Anda di halaman 1dari 74

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Delik mengenai kesusilaan secara umum diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Pornografi merupakan salah satu dari tindak
kesusilaan yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE). Pada undang-undang yang telah disebutkan telah
menyatakan larangan dalam pembuatan konten bermuatan pornografi, seperti
pada Pasal 29 Undang-Undang Pornografi dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang
ITE. Dalam tindak pidana pornografi terdapat terminologi baru yang dikenal
dengan non-consensual pornography atau juga dikenal sebagai revenge porn
berupa perilaku yang meliputi distribusi online foto atau video seksual yang
dibuat atau disebarkan tanpa persetujuan orang yang berada di dalam foto atau
video tersebut.1
Dalam konstitusi negara Indonesia, negara menjamin warganya untuk
mendapat perlindungan lewat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di
mata hukum2, meliputi perlindungan terhadap diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak atas rasa
aman; dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.3 Ketika membahas pornografi, khususnya non-consensual
pornography, tentu tidak hanya ada pelaku sebagai penyebar konten seperti foto
dan/atau video yang bermuatan asusila tersebut, tetapi ada korban yang juga
harus menjadi perhatian penegak hukum. Ketika seseorang membuat foto

1
Fairuz Nadia, 2017. Yayasan Pulih: Mengenal Kekerasan Cyber Pada Perempuan [Online],
Tersedia: http://yayasanpulih.org/2020/06/mengenal-kekerasan-cyber-pada-perempuan/, diakses
Tanggal 3 Januari 2021.
2
Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3
Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

1
dan/atau video bermuatan pornografi, tidak selalu dengan tujuan untuk
menyebarkan.
Sedangkan ketika konten bermuatan pornografi tersebut disebarkan
dengan tanpa hak atau persetujuan oleh orang yang tidak bertanggung jawab
untuk memperoleh tujuan-tujuan tertentu seperti yang tercantum dalam Pasal 29
Undang-Undang Pornografi atau Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang ITE, hal
tersebut telah melanggar hak privasi seseorang, namun perlu ditegaskan bahwa
pada bagian penjelasan atas Pasal 4 Undang-Undang Pornografi terdapat
pengecualian yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “membuat” tidak
termasuk menciptakan untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Pada tahun
2017, sebuah organisasi keadilan gender di Amerika Serikat bernama “ Stop
Street Harassment” mencatat perempuan yang mengalami pelecehan verbal
sebesar 77% dan sekitar 41% di antaranya terjadi di dunia maya.
Di Indonesia, kasus kejahatan terhadap perempuan yang terjadi di dunia
maya meningkat sebesar 300% di akhir tahun 2019. Data dari Komnas
Perempuan mencatat kenaikan yang cukup signifikan dari 97 kasus pada tahun
2018 menjadi 281 kasus pada tahun 2019. Mariana Amiruddin yang merupakan
Komisioner Komnas Perempuan menyebutkan kasus yang banyak terjadi adalah
penyebaran foto dan/atau video porno.
Pelaku rata-rata justru merupakan orang terdekat korban, seperti
pasangan ataupun orang-orang terdekat yang berada di lingkungan korban.
Sayang sekali masih banyak kasus kejahatah online yang tidak terselesaikan. 
Pada tahun 2017 sendiri terdapat 6.061 kasus cyber di Indonesia yang
dilaporkan ke polisi dan sekitar 20% dari laporan tersebut adalah kasus
penyebaran foto dan/atau video yang bermuatan pornografi dan banyak yang
tidak terselesaikan.
Beberapa contoh diantaranya kasus Vina Garut yang justru dijadikan
tersangka atas penyebaran video bermuatan pornografi yang di dalamnya
terdapat dirinya padahal saat pembuatan video tersebut ia berada di bawah
tekanan dan ancaman suaminya bahwa suaminya akan menceraikannya atau
mencari Wanita lain jika V tidak mau menuruti keinginan sang suami untuk
beradegan porno di depan kamera 4, lalu kasus Selebriti berinisial G atas

2
beredarnya video berdurasi 19 detik miliknya dan menjadi viral di media sosial
pada 7 November 2020 karena disebarkan oleh orang tidak bertanggung jawab
dengan cara meretas telepon genggam milik G yang kemudian justru menjadikan
G sebagai tersangka.5 Kasus-kasus tersebut menunjukkan kalau Indonesia masih
kurang sensitif terhadap kasus-kasus terkait kejahatan seksual. Mereka juga
diabaikan oleh konstitusi hukum yang mengklaim adil dan tidak memihak. 6
Undang-undang yang ada di Indonesia seperti Undang-Undang Pornografi
dan Undang-Undang ITE dianggap kurang dapat melindungi korban kejahatan
seksual siber berupa non-consensual pornography atau penyebaran konten
seksual milik pribadi ke internet tanpa persetujuan dan justru dapat menjerat
balik korban karena dianggap berpartisipasi membuat konten pornografi tersebut
sehingga membuat korban kasus penyebaran konten pornografi ini tidak berani
melaporkan kasusnya.
Tidak jarang pula korban penyebaran konten pornografi tersebut justru
dipersalahkan saat foto dan/atau video yang tadinya hanya untuk konsumsi
pribadi kemudian tersebar dan menjadi konsumsi publik, sehingga perlu
ditegaskan posisi korban dan haknya untuk dilindungi oleh hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan korban terhadap penyebaran foto dan/atau video
bermuatan pornografi ditinjau dari perspektif viktimologi?
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban penyebaran foto
dan/atau video bermuatan pornografi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini diarahkan untuk menjawab dua hal, yaitu Pertama
ingin mengetahui dan menganalisa kedudukan korban ditinjau dari aspek
viktimologi dalam kasus penyebaran pornografi dalam bentuk foto dan/atau

4
Firman Wijaksana, 22 Agustus 2019, Perempuan Pelaku Video Vina Garut Mengaku
Dipaksa Suami Untuk Melakukan Itu, Takut Ditinggal [Online], tersedia:
https://www.tribunnews.com/regional/2019/08/22/perempuan-pelaku-video-vina-garut-mengaku-
dipaksa-suami-untuk-melakukan-itu-takut-ditinggal, diakses Tanggal 26 Juli 2021.
5
Wayan Diananto, 30 Desember 2020, Kronologi Kasus Video Syur Gisel: Awalnya Viral dan
Klarifikasi, Lalu Jadi Saksi, Kini Tersangka Bareng MYD [Online], tersedia:
https://www.liputan6.com/showbiz/read/4445224/kronologi-kasus-video-syur-gisel-awalnya-viral-
dan-klarifikasi-lalu-jadi-saksi-kini-tersangka-bareng-myd, diakses Tanggal 26 Juli 2021.
6
Fairuz Nadia, Op.Cit., diakses Tanggal 3 Januari 2021.

3
video; Untuk menelusuri hal-hal yang menegaskan sebab-sebab terjadinya
viktimisasi (proses di mana seseorang menjadi korban), mengapa korban harus
dilindungi, dan ketika seseorang menjadi pelaku sekaligus korban, maka apakah
seseorang tersebut akan kehilangan hak-haknya sebagai korban.
Kedua, ingin mengetahui dan menganalisa bentuk perlindungan terhadap
korban penyebaran pornografi dalam bentuk foto dan/atau video. Pada bagian
ini, penelitian menelusuri bentuk perlindungan yang seharusnya didapatkan oleh
seseorang ketika ia menjadi korban dalam kasus penyebaran foto dan/atau video
bermuatan pornografi.
D. Manfaat Penelitian
Pada dasarnya setiap penelitian diharapkan mempunyai hasil yang
bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pihak lain yang memerlukan. Adapun
manfaat penelitian ini terbagi atas manfaat teoritis dan manfaat praktis:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat menambah dengan
memperbanyak referensi ilmu di bidang Hukum Pidana, khususnya tentang
ilmu viktimologi dan perlindungan hukum korban penyebaran foto dan/atau
video bermuatan pornografi dan sebagai bahan acuan untuk penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan baik kepada aparat
penegak hukum, lembaga atau yayasan yang menaungi dan memberikan
advokasi bagi korban kejahatan, dan masyarakat mengenai perlindungan
hukum korban penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis, penelitian
yang telah ada sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan
oleh penulis, yaitu dengan judul KAJIAN VIKTIMOLOGI PERLINDUNGAN HUKUM
KORBAN PENYEBARAN FOTO DAN/ATAU VIDEO BERMUATAN PORNOGRAFI
adalah:
1. Indra Tri Atmojo Saputra, 2015, Universitas Muhammadiyah Malang Fakultas

4
Hukum, Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pornografi Melalui
Internet. Di dalam skripsi milik Indra Tri Atmojo ini membahas tentang
korban pornografi melalui internet. Melihat dari substansi penulisan
penelitian ini terdapat persamaan, yaitu sama-sama membahas mengenai
perlindungan terhadap korban, akan tetapi terdapat perbedaan yang
signifikan. Perbedaannya yaitu, Indra Tri Atmojo lebih berfokus pada
pertanggungjawaban pelaku lewat ketentuan tindak pidana terhadap pelaku
sebagai bentuk perlindungan hukum, sedangkan dalam penulisan ini penulis
berfokus pada korban dan bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap
korbannya.
2. Alfi Quthni Aswad, 2016, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Fakultas Syariah dan Hukum, Analisis Yuridis Tindak Pidana Menyiarkan dan
Menyebarkan Pornografi “Cyberporn” (Studi Kasus Putusan Nomor
1302/Pid.B/2008/PN.Mks). Skripsi milik Alfi Quthni Aswad ini membahas
mengenai Tindak Pidana Menyiarkan dan Menyebarkan Pornografi
“Cyberporn” berdasarkan studi kasus Putusan Nomor
1302/Pid.B/2008/PN.Mks. Dalam penulisan penelitian ini terdapat
persamaan, yaitu sama-sama membahas mengenai penyebaran pornografi,
namun penulisan ini jelas memiliki perbedaan dengan penelitian yang telah
ada sebelumnya, yaitu pada objek dan subtansi pembahasannya, di mana
penelitian sebelumnya objeknya adalah pelaku dan membahas mengenai
penerapan hukum bagi yang menyiarkan dan menyebarkan pornografi
berdasarkan perkara Nomor 1302/Pid.B/2008/PN.Mks. Sedangkan dalam
penulisan ini objeknya adalah korban dari tindak penyebaran pornografi dan
akan membahas mengenai kedudukan dan perlindungan korban dalam kasus
penyebaran pornografi.
F. Landasan Teori
1. Teori Viktimologi
Viktimologi berasal dari bahasa Latin victim yang berarti “korban” dan
logos yang berarti “ilmu”. Viktimologi secara terminologis berarti suatu studi
yang mempelajari tentang korban dan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang
mempelajari suatu viktimalisasi sebagai suatu permasalahan manusia yang

5
merupakan suatu kenyataan sosial.7 Viktimologi memberikan pengertian
yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia
yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial, maupun ekonomi. Pada
saat berbicara mengenai korban kejahatan, cara pandang kita tidak dapat
dilepaskan dari viktimologi. Berbagai aspek yang berkaitan dengan korban,
seperti faktor penyebab munculnya kejahatan, bagaimana seseorang dapat
menjadi korban, upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan, serta hak
dan kewajiban korban kejahatan dapat diketahui melalui viktimologi. 8
Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti peranan korban pada
terjadinya tindak pidana, hubungan antar pelaku dengan korban, hingga
rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana. 9
Pandangan-pandangan dalam viktimologi mendorong orang untuk
memerhatikan dan melayani setiap pihak yang dapat menjadi korban
mental, fisik, sosial, maupun ekonomi.
Pada dasarnya, viktimologi memiliki manfaat dalam mempelajari studi
korban, yaitu: a) Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak
korban dan perlindungan hukum; b) Manfaat yang berkenaan dengan
penjelasan peran korban dalam suatu tindak pidana; c) Manfaat yang
berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban. Viktimologi juga
berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi kroban sebagai manusia,
anggota masyarakat, dan sebagai warga negara yang mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dan seimbang kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan. Viktimologi dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam
upaya memperbaiki berbagai kebijakan atau perundang-undangan yang
selama ini terkesan kurang memerhatikan aspek perlindungan korban.
Salah satu teori viktimologi yang akan digunakan dalam penulisan ini
adalah Routine Activity Theory, salah satu teori dalam viktimologi
kontemporer yang pertama kali dikembangkan oleh Lawrence Cohen dan
Marcus Felson (1979). Teori ini menetapkan tiga syarat yang diperlukan agar
7
Rena Yulia, 2010. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan ,
Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm. 43.
8
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, 2008. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan:
Antara Norma dan Realita, Jakarta: Raja Grafindo, hlm. 33.
9
Rena Yulia, Op.Cit., hlm. 50-51.

6
suatu tindak atau kejadian dapat dikatakan sebagai kejahatan (terhadap
orang atau barang), yaitu: 1. Ada pelaku yang termotivasi; 2. Target (korban
kejahatan) yang dianggap cocok dan menarik oleh pelaku; 3. Tidak adanya
pengamanan atau penjagaan yang cakap dan mampu melindungi orang atau
barang yang menjadi target kejahatan. 10 Seiring berjalannya waktu, teori ini
lebih banyak dipergunakan untuk mempelajari mengenai kejahatan seksual,
perampokan, kejahatan dunia maya, dan viktimisasi. Menurut Cohen dan
Felson dalam teori ini, kejahatan relatif tidak terpengaruh oleh sebab-sebab
sosial yang terjadi di masyarakat seperti kemiskinan atau pengangguran,
melainkan alasan peningkatan kejahatan adalah karena tingkat kemakmuran
masyarakat kontemporer yang semakin tinggi membuat peluang terjadinya
suatu kejahatan menjadi semakin banyak. 11
2. Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan terhadap hukum agar
tidak dicederai dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh
hukum terhadap sesuatu. Perlindungan hukum bertujuan mengintegrasikan
dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat dalam
masyarakat.12 Perlindungan hukum juga berarti memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum. 13
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi
hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yaitu keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum yang diberikan kepada subyek hukum,
baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif dalam bentuk
tertulis maupun tidak tertulis. Hakekatnya, setiap orang berhak
mendapatkan perlindungan dari hukum.
Selama ini pengaturan perlindungan korban belum menampakkan
10
Rhondy Hermawan, 15 Desember 2019, Routine Activity Theory Untuk Menganalisa
Kejahatan [Online], tersedia:
https://www.kompasiana.com/rhondyhermawan0966/5df64e06097f36040f6ae103/routine-activity-
theory-untuk-menganalisa-kejahatan?page=all, diakses Tanggal 18 Oktober 2021.
11
Ibid.
12
Satjipto Raharjo, 2000. Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 53
13
Ibid. hlm. 69.

7
pola yang jelas. Dalam hukum pidana positif yang berlaku, perlindungan
korban lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan
tidak langsung. Artinya dalam perundang-undangan selama ini sebenarnya
telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan
hukum dan hak asasi korban14, namun perlindungan secara tidak langsung
dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan
perlindungan secara maksimal karena realitas di Indonesia menunjukkan
bahwa hukum yang berlaku secara pasti belum mampu menjamin kepastian
dan rasa keadilan bagi korban.
3. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan
atau menimbulkan konflik norma. Menurut Utrecht kepastian hukum
mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat
umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah dengan adanya aturan yang bersifat umum,
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh negara terhadap individu.
Menurut Sudikno Mertokusumo kepastian hukum merupakan sebuah
jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan baik. Kepastian
hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-
undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, sehingga aturan itu
memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin bahwa hukum berfungsi sebagai
suatu peraturan yang harus ditaati dan juga hukum tidak lain dari menjamin
terwujudnya kepastian hukum.
4. Tinjauan Mengenai Viktimologi

14
Barda Nawawi Arief, 1998. Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan
Pidana, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, vol 1 (1), hlm. 16-17.

8
1. Korban
Dalam suatu tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat,
mengakibatkan adanya korban dan juga pelaku yang di mana pihak yang
sangat mengalami kerugian dalam situasi tersebut adalah korban. Jika
membahas mengenai korban, sebenarnya bukan merupakan hal baru,
melainkan sudah umum diketahui bahwa hamper di setiap kejahatan selalu
menimbulkan korban. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tidak ada
kejahatan tanpa adanya korban, meskipun pada beberapa kasus kejahatan
terjadi tanpa adanya korban, dalam arti korban dari kejahatan itu
merupakan pelaku sendiri, misalnya: perjudian dan penyalahgunaan narkoba
(narkotika dan obat-obat terlarang). 15 Pengertian korban dalam pembahasan
ini diberikan untuk membantu dalam menentukan secara jelas batasan yang
dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan dan
kesepahaman dalam cara memandang. Berikut adalah berbagai pengertian
korban:
a. Pengertian Secara Umum
Secara umum, korban adalah orang, baik individu maupun
kolektif yang telah mengalami penderitaan berupa kerugian yang baik
secara langsung maupun tidak langsung sebagai akibat dari tindak
kejahatan yang dilakukan oleh subyek lain. 16 Istilah itu merujuk pada
pengertian “setiap orang, kelompok, atau apapun yang mengalami luka-
luka, kerugian, atau penderitaan, baik fisik, psikologis, maupun
ekonomi, akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum”.
Sedangkan menurut kamus Crime Dictionary, korban merupakan orang
yang telah menderita secara fisik atau mental, mengalami kerugian
harta benda atau kematian atas perbuatan atau usaha pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana lainnya. 17 Pada dasarnya,

15
G. Widiartana, 2014. Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan,
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, hlm. 5
16
Billy Putra, 2018. Dictio: Apa yang Dimaksud dengan Korban? [Online], tersedia:
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-korban/14757/2, diakses Tanggal 15 Agustus
2020.
17
Bambang Waluyo, 2011. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan ,
Jakarta: Sinar Grafika, hlm 9.

9
korban tidak saja dipahami sebagi obyek dari suatu kejahatan, tetapi
juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan
secara sosial dan hukum.
b. Pengertian Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
Secara yuridis, pada Pasal 1 angka 3 undang-undang ini
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
c. Pengertian Menurut Para Ahli
1) Arief Gosita18, mengartikan bahwa korban ialah mereka yang
menderita secara jasmaniah dan rohaniah yang merupakan akibat
dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri/kelompok/orang lain yang bertentangan dengan kepentingan
hak asasi orang lain yang menderita.
2) Kemudian Muladi19, menyatakan bahwa pengertian korban
kejahatan merupakan seseorang yang telah menderita kerugian
sebagai akibat dari suatu kejahatan dan/atau rasa keadilannya yang
secara langsung telah terganggu oleh akibat pengalamannya
sebagai target dari kejahatan.
3) Romli Atmasasmita20, mendefiniskan bahwa korban ialah orang yang
disakiti dan penderitaannya itu diabaikan oleh negara, sementara
korban telah berusaha untuk menuntut dan menghukum pelaku
tersebut.
4) Van Boven21, juga mendefinisikan korban sebagai orang yang secara
individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk
cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian
18
Arief Gosita, 2004. Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan) , Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer, hlm. 64.
19
Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana , Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, hlm. 177.
20
Romli Atmasasmita, 2009. Masalah Santunan Korban Kejahatan, Jakarta: Genta, hlm. 9.
21
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan , Op.Cit.,
hlm. 9.

10
ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya,
baik karena tindakannya (by act) maupun karena kelalaiannya (by
omission) dengan merujuk pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar
Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan.
Berdasarkan pengertian korban yang telah dijabarkan di atas,
dapat dilihat bahwa pada dasarnya korban tidak hanya orang perorang
atau kelompok yang mengalami penderitaan secara langsung sehingga
menimbulkan kerugian bagi diri sendiri, kelompok, atau lebih luas lagi
termasuk orang-orang yang terdampak kerugian ketika membantu
korban dalam mengatasi atau mencegah viktimisasi akibat perbuatan
orang lain.
Dalam perkembangannya, ilmu dan pengetahuan yang
mempelajari mengenai korban yang selain berguna untuk lebih melihat
posisi korban dalam suatu tindak pidana, terdapat juga jenis-jenis
korban, yaitu:22
a) Nonparticipating victims, merupakan upaya penanggulangan tindak
pidana yang mana mereka tidak mempedulikannya.
b) Latent victims, memaksudkan setiap orang yang mempunyai kelakuan
tertentu sehingga minim menjadi korban.
c) Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan dorongan terjadinya
tindak pidana.
d) Participating victims, mereka yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya
justru mendorong dirinya menjadi korban.
e) Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan atau potensi untuk menjadi korban, misalnya orang tua
renta, anak-anak, dan penyandang disabilitas.
f) Socially weak victims , adalah mereka yang memiliki kedudukan sosial
yang lemah sehingga menyebabkan mereka menjadi korban, misalnya
kroban perdagangan orang.
g) False victims/Self victimizing victim, merupakan orang yang menjadi
korban disebabkan oleh perbuatannya sendiri, seperti penggunaan obat
22
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, Op.Cit., hlm. 49.

11
bius, prostitusi, aborsi.
Tak terbatas dengan jenis-jenis korban di atas, para ahli juga
menggolongkan jenis-jenis korban seperti pendapat Dr. Lilik Mulyadi, secara
global korban dapat diklasifikasikan jenis-jenisnya berdasarkan orientasi
kepada dimensi akibat perbuatan manusia, menjadi: 23
a) Korban kejahatan (victim of crime), pada konteks ini korban diartikan
sebagai penal viktimologi di mana ruang lingkup kejahatan meliputi
kejahatan tradisional, kejahatan kerah putih ( white collar crimes), serta
viktimisasi dalam korelasinya dengan penegak hukum, pengadilan, dan
Lembaga Pemasyarakatan.
b) Korban akibat penyalahgunaan kekuasaan ( victims of abuse power),
yang pada konteks ini umumnya disebutkan dengan terminology
political viktimologi dengan ruang lingkup abuse of power, Hak Asasi
Manusia, dan terorisme.
c) Korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif atau yang
bersifat non-penal yang mana dalam konteks ini lazimnya ruang
lingkupnya bersifat ekonomik viktimologi sehingga ancaman sanksinya
adalah sanksi yang bersifat administratif bagi pelakunya.
Mandelson juga menggolongkan korban tindak pidana berdasarkan
derajat kesalahannya dalam suatu kasus menjadi beberapa jenis, yaitu: 24
a) Korban yang sama sekali tidak bersalah. Jenis ini merupakan “korban
ideal”, termasuk dalam jenis ini misalnya anak-anak.
b) Korban dengan sedikit kesalahan dan korban karena kebodohannya,
misalnya perempuan yang menjadi korban kejahatan karena
sembarangan menumpang kendaraan orang asing.
c) Korban yang derajat kesalahannya sama dengan pelaku. Korban jenis ini
terdapat pada kasus-kasus bunuh diri dengan bantuan orang lain dan
euthanasia.
d) Korban dengan kesalahan yang melebihi pelaku, dibagi menjadi dua,
yaitu: 1. Korban provokatif, korban yang sengaja memprovokasi pelaku
23
Lilik Mulyadi, 2012. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik ,
Bandung: PT. Alumni, hlm. 246.
24
G. Widiantara, Op.Cit., hlm. 30.

12
untuk melakukan kejahatan (the provoker victim); 2. Korban yang
karena kelalaian menstimulasi pelaku untuk melakukan kejahatannya
(the imprudent victim).
e) Korban yang kesalahannya jauh melebihi pelaku dan korban sebagai
satu-satunya yang bersalah. Misalnya seseorang pelaku kekerasan yang
justru terbunuh oleh korbannya karena ada pembelaan diri
f) Korban simulatif dan korban imajiner, yaitu korban yang dengan kepura-
puraan atau imajinasinya melakukan penyesatan terhadap pengadilan
dengan harapan pemidanaan terhadap tertuduh, termasuk dalam jenis
ini adalah penderita paranoid dan histerik.
Pada tahap perkembangannya, korban tidak saja menyangkut orang
perorangan, tetapi meluas dan kompleks menyangkut lingkungan hidup,
korporasi, institusi, masyarakat, pemerintah, bangsa, dan negara yang
dijabarkan sebagai berikut:25
a) Korban perorangan ialah setiap orang sebagai individu mendapat
penderitaan baik fisik, jiwa, materiil, ataupun non-materiil.
b) Korban institusi adalah setiap institusi yang mengalami penderitaan
kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian
berkepanjangan dampak dari kebijakan pemerintahan, kebijakan
swasta, maupun bencana alam.
c) Korban lingkungan hidup yaitu merupakan setiap lingkungan alam yang
di dalamnya berisikan kehidupan flora, fauna, manusia, dan masyarakat
serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan sangat
bergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami
kerusakan seperti longsor, banjir, dan kebakaran yang ditimbulkan oleh
kebijakan pemerintah yang salah dan/atau perbuatan baik individu
maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
d) Korban masyarakat, bangsa, dan negara adalah masyarakat yang
diperlakukan diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil
pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial,

25
Bambang Waluyo, 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta: Sinar
Grafika, hlm. 11.

13
maupun hak budaya yang tidak lebih baik setiap tahun.
Berdasarkan jenis-jenis korban yang telah disebutkan, korban
penyebaran konten pornografi dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis
korban tergantung pada kasusnya mengingat latar belakang dan kronologi di
tiap kasus yang berbeda-beda pada tiap korban. Tidak bisa dipungkiri bahwa
korban penyebaran konten pornografi bisa juga muncul dari kesalahannya
sendiri atau bisa disebut dengan korban provokatif, yaitu korban dengan
sengaja memprovokasi pelaku untuk melakukan kejahatannya ( the provoker
victim) seperti memberikan foto/video bermuatan pornografi miliknya pada
pelaku atau menyetujui dirinya untuk difoto/direkam oleh pelaku.
Pada suatu tindak pidana, tidak hanya ada pelaku, namun juga
terdapat korban yang mempunyai peranan sebagai objek pelaksanaan
kejahatan. Dalam terjadinya suatu tindak pidana, korban berperan sebagai
salah satu pengakibat terjadinya suatu kejahatan dan pemberi kesempatan
dari terlaksananya suatu kejahatan, misal pada suatu kasus di mana seorang
wanita menggunakan pakaian yang sangat terbuka dan menampilkan
banyak bagian tubuhnya sehingga hal ini mendorong terjadinya tindak
kejahatan seperti pemerkosaan. Tindak pidana dalam hal ini kejahatan dapat
terjadi karena ada pihak yang berperan, sadar atau tidak sadar, dikehendaki
atau tidak, sebagai korban dalam hal ini korban penyebaran foto dan/atau
video bermuatan pornografi.
Berkaitan dengan uraian di atas, dalam suatu tindak kejahatan
tentunya terdapat penyebab seseorang menjadi korban atau objek dari
kejahatan. Separovic mengemukakan beberapa faktor yang dianggap
sebagai penyebab terjadinya korban (viktimisasi), yaitu: 26
1. Faktor personal, termasuk keadaan biologis (usia, jenis kelamin,
keadaan mental) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan
keterasingan);
2. Faktor sosial, misalnya imigran, kelompok minoritas, pekerjaan, perilaku
jahat, dan hubungan antar pribadi;

26
J. E. Sahetapy, 1995. Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung: Eresco, hlm. 208.

14
3. Faktor situasional, misalnya konflik, tempat dan waktu.
Pada dasarnya tidak ada orang yang menghendaki dirinya dijadikan
sasaran kejahatan, tetapi karena keadaan yang ada pada korban atau
karena sikap dan perilakunya lah ia dapat mendorong pelaksanaan niat jahat
pelaku. Perlu dijelaskan pula bahwa di dalam mencari faktor penyebab
korban, suatu faktor tertentu tidaklah bersifat dominan atau terpengaruh
oleh satu faktor saja. Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari penyebab atau
proses viktimisasinya, korban penyebaran foto dan/atau video bermuatan
pornografi disebabkan oleh faktor personal dan faktor sosial.
Terlepas dari jenis-jenis korban serta peranan dan penyebab
seseorang menjadi korban, korban tindak pidana juga memiliki hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban adalah dua kata yang berbeda, namun
keduanya tidak dapat dipisahkan layaknya dua sisi dari mata uang karena
tidak akan ada hak tanpa kewajiban di dalamnya, begitupun sebaliknya.
Oleh karena itu dalam penulisan ini akan membahas pula mengenai hak dan
kewajiban korban. Hak dan kewajiban tidak hanya dalam bidang hukum
melainkan ada juga dalam bidang lainnya yang disebut dengan hak dan
kewajiban moral.27
a) Hak Korban
Indonesia telah mengatur secara jelas mengenai beberapa hak-
hak korban di dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu
sebagai berikut:
1. Di dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP), terdapat 4
aspek hak jika kita melihat mengenai hak-hak korban, yaitu: a)
Dalam Pasal 109 dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP diatur hak untuk
melakukan kontrol terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum,
yakni hak mengajukan keberatan atas tindakan penghentian
penyidikan dan/atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak
ketiga yang berkepentingan; b) Dalam Pasal 168 KUHAP dapat
dijumpai hak korban mengenai kedudukannya sebagai saksi; c)
Dalam Pasal 134 sampai 136 KUHAP mengatur mengenai hak bagi
27
G. Widiartana, Op.Cit, hlm. 20

15
keluarga korban dalam hal korban meninggal dunia, untuk
mengijinkan atau tidak atas tindakan polisi melakukan bedah mayat
atau penggalian kubur untuk autopsi; d) Dalam Pasal 98 sampai
dengan Pasal 101 KUHAP dapat dijumpai hak untuk menuntut ganti
rugi atas kerugian yang diderita dari akibat tindak pidana dalam
kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan.
2. Dalam undang-undang lainnya, yaitu Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam Pasal 5
menyebutkan bahwa korban memiliki hak berupa:
a) Memperoleh perlindungan atas keamaan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan
dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c) Memberikan tekanan tanpa tekanan;
d) Mendapatkan penerjemah;
e) Bebas dari pernyataan yang menjerat;
f) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i) Mendapatkan identitas baru;
j) Mendapatkan kediaman baru;
k) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
l) Mendapatkan nasihat hukum; dan/atau
m) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas
waktu perlindungan berakhir.
3. Sedangkan dalam undang-undang lainnya yang juga membahas
mengenai hak korban seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada
Pasal 10 menentukan bahwa korban berhak mendapatkan:
a) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,

16
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik
sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
b) Pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan
korban;
d) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada
setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
e) Pelayanan bimbingan rohani.
4. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata
Cara Perlindungan Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat, pada Pasal 4 juga terdapat beberapa bentuk
perlindungan terhadap korban, seperti: a) Perlindungan atas
keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental;
b) Perahasiaan identitas korban dan saksi; c) Pemberian keterangan
pada saat pemeriksaan di siding pengadilan tanpa bertatap muka
dengan tersangka.
5. Menurut The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of
Crime and Abuse of Power (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Nomor 40/A/Res/34 Tahun 1985), beberapa hak korban antara lain
ialah:28
a. Hak mendapatkan kasih sayang, hormat, dan pengakuan;
b. Hak untuk menerima informasi dan penjelasan tentang
perkembangan kasus;
c. Hak memberikan informasi;
d. Hak untuk menetapkan bantuan yang tepat;
e. Hak mendapatkan perlindungan privasi dan keamanan fisik;
f. Hak untuk restitusi dan kompensasi;

28
Bambang Widiyantoro, 2019. Declaration of Basic Principles of justice for Victims of Crime
and Abuse of Power Terhadap Perlindungan Korban vol. 4 (1), [Online], tersedia:
https://journal.unsika.ac.id/index.php/jurnalilmiahhukumdejure/article/download/1859/1488,
diakses Tanggal 20 Februari 2021, hlm. 7-8

17
g. Hak untuk mendapatkan akses terhadap mekanisme sistem
peradilan.
b) Kewajiban Korban
Sebagaimana hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan, korban
kejahatan tidak hanya memiliki hak, namun juga memiliki kewajiban.
Ada beberapa kewajiban-kewajiban korban menurut Arif Gosita, yaitu: 29
1. Tidak membuat korban baru dengan melakukan balas dendam
(eigenrechting)
2. Ikut berpartisipasi dengan mayarakat untuk mencegah korban lebih
banyak lagi
3. Mencegah kehancuran si pembuat korban (pelaku), baik oleh/dari
diri sendiri maupun orang lain
4. Ikut serta membina pelaku
5. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi
korban lagi
6. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan
pelaku
7. Memberikan kesempatan pada pelaku untuk memberikan
kompensasi pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya
(mencicil bertahap/imbalan jasa)
8. Menjadi saksi apabila tidak membahayakan diri sendiri dan ada
jaminan.
Kewajiban korban yang tersebut di atas hanya merupakan
kewajiban moral dan hanya sedikit yang merupakan kewajiban hukum.
Artinya tidak ada paksaan bagi korban kejahatan untuk memenuhinya.
Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan perundang-undangan yang
mengatur secara jelas mengenai kewajiban khususnya yang bersifat
kewajiban hukum yang harus dijalankan oleh korban30, termasuk dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan

29
Arif Gosita dalam G Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan
Kejahatan, Op.Cit, hlm. 82.
30
Ibid.

18
Korban sehingga kewajiban korban hanya sebagai kewajiban moral saja.
Dalam hal inipun perlindungan dan kedudukan terhadap korban
sudah jelas dalam pengertian hak dan kewajiban tetapi sampai saat ini
belum tercukupinya pemenuhan keadilan terhadap korban penyebaran
foto dan/atau video bermuatan pornografi dari perspektif viktimologi.
5. Viktimologi
Ketika berbicara tentang korban, tentunya tak terlepas dari
pembahasan mengenai viktimologi karena melalui viktimologi dapat
diketahui berbagai aspek terkait korban, yaitu faktor penyebab munculnya
korban, bagaimana seseorang dapat menjadi korban, upaya mencegah dan
mengurangi terjadinya korban, mengapa korban harus dilindungi, serta hak
dan kewajiban korban. Untuk memperoleh Batasan yang jelas serta
kesamaan cara pandang mengenai viktimologi, berikut beberapa pengertian
viktimologi:
a. Pengertian Secara Umum
Viktimologi31 merupakan studi yang mempelajari tentang korban,
penyebab timbulnya korban, hubungan korban dan pelaku, interaksi
antara korban dengan kelompok sosial dan sistem peradilan seperti
polisi, pengadilan, dan pihak-pihak yang terkait, sebagai suatu
permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial serta
membahas tentang peranan dan kedudukan korban dalam suatu tindak
kejahatan, sejauh mana pelaksanaan peraturan tentang hak-hak korban
yang telah dilaksanakan, serta bagaimana reaksi masyarakat terhadap
korban kejahatan.
b. Pengertian Menurut Para Ahli
1) J. E. Sahetapy32, menyatakan bahwa viktimologi merupakan ilmu
atau disiplin yang membahas tentang permasalahan korban dalam
segala aspek. Bukan hanya kejahatan dan penyalahgunaan
kekuasaan, tetapi juga korban kecelakaan dan bencana alam.
2) Arief Gosita33, berpendapat bahwa viktimologi adalah suatu bidang
31
Rena Yulia, Op.Cit., hlm. 43.
32
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, Op.Cit., hlm. 44.
33
Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan) , Op.Cit., hlm. 64.

19
ilmu pengetahuan yang mengkaji suatu viktimisasi sebagai suatu
permasalahan manusia yang merupakan kenyataan sosial,
mencakup semua aspek yang berkaitan dengan korban dalam
berbagai bidang kehidupan dan penghidupannya.
Berdasarkan pengertian yang telah disebutkan di atas, kesimpulan
yang dapat diambil mengenai viktimologi ialah merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban, dan akibat-
akibat penimbulan korban yang mencakup semua aspek mengenai korban
dalam kehidupan dan penghidupannya masing-masing.
Viktimologi tak terlepas dari tujuan dan manfaat untuk mencoba
mengkaji peran korban dalam terjadinya suatu tindak kejahatan, hubungan
korban dalam kejahatan, hubungan antara korban dengan pelaku kejahatan,
peran korban dalam sistem peradilan pidana, kerugian atau penderitaan
yang dialami korban, perlunya tindakan perlindungan dan pemulihan
terhadap korban serta hal-hal lain yang menyangkut korban secara lengkap
dan komprehensif, yang menurut Muladi adalah untuk: 34 1) Menganalisis
berbagai aspek yang berkaitan dengan korban; 2) Berusaha untuk
memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; 3)
Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.
Selama ini pertimbangan penegakan hukum pidana didominasi dari
sudut pelaku, maka kajian viktimologi sebagai ilmu terapan yang juga sangat
bermanfaat bagi korban akan membuat pidana dan pemidanaan terhadap
pelaku dapat lebih proporsional. Beberapa manfaat viktimologi secara
umum, yaitu:35
1) Dengan viktimologi akan diperoleh tentang etimologi kriminal yang lebih
proporisonal untuk membantu dalam tindakan preventif dan represif.
2) Membantu memperjelas peranan dan kedudukan korban dalam tindak
pidana. Hal ini penting untuk mencegah timbulnya korban berikutnya.
3) Viktimologi juga dapat memberikan keyakinan dan pemahaman bahwa
setiap orang berhak dan wajib tahu serta waspada terhadap bahaya

34
G. Widiartana, Op.Cit, hlm. 19.
35
Ibid. hlm. 20.

20
viktimisasi.
4) Dapat memberi dasar pemikiran untuk mencari jalan keluar bagi
pemberian ganti kerugian pada korban.
Sedangkan menurut Arief Gosita, viktimologi memiliki beberapa
manfaat, antara lain:36
(1) Lewat viktimologi dapat diketahui siapa korban dan yang menimbulkan
korban, begitu juga mengenai arti viktimisasi dan prosesnya bagi
mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi.
(2) Viktimologi memberikan sumbangan pemikiran tentang korban, akibat
tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan fisik, mental, dan
sosial.
(3) Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai
hak dan kewajiban untuk mengetahui, mengenai bahaya yang
dihadapinya dalam rangka mengantisipasi berbagai hal yang
mengancamnya. Tujuannya untuk memberikan pengertian yang baik
dan pembinaan agar menjadi waspada supaya tidak menjadi korban
structural maupun non-struktural.
(4) Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak
langsung, misalnya efek politik, dampak sosial polusi industry,
viktimisasi ekonomi, dan penyalahgunaan wewenang.
(5) Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian
viktimisasi criminal. Pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam
keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap
pelaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan
kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban hak asasi
manusia.
Pada intinya viktimologi dalam mempelajari manfaat studi korban
adalah berkenaan mengenai usaha dalam membela hak-hak kroban dan
perlindungan hukum, penjelasan peran kroban dalam suatu tindak pidana,
usaha pencegahan terjadinya korban, dan berperan dalam hal
penghormatan korban sebagai manusia, anggota masyarakat, dan warga
36
Rena Yulia, Op.Cit., hlm. 37-38.

21
negara yang sama dan seimbang kedudukannya di mata hukum dan
pemerintahan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar belakang
kejahatan serta bagaimana modus operandi yang biasa dilakukan oleh
pelaku dalam menjalankan aksinya.
Berdasarkan jenis viktimisasinya, korban penyebaran foto/video
pornografi termasuk dalam special victimology, yaitu mereka yang menjadi
korban dari suatu tindak pidana yang jumlahnya bisa korban individual, yaitu
mereka yang secara perseorangan menjadi korban dari suatu tindak pidana
atau juga bisa berkelompok, yaitu mereka yang secara bersama-sama
menjadi korban dari suatu peristiwa atau perbuatan pidana.
6. Perlindungan Hukum
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan suatu konsep yang universal dari
negara hukum. Para ahli telah memberikan pengertian mengenai
perlindungan hukum, antara lain:
1) Satjipto Raharjo37, berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan
orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat
supaya dapat menikmati semua hak-hak yang telah diberikan oleh
hukum.
2) C.S.T. Kansil38, mengemukakan bahwa perlindungan hukum berbagai
upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk
memberikan rasa aman, baik secara fisik maupun psikis dari gangguan
dan berbagai macam ancaman dari pihak manapun.
3) Philipus. M.39, berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah suatu
Tindakan untuk melindungi atau memberikan pertolongan kepada
subjek hukum dengan menggunakan perangkat-perangkat hukum.
Sangat penting sekali bagi korban kejahatan untuk mendapatkan
perhatian serius. Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban
37
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Op.Cit. hlm 54.
38
C. S. T. Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , Jakarta: Balai
Pustaka, hlm. 102.
39
Philipus. M. Hadjon, 2011. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, hlm. 10.

22
kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional tapi juga
internasional.
Berbicara mengenai korban dalam suatu tindak pidana dalam sistem
hukum nasional di Indonesia, posisinya sangatlah tidak menguntungkan
sebab korban dalam Sistem Peradilan Pidana hanya sebagai figuran, bukan
sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Korban tidak
termasuk dalam bagian dari unsur yang terlibat dalam sistem peradilan
pidana sebagaimana terdakwa, polisi, dan jaksa. Seharusnya korban tidak
saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi juga harus
dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara sosial
dan hukum. Aturan hukum seringkali hanya memfokuskan diri untuk
menghukum pelaku sehingga kerap korban dari kejahatan terabaikan. 40
Keberpihakan hukum pun lebih banyak terhadap tersangka (terdakwa)
ketimbang korban, terlihat dari lebih banyaknya peraturan perundang-
undangan yang membahas tersangka (terdakwa) dari pada korban.
Akibatnya masalah-masalah mengenai korban terluput dari perhatian. Hal
tersebut juga berlaku bagi korban penyebaran foto/video bermuatan
pornografi.
Melalui UN Declaration of Basic principles of Justice for Victims of
Crime and Abuse of Power , anggota PBB menghimbau agar lembaga-
lembaga pemerintahan maupun lembaga non-pemerintah memerhatikan
korban kejahatan melalui tindakan seperti pelayanan yang adil dalam proses
peradilan, memperjuangkan restitusi dan kompensasi dan memberikan
bantuan baik yang bersifat materiil maupun imateriil seperti medis,
psikologis, atau sosial.41 Minimnya perhatian pada korban (an essential part
of criminal law policy decisions) dapat berpengaruh terhadap berkurangnya
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kejahatan, menimbulkan
perasaan tidak aman pada korban, dan yang terburuk memungkinkan
inisiatif pembalasan pribadi, baik dilakukan perorangan atau dalam bentuk

40
J. E. Sahetapy, 1987. Op.Cit., hlm. 36.
41
Rusli Muhamad, 2012. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: UII Press, hlm.
190.

23
berkelompok.42
Dalam suatu perkara pelanggaran hukum pidana yang menimbulkan
korban bersifat perseorangan, saksi korban kejahatan akan menghadapi
problem yang rumit, yaitu ketika saksi korban hendak memutuskan apakah
melapor atau tidak melapor kepada polisi tentang viktimisasi yang
dialaminya. Jika melapor kepada polisi, maka korban harus menanggung
segala resiko yang terjadi akibat keputusannya tersebut, relevansinya
dengan penderitaan korban kejahatan. 43 Singkatnya, segala resiko yang
terjadi akibat viktimisasi ditanggung korban sendiri, apakah melapor atau
tidak melapor. Setelah melapor pun korban kejahatan tidak lebih dari
sepotong alat bukti, padahal dampak dari kejahatan yang dialami korban
dapat menyebabkan korban kehilangan pekerjaan, nama baik, dan
menimbulkan label terhadap dirinya di masyarakat.
Dalam kasus penyebaran foto/video bermuatan pornografi, ketika
foto/video yang terdapat korban di dalamnya sebagai objek disebarkan ke
publik oleh orang yang tidak bertanggung jawab, kebanyakan korban tidak
melaporkan karena takut dipersalahkan bahkan justru terjerat balik. 44 Ada
beberapa catatan seperti definisi mendistribusikan dan mentransmisikan
yang juga memungkinkan untuk menjerat korban karena dianggap telah
berpartisipasi dalam membuat foto/video bermuatan pornografi yang mana
dalam beberapa kasus korban sendiri yang membuat foto/video asusila
miliknya, ditambah dengan pandangan masyarakat mengenai korban
penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi. Hal tersebut
membuat korban mengalami tekanan psikologis dan tidak jarang malah
dipersalahkan saat foto dan/atau video yang seharusnya hanya menjadi
konsumsi pribadi kemudian disebarluaskan oleh orang yang tidak
bertanggung jawab sehingga dapat dikonsumsi oleh publik, seolah-olah
dengan membuat foto dan/atau video seksi atau memiliki kehidupan seks,
mereka jadi tidak memenuhi syarat menjadi korban. Pada kasus yang telah
dilaporkan dan sampai ke tahap pengadilan pun korban mengaku
42
Ibid.
43
Ibid.
44
Kate Walton, 2017. Op.Cit., diakses Tanggal 20 September 2020.

24
direndahkan harkat dan martabatnya, Apalagi foto atau video yang terlanjur
tersebar di internet tersebut sulit dihapus karena dilipatgandakan secara
terus menerus oleh pengguna internet lainnya.45
Dasar hukum yang dipakai untuk menangani kasus penyebaran
foto/video bermuatan pornografi hanya Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Pornografi. Dasar hukum tersebut
justru dapat berbalik menyerang korban karena dianggap berpartisipasi
dalam membuat foto atau video tersebut seperti yang terjadi pada kasus G:
Pada Tanggal 7 November 2020 Media Sosial Indonesia dihebohkan dengan
beredarnya video bermuatan pornografi berdurasi 19 detik yang diduga
diperankan oleh selebriti berinisial G. Meski awalnya sempat membuat
klarifikasi dan menyangkal, G tetap mengikuti pemeriksaan pertama pada 17
November 2020 hingga akhirnya polisi melibatkan ahli forensik pada 19
November 2020. Saat pemeriksaan kedua, G Kembali dipanggil dengan
kapasitas sebagai saksi pada 23 Desember 2020, lalu akhirnya pada 29
Desember 2020, G ditetapkan sebagai tersangka. 46 G telah mengakui bahwa
video tersebut memang ia buat Bersama MYD di sebuah hotel di kota
Medan, Sumatera Utara pada Tahun 201747, namun ia tak bermaksud untuk
menyebarkannya dan semula hanya ditujukan untuk konsumsi personal,
bahkan G telah menghapus video tersebut 3 tahun sebelum video tersebut
beredar, yaitu pada 2017.48 Alih-alih fokus pada pengunggah pertama video
tersebut, polisi justru menaikan status G menjadi tersangka dan dijerat
dengan Pasal 4 ayat 1 Juncto pasal 29 Undang Undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pornografi yang mana G seharusnya menjadi korban
mengingat posisinya di mana video pribadi miliknya disebarkan dengan
tanpa hak dan tanpa persetujuannya.49 Meskipun telah ada upaya nyata
45
Hwian Christianto, Op.Cit. hlm. 7.
46
Wayan Diananto, Op.Cit., diakses Tanggal 26 Juli 2021.
47
Annas Furqon Hakim, 29 Desember 2020. Jadi Tersangka, Gisel dan MYD Mnegaku
Membuat Video Syur Tahun 2017 di Hotel Kota Medan [Online], tersedia:
https://www.tribunnews.com/seleb/2020/12/29/jadi-tersangka-gisel-dan-myd-mengaku-membuat-
video-syur-tahun-2017-di-hotel-kota-medan?page=2, diakses Tanggal 26 Juli 2021.
48
Khairunissa, 11 Desember 2020. Gisel Mengaku Data di Ponsel Sudah Dihapus 3 Tahun
Lalu Muncul Lagi, Ini Analisa Pengamat Komunikasi [Online], tersedia:
https://www.tribunnews.com/techno/2020/12/11/gisel-mengaku-data-di-ponsel-sudah-dihapus-3-
tahun-lalu-muncul-lagi-ini-analisa-pengamat-komunikasi?page=3, diakses Tanggal 26 Juli 2021.

25
untuk memberikan perlindungan Hukum terhadap korban, akan tetapi yang
masih perlu dipertanyakan: apakah perlindungan korban yang
terimplementasikan dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban sesuai dengan konsep perlindungan korban.
Pertanyaan ini muncul karena apabila memperhatikan beberapa ketentuan
dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tampaknya pembuat Undang -
Undang No. 13 Tahun 2006 masih bisa dalam memahami konsep tentang
perlindungan korban dan kaitannya dengan akses korban dalam sistem
peradilan pidana, sehingga apa yang telah dinyatakan dalam bagian
konsideran tidak diimplementasikan secara konsisten dalam pasal-pasalnya. 50
8. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum
Persatuan bangsa-Bangsa (PBB) dalam United Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime an Abuse of Power pada Tanggal 15
Desember 1985 menghimbau anggotanya untuk memperhatikan korban
kejahatan dengan cara memberikan pelayanan yang adil dalam proses
peradilan, termasuk seperti memperjuangkan restitusi dan kompensasi serta
memberikan bantuan, baik dalam hal material, medis, psikologis, maupun
sosial melalui lembaga pemerintah atau Lembaga swadaya masyarakat. 51
Pada dasarnya, perlindungan hukum terbagi menjadi dua bentuk,
yaitu preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif adalah
perlindungan yang bersifat pencegahan. Perlinduangan preventif telah
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan untuk mencegah
terjadinya suatu pelanggaran dan untuk memberikan Batasan-batasan dalam
melakukan kewajiban serta sangat besar artinya bagi tindak pemerintah
karena dengan adanya perlindungan hukum preventif, pemerintah terdorong
untuk bersikap berhati-hati dalam mengambil keputusan. Sedangkan
perlindungan hukum represif fungsinya adalah untuk menyelesaikan
sengketa yang telah ada akibat dari adanya pelanggaran dan perlindungan
49
Taufik Budi, 8 Januari 2021. Jika Perangkat Ini Tidak Ditemukan Polisi, Gisel Bisa Lepas
dari Kasus Video Syur [Online], tersedia: https://metro.sindonews.com/read/294274/170/jika-
perangkat-ini-tidak-ditemukan-polisi-gisel-bisa-lepas-dari-kasus-video-syur-
1610089305#:~:text=Sehingga%20di%20sini%20sebetulnya%20UU,4%20yaitu%20memproduksi
%2C%E2%80%9D%20terangnya , diakses Tanggal 26 Juli 2021.
50
Rena Yulia, Op.Cit., hlm 58.
51
G. Widiantara, Op.Cit., hlm. 23.

26
ini merupakan perlindungan akhir yang bentuknya berupa pemberian sanksi
bagi pelanggaran yang telah dilakukan.
Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan sebagai bagian dari
perlindungan kepada masyarakat sebenarnya dapat diwujudkan dalam
berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi,
pelayanan medis, dan bantuan hukum. Beberapa bentuk perlindungan
terhadap korban, yaitu:52
1. Ganti Rugi
Istilah ganti rugi digunakan dalam KUHP pada Pasal 99 ayat (1)
dan (2) dengan penekanan pada penggantian biaya yang telah
dikeluarkan oleh korban atau pihak yang telah dirugikan. Dilihat dari
kepentingan korban, dalam konsep ganti kerugian terkandung dua
manfaat, yaitu untuk memenuhi kerugian material serta segala biaya
yang telah dikeluarkan dan merupakan pemuasan emosional korban.
Sedangkan jika dilihat dari sisi pelaku, kewajiban mengganti kerugian
dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan
sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan
yang diperbuat.53
Inti dari tujuan penggantian kerugian adalah untuk
mengembangkan keadilan dan kesejahteraan korban sebagai anggota
masyarakat. Atas dasar itu program pemberian ganti kerugian kepada
korban seharusnya merupakan perpaduan usaha dari berbagai
pendekatan, yaitu pendekatan dalam bidang kesejahteraan sosial,
pendekatan kemanusiaan, dan pendekatan sistem peradilan pidana. 54
2. Restitusi
Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap
akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya
adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita oleh korban. Meski
didasari bahwa tidak akan mungkin korban Kembali pada kondisi

52
Rena Yulia, Op.Cit., hlm. 59.
53
Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004. Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan
Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grahadika Press, hlm. 65.
54
Ibid.

27
semula, tetapi prinsip restitusi adalah pemulihan korban dalam keadaan
semula sebelum kejahatan terjadi, yaitu dengan dipulihkan kebebasan,
hak-hak hukum, status sosial, kehidupan keluarga dan
kewarganegaraan, Kembali ke tempat tinggalnya, pemulihan
pekerjaannya, serta dipulihkan asetnya. Prinsip ini menegaskan bahhwa
bentuk pemulihan kepada korban seharusnya selengkap mungkin dan
mencakup berbagai aspek yang ditimbulkan akibat kejahatan yang
diterima. Berdasarkan prinsip ini, maka korban dan keluarga korban
harus mendapat ganti kerugian yang adil dari orang yang bersalah atas
kerusakan atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-biaya yang
timbul sebagai akibat adanya korban, dan penyediaan jasa dan hak-hak
pemulihan.55
3. Kompensasi
Kompensasi merupakan bentuk santunan yang diberikan kepada
korban dari pelaku yang dapat dilihat dari aspek kemanusiaan dan hak-
hak asasi berlandaskan pada komitmen kontrak sosial dan solidaritas
sosial menjadikan masyarakat dan negara bertanggung jawab dan
berkewajiban secara moral untuk melindungi warganya. Kompensasi
sebagai bentuk santunan yang sama sekali tidak tergantung bagaimana
berjalannya proses peradilan dan putusan yang dijatuhkan, bahkan
sumber dana untuk itu diperoleh dari pemerintah atau dana umum. 56
4. Konseling
Pada umumnya bentuk perlindungan ini diberikan bagi korban
yang mengalami dampak negatif yang sifatnya psikis akibat dari
kejahatan yang diterimanya.57 Pemberian bantuan dalam bentuk
konseling sangat cocok diberikan kepada korban yang mengalami
trauma berkepanjangan yang biasanya terjadi pada korban di kasus-
kasus kesusilaan.

55
Supriyadi Widodo Eddyono, 2006. Masukan Terhadap Perubahan UU No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban, hlm. 16.
56
Chaerudin dan Syarif fadillah, Op.Cit. hlm. 69-70.
57
Pasal 6 huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 604, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4635).

28
5. Pelayanan/Bantuan medis
Pelayanan medis yang dimaksud adalah berupa pemeriksaan
Kesehatan dan laporan medis tertulis (visum atau surat keterangan
medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti)
yang diperlukan apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang
menimpanya kepada kepolisian untuk ditindaklanjuti. 58
6. Bantuan Hukum
Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan wajib
diberikan, baik diminta maupun tidak diminta oleh korban karena hal ini
penting mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari
sebagian besar korban kejahatan 59, khususnya yang mengalami
kejahatan penyebaran foto/video bermuatan pornografi.
Sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan
hukum yang layak dapat berdampak seperti terpuruknya kondisi korban,
seperti yang terjadi pada D, 20 tahun, yang pada Tahun 2019
melaporkan mantan kekasihnya karena mantan kekasihnya mengancam
akan menyebarkan foto-foto telanjangnya karena D enggan untuk diajak
menjalin hubungan kembali.
Tidak berhenti hanya ancaman, mantan kekasihnya itu bahkan
menyebarkan foto-foto telanjang milik D di situs pornografi. Ketika
mereka berpacaran, mantan kekasih D tersebut memang kerap
memaksanya untuk mengirimkan foto-foto telanjang D dengan ancaman
akan meninggalkan D jika ia tidak menuruti kemauan mantannya
tersebut bahkan terkadang mantannya tersebut dapat melakukan
kekerasan fisik ketika D tak mau menurutinya.
Berlandaskan ketakutan itu akhirnya D mengirimkan foto-foto
telanjangnya dan bersedia ketika mantannya tersebut mengambil foto
dirinya telanjang ketika bertemu. Sampai suatu saat mereka putus
karena D sudah tidak sanggup menghadapi mantan kekasihnya
tersebut, sang mantan kekasih justru mengancam akan menyebarkan

58
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, Op.Cit., hlm. hlm. 171.
59
Ibid.

29
foto-fotonya.
Ketika D tetap menolak tawaran mantannya untuk Kembali
Bersama, mantan kekasih D kemudian menyebarkannya di situs yang
memuat pornografi beserta nomor telepon D, sehingga D kerap
mendapat pesan bernada porno dari nomor yang tidak dikenalnya.
Mantan kekasihnya tersebut juga mengirim email pada D yang berisi
tangkapan layar foto-foto D di situs pornografi tersebut dengan teks
“Nih, lihat, yang lihat fotomu sudah segini”. D kemudian melaporkan
kasusnya ke Polda Jakarta Selatan, namun mantan kekasihnya hanya
ditahan selama semalam dengan status bebas bersyarat.
Hal itu kerap membuat Dian ketakutan dan merasa diawasi oleh
sang mantan kekasih, tiap kali Dian berada di tempat umum. Pasca
kejadian itu pun D mengalami kerugian materiil karena harus pergi ke
psikiater untuk menangani masalah kecemasannya dan kerugian
imateriil karena trauma dan depresi yang dialaminya. 60 Dalam kasus
tersebut, D tidak mendapatkan bantuan hukum yang cukup sehingga
berdampak pada kondisinya yang menjadi terpuruk.

G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
doktrinal, yaitu penelitian yang menyediakan ekspos sistematis terhadap
peraturan yang mengatur kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan
antara peraturan, menjelaskan area yang mengalami hambatan, dan bahkan
memperkirakan perkembangan mendatang. 61 Pendekatan doktrinal yang
dimaksud adalah pendekatan yang berbasiskan ketentuan perundang-
undangan. Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan argumentasi hukum,
teori, an konsep dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. 62 Dalam
60
Wawancara dengan narasumber (korban penyebaran foto dan/atau video bermuatan
pornografi) via Twitter, pada Tanggal 29 Juni 2020.
61
Muhammad Abdulkadir, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, hlm. 52.
62
Peter Mahmud Marzuki, 2011. Penelitian Hukum, Cetakan ke-11, Jakarta: Kencana, hlm.

30
pendekatan ini penulis akan mengonstruksikan dan menggabungkan antara
ketentuan perundang-undangan dengan teori-teori hukum yang relevan
termasuk asas-asas yang memiliki keterkaitan terhadap penelitian ini, seperti
asas kepastian hukum yang bertujuan mewujudkan kepastian terkait adanya
celah yang dapat merugikan korban penyebaran konten pornografi dalam
regulasi yang berkaitan dengan kasus pornografi dan penyebarannya.
2. Sumber Bahan Hukum
Penggunaan sumber hukum sangat diperlukan dalam desain riset ini,
seperti bahan kepustakaan yang dikelompokkan sebagai berikut: Bahan
Hukum Primer, bahan hukum berupa ketentuan perundang-undangan serta
aturan lainnya di bawah undang-undang yang relevan dan berkaitan dengan
penelitian ini seperti hasil wawancara bersama korban.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Bahan Hukum Sekunder, oleh karena riset ini adalah sebuat riset
hukum yang diarahkan untuk menjawab isu hukum, maka penggunaan
bahan-bahan hukum yang diperoleh dari studi Pustaka berupa literatur-
literatur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, dikelompokkan
sebagai berikut: Pertama, bahan hukum yang berkaitan dengan peraturan
mengenai cybercrime dan pornografi. Kedua, dukungan pustaka tentang
teori hukum yang relevan yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini
seperti teori viktimologi, teori perlindungan korban, teori penegakan hukum,
dan doktrin-doktrin hukum. Studi ini juga memerlukan Bahan Hukum Tersier
yang berkaitan dengan penelitian berupa ensiklopedia, surat kabar, internet,
kamus Hukum, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data
dengan metode studi kepustakaan, yaitu metode pengambilan ikhtisar atau
ringkasan dari berbagai sumber yang mencakup media massa, browsing

35.

31
internet, dan lainnya.63 Untuk mendukung penelitian ini, terutama untuk
memperoleh dasar pemikiran teoritis, maka studi kepustakaan dibutuhkan
dengan cara mengumpulkan bahan-bahan atau materi yang berhubungan
dengan penelitian ini.
4. Analisa Bahan
Bahan hukum yang diperoleh selama penelitian akan dianalisis secara
mendalam untuk mendeskripsikan jawaban atas pertanyaan penelitian:
Rumusan Masalah (R1)
Bahan hukum yang diperoleh selama penelitian diarahkan untuk
menganalisis beberapa hal pokok, di antaranya membahas mengenai
penegasan posisi korban dan sebab-sebab seseorang dalam kasus
penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi menjadi dan disebut
sebagai korban, sesuai dengan ketentuan tindak pidana yang telah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi. Untuk mengungkapkan kedudukan hukum
terhadap korban yang bermuatan pornografi dari perspektif viktimologi yang
mengidentifikasi kesesuaian antara pengaturan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dengan pelaksanaannya sehingga membutuhkan pendekatan
dari aspek doctrinal untuk menjelaskan berkaitan dengan rumusan masalah
pertama.
Rumusan Masalah (R2)
Analisis rumusan masalah yang kedua membahas mengenai betapa
pentingnya perlindungan hukum bagi mereka yang menjadi korban dari
kasus penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi yang perlu
untuk mendapat perhatian dan tidak dapat diabaikan begitu saja karena
dampaknya akan memengaruhi psikis korban tersebut serta konsep seperti
apa yang diinginkan agar hak-hak korban penyebaran foto dan/atau video
bermuatan pornografi tidak terabaikan dan memiliki aturan yang tegas

63
Johnny Ibrahim, 2010. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif , Cetakan ke-4,
Malang: Bayu Media Publishing, hlm. 390-391.

32
mengenai perlindungan hukum bagi korbannya dan kemudian
mengidentifikasi pengaturan dan pelaksanaanya sehingga pendekatan dari
aspek doktrinal dibutuhkan untuk menjelaskan kecukupan dari segi
pengaturan dan penegakan hukumnya. Adanya celah yang dapat merugikan
korban dalam regulasi yang berkaitan dengan pornografi berdampak pada
penegakan hukum atas korban kasus penyebaran foto dan/atau video
bermuatan pornografi. Prinsip-prinsip kepastian hukum dalam penegakan
hukum yang berorientasi pada tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan membutuhkan konstruksi hukum yang tepat untuk menjawab
implikasi dari adanya celah yang merugikan bagi korban penyebaran foto
dan/atau video bermuatan pornografi dalam tindak pidana ITE dengan
menelusuri sisi tujuan dan juga masalah-masalah yang muncul dari sudut
pandang hukum dalam hal implementasi regulasi yang berkaitan dengan RM
(2).
5. Alokasi Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, mulai dari
penyusunan desain riset, seminar desain riset, studi pustaka, pengambilan
bahan hukum, penyusunan laporan, dan publikasi.

33
BAB II

KEDUDUKAN KORBAN TERHADAP PENYEBARAN FOTO DAN/ATAU

VIDEO BERMUATAN PORNOGRAFI DITINJAU DARI PERSPEKTIF

VIKTIMOLOGI

1. Kedudukan Korban dalam Tindak Pidana Pornografi


Mengartikan pornografi sampai saat ini masih menimbulkan banyak
perdebatan tentang definisi dan batasan dari pronografi itu sendiri karena
mendefinisikan pornografi selain dipengaruhi oleh tempat dan waktu, juga
dipengaruhi oleh kondisi dan agama penduduk setempat. 64 Oleh sebab itu
penulis membagi pengertian pornografi berdasarkan:
a) Pengertian Secara Umum
Secara etimologi, pornografi sendiri berasal dari Bahasa Yunani,
yaitu Porne yang berarti pelacur dan Graphos yang artinya menulis.
Pornographos berarti penulisan atau penggambaran mengenai
pelacuran/pelacur.65 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), pornografi /por.no.gra.fi/ adalah penggambaran tingkah laku
secara seksual dengan lukisan atau tulisan yang dengan sengaja dan
semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks,
namun berbeda dengan erotika meskipun kedua istilah ini sering
digunakan bergantian.66
b) Pengertian Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi
Secara yuridis dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang ini
mendefinisikan pornografi sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan,
gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media

64
Neng Djubaedah, 2009. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam , Jakarta:
Prenada Media, hlm. 134-135.
65
Zaitunah Subhan, 2005. Pornografi dan Premanisme, Jakarta: el-Kahfi, hlm. 56.
66
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) [Online], Tersedia: https://kbbi.web.id/pornografi,
diakses pada tanggal 8 September 2020.

34
komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat.
c) Pengertian Menurut Para Ahli
1) Imade Bandem67, semula pornografi hanya dalam bentuk tulisan,
kini hadir dalam bentuknya yang beragam meliputi seluruh media,
baik cetak berupa gambar, foto, iklan, maupun media elektronik
berupa film sinema, video tapes, dan telepon.
2) Ashadi Siregar68, mendefinisikan pornografi sebagai cara atau
Tindakan yang tidak memiliki makna spiritual dan tidak berdasarkan
perasaan halus, tidak memiliki konteks dengan masalah medis atau
keilmuan lainnya.
3) Subah Tukan69, mengartikan pornografi sebagai bahan yang
dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan
nafsu birahi seks.
Dari pengertian-pengertian yang telah dijabarkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pornografi adalah tulisan, gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, maupun dalam betuk pesan lainnya yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma susila yang ditampilkan di muka
umum melalui berbagai media, baik cetak, elektronik, maupun secara
langsung yang dirancang dengan sengaja untuk membangkitkan nafsu birahi
seks.
Di Indonesia terdapat beberapa dasar hukum yang mengatur
mengenai pornografi, diantaranya adalah:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

67
Imade Bandem, Pornografi, Pornoaksi dan Kebebasan Berekspresi dalam Seni
(Tanggapan Terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) , disampaikan dalam Semiloka RUU
Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif HAM yang diselenggarakan oleh Komisi Hak Asasi
Manusia, Jakarta 27-28 Februari 2006.
68
Ashadi Siregar dalam S. E. Santoso, 2002. Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta:
PSW IAIN Suka, hlm. 183.
69
Sa’bah, 2001. Perilaku Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam ,
Yogyakarta: UII Press, hlm. 64

35
Indonesia memiliki pengaturan menegenai pornografi yang di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang seterusnya akan
disebut KUHP) diistilahkan sebagai kesusilaan, yang berisi larangan
pornografi maupun tindak pornoaksi dan telah menentukan
hukumannya, yaitu pada Bab XIV mengenai Kejahatan Terhadap
Kesusilaan dan Bab VI mengenai Pelanggaran Kesusilaan. 70
Dijelaskan bahwa barang siapa yang dengan sengaja melanggar
kesusilaan di depan orang lain71 atau dengan cara menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambar,
atau benda yang telah diketahui bahwa isinya melanggar kesusilaan
dengan maksud agar hal tersebut dilihat banyak orang, maka orang
tersebut dapat dipidana.72
b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Pornografi juga diatur di dalam Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang selanjutnya akan disebut UU ITE, khususnya
dalam lingkup elektronik. Dalam penulisan ini pembahasan akan
berfokus pada Pasal 27 ayat (1) yang mengatur tentang pornografi atau
yang dalam aturan ini disebut sebagai pelanggaran kesusilaan, pada Bab
VII mengenai Perbuatan yang Dilarang, tepatnya dalam Pasal 27 ayat
(1) yang menyebutkan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” dan ketentuan mengenai
sanksi bagi pelanggarnya termuat dalam Pasal 45 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang

70
Neng Djubaedah, 2011. UU No. 4 Tahun 2008 tentang Pornografi Perspektif Negara
Hukum Berdasarkan Pancasila, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 3.
71
Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
72
Pasal 282, Ibid.

36
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 atay (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah)”.
c) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Secara lebih khusus, pornografi telah memiliki aturan atau
undang-undang sendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi yang mengatur tidak hanya mengenai pornografi,
namun juga pornoaksi.
Dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang ini mengemukakan
bahwa “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara,
bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh,
atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai media komunikasi dan/atau
pertunjukkan di muka umum yang memuat kecabulan atau ekspoitasi
seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.
Dalam undang-undang ini terdapat hal-hal yang dilarang dan
dibatasi, antara lain adalah para pelaku yang dengan sengaja
mempertunjukkan gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau
bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukkan di muka umum bukan dalam kerangka seni,
sastra, adat-istiadat, ilmu pengetahuan, dan olahraga. 73 Adapun lima
bidang yang menurut Tjipta Lesmana dan Sumartono tidak termasuk ke
dalam pornografi, yaitu; seni, sastra, adat-istiadat, ilmu pengetahuan,
dan olah raga. Jadi, selama gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,
suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum itu dalam rangka seni,
sastra, adat-istiadat, ilmu pengetahuan, dan olah raga, maka hal

73
Lihat Putusan Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
[Online], Tersedia: http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/litigasi/Putusan%20PUU%2010-17-
23-2009%20pornografi.pdf, diakses Tanggal 13 Januari 2021, hlm. 383.

37
tersebut bukanlah perbuatan pornografi sebagaimana dimaksudkan
undang-undang.74
Ada banyak sekali jenis-jenis kejahatan seksual berbentuk pornografi,
terutama di era kemajuan teknologi seperti saat ini, kejahatan seksual juga
dapat dilakukan melalui dunia maya atau biasa disebut kejahatan seksual
siber. Komnas Perempuan juga telah membuat kategori kejahatan seksual
siber sebagai salah satu kasus kekerasan seksual pada catatan akhir 2017. 75
Seorang ahli hukum persekusi di Indonesia, Riska Carolina, S.H., M.H, dari
SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies )
menyatakan terdapat beberapa bentuk kekerasan seksual siber yang dapat
terjadi pada siapa saja.76 Dari beberapa jenis kejahatan seksual siber,
penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi yang dimaksud dalam
penulisan ini berbentuk non-consensual pornography atau juga dikenal
sebagai revenge porn dan khususnya akan membahas mengenai
perlindungan bagi korbannya.
Perilaku ini meliputi distribusi online foto atau video seksual yang
dibuat atau disebarkan tanpa persetujuan orang yang berada di dalam foto
atau video tersebut.77 Pelaku biasanya adalah mantan kekasih yang
mendapatkan foto atau video ketika mereka masih berada di dalam sebuah
hubungan, dan biasanya bertujuan untuk mempermalukan korban di depan
umum sebagai balasan karena hubungan telah berakhir. Pelaku juga bisa
saja orang lain yang membajak handphone atau komputer korban dengan
tujuan mempermalukan korban di dunia nyata. Kasus ini merupakan yang
paling sering dialami oleh remaja hingga dewasa, khususnya perempuan.
Ketika mantan kekasihnya tidak terima hubungannya diputuskan, maka
konten seksual berupa gambar telanjang disebarkan sebagai ancaman agar
korban Kembali kepada dirinya. Apabila korban menolak, maka konten

74
Ibid.
75
Nadya Karima Melati, 2018. Bagaimana Memahami Kejahatan Seksual Siber dan Jika
Terlanjur Menjadi Korbannya? [Online], tersedia: https://www.dw.com/id/bagaimana-memahami-
kejahatan-seksual-siber-dan-jika-telanjur-jadi-korbannya/a-44567467, diakses Tanggal 23
September 2020.
76
Ibid.
77
Fairuz Nadia, Op.Cit., diakses Tanggal 13 September 2020.

38
tersebut disebarkan ke media sosial dan internet yang lebih luas. Tujuannya
bukan hanya tersebarnya konten pornografi tersebut, melainkan
membalaskan sakit hati yang dialaminya; atau ketika seseorang
iseng/dengan sengaja menyebarkan konten seksual milik seseorang tanpa
seijin orang tersebut dengan cara membajak komputer atau gawai, atau
dengan cara mengirim tanpa sepengetahuan orang tersebut dengan maksud
agar konten tersebut tersebar lebih luas di masyarakat lewat media sosial
dan internet.
Non-consensual pornography sendiri merupakan kejahatan pornografi
dengan modus baru. Perbuatan non-consensual pornography sering disebut
juga dengan istilah lain seperti ‘involuntary pornography’.78 Kejahatan non-
consensual pornography telah banyak terjadi di masyarakat dalam berbagai
macam bentuk yang berakhir dengan penyebaran foto dan/atau video
bermuatan pornografi:
1. Citron & Franks79, menegaskan bahwa pengertian non-consensual
pornography merupakan penyebaran dari gambar bermuatan pornografi
milik seseorang tanpa persetujuan dari orang tersebut;
2. Kirchengast80, mengartikan bahwa non-consensual pornography ialah
membagikan gambar bermuatan pronografi tanpa persetujuan dari
obyek di dalam gambar tersebut;
3. Matsui81, mendeskripsikan non-consensual pornography sebagai
kegiatan mengunggah dan menyebarkan gambar bermuatan seksual
dari mantan pasangan ke internet setelah hubungan tersebut berakhir.
Berikut beberapa contoh kasus penyebaran foto dan/atau video
bermuatan pornografi yang bersifat non-consensual pornography:
78
Danielle Keats Citron & Mary Anne Franks, 2014. Internet Privacy Regulation:
Criminalizing Revenge Porn, Wake Forest Law Review Association [Online], tersedia:
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2368946, diakses Tanggal 20 September
2020, hlm. 1
79
Ibid.
80
Tyron Kirchengast, 2016. The Limits of Criminal Law and Justice: Revenge Porn
Criminalisation, Hybrid, Responses and The Ideal Victim , UniSA Student Law Review, Vol. 2
[Online], tersedia:
https://www.researchgate.net/publication/311634568_The_Limits_of_Criminal_Law_And_Justice_'R
evenge_Porn'_Criminalisation_Hybrid_Responses_And_The_Ideal_Victim, diakses Tanggal 18
September 2020, hlm. 96.
81
Ibid.

39
No
. Tahun Inisial Kronologi

40
1. 2014 A A mengalami cemas berlebih setelah
mantan kekasihnya berpura-pura menjadi
dirinya di chatroom dan mengirimkan foto-
foto telanjangnya ke orang asing. Ia juga
mengirim alamat rumah Anisha dan
meminta mereka untuk datang ke
rumahnya untuk berhubungan seks. Suatu
hari, seorang laki-laki masuk ke rumahnya,
menariknya dan mencoba menyekiknya. Ia
berhasil melarikan diri tapi rasa takut terus
menghantuinya ketika ia sedang sendiri.82
Dalam kasus ini A mengalami depresi yang
berat dan perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku telah menjadi perbuatan kriminal
karena teman pelaku telah melakukan
kekerasan terhadap korban dan kasus ini
tidak sampai pada pihak kepolisian dan
pengadilan sehingga korban tidak
mendapatkan keadilan dan pelaku bebas
berkeliaran begitu saja.

T, merupakan korban pemekorsaan dan


2. 2017 T
direkam oleh pelaku di kos-kosan korban.
Kejadian yang dialami T terjadi di Sleman.,
Jawa Tengah, pada bulan Oktober 2017,
saat usianya masih 15 Tahun. Kronologi
kerjadiannya saat itu T sedang sakit dan
tidak masuk sekolah. Kemudian teman

82 akrabnya yang merupakan pelaku berkata

Permata Adinda, 14 November 2019, Derita Korban Revenge Porn: Trauma Hingga Tak
Mendapat Perlindungan Hukum [Online], tersedia: https://asumsi.co/post/derita-korban-revenge-
porn-dari-trauma-hingga-minimnya-perlindungan-hukum, diakses terakhir Tanggal 16 Mei 2021.

41
4. 2019 D D, 20 tahun, melaporkan mantan
kekasihnya karena mantan kekasihnya
mengancam akan menyebarkan foto-foto
telanjangnya karena Dian enggan untuk
diajak menjalin hubungan Kembali. Tidak
berhenti hanya ancaman, mantan
kekasihnya itu bahkan menyebarkan foto-
foto telanjang milik Dian di situs
pornografi. Ketika mereka berpacaran,
mantan kekasih Dian tersebut memang
kerap memaksanya untuk mengirimkan
foto-foto telanjang Dian dengan ancaman
akan meninggalkan Dian jika ia tidak
menuruti kemauan mantannya tersebut
bahkan terkadang mantannya tersebut
dapat melakukan kekerasan fisik ketika
Dian tak mau menurutinya. Berlandaskan
ketakutan itu akhirnya Dian mengirimkan
foto-foto telanjangnya dan bersedia ketika
mantannya tersebut mengambil foto
dirinya telanjang ketika bertemu. Sampai
suatu saat mereka putus karena Dian
sudah tidak sanggup menghadapi mantan
kekasihnya tersebut, sang mantan kekasih
justru mengancam akan menyebarkan
foto-fotonya. Ketika Dian tetap menolak
tawaran mantannya untuk Kembali
83
Wawancara dengan narasumber (korban penyebaran foto dan/atau video bermuatan
pornografi) via Twitter, pada Tanggal 29 Juni 2020.
84
Firman Wijaksana, 22 Agustus 2019, Perempuan Pelaku Video Vina Garut Mengaku
Dipaksa Suami Untuk Melakukan Itu, Takut Ditinggal, Op.Cit., diakses Tanggal 26 Juli 2021.
85
Jayadi Supriadin, 4 Desember 2019, Mental Terguncang, Terdakwa Risih Kronologi Kasus
Video Syur Vina Garut [Online], tersedia:
https://www.liputan6.com/regional/read/4125815/mental-terguncang-terdakwa-risih-dengar-
kronologi-kasus-video-syur-vina-garut, diakses Tanggal 26 Juli 2021.

42
Bersama, mantan kekasih Dian kemudian
menyebarkannya di situs yang memuat
pornografi beserta nomor telepon Dian,
sehingga Dian kerap mendapat pesan
bernada porno dari nomor yang tidak
dikenalnya. Mantan kekasihnya tersebut
juga mengirim email pada Dian yang berisi
tangkapan layar foto-foto Dian di situs
pornografi tersebut dengan teks “Nih,
lihat, yang lihat fotomu sudah segini”.
Dian kemudian melaporkan kasusnya ke
Polda Jakarta Selatan, namun mantan
kekasihnya hanya ditahan selama
semalam dengan status bebas bersyarat.
Hal itu kerap membuat Dian ketakutan
dan merasa diawasi oleh sang mantan
kekasih, tiap kali Dian berada di tempat
umum. Pasca kejadian itu pun Dian
mengalami kerugian materiil karena harus
pergi ke psikiater untuk menangani
masalah kecemasannya dan kerugian
imateriil karena trauma dan depresi yang
dialaminya.86 Dalam hal ini korban yang
berinisial D tidak mendapatkan keadilan
dari pihak penegak hukum karena pelaku
hanya ditahan selama semalam oleh pihak
kepolisian bahkan kasusnyapun sampai
saat ini tidak sampai di pengadilan.
Seharusnya pelaku mendapatkan hukuman
yang terancam dalam Undang-Undang ITE

86
Wawancara dengan narasumber (korban penyebaran foto dan/atau video bermuatan
pornografi) via Twitter, pada Tanggal 29 Juni 2020.

43
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik tetapi dalam
implementasinya pelaku bahkan tidak
mendapat hukuman sesuai dengan aturan
undang-undang yang merugikan hak
korban.

5. 2020 G Pada Tanggal 7 November 2020 Media


Sosial Indonesia dihebohkan dengan
beredarnya video bermuatan pornografi
berdurasi 19 detik yang diduga diperankan
oleh selebriti berinisial G. Meski awalnya
sempat membuat klarifikasi dan
menyangkal, G tetap mengikuti
pemeriksaan pertama pada 17 November
2020 hingga akhirnya polisi melibatkan
ahli forensik pada 19 November 2020.
Saat pemeriksaan kedua, G Kembali
dipanggil dengan kapasitas sebagai saksi
pada 23 Desember 2020, lalu akhirnya
pada 29 Desember 2020, G ditetapkan
sebagai tersangka.87 G telah mengakui
bahwa video tersebut memang ia buat
Bersama MYD di sebuah hotel di kota
Medan, Sumatera Utara pada Tahun
201788, namun ia tak bermaksud untuk
menyebarkannya dan semula hanya
ditujukan untuk konsumsi personal,

87
Wayan Diananto, Op.Cit., diakses Tanggal 26 Juli 2021.
88
Annas Furqon Hakim, 29 Desember 2 020. Jadi Tersangka, Gisel dan MYD Mnegaku
Membuat Video Syur Tahun 2017 di Hotel Kota Medan [Online], tersedia:
https://www.tribunnews.com/seleb/2020/12/29/jadi-tersangka-gisel-dan-myd-mengaku-membuat-
video-syur-tahun-2017-di-hotel-kota-medan?page=2, diakses Tanggal 26 Juli 2021.

44
bahkan G telah menghapus video tersebut
3 tahun sebelum video tersebut beredar,
yaitu pada 2017.89 Alih-alih fokus pada
pengunggah pertama video tersebut, polisi
justru menaikan status G menjadi
tersangka yang mana G seharusnya
menjadi korban mengingat posisinya di
mana video pribadi miliknya disebarkan
dengan tanpa hak dan tanpa
persetujuannya. Dalam kasus ini G yang
seharusnya sebagai korban karena video
yang berdurasi 19 detik tersebut adalah
konsumsi pribadi dan tersebar di media
sosial tetapi G malah menjadi tersangka
atas perbuatan penyebaran konten
pornografi yang G sebagai pemeran dalam
video tersebut dan pelaku penyebaran
video tersebut bebas berkeliaran seperti
biasa karena tidak adanya pemeriksaan
kepolisian yang melibatkan pelaku
penyebaran dalam kasus ini. Dalam hal ini
korban yaitu G tidak mendapatkan
keadilan oleh pihak penegak hukum atas
terjadinya kasus yang menimpa G.

Berdasarkan pengertian dan contoh kasus di atas, terdapat


perbedaan terhadap hal yang ditekankan oleh para ahli mengenai non-
consensual pornography. Pada pengertian pertama dan kedua menekankan

89
Khairunissa, 11 Desember 2020. Gisel Mengaku Data di Ponsel Sudah Dihapus 3 Tahun
Lalu Muncul Lagi, Ini Analisa Pengamat Komunikasi [Online], tersedia:
https://www.tribunnews.com/techno/2020/12/11/gisel-mengaku-data-di-ponsel-sudah-dihapus-3-
tahun-lalu-muncul-lagi-ini-analisa-pengamat-komunikasi?page=3, diakses Tanggal 26 Juli 2021.

45
tentang konsensus di mana pesetujuan dari objek di dalam foto dan/atau
video tersebut merupakan hal penting dalam penyebaran konten pornografi
sehingga ketika objek tidak menyetujui foto dan/atau videonya yang
bermuatan pornografi tersebut untuk disebarkan, maka itu merupakan suatu
tindak kejahatan seksual siber. Jika dikaitkan antara pengertian di atas
dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia, khususnya mengenai
pornografi, maka tidak dapat diterapkan karena dalam penjelasan Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang Pornografi hanya memberikan pembuatan
pornografi untuk kepentingan diri sendiri, tidak termasuk di dalamnya untuk
disebarluaskan90 sehingga ketika konten bermuatan pornografi tersebut
tersebar, objek yang merupakan korban dapat ikut terjerat karena dianggap
berpartisipasi dalam pembuatan dan penyebaran konten pornografi tersebut.
Selanjutnya pada pengertian ketiga, perbuatan non-consensual pornography
dilarang karena menyebarluaskan konten bermuatan pornografi dari mantan
kekasih sehingga penekannya terdapat pada substansi pornografi secara
umum yang melanggar ketentuan hukum tanpa mempertimbangkan
persetujuan objek di dalam konten bermuatan pornografi tersebut.
Pengertian ketiga ini dapat diterima di dalam Undang-Undang
Pornografi karena non-consensual pornography adalah salah satu bentuk
dari pornografi secara umum, hanya saja tanpa memperhatikan ciri khas
atau latar belakang perbuatannya. Perbedaan non-consensual pornography
dengan pornografi pada umumnya adalah pada latar belakang dengan
penilaian pencelaan atas perbuatan penyebaran pornografi tanpa
persetujuan objek di dalam konten tersebut. Dengan melihat pengertian dari
non-consensual pornography yang sebelumnya telah dijelaskan, dapat
dipahami bahwa penilaian non-consensual pornography diletakkan pada ada
atau tidaknya kerugian yang dialami oleh seseorang sebagai akibat dari
penyebarluasan konten pornografi tanpa persetujuan orang tersebut.

90
Hwian Christianto, 2017. Revenge Porn Sebagai Kejahatan Kesusilaan Khusus: Perspektif
Sobural, vol. 3 (2) [Online], tersedia:
https://www.researchgate.net/publication/324753811_Revenge_porn_sebagai_Kejahatan_Kesusila
an_Khusus_perspektif_Sobural, diakses Tanggal 20 September 2020, hlm. 303.

46
Belajar dari kasus-kasus yang ada, diharapkan ada instrumen hukum
sebagai yang diharapkan menjadi pelindung bagi para korban penyebaran
foto dan/atau video bermuatan pornografi dengan tanpa persetujuan oleh
orang tidak bertanggung jawab agar kedepannya dapat meminimalisir kasus
serupa dan korban terfasilitasi kebutuhan hukumnya.

2. Kedudukan Korban Penyebaran Foto/Video Bermuatan Pornografi


Ditinjau dari Perspektif Viktimologi
Di dalam hukum positif Indonesia ditemukan berbagai macam istilah
hukum yang secara tidak langsung berhubungan dengan kepentingan
korban kejahatan di dalam berbagai ketentuan, seperti pada Pasal 1 butir 27
KUHAP yang menyebutkan korban kejahatan sebagai “saksi”, sebagai
“pengadu” pada Pasal 72 KUHAP, sebagai “pihak ketiga yang
berkepentingan” pada Pasal 80 dan 81 KUHAP, sebagai “pihak yang
dirugikan” pada Pasal 98 dan 99 KUHAP, “pelapor” pada Pasal 108 KUHAP,
atau “saksi” atau “saksi korban” pada Pasal 160 KUHAP, namun istilah-istilah
tersebut belum mengatur secara tegas posisi hukum korban kejahatan
dalam sistem peradilan pidana dan belum bisa menjamin akses korban untuk
mendapat keadilan di dalam sistem peradilan pidana. 91
Kedudukan korban hanya sebatas pelapor yang telah melaporkan
viktimisasi yang dialaminya kepada polisi yang membuat masuknya perkara
ke pengadilan. Setelah itu, korban hanya berperan sebagai saksi terhadap
viktimisasi yang dialaminya.92 Dengan kata lain, sistem yang dianut oleh
KUHAP ialah retributive justice (kebijakan yang titik perlindungannya ialah
pada pelaku tindak pidana), bukan restorative justice yang fokus kebijakan
perlindungannya kepada korban tindak pidana (victim oriented).
Kepentingan mengenai korban pun dikuasakan pada suatu Lembaga
yang dibentuk oleh undang-undang, yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban:
91
M. Imron Anwari, 2014. Kedudukan Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 58.
92
Ibid.

47
a. Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
1) Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang berat;
2) Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana.
b. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diebrikan oleh pengadilan
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pada kenyataannya dalam sistem peradilan pidana, korban tetap sebagai
figuran karena hak-hak dan kepentingan korban dalam sistem peradilan
pidana masih diwakili oleh polisi dan jaksa meskipun menurut Undang-
Undang Perlindungan Saksi dan Korban di atas, kepentingan korban telah
dikuasakan kepada LPSK.
Kedudukan korban penyebaran foto dan/atau video bermuatan
pronografi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia tidaklah
menguntungkan karena terbentur oleh masalah yang mendasar, yaitu
korban tindak kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan
keterangan sebagai saksi.93 Ketika korban datang dalam proses peradilan
pidana, ia akan hadir dengan dua kualitas yang berbeda, yaitu sebagai saksi
yang berfungsi memberikan kesaksian untuk mengungkapkan kejahatan
yang sedang dalam proses pemeriksaan dan sebagai pihak yang dirugikan
yang mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada pelaku penyebaran foto
dan/atau video bermuatan pornografi miliknya.94
Dalam sistem peradilan pidana sebenarnya terdapat dua model
pemberdayaan korban, yaitu: 1) model hak prosedural yang menekankan
dimungkinkannya korban berperan dan dilibatkan secara aktif dalam sebuah
peradilan pidana seperti membantu jaksa penuntut umum, dilibatkan dalam
setiap pemeriksaan perkara, wajib didengarkan pendapatnya apabila
terdakwa dilepaskan bersyarat, dan lain sebagainya; 2) model pelayanan
yang menekankan pada penggantian kerugian berbentuk kompensasi,
93
Pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
94
J. E. Sahetapy, 1987. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai , Jakarta: Pustaka Sinar harapan,
hlm. 35.

48
restitusi, maupun upaya pengembalian kondisi korban yang mengalami
trauma, tertekan, dan rasa takut akibat dari kejahatan yang dialaminya. 95 Di
Indonesia, model pemberdayaan korban yang diterapkan ialah model
pelayanan yang membuat korban tidak dapat turut campur dalam sistem
peradilan pidana karena pendefinisian kejahatan sebagai suatu konflik antara
pelaku kejahatan dengan negara sehingga proses peradilan menjadi
monopoli aparat hukum.
Dalam perkembangan di dalam suatu masyarakat mengenai korban,
korban dianggap memiliki peran dalam terjadinya suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku. Ketika pembuatan foto dan/atau video disetujui oleh
para pihak di dalamnya, maka jika foto dan/atau video tersebut disebarkan
oleh salah satu pihak, dapat membuat pihak lainnya juga terjerat dalam
ketentuan pidana selama pihak itu tidak secara ekplisit memberikan larangan
untuk penyebaran foto dan/atau video tersebut. 96 Sebagai contoh, ketika
dua orang pria dan wanita dengan salah satunya dibawah tekanan untuk
membuat foto dan/atau video bermuatan pornografi, kemudian pria
menyebarkan foto dan/atau video tersebut padahal wanita menyatakan
secara tegas untuk melarang menyebarkan foto dan/atau video tersebut,
maka wanita tersebut bisa ikut terjerat tindak pidana pembuatan dan
penyebaran pornografi seperti pada kasus yang dialami oleh V Garut yang
diminta suaminya berinisial A untuk melakukan adegan porno dengan
manipulasi demi keutuhan rumah tangga dan agar sang suami tidak menjalin
hubungan dengan perempuan lain, akhirnya V Garut mengikuti kemauan
suaminya walau sebenarnya merasa tak nyaman, namun agar tak dimarahi
suaminya dan disuruh mengulang adegan berkali-kali ua harus bisa seolah-
olah menikmatinya.97
Sebelum video tersebut viral, sebenarnya V pernah melaporkan kasus
tersebut kepada polisi lewat PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak),
95
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, hlm. 81.
96
Joshua Sitompul, Sanksi Bagi Pembuat dan Penyebar Konten Pornografi , tersedia:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt540b73ac32706/sanksi-bagi-pembuat-dan-
penyebarkonten-pornografi diakses Tanggal 10 Juli 2018.
97
Firman Wijaksana, 22 Agustus 2019, Perempuan Pelaku Video Vina Garut Mengaku
Dipaksa Suami Untuk Melakukan Itu, Takut Ditinggal, Op.Cit., diakses Tanggal 18 Agustus 2021.

49
namun saat itu polisi tidak menanggapi maupun tidak memberikan tindakan
hukum yang seharusnya dilakukan seperti pemeriksaan maupun
penangkapan terhadap suami korban yang dianggap pelaku dan V justru
disuruh untuk mencari bukti sendiri hingga kemudian video tersebut viral, V
justru ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap berpartisipasi dalam
pembuatan video bermuatan pornografi tersebut. 98
Pada 2019 Komnas Perempuan menerima 97 aduan langsung dan
33% atau sekitar 40 kasus merupakan kasus penyebaran foto dan/atau
video pornografi tanpa persetujuan. Jumlah ini lebih tinggi 67% dari tahun
99
sebelumnya (2018) yang berjumlah 65 aduan. Menurut Husna Amin yang
merupakan pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), hanya 10% dari korban
yang melaporkan kasusnya kepada aparat penegak hukum sedangkan
sisanya tidak berani melaporkan kasusnya. 100 Menurut Mariana Amiruddin,
Komisioner Komnas Perempuan, menyebutkan bahwa banyak korban yang
tidak mengadukan kasusnya sebab hal tersebut berhubungan dengan materi
personalnya.101
Penolakan korban untuk melapor biasanya dikarenakan gagalnya
mereka mamahami diri mereka sendiri sebagai korban dan kurangnya
pemahaman mereka tentang viktimisasi (proses terjadinya korban). 102 Pun
pihak berwenang masih belum bisa mencari aturan yang bisa melindungi
perempuan untuk kasus penyebaran foto dan/atau video bermuatan
pornografi yang bersifat non-konsensual pornografi. Dalam catatan LBH
APIK, kasus penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi sendiri

98
Jayadi Supriadin, 4 Desember 2019, Mental Terguncang, Terdakwa Risih Kronologi Kasus
Video Syur Vina Garut [Online], Op.Cit., diakses Tanggal 18 Agustus 2021.
99
Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2019 [Online],
tersedia: https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/lembar-fakta-dan-poin-kunci-
catatan-tahunan-komnas-perempuan-tahun-2019, diakses Tanggal 16 Mei 2021.
100
Raja Eben Lumbanranu, 6 April 2021, Kekerasan Online: Korban Revenge Porn Dimaki,
Dicekik, Hinga Konten Intim Disebar – ‘Saya Berkali-Kali Mencoba Bunuh Diri’ [Online], tersedia:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56629820, diakses Tanggal 16 Mei 2021.
101
Ihfa Firdausya, Kamis 16 januari 2020, Hukum Untuk Kekerasan Seksual Berbasis Daring
Masih Abu-Abu [Online], tersedia: https://mediaindonesia.com/humaniora/283754/hukum-untuk-
kekerasan-seksual-berbasis-daring-masih-abu-abu, diakses Tanggal 16 Mei 2021.
102
Israel Drapkin Senderey dan Emilio Viano, 1974. Victimology, Massachusetts: Lexington,
Mass: D.C Heath, hlm. 104-105.

50
termasuk kasus yang sulit ditangani karena terbentur dengan UU ITE dan
UU Pornografi, yang membuat kedudukan korban berdasarkan kajian
viktimologi menjadi: 103
a. Pihak yang terlibat dalam terjadinya suatu kasus penyebaran foto
dan/atau video bermuatan pornografi
b. Partisipan dalam berlangsungnya suatu kejahatan (aktif/pasif)
c. Objek pelaksanaan suatu kejahatan
d. Pihak yang dirugikan
e. Pihak yang mengadu
f. Pihak yang menuntut ganti rugi
g. Pihak yang menentukan penghukuman pelaku
Pengembangan dan manfaat viktimologi adalah selaras dengan tata
kehidupan masyarakat, yang mana viktimologi dapat dirumuskan sebagai
suatu studi yang mempelajari masalah korban, penimbul korban, serta
akibat-akibat penimbulan korban, yang merupakan suatu masalah manusia
sebagai kenyataan social. Yang dimaksud disini dengan korban dan yang
menimbulkan korban dapat berupa individu, suatu kelompok, korporasi
swasta dan pemerintah.
Dilihat dari sudut Hak Asasi Manusia (HAM), masa kepentingan
korban tindak pidana merupakan bagian dari persoalan hak asasi manusia
pada umumnya. Prinsip Universal sebagaimana termuat dalam The Universal
Decralation of Human Right (10 Desember 1948) dan The International
Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966) mengakui bahwa
semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi
apapun. Setiap tindakan pelanggaran hak-hak asasi yang dijamin oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. 104
Berbagai prinsip yang digariskan diatas mempunyai nilai yang dapat
mendukung aspek viktimologis terlebih dapat berfungsi sebagai landasan
kuat bagi perumusan hukum kelak bagi kepentingan korban-korban tindak
103
Israel Drapkin Senderey dan Emilio Viano, Op.Cit., hlm. 107.
104
The Universal Declaration of Human Rights, United Nations General Assembly, Desember,
10 194, (Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia) di kutip dari Soeparman. Hlm 142

51
pidana dalam perumusan-perumusan tata pengaturan bagi setiap negara
mengenai hak-hak korban dan tindakan perlakuan pelanggaran hukum.
Perkembangan didalam hukum nasional awalnya tidak begitu
responsif terhadap kepentingan korban. Tetapi dengan berbagai kogres
Internasional yang membahas tentang masalah viktimologi tampaknya
perhatian terhadap korban tindak pidana mulai terangkat. Seperti dikeahui
setidaknya ada 3 (tiga) pertemuan internasional mengenai tema yang sama.
Ketiga kongres Internasional tersebut cukup banyak memperhatikan
segi korban yang berkaitan dengan perkembangan baru tentang bentuk
tindakan pidana dalam pembangunan hukum, hal mana diperkirakan
berkaitan dengan Declaration on Justice and Assistence for Viktim.
Sehubungan dengan deklarasi tersebut, Negara diharapkan mengemban
berbagai tanggungjawab memikirkan kompensasi seperti antara lain
membuat program kompensasi sebagai korban.
Sementara itu ada pandangan, bahwa gambaran tentang dasar
alasan negara memberikan kompensasi serta pelindngan pada prinsipnya
bertolak pada:
1. Kewajiban negara melindungi warga negaranya.
2. Kemungkinan ketidakmampuan pelaku tindak pidana memberi
ganti rugi yang cukup.
3. Sosiologi hukum berpandangan bahwa tindak pidana yang timbul
adalah andil kesalahan masyarakat dana tau tindak pidana
sebagai anak kandung masyarakat.

Dalam pengertian tersebut perhatian masih merujuk pada si pelaku


tindak pidana dan hak-hak korban belum dapat terealisir sepenuhnya
meskipun negara memberikan kompensasi kepada korban sementara hak-
hak dari si pelaku masih dominan (pelaku yang dalam ketidakmampuan
untuk mengganti kerugian korban materi korban atas tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku).

Kedudukan korban terhadap penyebaran foto dan video bermuatan


pornografi yang ditinjau dari aspek viktimologi tidak memberikan

52
perlindungan yang maksimal terhadap korban tindak pidana karena dalam
pengertian maupun hak dan kedudukan yang tertuang dalam Declaration on
Justice and Assistence for Victim tidak cukup memberikan perlindungan
hukum yang maksimal.

Kedudukan hukum korban penyebaran foto dan/atau video yang


bermuatan pornografi belum terealisir sepenuhnya karena kurangnya aturan
serta perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap korban sehingga
sampai saat ini korban dalam prakteknya masih saja tidak mendapat
keadilan bahkan tidak jarang dalam konteks pornografi korban menjadi
tersangka dan hak-haknya tidak perpenuhi sebagai korban karena negara
tidak memberikan perlindungan yang cukup. Seperti kasus korban dengan
inisial V yang dijadikan sebagai tersangka oleh pihak pengadilan meskipun
pada saat itu korban melakukan atas dasar dibawah tekanan maupun
ancaman oleh pelaku.

53
BAB III

BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PENYEBARAN

FOTO DAN/ATAU VIDEO BERMUATAN PORNOGRAFI

1. Perlindungan Korban Penyebaran Foto dan/atau Video Bermuatan


Pornografi dalam Hukum Pidana Indonesia
Ketika terjadi tindak pidana di dalam suatu negara, biasanya pelaku
mendapat perlindungan mengenai hak-haknya dan untuk menyeimbangkan
hal itu, maka diperlukan peraturan mengenai perlindungan korban
kejahatan. Di Indonesia, ada undnag-undang yang mengatur mengenai hal
tersebut, seperti dalam Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J ayat Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Amandemen ke-2 sebagaimana
pasal-pasal 28 D, 28 G, 28 I, dan 28 J ayat (1) tertuang dalam uraian
berikut:
Negara Indonesia dalam konstitusinya menjamin warganya untuk
mendapat perlindungan lewat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di
mata hukum105, meliputi perlindungan terhadap diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta
hak atas rasa aman; dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.106 Setiap orang berhak bebas
atas perlakuan yang bersifat diskriminatif dan mendapatkan perlindungan
dari perlakuan diskriminatif itu 107 serta hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.108
Pada saat korban akan memberikan keterangan, tentunya harus
disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut
sebelum, saat, dan setelah memberi kesaksian guna memastikan bahwa

105
Pasal 28 D ayat (1), Op.Cit., Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
106
Pasal 28 G ayat (1), Ibid.
107
Pasal 28 I ayat (2), Ibid.
108
Pasal 28 J ayat (1), Ibid.

54
keterangan yang akan diberikan adalah murni tanpa rekayasa maupun
tekanan pihak-pihak tertentu.
Tindakan menyebarkan foto/video bermuatan pornografi merupakan
bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008
tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Selain itu, memberi perhatian dan perlindungan
terhadap kepentingan korban kekerasan seksual, baik melalui proses
peradilan maupun sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian
mutlak yang perlu dipetimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan
kebijakan-kebijakan sosial, baik Lembaga kekuasaan negara maupun
Lembaga sosial yang ada.109 Di Indonesia, kasus penyebaran foto/video
bermuatan pornografi dapat ditinjau dari perundangan seperti KUHP,
Undang-Undang ITE, Undang-Undang Pornografi, dan KUHAP.
a. KUHP
Dalam sistem hukum Indonesia, undang-undang khusus tidak
serta-merta meniadakan delik pornografi dalam KUHP, namun sekedar
diberi syarat “sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Pornografi”. Pada suatu keadaan tertentu dan dengan alasan hukum yang
kuat, delik pornografi dalam KUHP dapat diterapkan, yaitu pada saat
terdapat kasus pornografi yang telah diatur dalam KUHP, sementara
dalam Undang-Undang Pornografi tidak. Berikut macam-macam tindak
pidana dalam kasus pornogarfi:
1) Tindak pidana pornografi sengaja dan dengan culpa (Pasal 282)
Tindak pidana pornografi yang pertama dirumuskan dalam ayat (1)
terdapat pula kalimat “…menyiarkan, mempertunjukan atau
memperkenalkan di muka umum tulisan, gambar, atau benda yang
telah diketahuinya melanggar kesusilaan”.
2) Tindak pidana pornografi pada orang belum dewasa (Pasal 283)

109
Helen Intania Surayda, 2017. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual
dalam Kajian Hukum Islam: Jurnal Ius Constituendum, vol. 2 (1), hlm. 24-38, tersedia:
http://dx.doi.org/10.26623/jic.v2i1.543, diakses Tanggal 15 Februari 2021.

55
3) Tindak pidana pornografi dalam menjalankan pencairan dengan
pengulangan (Pasal 283)
4) Pelanggaran menyanyikan lagu dan berpidato yang isinya melanggar
kesusilaan (Pasal 532)
5) Pelanggaran pornografi pada remaja (Pasal 533)
b. KUHAP
Pengaturan mengenai hukum pidana formil dalam kasus
pornografi diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
Pornografi yang secara tegas menunjukkan bahwa KUHAP masih menjadi
dasar tata cara penyidikan ditambah dengan ketentuan khusus yang
diatur di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
sepanjang tidak ada pengaturan khusus.
Hukum acara pidana merupakan rangkaian peraturan-peraturan
mengenai cara badan-badan pemerintah seperti kepolisian, kejaksaan,
dan pengadilan harus bertindak dalam mengadakan hukum pidana. 110
Beberapa ahli juga berpendapat bahwa hukum acara pidana merupakan
hukum pidana formil yang berisi mengenai bagaimana cara menjalankan
prosedur menjatuhkan sanksi atau cara penegakan hukum pidana materiil
yang berisi larangan dan hukuman bagi pelanggar aturan. 111
Hukum acara pidana merupakan salah satu instrumen dalam
sistem peradilan pidana yang memiliki fungsi utama seperti: 112
1) Mencari dan menemukan kebenaran
2) Pengambilan keputusan oleh hakim
3) Pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil

110
Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah, 1999. Hukum Acara Pidana Indonesia,
Jakarta: CV. Saptha Artha Jaya, hlm. 7.
111
Ibid.
112
R. Achmad S. Soemadi Pradja, 1981. Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana Indonesia,
Bandung: Alumni, hlm. 4.

56
Selama ini ketentuan hukum acara pidana lebih berpusat pada upaya
penegakan hukum bagi tersangka sehingga membuat kepentingan korban
terkesampingkan.113
Negara memiliki wewenang untuk menjatuhkan pidana dalam
rangka penegakan hukum berdasarkan hukum pidana dan hukum acara
pidana. Secara tidak langsung, negara mewakili korban tindak pidana
dalam mengadili dan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. 114
Perlindungan korban tentu tidak lepas dari hukum positif yang berlaku
saat ini, yang lebih banyak berbentuk “perlindungan abstrak” atau
“perlindungan tidak langsung” terhadap berbagai kepentingan hukum dan
hak asasi korban.115 Dengan kata lain, sistem sanksi dan
pertanggungjawaban pidana pelaku tidak langsung tertuju pada korban,
tetapi hanya pertanggungjawaban yang bersifat individual, bukan
pertanggungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban.
Di sisi lain, dalam putusan, hakim berwenang menetapkan
hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban
yang bersifat keperdataan dan bukan merupakan sanksi pidana. Hal ini
memiliki kelemahan yang bisa saja merugikan korban, yaitu berdasar
Pasal 100 ayat (2) KUHAP, apabila perkara pidana tidak diajukan
permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti
rugi tidak diperkenankan.116
Meski secara konstitusional telah diatur bahwa setiap orang
berhak untuk dilindungi, tetapi dalam praktiknya aturan yang berlaku
masih belum menjawab mengenai persoalan bahwa selama ini, baik
formil maupun materiil, fokus perhatian dalam suatu proses perhatian
pidana ialah orang yang melanggar hukum.
Dari isi pasal-pasal dalam KUHAP di atas, dalam sistem peradilan
pidana, korban kejahatan dikatakan sebagai korban karena telah
melaporkan viktimisasi yang dialaminya kepada polisi. Dalam rangka
113
Ibid.
114
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Op.Cit., hlm. 2.
115
Barda Nawawi Arief, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Adya Bakti, hlm. 55-56.
116
Barda Nawawi Arief, 2007., Op.Cit., hlm. 58.

57
perlindungan terhadap korban, yang harusnya lebih mendapat perhatian
ialah korban berdasarkan esensi kerugian yang dideritanya yang tidak
hanya bersifat materi atau fisik, namun juga yang bersifat psikologis
dalam bentuk trauma, kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat, dan
ketertiban umum. Gejala dari sindrom tersebut dapat berupa kegelisahan,
ras curiga, sinisme, depresi, kesepian, ataupun perilaku penghindaran
lainnya.117 Korban dalam kasus penyebaran foto dan/atau video
pornografi yang bersifat non-consensual pornography biasanya akan
menanggung penderitaan psikologis seperti rasa malu.
Korban akan dirugikan apabila ganti kerugian hanya dihitung
secara materiil karena penderitaan korban tidak dapat hanya secara
materiil saja, tetapi juga dapat berupa imateriil.
Berdasarkan penelitian oleh Citron & Franks mengenai dampak non-
consensual pornography, korban akan mengalami tekanan psikologis yang
berat akibat tersebarnya foto dan/atau videonya yang bermuatan pornografi
secara umum.118 Korban pun harus mendapati fakta bahwa foto dan/atau
video bermuatan pornografi miliknya yang telah tersebar di internet akan
sulit dihapus karena telah dilipatgandakan secara terus-menerus oleh
pengguna internet lainnya.119
Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC)
Indonesia pernah membuka forum pengaduan bagi korban penyebaran
foto/dan atau video pornografi yang bersifat non-konsensual dan dalam 12
jam, pengaduan yang masuk ke dalam kotak pesan sekitar 50 pesan dan
jumlah itu terus bertambah.120 Hal tersebut menunjukkan bahwa kasus
seperti penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi marak terjadi
dan selama ini tersimpan begitu saja.
Penyelesaian tindak pidana penyebaran konten pornografi terhadap
pelaku atas korban secara pdana membawa kerugian bagi korban dalam
117
Muladi, 2002. Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, hlm. 177.
118
Tyrone Kirchengast, 2016. Op.Cit., hlm. 95.
119
Hwian Christianto, 2017. Op.Cit., hlm. 7.
120
Nadya Karima Melati, 2018. Bagaimana Mencari Bantuan dalam Kasus ‘Revenge Porn’
[Online], tersedia: https://magdalene.co/news-1775-bagaimana-mencari-bantuan-dalam-kasus-
%E2%80%98revenge-porn%E2%80%99-.html, diakses Tanggal 3 Juli 2020.

58
proses perkaranya. Antara lain kerugian biaya, perundungan dalam
masyarakat dan tidak tertutupnya informasi yang disebarluaskan
menyebabkan korban merasa terindimidasi dan depresi. Korban dalam hal ini
juga dianggap sebagai yang bersalah walaupun pada saat terjadinya suatu
tindak pornografi korban dalam keadaan dibawah tekanan atau ancaman
oleh pelaku.
Pada kasus korban yang berinisial VG, A, D, T dan G dapat dilihat ada
unsur kegagalan pihak aparat kepolisian maupun pihak masyarakat dalam
melindungi korban sehingga pada kasus ini korban dijadikan sebagai
tersangka meski korban telah memberikan keterangan lengkap dan telah
meminta perlindungan. Pihak apparat penegak hukum dan masyarakat tidak
berfokus pada siapa yang menyebarkan tetapi hanya berfokus pada subjek
yang ada di dalam konten pornografi tersebut yang pada kenyataannya
pihak yang menyebarkanlah yang menyebabkan pelanggaran peraturan
perundang-undangan.
Ada beberapa kasus yang pihak pengadilan memberikan hukuman
kepada pelaku tetapi banyak juga kasus yang pihak apparat kepolisian tidak
memberikan jeratan hukum kepada pelaku seperti kasus T yang terjadi di
Sleman Jawa Tengah pada kasus ini Korban dianggap yang bersalah dan
dikeluarkan dari sekolah tetapi pelaku bebas berkeliaran tanpa mendapat
hukuman yang seharusnya.
Pada kesaksian korban yang berinisial T pada kasus ini korban benar
dipaksa melakukan hubungan seksual oleh pelaku dan kejadian tersebut
terjadi selama berkali-kali dan benar bahwa pelaku membagikan video porno
mereka kepada teman-temannya tetapi pelaku tidak mendapatkan hukuman
oleh pihak sekolah maupun pihak yang berwenang yang seharusnya
melindungi serta mendampingi korban tanpa memikirkan dampaknya bagi
korban.
Korban dalam hal ini merasa sangat dirugikan karena gagal
mendapatkan keadilan dari pihak yang seharusnya melindungi untuk
menempuh penyelesaian melalui pengadilan. Daripenjabaran diatas dapat
diketahui bahwa dalam undang-undang pornografi tidak memberikan aturan

59
yang mencukupi atas korban kejahatan dengan penyebaran foto dan/atau
video yang bermuatan pornografi.
Dari penjabaran diatas dapat diketahui bahwa langkah yang dapat
dilakukan oleh korban yang mengalami kejahatan penyebaran foto dan/atau
video yang bermuatan pornografi belum sepenuhnya terlindungi dalam
hukum pidana di Indonesia. Sehingga dalam hal ini perlunya pembaharuan
undang-undang yang mengatur jelas tentang perlindungan terhadap korban
dan penyesuaian implementasinya dalam masyarakat untuk keadilan bagi
korban.
2. Penanggulangan Terulangnya Korban Penyebaran Foto dan/atau
Video Bermuatan Pornografi
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu 121,
serta berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang
damai, aman, dan tentram yang menghormati, melindungi dan
melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia
untuk menjamin warga negara bebas dari rasa takut dan ancaman. 122 Oleh
sebab itu, negara menyediakan upaya perlindungan hukum preventif bagi
korban untuk mencegah tindak pidana penyebaran foto dan/atau video
bermuatan pornografi.
Reckless mengemukakan pendapatnya bahwa kejahatan dapat
dikurangi dengan cara:123
a. Upaya dan pemantapan aparat penegak hukum, meliputi pemantapan
organisasi, personil, sarana, dan prasarana untuk menyelesaikan perkara
pidana;
b. Perundangan yang dapat berfungsi menganalisis dan membendung
kejahatan dan menjangkau ke depan;

121
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia (Lembar
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia
Nomor 3886).
122
Pasal 35, Ibid.
123
Soerjono Soekanto, 1993. Kriminologi, Sebab dan Penanggulangan kejahatan , Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 36.

60
c. Mekanisme peradilan pidana yang efektif dan memenuhi syarat cepat,
tepat, murah, dan sederhana;
d. Koordinasi antara aparat penegak hukum dan aparatur pemerintah
dalam menanggulangi kejahatan; dan
e. Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan penanggulangan
kejahatan.
Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa sistem hukum yang
terdiri dari lembaga hukum, peraturan perundang-undangan, dan budaya
hukum merupakan bahan kajian yang dapat digunakan sebagai bahan kajian
untuk menanggulangi penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi
yang bersifat non-konsensual melalui pembaharuan di dalam hukum positif
dan penguatan struktur maupun budaya hukum di masyarakat sebagai
dampak dari adanya perubahan yang disebut modernisasi agar dapat
bersama-sama mencegah terulangnya korban penyebaran foto dan/atau
video bermuatan pronografi.124
1. Pre-Emtif
Pre-Emtif di sini maksudnya adalah upaya-upaya awal yang dilakukan
oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha
yang dilakukan sebagai penanggulangan kejahatan secara pre-emtif ialah
dengan menanamkan nilai-nilai/norma yang baik pada diri seseorang agar
meskipun ketika ada kesempatan untuk melakukan kejahatan, tapi karena
tidak adanya niat, maka kejahatan tersebut tidak terjadi. 125 Contohnya,
ketika seseorang memiliki foto dan/atau video bermuatan pornografi milik
mantan mantan kekasihnya, maka foto dan/atau video tersebut tidak
akan ia sebarkan kepada publik meskipun ia memiliki akses dan
kesempatan untuk menyebarkannya.
2. Preventif
Pada kasus penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi,
perlindungan hukum pidananya dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu
jalur non-penal atau preventif (pencegahan) dan jalur penal atau represif

124
Saifullah, 2010. Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, hlm. 26.
125
A.S. Alam, 2010. Pengantar Kriminologi, Makassar: Refleksi Arts, hlm. 79.

61
(pemberantasan). Perlindungan preventif diberikan kepada korban oleh
negara maupun lembaga swadaya masyarakat seperti Komnas
Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan Lembaga
Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH
APIK) dengan cara memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai
bagaimana cara internet dengan bijak guna meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk tidak menjadi pelaku penyebaran foto dan/atau video
bermuatan pornografi serta bagaimana cara agar terhindar dari menjadi
korban penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi. 126 Selain
itu, penyuluhan mengenai keselamatan siber dari bahaya penyebaran foto
dan/atau video bermuatan pronografi sebaiknya dilakukan berkala dan
berkelanjutan mengingat jenis dan modus kejahatan siber terus
berkembang, khususnya dalam hal pornografi, mengingat kejahatan dan
kekerasan seksual dalam bentuk pornografi marak terjadi. 127
3. Represif
Meski upaya represif memiliki keterbatasan, tetapi jika dilihat melalui
sudut perencanaan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum
pidana, tahap legislasi merupakan tahap yang paling strategis. Dalam
upaya represif ini terdapat dua metode, yaitu metode perlakuan dan
metode penghukuman melalui penyelidikan untuk diproses lebih lanjut
melalui pengadilan dengan sarana sanksi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan menghasilkan putusan pengadilan
yang berkeadilan. Perlu diketahui bahwa sanksi ini bukan bentuk dari
balas dendam, melainkan bertujuan untuk membimbing pelaku agar tidak
melakukan tindak penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi
Kembali di kemudian hari.128

126
Anneke Putri Willihardi, Eko Wahyudi, 2020. Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Bagi
Korban Penyebarluasan Konten Pornografi dengan Motif Balas Dendam (Revenge Porn) di
Indonesia, PROHUTEK, Vol. 1 (1), tersedia:
http://prohutek.upnjatim.ac.id/index.php/prohutek/article/view/67, diakses Tanggal 6 Juni 2021,
hlm. 327
127
Afina Maulida, Triana Rosalina Noor, 2021. Cyber Safety dalam Merespon Kekerasan
Berbasis Gender Online di Masa Pandemi Covid-19 , Jurnal Khitah, Vol. 2 (1), tersedia:
https://ejournal.hmi-gowaraya.org/index.php/jurnalkhitah/article/download/10/11, diakses Tanggal
4 Juli 2021, hlm. 54-66.
128
Rizky Karo Karo, Debora Pasaribu, dan Elsya Sulimin, 2018. Upaya Preventif dan Represif

62
Penerapan sanksi pidana terhadap kejahatan penyebaran foto dan/atau
video bermuatan pornografi sampai saat ini belum memberikan kepastian dan
perlindungan atas korban yang mengalami kejahatan. Adanya beberapa solusi
atas perbuatan kejahatan penyebaran foto dan/atau video yang bermuatan
pornografi sampai saat ini nyatanya belum memberikan perlindungan yang
maksimal kepada korban yang menyebabkan korban menderita kerugian baik
secara formil maupun materiil sehingga kejahatan tersebut akan terus terjadi dan
banyaknya korban yang tidak mendapatkan perlindungan yang maksimal.
Dalam hal ini aturan dan/atau masyarakat hanya terfokus kepada pelaku
tanpa memberikan perlindungan yang maksimal terhadap korban yang akibatnya
korban ragu untuk memberitahukan dan meminta pertolongan atas ancaman
pelaku sehingga kebanyakan korban mengalami ketakutan, depresi dan lain
sebagainya. Pada prakteknya biasanya korban juga dianggap bersalah atas kasus
yang terjadi korban dianggap sebagai pelaku yang memancing untuk terjadinya
tindak kejahatan walaupun tidak ada bukti yang membenarkan hal tersebut
didalam masyarakat tidak jarang pula korban dijadikan tersangka oleh aparat
penegak hukum atas kasus tersebut.
Upaya penanggulangan agar tidak terulangnya korban penyebaran foto
dan/atau video sampai saat ini belum dapat dikatakan belum cukup melindungi
korban karena dalam hal ini pada kasus T yang terjadi di sleman, kasus VN yang
menjadikan korban sebagai tersangka dan kelalaiannya penegakan hukum oleh
aparat kepolisian, kasus G yang menjadikan korban sebagai tersangka alih-alih
memfokuskan terhadap pelaku penyebaran seharusnya konsekuensi tentang
hukum pornografi diatur didalam Undang-Undang pornografi itu sendiri yang
memberikan perlindungan kepada korban secara adil dan tegas namun sampai
saat ini belum terpenuhinya keadilan bagi korban terhadap kejahatan
penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi itu sendiri. Sehingga
penjabaran diatas diketahui bahwa perlu diterapkan undang-undang mengenai
pornografi yang berfokus pada perlindungan korban.

Terhadap Prostitusi Online Berdasarkan Peraturan perundang-Undangan yang Berlaku di Indonesia ,


Lex Jurnal: Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 2 (2), tersedia:
https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/hukum/article/view/1411/698, diakses Tanggal 9 Mei
2021, hlm. 19.

63
Perlindungan korban kejahatan penyebaran foto dan/atau video yang
bermuatan pornografi tidak memberikan cukup perlindungan hukum bagi korban
terhadap kejahatan itu sendiri. Sehingga perlu diperluasnya focus terhadap
korban yang mengalami kejahatan agar tidak terulangnya. Seperti membuat
organisasi yang khusus membantu korban yang mengalami kejadian tersebarnya
foto dan/atau video bermuatan pornografi mengingat korban yang ada pada
kasus ini bukan termasuk orang yang dibawah umur.

64
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kedudukan korban penyebaran foto dan/atau video bermuatan
pornografi dalam Sistem Peradilan Indonesia tidaklah menguntungkan
bagi korban di Indonesia, model pemberdayaan korban yang diterapkan
ialah pelayanan yang membuat kedudukan korban sebagai saksi dalam
sistem peradilan karena pendefinisan kejahatan sebagai suatu konflik
antara pelaku kejahatan dengan negara.
2. Beberapa bentuk perlindungan terhadap korban yaitu Ganti Rugi,
Restitusi, Kompensasi, Konseling, Pelayanan/Bantuan medis, serta
Bantuan Hukum. Minimnya perhatian pada korban ( an essential part of
criminal law policy decisions) dapat berpengaruh terhadap berkurangnya
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kejahatan, menimbulkan
perasaan tidak aman pada korban, dan yang terburuk memungkinkan
inisiatif pembalasan pribadi. Kebanyakan korban tidak melaporkan
karena takut dipersalahkan bahkan justru terjerat balik. Sikap
membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang
layak dapat berdampak terpuruknya kondisi korban, seperti yang terjadi
pada D di Tahun 2019. Pasca kejadian yang menimpa D, D mengalami
kerugian materiil karena harus pergi ke psikiater untuk menangani
masalah kecemasan dan kerugian imateriil karena trauma dan depresi
yang dialaminya. Dalam kasus tersebut, D tidak mendapatkan bantuan
hukum yang cukup sehingga berdampak pada kondisinya yang menjadi
terpuruk. Di Indonesia, kasus penyebaran foto dan/atau video
bermuatan pornografi dapat ditinjau dari perundangan seperti KUHP,
Undang-Undang ITE, Undang-Undang Pornografi, dan KUHAP. Korban
penyebaran foto dan/atau video bermuatan pornografi seharusnya
dapat dilindungi oleh Sistem Hukum Indonesia melalui upaya Pre-Emtif,
Preventif, dan Represif.

65
B. Saran
Sesuai dengan kesimpulan yang diuraikan, maka penulis memberikan
saran sebagai berikut:
1. Tidak hanya berfokus untuk menghukum pelaku, tapi juga lebih
memerhatikan korban dan kepentingannya sehingga hak-hak korban tidak
terbatas dalam proses persidangan dengan cara menerapkan
pemberdayaan korban model hak prosedural yang memungkinkan korban
agar dapat berperan dan dilibatkan secara aktif dalam sebuah peradilan
pidana seperti membantu jaksa penuntut umum, dilibatkan dalam setiap
pemeriksaan perkara, dan wajib didengarkan pendapatnya apabila
terdakwa dilepaskan bersyarat.
2. Pembaharuan hukum dan penguatan struktur maupun budaya hukum di
masyarakat mengikuti perubahan yang disebut modernisasi agar dapat
bersama-sama mencegah terulangnya korban penyebaran foto dan/atau
video bermuatan pornografi dan perlindungan korban dapat dilakukan
secara maksimal melalui upaya pre-emtif, preventif, dan represif.

66
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku
Abdulkadir, Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Alam, A.S., 2010. Pengantar Kriminologi, Makassar: Refleksi Arts.
Anwari, M. Imron, 2014. Kedudukan Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing.
Arief, Barda Nawawi, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Adya Bakti.
Arief, Barda Nawawi, 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana.
Atmasasmita, Romli, 2009. Masalah Santunan Korban Kejahatan, Jakarta: Genta.
Bandem, Imade, Pornografi, Pornoaksi dan Kebebasan Berekspresi dalam Seni
(Tanggapan Terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) , disampaikan
dalam Semiloka RUU Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif HAM yang
diselenggarakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia, Jakarta 27-28 Februari
2006.
Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004. Korban Kejahatan dalam Perspektif
Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grahadika Press.
Chazawi, Adami, 2016. Tindak Pidana Pornografi, Jakarta: Sinar Grafika.
Dellyana, Shant, 1988. konsep Penegakan Hukum, Yogyakarta: Liberty.
Djubaedah, Neng, 2009. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam ,
Jakarta: Prenada Media.
Djubaedah, Neng, 2011. UU No. 4 Tahun 2008 tentang Pornografi Perspektif
Negara Hukum Berdasarkan Pancasila, Jakarta: Sinar Grafika.
Eddyono, Supriyadi Widodo, 2006. Masukan Terhadap Perubahan UU No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban , Jakarta: Koalisi
Perlindungan Saksi dan Korban.
Gosita, Arief, 2004. Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan) , Jakarta:
PT. Bhuana Ilmu Populer.
Hadjon, Philipus. M., 2011. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

67
Hamzah, Andi, 1999. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV. Saptha Artha
Jaya Hamzah, Andi, 2004. Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), Jakarta:
Rineka Cipta.
Husen, Harun M., 1990. Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia , Jakarta:
Raneka Cipta.
Ibrahim, Johnny, 2010. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif , Cetakan
ke-4, Malang: Bayu Media Publishing.
Kansil, C. S. T., 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka.
Mansur, Dikdik M. Arief, dan Elisatri Gultom, 2008. Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Jakarta: Raja Grafindo.
Marpaung, Leden, 2005. Asas-Teori-Parktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar
Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud, 2011. Penelitian Hukum, Cetakan ke-11, Jakarta:
Kencana.
Muhamad, Rusli, 2012. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: UII
Press.
Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana , Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Muladi, 2002. Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana ,
Bandung: Alumni.
Mulyadi, Lilik, 2012. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik ,
Bandung: PT. Alumni.
Pradja, R. Achmad S. Soemadi, 1981. Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana
Indonesia, Bandung: Alumni.
Raharjo, Satjipto, 2000. Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Reksodiputro, Mardjono, 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat
Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi , Jakarta:
Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Sahetapy, J. E., 1987. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Pustaka Sinar

68
harapan.
Sahetapy, J. E., 1995. Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung: Eresco.
Saifullah, 2010. Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama.
Santoso, S. E., 2002. Islam dan Konstruksi Seksualitas , Yogyakarta: PSW IAIN
Suka.
Sa’bah, 2001. Perilaku Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam ,
Yogyakarta: UII Press.
Senderey, Israel Drapkin dan Emilio Viano, 1974. Victimology, Massachusetts:
Lexington, Mass: D.C Heath.
Sitompul, Josua, 2012. Cyberspaces, Cibercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek
Hukum Pidana, Jakarta: PT. Tata Nusa.
Soekanto, Soerjono, 1993. Kriminologi, Sebab dan Penanggulangan kejahatan ,
Jakarta: Sinar Grafika.
Subhan, Zaitunah, 2005. Pornografi dan Premanisme, Jakarta: el-Kahfi.
Syahrani, H. Riduan, 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra
Adya Bakti.
Waluyo, Bambang, 2011. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kejahatan, Jakarta: Sinar Grafika.
Waluyo, Bambang, 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi , Jakarta:
Sinar Grafika.
Widiartana, G., 2014. Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan
Kejahatan, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 2010. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Yulia, Rena, 2010. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan ,
Yogyakarta: Graha Ilmu.

2. Jurnal
Arief, Barda Nawawi, 1998. Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses
Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi , vol 1 (1).
Christianto, Hwian, 2017. Revenge Porn Sebagai Kejahatan Kesusilaan Khusus:
Perspektif Sobural, vol. 3 (2) [Online], tersedia:
https://www.researchgate.net/publication/324753811_Revenge_porn_seba
gai_Kejahatan_Kesusilaan_Khusus_perspektif_Sobural, terakhir diakses

69
Tanggal 20 September 2020.
Karo, Rizky Karo, Debora Pasaribu, dan Elsya Sulimin, 2018. Upaya Preventif dan
Represif Terhadap Prostitusi Online Berdasarkan Peraturan perundang-
Undangan yang Berlaku di Indonesia , Lex Jurnal: Kajian Hukum dan
Keadilan, Vol. 2 (2), tersedia:
https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/hukum/article/view/1411/698,
terakhir diakses Tanggal 9 Mei 2021.
Kirchengast, Tyron, 2016. The Limits of Criminal Law and Justice: Revenge Porn
Criminalisation, Hybrid, Responses and The Ideal Victim , UniSA Student
Law Review, Vol. 2 [Online], tersedia:
https://www.researchgate.net/publication/311634568_The_Limits_of_Crimi
nal_Law_And_Justice_'Revenge_Porn'_Criminalisation_Hybrid_Responses_A
nd_The_Ideal_Victim, terakhir diakses Tanggal 18 September 2020.
Maulida, Afina dan Triana Rosalina Noor, 2021. Cyber Safety dalam Merespon
Kekerasan Berbasis Gender Online di Masa Pandemi Covid-19 , Jurnal
Khitah, Vol. 2 (1), tersedia:
https://ejournal.hmi-gowaraya.org/index.php/jurnalkhitah/article/download
/10/11, terakhir diakses Tanggal 4 Juli 2021.
Surayda, Helen Intania, 2017. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan
Seksual dalam Kajian Hukum Islam : Jurnal Ius Constituendum, vol. 2 (1),
hlm. 24-38, tersedia: http://dx.doi.org/10.26623/jic.v2i1.543, terakhir
diakses Tanggal 15 Februari 2021.
Widiyantoro, Bambang, 2019. Declaration of Basic Principles of justice for Victims
of Crime and Abuse of Power Terhadap Perlindungan Korban vol. 4 (1),
[Online], tersedia:
https://journal.unsika.ac.id/index.php/jurnalilmiahhukumdejure/article/
download/1859/1488, terakhir diakses Tanggal 20 Februari 2021.
Willihardi, Anneke Putri, Eko Wahyudi, 2020. Analisis Yuridis Perlindungan
Hukum Bagi Korban Penyebarluasan Konten Pornografi dengan Motif Balas
Dendam (Revenge Porn) di Indonesia, PROHUTEK, Vol. 1 (1), tersedia:
http://prohutek.upnjatim.ac.id/index.php/prohutek/article/view/67, terakhir
diakses Tanggal 6 Juni 2021.

3. Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Lembar Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembar
Negara Republik Indonesia Nomor 4928).

70
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 81,
Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5233).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 604,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia (Lembar
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan
Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3886).

4. Wawancara
Wawancara dengan narasumber (korban penyebaran foto dan/atau video
bermuatan pornografi) via Twitter, pada Tanggal 29 Juni 2020.
Wawancara dengan narasumber (korban penyebaran foto dan/atau video
bermuatan pornografi) via Twitter, pada Tanggal 29 Juni 2020.

5. Internet
Aidil Patawai Anwar, 2017. Video Mesum yang Diduga Siswi SMA 1 Samarinda
Tersebar. [Online], Tersedia:
http://news.rakyatku.com/read/71083/2017/10/25/video-mesum-yang-
diduga-siswi-sma-1-samarinda-tersebar, diakses terakhir Tanggal 7
Desember 2019.
Annas Furqon Hakim, 29 Desember 2020. Jadi Tersangka, Gisel dan MYD
Mnegaku Membuat Video Syur Tahun 2017 di Hotel Kota Medan [Online],
tersedia: https://www.tribunnews.com/seleb/2020/12/29/jadi-tersangka-
gisel-dan-myd-mengaku-membuat-video-syur-tahun-2017-di-hotel-kota-
medan?page=2, diakses terakhir Tanggal 26 Juli 2021.
Billy Putra, 2018. Dictio: Apa yang Dimaksud dengan Korban? [Online], tersedia:
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-korban/14757/2,
diakses terakhir Tanggal 15 Agustus 2020.
Danielle Keats Citron & Mary Anne Franks, 2014. Internet Privacy Regulation:
Criminalizing Revenge Porn, Wake Forest Law Review Association [Online],
tersedia: https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2368946,
diakses terakhir Tanggal 20 September 2020.
Fitriadi, 2017. Begini Cara Licik Pelaku Sebar Luas Video Mesum Siswi Samarinda .
[Online], Tersedia: https://bangka.tribunnews.com/2017/11/06/begini-
cara-licik-pelaku-sebar-luas-video-mesum-siswi-samarinda?page=all,
diakses terakhir Tanggal 7 Desember 2019.
Ihfa Firdausya, Kamis 16 januari 2020, Hukum Untuk Kekerasan Seksual Berbasis

71
Daring Masih Abu-Abu [Online], tersedia:
https://mediaindonesia.com/humaniora/283754/hukum-untuk-kekerasan-
seksual-berbasis-daring-masih-abu-abu, diakses terakhir Tanggal 16 Mei
2021.
Jayadi Supriadin, 4 Desember 2019, Mental Terguncang, Terdakwa Risih
Kronologi Kasus Video Syur Vina Garut [Online], tersedia:
https://www.liputan6.com/regional/read/4125815/mental-terguncang-
terdakwa-risih-dengar-kronologi-kasus-video-syur-vina-garut, diakses
terakhir Tanggal 26 Juli 2021.
Joshua Sitompul, Sanksi Bagi Pembuat dan Penyebar Konten Pornografi [Online],
tersedia:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt540b73ac32706/sanksi-bagi-
pembuat-dan-penyebarkonten-pornografi, diakses terakhir Tanggal 10 Juli
2018.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) [Online], Tersedia:
https://kbbi.web.id/pornografi, diakses terakhir pada tanggal 8 September
2020.
Khairunissa, 11 Desember 2020. Gisel Mengaku Data di Ponsel Sudah Dihapus 3
Tahun Lalu Muncul Lagi, Ini Analisa Pengamat Komunikasi [Online],
tersedia: https://www.tribunnews.com/techno/2020/12/11/gisel-mengaku-
data-di-ponsel-sudah-dihapus-3-tahun-lalu-muncul-lagi-ini-analisa-
pengamat-komunikasi?page=3, diakses terakhir Tanggal 26 Juli 2021.
Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2019
[Online], tersedia: https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-
detail/lembar-fakta-dan-poin-kunci-catatan-tahunan-komnas-perempuan-
tahun-2019, diakses terakhir Tanggal 16 Mei 2021.
Nadya Karima Melati, 2018. Bagaimana Mencari Bantuan dalam Kasus ‘Revenge
Porn’ [Online], tersedia: https://magdalene.co/news-1775-bagaimana-
mencari-bantuan-dalam-kasus-%E2%80%98revenge-porn
%E2%80%99-.html, diakses terakhir Tanggal 3 Juli 2020.
Putusan Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
[Online], Tersedia:
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/litigasi/Putusan%20PUU%2010-
17-23-2009%20pornografi.pdf, diakses terakhir Tanggal 13 Januari 2021.
Nadya Karima Melati, 2018. Bagaimana Memahami Kejahatan Seksual Siber dan
Jika Terlanjur Menjadi Korbannya? [Online], tersedia:
https://www.dw.com/id/bagaimana-memahami-kejahatan-seksual-siber-
dan-jika-telanjur-jadi-korbannya/a-44567467, diakses terakhir Tanggal 23
September 2020.
Nadya Karima Melati, Kenali Kekerasan Berbasis Gender Online dan Cara
Lindungi Diri, disampaikan dalam Seminar Kenali Kekerasan Seksual
Berbasis Siber yang diselenggarakan oleh Ikatan Studi Jerman Universitas

72
Indonesia (ISJ UI), Jakarta 14 Maret 2019, tersedia:
https://www.ui.ac.id/kenali-kekerasan-seksual-berbasis-siber-revenge-
porn/, diakses terakhir Tanggal 12 Februari 2021.
Permata Adinda, 14 November 2019, Derita Korban Revenge Porn: Trauma
Hingga Tak Mendapat Perlindungan Hukum [Online], tersedia:
https://asumsi.co/post/derita-korban-revenge-porn-dari-trauma-hingga-
minimnya-perlindungan-hukum, diakses terakhir Tanggal 16 Mei 2021.
Raja Eben Lumbanranu, 6 April 2021, Kekerasan Online: Korban Revenge Porn
Dimaki, Dicekik, Hinga Konten Intim Disebar – ‘Saya Berkali-Kali Mencoba
Bunuh Diri’ [Online], tersedia: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
56629820, diakses terakhir Tanggal 16 Mei 2021.

73

Anda mungkin juga menyukai