Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KASUS FLORENCE SIHOMBING

DENGAN MENGGUNAKAN PARADIGMA KONSTRUKTIVISME

Disusun Oleh :
LUTHFAN IBNU ASHARI
11010112130266
KELAS L

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di negara demokrasi tuntutan masyarakat terhadap keterbukaan informasi
semakin besar. Pada masa sekarang kemajuan teknologi informasi, media elektronika
dan globalisasi terjadi hampir disemua bidang kehidupan. Kemajuan teknologi yang
ditandai dengan munculnya internet dapat dioperasikan dengan menggunakan media
elektronik seperti komputer. Internet merupakan salah satu penyebab munculnya
perubahan sosial pada masyarakat, yaitu mengubah perilakunya dalam berinteraksi
dengan manusia lainnya, yang terus menjalar kebagian lain dari sisi kehidupan
manusia, sehingga muncul adanya norma baru, nilai-nilai baru, dan sebagainya.1
Sarana interaksi atau media sosila menggunakan internet penggunaannya tidak
lah dapat lagi dibendung. Mulai dari anak-anak sampai orang tua sekalipun.
Kemudahan dalam beerinteraksi serta kecepatan dalam mengakses informasi hanyalah
sebagian dari banyak alasan seseorang menggunakan media sosial internet sebagai
sarana komunikasi. Namun, dengan adanya media sosial dengan berbagai
kelebihannya tersebut juga mendatangkan efek negatif. Salah satunya yang
menghebohkan belakangan ini adalah kasus pencemaran nama baik yang dilakukan
oleh salah serang mahasiswi Fakultas Hukum UGM. Mahasiswi tersebut bahkan
sampai ditahan karena memposting curahan hatinya pada media salah satu media
sosial.
Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam
kehidupan bernegara. Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di muka umum pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa
kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk
menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Demikian pula halnya dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 23 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang bebas
1 Dikdik M. Arif mansyur, dan Elisatris Gultom, CYBER LAW Aspek Hukum
Teknologi Informasi, , PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 3.

untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati


nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik
dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum,
dan keutuhan Negara.
Sejauh ini masih dipermasalahkan tetang batasan-batasan dalam mengeluarkan
pendapat dalam media sosial. Dalam ilmu filsafat hukum, masalah tersebut tentunya
akan menarik untuk dibahas, terutama dalam kasus yang dialami oleh Florence
Sihombign. Oleh karena itu , makalah ini akan membahas tentang kasus Florence
Sihombing dengan menggunakan paradigma konstruktivisme.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kasus yang dialami oleh Florence Sihombing jika dianalisis
menggunakan paradigma konstruktivisme?
2. Bagaimana mengukur keadilan dalam kasus tersebut dan kebebasan berpendapt di
Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kasus Florence Sihombing Dalam Paradigma Konstruktivisme


Kronologi Kasus Florence Sihombing :
Kasus yang dialami Florence sihombing ini berawal dari ungkapan kekesalan
Florence di salah satu media sosial,yaitu Path. Ungkapan kekesalan ini sebagai
wujud dari kejadian yang ia alami sebelumnya. Kejadian itu ialah ketika ia
membeli bensin di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Lempuyangan.
Saat itu, ia yang mengunakan sepeda motor Honda Scoopy, hendak membeli
Pertamax, menyelonong memotong antrean sampai ditegur anggota TNI yang
berjaga. Ia marah namun tetap tidak boleh memotong antrean.
Kecewa dengan kejadian itu, sekeluar dari SPBU, Flo menumpahkan
kekesalannya di akun situs pertemanan Path. Salah satu ungkapan kekesalannya:
"Jogja miskin, tolol, miskin dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta, Bandung,
jangan mau tinggal di jogja, dinilai menjelekkan dan menghina warga
Yogyakarta.
Ungkapan kekesalan yang ia kirimkan di media sosial tersebut kemudian
tersebar sehingga menimbulkan kehebohan bagi para pengguna internet,terutama
warga Yogyakarta yang merasa terhina.
Berselang sehari kemudian, Flo meminta maaf kepada masyarakat dan Raja
Keraton Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ia mengaku tidak memiliki maksud
menghina atau mencemarkan nama baik Yogyakarta. Tapi, Flo tidak meminta
maaf secara langsung dan terbuka, melainkan melalui pernyataan tertulis yang
dibacakan pengacaranya, Wibowo Malik.
Di hari yang sama, elemen masyarakat Yogyakarta melaporkan Flo ke Polda
DI Yogyakarta. Mereka, di antaranya, Granat DIY, Komunitas RO Yogyakarta,
Foklar DIY-Jateng, Gerakan Cinta Indonesia, Pramuka DIY, dan berbagai
kelompok masyarakat lain.
Penyidik Reserse Kriminal Khusus Polda DI Yogyakarta memeriksa Flo.
Segera setelah disidik, status Flo yang semula terlapor ditingkatkan menjadi
Tersangka, dan saat itu juga ditahan.
Analisis Kasus Florence Sihombing:
Penulis mencoba untuk menganalisis kasus yang dialami oleh Florence
Sihombing tersebut dengan menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut

Paradigma kontruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat
digeneralisasikan pada semua orang. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri
dari pemikiran Guba dan Lincoln, menilai perilaku manusia secara fundamental
berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang
mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna
ataupun pemahaman perilaku, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di
masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari
tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif
Realitas bagi konstruktivis tidak pernah terpisah dari pengamat. Kebenaran
dalam pemikiran ini dipandang dalam kerangka kemampuan beroperasinya suatu
konsep atau pengetahuan. Artinya sebuah pengetahuan dipandang benar apabila
pengetahuan itu dapat digunakan untuk menghadapi berbagai fenomena atau
persoalan yang terkait dengan pengetahuan tersebut. 2
Paradigma

rekonstruksi

ini

memiliki

pemahaman.

tujuan

inkuiri

Pengetahuan

yang

untuk

melakukan

diperoleh

berupa

rekonstruksi pemikiran individual yang menyatu dengan lingkungan


sosialnya. Nilai-nilai diperlakukan menyatu dalam proses penelitian,
yakni dibentuk bersama dalam interaksi antara peneliti dan yang
diteliti. Sementara itu kriteria kualitas penelitian bersifat terpercaya
dan asli (trustworthiness : dan authenticity).

Paradigma konstruktivisme memiliki set basic belief yaitu Ontologi,


Epistemologi dan Metodologi. Mengenai world view dari pertanyaan ontologi
dari paradigma konstruktivisme, dari kasus Florence Sihombing ini adalah
realitas majemuk dan beragam berdasarkan pengalaman sosial-individual,lokal
dan spesifik.
Dalam kasus ini realitas yang terjadi adalah majemuk dan beragam
berdasarkan pengalaman sosial-individual,banyak pandangan yang menyatakan
bahwa apa yang telah dilakukan oleh Florence Sihombing ini adalah suatu
pelanggaran atau ia bersalah. Namun ada juga yang menyatakan bahwa Florence
Sihombing tidak bersalah. Terjadinya pandangan yang majemuk atau berbeda ini
disebabkan oleh pengalaman sosial-individual. Pendapat yang mengutarakan
bahwa Florence Sihombing bersalah adalah disebabkan karena pengalaman
sosialnya yang ia alami sendiri melalui interaksi nya dengan lingkungannya yang
2 Paul Suparno. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius,
Yogyakarta,1997, hlm.21

menyimpulkan bahwa tindakan penghinaan adalah sesuatu hal yang salah dalam
bentuk apapun itu. Sedangkan yang menyatakan Florence Sihombing tidak
bersalah lebih karena memandang tindakan yang dilakukan oleh Florence
Sihombing adalah ungkapan kekesalan semata tidak ada maksud untuk menghina
apalagi merendahkan warga Yogyakarta. Selain itu ia tidak bermaksud dengan
sengaja untuk menyebarkan atau mendistribusikan pendapatnya tersebut karena
media sosial path itu sendiri pun termasuk ke dalam privasi penggunanya sendiri.
Aparat penegak hukum pun terlalu tergesa-gesa dalam hal ini. Dengan
langsung melakukan penahanan pada Florence Sihombing. Polisi tidak
mempertimbangkan beberapa hal dalam kasus tersebut. Florence Sihombing
bahkan telah meminta maaf terkait ungkapannya di media sosial tersebut.
Selain itu elemen masyarakat Yogyakarta seperti Granat DIY, Komunitas
RO Yogyakarta, Foklar DIY-Jateng, Gerakan Cinta Indonesia, Pramuka DIY, dan
berbagai kelompok masyarakat lain,juga tidak mempertimbangkan hal-hal lain
tersebut.
Dalam kasus ini seharusnya Florence Sihombing tidak dilaporkan begitu
saja ke pihak berwajib,perlu adanya pertemuan terlebih dahulu dengan tokohtokoh masyarakat Yogyakarta sehingga ditemukannya pendekatan persepsi antara
ked belah pihak. Sehingga Florence Sihombing tidak hanya dipandang sebagai
pelanggar hukum saja,namun juga dipandang dari segi-segi yang lain. Dan
mencari tahu mengapa ia melakukan tindakan tersebut dan justru penyebarnyalah
yang seharusnya dianggap sebagai pelanggar hukum karena media sosial path itu
sendiri pun bersifat privasi.
Selain itu, peraturan yang berlaku pun tidak menentukan batasan-batasan
yang jelas tentang ketentuan penghinaan melalui media sosial. Yaitu dalam pasal
Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, yaitu dengan sengaja dan tanpa
hak: (i) mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, atau (ii) menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Dalam pasal tersebut,tidak ditentukan batasan yang jelas mengenai unsur
sengaja dan tanpa hak. Sehingga menimbulkan adanya banyak interpretasi dalam
penerapan hukumnya. Dalam paradigma kontruktiviseme yang mempunyai wold

view bentuk dan isi berpulang pada penganut/pemegang dapat berubah menjadi
informed dan atau sopohisticated ,humanis. Tentu akan menimbulkan banyak
persepsi yang berbeda dari masing-masing individu khususnya dalam kasus
Florence Sihombing tersebut.
Selain itu unsur penghinaan belum jelas karena dapat membingungkan
apakah suatu kota dapat dihina. Sedangkan kebanyakan kasus masih hanya
melibatkan seorang atau individu.
Walaupun menimbulkan persepsi yang berbeda-beda terhadap UU tersebut
tetapi itu tentu wajib untuk dihargai masing-masing pandangan tersebut. Karena
masing-asing individu memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai suatu
hal.
Dalam menjawab pertanyaan epistimologi dalam kasus tersebut, kedua
pihak seharusnya dipertemukan antara Florence Sihombing dan Tokoh
masyarakkat Yogyakarta,sehingga

dapat

diciptkan

suatu

konstruktivisme

pemikiran yang sama antara keduanya.


Dalam menjawab pertanyaan metodologi ,dalam kasus tersebut seharusnya
polisi melakukan observasi atau investigasi secara interaktif dahulu antara
Florence Sihombing dan tokoh masyarakat Yogyakarta. Sehingga dapat
ditemukan kesepakatan atau konsensus antar kedua belah pihak sehingga hukum
tidak hanya diterapkan secara objektif saja namun juga dipandang secara
subyektifitas. Terlebih Florence Sihombing sudah melakukan permintaan maaf
kepada masyarakat Yogyakarta dan Raja Keraton Sri Sultan Hamengkubuwono
X. Sehingga tindakan polisi yang melakukan penahan pada tersangka terkesan
kurang bijak dengan tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain. Dalam dialog
yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan Florence Sihombing dapat
mengutarakan pendapatnya terkait tindakan yng ia lakukan tersebut sehingga
kedua pihak dapat melakukan pembandingan interpretasi sehingga tidak
diketemukan persalahan interpretasi oleh keduanya.

2.2 Mengukur keadilan dengan menggunakan paradigma Konstruktivisme dalam


kasus Floren Sihombing
Dalam Paradigma Konstruktivisme kasus yang dialami oleh Florence
Sihombing belumlah dapat dikatakan adil. Dalam hal ini , penegak hukum terlalu

cepat untuk melakukan penahan. Seharusnya pihak kepolisian mampu untuk


menjadi penengah dalam kasus tersebut. Setidaknya polisi dapat terlebih dahulu
mempertemukan kedua belah pihak untuk dilakukan dialog. Seharusnya polisi
dapat melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat,selain itu perkembangan
teknologi yang sangat pesat pun akan menyebabkan timbulnya banyak kasus yang
mirip sehingga polisi harus lebih bijak dalam melakukan sesuatu sehingga hak
arga untuk mndapat keadailan tidak lterlanggar
Selain tindakan kepolisian yang gegabah, Undang-undang yang mengatur juga
masih belum jelas dalam dilakukannya penerapan. Masih terdapat unsur-unsur
yang belum jelas tolak ukurnya sehingga menyebabkan perbedaaan interpreasi
terutama pada penegak hukum. Sehingga unsur kepastian hukum pun masih jauh
untuk dirasakan dalam penerapan Undang-undang tersebut sehingga nilai-nilai
keadilan pun dapat tidak terpenuhi.
Tindakan yang dilakukan perwakilan masyarakat Yogyakarta pun sangat
gegabah seharusnya perwakilan masyarakat tersebut mampu untuk melihat faktorfaktor lain dari pada perbuatan yang dilakukan oleh Florene Sihombing tersebut.
Sehingga seseorang tidak langsung ditahan berkaitan dengan pengungkapan
pendapat di muka umum. Dan seharusnya sebagai tokoh masyarakat perwakilan
oraganisasi tersebut mampu untuk bertindak bijak dengan memperhatikan keadaan
sosial setempat.
Kebebasan berpendapat merupakan bagian dari hak sipil yang diperoleh dari
pemerintah Kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan kebebasan yang
paling penting. Pentingnya kebebasan berpendapat ini dikemukakan oleh John
Stuart Mill (1806 1873), bahwa kebebasan berbicara merupakan bidang
kebebasan manusia yang tepat. Bidang ini, pertama-tama terdiri dari bidang
kesadaran batin yang menuntut adanya kebebasan kata hati dalam artian yang
paling sempurna, kebebasan pemikiran dan perasaan, kebebasan mengungkapkan
pendapat dan perasaan terhadap semua hal, yang bersifat praktis atau spekulatif,
keilmuan, moral, atau teologi.
Kemerdekaan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu karunia Tuhan
yang sangat berharga. Setiap orang mempunyai kepentingan untuk dapat
mengemukakan pendapatnya secara bebas tanpa adanya tekanan dari pihak
manapun. Sebab adanya batasan atau tekanan akan mengakibatkan orang merasa
khawatir atau takut untuk menyampaikan pendapatnya, dan hal ini merupakan
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Kebebasan berpendapat merupakan hak dari setiap individu masyarakat dalam


mengutarakan pendapatnya mengenai kritik dan opini dengan berbagai cara baik
berupa tulisan maupun lisan dengan memanfaatkan media massa seperti surat
kabar, jejaring sosial, blog, millis, dan sebagainya. Kebebasan berpendapat
merupakan hak setiap individu sejak dilahirkan yang telah dijamin oleh konstitusi.
Salah satu ciri adanya negara demokrasi adalah adanya jaminan atas
perlindungan kebebasan berpendapat, maka sudah selayaknyalah pemerintah
dalam hal ini pemegang hak eksekutif dan lembaga legislatif yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat selaku pengemban amanat rakyat dapat mendorong serta
mengupayakan adanya penghormatan terhadap kebebasan berpendapat. Sebuah
negara dianggap benar-benar demokratis, maka ia harus siap memberikan
perlindungan substansial untuk ide-ide pengeluaran pendapat di media
Selain itu, Indonesia yang secara tegas disebutkan sebagai negara hukum
seharusnya menjadikan hukum bukan sekedar sebagia alat untuk menghukum
masyarakat, melainkan juga menjadikan hukum sebagai alat untuk mewujudkan
keadilan diberbagai sektor kehidupan guna memakmurkan rakyat.
Disinilah pentingnya nilai keadilan dalam berhukum dapat dilihat, karena
keadilan membuka hukum memperlihatkan nilai kegunaan atau kemanfaatannya
pada manusia. Nilai kemanfaatan dari hukum inilah kunci yang melahirkan
masyarakat yang makmur. Tanpa keadilan tidak akan lahir kemanfaatan hukum.
Memang disadari kepastian hukum juga penting, namun kepastian hukum yang
sekedar menyatakan diri berdasarkan teks perundang-undangan mematikan dua
nilai dasar hukum lainnya.
Kebebasan berekspresi termasuk kebebasan berpendapat merupakan salah satu
hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Undang-undang No. 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum pasal 1 ayat
(1) dinyatakan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap
warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya
secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula halnya dengan UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 23 ayat (2)
menyebutkan bahwa setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan Negara.

Jadi Unsur keadilan masih belum dapat diwujudkan dalam kasus ini dalam hal
ini yang dirugikan adalah Florence Sihombing yang dalam mengeluarkan
pendapatnya malah berujung pada pemenjaraan dirinya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam menganalisis kasus ini dengan paradigma konstruktivisme, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal
ini polisi dan perwakilan dari tokoh masyarakat masihlah belum bijak. Hukum tidak
seharusnya hanya diartikan sebatas peraturan secara objektif saja namun juga
mempertimbangkan subjektifitas pelaku. Sehingga hukum akan dapat dimaknai dari
berbagai sudut pandang tidak hanya sebatas sebuah perturan kaku yang tidak
mempertimbangkan faktor-faktor lain yaitu nilai-nilai kemanusiaan sseperti kebesan
dalam mengeluarkan pendapat.Serta unsur-unsur keadilan yang menjadi tujuan utama
dalam adanya hukum juga dapat diwujudkan sehingga hukum dapat bermanfaat bagi
masyarakat dan masyarakat merasa nilai-nilai dasar kemanusiaannya terjamin.

3.2 Saran

Dalam penegakan hukum kiranya dibentuk suatu paradigma baru, dimana


berbagai metode penafsiaran dipergunakan untuk menerjemahkan hukum sebagai teks
(peraturan perundang-undangan). Jadi para penegak hukum tidak hanya berpedoman
pada Teks undang-undang saja namun juga mempertimbangkan faktor-faktor lain
seperti faktor sosial sehingga tidak kaku.

Daftar Pustaka
Indarti, Erlyn. 2010. Diskresi dan Paradigma : Sebuah Telaah Filsafat Hukum,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro. Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta :
Kanisius.
Ali,Zainuddin. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Pound, Roscue. 1963. Pengantar Filsafat Hukum. Jakarta : Brhatara
Rasjidi, Lili. 1991. Filsafat Hukum: Apakah itu?. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Kusumahadidjodjo, Budiono. 2011. Filsafat Hukum : Problematika Ketertiban Yang
Adil. Bandung : Mandar Maju.

VIVAnews - Florence Sihombing, mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada


Yogyakarta yang mengungkapkan kekesalan di situs pertemanan Path, ditahan Kepolisian
Daerah DI Yogyakarta, Sabtu, 30 Agustus 2014. Perempuan 26 tahun itu ditetapkan sebagai
tersangka setelah diperiksa Reserse Kriminal Khusus.
Kamis, 28 Agustus 2014
Flo mengantre membeli bensin di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)
Lempuyangan. Saat itu, ia yang mengunakan sepeda motor Honda Scoopy, hendak membeli
Pertamax, menyelonong memotong antrean sampai ditegur anggota TNI yang berjaga. Ia
marah namun tetap tidak boleh memotong antrean.
Kecewa dengan kejadian itu, sekeluar dari SPBU, Flo menumpahkan kekesalannya di
akun situs pertemanan Path. Salah satu ungkapan kekesalannya: "Jogja miskin, tolol, miskin
dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta, Bandung, jangan mau tinggal di jogja, dinilai
menjelekkan dan menghina warga Yogyakarta.
Status itu kemudian disebar di media jejaring sosial dan mendapat reaksi negatif. Flo
dicerca.
Jumat, 29 Agustus 2014
Flo meminta maaf kepada masyarakat dan Raja Keraton Sri Sultan Hamengkubuwono
X. Ia mengaku tidak memiliki maksud menghina atau mencemarkan nama baik Yogyakarta.
Tapi, Flo tidak meminta maaf secara langsung dan terbuka, melainkan melalui pernyataan
tertulis yang dibacakan pengacaranya, Wibowo Malik.
Menurut Wibowo, Flo saat itu sedang depresi karena merasa diteror setelah membuat
status yang dianggap menghina Yogyakarta. Statusnya menyebar cepat sehingga mengundang
cercaan publik.
Di hari yang sama, elemen masyarakat Yogyakarta melaporkan Flo ke Polda DI
Yogyakarta. Mereka, di antaranya, Granat DIY, Komunitas RO Yogyakarta, Foklar DIYJateng, Gerakan Cinta Indonesia, Pramuka DIY, dan berbagai kelompok masyarakat lain.
Mahendra, Advokat Muda Yogyakarta, mengatakan status Flo di Path berbuntut
panjang karena, selain melukai masyarakat, tindakan itu juga melanggar hukum pidana.

Kami menempuh jalur hukum dan melaporkan penghinaan ini pada pihak berwajib,
katanya.
Sabtu, 30 Agustus 2014
Penyidik Reserse Kriminal Khusus Polda DI Yogyakarta memeriksa Flo. Segera
setelah disidik, status Flo yang semula terlapor ditingkatkan menjadi Tersangka, dan saat itu
juga ditahan.
Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda DI Yogyakarta, Komisaris Besar
Polisi Kokot Indarto, penahanan tersangka Flo karena selama pemeriksaan cenderung tidak
kooperatif dan tidak ada itikad baik. Bahkan, Tersangka tidak mau menandatangani Berita
Acara Pemeriksaan (BAP). "Kami tahan untuk 20 hari ke depan.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda DI Yogyakarta, AKBP Any Pudjiastuti,


mengatakan bahwa penahanan dapat dilakukan oleh Penyidik setelah melakukan pemeriksaan
selama 1x24 jam.
Pengacara Flo, Wibowo Malik, mengatakan bahwa dia mendampingi Terlapor untuk
memenuhi panggilan Penyidik siang tadi. Setelah dilakukan pemeriksaan, Penyidik
mengeluarkan surat penahanan. Ditahan, tapi ini tidak resmi, dan kami menolaknya,"
katanya.

Anda mungkin juga menyukai