Kasus Florence Sihombing
Kasus Florence Sihombing
Disusun Oleh :
LUTHFAN IBNU ASHARI
11010112130266
KELAS L
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di negara demokrasi tuntutan masyarakat terhadap keterbukaan informasi
semakin besar. Pada masa sekarang kemajuan teknologi informasi, media elektronika
dan globalisasi terjadi hampir disemua bidang kehidupan. Kemajuan teknologi yang
ditandai dengan munculnya internet dapat dioperasikan dengan menggunakan media
elektronik seperti komputer. Internet merupakan salah satu penyebab munculnya
perubahan sosial pada masyarakat, yaitu mengubah perilakunya dalam berinteraksi
dengan manusia lainnya, yang terus menjalar kebagian lain dari sisi kehidupan
manusia, sehingga muncul adanya norma baru, nilai-nilai baru, dan sebagainya.1
Sarana interaksi atau media sosila menggunakan internet penggunaannya tidak
lah dapat lagi dibendung. Mulai dari anak-anak sampai orang tua sekalipun.
Kemudahan dalam beerinteraksi serta kecepatan dalam mengakses informasi hanyalah
sebagian dari banyak alasan seseorang menggunakan media sosial internet sebagai
sarana komunikasi. Namun, dengan adanya media sosial dengan berbagai
kelebihannya tersebut juga mendatangkan efek negatif. Salah satunya yang
menghebohkan belakangan ini adalah kasus pencemaran nama baik yang dilakukan
oleh salah serang mahasiswi Fakultas Hukum UGM. Mahasiswi tersebut bahkan
sampai ditahan karena memposting curahan hatinya pada media salah satu media
sosial.
Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam
kehidupan bernegara. Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di muka umum pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa
kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk
menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Demikian pula halnya dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 23 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang bebas
1 Dikdik M. Arif mansyur, dan Elisatris Gultom, CYBER LAW Aspek Hukum
Teknologi Informasi, , PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 3.
BAB II
PEMBAHASAN
Paradigma kontruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat
digeneralisasikan pada semua orang. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri
dari pemikiran Guba dan Lincoln, menilai perilaku manusia secara fundamental
berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang
mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna
ataupun pemahaman perilaku, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di
masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari
tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif
Realitas bagi konstruktivis tidak pernah terpisah dari pengamat. Kebenaran
dalam pemikiran ini dipandang dalam kerangka kemampuan beroperasinya suatu
konsep atau pengetahuan. Artinya sebuah pengetahuan dipandang benar apabila
pengetahuan itu dapat digunakan untuk menghadapi berbagai fenomena atau
persoalan yang terkait dengan pengetahuan tersebut. 2
Paradigma
rekonstruksi
ini
memiliki
pemahaman.
tujuan
inkuiri
Pengetahuan
yang
untuk
melakukan
diperoleh
berupa
menyimpulkan bahwa tindakan penghinaan adalah sesuatu hal yang salah dalam
bentuk apapun itu. Sedangkan yang menyatakan Florence Sihombing tidak
bersalah lebih karena memandang tindakan yang dilakukan oleh Florence
Sihombing adalah ungkapan kekesalan semata tidak ada maksud untuk menghina
apalagi merendahkan warga Yogyakarta. Selain itu ia tidak bermaksud dengan
sengaja untuk menyebarkan atau mendistribusikan pendapatnya tersebut karena
media sosial path itu sendiri pun termasuk ke dalam privasi penggunanya sendiri.
Aparat penegak hukum pun terlalu tergesa-gesa dalam hal ini. Dengan
langsung melakukan penahanan pada Florence Sihombing. Polisi tidak
mempertimbangkan beberapa hal dalam kasus tersebut. Florence Sihombing
bahkan telah meminta maaf terkait ungkapannya di media sosial tersebut.
Selain itu elemen masyarakat Yogyakarta seperti Granat DIY, Komunitas
RO Yogyakarta, Foklar DIY-Jateng, Gerakan Cinta Indonesia, Pramuka DIY, dan
berbagai kelompok masyarakat lain,juga tidak mempertimbangkan hal-hal lain
tersebut.
Dalam kasus ini seharusnya Florence Sihombing tidak dilaporkan begitu
saja ke pihak berwajib,perlu adanya pertemuan terlebih dahulu dengan tokohtokoh masyarakat Yogyakarta sehingga ditemukannya pendekatan persepsi antara
ked belah pihak. Sehingga Florence Sihombing tidak hanya dipandang sebagai
pelanggar hukum saja,namun juga dipandang dari segi-segi yang lain. Dan
mencari tahu mengapa ia melakukan tindakan tersebut dan justru penyebarnyalah
yang seharusnya dianggap sebagai pelanggar hukum karena media sosial path itu
sendiri pun bersifat privasi.
Selain itu, peraturan yang berlaku pun tidak menentukan batasan-batasan
yang jelas tentang ketentuan penghinaan melalui media sosial. Yaitu dalam pasal
Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, yaitu dengan sengaja dan tanpa
hak: (i) mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, atau (ii) menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Dalam pasal tersebut,tidak ditentukan batasan yang jelas mengenai unsur
sengaja dan tanpa hak. Sehingga menimbulkan adanya banyak interpretasi dalam
penerapan hukumnya. Dalam paradigma kontruktiviseme yang mempunyai wold
view bentuk dan isi berpulang pada penganut/pemegang dapat berubah menjadi
informed dan atau sopohisticated ,humanis. Tentu akan menimbulkan banyak
persepsi yang berbeda dari masing-masing individu khususnya dalam kasus
Florence Sihombing tersebut.
Selain itu unsur penghinaan belum jelas karena dapat membingungkan
apakah suatu kota dapat dihina. Sedangkan kebanyakan kasus masih hanya
melibatkan seorang atau individu.
Walaupun menimbulkan persepsi yang berbeda-beda terhadap UU tersebut
tetapi itu tentu wajib untuk dihargai masing-masing pandangan tersebut. Karena
masing-asing individu memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai suatu
hal.
Dalam menjawab pertanyaan epistimologi dalam kasus tersebut, kedua
pihak seharusnya dipertemukan antara Florence Sihombing dan Tokoh
masyarakkat Yogyakarta,sehingga
dapat
diciptkan
suatu
konstruktivisme
Jadi Unsur keadilan masih belum dapat diwujudkan dalam kasus ini dalam hal
ini yang dirugikan adalah Florence Sihombing yang dalam mengeluarkan
pendapatnya malah berujung pada pemenjaraan dirinya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam menganalisis kasus ini dengan paradigma konstruktivisme, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal
ini polisi dan perwakilan dari tokoh masyarakat masihlah belum bijak. Hukum tidak
seharusnya hanya diartikan sebatas peraturan secara objektif saja namun juga
mempertimbangkan subjektifitas pelaku. Sehingga hukum akan dapat dimaknai dari
berbagai sudut pandang tidak hanya sebatas sebuah perturan kaku yang tidak
mempertimbangkan faktor-faktor lain yaitu nilai-nilai kemanusiaan sseperti kebesan
dalam mengeluarkan pendapat.Serta unsur-unsur keadilan yang menjadi tujuan utama
dalam adanya hukum juga dapat diwujudkan sehingga hukum dapat bermanfaat bagi
masyarakat dan masyarakat merasa nilai-nilai dasar kemanusiaannya terjamin.
3.2 Saran
Daftar Pustaka
Indarti, Erlyn. 2010. Diskresi dan Paradigma : Sebuah Telaah Filsafat Hukum,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro. Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta :
Kanisius.
Ali,Zainuddin. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Pound, Roscue. 1963. Pengantar Filsafat Hukum. Jakarta : Brhatara
Rasjidi, Lili. 1991. Filsafat Hukum: Apakah itu?. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Kusumahadidjodjo, Budiono. 2011. Filsafat Hukum : Problematika Ketertiban Yang
Adil. Bandung : Mandar Maju.
Kami menempuh jalur hukum dan melaporkan penghinaan ini pada pihak berwajib,
katanya.
Sabtu, 30 Agustus 2014
Penyidik Reserse Kriminal Khusus Polda DI Yogyakarta memeriksa Flo. Segera
setelah disidik, status Flo yang semula terlapor ditingkatkan menjadi Tersangka, dan saat itu
juga ditahan.
Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda DI Yogyakarta, Komisaris Besar
Polisi Kokot Indarto, penahanan tersangka Flo karena selama pemeriksaan cenderung tidak
kooperatif dan tidak ada itikad baik. Bahkan, Tersangka tidak mau menandatangani Berita
Acara Pemeriksaan (BAP). "Kami tahan untuk 20 hari ke depan.