Anda di halaman 1dari 16

PENGARUH PENGGUNAAN BEBERAPA PAKAN KOMERSIAL YANG

DITAMBAH WARETHA PADA MASA PEMULIHAN TERHADAP LAJU


PERTUMBUHAN ITIK BAYANG JANTAN SETELAH PEMBERIAN SERAT
KASAR TINGGI

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :

RATIH SUKMAWATI
1710611087

PEMBIMBING I : Ir. Sabrina, MP

PEMBIMBING II : Dr. Ir. Firda Arlina, Msi

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2020
PENGARUH PENGGUNAAN BEBERAPA PAKAN KOMERSIAL YANG
DITAMBAH WARETHA PADA MASA PEMULIHAN TERHADAP LAJU
PERTUMBUHAN ITIK BAYANG JANTAN SETELAH PEMBERIAN SERAT
KASAR TINGGI

PROPOSAL

Oleh:

RATIH SUKMAWATI
1710611087

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Melaksanakan Penelitian


Pada Fakultas Peternakan

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2020
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peternakan memegang peranan penting dalam penyediaan kebutuhan protein asal
hewani bagi masyarakat Indonesia. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk
dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi, permintaan akan
protein hewani di pasaran terus meningkat. Khususnya dunia perunggasan dituntut
untuk menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, harganya terjangkau oleh
masyarakat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sehingga dapat memenuhi
kebutuhan protein hewani. Salah satu jenis usaha ternak unggas yang berpotensi
untuk dikembangkan adalah peternakan itik.
Itik berperan sebagai penghasil telur dan daging. Sebanyak 19,35% dari 793.800
ton kebutuhan telur di Indonesia diperoleh dari telur itik. Perannya sebagai penghasil
daging masih rendah yaitu hanya 0,94% dari 1.450.700 ton kebutuhan daging
nasional (DITJENNAK, 2001). Tingkat produktivitas itik lokal Indonesia baik telur
maupun daging masih rendah dan masih berpeluang untuk ditingkatkan. Menurut
Bharoto (2001) jenis-jenis itik di Indonesia adalah itik Tegal, itik Mojosari, itik
Alabio, itik Manila dan itik Bali. Di Sumatera Barat, sama seperti di pulau Jawa,
bangsa itik tersebut diberi nama menurut daerah setempat seperti itik Pitalah, itik
Bayang dan itik Sikumbang Janti. Itik Mojosari berasal dari desa Modopuro,
Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Itik merupakan unggas yang mempunyai potensi besar sebagai sumber protein
untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Secara kualitatif daging itik
mengandung 21% protein, 28% lemak, dan 1,1 mg/g kolesterol. Telurnya
mengandung 13,1% protein dan 14,3% lemak. Daging itik yang sebelumnya
dikonsumsi sewaktu-waktu oleh masyarakat kini mulai dikonsumsi setiap hari
(Warsito dan Rahaeni, 1994).
Itik Bayang merupakan sumber daya genetik ternak itik di Provinsi Sumatera
Barat yang berperan penting sebagai penghasil daging dan telur. Rusfidra dan
Heryandi (2010); Rusfidra et. al. (2012); Kusnadi dan Rahim (2009) menyatakan
bahwa itik Bayang merupakan itik Lokal yang dipelihara petani/peternak di
Kabupaten Pesisir Selatan dan sangat potensial dikembangkan sebagai penghasil
daging dan telur.
Pakan adalah salah satu faktor yang sangat penting yang harus dipenuhi untuk
mencapai suatu keberhasilan produktivitas unggas secara optimal, oleh karena itu
kuantitas dan kualitas pakan hendaknya selalu diperhatikan. Itik memiliki
kemampuan untuk mengkonsumsi ransum yang cukup tinggi dibandingkan ayam.
Konsumsi ransum yang tinggi akan mempengaruhi besarnya biaya produksi yang
harus dikeluarkan disebabkan harga pakan yang cukup tinggi. Menurut Suprijatna et
al., (2005) ransum berperan sangat strategis, ditinjau dari aspek ekonomis, biaya
ransum sangat tinggi yaitu mencapai 70% dari total biaya produksi.
Bahan pakan yang digunakan untuk ternak itik sebaiknya murah, tidak
beracun, tidak asin, kering, tidak berjamur, tidak busuk/bau/apek, tidak menggumpal,
mudah diperoleh dan palatable (KETAREN, 2001a dan 2001b). Anak itik mampu
menggunakan serat kasar sampai 14% dalam ransum periode pertumbuhan dari
serbuk gergaji. Bungkil inti sawit digunakan pada batas aman dalam ransum broiler
sangat berfariasi yaitu dari 10-20% dengan kandungan serat kasar 21,70%
(Tangendjaja dan Pattyusra, 1993). Tangendjaja et al. (1992) melaporkan bahwa
ternak itik toleran terhadap pemakaian dedak dalam ransum sampai 60% dengan
kandungan serat kasar 23%. Berbagai limbah industri pertanian memiliki kekhasan
kandungan zat gizi serta antinutrien yang dikandungnya.
Limbah pabrik sawit seperti bungkil inti sawit dan lumpur sawit yang tersedia
banyak di Indonesia tetapi mengandung kadar serat kasar tinggi berpeluang dipakai
sebagai pakan itik (BESTARI et al., 1992). Dikenal dua jenis limbah industri minyak
sawit yaitu (1) bungkil inti sawit dan (2) lumpur sawit yang belum biasa digunakan
sebagai pakan itik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tingginya serat kasar, atau
terkontaminasi tempurung sawit serta rendahnya palatabilitas limbah tersebut untuk
itik. Fermentasi bungkil inti sawit maupun lumpur sawit ternyata dapat meningkatkan
kadar protein inti sawit dari 14,19% menjadi 25,06% serta menurunkan serat kasar
dari 21,27% menjadi 19,75%. Fermentasi lumpur sawit juga meningkatkan
kandungan protein kasar dari 11,94% menjadi 22,6% dan menurunkan kandungan
serat (NDF) dari 62,8% menjadi 52,1%. Penggunaan limbah sawit untuk itik
disarankan tidak lebih dari 20% dalam pakan itik (SINURAT, 2000).
Bungkil inti sawit merupakan limbah pabrik pengolahan kelapa sawit yang
ketersediaannya cukup berlimpah dan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai
bahan pakan unggas. Kendala utama bahan ini sebagai bahan ransum unggas adalah
tingginya kandungan serat kasarnya yang berkisar 11,30 - 17,00% (Sukaryana,
2001).
Tanaman kakao (Theobroma cacao, L) atau biasa disebut dengan cokelat
merupakan tanaman yang tumbuh di daerah tropis. Di Indonesia tanaman kakao
sendiri tersebar sebagian besar di beberapa pulau seluruh wilayah Indonesia,
diantaranya di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Berdasarkan
survei lapangan kulit buah kakao dibuang begitu saja, tanpa ada yang memanfaatkan.
Potensinya kulit buah kakao dapat dijadikan sebagai pakan alternatif ternak baik
ruminansia maupun unggas. Ketersediaan kulit buah kakao cukup banyak karena
sekitar 75% dari satu buah kakao utuh adalah berupa kulit buah, sedangkan biji kakao
sebanyak 23% dan plasenta 2% (Wawo, (2008) dalam bungatang, 2016).
Intake protein adalah konsumsi zat-zat organik yang mengundang karbon,
hydrogen, nitrogen, sulfur dan phospor (Anggorodi, 1995). Menurut Wahju (2004)
besarnya konsumsi ransum tergantung pada kandungan protein ransum. Gultom
(2014) menyatakan bahwa konsumsi protein yang tinggi akan mempengaruhi asupan
protein ke dalam daging dan asam-asam amino tercukupi di dalam tubuhnya sehingga
metabolism sel-sel dalam tubuh berlangsung secara normal.
Untuk mendapatkan banyaknya energi yang dikonsumsi (energy intake) dapat
dihitung dari banyaknya ransum yang dikonsumsi dikalikan dengan kandungan energi
metabolis dalam ransum. Tingkat energi di dalam makanan menentukan banyaknya
makanan yang dikonsumsi, sehingga dapat diperhitungkan berapa energi yang
dikonsumsi untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi yang
diharapkan (Dulatip, 2002).
Probiotik Waretha (Bacillus amyloliquefaciens) merupakan probiotik yang
ditemukan oleh salah seorang dosen (Prof Wizna) dari Fakultas Peternakan,
Universitas Andalas. Probiotik ini memiliki keunggulan meningkatkan efisiensi
penggunaan ransum, pertambahan berat badan, persentase karkas, mengurangi
populasi bakteri E. Coli, mengurangi liter tidak basah dan tidak berbau, serta dapat
menurunkan kadar kolesterol pada daging dan telur (Wizna, 2007). Probiotik adalah
mikroba hidup yang diberikan sebagai suplemen makanan pada ternak dengan tujuan
untuk memperbaiki kesehatan dan perkembangan mikroba usus, meningkatkan
pertumbuhan dan efisiensi pakan, serta menekan biaya produksi (Hartono dan
Kurtini,2015). Penggunaan probiotik Waretha yang berasal dari bahan lokal dapat
menurunkan biaya produksi, karena probiotik dapat menekan biaya pakan
memperbaiki mikroba pada usus dengan jalan membunuh mikroba yang baiak pada
usus.
Oleh karena itu diperlukan adanya bahan pakan yang mahal dapat ditekan
dengan memanfaatkan limbah pertanian yang ada sehingga penggunaan bahan pakan
yang mahal dapat dikurangi sehingga biaya produksi dapat ditekan. Salah satu
caranya dengan menggunakan bahan pakan alternatif yang lebih murah, mudah
didapat, tersedia secara kontinyu dan kualitasnya baik sehingga peningkatan
produktifitas tetap dapat tercapai. Selain itu penggunaan bahan pakan alternatif tidak
bersaing dengan manusia ataupun ternak lain.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh penggunaan beberapa pakan komersial yang ditambah Waretha
pada masa pemulihan terhadap laju pertumbuhan itik Bayang jantan setelah
pemberian serat kasar tinggi
1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan beberapa pakan
komersial yang ditambah Waretha pada masa pemulihan terhadap laju pertumbuhan
itik Bayang jantan setelah pemberian serat kasar tinggi
1.4  Manfaat Penenlitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi dalam penyusunan
ransum itik bayang jantan dengan penggunaan pakan komersial serta penambahan
serat kasar tinggi dan waretha pada masa pemilihan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Itik
Itik adalah salah satu jenis unggas air yang kehadirannya telah lama menyatu
dengan kehidupan masyarakat di Indonesia sebagai penghasil daging dan telur. Itik
merupakan jenis unggas yang termasuk dalam class Aves seperti halnya ayam. Haqiqi
(2008), taksonomi itik adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Aves
Subclass : Neornithes
Family : Anatidae
Genus : Anas
Species : Anas sp.
Itik berasal dari Amerika Utara yang pada awalnya merupakan itik liar
(Anas moscha) atau Wild mallard. Itik yang dipelihara oleh manusia adalah itik yang
sudah dijinakkan dan dikenal dengan Anas domesticus (ternak itik). Indonesisa
memiliki beragam jenis itik lokal dengan karakteristik yang berbeda-beda disetiap
daerah dan pemberian namanya disesuaikan dengan daerah asal itik. Menurut
Prasetyo et al., (2006) itik lokal adalah keturunan dari tetua pendatang yang telah
mengalami domestikasi tetapi belum jelas tahun masuk tetua tersebut ke wilayah
Indonesia.
Itik berperan sebagai penghasil telur dan daging. Sebanyak 19,35% dari
793.800 ton kebutuhan telur di Indonesia diperoleh dari telur itik. Perannya sebagai
penghasil daging masih rendah yaitu hanya 0,94% dari 1.450.700 ton kebutuhan
daging nasional (DITJENNAK, 2001).Jun et al. (1996) dan Kim et al. (2006),
menyatakan bahwa kadar protein daging itik berkisar antara 18,6–20,1% dan
kandungan lemak berkisar antara 2,7– 6,8%. Jun et al. (1996) dan Kim et al. (2006),
menyatakan bahwa kadar protein daging itik berkisar antara 18,6–20,1% dan
kandungan lemak berkisar antara 2,7– 6,8%.
Menurut Suharno dan Amri (2010) ciri dan karakteristik itik secara umum
yaitu memiliki tubuh langsing, berleher panjang, kaki lebih pendek dibandingkan
tubuhnya, antara jari yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan selaput
yang berguna saat berenang, warna bulunya coklat muda, putih dan hitam, bulunya
tebal dan berminyak sehingga terlihat mengkilat yang gunanya untuk menghalangi
airmasuk ke tubuhnya ketika sedang berada di dalam air. Suhu yang dibutuhkan untuk
mendukung pemeliharaan itik berkisar antara 24-31oC dan kelembapan anatara 60-
65% agar diperoleh produktivitas yang baik (Supriyadi, 2011).
Itik cukup digemari peternak di Indonesia karena memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan ternak unggas lainnya antara lain memiliki daya adaptasi
yang baik, tahan terhadap penyakit dan proses pemeliharaannya cukup mudah
(Akhadiarto, 2002). Periode pemeliharaan itik tipe petelur terdiri dari periode starter
umur 0 - 8 minggu, grower saat berumur 9 - 20 minggu dan layer setelah 20 minggu.
Sedangkan periode pemeliharaan itik tipe pedaging adalah periode starter (0 – 3
minggu),grower/finisher (4 - 10 minggu) (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,
2010).
2.2 Itik Bayang
Itik Bayang merupakan sumber daya genetik ternak itik di Provinsi Sumatera
Barat yang berperan penting sebagai penghasil daging dan telur. Rusfidra dan
Heryandi (2010); Rusfidra et. al. (2012); Kusnadi dan Rahim (2009) menyatakan
bahwa itik Bayang merupakan itik Lokal yang dipelihara petani/peternak di
Kabupaten Pesisir Selatan dan sangat potensial dikembangkan sebagai penghasil
daging dan telur.

2.3 Serat Kasar


Serat kasar merupakan sisa bahan makanan yang telah mengalami proses
pemanasan dengan asam kuat dan basa kuat selama 30 menit berturut-turut dalam
prosedur yang dilakukan di laboratorium (Piliang dan Djojosoebagio, 1996). Serat
kasar pada unggas memiliki manfaat yaitu membantu gerak peristaltik usus,
mencegah penggumpalan pakan pada seka, mempercepat laju digesta dan memacu
perkembangan organ pencernaan. Serat kasar yang tinggi menyebabkan unggas
merasa kenyang, sehingga dapat menurunkan konsumsi karena serat kasar bersifat
voluminous (Amrullah, 2004).
2.4 Masa Pemulihan
Pemulihan merupakan suatu upaya tubuh untuk menetralkan kondisi yang
tidak normal serta menjaga morfologi kelangsungan jaringan. Tanpa proses
pemulihan mahkluk hidup tidak akan mampu bertahan dalam lingkungan atau kondisi
yang akan membahayakannya (Robbins, 1992).
Lama pemulihan akibat konsumsi serat kasar tinggi diduga berkorelasi erat
dengan tingkat serat kasar yang diberikan. Gonzales (2007); Hetland dan Svihus
(2001) melaporkan bahwa serat berperan penting dalam perubahan morfologi dan
histologi saluran pencernaan yang ditandai dengan peningkatan ukuran. Pengaruh
serat kasar terhadap bobot organ saluran pencernaan yang sangat berkaitan dengan
tingkat kecernaan ransum. Serat kasar yang tinggi memicu organ-organ saluran
pencernaan bekerja lebih berat sehingga terjadi perubahan morfologi yang ditandai
dengan peningkatan ukuran.
2.5 Sistem Pemeliharaan
Perbedaan dari sistem pemeliharaan intensif dan semi intensif adalah tempat
pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan pakan itik. Pakan sangat mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi itik. Protein diperlukan untuk pertumbuhan, menggantikan
jaringan tubuh, dan untuk pembentuk antibodi yang berguna untuk melawan
penyakit. Energi dibutuhkan untuk segala aktivitas tubuh dan apabila jumlahnya
berlebih akan disimpan dalam bentuk lemak (Suharno et al.. 2002).
Penelitian Tumanggor et al. (2017) menunjukkan, bahwa itik yang dipelihara
dengan sistem semi intensif dengan sesekali digembalakan di sawah memiliki
produktivitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan itik yang dipelihara dengan
sistem intentif. Itik yang dipelihara dengan sistem semi intensif dan sesekali
digembalakan di sawah akan mendapat nutrisi tambahan yang lebih baik dari pada
hanya diberikan nutrisi dari pakan ternah hasil pabrikan.
Pemeliharaan itik sebagian besar masih dilakukan secara tradisional,
digembala di sawah, dan/atau di rawa-rawa. Pemeliharaan itik di sawah mempunyai
pengaruh baik pada peternaknya maupun pada petani pemilik sawah. Cara
pemeliharaan ini cukup penting sebagai lapangan kerja bagi masyarakat pedesaan
yang mempunyai "skill"/kemampuan dan modal yang terbatas. Pemberian pakan
tambahan secara tepat berupa premix (campuran beberapa bahan pakan lokal) pada
itik gembala dapat meningkatkan produksi (Setioko dkk., 2000).
Dalam pemeliharaan itik ada hal-hal yang diperhatikan sebelum ternak itik
dikembangbiakkan, diantaranya memilih lokasi yang tepat, mengetahui jenis-jenis
kandang pemeliharaan sesuai jenis itik yang dipelihara, perizinan, hingga mengetahui
kebutuhan ransum, vitamin dan obat-obatan bagi ternak itik (Wakhid, 2010). Rasyaf
(2004) menyatakan sistem pemeliharaan itik terdiri dari sistem ekstensif, semi
intensif dan intensif. Sistem ekstensif merupakan pemeliharaan secara tradisional
yang tidak ada campur tangan manusia sebagai pemiliknya karena dilepas begitu saja
pada pagi hari dan itik akan datang dengan sendirinya pada sore harinya lalu
dimasukkan kedalam kandang, sementara semi intensif ada sebahagian campur
tangan pemeliharaan. Sistem intensif adalah campur tangan manusia sangat berperan
dalam kehidupan ternak, cara ini memerlukan modal tambahan tetapi jauh lebih
memuaskan dari pemeliharaan lain karena peternak dapat memantau pertumbuhan
ternak dan hasil yang diperoleh lebih maksimal.

2.6 Ransum
Ransum adalah makanan yang terdiri dari satu atau lebih bahan makanan yang
diberikan untuk memenuhi kebutuhan ternak selama 24 jam atau sehari semalam dan
ransum dikatakan sempurna apabila cukup mengandung zat-zat makanan tersebut
seimbang dalam kebutuhan ternak (Lubis, 1963). Ransum yang baik yaitu memiliki
kandungan nutrisi yang lengkap dan seimbang untuk memenuhi kebutuhan ternak
terutama kandungan protein dan energi. Setiap jenis ternak mempunyai kebutuhan
nutrisi yang berbeda, karena itu terdapat standar kebutuhan untuk setiap jenisternak
dengan fungsi produksi yang khusus (Suprijatnaet al., 2005).
Ransum merupakan bahan makanan yang diberikan kepada ternak untuk
memenuhi kebutuhan ternak selama 24 jam atau sehari semalam yang mengandung
zat-zat yang dibutuhkan ternak. Bahan makanan untuk ransum itik tidak berbeda
dengan ayam (Wahju , 2004). Bahan pakan yang digunakan dalam menyusun pakan
itik belum ada aturan bakunya, yang terpenting kandungan nutriennya dalam ransum
sesuai dengan kebutuhan itik, ransum dasar dianggap telah memenuhi standar
kebutuhan ternak apabila cukup energi, protein, serta imbngan asam amino yang tepat
(Rasyaf, 1993). Ransum merupakan bahan pakan yang telah dibuat dan biasanya
terdiri dari berbagai jenis bahan dan komposisi tertentu, ransum itik biasanya terbuat
dari bahan nabati dan hewani (Sudoro dan Siriwa, 2000)
2.7 Bungkil Inti Sawit
Limbah pabrik sawit seperti bungkil inti sawit dan lumpur sawit yang tersedia
banyak di Indonesia tetapi mengandung kadar serat kasar tinggi berpeluang dipakai
sebagai pakan itik (BESTARI et al., 1992). Dikenal dua jenis limbah industri minyak
sawit yaitu (1) bungkil inti sawit dan (2) lumpur sawit yang belum biasa digunakan
sebagai pakan itik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tingginya serat kasar, atau
terkontaminasi tempurung sawit serta rendahnya palatabilitas limbah tersebut untuk
itik. Fermentasi bungkil inti sawit maupun lumpur sawit ternyata dapat meningkatkan
kadar protein inti sawit dari 14,19% menjadi 25,06% serta menurunkan serat kasar
dari 21,27% menjadi 19,75%. Fermentasi lumpur sawit juga meningkatkan
kandungan protein kasar dari 11,94% menjadi 22,6% dan menurunkan kandungan
serat (NDF) dari 62,8% menjadi 52,1%. Penggunaan limbah sawit untuk itik
disarankan tidak lebih dari 20% dalam pakan itik (SINURAT, 2000).
2.8 kakao
Tanaman kakao yang mempunyai nama latin Theobroma cacao L. atau biasa
kita sebut dengan coklat merupakan tanaman yang banyak ditemukan tumbuh di
daerah tropis. Kakao secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki
sistem inkompatibilitas sendiri. Buah tumbuh dari bunga yang diserbuki. Ukuran
buah jauh lebih besar dari bunganya, dan berbentuk bulat hingga memanjang. Buah
terdiri dari 5 daun buah dan memiliki ruang serta di dalamnya terdapat biji. Warna
buah berubah-ubah. Sewaktu muda berwarna hijau hingga ungu. Apabila masak kulit
luar buah biasanya berwarna kuning.
Kulit kakao memiliki senyawa antinutrisi antara lain lignin dan tanin.
Penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan ternak telah banyak dilakukan peneliti
seperti Martini (2002) kulit buah kakao dapat diberikan pada broiler sampai level
10% karena terbatasnya penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan ternak unggas
disebabkan tingginya kandungan serat kasar pada kulit kakao yaitu 20,79%, unggas
tidak mampu menghasilkan enzim selulase yang dapat mendegradasi selulosa
menjadi glukosa (Tarka et al.1998).
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tanaman perkebunan yang
cukup banyak dikembangkan di Indonesia. Indonesia memiliki areal perkebunan yang
sangat luas. Luas areal perkebunan kakao di Indonesia mencapai 959.000 ha. Selama
lima belas tahun terakhir ini produksi kakao terus meningkat mencapai 70.919 ton
pada tahun 2010. Jika proporsi limbah mencapai 75 % dari produksi, maka kulit buah
kakao mencapai 53.190 ton per tahun.
Nuraini menyatakan ditinjau dari segi kandungan zat-zat makanan kulit buah
kakao dapat dijadikan sebagai pakan ternak karena mengandung protein kasar
11,71%, serat kasar 20,79%, lemak 11,80% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
34,90%.
Tanaman kakao (Theobroma cacao, L) atau biasa disebut dengan cokelat
merupakan tanaman yang tumbuh di daerah tropis. Di Indonesia tanaman kakao
sendiri tersebar sebagian besar di beberapa pulau seluruh wilayah Indonesia,
diantaranya di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Berdasarkan
survei lapangan kulit buah kakao dibuang begitu saja, tanpa ada yang memanfaatkan.
Potensinya kulit buah kakao dapat dijadikan sebagai pakan alternatif ternak baik
ruminansia maupun unggas. Ketersediaan kulit buah kakao cukup banyak karena
sekitar 75% dari satu buah kakao utuh adalah berupa kulit buah, sedangkan biji kakao
sebanyak 23% dan plasenta 2% (Wawo, (2008) dalam bungatang, 2016).
Komposisi buah kakao terdiri dari 74% kulit, 24% biji kakao dan 2% plasenta.
Berdasarkan komposisi tersebut, kulit buah kakao merupakan komposisi terbesar dari
produksi buah kakao (sari 2012). Menurut Guntoro (2006) bahwa pemanfaatan
limbah dapat meningkatkan produktivitas (pertumbuhan, produksi susu, telur dan
lain-lain). Pemanfaatan kulit kakao dengan proses fermentasi diharapkan mampu
meningkatkan potensi kulit kakao sebagai bahan pakan alternatif yang berkualitas
tinggi dan dapat mempengaruhi kandungan protein, lemak dan serat kasar kulit kakao
(Anonim, 2010).
Sari (2012) melaporkan bahwa `kuliat kakao yang difermentasi dengan
menggunakan Aspergillus niger mampu meningkatkan nilai nutrisi limbah kulit
kakao, yaitu kandungan protein meningkat dari 9,88% menjadi 17,12% dan
kandungan serat kasar turun yakni dari 7,10% menjadi 4,15%.
2.9 Probiotik Waretha (Bacillus amyloliquefaciens)
Probiotik Waretha (Bacillus amyloliquefaciens) memiliki keunggulan
meningkatkan efisiensi penggunaan ransum, pertambahan berat badan, persentase
karkas, mengurangi populasi bakteri E. Coli, mengurangi liter tidak basah dan tidak
berbau, serta dapat menurunkan kadar kolesterol pada daging dan telur (Wizna,
2007). Probiotik adalah mikroba hidup yang diberikan sebagai suplemen makanan
pada ternak dengan tujuan untuk memperbaiki kesehatan dan perkembangan mikroba
usus, meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan, serta menekan biaya produksi
(Hartono dan Kurtini,2015).
2.10 Laju pertumbuhan
Pertumbuhan yaitu “perubahan dalam ukuran” dimana dapat diukur sebagai
panjang, volume atau berat. Masa hidup hewan dapat dibagai menjadi masa
percepatan dan perlambatan pertumbuhan. Umumnya masa percepatan terjadi
sebelum ternak mengalami pubertas ( dewasa kelamin) (Susanti, 2003).
Brody (1945) menyatakan laju pertumbuhan relative (LPR) “self accelerating
phase” didefinisikan sebagai kecepatan tumbuh absolut dibagi dengan setengah
jumlah bobot badan awal dan bobot badan akhir pengamatan. Kecepatan
pertumbuhan dapat merupakan pertambahan berat badan perminggu yang
berkembang sejak ayam menetas sampai umur 8 minggu, setelah itu pertumbuhan
ayam menurun secara bertahap (Card, 1962).
2.11 Intake protein
Intake Protein adalah konsumsi zat-zat organik yang mengandung karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan phospor (Anggorodi, 1995). Wahju (2004)
menyatakan besarnya konsumsi ransum tergantung pada kandungan protein ransum.
Gultom (2014) menyatakan bahwa konsumsi protein yang tinggi
akan mempengaruhi asupan protein kedalam daging dan asam-asam amino tercukupi
didalam tubuhnya sehingga metabolisme sel-sel dalam tubuh berlangsung secara
normal. Tampubolon dan Bintang (2012) menyatakan bahwa asupan protein
dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahju
(2004) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum dalam jumlah yang besar akan
diikuti oleh konsumsi protein yang besar pula.
Dari hasil penelitian sebelumnya Amelia (2017) menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian level protein memberikan pengaruh berbeda sangat nyata
(P<0,01) terhadap intake protein broiler dengan rataan tertinggi terdapat pada
pemberian level protein B3 yaitu 23 % dengan nilai rataan 878,14 gram/ekor dan
yang paling terendah pada pemberian level protein B1 yaitu 19% dengan nilai rataan
765,16 gram/ekor.
2.12 Intake Energi
Untuk mendapatkan banyaknya energi yang dikonsumsi (energy intake) dapat
dihitung dari banyaknya ransum yang dikonsumsi dikalikan dengan kandungan energi
metabolis dalam ransum. Tingkat energi di dalam makanan menentukan banyaknya
makanan yang dikonsumsi, sehingga dapat diperhitungkan berapa energi yang
dikonsumsi untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi yang
diharapkan (Dulatip, 2002). Hargis and Ceger (1990) menyatakan bahwa kebutuhan
energi diatas kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan akan ditimbun menjadi lemak
tubuh.
Menurut Wahju (2004) ternak mengkonsumsi pakan untuk memenuhi
kebutuhan akan energi dan nutrien lainnya dalam tubuh. Itik akan berhenti makanbila
itik merasa kebutuhan energinya telah terpenuhi (Rasyaf, 2004). Energi ransum yang
dikonsumsi hewan dapat digunakan dalam 3 cara yang berbeda yaitu dapat
menyediakan energi untuk kerja, dapat dirubah menjadi panas atau dapat disimpan
sebagai jaringan tubuh. Energi ransum yang melebihi energi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan normal dan fungsi-fungsi lainnya dalam tubuh disimpan dalam bentuk
lemak. Soeharsono (1976) menyatakan bahwa energi yang berlebihan akan disimpan
dalam bentuk lemak yang umumnya terkumpul dalam rongga perut sebagai lemak
abdomen. Penimbunan lemak ini merupakan penghamburan energi yang merugikan
berat karkas, disamping lemak itu sendiri akhirnya dibuang waktu pengolahan.
Faktor yang mempengaruhi intake protein adalah konsumsi pakan, kandungan
protein dalm ransum, energi dalam ransum, jenis dan ukuran ternak, tahapan produksi
serta temperatur lingkungan yang sama (Wahju, 2004).

Anda mungkin juga menyukai