3: 238-245
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Juni 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p07
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021
Muhammad Wilmar Akbar1, Nyoman Adi Suratma2*, Ida Bagus Made Oka3
1
Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Udayana, Kampus Jln. P.B. Sudirman Denpasar, Bali;
2
Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana,
Kampus Jln. P.B. Sudirman Denpasar, Bali.
*Email: adisuratma@unud.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan intensitas infeksi cacing
Strongyloides ransomi pada babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Kota
Denpasar. Penelitian ini menggunakan 200 sampel feses babi. Pemeriksaan sampel feses untuk
mengetahui prevalensi infeksi menggunakan metode apung sedangkan untuk mengetahui
intensitas infeksi menggunakan metode Mc Master. Data yang diperoleh disajikan secara
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infeksi cacing S. ransomi pada babi
yang dipotong di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Kota Denpasar sebesar 5% dengan
intensitas infeksi berdasarkan hasil perhitungan total telur per gram (EPG) didapatkan hasil
kurang dari 500 butir telur per gram feses sehingga dikategorikan hanya mengalami infeksi
ringan.
Kata kunci: Babi; intensitas; prevalensi; S. ransomi
Abstract
This study aims to determine the prevalence and intensity of Strongyloides ransomi
infections in pigs that were slaughtered at Pesanggaran animal slaughter house in Denpasar
city. This study used 200 samples of pig feces. Stool samples are examined to determine the
prevalence of infection using the floating method while the intensity of the infection
determined using the Mc. Master method. The data obtained were presented descriptively. The
results showed that the prevalence of S. ransomi infections was 5% with the intensity of
infection was found that less than 500 eggs per gram of feces, it were categorized as having
only mild infections.
Keywords: Intensity; pigs; prevalence; S. ransomi
238
Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No. 3: 238-245
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Juni 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p07
dalam menunjang perekonomian banyak 2011) dan pada babi yang dipelihara di
negara. Populasi babi terus meningkat dari Tempat Pembuangan Akhir Suwung
tahun ke tahun terkait meningkatnya Denpasar sebesar 15% (Muliani, 2018).
konsumsi masyarakat akan daging babi Pada negara tropis prevalensi S. ransomi
(Fendryanto et al., 2015). pada babi masih ada seperti yang
Babi rentan terhadap berbagai macam dilaporkan di Kenya, sebesar 4,3% (Nganga
penyakit, salah satunya adalah parasit et al., 2008), di Afrika sebesar 14%
cacing. Parasit cacing dapat menyebabkan (Marufu et al., 2008), di India prevalensi S.
kerugian ekonomi bagi peternak babi ransomi pada babi sebesar 44% (Keshaw et
(Collins, 2002). Infeksi parasit cacing pada al., 2009).
babi di Amerika Serikat diperkirakan dapat Rumah Potong Hewan (RPH)
menyebabkan kerugian 250 juta dolar tiap Pesanggaran merupakan Rumah Potong
tahunnya. Parasit cacing nematoda saluran Hewan terbesar yang ada di Provinsi Bali
pencernaan yang umum menginfeksi babi berlokasi di Jalan Raya Benoa No. 133,
adalah Ascaris suum, Trichuris suis, Wilayah Pesanggaran, Kelurahan
Oesophagostomum sp. dan S. ransomi Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan.
(Marufu et al., 2008; Keshaw et al., 2009). Untuk pengelolaannya dilakukan oleh
Diantara parasit cacing nematoda tersebut Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan
S. ransomi adalah parasit cacing yang sejak tahun 2009 dengan ternak yang
memiliki siklus hidup paling cepat, serta disembelih yakni sapi dan babi. Jumlah
dapat berlangsung secara homogenik dan penyembelihan babi lebih banyak
heterogenik. Siklus hidup heterogenik, dibandingkan dengan sapi. Jumlah
dimana pada lingkungan yang optimal penyembelihan pada babi perhari berkisar
dalam waktu singkat telur akan menetas 100-150 ekor (BPS, 2011). Berdasarkan
dan terbebaslah larva cacing stadium 1 informasi dari kepala Rumah Potong
(L1). L1 akan berkembang menjadi L2, L3, Hewan Pesanggaran Kota Denpasar, babi
L4 dan L5 (cacing dewasa) jantan dan yang dipotong berasal dari beberapa
betina diluar tubuh hospes, serta bisa Kabupaten di Bali diantaranya Kabupaten
melakukan perkawinan dan memproduksi Badung, Bangli, Karangasem dan Kota
banyak telur. Jika dalam satu kandang ada Denpasar. Babi yang akan disembelih
salah satu babi yang terinfeksi maka dibawa oleh pemilik dan diperuntukkan
berakibat seluruh babi yang lainnya akan untuk perusahaan produk olahan daging
terinfeksi dengan cepat. Cacing S. ransomi dan pasar yang ada di Kota Denpasar.
predeleksinya pada usus halus. Dampak Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut,
yang ditimbulkan sangat tergantung pada para pemilik babi mendapatkan babi di
intensitas (berat atau ringan) infeksi, peternakan babi yang berada di Kabupaten
semakin banyak cacing yang menginfeksi Badung, Bangli, Karangasem dan Kota
dampak yang ditimbulkan akan semakin Denpasar yang dipelihara secara intensif.
jelas, disebabkan karena cacing akan Belum pernah dilakukan penelitian
menembus lapisan usus halus untuk mengenai infeksi cacing S. ransomi pada
menghisap darah sehingga menimbulkan babi yang dipotong di Rumah Potong
enteritis dan anemia. Pada infeksi berat Hewan Pesanggaran ini.
gejala klinis diantaranya adalah anemia,
diare, dehidrasi, anoreksia, kekurusan dan METODE PENELITIAN
kematian. (Urquhart et al., 1996). Objek Penelitian
Penelitian infeksi cacing S. ransomi Objek penelitian adalah babi yang
pada babi telah dilaporkan oleh beberapa dipotong di Rumah Potong Hewan
peneliti, di Bali prevalensinya sebesar 13% Pesanggaran Kota Denpasar.
(Guntoro, 2004) sedangkan pada anak babi
prasapih sebesar 7,4% (Oka dan Dwinata,
239
Buletin Veteriner Udayana Akbar et al.
240
Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No. 3: 238-245
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Juni 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p07
100%
90%
80%
70%
60%
95%
50%
40%
30%
20%
10% 5%
0%
Terinfeksi Tidak Terinfeksi
Gambar 1. Prevalensi infeksi cacing S. ransomi pada babi yang dipotong di RPH
Pesanggaran Kota Denpasar
241
Buletin Veteriner Udayana Akbar et al.
Tabel 1. Prevalensi infeksi cacing S. ransomi pada babi yang dipotong di RPH Pesanggaran
Kota Denpasar berdasarkan asal babi.
Jumlah Hasil
Asal Babi Prevalensi (%)
Sampel Positif Negatif
Bangli 12 2 10 15,67
Denpasar 90 8 82 8,89
Badung 63 0 63 0
Karangasem 35 0 35 0
Tabel 2. Prevalensi infeksi cacing S. ransomi pada babi yang dipotong di RPH Pesanggaran
Kota Denpasar berdasarkan jenis kelamin.
Jumlah Hasil Prevalensi
Jenis Kelamin
Sampel Positif Negatif (%)
Jantan 182 0 182 0
Betina 18 10 8 80
242
Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No. 3: 238-245
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Juni 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p07
berasal dari sisa-sisa berupa sampah dan teraturnya dalam pemberian obat cacing
tidak memperhitungkan nilai gizi serta yaitu setiap 2 bulan sekali.
tidak dilakukan pemberian obat cacing Prevalensi infeksi cacing S. ransomi
secara berkala (Muliani, 2018). Kondisi berdasarkan jenis kelamin babi
kandang babi disekitar TPA akan menunjukkan prevalensi infeksi pada babi
menyebabkan lingkungan kandang kotor, betina (80%) lebih tinggi dibandingkan
becek dan lembab yang mendukung babi jantan (0%). Hasil penelitian sesuai
perkembangan stadium infektif dari cacing dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
S. ransomi (Marufu et al., 2008), selain itu Garesu et al., 2015 di Ethiopia dan
pakan babi terutama berasal dari sisa-sisa Nathaniel et al., 2017 di Nigeria yang
berupa sampah yang memungkinkan mendapatkan prevalensi infeksi parasit
terkontaminasi larva infektif S. ransomi gastrointestinal pada babi secara signifikan
yang dapat menjadi sumber penularan pada (P<0,05) lebih tinggi pada babi betina
babi (Muliani, 2018). Jika dibandingkan dibandingkan dengan babi jantan.
dengan hasil penelitian strongyloidosis Perubahan kondisi fisiologis hewan betina
pada anak babi prasapih yang didapatkan selama kehamilan, menyusui dan nifas
prevalensi sebesar 7,4%, hasil prevalensi (pengaruh hormonal) serta stres yang
pada penelitian ini lebih rendah mengarah ke imunosupresi, tingkat laktasi
dikarenakan karena perbedaan umur babi, dan hormon progesteron yang tinggi
secara terori semakin bertambah umur babi membuat individu betina lebih rentan
kekebalan terhadap cacing akan semakin terhadap infeksi (Atawalna et al., 2015).
meningkat atau dengan kata lain semakin Intensitas infeksi cacing S. ransomi
meningkat umur prevalensinya akan pada babi yang dipotong di Rumah Potong
semakin rendah (Murrel, 1981; Tizard, Hewan Pesanggaran Kota Denpasar
1988). Babi-babi yang dipotong di Rumah berdasarkan hasil perhitungan total telur per
Potong Hewan Pesanggaran Kota Denpasar gram (EPG) menggunakan metode Mc
berumur siap potong yakni umur 6-8 bulan. Master didapatkan hasil kurang dari 500
Prevalensi infeksi cacing S. ransomi butir telur per gram feses, maka intensitas
berdasarkan asal babi didapatkan infeksi cacing S. ransomi dikategorikan
prevalensi pada babi yang berasal dari mengalami infeksi ringan. Berdasarkan
Kabupaten Bangli didapatkan sebesar standar infeksi, infeksi dapat dikategorikan
15,67%, Kota Denpasar sebesar 8,89%, ringan jika didapat EPG berjumlah 1-499
Kabupaten Badung dan Karangasem butir, infeksi sedang jika EPG berjumlah
sebesar 0%. Secara epidemiologi infeksi 500-5000 butir dan infeksi berat jika
parasit dipengaruhi oleh ; hospes, parasit didapatkan EPG >5000 butir (Levine, 1990;
dan lingkungan. Faktor lingkungan yang Soulsby, 1982).
paling nyata berpengaruh terutama musim,
keadaan geografis dan tata menejemen SIMPULAN DAN SARAN
pemeliharaan (Guna et al., 2014), karena Simpulan
ada perbedaan lingkungan pada masing- Berdasarkan hasil penelitian yang
masing Kabupaten menyebabkan sudah dilaksanakan, dapat diambil
prevalensi infeksi cacing S. ransomi juga kesimpulan bahwa prevalensi infeksi
ada perbedaan. Prevalensi infeksi cacing S. cacing S. ransomi pada babi yang dipotong
ransomi yang tinggi pada Kabupaten di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Kota
Bangli dan Kota Denpasar tersebut Denpasar sebesar 5%. Intensitas infeksi
dikarenakan adanya ketidakteraturan dalam cacing S. ransomi pada babi yang dipotong
pemberian obat cacing sedangkan angka di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Kota
prevalensi yang rendah pada Kabupaten Denpasar didapatkan <100 telur/gram tinja.
Badung dan Karangasem dikarenakan
243
Buletin Veteriner Udayana Akbar et al.
244
Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No. 3: 238-245
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Juni 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p07
245