Anda di halaman 1dari 7

DIAGRAM PENANGKAPAN DAN PENAHANAN

MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 DAN PERKABA NO. 3 TAHUN 2014

Tugas Kedua Hukum Acara Pidana 11 September 2020

Oleh :

Nama : Eileen Gani Setiawan

NIM : 01051190015

No. absen : 11

JURUSAN HUKUM

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

BANTEN

2020
DIAGRAM PENANGKAPAN MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 DAN PERKABA NO. 3 TAHUN 2014

Penyidik/penyidik pembantu atau penyelidik atas perintah penyidik


berwenang melakukan penangkapan terhadap tersangka yang diduga
keras melakukan tindak pidana dari bukti permulaan yang cukup

Keterangan : Bentuk kejahatan


Warna merah → UU
8/1981 Pelanggaran Tindak pidana
Warna hijau → Perkaba
3/2014
Warna biru → analisa
Tidak ditangkap, kecuali Penangkapan oleh
tidak memenuhi panggilan penyidik/penyidik pembantu
sah 2x berturut-turut tanpa atau penyelidik atas
alasan sah perintah penyidik

Menunjukkan surat tugas dan


sprin penangkapan, tembusan Tidak tertangkap tangan Tertangkap tangan
sprin penangkapan diberikan
kepada keluarga

Penyidik/penyidik pembantu Segera tangkap tanpa sprin


membuat berita acara penangkapan, langsung
Memberitahu ketua RT/RW
penangkapan yang menyerahkan tersangka
setempat perihal penangkapan
ditandatangani penyidik, dan barang bukti ke
yang terjadi
tersangka dan saksi penyidik/penyidik pembantu
terdekat & buat berita acara
serah terima tersangka

Masa penangkapan maksimal 1


hari, jika lebih maka diterbitkan Segera memberitahu keluarga
surat perintah kepada tersangka dalam waktu 1x24 jam

Setelah pemeriksaan
Buat sprin pelepasan tersangka
dan berita acara pelepasan
penangkapan yang ditandatangani Tidak cukup bukti Cukup bukti
penyidik dan tersangka

Dilanjutkan ke
Dilepaskan kepada keluarga penahanan untuk
kepentingan penyidikan
ANALISA PERBANDINGAN DIAGRAM PENANGKAPAN MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 DAN
PERKABA NO. 3 TAHUN 2014
Dari kedua peraturan tersebut, dapat dilihat beberapa perbedaan yang tidak bertentangan
namun saling melengkapi satu sama lain. Sejatinya diagram penangkapan yang telah dilampirkan di
dalam diktat sudah cukup sesuai dengan apa yang digariskan dalam UU No. 8 Tahun 1981. Akan
tetapi, dalam perkembangannya terdapat sejumlah penambahan terkait mekanisme penangkapan di
dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 sehingga diagram yang telah dilampirkan tersebut menjadi kurang
relevan. Kekurangan dari UU No. 8 Tahun 1981 tersebut diisi oleh Perkaba No. 3 Tahun 2014 yang
mana selain mengadopsi UU No. 8 Tahun 1981 juga menyempurnakannya dengan menambahkan
ketentuan-ketentuan lain. Dari segi prosedural tentu Perkaba No. 3 Tahun 2014 lebih lengkap karena
secara detail merinci Standar Operasional Prosedur (SOP) dari penangkapan itu sendiri, mulai dari
tujuan, persiapan (persyaratan administrasi, persyaratan penyidik/penyidik pembantu, kelengkapan dan
peralatan), urutan tindakan, hingga hal-hal yang perlu diperhatikan. Sedangkan dalam UU No. 8 Tahun
1981 hanya menguraikan secara garis besar tata cara penangkapan tanpa menjelaskan lebih jauh
mengenai pelaksanaannya.

Sebelum memulai tindakan penangkapan, dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 diatur bahwa
Ketua Tim memberikan arahan terlebih dahulu tentang teknis dan taktis penangkapan kemudian
penyidik/penyidik pembantu memastikan identitas tersangka yang akan ditangkap sesuai dengan surat
perintah penangkapan. Selanjutnya mengadakan koordinasi dengan Kepolisian setempat dan atau
aparat pemerintah lingkungan setempat tentang pelaksanaan penangkapan yang akan dilaksanakan.
Kegiatan-kegiatan ini tidak disebutkan dalam UU No. 8 Tahun 1981 sehingga dalam pelaksanaan
teknisnya harus juga memperhatikan ketentuan dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014. Hal lain yang hanya
diatur dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 ialah setelah melakukan penangkapan, penyidik/penyidik
pembantu harus membuat berita acara penangkapan yang ditandatangani oleh yang melakukan
penangkapan, tersangka yang ditangkap dan saksi.

Selain itu, dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 juga diatur apabila penangkapan melebihi waktu
24 jam maka kepada tersangka diterbitkan surat perintah membawa dengan terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan di satuan Polri atau instansi pemerintah terdekat. Dalam hal tertangkap tangan, Perkaba
No. 3 Tahun 2004 juga mengatur bahwa harus dibuat berita acara serah terima tersangka setelah
penyerahan tersangka oleh penangkap ke penyidik/penyidik pembantu pada kantor polisi terdekat dan
segera memberi tahu pihak keluarga dalam waktu 1x24 jam. Kemudian apabila setelah pemeriksaan
tidak ditemukan cukup bukti, maka tersangka harus dilepaskan kepada keluarganya dengan membuat
berita acara pelepasan penangkapan yang ditandatangani oleh penyidik dan tersangka yang ditangkap
serta membuat surat perintah pelepasan tersangka yang diserahkan kepada tersangka dan
tembusannya kepada keluarga atau kuasa hukum atau walinya atau ketua lingkungan setempat
domisili tersangka.

Perkaba No. 8 Tahun 1981 juga menguraikan hal-hal yang wajib dilakukan oleh penyidik
sewaktu melakukan penangkapan. Beberapa di antaranya adalah memperlakukan tersangka dengan
humanis, manusiawi, menghormati HAM, menghindari penggunaan kata-kata kasar dan bernada tinggi,
memborgol tangan tersangka demi ke kesatuan penyidik, menggeledah badan tersangka sebelum
membawanya, memeriksakan kesehatan tersangka di dokter kepolisian atau pelayanan kesehatan
terdekat jika tersangka mengalami gejala penyakit, dan sebagainya. Ditentukan juga dalam Perkaba
No. 3 Tahun 2014 bahwa penangkapan dapat dilakukan atas permintaan bantuan kesatuan kepolisian
lain, maupun berdasarkan Daftar Pencarian Orang (DPO), instansi berwenang, mappermintaan negara
anggota ICPO Interpol. Petugas juga wajib memperhatikan hak-hak tersangka seperti tersangka yang
diduga melakukan tindak pidana harus diperlakukan dengan asas praduga tak bersalah, tersangka
diperlakukan dengan humanis dan manusiawi serta tidak melanggar HAM, dan segera memberitahu
keluarga atau ketua RT/RW setempat saat melakukan penangkapan. Selebihnya aturan penangkapan
dalam Perkaba No. 8 Tahun 1981 telah sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981 yang merupakan dasar
rujukannya.
DIAGRAM PENAHANAN MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 DAN PERKABA NO. 3 TAHUN 2014

Dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang:


Penyidik/penyidik - diduga keras melakukan tindak pidana dari bukti yang cukup
pembantu atas perintah
- kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak atau
penyidik berwenang
menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana
melakukan penahanan
untuk kepentingan - melakukan tindak pidana, percobaan, maupun pembantuan
penyidikan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih
maupun tindak pidana dalam Pasal 21 ayat (4) poin b KUHAP

Buat berita acara penahanan dan sprin


Jenis penahanan: penahanan yang ditandatangani tersangka,
Mulai pemeriksaan tembusan sprin penahanan diberikan kepada
- penahanan rutan tersangka, keluarga, pejabat rutan, PU, dan
oleh penyidik dalam
waktu satu hari - penahanan rumah Ketua PN
setelah penahanan Jika tersangka menolak menandatangani,
- penahanan kota
maka dibuat berita acara penolakan

Tersangka dikeluarkan dari


Selesai tahanan, dapat keluar lebih
Penahanan oleh cepat jika kepentingan
penyidik dilakukan Setelah pemeriksaan pemeriksaan telah usai
maksimal 20 hari
Tidak selesai

Setelah menerima surat penetapan perpanjangan


penahanan, penyidik menyerahkannya kepada tahanan dan Diperpanjang oleh PU maksimal 40 hari
memberikan tembusannya kepada pejabat tahti dan dengan surat permohonan perpanjangan
keluarga/penasihat hukum penahanan oleh penyidik kepada JPU/PN
Jika penyidik belum menerimanya hingga 5 hari sebelum 10 hari sebelum masa penahanan berakhir
masa penahanan berakhir, penyidik wajib berkoordinasi dengan melampirkan resume
dengan JPU/PN

- Dapat memohon penangguhan


penahanan (Pasal 31 ayat (1)
Penyidik/penyidik pembantu KUHAP)
Setelah genap jangka waktu, membuat sprin pengeluaran - Dapat mengajukan praperadilan
walaupun pemeriksaan perkara tahanan yang ditandatangani (Pasal 124 jo. Pasal 77 KUHAP)
belum selesai, tersangka harus tersangka, berita acara
- Dapat mengajukan keberatan
dikeluarkan dari tahanan demi pengeluaran tahanan dan
(Pasal 123 KUHAP)
hukum resume singkat
- Penyidik berwenang mengalihkan
jenis penahanan (Pasal 23 KUHAP)
ANALISA PERBANDINGAN DIAGRAM PENAHANAN MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 DAN
PERKABA NO. 3 TAHUN 2014
Seperti halnya dengan penangkapan, terdapat beberapa penambahan ketentuan teknis dalam
Perkaba No.3 Tahun 2014 yang tidak diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981. Diagram penahanan yang
dilampirkan dalam diktat hanya memuat sebatas ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 1981 saja sehingga
diperlukan penyesuaian mekanisme dengan Perkaba No. 3 Tahun 2014. UU No. 8 Tahun 1981 hanya
mengupas kulit luar dari proses penahanan, selebihnya mengenai Standar Operasional Prosedur
(SOP) dari penahanan itu sendiri dijelaskan dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 yang memuat antara
lain tujuan, persiapan (kelengkapan formil, kelengkapan materiil, sarana dan prasarana), urutan
tindakan, dan hal-hal yang perlu diperhatikan.

Saat melakukan penahanan, penyidik/penyidik pembantu wajib untuk membuat surat perintah
penahanan untuk ditandatangani tersangka dan berita acara penahanan tersangka sebagaimana yang
diatur dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014. Nantinya surat perintah penahanan tersebut akan diberikan
kepada tersangka, keluarganya, pejabat rutan, penuntut umum, dan ketua Pengadilan Negeri. Apabila
tersangka tidak bersedia menandatangani surat perintah penahanan, maka harus dibuat berita acara
penolakan sesuai prosedur. Dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 mengatur secara rinci hal-hal apa saja
yang harus dilakukan sebelum tahanan dimasukkan ke dalam ruang tahanan, setelah tahanan berada
di ruang tahanan, pembantaran tahanan, perpanjangan penahanan, pengalihan jenis penahanan,
penangguhan penahanan, pengeluaran tahanan, pemindahan tempat penahanan, hingga dalam hal
tahanan meninggal dunia di ruang tahanan. Pengembangan-pengembangan ini tidak dijelaskan dalam
UU No. 8 Tahun 1981 sehingga dalam pelaksanaannya, petugas tidak boleh hanya mengacu pada UU
No. 8 Tahun 1981 saja tetapi harus memperhatikan Perkaba No. 8 Tahun 1981 pula.

Hal lain yang hanya diatur dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 ialah mengenai mekanisme
perpanjangan penahanan, di mana 10 hari sebelum masa penahanan berakhir pejabat tahti harus
memberitahu penyidik/penyidik pembantu melalui nota dinas. Kemudian penyidik akan membuat surat
permohonan perpanjangan penahanan kepada jaksa penuntut umum atau pengadilan negeri dengan
melampirkan resume. Apabila dalam waktu 5 hari sebelum masa penahanan berakhir penetapan
perpanjangan tidak kunjung diterbitkan, maka penyidik wajib berkoordinasi dengan jaksa penuntut
umum atau pengadilan negeri. Setelah menerima surat penetapan perpanjangan penahanan, penyidik
menyerahkannya kepada tahanan dan mengirimkan tembusannya kepada pejabat tahti dan
keluarga/penasihat hukum. Selanjutnya pejabat tahti mencatat surat penetapan perpanjangan
penahanan tersebut dalam buku register tahanan dan menyimpan copynya di kotak control tahanan.
Terdapat beberapa alasan pengeluaran tahanan menurut Perkaba No. 3 Tahun 2014, di
antaranya masa penahanan telah habis dan perkara belum tuntas, permohonan penangguhan
penahanan yang dikabulkan, tersangka dipindahkan ke rutan Polri lain atau dititip di lapas, maupun
perkara yang melibatkan tersangka telah selesai P21 dan dilimpahkan ke JPU. Dengan demikian,
apabila setelah waktu 60 hari perkara tersebut belum diputus, maka tersangka/terdakwa tersebut harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Adapun tata cara pengeluaran tahanan juga diatur dalam
Perkaba No. 3 Tahun 2014, yaitu penyidik/penyidik pembantu menyiapkan dan membuat administrasi
pengeluaran tahanan berupa surat perintah pengeluaran tahanan, berita acara pengeluaran tahanan,
dan membuat resume singkat. Surat perintah pengeluaran tahanan tersebut diserahkan kepada
tersangka dalam rangkap 10 untuk ditandatangani oleh tersangka dan disampaikan kepada tersangka,
keluarga tersangka, pejabat rutan, penuntut umum, dan ketua Pengadilan Negeri. Selain daripada
ketentuan teknis SOP Penahanan, ketentuan dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 sudah sesuai dan
relevan dengan ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 1981.

Anda mungkin juga menyukai