Anda di halaman 1dari 6

Journal of Animal Science and Agronomy Panca Budi Volume 3 Nomor.

1 Juni 2018

IDENTIFIKASI TELUR CACING PADA SAMPEL FESES SAPI POTONG PADA KTT
KESUMA MAJU DESA JATIKESUMA KECAMATAN NAMORAMBE

Mudhita Zikkrullah Ritonga, Andhika Putra


Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Pembangunan Panca Budi Medan
Email: mudhitaritongavet@gmail.com

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis telur cacing yang menginfeksi ternak sapi
potong di Kelompok Tani Ternak Kesuma (KTT) Maju Desa Jatikesuma Kecamatan Namorambe.
Penelitian survei ini menganalisa secara deskriptif suatu keadaan peternakan sapi potong yang dijalankan
oleh KTT Kesuma Maju dalam suatu waktu dan wilayah tertentu. Penelitian dirancang dengan melakukan
observasi atau pengamatan langsung dengan metode pengambilan sampel ditentukan secara purposive
sampling (penentuan responden secara sengaja). Sampel diambil sebanyak sepuluh persen dari total
populasi. Pemeriksaan feces dilakukan dengan metode natif. Variabel yang diamati yaitu morfologi telur
cacing yang meliputi ukuran dan bentuk telur cacing yang ditemukan pada feces sapi potong. Hasil telur
cacing yang didapat diidentifikasi dengan membandingkan yang mengacu kepada studi literatur untuk
untuk mengetahui jenisnya. Hasil pemeriksaan diidentifikasi hingga tingkat kelas dan dibuat
fotomikrograf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel feces yang diperiksa sebanyak enam belas
sampel. Dari enam belas sampel feses terdapat enam sampel atau 37% terinfeksi cacing parasit sedangkan
63% sampel tidak terinfeksi. Hasil yang diperoleh dari pengamatan telur cacing terhadap 16 sampel feces
sapi di KTT Kesuma Maju yaitu terdapat dua jenis telur cacing Toxocara vitulorum dan Strongyloides
spp. Dari enam belas sampel yang diperiksa dari empat puluh ekor sapi yang ada di KTT Kesuma Maju
terdapat enam sampel yang ditemukan telur cacing. Hal ini memberikan indikasi bahwa ternak sapi pada
kelompok ternak terinfestasi parasit cacing.

Kata Kunci: Penyakit Cacing, Kelompok Ternak, Ternak Sapi, Metode Natif

PENDAHULUAN hambatan dan kendala termasuk penyakit akibat


cacing parasit berupa Nematoda, Trematoda dan
Sapi potong merupakan komoditi ternak
Cestoda yang dapat merugikan secara ekonomis,
penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi dan
karena dapat menurunkan hasil dari ternak tersebut.
arti penting bagi kehidupan peternak di Indonesia.
Penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit
Sugeng (2008) menyatakan bahwa seekor atau
saluran pencernaan menjadi salah satu penyebab
kelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai
rendahnya produksi daging oleh ternak (Purwanta,
macam kebutuhan, terutama bahan makanan
dkk, 2006).
berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya
Penyebab cacingan antara lain konsumsi
seperti pupuk kandang, kulit dan tulang. Hasil dari
hijauan yang masih berembun dan tercemar vektor
ternak sapi potong ini akan terhambat jika tidak ada
pembawa cacing (Abidin, 2002). Infeksi cacing
kontrol yang baik dari peternak. Hambatan
parasit usus pada sapi dan kerbau akan mengurangi
pengembangan peternakan diantaranya adalah
fungsi kemampuan mukosa usus dalam transpor
karena persoalan penyakit yang merupakan faktor
glukosa dan metabolit lainnya. Apabila
yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan
ketidakseimbangan ini cukup besar, akan
ternak (Purwaningsih dkk, 2017).
menyebabkan menurunnya nafsu makan, serta
Gangguan penyakit pada ternak merupakan
tingginya kadar nitrogen di dalam tinja yang
salah satu hambatan yang di hadapi dalam
dibuang karena tidak dipergunakan (Koesdarto S
pengembangan peternakan (Ambarisa dkk, 2013).
dkk, 2001). Menurut Zalizar (2017), kerugian
Tantri dkk (2013) menyatakan bahwa peternakan
akibat infeksi parasit khususnya cacing pada ternak
yang dipelihara secara modern atau yang dipelihara
akibat tidak terserapnya nyerap zat-zat makanan,
secara tradisional tidak lepas dari berbagai
1
Journal of Animal Science and Agronomy Panca Budi Volume 3 Nomor. 1 Juni 2018

menghisap darah /cairan tubuh, atau makan Bahan yang dibutuhkan pada penelitian ini
jaringan tubuh ternak. adalah feses sapi potong, akuades, formalin 0,4%,
Penelitian identifikasi telur cacing pada sapi dan larutan eosin 1%. Instrumen yang digunakan
potong telah banyak dilakukan. Astiti dkk (2011) dalam penelitian ini adalah kotak pendingin, plastik
mengamati pada ternak sapi kelompok Sarjana penampung feses, kuisioner, alat tulis, sarung
Membangun Desa di Bima Nusa Tenggara Barat tangan, timbangan analitik, beaker glass, saringan
yang ditemukan 16 jenis spesies parasit internal. 100 mesh, tabung kerucut, cawan petri, objek glass,
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nezar dkk cover glass, mikroskop, pipet, pinset, kamera,
(2014) ditemukan 12 jenis telur cacing pada laptop dan alat tulis.
Kelompok Tani Ternak Sidomulyo Nongkosawit. Penelitian lapangan dilaksanakan di Kelompok
Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu Tani Ternak Kesuma Maju Desa Jatikesuma
dilakukan kajian identifikasi jenis telur cacing Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang.
untuk mendapatkan informasi jenis cacing yang Penelitian laboratorium dilakukan di laboratorium
terdapat pada ternak sapi potong tersebut. peternakan Universitas Pembangunan Panca Budi
Diketahuinya jenis cacing yang menginfeksi akan Medan. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus
dapat dilakukan pengobatan antiparasit yang tepat hingga September 2017.
sehingga lebih efektif. Data yang diperoleh dapat Metode pengambilan data dilakukan dengan
dimanfaatkan dalam usaha pemberantasan penyakit metode observasi yaitu metode pengambilan data
cacing dalam rangka penerapan manajemen yang dilakukan dengan cara mencatat secara
kesehatan hewan di kelompok tani ternak. Tujuan sistematis hasil pengamatan terhadap kejadian-
penelitian ini yaitu untuk mengetahui jenis telur kejadian yang diselidiki selama penelitian
cacing yang menginfeksi ternak sapi potong di (Marzuki, 2002). Prosedur pengambilan data yang
Kelompok Tani Ternak Kesuma Maju Desa digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) Teknik
Jatikesuma Kecamatan Namorambe. Wawancara, yaitu suatu metode yang digunakan
untuk memperoleh data primer; 2) Pemeriksaan
Laboratorium, yaitu dengan mengidentifikasi jenis
MATERI DAN METODE PENELITIAN telur cacing yang terdapat pada feces sapi potong.
3) Studi dokumen, yaitu pengumpulan data yang
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei dilakukan dengan cara melihat, mencatat dan
dengan melakukan potret dan analisa suatu keadaan mendokumentasikan catatan yang berhubungan
peternakan sapi potong yang dijalankan oleh dengan penelitian sebagai data penunjang.
Kelompok Tani Ternak Kesuma Maju dalam suatu Data penelitian yang terkumpul diolah dan
waktu dan wilayah tertentu. Rancangan penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif.
ini adalah observasi atau pengamatan langsung ke Analisa deskriptif digunakan untuk menjelaskan
lapangan melihat kejadian yang ada tanpa keadaan umum peternakan sapi potong yang
melakukan intervensi dari peneliti dengan dikelola KTT Kesuma Maju Desa Jatikesuma.
melakukan teknik wawancara berdasarkan Hasil pemeriksaan dianalisis dan diidentifikasi
kuisioner yang telah dipersiapkan. hingga tingkat species dan dibuat fotomikrograf
Populasi dalam penelitian ini adalah ternak dengan kamera cybershot untuk memudahkan
sapi potong yang dipelihara oleh Kelompok Tani pengidentifikasian mengikuti cara yang dilakukan
Ternak Kesuma Maju Desa Jatikesuma Kecamatan Dewi dan Nugraha (2007). Hasil telur cacing yang
Namorambe sebanyak 120 ekor. Besar responden didapat diidentifikasi dengan membandingkan yang
yang diteliti sebanyak 10% dari total populasi. mengacu kepada literatur. Telur cacing yg
Teknik pengambilan sampel ditentukan secara ditemukan kemudian diidentifikasi untuk
purposive sampling (penentuan responden secara mengetahui jenisnya menggunakan Atlas
sengaja). KTT Kesuma Maju dipilih karena Parasitologi (Prianto dkk 2010) dan Atlas
merupakan kelompok tani ternak yang aktif dan Helminthologi (Purnomo dkk, 2008). Seluruh data
kelompok dengan populasi sapi potong terbesar di kemudian akan ditampilkan dalam bentuk gambar
wilayah Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli dan tabel.
Serdang.
Variabel penelitian yang diamati dalam HASIL DAN PEMBAHASAN
penelitian ini yaitu morfologi telur cacing yang Sampel feces yang diperiksa sebanyak enam
meliputi ukuran dan bentuk telur cacing yang
belas sampel. Dari enam belas sampel feses
ditemukan pada feces sapi potong.

2
Journal of Animal Science and Agronomy Panca Budi Volume 3 Nomor. 1 Juni 2018

terdapat enam sampel atau 37% terinfeksi cacing kekebalan tubuh sehingga ternak sangat peka
parasit sedangkan 63% sampel tidak terinfeksi. terhadap serangan penyakit yang berujung pada
Penelitian yang dilakukan dengan cara kematian ternak. Beberapa bagian organ ternak
mengidentifikasi jenis telur cacing pada sampel yang dipotong tidak jarang terpaksa diafkir karena
feses di KTT Kesuma Maju terdapat pada tabel 5.1. mengalami kerusakan (Heath, 2003; Swai et al.,
2006).
Tabel 5.1. Jenis Telur Cacing yang Ditemukan di
KTT Kesuma Maju

Species Karekteristik

Strongyloides spp. Bulat lonjong, sudah


mengandung embrio,
cangkang tipis,ukuran
50-65 × 26-31 mikron
Gambar 5.2. Telur Cacing Strongyloides spp.
Toxocara vitulorum Bulat oval, berwarna
kuning, berdinding Pembahasan
cukup tebal, ukuran 75- Toxocara vitulorum dewasa adalah cacing
95 x 60-75 mikron nematode yang terbesar menginfeksi sapi. Ukuran
tubuhnya dapat mencapai 40 cm (panjang) dan
Hasil yang diperoleh dari pengamatan telur lebar 7 mm. Ukuran tubuh jantan lebih besar
cacing terhadap 16 sampel feces sapi di KTT dibandingkan betina. Tubuh cacing ini diselubungi
Kesuma Maju yaitu terdapat dua jenis telur cacing oleh cuticle yang flexible. Cacing ini memiliki
Toxocara vitulorum dan Strongyloides spp. Dari saluran digestive dengan dua bukaan, yaitu mulut
enam belas sampel yang diperiksa dari empat puluh dan anus. Mereka juga mempunyai system nervous
ekor sapi yang ada di KTT Kesuma Maju terdapat namun tidak memiliki organ ekskresi dan tidak
enam sampel yang ditemukan telur cacing. Hal ini memiliki system sirkulasi. Ovarium betina
memberikan indikasi bahwa ternak sapi pada berukuran besar dan memiliki bukaan pada bagian
kelompok ternak terinfestasi parasit cacing. akhirnya yang disebut vulva. Cacing jantan
Kesehatan belum dipertimbangkan peternak memiliki copulary bursa dengan dua spikula
maupun kelompok ternak sebagai salah satu faktor pendek yang digunakan untuk kopulasi dengan
penting dalam mendukung peningkatan produksi cacing betina. Telurnya berukuran 70x80
ternak. Infestasi parasit internal merupakan mikrometer, memiliki membrane tebal dan hanya
masalah yang sangat besar dalam mengelola satu sel di dalam satu telur (Subronto, 2004).
peternakan sapi (Heath, 2003). Kerugian ekonomi Toxocara vitulorum memiliki siklus hidup
sangat berpengaruh besar apabila ternak tidak langsung (direct life cicle), artinya tidak memiliki
diberi obat cacing secara rutin. host perantara. Cacing betina dewasa bertelur di
usus dari host dan akan terbawa keluar bersama
feses. Cacing ini merupakan salah satu cacing yang
sangat produktif. Sapi terinfeksi cacing ini akan
menumpahkan 8 juta telur setiap hari melalui feses.
Setelah di lingkungan, telur akan berkembang
menjadi larva dan dalam waktu 7–15 hari dengan
suhu 27 derajat hingga 30 derajat celcius (suhu
ideal). Namun pertumbuhan akan berhenti ketika
suhu dibawah 12 derajat celcius dan akan aktif lagi
Gambar 5.1. Telur Cacing Toxocara vitulorum setelah suhu naik lagi. Telur ini infektif dan akan
mencemari padang rumput. Pada tahap ini mereka
Infestasi parasit internal memberikan efek akan dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan
bervariasi tergantung pada umur dan tingkat stress hingga bertahun-tahun, namun sensitive terhadap
yang dialami ternak. Ternak muda dan ternak stress sinar matahari (Yudha dkk., 2014).
Ternak akan terinfeksi setelah menelan
sangat rentan terhadap serangan parasit internal
embryonated eggs. Larva akan keluar dari telur di
(Gadberry et al., 2011). Infestasi parasit internal dalam lambung, dan akan penetrasi ke dalam
menyebabkan penurunan kondisi fisik dan sistem dinding lambung dan migrasi ke dalam pembuluh

3
Journal of Animal Science and Agronomy Panca Budi Volume 3 Nomor. 1 Juni 2018

darah dan menuju ke liver, paru, tracea, mulut, Nematoda, ordo Rhabditida, Superfamily
esophagus, dan kembali ke usus halus, dimana usus Subuluroidea, Family Strongyloididae dan genus
halus adalah tempat berkembang biak dan produksi Strongyloides.
telur. Ketika larva bermigrasi ke jaringan lain, Cacing ini disebut cacing benang. Cacing
berupa kelenjar mamae dan plasenta, cacing ini dewasa dapat bersifat parasit maupun
akan berpindah ke anak sapi atau ke fetus. Larva bebas. Bentuk parasitik panjangnya 2–9 mm dan
akan bertahan di jaringan sampai 5 bulan. Larva langsing, dan yang dapat ditemukan hanyalah
yang sampai di kelenjar mamae akan dormant cacing betina yang bersifat Parthenogenetik
sampai 3 minggu. Ketika anak sapi minum susu (perkembangbiakan tidak melalui proses
sapi maka akan terjadi perpindahan dari ibu ke perkawinan). Telur dapat berkembang diluar tubuh
anak (lactogenic transmission). hospes, kemudian langsung menjadi larva infektif
Larva cacing yang tertelan oleh anak sapi akan yang bersifat parasitik atau dapat menjadi bentuk
masuk terus ke intestine dan berubah menjadi larva bebas jantan dan betina.
dewasa setelah 3 minggu. Lama prepatent periode Cacing ini memiliki esofagus panjang
atau pertama infeksi sampai menghasilkan telur dan berbentuk selindris, vulva terletak pada bagian
adalah 3–4 minggu di tubuh anak sapi. Di sapi pertengahan tubuh posterior, ekor pendek dan telur
dewasa lamanya tergantung pada migrasi larva dan telah berembrio. Bentuk bebas adanya cacing
lama periode dorman di dalam jaringan. Predileksi jantan dan betina dengan esofagus rabditiform,
cacing ini pada usus halus (dewasa), namun pada ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung
tahap larva akan bermigrasi ke liver, paru-paru, vulva terletak di pertengahan tubuh. Bentuk
tracea, mulut, esophagus, plasenta dan kelenjar parasitic esofagus filariform tanpa bulbus posterior,
mamae (Subronto, 2004). larva infektif dari generasi parasitik mampu
Toxocara vitulorum tidak terlalu patogenik menembus kulit dan mengikuti aliran darah
pada sapi dewasa namun pada anak sapi akan (Natadisastra D dan R. Agoes. 2009).
sangat tinggi tingkat kematiannya jika tidak Siklus hidup cacing ini memiliki generasi
tertangani dengan baik. Larva migrasi akan parasitik dan generasi bebas. Generasi bebas yang
merusak organ-organ dari sapi dewasa, contohnya mempunyai jantan dan betina sedangkan
paru-paru, dimana akan menyebabkan terjadinya generasi parasitik hanya memiliki cacing betina
infeksi sekunder akibat bakteri dan menyebabkan yang menghasilkan telur berembrio. Dan masing
pneumonia. Sedanngkan pada anak sapi, cacing generasi memiliki 4 stadium larva yaitu L1, L2, L3
dewasa di usus halus akan menyebabkan kompetisi dan L4. Pada stadium L1 (rhabditiform) cacing
nutrisi dengan host, dan akan menyebabkan diare, menetas dari telur yang dikeluarkan melalui feses
colic, enteritis, nafsu makan turun dan perforate. host yang terinfeksi.
Kadang –kadang cacing juga bermigrasi ke Siklus hidup homogenik berlangsung dengan
kantung empedu dan menyumbat saluran empedu jalur melewati tubuh hospes, siklus ini dimulai
dan menyebabkan cholangitis. dari Larva stadium I dapat berkembang langsung
Munculnya penyakit kematian pada anak sapi menjadi larva stadium 3 yang infektif, kemudian
adalah cacing dewasa akan berebut makanan siklus hidup heterogenik yaitu siklus hidup diluar
dengan host sehingga terjadinya malnutrisi, diare, tubuh hospes dimana terdapat cacing jantan dan
colic, enteritis, dan menurunkan nafsu makan dan betina kawain diluar tubuh hospes dan akan dapat
berdampak pada turunnya berat badan. Selain itu memproduksi larva infektif.
cacing dewasa juga migrasi ke saluran empedu dan Bila kondisi lingkungan menunjang siklus
menyebabkan cholangitis (akibat tersumbat). Pada heterogenik yang dominan dan bila tidak
sapi dewasa cacing ini tidak terlalu menyebabkan menunjang siklus homogenik yang dominan. Pada
patologis, namun dapat menyebabkan infeksi siklus heterogenik larva stadium I
sekunder akibat terjadinya larva migrant, ditransformasikan secara cepat sehingga dalam 48
contohnya migrasi ke paru-paru dan akan jam terbentuk cacing jantan dan betina bebas yang
meneyebabkan infeksi sekunder akibat akumulasi dewasa kelamin. Melalui kopulasi, betina bebas
bakteri (Levine, 1994). memproduksi telur yang akan menetas dalam
Untuk cacing deasa menggunakan antihelmin beberapa jam dan kemudian mengalami
dengan spectrum luas biasanya efektif, contohnya metamorfosa menjadi larva infektif. Hanya satu
benzimidazoles, levamisole, dan lain lain. Namun generasi larva yang diproduksi oleh betina bebas.
antihelmin ini tidak terlalu baik efeknya jika Pada siklus homogenik larva stadium I cepat
digunakan untuk larvae migrant. Sehingga untuk mengalami perubahan menjadi Larva III (infektif)
penanggulangan larva harus dilakukan yakni sekitar 24 jam pada suhu 27 0C. Larva
pengulangan obat cacing (Subekti dkk, 2010). infektif (filaform) yang berkembang dalam feses
Strongyloides berasal dari phyllum atau tanah lembab yang terkontaminasi feses,
Nemathelminthes, sub class Secernentea, class kemudi-an menembus kulit danmasuk ke dalam
4
Journal of Animal Science and Agronomy Panca Budi Volume 3 Nomor. 1 Juni 2018

darah yang menuju ke jantung dan sampai di paru– Astiti, L. G. S. 2011. Identifikasi Parasit Internal
paru. pada Sapi Bali di Wilayah Dampingan Sarjana
Di paru-paru larva menembus dinding kapiler Membangin Desa di Kabupaten Bima. Seminar
masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
trachea kemudian mencapai epiglotis. Selanjutnya
larva tertelan dan masuk ke dalam saluran Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa
pencernaan yang mencapai bagian atas dari Tenggara Barat.
intestinum, disinilah cacing betina menjadi Bowman, D.D. 2014. Georgis’ Parasitology For
dewasa.
Cacing dewasa yaitu cacing betina yang Veterinerians. 10th edition. Elsevier. St. Louis
berkembangbiak dengan cara partogenesis hidup (US).
menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum Dewi, K & R.T. P. Nugraha. 2007. Endoparasit
terutama pada duodenum, di tempat ini cacing
pada feses babi kutil (Sus verrucosus) dan
dewasa meletakkan telurnya.
Telur kemudian menetas melepaskan larva non Prevalensinya yang Berada di Kebun Binatang
infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini Surabaya: 8 hlm.
bergerak masuk kedalam lumen usus, keluar dari http://www.digilab.biologi.lipi.go.id.pdf.
hospes melalui tinja dan berkembang menjadi larva
infektif filariform yang dapat menginfeksi hospes Gadberry, S., J. Pennington and J. Powell. Internal
yang sama atau hewan lainnya. Dapat pula larva parasites in beef and dairy cattle. Agriculture
rhabditiform ini berkembang menjadi cacing and Natural Resources. University of
dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah Arkansas. www.uaex.edu.
(Bowman, 2014).
Cacing dewasa betina bebas yang telah dibuahi Heath, S. E, and B. Harris JR. 2003. Common
dapat mengeluarkan telur yang segera mentas dan Internal Parasite of Goat in Florida. University
melepaskan larva non infektif rhabditiform yang of Florida. CIR1023. IFAS Extension.
kemudian dalam 24-36 jam berubah menjadi larva
infektif filariform. Koesdarto, S. Subekti, S. Studiawan, H. 2001.
Kadangkala pada hewan tertentu, larva Model Pengendalian Siklus Infeksi
rhabditiform dapat langsung berubah menjadi larva Toxocariasis dengan Fraksinasi Minyak Atsiri
filariform sebelum meninggalkan tubuh hewan Rimpang Temuireng(Curcuma Aeruginosa
tersebut dan menembus dinding usus atau Roxb) di Pulau Madura. J. Penelitian
menembus kulit di daerah perianal yang
Mediaeksakta. Vol. 2.
menyebabkan auotinfeksi dan dapat berlangsung
bertahun-tahun (Bowman, 2014). Levine. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi
KESIMPULAN Veteriner. Diterjemahkan oleh Prof. Dr. Gatut
Ashadi. Gadjah Mada University Press.
1. Ditemukan enam sampel atau 37% sapi di KTT
Yogyakarta.
Kesuma Maju terinfeksi parasit cacing dan 67%
dan 10 sampel tidak terinfeksi parasit cacing. Marzuki. 2000. Metodologi Riset, BPFE_UI,
2. Ditemukan sebanyak dua spesies jenis parasit Yogyakarta.
cacing yang menginfeksi sapi di KTT Kesuma Natadisastra D dan R. Agoes. 2009. Parasitologi
Maju yaitu Toxocara vitulorum dan
Strongyloides spp. Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang. Penerbit buku kedokteran ECG.
Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Nezar, M. Rofiq. 2014. Jenis Cacing pada Feces
Abidin, Z. 2002. Penggemukkan Sapi Potong, Agro Sapi di TPA Jatibarang dan KTT Sidomulyo
Media Pustaka. Jakarta. Hal 70. Desa Nongkosawit Semarang. Skripsi.
Universitas Negeri Semarang.
Ambarisa, Iba., I Marsaulina dan W Hasan. 2013.
Analisis Cacing Hati (Fasciola hepatica) pada Prianto, J., T. P. Utama & Darwanto. 2010. Atlas
Hati dan Feses yang Diambil dari Rumah Parasitologi Kedokteran. PT. Gramedia.
Potong Hewan di Mabar Medan. Fakultas Jakarta.
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara. Departemen Kesehatan Lingkungan.
5
Journal of Animal Science and Agronomy Panca Budi Volume 3 Nomor. 1 Juni 2018

Purnomo, J. Gunawan, Magdalena, Ayda & Sugeng, Y. B. 2008. Sapi Potong. Semarang:
Harijani. 2008. Atlas Helminthologi Penebar Swadaya.
Kedokteran. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Swai. E.S. MTUI, A.N. Mbise, E. Kaaya, P. Sanka,
Jakarta.
P.M. Loomu. 2006. Prevalence of
Purwanta, Ismaya, N.R.P., dan Burhan,. 2006. Gastrointestinal Parasite Infection in Maasai
Penyakit Cacing hati (Fascioliasis) pada Sapi Cattle in Ngorongoro District Tanzania.
Bali di Perusahaan Daerah Rumah Potong Livestock Research for Rural Development. 18
hewan (RPH) Kota Makassar. ISSN. (8).
1858.4330. Vol.2, No.2. Jurnal Agrisistem.
Tantri, Novese, Setyawati Tri Rima dan Khotimah
Purwaningsih, Kusumastuti., T A Kusumastuti., Siti. 2013. Prevalensi dan Intensitas Telur
dan B Sumiarto. 2017. Analisis Kelayakan Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.)
Finansial Pengobatan Pedet Parasitiasis pada Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak
Usaha Pembibitan Sapi Potong Rakyat di Kalimantan Barat. Program Studi Biologi,
Kabupaten Magelang Provinsi JAwa Tengah. Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura.
Buletin Peternakan Vol. 41 (2): 197-202.
Yudha, H. W., V. D. I. Susanty, dan B. E. Retnani.
Subronto, I. T. 2004. Ilmu Penyakit Ternak. Gajah 2014. Identifikasi dan Program Pengendalian
Mada University Press. Yogyakarta. Toxocara Vitulorum pada Ternak Ruminansia
Besar. Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Subekti, S., S. Mumpuni, S. Koesdarto dan
Pertanian Bogor. Bogor.
Kusnoto. 2010. Buku Ajar Helminthologi
Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Zalizar, Lili. 2017. Helminthiasis Saluran Cerna
Universitas Airlangga. Surabaya. pada Sapi Perah. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan
27 (2): 1–7.

Anda mungkin juga menyukai