Anda di halaman 1dari 8

Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No.

3: 238-245
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Juni 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p07
Terakreditasi Nasional Sinta 4, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi No. 158/E/KPT/2021

Prevalensi dan Intensitas Infeksi Cacing Strongyloides ransomi pada Babi


yang Dipotong di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Kota Denpasar
(PREVALENCE AND INTENSITY INFECTION OF STRONGYLOIDES RANSOMI WORMS
IN PIGS SLAUGHTERED AT PESANGGARAN SLAUGHTER HOUSE DENPASAR CITY)

Muhammad Wilmar Akbar1, Nyoman Adi Suratma2*, Ida Bagus Made Oka3
1
Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Udayana, Kampus Jln. P.B. Sudirman Denpasar, Bali;
2
Laboratorium Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana,
Kampus Jln. P.B. Sudirman Denpasar, Bali.
*Email: adisuratma@unud.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan intensitas infeksi cacing
Strongyloides ransomi pada babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Kota
Denpasar. Penelitian ini menggunakan 200 sampel feses babi. Pemeriksaan sampel feses untuk
mengetahui prevalensi infeksi menggunakan metode apung sedangkan untuk mengetahui
intensitas infeksi menggunakan metode Mc Master. Data yang diperoleh disajikan secara
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infeksi cacing S. ransomi pada babi
yang dipotong di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Kota Denpasar sebesar 5% dengan
intensitas infeksi berdasarkan hasil perhitungan total telur per gram (EPG) didapatkan hasil
kurang dari 500 butir telur per gram feses sehingga dikategorikan hanya mengalami infeksi
ringan.
Kata kunci: Babi; intensitas; prevalensi; S. ransomi

Abstract
This study aims to determine the prevalence and intensity of Strongyloides ransomi
infections in pigs that were slaughtered at Pesanggaran animal slaughter house in Denpasar
city. This study used 200 samples of pig feces. Stool samples are examined to determine the
prevalence of infection using the floating method while the intensity of the infection
determined using the Mc. Master method. The data obtained were presented descriptively. The
results showed that the prevalence of S. ransomi infections was 5% with the intensity of
infection was found that less than 500 eggs per gram of feces, it were categorized as having
only mild infections.
Keywords: Intensity; pigs; prevalence; S. ransomi

PENDAHULUAN babi di Bali pada tahun 2018 tercatat


sebanyak 690.095 (Direktorat Jenderal
Peternakan babi di daerah Bali
Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2018).
memegang peranan yang sangat penting,
Memelihara babi memiliki beberapa
terutama dalam hubungannya dengan
keuntungan bagi peternak, diantaranya
kebiasaan masyarakat serta adat istiadatnya
siklus reproduksi yang relatif pendek,
(Agustina, 2013). Berdasarkan statistik
banyak anak dalam satu kelahiran, tingkat
peternakan, Bali merupakan daerah dengan
pertumbuhan cepat dan efisien dalam
populasi babi tertinggi kedua di Indonesia
penggunaan ransum (Parakkasi, 2006).
setelah Nusa Tenggara Timur, populasi
Produksi babi merupakan bagian penting

238
Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No. 3: 238-245
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Juni 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p07

dalam menunjang perekonomian banyak 2011) dan pada babi yang dipelihara di
negara. Populasi babi terus meningkat dari Tempat Pembuangan Akhir Suwung
tahun ke tahun terkait meningkatnya Denpasar sebesar 15% (Muliani, 2018).
konsumsi masyarakat akan daging babi Pada negara tropis prevalensi S. ransomi
(Fendryanto et al., 2015). pada babi masih ada seperti yang
Babi rentan terhadap berbagai macam dilaporkan di Kenya, sebesar 4,3% (Nganga
penyakit, salah satunya adalah parasit et al., 2008), di Afrika sebesar 14%
cacing. Parasit cacing dapat menyebabkan (Marufu et al., 2008), di India prevalensi S.
kerugian ekonomi bagi peternak babi ransomi pada babi sebesar 44% (Keshaw et
(Collins, 2002). Infeksi parasit cacing pada al., 2009).
babi di Amerika Serikat diperkirakan dapat Rumah Potong Hewan (RPH)
menyebabkan kerugian 250 juta dolar tiap Pesanggaran merupakan Rumah Potong
tahunnya. Parasit cacing nematoda saluran Hewan terbesar yang ada di Provinsi Bali
pencernaan yang umum menginfeksi babi berlokasi di Jalan Raya Benoa No. 133,
adalah Ascaris suum, Trichuris suis, Wilayah Pesanggaran, Kelurahan
Oesophagostomum sp. dan S. ransomi Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan.
(Marufu et al., 2008; Keshaw et al., 2009). Untuk pengelolaannya dilakukan oleh
Diantara parasit cacing nematoda tersebut Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan
S. ransomi adalah parasit cacing yang sejak tahun 2009 dengan ternak yang
memiliki siklus hidup paling cepat, serta disembelih yakni sapi dan babi. Jumlah
dapat berlangsung secara homogenik dan penyembelihan babi lebih banyak
heterogenik. Siklus hidup heterogenik, dibandingkan dengan sapi. Jumlah
dimana pada lingkungan yang optimal penyembelihan pada babi perhari berkisar
dalam waktu singkat telur akan menetas 100-150 ekor (BPS, 2011). Berdasarkan
dan terbebaslah larva cacing stadium 1 informasi dari kepala Rumah Potong
(L1). L1 akan berkembang menjadi L2, L3, Hewan Pesanggaran Kota Denpasar, babi
L4 dan L5 (cacing dewasa) jantan dan yang dipotong berasal dari beberapa
betina diluar tubuh hospes, serta bisa Kabupaten di Bali diantaranya Kabupaten
melakukan perkawinan dan memproduksi Badung, Bangli, Karangasem dan Kota
banyak telur. Jika dalam satu kandang ada Denpasar. Babi yang akan disembelih
salah satu babi yang terinfeksi maka dibawa oleh pemilik dan diperuntukkan
berakibat seluruh babi yang lainnya akan untuk perusahaan produk olahan daging
terinfeksi dengan cepat. Cacing S. ransomi dan pasar yang ada di Kota Denpasar.
predeleksinya pada usus halus. Dampak Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut,
yang ditimbulkan sangat tergantung pada para pemilik babi mendapatkan babi di
intensitas (berat atau ringan) infeksi, peternakan babi yang berada di Kabupaten
semakin banyak cacing yang menginfeksi Badung, Bangli, Karangasem dan Kota
dampak yang ditimbulkan akan semakin Denpasar yang dipelihara secara intensif.
jelas, disebabkan karena cacing akan Belum pernah dilakukan penelitian
menembus lapisan usus halus untuk mengenai infeksi cacing S. ransomi pada
menghisap darah sehingga menimbulkan babi yang dipotong di Rumah Potong
enteritis dan anemia. Pada infeksi berat Hewan Pesanggaran ini.
gejala klinis diantaranya adalah anemia,
diare, dehidrasi, anoreksia, kekurusan dan METODE PENELITIAN
kematian. (Urquhart et al., 1996). Objek Penelitian
Penelitian infeksi cacing S. ransomi Objek penelitian adalah babi yang
pada babi telah dilaporkan oleh beberapa dipotong di Rumah Potong Hewan
peneliti, di Bali prevalensinya sebesar 13% Pesanggaran Kota Denpasar.
(Guntoro, 2004) sedangkan pada anak babi
prasapih sebesar 7,4% (Oka dan Dwinata,

239
Buletin Veteriner Udayana Akbar et al.

Rancangan Penelitian Sampel yang telah dikumpulkan


Penelitian ini merupakan penelitian selanjutnya dibawa ke Laboratorium
yang dilakukan secara observasional untuk Parasitologi Veteriner, Fakultas
mengetahui prevalensi dan intensitas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana
infeksi cacing S. ransomi pada babi yang untuk diidentifikasi.
dipotong di Rumah Potong Hewan Prosedur Penelitian
Pesanggaran Kota Denpasar.
Pemeriksaan sampel feses untuk
Jumlah Sampel menemukan telur cacing S. ransomi
Jumlah sampel minimal yang diambil menggunakan metode apung. Intensitas
dapat dihitung dengan menggunakan rumus infeksi dihitung menggunakan metode Mc
yaitu (Thrusfield, 2005): Master (Mukti, 2006).
Metode Apung
1,962 𝑝𝑒𝑥𝑝 (1 − 𝑝𝑒𝑥𝑝 ) Metode apung (Flotation methode)
𝑛=
𝑑2 digunakan untuk jenis telur cacing yang
3,8416 (0,15)(1 − 0,15) dapat mengapung dengan mengunakan
𝑛=
(0,05)2 larutan garam (NaCl) jenuh (Soulsby,
3,8416 (0,1275) 0,489804 1982). Prinsip dari metode apung yaitu
𝑛= =
0,0025 0,0025 mengapungkan telur cacing dengan berat
𝑛 = 195,9216 = 196 sampel feses (sampel jenis yang berbeda yaitu berat jenis larutan
minimal) lebih tinggi dibandingkan dengan berat
Jumlah sampel yang digunakan dalam jenis telur cacing. Feses yang bercampur
penelitian ini adalah 200 sampel. formalin disetrifugasi selama 3 menit
Keterangan: dengan kecepatan 1500 rpm kemudian
n: Jumlah sampel yang dibutuhkan supernatan dibuang. Sampel feses diambil
𝑝𝑒𝑥𝑝 : Prevalensi perkiraan (15%) kurang lebih sebanyak 3 gram dan
d: Tingkat kesalahan (5%) dimasukan ke dalam gelas beker, kemudian
gelas beker tersebut diisi 30 ml aquades,
Variabel Penelitian
diaduk lalu disaring menggunakan saringan
Variabel bebas dalam penelitian ini
teh. Larutan yang disaring dimasukkan ke
adalah asal babi dan jenis kelamin. Variabel
dalam tabung reaksi sebanyak ¾ volume
tergantung dalam penelitian ini adalah
tabung. Disentrifuge dengan kecepatan
prevalensi dan intensitas infeksi cacing S.
1500 rpm selama 5 menit. Bagian
ransomi. Variabel kendali dalam penelitian
supernatant dibuang. Kemudian
ini adalah babi yang dipotong di Rumah
ditambahkan larutan garam jenuh hingga ¾
Potong Hewan Pesanggaran Kota
volume tabung dan disentrifuge dengan
Denpasar.
kecepatan 1500 rpm selama 5 menit.
Cara Pengumpulan Sampel Setelah itu tabung dikeluarkan dari
Cara pengumpulan sampel pada sentrifugator dan diletakkan di rak tabung
penelitian ini yaitu terlebih dahulu reaksi dengan posisi tegak lurus.
persiapkan alat dan bahan yang akan Ditambahkan larutan garam jenuh secara
digunakan kemudian ambil sampel feses perlahan dengan ditetesi menggunakan
segar setiap babi kurang lebih sebanyak 10 pipet pasteur sampai permukaan cairan
gram. Jumlah seluruh sampel yang diambil cembung. Diamkan selama 5 menit dengan
sebanyak 200 sampel. Kemudian sampel tujuan memberikan kesempatan telur
feses dimasukkan ke dalam wadah sampel cacing mengapung ke permukaan. Lalu
yang setiap wadah sudah ditempelkan data pada permukaan cairan cembung
sampel agar tidak terjadi kekeliruan dalam disentuhkan dengan cover glass dan segera
pemeriksaan. Setelah itu sampel diawetkan ditempelkan di atas object glass kemudian
dengan menggunakan formalin 10 %. diamati dibawah mikroskop dengan

240
Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No. 3: 238-245
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Juni 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p07

pembesaran obyektif 40x (Soulsby, 1982). Bt : Berat tinja (gr)


Telur cacing S. ransomi mengandung larva n : Jumlah rata-rata telur cacing yang
(embrio) berbentuk elips, berkulit tipis, terhitung dalam kamar hitung
berukuran 45-55 x 26-35 mikron (Levine, Vk : Volume kamar hitung (ml)
1994). Analisis Data
Metode Mc Master Data yang diperoleh dianalisa secara
Metode Mc Master dapat meramalkan deskriptif. Parameter yang diukur berupa
tingkat keparahan infeksi cacing dari hasil prevalensi (dengan satuan %) dan intensitas
perhitungan telur per gram feses (EPG) (dengan satuan EPG). Prevalensi dihitung
dengan menggunakan kamar hitung Mc dengan menggunakan rumus di bawah ini
Master (Mukti, 2006). Sebanyak 2 gram (Budiharta, 2002):
feses babi, tambahkan 60 ml larutan garam 𝐹
(NaCl) jenuh dan disaring. Supernatan Prevalensi = 𝑁 x 100%
dihomogenkan menggunakan magnetik Keterangan:
stirel, disedot menggunakan pipet pasteur F: Jumlah sampel yang positif terinfeksi.
dan dimasukkan ke dalam kamar hitung N: Jumlah dari seluruh sampel yang
McMaster kanan dan kiri. Tunggu selama 5 diperiksa.
menit, kemudian diamati di bawah Lokasi dan Waktu Penelitian
mikroskop dengan perbesaran 10 x 10. Penelitian ini dilakukan di
Metode telah dimodifikasi dan mengacu Laboratorium Parasitologi Veteriner,
pada prosedur yang dilakukan oleh MAFF, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
1986 disitasi oleh Lambertz et al. (2018); Udayana pada bulan Juni 2020.
Junaidi et al. (2014).
Adapun rumus untuk menghitung EPG HASIL DAN PEMBAHASAN
adalah sebagai berikut
𝑉𝑙 𝑛 Hasil
EPG = 𝐵𝑡 𝑥 𝑉𝑘 Hasil pemeriksaan terhadap 200 sampel
Keterangan: feses babi yang diambil dari Rumah Potong
EPG : Egg per gram (telur cacing per gram) Hewan Pesanggaran Kota Denpasar
feses (Nezar, 2014). didapatkan prevalensi infeksi cacing S.
Vl : Volume larutan (ml) ransomi sebesar 5% (10/200) (Gambar 1).

100%
90%
80%
70%
60%
95%
50%
40%
30%
20%
10% 5%
0%
Terinfeksi Tidak Terinfeksi

Gambar 1. Prevalensi infeksi cacing S. ransomi pada babi yang dipotong di RPH
Pesanggaran Kota Denpasar

241
Buletin Veteriner Udayana Akbar et al.

Tabel 1. Prevalensi infeksi cacing S. ransomi pada babi yang dipotong di RPH Pesanggaran
Kota Denpasar berdasarkan asal babi.
Jumlah Hasil
Asal Babi Prevalensi (%)
Sampel Positif Negatif
Bangli 12 2 10 15,67
Denpasar 90 8 82 8,89
Badung 63 0 63 0
Karangasem 35 0 35 0

Tabel 2. Prevalensi infeksi cacing S. ransomi pada babi yang dipotong di RPH Pesanggaran
Kota Denpasar berdasarkan jenis kelamin.
Jumlah Hasil Prevalensi
Jenis Kelamin
Sampel Positif Negatif (%)
Jantan 182 0 182 0
Betina 18 10 8 80

Beradasarkan asal babi, prevalensi dipengaruhi oleh hospes, parasit dan


infeksi cacing S. ransomi yang berasal dari lingkungan. Pengaruh hospes terhadap
Kabupaten Bangli didapatkan sebesar prevalensi, terutama disebabkan oleh
15,67% (2/12), Kota Denpasar sebesar perbedaan ras, umur, jenis kelamin, status
8,89% (8/90), Kabupaten Badung tidak ada imunitas dan status gizi, sedangkan
yang terinfeksi sehingga prevalensinya 0% pengaruh parasit terhadap prevalensi
(0/63) dan Karangasem juga tidak ada yang terutama dipengaruhi oleh cara penyebaran
terinfeksi sehingga prevalensinya 0% atau siklus hidup, viabilitas atau daya tahan
(0/35) (Tabel 1). hidup, patogenisitas dan imunogenisitas,
Prevalensi infeksi cacing S. ransomi serta faktor lingkungan yang paling nyata
berdasarkan jenis kelamin, pada babi jantan berpengaruh terutama musim, keadaan
tidak ada yang terinfeksi sehingga geografis dan tata menejemen
prevalensinya 0% (0/182), sedangkan pada pemeliharaan (Guna et al., 2014).
babi betina didapatkan sebesar 80% (10/18) Prevalensi infeksi cacing S. ransomi
(Tabel 2). Hasil perhitungan Total Telur per yang menginfeksi babi di Bali, didapatkan
Gram Tinja (TTGT) terhadap babi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
terinfeksi menggunakan metode Mc hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
Master, tidak satupun yang ditemukan telur di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
cacing atau intensitas infeksinya <100 Suwung Denpasar yaitu sebesar 15%
telur/gram tinja. (Muliani, 2018) dan pada anak babi
Pembahasan prasapih yaitu sebesar 7,4% (Oka dan
Hasil penelitian didapatkan prevalensi Dwinata, 2011). Rendahnya prevalensi
infeksi cacing S. ransomi pada babi yang yang didapat dikarenakan karena perbedaan
dipotong di Rumah Potong Hewan menajemen pemeliharaan. Hasil penelitian
Pesanggaran Kota Denpasar yaitu sebesar yang dilakukan di Tempat Pembuangan
5%. Hasil yang didapat berbeda dengan Akhir (TPA) Suwung Denpasar didapatkan
hasil penelitian yang dilakukan pada babi di lebih tinggi dikarenakan manajemen
Luar Negeri, diantaranya Kenya, sebesar pemeliharaan babi yang masih semi
4,3% (Nganga et al., 2008), Afrika sebesar intensif, dimana lantai kandang masih
14% (Marufu et al., 2008) dan India sebesar menggunakan tanah dan jarang dibersihkan
44% (Keshaw et al., 2009). Perbedaan hasil sehingga kandang dalam kondisi kotor,
yang didapat secara epidemiologi becek dan lembab, pemberian pakan

242
Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No. 3: 238-245
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Juni 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p07

berasal dari sisa-sisa berupa sampah dan teraturnya dalam pemberian obat cacing
tidak memperhitungkan nilai gizi serta yaitu setiap 2 bulan sekali.
tidak dilakukan pemberian obat cacing Prevalensi infeksi cacing S. ransomi
secara berkala (Muliani, 2018). Kondisi berdasarkan jenis kelamin babi
kandang babi disekitar TPA akan menunjukkan prevalensi infeksi pada babi
menyebabkan lingkungan kandang kotor, betina (80%) lebih tinggi dibandingkan
becek dan lembab yang mendukung babi jantan (0%). Hasil penelitian sesuai
perkembangan stadium infektif dari cacing dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
S. ransomi (Marufu et al., 2008), selain itu Garesu et al., 2015 di Ethiopia dan
pakan babi terutama berasal dari sisa-sisa Nathaniel et al., 2017 di Nigeria yang
berupa sampah yang memungkinkan mendapatkan prevalensi infeksi parasit
terkontaminasi larva infektif S. ransomi gastrointestinal pada babi secara signifikan
yang dapat menjadi sumber penularan pada (P<0,05) lebih tinggi pada babi betina
babi (Muliani, 2018). Jika dibandingkan dibandingkan dengan babi jantan.
dengan hasil penelitian strongyloidosis Perubahan kondisi fisiologis hewan betina
pada anak babi prasapih yang didapatkan selama kehamilan, menyusui dan nifas
prevalensi sebesar 7,4%, hasil prevalensi (pengaruh hormonal) serta stres yang
pada penelitian ini lebih rendah mengarah ke imunosupresi, tingkat laktasi
dikarenakan karena perbedaan umur babi, dan hormon progesteron yang tinggi
secara terori semakin bertambah umur babi membuat individu betina lebih rentan
kekebalan terhadap cacing akan semakin terhadap infeksi (Atawalna et al., 2015).
meningkat atau dengan kata lain semakin Intensitas infeksi cacing S. ransomi
meningkat umur prevalensinya akan pada babi yang dipotong di Rumah Potong
semakin rendah (Murrel, 1981; Tizard, Hewan Pesanggaran Kota Denpasar
1988). Babi-babi yang dipotong di Rumah berdasarkan hasil perhitungan total telur per
Potong Hewan Pesanggaran Kota Denpasar gram (EPG) menggunakan metode Mc
berumur siap potong yakni umur 6-8 bulan. Master didapatkan hasil kurang dari 500
Prevalensi infeksi cacing S. ransomi butir telur per gram feses, maka intensitas
berdasarkan asal babi didapatkan infeksi cacing S. ransomi dikategorikan
prevalensi pada babi yang berasal dari mengalami infeksi ringan. Berdasarkan
Kabupaten Bangli didapatkan sebesar standar infeksi, infeksi dapat dikategorikan
15,67%, Kota Denpasar sebesar 8,89%, ringan jika didapat EPG berjumlah 1-499
Kabupaten Badung dan Karangasem butir, infeksi sedang jika EPG berjumlah
sebesar 0%. Secara epidemiologi infeksi 500-5000 butir dan infeksi berat jika
parasit dipengaruhi oleh ; hospes, parasit didapatkan EPG >5000 butir (Levine, 1990;
dan lingkungan. Faktor lingkungan yang Soulsby, 1982).
paling nyata berpengaruh terutama musim,
keadaan geografis dan tata menejemen SIMPULAN DAN SARAN
pemeliharaan (Guna et al., 2014), karena Simpulan
ada perbedaan lingkungan pada masing- Berdasarkan hasil penelitian yang
masing Kabupaten menyebabkan sudah dilaksanakan, dapat diambil
prevalensi infeksi cacing S. ransomi juga kesimpulan bahwa prevalensi infeksi
ada perbedaan. Prevalensi infeksi cacing S. cacing S. ransomi pada babi yang dipotong
ransomi yang tinggi pada Kabupaten di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Kota
Bangli dan Kota Denpasar tersebut Denpasar sebesar 5%. Intensitas infeksi
dikarenakan adanya ketidakteraturan dalam cacing S. ransomi pada babi yang dipotong
pemberian obat cacing sedangkan angka di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Kota
prevalensi yang rendah pada Kabupaten Denpasar didapatkan <100 telur/gram tinja.
Badung dan Karangasem dikarenakan

243
Buletin Veteriner Udayana Akbar et al.

Saran Fendryanto A, Dwinata IM, Oka IBM,


Berdasarkan hasil penelitian dapat Agustina KK. 2015. Identifikasi dan
disarankan bahwa pemeliharaan babi secara prevalensi cacing nematoda saluran
intensif perlu dipertahankan dan kalau bisa pencernaan pada anak babi di Bali.
ditingkatkan lagi, karena masih didapatkan Indon. Med. Vet. 4(5): 465-473.
infeksi cacing S. ransomi dan pemberian Garesu MA, Zarihun HG, Mamo, Tafa M,
obat cacing terus dilakukan secara berkala Megersa M. 2015. Prevalence and
menggunakan obat cacing yang berbeda, associated risk factor of major
untuk menghindari terjadinya resistensi gastrointestinal parasites of pig
obat. slaughtered at Addis Ababa Abattoirs
Enterprise, Ethiopia. J. Vet. Sci.
UCAPAN TERIMA KASIH Technol. 6(4-1000244): 1-8.
Penulis mengucapkan terimakasih Guna INW, Suratma NA, Damriyasa IM.
kepada petugas di Rumah Potong Hewan 2014. Infeksi cacing nematoda pada
Pesanggaran Kota Denpasar yang telah usus halus babi di Lembah Baliem dan
membantu dalam penyelesaian penelitian Pegunungan Arfak Papua. Bul. Vet.
ini. Udayana. 6(2): 129-134.
Guntoro S. 2004. Prevalensi infeksi cacing
DAFTAR PUSTAKA gastrointestinal pada babi di Desa
Sulahan, Kecamatan Susut, Kabupaten
Agustina KK. 2013. Identifikasi dan Bangli Bali. Denpasar: Balai
prevalensi cacing tipe strongyle pada Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
babi di Bali. Bul. Vet. Udayana. 5(2): Junaidi M, Sambodo P, Nurhayati D. 2014.
131-138. Prevalensi nematoda pada sapi bali di
Atawalna J, Attoh-kotoku V, Folitse RD, Kabupaten Manokwari. J. Sain Vet.
Amenakpor C. 2015. Prevalence of 32(2): 168-176.
gastrointenstinal parasites among pigs Keshaw PT, Chikweto A, Belot G, Vanpee
in the Ejesu Municipality of Ghana. G, Deallie C, Stratton G, Sharma RN.
Sch. J. Agric. Vet. Sci. 3(1): 33-36. 2009. Prevalence of intestinal parasites
BPS. 2011. Populasi Ternak Menurut in pigs in Grenada. West Indian Vet. J.
Kabupaten/Kota dan Jenis Ternak di 9(1): 22-27.
Bali Tahun 2011. Badan Pusat Statistik Lambertz C, Poulopoulou I, Wuthijaree K,
Provinsi Bali. Gauly M. 2018. Endoparasitic
Budiharta S. 2002. Kapita Selekta infections and prevention measures in
Epidemiologi Veteriner. Bagian sheep and goats under mountain
Kesehatan Masyarakat Veteriner. farming conditions in Northern Italy.
Fakultas Kedokteran Hewan. Small Ruminant Res. 164: 94-101.
Universitas Gadjah Mada Press, Levine ND. 1990. Text Book of Veterinary
Yogyakarta. Parasitology. G. Ashadi (penerjemah).
Collins F. 2002. Preventive Practices in Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner.
Swine: Parasite Treatment. USDA Gadjah Mada University Press.
Veterinary Service: United States Yogyakarta.
Department of Agriculture. Marufu MC, Chanayiwa P, Chimonyo M,
Direktorat Jenderal Peternakan dan Bhebhe E. 2008. Prevalence of
Kesehatan Hewan. 2018. Data Populasi gastrointestinal nematodes in Mukota
Babi di setiap Provinsi di Indonesia pigs in a communal area of Zimbabwe.
2018. Direktoral Jenderal Peternakan Af. J. Agric. Res. 3(2): 91-95.
dan Kesehatan Hewan Kementerian Mukti AS. 2006. Identifikasi nematoda
Pertanian. parasitik saluran pencernaan dan
penyebarannya pada banteng jawa (Bos

244
Buletin Veteriner Udayana Volume 14 No. 3: 238-245
pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712 Juni 2022
Online pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet DOI: 10.24843/bulvet.2022.v14.i03.p07

javanicus) di Semenanjung Taman helminth incetions in pigs in Kenya.


Nasional Ujung Kulon. Skripsi. Institut Trop Anim. Health Prod. 40(5): 331-
Pertanian Bogor. 334.
Muliani. 2018. Prevalensi dan faktor risiko Oka IBM, Dwinata IM. 2011.
infeksi Strongyloides ransomi pada Strongyloidosis pada Anak Babi Pra-
babi yang dipelihara di tempat Sapih. Bul. Vet. Udayana. 3(2): 107-
pembuangan akhir (TPA) Suwung 112.
Denpasar. Skripsi. Universitas Parakkasi A. 2006. Ilmu Nutrisi dan
Udayana. Makanan Ternak Monogastrik. Jakarta:
Murrell KD. 1981. Induction of protective UI Press. Pp 12- 13.
immunity to Strongyloides ransomi in Soulsby EJl. 1982. Helminths, Arthropods
pigs. Am. J. Vet. Res. 42: 1915-1919. and Protozoa of Domesticated Animals.
Nathaniel AO, Anyika KC, Frank MC, 7th Ed. London: Bailliere Tindal.
Jatau JD. 2017. Prevalence of Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi
gastrointenstinal parasites in pigs in Veteriner. Penerjemah Masduki
Jos South Local Goverment area of Partodiredjo. Airlangga University
Plateau State, Nigeria. National Press. Surabaya.
Veterinary Research Institute Vom, Thursfield M. 2005. Veterinary
Nigeria. Epidemiology. 3rd Ed. Blackwell
Nezar MR. 2014. Jenis cacing pada feses Publishing, Butterwort and co
sapi di TPA Jatibarang dan KTT (Publishers) Ltd, UK.
Sidomulyo Desa Nongkosawit Urquhart GM, Armour J, Duncan JL,
Semarang. Skripsi. Fakultas Jennings FW, Dunn AM. 1996.
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Veterinary Parasitology. 2nd Ed.
Alam Universitas Negeri Semarang. London: Blackwell Science. Pp. 148.
Nganga CJ, Karanya DN, Mutune MN.
2008. The prevalence of gastrointestinal

245

Anda mungkin juga menyukai