PROPOSAL PENELITIAN
Oleh :
RATIH SUKMAWATI
1710611087
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2020
PENGARUH PENGGUNAAN BEBERAPA PAKAN KOMERSIAL YANG
DITAMBAH WARETHA PADA MASA PEMULIHAN TERHADAP LAJU
PERTUMBUHAN ITIK BAYANG JANTAN SETELAH PEMBERIAN SERAT
KASAR TINGGI
PROPOSAL
Oleh:
RATIH SUKMAWATI
1710611087
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2020
I. PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Itik
Itik adalah salah satu jenis unggas air yang kehadirannya telah lama menyatu
dengan kehidupan masyarakat di Indonesia sebagai penghasil daging dan telur. Itik
merupakan jenis unggas yang termasuk dalam class Aves seperti halnya ayam. Haqiqi
(2008), taksonomi itik adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Aves
Subclass : Neornithes
Family : Anatidae
Genus : Anas
Species : Anas sp.
Itik berasal dari Amerika Utara yang pada awalnya merupakan itik liar
(Anas moscha) atau Wild mallard. Itik yang dipelihara oleh manusia adalah itik yang
sudah dijinakkan dan dikenal dengan Anas domesticus (ternak itik). Indonesisa
memiliki beragam jenis itik lokal dengan karakteristik yang berbeda-beda disetiap
daerah dan pemberian namanya disesuaikan dengan daerah asal itik. Menurut
Prasetyo et al., (2006) itik lokal adalah keturunan dari tetua pendatang yang telah
mengalami domestikasi tetapi belum jelas tahun masuk tetua tersebut ke wilayah
Indonesia.
Itik berperan sebagai penghasil telur dan daging. Sebanyak 19,35% dari
793.800 ton kebutuhan telur di Indonesia diperoleh dari telur itik. Perannya sebagai
penghasil daging masih rendah yaitu hanya 0,94% dari 1.450.700 ton kebutuhan
daging nasional (DITJENNAK, 2001).Jun et al. (1996) dan Kim et al. (2006),
menyatakan bahwa kadar protein daging itik berkisar antara 18,6–20,1% dan
kandungan lemak berkisar antara 2,7– 6,8%. Jun et al. (1996) dan Kim et al. (2006),
menyatakan bahwa kadar protein daging itik berkisar antara 18,6–20,1% dan
kandungan lemak berkisar antara 2,7– 6,8%.
Menurut Suharno dan Amri (2010) ciri dan karakteristik itik secara umum
yaitu memiliki tubuh langsing, berleher panjang, kaki lebih pendek dibandingkan
tubuhnya, antara jari yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan selaput
yang berguna saat berenang, warna bulunya coklat muda, putih dan hitam, bulunya
tebal dan berminyak sehingga terlihat mengkilat yang gunanya untuk menghalangi
airmasuk ke tubuhnya ketika sedang berada di dalam air. Suhu yang dibutuhkan untuk
mendukung pemeliharaan itik berkisar antara 24-31oC dan kelembapan anatara 60-
65% agar diperoleh produktivitas yang baik (Supriyadi, 2011).
Itik cukup digemari peternak di Indonesia karena memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan ternak unggas lainnya antara lain memiliki daya adaptasi
yang baik, tahan terhadap penyakit dan proses pemeliharaannya cukup mudah
(Akhadiarto, 2002). Periode pemeliharaan itik tipe petelur terdiri dari periode starter
umur 0 - 8 minggu, grower saat berumur 9 - 20 minggu dan layer setelah 20 minggu.
Sedangkan periode pemeliharaan itik tipe pedaging adalah periode starter (0 – 3
minggu),grower/finisher (4 - 10 minggu) (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,
2010).
2.2 Itik Bayang
Itik Bayang merupakan sumber daya genetik ternak itik di Provinsi Sumatera
Barat yang berperan penting sebagai penghasil daging dan telur. Rusfidra dan
Heryandi (2010); Rusfidra et. al. (2012); Kusnadi dan Rahim (2009) menyatakan
bahwa itik Bayang merupakan itik Lokal yang dipelihara petani/peternak di
Kabupaten Pesisir Selatan dan sangat potensial dikembangkan sebagai penghasil
daging dan telur.
2.6 Ransum
Ransum adalah makanan yang terdiri dari satu atau lebih bahan makanan yang
diberikan untuk memenuhi kebutuhan ternak selama 24 jam atau sehari semalam dan
ransum dikatakan sempurna apabila cukup mengandung zat-zat makanan tersebut
seimbang dalam kebutuhan ternak (Lubis, 1963). Ransum yang baik yaitu memiliki
kandungan nutrisi yang lengkap dan seimbang untuk memenuhi kebutuhan ternak
terutama kandungan protein dan energi. Setiap jenis ternak mempunyai kebutuhan
nutrisi yang berbeda, karena itu terdapat standar kebutuhan untuk setiap jenisternak
dengan fungsi produksi yang khusus (Suprijatnaet al., 2005).
Ransum merupakan bahan makanan yang diberikan kepada ternak untuk
memenuhi kebutuhan ternak selama 24 jam atau sehari semalam yang mengandung
zat-zat yang dibutuhkan ternak. Bahan makanan untuk ransum itik tidak berbeda
dengan ayam (Wahju , 2004). Bahan pakan yang digunakan dalam menyusun pakan
itik belum ada aturan bakunya, yang terpenting kandungan nutriennya dalam ransum
sesuai dengan kebutuhan itik, ransum dasar dianggap telah memenuhi standar
kebutuhan ternak apabila cukup energi, protein, serta imbngan asam amino yang tepat
(Rasyaf, 1993). Ransum merupakan bahan pakan yang telah dibuat dan biasanya
terdiri dari berbagai jenis bahan dan komposisi tertentu, ransum itik biasanya terbuat
dari bahan nabati dan hewani (Sudoro dan Siriwa, 2000)
2.7 Bungkil Inti Sawit
Limbah pabrik sawit seperti bungkil inti sawit dan lumpur sawit yang tersedia
banyak di Indonesia tetapi mengandung kadar serat kasar tinggi berpeluang dipakai
sebagai pakan itik (BESTARI et al., 1992). Dikenal dua jenis limbah industri minyak
sawit yaitu (1) bungkil inti sawit dan (2) lumpur sawit yang belum biasa digunakan
sebagai pakan itik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tingginya serat kasar, atau
terkontaminasi tempurung sawit serta rendahnya palatabilitas limbah tersebut untuk
itik. Fermentasi bungkil inti sawit maupun lumpur sawit ternyata dapat meningkatkan
kadar protein inti sawit dari 14,19% menjadi 25,06% serta menurunkan serat kasar
dari 21,27% menjadi 19,75%. Fermentasi lumpur sawit juga meningkatkan
kandungan protein kasar dari 11,94% menjadi 22,6% dan menurunkan kandungan
serat (NDF) dari 62,8% menjadi 52,1%. Penggunaan limbah sawit untuk itik
disarankan tidak lebih dari 20% dalam pakan itik (SINURAT, 2000).
2.8 kakao
Tanaman kakao yang mempunyai nama latin Theobroma cacao L. atau biasa
kita sebut dengan coklat merupakan tanaman yang banyak ditemukan tumbuh di
daerah tropis. Kakao secara umum adalah tumbuhan menyerbuk silang dan memiliki
sistem inkompatibilitas sendiri. Buah tumbuh dari bunga yang diserbuki. Ukuran
buah jauh lebih besar dari bunganya, dan berbentuk bulat hingga memanjang. Buah
terdiri dari 5 daun buah dan memiliki ruang serta di dalamnya terdapat biji. Warna
buah berubah-ubah. Sewaktu muda berwarna hijau hingga ungu. Apabila masak kulit
luar buah biasanya berwarna kuning.
Kulit kakao memiliki senyawa antinutrisi antara lain lignin dan tanin.
Penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan ternak telah banyak dilakukan peneliti
seperti Martini (2002) kulit buah kakao dapat diberikan pada broiler sampai level
10% karena terbatasnya penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan ternak unggas
disebabkan tingginya kandungan serat kasar pada kulit kakao yaitu 20,79%, unggas
tidak mampu menghasilkan enzim selulase yang dapat mendegradasi selulosa
menjadi glukosa (Tarka et al.1998).
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tanaman perkebunan yang
cukup banyak dikembangkan di Indonesia. Indonesia memiliki areal perkebunan yang
sangat luas. Luas areal perkebunan kakao di Indonesia mencapai 959.000 ha. Selama
lima belas tahun terakhir ini produksi kakao terus meningkat mencapai 70.919 ton
pada tahun 2010. Jika proporsi limbah mencapai 75 % dari produksi, maka kulit buah
kakao mencapai 53.190 ton per tahun.
Nuraini menyatakan ditinjau dari segi kandungan zat-zat makanan kulit buah
kakao dapat dijadikan sebagai pakan ternak karena mengandung protein kasar
11,71%, serat kasar 20,79%, lemak 11,80% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
34,90%.
Tanaman kakao (Theobroma cacao, L) atau biasa disebut dengan cokelat
merupakan tanaman yang tumbuh di daerah tropis. Di Indonesia tanaman kakao
sendiri tersebar sebagian besar di beberapa pulau seluruh wilayah Indonesia,
diantaranya di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Berdasarkan
survei lapangan kulit buah kakao dibuang begitu saja, tanpa ada yang memanfaatkan.
Potensinya kulit buah kakao dapat dijadikan sebagai pakan alternatif ternak baik
ruminansia maupun unggas. Ketersediaan kulit buah kakao cukup banyak karena
sekitar 75% dari satu buah kakao utuh adalah berupa kulit buah, sedangkan biji kakao
sebanyak 23% dan plasenta 2% (Wawo, (2008) dalam bungatang, 2016).
Komposisi buah kakao terdiri dari 74% kulit, 24% biji kakao dan 2% plasenta.
Berdasarkan komposisi tersebut, kulit buah kakao merupakan komposisi terbesar dari
produksi buah kakao (sari 2012). Menurut Guntoro (2006) bahwa pemanfaatan
limbah dapat meningkatkan produktivitas (pertumbuhan, produksi susu, telur dan
lain-lain). Pemanfaatan kulit kakao dengan proses fermentasi diharapkan mampu
meningkatkan potensi kulit kakao sebagai bahan pakan alternatif yang berkualitas
tinggi dan dapat mempengaruhi kandungan protein, lemak dan serat kasar kulit kakao
(Anonim, 2010).
Sari (2012) melaporkan bahwa `kuliat kakao yang difermentasi dengan
menggunakan Aspergillus niger mampu meningkatkan nilai nutrisi limbah kulit
kakao, yaitu kandungan protein meningkat dari 9,88% menjadi 17,12% dan
kandungan serat kasar turun yakni dari 7,10% menjadi 4,15%.
2.9 Probiotik Waretha (Bacillus amyloliquefaciens)
Probiotik Waretha (Bacillus amyloliquefaciens) memiliki keunggulan
meningkatkan efisiensi penggunaan ransum, pertambahan berat badan, persentase
karkas, mengurangi populasi bakteri E. Coli, mengurangi liter tidak basah dan tidak
berbau, serta dapat menurunkan kadar kolesterol pada daging dan telur (Wizna,
2007). Probiotik adalah mikroba hidup yang diberikan sebagai suplemen makanan
pada ternak dengan tujuan untuk memperbaiki kesehatan dan perkembangan mikroba
usus, meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan, serta menekan biaya produksi
(Hartono dan Kurtini,2015).
2.10 Laju pertumbuhan
Pertumbuhan yaitu “perubahan dalam ukuran” dimana dapat diukur sebagai
panjang, volume atau berat. Masa hidup hewan dapat dibagai menjadi masa
percepatan dan perlambatan pertumbuhan. Umumnya masa percepatan terjadi
sebelum ternak mengalami pubertas ( dewasa kelamin) (Susanti, 2003).
Brody (1945) menyatakan laju pertumbuhan relative (LPR) “self accelerating
phase” didefinisikan sebagai kecepatan tumbuh absolut dibagi dengan setengah
jumlah bobot badan awal dan bobot badan akhir pengamatan. Kecepatan
pertumbuhan dapat merupakan pertambahan berat badan perminggu yang
berkembang sejak ayam menetas sampai umur 8 minggu, setelah itu pertumbuhan
ayam menurun secara bertahap (Card, 1962).
2.11 Intake protein
Intake Protein adalah konsumsi zat-zat organik yang mengandung karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan phospor (Anggorodi, 1995). Wahju (2004)
menyatakan besarnya konsumsi ransum tergantung pada kandungan protein ransum.
Gultom (2014) menyatakan bahwa konsumsi protein yang tinggi
akan mempengaruhi asupan protein kedalam daging dan asam-asam amino tercukupi
didalam tubuhnya sehingga metabolisme sel-sel dalam tubuh berlangsung secara
normal. Tampubolon dan Bintang (2012) menyatakan bahwa asupan protein
dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahju
(2004) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum dalam jumlah yang besar akan
diikuti oleh konsumsi protein yang besar pula.
Dari hasil penelitian sebelumnya Amelia (2017) menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian level protein memberikan pengaruh berbeda sangat nyata
(P<0,01) terhadap intake protein broiler dengan rataan tertinggi terdapat pada
pemberian level protein B3 yaitu 23 % dengan nilai rataan 878,14 gram/ekor dan
yang paling terendah pada pemberian level protein B1 yaitu 19% dengan nilai rataan
765,16 gram/ekor.
2.12 Intake Energi
Untuk mendapatkan banyaknya energi yang dikonsumsi (energy intake) dapat
dihitung dari banyaknya ransum yang dikonsumsi dikalikan dengan kandungan energi
metabolis dalam ransum. Tingkat energi di dalam makanan menentukan banyaknya
makanan yang dikonsumsi, sehingga dapat diperhitungkan berapa energi yang
dikonsumsi untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi yang
diharapkan (Dulatip, 2002). Hargis and Ceger (1990) menyatakan bahwa kebutuhan
energi diatas kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan akan ditimbun menjadi lemak
tubuh.
Menurut Wahju (2004) ternak mengkonsumsi pakan untuk memenuhi
kebutuhan akan energi dan nutrien lainnya dalam tubuh. Itik akan berhenti makanbila
itik merasa kebutuhan energinya telah terpenuhi (Rasyaf, 2004). Energi ransum yang
dikonsumsi hewan dapat digunakan dalam 3 cara yang berbeda yaitu dapat
menyediakan energi untuk kerja, dapat dirubah menjadi panas atau dapat disimpan
sebagai jaringan tubuh. Energi ransum yang melebihi energi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan normal dan fungsi-fungsi lainnya dalam tubuh disimpan dalam bentuk
lemak. Soeharsono (1976) menyatakan bahwa energi yang berlebihan akan disimpan
dalam bentuk lemak yang umumnya terkumpul dalam rongga perut sebagai lemak
abdomen. Penimbunan lemak ini merupakan penghamburan energi yang merugikan
berat karkas, disamping lemak itu sendiri akhirnya dibuang waktu pengolahan.
Faktor yang mempengaruhi intake protein adalah konsumsi pakan, kandungan
protein dalm ransum, energi dalam ransum, jenis dan ukuran ternak, tahapan produksi
serta temperatur lingkungan yang sama (Wahju, 2004).