Journal of 2009.
Social, Behavioral and Health Sciences, Vol. Jamin, Mohammad, “Reinforcing the Status of
12, Issue 1, 2018. Cutomary Law as a Basis for Adjidicating
Aswari, Aan, et al., “Harmonisasi Hukum Hak in the Judicial Power System in Indonesia”,
untuk Dilupakan bagi Korban Digital International Journal of Advanced Science
terhadap Calon Mahasiswa di Makassar”, and Technology, Vol. 29, No. 03, 2020.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 20, No. 1, Keilty, Patrick, “Embodied Engagements with
April 2018. online pornography”, The Information
Brown, Jonathan, “Revenge porn’ and the actio Society, Vol. 32, No. 1, 2016.
iniuriarum: using ‘old law’ to solve ‘new Kirchengast, Tyrone, “The Limits of Criminal Law
problems”, Legal Studies, Vol. 38, 2018. and Justuce: ‘revenge porn’ Criminalization,
Christianto, Hwian, “Revenge porn sebagai Hybird Responses and The Ideal Victim”,
Kejahatan Kesusilaan Khusus: Perspektif UniSA Student Law Review, Vol. 2, No. 42,
Sobural”, Jurnal Veritas et Justitia, Vol. 3, Desember 2016.
No. 2, Desember 2017. Kumar, Alok Prasanna, “Right to be Forgotten’
DeKeseredy, Walter S, “Critical Criminological in Indian Law”, Economic and Political
Understandings of Adult Pornography and Review, Vol. 52, No. 11, Maret 2017.
Woman Abuse: New Progressive Directions Marsui, Shigenori, “The Criminalization of
in Research and Theory”, International Revenge Porn in Japan”, Washington
Journal for Crime, Justice and Social International Law Journal Association, Vol.
Democracy, Vol. 4, No. 4, 2015. 24, No. 2, April 2015.
Fattah, Ezzat Abdel, “Towards A Criminological Ngo, Fawn T, et al., “Sexting: Current Research
Classification of Victims”, Criminology Gaps and Legislative Issue: General
and Police Science Journal, Vol. 58, No. 4, Editors’ Introduction to the Special Issue”,
Desember 1967. International Journal of Cyber Criminology,
Fay, Meghan, “The Naked Truth: Insufficient Vol. 11, Issue 2, Juli-Desember 2017.
Coverage for Revenge Porn Victims at State Nugraha, Ridha Aditya, “Perlindungan Data
Law and the Proposed Federal Legislation to Pribadi dan Privasi Penumpang Maskapai
Adequately Redress Them”, Boston College Penerbangan pada Era Big Data”, Jurnal
Law Review, Vol. 59, No. 5, 2018. Mimbar Hukum, Vol. 30, No. 2, Juni 2018.
Franklin, Zak, “Justice for Revenge Porn Victims: Perangin-angin, Ita Iya Pulina, et al., “Kewajiban
Legal Theories to Overcome Claims of Civil dan Tanggung Jawab Negara Memberikan
Immunity by Operators of Revenge Porn Perlindungan Hukum terhadap Perempuan
Websites”, California Law Review, Vol. 102, Korban Revenge Porn di Indonesia”,
2014. Diponegoro Law Journal, Vol. 8, No. 1,
Hald, Gert Martin, et al., “What Types of 2019.
Pornography Do People Use and Do They Saulawa, Mu’azu Abdullahi, “Cyberpornography:
192 MIMBAR HUKUM Volume 32, Nomor 2, Juni 2020, Halaman 175-192

an Analysis of the Legal Framework”, Global E. Peraturan Perundang-undangan


Journal of Politics and Law Research, Vol. 3, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
No. 2, April 2015. Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran
Sweeny, JoAnne, “Gendered Violence and Victim- Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Blaming: The Law’s Troubling Response Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
to Cyber-Harassment and Revenge Republik Indonesia Nomor 4635)
Pornography”, International Journal of Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Technoethics, Vol.8, Issue 1, 2017. Informasi dan Transaksi Elektronik
(Lembaran Negara Republik Indonesia
C. Makalah Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Mudzakkir, “Perkembangan Viktimologi dan Negara Republik Indonesia Nomor 58,
Hukum Pidana”, Makalah, Pelatihan Hukum Tambahan Lembaran Negara Republik
Pidana dan Krimilogi Kerjasama Fakultas Indonesia Nomor 4843)
Hukum UGM dan Masyarakat Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), Pornografi (Lembaran Negara Republik
Yogyakarta, 23-27 Februari 2014. Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
D. Internet Nomor 4928)
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
“Info Grafis Hasil Survey 2017”, www. Perubahan Undang-Undang Nomor 11
teknoprenuer.com, diakses 10 April 2018. Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Danielle Keats Citron, et al., “Criminalizing Elektronik (Lembaran Negara Republik
Revenge Porn”, https://law.yale.edu/system/ Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan
files/area/center/isp/documents/danielle_ Lembaran Negara Republik Indonesia
citron_-_criminalizing_ revenge_porn_-_ Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
fesc.pdf, diakses 12 September 2019. Republik Indonesia Nomor 5952)

Anda mungkin juga menyukai