Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

A. FAKTA MASALAH
Telah dilakukan pemeriksaan telur cacing pada feses badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Taman Nasional Way Kambas. Pengujian feses badak sumatera
dengan metode uji Mc Master tidak menemukan telur cacing parasitik, namun pada uji Sedimentasi ditemukan bahwa 4 dari 9 (0,44%) sampel feses badak sumatera mengandung
telur cacing trematoda. Berdasarkan jenis cacingnya diketahui bahwa badak sumatera di Taman Nasional Way Kambas terinfeksi cacing Schistosoma spp.(ABDUL KARIM)
Telah dilakukan penelitian pada sapi bali yang dipelihara di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung untuk mengetahui hubungan perbedaan pemberian
pakan (pemberian hijauan saja dibandingkan pemberian hijauan dan konsentrat) terhadap prevalensi infeksi dan jenis-jenis cacing trematoda yang menginfeksi. Sampel penelitian
berupa feses sapi bali berjumlah 100 sampel, 50 sampel berasal dari sapi yang hanya diberi pakan hijauan dan 50 sampel dari sapi yang diberi pakan hijauan dan konsentrat.
Sampel tinja diperiksa dengan metode konsentrasi sedimentasi dan untuk membedakan telur Fasciola spp dengan Paramphistomum spp dilakukan dengan metoda Parfit dan Bank
dengan modifikasi. Parameter yang diamati adalah morfologi dan warna telur cacing untuk mengetahui jenis cacing trematoda yang menginfeksi sapi.(FIRMAN)
Kabupaten Hulu Sungai Utara merupakan kabupaten endemis fasciolopsiasis, yaitu penyakit cacing trematoda usus yang menginfeksi manusia. Kondisi geografis
Kabupaten Hulu Sungai Utara merupakan daerah rawa yang hampir sepanjang tahun selalu tergenang air sedalam 1-3 meter, sangat ideal bagi perkembangbiakan siput air tawar.
Dengan hidupnya siput air tawar, sangat memungkinkan bagi jenis cacing trematoda lainnya untuk berkembang dan ditransmisikan ke hospes selanjutnya.(RUDIANA)
Sapi Bali merupakan tipe sapi yang berukuran kecil namun peluang pengembangannya sangat potensial, karena memiliki kemampuan reproduksi dan adaptasi yang tinggi.
Selain itu, diketahui bahwa Sapi Bali rentan terhadap berbagai penyakit, salah satunya disebabkan oleh parasit. Infeksi parasit cacing masih menjadi faktor yang sering
mengganggu kesehatan sapi bali dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Sampel feses diperiksa dengan metode Parfitt dan Bank yang telah modifikasi. Parameter yang
diamati adalah morfologi telur cacing untuk mengetahui jenis cacing trematoda yang menginfeksi Sapi Bali. Prevalensi infeksi cacing trematoda pada sapi bali sebesar 5,51%.
Setelah diindentifikasi, jenis cacing trematoda yang menginfeksi Sapi Bali adalah cacing Paramphistomum spp (2,41%) dan Fasciola spp (3,1%). Pemberian obat cacing secara
berkala sebaiknya tetap dilakukan untuk menekan infeksi cacing trematoda. Manajemen pemeliharaan intensif sebaiknya tetap di pertahankan supaya tingkat prevalensi cacing
trematoda tetap rendah atau tidak ada sama sekali.(STELLA BHAKTI LAKKA)
Merpati dikorbankan nyawanya, kadavernya dinekropsi, diambil bagian ginjal untuk pemeriksaan cacing dan pemeriksaaan histopatologi ginjal dengan pewarnaan
hematoxylineosin. Ginjal digerus dalam mortir dan ditambah sedikit air, hasil gerusan ginjal diperiksa di bawah mikroskop stereo untuk mengetahui adanya cacing. Cacing yang
diperoleh diwarnai dengan pewarnaan Schmison carmine untuk diidentifikasi. Ditemukan tujuh merpati (28 %) terinfeksi oleh cacing trematoda pada ginjal. Trematoda yang
ditemukan memiliki oral sucker, faring, tidak memiliki saccus cirrus, testis intra sekal dengan posisi sedikit diagonal, bentuk tidak teratur, ovarium pretestikuler, viteleria terletak
anterior ovarium, meluas mendekati posterior tubuh.(JUMRIANI)
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis telur cacing pada feses sapi di TPA Jatibarang sebanyak tiga belas spesies (Ascaris lumbricoides, Bunostomum phlebotomum,
Haemonchus contortus, Oesophagostomum radiatum, Ostertagia ostertagi, Trichuris globulosa, Fasciola hepatica, Fasciola gigantica, Moniezia expansa, Moniezia benedeni,
Paramphistomum cervi, Cotylophoron cotylophorum, dan Schistosoma bovis). Telur cacing pada feses sapi di KTT Sidomulyo sebanyak empat spesies (B. phlebotomum, H.
contortus, O. ostertagi, P. cervi). Larva cacing hanya pada feses sapi KTT Sidomulyo sebanyak dua spesies (larva Trichostrongylus axei dan Strongyloides papillosus).(ULFA
BERLIANA SURATMAN)
Penyakit pada ternak akibat cacing parasit dapat merugikan secara ekonomis, karena dapat menurunkan produktifitas dari ternak tersebut. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sampel feses sapi yang diambil di RPH Kota Pontianak mengandung parasit Nematoda, Trematoda dan Cestoda. Telur cacing parasit yang ditemukan sebanyak 7 jenis,
yaitu: Ascaris sp. (infertil, fertil dan berembrio), Taenia saginata, Trichiuris trichiura, Strongyloid sp., Moniezia sp., Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. Prevalensi infeksi
tertinggi disebabkan oleh Ascaris sp. (100%) dan terendah Taenia saginata (3,75%). Intensitas infeksi tertinggi berasal dari jenis Taenia saginata (111 butir/ind) dan intensitas
terendah adalah Fasciola hepatica (1,31 butir/ind). Infeksi pada sapi juga dapat terjadi secara tunggal atau campuran (terdiri atas dua maupun lebih cacing parasit). Prevalensi
infeksi tertinggi adalah infeksi tunggal oleh Nematoda sebesar 56,25% dan prevalensi infeksi terendah bersifat campuran Nematoda dan Cestoda sebesar 7,5%. Tingkat prevalensi
dan intensitas telur cacing parasit di RPH Kota Pontianak masih tergolong rendah.(RATNA SARI)

B. PERTANYAAN MASALAH
1. Apakah siput air tawar berpotensi membawa cacing trematoda ke dalam usus manusia jika manusia terus-menerus menerapkan kebiasaan BAB di rawa?
2. Apakah kecacingan pada satwa liar dapat diatasi akibat terinfeksi dari cacing schistosoma spp?
3. Apakah prevalensi trematoda itu bisa jadi satu masalah ditempat pembibitan sapi bali desa sobangan?
4. Apakah dapat ditentukan prevalensi dari telur cacing parasit yaitu ascaris?
5. Apakah jenis cacing pada feses sapi di TPA Jatibarang dapat diketahui tingkat infeksinya melalui metode-metode yang digunakan?

C. TUJUAN
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies siput air tawar yang berpotensi sebagai hospes perantara potensial trematoda di Desa Kalumpang Dalam dan Sungai
Papuyu, Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Disain penelitian secara cross sectional, dan dilaksanakan di Desa Kalumpang Dalam dan Sungai Papuyu,
Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara, dalam tahun 2012 dan 2013. Hasil penelitian diperoleh siput air tawar (genus Indoplanorbis, Gyraulus, Lymnaea,
Bellamya, Pomacea, Melanoides).
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi, dan jenis cacing trematoda pada Sapi Bali di sentra pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi,
Kabupaten Badung. Sampel penelitian adalah feses induk Sapi Bali berjumlah 290 sampel yang diambil dari sentra pembibitan Sapi Bali.
3. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis trematoda yang berparasit pada ginjal dan gambaran histopatologi ginjal pada burung merpati yang ada di wilayah
Yogyakarta. Penelitian dilakukan terhadap 25 lima ekor burung merpati.
4. Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis, tingkat infeksi, dan metode yang paling efektif untuk identifikasi cacing pada feses sapi dengan pemeliharaan berbeda di TPA
Jatibarang dan KTT Sidomulyo Nongkosawit Semarang. Jumlah sampel feses sapi sebanyak 64 sampel.
5. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan intensitas infeksi telur cacing parasit pada sapi potong di RPH Kota Pontianak. Metode yang digunakan adalah
metode flotasi dan sedimentasi pada 80 sampel feses sapi potong. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Pebruari dan Juli 2012.
PEMBAHASAN

A. TABEL REKAPITULASI DAN KESIMPULAN TABEL

NO. NAMA NIM KESIMPULAN JURNAL

1. ABDUL KARIM K111 15337 Kecacingan khususnya trematodosis merupakan penyakit parasitik yang prevalensinya cukup tinggi dan kerugiankerugian
yang ditimbulkan sangat berarti. Trematoda atau biasa disebut dengan cacing daun merupakan agen penyakit kecacingan
yang dapat menginfeksi hewan ternak, manusia maupun satwa liar. Apabila dalam jumlah yang cukup banyak, cacing
Schistosoma spp dapat menyebabkan kematian pada hewan. Kecacingan trematoda parasitik ditemukan pada satwa liar
badak sumatera di Taman Nasional Way Kambas. Badak sumatera yang terinfestasi cacing Schistosoma spp sebesar 44,4%.
2. FIRMAN K111 15 025 Prevalensi infeksi trematoda pada sapi bali milik peternak disekitar sentra pembibitan sapi bali desa Sobangan kecamatan
Mengwi kabupaten Badung sebesar 27%. Sapi yang hanya diberikan pakan hijauan didapatkan prevalensi sebesar 38% dan
sapi yang diberikan pakan hijauan dan konsentrat didapatkan prevalensi sebesar 16%. Jenis cacing trematoda yang
menginfeksi sapi bali milik peternak disekitar sentra pembibitan sapi bali desa Sobangan kecamatan Mengwi kabupaten
Badung hanya diinfeksi oleh cacing Fasciola spp dan Paramphistomum spp.

3. RUDIANA K111 15 022 Hasil penelitian menunjukkan adanya siput air tawar genus Indoplanorbis, Gyraulus, Lymnaea, Bellamya, Pomacea, dan
Melanoides yang diperoleh di Desa Kalumpang Dalam dan Sungai Papuyu, Kec. Babirik, Kab. HSU. Diperolehnya serkaria
pada siput air tawar menunjukkan kemungkinan adanya kecacingan trematoda lainnya, selain fasciolopsiasis yang telah
diketahui endemis di Kab. HSU, antara lain echinostomiasis, fascioliasis, cercarial dermatititis dan intestinal fluke lainnya.
Siput air tawar yang berpotensi sebagai hospes perantara cacing trematoda berdasarkan hasil survei ini adalah genus
Indoplanorbis dan Lymnaea.
4. STELLA BAKTI K111 15 543 Prevalensi infeksi cacing trematoda pada sapi bali di sentra pembibitan sapi bali desa Sobangan kecamatan Mengwi
LAKKA kabupaten Badung adalah sebesar 5,51 %

Jenis cacing trematoda yang menyerang sapi bali di sentra pembibitan sapi bali desa Sobangan kecamatan Mengwi
kabupaten Badung adalah dari genus Paramphistomum spp (2,41%)
5. JUMRIANI K111 15 084 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis trematoda yang menginfeksi pada ginjal burung merpati adalah P.bragai.
Infeksi cacing P.bragai bersifat subklinis pada burung merpati, infestasi cacing tersebut dapat menimbulkan lesi pada ginjal
berupa radang granulomatosa, dilatasi duktus kolektivus, dan infiltrasi sel radang.

6. ULFA K111 15 035 Intensitas telur cacing yang ditemukan pada feses sapi di TPA Jatibarang lebih tinggi daripada feses dari KTT Sidomulyo
BERLIANA Nongkosawit dengan intensitas tertinggi adalah Haemonchus contortus sebesar 1080 epg dan terendah Trichuris globulosa
SURATMAN sebesar 150 epg. Sedangkan pada feses sapi di KTT Sidomulyo Nongkosawit intensitas tertinggi adalah Ostertagia ostertagi
sebesar 1000 epg dan terendah Bunostomum phlebotomum sebesar 300 epg.

7. RATNA SARI K111 15 006 Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel feses sapi yang diambil di RPH Kota Pontianak mengandung beberapa parasit,
yang salah satunya adalah Trematoda yaitu Fasciola sp dan Paramphistomum sp.Intensitas infeksi terendah berasal dari
jenis Fasciola hepatica (1.31 butir/ind). Tingkat prevalensi dan intensitas telur cacing di RPH Kota Pontianak masih
tergolong rendah.

B. FAKTOR PENYEBAB DAN ASPEK KESEHATAN

 FAKTOR PENYEBAB (ABDUL KARIM)

Bentuk telur cacing parasitik yang dijumpai pada feses badak sumatera berdasarkan morfologinya dapat disimpulkan bahwa satwa liar tersebut terinfeksi cacing trematoda
dari species Schistosoma spp. Penyebaran telur cacing Schistosoma spp meliputi daerah tropis dan subtropis. Dimana inang antara Schistosoma spp. adalah siput (Soulsby 1982).
Taman Nasional Way Kambas yang merupakan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah merupakan media yang dibutuhkan untuk berkembangnya larva cacing parasitik di
alam.
 FAKTOR PENYEBAB (FIRMAN)

Terinfeksinya sapi bali milik peternak bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: sumber pakan, keadaaan geografis, suhu, kelembaban dan faktor tempat
pengambilan pakan yang mendukung berlanjutnya siklus hidup parasit. Perbedaan prevalensi cacing trematoda pada sapi bali yang hanya diberikan pakan hijauan sebesar 38%
berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan hijauan yang ditambahkan konsentrat dengan prevalensi sebesar 16%. Perbedaan ini disebabkan karena sapi
yang diberi pakan hijauan dan konsentrat kemungkinan terinfeksi oleh makanan yang mengandung stadium infektif lebih kecil dibandingkan sapi yang hanya diberikan hijauan
saja. Infeksi cacing trematoda pada umumnya dapat terjadi karena metaserkaria yang mencemari makanan. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya populasi dari inang antara cacing
trematoda yang salah satunya siput. Berkembangnya siput dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang basah dengan tingkat curah hujan tinggi.

 FAKTOR PENYEBAB (RUDIANA)

Fasciolopsiasis disebabkan oleh cacing trematoda jenis Fasciolopsis buski yang hidup dan berkembang di dalam duodenum dan jejunum manusia sebagai hospes
definitifnya atau hewan sebagai hospes reservoirnya. Fasciolopsis buski dalam siklus hidupnya memerlukan siput air tawar tertentu sebagai hospes perantara pertama dan
tumbuhan air sebagai hospes perantara kedua, meskipun di Kab. HSU belum diketahui dengan jelas spesiesnya.
Jenis trematoda lainnya yang dapat menginfeksi manusia memiliki siklus hidup yang mirip, yaitu memerlukan siput air tawar sebagai hospes perantaranya. Kecacingan oleh
trematoda yang dapat menginfeksi manusia antara lain adalah : fasciolopsiasis (F. buski), fascioliasis (Fasciolahepatica) , Echinostomiasis (Echinostomasp.), opisthorciasis
(Opisthorcis sp.), Paragonimiasis (Paragonimus sp) , Schistosomiasis (Schistosoma sp.), Angiostrongyliasis (Angiostrongylus sp.), dan cercarial dermatitis.

 FAKTOR PENYEBAB (STELLA BAKTI LAKKA)

Infeksi parasit cacing masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan sapi bali dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Sapi merupakan sapi yang
berasal dari domestikasi banteng yang pada awalnya termasuk banteng liar asli dari Pulau Bali. Infeksi parasit internal dapat menyebabkan kerugian ekonomis yang sangat besar
bagi para peternak. Dari sekian banyak parasit yang menginfeksi sapi bali, salah satu parasit yang menginfeksi sapi bali yakni dari golongan cacing trematoda.
Adanya infeksi Paramphistomum spp mungkin akibat faktor pakan yang diberikan berasal dari hijauan yang berasal dari daerah sekitaran desa sobangan. Selain itu faktor
lingkungan dan iklim juga berpengaruh. Curah hujan yang tinggi juga menimbulkan peningkatan prevalensi infeksi Fasciola spp dan Paramphistomum spp.

 FAKTOR PENYEBAB (JUMRIANI)


Pemeliharaan dan pemberian pakan yang kerap tidak memadai tersebut, menyebabkan merpati yang dipelihara sering berkeliaran. Pemberian pakan yang dibawah standar,
kondisi kandang yang buruk, serta sanitasi yang kurang baik, menyebabkan imunitas tubuh burung merpati menurun dan merpati mudah terserang penyakit. Faktor-faktor lain
yang menyebabkan merpati mudah terinfeksi penyakit bakteri, virus, parasit, dan jamur adalah penyakit yang dibawa oleh hewan lain, berkontak dengan inang antara, dan
kontaminasi agen penyakit pada pakan (Dovc et al., 2004). Infeksi cacing menyebabkan radang granulomatosa, di jaringan interstitial yang didominasi oleh sel mononuklear dan
sel raksasa. Simpulan yang dapat ditarik bahwa cacing diidentifikasi sebagai P. bragai, dan infeksi cacing tersebut bersifat subklinis pada burung merpati, menimbulkan lesi pada
ginjal berupa radang granulomatosa, dilatasi duktus kolektivus, dan infiltrasi sel radang.

 FAKTOR PENYEBAB (ULFA BERLIANA SURATMAN)


Lingkungan sekitar kandang di KTT Sidomulyo banyak ditumbuhi rerumputan yang dapat dijadikan vegetasi bagi hospes intermediet trematoda yaitu siput. Di sekitar
kandang juga dikelilingi sawah yang dapat dimanfaatkan juga sebagai vegetasi siput. Drainase kandang cukup baik dengan kemiringan tertentu sehingga memudahkan dalam
membersihkan kandang. Kotoran sapi di KTT Sidomulyo dari pagi setelah dibersihkan menumpuk hingga siang atau sore hari ketika peternak kembali dari bertani/berkebun,
sehingga dapat memancing lalat dan menjadi vektor penyebab penyakit. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa infeksi telur cacing tertinggi adalah Haemonchus contortus yang
banyak ditemukan pada sampel feses dari TPA Jatibarang sesuai dengan pernyataan Roeber et al.

 FAKTOR PENYEBAB (RATNA SARI)


Sampel feses sapi di RPH Kota Pontianak menunjukkan bahwa seluruh sampel telah terinfeksi telur cacing parasit. Sampel feses sapi tersebut terinfeksi 7 jenis telur cacing
parasit dengan spesies yaitu: Paramphistomum sp. dan Fasciola hepatica dari kelas Trematoda, Strongyloid sp., Trichuris trichiura, dan Ascaris sp. (infertil, fertil dan berembrio)
dari kelas Nematoda, Taenia saginata dan Moniezia sp. dari kelas Cestoda. Intensitas terendah terjadi pada jenis telur F. Hepatica yang merupakan cacing Trematoda yang
mengalami siklus hidup yang cukup panjang. Fasciola dapat menginfeksi inang melalui makanan, berupa rumput yang mengandung telur parasit yang terbawa Lymnae sp. Infeksi
dapat pula terjadi akibat sapi yang meminum air yang bersumber dari aliran air yang mengandung telur yang terbawa oleh siput tersebut. Setelah serkaria menemukan inang,
serkaria tersebut bergerak menuju usus halus kemudian menjadi mirasidium yang akan berkembang dan menuju hati inang (Munnig dan Phill, 1950). Hasil penelitian Erwin et al.,
(2010) pada kerbau dan sapi yang terdapat di RPH Kota Palembang menunjukkan intensitas infeksi yang cukup tinggi berasal dari kelas Trematoda yaitu Paramphistomum sp. 25-
450 butir/ind. Menurut Herdayani (2011), infeksi telur pada sapipotong berkisar antara 0-240 butir per gram feses termasuk dalam derajat infeksi ringan. Kisaraninfeksi rendah
atau ringan umumnya tidak mengganggu kesehatan dan sudah mempengaruhiproduktifitas hewan ternak. Hasil pemeriksaanpada RPH Samarinda juga menunjukkan 44, 44%dari
90 sampel sapi telah terinfeksi Trematodadengan jenis sapi yang terinfeksi hanya Sapi Madura sebanyak 33, 33% (Jusmaldi et al., 2009).

C. SOLUSI

 Solusi (ABDUL KARIM)


Pemeriksaan telur cacing parasitik sebaiknya dilakukan rutin pada feses satwa liar di Taman Nasional Way Kambas. Pengamatan lebih lanjut terhadap inang antara (siput)
serta tindakan pencegahan dengan mengontrol siput diperlukan untuk mengatasi masalah kecacingan pada satwa liar di Taman Nasional Way Kambas.

 Solusi (FIRMAN)
Untuk mencegah terinfeksinya dan mengurangi penyebarluasan cacing trematoda sebaiknya diberikan pakan hijauan yang ditambahkan dengan konsentrat atau hanya
diberikan konsentrat serta dilakukan pengobatan menggunakan obat cacing secara rutin dengan rentang waktu 2 bulan.

 Solusi (RUDIANA)
Pengendalian fasciolopsiasis dan kecacingan trematoda lainnya melalui peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat adalah menghentikan kebiasaan buang air besar
(BAB) di rawa; menghentikan kebiasaan makan tumbuhan air dan minum air rawa secara mentah atau dimasak kurang matang; menghentikan kebiasaan makan siput, ikan, remis,
tadpole secara mentah atau dimasak kurang matang; menghentikan pemberian tumbuhan air sebagai pakan ternak; dan mengobati penderita kecacingan dan pemantauan secara
berkelanjutan terhadap penduduk yang beresiko tinggi agar tidak terjadi reinfeksi dan penularan. Bagi pengelola program pengendalian fasciolopsiasis dan kecacingan trematoda
lainnya berupa: peningkatan alokasi anggaran kesehatan terhadap program pengendalian kecacingan; peningkatan sumber daya manusia dan saranaprasarana di bidang promosi
kesehatan dan pemeriksaan mikroskopis kecacingan; penyuluhan mengenai kecacingan terhadap masyarakat daerah endemis secara multi sektor, yaitu disekolah, Puskesmas,
Posyandu, kegiatan pengajian, dan pertemuan masyarakat; melibatkan peran serta, dukungan tokoh masyarakat dan pemuka desa yang diteladani; dan menggalang dukungan dan
keterlibatan lintas sektor terhadap intervensi rekayasa lingkungan dan sosial budaya masyarakat.
 Solusi (STELLA BHAKTI LAKKA)
Pemberian obat cacing secara berkala sebaiknya tetap dilakukan untuk menekan infeksi cacing trematoda. Jika telah dilakukan pengobatan, selanjutnya diikuti tindakan
pencegahan agar tidak terjadi infeksi cacing trematoda. Manajemen pemeliharaan intensif sebaiknya tetap dipertahankan supaya tingkat prevalensi cacing trematoda tetap rendah
atau tidak ada sama sekali.

 Solusi (JUMRIANI)
Prevalensi yang tinggi merupakan indikasi sering kontaknya cacing dengan inang antara, sehingga perlu dilakukan pengamatan dan penelitian berkelanjutan mengenai jenis
inang antara yang menyebarkan cacing.

 Solusi (ULFA BERLIANA SURATMAN)


Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan lagi lingkungan disekitar tempat tinggal sapi dan melakukan pembersihan disetiap selokan dan kandang-kandang sapi agar
lingkungan disekitar kandang tidak terlihat kotor serta dapat terhindar dari segala jenis infeksi dan penyakit.

 Solusi (RATNA SARI)


Sistem pemeliharaan sapi dapat dilakukan secara intensif dan ekstensif. Pemeliharaan secara ekstensif menyebabkan sapi dapat terinfeksi larva cacing hati di padang
gembala sehingga menyebabkan tingginya infeksi. Sapi yang masuk ke RPH Kota Pontianak dipelihara secara intensif (pemeliharaan sistem kandang). Pemeliharaan secara
intensif dapat mengurangi resiko infeksi karena pakan ternak diberikan di dalam kandang.
PENUTUP

a. Kesimpulan
Trematoda atau biasa disebut dengan cacing daun merupakan agen penyakit kecacingan yang dapat menginfeksi hewan ternak, manusia maupun satwa liar. Misalnya pada
hewan ternak yaitu sapi, Prevalensi infeksi trematoda pada sapi bali milik peternak disekitar sentra pembibitan sapi bali desa Sobangan kecamatan Mengwi kabupaten Badung
sebesar 27%. Sapi yang hanya diberikan pakan hijauan didapatkan prevalensi sebesar 38% dan sapi yang diberikan pakan hijauan dan konsentrat didapatkan prevalensi sebesar
16%. Jenis cacing trematoda yang menginfeksi sapi bali milik peternak disekitar sentra pembibitan sapi bali desa Sobangan kecamatan Mengwi kabupaten Badung hanya diinfeksi
oleh cacing Fasciola spp dan Paramphistomum spp. Dan contoh lain itu adanya siput air tawar genus Indoplanorbis, Gyraulus, Lymnaea, Bellamya, Pomacea, dan Melanoides
yang diperoleh di Desa Kalumpang Dalam dan Sungai Papuyu, Kec. Babirik, Kab. HSU. Diperolehnya serkaria pada siput air tawar menunjukkan kemungkinan adanya
kecacingan trematoda lainnya, selain fasciolopsiasis yang telah diketahui endemis di Kab. HSU, antara lain echinostomiasis, fascioliasis, cercarial dermatititis dan intestinal fluke
lainnya. Siput air tawar yang berpotensi sebagai hospes perantara cacing trematoda berdasarkan hasil survei ini adalah genus Indoplanorbis dan Lymnaea.
b. Saran
Penulis berharap orang yang membaca makalah ini dapat memberikan saran ataupun kritikan jika terdapat kesalahan didalamnya, agar kami dapat memperbaiki dan
menjadikan pelajaran untuk ke depannya lagi. Kritikan anda sangat berarti bagi kami karena dengan adanya hal tersebut kami bisa berkembang menjadi lebih baik lagi dari
sebelum-sebelumnya dan dapat memotivasi kami untuk belajar yang lebih giat lagi.
DAFTAR PUSTAKA

ABDUL KARIM : Sulinawati dkk, 2011, Kecacingan trematoda Schistosoma spp. pada badak sumatera (dicerorhinus sumatrensis) di Taman Nasional Way Kambas, Halaman 28

FIRMAN : Rencong Dwi Putra dkk, 2014, Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung,Halaman
402

RUDIANA : Annisa dan Paisal, 2014, Siput air tawar sebagai Hospes perantara Trematoda di Desa Kalumpang dalam dan Sungai Papuyu, Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu
Sungai Utara, Jurnal Buski, Halaman 55-60

STELLA BHAKTI LAKKA : Fajar Mubarok dkk, 2015, Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung,
Halaman 48-53

JUMRIANI: Ana Sahara dkk, 2013 Identifikasi Cacing Trematoda dan Gambaran Patologi Ginjal Burung Merpati yang Terinfeksi, Jurnal Veteriner Desember, Halaman 402-407

ULFA BERLIANA SURATMAN : Muhammad Rofiq Nezar dkk, 2014, Jenis cacing pada feses sapi di tpa jatibarang dan ktt sidomulyo desa nongkosawit semarang, Unnes
Journal of Life Science, Halaman 102

RATNA SARI : Novese Tantri dkk, 2013, Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan
Barat, Jurnal Protobiont, Halaman 102 - 106

Anda mungkin juga menyukai