Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL ILMIAH

PREVALENSI NEMATODOSIS SALURAN CERNA PADA GENUS Macaca DI MAHARANI ZOO LAMONGAN

Oleh BODHI AGUSTONO NIM 060710113

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2011

PREVALENCE OF GASTROINTESTINAL TRACT NEMATODOSIS ON MACACA GENUS AT MAHARANI ZOO LAMONGAN


1) Mahasiswa, 2) Bagian

Bodhi Agustono 1), Setiawati Sigit. 2), Agus Sunarso 3) Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner, 3) Bagian Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRACT

The aim of this study was to know the prevalence of gastrointestinal worm infection on Macaca genus at Maharani Zoo Lamongan. 14 fecal sample was examined from three times sampling from Maharani Zoo Lamongan. The samples was examined by sedimentation, floatation and TCPGT counting. The result of this study was from 14 specimens, the total prevalence from Macaca nigra was 0%, Macaca fascicularis 6,67%, Macaca maura 33,33%, Macaca nemestrina 6,67% and Macaca fuscata was 33,33% toward the infection of gastrointestinal tract worm were two eggs of Oesophagostomum spp. and two eggs of Strongyloides spp. Rate of TCPGT on Macaca maura was 200 200,04, Macaca fascicularis was 106,66 106,67, Macaca nemestrina was 160 160,00 Macaca fuscata 600 600,00 and Macaca nigra was 0 0. Key words : Macaca , prevalence Menyetujui untuk dipublikasikan dengan Bodhi Agustono, Surabaya, 3 Agustus 2011 Mahasiswa Menyetujui Dosen Pembimbing I Menyetujui Dosen Pembimbing II

(Bodhi Agustono) NIM. 060710113 Menyetujui Dosen Terkait I

(Setiawati Sigit, drh., M.S.) NIP. 19510609198002200 Menyetujui Dosen Terkait II

(Agus Sunarso, drh., M.Sc.) NIP. 196708061994031001 Menyetujui Dosen Terkait III

(Prof. Dr. Setiawan K., drh.,M.Sc.) NIP. 195205281578031002

(Dr. Kusnoto, drh., M.Si.) NIP. 196310031997021001

(Dr.Ngakan Made Rai Widjaja, drh., M.S.) NIP. 195103271978031002

PREVALENSI NEMATODOSIS SALURAN CERNA PADA GENUS Macaca DI MAHARANI ZOO LAMONGAN
1) Mahasiswa, 2) Bagian

Bodhi Agustono 1), Setiawati Sigit. 2), Agus Sunarso 3) Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner, 3) Bagian Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa angka prevalensi nematodosis saluran cerna pada genus Macaca di Maharani Zoo Lamongan. Sampel feses yang diperiksa sebanyak 14 spesimen dengan tiga kali pengambilan dari Maharani Zoo Lamongan. Pemeriksaan spesimen dilakukan secara sedimentasi, pengapungan dan penghitungan TCPGT. Hasil penelitian dari 14 spesimen didapatkan besar prevalensi total dari Macaca nigra 0%, Macaca fascicularis 6,67%, Macaca maura 33,33%, Macaca nemestrina 6,67% dan Macaca fuscata 33,33% terhadap infeksi cacing saluran pencernaan adalah dua telur cacing Oesophagostomum spp. dan dua telur Strongyloides spp. Rata-rata TCPGT pada Macaca maura sebesar 200 200,04, Macaca fascicularis sebesar 106,66 106,67, Macaca nemestrina sebesar 160 160,00 Macaca fuscata sebesar 600 600,00 dan Macaca nigra sebesar 0 0.

Kata kunci: Macaca, prevalensi

Pendahuluan Satwa liar di Indonesia merupakan sumber kekayaan alam yang memiliki arti yang penting untuk pembangunan Primata merupakan jenis satwa yang sebagian besar termasuk jenis yang dilindungi. Salah satu jenis primata yang dilindungi adalah jenis Macaca dengan jumlah sekitar 20 spesies yang sebagian besar ditemukan di Asia (Bayne, 2005). Beberapa jenis spesies dari genus Macaca adalah Macaca fascicularis, Macaca fuscata, Macaca maura, Macaca nemestrina dan Macaca nigra

(Suryanti, 2007). Kehidupan Macaca ternyata memiliki nilai tinggi bagi manusia, seperti nilai ekologi, estetika, rekreasi dan komersial (Djuwantoko dkk., 2008). Indonesia sebagai salah satu negara mega-biodiversity telah memiliki komitmen untuk melestarikan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang ada secara berkelanjutan (Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2004). Menurut Menteri Kehutanan (2006) sebagai lembaga konservasi, Maharani Zoo Lamongan merupakan salah satu kebun binatang yang memiliki tujuan utama (sebagai lembaga konservasi ex-situ) adalah sebagai tempat pemeliharaan atau pengembangbiakan satwa liar di luar habitatnya agar satwa tersebut tidak punah. Salah satunya adalah jenis Macaca yang merupakan jenis primata yang kini dipelihara dan dikembangbiakkan di Maharani Zoo Lamongan. Beberapa jenis Macaca yang dapat dijumpai adalah jenis Macaca dengan jumlah 14 ekor, diantaranya 5 ekor Macaca fascicularis, 2 ekor Macaca maura, 5 ekor Macaca

nemestrina, 1 ekor Macaca fuscata dan 1 ekor Macaca nigra. Maharani Zoo Lamongan dalam menjalankan fungsinya, terdapat beberapa faktor penghambat salah satunya adalah penyakit, yang merupakan masalah serius bagi perkembangan dan pertumbuhan satwa terutama pada primata. Salah satu agen penyakit yang luas penyebarannya yaitu cacing (Kusumamihardja, 1986). Berdasarkan pernyataan bidang karantina Maharani Zoo Lamongan selama 2 tahun terakhir ini, belum dilakukan pemeriksaan feses secara berkala untuk mendapatkan data prevalensi cacing pencernaan yang menginfeksi genus Macaca di Maharani Zoo Lamongan,

sedangkan data prevalensi infeksi cacing pencernaan harus dilaporkan secara periodik setiap tahun untuk meminimalkan kerugian akibat penyakit tersebut. Perbedaan kondisi yang dialami Macaca di tempat penangkaran dengan habitat aslinya menyebabkan pola hidup dan tingkah laku satwa akan mengalami perubahan. Akibat perubahan ini maka akan mempengaruhi kondisi tubuh Macaca sehingga dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, yang selanjutnya diperlukan perhatian lebih di dalam perawatan Macaca yaitu penanganan terhadap penyakit, sanitasi kandang dan pemberian pakan yang bergizi (Brown, 1983). Pada kasus penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing sulit untuk dihilangkan atau diberantas secara keseluruhan, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah siklus hidup cacing yang diputus dengan memberantas inang perantara dan vektor yang dapat menimbulkan terjadinya infeksi cacing (Kusumamihardja, 1993; Gotoh, 2000). Agen penyakit yang dapat menyerang Macaca antara lain adalah virus, bakteri, jamur dan parasit. Parasit yang merupakan salah satu agen penyakit ini disebabkan oleh parasit cacing golongan nematoda yang menyerang saluran pencernaan (Williamson and Payne, 1993). Parasit cacing nematoda tidak menyebabkan kematian satwa secara langsung melainkan mengakibatkan penurunan bobot badan pada Macaca dewasa dan hambatan pertumbuhan pada Macaca muda serta mengakibatkan kondisi tubuh Macaca menurun sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penyakit baik bakterial, viral maupun penyakit parasitik lainnya (Brown, 1983). Menurut Lapage (1959) beberapa kerugian dari parasit cacing nematoda di dalam tubuh Macaca adalah menyerap bahan makanan, merusak jaringan,

menyebabkan tumor, menyebabkan obstruksi mekanik pembuluh darah dan saluran pencernaan serta menyebabkan adanya berbagai bentuk reaksi pada jaringan induk semang. Macaca seringkali terserang penyakit yang disebabkan karena terinfeksi parasit pada bagian pencernaan. Penetapan prevalensi yang merupakan proporsi jumlah kasus suatu penyakit dengan populasi terancam pada suatu waktu (point in time), dapat memberikan informasi dan gambaran penyakit yang sebenarnya di suatu wilayah serta mendeteksi keberadaan suatu penyakit di dalam populasi. (Kepala Badan Karantina Pertanian, 2007). Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di Maharani Zoo Lamongan. Pemeriksaan sampel berupa feses Macaca dilakukan di Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2011. Bahan dan Alat Penelitian Penelitian menggunakan sampel segar berupa feses yang di dapat dari tempat konservasi yaitu Maharani Zoo Lamongan. Bahan lain yang digunakan untuk pemeriksaan yaitu formalin 10%, larutan gula jenuh, aquades. Peralatan penelitian yang digunakan adalah kantong plastik, gelas pengaduk, tabung sentrifus, object glass, cover glass, mikroskop cahaya, pipet pasteur dan timbangan halus. Cara Pengambilan Sampel Sampel berupa feses diambil dari 14 ekor Macaca, masing-masing di dapat dari 5 ekor Macaca fascicularis, 2 ekor Macaca maura, 5 ekor Macaca nemestrina, 1 ekor

Macaca fuscata dan

1 ekor Macaca nigra. Feses yang digunakan sebagai sampel

diusahakan yang masih segar. Pengambilan feses di Maharani Zoo Lamongan dengan 3 kali frekuensi pengambilan sampel feses selama 3 minggu pada pagi hari di kandang pemeliharaan sebelum kandang dibersihkan oleh keeper. Feses diambil secukupnya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Karena pangambilan sampel jauh dari laboratorium, maka perlu diberikan formalin 10% sebagai pengawet (Subekti dkk., 2004). Sampel yang telah terkumpul diperiksa di Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Pemeriksaan Feses Metode Sedimentasi Feses dibuat suspensi dengan penambahan aquades dengan perbandingan 1:10, kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama dua sampai lima menit. Selanjutnya supernatan dibuang, lalu ditambah dengan aquades dan disentrifus kembali. Hal ini dilakukan berulang kali sampai supernatan tampak jernih. Kemudian supernatan yang sudah jernih dibuang dan sisakan 1 cm di atas sedimen. Sedimen diaduk lalu diambil setetes dengan pipet pasteur kemudian diletakkan pada gelas obyek, selanjutnya ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa melalui mikroskop dengan pembesaran 100x (Subekti dkk., 2004). Pemeriksaan Feses Metode Apung Prosedur pemerikasaan feses dengan metode ini sama dengan metode sedimentasi, setelah supernatan jernih lalu dibuang dan diganti larutan gula jenuh. Pada tabung disentrifus kembali selama 2-5 menit dengan kecepatan 1500 rpm.

Letakkan tabung sentrifus pada rak tabung dan pelan-pelan ditetesi dengan larutan larutan gula jenuh sampai cairan terlihat cembung dan gelas penutup diletakkan diatasnya. Setelah 1-2 menit gelas penutup diletakkan pada obyek gelas. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100x (Subekti dkk., 2004). Penghitungan TCPGT Penghitungan TCPGT (Penghitungan Telur Cacing Per Gram Tinja) dilakukan dengan metode Lucient Brumpt yang diawali dengan pembuatan suspensi feses dalam air dengan pengenceran sepuluh kali. Suspensi kemudian disaring dan dihitung jumlah tetes pada setiap 1 cc dengan menggunakan pipet Pasteur. Selanjutnya satu tetes suspensi diletakkan di atas objek glass dan ditutup dengan gelas penutup. Pemeriksaan dilakukan dengan mikroskop menggunakan

pembesaran 100x. Data diolah dengan menerapkan rumus: TCPGT = N x n x k. TCPGT adalah Telur Cacing Per Gram Tinja, N adalah jumlah tetes tiap 1 cc, n adalah jumlah telur cacing tiap tetes, dan K adalah Koefisien pengenceran. Penghitungan Angka Prevalensi Bila pada pemeriksaan feses ditemukan telur cacing maka Macaca tersebut dinyatakan terinfeksi cacing dan dinyatakan sebagai sampel positif. Sampel positif dihitung menggunakan rumus: Prevalensi = (Jumlah ikan yang terinfeksi / Jumlah sampel yang diambil) X 100%.

Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian dari 14 sampel feses dari 5 jenis spesies Macaca di Maharani Zoo Lamongan ditemukan 4 sampel positif dari 14 sampel feses Macaca dengan 3 kali frekuensi pengambilan sampel feses dengan besar prevalensi total dari Macaca nigra 0%, Macaca fascicularis 6,67%, Macaca maura 33,33%, Macaca nemestrina 6,67% dan Macaca fuscata 33,33%. Kejadian nematodosis saluran cerna ini kemungkinan dapat disebabkan karena terkontaminasinya pakan dengan feses yang mengandung telur infektif. Peranan feses dalam penyebaran penyakit cacing sangat besar karena dapat langsung mengkontaminasi pakan, air dan tanah. Perilaku hewan itu sendiri dapat mempengaruhi terjadinya infeksi cacing yang ditularkan lewat tanah. Selain itu iklim juga merupakan salah satu faktor yang penting dalam timbulnya kasus penyakit (Malaivijitnond, 2006). Pakan yang diberikan kepada satwa di Maharani Zoo Lamongan berasal dari pasar tradisional yang memungkinkan adanya kontaminasi langsung oleh larva infektif maupun kontaminasi secara tidak langsung oleh inang perantara yang membawa larva infektif. Kemungkinan lain adanya infeksi silang dari satwa yang lainnya (Wirawan dkk., 2006). Menurut Yulianto (2007), penyebaran infeksi cacing terjadi cukup tinggi pada daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Penelitian ini dapat mengidentifikasi dua jenis cacing yang menginfeksi genus Macaca di Maharani Zoo Lamongan yang termasuk dari kelas nematoda yaitu Oesophagostomum spp. dan Strongyloides spp. Hal ini dimungkinkan karena cacing

saluran pencernaan yang lain masih dalam stadium larva, belum dewasa atau jumlah telur cacing terlalu sedikit dan tidak homogen dalam feses, sehingga pada pemeriksaan feses telur cacing tidak ditemukan. Menurut Kusumamihardja (1993) dalam mengidentifikasi jenis telur tersebut didasarkan pada ukuran dan morfologi dari telur cacing. Hasil pemeriksaan sampel feses Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina menunjukan sampel positif telur cacing Strongyloides spp. adalah infeksi cacing yang sering menyerang pada satwa liar. Telur Strongyloides spp. berbentuk elips dengan panjang 40-60 m dan lebar 20 25 m. Pada feses induk semang melepaskan telur cacing yang kemudian berpotensi untuk menetas menjadi larva stadium satu induk semang definitif dapat menjadi terinfeksi setelah memakan pakan yang

mengandung larva infektif yang kemudian tahapan infektif L3 (larva tiga) dapat bertahan hidup di lingkungan sampai mereka menemukan induk semang yang sesuai (Viney and James, 2007). Hasil pemeriksaan sampel feses Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina menunjukan hanya satu sampel positif telur cacing Oesophagostomum spp. Menurut Levine (1990) cacing Oesophagostomum spp ini telurnya mempunyai lapisan atau selaput tipis dan mengandung 8-16 sel (segmen) serta berukuran 27-40 sampai 60-63 m.

Keterangan :Telur cacing Oesophagostomum spp.

Keterangan : Telur cacing Strongyloides spp.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada

metode sedimentasi telur

cacing dapat ditemukan. Ini dikarenakan mungkin adanya pengaruh sentrifugasi yang dapat mengendapkan feses dan telur cacing di dasar tabung sentrifus. Sedangkan pada metode apung lebih banyak telur cacing yang ditemukan daripada sedimentasi. Selain pengaruh sentrifugasi, berat jenis larutan gula jenuh 10% lebih besar daripada berat jenis feses dan berat jenis telur cacing lebih kecil daripada berat jenis larutan gula jenuh 10%, sehingga larutan gula jenuh dapat mengendapkan feses di dasar tabung sentrifus sedangkan telur cacing terapung ke permukaan tabung sentrifus (Subekti dkk., 2007). Pada penghitungan telur cacing per gram tinja didapatkan hasil rata-rata pada pada Macaca maura sebesar 200 200,04, Macaca fascicularis sebesar 106,66 106,67, Macaca nemestrina sebesar 160 160,00, Macaca fuscata sebesar 600 600,00 dan Macaca nigra sebesar 0 0 butir telur. Dari hasil penghitungan TCPGT,

menunjukkan bahwa derajat infeksi cacing pada genus Macaca termasuk ringan. Kesimpulan Angka prevalensi infeksi cacing di Maharani Zoo Lamongan pada Macaca maura sebesar 33.33%, Macaca fuscata sebesar 33.33%, Macaca nemestrina sebesar 6.67%, Macaca fascicularis sebesar 6.67% dan Macaca nigra sebesar 0%. DAFTAR PUSTAKA Bayne, K. 2005. Enrichment for nonhuman primates. Department of Health and Human Services. Amerika. 295-300. Brown, H.W. 1983. Dasar Parasitologi Klinis, edisi ketiga. PT. Gramedia Jakarta 165 222.

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004. Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Departemen Kehutanan. Jakarta. Djuwantoko, Utami dan R.N Wiyono. 2008. Perilaku Agresif Monyet, Macaca fascicularis(Rafles, 1821) terdapat Wisatawan di Hutan Wisata Kaliurang, Yogyakarta. Biodiversitas vol9 : 301-305. Gotoh, S. 2000. Regional Differences in the Infection of Wild Japanese Macaques by Gastrointestinal Helminth Parasites. Primates. 41(3): 291-298. Kepala Badan Karantina Pertanian. 2007. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian, Nomor : 2897.a/PD.670.320/L/10/07. Badan Karantina Pertanian. Jakarta. 6, 21. Kusumamihardja, S. 1993. Parasit dan Parasitosis Pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lapage, G. 1959. Monnigs Veterinary Helminthology and Entomology. Fourth ed. Bailliere Tindall and Cox Ltd. Geat Britain. Levine, N.D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Editor Wardiarto. Gadjah Mada University Press. Malaivijitnond, S. N. Chaiyabutr, N. Urasopon, and Y. Hamada. 2006. Intestinal nematode parasites of long-tailed macaques (Macaca fascicularis) inhabiting some tourist attraction sites in Thailand. Primates research Unit. 32.73-78. Malla B., J.B. Sherchand. 2004. Prevalence of Intestinal Parasitic Infections and Malnutrition among Children in a Rural Community of Sarlahi, Nepal. Journal of Nepal Health Research Council . Vol. 2:1-4. Menteri Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan, Nomor : P.53/MenhutII/2006 Tentang Lembaga Konservasi. Departemen Kehutanan. Jakarta. Soulsby, E.J.L. 1986. Helminth, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animal 7th Ed. The English Language Book Society and Bailiere Tindall. London. Subekti, S., S. Koesdarto, S. Mumpuni, H. Puspitawati dan Kusnoto. 2007. Penuntun Praktikum Teknik Laboratorium. Departemen Pendidikan Nasional. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Sudardjat, S. 1991. Epidemiologi Penyakit Hewan Jilid I. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Bogor. Suryanti, E. 2007. Kondisi Satwa Liar Di Kebun Binatang Sumatera Sangat Buruk volume XI no.1. http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2007/01/ .html [21 Maret 2010] Viney, M.E. andB.L. James. 2007. Strongyloides spp. http://www.wormbook.org /chapters/www_genomesStrongyloides/genomesStrongylgenom.html. [20 mei 2010]. Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. 69-75. Wirawan, I.G.K.O., R.W. Nurcahyo dan J. Prastowo. 2006. Kejadian Strongyloidiasis dan Fasciolasis pada Rusa Bawean (Axis kuhlii) di Pulau Bawean. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 19(4): 369-380. Yulianto, E. 2007. Hubungan Higiene Sanitasi Dengan Kejadian Penyakit Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007. [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang.

Anda mungkin juga menyukai