Anda di halaman 1dari 10

Geng Motor di Indonesia.

BAB I
KATA PENGANTAR

Problema remaja merupakan topik pembicaraan di negara mana pun di seluruh dunia.
Negara-negara super modern pun masih saja mempunyai persoalan dengan perkembangan
remajanya. Pada kenyataannya negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, problema
remaja cukup ruwet. Hal ini disebabkan banyak faktor, terutama sekali para remaja di negara
berkembang belum siap menerima perubahan yang begitu cepatnya. Sementara itu
lingkungan budaya yang begitu kukuh berakar dalam pribadi telah menentukan sikap tertentu
terhadap perubahan tersebut. Akan tetapi keadaan jiwa remaja yang masih dalam keadaan
transisi menunjukkan sikap labil dan gampang sekali terpengaruh terhadap sesuatu yang
datang pada dirinya, sehingga kadang-kadang timbullah konflik pada dirinya dengan
lingkungannya. Hal ini memancar kepada tingkah laku yang mengandung problema terhadap
lingkungan dan terhadap dirinya sendiri.

Salah satu contohnya adalah prilaku geng motor.


Analisa mengenai keberadaan geng motor ini secara lebih jauh sejatinya sedah dipaparkan
dengan lengkap pada mahakarya Bapak Yesmil dan Adang yang dituangkan dalam sebuah
buku berjudul “KRIMINOLOGI” yaitu pada Bab Kenakalan Remaja : Geng dan Dampaknya
Bagi Masyarakat Luas (Optik Kriminologis). Tanpa maksud untuk melakukan plagiatisme,
penulis menyampaikan bahwa makalah penulis ini menjadikan buku beliau tersebut sebagai
sumber utama, ditambah beberapa sumber lain yang menambah khasanah makalah ini.
Agar memiliki sesuatu yang berbeda dari mahakarya beliau, dalam makalah ini penulis
menambahkan beberapa perkembangan dalam beberapa bulan ini yang tentunya terjadi ketika
beliau melakukan penelitian tentunya. Hal ini diantaranya dilakukannya pembubaran paksa
geng motor di beberapa wilayah di Jawa Barat, pemberian sanksi tidak akan diberikan Surat
Keterangan Catatan Kepolisian dan lain sebagainya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

IDENTIFIKASI MASALAH
1. Pendekatan teori kriminologi terhadap keberadaan geng motor.
2. Pembubaran geng motor secara paksa dan sanksi tidak akan diberikan SKCK sebagai
solusi yang keliru.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendapat Para Ahli Mengenai Kenakalan Remaja Atau Juvenile Delinquency
Kartini Kartono menyatakan bahwa; Geng delinquen banyak tumbuh dan berkembang di
kota-kota besar dan bertanggung jawab atas banyaknya kejahatan dalam bentuk: pencurian,
perusakan milik orang lain, dengan sengaja melanggar dan menentang otoritas orang dewasa
serta moralitas yang konvensional, melakukan tindak kekerasan, meneror lingkungan dan
lain-lain.
Wagiati Soetedjo mengemukanan pendapat mengenai kenakalan anak bahwa: hal tersebut
cenderung dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada kejahatan anak terlalu ekstrim rasanya
seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat, sementara
kejadiannya adalah prose salami yang tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan
masa menjelang kedewasaannya.
Sofyan S. Willis, “kenakalan remaja itu adalah disebabkan kegagalan mereka dalam
memperoleh penghargaan dari masyarakat di mana anak dan remaja itu tinggal. Penghargaan
yang diharapkan remaja itu ialah dalam bentuk tugas dan tanggung jawab seperti orang
dewasa. Mereka menuntut suatu peranan sebagaimana yang dilakukan orang dewasa.
Fuad Hassan, “secara sosiologis kenakalan remaja ialah kelakuan atau perbuatan anti social
dan anti normative”
Kusumanto: “juvenile Deliquency” atau kenakalan remaja ialah tingkah laku individu yang
bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan
baik oleh suatu lingkungan atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang
berkebudayaan,”
Paul Moedikno memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency, yaitu sebagai
berikut:
a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-
anak merupakan delinquency,. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti
mencuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya.
b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan
keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki tidak sopan, mode you can see
dan sebagainya.
c. Semua perbutan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi social, termasuk
gelandangan, pengemis dan lain-lain.
Maud A. Merril, merumuskan Juvenile Delinquency sebagai berikut: “ A child is classified as
a delinquent when social tendencies appear to be so grave thet has become or ought tobecome
the subject of official action”. Bahwa seorang anak digolongkan anak Delinquency apabila
tampak adanya kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya
sehingga yang berwajib terpaksa atau hendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam
arti menahannya atau mengasingkannya.
Tim proyek Juvenile Delinquency Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Desember 1967
memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency sebagai berikut, bahwa suatu
perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat
itu sendiri dirasakan serta ditafsiran sebagai perbuatan yang tercela.
Andie Mappiare, mengemukakan pengertian sebagai berikut: yang disebut kenakalan remaja
atau Jevenile delinquency yaitu pembagain karena tidak tahu terhadap peraturan yang ada,
menimbulkan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Keadaan agresif yang mengalami tingkah
laku bermasalah.
M. Gold dan J. Petronio memberikan definisi tentang penyimpangan perilaku remaja dalam
arti kenakalan anak (Juvenile Delinquency) yaitu sebagai berikut, kenakalan anak adalah
tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang
diketahui oleh anak itu sendiri bahwa perbuatannya itu diketahui oleh petugas hukum ia bisa
dikenai hukuman.
Kesimpulan Yesmil Anwar dan Adang, dari beberapa definisi kenakalan remaja diatas dalam
bukunya yang bejudul Kriminologi adalah tindak perbuatan para remaja yang bertentangan
dengan hukum, agama dan norma-norma mesyarakat sehingga akibatnya dapat merugikan
orang lain, mengganggu ketentraman umum dan juga merusak dirinya sendiri.
Beliau juga membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis :
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan,
pembunuhan, dan lain-lain.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian, pencopetan,
pemerasan dan lain-lain.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran,
penyalahgunaan obat
4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status orang tua dengan cara
minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya.
B. Teori-Teori Kriminologi Klasik Hingga Kontemporer
1. Membuka pintu Teori kriminologi
Menurut williams III dan Marilyn McShane teori kriminologi diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, yaitu:
a. Teori abstrak atau teori-teori makro (macrotheories). Pada asasnya, teori-teori dalam
klasifikasi ini mendeskripsikan korelasi antara kejahatan dengan struktur masyarakat.
Termasuk ke daalam macrotheories ini adalah teori Anomie dan teori konflik
b. Teori-teori mikro (microtheori). Teori ini ingin menjawab mengapa seorang/kelompok
orang masyarakat melakukan kejahatan atau menjadi kriminal (etiology criminal). Termasuk
teori ini adalah Social Control Theory dan Social Learning Theory.
c. Beidging theory yang tidak termasuk ke dalam kategori teori makro/mikro dan
mendeskripsikan tentang struktur sosial dan bagaimana seseoarang menjadi jahat. Termasuk
dalam teori ini subculture theory dan social learning Theory.
Kemudian selain klasifikasi di atas, Frank P. William III dan Marilyn McShane juga
mengklasifikasi berbagai teori kriminologi menjadi tiga bagian lagi, yaitu:
a. Teori klasik dan teori positivis, asasnya teori klasik membahas legal statutes, struktur
pemerintahan dan HAM. Teori Positivis terfokus pada patologi kriminal, penanggulangan
dan perbaikan prilaku kriminal individu.
b. Teori struktural dan Teori Proses. Teori struktural terfokus pada cara masyarakat
diorganisasikan dan dampak dari tingkah laku. Teori struktural lazim disebut Strain theori.
Teori proses , membahas, menjelaskan dan menganalisis bagaimana orang menjadi penjahat.
c. Konsensus dan Teori Konflik, teori konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam
masyarakat terjadi konsensus/ persetujuan sehingga terdapat nilai-nilai bersifat umum yang
kemudian disepakati secara bersama. Sedangkan teori konflik mempunyai asumsi dasar yang
berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat sedikit kesepakatan dan orang-orang
berpegang pada nilai pertentangan.
Klasifikasi teori kriminologi dari John Hagan
a. Teori-teori under control atau teori-teori untuk mengatasi prilaku jahat seperti teori
disorganisasi sosial, teori netralisasi dan teori kontrol sosial
b. Teori-teori kultur, status dan oppurtunity, menekankan mengapa adanya sebagaian kecil
orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat di mana mereka tinggal/hidup
c. Teori Over Control yang terdiri dari teori labelling, teori Konflik, Kleompok dan teori
Marxis.
2. Teori Differential Association.
Orang yang pertama memperkenalkannya adalah Sutherland. Ia memperkenalkan dalam dua
versi, yaitu pada tahun 1939 dan kemudian tahun 1947. Ia berpendapat bahwa perilaku
kriminal merupakan perilaku yang dipelajari di dalam lingkungan sosial, artinya semua
tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Oleh karena itu, perbedaan tingkah laku
yang confor, dengan criminal adalah apa dan bagaimana sesuatu itu dipelajari. (Frank P
William dan Marilyn D.McShane, 1998:48)
Versi kedua dari teori ini yang dikemukakan pada tahun 1947 terdapat pada edisi keempat,
menegaskan bahwa, “ semua tingkah laku itu dipelajari” dan ia mengganti pengertian istilah
“social disorganization” dengan “differential social organization” versi ini menegaskan
sembilan pernyataan sebagai berikut:
(1) Tingakah laku kriminal dipelajari
(2) Tingkah laku kkriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui
suatu proses komunikasi
(3) Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang
intim.
(4) Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik melakukan kejahatan
dan motivasi/dorongan atau alasan pembenar
(5) Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan:
menyukai atau tidak menyukai.
(6) Seseorang menjadi ‘deliquent’ karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan:
lebih suka melanggar daripada menaatinya.
(7) Asosiasi differensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi
(8) Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan
anti-kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar
(9) Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan-kebutuhan
umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan
melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena tingkah laku non-kriminal pun
merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
3. Teori Anomie
Teori ini diperkenalkan oleh Emile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau,
tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ‘a’: ‘ tanpa’, dan ‘nomos’: ‘hukum’ atau
‘peraturan’.
Teori anomi menempatkan ketidakseimbangan nilai dan norma dalam masyarakat sebagai
penyebab penyimpangan, dimana tujuan-tujuan budaya lebih ditekankan dari pada cara-cara
yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan budaya itu. Individu dan kelompok dalam
masyarakat seperti itu harus menyesuaikan diri dan beberapa bentuk penyesuaian diri itu bisa
jadi sebuah penyimpangan. Sebagain besar orang menganut norma-norma masyarakat dalam
waktu yang lama, semetara orang atau kelompok lainya melakukan penyimpangan.
Kelompok yang mengalami lebih banyak ketegangan karena ketidakseimbangan ini
(misalnya orang-orang kelas bawah) lebih cenderung mengadaptasi penyimpangan daripada
kelompok lainnya.
Pendapat Bapak Yesmil Anwar dan Adang mengenai anomie, “anomie adalah suatu keadaan,
dimana dalam suatu masyarakat, tidak adanya kesempatan, adanya perbedaan struktur
kesempatan untuk mencapai sebuah tujuan (cita-cita). Kedua faktor inilah yang menyebabkan
masyarakat menjadi frustasi; terjadinya konflik; adanya ketidakpuasan sesama individu, maka
semakin dekat dengan kondisi hancur-berantakan yang tidak didasarkan kepada norma yang
berlaku, inilah a-nomie”
4. Teori Kontrol Sosial
Perspektif kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delikuensu dan kejahatan.
Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial
dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial.
Teori kontrol sosial menunjuk pada pembahasan delikuensi dan kejahatan dikaitkan dengan
variabel-variabel yang bersifat sosiologis: antara lain struktur keluarga, pendidikan,
kelompok dominan. Dengan demikian pendemikian pendekatna teori kontrol-sosial ini
berbeda dengan teori kontrol lainnya.
Durkheim (1895), “ A society will always have a certain number of deviance and that
devience is really a normal phenomenon”
Reiss membedakan dua macam kontrol, yaitu Personal Control (internal control) adalah
kemampuan seseorang untuk menahan diri untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara
melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Social control atau kontrol eksternal adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-
lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif.
Walter Reckless (1961) dengan bantuan Simon Dinitz, mengemikakan teori containment
theory. Teori ini menjelaskan bahwa kenakalan remaja merupakan hasil akibat dari irrelasi
antara dua bentuk kontrol, yaitu kontrol eksternal atau social control dan kontrol internal atau
internal control.
Hirschi, kemudian menjelaskan bahwa social bonds meliputi empat unsur, yaitu sebagai
berikut:
- attachment, keterikatan seseorang pada orang lain (orangtua) atau lembaga (sekolah) dapat
mencegah atau menghambat yang bersangkutan melakukan kejahatan.
- involvement, frekuensi kegiatan seseorang akan memperkicil kecenderungan yang
bersangkutan untuk terlibat dalam kejahatan.
- Commitment, investasi seseorang dalam masyarakat, antara lain dalam bentuk: pendidikan,
reputasi yang baik, kemajuan dalam bidang wiraswasta, dan
- Belief, unsur yang mewujudkan pengakuan seseorang akan norma-norma yang baik dan adil
dalam masyarakat.
-
5. Teori Labelling
Teori labelling merupakan teori untuk mengukur mengapa terjadinya kejahatan, metode yang
digunakan dalam teori ini adalah “self refort” atau melakukan interview terhadap pelaku
kejahatan yang tidak tertangkat/tidak diketahui oleh polisi. Pembahasan labelling,
terfokuskan pada dua tema, pertama; menjelaskan mengapa dan bagaimana orang-orang
tertentu diberi label, kedua; pengaruh atau efek dari label tersebut, sebagai suatu konsekuensi
dari perbuatan yang telah dilakukannya.
Frank tannembaum (1938) kejahatan tidaklah sepenuhnya merupakan hasil dari
kekurangmampuan seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompok, akan tetapi
dalam kenyataannya, ia telah dipaksa untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya.
Dengan demikian, menurut Tannembaum, kejahatan merupakan hasil konflik antara
kelompok dengan masyarakat yang kebih luas, dimana terdapat dua definisi yang
bertentangan tentang tingkah laku yang layak. Dua macam pendekatan labelling:
a. Persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau label?
Persoalan labelling ini, memperlakukan labelling sebagai dependent variabel atau variabel
yang tidak bebas dan keberadaannya memerlukan penjelasan. Labelling dalam arti ini adalah
labelling sebagai akibat dari reaksi masyarakat.
b. Efek labelling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya.
Persoalan ini memperlakukan labelling sebagai variabel yang independent atau variabel
bebas/mempengaruhi. Dua proses mempengaruhi seseorang tersebut adalah, pertama;
diberikan oleh pengamat yang kemudian seterusnya cap/label itu melekat pada diri orang itu,
kedua; label atau cap tersebut sudah diadopsi oleh seseorang dan membawa pengaruh pada
dirinya sehingga ia mengakui dengan sendirinya sebagaimana cap/label itu diberikan padanya
oleh si pengamat.
6. Teori Interaksionisme Simbolik
Blummer mengutarakan tentang tiga prinsip utama dari teori ini, yaitu pemaknaan (meaning),
bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep
diri seseorang dan sosialisasinya kepada komunitas yang lebih besar, masyarakat.
Teori interaksinisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “ proses mental” atau
proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali
bukan stimulus-respon, melainkan stimulus – proses berpikir- respons. Jadi, terdapat variabel
antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respons, yaitu proses mental
atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik
memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti
dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.
7. Teori Subkultur
Pada dasarnya, teori subculture membahas dan menjelaskan bentuk kenakalan remaja serta
perkembangan berbagai tipe gang. Sebagai social heritage, teori ini dimulai tahun 1950-an
dengan bangkitnya perilaku konsumtif kelas menengah Amerika.
Dua teori subkultur
a. Teori delinquent sub-culture. Dikemukakan oleh Albert K. Cohen, berusaha memecahkan
masalah bagaimana kenakalan sub-culture dimulai dengan menggabungkan perspektif Teori
Disorganisasi Sosial dari Shaw dan McKay, Teori differential Association dari Edwin H.
Sutherland dan Teori Anomie. Konklusi dari peningkatan prilaku delikuen di daerah kumuh
dikalangan remaja, usia muda masyarakat kelas bawah, merupakan cermin ketidakpuasan
terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi kultur Amerika.
b. Teori differential oppurtunity (perbedaan kesempatan). Berorientasi membahas
penyimpangan di wilayah perkotaan. Penyimpangan tersebut merupakan fungsi perbedaan
kesempatan yang dimiliki anak-anak untuk mencapai tujuan legal maupun illegal.
8. Teori Konflik
Dikemukakan oleh Marx berasal dari kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis yang
dianggapnya mengeksploitasi buruh.
Adanya pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang
saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari
posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai
pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial.
Konflik dapat terjadi pada tingkatan individual dapat juga terjadi pada tingkat lembaga.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Geng Motor : Hak Atau Pelanggaran Undang-Undang?
Geng motor, secara substansi merupakan perkumpulan orang-orang. Kebebasan untuk
berkumpul merupakan salah satu hak yang diakui dalam Undang-undang dasar 1945
amandemen ke-IV, yaitu pasal 28E ayat 3, yang menyebutkan “setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Dari pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sebagai warga negara Indonesia berhak
untuk berserikat, membentuk perkumpulan dan mengeluarkan pendapatnya. Setiap ada hak
tentu ada kewajiban. Ada peraturan yang membatasi prilaku dari perserikatan atau
perkumpulan tersebut. Dalam KUHP pasal 510 dan pasal 511, berbunyi sebagai berikut:
1. Pasal 510 KUHP
(1) Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, barang
siapa tanpa ijin kepala polisi atau pegawai negeri lain yang ditunjuk untuk itu:
a. Mengadakan pesta atau keramaian untuk umum
b. Mengadakan arak-arakan di jalan umum
(2) Jika arak-arakan diadakan untuk menyatakan keinginan-keinginan secara menakjubkan,
yang bersalah diancam dengan pidana paling lama dua minggu atau pidana denda dua ribu
dua ratus lima puluh rupiah.
2. Pasal 511 KUHP
Barang siapa di waktu ada pesta arak-arakan dan sebagainya, tidak menaati perintah dan
petunjuk yang diadakan oleh polisi untuk mencegah kecelakaan oleh kemacetan lalu lintas di
jalan umum, diancam dengan pidana paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Walaupun semua orang berhak untuk berkumpul (geng motor) namun hal tersebut tidak boleh
bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
B. Pendekatan Teori Kriminologi Terhadap Keberadaan Geng Motor
1. Teori kontrol sosial
Dalam bukunya Bapak Yesmil, dalam menjelaskan kenakalan remaja yang berupa geng
motor, beliau mengaitkannya dengan teori Kontrol sosial dengan mengangkat pendapat dari
Romli Atmasasmita bahwa: pengertian teori kontrol sosial atau control theory merujuk
kepada pembahasan delikuensi dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang
bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok yang dominan.
Dengan demikian, pendekatan teori kontrol sosial ini berbeda dengan teori kontrol lainnya.
Pemunculan teori kontrol sosial ini diakibatkan tiga ragam perkembangan kriminologi.
Ketiga ragam perkembangan yang dimaksud yaitu: pertama, adanya reaksi terhadap orientasi
labelling dan konflik dan kembali kepada penyelidikan tentang tingkah laku kriminal.
Kriminologi konserfatif ( sebagaimana teori ini berpijak) kurang mnyukai kriminologi baru
atau new criminology dan hendak kembali kepada subjek semula, yaitu: penjahat. Kedua,
munculnya studi tentang criminal justice sebagai suatu ilmu baru yang telah membawa
pengaruh terhadap kriminologi menjadi lebih pragmatis dan beroreintasi pada sistem. Ketiga,
teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik riset baru khususnya bagi tingkah laku
anak/remaja, yakni self report survey.
Pendapat Reiss, yang dikutip oleh Romli, bahwa ada tiga komponen dari kontrol sosial dalam
menjelaskan kenakalan anak/remaja diantaranya yaitu:
1) kurangnya kontrol internal yang wajar selama masa anak-anak
2) hilangnya kontrol tersebut
3) tidak adanya norma-norma sosial atau konflik dimaksud (di sekolah, orang tua, atau
lingkungan dekat)
2. Teori Anomie
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya teori anomie adalah suatu keadaan, dimana dalam
suatu masyarakat, tidak adanya kesempatan, adanya perbedaan struktur kesempatan untuk
mencapai sebuah tujuan (cita-cita). Kedua faktor inilah yang menyebabkan masyarakat
menjadi frustasi; terjadinya konflik; adanya ketidakpuasan sesama individu, maka semakin
dekat dengan kondisi hancur-berantakan yang tidak didasarkan kepada norma yang berlaku.
Dalam pandangan saya, yang menjadi titik penting dari teori ini adalah tidak adanya
kesempatan dan perbedaan struktur kesempatan untuk mencapai sebuah tujuan (cita-cita).
Sebagai orang yang juga pernah mengalami masa-masa SMP dan SMA, penulis juga
merasakan bahwa adanya tekanan untuk menjadi tenar dikalangan anak-anak lainnya.
Keadaan yang menghendaki diri kita dihargai oleh orang lain dan dianggap berarti dan
penting.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut. Diantara banyak cara
tersebut adalah cara-cara yang ditempuh oleh anggota geng motor tersebut. Mereka
menganggap dengan menjadi anggota geng motor, mereka ingin menambah teman, ingin
merasa aman, ingin disebut gaul, dan mudah mendapatkan perempuan.
Dengan pendekatan Teori anomie ini, kita dapat tahu bahwa cara-cara untuk mencapai tujuan
dari anggota geng motor tersebut, adalah cara-cara yang tidak tepat.
3. Teori Labelling
Menurut hemat saya, teori labelling disini berperan setelah munculnya cap/label pada geng
motor itu sendiri. Hal ini juga berdampak pada klub-klub motor lainnya yang ada di kota
Bandung. Susahnya mengidentifikasi mana geng motor yang meresahkan warga dan mana
yang tidak, seringkali membuat warga sudah berprasangka tidak baik lebih dulu, walhasil
seringkali kumpul-kumpul geng motor selalu dianggap sesuatu yang bisa mengancam.
Cap/label juga sampai kepada klub-klub motor yang baru akan dibentuk. Pada umumnya klub
motor-klub motor tersebut terdaftar di kepolisian (dalam arti medapat izin dari pihak
kepolisian). Namun karena aksi-aksi geng motor belakangan ini membuat pihak kepolisian
tidak lagi memberikan izin terhadap pendirian klub motor.
Faktor penyebab dan upaya penanggulangan geng motor
Menurut Kartini Kartono, motif yang mendorong anak remaja melakukan tindak kejahatan
dan kedursilaan yang dalam hal ini adalah kejahatan yang dilakukan geng motor di antaranya:
1. Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan
2. Meningkatkan agresivitas dan dorongan seksual
3. Salah asuh dan salah didik orangtua, sehingga anak menjadi manja dan lemah mentalnya
4. Hastrat unutk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan kesukaan unutk meniru-
niru
5. Kecenderungan pembawaan yang patologis atau tidak normal
6. Konflik batin sendiri, dan kemudian mengunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan
diri yang irrasional.
Upaya Preventif yang dilakukan oleh kepolisian
1. Mengadakan operasi terhadap kendaraan bermotor setiap malam minggu di daerah-daerah
yang dianggap rawan kejahatan geng motor
2. Melakukan patroli setiap malam
3. Memberikan penyuluhan terhadap anank-anak SMU dengan mengirimkan perwakilan dari
pihak kepolisian untuk menjadi pembina upacara di SMU yang ada di kota-kota Bandung
sevara bergantian
Upaya represif yaitu dengan melakukan penindakan terhadap anggota geng motor yang
melakukan tindak pidana, baik itu tindak pidana dalam bentuk kejahatan maupun tindak
pidana dalam bentuk pelanggaran berat.
Pada pengkhir tahun 2010 yang lalu pihak kepolisian untuk wilayah Bandung, Kabupaten
Bandung dan sekitarnya melakukan terobosan baru dalam menangani geng motor tersebut,
yaitu dengan tidak akan memberikan Surat Ketengan Catatan Kepolisian (SKCK) dan
pembubaran paksa Geng Motor.
Tanggapan terhadap solusi baru yang dilakukan oleh pihak kepolisian
1. Tanggapan terhadap Tidak memberikan SKCK
Sebagaimana yang keterangan yang disampaikan Kapolres Ajun Komisaris Besar Hendro
Pandowo, didampingi Kasatreskrim Ajun Komisaris Agung Masloman (15/11) bahwa”
sebagai efek jera, kami tidak akan pernah mengeluarkan SKCK kepada setiap anggota geng
motor. Tanpa SKCK mereka akan kesulitan dalam proses mencari kerja atau meneruskan
sekolah,”.
Menanggapi sanksi yang diberikan oleh pihak kepolisian tersebut, Zaky Yamani dalam tajuk
Wacana, “Memahami Geng Motor (2)”, mengkhawatirkan kebijakan instan dari
Mapolrestabes Bandung yang mencantumkan status anggota geng motor di SKCK mereka.
Kita semua tahu SKCK dibutuhkan sebagai syarat melamar kerja. Mungkin kebijakan itu
tujuannya untuk menakuti remaja yang berniat masuk geng motor atau memberi efek jera
kepada anggota geng motor. Akan tetapi, kebijakan itu bisa menciptakan bom waktu yang
akan meledak dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun mendatang. Jika anggota geng motor
sudah memasuku usia dewasa dan status di SKCK mereka membuat mereka kesulitan
mendapatkan oekerjaan yang layak, patut dikhawatirkan jika mereka akan lebih jauh terjebak
di dalam dunia kriminal.
Maka dari itu saya berpendapat bahwa tindakan tidak memberikan SKCK tersebut perlu
ditinjau ulang kembali.
2. Tanggapan terhadap pembubaran paksa geng motor
Dalam berita yang dilansir dari bandung.detik.com, bahwa pada tanggal 30 Desember 2010
dengan dihadiri lebih dari 1500 orang hadih dalam kegiatan “Deklarasi Pembubaran Geng
Motor”, di Lapangan Tegallega. Deklarasi pembubaran ini diikui oleh geng motor GBR,
XTC, Brigez dan Moorakers. Mereka membacakan pernyataan sebagai berikut:
1. Kami bersama koponen masyarakat lainnya ikut berpastisipasi membantu tugas aparat
keamanan menjauhi diri dari kegiatan berandalan bermotor dalam rangka menjaga dan
mewujudkan Kota Bandung yang aman dan kondusif
2. Kami akan membubarkan diri sebagai geng motor dan mengubah imej dari komunitas
dengan kegiatan neegatif menjadi komunitas dengan kegiatan yang positif. Serta ikut
memberantas kejahatan bermotor yang ada di kelompok kami
3. Kami siap mendukung dan mewujudkan 7 agenda pembangunan Kota Bandung dan 5
gerajan lingkungan hidup menuju Kota Bandung sebagai kota jasa bermatabat.
4. Kami siap ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku jika ada di antara kami yang
melakukan tindak pidana dan pelanggaran hukum lainnya.
Dalam tajuk Opini, Jum’at, 6 januari 2011, pada harian umum Pikiran Rakyat, Agus Salim
Mansyur menyampaikan pendapatnya, “dengan seremonial pembubaran sejumlah kelompok
berandal bermotor dari mulai tingkat kabupaten/kota sampai provinsi, bukan jaminan mereka
untuk tidak berulah lagi. Kebanyakan anggota berandal bermotor adalah remaja-remaja yang
energik, aktif, dan penuh vitalitas. Selama ini, mereka berulah dengan melakukan tindakan
kekerasan hanya sebagai pelarian delam kerangka akutualisasi diri; menyalurkan energi. Oleh
karena itu, pascapembubaran harus ada upaya pembinaan yang nyata untuk menyalurkan
energi mereka pada kegiatan yang positif. Janji gubernur, wali kota, bupati, dan sejumlah
pejabat lainnya harus segera direalisasikan.”
Saya sepakat dengan pendapat bapak Agus diatas akan penting tindakan pascapembubaran
tersebut. Jangan sampai berhenti sampai disitu saja. Pembinaan-pembinaan yang dilakukan
ke sekolah-sekolah harus tetap giat dan rutin dilakukan. Kemudian juga penyaluran minat dan
bakat yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Misalnya bagi mereka yang suka
balap liar, mungkin bisa diagendakan “road race” tiap bulannya, yang bernuansa kompetitif,
yang kemudian mudah-mudahan dapat berprestasi di bidangnya.

BAB IV
KESIMPULAN
1. Perilaku geng motor merupakan salah satu contoh kenalakan remaja (Juvenile
Delinquency)
2. Jika dikaitkan dengan teori-teori kriminologi, maka geng motor, dapat dijelaskan dengan
teori control sosial, teori anomie dan teori labelling
3. Solusi untuk tidak memberikan SKCK merupakan sanksi yang kurang tepat
4. Pembubaran terhadap geng motor harus diikuti upaya lain untuk menyalurkan minat dan
bakat para remaja tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Yesmil dan Adang, Kriminologi, 2010, Refika Aditama, Bandung
Anwar, Yesmil. Saat Menuai Kejahatan, 2009, Refika Aditama, Bandung.
Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT Eresco, Bandung
Simandjuntak, B. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, 1981, Tarsito, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai