Anda di halaman 1dari 74

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam website kompasiana.com ditulis bahwa Unit Dukungan Pelayanan bagi Korban (Victim Support Service-VSS) dari Judicial System Monitoring Programme (JSMP) melayangkan sebuah surat kepada Press Club untuk menyampaikan keprihatinan mengenai perlakukan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan berbasis gender (KBG), khususnya bagi anak korban kekerasan seksual. Dalam kaitannya dengan pemberitaan lebih lanjut ditulis oleh website tersebut bahwa penulis bermaksud untuk mendukung dan menambah analisis mengenai isi dari surat tersebut untuk memberikan saran mengenai praktek yang baik untuk melindungi hak setiap orang, terlebih kasus-kasus yang sensitif dan kontraversial.1) Dalam kaitannya dengan berbagai berita mengenai kasus pelecehan seksual di Muara Enim. Peliputan ini termasuk cerita panjang mengenai korban pelecehan seksual yang usianya masih dibawah umur yang ditunjukkan gambarnya dengan tidak jelas, namun kemudian kamera
1)

<http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/13/jsmp-victimsupport / diakses 23 Agustus

2011.

diambil dari dekat yang membuat mukanya semakin jelas, sedang duduk di tempat tidur di Rumah Sakit. 2) Peliputan ini termasuk melakukan wawancara dengan bapaknya korban mengenai apa yang telah terjadi. Seperti yang dijelaskan dalam suratnya, peliputan seperti ini telah melanggar hukum nasional dan internasional yang melindunggi korban, hak anak dan hak tersangka. Cerita lain disebarkan melalui radio swasta (radio serasan FM) yang tidak disebut namanya pada tanggal 25 Agustus 2010, menyebarkan satu kasus pelecehan, memberikan rincian umur korban, hubungannya dengan tersangka, sub distrik dari korban, dan tempat tinggal pada waktu itu. Informasi tersebut membuat korban teridentifikasi dengan jelas , meskipun tidak menyebutkan nama, kerahasiaanya telah dilanggar oleh jurnalis. Dua cerita ini sebagai contoh yang memunculkan pertanyaan mengenai hak individu atas kerahasiaan harus dilindunggi. Judicial System Monitoring Programme (JSMP) percaya bahwa untuk menjamin hak-hak tersebut dihormati sepantasnya; berbagai aktor memiliki kewajiban untuk

mematuhinya.

2)

<http://muaraenim.com.pers/2011/08/13/kasuspelecehan seksual / diakses 23 Agustus

2011.

Dari materi yang dikandungnya, Undang - Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers sebenarnya telah menjamin kebebasan pers dalam memberitakan suatu peristiwa dan menyampaikan informasi sebagai hak asasi warga negara. Undang-Undang ini juga dengan tegas menolak sejumlah ancaman eksternal terhadap kebebasan pers, khususnya : 1. Penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 2); 2. Tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 ayat 3). Kepada siapa saja yang melakukan menghambat terhadap pers, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta, hal itu diatur dalam pasal 18 ayat (1) Undang undang tersebut. Sementara itu, bagi perusahaan pers yang melanggar Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 13, diancam pidana denda paling banyak Rp 500 juta, hal itu diatur dalam Pasal 18 ayat (2). Selain melindungi kebebasan pers, asas tanggung jawab

(responsibility) media terhadap publik juga dikandung oleh Undang undang Pers ini. Dalam kegiatan pemberitaan oleh pers tersebut berpotensi

menimbulkan kekeliruan yang merugikan orang yang diberitakan. Bagaimanapun ketika persoalan ini terjadi, bukan berarti pers dapat bebas lepas dari pertanggungjawaban atas kekeliruan yang dilakukannya. Karena pers diwajibkan menyelesaikan persoalan ini sesuai ketentuan yang diperuntukkan kepada pers. Ketika kerugian atas nama baik terjadi akibat karya jurnalistik, masyarakat berhak menuntut pers untuk

mempertanggungjawabkannya. Dan persoalan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik, berupa Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999). Karena itulah, UU Pers membatasi kebebasan pers dengan beberapa kewajiban hukum, antara lain: 1. Memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1); 2. Melayani hak jawab (Pasal 5 ayat 2), hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap

pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 ayat 11); 3. Melayani hak koreksi (Pasal 5 ayat 3), hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan

oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Pasal 1 ayat 12). Dalam praktiknya, beberapa media juga menggunakan lembaga mediator sendiri untuk persoalan yang diakibatkan karya jurnalistik, yakni ombusdman. Ombusdman yang akan membantu penyelesaian persoalan akibat pemberitaan dengan muaranya adalah dikeluarkan hakjawab dan hak koreksi oleh media yang dituduh bersalah.3) 4. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar (Pasal 6 ayat c); 5. (Wartawan) memiliki dan menaati kode etik (Pasal 7 ayat 2). Jelas bahwa UndangUndang (UU No. 40 Tahun 1999), harus sesuai dengan penerapan asas praduga tidak bersalah di dunia pers, sudah sejak lama menjadi perhatian dan perdebatan, baik di kalangan hukum maupun di antara insan pers sendiri. Meskipun begitu, sampai sekarang perdebatan tersebut belum mencapai suatu titik temu. Perdebatan sudah mulai terjadi bagaimana pasal-pasal dalam konstitusi (Undang-undang Dasar 1945) harus ditafsirkan dalam kaitannya dengan penerapan asas praduga tidak bersalah dalam bidang pers. Perdebatan itu terus berlanjut sampai pada tataran tafsir bagaimana peraturan perundang-undangan tentang asas praduga tidak bersalah harus diterapkan di bidang pers, dan bahkan teknis
3)

http://bincangmedia.wordpress.com/tag/hak-jawab/ diakses 28 November 2011

pelaksanaannya

dalam

pemberitaan.

Untuk

mencari,

memperoleh,

mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan saluran yang tersedia sesuai Pasal 28F UUD 1945, : Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.. 4) Dalam kaitannya dengan informasi ini menentukan;5) 1. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan ; 2. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; 3. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; 4. memperjuangkan keadilan dan kebenaran. undang undang pers

Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Bandung, Tim Redaksi Visi Media Pustaka Utama, 2010
5)

4)

Undang Undang Republik Indonesia Nomor. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (Pasal 6)

Apakah hal tesebut diatas dapat dilaksanakan, Oleh karena itulah menurut penulis sangatlah menarik untuk ditelusuri, diteliti lebih jauh dan ditulis dalam bentuk skripsi mengenai : ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM MELINDUNGI TERSANGKA DAN PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA SEKSUAL STUDI TERHADAP KETENTUAN KEBEBASAN PERS.

B. Permasalahan

Untuk memperjelas dan mempermudah dalam analisa data yang diperlukan, maka dengan segala pertimbangan dan tujuan yang akan dicapai yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1) Bagaimanakah perlindungan terhadap saksi korban dikaitkan dengan pemberitaan pers yang menyangkut dirinya? 2) Dikaitkan dengan asas kebebasan pers, apa ukuran untuk mengatakan suatu berita telah melanggar prinsip kebebasan pers yang bertanggung jawab?

3) Apakah tindakan memberi ralat berita yang keliru dapat melepaskan pelaku dari ancaman hukuman ? 4) Dapatkah pelaku tindak pidana maupun korban melaporkan wartawan yang memberitakan tersebut sebagai pelaku pencemaran nama baik dikaitkan dengan asas praduga tak bersalah ?

C. Ruang Lingkup dan tujuan Penelitian. 1. Ruang Lingkup Pembahasan skripsi ini berkaitan dengan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, undang undang tentang HAM (undang undang No. 39 Tahun 1999) dan KUHPidana Selain itu untuk membatasi objek penelitian maka dalam hal ini penulis hanya akan melakukan penelitian hanya terbatas pada undang undang tersebut saja. 2. Tujuan Penelitian a. Untuk memperoleh informasi tentang ukuran kebebasan pers yang bertanggung jawab. b. Untuk memperoleh informasi tentang perlindungan terhadap saksi korban yang diberitakan oleh pers. c. Penegakan asas praduga tak bersalah.
8

D. Metodelogi.

Sesuai dengan ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini metodologi yang digunakan dalam penulisan adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat normatif, yaitu jenis penelitian yang meliputi penelitian terhadap asas asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. b. Sifat Penelitian Sifat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat eksploratoris dalam hal ini penelitian melakukan penelitian terhadap asas praduga tak bersalah, kebebasan pers dan HAM dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh keterangan, penjelasan, dan data mengenai hal-hal yang belum diketahui. Penelitian ini tidak didahului teori - teori yang sudah ada 2. Jenis dan Sumber Data a ) Jenis Data

Data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. 1) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan (library Research) b) Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam skripsi ini yaitu : 1. Data sekunder yaitu data yang bersumber atau di peroleh dari penelitian Kepustakaan ( library research ) yang berupa : a) Bahan hukum primer yaitu Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Presiden. b) Bahan hukum sekunder yaitu data yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berbentuk buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan penelitian dan berbagai makalah, hasil seminar, majalah jurnal ilmiah dan surat kabar yang berkaitan dengan penelitian. c) Bahan hukum tersier (penunjang) yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer maupun sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya. 3. Tehnik Pengumpulan Data a. Data Sekunder
10

Data sekunder, yaitu tehnik pengumpulan data yang diperoleh dari penelitian Kepustakaan (Library Research) yang relevan dengan pokok permasalahan. 3. Tehnik Analisa Data Tehnik analisa data primer dan sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian akan dianalisa secara kualitatif, penelitian ini akan menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh. Untuk selanjutnya di tarik suatu kesimpulan.

11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Pengertian HAM

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membedabedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.6) Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.

Undang Undang HAM Tahun 2009 (UU No.35 Tahun 2009) Jakarta, Tim Visimedia Pustaka Newsroom, November : 2009

6)

12

Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia : 1. Hak asasi pribadi / Personal Right : Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat. Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat. Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan. Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing. 2. Hak asasi politik / Political Right : Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan. Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan. Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya. Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right : Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns. Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

13

4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths : Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli. Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak. Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-

piutang, dll. Hak kebebasan untuk memiliki susuatu. Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights : Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan. Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum. 6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right : Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan. Hak mendapatkan pengajaran. Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat. Dalam pasal 18 Konstitusi memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak dari keluarga, masyarakat dan Negara termasuk untuk tidak mendapatkan diskriminasi dan eksploitasi. Selain itu, semua hak14

hak fundamental harus konsisten dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan kewajiban internasional Timor Leste melalui ratifikasi dan pengesahan kesepatakan-kesepakatan internasional. DUHAM menjamin peradilan yang adil (pasal 10), menjamin praduga tak bersalah (pasal 11) dan perlindungan dari intervensi sewenangwenang terhadap kerahasiaan, keluarga, dalam rumah tangga dan serangan terhadap martabat dan reputasi (pasal 12). Peliputan yang negatif dari pers yang disebabkan oleh kesalahan pengambilan, mengidentifikasi korban, dapat dianggap tidak adil karena merusak reputasinya dalam masyarakat, secara jelas telah melanggar beberapa pasal dalam DUHAM. Konvensi internasional mengenai Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Timor Leste dan mengikat kita untuk mematuhi atau melaksanakannya, meminta Negara untuk melindunggi hak-hak dari anak. Terlebih, sesuai dengan pasal 2(2) mengatur bahwa Negara harus mengambil semua tindakan yang tepat untuk melindunggi anak-anak terhadap semua bentuk diskriminasi atau penahanan yang didasarkan pada status, kegiatan, kebebasan berpendapat, atau keyakinan dari orangtua anak-anak, perwakilan hukum, atau anggota keluarga. Pasal 3 (1) mengatur bahwa semua tindakan mengenai anak, baik dilakukan oleh institusi sosial publik atau swasta, pengadilan,
15

otoritas administratif, atau badan legislasi lainnya, kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama: hal ini termasuk media, medis/professional kesehatan, pengacara, polisi dan masyarakat madani. Khususnya, kasus kekerasan seksual dalam keluarga, penerbitan gambar dari anggota keluarga dan/atau korban dan informasi yang memberi peluang untuk dapat mengidentifikasi keluarga, secara jelas melanggar konvensi ini. Kejahatan tersebut juga memiliki stigma dalam masyarakat, oleh karenanya ketika teridentifikasi, korban dapat mengurung diri untuk beberapa tahun, termasuk ketika ingin mendapatkan suami atau memutuskan membentuk keluarga di masa mendatang.

B.

Pengertian Pers dan Pengaturan Kebebasan Pers Istilah Pers berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawia berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).7) Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi
7)

http://wawan-satu.blogspot.com/2011/10/pengertian-pers.html diakses 28 Maret 2011

16

massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak. 8) Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan medium komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua, pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah daripadanya. Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga- lembaga masyarakat lainnya. 9) Pers adalah kegiatan yang berhubungan dengan media dan masyarkat luas. Kegiatan tersebut mengacu pada kegiatan jurnalistik yang

http://duniabaca.com/sejarah-pers-pengertian-pers-fungsi-dan-peranan-pers-diindonesia.html
9)

8)

Ibid

17

sifatnya mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah materi, dan menerbitkannya berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya dan valid.10) Pengertian Pers Menurut Para Ahli :

Wilbur Schramm, dkk dalam bukunya Four Theories of the Press mengemukakan 4 teori terbesar dari pers, yaitu the authoritarian, the libertarian, the social responsibility, dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat. Sementara Mc. Luhan menuliskan dalam bukunya Understanding Media terbitan tahun 1996 mengenai pers sebagai the extended of man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada momen yang bersamaan. Menurut Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono, Pers adalah yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang membakar semangat para pejuang dalam memperjuangkan hak-hak bangsa indonesia pada masa penjajahan belanda.11)

B.1

Pengaturan Hukum (Peraturan) Terhadap Kebebasan PERS 1. Sumber Hukum Fundamental Yang dimaksud dengan sumber hukum fundamental adalah kedudukan sebagai kaidah negara yang fundamental12), ketentuanketentuan hukum yang memuat materi tentang aspek-aspek mendasar
10) 11) 12)

dari suatu media yang bermuatan ideologis-politis

Ibid hal 16 Ibid Hal 16 Menurut Hans Nawiasky seorang ahli hukum berkebangsaan Jerman.

18

seperti ketentuan mengenai hak asasi manusia, hak menyatakan pendapat secara bebas, hak berkomunikasi, kebebasan berinformasi, kebebasan pers, dan sebagainya. Adapun sumber-sumber hukum fundamental tersebut adalah sebagai berikut : a. UUD 1945; b. Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; d. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; e. Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (General Declaration on Human Rights). Sumber hukum media massa yang tertinggi adalah UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945). UUD 1945 menjadi landasan hukum tertinggi media massa di Indonesia, artinya kepada UUD 1945 inilah, semua hukum yang mengatur media massa di Indonesia merujuk. Pasal 28 UUD 1945, berbunyi kemerdekaan berserikat dan berkumpul,

19

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.13) Menurut Wikrama Iryans Abidin Secara eksplisit pasal tersebut tidak menyebut tentang kemerdekaan pers, tetapi jika ditelaah proses lahirnya pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa apa yang dimaksud dengan kemerdekaan mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan adalah tercakup pengertian tentang kemerdekaan pers.14) Selanjutnya penulis ini untuk mempertegas kelemahan pasal 28 UUD 1945 tersebut yang dianggap banci tentang kemerdekaan pers, maka berdasarkan Sidang Umum MPR RI Tahun 2000 dan berdasarkan amandemen kedua, lahirlah pasal 28 f UUD 1945. Pasal ini berbunyi Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Ada beberapa frase kunci dalam pasal tersebut yang dapat ditafsirkan berarti sama dengan kemerdekaan pers, yaitu hak untuk
13) 14)

Lihat UUD 1945

Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005, hal.39 50 Lihat UUD 1945 Amandemen ke-2

20

berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan hak mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui saluran yang tersedia. Sama halnya dengan pasal 28 UUD 1945, pasal 28 f UUD 1945 yang merupakan produk hukum pada era Reformasi yang dinilai demokratis dan seharusnya mengelurkan produk hukum responsif, namun tidak menyebutkan secara eksplisit tentang pentingnya hak dan perlindungan kemerdekaan pers dijamin dan dimasukkan ke dalam pasal UUD 1945 tersebut.15) Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 sebetulnya merupakan ekspresi dari pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang berbunyi Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa ganguan, untuk mencari, menerima, menyampaikan informasi, buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Piagam Hak Asasi Manusia di atas ternyata jika dibandingkan dengan pasal 20, pasal 21, dan pasal 40 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998, terdapat kesamaan elemen : 16)

15)

Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005 hal.40

16)

Ibid, hal.53

21

a. Pasal 20 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Unsur ini mengandung kesamaan dengan elemen pertama Piagam Hak Asasi Manusia PBB yang memberikan hak berkomuniasi dan memperoleh informasi. b. Pasal 21 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi Setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Unsur ini juga terdapat dalam elemen kedua dan ketiga pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia PBB. c. Pasal 42 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi Hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi. Piagam Hak Asasi Manusia PBB merumuskan perlindungan hak berkomunikasi dan memperoleh informasi setiap orang itu dengan perumusan bebas dari segala gangguan. Jadi, walaupun rumusannya berbeda, substansinya sama, yaitu perlindungan hukum atau bebas dari gangguan berkomunikasi dan memperoleh informasi.
22

Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat sebenarnya tidak ditujukan untuk mengatur media, melainkan untuk mengatur kegiatan unjuk rasa dan perlindungan terh Undang-Undang No.9 Tahun 1998 sebenarnya lebih tepat digolongkan dalam kelompok hukum media structural, namun di sisi lain ketentuan mengenai menyampaikan pendapat di muka umum bisa pula disamakan dengan ketentuan mengenai kemerdekaan atau kebebasan menyampaikan pendapat (freedom of expression). Dengan demikian undang-undang ini secara substansial dapat dimasukkan ke dalam dasar-dasar hukum media.17)

Pencantuman deklarasi umum tentang hak asasi manusia sebagai bagian dari hukum media massa fundamental merupakan suatu hal yang penting, mengingat ketentuan itu telah menjadi milik dunia. Bangsa Indonesia sebagai warga dunia tidak terlepas dari kesepakatankesepakatan tentang Hak Asasi Manusia di dunia internasional, khususnya sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

17)

Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.156

23

2. Sumber Hukum Fungsional Dalam Banyaknya literatur disebutkan Sumber hukum fungsional adalah berlakunya peraturan perundang-undangan untuk menjadi
kepastian hukum untuk media massa yang berisi peraturan

perundang-undangan yang mengatur atau menjabarkan penggunaan atau fungsi dari hukum media fundamental. Ketentuan ini berisi tentang teknis operasional media massa, yaitu Undang-undang Pers (UU No.40 Tahun 1999). Konsiderans undang-undang tentang pers ini lahir enam bulan setelah kejatuhan Orde Baru, yang menyebutkan setidak-tidaknya latar belakang kelahirannya, yaitu :
18)

a. Kemerdekaan pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dan unsur penting dalam kehidupan demokrasi, sesuai dengan amanat pasal 28 UUD 1945; b. Kemerdekaan pers, yang merupakan perwujudan dari

kemerdekaan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan, merupakan hak asasi manusia; c. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan;

18)

Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers

24

d. Undang-Undang No.21 Tahun 1982 yang mengharuskan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), harus dicabut, karena menghambat kemerdekaan pers. Ada beberapa persamaan antara Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 dan Undang-Undang No.11 Tahun 1966. Kedua undang-undang tentang pers itu lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama memimpikan diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Tidak mengherankan, jika prinsip dasar dalam kedua undang-undang pers itu menjanjikan pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif yang sebelumnya mendera kehidupan pers.19) Misalnya, kedua produk hukum itu sama-sama mencabut ketentuan tentang : a. sensor dan pemberedelan pers; b. ketentuan tentang SIT dan SIUPP; c. perlindungan terhadap tugas jurnalistik; d. pembebasan pers dari belenggu yuridis dan politis, berdampak euforia atau pesta pora kemerdekaan pers, yang pada gilirannya
19)

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.56

25

dinilai sudah melanggar koridor hukum, etika profesi, dan membahayakan kepentingan politik penguasa. 3. Sumber Hukum Stuktural

Sumber hukum struktural adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang suatu sektor atau bidang kehidupan masyarakat tertentu yang tidak secara langsung mengatur tentang media massa, namun peraturan hukum itu secara materiil berdampak bagi kehidupan media massa, secara langsung atau tidak langsung, seperti : a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP termasuk dalam kelompok hukum struktural karena hukum ini dibuat sebenarnya untuk mengatur tentang masalah pidana pada umumnya, tidak secara spesifik mengatur tentang pidana media atau delik pers, namun karena terdapat sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan media khususnya pers, maka digolongkan dalam hukum media massa structural. Pasal 154 dan 156 KUHP dikenal sebagai pasal mengenai tindak pidana sikap permusuhan berupa pernyataan di muka

26

umum, rasa benci, merendahkan martabat pemerintah Indonesia (pasal 154 KUHP, dan telah dicabut oleh MK), terhadap golongan penduduk (pasal 156 KUHP) diberikan secara otentik (pasal 156 ayat 2 KUHP). Adapun bunyi pasal 156 yang sering disebut pasal sara itu adalah Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal berikutnya berarti, tiap-tiap bagian rakyat Indonesia, yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena rasnya, negara asalnya, bangsanya atau

kedudukannya menurut hukum tata negara. 20) Pasal-pasal sikap permusuhan ini, diadopsi dari British Indian Penal Code. Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1946, ketentuan haatzaai-artikelen itu berlaku di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya KUHP. Belanda sendiri telah menghapus pasal-pasal ini dari KUHP-nya lebih dari 50 tahun silam

http://www.suarapembaruan.com/News/2011/10/23/Editor/edit02.html, diakses pada hari Kamis, 23 Oktober 2011, pukul 14.35 WIB

20)

27

sebagai pengejawantahan kritik para pakar hukum pidana di sana, antara lain JM van Bemellen. Menurutnya, pasal-pasal tersebut tidak sesuai di era kemerdekaan dan merintangi demokrasi dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat dan berbicara. Dunia pers juga dihadapkan pada ketentuan-ketentuan delik pers dalam KUHP, terutama delik penghinaan atau penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang. Delik penghinaan ini kemudian dirumuskan secara khusus berupa pencemaran (pasal 310 ayat (1) KUHP); pencemaran tertulis (pasal 310 ayat (2) KUHP), fitnah (pasal 311 KUHP), penghinaan ringan (pasal 315 KUHP, pengaduan fitnah (pasal 317 KUHP, persangkaan palsu (pasal 318 KUHP) dan penghinaan terhadap orang mati (pasal 320-321 KUHP). b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai media massa. Pasal-pasal dalam KUHPerdata biasanya menyangkut ganti rugi dan pernyataan maaf yang harus dilakukan oleh media

28

massa. Ganti rugi tersebut misalnya dijelaskan dalam pasal 1365 dan 1372 KUH Perdata.21) Pasal 1365 berbunyi: Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal 1372 KUH Perdata mengatur Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Pada Era Reformasi era politik di bawah kepemimpinan Soeharto itu disebut sebagai konfigurasi atau sistem politik Orde Baru. Pergeseran konfigurasi politik Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno ke konfigurasi politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah mengubah dengan cepat berbagai politik hukum di Indonesia. Salah satunya adalah dalam bidang pers misalnya, lahir produk hukum responsif, yaitu Tap MPRS No.XXXII/1966 dan UU No.11 Tahun 1966 yang mencabut segala bentuk ketentuan hukum yang pada periode Orde Lama dianggap sebagai faktor penghambat praktik
Prija Djatmika, Strategi Sukses Berhubungan dengan Pers dan Aspek-aspek hukumnya, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hal.84
21)

29

kemerdekaan pers. Perubahan politik hukum di era Orde Baru ini tentu ada kaitannya dengan perubahan titik tolak atau paradigma politik dari yang bersifat otoritarian ke arah yang lebih demokratis. Pers mengalami kebangkitan baik dari segi jumlah maupun dari segi isi media. Kritik yang tajam, berita yang panas mewarnai media cetak Indonesia pada tahun 1966-1974. Dari segi jumlah ada peningkatan yang signifikan sejak tahun 1966, namun setahun kemudian kondisinya sudah berubah. Salah satu penyebab utama dari menurunnya produktivitas media di Indonesia pada saat itu adalah situasi ekonomi yang memburuk akibat terkena inflasi yang tinggi, namun di antara media yang bertahan tetap menyuarakan pendanganpandangan yang sangat kritis kepada pemerintah. Lebih dari 10 tahun Undang-Undang Pokok Pers itu kemudian diubah dengan UndangUndang No.21 Tahun 1982. Perubahan itu antara lain adalah pada ketentuan tentang perizinan di mana Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit dihapuskan. Akan tetapi kemudian muncul aturan baru yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Alasannya adalah karena di dalam pengelolaan pers diharuskan para pelaku pers yang mengelola pers sebagai sebuah industri memposisikannya sebagai sebuah institusi

30

masyarakat yang bersifat profesional, yang diwujudkan dengan adanya SIUPP. Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang No.21 Tahun 1982 berbunyi bahwa penerbitan pers yang diselengarakan oleh perusahaan pers harus memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Persoalannya menjadi lebih rumit dengan keluarnya Peraturan Menteri Penerangan No.01 Tahun 1984. Dengan peraturan itu Menteri berhak membatalkan SIUPP. Secara teoritis pembatalan SIUPP tidak berkaitan dengan kebijakan redaksional. Masalahnya, pembatalan SIUPP tersebut sama bentuk dan sama akibatnya dengan pemberedelan. Meskipun

Permenpen ini dinggap bertentangan dengan Undang-Undang Pers, namun ketentuan ini tetap berlaku hingga jatuhnya Orde Baru tahun 1998. Berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 telah membawa bangsa Indonesia kepada pusaran tuntutan perubahan yang fundamental dalam segenap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan reformasi hukum merupakan salah satu yang berembus demikian kuat sejak Mei 1998. Begitu pula halnya dalam bidang politik hukum, termasuk dalam bidang kemerdekaan pers.

31

Gejala tuntutan pembaruan politik hukum kemerdekaan pers pada era reformasi ini, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan gejala awal kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, pada waktu berlaku UUDS 1950, serta awal berdirinya Orde Baru. Dengan kata lain, ada kesamaan semangat mereformasi hukum tentang kemerdekaan pers pada situasi tertentu, khususnya pada masa awal transisi suatu konfigurasi politik di Indonesia. Kesamaan itu antara lain terletak dalam hal : a. keinginan untuk menghapus dan mengganti segala produk hukum pers represif ke arah produk hukum responsif; b. mengelu-elukan kemerdekaan pers sebagai pilar demokrasi; c. sistem pers yang berlaku cenderung liberal; d. sistem politik yang berlaku cenderung demokratis. Gambaran paradigma kehidupan pers pada masa Orde Baru pun berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Muncul reformasi yang membawa akibat pada berubahnya hampir semua tatanan pada sektor publik. Reformasi dimaksud secara mendasar berkenaan filosofi kebebasan pers yang mengedepan berupa tuntutan untuk kebebasan pers

32

yang sebelumnya dipasung oleh pemerintah. Tuntutan ini melahirkan Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers.

B.2

Mekanisme Pemberitaan Pers yang Sesuai Dengan Prinsip Keadilan dan Penghormatan terhadap HAM

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, terutama Amandemen Kedua yang disahkan tanggal 18 Agustus 2000 oleh Sidang Tahunan MPR-RI mengandung arti yang sangat penting dan strategis bagi peningkatan efektivitas peran pers dalam menunjang dan pemajuan serta perlindungan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Seperti diketahui, sebelum amandemen dilakukan, UUD 1945 tidak secara rinci memuat tentang HAM bahkan boleh dibilang sangat sumir. Akan tetapi dengan ditetapkannya secara lebih rinci prinsip-prinsip HAM dalam UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR 2000 akan sangat membantu pers dalam melakukan pengawasan serta penegakan, termasuk pencegahan

pelanggaran HAM.22) Konstitusi kita kini mengatur prinsip-prinsip HAM dalam Bab tersendiri sebagai akibat Amandemen Kedua UUD 1945 tersebut. Ada
R.H.Siregar, Efektivitas Peran Pers dalam Menunjang Perlindungan dan Pemajuan HAM,http://www.google.co.id/search?q=efektivitas+peran+pers+dalam+menunjang+ham&btnG=Telu suri&hl=id&sa=2, diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 17.15 WIB
22)

33

sebanyak 10 pasal mengatur mengenai masalah HAM dengan 24 ayat. Dalam ke 10 pasal itu (Pasal 28A hingga Pasal 28J) diatur secara rinci dan jelas prinsip-prinsip HAM. Rumusan pasal-pasalnya begitu jelas dan tuntas sedemikian rupa sehingga diharapkan dapat meminimalisasi multiinterpretasi. Rumusan yang lebih rinci dan jelas mengenai HAM seperti itu, tentunya akan sangat membantu peran pers dalam menunjang pemajuan dan perlindungan HAM, sebab dengan rumusan yang lebih rinci dan jelas seperti itu, pers dengan mudah dapat mengenali mana tindakan serta kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai HAM dan mana tindakan serta kebijakan yang tidak menunjang dan menghormati HAM dan oleh karena itu harus dikritisi serta dikoreksi pers. Rumusan HAM yang lebih rinci dan jelas tersebut, maka diharapkan peran pers untuk menunjang pemajuan dan perlindungan HAM akan lebih efektif. Sekaligus dengan rumusan HAM yang lebih rinci, jelas dan lengkap seperti itu akan sangat membantu peran pers dalam melakukan sosialisasi secara lebih luas kepada masyarakat mengenai nilai-nilai HAM. Tidak hanya itu, juga secara preventif lebih mampu mengefektifkan peran pers mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Pada sisi lain fungsi kontrol pers dalam menegakkan hukum
34

atas pelanggaran HAM dapat berjalan lebih baik. Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers juga telah memposisikan peran pers secara lebih baik dalam menegakkan HAM. Undang-Undang Pers itu dengan tegas mengatakan bahwa, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kemudian untuk menjamin kemerdekaan pers tersebut, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara yang bukan semata-mata monopoli dan milik orang pers. Kemerdekaan pers adalah milik masyarakat berdaulat yang dalam pelaksanaannya diperankan oleh Perusahaan Pers dan Wartawan. Apakah yang dimaksud dengan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara ? Undang-Undang Pers memberikan jawaban yang sangat tegas. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara mengandung arti bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan Pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh

35

pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers. Undang-Undang Pers menyatakan bahwa dalam upaya

mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen, yang tujannya adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas Pers Nasional. 94 Oleh karena itu Undang-Undang Pers memberikan 7 fungsi sekaligus kepada Dewan Pers. Pertama, melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Kedua, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers. Ketiga, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Keempat, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat ini adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Kelima, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah. Keenam, memfasilitasi organisasi-organsasi pers dalam menyusun peraturanperaturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi

kewartawanan. Ketuju, mendata Perusahaan Pers.


36

Selain itu Undang-Undang Pers menegaskan pula bahwa pers harus selalu berkomitmen pada pelaksanaan lima fungsi yang utuh, yaitu : 1. fungsi sebagai media informasi 2. fungsi sebagai media pendidikan 3. fungsi sebagai media hiburan 4. fungsi sebagai media kontrol sosial 5. fungsi sebagai lembaga ekonomi Kemerdekaan pers sehubungan dengan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat haruslah diimbangi dengan eksistensi hak untuk berbeda pendapat.

Hal ini sejalan dengan semakin transparansinya era keterbukaan, kian deras pula tuntutan untuk pemenuhan hak asasi baik yang bersifat individual maupun hak yang bersifat sosial. Di antara hak sosial yang bersifat asasi itu adalah hak untuk berbeda pendapat. Hak untuk berbeda pendapat termasuk hak yang amat penting. Oleh karena itu dibutuhkan adanya legalitas dalam bentuk peraturan yang secara eksplisit juga merefleksikan hak ini. Secara sederhana, pengakuan adanya hak untuk berbeda pendapat ini mengharuskan pihak pemegang kekuasaan
37

khususnya untuk membuka diri dan siap menerima berbagai masukan, konkretnya adalah kritik dari pihak lain. Hendaknya kritik yang disampaikan tidak diartikan sebagai upaya perorangan terhadap kewibawaan dan kemapanan. Memang ada kecerendungan untuk tidak bersikap represif terhadap berbagai kritik yang dilontarkan. Hal ini kiranya dapat dijadikan sebagai momentum yang dipertahankan dengan catatan bahwa hendaknya dilakukan dengan rasa tanggung jawab. Untuk itulah, pada era demokrasi dan demokratisasi yang menuntut lebih banyak keterbukaan, kritik, sumbang saran atau apa pun namanya amat diperlukan sebagai refleksi dari hak untuk berbeda pendapat ini, dan juga bukan sesuatu yang dianggap memusuhi. Pers adalah wadah perbedaan pendapat secara tertulis. Meski Indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen hukum yang menjamin kemerdekaan pers, namun ancaman terhadap

kemerdekaan pers tidak serta merta lenyap. Ancaman tersebut bisa berasal dari pemerintahan yang korup maupun dari masyarakat yang tak paham peran pers. Yang juga harus dicermati, beragam ancaman itu justru dilakukan melalui mekanisme hukum yang sah, seperti lewat proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat atau melalui pengadilan.

38

Di sisi lain, Mekanisme non hukum dan upaya pembungkaman pers lewat kekerasan terus terjadi. Tuntutan dan gugatan hukum terhadap jurnalis dan media pada umumnya dilakukan dengan menggunakan ketentuan tentang pencemaran nama baik, menggunakan KUHPidana ataupun KUHPerdata.23) Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia penerapan dan penggunaan ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam KUHP mempunyai potensi yang tinggi untuk digunakan secara berlebihan dan ini malah akan menghambat demokrasi, kebebasan berekspresi, kemerdekaan pers, dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik. Penggunaan ketentuan pencemaran nama baik terutama berkaitan dengan pekerjaan jurnalistik akan menimbulkan bahaya ketidakpastian hukum karena berpotensi tinggi akan memidanakan jurnalis karena pencemaran nama baik. Ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP bisa sangat tidak obyektif karena tergantung tafsir yang sepihak dan bisa jadi tidak berdasar. Tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara
http://anggara.org/2011/11/20/ kemerdekaan-pers-dan-pencemaran-nama-baik-catatandalam-kasus-risang-bima-wijaya/, diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010 pukul 16.00 WIB
23)

baik

39

berdasarkan hukum. Karena itu tindakan penghukuman dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah membahayakan pers bebas oleh karena itu tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Pers harus didahulukan dari pada ketentuan hukum yang lain.

C.

Sosok Pers yang Profesional, Bebas, dan Bertanggung Jawab Ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers Ada dua prinsip yang mendasar menurut filsafat jurnalistik, yaitu publik harus diberikan apa yang mereka inginkan, dan publik juga harus diberikan informasi yang mengandung kebenaran karena hal itu memang dibutuhkan oleh publik. Oleh karena itu, jurnalistik memerlukan jaminan kebebasan. Ketika jurnalistik memperoleh jaminan kebebasan terbukalah jalan yang lapang untuk melaksanakan sejumlah tugasnya.24) Tugas pertama jurnalistik (pers) adalah untuk menerima keterangan-keterangan yang sifatnya paling lekas dan yang paling tepat tentang kejadian-kejadian pada waktu tertentu, dan kemudian dengan

24)

A.Muis, Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa, PT.Dharu Anuttama, Jakarta, 1999,

hal.30

40

segera pula memberitakannya guna menjadikan peristiwa-peristiwa itu sebagai milik bangsa di mana pers itu berada. Pers juga harus bersifat akurat. Upaya untuk bertindak akurat dan adil adalah tolak ukur untuk memahami watak jurnalistik yang baik. Kewajiban selanjutnya adalah pers harus berkata benar. Watak yang baik tidaklah mudah diperoleh atau dipertahankan tanpa perjuangan. Jurnalistik adalah sebuah bisnis atau usaha yang selalu mengalami perubahan dalam berhubungan dengan publik. Mudahnya terjadi pergeseran demikian adalah masalah yang menuntut keputusan yang cepat dari jurnalistik. Seterusnya, pers harus bertanggung jawab kepada publik, sebab pers adalah lembaga publik. Pers harus memikul kewajiban terhadap masyarakat yang dilayaninya dan yang juga mendukung keberadaannya. Pers harus mengindahkan kesopanan. Tidak hanya sopan mengenai bahasa dan gambar yang digunakan karena hukum menghendaki demikian, melainkan juga cara

memperoleh berita. Wartawan yang lebih baik ialah yang mengenakan ketentuan pada tugasnya seperti juga mengenakan pada diri sendiri sensor untuk mempertahankan cita rasa yang baik dengan publiknya. Wartawan adalah sebuah profesi, dengan kata lain wartawan adalah seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara.
41

Produk pers berupa informasi itu pada hakekatnya merupakan penggambaran perilaku dari karyawan pers. Semua perilaku tersebut tunduk kepada tatanan yang mengaturnya baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tatanan internal berupa etika dalam hal ini sebagaimana yang dituangkan dalam kesepakatan para wartawan Indonesia, yang diwadahi dalam Kode Etik Jurnalistik. Sementara yang bersifat eksternal adalah berupa peraturan perundang-undangan dan tekanan sosial. Kinerja para wartawan itu, secara universal menurut pada suara nuraninya yang secara mikro berpihak pada kebenaran dan kejujuran. Apa yang dilihatnya sebagai fakta, seharusnya itu pula yang digarap dan dijadikan sebagai bahan informasi, namun pada kenyataannya tidak demikian. Ada konflik yang dihadapi oleh para wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Suara universal yang bersifat mikro itu berhadapan dengan kenyataan makro dalam masyarakat yang mengaharuskan terjadinya interaksi. Akibatnya, apa yang seharusnya menjadi idealisme yang muncul dari pilihan etis personal itu menjadi tidak mungkin lapangan. Hal ini menyebabkan munculnya permasalahan dalam interaksi antara pers dengan masyarakat dan atau antara pers dengan pemerintah.
42

dilaksanakan secara keseluruhan ketika berada di

Hal ini mengharuskan adanya tanggung jawab dari pers yang bersangkutan sehingga interaksi dapat terus berlanjut dinamis. Pers menghormati hak asasi setiap orang dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya. Pers wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Artinya dalam menyiarkan informasi, tidak boleh menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.25) Penilaian tentang ada tidaknya dugaan adanya itikat buruk dalam pemberitaan dan juga ada tidaknya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik hanya dapat dinilai melalui organisasi profesi jurnalis dan/atau Dewan Pers. Penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi merupakan prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan melanggar hukum, dan ditambahkan lagi bahwa instrumen hak jawab

http://anggara.org/2011/10/20/ kemerdekaan-pers-dan-pencemaran-nama-baik catatandalam-kasus-risang-bima-wijaya/, diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010 pukul 16.00 WIB

25)

43

merupakan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru. Pers juga dituntut untuk bersikap profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Pers yang profesional mengarah kepada patuh dan setia kepada penghormatan prinsip-prinsip etika jurnalistik, serta meningkatkan pengetahuan, kejujuran dan kesatriaannya untuk senantiasa patuh dan menjunjung tinggi etika jurnalistiknya itu. Terbuka dikontrol oleh masyarakat adalah soal bagaimana kejujuran dan kesatriaan pers mengakui kesalahan untuk selalu terbuka disanggah, ditanggapi dan atau dikoreksi bila terdapat kesalahan atas

pemberitaannya yang juga diamanatkan oleh etika jurnalistiknya. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme penggunaan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi serta kejujuran melakukan Kewajiban Koreksi. Mekanisme kontrol ini dapat disampaikan kepada Redaksi dan dapat pula disampaikan melalui Dewan Pers, sedangkan peran media watch lebih kepada fungsi literasi. Atas dasar fungsi, kewajiban dan peran yang sangat besar itu, maka Undang-Undang Pers menjelaskan secara rinci bagaimana melakukan kontrol terhadap pers, sebab jika tidak dilakukan kontrol, maka pers itu dengan leluasa akan menjadi anarkis. Kekuasaan memang
44

cenderung disalahgunakan, karena itu, sekali lagi diperlukan kontrol dari masyarakat, termasuk kontrol dari dalam hati nurani wartawan itu sendiri. Tiga cara mengontrol kinerja pers di atas merupakan mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers yang dikenal oleh Undang-Undang Pers. Cara yang pertama dilakukan oleh pembaca yang merasa dirugikan nama baiknya dengan menggunakan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi secara langsung ke redaksi. Beberapa perusahaan pers mewujudkan cara yang pertama ini dengan mengangkat dan menunjuk Ombudsman sebagai sarana melayani dan memenuhi Hak Jawab dan atau Hak Koreksi itu. Jawa Pos memilih cara ini untuk mewujudkan profesionalisme dan melayani kontrol yang dilakukan masyarakat atas pemberitaan, sehingga ketidakjujuran dan ketidaksatriaan redaksi dapat diatasi dengan baik. Mekanisme ini dapat disebut sebagai mekanisme Ombudsman Internal, untuk membedakan mekanisme yang digunakan Dewan Pers yang dapat disebut sebagai Ombudsman Eksternal. Cara yang kedua, yang biasa dikenal sebagai fungsi pemantauan atau media watch. Biasanya ada sekelompok masyarakat yang peduli tentang kinerja pers kemudian melakukan pemantauan atas

pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Hasilnya dituliskan


45

ulang dan diberitakan kembali bahkan tak jarang diumumkan secara terbuka dengan memberikan penilaian atas peringkat tertinggi sampai terendah atas isi berita yang diduga melakukan pelanggaran atas kode etik dan ketentuan hukum yang berlaku. Fungsi ini lebih bersifat fungsi literasi.26) Cara yang ketiga, adalah dengan cara yang diperankan oleh Dewan Pers dengan segala bentuk dan cara. Cara ini dapat dikategorikan sebagai Ombudsman Eksternal. Sesuai dengn amanah Undang-Undang Pers, Dewan Pers mempunyai fungsi antara lain memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan pelanggaran.27) Hubungan antara pers dan masyarakat itu, idealnya sejajar. Pers merupakan refleksi dari hak untuk mengeluarkan pendapat, sedangkan masyarakat merupakan refleksi dari hak untuk memperoleh informasi. Selama ini yang terjadi adalah mengemukanya hubungan subordinat antara pers dan masyarakat. Akibat ketidaksejajaran hubungan ini muncul mekanisme yang timpang, yang beranjak pada asumsi
26) 27)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18005/3/Chapter%20II.pdf ibid 23

46

munculnya sesuatu yang tak benar ketika terjadi interaksi antara pers dan masyarakat. Intinya, masyarakat dalam kedudukannya sebagai penerima informasi maupun subjek yang menjadi bahan informasi merasa adanya ketidak benaran dalam sajian pers.28) Selain itu, sesuai dengan asas profesionalisme,

pertanggungjawaban itu dikaitkan dengan kondisi objektif penerbitan pers yang merupakan kumpulan para profesional. Tanggung jawab harusnya dipikul oleh subjek yang memang berbuat, sesuai dengan deskripsi 'politik keredaksian' yang dijadikan dasar oleh lembaga pers. Dengan demikian, akan sesuai dengan asas dalam hukum pidana, siapa yang berbuat ia harus bertanggung jawab.29) Pers sebagai institusi sosial, semestinya menyuarakan kebenaran di masyarakat, tidak semata-mata demi kebenaran, tetapi terkandung misi untuk menenteramkan dan mendamaikan masyarakat. Kalau tidak, ada kewajiban moral untuk tidak menyajikan kepada masyarakat, kendati pun secara ekonomis menguntungkan. Manakala kinerja para pekerja pers sampai tahap demikian, akan terwujud pola interaksi harmonis antara pers dan masyarakat. 30)

28) 29) 30)

Ibid 23 Ibid 23 Ibid 23

47

BAB III ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM MELINDUNGI TERSANGKA DAN PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA SEKSUAL STUDI TERHADAP KETENTUAN KEBEBASAN PERS

A.

Perlindungan terhadap korban dalam pemberitaan dugaan pelecehan seksual

kaitannya

dengan

Komnas Perempuan adalah Mekanisme Nasional Hak Asasi Manusia, khususnya perempuan. Salah satu mandat dari Komnas Perempuan adalah menyebarluaskan pemahaman tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pencegahannya.31) Dalam rangka menyebarluaskan pemahaman tersebut, Komnas Perempuan memanfaatkan keberadaan media massa yang memiliki jangkauan luas dan pembentuk opini publik. Oleh karena itu, pemberitaan tentang kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual oleh media massa diharapkan mampu menghadirkan pemahaman yang baik bagi pembaca; tidak mengungkap identitas yang memungkinkan korban mudah diakses pihak lain; tidak menyalahkan korban, tidak

menstigmatisasi dan menghakimi korban. Dengan demikian media akan

www.komnasperempuan.or.id/.../Kajian-Media-Komnas-Perempuan-Hak-Perempuankorban-Kekerasan-Seksual.pdf diakses tanggal 14 Nopember 2011

31)

48

mampu menciptkan kondisi yang memudahkan korban kekerasan seksual untuk mengakses haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Komnas Perempuan melakukan analisa media terhadap delapan media cetak yakni Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Pos Kota, Republika, Seputar Indonesia, The Jakarta Globe dan The Jakarta Post. Analisa dilakukan terhadap pemberitaan tahun 2010. Khusus untuk Koran The Jakarta Globe analisa dilakukan sejak April-Desember 2010. Ada 1278 berita yang memenuhi pemberitaan di delapan koran tersebut selama tahun 2010. Koran Kompas memuat 286 berita atau 28% dari total seluruh pemberitaan. Selanjutnya secara berturut adalah Koran Tempo (194 berita), Pos Kota (170), Seputar Indonesia (163), Media Indonesia (161), Republika (149), The Jakarta Post (101) dan The Jakarta Globe (54). 32) Dalam melakukan analisa media tersebut, pemberitaan dibagi dalam lima kategori besar, yaitu kekerasan terhadap perempuan, agency perempuan, diskriminasi dan pelanggaran lainnya, upaya serta HAM umum. Kelompok kekerasan terhadap perempuan memuat berita

Rumusan dirangkum dari penafsiran Pengadilan Kriminal Internasional tentang kekerasan seksual yang dikutip dalam tulisan Patriacia Viseur Seller. The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of Interpretation. Diunduh pada 20 Agustus 2011.

32)

49

terbanyak yaitu 528 berita dari total 1278 pemberitaan. Selanjutnya adalah diskriminasi dan pelanggaran lainnya (269 berita), upaya (240 berita), agency perempuan (128 berita) serta HAM umum (113 berita).33) Dari sisi rubrikasi, dari 1278 berita, lebih dari 50 persen atau 725 berita berada di rubric sekunder. Sisanya 43 persen atau 527 dimuat di rubrik primer. Kurang dari 2 persen yaitu 21 berita yang dimuat dirubrik khusus perempuan, dan sisanya yaitu 5 berita ada di rubric tambahan. Sementara itu pesebaran berita lebih banyak dimuat pada bulan dimana terdapat peristiwa penting sejarah terkait perempuan ataupun ketika ada isu yang menguat. Misalnya pada bulan Mei jumlah pemberitaan paling banyak yaitu 212 berita meliputi berita tentang peringatan 12 tahun Reformasi dan Tragedi Mei 1998, hari Buruh dan hari Pendidikan Nasional, juga tentang perkosaan anak di Bali. Bulan Juni juga banyak berita seputar isu pornografi, khususnya kasus yang melibatkan artis yang dituduh membuat materi pornografi yaitu 104 dari 168 pemberitaan. Analisa media ini menitikberatkan pada pemberitaan tentang kekerasan seksual. Dari jumlah 528 berita tentang kekerasan, hampir berita adalah tentang kekerasan seksual (375 berita). Sama halnya dengan temuan khusus, pemberitaan tentang kekerasan seksual juga lebih banyak
33)

Ibid 31

50

dimuat di rubrik sekunder (241 berita), primer (123 berita), khusus perempuan (9 berita) dan tambahan (2 berita). Empat berita teratas adalah tentang control 3 seksual (144 berita), kriminalisasi perempuan (58 berita), perkosaan (49 berita) dan 32 berita tentang pelecehan seksual.34) Pemberitaan media pada berita yang bersifat umum (di luar berita kekerasan seksual) secara umum sudah baik. Hasil analisa menunjukkan 83 persen media telah memenuhi etika jurnalistik dalam pemberitaannya dalam hal tidak mengungkap identitas korban, tidak mengungkap identitas pelaku anak, tidak memuat informasi cabul dan sadis. Namun demikian dalam hal pemberitaan yang memenuhi hak korban dan etika jurnalistik, media mengalami penurunan sebanyak 14 persen atau tinggal 69 persen saja. Pemenuhan etika dan hak korban yang dimaksud adalah tidak menstigma, menghakimi, melakukan stereotipi dan tidak

menggunakan diksi yang bias, selain tidak melakulan hal-hal yang melanggar etika seperti telah disebutkan di atas. Media kembali mengalami penurunan hingga berkisar 50 persen saja dalam hal pemenuhan etika jurnalistik dan hak korban ketika memberitakan berita seputar kekerasan seksual. Penurunan drastis ini dipicu oleh banyaknya berita tentang artis yang dituduh membuat materi
34)

Ibid 31

51

pornografi. Meskipun artis tersebut telah dikenal luas oleh masyarakat, namun pengungkapan identitas tetap tidak dibenarkan. Selain itu penggunaan diksi yang bias dan tidak tepat (114 berita) seperti menggahi, mencabuli, merenggut keperawanan untuk menyebut peristiwa perkosaan juga memenuhi sebagian berita tentang kekerasan seksual. Dalam pemberitaan seputar kontrol seksual dan kebijakan diskriminatif, media belum mengambil fungsinya memberikan

pendidikan publik kepada masyarakat. Hampir semua berita tentang isu tersebut adalah soal debat pro-kontra, tidak memberikan perspektif korban. Pada isu pornografi media juga cenderung menempatkanknya sebagai isu moralitas bukan isu kekerasan seksual yang justru menempatkan perempuan sebagai komoditi. Atas dasar temuan di atas, Komnas Perempuan mengajukan 5 rekomendasi sebagai berikut:35) 1. Kepada semua media untuk menambah frekuensi, variasi dan menempatkan isu perempuan dalam rubrikasi utama. 2. Kepada semua media untuk mempertahankan dan memperbanyak berita yang merawat ingatan publik pada kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa bersejarah Indonesia.
35)

Ibid 31

52

3. Kepada semua media dan organisasi hak asasi manusi, khususnya organisasi perempuan, untuk memperkuat kapasitas jurnalis dalam meliput isu perempuan khususnya isu perempuan yang kompleks, kapasitas tentang hak-hak korban. 4. Kepada media, pemerintah dan organisasi hak asasi manusia, khusunya organisasi pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan untuk mendiskusikan dan menyusun pedoman pelaksanaan kerja media yang memenuhi asas praduga tidak bersalah dan hak-hak korban dalam kasus-kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan, terutama yang melibatkan figur publik. 5. Kepada media, pemerintah dan organisasi hak asasi manusia, khususnya organisasi pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan untuk mendukung organisasi jurnalis terus melakukan pemantauan penerapan kode etik yang mengintegrasikan pemenuhan hak korban.

Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakkan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menujukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam

53

Pancasila,

sebagai

falsafah

hidup

bangsa

Indonesia,

masalah

perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.36) Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan hak asasi dalam penegakan hukum pidana adalah berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap korban tindak kejahatan. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, karena tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga korban kejahatan. Dalam setiap penanganan perkara pidana aparat penegak hukum (polisi, jaksa) seringkali diperhadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban
36)

yang harus dilindungi untuk memulihkan

Ibid 31

54

penderitaannya karena telah menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik, maupun material), dan kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun dia bersalah tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar.Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Maka dari itu pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah).37)

B.

Ukuran untuk menentukan pelaksanaan prinsip kebebasan pers yang bertanggung jawab yang sesuai dengan asas kebebasan pers.

Kebebasan pers adalah kebebasan menyiarkan atau tidak menyiarkan berita. Pers merdeka tidak boleh sekali-kali dilarang (dibatasi) atau disuruh menyiarkan berita. Walaupun demikian, tidak berarti kemerdekaan pers absolut tanpa adanya rambu-rambu pembatasan. Paling tidak, secara alamiah-seperti dikatakan john locke- kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kalau ditilik secara normatif, kebebasan pers dibatasi oleh :38)

37) 38)

Ibid 31. Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005,

hal.39

55

Pertama : pembatasan dalam hubungan yang bersifat individual. Pers harus tunduk dan menghormati hak hak pribadi (privacy) setiap orang. Pers dilarang memasuki suatu tempat atau kehidupan pribadi sebagai hak untuk bersendiri ( the right to let to be alone ). Pers dilarang untuk mempermalukan seseorang dihadapan publik, misalnya menyiarkan masa lalu yang (dianggap) mempermalukan. Pers dilarang menyiarkan sesuatu yang ( dirasakan ) tidak benar mengenai seseorang . secara hukum, larangan larangan atau pelanggaran-pelanggaran diatas dalam kelompok yang disebut termasuk

the right of privacy. International

Covenant on Civil and Political Right (UN, 1966), Pasal 17 Ayat (2) menyebutkan : No one shall be subjected to arbitrary on unlawful interference with his privacy... (tidak seseorang pun dapat diperlakukan secara sewenang-wenang atau tindakan yang melawan hukum atas hak privasinya

Kedua : pembatasan dalam hubungan dengan kepentingan komunal (community). Pers tidak dibenarkan menyiarkan berita yang diperkirakan akan menimbulkan reaksi umum karena misalnya- bertentangan dengan nilai nilai yang hidup dan dijunjung tinggi suatu komunitas, bertentangan dengan kesusilaan dan agama, memberikan gambaran buruk

56

terhadap suatu komunitas, berita yang akan menimbulkan kebencian umum terhadap suatu komunitas, atau berita yang akan menimbulkan permusuhan sosial. Secara substantif, materi berita yang digambarkan diatas, bukan sesuatu yang dilarang, tetapi harus dikemas agar tidak diterjemahkan menjadi sesuatu yang (dapat) menimbulkan akibat-akibat yang merugikan kepentingan atau ketertiban, atau keamanan. Ketiga : pembatasan dalam hubungan dengan penyelenggara tugas Negara seperti yang berkaitan dengan rahasia Negara, keamanan Negara, pertahanan Negara, kepentingan hubungan antara Negara dengan Negara, dan lain lain. Persoalan yang senantiasa dihadapi adalah, bagaimana cara agar pembatasan yang dibenarkan (justified limination) tidak menjadi pembenaran mencederai kebebasan pers, baik secara preventif atau repsesif. Harus ada balancing antara kebebasan dan pembatasan. Harus diakui atau diterima, berbagai bentuk pembatasan (seperti control), merupakan harga yang harus dibayar suatu kebebasan. Dalam sistem demokrasi dan Negara berdasarkan hukum, ada sejumlah prinsip yang harus hadir agar suatu pembatasan tidak menjadi pembenaran berlaku sewenang-wenang.

57

Untuk

menentukan,

apakah

pembatasan-pembatasan

sudah

dilanggar atau dilampaui (baik oleh pers terhadap yang berkepentingan, maupun oleh yang berkepantingan terhadap pers), wajib dilakukan oleh yang tidak berkepentingan (badan netral). Dalam proses modern dilakukan oleh hakim (pengadilan). Pembatasan pers untuk menyiarkan suatu berita hanya dapat dilakukan oleh (melalui) hakim (pengadilan). Diluar itu adalah perbuatan sewenang-wenang (arbitrary). Di Indonesia, kita memiliki Dewan Pers yang dibentuk atas perintah undang-undang. Dalam praktik Dewan Pers berwenang menentukan apakah telah terjadi pelanggaran atas pembatasan-pembatasan. Tetapi DP bukan badan netral penegak hukum, melainkan badan netral penegak atau penjaga etik. (dhi.Kode Etik Jurnalistik, sebagai Kode Etik Pers Indonesia). Sebagai putusan etik tingkat kekuatan ditentukan sepenuhnya oleh pers yang bersangkutan. Pers yang baik akan senantiasa menjunjung tinggi etiknya sendiri. Pers yang membangkang terhadap putusan DP menghadapi resiko menuju proses hukum dan dapat kehilangan kepercayaan publik (sebagai almamater).39)

R.H. Siregar, Beberapa Catatan Kode Etik Jurnalistik Pwi Dan Azas Praduga Tak Bersalah, makalah yang diajukan pada Diskusi Azas Praduga Tak Bersalah dan Trial By The Press,di Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta tanggal 25 Maret 2009.

39)

58

Secara definisi, asas praduga tidak bersalah adalah hak setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak atau perbuatan pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai terbukti yang didapati dalam persidangan pengadilan yang netral (tidak berpihak) dan terbuka untuk umum dengan hak menyampaikan pembelaan diri dengan bebas, layak dan cukup. Pembelaan dilakukan sendiri atau melalui advokat. Bahkan untuk pidana tertentu wajib didampingi advokat. Pengertian putusan pengadilan adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde, final judgement). 40) Hak atas praduga tidak bersalah, menimbulkan kewajiban bagi pihak lain. Kewajiban tersebut tidak hanya pada penegak hukum tetapi berlaku pada setiap orang, termasuk pers. Pers dilarang memberitakan seseorang yang disangka atau didakwa (seolah-olah) telah bersalah sebelum ada putusan pengadilan. Kewajiban ini berlaku juga pada badan badan atau perorangan yang memerhatikan suatu peristiwa pidana. Aspek lain yang perlu dicatat. Apakah praduga tidak bersalah juga bermakna, termasuk upaya mencegah proses peradilan karena anggapan atau keyakinan tersangka atau terdakwa tidak bersalah ? meskipun ada asas praduga tak bersalah, sangatlah terlarang mencegah agar seorang
40)

Ibid 30.

59

yang sudah menjadi tersangka apalagi terdakwa agar tidak diadili. Perbuatan semacam ini tergolong contempt of court atau sebagai bentuk obstruction of justice (menghalangi peradilan). Dalam asas praduga tidak bersalah, hanya hakim (hakim adalah satu satunya) yang dapat menyatakan seseorang telah atau tidak melakukan suatu tindakan (perbuatan) pidana. Kalau ada perkiraan hakim tidak mungkin menerapkan hukum dengan benar dan adil, itulah yang harus dibenahi dan diawasi, bukan dengan meniadakan peradilan. Dengan demikian, ada dua aspek dalam asas praduga tidak bersalah. Setiap orang atau badan termasuk pers dilarang beranggapan seseorang telah bersalah atau tidak bersalah sebelum ada putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Aspek lain, praduga tidak bersalah, tidak membenarkan upaya menghalangi proses peradilan, seperti dalam kasus Bibit Chandra.41)

C.

Analisis tentang akibat hukum dari koreksi terhadap pemberitaan yang tidak benar.

Publikasi

yang

berlebihan

menyebabkan

terdakwa

dalam

kenyataan dihukum berkali kali atas satu perbuatan yang sama.


41)

Ibid 30

60

Pertama ; diadili dan dihukum oleh pers (trial by the pers). Kedua ; dihukum oleh pendapat umum (trial by political opinion) melalui pernyataan, diskusi terbuka dan lain lain. Tidak jarang seorang yang sedang diadili telah ditetapkan oleh pers atau pendapat umum sebagai musuh masyarakat (public enemy) yang harus dihukum. Ketiga ; dihukum oleh Hakim. 42) Meskipun gambaran penghukuman diatas secara dogmatik (normatif) tidak tergolong double jeopardy atau nebis in idem, tetapi secara kenyataan atau sosiologis telah terjadi pengulangan peradilan untuk perkara yang sama. Larangan ne bis in idem adalah untuk mencegah kesewenag-wenangan dan kekejaman (kekejian) peradilan. Trial by the press dan trial by public opinion, disamping penghukuman oleh hakim adalah suatu yang berlebihan, bahkan suatu bentuk kekejian dan ketidakadilan yang luar biasa.43) Prof Robert Gobbers (introduction to the Geman law) mengatakan, tidak jarang terjadi, meskipun seorang terdakwa kemudian oleh hakim dinyatakan tidak terbukti bersalah, tetap sangat menderita (dan dirugikan) akibat publikasi yang berlebihan, sesuatu yang hal yang mesti diperhatikan oleh pers. Membahas secara publik kasus yang sedang
42) 43)

http://primau66.blogspot.com/2011_01_01_archive.html diakses 14 Nopember 2011 ibid 41

61

berjalan seperti yang dilakukan melalui TV, dapat merupakan pencederaan terhadap hak atas praduga tidak bersalah. Belum lagi kemungkinan pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah, dan

sebagainya. Lebih-lebih lagi bagi masyarakat kita yang komunalistik. Bukan hanya tersangka atau terdakwa yang dicederai, tetapi istri, anak, dan keluarga yang tidak berdosa. Pers yang semestinya menjadi instrument kemanusiaan dan peradaban, karena kelalaian menghormati asas praduga tidak bersalah, justru terjerumus kedalam perbuatan yang tidak layak. Hal serupa berlaku pada Lembaga Swadaya Masyarakat atau perorangan yang ingin menjadi pusat perhatian, acap kali tidak mempertimbangkan : bagaimana kalau perbuatan yang sama berlaku pada terhadap mereka. Ada ungkapan yang menyatakan : perlakukanlah orang lain sebagaimana anda mengharap orang lain memperlakukan anda. Baik secara sosial, kemanusian, apalagi keagamaan, kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang berimbang, tidak berlebihan. Demi menjaga keseimbangan yang bermanfaat pers dapat menerapkan self censorship atau self restraint antara hak atas praduga tidak dan hak atas kebebasan informasi.44)
44)

http://njpurnomo.blogspot.com/2011/11/saat-media-mengkhianati-kita-peran-hak.html

62

Menjaga keseimbangan yang dihadapi pers dalam menyampaikan informasi, sangat perlu diperhatikan juga oleh para penegak hukum. Penegak hukum harus sangat memahami kedudukan pers dalam masyarakat demokratis yang dijamin Undang-Undang Dasar, dan

dilema-dilema yang dihadapi, seperti dilema penerapan praduga tidak bersalah dengan hak memperoleh dan menyampaikan informasi. Begitu pula dalam kasus-kasus yang lain seperti penerapan undang-undang pers atau bukan undang-undang pers dalam kasus pers. Kekeliruan apalagi salah menerapkan hukum terhadap pers merupakan kekeliruan dan kesalahan yang sangat mendasar karena menyangkut isntitusi sosial yang sekaligus sebagai institusi demokrasi dan hak asasi manusia. Telah lama dihafal sejak sebagai mehasiswa hukum, penegak hukum (khususnya hakim) bukan sekadar mulut atau corong undang-undang (the mouth of laws, spreekbuis van de wet, bouche de la loi). Hakim yang adil dan arif, tidak hanya menyediakan dua pilihan, tetapi terbuka atas pilihan-pilihan lain berdasarkan hakikat dan tujuan hukum serta kemaslahatan (doelmatigheid), bukan sekedar menerapkan dogma dogma hukum (rechtmatigheid). Walaupun ada pemikir yang tidak setuju, tetapi bagaimanapun juga hukum tetap mengandung muatan sebagai the mirror of society (meminjam ungkapan yang dipergunakan Brian. Z. Tamanaha)
63

atau seperti dikatakan Von Savigny, hukum adalah wujud kesadaran hukum masyarakat (rechtbe-wustzijn, social conscience). Salah satu yang menjadi cermin kesadaran masyarakat kita adalah memulihkan dan menyempurnakan demokrasi dan hak asasi manusia. Putusan yang tidak atau kurang bijaksana dapat merupakan penggerogotan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia yang saat ini merupakan the mirror of Indonesia society atau rechtbewustzijn masyarakat Indonesia. Almarhum Prof. Sudirman Kartohadiprodjo mengajarkan mahasiswanya (termasuk Penulis) ungkapan Jawa ora sanak, ora kadang, yen mati melu kenangan. Bukan sanak bukan kerabat kalau meninggal ikut (merasa) kehilangan. Itula esensi paham kekeluargaan yang membedakan dari paham individulisme.45)

D.

Kewenangan melaporkan tindak pidana pencemaran nama baik oleh tersangka dikaitkan dengan azas praduga tak bersalah .

Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dilihat dan dibaca atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Dapatlah dikatakan bahwa setiap individu melaksanakan hukum. Setiap hari kita melaksanakan hukum. Bahkan seringkali kita tanpa sadari
45)

Ibid 42

64

kita melaksanakan hukum. Jadi pelaksanaan hukum bukan dimonopoli oleh pihak tertentu seperti pejabat atau penegak hukum. Pengertian negara hukum dalam arti materiil tidak hanya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus memajukan kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa. Pembangunan hukum yang bersifat nasional seperti hukum acara pidana dilandasi oleh motivasi dan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya, menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat serta agar masyarakat mendapatkan suatu kepastian hukum. Selanjutnya dari kepastian hukum tersebut dapat ditunjang dengan berfungsinya hukum itu sendiri sebagaimana mestinya. Adapun tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana

65

telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.46) Untuk menegakkan hukum pidana materiil maka bagi pelanggar peraturan hukum harus dijatuhi pidana atau pemidanaan. Untuk keperluan tersebut maka dibentuk suatu hukum pidana formil atau hukum acara pidana yang dalam pelaksanaannya tetap harus melindungi hak-hak asasi tersangka dan terdakwa seperti yang dikehendaki dalam undang-undang. Tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum dalam undangundang ini nampaknya sudah bukan merupakan suatu tujuan utama, namun tujuan perlindungan atas harkat dan martabat seorang tersangka atau tertuduh atau terdakwalah yang merupakan tujuan yang utama.47) Dengan begitu pada akhirnya hukum yang dijalani dapat meningkatkan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Demikian halnya Indonesia, sebagai negara hukum selalu berupaya untuk memenuhi persyaratan-persyaratan agar menjadi negara yang menjunjung tinggi hukum yang sebenar-benarnya. Sebagai bukti dari pernyataan ini adalah dianutnya asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab UndangAndi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1987. Hal. 18. Rangga Maindra. Jaminan Penangguhan Penahanan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana. dalam http: //one.indoskrip.com/judul--skripsi/ilmuhukum/jaminan-penangguhan-penahanandalam-proses-penyelesaian-perkara-pidana. Diakses tanggal 14 Nopember 2011
47) 46)

66

undang Hukum Pidana yang berbunyi: Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Sejalan dengan pernyataan di atas, Moeljatno menyatakan dari bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidana apabila: a. Tidak ada perbuatan dan diancam pidana jika perbuatan itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang. b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). c. Aturan-aturan pidana tidak boleh berlaku surut.48) Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa hukum acara pidana merupakan suatu proses atau prosedur atau tata cara yang harus dilakukan atau diterapkan oleh aparat penegak hukum manakala disangka terjadi suatu tindak pidana. Hal ini mengandung suatu konsekuensi logis bahwa norma yang diatur oleh hukum acara pidana merupakan norma kewenangan (bevoegdheidsnormen). Dengan demikian bagian terbesar KUHAP adalah tentang wewenang dan penggunaan wewenang. Pengaturan wewenang dan
Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2005. Hal. 34.
48)

67

penggunaan

wewenang,

tidaklah

semata-mata

soal

pembagian

wewenang kepada berbagai instansi yang terlibat dalam penanganan perkara pidana, yaitu aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, namun yang paling penting di sini ialah di satu sisi norma itu membatasi penggunaan wewenang tersebut di sisi yang lain dengan pembatasan tersebut hak-hak tersangka/terdakwa dilindungi.49) Dalam azas praduga tak bersalah, jelas tersangka boleh atau berwenang untuk melaporkan tindak pidana pencemaran nama baik atas dirinya. Menurut Bagir Manan menjelaskan bahwa penegakan hukum atau law enforcement sebagai salah satu aspek penerapan hukum. Penerapan hukum adalah fungsi atau mempertahankan hukum (handhaving van het recht) agar hukum ditaati, berjalan atau dijalankan sebagai mestinya penegakan hukum merupakan reaksi atas suatu peristiwa yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum/ Reaksi ini dapat negative atau positif 50). Maka penegakan hukum setidak-tidaknya dipengaruhi oleh berbagai ketentuan antara lain. 1) Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri. 2) Petugas yang menegakkan hukum. 3) Fasilitas
49)

Philipus Mandiri Hadjon, Norma Hukum sebagai Norma Kewenangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dalam rangka Perlindungan Hukum Bagi Rakyat (Tersangka/Terdakwa), dalam Dwi Windu KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana): Problematika Penegakan Hukumnya, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Januari 1998, h. 22 50) Op, Cit

68

yang diharapkan dapat mendukung penegakan hukum. 4) Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup pelaksanaan kaidah hukum dan birokrasinya. Di dalam pengejaran tersangka terorisme yang dilakukan oleh Pasukan khusus kepolisian di beberapa daerah, dimana tersangka yang diduga terorisme kerap mendapatkan perlakukan atau kekerasan fisik yang disebabkan tindakan kesewenang-wenangan aparatur negara terhadap tersangaka.Tindakan over yang selalu dipertontonkan di dalam penangkapan beberapa tersangka, telah jelas menciptakan keadaan yang tidak menyenagkan bagi tersangka dimana dalam sisi penegakan hukum tentunya hal ini sangatlah bertentangan dengan azas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocent) didalam penjelasan umum pasal 3 huruf c. dan dirumuskan didalam pasal 8 Undang-undang Pokok kehakiman No. 14 1970 setiap orang yang diduga, disangka , ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib diangap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilanyang menyatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum tetap Azas praduga tidak bersalah ditinjau dari segi teknik yuridis atau dari segi

69

teknik penyidikan dinamakan prinsip akusitoir yakni menepati kedudukan tersangka dalam seriap tingkatan pemeriksaan 51). 1. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka daris didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempuntao harkat martabat dan harga diri. 2. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam perinsip akusutoir adalah kesalahan tindak pidana yang dilakukan tersangka atau terdakwa. Selain permasalahan azas diatas perlu dianggap seris didalam proses penahanan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang merupakan bagian yang esensial, dengan sendirinya menyangkut nilai dan makna antara lain: 1. Perampasan kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan. 2. Menyangkut nilai-nilai prikemanusian dan harkat martabar kemanusian. 3. Juga menyangkut nama baik dan pencemaran atas kehormatan diri pribadi atau tegasnya setiap penahanan degan sendirinya

51)

M. Yahya Harap, SH, Pembahasan dan penerapan KUHAP penyudikan dan tuntutan, edisi kedua cet 10, cet Sinar Grafika, 2008, hal 40

70

menyangkut pembatasan dan pencabutan sementara sebahagian hak-hak azasi manusia. Permasalan penahanan tertuang di dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme tentang batas penahanan seseorang yang diduga tersangka terorisme. Dari azas yang dianut oleh undang-undang kita jika dikaitkan dengan deklerasi Universal Hak Azasi Manusia tahun 1984, pasal 11 ayat 1 : Seseorang yang didakwa melakukan pelanggaran pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum dalam suatu sidang pengadilan terbuka dimana ia memperoleh semua jaminan yang diperlukan bagi pembelaan dirinya . Dalam Pasal 12 : tak seorang pun boleh dikenai ontervensi sewenang-wenang terhadap privasi keluarga, rumah atau korespondensinya juga serangan terhadap kehormatan dan nama baiknya.Setiap orang berhak atas perlindungan hukum dari intervensi dan serangan semacam itu.52)

52)

Declaration human right, 1984 dalam pasal 11 ayat 1

71

Perlindungan terhadap saksi korban pada saat diberitakan oleh media baik cetak maupun elektronik sudah berjalan dengan cukup baik. namun, kenyataannya berbeda karena kurangnya pengetahuan atau tingkat sumber daya manusia masih rendah sehingga membuat korban selalu dirugikan dan korban merasa asas kebebasan pers dan haknya telah dilanggar dan dengan tidak bertanggung jawabnya pihak media maka seringkali kasus ini diabaikan. Untuk itu diperlukan kordinasi yang baik antara saksi korban dan pelaku media agar terjadi suatu kesinambungan. Dan hendaknya pelaku media melakukan cek dan ricek terhadap sumber berita dalam hal ini saksi korban. Caranya adalah nama disamarkan (inisial), untuk media televisi wajah disamarkan atau membelakangi camera, dan semua organisasi media dan polisi, harus berhati-hati untuk menghormati hakhak individu terhadap kepribadian, kerahasiaan dan reputasi ketika mempertimbangkan bagaimana meliput atau memberitakan peristiwa kejahatan seksual.

72

BAB IV PENUTUP

Dari uraian uraian diatas dan pembahasan bab - bab terdahulu, maka penulis dapat memperoleh kesimpulan serta dapat memberikan saran saran sebagai berikut :

A. Simpulan 1. Perlindungan korban kejahatan seksual berkaitan dengan pemberitaan oleh media massa adalah dengan cara nama disamarkan (inisial), untuk media televisi wajah disamarkan atau membelakangi camera, dan semua organisasi media dan polisi, harus berhati-hati untuk menghormati hakhak individu terhadap kepribadian, kerahasiaan dan reputasi ketika mempertimbangkan bagaimana meliput atau memberitakan peristiwa kejahatan seksual. 2. Ukuran untuk pelaksanaan kebebasan pers yang bertanggung jawab itu adalah suatu informasi yang benar (peristiwa yang benar bukan opini) tidak direkayasa, harus dilakukan dengan pihak lain (croschek).

73

B. Saran

Berdasarkan hal-hal di atas, kami ingin menyampaikan saran kepada para professional yang memegang peranan yang berbeda yang telah disebutkan: Merekomendasikan juga kepada polisi untuk melindungi dan menjamin hak korban dan mengambil tindakan seperlunya untuk melindungi hak korban mengenai kerahasiaan. Untuk pelaku media diharapkan dalam memberikan informasi harus jelas lengkap dan dapat dipertanggung jawabkan serta menghormati hak-hak korban.

74

Anda mungkin juga menyukai