Anda di halaman 1dari 36

OPTIMALISASI PERFORMA TELUR BURUNG PUYUH BETINA

(Coturnix-coturnix japonica) YANG MENDAPAT BEBERAPA LAMA


PENCAHAYAAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS
TELUR PADA FASE PERTAMA PRODUKSI TELUR (FITRI)

OPTIMALISASI PERFORMA PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH


BETINA (Coturnix-coturnix japonica) YANG MENDAPAT BEBERAPA
LAMA PENCAHAYAAN TAMBAHAN PADA FASE PERTAMA
PRODUKSI TELUR (DINA)

PROPOSAL

OLEH:

FITRI NATALIA SIMAMORA


1910611142

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2022
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sub sektor peternakan merupakan sub sektor yang paling penting dalam menyediakan
bahan pangan hewani atau yang bersumber dari hewani bagi masyarakat. Puyuh selama
dikenal sebagai unggas lokal yang memiliki produksi telur tinggi, yaitu sekitar 240 – 250
butir per tahun. Sekurangnya dalam dua tiga dasawarsa terakhir sub sektor peternakan
memberikan dampak positif yang besar bagi masyarakat dalam meningkatkan gizi dan
memberikan kesejahteraan bagi peternak. Salah satu produk sub sektor peternakan yang dapat
memenuhi pangan asal hewani masyarakat berasal dari peternakan unggas, adalah peternakan
burung Puyuh (Coturnix-coturnix japonica).
Puyuh merupakan ternak unggas penghasil daging dan telur yang cukup potensial
setelah ternak ayam dan itik. Pengembangan peternakan burung Puyuh saat ini banyak
dinikmati oleh masyarakat untuk dimanfaatkan telur dan dagingnya yang memiliki
kandungan protein tinggi dan rendah lemak (Kartikayudha dkk,2014).Keunggulan burung
Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) lainnya adalah cara pemeliharaan yang tidak sulit dan
sangat mudah dibudidayakan,tidak memerlukan lahan atau kandang yang luas,cepat
bereproduksi,kemampuan produksi yang tinggi, kandungan gizi telur sangat tinggi dan
memiliki daya tahan tubuh yang tinggi terhadap penyakit jika dibandingkan dengan ternak
unggas lainnya (Maknum,2015). Peternakan burung Puyuh ini memiliki usaha profit yang
bagus dengan modal usaha yang kecil.
Indonesia memiliki beberapa jenis Puyuh lokal. Upaya pelestarian dan pengembangan
Puyuh lokal harus diupayakan guna mempertahankan keberadaan plasma nutfah ternak
Puyuh Indonesia yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Puyuh merupakan
rumpun Puyuh dari Sumatera Barat yang cukup banyak dipelihara masyarakat walaupun
populasinya belum tersebar merata di Sumatera Barat apalagi dikenal baik di seluruh pelosok.
Puyuh telah dibudayakan secara turun-temurun. Puyuh mempunyai keseragaman
bentuk fisik dan komposisi genetik serta kemampuan adaptasi dengan baik pada keterbatasan
lingkungan. Puyuh mempunyai ciri khas yang berbeda dengan rumpun Puyuh asli atau Puyuh
lokal lainnya dan merupakan kekayaan sumber daya genetik ternak lokal Indonesia yang
perlu dilindungi dan dilestarikan.
Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan(2018) menyatakan bahwa populasi burung
Puyuh di Indonesia saat ini mencapai 14,6 juta ekor dan meningkat 3,42% tiap tahunnya
menandakan burung Puyuh memiliki potensi besar dalam sektor peternakan untuk usaha kecil
menengah hingga besar di Indonesia yang didasarkan pemeliharaan dan membuka usaha
peternakan Puyuh secara komersial tidak terlalu rumit perawatannya (Florana,2017) yang
singkat yaitu dalam kurun waktu 42 hari dengan produksi daging dan telur yang baik (Subekti
dan Hastuti,2013). Di Sumatera Barat populasi ternak Puyuh pada tahun 2018 sebanyak
1.345.086 ekor, terutama di kabupaten Lima Puluh Kota merupakan produksi Puyuh
terbanyak di Sumatera Barat (Sumbar dalam Angka, 2019). Populasi ternak Puyuh di
Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2018 tercatat sebesar 623.819 ekor.
Burung Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) diternakkan di Indonesia memiliki dua
pemanfaatan yaitu sebagai penghasil telur dan daging.Burung Puyuh dimanfaatkan telurnya
adalah burung Puyuh betina sedangkan burung Puyuh yang dimanfaatkan dagingnya adalah
burung Puyuh jantan dan betina yang sudah diafkirkan (Pratiwi,2016). Puyuh jantan selain
dimanfaatkan untuk Puyuh bibit/ pejantan unggul, juga dimanfaatkan sebagai produksi
daging. Usaha ternak Puyuh memiliki resiko rendah dengan rata-rata mortalitas lebih rendah
tetapi perlu dilakukan upaya menghasilkan populasi pengganti agar populasi Puyuh yang
berkurang akibat konsumsi produk Puyuh (daging dan telur) atau Puyuh mati dapat
tergantikan.Peningkatan produksi daging dan telur dapat dicapai jika terjadi percepatan
peningkatan populasi Puyuh signifikan. Program yang mendukung percepatan peningkatan
populasi yaitu melalui pembibitan, reproduksi, teknologi penetasan dan kelembagaan harus
diintroduksikan pada kelompok peternak sehingga mendukung keberhasilan
percepatannya.Burung Puyuh berumur 0,6 minggu umumnya mengalami pertumbuhan dan
perkembangan badan untuk menentukan performanya.
Berdasarkan data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2018) produksi daging
Puyuh mengalami peningkatan dari tahun 2015-2018 yaitu berturut-turut 0,95 ton, 0,96 ton,
1,14 ton, 1,25 ton yang menandakan bahwa daging burung Puyuh bisa dijadikan sebagai
alternatif protein hewani bagi masyarakat dengan harga relatif terjangkau. Konsumsi telur
pertahunnya mengalami kenaikan dimana konsumsi telur pada tahun 2014 sebanyak
6.435.674 butir dan pada tahun 2018 meningkat sebanyak 25.534.704 butir (Dinas Kabupaten
Lima Puluh Kota, 2019).Tetapi hal ini sangat berbanding terbalik dengan populasi Puyuh dan
produksi telur.Misalnya pada Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2014 populasi ternak Puyuh
berjumlah 1.111.804 ekor menurun menjadi 623.819 ekor dan pada tahun 2018 dengan rata-
rata penurunan tiap tahunnya adalah sebesar 12%. Produksi telur Puyuh pun lima tahun
terakhir 2014 – 2018 juga mengalami penurunan dengan rata-rata tiap tahunnya sebesar 10%.
Jumlah produksi telur Puyuh mengalami penurunan dari 1.133.326 pada tahun 2014 menurun
menjadi 723.724 pada tahun 2018.Penurunan ini diakibatkan dari manajemen yang kurang
baik sehingga banyak peternak menutup usaha mereka.Hal ini sesuai dengan tingginya
permintaan dibanding produksi dan populasinya. .........(padatkan s 2 alenia ini).
Pada pemeliharaan Puyuh yang relatif cepat dalam memproduksi Puyuh yang semakin
meningkat,..... apa faktor yang mempengaruhi performa telur...... performa produksi ..dan
kupas...
Faktor yang mempengaruhi tersebut,,,, apa saja dan analisa...
diarahkan performa tersebut ke pengaruh lingkungan, fokuskan ke pengaruh cahaya.
Ceritakan bagaimana pengaruh cahaya terhadap performa telur / performa produksi
telur..............

beraneka macam pemanfaatan burung Puyuh betina (Cortunix cortunix japonica) dalam
penetasan menghasilkan telur tersebut berbanding terbalik dengan pemanfaatan Puyuh jantan
yang masih rendah, dalam suatu penetasan akan terdapat dua kemungkinan telur menetas
menjadi betina dan jantan, hal inilah yang mendasari pemanfaatan Puyuh menjadi ternak
komersial. Pemanfaatan burung Puyuh (Cortunix cortunix japonica) menjadi ternak
komersial sebagai penghasil daging dan telur yang optimal memiliki berbagai faktor salah
satu nya adalah faktor lingkungan dan faktor kecukupan nutrisi.Peningkatan produksi yang
ada dapat terwujud dengan pemberian pakan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan
burung Puyuh. Air minum juga sangat berpengaruh dalam produktivitas dan meningkatkan
performa yang ada pada burung Puyuh(Cortunix cortunix japonica).Air minum diberikan
secara ad libitium.
Faktor penting lainnya dalam pemeliharaan burung Puyuh (Cortunix cortunix japonica)
yaitu manajemen perkandangan burung Puyuh yang harus diperhatikan jika tidak sesuai akan
mengakibatkan stress pada burung Puyuh (Cortunix cortunix japonica). Sehingga
kenyamanan pada pemeliharaan burung Puyuh harus diperhatikan, untuk mendapatkan
produksi tertinggi pada fase layer cahaya dibutuhkan dalam proses pembentukan telur. Aspek
perkandangan yang perlu diperhatikan yaitu pemberian lampu sebagai sumber pencahayaan,
sebagai penerang agar ternak Puyuh dapat melakukan aktifitas makan dan minum, proses
pertumbuhan, dan produksi telur, selain itu juga berguna untuk menjaga suhu tubuh.

Jika pemberian cahaya terlalu panas maka perlu diperhatikan manajemen kandang agar
dapat terjadi pergantian udara dan suhu kandang. mFaktor pencahayaan ini di mana ternak
unggas akan aktif pada saat terdapat cahaya dan apabila lingkungannya gelap atau redup
unggas akan mengurangi aktivitasnya.Misalnya jika sumber panas dikerumuni Puyuh maka
temperaturnya terlalu rendah dan sebaliknya.Hal ini menandakan tingkah laku Puyuh
terhadap pencahayaan yang ada untuk menjaga keseimbangan suhu dan
temperatur.Temperatur ideal Puyuh yaitu 20-25˚C dan kelembapan 30-80%..Jika terlalu
tinggi akan menyebabkan sperma pejantan menurun sehingga tidak dapat
membuahi(fertilisasi) Puyuh betina. Cahaya ini berfungsi dalam stimulir kelenjar hipofisa
yang akan mensekresikan hormon gonadotropin ke dalam darah menuju alat reproduksi
sehingga pertumbuhan dan perkembangan ovarium meningkat dalam peningkatan produksi
telur, proses penglihatan,merangsang siklus internal dan menstimulasi pelepasan hormon baik
hormon pertumbuhan maupun hormon reproduksi. Selain itu cahaya juga sebagai pencegah
kejutan pada Puyuh karena Puyuh akan bergerombol di sudut selama beberapa waktu jika
terkejut sehingga tidak terjadi kematian.Peningkatan jumlah cahaya sampai 20 jam/hari dapat
meningkatkan produksi telur dan konversi pakan.
Cahaya memegang peran penting dalam proses pertumbuhan dewasa kelamin dan
produksi telur pada burung Puyuh (Sangi,Saerang,Nangov,dan Laihad 2017). Pada periode
starter cahaya berperan penting dalam proses pertumbuhan melalui pengaturan sekresi
hormon somatotropik (Card dan Nesheim,1972). Pada periode grower cahaya berperan dalam
proses pendewasaan kelamin melalui pengaturan sekresi hormon melatonin.Periode layer
cahaya berperan dalam proses produksi melalui pengaturan sekresi hormon Follicle
Stimulating Hormone (FSH) dan Leutinizing Hormone (LH) yang berperan dalam produksi
ovum pada akhirnya menentukan produksi telur (North dan bell 1990 dalam Triyanto 2007).
Pada malam hari burung Puyuh membutuhkan bantuan cahaya berupa dari lampu yang
menerangi agar dapat beraktivitas. Cahaya sangat dibutuhkan karena berfungsi sebagai
penerangan memberi kesempatan untuk makan dan minum penghangat dan yang paling
penting pada masa produksi pencahayaan yang baik mampu meningkatkan produksi telur
hingga 75% pemberian cahaya 14-16 jam/hari berperan memelihara fertilitas dan produksi
telur (Kasiyati,Adonia dan Intan ,2011). Menurut Elly dan Kinanti(2008) mengatakan bahwa
pencahayaan selama 16 jam pada umur 36 hari akan mencapai dewasa kelamin pada Puyuh
jantan dan pada Puyuh betina akan dewasa kelamin pada umur 55-57 hari dengan produksi
50% dan produktivitas telur rata-rata lebih dari 75%.
Proses rangsangan cahaya yang diterima oleh retina Puyuh akan menembus ke otak
Puyuh yang merangsang hipotalamus untuk menghasilkan hormon deutropin dan merangsang
kelenjar pituitari untuk menghasilkan Hormone Gonadotropin dan merangsang kelenjar
Pituitary untuk menghasilkan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Leutinizing Hormone
(LH) yang merangsang dan mempertahankan fungsi reproduksi (Pond and Wilson, 2000).
Setelah itu akan merangsang ke jaringan usus dan ovarium.Di dalam ini hormon estrogen
akan terjadi pembesaran vaskularisasi yang mana terjadi transpor darah yang akan berperan
dalam pembentukan telur dan menyediakan cadangan makanan dalam telur selama
diovarium.Dan juga terjadi mobilisasi kalsium,pembesaran ventilasi,dan mempengaruhi jenis
bulu betina.Ada juga hormon androgen yang akan memaksa transpor darah dalam
perkembangan telur diovarium serta pertumbuhan dalam tubuh.Dan juga ada hormon
oksitosin yang mempengaruhi oviposisi pada telur.
Pusat rangsangan syaraf yang mempengaruhi kerja hormon pada unggas terdapat pada
hipothalamus. Rangsangan syaraf dari luar akan ditransformasikan menuju hipothalamus
sehingga hipothalamus akan mensekresikan hormon- releasing factor (HRS). HRS yang
dihasilkan hipothalamus akan mengatur regulasi hormon yang dihasilkan oleh pituitari pars
anterior/PPA (anterior pars pituitary). PPA memproduksi hormon yang sifatnya dapat
mengatur kerja dari beberapa kelenjar endokrin. Beberapa hormon yang disekresikan PPA
antara lain Thyroid-stimulating hormone (TSH), Adrenocorticotrophic hormone (ACTH), dan
dua dua jenis Gonadotrophic hormone (GTH) yang masing-masing berefek pada aktivitas
kelenjar tiroid, kelenjar adrenal dan kelenjar kelamin dan juga menghasilkan Growth
hormone (GH) yang mengatur pertumbuhan tubuh unggas. Beberapa kelenjar tersebut akan
terangsang untuk menghasilkan hormon tertentu yang mempunyai fungsi tertentu (Nesheim
et al., 1979).Pituitari posterior menghasilkan hormon oxytocin dan vasopressin. Ovarium
menghasilkan hormon estrogen, progesteron dan androgen.
Hormon mempengaruhi proses reproduksi pada Puyuh betina terutama dipengaruhi oleh
hormon yang dihasilkan dari kelenjar pituitari dan ovarium.Kelenjar pituitari dibagi dalam
dua lobus yaitu pituitari anterior (adenohipofisa)dan pituitari posterior (neurohipofisa).
Pituitari anterior menghasilkan hormon reproduksi dan hormon metabolisme.
Follicle Stimulating Hormon (FSH) yaitu hormon gonadotropin yang menunjang
aktivitas.FSH menstimulasi pertumbuhan folikel ovarium dan mengaktifkan kerja ovarium
untuk mempersiapkan betina bereproduksi (Jull, 1951). Luteinizing hormon (LH) merupakan
hormon gonadotropin yang perperan dalam proses ovulasi folikel yolk yang telah masak.
Hormon LH merobek membran vetilen folikel pada bagian stigma sehingga ovum bisa
diovulasikan dari ovarium.
Luteotropic hormon (prolaktin/LTH) adalah hormon yang dihasilkan dari pituitari
anterior yang berpengaruh negatif terhadap kerja hormon gonadotropin. Hormon prolaktin
menyebabkan sifat mengeram dan berhentinya produksi telur.Hormon prolaktin pada ayam
secara alami disekresi pada akhir periode bertelur. Mekanisme terjadinya mengeram diawali
dari hasil akhir aktivitas hormon endokrin yang merupakan mediator untuk sekresi vasoactive
intestinal polypeptide (VIP) yang merupakan 28 asam amino neuropeptide. VIP dihasilkan
dari bagian utama hipotalamus yang mengaktifkan sekresi prolaktin dari pituitari anterior.
Hormon prolaktin mempertahankan kebiasaan mengeram dengan adanya aksi gen reseptor
prolaktin.
Hormon oksitosin merupakan hormon yang disekresi dari pituitari posterior. Hormon
oksitosin perperan terhadap proses peneluran (ovoposition) yaitu menstimulasi kontraksi
oviduk untuk menggerakkan telur keluar dari oviduk. Injeksi hormon oksitosin secara
intravena mampu menpercepat proses peneluran dan menstimulasi untuk bertelur.
Hormon estrogen yaitu hormon steroid yang dihasilkan ovarium.Hormon estrogen
berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan folikel serta menstimulasi pelepasan
LH.Dan juga hormon estrogen mempengaruhi perkembangan karakter seksual sekunder
betina,mempengaruhi perkembangan oviduk untuk persiapan bertelur,mempengaruhi
perkembangan tulang pubis dan kloaka sehingga mempermudah proses
bertelur,meningkatkan metabolisme kalsium untuk pembentukan kerabang
telur,meningkatkan metabolisme lemak untuk pertumbuhan yolk, mempengaruhi tingkah laku
kawin dan mengeram. Estrogen adalah hormon steroid yang diperlukan untuk pertumbuhan
folikel sehingga erat kaitannya dengan umur dewasa kelamin. Estrogen mempunyai peran
penting dan erat hubungannya dengan perangsangan dan perkembangan oviduk,sintesis
albumin oleh magnum serta kerabang oleh uterus (Nesheim et a1.,1979). Estrogen
berpengaruh pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau berahi.
Estrogen disintesis dari kolesterol terutama di ovarium, dan kelenjar lain misalnya korteks
adrenal, testis, dan plasenta. Sekresi estrogen meningkat sejak folikel ovarium mulai
berkembang menjelang dewasa kelamin. Tingginya produksi telur yang dicapai erat
kaitannya dengan kemampuan Puyuh untuk memproduksi hormon FSH dan LH yang
berperan dalam pembentukan folikel (Allen dan Schwatz, 1981).Estrogen juga mempunyai
peranan penting dalam metabolisme kalsium.Reseptor estrogen dapat dijumpai pada sel
granulose dan jaringan duodenum sehingga aktivitasnya mengekibatkan terjadinya
gelombang ionisasi kalsium yangsangat cepat pada sel granulose serta meningkatkan
transportasi kalsium dalam duodenum (Beck dan Hansen, 2004).
Hormon progesteron dihasilkan dari epiteliun supervisial ovum. Hormon progesteron
menstimulasi hipotalamus untuk mengaktifkan factor releasing hormone agar memacu
sekresi LH dari pituitari anterior. Dan juga bersama androgen mengatur perkembangan
oviduk untuk sekresi albumen dari magnum. Pemberian progesteron dengan dosis tinggi akan
mengakibatkan folikel atresia dan ovulasi terhambat.Progesteron yang bekerja terhadap
hormon releasing factor pada hipothalamus, menimbulkan terlepasnya Luteinizing
Hormone(LH) dari pituitari anterior yang selanjutnya menimbulkan terlepasnya sebuah yolk
yang telah masak dari ovarium. Progesteron juga berperan dalam menjalankan fungsi oviduk.
Ketika yolk turun melalui oviduk, bahan-bahan telur lainnya dibuat di sini.Pengeluaran telur
dari oviduk kemungkinan juga dipengaruhi oleh kontrol hormonal. Injeksi ekstrak pituitari
posterior akan menimbulkan pengeluaran sebuah telur dari uterus. Namun, kehilangan
pituitari posterior tidak menghilangkan kemampuan pengeluaran telur (oviposisi).Hormon
androgen pada betina membantu sekresi albumen dari magnum.
Tata laksana pemberian cahaya merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari
manajemen usaha peternakan sebagai upaya bahkan merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan peternak.Secara teori cahaya memiliki peranan yang besar terhadap
pertumbuhan dan reproduksi pada semua komoditas ternak,respon terhadap cahaya untuk
unggas dimulai ketika masih berada dalam telur yaitu pada proses penetasan fungsi utama
cahaya pada ternak. Unggas khususnya Puyuh tidak hanya memfasilitasi ternak agar dapat
aktivitas minum dan makan tapi dilakukan pada siang hari namun cahaya memiliki peranan
yang besar terhadap kerja hormonal terutama hormon LH dan FSH yang bekerja pada
pertumbuhan dan reproduksi.(Lalat 2007) menyatakan bahwa rangsangan cahaya pada
unggas mempengaruhi kerja sel-sel hipotalamus guna menghasilkan hormon GNR hormon
ini mempengaruhi sel yang ada pada anterior pituitari untuk menghasilkan glutanizing
hormon LH dan kulit stimulating hormon FSH.Kedua hormon dieskresi dan transportasi ke
ovarium melalui aliran darah guna mengaktifkan kerja ovari.
Durasi pencahayaan sebagian besar bergantung pada umur unggas dan tipe kandang yang
digunakan.Lama pencahayaan terlalu lama menyebabkan ternak menjadi stress akibat
kurangnya istirihat karena adanya cahaya akan membuat ternak tetap melakukan aktivitas,
selain itu pakan yang diberikan pada ternak juga sangat berpengaruh pada pertumbuhan
ternak yang berdampak pada nilai konversi pakan. Kandungan nutrisi dalam pakan yang
kurang memenuhi kebutuhan ternak juga berdampak pada perkembangan ternak. Lewis dan
Gous (2007), menyatakan jika proporsi pemberian pakan dan cahaya pada malam hari
bertujuan memberikan kesempatan bagi ternak agar dapat beristirahat dari aktivitas makan
demi mendukung proses pencernaan didalam tubuh sehingga dapat berlangsung secara
optimal dan mengurangi pengeluaran energi. Kliger, et al. (2000) menyatakan bahwa
program pencahayaan secara berselang akan merangsang hormon-hormon untuk bekerja
sesuai dengan fungsinya. Hormon tiroid akan berperan dalam deposisi protein pada saat
ternak memperoleh pada periode gelap, dan disaat terang hormon tiroksin akan bekerja
mengatur metabolisme. Sinergi kinerja hormon pada pencahayaan akan mempengaruhui
bobot badan.
Cahaya alami dan buatan menimbulkan proses peneluran terjadi lebih awal. Hasil
produksi optimal pada ayam sanggup dicapai dengan pencahayaan secara kontinyu selama
12-14 jam. Cahaya berwarna merah dan orange mempunyai imbas stimulasi yang lebih kuat
terhadap hipofisis dan gonad.Pada lama pencahayaan Mufti (1997), menyatakan bahwa
pemberian cahaya 16 jam per hari dan tingkat protein pakan 22,8% selama periode
pertumbuhan telah menghasilkan kinerja yang optimal selama periode pertumbuhan maupun
periode bertelur. Dan juga dapat meningkatkan produktivitas dan performance lebih baik
dibanding pencahayaan 12-14 jam.Peningkatan jumlah cahaya sampai 20 jam perhari dapat
menigkatkan produksi telur dan konversi ransum. Purwantoro (2005) menyatakan bahwa
untuk produksi telur yang optimum, Puyuh petelur membutuhkan 17 jam cahaya setiap hari,
dua belas jam adalah dari cahaya matahari dan lima jam dari cahaya lampu. Sudjarwo (2000)
mengatakan bahwa memelihara burung Puyuh agar memberikan hasil performan yang baik,
sebaiknya diberikan jenis lampu dengan lama pencahayaan setiap harinya 24 jam.
Sekresi hormon-hormon pada unggas dipengaruhi oleh cahaya. Cahaya bekerjasama
dengan waktu biologi (circadian clock) yang diatur oleh kelenjar pineal dalam mensekresikan
melatonin yang bisa mengatur kegiatan harian Puyuh. Kelenjar pineal merupakan kelenjar
endokrin kecil yang terletak di pusat otak menghasilkan hormon melatonin yang disekresikan
pada malam hari sehingga tidak ada kegiatan pada malam hari. Hormon melantonin berperan
pada performa dan produksi Puyuh.Hal ini dilihat pada malam hari Puyuh akan beristirahat
dan memacu untuk bertelur.Berdasarkan pengamatan Elly dan Kinanti (2008) 75% Puyuh
bertelur pada pukul 15.00-18.00 dan 20% bertelur saat hari gelap.
Hormon melantonin merupakan turunan dari asam amino triptrofan.Adapun produksinya
sendiri dipengaruhi oleh deteksi cahaya dan gelap dengan retina mata. Melatonin dihasilkan
oleh kelenjar pineal dan retina mata selama beberapa jam kondisi gelap sebagai respons
aktivitas serotonin-Nasetiltransferase, enzim yang mengkatalisis pembentukan melatonin baik
pada pineal maupun retina (Binkley et al., 1973). Melatonin yang berada dalam sistem
sirkulasi berperan dalam pengaturan ritme sirkadian temperatur tubuh, fungsi metabolisme,
pola konsumsi pakan/air minum dan digesti, serta sekresi beberapa limfokin yang berperan
dalam fungsi normal sistem imun (Apeldoorn et al., 1999).Dan juga bertindak sebagai
antioksidan, menetralkan radikal oksidatif berbahaya, dan mampu mengaktifkan enzim
antioksidan tertentu.Tidak hanya itu saja hormon melatonin juga menjaga kesehatan sel
sebagai regulator hormon yang lain,membantu kelancaran peredaran darah,membantu
menurunkan temperatur tubuh,membantu menurunkan kadar kolesterol.
Produksi melatonin dihambat ketika retina mendeteksi cahaya dan dirangsang tanpa
adanya cahaya.Melatonin merupakan antigonadotropin, sehingga jika kadar melatonin dalam
darah tinggi, maka perkembangan gonad akan berhenti (Mustonen, 2003).Menurut Gern et al.
(1978) dalam Davie (2005) mengatakan bahwa hormon melatonin akan menurun pada suatu
fase pencahayaan yang tinggi, dan sebaliknya akan meningkat pada fase gelap.
Pada tubuh unggas memproduksi lebih banyak melatonin pada malam hari. Tingkat
hormon biasanya meningkat di malam hari dan turun di pagi hari saat matahari terbit.Pada
siang hari, kelenjar pineal kurang aktif dan saat gelap (malam hari) pineal aktif dan
menghasilkan melatonin, yang dilepaskan ke dalam darah. Tingkat melatonin dalam darah
tetap tinggi selama sekitar 12 jam sampai sepanjang malam.Perubahan kadar hormon
melatonin disebabkan oleh tidak berfungsinya kelenjar pineal.Hormon melatonin memiliki
efek signifikan dalam mempengaruhi ritme sirkadian dan mengintegrasikan fotoperiode.
Melatonin dapat meningkatkan estrogen melalui perubahan kadar estrogen dalam sel
darah. Tingkat melatonin yang lebih tinggi menurunkan tingkat estrogen, dan tingkat
melatonin yang lebih rendah meningkatkan tingkat estrogen.
Jadi,pengaplikasian sistem pencahayaan merupakan salah satu inovasi yang dapat
digunakan dalam pemeliharaan burung Puyuh(Cortunix cortunix japonica) .Sistem
pencahayaan yang baik akan mempengaruhi konsumsi dan juga tingkah laku ternak.
Sehingga konsumsi yang akan dihabiskan untuk pengembangan ternak burung
Puyuh(Coturnix-coturnix japonica) dapat berjalan optimal. Pencahayaan merupakan faktor
penting dalam fase pemeliharaan pada ternak. Penambahan pencahayaan akan memberikan
kesempatan burung Puyuh(Coturnix-coturnix japonica) melakukan aktivitas yaitu makan dan
minum. Selain itu pencahayaan merangsang pola sekresi beberapa hormon yang mengontrol
pertumbuhan, pendewasaaan, reproduksi dan tingkah laku. Kesempatan yang diberikan untuk
makan dan minum pada malam hari sehingga feed intake meningkat.Program pencahayaan
yang tepat dapat meningkatkan performa telur burung Puyuh dan peranan cahaya terhadap
pertumbuhan dan reproduksi burung Puyuh begitu besar.Dan juga penambahan pencahayaan
berdasarkan lama pencahayaan yang dibutuhkan mempengaruhi produktivitas ternak dan
performa telur dimana performa telur ini diamati melalui kualitas telur(bobot telur, Quail Day
Production (QDP) ,massa telur dan tebal kerabang telur).
Beberapa peneliti pendahulu juga mengungkapkan bahwa lama pencahayaan
mempengaruhi terhadap produksi telur dan kualitas individual telur Puyuh. Banyak
permasalahan membuat ternak Puyuh memiliki keterbatasan dalam mendapatkan cahaya
optimal dengan intensitas pencahayaan yang cukup, seperti pemberian pencahayaan yang
tidak normal, model kandang, ukuran tinggi dalam kandang dan lainnya. Hal ini semua
berakibat pada pengaturan reproduksi Puyuh dan performa produksi telur.
Berdasarkan uraian diatas,penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul
“ Optimalisasi Performa Telur Burung Puyuh Betina(Coturnix-coturnix japonica)
terhadap Kualitas Telur(Bobot Telur, Quail Day Production (QDP), Massa Telur dan
Tebal Kerabang Telur) Fase Pertama Produksi Telur pada Lama Pencahayaan
Berbeda”. Robah, sesuaikan dengan juduk baru.....

OPTIMALISASI PERFORMA TELUR BURUNG PUYUH BETINA (Coturnix-


coturnix japonica) YANG MENDAPAT BEBERAPA LAMA PENCAHAYAAN DAN
PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS TELUR PADA FASE PERTAMA
PRODUKSI TELUR (FITRI)

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh lama pencahayaan terhadap performa telur Burung Puyuh
Betina (Coturnix-coturnix japonica) terhadap kualitas telur(Bobot Telur, Quail Day
Production (QDP), Massa Telur dan Tebal Kerabang Telur) pada Fase Pertama Produksi
Telur.

1.3. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh lama pencahayaan berbeda pada performa telur Burung
Puyuh Betina (Coturnix-coturnix japonica) terhadap kualitas telur (Bobot Telur, Quail Day
Production (QDP), Massa Telur dan Tebal Kerabang Telur) Fase Pertama Produksi Telur.

1.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian yang dilakukan dapat memberikan informasi, edukasi dan
pemahaman untuk mengetahui performa telur yang baik dari pengaruh lama pencahayaan
berbeda serta diharapkan penelitian ini dapat memberikan pedoman bagi penelitian
berikutnya yang meneliti berkaitan dengan penelitian.

1.5. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah performa telur burung Puyuh betina dipengaruhi
oleh kualitas telur (bobot telur, Quail Day Production (QDP) ,massa telur dan tebal kerabang
telur) pada fase pertama produksi telur dipengaruhi oleh lama pencahayaan berbeda.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Puyuh
Jenis Puyuh yang paling banyak diternakkan di Indonesia yaitu jenis Puyuh jepang
(Coturnix-coturnix japonica) merupakan salah satu sumber diversifikasi produk daging dan
telur. Dengan ukuran tubuh yang kecil, Puyuh memiliki keunikan, yaitu pertumbuhan yang
cepat, dewasa kelamin lebih awal, produksi telur yang relatif tinggi, interval generasi dalam
waktu singkat, dan periode inkubasi relatif cepat. Puyuh yang dikenal sekarang adalah hasil
penjinakan Puyuh liar. Jadi ternak Puyuh yang dipelihara biasa disebut Coturnix coturnix
japonica. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan(2018) menyatakan bahwa populasi
burung Puyuh saat ini mencapai 14,6 juta ekor dan meningkat 3,42% tiap tahunnya
menandakan burung Puyuh memiliki potensi besar di Indonesia yang didasarkan
pemeliharaan dan membuka usaha peternakan Puyuh secara komersial tidak terlalu rumit
perawatannya yang singkat yaitu dalam kurun waktu 42 hari dengan produksi daging dan
telur yang baik.
Klasifikasi burung Puyuh (Cortunix cortunix Japonica) dalam kelas
taksonomi(Wuryadi,2011) :

Kingdom : Animalia
Fillum : Chordata
Class : Aves
Familia : Phanasianiadae
Ordo : Galliformes
Genus : Cortunix

Nama lain Coturnix coturnix japonica dikenal dengan sebutan Common quail,Stubble
quail,Japanese Migratory quail,King quail,Japanese king quail atau lebih dikenal dengan
sebutan Japanese quail atau Puyuh jepang(Woodard,dkk., 1973).Puyuh Coturnix coturnix
japonica ini termasuk ke dalam famili phasionidae yang terdapat 4 jari kaki,3 menghadap ke
depan dan 1 jari ke belakang(Rahardja,1981: Nugroho dan Mayun,1986).Varietas burung
ouyuh ini dibedakan berdasarkan warna bulunya(Some,1979) yaitu menjadi 5 varietas Wild
Type,Manchurian Golden,British Range,English White dan Tuxedo.Umumnya Wild Type
atau Puyuh dominan warna coklat diternakkan di Indonesia sebagai penghasil telur dan
sebagian kecil penghasil daging.
Jenis Puyuh yang dipelihara dan dibudidayakan untuk dimanfaatkan telurnya adalah
dari jenis Coturnix coturnix japonica karena jenis ini memiliki kemampuan bertelur yang
cukup tinggi, yang mampu menghasilkan telur sekitar 250 - 300 butir telur/ekor/tahun.
Burung Puyuh betina sudah mulai masak kelamin pada umur 5-6 minggu (Febrian Rotikan,
L. J. Lambey, B. Bagau, J. Laihad, 2018).Burung Puyuh ini memiliki karakteristik paruh
pendek dan kuat,ukuran badan lebih besar dibandingkan Puyuh lainnya,ekor pendek dan
berbentuk bulat,warna kaki(shank) kekuningan.Pada Puyuh jantan dewasa terdapat bulu putih
berbentuk garis melengkung tebal di bagian mata,bulu dada berwarna merah sawo matang
polos tanpa adanya bercak-bercak coklat kehitaman,memiliki suara lebih keras.Berbeda
dengan Puyuh betina dadanya berwarna agak pucat,bergaris-garis atau bercak-bercak
kehitaman tetapi warna bulunya sama dengan Puyuh pejantan.Dewasa kelamin Puyuh sekitar
umur 35-40 hari.Berat badan Puyuh betina dewasa 142-144 gram/ekor dan pejantan 115-117
gram/ekor.Puyuh betina dapat betelur 200-300 butir/tahun. Eishu et al menyebutkan bahwa
pada burung Puyuh yang berumur 8-9 minggu dengan kandungan protein pakan 22% bobot
telurnya 9,2 gram, pada umur 20-21 dan 31-32 minggu dengan kandungan protein pakan 22%
bobot telurnya 10,1 gram dan 11,0 gram.
Fase pemeliharaan Puyuh dibagi menjadi 3 periode yaitu starter pada umur 0-3
minggu,grower pada umur 3-5 minggu dan layer(masa bertelur) pada umur >5 minggu.Pada
periode starter dan grower mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dan setelah itu
menurun secara perlahan(Djulardi dkk., 2006).Kebutuhan protein pada periode starter yaitu
24% dengan metabolis energi 3000 kkal/kg sedangkan pada periode grower dan layer
kebutuhan proteinnya 20% dengan metabolis energi 2800 kkal/kg.Hal ini mengalami
penurunan karena terjadinya pertumbuhan yang sangat cepat yaitu pertumbuhan dan
perbanyakan jumlah dan ukuran sel dalam tubuh.
Sistem pemeliharaan Puyuh dilakukan secara intensif dimana adanya campur tangan
manusia dalam membudidayakan ternak Puyuh.Puyuh dipelihara pada kandang
baterai(sistem sangkar) umumnya pada Puyuh petelur,kandang litter umumnya pada Puyuh
pedaging,dan kandang boks biasanya digunakan pada anak Puyuh(DOQ).Manajemen
perkandangan burung Puyuh ini harus diperhatikan jika tidak akan mengakibatkan stress pada
burung Puyuh (Cortunix cortunix japonica) sehingga kenyamanan pada pemeliharaan burung
Puyuh perlu dijaga, untuk mendapatkan produksi tertinggi pada fase layer cahaya dibutuhkan
dalam proses pembentukan telur. Aspek perkandangan yang perlu diperhatikan yaitu
pemberian lampu sebagai sumber pencahayaan, sebagai penerang agar ternak Puyuh dapat
melakukan aktifitas makan dan minum, proses pertumbuhan, dan produksi telur, selain itu
juga berguna untuk menjaga suhu tubuh. Pemanfaatan burung Puyuh (Cortunix cortunix
japonica) menjadi ternak komersial memiliki berbagai faktor salah satu nya adalah faktor
lingkungan dan faktor kecukupan nutrisi.Dalam pemeliharaan Puyuh untuk mendapatkan
produksi yang tinggi dilakukan pemberian pakan yang berkualitas dan sesuai dengan
kebutuhan burung Puyuh. Air minum juga sangat berpengaruh dalam produktivitas dan
meningkatkan performa yang ada pada burung Puyuh(Cortunix cortunix japonica).Air
minum diberikan secara ad libitium.

2.2.Cahaya
Pencahayaan merupakan salah satu parameter penunjang produktivitas unggas karena
menjadi faktor eksogen yang kuat dalam mengontrol berbagai macam proses fisiologis dan
perilaku. Olanrewaju et al. (2006), menjelaskan bahwa pencahayaan merupakan keterpaduan
dengan penglihatan, termasuk ketajaman visual dan pembedaan warna. Pencahayaan
memungkinkan untuk menetapkan keserasian dan mensinkronkan atau menyamakan banyak
fungsi esensial, termasuk temperatur tubuh dan berbagai langkah metabolis yang
mempermudah kegiatan makan dan pencernaan. Pencahayaan juga menstimulasi pola sekresi
beberapa hormon yang mengontrol sebagian besar pertumbuhan, kematangan atau
kedewasaan dan reproduksi (Sulistyoningsih dkk., 2013).Pencahayaan merupakan stimulan
positif bagi hipotalamus. Cahaya yang memancar membawa gelombang elektromagnetik
merangsang aktivitas hipotalamus pada ayam (Sulistyoningsih dkk., 2013).Cahaya dalam hal
ini lampu adalah faktor penting dan merupakan terobosan sistem pencahayaan yang efisien
contohnya dalam pengembangan peternakan ayam Arab.
Perbedaan umur fase awal bertelur juga dipengaruhi proses hormonal yang
menyebabkan perbedaan berat badan saat mencapai kematangan seksual. Selain itu,
pemberian pencahayaan yang tepat juga akan mempengaruhi tercapainya kematangan
seksual. Sangi dkk. (2017), cahaya berfungsi dalam proses penglihatan, merangsang siklus
internal dan menstimulasi pelepasan hormon, baik hormon pertumbuhan maupun hormon
reproduksi.
Salah satu hal yang penting dalam pemeliharaan burung Puyuh untuk produksi telur
adalah tata laksana pencahayaan. Berbagai upaya dilaksanakan untuk meningkatkan
produktivitas Puyuh dalam skala budi daya, seperti penambahan hormon, manipulasi pakan,
serta pemberian cahaya tambahan dengan tujuan akhir pertumbuhan optimal sehingga
produktivitas menjadi lebih baik. Cahaya merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat
memacu pertumbuhan dan mengendalikan berbagai proses biologis dalam tubuh unggas
(Ardiyanto dan Nurfiana., 2015).Peranan cahaya secara umum diketahui dapat
mempengaruhi tingkah laku unggas karena cahaya memfasilitasi unggas untuk melihat; yang
artinya unggas dapat beraktivitas dan adanya reaksi hormonal di dalam tubuhnya. Cahaya
yang masuk ke dalam ruangan dengan intensitas yang cukup memungkinkan unggas untuk
dapat melihat lingkungan sekitar, terutama pakan dan minum.Cahaya dapat memperbaiki
produksi telur dan pertumbuhan pada unggas.Cahaya mempengaruhi tingkah laku,laju
metabolik,aktivitas fisik,dan faktor fisiologi seperti reproduksi.Unggas merupakan ternak
yang peka terhadap rangsangan cahaya. Cahaya yang ditangkap unggas berasal dari
natural(sinar matahari) dan artifisial light(penerangan dikandang dengan bola lampu)Pada
periode starter cahaya berperan penting dalam proses pertumbuhan melalui pengaturan
sekresi hormon somatotropik. Pada periode grower cahaya berperan dalam proses
pendewasaan kelamin melalui pengaturan sekresi hormon melatonin. Pada periode layer,
cahaya berperan dalam proses produksi melalui pengaturan sekresi hormon LH (Luteinizing
Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang berperan dalam produksi oosit yang
pada akhirnya menentukan produksi telur. Salah satu aspek tatalaksana pemeliharaan burung
Puyuh petelur adalah pencahayaan yang dapat berpengaruh pada performans produksi.
Proses rangsangan cahaya yang diterima oleh retina Puyuh akan menembus ke otak
Puyuh yang merangsang hipotalamus dibagian posterior untuk menghasilkan hormon
deutropin dan merangsang kelenjar pituitari untuk menghasilkan Hormone Gonadotropin dan
merangsang kelenjar Pituitary untuk menghasilkan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan
Leutinizing Hormone (LH) yang merangsang dan mempertahankan fungsi reproduksi (Pond
and Wilson, 2000).Setelah itu akan merangsang ke jaringan usus dan ovarium.Di dalam ini
hormon estrogen akan terjadi pembesaran vaskularisasi yang mana terjadi transpor darah
yang akan berperan dalam pembentukan telur dan menyediakan cadangan makanan dalam
telur selama diovarium.Dan juga terjadi mobilisasi kalsium,pembesaran ventilasi,dan
mempengaruhi jenis bulu betina.Ada juga hormon androgen yang akan memaksa transpor
darah dalam perkembangan telur diovarium serta pertumbuhan dalam tubuh.Dan juga ada
hormon oksitosin yang mempengaruhi oviposisi pada telur.
Cahaya ini berfungsi dalam proses penglihatan,merangsang siklus internal dan
menstimulasi pelepasan hormon baik hormon pertumbuhan maupun hormon
reproduksi.Peningkatan jumlah cahaya sampai 20 jam/hari dapat meningkatkan produksi telur
dan konversi pakan.Cahaya memegang peran penting dalam proses pertumbuhan dewasa
kelamin dan produksi telur pada burung Puyuh (Sangi,Saerang,Nangov,dan Laihad 2017).
Pada malam hari burung Puyuh membutuhkan bantuan cahaya berupa dari lampu yang
menerangi agar dapat beraktivitas. Cahaya sangat dibutuhkan karena berfungsi sebagai
penerangan memberi kesempatan untuk makan dan minum penghangat dan yang paling
penting pada masa produksi pencahayaan yang baik mampu meningkatkan produksi telur
hingga 75% pemberian cahaya 14-16 jam/hari berperan memelihara fertilitas dan produksi
telur (Kasiyati,Adonia dan Intan ,2011).
Tata laksana pemberian cahaya merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari
manajemen usaha peternakan sebagai upaya bahkan merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan peternak.Secara teori cahaya memiliki peranan yang besar terhadap
pertumbuhan dan reproduksi pada semua komoditas ternak,respon terhadap cahaya untuk
unggas dimulai ketika masih berada dalam telur yaitu pada proses penetasan fungsi utama
cahaya pada ternak. Unggas khususnya Puyuh tidak hanya memfasilitasi ternak agar dapat
aktivitas minum dan makan tapi dilakukan pada siang hari namun cahaya memiliki peranan
yang besar terhadap kerja hormonal terutama hormon LH dan FSH yang bekerja pada
pertumbuhan dan reproduksi.(Lalat 2007) menyatakan bahwa rangsangan cahaya pada
unggas mempengaruhi kerja sel-sel hipotalamus guna menghasilkan hormon GNR hormon
ini mempengaruhi sel yang ada pada anterior pituitari untuk menghasilkan glutanizing
hormon LH dan kulit stimulating hormon FSH.Kedua hormon diskresi dan transportasi ke
ovarium melalui aliran darah guna mengaktifkan kerja ovari.
Tiga aspek penting yang diukur dan bekerja secara bersamaan guna memberikan respon
terhadap ternak unggas yaitu intensitas cahaya (intensity) yang diukur dengan satuan lux,
lama pencahayaan (fotoperiodik) diukur dengan satuan waktu dan panjang gelombang (wave
length) diukur dengan satuan nanometer. Panjang gelombang dan intensitas cahaya
berpengaruh pada rangsangan yang diterima retina unggas sedangkan panas yang dihasilkan
intensitas cahaya mempengaruhi respon pada kulit untuk mengenali kondisi lingkungan.Lama
pencahayaan memberikan stimulan pada ternak terhadap perubahan iklim.

2.3. Produksi Puyuh


Puyuh dapat mencapai puncak produksi pada umur sekitar 90 hari dengan produksi di
atas 88%. Produksi telur ditentukan oleh jumlah telur dalam satu clutch (jumlah telur dalam
hari yang berurutan) dan periode diantara clutch pada saat tidak terjadi oviposisi (istirahat
bertelur). Jumlah telur dalam clutch dipengaruhi oleh siklus circardian yang mensinkronkan
antara ritme oviduct dan periode istirahat bertelur (Sadeghi et al., 2013).Burung Puyuh
berumur 0,6 minggu umumnya mengalami pertumbuhan dan perkembangan badan untuk
menentukan performanya. Menurut Wuryadi (2011) puncak produksi Puyuh petelur terjadi
pada umur 3 - 5 bulan (12 - 20 minggu) dengan rata-rata produksi telur dalam satu populasi
berkisar 78 - 85 %. Tatalaksana pemeliharaan selama periode produksi sangat menentukan
kemampuan Puyuh dalam memproduksi telur.Produksi telur pada awal bertelur sampai umur
12 minggu masih mengalami fluktuasi dan stabil pada umur 13-14 minggu.Kontaminasi
ransum dengan mikotoksin memiliki dampak yang dapat menurunkan produksi telur dan
kualitas kerabang telur walaupun tampaknya dimediasi dengan penurunan makanan yang
dikonsumsi pada pakan yang terkontaminasi.
Produksi Puyuh yang semakin meningkat,beraneka macam pemanfaatan burung
Puyuh betina (Cortunix cortunix japonica) dalam penetasan menghasilkan telur tersebut
berbanding terbalik dengan pemanfaatan Puyuh jantan yang masih rendah, dalam suatu
penetasan akan terdapat dua kemungkinan telur menetas menjadi betina dan jantan, hal inilah
yang mendasari pemanfaatan Puyuh menjadi ternak komersial. Produksi telur dimulai saat
dewasa kelamin sekitar umur 6 minggu (Alam et al., 2008; Damme, 2011). Produksi telur
meningkat dengan cepat setelah 2 minggu peneluran sampai 8–9 minggu dan mencapai
puncak produksi, dan selanjutnya menurun secara bertahap (Pavlidis et al., 2002). Pada
penetasan telur saat permulaan bertelur berukuran kecil ukuran telur membesar sesuai
pertambahan umur dan akan mencapai besar yang stabil. Burung Puyuh yang awal bertelur
terlalu muda akan menghasilkan telur yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan telur
yang dihasilkan oleh burung Puyuh yang lambat mulai bertelurnya Nugroho dan Manyun
(1986). Puncak produksi yang dicapai burung Puyuh penelitian terlihat lebih cepat, yaitu 4
minggu pertama masa produksi, kecuali burung Puyuh yang semasa daranya dipuasakan
berselang sehari.
Sistem saluran reproduksi unggas sangat unik dimana hanya satu indung telur yaitu
bagian kiri berkembang sampai pada tingkat dimana terjadi proses lepasnya telur atau ova ke
saluran telur (oviduct). Ovarium ayam dewasa mengandung ribuan oocyte (sel telur) yang
berkembang secara berurutan menjadi folikel (dikenal sebagian ova atau kuning telur yang
sudah siap dilepas ke saluran indung telur (oviduct). Oviduct ini berbentuk saluran seperti
pipa yang akan melengkapi bagian telur sehingga keluar menjadi telur yang utuh. Saluran ini
dibagi menjadi beberapa bagian, masing-masing mempunyai peran tersendiri didalam
pembentukan telur. Bagian-bagian ini adalah infundibulum, magnum, isthmus, kantong
kelenjar kulit telur dan vagina. Pada pencahayaan hipotalamus memiliki tiga area yang
berperan dalam fungsi normal reproduksi, yaitu kompleks nukleus infundibular yang
mengandung sel-sel fotoreseptor hipotalamus, area preoptik berisi sel-sel yang memproduksi
gonadotropin releasing hormone (GnRH), dan area supraoptik sebagai tempat sekresi GnRH
terinduksi progesteron. GnRH ditranspor ke dalam hipofisis anterior lewat sistem sirkulasi
portal hipofisis yang menghubungkan antara hipotalamus dan kelenjar hipofisis. Kehadiran
GnRH dalam hipofisis anterior akan menstimulusi pelepasan luitenizing hormone (LH) dan
follicle stimulating hormone (FSH) (Etches, 2000). Cahaya merupakan salah satu faktor
eksternal yang dapat menstimulasi hipotalamus untuk mensintesis dan mensekresikan GnRH
baik melalui jalur retinohipotalamus maupun penetrasi langsung pada tulang kranial dan
jaringan otak (Lewis dan Morris, 2006). Hipotalamus memiliki peran penting di dalam
regulasi sekresi LH melalui umpan balik positif terkait dengan produksi progesteron dari
folikel ovari yang berukuran paling besar.Sekresi FSH secara normal dapat dirangsang oleh
periode pencahayaan (Etches, 2000; Squires, 2003; Lewis dan Morris, 2006). Perkembangan
folikel akan menginisiasi sekresi estrogen pada sel-sel teka eksternal dan progesteron oleh
sel-sel granulosa. Folikel prehierarki yang sedang tumbuh mensekresi estrogen dalam
konsentrasi rendah. Seiring dengan perkembangan folikel prehierarki menjadi folikel
hierarki, estrogen yang disekresi semakin meningkat. Estrogen memiliki pengaruh
meningkatkan kadar kalsium, protein, lemak, vitamin, dan substansi lainnya dalam darah
yang diperlukan untuk pembentukan telur. Pertambahan ukuran folikel pada folikel hierarki
akan menurunkan sekresi estrogen dan meningkatkan sintesis progesteron. Progesteron
disintesis oleh folikel preovulasi yang pada gilirannya dapat memacu hipofisis anterior untuk
mensekresi LH. Jadi, progesteron yang disekresikan ke dalam darah merupakan umpan balik
positif bagi sekresi LH dari hipofisis anterior. Hormon LH ini menyebabkan terjadinya
ovulasi, yaitu pelepasan kuning telur (yolk) yang sudah matang dari ovarium ke dalam
infundibulum.
Brand et al., (2003) menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi produksi
telur adalah jumlah dari konsumsi pakan dan nutrisi yang terdapat didalam pakan tersebut.
Protein merupakan salah satu komponen terpenting dalam pakan yang berimbas langsung
pada pertumbuhan badan dan reproduksi ternak (Permatahati dkk, 2018). Kandungan
protein,terutama bagian asam amino (AA) yang terdapat didalamnya mampu mempengaruhi
komponen sistem imun yang berhubungan dengan kesehatan burung Puyuh (Abbasi et.al.,
2014). Ketersediaan AA dalam pakan juga mempengaruhi produksi telur, AA akan
membentuk protein yang ada dalam telur (Santos et.al., 2016). Protein terdiri dari AA yang
dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi tubuh, pertumbuhan dan reproduksi. Asam amino
terbagi menjadi dua golongan yaitu asam amino esensial (EAA) dan asam amino non-esensial
(NEAA). Komponen NEAA diantaranya adalah glutamin, glutamat, prolin, glisin dan arginin
(Wu, 2013) dapat ditransmisikan dari AA lain oleh tubuh hewan, oleh sebab itu, suplementasi
NEAA tidak diperlukan. Berbeda dengan EAA, seperti cysteine, histidine, isoleucine,
leucine, lysine, methionine,phenylalanine, threonine, tryptophan, tyrosine, and valine tidak
disintesis dalam tubuh, sehingga diperlukan asupan EAA dari luar tubuh (Wu, 2014).
Ada beberapa faktor penyebab penurunan produksi telur secara tiba-tiba yaitu:
• menurunnya panjang hari penyinaran atau tidak cukup panjang sinar matahari.
Produksi telur dirangsang dengan peningkatan sinar dengan pengaruh khas terhentinya
produksi dengan menurunnya panjang sinar (day length). Bila tidak ada tambahan sinar
lampu (buatan) maka produksi telur menurun. Untuk mencegah penurunan produksi telur,
jalannya adalah tambahan sinar (lampu) untuk mempertahankan panjang sinar paling tidak 14
jam per hari. Satu sumber sinar 40 watt untuk setiap 100 kaki kwadrat (±300cm2). Sebaiknya
dianggap cukup tambahan sinar diberikan pada pagi hari sehingga ayam tidak tidur pada saat
matahari menurun. Ini akan mencegah ayam akan berserakan pada saat setelah (lampu)
sumber sinar dimatikan.
• Salah satu penyebab turunnya produksi telur adalah tidak cukupnya nutrisi.
Ransum disusun seimbang untuk memenuhi kebutuhan gizi ayam petelur pada sejumlah
pakan yang dikonsumsi.Jika tidak akan terjadi prolapsus yang dimana suatu kondisi saluran
reproduksi ayam terdorong keluar tubuh ayam. Prolapsus ini bisa terjadi karena ayam terlalu
gemuk atau telur terlalu besar sehigga dapat terjadi sifat kanibalisme.

2.3.1.Kualitas telur
Menurut Taylor dan Field (2004) berdasarkan penilaian USDA standar kualitas telur
yang baik berdasarkan 2 faktor yaitu: faktor kualitas luar yaitu kebersihan telur,kondisi kulit
telur (retak, kuat atau utuh dan tekstur),bentuk dan juga faktor kualitas dalam yaitu tinggi
albumen,kondisi kuning telur, kondisi dan ukuran rongga udara,abnormalitas (blood spot,
meat spot).
Telur abnormal merupakan telur yang memiliki kelainan dan berbeda dari telur
biasanya seperti:berkuning telur kembar,intik darah (blood spot),bintik daging (meat
spot),telur tanpa kuning, benda atau bahan asing masuk ke dalam oviduk dan merangsang
sekresi albumen seperti layaknya kuning telur (yolk), sehingga terbentuk telur tanpa kuning
telur,dented (berlekuk) kulit telur,telur dengan kulit lunak.
Kualitas pakan yang rendah juga menyebabkan kecilnya kuning telur yang terbentuk,
sehingga menyebabkan kecilnya kuning telur yang dihasilkan. Hal lain yang mempengaruhi
adalah masa bertelur, produksi pertama dari suatu siklus berbobot lebih rendah dibanding
telur berikutnya pada siklus yang sama (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Kualitas pakan
yang rendah juga menyebabkan kecilnya kuning telur yang terbentuk. Amrullah (2003)
menyatakan bahwa defisiensi protein menyebabkan penurunan ukuran telur albumin telur.
Nugroho dan Manyun (1986) juga menyatakan bahwa telur Puyuh saat permulaan bertelur
berukuran kecil, ukuran telur membesar sesuai pertambahan umur dan akan mencapai besar
yang stabil. Kenaikan suhu lingkungan dapat menurunkan menurunkan ukuran telur.
Menurut Amrullah (2004) bahwa ayam pada awal periode bertelur menghasilkan telur
yang ukurannya lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah sejalan dengan makin tuanya
umur ayam akan tetapi kenaikan ini tidak seragam. Telur mempunyai ukuran yang besar pada
intensitas produksi telur yang rendah.
Faktor yang mempengaruhi ukuran telur yaitu genetik, umur,jumlah telur dalam
setahun,Cluth Order (Urutan Klat),umur saat peneluran pertama dan musim tetas,tipe
kandang,air dan pakan,temperatur,penyakit,dan fumiga biji-bijian.

2.3.2.Bobot Telur
Bobot telur merupakan sifat kualitatif yang dapat diturunkan. Jenis pakan, jumlah
pakan, lingkungan kandang serta besar tubuh induk sangat mempengaruhi berat telur yang
dihasilkan. Puyuh memiliki berat telur 10-12 gram.Puyuh mendapatkan protein yang
dibutuhkan untuk menghasilkan bobot telur yang optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat
Amrullah (2003) menyatakan bahwa defisiensi protein menyebabkan penurunan ukuran telur
albumin telur. Menurut Atik (2010) bobot telur akan meningkat jika kandungan proteinnya
lebih dari 17%. Menurut Atik (2010) faktor pakan terpenting yang mempengaruhi bobot telur
adalah konsumsi protein pakan karena sekitar 50% dari berat kering telur adalah protein dan
konsumsi pakan dan zat yang dikandungnya adalah protein, lipid, karbohidrat, dan vitamin.
Santos et al., (2011) menambahkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bobot
telur antara lain yaitu jenis burung Puyuh, jenis pakan, jumlah pakan, lingkungan kandang,
dan kualitas pakan.
North dan Bell (1990) menyatakan bahwa bobot telur adalah hasil dari sifat genetika
kuantitatif atau sifat dengan heritabilitas tinggi, sehingga kurang dipengaruhi oleh lingkungan
dan lebih mudah untuk meningkatkan bobot telur melalui manipulasi bobot telur pada strain
burung oleh ahli genetika dan variasi bobot telur biasanya seragam hanya pada telur double
yolk dan telur abnormal lainnya..
Noor (2000) menyatakan bahwa sifat bobot telur mempunyai nilai heritabilitas (h2 )
yang tinggi yaitu sebesar 60%. Ada beberapa faktor yang menyebabkan variasi bobot telur
antara lain pola alami produksi telur, akibat pakan dan menajemen serta faktor lain yang
berhubungan dengan genetik. Pola alami produksi telur yaitu ketika misalnnya pada ayam
baru mulai bertelur, telur berukuran kecil secara berangsur-angsur bobot telur meningkat
seiring pertambahan umur ayam dan mencapai bobot maksimum ketika mendekati akhir
masa bertelur. Temperatur lingkungan dan konsumsi pakan merupakan faktor lingkungan
yang dapat mempengaruhi bobot telur.
Ukuran dan bobot telur sangat berhubungan dengan ukuran kuning telur dibandingkan
faktor yang lain. Kuning telur dan albumen berhubungan erat dengan perubahan periode
produksi. Kuning telur bobotnya 22-25% dari bobot telur keseluruhan. Kenaikan bobot telur
akan mengakibatkan kenaikan bobot kuning telur lebih banyak dari albumen. North dan Bell
(1990) menyatakan bahwa berat telur biasanya seragam, hanya pada telur double yolk dan
telur abnormal lainnya yang tidak seragam. Pola alami produksi telur yaitu telur yang
dihasilkan pada awal bertelur berukuran kecil dan semakin besar sampai berat telur yang
stabil. Pada penelitian Suleman,dkk (2018) rataan berat telur umur 6-14 minggu adalah 9,83 –
9,88 g/butir. Pada umur 8-9 minggu dengan pemberian pakan yang mengandung protein 22%
berat telurnya yaitu 9,2 g.
Umur yang semakin bertambah mengakibatkan bobot telur akan semakin bertambah
berat. Begitu umur bertambah maka bobot telur pun bertambah, bobot kering, dan persentase
yolk meningkat. Sebaliknya persentase kerabang, albumen padat berkurang (Suprijatna et al.
2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot telur antara lain adalah breed, umur, nutrisi,
pakan, suhu, lingkungan, dan umur dewasa kelamin. Bobot telur akan mempengaruhi bobot
tetas, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah kandungan putih telur dan kuning
telurnya. Semakin besar bobot telur, maka kandungan putih telur dan kuning telur semakin
banyak yang merupakan sumber makanan bagi embrio dalam telur. Satu butir rata-rata
mengandung 60% putih telur, 30% kuning telur, dan 10% kerabang. Telur terdiri dari empat
komponen yaitu putih telur, kerabang telur, dan selaput kerabang telur. Umur mencapai
dewasa kelamin juga akan mempengaruhi bobot telur. Bobot telur pertama yang dihasilkan
oleh induk ayam yang masih muda biasanya kecil-kecil dan memerlukan waktu lebih lama
untuk mencapai ukuran standar dikarenakan pada saat mulai bertelur induk terlalu muda dan
masih pada tahap pertumbuhan. Pada ayam yang dewasa kelamin dini akan menghasilkan
telur yang lebih kecil daripada telur yang dihasilkan oleh ayam yang dewasa kelaminnya
lambat atau cukup (North, 1985). Telur ayam umumnya terdiri atas 64% albumen, 27%
kuning telur, dan 9% kerabang. Kandungan masing-masing komponen tersebut juga
mempengaruhi terhadap bobot telur yang dihasilkan oleh induk parent stock, dimana selisih
umur semakin cenderung lebih tua akan menghasilkan bobot telur lebih besar dibandingkan
umur induk lebih muda. Umur dewasa kelamin juga sangat mempengaruhi bobot telur. Pada
bobot tetas telur telur yang beratnya semakin tinggi memiliki persentase komposisi telur yang
semakin besar. Menurut Septiwan dan Salombe (2012), berat tetas merupakan berat anak
ayam sesaat setelah menetas. Berat tetas dipengaruhi oleh bobot telur. Semakin tua induk
ayam dan semakin besar telur yang ditetaskan, maka berat tetas yang dihasilkan akan
semakin besar pula. Berat tetas juga dipengaruhi oleh genetik dan pakan induk. Rahayu
(2005) menyatakan bahwa ayam yang ditetaskan dari telur yang kecil, bobotnya akan lebih
kecil dibandingkan dengan ayam yang berasal dari telur yang besar. Hai ini terjadi karena
telur mengandung nutrisi seperti vitamin, mineral dan air yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan selama pengeraman. Nutrisi ini juga berfungsi sebagai cadangan makanan
untuk beberapa waktu setelah anak ayam menetas. Semakin tua umur induk dan lebih dewasa
maka akan menghasilkan bobot tetas yang lebih besar dibandingkan umur awal produksi dari
induk parent stock.
Bell and Weaver (2002), menyatakan bahwa beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap berat telur ayam adalah umur ayam, suhu lingkungan, strain dan breed ayam,
kandungan nutrisi dalam ransum, berat tubuh ayam, dan waktu telur. Kekurangan protein,
kalsium, vitamin D, dan garam besi menyebabkan turunnya berat telur. lama waktu yang
lebih lama akan memberikan pada unggas(ayam Arab) waktu konsumsi pakan yang lebih
sehingga dapat menghasilkan berat telur yang lebih tinggi. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian Risnajati (2014), produksi telur ayam juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu
dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan, pencahayaan, suhu dan kelembaban lingkungan.

2.3.3. Quail Day Production(QDP)


Quail Day Production (QDP) merupakan salah satu indikasi untuk mengukur
produksi telur dengan cara membandingkan antara produksi telur yang diperoleh dengan
jumlah Puyuh yang hidup pada hari itu. Produksi telur harian adalah suatu produksi telur
dalam suatu kelompok Puyuh petelur yang didasarkan atas persentase produksi telur dengan
jumlah Puyuh petelur selama pencatatan. QDP merupakan persentase yang didapatkan dari
jumlah telur yang dihasilkan satu hari dibagi dengan total populasi pada hari itu. Umur
produksi telur pada burung Puyuh berkisar pada 42 hari, jumlah produksi telur 200-300 butir,
rataan bobot telur 10-12 g, dalam waktu yang sama Puyuh mampu menghasilkan 297 butir
per tahun.

2.3.4.Kerabang Telur
Tebal kerabang telur didapat dengan mengukur tebal kerabang dengan membran telur
(mm). Pengukuran tebal kerabang telur dilakukan pada bagian ujung tumpul, tengah
(ekuator), dan ujung lancip telur kemudian dibuat rata-rata. Kerabang telur adalah suatu
struktur mineral yang tersusun terutama dari CaCO3. Kerabang telur terdiri dari dua bagian
yaitu kerabang tipis (membran) dan kerabang telur keras. Tebal kerabang telur mempunyai
hubungan yang berbanding terbalik dengan suhu lingkungan, suhu yang tinggi akan
mempengaruhi kualitas putih telur dan mengurangi kekuatan dan ketebalan cangkang telur
(Achmanu et al., 2011).Menurut Suleman,dkk (2018) rataan tebal kerabang telur Puyuh yang
diperoleh berkisar antara 0,1615 mm – 0,1705 mm. Kenaikan suhu lingkungan dapat
menurunkan menurunkan ukuran telur dan kualitas kerabang telur.

2.3.5.Massa Telur
Maknun et al. (2015) peningkatan massa telur dipengaruhi oleh konsumsi protein
Puyuh, bobot telur Puyuh dan produksi. Hal ini sesuai Widodo dkk. (2019) yang menyatakan
bahwa egg mass dipengaruhi oleh produksi telur harian dan bobot telur, jika salah satu faktor
meningkat, maka egg mass juga semakin meningkat atau sebaliknya.
III. MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Materi Penelitian


Penelitian ini memberikan 4 model pencahayaan yang diberikan pada 100 ekor Puyuh
yang sedang berproduksi telur. Telur ini berasal dari Puyuh bibit dengan rasio perbandingan
jantan betina berbeda. Telur ini juga dikumpulkan dari beberapa tingkat umur telur Puyuh
yang dipelihara di Kandang Penelitian Unggul Utama Jaya Farm, Lubuk Minturun, Padang.
Lubuk Minturun Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat.
Jenis kandang yang digunakan adalah kandang postal dengan ukuran 1.5 x 1.0
m2sebanyak 20 unit dan setiap unit kandang digunakan untuk memelihara Puyuh yang diberi
perlakuan selama 9 hari. Selanjutnya pada penelitian ini digunakan mesin tetas ukuran 120 x
100 cm. Peralatan lain yang digunakan adalah peralatan yang berhubungan dengan
penimbangan dan pengukuran, seperti lampu listrik sebagai pemanas dan penerang,
thermometer, jangka sorong, timbangan digital, loop, briket pemanas, alat bedah (gunting,
pisau bedah, pinset), tissue.
Ransum disiapkan untuk pemberian makan Puyuh pembibit dengan kandungan
protein 17% dan kandungan energi 2900 kkal/kg ransum. Air minum segar disediakan bagi
Puyuh secara ad-libitum.
Pencahayaan diberikan secara alami 12 jam dan setelah itu diberikan pencahayaan
tambahan secara gradual 2 jam, sehingga pencahayaan yang diberikan pada Puyuh adalah
selama 12, 14, 16, 18 dan 20 jam per hari. Sedangkan intensitas cahaya diberikan normal 40
foot-candel.

3.2. Metode Penelitian


3.2.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, berdasarkan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) pola 5 x 4 x (5). Puyuh diberikan ransum dengan kandungan protein 17%
protein dan energi 2900kal/kg ransum dan diberikan dengan jumlah standar sesuai dengan
umur ternak. Selama pemeliharaan Puyuh diberikan air minum yang disediakan ad-libitum.
Model matematis dari rancangan ini menurut Steel dan Torrie (1991),yaitu :
𝑌𝑗𝑘𝑙𝑛𝑝 = 𝜇 + 𝛽𝑗 + 𝜆𝑘 + 𝜃𝑙 + 𝜌 𝑗 𝑛 + 𝛾 𝑗 𝑝 + 𝜀𝑗𝑘𝑙𝑛𝑝
Keterangan:
𝑌𝑗𝑘𝑙𝑛𝑝 = respon
𝜇 = rataan umum
𝛽𝑗 = pengaruh kelompok ke-j
𝜆𝑘 = pengaruh faktor utama pertama taraf ke-k
𝜃𝑙 = pengaruh faktor utama kedua taraf ke-l
(𝑗 )𝑛 = pengaruh baris ke-n dalam kelompok ke-j
(𝑗 )𝑝 = pengaruh kolom ke-p dalam kelompok ke-j
𝜀𝑗𝑘𝑙𝑛𝑝 = galat

3.2.2. Analisis Data


Untuk mengetahui pengaruh lama pencahayaan berbeda terhadap parameter yang
akan diamati melihat performa telur burung Puyuh betina (Coturnix-coturnix japonica) maka
dilakukan uji (analisys variance) ANOVA sesuai RAK pola 5 x 4 x (5).Perlakuan yang
berpengaruh dilanjutkan dengan uji Duncan’s multriple range test (DMRT).

3.3. Parameter yang diamati


Parameter yang di amati adalah kualitas telur,indeks produksi telur,berat telur dan tebal
kerabang telur.
Parameter yang di amati adalah intake protein, intake energi, Berat Badan, , Berat
telur pertama, Umur 50% HDP, Mass Production.

3.3.1.Produksi telur
Produksi telur (%) adalah produksi telur dihitung dengan membagi jumlah telur yang
dihasilkan dengan populasi Puyuh dikalikan seratus persen (Zahra et al. 2012). Rumus
produksi telur:
Jumlahtelur ( butir)
×100 %
Jumlah puyuh yang masih hidup( ekor )

3.3.2. QDP (Quail Day Production)


QDP (Quail Day Production) adalah jumlah telur perkelompok unggas dalam suatu
periode tertentu berdasarkan jumlah unggas aktual yang hidup selama periode tersebut dan
dinyatakan dalam persentase. Zahra et al. (2012). Rumus yang digunakan untuk menghitung
produksi telur harian adalah:
Jumlah telur hari itu ( butir )
× 100 %
Jumlah puyuh hariitu ( ekor )
3.3.3. Bobot telur
Bobot telur diukur menggunakan telur yang telah dibersihkan dan ditimbang
menggunakan timbangan digital dengan cara meletakkan telur diatas timbangan maka hasil
dapat dilihat dan dinyatakan dalam (g/butir) kemudian hasil yang diperoleh dicatat kedalam
recording penelitian Silandae dan Ulpah (2015). Rumus yang digunakan untuk menghitung
bobot telur adalah:
Bobot seluruhtelur ( gram)
Jumlahtelur (butir)

3.3.4. Massa telur (Egg Mass)


Massa telur merupakan cerminan produktifitas seekor Puyuh dalam membentuk
telur.Massa telur (Egg Mass) dihitung dengan rata-rata produksi telur selama penelitian
dikalikan dengan rata-rata bobot telur selama penelitian dibagi 100% . Massa telur burung
Puyuh normal adalah sekitar 4,98 gr/ekor/hari. Muslim et al. (2012). Rumus yang digunakan
untuk menghitung massa telur adalah:

Rata−rata produksi telur (butir )× Rata−rata Bobot telur ( gram)


100 %

Sedangkan menurut Maknun et al., 2015 massa telur (g/ekor) adalah massa telur
dihitung dengan membagi rata-rata bobot telur yang dihasilkan dengan populasi
Puyuh.Perhitungan massa telur dilakukan setiap seminggu sekali. Rumus massa telur :
Rata−rata bobot telur (gram)
Populasi Puyuh(ekor )

3.3.5.Kerabang telur
Mengukur tebal kerabang dengan membran telur (mm). Pengukuran tebal kerabang
telur dilakukan pada bagian ujung tumpul, tengah (ekuator), dan ujung lancip telur kemudian
dibuat rata-rata. Pengambilan data proporsi kerabang telur dilakukan dengan cara
memisahkan kuning dan putih telur terlebih dahulu yang dilakukan penimbangan pada akhir
setelah penimbangan kuning dan putih telur.Kerabang telur adalah suatu struktur mineral
yang tersusun terutama dari CaCO3. Kerabang telur terdiri dari dua bagian yaitu kerabang
tipis (membran) dan kerabang telur keras.
3.4. Prosedur Penelitian
.................................................................................................
1. Menyiapkan kadang.... kandang seperti apa yang peneliti siapkan................
2. Membuat unit kandang percobaan sebanyak, Setip kandang terdiri atas...............
3. Menyiapkan Puyuh ............
4. Persiapan ransum
5. Mengapuri kandang
6. Memasukkan puyuh ke kandang percobaan
7. Dst... ceritakan....
8. ....
9. Kelokting data riset ...
10. Tabulasi data dan menyiapkan rencana riset...

3.5. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan dikandang Puyuh di UPT Fakultas Peternakan
Universitas Andalas dan dilakukan selama 10 minggu.
DAFTAR PUSTAKA

Triyanto, 2007. Performa produksi burung Puyuh (Conturnix conturnic japonice) periode
produksi umur a6-13 minggu pada lama pencahayaan yang berbeda. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Setianto, J. 1999. Puoltry health dan management; Chicken, Turkey, Ducks, Geese dan Quail.
4 Th. Ed. University of Cambride. 195
Lokapirnasari Widya Paramita, Soewarno, dan Yeni Dhamayanti. 2011. Potensi Crude
Spirulina Terhadap Protein Effisiensi Rasio pada Ayam Petelur. Jurnal Ilmiah
Kedokteran Hewan Vol. 2,No. 1.
Lavergne, T. K. 2005. The broiler Project. Louisiana State University Agricurtural Center.
http://ucce.ucdavis.edu/files/filelibrary/2328/18363. [2005]
Listiyowati Elly dan Kinanti Roospitasari.2008.Tata Laksana Budidaya Puyuh Secara
Komersial.Penebar Swadaya.Jakarta.
Rasyaf, M. 2004. Beternak ayam pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Parakkasi. A. 1999. Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia. Press,
Jakarta.
Setianto. Program Pencahayaan untuk Ayam Pedaging. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Universitas Bengkulu. Bengkulu.
James, R. G. 2004. Modern livestock and poultry production. 7 th Eds.Thomson Delmar
Learning Inc., FFA Activities. London.
North, M. O, dan D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed. The Avi
Publishing Company Inc. Wesport, Connecticut.
Rukmana R dan Yudirachman . 2017. Wirausaha ternak Puyuh secara intensif.Lily publisher.
Yogyakara..
Slamet ,W. 2014. Beternak dan berbisnis Puyuh 3,5 bulan balik modal.
http://www.bukabuku.com/browses/product/9789790065062/beternak-berbisnis-
Puyuh-35-bulan-balik-modal.html
Ketaren P.P., 2010. Kebutuhan gizi ternak unggas di Indonesia dalam Wartazoa 20 (4): 172-
180
Wahyu.1988. Ilmu Nutrisi Unggas. UGM. Press. Yogyakarta.
Wicaksono dan Kukuh Sigit (2018) pengaruh suplementasi tepung temulawak (curcuma
xanthorrhiza) dalam ransum terhadap kinerja burung Puyuh jantan. skripsi thesis,
universitas mercu buana yogyakarta. pengaruh suplementasi tepung temulawak
(curcuma xanthorrhiza) dalam ransum terhadapkinerja burung Puyuh jantan-
umbyrepository yhttp://eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2719/

Achmanu, Muharlien, dan Salaby. 2011. Pengaruh lantai kandang (rapat dan renggang) dan
imbangan jantan-betina terhadap konsumsi pakan, bobot telur, konversi pakan dan
tebal kerabang pada burung burung Puyuh. J.Ternak Tropika Vol. 12, No.2: 1-
14,2011.
Alam, M.S., Howlider, M.A.R., Mondal, A., Hossain, K., & Bostami, A.B.M.R. 2008.
Pattern of egg production in Japanese quail reared on littered floor and in cage.
Bangladesh Research Publications Journal. 1(3), 239–249.
Amrullah, I. K. 2003. Manajemen Ternak Ayam Broiler. IPB-Press, Bogor.
Apeldoorn, E.J., J.W. Schrama, M.M. Mashaly, H.K. Parmentier. 1999. Effect of melatonin
and lighting schedule on energy metabolism in broiler chickens. Poult. Sci. 78: 223-
227.
Apicella, J.M., Lee, E.C., Bailey, B.L., Saenz, C., Anderson, J.M., Craig, S.A.S., … Maresh,
C.M. 2013. Betaine supplementation enhances anabolic endocrine and Akt signaling
in response to acute bouts of exercise. Journal of Applied Physiology. 113(3), 793–
802. https://doi.org/10.1007/s00421-012-2492-8
Binkley, S., S.E. MacBride, D.C. Klien, C.L. Ralph. 1973. Pineal enzymes: Regulation of
avian melatonin synthesis. Sci. J. 39: 333-337.
Card, L. E. and M. C. Nesheim. 1972. Poultry Production. 7th Ed. Lea and Febringer,
Philadelphia.
Cockrem, JF and BK Follett. 1985. Circadian rhythm of melatonin in the pineal gland of the
Japanese quail (Coturnix coturnix japonica). Journal of Endocrinology, Vol 107, Issue
3, 317-324
Damme, K. 2011. Wachteln Zucht und Haltung. Stuttgart: Eugen Ulmer.
Etches, RJ. 2000. Reproduction in Poultry.Singapore: CAB International.
Frendson , R. D.1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak 4th ed. Gadjahmada University
Press. Yogyakarta.
Hruby, M., Ombabi, A., & Schlagheck, A. 2005. Natural betaine maintains layer performance
in methionine/choline chloride reduced diets. In Proc. 15th Eur. Symp. on Poultry
Nutrition (pp. 507–509). Balatonfured, Hungary.
Kang, W.J., Yun, J.S., Seo, D.S., Hong, K.C., & Ko, Y. 2001. Relationship among egg
productivity, steroid hormones (progesteron and estradiol) and ovary in Korean native
chicken. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences. 14(7), 922–928.
K. Kasiyati, A. B. Silalahi dan I.Permatasari, “Optimasi Pertumbuhan Puyuh (Coturnix
coturnix japonica L.) Hasil Pemeliharaan dengan Cahaya Monokromatik,” Anatomi
Fisiologi, pp. 55-64, 2011.
Kliger, C. A., A. E. Gehad, R. M. Hulet, W. B. Roush, H. S. Lillehoj. dan M. M. Mashaly.
2000. Effects of photoperiod dan melatonin on lymphocyte activities in male broiler
chickens. J. Poultry. Sci. 79: 18 – 25.
Lewis P., dan Morris, T. 2006. Poultry Lighting: The Theory and Practice.Hampshire UK:
Northcot.
Lewis, P. D. dan R. M. Gous, 2007. Broilers perform better on short or step-up photoperiods.
South
Morris, T. R. 1994. Lighthing for layer : what we know and we need to know. World Poultry
Science Journal. 50 : 283-287
Mufti, M. 1997. Dampak foto regulasi dan tingkat protein ransum selama periode
pertumbuhan terhadap kinerja Puyuh petelur. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Nooor, R, R. 2000. Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Bogor.
North, M, O dan Bell, D, D. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed .Van
Nostrand Reinhold. New York.
Nugroho, dan I. G. K. Mayun. 1986. Beternak Burung Puyuh. Penerbit Eka Offset,
Semarang.
Nuraini, Sabrina dan S. A. Latif . 2012. Fermented product by Monacus purpureus in poultry
diet effects on laying performance and egg quality. Pakistan Journal of Nutrition 11:
507- 510.
Ohta, M., C. sKodota dan H. Konishi. 1989. A role of melatonin in the initial dtage of photo
periodism in the japanese quail. Biology of Reproduction 40:935-941.
Piliang, G.W., & Djojosoebagio, S. 2006. Fisiologi Nutrisi (1st ed.). Bogor: Percetakan
Institut Pertanian Bogor.
Pond, K dan P. Wilson. 2000. Introduction To Animal Science. John Wiley & Sons, INC.
United States Of America.
Purwantoro. 2005. Panduan Puyuh Penelur. http://agrolink.moa.my/jph/dvs/Puyuh/
penelur/panduanPuyuhpenelur.html
Ratriyanto, A., Mosenthin, R., Bauer, E., & Eklund, M. 2009. Metabolic, osmoregulatory and
nutritional functions of betaine in monogastric animals. Asian-Australasian Journal of
Animal Sciences. 22(10), 1461–1476. https://doi.org/10.5713/ajas.2009.80659
Ratriyanto,R.2018. Pola Produksi Telur Puyuh yang Diberi Ransum Disuplementasi Betain
dan Metionin. Journal of Sustainable Agriculture. 2018. 33(1), 1-7
Salombe J. 2012. Fertilitas, daya tetas dan berat tetas telur ayam arab (Gallus turcicus) pada
berat telur yang berbeda. Skripsi. Program Sarjana, Universitas Hasanudin. Makassar.
Squires, E.J., 2003. Apllied Animal Endocrinology. CABI Publishing. Wallingford UK.
Sudjarwo, Edhy. 2000. Upaya peningkatan penampilan melalui perlakuan jenis lampu dan
lama penambahan cahaya pada burung Puyuh. Tesis. Fakultas peternakan Univesitas
Brawijaya Malang. Malang.
Suleman,dkk.2018. Performans Produksi dan Tebal Kerabang Burung Puyuh Betina
(Coturnix coturnix japonica) Umur 6-14 Minggu. Jurnal Zootek (“Zootek” Journal)
Vol. 38 No. 1 : 142 - 148
Taylor, R.E and T.G. Field. 2004. Scientific Farm Animal Production. An Introduction to
Animal Science. 8Eds. Pearson Education Inc, Upper Saddle River, New Jersey
07458
Triyanto,2007. Performa Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Periode
Produksi Umur 6-13 Minggu pada Lama Pencahayaan Berbeda.Skripsi.Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wuryadi, S. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Puyuh. Agromedia Pustaka. Jakarta. Hal.
16-18
Trianto. 2007. Performa produksi burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) periode
produksi umur 6-13 minggu pada lama pencahayaan yang berbeda. Program Studi
Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Panekanan J, O., J. C. Loing, B. Rorimpandey dan P. O. V. Waleleng. 2013. Analisis
keuntungan usaha beternak Puyuh di kecematan sonder Kabupaten minahasa. Zootek,
32 (5) : 1-10.

Eishu, R. 2005. Effects of dietary protein levels on production and characteristics of japanese
quail egg. Jurnal Poultry Sci.
Bell, D. and Weaver. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg. Kluwer Academic
Publishers. United States of America
Olanrewaju, H.A. J.P. Thaxton, W.A. Dozier, J. Purswell, W.B. Roush dan S.L. Branton.
2006. A Review of lighting programs for broiler Production. International Journal of
Poultry Science. Vol 5 (4) : 301-308.
Risnajati, D. 2014. Pengaruh Jumlah Ayam Per Induk Buatan Terhadap Performan Ayam
Petelur Strain Isa Brown Periode Starter. Sains Peternakan. Vol 12 (1) : 10-14.
Sangi, J., J. L. P. Saerang., F. Nangoy., J. Laihad. 2017. Pengaruh Warna Cahaya Lampu
Terhadap Produksi Telur Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica). Jurnal Zootek.
Vol 37 (2) : 224 – 231.
Sulistyoningsih, Mei., Rivanna, C. R., Eko, R. M., dan M. A. Dzakiy. 2013. Lighting
Stimulation Sebagai Upaya Peningkatan Performans Ayam Kampung Dengan
Implementasi Panjang Gelombang Cahaya Yang Berbeda. Jurnal Bioma. Vol 2 (1) :
74-84.

Amrullah IK. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor
Atik, P. 2010. Pengaruh Penambahan Tepung Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck)
dalam Ransum Terhadap Kualitas Telur Itik. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Maknun, L., Sri, K dan Isna, M. 2015. Performans produksi burung Puyuh (Coturnix-
coturnix japonica) dengan perlakuan tepung limbah penetasan telur Puyuh. Jurnal
Ilmu - ilmu Peternakan. 25 (3): 53 - 58.DOI:
Muslim, Nuraini, dan Mirzah 2012. Pengaruh Pemberian Campuran Dedak Dan Ampas Tahu
Fermentasi Dengan Monascus Purpureus Tewrhadap Performa Burung Puyuh. Jurnal
Peternakan, 9(1), 15-26.
Santos, T.C.,A.E. Murakami., J.C. Fanhani, dan C.A.L. Oliveira. 2011. Production And
Reproduction of Egg and Meat Type Quails Reared in Different Group Sizes.
Brazilian J.Poultry Sci. 13 (1): 9-14
Silandae, F., dan Ulpah, A. 2015. Peningkatan Kualitas Telur Ayam Ras dengan Perendaman
dalam Larutan The. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian. 12(3) : 124-128
Widodo, E., Sjofjan, O., dan Jessieca A.G, R.R. 2019. Efek Probiotik Candida utilis
Penampilan Produksi Burung Puyuh Petelur (Coturnix coturnix japonica). Jurnal
Ilmiah Fillia Cendekia, 4(1), 23-31.
Zahra, A. A., D. Sunardi dan E. Suprijatna. 2012. Pengaruh pemberian pakan bebas pilih
(free choice feeding) terhadap performans produksi telur burung Puyuh (Coturnix-
coturnix japonica). Animal Agricultural Journal. 1 (1): 1-11.

Anda mungkin juga menyukai