Anda di halaman 1dari 2

Analisis Kasus Pornografi Dunia Maya (Cyber Pornography)

Oleh: Eileen Gani Setiawan (01051190015), Jovanka Nicole Lontoh (01051190039), Marsheila
Nadya Siswanto (01051190026)
Pada 5 Agustus 2020 silam, sekomplotan pemuda di kawasan Kapuk Poglar, Jakarta Barat
dibekuk polisi setelah diketahui terlibat tindak pidana pornografi yang melibatkan anak-anak di
bawah umur. Perbuatan 4 orang tersangka ini terungkap ketika Polres Metro Jakarta Barat melakukan
patroli siber dan menemukan adanya akun Twitter yang menawarkan netizen untuk bergabung dengan
grup pornografi mereka. Para tersangka membuat grup pornografi berbayar di aplikasi Line dan
mencari para pelanggan melalui media sosial seperti Twitter, Whatsapp dan Line untuk mengikuti
akun asusila tersebut dengan membayar sejumlah uang. Tarif berlangganan yang dipatok pun berbeda,
mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 300.000 tergantung konten yang diinginkan. Khusus untuk layanan
siaran langsung aktivitas seksual, mereka memasang tarif Rp 150.000 per pertunjukan. Dalam
seminggu, anak-anak tersebut dapat membuat 10 konten pornografi berupa phone sex, video call sex,
hingga siaran langsung aktivitas seksual anak-anak di bawah umur tersebut. Mirisnya, pelaku konten
yang digunakan masih terbilang belia berusia 14 tahun dan hanya dibayar Rp 50.000 per kontennya.
Kejahatan ini tergolong sebagai kejahatan pornografi dunia maya lantaran menggunakan ICT
system sebagai sarana untuk menyebarluaskan konten asusilanya. Adapun kejahatan kesusilaan ini
termasuk ranah delik umum karena tidak diperlukan aduan bagi polisi untuk melakukan patroli di
grup aplikasi pesan singkat yang berpotensi ke arah kriminal serta tidak dapat dicabut kembali. Dalam
kasus ini, para tersangka dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016
tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman hukuman maksimal
enam tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000. Pengenaan pasal ini didasarkan
atas terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang disebutkan dalam kedua pasal tersebut. Unsur
pertama dalam pasal ini terkait dengan intensi seseorang, yaitu adanya kesengajaan ( dolus) dalam
menyiarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan. Pada kasus ini, jelas bahwa para tersangka secara terang dan sadar mengajak serta
menyebarkan konten asusila yang dibuktikan dengan percakapan mereka di platform Twitter, Line
dan Whatsapp sehingga unsur ini terpenuhi. Unsur selanjutnya yaitu berkaitan dengan kewenangan
untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diakses, di mana mereka
tidak memiliki hak legal untuk melakukannya sekalipun telah “membeli” pelaku kontennya. Ini
karena hal tersebut bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum dan norma
yang berlaku di masyarakat serta berkenaan dengan perlindungan hak pribadi seseorang. Selain itu,
unsur implisit yang terkandung di dalam pasal ini yakni di depan umum juga terpenuhi pada kasus ini
lantaran konten terlarang itu disebarluaskan terhadap 600 orang dalam grup pornografi tersebut.
Di samping pasal-pasal di atas, para tersangka juga dapat dikenakan Pasal 282 KUHP, Pasal 4
ayat (1) jo. Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, hingga Pasal 15 UU No. 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam praktiknya penegak hukum dapat menerapkan ketiga
undang-undang tersebut atau hanya UU ITE dan UU Pornografi saja, tidak termasuk KUHP karena
rumusan pasal tersebut terlalu umum dan tidak terdapat unsur elektronik di dalamnya. Peristiwa ini
menjadi bukti kurangnya edukasi terhadap literasi digital, masalah pornografi termasuk grooming
sehingga gencaran edukasi dan sosialisasi oleh pemerintah terhadap hal tersebut sangat dibutuhkan.
Filterisasi media sosial dan pengaktifan fitur safe search juga harus dilakukan pemerintah untuk
mengatasi serta meminimalisir kasus kejahatan pornografi dunia maya di kemudian hari. Diperlukan
pula pengawasan dan perlindungan orang tua terhadap anak-anaknya terutama yang masih di bawah
umur guna mencegah generasi muda dari paparan konten berbau asusila.
DAFTAR PUSTAKA

Jimmy Ramadhan Azhari, “Fakta Terungkapnya Jaringan Penjual Video Pornografi Anak di
Jakarta”, 2020, https://megapolitan.kompas.com/read/2020/08/11/08591681/fakta-terungkapnya-
jaringan-penjual-video-pornografi-anak-di-jakarta?page=all , diakses pada 24 Maret 2021.

Sofia Hasanah, “Aturan Tentang Cyber Pornography di Indonesia”, 2019,


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4b86b6c16c7e4/aturan-tentang-icyber-
pornography-i-di-indonesia/, diakses pada 25 Maret 2021.

Sandro Gatra, “3 Pemuda Ditangkap Buat Grup Berbayar Jual Pornografi Anak-Anak”, 2020,
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/08/10/15563631/3-pemuda-ditangkap-buat-grup-
berbayar-jual-pornografi-anak-anak. diakses pada 24 Maret 2021.

Heru Sujamawardi, “Analisis Yuridis Pasal 27Ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE”, Jurnal Dialogia Iuridica, Volume
9 Nomor 2, 2018.
https://mail.google.com/mail/u/0/#inbox/FMfcgxwLtGjKrRCJphRqkrQMjCVKhSvg?
projector=1&messagePartId=0.1, diakses pada 25 Maret 2021.

Ni Luh Gede Yogi Arthani, “Eksploitasi Anak Dalam Penyebaran Pornografi di Dunia
Maya”, Jurnal Bina Hukum, Volume 5 Nomor 3, 2019. file:///C:/Users/User/Downloads/974-Article
%20Text-1406-1-10-20180611.pdf, diakses pada 25 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai