Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28E ayat (3) menjamin
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu
sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers berfungsi
secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945, Lebih spesifik pengaturan ketentuan mengenai pers dituangkan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang. Undang-Undang Pers
disusun dengan tujuan sebagai perwujudan terhadap penghormatan hak asasi manusia
dalam hal berekspresi, mengeluarkan pendapat dan pikiran, serta berkomunikasi dan
memperoleh informasi. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
Tentang Pers :
“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar,
serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”1
Berdasarkan dengan Undang-Undang Pers tersebut dapat disimpulkan bahwa
sesungguhnya Undang-Undang Pers adalah undang-undang yang mengatur dan menjamin
terselenggaranya kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Kemerdekaan pers dijamin
sebagai hak asasi warga negara. Hal itu menunjukkan bahwa kemerdekaan pers bukan
monopoli wartawan dan atau perusahaan pers saja, tetapi kemerdekaan pers adalah milik
masyarakat yang berdaulat. Undang-Undang Pers memberikan jaminan adanya
kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara, dan bahwa pers bebas dari tindakan
pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh
informasi terjamin. Karena kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran

1
Undang - Undang Nomor 40 Tahun 1999. Tentang Pers, Pasal 1

1
akan pentingnya penegakkan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan
tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan
hati nurani insan pers.
“bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi keadilan dan supremasi hukum menjadi unsur yang
sangat penting untuk meciptakan kehiduapan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat
sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 harus dijamin2”.
Nilai-nilai kebebasan pers telah diakomodir di dalam Undang-Undang Dasar Negera
Republik Indonesia 1945 maka dari itu jika merujuk pada kosinder menimbang dalam
Undang-Undang Pers mengapa mengacu pada pasal 28 Undang-Undang dasar Republik
Indonesia karena, hal tersebut menujukan bahwa negara telah mengakui kebebasan
mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah perwujudan negara yang
demokratis dan berdasarkan hukum. Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan
menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang
dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Pengaturan permasalahan kebebasan pers dalam undang-undang masih sering disalah
gunakan untuk mendapatkan keuntungan politik, dan juga dilain pihak merugikan hak-hak
individu. Maka dari itu hal tersebut tercantum dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.
40 Tahun 1999 Tentang Pers yang menyebutkan: “pers nasional berkewajiban
memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”3.
Jika melihat dari pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers, pemberitaan pers atau media
massa perlu memperhatikan Asas praduga tak bersalah dalam pers berakar dari asas
praduga tak bersalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pengertian
Praduga tak bersalah terdapat dalam pasal 3c Kiab Undang-Undang Hukum Acara Pidana:
“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan dimuka

2
Ibid, Pasal 6
3
Ibid, Pasal 5 ayat (1)

2
sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatkan kesalahannya dan memperoleh kekutan hukum tetap4”
Sementara didalam Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
praduga tak bersalah berdasarkan Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi:
“Setiap orang yang dicurigai, ditagkap, ditahan, dituntut, atau muncul didepan
pengadilan harus dianggap tidak bersalah sebelum putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”5
Dapat ditarik kesimpulan bahwa hak setiap orang yang disangka atau didakwa
melakukan Tindakan atau perbutana pidana, wajib dianggap tidak bersalah sampai terbit
putusan pengadilan yang menyatakan kebersalahannya. Pengertian putusan pengadilan
adalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kraht van
gewijsde atau final jugdement)6.
Praduga tak bersalah adalah hak yang memiliki kewajiban tidak hanya pada penegak
hukum tetapi kepada setiap orang termasuk pers. Pers dilarang memberitakan seseorang
yang disangka atau didakwa seolah-olah telah bersalah sebelum ada putusan pengadilan.
Selain di atur pada pasal 5 ayat (1) UU Pers, Kewajiban dari pers harus mengormati asas
praduga tak bersalah (presumption of innocemce) juga diatur dalam pasal 7 Kode Etik
Jurnalistik PWI, yaitu : “Wartawan Indonesia dalam memberitakan peristiwa yang diduga
menyangkut pelanggaran hukum atau proses peradilan harus menghormati asas praduga
tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang”7.
Ditinjau dari Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik PWI, dapat dikatakan bahwa pers tidak
berkenaan untuk menyajikan berita dengan secara bebas. Pers harus melaksanakan fungsi,
asas, dan kewajibannya secara professional demi mengahasilkan pemberitaan yang factual
dan terhindar dari kemungkinan melakukan perbuatan menggiringan opini sehingga terjadi
“pengadilan oleh pers” (trial by the press).
Trial by the press merupakan perbuatan menghakimi suatu pihak seakan-akan pihak
tersebut sudah terbukti bersalah yang mana belum adanya putusan yang dijatuhakan oleh
hakim, hal itu menjadi suatu polemik karena pers yang bertindak sebagai peradilan dimulai

4
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 3c
5
Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009. Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 8 ayat (1)
6
Bagir Manan. 2011. Pers, Praduga Tak Bersalah, dan Hak Atas Informasi, Varia Peradilan No.303, hal. 7.
7
Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia, Pasal 7

3
dari mencari bukti-bukti hingga memberi putusan. Permasalahan itu terjadi ketika Media
massa menurunkan berita yang belum terkonfirmasi sebelumnya (cover both side), serta
sering kali media massa dalam memuat berita menyebutakan identitas ataupun foto dari
seseorang yang masih diduga melakukan suatu perbuatan pidana yang kebenarannya belum
terbukti.
Permasalahan timbul dimulai karena media massa tidak jarang menggiring opini mereka
mengenai informasi yang diangkat sehingga masyarakat menjadi terpengaruh oleh opini
publik. Opini publik itulah yang menjadi akar permasalah terjadinya trial by the press dan
menimbulkan pelanggaran terhadap asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah).
Seperti yang sedang terjadi saat ini pemberitaan sedang ramai dengan kasus seorang
influencer serta kekasih dan manager nya yang di duga kabur dari karantina setelah
melakukan perjalan dari luar negeri. Hal tersebut bermula dari seseorang yang mengatakan
bahwa influencer tersebut kabur saat karantina, berdasarkan peryataan tersebut semua
media massa online ramai memberitakan hal itu tanpa menerapkan asas praduga tak
bersalah terlebih dahulu. Pers telah melakukan trial by the press, karena telah “menduga”
bahwa influencer dan dua orang lain nya tersebut bersalah sebelum adanya proses dari
pihak yang bewenang.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka penulis ingin melakukan analisis
terkait pemberitaan tersebut yang dituangkan dalam penelitian yang berjudul “Tinjauan
Yuridis Penerapan Asas Praduga Tak Bersalah Pada Pemberitaan Di Media Massa
Dalam Proses Peradilan Pidana”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka Penulis dapat merumuskan
beberapa permasalahan, yaitu:
1. Bagaimanakah Pengaturan Tentang Pemberitaan Yang Sesuai Dengan Asas
Praduga Tak Bersalah Dalam Peraturan Perundang-undangan ?
2. Bagaimankah PertanggungJawaban Hukum Pers yang melakukan Trial By The
Press dalam Pemberitaannya?

4
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti dapat menentukkan tujuan dari
penelitian ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan tentang pemberitaan yang sesuai
dengan asas praduga tak bersalah dalam peraturan perundang-undangan.
2. Untuk mengetahui dan memahami pertanggungjabawan hukum pers yang
melakukan Trial By The Press.

D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dari segi teoritis
maupun praktis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan referensi dalam menambah wawasan bagi penulis.
b. Memberikan pemahan mengenai penerapan asas praduga tak bersalah dalam
pemberitaan pers dari sudut padang perundang- undangan maupun sudut
pandang penulis.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Insan Pers, penelitian ini menjadi informasi bagi Insan Pers mengenai
penerapan asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan pers.
b. Bagi Peneliti, penelitian ini menjadi bahan latihan dalam penulisan karya
ilmiah.

E. Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teori
a. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum dapat juga diartikan penyelenggaraan hukum oleh petugas
penegak hukum dan oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan sesuai dengan
kewenangannya masing- masing menurut aturan hukum yang berlaku. Penegakan
hukum pidana merupakan satu kesatuan proses diawali dengan penyidikan,

5
penangkapan, penahanan, peradilan terdakwa dan diakhiri dengan pemasyarakatan
terpidana8.
Penegakan hukum pidana adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
tentang kedilan dalam hukum pidana dalam kepastian hukum dan kemanfaatan
sosial menjadi kenyataan hukum dalam kepastian hukum dan kemanfaatan sosial
menjadi kenyataan hukum dalam setiap hubungan hukum9. Pendapat mengenai
penegakan hokum menurut beberapa ahli antar lain:
1) Menurut Soerjono Soekanto : Penegakan hukum adalah sebagai suatu
proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut
membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh wadah hukum akan
tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi10.
2) Menurut Prof. Sudarto, S.H., : Penegakan hukum bidangnya luas sekali,
tidak hanya bersangkutpaut dengan tindakan-tindakan apabila sudah ada
atau ada persangkaan telah terjadi kejahatan, akan tetapi juga menjaga
kemungkinan akan terjadinya kejahatan11.

b. Teori Pertanggungjawaban
Ada dua istilah yang merujuk pada pertanggungjawaban dalam kata hokum,
yaitu liability dan responsibility. Terdapat perbedaan pengertian antara istilah
liability dan responsibility, kedua perbedaan terebut menimbulkan perdebatan.
Istilah liability ialah tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek
hukum, sedangkan istilah responsibility ialah tanggung jawab politik12. Menurut
Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab (pertanggungjawaban) hukum
menyatakan bahwa:

8
Harun M. Husen. 2012. “Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia”. Jakarta : Rineka Cipta. hal. 58
9
Peter Mahmud dan Marzuki. 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana Prenada, hal.15
10
Soekanto. 2013. Faktor- Faktor Yang Memperngaruhi Penegakan Hukum. Jakarta : UI Press. hal. 7
11
Sudarto. 2012. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung : PT Alumni. hal. 113
12
HR. Ridwan. 2015. Hukum Adminstrasi Negara. Jakarta : Raja Grafindo Persada. hal. 337

6
“seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu
atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia
bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”13.

c. Teori Kepastian Hukum


Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa
hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya
dan bahwa putusan dapat dilaksanakan14. Kepastian hukum mempunyai kaitan
yang erat dengan keadilan, tetapi hukum tidak hanya identik dengan keadilan.
Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Dan
Keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.

2. Kerangka Koseptual
a. Asas Praduga Tak Bersalah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas praduga tak bersalah diartikan
sebagai berikut : Kata asas berarti dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat). Sedangkan kata praduga tidak bersalah berarti setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntutatau diperiksa pada sidang pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum
yang menyatakan bahwa tersangka atau tertuduh bersalah15.
Dan Pengertian asas praduga tak bersalah dalam 3 huruf c Kitab Hukum Acara
Pidana, yang berbuyi: “Setiap orang yang dicurigai, ditangkap, ditahan, dituntut
atau yang dihadapi dalam menghadapi pengadilan, harus dianggap tidak bersalah
sampai putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap16”.
Sementara didalam Undang-Undang No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman praduga tak bersalah berdasarkan Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi:

13
Hans Kelsen. 2014, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif
Empirik terjemahan Somardi. Jakarta : BEE Media Indonesia. hal. 81
14
Sudikno Mertokusumo. 2014. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty hal. 160
15
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diakses dari: https://kbbi.web.id/asas Tanggal 11 April 2022
16
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, loc.cit

7
“Setiap orang yang dicurigai, ditagkap, ditahan, dituntut, atau muncul didepan
pengadilan harus dianggap tidak bersalah sebelum putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”17. Jadi
dapat ditarik kesimpulan asas praduga tidak bersalah mengandung pengertian
bahwa walaupun seseorang diduga keras melakukan suatu tindak pidana dalam
pengertian cukup bukti, dan pada akhirnya dihukum, mereka tetap harus dihargai
hak asasinya.

b. Pers
Istilah dari pemberitaan adalah “pers”, pers berasal dari Bahasa Belanda yang
dalam Bahasa inggris berarti press yang merupakan sebutan untuk alat cetak18.
Secara harfiah pers adalah media penghimpit atau penakan dalam masyarakat ,
dapat dikatakan pers sebagai kontrol sosial19. Pengertian pers memiliki dua artian,
arti sempit dan arti luas20.
Pers dalam arti luas adalah media tercetak atau elektornik yang menyampaikan
laporan dalam bentuk fakta, pendapat, usulan, dan gambar kepada masyarkat luas
secara regular. Laporan yang dimaksud yaitu setelah melalui proses mulai dari
pengumpulan bahan sampai dengan penyiaran. Sedangkan Pers dalam arti sempit
adalah media tercetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah,
dan bulletin. Sedangkan media elektronik meliputi radio, film, dan televisi21.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers:
“ Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis
saluran yang tersedia22”

17
Undang - Undang Nomor 40 Tahun 1999. Tentang Pers, Pasal 8 ayat (1)
18
Samsul Wahidin. 2012. Hukum Pers Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hal. 35
19
Ibid
20
Edy Susanto. 2013. Hukum Pers di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta. hal. 20.
21
Ibid
22
Undang - Undang Nomor 40 Tahun 1999. Tentang Pers, loc.cit.

8
c. Media Masa
Media massa atau komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi
melalui media massa modern yang meliputi surat kabar, majalah, siaran radio,
siaran televisi, dan media sosial atau dunia maya dengan teknologi internet23.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia media massa merupakan sarana dan
saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada
masyarakat luas24. Media massa merupakan saluran atau alat komunikasi yang
menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak,
bertempat tinggal yang jauh, sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu.

d. Pemberitaan
Pemberitaan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara,
perbuatan memberitakan (melaporkan, memaklumkan), perkabaran, maklumat25.
Pengertian pemberitaan menurut William S. Maulsby adalah sesuatu penuturan
secara benar dan tidak memihak dari fakta yang mempunya arti penting dan baru
terjadi, yang dapat menarik perhatian pembaca surat kabar yang memuat hal
tersebut. Secara tidak langsung dalam pengertian ini media massa harus bertindak
sesuai dengan kaidah jurnalistik pemberitaan, Media harus bersikap netral tanpa
ada embel-embel suatu kepentingan politik, atau di susupi oleh para elite politik
yang berkuasa26.

e. Proses Peradilan Pidana


Hukum pidana merupakan suatu hukum yang mengatur mengenai pelanggaran,
serta kejahatan yang dapat terjadi terhadap kepentingan umum. Dalam hukum acara
pidana, dikenal proses peradilan pidana yang terdiri atas beberapa tahap
sistematis27. Tahapan yang dimaksud yaitu Tahap penyidikan, tahap penuntutan,

23
Hikmat M. Mahi. 2018. Jurnalistik : Literary Journalism. Jakarta : Prenadamedia Group. hal. 21
24
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diakses dari : https://kbbi.web.id/media Tanggal 15 April 2022
25
Ibid
26
Hikmat Kususmaningrat dan Purnama Kusumaningrat. 2013. Jurnalistik : Teori dan Praktik. Bandung : Remaja Rosdakarya.
hal. 26
27
“Mengulik Tahapan dalam Proses Peradilan Pidana”. Diakses dari
https://hukum.blog.unisbank.ac.id/?s=mengulik+tahapan+dalam+proses+peradilan+pidana Tanggal 20 April 2022

9
tahap pemeriksaan, dan tahap eksekusi. Serangkaian proses pidana di atas bisa
terjadi dalam waktu yang singkat maupun lama, tergantung dari beratnya kasus
yang tengah ditangani.

f. Trial by The Press


Trial by the press atau terjemahannya secara harfiah “pengadilan oleh pers”
merupakan kegiatan dimana pers bertindak sebagai peradilan mencari bukti-bukti,
menganalisa, dan mengkaji sendiri untuk kemudian berakhir dengan memberi
putusan28. Secara teori pers dianggap telah melakukan trial by the press, ketika
sebuah dugaan perbuatan pidana yang sudah ditangani aparat penyidik, Polisi atau
Jaksa (pretrial publicity) sampai masuk ke pengadilan (publicity during trial) degan
adanya pemberitaan tersebut, menyebabkan adanya pihak yang tertuduh dan
dipojokkan pada posisi yang sulit untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tak
berpihak (fair trial).29

F. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan metode, yaitu : “Metode adalah
proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah sedangkan penelitian
adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk
menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses
prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan
penelitian”30. Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian menurut Sutrisno Hadi adalah
penelitian atau research adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan usaha mana dilakukan dengan metode-metode ilmiah31.
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum (legal research) ini dilakukan dengan menggunakan metode
penelitian hukum normative.32 Penelitian hukum Normatif yaitu penelitian yang

28
BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI. 2013. “Pengaruh Praktik Courtroom Television Terhadap Independensi
Peradilan”, Penelitian Hukum. Jakarta : BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI. hal 30.
29
Ibid
30
Soerjono Soekanto. 2012. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. hal. 6.
31
Sutrisno Hadi. 2012. Metode Research Jilid VIII. Yogyakarta : Penerbit Andi. hal. 4.
32
Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 93

10
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan
dasar untuk diteliti dengan mengadakan penelusuran terhadap peraturanperaturan
yang terkait permasalahan yang dibahas33.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam Penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah :
a. Pendekatan Perundang-Undang
Pendekatan perundangan-undangan adalah pendekatan yang dilakukan
dengan cara menganalisa aturan dan regulasi yang berkaitan dengan isu
hukum tersebut34. Dalam penelitian normatif, pendekatan perundang-
undangan salah satu pendekatan yang dibutuhkan karena yang dijadikan
pembahasan utama adalah berbagai peraturan hukum yang berlaku.
b. Pendekatan Kasus
Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma yang dilakukan dalam praktik hukum
khususnya terkait kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat
dilihat dalam yurisprudensi dalam perkara- perkara yang menjadi fokus
penelitian35.
3. Jenis Data
Jenis data adalah deskriptif, yang menjelaskan hal terkait dengan objek yang
diteliti. Sumber datanya ialah:
a. Data Sekunder, data yang diperoleh dari studi literatur dengan
menggunakan bahan-bahan hukum:
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
yang terdiri dari:
a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

33
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2012. Penelitian Hukum Nornatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : Raja Grafindo
Persada. hal. 13
34
Ibid
35
Johnny Ibrahim. 2008. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia. hal. 321.

11
d) Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia
e) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
f) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
g) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
h) Universal Declaration of Human Rights.
i) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan undang- undang, hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya36.
Yang terdiri dari:
a) Buku-buku hukum;
b) Jurnal hukum;
c) Artikel yang berkaitan dengan hukum khususnya dalam
penelitian ini.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan tambahan atau dukungan data yang telah ada pada bahan
hukum primer dan bahan sekunder. Bahan hukum tersier yang
digunakan adalah kamus dan penelusuran-penelusuran di internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini melalui studi
kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan penelahaan
terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan- catatan dan laporan-laporan yang
ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan37.

36
Sjachran Basah. 2013. Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. hal. 60
37
M. Nazir. 2013. Metode Penelitian Cet. 9. Jakarta : Ghalia Indoneisa. hal. 27.

12
5. Analisis Bahan Hukum
Dalam skripsi ini di gunakan metode analisis induktif kualitatitif, yaitu metode
analisa dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan permasalahan (rumusan masalah) yang terdapat dalam skripsi ini
untuk kemudian di korelasikan dengan beberapa asas dan teori yang menjadi
landasan atau pisau analisa dalam penulisan skripsi ini sebagai langkah untuk
menemukan konklusi, jalan keluar maupun konsepsi ideal tentang hal-hal yang
menjadi pembahasan38.

G. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini akan dibuat secara sistematis untuk memudahkan pembaca
dalam memahami isi dari skripsi ini. Berkenaan Penulis menyusun skripsi ini yang berisi
lima bab dengan garis besar sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, kerangka teori dan konseptual,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS PRADUGA TAK BERSALAH


DAN MEDIA MASSA
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai asas praduga tak bersalah, media
massa, kebebasan pers, kode etik pers, dasar hukum penerapan asas praduga
tak bersalah dalam media massa.

BAB III PELANGGARAN TERHADAP ASAS PRADUGA TAK BERSALAH


DALAM PEMBERITAAN DI MEDIA MASSA
Dalam bab ini akan diuraikan contoh berita yang melanggar penerapan asas
praduga tak bersalah.

38
Sjachran Basah. 2012. Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. hal.
60

13
BAB IV ANALISA YURIDIS PENERAPAN ASAS PRADUGA TAK
BERSALAH PADA PEMBERITAAN DI MEDIA MASSA DALAM
PROSES PERADILAN PIDANA
Dalam bab ini akan disampaikan hasil analisis tentang pengaturan
pemberitaan dengan menghormati asas praduga tak bersalah dalam
perundang-undangan dan tentang pertanggungjawaban hukum pers yang
melakukan trial by the press dalam pemberitaannya.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


Dalam bab ini akan disampaikan kesimpulan dan saran.

14
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Asas Praduga Tak Bersalah


1. Pengertian Asas Praduga Tak Bersalah
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesa yang menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum, yang mana
memiliki arti bahwa indonesi merupakan negara yang demokratis dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala hak warga negara bersama
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan itu tanpa terkecuali. Hak asasi
manusia diatur dalam Pasal 28D angka (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan
yang sama dihadapan hukum”.39
Ketentuan pada pasal tersebut pacuan agar para aparatur penegak hukum dalam
melakukan proses hukum harus mengedepankan asas-asas yang terdapat dalam
pengaturan hukum yang berlaku. Salah satu pokok dalam proses peradilan adalah asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence). Asas praduga tak bersalah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas
praduga tak bersalah berlaku terhadap proses perkara pidana, perdata, maupun perkara
tata usaha negara.
Selain diatur dalam Undag-Undang Kekuasaan Kehakiman, asas praduga tak
bersalah juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kedua
pengaturan tersebut mengatur secara eksplisit mengenai ketentuan asas praduga tak
bersalah. Pengertian asas praduga tak bersalah berdasarkan Undang- Undang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi: “Setiap orang yang dicurigai,
ditagkap, ditahan, dituntut, atau muncul didepan pengadilan harus dianggap tidak
bersalah sebelum putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.40”

39
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 2.
40
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, loc.cit.

15
Selanjutnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana asas praduga tak
bersalah diatur dalam pasal 3c: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut, dan/atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatkan kesalahannya dan
memperoleh kekutan hukum tetap”41.
Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 18 ayat (1) menjelaskan : “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut
karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai
dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu siding pengadilan dan diberikan
segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan42”.
Dan asas praduga tak bersalah dalam Bab III Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah: “Sebagian seseorang yang belum
dinyatakan bersalah maka ia mendapatkan hak-hak seperi: hak untuk segera
mendapatkan pemeriksaan dalam fase penyidikan, hak segera mendapatkan putusan
seadil-adilnya, hak untuk diberitahu apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya
dengan bahasa yang dimengerti olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaannya, hak
untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk mendapatkan kunjungan
keluarga”43.
Para ahli juga berpendapat mengenai pengertian asas praduga tak bersalah.
Menurut Andi Hamzah asas praduga tak bersalah tidak bisa diartikan secara letterlijk
(apa yang tertulis), kalau asas tersebut diartikansecara letterlijk maka tugas kepolisian
tidak akan bisa berjalan. Presumption of innocent adalah hak-hak tersangka sebagai
manusia diberikan44. Hak-hak yang dimaksud misalnya kawin dan cerai, ikut

41
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, loc.cit
42
Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 39, LN. No. 39 Tahun 1999,TLN NO. 3886
43
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
44
Aru, “Asas Praduga Tak Bersalah Tidak Bisa Diartikan secara Letterlijk ”, 16 November 2006
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15745/asas-praduga-tak-bersalah-tidak-bisa- diartikan-secara-iletterlijki diakses
pada tanggal 19 Desember 2021 pukul 10.30 WIB

16
pemilihan dan sebagainya45. Selain Andi Hamzah, Yahya Harahap juga berpendapat
mengenai asas praduga tak bersalah menurut Yahya Harahap, tersangka harus
ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus
dinilai sebagai subjek, bukan objek.
Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang
dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana
yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah,
sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang
telah berkekuatan tetap46. Pasal 11 ayat (1) Declaration of Human Right yang
menegaskan bahwa: “Setiap orang yang dituduh melakukan pelanggaran pidana
berhak dianggap tidak bersalah sampai terbukti kesalahannya menurut hukum oleh
suatu sidang pengadilan terbuka di mana ia memperoleh semua jaminan yang
diperlukan untuk pembelaannya”47.
Di dalam Pasal 19 huruf (e) The Cairo Declaration of Human Right In Islam juga
dinyatakan bahwa: “Terdakwa dinyatakan tidak bersalah di muka hukum sampai ia
terbukti bersalah di pengadilan di mana ia diberi jaminan untuk membela diri”48.
Dapat disimpulkan bahwasanya asas praduga tak bersalah adalah asas yang paling
utama dalam menentukan seseorang bersalah atau tidak bersalah dalam proses
peradilan. Terutama pada peradilan pidana, karena asas praduga tak bersalah memiliki
saingan yang erat dengan proses peradilan pidana.

2. Tujuan Asas Praduga Tak Bersalah


Terdapat pendapat beberapa ahli mengenai tujuan dari diadakanya asas praduga tak
bersalah pada proses peradilan pidana. Menurut M. Yahya Harahap tujuan dari
diadakannya asas praduga tak bersalah adalah: “Tujuan diadakannya asas praduga tak
bersalah untuk memberikan pedoman kepada penegak hukum untuk mempergunakan
prinsip akusatur yang menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap

45
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan. (Jakarta: Sinar
Grafika,2012), Hal 29
46
Ibid
47
Baharuddin Lopa, Al-Our’an dan Hak-hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bakhti Prima, 2012), hlm. 33
48
Ibid

17
pemeriksaan sebagai subjek karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan
diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri.
Aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara pemeriksaan inkusator yang
menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai objek yang dapat diperlakukan
sewenang-wenang”49.
Sedangkan menurut R. Atang Ranoemihardja menyatakan bahwa asas praduga tak
bersalah dimaksudkan untuk : “Menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa
dalam setiap tingkat pemeriksaan memperoleh hak-hak tertentu baginya dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabatnya, baik hak mendapat
pemeriksaan oleh penyidikan, hak diberi tahu jelas dalam Bahasa yang dimengerti apa
yang disangkakan dana tau apa yang didakwakan kepadanya, hak member
memberikan keterangan secara bebas tanpa adanya tekanan dan paksaan dari
penyidik maupun hak untuk memperoleh bantuan hukum”50.

3. Fungsi Asas Praduga Tak Bersalah


Fungsi dari asas praduga tak bersalah ialah untuk memberi perlindungan terhadap
tersangka atau terdakwa51. Hak asasi manusia terhadap tersangka atau terdakwa sangat
dijunjung tinggi dan dilindungi hak asasinya. Dengan adanya asas praduga tak bersalah,
maka seseorang yang baru saja disangka atau didakwa agar segera diadili sehingga
adanya kepastian hukum apakah ia memang bersalah atau tidak sesuai dengan putusan
hakim.
Adanya status tersangka atau terdakwa bukan berarti seseorang bersalah melakukan
suatu tindak pindana hanya disangka atau didakwa melakukan perbuatan pidana
berdasarkan bukti-bukti yang ada dari hasil penyidikan. Dari hasil pemeriksaan di
pengadilan baru seseorang yang disangka atau didakwa dapat terbukti melakukan atau
tidak melakukan perbuatan pidana seperti yang disangkakan atau didakwakan. Dari
hasil tersebut maka hakim memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak52. Dalam

49
Ibid
50
Ibid
51
Estiyarso, Azas Praduga Tak Bersalah. (Jakarta: Miswar, 2016), hal. 63
52
Ibid

18
memberikan perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa diberikan hak-hak. Hak-
hak tersebut diatur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu53:
a. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan kepada
penuntut umum (Pasal 50 ayat (1) KUHAP)
b. Segera diajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50
ayat (2) dan (3) KUHAP)
c. Tersangka berhak diberi tahu dengan jelas dengan Bahasa yang dimengerti
olehnya tentang apa yang disangka dan didakwakan padanya pada waktu
pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat (1) dan (2) KUHAP)
d. Berhak memberikan keterangan secara bebas baik kepada penyidik maupun
kepada hakim pada proses pemeriksaan didepan sidang pengadilan (Pasal 52
KUHAP)
e. Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru Bahasa pada setiap tingkat
pemeriksaan jika tersangka atau terdakwa tidak mengerti Bahasa Indonesia
(Pasal 53 ayat (1) Jo Pasal 177 ayat (1) KUHAP)
f. Berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat
hukumnya selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54
KUHAP)
g. Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya selama ia dalam
tahanan (Pasal 58 KUHAP)
h. Berhak diberitahu kepada keluarga atas penahanan yang dilakukan terhadap
dirinya (Pasal 59 KUHAP)
i. Berhak memilih sendiri penasehat hukum yang disukainya (Pasal 55 KUHAP).
Bahkan mengenai bantuan penasehat hukum bukan semata-mata hak yang ada
pada tersangka atau terdakwa, akan tetapi dalam hal seperti yang ditentukan
pada (Pasal 56 KUHAP), guna memenuhi hak mendapat bantuan hukum,
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat wajib menunjuk penasehat
hukum bagi tersangka atau terdakwa apabila tidak mampu menyedikan
penasehat hukumnya.

53
Nurhasan, Op.Cit, hal. 209

19
j. Berhak diberitahu kepada keluarganya atau orang yang serumah dengan dia
atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan tersebut
dilakuka pejabat yang bersangkutan (Pasal 59 KUHAP)
k. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai
hubungan kekeluargaan atau orang lain, guna mendapatkan jaminan atas
penangguhan penahanan atau bantuan hukum (Pasal 60 KUHAP)
l. Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasehat hukumnya untuk
menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga, sekalipun hal itu tidak
ada sangkut pautnya dengan kepentingan tersangka atau terdakwa (Pasal 61
KUHAP)
m. Berhak mengirim surat dan menerima surat setiap kali yaitu diperlukannya
kepada dan dari penasehat hukumnya dan sanak keluarga, untuk keperluan
surat menyurat ini pejabat yang besangkutan harus menyediakan peralatan
yang diperlukan (Pasal 62 ayat (1) KUHAP)
n. Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal
64 KUHAP)
o. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66
KUHAP)
p. Berhak mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus
guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (Pasal 68
KUHAP)
q. Berhak untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan
perlakuan penangkapan, penahanan dan penuntutan yang tidak sah atau yang
bertentangan dengan hukum (Pasal 68 KUHAP)

4. Penerapan Asas Praduga Tak Bersalah


Dalam Negara hukum proses peradilan harus terhindar dari pengaruh siapaun
termasuk pers atau juga pemerintah. Asas praduga tak bersalah dalam proses hukum
meliputi semua tingkat pada proses pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam pemberitaan asas prduga tak bersalah

20
juga berlaku dan harus diterapkan dalam tingkat pemeriksaan hingga tingkat
persidangan.
Menurut Bagir Manan keberhasilan suatu peraturan perundang- undangan
bergantung pada penerapan dan penegakannya. Karena sebenarnya berbagai peraturan
yang mendukung penerapan asas presumption of innocence telah ada namun yang
menjadi kendala dalam penerapan asas presumption of innocence dalam proses hukum
acara pidana bukanlah karena pengaturannya tidak secara tegas dalam batang tubuh
KUHAP tetapi lebih kepada kesadaran hukum dari aparat penegak hukumnya, yang
kurang memperhatikan hak-hak yang juga memiliki kepentingan untuk pembelaan
hukum54.

5. Penerapan Asas Praduga Tak Bersalah Pada Media Massa


Pemberitaan yang menyatakan bersalahnya seseorang dalam suatu tindak pidana,
tanpa di dasarkan oleh fakta dan bukti yang sah menurut hukum, akan berdampak pada
penyebaran fitnah pada diri seseorang yang seharusnya dihindari oleh pers. Kebenaran
fakta secara hukum dan kebenaran fakta sebenarnya itu berbeda, karena fakta secara
hukum harus di buktikan melalui proses peradilan. Maka dari itu hal tersebut tercantum
dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang
menyebutkan: “pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tak bersalah”55. Jika melihat dari pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers,
pemberitaan pers atau media massa perlu memperhatikan Asas praduga tak bersalah
dalam pers berakar dari asas praduga tak bersalah dalam KUHAP. Pers dilarang
memberitakan seseorang yang disangka atau didakwa seolah-olah telah bersalah
sebelum ada putusan pengadilan.
Selain di atur pada pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pers, Kewajiban dari pers harus
mengormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocemce) juga diatur dalam
pasal 7 Kode Etik Jurnalistik PWI, yaitu: “Wartawan menghormati asas praduga tak

54
Jecky Tengens “Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia”, 19 Juli 2011,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-restorative-justice- dalam-sistem-pidana-indonesia,
Diakes Pada Tanggal 20 Desember 2021, Pukul 13.20 WIB
55
Undang-Undang Pers, Loc.Cit

21
bersalah, senantiasa menguji kebenaran informasi dan menerapkan prinsip adil, jujur,
dan penyajian yang berimbang56.”
Ditinjau dari Pasal 7 Kode Etik PWI, dapat dikatakan bahwa pers tidak berkenaan
untuk menyajikan berita dengan secara bebas. Pers harus melaksanakan fungsi, asas,
dan kewajibannya secara professional demi menghasilkan pemberitaan yang faktual
dan terhindar dari kemungkinan melakukan perbuatan menggiringan opini sehingga
terjadi “pengadilan oleh pers” (trial by the press). Pemberitaan harus selalu berimbang
antara tuduhan dan pembelaan dan dihindarkan terjadinya trial by the press57. Trial by
the press dianggap sebagai salah satu jenis ‘contempt of court’ yakni sebagai ‘press
contempt’ yang dapat merupakan pemberitaan sebelum, selama atau sesudah adanya
putusan pengadilan58.
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pers menjelaskan bahwa perusahaan pers yang
melakukan pelanggaran atas asas praduga tak bersalah diancam pidana denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Penerapan asas praduga tidak
bersalah didalam pers telah bergeser dari sekedar menyatakan seseorang bersalah atau
tidak bersalah dalam suatu proses pelaksanaan atau penegakan hukum, menjadi suatu
kaedah larangan terhadap penghakiman semua pemberitaan yang kebenarannya belum
terbukti, baik menurut prosedur hukum maupun dari hasil pengecekan pers sendiri.
Di dalam pemberitaannya pers tidak boleh menghakimi dalam semua kasus
pemberitaan, membawa konskuensi, pers yang menyatakan seseorang bersalah
sebelum ada keputusan pengadilan yang tetap, dari sudut pers sendiri sudah jelas
merupakan suatu pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah. Walaupun
pengadilan sudah menyatakan seseorang bersalah secara hukum, pers tetap tidak diberi
hak untuk menyatakan orang itu bersalah atau tidak bersalah. Pers juga tidak memiliki
kewenangan untuk memberikan cap, stigma, lebel dan stempel yang belum terbukti
secara hukum kepada siapapun dan dalam berita apapun59.

56
Kode Etik Jurnalistik PWI, Loc.Cit
57
Loebby Loqman, “Asas Praduga Tak Bersalah di dalam Pemberitaan Oleh Media Massa”, Jurnal Dewan Pers, Edisi No 4,
November 2013, hal.3
58
Ibid
59
Undang-Undang Pers, Op.Cit, Ps. 18

22
Terdapat beberapa pendapat mengenai menerapan asas praduga tak bersalah pada
suatu pemberitaan yang berkaitan dengan hukum di media massa sebagai berikut60:
a. Pendapat pertama ialah mereka yang tidak menyebutkan nama serta
identitas atau gambar seorang tersangka. Mereka hanya menuliskan inisial
tersangka.
b. Pendapat kedua mengatakan bahwa asas tersebut berlaku bagi perkara yang
sedang disidangkan di depan pengadilan, sehingga sebelum sampai ke
depan pengadilan asas tersebut harus diterapkan, sehingga penyajian
pemberitaan sebelum peristiwa itu diajukan ke depan sidang tidak ada
kewajiban untuk merahasiakan identitas tersangka. Ada sebagian media
massa menyajikan gambar terdakwa dalam media massa elektronik.
c. Pendapat ketiga, karena dianggap masyarakat sudah mengenal terdakwa,
karena terdakwa seorang ‘public figur' sehingga tidak lagi merahasiakan
identitas, bahkan gambar seorang terdakwa.
Menurut R.H Siregar, pemberitaan media massa yang berkenaan dengan asas
praduga tak bersalah, kelompok pertama adalah mereka yang mentaati asas tersebut
khusus terhadap kasus yang dianggap biasa. Mereka tidak menyebutkan identitas
tersangka secara lengkap, cukup hanya inisialnya saja. Mereka juga tidak memuat
gambarnya akan tetapi terhadap kasus yang mendapat perhatian masyarakat luas,
identitas atau gambar tersangka dimuatnya secara lengkap61.

B. Tinjauan Umum Media Masa


1. Pengertian Media Masa
Media massa atau komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi
melalui media massa modern yang meliputi surat kabar, majalah, siaran radio, siaran
televisi, dan media sosial atau dunia maya dengan teknologi internet62. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia media massa merupakan sarana dan saluran resmi sebagai alat

60
Loebby Loqman, Op.Cit, hal. 3
61
Ibid
62
Hikmat M Mahi, Loc.Cit

23
komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas 63. Menurut
Wilbur Lang Schraam media massa adalah suatu kelompok kerja yang terorganisasi di
sekita beberapa perangkat untuk mengedarkan pesan yang sama, pada waktu yang
sama, ke sejumlah besar orang64.
Dalam bukunya menurut Cagara Media massa adalah alat yang digunakan dalam
penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan
alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, radio, televisi dan internet. Dengan
karakteristik bersifat melembaga, satu arah, meluas dan serempak, memakai peralatan
teknisi dan mekanis, serta bersifat terbuka65. Media massa adalah saran yang digunakan
oleh sebuah lembaga/individu untuk mengkomunikasikan pesan pada sejumlah
khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonym sehingga pesan yang sama dapat
diterimas secara serentak dan sesaat66
Menurut Josep A. Devitomedia massa atau komunikasi massa ialah sebagai
komunikasi yang ditujukan kepada khalayak yang luar biasa banyak yang disalurkan
oleh pemancar-pemancar yang berbentuk audio dan/atau visual67. Menurut Hafied
Cangara Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan
dari komunikator kepada khalayak, sedangkan pengertian media massa sendiri alat
yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak dengan
menggunakan alat-alat komunikasi seperti surat kabar, film, radio dan televisi68.

2. Fungsi Media Masa


Media massa memiliki beberapa fungsi yaitu69:
a. Menyiarkan informasi
Menyiarkan informasi adalah fungsi pers yang pertama dan utama.
Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar.

63
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/media%20massa, diakses pada Tanggal 21 Desember 2021
Pukul 10.30 WIB
64
Lahyanto Nadie, Media Massa Dan Pasar Modal (Strategi Komunikasi Bagi Perusahaan Go Public). (Jakarta: Media Center
Redaksi, 2018), hal. 36
65
Hafied Cangara,. Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT. Raja Grapfindo Persada, 2014) hal. 126
66
Irene Silviani dan Elok Perwirawati Manajemen Media Massa (Surabaya: Scropindo Media Pustaka, 2021) ,hal.38
67
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta: PT. Raja Gafindo Persada, 2014), hal. 12
68
Hafied Cangara, Loc.Cit, hal. 123
69
Irene Silviani dan Elok Perwirawati, Op.Cit, hal.42

24
(aktual,akurat, faktual, menarik, penting, benar, lengkap, jelas, jujur,
berimbng, relevan, bermanfaat dan etis.
b. Mendidik
Mendidik merupakan fungsi yang menjadi sarana pedidikan massa, pers
memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sebagai khalayak
pembaca bertambah pengetahuannya.
c. Menghibur
Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat pers untuk mengimbangi
berita-berita berat (hard news) dan artikel yang berbobot.
d. Mempengaruhi
Mempengaruhi ialah fungsi yang menyebabkan pers memegang
peranan penting dalam kehidupan masyarakat.
e. Kontrol Sosial
Dalam pers kontrol sosial membuat pers senantiasa bersikap independen
atau menjaga jarak yang sama terhadap semua kelompok dan organisasi
yang ada. Dengan mengemban kontol sosial pers menjadi tunduk terhdap
perundang- undangan yang berlaku. Menyiarkan informasi adalah fungsi
pers yang pertama dan utama. Setiap informasi yang disampaikan harus
memenuhi kriteria dasar. (aktual, akurat, faktual, menarik, penting, benar,
lengkap, jelas, jujur, berimbng, relevan, bermanfaat dan etis.

3. Jenis Media Massa


Sebagai sarana dari kominikasi massa, media massa dapat dikelompokkan menjadi
3 yaitu, media cetak, media elektronik, dan media online:
a. Media Cetak
Pengertian media cetak secara harfiah bisa diartikan sebagai sebuah media
penyampai informasi yang memiliki manfaat dan terkait dengan kepentingan
rakyat banyak, yang disampaikan secara tertulis. Dari pengertian ini, bisa
dilihat bahwa media cetak adalah sebuah media yang di dalamnya berisi

25
informasi yang didalamnya terkait dengan kepentingan masyarakat umum dan
bukan terbatas pada kelompok tertentu saja70. Media cetak meliputi:
1) Surat Kabar atau Koran
Surat kabar adalah terjemahan dari bahasan inggris, yaitu pers.
Istilah pers berasal dari kata press yang berarti percetakan atau mesin
cetak. Mesin cetak inilah yang menjadi awal terbitnya surat kabar,
sehingga orang mengatakan pers itu adalah persuratkabaran. Surat kabar
atau pers adalah salah satu kekuatan sosial dan ekonomi yang cukup
penting dalam masyarakat71.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Surat Kabar diartikan
dengan lembaran-lembaran kertas yang bertulisan berita dan sebagai
nya yang terbagi dikolom-kolom (8-9 kolom), terbit setiap hari secara
periodik atau dapat disebut juga koran72. Menurut Onong Uchjana
Effendy, pengertian mengenai surat kabar yaitu: “Lembaran tercetak
yang memuat laporan yang terjadi di masyarakat dengan ciri-ciri terbit
secara periodik, bersifat umum, isinya termasa dan aktual mengenai
apa saja dan dimana saja di seluruh dunia untuk diketahui pembaca”73
2) Tabloid
Tabloid adalah kumpulan berita, artikel, cerita, iklan dan sebagainya
yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran broadsheet (lebih kecil dari
plano) dan dilipat seperti surat kabar74. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Tabloid ialah: “Surat kabar ukuran kecil (setengah dari
ukuran surat kabar biasa) yang banyak memuat berita secara singkat,

70
“Media Cetak” 31 Januari 2017, https ://widuri.raharja.mfo/mdexphp?title=Media Cetak diakses pada tanggal 21 Desember
2021 pukul 11.00 WIB
71
httDs://www.kaiianDustaka.com/2019/10/Dengertian-fungsi-karakteristik-dan-ienis-surat- kabar.html, diakses pada tanggal 21
Desember 2021 pukul 18.15 WIB
72
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/surat%20kabar diakses pada tanggal 21 Desember 2021
pukul 19.00 WIB
73
“Pengertian Surat Kabar” https://www.e-iumal.com/2014/02/pengertian-surat-kabar.html diakses pada tanggal 21 Desember
2021 pukul 19.50 WIB
74
Totok, Djuroto, Meneiemen Penerbitan Pers (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hal. 11

26
padat, dan bergambar, mudah dibaca umum atau tulisan dalam bentuk
ringkas dan padat (tentang kritik, paparan, dan sebagainya)”75
3) Buletin
Menurut Widjaya penegertian buletin secara umum ialah: “Salah
satu media komunikasi visual yang berbentuk kumpulan lembaran-
lembaran atau buku-buku diusahakan secara teratur oleh suatu
organisasi atau instansi. Dan, dalam buletin dimuat peryataan-
peryataan resmi singkat bagi publik”76.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian buletin yaitu
media cetak berupa selebaran atau majalah, berisi warta atau pernyataan
tertulis yang diterbitkan secara periodik oleh suatu organisasi atau
lembaga untuk profesi tertentu77. Dapat simpulkan bahwa buletin ialah
kumpulan berita, artikel, cerita, iklan dan sebagainya yang dicetak
dalam lembaran kertas ukuran broadsheet atau ukuran kuarto/plano dan
dilipat seperti surat kabar78.
4) Majalah
Menurut Oemar Seno Adji, majalah adalah alat komunikasi yang
bersifat umum dan terbit secara teratur, yang berfungsi sebagai
penyebar luasan informasi dan sarana perjuangan untuk mencapai cita-
cita pembangunan79. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara
etimologi pengertian dari majalah yaitu: “Terbitan berkala yang isinya
meliputi berbagai liputan jurnalistik dan pandangan tentang topik
aktual yang patut diketahui pembaca, menurut waktu penerbitannya
dibedakan atas majalah bulanan, tengah bulanan, mingguan, dan
sebagainya, menurut pengkhususan isinya dibedakan atas majalah

75
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tabloid diakses pada tanggal 22 Desember 2021 pukul
09.09 WIB
76
A.W. Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2002), hal. 83
77
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/buletin diakses pada tanggal 22 Desember 2021 pukul
11.30 WIB
78
A.W. Widjaja. Loc.Cit, hal.83
79
Alo Liliweri, Memahami Komunikasi Massa Dalam Masyarakat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 11

27
berita, wanita, remaja, olahraga, sastra, ilmu pengetahuan tertentu,
dan sebagainya”80.
Media cetak merupakan dokumen atas segala yang dikatakan orang lain dan
rekaman peristiwa yang ditangkap oleh jurnalis dan diubah dalam bentuk kata-
kata, gambar, foto, dan sebagainya81
b. Media Elektronik
Media elektronik adalah media yang proses bekerjanya berdasar pada
prinsip elektronik dan elektromagnetis. Media elektronik menyampaikan berita
atau informasi dengan cara memperdengarkan suara dan memperlihatkan
gambar, serta dengan menampilkan proses terjadinya suatu peristiwa82. Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia media elektronik ialah sarana media
massa yang menggunakan alat-alat elektronik modern, seperti83:
1) Radio
Radio berasal dari kata Radios yang berarti benda-benda
elektronika yang menciptakan suara untuk berkomunikasi84. Radio
merupakan suatu medium komunikasi, dimana pesan berupa suara
diubah menjadi sinyal suara, dipancarkan dari suatu sumber (a
sender) dengan antene pemancar, tanpa perangkat kabel, melalui
gelombang elektromagnetik, kemudian diterima oleh antene
penerima, pada pesawat penerima (a receiver), yang mengubah
sinyal suara menjadi berupa suara kembali85.
2) Televisi
Televisi berasal dari dua kata, yaitu tele dari bahasa yunani yang
artinya jauh dan visi dari bahasa latin yang artinya citra/gambar. Jadi
arti dari televesi yaitu suatu sistem penyajian gambar berikut suara

80
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Majalah diakses pada tanggal 22 Desember 2021 Pukul
15.00 WIB
81
Yohanis D. Kiding, “Karya Media Cetak (Majalah Civitas)”, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin 2013, hal 32-35
82
http://e-joumal.uajy.ac.id/2972/3Z2TA11628.pdf diakses pada tanggal 22 Desember 2021 pukul 22.00 WIB
83
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https :ZZkbbi.kemdikbud.go.idZ entri/Media%20elektronik diakses pada tanggal 23
Desember 2021 pukul 09.30 WIB
84
Marfuah Sri Sanityastuti, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 2014), hal.56
85
Fred Wibowo, Teknik Produksi Program Radio Siaran, (Yogyakarta: Grasia Book Publisher, 2012), hal.1

28
dari suatu tempat yang berjarak jauh86. Televisi adalah salah satu
media massa yang merupakan paduan radio (broadcast) dan film
(moving picture). Televisi terdiri dari istilah “tele” yang berarti jauh
dan “vision” yang berarti penglihatan. Segi “jauh” dihasilkan
dengan prinsip radio, sedangkan segi “penglihatan” oleh gambar87.

c. Media Online
Menurut Ashadi Siregar media online adalah sebutan umum untuk sebuah
bentuk media yang berbasis telekomunikasi dan multimedia. Media online
hadir untuk mengisi permintan pasar dikarenakan perkembangan teknologi
yang sangat cepat88. Media online merupakan media yang menggunakan
internet. Media online meliputi:
1) Internet
Internet adalah jaringan komputer yang berkembang pesat dari jutaan
bisnis, pendidikan, dan jaringan pemerintahan yang saling berhubungan
dengan jumlah penggunaannya lebih dari 200 negara89.
2) Website
Website merupakan kumpulan halaman-halaman yang digunakan
untuk menampilkan informasi teks, gambar diam atau gerak, animasi,
suara dan atau gabungan dari semuanya, baik yang bersifat statis
maupun dinamis yang membentuk satu rangkaian bangunan yang saling
terkait, yang masingmasing dihubungkan dengan jaringan-jaringan
halaman90.

86
http://e-journal.uajy.ac.id/2933/3/2TA11242.pdf, diakses pada tanggal 28 Desember
2021 pukul 09.14 WIB
87
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2016), hal.174
88
Kurniawan, Agung, Transformasi Pelayanan Publik, (Yogyakarta: Penerbit Pembaharuan, 2015), hal.20
89
O’Brien, James A, Pengantar Sistem Informasi: Perspektif Bisnis dan Manajerial, Edisi 16, Perjemahan Dewi Fitriasari dan
Deny Arnos Kwary, (Jakarta: Salemba Empat, 2012), hal.10
90
H. B. Bekti, Mahir Membuat Website dengan Adobe Dreamweaver CS6, CSS dan Jquery (Yogyakarta: Andi, 2015), hal.35

29
4. Karakteristik Media Masa
Didalam buku karangan Cagara dijelaskan mengenai karakteristik media massa.
Karakterisitik dalam media massa meliputi91:
a. Media massa memiliki sifat melembaga, Artinya ada banyak pihak yang
mengelola media, mulai dari pihak pengumpul berita, pengolah berita,
hingga penyajian berita atau informasi.
b. Komunikasi dalam media massa seringkali dilakukan satu arah. Kurang
memungkinkan terjadi dialog antara komunikator dan komunikan. Jikapun
terjadi reaksi atau feedback, biasanya memerlukan kurun waktu yang cukup
lama atau tertunda.
c. Media massa bersifat meluas dan serempak, jarak dan waktu tidak akan
menjadi halangan karena media massa melebihi kecepatan. Ia bergerak
secara luas sehingga informasi yang disebarluaskan dapat diterima oleh
banyak komunikan dalam waktu yang sama.
d. Biasanya media massa menggunakan peralatan mekanis, seperti televisi,
radio, surat kabar dan sejenisnya.
e. Media massa memiliki sifat terbuka, maksudnya pesan yang disampaikan
dapat diterima oleh siapapun dan dimanapun tanpa mengenal usia, jenis
kelamin, suku dan agama.

5. Peran Media Massa


Menurut McQuail mengidentifikasi peran media massa dapat seperti berikut92:
a. Jendela pengalaman yang meluaskan pandangan dan memungkinkan kita
mampu memahami apa yang terjadi di sekitar kita, tanpa campur tangan
pihak lain atau sikap memihak.
b. Juru bahasa yang menjelaskan dan memberi makna terhadap peristiwa atau
hal yang terpisah dan kurang jelas.
c. Pembawa atau penghantar informasi dan pendapat.

91
Hafied Cangara, Op.Cit, hal.135
92
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/338/1/KOMUNIKASI%20MASSA%20full.pdf
diakses pada tanggal 28 Desember 2021 Pukul 13.00 WIB

30
d. Jaringan interaktif yang menghubungkan pengirim dengan penerima melalui
berbagai macam umpan balik.
e. Penunjuk jalan yang secara aktif menunjukkan arah, memberikan bimbingan
atau instruksi.
f. Penyaring yang memilih bagian pengalaman yang perlu diberi perhatian
khusus dan menyisihkan aspek pengalaman lainnya, baik secara sadar dan
sistematis atau tidak.
g. Cermin yang memantulkan citra masyarakat terhadap masyarakat itu sendiri.
Biasanya pantulan citra itu mengalami perubahan (distorsi) karena adanya
penonjolan terhadap segi yang ingin dilihat anggota masyarakat, atau sering
segi yang ingin mereka hakimi atau cela.
h. Tirai atau penutup yang menutupi kebenaran demi mencapai tujuan
propaganda atau pelarian dari suatu kenyataan (escapism).
Media massa dapat berperan positif dalam berbagai aspek kehidupan manusia,
tetapi juga dapat berperan negatif dalam kehidupan manusia. Media menjalankan
peranannya dalam kehidupan sosial dengan melakukan hal-hal berikut93:
a. Penyebar informasi yang obyektif dan edukatif.
b. Melakukan kontrol sosial yang konstruktif.
c. Menyalurkan aspirasi rakyat dan memperluas komunikasi dan partisipasi
masyarakat.

6. Kebebasan Pers
Menurut Prof Oemar Seno Adji pengertian pers terbagi menjadi dua ruang lingkup
yaitu pers dalam arti sempit dan pers dalam arti luas94.
a. Pers dalan arti sempit mengandung didalamnya penyiaran- penyiaran pikiran,
gagasan, ataupun berita dengan jalan kata tertulis.
b. Pers dalam arti luas memasukan didalmnya semua massa media komunikasi
yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata
tertulis maupun dengan kata-kata lisan.

93
Ibid
94
Abdul Fatah, Hukum Pers Indonesia, (Malang: Setara Press, 2019), hal 2

31
Pers dalam arti luas adalah media tercetak atau elektornik yang menyampaikan
laporan dalam bentuk fakta, pendapat, usulan, dan gambar kepada masyarkat luas
secara regular. Laporan yang dimaksud yaitu setelah melalui proses mulai dari
pengumpulan bahan sampai dengan penyiaran. Sedangkan Pers dalam arti sempit
adalah media tercetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah, dan
bulletin. Sedangkan media elektronik meliputi radio, film, dan televisi.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999
Tentang Pers: “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara,
gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya
dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang
tersedia”95
Pers mempunyai fungsi yang tercantum dalam pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yaitu 96:
a. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan, dan kontrol sosial
b. Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi
sebagai lembaga ekonomi.
Menurut Wilbur Schramm sebagai media komunikasi, pers mempunyai tiga fungsi
mendasar yaitu97:
a. Memberi informasi yang objektif kepada pembaca mengenai apa yang terjadi
di dalam lingkungan negaranya, dan yang sedang terjadi di dunia.
b. Mengulas berita-beritanya dalam tajuk rencana dan membawa perkembangan
menjadi fokus (sorotan).
c. Menyediakan jalan bagi orang yang akan menjual barang dan jasa untuk
memasang iklan.

95
Edy Susanto, Op.Cit, hal.23
96
Undang-Undang Pers, Loc.Cit.
97
F. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers, Analisis Deskritifif Sistem Pers di Berbagai Negara, (Jakarta: PT Gramedia, 2012),
hal. 12

32
Berdasarkan pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,
pers mempunyai hak dan kewajiban.hak dan kewajiban pers ialah sebagai berikut:
Hak pers:
a. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara
b. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
c. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
d. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai Hak Tolak.
Kewajiban pers:
a. Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tak bersalah.
b. Pers wajib melayani Hak Jawab.
c. Pers wajib melayani Hak Koreksi.
Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 6 Undang-Undang Pers, peran pers
adalah: Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat,
dan benar.
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Berdasarkan peran pers diatas pers memegang peran penting untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdemokratis. Karna pers
mempunyai peran dan fungsi sebagai kontrol sosial sehingga dapat mencgah terjadi
nya penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa atau pemerintah dan juga mencegah
terjadi praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan peyelewengan atau penyimpangan

33
lainnya. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan pers memliki korelasi
dekat dan erat dengan kemerdekaan pers atau kebebasan pers.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers yang mengemukakan bahwa, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyat yang berasaskan sebagai berikut98:
a. Asas Demokrasi
b. Pers harus memegang prinsip demokrasi, dengan menjunjung tinggi nilai
demokrasi dengan menghormati dan menjamin adanya hak asasi manusia dan
menjunjung kemerdekaan dalam penyampaian pikiran/pendapatnya, baik
secara lisan maupun tulisan.
c. Asas Keadilan
d. Dalam penyampaian informasinya kepada khalayak ramai (masyarakat) itu
harus memegang teguh nilai keadilan. Dimana dalam pemberitaan itu tidak
memihak atau tunduk pada salah satu pihak tetapi harus berimbang dan tidak
merugikan salah satu pihak (berat sebelah).
e. Asas Supremasi Hukum
f. Pers dalam menjalankan setiap kegiatannya harus berlandaskan hukum.
Dimana meletakkan Hukum sebagai bertindak yang diposisikan di tingkat
tertinggi. Sehingga pers tidak lantas begitu bebasnya bertindak meskipun telah
ada jaminan Kebebasan Pers yang diberikan oleh Undang-Undang.
Berdasarkan dengan Pasal 1 Undang-Undang Pers bahwa sesungguhnya Undang-
Undang Pers adalah undang-undang yang mengatur dan menjamin terselenggaranya
kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak
asasi warga negara. Undang-Undang Pers memberikan jaminan adanya kemerdekaan
pers sebagai hak asasi warga negara, dan bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan,
pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi
terjamin. Karena kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan
pentingnya penegakkan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan

98
Undang-Undang Pers, op.cit, Ps.2

34
tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan
hati nurani insan pers.
Nilai-nilai kebebasan pers telah diakomodir di dalam Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 maka dari itu jika merujuk pada kosinder menimbang
dalam Undang-Undang Pers mengapa mengacu pada pasal 28 Undang-Undang dasar
Republik Indonesia yang mana dijelaskan “kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”. Serta Pasal 28 F yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia”. Karena hal tersebut menunjukkan bahwa negara telah mengakui
kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah perwujudan negara
yang demokratis dan berdasarkan hukum.
Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga
sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, Bab VI Pasal 20 dan 21 yang isinya sebagai berikut: Pasal
20 yaitu, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Dan Pasal 21 yaitu “setiap orang
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampapikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Serta diatur juga dalam Undang-undang No. 29 Tahun 2000 Tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 14 Ayat (1) dan (2) yaitu sebagai berikut99:
(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang
diperukan untuk mengembangkan pribadi dan lingungan sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
sarana yang tersedia.

99
Diah Ratu Sari, “Trial By The Press Pada Berita Harian dan Majalah Mingguan Ibukota”, Thesis Universitas Indonesia Jakarta
2014, hal. 14

35
Selain dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia juga dijamin dalam
piagam HAM PBB (Universal Declaration Of Human Rights) article 10 of Human
Right Act: freedom of expression yang menyatakan bahwa: “Everyone has the right to
freedom of opinion and expresion; this right includes freedom to hold opinions without
interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media
and regardles of frotiers”. Artinya bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan
mengeluarkan pendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki
pendapat tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima dan meberikan
informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas-batas wilayah”.
J. Herbert Altschull mendefinisikan kebebasan pers sebagai berikut:
a. Pada sistem pasar, kebebasan pers dipandang sebagai para wartawan bebas
dari segaa bentuk kontorl eksternal, pers tidak melayani kekuasan negara
atau tidak boleh dimanipulasi oleh kekuasaan negara, pers
tidakmembutuhkan kebijaksanaan persnasional yang menjamin adanya
kebebasan pers.
b. Pada sistem Marxis kebebsan pers dianggap sebagai pers harus menyiarkan
pendapat semua golongan, masyarakat, tidak hanya pendapat golongan
yang berpunya saja, kebebasan pers diperlukan untuk mengahmbat dan
menangkal semua ancaman yang datang dari luar, pers membutuhkan
kebijaksanaan pers nasional untuk menjamin pelaksanaan pers berjalan
sesuai dengan kehendak negara.
c. Pada sistem berkembang kebebasan pers dipandang sebagai: para wartawan
bebas menentukan ihwal yang baik dan yang buruk, kepentingan nasional
lebih penting ketimbang kebebasan pers, pers membutuhkan kebijaksanaan
pers nasional untuk melindungi kebebasan pers yang legal.
Kebebasan pers merupakan cerminan dari negara yang menjunjung tinggi nilai
demokrasi. Dengan di jaminnya kebebasan pers dalam undang-undang bukan berarti
akan terbebas dari kendala yang mereduksi atau mendistrosi kebebasan tersebut.
Berdasarkan dari apa yang sudah tercantum dalam Undang-Undang Pers dan Kode Etik
Jurnalistik disimpulkan bahwa wartawan atau jurnalis adalah sebuah profesi. Maka dari

36
itu jurnalis dituntut untuk menerapkan etika porfesi dalam menjalankan profesinya.
Bekerja tanpa kode etik menunjukkan seseorang tidak profesional. Pers dalam
bertindak tidak boleh menyalahgunakan kebebasannya. Berdasarkan pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Pers menegaskan bahwa: Pasal 7 ayat (2) “Wartawan memiliki dan
menaati Kode Etik Jurnalistik”.

7. Kode Etik Pers Dalam Pemberitaan Pada Proses Hukum


Pemberitaan menurut William S. Maulsby adalah sesuatu penuturan secara benar
dan tidak memihak dari fakta yang mempunya arti penting dan baru terjadi, yang dapat
menarik perhatian pembaca surat kabar yang memuat hal tersebut. Secara tidak
langsung dalam pengertian ini media massa harus bertindak sesuai dengan kaidah
jurnalistik pemberitaan, Media harus bersikap netral tanpa ada embel- embel suatu
kepentingan politik, atau di susupi oleh para elite politik yang berkuasa. Agar tidak
terjadi hal tersebut maka telah dibuat aturan untuk ditaati oleh pers, yaitu Kode Etik
Jurnalistik,namun pada kenyataan nya masih saja ditemukan pelanggaran yang
dilakukan oleh pers. Ada dua kemungkinan penyebab dari masih terjadi nya
pelanggaran, kemugkinan pertama yaitu tidak sengaja dan kedua disengaja.
Kode etik adalah canon, yaitu prinsip yang diterima sebagai landasan profesi.
Dengan kode etik, pelaksana profesi menjalankan kegiatan profesional untuk menjaga
eksistensi sosialnya. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) adalah Etika Profesi Wartawan
Indonesia yang harus dipatuhi. Dirumuskan pertama kali pada konferensi PWI di
Malang tahun 1947. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Pers menjelaskan bahwa Selain
ketentuan Undang-Undang Pers, wartawan juga wajib menaati Kode Etik Jurnalistik.
Kode Etik Jurnalistik dapat dikatakan sebagai hukum yang bersifat interen (Self
Imposed) yang dibuat oleh wartawan Indonesia sendiri melalui organisasinya, untuk
ditaati setiap wartawan.
Berdasarkan peraturan Dewan Pers Nomor : 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang
pengesahan surat keputusan dewan pers Nomor 03/SK-DP/IH/2006 tentang kode etik
jurnalistik sebagai peraturan Dewan Pers. Selain itu dijelaskan juga pada Pasal 15 ayat
(2) huruf c Undang-Undang Pers bahwa Kode Etik Jurnalistik ini ditetapkan dan
diawasi pelaksanaannya oleh Dewan Pers. Pada putusan dewan pers tersebut bahwa

37
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers dan sanksi
atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau
perusahaan pers. Yang mana organisasi tersebut ialah: Aliansi Jurnalis Independen
(Aji), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Wartawan Demokrasi
Indonesia (AWDI), Asosiasi Wartawan Kota (AWK), Federasi Serikat Pewarta (FSP),
Gabungan Wartawan Indonesia (GWI), Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia
(HIPWI), Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI), Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI), Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAP
HAMBA), Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI), Kesatuaan Wartawan Demokrasi
Indonesia (KEWADI), Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI), Komite
Wartawan Indonesia (KWI), Komite Nasionl Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI),
Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI), Korps Wartawan
Republik Indonesia(KOWRI), Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI), Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI).

38
BAB III

ASAS PRADUGA TAK BERSALAH KESALAHAN MENURUT FAKTA DAN


KESALAHAN MENURUT HUKUM

Asas praduga tidak bersalah tidak hanya ada, dikenal dan diatur dalam persoalan penegakan
hukum pidana dengan mempergunakan Sistem Peradilan Pidana (SPP). Asas praduga tidak
bersalahpun ada, dikenal dan diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
(sebagai aturan perubahan dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 1966 tentang
Ketentuanketentuan Pokok Pers yang kemudian diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1967 dan
kemudian Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982), khususnya pada Pasal 5 ayat (1),

Isi selengkapnya di dalam Pasal 5 ayat (1) adalah sebagai berikut Pasal 5 ayat (1) Pers nasional
berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan
rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah. Bahkan memberikan ancaman
hukuman pidana kepada pelanggarnya sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 ayat (2) dengan
hukuman denda paling banyak Rp. 500.000.000.00,- (limaratus juta rupiah). Walaupun
diredaksikan “... menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tidak bersalah” yang dapat diartikan 3 (tiga) tindakan atau perbuatan tersebut kumulasi,
satu kesatuan, atau sekali berbuat maka tiga tindakan telah dilakukan (cocursus idealis atau
perbarengan tindakan tunggal – Pasal 63 KUHP), namun harus diartikan ketiga tindakan tersebut
adalah terpisah atau satu persatu. Yaitu pertama tindakan menghormati normanorma agama; kedua
rasa kesusilaan masyarakat ; dan ketiga, adalah asas praduga tidak bersalah.

Sebab apabila dirumuskan dalam satu kesatuan, maka tidak mungkin (sangat sulit sekali) terjadi
peristiwa hukum pers yang sekaligus melanggar ketiganya. Atau akan terdapat kilah karena baru
satu yang dilanggar maka belum memenuhi keseluruhan unsur di dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut.
Sekali lagi tidak dalam posisi satu kesatuan, namun sebagai bentuk alternatif atau salah satupun
bisa telah terlanggar. Undang-undang pers adalah satu-satunya produk hukum yang memberikan
ancaman hukuman atau sanksi atas pemberitaan yang tidak menghormati asas praduga tidak
bersalah. Kajian terhadap asas praduga tidak bersalah, membagi obyek kajiannya menyangkut 2
(dua) hal:

39
1. terhadap apa yang telah dilakukan – ditindakan – oleh seorang tersangka atau terlapor
pelaku tindak pidana;
2. terhadap yang dinyatakan sebagai yang telah melakukan tindak pidana –
tersangka/terlapor subyek hukum.

Asas praduga tidak bersalah adalah istilah hukum yang ada dalam khasanah hukum acara
pidana (hukum pidana formil), atau pada saat ada peristiwa penegakan hukum dalam hal ini adalah
hukum pidana-law enforcement-. Asas dalam hukum acara pidana tersebut biasanya dipahami
sebagai “seseorang oleh hukum baru dinyatakan sebagai orang yang bersalah, apabila telah
terdapat putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan seseorang tersebut
telah terbukti bersalah”.Dari batasan pengertian yang sederhana tersebut, melalui tulisan yang
sederhana ini penulis ingin mencoba untuk memahaminya.

Pertama, masuk dalam kategori asas, asas dalam hukum acara pidana, maka praduga tidak
bersalah, harus menjadi dasar dalam setiap tindakan penegak hukum yang mempergunakan sistem
peradilan pidana sebagai sarana penyelesaian suatu kasus. Kedua, “seseorang oleh hukum” artinya
adalah dalam menilai suatu kasus (peristiwa hukum pidana) dari sisi (penegakan) hukum, harus
dibedakan antara kesalahan menurut fakta dengan kesalahan menurut hukum. “Kesalahan menurut
fakta” misalnya terdapat suatu peristiwa hukum pidana “A telah memukul B”.

Secara fakta artinya hanya didasarkan pada apa yang dilihat pada saat A memukul B, orang
akan mengatakan A telah bersalah memukul atau dalam bahasa hukum pidana menganiya B (Pasal
351KUHP). Sedangkan “kesalahan menurut hukum” yaitu hukum telah dijadikan sebagai “pisau
analisa” terhadap fakta yang ada, dan sekaligus terhadap subyek hukum yang akan dimintai
pertanggungjawaban atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi tidak semata-mata menyalahkan
yang di dasarkan atas fakta, namun fakta yang telah dianalisis oleh hukum, yang kemudian
ditemukan keadaan baik secara fakta maupun secara hukum orang tersebut adalah salah dan dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana. Misal A yang telah memukul B, ternyata memang terdapat
maksud atau keinginan dari A untuk secara sengaja bermaksud untuk melukai B. Bukan karena B
misalkan telah menyerang A terlebih dahulu, dan kemudian A melakukan tindakan pembelaan
yang bentuknya merupakan suatu pemukulan (bela paksa – noodweer – Pasal 49 ayat (1) KUHP).
“Kesalahan menurut fakta” dan “Kesalahan menurut hukum” adalah dua “teropong hukum”
yang berbeda.

40
Kedua “Teropong hukum” ini apabila diarahkan pada suatu obyek (kasus pidana), akan
memunculkan beberapa penilaian. Penilaian pertama, akan memberikan hasil penilaian yang sama
antara kesalahan menurut fakta dengan kesalahan menurut hukum, artinya baik dilihat dari
faktanya memang orang tersebut adalah salah, demikian juga apabila dilihat dari sisi hukum ia pun
adalah orang yang salah dan dapat dimintai pertanggungjawaban; Penilaian kedua, akan
memberikan hasil penilaian yang berbeda antara kesalahan menurut fakta dengan kesalahan
menurut hukum, artinya apabila dilihat dari faktanya memang orang tersebut adalah salah (karena
telah menganiaya B), namun apabila dilihat dari sisi hukum tidak salah dan tentunya tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban, karena terdapat bukti sebelum A memukul B, B telah terlebih
dahulu menyerang A (bela paksa – noodweer – Pasal 49 ayat (1) KUHP).

Dari sinilah kemudian asas praduga tidak bersalah memperoleh dasarnya. Fakta memang kita
dapat berpendapat orang tersebut telah bersalah, namun nanti dulu untuk menyatakan pasti
bersalah. Fakta tersebut harus melalui proses analisis hukum untuk kemudian diperoleh kenyataan
bahwa memang benar orang tersebut bersalah. Jangan menyatakan orang bersalah kalau belum
sampai hukum telah memberikan penilaian salah, tunggulah sampai fakta dan hukum selesai
memberikan penilaian.

Ketiga, “apabila telah terdapat putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan seseorang tersebut terbukti telah bersalah” siapa yang mempunyai kewenangan
menilai dan dimana penilaian atas tindakan seseorang dari sisi hukum (pidana) diberikan. Memang
benar bahwa seseorang telah melakukan tindakan atau perbuatan yang menimbulkan kerugian
pada pihak lain, muncul adanya korban. Atas apa yang dilakukan kalau dibuat analisisnya telah
memenuhi unsur-unsur dari suatu pasal dalam suatu ketentuan pidana, atau ia telah melakukan
tindak pidana. Namun hukum pidana menentukan bahwa hanya ditangan hakimlah penentuan
seseorang bersalah itu berada, tidak pada polisi dan juga tidak pada jaksa, apalagi masyarakat.

Kepolisian sebagai penyidik, dengan kewenangan yang dimilikinya hanya berfungsi untuk
“berupaya” mencari dan mengumpulkan bukti. Tidak lebih dari itu. Jaksa dengan kewenangan
yang dimiliki sekedar mengolah bukti, sehingga kemudian ia dapat menuntut seseorang ke
pengadilan. Apalagi masyarakat yang secara hukum tidak mempunyai kewenangan untuk
mengumpulkan bukti – turut serta atau partisipasi masyarakat terbatas pada dapat membantu untuk
memberikan atau menunjukkan bukti adalah bentuk partisipasi masyarakat untuk kepentingan

41
penegakkan hukum. Apalagi bicara mengolah bukti sehingga dapat menuntut seseorang ke
pengadilan adalah bukan peranan dari anggota masyarakat. Sehingga pernyataan “ anda telah
bersalah melanggar hukum” dari sisi hukum dan proses penegakkan hukum tidak akan pernah
atau dapat dinyatakan oleh pihak selain hakim. Sekalilagi hanya ada pada hakim!. Tetapi itupun
belum cukup, penentuan bersalah dari seorang hakim yang dituangkan dalam bentuk putusan.
Bentuk putusannya haruslah dalam bentuk putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Artinya
terhadap putusan tersebut tidak ada lagi upaya hukum (banding atau kasasi).

Keempat, terhadap yang yang dinyatakan sebagai yang telah melakukan tindak pidana-
tersangka atau terlapor. Asas praduga tidak bersalah sebagai pedoman cara melaksanakan
penegakan hukum. Selain dilihat dari sisi “teropong hukum”, maka asas inipun mengandung
materi muatan pedoman bagi aparat penegak hukum yang bertugas menyidik dalam menjalankan
kewenangannya khususnya dalam mencari dan mengumpulkan bukti dan berhadapan dengan
seseorang yang telah disangka melakukan tindak pidana. Di sini menyangkut persoalan apa yang
harus dilakukan oleh aparat penegak hukum penyidik pada saat berhadapan dengan seorang
tersangka pelaku tindak pidana.

Di sini kembali pada persoalan secara fakta memang benar ia telah melakukan tindak pidana,
namun secara hukum masih harus diposisikan “nanti dahulu” kalau kemudian dia bersalah dan
dinyatakan bertanggungjawab atas peristiwa hukum pidana yang terjadi. “Nanti dulu” adalah suatu
“jeda waktu” untuk ada kesempatan hukum dijadikan sebagai “pisau analisa” terhadap peristiwa
hukum pidana yang telah terjadi. Maknanya menunggu adalah menunggu adanya hasil proses
analisis hukum untuk membuktikan salah atau tidaknya seseorang tersebut. Karena masih dalam
proses untuk menentukan salah atau tidaknya seorang tersangka pelaku tindak pidana. Juga hanya
hakim melalui putusannya yang telah berkekuatan hukum tetap yang dapat menyatakan seseorang
bersalah. Maka tahapan-tahapan proses penyidikan dan atau penuntutan juga apapun hasil dari
fakta yang ada harus diposisikan tersangka/terlapor adalah orang yang tidak atau belum tentu
bersalah.

Bersalah, maknanya adalah ia memang benar telah melakukan tindak pidana dan dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana atas apa yang telah dilakukan. Perlakuan terhadap seorang
yang tidak atau belum tentu bersalah dalam proses penegakkan hukum, karena adanya asas
praduga tidak bersalah, dengan mempergunakan sarana sistem peradilan pidana harus mampu

42
memberikan jaminan atau perlindungan bahwa orang tersebut dalam bentuk “bebas dalam
memberikan keterangan”. “Bebas dalam memberikan keterangan”, adalah bentuk yang nyata
adanya asas praduga tidak bersalah. Penyidik, harus berkemampuan untuk memposisikan dirinya
bahwa orang yang dihadapi harus diberikan jaminan atau perlindungan bahwa ia adalah orang
yang harus “bebas dalam memberikan keterangan”. Namun sementara itu penyidik harus pula
mencari dan atau mengumpulkan bukti.

Mencari dan mengumpulkan bukti adalah tugas yang akan dilakukan oleh oleh penyidik.
Dalam melaksanakan tugas tersebut sejumlah kewenangan diberikan oleh undang-undang
kepadanya. Dengan kewenangan tersebut memungkinkan bagi penyidik untuk melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki oleh seseorang. Bahkan dapat dikatakan apa yang
dilakukan dapat dinilai sebagai tindak pidana. Namun karena apa yang dilakukan adalah
diperintahkan oleh undang-undang, maka hapuslah unsur melawan hukum dari tindakannya (dasar
penghapus pidana dengan alasan pembenar Pasal 50 KUHP menjalankan perintah undang-
undang). Batasbatas menjalankan kewenangan harus ada, agar tidak terjadi tindakan yang
sewenang-wenang. Salah satu batas wewenang tersebut adalah jaminan atau perlindungan bahwa
tersangka adalah orang yang harus diberikan kebebasan dalam memberikan keterangan.

Bentuk-bentuk tindakan yang mencerminkan jaminan atau perlindungan kebebasan dalam


memberikan keterangan, tercermin dalam bentuk hak-hak tersangka. Hak-hak tersebut mulai dari
harus diberikan kesempatan untuk didampingi penasehat hukum, upaya paksa yang harus sesuai
dengan prosedur yang ada, sampai dengan bukan pengakuan yang diberikan oleh tersangka, tetapi
adalah keterangan tersangka.

A. Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Pemberitaan


Sebagaimana yang telah penulis sampaikan pada bagian awal dari tulisan ini, bahwa
Undang-undang Pers menurut sepengetahuan penulis adalah satu-satunya produk hukum yang
juga mengatur mengenai asas praduga tidak bersalah dan sekaligus memberikan ancaman
hukuman bagi pelanggar asas tersebut. Pada bagian lain juga penulis sampaikan bahwa hakim
adalah satusatunya pihak yang dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat
menyatakan seseorang sebagai bersalah. Pernyataan bahwa seseorang bersalah dapat
dilakukan dengan banyak cara. Tidak harus menyatakan secara langsung bahwa “si A adalah
pelaku penganiayaan”, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara menunjukkan gambar diri

43
A secara utuh terutama yang dapat menunjukkan seperti apa wajah dari A tersebut, dan
tulisan mengenai apa yang telah dilakukan oleh A tersebut yaitu melakukan tindakan
penganiayaan terhadap B. Dari bentuk “si A adalah pelaku penganiayaan” dengan “gambar
diri A secara utuh terutama yang dapat menunjukkan seperti apa wajah dari A tersebut, dan
tulisan mengenai apa yang telah dilakukan oleh A tersebut yaitu melakukan tindakan
penganiayaan terhadap B”, pada diri yang mengetahui dengan cara mendengar atau melihat
dapat dikatakan dengan pasti bahwa ia akan mengatakan A adalah pelaku penganiayaan dan
kemudian A adalah orang yang bersalah. Tidak diperlukan lagi “nanti dulu” atau “jeda
waktu” untuk ada kesempatan hukum dijadikan sebagai “pisau analisa” terhadap peristiwa
hukum pidana yang telah terjadi. “Label” atau “cap” tersebut langsung melekat pada diri A,
bahwa ia adalah pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap B.
Lebih parah keadaannya artinya akan lebih melanggar asas praduga tidak bersalah, apabila
yang diberitakan adalah target-target tertentu dari penegakan hukum. Misal pemberitaan
mengenai terorisme yang menjadi andalan pihak kepolisian khususnya Densus 88.
Pemberitaan kasus korupsi yang menjadi andalan KPK. Rakyat kecil yang menjadi sasaran
atau obyek penegakkan hukum, akan menjadi korban pelanggaran asas praduga tidak
bersalah. Dasar pemberitaannya adalah mereka orang yang pasti salah!, tidak perlu lagi ada
batasan-batasan dalam pemberitannya. Dan pasti mereka tidak akan mungkin melakukan
perlawanan atas pemberitaan ini apapun bentuk atau model pemberitannya.
Dari pemberitaan, media massa yang ada telah mengambil alih kewenangan yang dimiliki
oleh hakim, yaitu kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara dengan menyatakan
seseoarang bersalah atau tidak bersalah. Di mana letak kesempatannya bagi “teropong
hukum” yang akan menganalisa kasus dari sisi “kesalahan menurut hukum” untuk
dipergunakan?. Dalam pemberitaan tersebut dapat dikatakan sebagai nyaris tidak ada
tempatnya. Menjadi pertanyaan adalah sehingga bagaimana bentuk pemberitaan yang tidak
melanggar asas praduga tidak bersalah? Dalam posisi yang umum adalah pemberitaan yang
tidak membuat pembaca akhirnya dapat memutuskan atau menyimpulkan bahwa orang yang
disebut di dalam berita itu adalah orang yang bersalah.

44
B. Asas Praduga Tak Bersalah dalam Penegakan Hukum Pada Umumnya
Landasan hukum asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) selain ditemukan
secara khusus dalam hukum pers, pengaturan asas hukum asas praduga tidak bersalah yang
dikenal secara umum telah ditetapkan mendasari hukum acara dan penegakan hukum (law
enforcement)100. Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) asas praduga tidak bersalah ditemukan
dalam penjelasan umum butir 3 huruf c, disebutkan; “Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Selain dalam KUHAP, sebenarnya ketentuan lain asas praduga tak bersalah juga telah
dirumuskan dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun
1970, yang berbunyi :“Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan
atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis atau teknis penyidikan dinamakan
“prinsip akusatur” atau accusatory procedure (accusatorial system). Prinsip akusatur
menempatkan kedudukan tersangka terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah
subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan. Untuk itu tersangka atau terdakwa harus
didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai hak asasi..
Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan”
(tindakan pidana), yang dilakukan tersangka. Ke arah itulah pemeriksaan ditujukan.
Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada aparat
penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap tingkat pemeriksaan.
Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang “inkuisitur” atau
inquisitorial system yang menempatkan tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan sebagai
objek yang dapat diperlakukan dengan sewenangsewenang. Prinsip inskuisitur ini dulu
dijadikan landasan pemeriksaan dalam periode HIR (sebelum KUHAP berlaku), sama sekali

100
Penjelasan Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

45
tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka untuk membela diri dan
mempertahankan hak dan kebenaran101.
Sebab sejak semula aparat penegak hukum sudah apriori menganggap tersangka bersalah.
Seolah-olah si tersangka atau terdakwa sudah divonis sejak saat pertama diperiksa dihadapan
penyidik tersangka dianggap dan dijadikan sebagai objek pemeriksaan tanpa mempedulikan
hak-hak asasi manusia dan haknya untuk membela dan mempertahankan martabat serta
kebenaran yang dimilikinya. Akibatnya, sering terjadi dalam praktek, seorang yang benar-
benar tidak bersalah terpaksa menerima nasib sial, meringkuk dalam penjara. Masih ingat
dalam kasus Sengkon dan Karta, yang meringkuk menjalani hukuman beberapa tahun, tapi
pembunuhan yang dituduhkan kepadanya ternyata pelakunya adalah orang lain.
Ketentuan perundang-undangan mengenai hukum pers dan etika jurnalistik sebenarnya
tidak banyak menguraikan tentang asas praduga tak bersalah. Begitu juga referensi bukubuku
dan tulisan mengenai asas ini sangat terbatas, seperti dalam Undang- Undang Nomor 40 tahun
1999 tentang Pers berdasarkan penelusuran memuat sangat singkat hanya satu ayat yaitu Pasal
5 ayat (1) menyebutkan:“Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini
dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tak bersalah.” Dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud dengan pasal 5 ayat (1)
adalah pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat
kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasuskasus yang masih dalam proses
peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam
pemberitaan tersebut102.
Begitu juga asas praduga tak bersalah dalam Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers tahun 2006
pengaturannya ditemukan dalam Pasal 3: “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi,
memberitakan secara berimbang , tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang
menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.” Sedangkan dalam penafsiran
KEJ menjelaskan yang dimaksud dengan asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak
menghakimi seseorang.103 Etika pers ini menganut asas professional dan supremasi hukum.
Di samping itu untuk memantapkan kebebasan pers yang bertanggung jawab asas pers

101
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP-Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar
Grafika,Cetakan Ketujuh, Jakarta, 2015, hlm. 40.
102
Ibid
103 .
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

46
praduga tak bersalah juga mendapat pengaturan lain dalam bentuk pedoman berjudul
“Sepuluh Pedoman Penulisan Tentang Hukum” yang dikeluarkan oleh PWI104.
Dalam pedoman butir 1 disebutkan sbb: “Pemberitaan mengenai seseorang yang
disangka/dituduh tersangkut dalam suatu perkara hendaknya ditulis dan disajikan dengan
tetap menjunjung tinggi asas “praduga tidak bersalah (Presumption of innocence) serta Kode
Etik Jurnalistik, khususnya ketentuan Pasal 3 Ayat (4)yang berbunyi sebagai berikut:
“Pemberitaan tentang jalannya Pengadilan bersifat information dan yang berkenaan dengan
seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara tetapi belum dinyatakan bersalah oleh
Pengadilan, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan terutama mengenai nama dan identitas
yang bersangkutan”. Dalam rangka kebijaksanaan yang dikehendaki oleh Kode Etik
Jurnalistik tadi pers dapat saja menyebut lengkap nama tersangka/tertuduh, jika hal itu demi
kepentingan umum. Tetapi dalam hal ini tetaplah harus diperhatikan prinsip adil dan
“fairness” memberitakan kedua belah pihak atau “cover both sides”. Sepuluh Pedoman
Penulisan tentang Hukum
1. Pemberitaan mengenai seseorang yang disangka / dituduh tersangkut dalam suatu perkara
hendaknya ditulis dan disajikan dengan tetap
Menurut pengamatan pedoman penulisan hukum ini masih valid dan tetap aktual,
meskipun akhir-akhir ini kurang populer di kalangan wartawan terutama wartawan muda
karena jarang dibaca, padahal isinya penting dan aplikatif dalam penulisan berita terkait
pemberitaan hukum. Di bawah ini disajikan secara lengkap sepuluh pedoman penulisan
yang dimaksud, menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent)
serta kode etik jurnalistik, khususnya ketentuan pasal 3 Ayat (4) yang berbunyi sebagai
berikut: “Pemberitaan tentang jalannya pengadilan bersifat information dan yang
berkenaan dengan seorang yang tersangkut dalam suatu perkara tetapi belum dinyatakan
bersalah oleh pengadilan, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan terutama mengeni nama
dan identitas yang bersangkutan.
2. Dalam rangka kebijaksanaan yang dikehendaki oleh kode etik jurnalistik tadi pers dapat
saja menyebut kepentingan umum. Tetapi dalam hal ini tetaplah harus dieprhatikan
prinsip adil dan fair ness, memberitahukan kedua belah pihak atau cover both sides.

104
Lihat lampiran: Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik, Penafsiran Pasal 3 butir d.

47
3. Nama identitas dan potret gadis / wanita yang menjadi korban perkosaan, begitu juga para
remaja yang tersangkut dalam perkara pidana, terutama yang menyangkut susila dan jadi
korban narkotik, tidak dimuat lengkap /jelas.
4. Anggota keluarga yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dituduhkan dari
salah seorang tersangka/terhukum, hendaknya tidak ikut disebut-sebut dalam pemberitaan
5. Dalam mengungkapkan kebenaran dan tegaknya prinsip-prinsip proses hukum yang wajar
(due process of law) pers seyogyanya mencari dan menyiarkan pula keterangan yang
diperoleh di luar persidangan, apabila terdapat petunjuk-petunjuk tentang adanya sesuatu
yang tidak beres dalam keseluruhan proses jalannya acara.
6. Untuk menghindarkan “trial by the press” pers hendaknya memperhatikan sikap terhadap
hukum dan tertuduh. Jadi hukum atau proses pengadilan harus berjalan dengan wajar, dan
tertuduh jangan sampai dirugikan posisinya berhadapan dengan penuntut umum, juga
perlu diperhatikan supaya tertuduh kelak bisa kembali dengan wajar ke dalam masyarakat
7. Untuk menghindari trial by the press nada dan gaya dari tulisan atau berita jangan sampai
ikut menuduh, membayangkan bahwa tertuduh adalah orang jahat dan jangan
menggunakan kata-kata sifat yang mengandung opini, misalnya memberitakan bahwa
saksi-saksi memberatkan terdakwa atau tertuduh memberikan keterangan yang berbelit-
belit
8. Pers hendaknya tidak berorientasi “polisi jaksa centred” tetapi memberikan kesempatan
yang seimbang kepada polisi, jaksa, hakim, pembela dan tersangka / tertuduh
9. Pemberitaan mengenai suatu perkara hendaknya proporsional, menunjuk garis konsisten
dan ada kelanjutan tentang penyelesaiannya
10. Berita hendaknya memberikan gambaran yang jelas mengenai duduknya perkara (kasus
posisi) dan pihak-pihak dalam persidangan dalam hubungan dengan hukum yang berlaku.
Dimana perlu hendaknya dikemukakajn pasalpasal Hukum Pidana, Hukum
Acara Pidana yang relavan dengan hak-hak dan kewajiban tertuduh, para saksi, maupun
negara sebagai pentuntut. Argumentasi hukum dari kedua belah pihak serta legal fight yang
tampil dalam pemeriksaan pengadilan hendalknya diusahakan dikemukakan selengkap
mungkin dalam pemberitaan.

48
BAB IV

ANALISA HASIL PENELITIAN

A. Pengaturan Tentang Pemberitaan Yang Sesuai Dengan Asas Praduga Tak Bersalah
Dalam Peraturan Perundang-undangan
Pers dan jurnalistik memiliki keterkaitan satu sama lain. Berdasarkan Pasal 1 Undang-
Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers: “Pers ialah Lembaga sosial
dan wahana komunikasi masa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi: mencari,
memperoleh memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk
tulisan, suara, dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya, dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”.105
Secara praktis, jurnalistik adalah proses pembuatan informasi atau berita (news processing)
dan penyebarluasannya melalui media massa106. Jadi berdasarkan penjelasan tersebut dapat
dilihat bahwa Jurnalistik menitikberatkan pada bentuk komunikasi yang mengarahkan pada
aktivitas pencarian dan penulisan berita. Sedangkan pers lebih menitik beratkan pada media
atau sarana yang memungkinkan berita itu dipublikasi. Pers dan jurnalistik mengandung
makna yang berbeda, namun saling memiliki keterkaitan. Pada saat ini kita sudah mudah
mendapatkan dan mengakses berita dari berbagai media massa, seperti surat kabar, televisi,
radio dan juga internet. Hal tersebut disebabkan oleh perkembangan zaman yang semakin pesat
sehingga pers dan jurnalistik merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan
kehidupan masyarakat.
Dilihat dari definisi jurnalistik, Menurut Micthel V. Charnley Berita adalah laporan
tercepat dari suatu peristiwa atau kejadian yang faktual, penting, dan menarik bagi sebagian
besar pembaca serta menyangkut kepentingan mereka107. Berita berasal dari peristiwa tetapi
tidak semua peristiwa dapat menjadi berita. Dalam proses pembentukan suatu berita banyak
faktor yang berpotensi untuk mempengaruhinya, sehingga niscaya akan terjadi pertarungan
wacana dalam memaknai realitas dalam presentasi media108. Oleh karena itu ada hal yang perlu
diperhatikan dalam membuat suatu pemberitaan ialah 5W+1H. 5W+1H adalah rumus yang

105
Undang-Undang Pers, Loc.Cit
106
Mochammad Sinung Restendy, “Daya Tarik Jurnalistik, Pers, Berita dan Perbedaan Peran dalam News Casting”, Jurnal al-
Hikmah Vol. 4 No. 2, Oktober 2016, hal.2
107
Ibid
108
Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta: LkiS, 2013), hal. 7

49
berupa pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mencari inti pokok berita,
mengembangkan berita atau sebuah cerita. Rumus 5W dan 1H itu ialah, what, who, where,
when, why, dan how. 5W+1H yaitu, what (unsur peristiwa), where (unsur tempat), when (unsur
waktu), who (unsur pelaku), why (unsur latar belakang), dan how (unsur pemaparan). Dapat
disimpulkan bahwa 5W+1H adalah syarat utama dalam membuat berita karena tanpa 5W+1H
sebuat berita akan mengambang atau tidak jelas dan pembaca akan bertanya-tanya. jika
memenuhi komponen dari 5W+1H maka pemberitaan akan menjadi suatu berita yang baik dan
lengkap serta dapat menghindari pelanggaran sehingga tidak melanggar ketentuan dari
Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, serta berita tersebut layak untuk disebut
sebagai berita dan untuk disebar luaskan di media massa109.
Sudah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai Pengaturan pers wajib menghormati asas
praduga tak bersalah yang mana tercantum dalam 5 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun
1999 Tentang Pers dan juga tercantum dalam pasal 7 Kode Etik Jurnalistik PWI. Dalam
penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 ayat (1), dijelasakan bahwa, pers
nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan
seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat
mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.
Dan dalam pasal 7 Kode Etik Jurnalistik PWI, yaitu: “Wartawan menghormati asas
praduga tak bersalah, senantiasa menguji kebenaran informasi dan menerapkan prinsip adil,
jujur, dan penyajian yang berimbang”. Pers di Indonesia diwajibkan menghargai asas praduga
tak bersalah, sesuai peraturan yang telah diatur dalam perundang- undangan yang berlaku.
Tetapi meski sudah ada pengaturan yang mengatur mengenai asas praduga tak bersalah dalam
pemberitaan pers, pada praktek nya pers masih saja sering kali melakukan pelanggaran asas
praduga tak bersalah. Meskipun pelanggaran tersebut dilakukan secara tidak sengaja, pers
mungkin tidak bermaksud untuk melanggar tetapi karna tidak sedikit pers memiliki
kekurangan pengetahuan dan pemahaman secara teknikal dalam membuat berita.110
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran tidak disebutkan secara
eksplisit mengenai asas praduga tak bersalah tetapi pada pasal 36 ayat (1), ayat (4), ayat (5)

109
Hasil wawancara dengan Bapak Sri Widodo Soetardjowijono selaku Wakil Pimpinan Redaksi sekaligus Wartawan dari
Forum News Network atau FNN, pada tanggal 10 Februari pukul 16.00 WIB
110
Ibid

50
dijelaskan mengenai pelaksaan siaran. Penjelasan ayat-ayat diata adalah: ayat (1) “ Isi siaran
wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan
intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekutana bangsa dan budaya indonesia.”, ayat (4) “
Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan
tertentu.”, ayat (5) “ Isi siaran dilarang: a. Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau
bohong, b. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan
obat terlarang, atau c. Mempertentangkan, suku, agama, ras, dan antargolongan.
Dari ketentuan tersebut memang sudah seyogyanya dalam memberitakan suatu peristiwa
pers harus memiliki pengetahuan dan pemahaman secara teknis dan juga bersikap tegas. Pers
Tidak boleh abai dengan pernyataan berita yang dibuat karena informasi yang didapatkan harus
jelas tidak boleh asal, dari mana informasi itu bersumber, dari narasumber yang bersangkutan
langsung ataukah dari sumber yang lain. Informasinya pun tidak bisa hanya melihat dari satu
sisi saja tau hanya berdasarkan hasil analisa dari pers. Oleh karena itu pers harus secara
eksplisit menyebutkan sumber informasi pemberitaannya. Menurut Pendapat dari Sri
Widodo.S “Jika ada isu yang muncul harus check and richeck terlebih dahulu dan tidak boleh
menulis berita hanya dari satu pihak saja”
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan oleh pers agar tidak melanggar ketentuan dari asas
praduga tak bersalah yaitu harus adanya kejelasan dari narasumber, kutipan, meliput,
perimbangan, dan perbaikan. Didalam dunia pers terdapat istilah-istilah populer yang
digunakan, contoh nya:
1. Off the record
Off the record artinya bahwa narasumber yang dimaksud tidak pernah
menyampaikan informasi itu dan pers tidak boleh menggunkana pernytaan
narasumber tersebut untuk menjadi bahan berita.
2. Not for artiribution
Not for artiribution artinya bahwa narasumber tidak mau disebut namanya secara
eksplisit tetapi secara umum sumber tersebut dapat diidentifikasikan keberadaannya.
3. Background information
Background information artinya bahwa pers boleh memakai bahan- bahan yang
diberikan oleh narasumber tersebut untuk dikembangkan tetapi tidak boleh

51
menyebutkan identitas narasumber dan seakan-akan bahan tersebut diperoleh
langsung oleh pers yang bersangkutan.
Ketiga istilah tersebut masing-masing mempunyai tanggungjawab yang dapat diberikan
pada pers. Yang pertama pada off the record pers yang bersangkutan telah memberitakan
sesuatu yang sebenernya tidak ada, maka segala bentuk tanggungjawab termasuk tanggung
jawab hukum yang menanggung nya ialah pers yang menyiarkan atau menyebarkan berita
tersebut. Dan jika pernyataan off the record yang diberitakan oleh pers tersebut mengandung
tuduhan penghakiman terhadap seseorang, sekelompok orang atau badan hukum tertentu,
maka pers yang bersangkutan dapat dikenakan pelanggaran terhadap asas praduga tidak
bersalah.
Yang kedua pada Not for artiribution semua tanggung jawab hukum juga tetap berada pada
pers yang memberitakannya, Kalau pers salah menafsirkan, hal ini dapat menimbulkan kesan
semua yang berasal dari narasumber ini sepenuhnya tanggung jawab si narasumber, sehingga
jika muncul masalah hukum pers melemparkan kebenarannya kepada sumber itu. Padahal
seharusnya Narasumber yang terkait disini haruslah dibebaskan dari segala tanggung jawab
hukum. Untuk itu agar pers tidak diduga melakukan pelanggaran asas praduga tidak berasalah,
khusus jika menyangkut orang, pers harus benar- benar melakukan “cross cek” dan pengujian
seluruh bahan yang diberikan narasumber sebelum diberitakan. Dan yang terkahir pada
Background Information karena mempunya kemiripan dengan Not for artiribution sama- sama
narasumber tidak boleh disebut dengan terlalu jelas, maka bentuk pertanggungjawaban yang
akan ditanggung pers sama dengan prinsip Not for artiribution.
Penerapan dan maksud dari asas praduga tak bersalah dalam bidang pers sebetulnya sampai
sekarang masih banyak perdebatan. Pengaturan asas praduga tak bersalah dalam dalam bidang
pers pun menjadi multi tafsir bagi beberapa jurnalis. Ada beberapa pendapat mengenai
penerapan dan maksud dari asas tersebut, ada yang menggap bahwa asas praduga tak bersalah
yaitu pers tidak boleh memberitakan identitas lengkap atau gambar seseorang yang sedang
dalam proses hukum, mulai tingkat penyidikan di kepolisian sampai tingkat pemeriksaan di
pengadilan, asas tersebut berlaku bagi perkara yang sedang disidangkan di depan pengadilan
sehingga penyajian pemberitaan sebelum diajukan ke depan sidang tidak ada kewajiban untuk
merahasiakan identitas tersangka, Ada pula yang berpendapat, karena dianggap masyarakat

52
sudah mengenal terdakwa dikarenakan terdakwa atau terduga seorang, public figur maka pers
tidak lagi merahasiakan identitas, bahkan gambar dari public figur tersebut.
Sebetulnya jika pers mengkaji lagi isi dari pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Pers maksud
dari pasal tersebut ialah penerapan asas praduga tak bersalah di bidang pers itu harus diterapkan
saat kasus yang akan diberitakan masih dalam proses hukum, yang mana di mulai dari tingkat
penyedikan di kepolisian sampai tingkat akhir pemeriksaan dipengadilan hingga status hukum
kasus tersebut berkekuatan hukum tetap. Padahal memberitakan identitas atau gambar
seseorang yang masih diduga atau didakwa karna melakukan suatu perbuatan yang melanggar
hukum pengaturannya terdapat dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik. Pasal 5 KEJ
menyebutkan “wartawan indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”.
Maksud dari pasal 5 KEJ tersebut ialah a. Identitas adalah semua data dan informasi yang
menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak dan Anak adalah
seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Dan pasal 7 KEJ menyebutkan
bahwa “Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan”. Penjelasan dari pasal
tersebut yaitu: Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan
narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya, Embargo adalah penundaan
pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber, Informasi latar
belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan
tanpa menyebutkan narasumbernya, dan Off the record adalah segala informasi atau data dari
narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Dari penjabaran ketentuan pada dua pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sanya
dalam memberitakan identitas atau gambar seseorang yang masih diduga atau didakwa karna
melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh
pers sehingga pers tidak bisa sembarang mengukapkan identitas atau gambar yang
berhubungan dengan suatu pemberitaan pada suatu kasus tindak pidana yang sedang dalam
proses hukum. Berdasarkan hasil wawancara saya bersama Bapak Sri Widodo
Soetardjowijono. Beliau merupakan seorang wakil pimpinan redaksi sekaligus wartawan dari
Forum News Network atau FNN, pendapat beliau mengenai penerapan pengaturan tentang

53
asas praduga tak bersalah yang mana biasanya praduga tak bersalah terjadi pada awal kasus
dan sesuai dengan namanya “praduga” yang artinya awal awal menduga jadi prinsip asas
praduga tak bersalah wajib dijunjung tinggi oleh seorang wartawan dan diterapkan wartawan
agar tidak menimbulkan pelanggaran. pemberitaan pers jika seseorang diberitakan yang buruk
ataupun baik, isu tersebut harus di cross cek terlebih dahulu kepada yang bersangkutan untuk
mengecek kebenaran dari isu itu. Apapun jawaban dari narsumber tidak masalah mau menolak
atau pun mengiyakan, yang terpenting sebagai jurnalis tidak melewati kewajiban. Hal tersebut
dikarenakan sebagai wartawan atau sebagai media tidak boleh menghakimi seseorang yang
belum tentu bersalah.
Sebagai contoh misalnya ada seseorang yang sedang dipukuli dijalanan yang di duga
seorang maling, wartawan tidak bisa langsung beritakan dugaan tersebut. Dugaan itu harus di
cross cek terlebih dahulu kepada yang bersangkutan atau kepada polisi/aparat/tokoh
masyarakat/saksi lain yang berada pada lokasi kejadi itu benar tidak orang tesebut adalah
maling. Harus ada konsen, jurnalis tidak bisa hanya memberitakan orang tersebut dipukuli
karna mengambil motor sementara tidak ada konfirmasi sepeda motor nya berada dimana,
milik siapa, dimana ia mengambil, waktu kejadian jam berapa, bagaimana cara ia mengambil
sepeda motor itu, kalau data tersebut tidak lengkap maka wartawan ikut menyebarkan fitnah.
Kelengkapan data dari informasi tersebut lah yang harus dipenuhi oleh seorang wartawan jika
ingin menjadi wartawan profesional dan menghasilkan produk berita yang berkualitas
sehingga wartawan tersebut tidak menghakimi seseorang.
Pada zaman yang sudah semakin berkembang saat ini terutama dengan adanya istilah new
media atau media baru yang merupakan sebuah media yang semua sudah dipengaruhi oleh
teknologi atau kata lainnya yang dikenal oleh masyarakat umum yaitu internet. Munculnya
media baru itulah yang membuat semakin banyak portal berita online, dikarena sudah banyak
portal berita online maka para media online pun saling adu kecepatan membuat atau
mempublikasi berita pada portal berita mereka sehingga hal itu membuat media online yang
mana karena dituntut oleh kecepatan waktu maka tidak jarang para media abai melakukan
penerapan asas praduga tak bersalah.
Namun biasanya media melakukan koreksi pada pemberitaan berikutnya di jam atau hari
berikutnya supaya berita tersebut tidak memojokan salah satu pihak atau merugikan pihak-
pihak tertentu yang diberitakan. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari fitnah, karena pada

54
intinya berita tidak boleh fitnah harus terkonfirmasi sebelumnya, walaupun dituntut oleh
kecepatan publikasi tetap saja media tidak boleh menjustifikasi seseorang apakah dia seorang
pelacur, koruptor, pembunuh, pencuri dan lain sebagainya sebelum adanya bukti yang
menunjukan bahwa memang seseorang tersebut bersalah. oleh karena itu tugas seorang media
harus mencari informasi pendukung tentang status orang tersebut.
Menyangkut soal publikasi identitas pun pada saat ini juga terdapat perubahan paradigma
pada era sebelumnya seseorang yang masih “diduga” mata nya ditutup untuk menjaga
kerahasiaan identitas tetapi pada era sekarang ini tidak lagi, karena adanya perubahan
paradigma pemberitaan itulah yang membuat hal itu terjadi apalagi yang berkaitan dengan
kejahatan dan status nya sudah menjadi terdakwa. Namun tetap saja penerapan asas praduga
tak bersalah pada berita tersebut tidak boleh hilang tetap harus ada kata kata “diduga”
Menurut Soeijono Soekanto: Penegakan hukum adalah sebagai suatu proses, pada
hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak
secara ketat diatur oleh wadah hukum akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Penulis
berpendapat pengaturan mengenai pemberitaan yang sesuai dengan asas praduga tak bersalah
sebagai mana yang tercantum didalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan
juga yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik, berita yang dimuncul di media massa harus
menjunjung tinggai asas praduga tak bersalah. penerapan prinsip asas praduga tak berasalah
pun harus pada awal pemberitaan tidak bisa diakhir karena jika berita yang sudah terlanjur
viral dan yang “diduga” tidak terbukti melakukan suatu pelanggaran hukum atau suatu tindak
pidana, maka subyek dirugikan oleh media massa yang keliru dengan tidak penerapakan asas
praduga tak bersalah. Meskipun pemberitaan tersebut dapat diralat tetapi sesorang yang tadi
nya “diduga” melakukan kejahatan berubah menjadi korban dari pemberitaan media. Hal
tersebut membuah korban secara psikologis menjadi trauma, terhakim, mendapatkan
pandangan buruk.

B. Pelanggaran Terhadap Asas Praduga Tak Bersalah Dalam Pemberitaan Media Massa
Berdasarkan dengan penjelasan pada bab-bab sebelumnya tentang asas praduga tak
bersalah yang mana jika setiap orang yang dicurigai, disangka, ditagkap, ditahan, dituntut
dan/atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan karena melakukan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hukum wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan

55
yang menyatkan kesalahannya dan memperoleh kekutan hukum tetap. Pengaturan nya
tercantum didalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia, dan juga didalam Pasal 3c Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.
Pada pemberitaan asas praduga tak bersalah sangat lah penting sekali untuk diterapkan. Karena
pemberitaan yang menyatakan bersalahnya seseorang dalam suatu tindak pidana, tanpa di
dasarkan oleh fakta dan bukti yang sah menurut hukum, akan berdampak pada penyebaran
fitnah pada diri seseorang yang seharusnya dihindari oleh pers.
Sesuai dengan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang
menyebutkan : “pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah”. Dan pasal 7 Kode Etik Jurnalistik PWI, yaitu: “Wartawan menghormati asas
praduga tak bersalah senantiasa menguji kebenaran informasi dan menerapkan prinsip adil,
jujur, dan penyajian yang berimbang.” Kedua pengaturan tersebut ialah acuan pers dalam
memberitakan suatu peristiwa atau opini. Selain itu harus nya pers juga dapat memahami
istilah hukum dari “disangka”, “didakwa”, “dituntut”, “digugat”, “diselidiki”, “digugat”,
“dituduh”, dan bahasa hukum lainnya. Tetapi walaupun sudah ada pengaturan yang jelas masih
saja ditemukan pelanggaran yang dilakukan para jurnalis atau perusahaan pers. Harusnya Pers
harus melaksanakan fungsi, asas, dan kewajibannya secara professional demi menghasilkan
pemberitaan yang faktual dan terhindar dari kemungkinan melakukan perbuatan menggiringan
opini sehingga terjadi “pengadilan oleh pers” (trial by the press).
Saat ini Penerapan asas praduga tidak bersalah didalam pers telah bergeser dari sekedar
menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah dalam suatu proses pelaksanaan atau
penegakan hukum, menjadi suatu kaedah larangan terhadap penghakiman semua pemberitaan
yang kebenarannya belum terbukti, baik menurut prosedur hukum maupun dari hasil
pengecekan pers sendiri. Tidak jarang Pers memberikan cap, stigma, lebel dan stempel yang
belum terbukti secara hukum kepada siapapun dan dalam berita apapun, padahal pers tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Di dalam pers tidak boleh menghakimi
dalam semua kasus pemberitaan, membawa konskuensi, pers yang menyatakan seseorang
bersalah sebelum ada keputusan pengadilan yang tetap, dari sudut pers sendiri sudah jelas
merupakan suatu pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah.

56
Walaupun pengadilan sudah menyatakan seseorang bersalah secara hukum, pers tetap tidak
diberi hak untuk menyatakan orang itu bersalah atau tidak bersalahDari penjelelasan mengenai
penerapan asas praduga tak bersalah diatas dapat disimpulkan bahwa memang asas praduga
tak bersalah dalam pemberitaan adalah hal yang sangat krusial. Suatu tuduhan terjadinya
pelanggaran asas praduga tak bersalah dikarenakan pers tidak secara eksplisit menyebutkan
kutipan dari narasumber yang terpercaya dan benar. Dan hal tersebut tidak jarang media massa
menimbulkan penggiringan opini mereka mengenai informasi yang mereka angkat, pada
umumnya media massa akan menerapkan prasangka bersalah dan menurunkan berita yang
belum dikonfirmasi sebelumnya (cover both side), bahkan mereka menyebutkan identitas
maupun foto tersangka walaupun masih dalam tahap proses awal terutama dalam pemberitaan
yang terkait dengan pejabat pemerintahan maupun tindakan kriminal.
Contoh pemberitaan di media massa yang melanggar asas praduga tak bersalah yaitu:
1. Kasus pembunuhan Mirna Wayan Salihin oleh Jessica Kumala Wongso
Kasus yang terjadi pada tahun 2016 pernah ramai dan menarik di masyarakat. Pada
saat itu media saling adu kecepatan dalam memuat berita ke khalayak. Saat kasus
tersebut muncul ke khalayak umum,pers telah melakukan pelanggaran sejak awal
penangkapan jessica kumala wongso. Pers telah melakukan pemberitaan yang
berlebihan ke berbagai macam media. Jessica kumala wongso dihakimi seakan-akan
sudah terbukti bersalah dan dia lah pelaku dari kasus pembunuhan tersebut, padahal
pers hanya menyimpulkan dari alasan dan motif Jessica yang di kemukakan dari
proses penatapan dan penagkapan tersangka, temuan bukti-bukti, rekonstruksi, hingga
proses sidang. Berikut adalah pelanggaran yang dilakukan oleh pers terhadap kasus
Jessica:
a. Pemberitaan mengenai penetapan dan penangkapan tersangka pers hanya
melihat dari sudut pandang pihak kepolisian saja yang dilakukan saat gelar
perkara tanpa adanya sudut pandang pihak tersangka.
b. Pemberitaan mengenai temuan bukti-bukti pers tidak melakukan
pemberitaan yang berimbang. Pada saat temuan rekaman cctv tidak sedikit
media yang hanya berada disalah satu pihak saja. Yang mana rekaman cctv
tersebut pada saat itu masih rekaan saja.

57
c. Pemberitaan mengenai proses rekonstruksi yang mana proses tersebut
dilakukan dengan dua versi, versi tersangka dan versi pihak kepolisan
tetapi pers dalam memberitakan proses tersebut tidak begitu jelas hanya
karna pihak tersanga tidak mau melakukan salah satu rekonstruksi
berdasarkan versi penyidik.
d. Pemberitaan mengenai proses persidangan pers dalam memberitakan
penjatuhan vonis terhadap tersangka jessica beberapa media hanya fokus
terhadap bantahan-bantahan dari pihak tersangka yang merasa tersudutkan
karena keterangan-keterangan dari para pihak saksi yang dihadirkan oleh
jaksa penuntut umum.
Dari penjelasan pelanggaran apa saja yang sudah dilakukan oleh pers terhadap
kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa pers dalam pemberitaannya tidak
memberikan berita yang berimbang, pers hanya melihat dari salah satu sisi saja tanpa
melihat sisi lain dan belum terbukti kebenaran nya pers sudah melakukan
penghakiman terhada jessica. Pemberitaan di media massa menggiring opini publik
seakan-akan jessica adalah pelakunya. Komentar-komentar dari tahap penangakapn
dan penentapan tersangak hingga proses persidangan sampai gerak gerik yang
dilakukan oleh jessica dijadikan sebagai tolak ukur.
Selain melakukan tindakan tersebut, pers juga turut memberitakan persoalan
pribadi jessica kumala wongso diluar dari kasus pembunuhan tersebut. Padahal
berdasarkan yang tercantum dalam Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik yaitu: “Wartawan
Indonesia dalam melaporkan dan menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau
membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang
masih dalam proses peradilan. Wartawan tidak memasukkan opini pribadinya.
Wartawan sebaiknya, dalam melaporkan dan menyiarkan informasi perlu meneliti
kembali kebenaran informasi. Dalam pemberitaan kasus sengketa dan perbedaan
pendapat, masing-masing pihak harus diberikan ruang/waktu pemberitaan secara
berimbang”.
2. Kasus Kabur Karantina Rachel Vennya
Selain pemberitaan kasus pembunuhan Mirna Wayan Salihin oleh Jessica Kumala
Wongso yang ramai baru baru ini juga terjadi lagi pelanggaran asas praduga tak

58
bersalah yang dilakukan oleh pers terhadap pemberitaannya di media massa,
pemberitaan kasus kabur nya seorang influencer yang bernama Rachel Vennya
berserta manager yang Bernama Maulida Khairunnisa dan kekasih nya yang bernama
Salim Mauderer dari masa karantina tidak kalah menarik perhatian publik.
Pemberitaan tersebut mulai ramai diperbincangankan berawal dari salah satu account
di instagram yang menyebarkan screenshoot pernyataan dari seseorang yang mengaku
menginput data Rachel Vennya, manager dan kekasih Rachel di Wisma Atlit. Orang
tersebut mengatakan bahwa Rachel Vennya, manager dan kekasih Rachel hanya
melakukan kantina 3 hari di wisma atlit setelah itu mereka bertiga kabur seharusnya 8
hari karna pada saat itu peraturannya adalah wajib karantina 8 hari.

Gambar 4.1. Bukti Screen Shoot (Sumber: Twitter)

Dengan tersebarnya screen capture dari komentar dilaman instagram tersebut


media ramai memberitakan Rachel Vennya dengan tudingan bahwa ia kabur dari
karantina. Isu tersebut muncul setelah kepulangan Rachel dari labuan bajo dan bali
karena setelah pulang dari Amerika Rachel pergi berlibur bersama keluarga, kekasih,
dan juga teman-temannya. Tidak sedikit media massa yang memberitakan Rachel
dengan melampirkan foto screen capture itu, Seharusnya sebelum memberitakan
kasus tersebut media massa menerapakan prasangka praduga tak bersalah terlebih
dahulu karena pernyataan tersebut belum terbukti kebenarannya.

59
Tidak lama setelah pernyataan tersebut beredar dan ramai di perbincangkan di
media, Rachel Vennya langsung melakukan klarifikasi di salah satu youtube milik
seorang aktor/presenter. Di youtube milik Boy William, Rachel mengatakan bahwa
“aku pulang dari amerika ga menjalani karantina seperti yang seharunya pemerintah
anjurkan, perlakuan aku ini salah dan gak ada pembenaran sama sekali,alasan aku
juga gabisa dibenarkan sama sekali, alesan aku juga gabisa diterima, tapi juga alesan
aku karena aku mau ketemu sama anak-anak”. Lagi-lagi setelah klarifkasi tersebut
Rachel semakin ramai diperbincangan dan dihakimi. Beberapa hari setelah klarifikasi
tersebut Rachel dkk langsung dipanggil pihak kepolisian untuk melakukan
pemeriksaan. Pada saat kedatangan Rachel dkk di Polda Metro Jaya, beberapa awak
media melakukan pelanggaran dengan memberikan pertanyaan atau komentar yang
menyudutkan seperti “Malu ya buat ngomong?”, “habis ini karantina dimana rachel?”,
“di bali ya?”, “hel udah bahagia belum rachel?”, “benci banget gue”, “Rachel
menyesal gak”, “buna gimana buna, udah siap belum?”, “Ah Rachel cemen”, “buna
mau karantina di sini (polda metrojaya) buna?”. Tidak lama sehabis dilakukan
pemanggilan Rachel dkk ditetapkan sebagai tersangka. Rachel dkk ditetapkan sebagai
tersangka pada tanggal 01 November 2021, padahal baru saja “disangka” tetapi pers
sudah melakukan penghakiman sejak awal isu kasus ini beredar.
Bersamaan dengan isu “diduga” kaburnya Rachel dkk dari karantina, Pers
melakukan penggiringan opini dengan memberitakan isu bahwa Rachel akan
dijadikan sebagai duta karantina namun untung saja isu tersebut langsung ditepis oleh
pihak Kementerian Kesehatan. Selain itu setelah ditetapkan sebagai tersangka pers
juga melakukan penggiringan opini hanya karna ada salah satu pernyataan dari
sesorang yang memprotes karena Rachel dkk tidak dilakukan penahan. Rachel dkk
tidak ditahan karena Penahanan kepada seorang tersangka dilakukan karena berbagai
alasan subyektif dan obyektif yang mana diatur dalam Pasal 21 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, alasan subyektif tercantum dalam Pasal 21 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana “perintah penahanan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga kersa melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti yang cukup, dilakukan dalam hal ini :

60
1. Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan
melarikan diri
2. Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan
merusak ata menghilangkan barang bukti
3. Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan
mengulangi tindak pidana
Sedangkan alasan penahanan yang bersifat obyektif tercantum dalam Pasal Pasal
21 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana yang menyatakan bahwa
“penahanan tersebut hanya dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam
pidana tersebut dalam hal:
1. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
2. Tindak pidana sebagaimana dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1),
Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454,
Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap
Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931
Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana
Imigrasi (Undang- undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara
Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal
47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3086).
Sudah jelas jika melihat dari uraian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana dimungkinkan seorang tersangka tidak ditahan karena
tersangka tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan tidak ada
keadaan-keadaan sebagaimana terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Apa yang
sudah dilakukan Rachel dkk melanggar ketentuan pidana terhadap Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina dan Pasal 93 Undang-Undang

61
Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular. Isi dari kedua pasal tersebut
menyebutkan ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun.
Sesuai dengan penjelasan pada kedua pasal tersebut yang mana ancaman pidana
penjara yang didapatkan hanya 1 tahun hal tersebut menjadi alasan obyektif yang
dijelaskan pada Pasal 21 ayat (4) huruf a Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
bahwasanya ditahan jika ancaman pidananya adalah 5 tahun atau lebih, dan alasan
subyektif nya juga karena Rachel dkk bersifat koorporatif yang mana dapat dikatakan
memenuhi syarat yang dijelaskan pada Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana. Itulah sebabnya mengapa rachel dkk tidak ditahan oleh pihak
kepolisan.
Pada sidang putusan sesuai fakta-fakta persidangan, Rachel dkk terbukti bersalah
melakukan pelanggaran dan hakim memvonis Rachel dkk dengan hukuman selama 4
bulan dengan masa percobaan selama 8 bulan dan denda masing-masing pihak sebesar
Rp.50.000.000,00. Setelah sidang putusan pun pers juga masih melakukan
penggirigan opini terhadap alasan hakim menjatuhkan vonis tersebut dengan hanya
memfokuskan alasan itu sebagai pemberitaan di media massa. Dari proses
pemanggilan dan penetepan hingga proses persidangan, Pers telah melanggar asas
praduga tak bersalah dan telah melakukan trial by the pres.
Tidak hanya ramai diperbincangkan di Twitter, Instagram, dan juga televisi,
terdapat beberapa media massa yang melangar asas praduga tak bersalah pada
memberitaan dengan membuat headline tanpa adanya kata “diduga” serta telah
menentapkan hukuman pidana, isi berita yang mengungkap kronologis hanya
berdasarkan satu pihak saja, dan juga melakukan penggiringan opini diantaranya
yaitu: kompas, tabloidbintang.com,suara.com, grid.id, tribun news, celebrity.okezone,
merdeka.com, detik.com, republika, dan masih banyak bertia portal online lainnya.

C. Pertanggungjawaban Hukum Pers Yang Melakukan Trial By The Press Dalam


Pemberitaannya
Pemberitaan pers atas suatu kasus pidana atau perdata yang tengah berjalan merupakan hak
pers untuk menyampaikan informasi terkait jalannya proses penegakan hukum kepada
masyarakat karena setiap orang berhak memperoleh informasi apapun, termasuk yang

62
berkaitan dengan proses peradilan pidana. Informasi mengenai proses peradilan pidana
merupakan informasi publik. Sesuai dengan fungsi dari pers yang tercantum dalam Pasal 3
ayat (1) Undang-Undang Pers “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”.
Dikarenakan pers mempunyai peran dan fungsi sebagai kontrol sosial maka pers dapat
mencegah terjadi nya penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa atau pemerintah dan juga
mencegah terjadi praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan peyelewengan atau penyimpangan
lainnya. Hal itu dapat dilihat bahwa pers memliki korelasi dekat dan erat dengan kemerdekaan
pers atau kebebasan pers. kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan
pentingnya penegakkan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung
jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan
pers. Kebebasan pers pengaturannnya tercantum dalam Pasal 28 Undang- Undang Dasar 1945
yang berbunyi sebagai berikut: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dalam Undang-Undang.”
Didalam pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Pers juga dijelasakan bahwa “Kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi warga Negara.”
Meskipun pers mempunyai kebebasan untuk kebebasan mengeluarkan pendapat,
kebebasan berkomunikasi, kebebasan mencari dan memperoleh informasi, dan hak mengawasi
jalannya pemerintahan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 Ayat (3) Undang- Undang
Pers yang menyatakan “pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi”. Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights
menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat dan berekspresi; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa
mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-
keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas”.
Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi
publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Berdasarkan hal
tersebut sudah jelas bahwa hak pers Indonesia untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi proses peradilan pidana kepada
masyarakat diakui oleh peraturan perundangan. Akan tetapi perlu dipahami juga bahwa tidak

63
semua informasi dapat diperoleh, karena pers harus menyadari batasan-batasan ketika
melaksanakan hak tersebut untuk membuat suatu pemberitaan.
Dalam mejalakan tugasnya terkadang pers melakukan kesalahan, pemberitaan yang dibuat
oleh pers tidak selalu berdampak positif tetapi terkadang juga berdampak negatif bagi
masyarakat. Menurut Loebby Loeqman pers harus memperhatikan dampak yang timbul
diakibatkan dari pemberitaannya kepada masyarakat, kalau pers bertindak sekehendak dirinya,
dan tidak ada batas apapun tentu orang lain akan masuk atau menjadi korban akibat dari
pemberitaanya. Orang lain yang dimaksud, jika dicermati secara luas maka masyarakat dapat
pula menjadi korban dari pemberitaan pers. Namu dampak negatif yang muncul dimasyarakat
diakibatkan oleh pers karena pemberitaan yang dibuat menjadi bias dan tidak terkontrol. Dalam
membuat berita memang perlu adanya sesuatu hal yang menarik perhatian masyarat untuk
mendapatkan penilaian atau ratting kepada perusahaan pers.
Karena persitiwa hukum merupakan salah satu bahasan yang paling menarik untuk
diberitakan oleh pers. Pers memberitakan suatu perkara pidana yang sedang terjadi mulai dari
proses awal hingga proses akhir. Kasus-kasus pun mulai dari perkara yang ringan hingga yang
dikategorikan sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Pemberitaan oleh pers
terhadap jalannya proses peradilan pidana terhadap seseorang tersangka atau terdakwa,
memang merupakan hak pers untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat yang berhak
mengetahui jalannya penegakan hukum dalam ruang persidangan.
Namun pada saat memberitakan suatu perkara pidana pers harus melaksanakan fungsi,
asas, dan kewajibannya secara professional demi mengahasilkan pemberitaan yang factual dan
terhindar dari kemungkinan melakukan perbuatan menggiringan opini sehingga terjadi
“pengadilan oleh pers” (trial by the press). Trial by the press atau terjemahannya secara harfiah
“pengadilan oleh pers” merupakan kegiatan dimana pers bertindak sebagai peradilan mencari
bukti-bukti, menganalisa, dan mengkaji sendiri untuk kemudian berakhir dengan memberi
putusan.
Secara teori pers dianggap telah melakukan trial by the press, ketika sebuah dugaan
perbuatan pidana yang sudah ditangani aparat penyidik, Polisi atau Jaksa (pretrial publicity)
sampai masuk ke pengadilan (publicity during trial) degan adanya pemberitaan tersebut,
menyebabkan adanya pihak yang tertuduh dan dipojokkan pada posisi yang sulit untuk
memperoleh peradilan yang bebas dan tak berpihak (fair trial). Dalam memberitakan suatu

64
berita hukum, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menulis berita hukum agar pers
tidak melakukan trial by thepress antara lain sebagi berikut:
1. Dalam mengungkapkan kebenaran dan tegaknya prinsip-prinsip proses hukum
yang wajar (due process of law) pers seyogyanya mencari dan menyiarkan pula
keterangan yang diperoleh di luar persidangan, apabila terdapat petunjuk-petunjuk
tentang adanya sesuatu yang tidak beres dalam keseluruhan proses jalannya acara
Untuk menghindarkan “trial by the press” pers hendaknya memperhatikan sikap
terhadap hukum dan tertuduh. Jadi hukum atau proses pengadilan harus berjalan
dengan wajar, dan tertuduh jangan sampai dirugikan posisinya berhadapan dengan
penuntut umum, juga perlu diperhatikan supaya tertuduh kelak bisa kembali dengan
wajar ke dalam masyarakat.
2. Untuk menghindari trial by the press nada dan gaya dari tulisan atau berita jangan
sampai ikut menuduh, membayangkan bahwa tertuduh adalah orang jahat dan
jangan menggunakan kata-kata sifat yang mengandung opini, misalnya
memberitakan bahwa saksi-saksi memberatkan terdakwa atau tertuduh
memberikan keterangan yang berbelit-belit “polisi jaksa centred” tetapi
memberikan kesempatan yang seimbang kepada polisi, jaksa, hakim, pembela dan
tersangka / tertuduh.
3. Pemberitaan mengenai suatu perkara hendaknya proporsional, menunjuk garis
konsisten dan ada kelanjutan tentang penyelesaiannya.
4. Berita hendaknya memberikan gambaran yang jelas mengenai duduknya perkara
(kasus posisi) dan pihak-pihak dalam persidangan dalam hubungan dengan hukum
yang berlaku. Dimana perlu hendaknya dikemukakajn pasalpasal Hukum Pidana,
Hukum Acara Pidana yang relavan dengan hak-hak dan kewajiban tertuduh, para
saksi, maupun negara sebagai pentuntut. Argumentasi hukum dari kedua belah
pihak serta legal fight yang tampil dalam pemeriksaan pengadilan hendaknya
diusahakan dikemukakan selengkap mungkin dalam pemberitaan.
Suatu pemberitaan dapat di kategorikan mengandung unsur trial by the press jika kemudian
berita tersebut:
1. Fakta atau informasi yang di dapatkan oleh pers tidak dari sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan bahkan bisa lebih fatal dari itu Dimana

65
berita tersebut justru sengaja di buat dan direkayasa sedemikian rupa untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu.
2. Pemberitaan tersebut mencoba menganalisa suatu kasus dan mencoba menggiring
dan membangun opini masyarakat kepada menguntungkan pihak tertentu dan
merugikan pihak lain.
3. Pemberitaan tersebut bersifat menghakimi, memberikan stempel, stigma, cap dan
seolah-olah memutuskan seseorang bersalah dan tidak bersalah.
4. Pemberitaan tersebut tayang terlalu cepat dan belum dilakukan cross chekk
kebenarannya informasi tersebut baik kepada narasumber (informan) serta kepada
pihak lain yang terlibat.
5. semua narasumber setuju bahwa indikator lain melihat suatu pemberitaan telah
masuk dalarn kategori trial by the press adalah ketika cara peliputan, penyajian
hingga isi konten berita tidak sesuai atau bertentangan dengan Undang-undang Pers
No 40 Tahun 1999 dan juga melanggar kode etik jurnalistik yang telah di sepakati
bersama oleh para wartawan.
Dari unsur-unsur diatas meskipun pemberitaan yang dibuat hanya memenuhi salah satu
saja, berita tersebut sudah bisa masuk dalam kategori trial by the press. Pers yang telah
melakukan trial by the press, bisa diartikan telah melakukan publikasi dan pemberitaan yang
berlebihan, bukan hanya saja dapat membuat hakim bias, melainkan yang utama dapat
merugikan kepentingan terdakwa. Selain itu hak atas keadilan dalam perkara pidana, bukan
semata-mata memenuhi kewajiban korban (victim), atau keadilan masyarakat umum (seperti
ketertiban umum), akan tetapi keadilan juga merupakan hak tersangka atau terdakwa. Oleh
karena itu tersangka atau terdakwa berhak dijamin dan diperlakukan adil dalam proses
peradilan.
Trial by the press dan trial by opinion, diluar putusan oleh hakim adalah sesuatu yang
berlebihan, bahkan suatu bentuk kekejian dan ketidakadilan luar biasa tersangka atau terdakwa.
Menurut Robert Gobbers dalam bukunya Introduction to the German Law mengatakan bahwa
tidak jarang terjadi, meskipun seorang terdakwa kemudian oleh hakim dinyatakan tidak
terbukti bersalah, tetap sangat menderita (dan dirugikan) akibat publikasi yang berlebihan oleh
pers. Hal ini adalah sesuatu hal yang harus diperhatikan pers, karena membahas secara publik
kasus yang sedang berjalan seperti yang dilakukan melalui televisi, dapat merupakan

66
pencederaan terhadap hak atas praduga tidak bersalah. Belum lagi kemungkinan oleh
terjadinya pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah dan sebagainya. terlebih lagi terhadap
masyarakat yang cenderung menyalahkan.
Pemberitaan yang ditimbulkan oleh trial by the press memberikan dampak yang sangatlah
besar bagi tersangka atau terdakwa. Opini masyarakat yang terbentuk berita, dapat
menyudutkan bagi terdakwa dan keluarganya sebagai pencari keadilan dan dapat menekan
majelis hakim dalam memberi putusan. Sebetulnya di indonesia dalam memberitakan suatu
kasus hukum yang masih dalam proses memang dilakukan secara terbuka dengan bertujuan
menjadi syarat atau keharusan yang ditentukan oleh hukum atau pun menjadi syarat peradilan
yang demokratik. jika melihat sebagai contoh dari negara lain, terdapat negara yang sudah
secara tegas mengatur ketentuan dalam keterbukaan memberitkan suatu kasus hukum yang
masih dalam proses, contohnya Amerika dan Inggris. Kedua negara tersebut melarang
masyarakat atau pers untuk meliput, merekam, menyiarkan, atau memberitakan kasus hukum
yang masih dalam proses. Dasar larangan kedua negara itu ialah:
1. Pemberitaan dapat mempengaruhi hakim,
2. Pemberitaan dapat mempermalukan dan melanggar hak pribadi (privacy) pencari
keadilan.
3. Pemberitaan dapat mempengaruhi keamanan dan ketertiban umum.
4. Pemberitaan dapat menjadi hukuman tersendiri bagi pencari keadilan (melanggar
asas non double jeopardy).
5. Pemberitaan melanggar asas praduga tak bersalah.
Tujuan dari kedua negara tersebut berkaitan dengan antisipasi terhadap pemberitaan yang
bisa jadi berlebihan oleh pers dan dampak dari trial by the press. Karena dikhawatirkan dampak
trial by the press dapat melanggar hak asasi dari terdakwa atau tersangka, mengganggu
jalannya proses peradilan dan juga kenetralan dari peradilan. Jika ditemukan terjadi suatu
pelanggaran maka kedua negara tersebut langsung menindak tegas dan memberikan sanksi
hukum. Di indonesia memang pengaturan mengenai pers harus menghormati asas praduga tak
bersalah serta dilarang untuk melakukan trial by the press masih belum begitu efektif untuk
memberikan efek jera. Tetapi saat ini sudah semakin berkembang penangan pelanggaran yang
dilakukan di bidang pers.

67
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum
dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan
dapat dilaksanakan. Pers yang melakukan trial by the press terhadap berita jika memang apa
benar apa yang diberitakannya tidak terbukti maka hal tersebut dapat berujung pencemaran
nama baik. Undang-Undang Pers bukan lex specialis dari KUHP, baik spesialitas logis maupun
spesialitas sistematis, karena dalam Undang-Undang Pers tidak mengatur secara khusus
tentang pencemaran nama baik oleh pers, dalam membuktikan adanya pencemaran nama baik
oleh Pers, aparat penegak hukum wajib memperhatikan Undang-Undang Pers dan kode etik
jurnalistik. Undang-Undang Pers adalah ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan
kegiatan jurnalistik: mulai dari mencari, memilah, dan memberitakannya sampai ke
mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers. Sehingga hal-
hal itu lah yang mejadikan Undang-Undang Pers menjadi undang-undang khusus, jika terdapat
suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang- undangan
yang digunakan adalah UU Pers. Dan jika terdapat hal-hal yang tidak diatur di dalam UU Pers,
baru bisa merujuk kepada ketentuan-ketentuan di dalam KUHPer atau KUHP.
Suatu pemberitaan pers bilamana terindikasi trial by the press maka penyelesaiannya
dilakukan melalui sengketa pers. Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab
(pertanggungjawaban) hukum menyatakan bahwa: “seseorang bertanggung jawab secara
hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek
berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang
bertentangan.
Secara teknis hukum, perusahaan pers harus menunjuk penanggung jawabnya, yang terdiri
dari 2 (dua) bidang yaitu, penanggung jawab bidang usaha dan penanggung jawab bidang
redaksi. Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh wartawan diambil alih oleh
perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab itu. Sesuai dengan Pasal 12 Undang-
Undang Pers yang mengatakan bahwa “perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat
dan penanggungjawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Yang dimaksud
dengan "penanggungjawab" adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang
usaha dan bidang redaksi.” Supaya dapat tergambar bagaimana alur mekanisme penanganan
pers.

68
Gambar 4.2 Skematik Penyelesaiaan Perkara Pemberitaan Pers Melalui Jalur Non-Litigatif

Gambar 4.2 Skematik Penyelesaiaan Perkara Pemberitaan Pers Melalui Jalur

Gambar 4.3 Skematik Penyelesaiaan Perkara Pemberitaan Pers Melalui Jalur Litigatif

Mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers adalah sebagai berikut :


1. Pertama-tama dengan menggunakan pemenuhan secara sempurna
Pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hal ini dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang secara langsung kepada redaksi yang dalam hal ini mewakili
perusahaan pers sebagai penanggungjawab bidang redaksi wajib melayaninya. Orang

69
atau sekelompok orang yang merasa dirugikan nama baiknya akibat pemberitaan itu
harus memberikan data atau fakta yang dimaksudkan sebagai bukti bantahan atau
sanggahan pemberitaan itu tidak benar.
2. Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan
Pers sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang
Pers. Dikatakan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan
pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-
kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
3. Permasalahan akibat pemberitaan pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke
pengadilan atau dilaporkan kepada polisi. Namun demikian, karena mekanisme
penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di Undang-
Undang Pers muaranya adalah pada pemenuhan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka
pengadilan (dalam kasus perdata) maupun penyidik atau jaksa atau hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap menggunakan Undang-Undang Pers
dengan muaranya adalah pemenuhan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi. Tanggapan
dari pers atas Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut merupakan kewajiban koreksi
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Pers. Kewajiban
Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi,
data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang
bersangkutan. Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers
atas berita yang dimuatnya.
Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik
jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Tetapi pihak yang dirugikan oleh pemberitaan
pers tetap punya hak untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan, secara perdata atau pidana.
Dalam perkara pidana menyangkut pers, hakim yang memeriksa perkara tersebut harus
merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta
Keterangan Saksi Ahli ("SEMA 13/2008"). Sebagaimana ditulis Aparat Penegak Hukum
Diminta Merujuk pada SEMA No. 13 Tahun 2008, berdasarkan SEMA No 13 Tahun 2008
dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, majelis hakim

70
hendaknya mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang
lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.
Penulis berpendapat memang pada prakteknya jika yang diberitakan tersebut atau yang
melaporkan adanya pelanggaran pers sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 jo Pasal 5
ayat (2) Undang-Undang Pers, apabila masyarakat tidak puas atas Hak Jawab, maka pembaca
dapat mengadukannya ke Dewan Pers sebagai organisasi menangani sengketa pers
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Pers. Apabila
penyelesaian sengketa pers melalui mediasi Dewan Pers tidak terselesaikan barulah ditempuh
upaya hukum melalui pengadilan.
Mekanisme penyelesaian sengketa pers sebagaimana tersebut diatas bertujuan agar
peranan pers dapat dijalankan secara maksimal serta mempertahankan kebebasan pers, artinya
tanpa dijalankannya mekanisme penyelesaian sengketa pers, maka peranan dan kebebasan pers
mengalami intervensi dan ketakutan yang luar biasa karena setiap pemberitaan dari pers akan
selalu dibayang-bayangi oleh gugatan hukum melalui pengadilan oleh pihak yang diberitakan.
Sedangkan di satu sisi pers wajib melayani hak jawab, dimana sanksi tidak dilayaninya hak
jawab adalah sanksi pidana denda sebesar Rp 500 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat
(2) Undang- Undang Pers “(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).”

71
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan dari pembahasan yang telah penulisa sampaikan
sebelumnya antara lain:
1. Pers di Indonesia diwajibkan menghargai asas praduga tak bersalah, sesuai
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Pers Tidak boleh abai dengan pernyataan berita yang dibuat karena informasi yang
didapatkan harus jelas tidak boleh asal, dari mana informasi itu bersumber, dari
narasumber yang bersangkutan langsung ataukah dari sumber yang lain. Agar pers
tidak melanggar ketentuan dari asas praduga tak bersalah maka harus adanya
kejelasan dari narasumber, kutipan, meliput, perimbangan, dan perbaikan.
Pengaturan asas praduga tak bersalah dalam dalam bidang pers multi tafsir bagi
beberapa jurnalis. Ada beberapa pendapat mengenai penerapan dan maksud dari
asas tersebut. Penerapan prinsip asas praduga tak berasalah pun harus pada awal
pemberitaan tidak bisa diakhir karena jika berita yang sudah terlanjur viral dan yang
“diduga” tidak terbukti melakukan suatu pelanggaran hukum atau suatu tindak
pidana, maka subyek dirugikan oleh media massa yang keliru dengan tidak
penerapakan asas praduga tak bersalah.
2. Suatu pemberitaan pers bilamana terindikasi trial by the press maka
penyelesaiannya dilakukan melalui penyelesaian sengketa pers secara teknis
hukum, yakni perusahaan pers harus menunjuk penanggung jawabnya. Sanksi atas
pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Tetapi pihak yang dirugikan oleh
pemberitaan pers tetap punya hak untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan,
secara perdata atau pidana. Apabila penyelesaian sengketa pers melalui mediasi
Dewan Pers tidak terselesaikan barulah ditempuh upaya hukum melalui pengadilan.
pers wajib melayani hak jawab, dimana sanksi tidak dilayaninya hak jawab adalah
sanksi pidana denda sebesar Rp 500 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat
(2) Undang-Undang Pers “(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5

72
ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

B. Saran
Dari kesimpulan diatas maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut :
1. Dikarenakan Undang-Undang Pers bukanlah lex specialist maka perlu ada nya
penjelasan pengaturan secara khusus dan rinci mengenai pelanggaran atau tindakan
apa saja yang menjebakan pers bersalah.
2. Insan pers harus memenuhi hak-hak yang diminta oleh pihak yang dirugikan
sehingga sengketa pers tidak Perlu dilanjutkan ke pengadilan.

73

Anda mungkin juga menyukai