Oleh :
NIM : 01051190015
No. absen : 11
JURUSAN HUKUM
BANTEN
2020
DIAGRAM PENANGKAPAN MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 DAN PERKABA NO. 3 TAHUN 2014
Setelah pemeriksaan
Buat sprin pelepasan tersangka
dan berita acara pelepasan
penangkapan yang ditandatangani Tidak cukup bukti Cukup bukti
penyidik dan tersangka
Dilanjutkan ke
Dilepaskan kepada keluarga penahanan untuk
kepentingan penyidikan
ANALISA PERBANDINGAN DIAGRAM PENANGKAPAN MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 DAN
PERKABA NO. 3 TAHUN 2014
Dari kedua peraturan tersebut, dapat dilihat beberapa perbedaan yang tidak bertentangan
namun saling melengkapi satu sama lain. Sejatinya diagram penangkapan yang telah dilampirkan di
dalam diktat sudah cukup sesuai dengan apa yang digariskan dalam UU No. 8 Tahun 1981. Akan
tetapi, dalam perkembangannya terdapat sejumlah penambahan terkait mekanisme penangkapan di
dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 sehingga diagram yang telah dilampirkan tersebut menjadi kurang
relevan. Kekurangan dari UU No. 8 Tahun 1981 tersebut diisi oleh Perkaba No. 3 Tahun 2014 yang
mana selain mengadopsi UU No. 8 Tahun 1981 juga menyempurnakannya dengan menambahkan
ketentuan-ketentuan lain. Dari segi prosedural tentu Perkaba No. 3 Tahun 2014 lebih lengkap karena
secara detail merinci Standar Operasional Prosedur (SOP) dari penangkapan itu sendiri, mulai dari
tujuan, persiapan (persyaratan administrasi, persyaratan penyidik/penyidik pembantu, kelengkapan dan
peralatan), urutan tindakan, hingga hal-hal yang perlu diperhatikan. Sedangkan dalam UU No. 8 Tahun
1981 hanya menguraikan secara garis besar tata cara penangkapan tanpa menjelaskan lebih jauh
mengenai pelaksanaannya.
Sebelum memulai tindakan penangkapan, dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 diatur bahwa
Ketua Tim memberikan arahan terlebih dahulu tentang teknis dan taktis penangkapan kemudian
penyidik/penyidik pembantu memastikan identitas tersangka yang akan ditangkap sesuai dengan surat
perintah penangkapan. Selanjutnya mengadakan koordinasi dengan Kepolisian setempat dan atau
aparat pemerintah lingkungan setempat tentang pelaksanaan penangkapan yang akan dilaksanakan.
Kegiatan-kegiatan ini tidak disebutkan dalam UU No. 8 Tahun 1981 sehingga dalam pelaksanaan
teknisnya harus juga memperhatikan ketentuan dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014. Hal lain yang hanya
diatur dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 ialah setelah melakukan penangkapan, penyidik/penyidik
pembantu harus membuat berita acara penangkapan yang ditandatangani oleh yang melakukan
penangkapan, tersangka yang ditangkap dan saksi.
Selain itu, dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 juga diatur apabila penangkapan melebihi waktu
24 jam maka kepada tersangka diterbitkan surat perintah membawa dengan terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan di satuan Polri atau instansi pemerintah terdekat. Dalam hal tertangkap tangan, Perkaba
No. 3 Tahun 2004 juga mengatur bahwa harus dibuat berita acara serah terima tersangka setelah
penyerahan tersangka oleh penangkap ke penyidik/penyidik pembantu pada kantor polisi terdekat dan
segera memberi tahu pihak keluarga dalam waktu 1x24 jam. Kemudian apabila setelah pemeriksaan
tidak ditemukan cukup bukti, maka tersangka harus dilepaskan kepada keluarganya dengan membuat
berita acara pelepasan penangkapan yang ditandatangani oleh penyidik dan tersangka yang ditangkap
serta membuat surat perintah pelepasan tersangka yang diserahkan kepada tersangka dan
tembusannya kepada keluarga atau kuasa hukum atau walinya atau ketua lingkungan setempat
domisili tersangka.
Perkaba No. 8 Tahun 1981 juga menguraikan hal-hal yang wajib dilakukan oleh penyidik
sewaktu melakukan penangkapan. Beberapa di antaranya adalah memperlakukan tersangka dengan
humanis, manusiawi, menghormati HAM, menghindari penggunaan kata-kata kasar dan bernada tinggi,
memborgol tangan tersangka demi ke kesatuan penyidik, menggeledah badan tersangka sebelum
membawanya, memeriksakan kesehatan tersangka di dokter kepolisian atau pelayanan kesehatan
terdekat jika tersangka mengalami gejala penyakit, dan sebagainya. Ditentukan juga dalam Perkaba
No. 3 Tahun 2014 bahwa penangkapan dapat dilakukan atas permintaan bantuan kesatuan kepolisian
lain, maupun berdasarkan Daftar Pencarian Orang (DPO), instansi berwenang, mappermintaan negara
anggota ICPO Interpol. Petugas juga wajib memperhatikan hak-hak tersangka seperti tersangka yang
diduga melakukan tindak pidana harus diperlakukan dengan asas praduga tak bersalah, tersangka
diperlakukan dengan humanis dan manusiawi serta tidak melanggar HAM, dan segera memberitahu
keluarga atau ketua RT/RW setempat saat melakukan penangkapan. Selebihnya aturan penangkapan
dalam Perkaba No. 8 Tahun 1981 telah sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981 yang merupakan dasar
rujukannya.
DIAGRAM PENAHANAN MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 DAN PERKABA NO. 3 TAHUN 2014
Saat melakukan penahanan, penyidik/penyidik pembantu wajib untuk membuat surat perintah
penahanan untuk ditandatangani tersangka dan berita acara penahanan tersangka sebagaimana yang
diatur dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014. Nantinya surat perintah penahanan tersebut akan diberikan
kepada tersangka, keluarganya, pejabat rutan, penuntut umum, dan ketua Pengadilan Negeri. Apabila
tersangka tidak bersedia menandatangani surat perintah penahanan, maka harus dibuat berita acara
penolakan sesuai prosedur. Dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 mengatur secara rinci hal-hal apa saja
yang harus dilakukan sebelum tahanan dimasukkan ke dalam ruang tahanan, setelah tahanan berada
di ruang tahanan, pembantaran tahanan, perpanjangan penahanan, pengalihan jenis penahanan,
penangguhan penahanan, pengeluaran tahanan, pemindahan tempat penahanan, hingga dalam hal
tahanan meninggal dunia di ruang tahanan. Pengembangan-pengembangan ini tidak dijelaskan dalam
UU No. 8 Tahun 1981 sehingga dalam pelaksanaannya, petugas tidak boleh hanya mengacu pada UU
No. 8 Tahun 1981 saja tetapi harus memperhatikan Perkaba No. 8 Tahun 1981 pula.
Hal lain yang hanya diatur dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 ialah mengenai mekanisme
perpanjangan penahanan, di mana 10 hari sebelum masa penahanan berakhir pejabat tahti harus
memberitahu penyidik/penyidik pembantu melalui nota dinas. Kemudian penyidik akan membuat surat
permohonan perpanjangan penahanan kepada jaksa penuntut umum atau pengadilan negeri dengan
melampirkan resume. Apabila dalam waktu 5 hari sebelum masa penahanan berakhir penetapan
perpanjangan tidak kunjung diterbitkan, maka penyidik wajib berkoordinasi dengan jaksa penuntut
umum atau pengadilan negeri. Setelah menerima surat penetapan perpanjangan penahanan, penyidik
menyerahkannya kepada tahanan dan mengirimkan tembusannya kepada pejabat tahti dan
keluarga/penasihat hukum. Selanjutnya pejabat tahti mencatat surat penetapan perpanjangan
penahanan tersebut dalam buku register tahanan dan menyimpan copynya di kotak control tahanan.
Terdapat beberapa alasan pengeluaran tahanan menurut Perkaba No. 3 Tahun 2014, di
antaranya masa penahanan telah habis dan perkara belum tuntas, permohonan penangguhan
penahanan yang dikabulkan, tersangka dipindahkan ke rutan Polri lain atau dititip di lapas, maupun
perkara yang melibatkan tersangka telah selesai P21 dan dilimpahkan ke JPU. Dengan demikian,
apabila setelah waktu 60 hari perkara tersebut belum diputus, maka tersangka/terdakwa tersebut harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Adapun tata cara pengeluaran tahanan juga diatur dalam
Perkaba No. 3 Tahun 2014, yaitu penyidik/penyidik pembantu menyiapkan dan membuat administrasi
pengeluaran tahanan berupa surat perintah pengeluaran tahanan, berita acara pengeluaran tahanan,
dan membuat resume singkat. Surat perintah pengeluaran tahanan tersebut diserahkan kepada
tersangka dalam rangkap 10 untuk ditandatangani oleh tersangka dan disampaikan kepada tersangka,
keluarga tersangka, pejabat rutan, penuntut umum, dan ketua Pengadilan Negeri. Selain daripada
ketentuan teknis SOP Penahanan, ketentuan dalam Perkaba No. 3 Tahun 2014 sudah sesuai dan
relevan dengan ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 1981.