Anda di halaman 1dari 25

METODE PENGAMBILAN SAMPEL FESES HEWAN

UNTUK ANALISIS DNA


(Laporan Praktikum Biokonservasi)

Oleh
Akhmad Rafiq Fanani
2217061077

PROGRAM STUDI S1 BIOLOGI TERAPAN


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2023
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Tujuan Praktikum......................................................................................2
1.3 Manfaat......................................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................3
III. METODE PRAKTIKUM..............................................................................5
3.1 Waktu dan Tempat.....................................................................................5
3.2 Alat dan Bahan..........................................................................................5
3.3 Metode praktikum......................................................................................5
a. Metode Swab.............................................................................................5
b. Metode Grinding........................................................................................6
IV . HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................7
4.1 Data Pengamatan.......................................................................................7
4.2 Pembahasan...............................................................................................8
V . KESIMPULAN...............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12
3 3
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sapi bali Bos sondaicus adalah jenis sapi asli Indonesia yang diduga dari
keturunan banteng yang sudah didomestikasi dan merupakan plasma
nutfah ternak asli Indonesia. Sapi bali juga mudah beradaptasi di
lingkungan yang buruk dan tidak selektif terhadap makanan. Selain itu,
sapi bali cepat beranak, jinak, mudah dikendalikan dan memiliki daya
cerna terhadap makanan serat yang baik. Melihat perkembangannya sapi
bali akan menjadi sapi potong utama di Indonesia.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli sebelumnya
.membuktikan bahwa sapi bali mengalami penurunan kualitas. Fakta ini
ditunjukkan dengan tidak optimalnya fungsi reproduksi sapi bali seperti
calving interval yang panjang, tingginya kejadian silent heat (estrus
tenang) dan estrus post partum yang panjang. Dari segi lain, hubungan
kekerabatan sapi bali dengan banteng mulai dipertanyakan. Dari penelitian
yang dilakukan oleh menyebutkan bahwa sekuens sapi bali yang ada di
Malaysia hampir identik (99,5%) dengan sapi zebu. Sementara, sapi
Madura hampir identik (99,7%) dengan banteng. dari 3 pulau yang
berbeda di Indonesia, sapi bali asli memiliki sekuens DNA mitokondria
yang sama
dengan banteng.
Sampai saat ini data sekuens DNA mitokondria sapi bali dan banteng
masih sangat terbatas. Data keragaman genetik sapi bali sebagai sumber
bibit sapi bali asli juga tidak tersedia di Gen bank. Informasi genetik yang
diperoleh dari sapi bali yang diternakkan saat ini dibandingkan dengan
sekuens genetik banteng akan membuktikan bahwa sapi bali memang
benar berasal dari banteng. Untuk memperoleh informasi genetik sapi bali,
penelitian dilakukan pada fragmen DNA mitokondria (mtDNA). Analisis
mtDNA dapat digunakan untuk mengetahui variabilitas genetik suatu
populasi, karena analisis mtDNA lebih sensitif dibandingkan dengan
analisis protein yang sudah banyak dilakukan. Berdasarkan dari
pertimbangan diatas, penelitian ini direncanakan untuk mengungkap
struktur genetik sapi bali dan banteng dan hubungannya dengan breed sapi
lain di dunia Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus dan Bos gaurus yang

1
diperoleh dari Gen bank. Penelitian ini dilakukan dengan cara analisis
DNA mitokondria dengan teknik molekuler PCR-Sequencing.

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini adalah mempelajari teknik
pengambilan sampel feses sapi untuk analisis DNA.

1.3 Manfaat
Mengetahui dan terampil dalam melakukan teknik pengambilan dan
analisis DNA pada sampel feses hewan.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, yang beriklim
tropis dan memiliki tingkat flora dan fauna yang beragam. Tanah yang subur
sangat cocok digunakan sebagai lahan pertanian. Penduduk mayoritas bermata
pencarian petani tentunya tidak jarang dari mereka yang menjadi peternak
tradisional. Kerbau, sapi dan kambing adalah binatang yang paling banyak
dipelihara. Sapi adalah hewan terpenting dari jenis-jenis ternak yang dipelihara
manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan
manusia lainnya (Alikodra, 2019).

Sapi adalah salah satu hewan ternak yang termasuk jenis mamalia. Binatang ini
memakan rerumputan dan didalam pencernaanya memiliki 3 lambung atau biasa
disebut hewan ruminansia. Air susu yang bernilai gizi tinggi menjadi keunggulan
ternak ini, selain itu daging sapi juga banyak digemari oleh masyarakat sebagai
asupan protein yang tinggi. Sapi yang tersebar di Indonesia merupakan hasil
domestikasi (penjinakan) dari jenis primitif. Bakalan, pakan, lingkungan dan iklim
yang baik menjadi aspek penunjang dalam proses pengembangan ternak di
Indonesia. Hewan ruminansia ini mempunyai banyak manfaat dan bernilai
ekonomis lebih besar dari pada ternak lain. Petani banyak yang membeli sapi pada
saat musim panen tiba kemudian menjualnya pada saat musim tanam (Bai, 2021).

Peternak sapi di Indonesia belum merata penyebaranya, hal itu disebabkan karena
faktor pertanian, kepadatan penduduk, iklim, daya aklimatisasi serta adat-istiadat
dan agama. Pertanian dan penyebaran penduduk di Indonesia menentukan
penyebaran usaha ternak sapi. Sapi merupakan teman baik petani dalam rangka
pengelolaan tanah pertanian. Masyarakat yang bermata pencaharian bertani tidak
lepas dari usaha ternak sapi, baik untuk keperluan tenaga, pupuk, atau lain
sebagainya (Dewi, 2018).

Kesehatan ternak merupakan kunci penentu keberhasilan suatu usaha peternakan.


Seperti munculnya suatu slogan dimana pencegahan lebih baik daripada

3
pengobatan, dari hal tersebut munculnya keinginan untuk memperbaikinya
dengan tindakan-tindakan seperti sanitasi, vaksinasi dan pelaksanaan. Banyak
sekali penyakit yang dapat menyerang sapi seperti penyakit yang disebabkan oleh
infeksi cacing serta beberapa yang lainnya (Dewiyatini, 2019).

Parasit di Indonesia masih kurang mendapat perhatian karena kurangnya


pemahaman, terutama para peternak tradisional. Penyakit parasitik merupakan
salah satu faktor yang dapat menurunkan produktivitas dan biasanya tidak
mengakibatkan kematian, namun menyebabkan kerugian yang sangat besar
berupa daya produktivitas ternak.8 Parasit bertahan hidup dalam tubuh hospes
dengan memakan jaringan tubuh, mengambil nutrisi dan menghisap darah. Ternak
yang terinfeksi parasit dapat mengalami penurunan bobot badan, pertumbuhan
lambat, penurunan daya tahan tubuh dan kematian. Sapi yang terinfeksi parasit
terlihat lebih kurus. Hewan kurus terlihat penonjolan tulang rusuk, tulang
punggung, tulang pinggul atau tulang lainnya dan legok lapar terlihat jelas, karena
mengalami penurunan berat badan, akibatnya ternak mempunyai nilai jual rendah
(Kastalani, 2018).

Peternak harus mengetahui bagaimana cara merawat ternak dengan baik, salah
satu usaha yang ditempuh untuk meningkatkan jumlah populasi sapi adalah
dengan menerapkan manajemen pemeliharaan yang baik. Salah satu manajemen
pemeliharaan sapi adalah kesehatan. Identifikasi permasalahan kesehatan menjadi
penting agar dapat dicarikan solusi dan penanganan yang tepat dalam
mengatasinya (Patrick, 2015).

4
III. METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum dilaksanakan pada hari Senin tanggal 20 November 2023 pada
pukul 13:00 – 15:00 WIB di laboratorium ekologi jurusan biologi
FMIPA UNILA.

3.2 Alat dan Bahan


Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah plastik, tabung
vacutainer non EDTA 10 ml, stik kayu, tip, label, marker, masker, sarung
tangan, termos es, mortar dan alu, saringan, mangkok, dan spuit.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel feses segar/basah,
sampel setengah kering, dan sampel kering, es batu, buffer, dan aquades.

3.3 Metode praktikum


Pengambilan feses dilakukan dengan dua metode yaitu metode swab dan
grinding.
a. Metode Swab

1. Diambil sampel feses segar.


2. Dimasukkan buffer 5 ml ke tabung vacutainer non EDTA 10 ml.
3. Diambil bagian feses yang berlendir menggunakan stik kayu
lalu masukan ke tabung vacutainer hingga jenuh.
4. Dibuat tabung dalam kondisi vakum.
5. Di-seal tabung vacutainer dengan isolasi.
6. Diberi label dan isi identitas sampel.
7. Disimpan tabung vacutainer ke termos berisi es.
8. Disimpan hasil sampel dalam kondisi beku (-20c).

5
b. Metode Grinding

1. Diambil sampel feses segar.


2. Dimasukkan 2 ml aquades kedalam mortar.
3. Diambil 2 gr sampel dengan stik kayu lalu masukan ke mortar
4. Digerus hingga teraduk dengan rata.
5. Disaring hasil penggerusan.
6. Dimasukkan hasil saringan ke dalam tabung vacutainer 10 ml.
7. Dibuat tabung dalam kondisi vakum.
8. Di-seal tabung menggunakan isolasi.
9. Diberi label dan isi identitas sampel.
10. Disimpan tabung dalam freezer.

6
IV . HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan


No. Gambar Keterangan Hasil
1. Sampel basah Feses dengan metode swab,
dengan metode air menjadi keruh hitam dan
swab. terdapat gumpalan.

2. sampel basah Feses dengan metode


dengan metode grinding,air berubah
grinding. menjadi keruh hitam dan
tidak terdapat gumpalan.

3. Sampel setengah Feses dengan metode swab,


kering dengan air menjadi keruh hitam dan
metode swab. terdapat gumpalan

7
4. Sampel setengah Feses dengan
kering dengan metode grinding,air menjadi
metode hitam dan lebih kental
grinding.

5. Sampel kering Feses dengan metode swab,


dengan metode air menjadi hitam dan
swab. teksture feses yang
menggumpal.

6. Sampel kering Feses dengan metode


dengan metode grinding,air menjadi hitam
grinding dan terdapat serat atau
benang

4.2 Pembahasan
Isolasi DNA dari feses hewan dilakukan untuk memisahkan DNA dari
komponen lainnya seperti lipid, protein, dan polisakarida. Proses isolasi
DNA dari feses hewan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
metode, seperti metode phenol-chloroform atau menggunakan kit. Hasil
isolasi DNA dari feses hewan dapat digunakan untuk analisis molekuler
dan rekayasa genetika. Salah satu contoh penelitian yang menggunakan
isolasi DNA dari feses hewan adalah penelitian mengenai isolasi fecal
DNA badak sumatera. Proses isolasi DNA dari feses hewan memerlukan
perhatian terhadap kualitas dan kuantitas sampel. Selain itu, pengambilan
sampel DNA dari feses termasuk dalam teknik non-invasif yang dapat
mengurangi stres pada hewan. Proses isolasi DNA dari feses hewan
memerlukan perhatian terhadap kualitas dan kuantitas sampel. Salah satu
contoh penggunaan isolasi DNA dari feses hewan adalah dalam penentuan
jenis kelamin burung dengan sumber DNA dari feses (Gartesiasih, 2016).
Isolasi DNA hewan, terutama feses, dalam bidang konservasi memiliki
beberapa manfaat, seperti:
1. Mencegah terjadinya kawin silang: Isolasi DNA
dapat membantu dalam mencegah kawin silang, yang
dapat
mengakibatkan kematian hewan dan degradasi kualitas sumber
daya yang dikendalikan.
8
2. Penentuan tingkat keragaman genetik: Isolasi DNA dari
feses hewan liar dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
keragaman genetik hewan liar, yang penting untuk melindungi
keanekaragaman hayati.
3. Identifikasi jenis kelamin: Isolasi DNA dari sampel feses
dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin hewan liar,
yang membantu dalam mengidentifikasi dan mengelola satwa
liar.
4. Penegakan hukum: Isolasi DNA dapat membantu dalam
penegakan hukum terhadap perlindungan satwa liar, karena
analisis DNA dapat menyediakan data akurat terhadap
pengaturan kuota untuk pemanfaatan satwa liar yang
berkelanjutan di Indonesia (di bawah PP 8/1999 tentang
pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar) dan CITES.
5. Memperkuat penelitian konservasi keanekaragaman
hayati: Isolasi DNA dapat digunakan dalam penelitian
konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia, yang
masih sangat terbatas dan belum menjadi prioritas di
lembaga-lembaga
penelitian biologi molekuler.

Metode swab dan grinding adalah dua metode yang umum digunakan
dalam isolasi DNA hewan. Metode swab dilakukan tanpa proses
penggerusan, dengan cara mengambil bagian feses yang berlendir.
Sementara itu, metode grinding melibatkan penggerusan atau
penghancuran sampel untuk memecah sel dan mengisolasi DNA. Dalam
penelitian terkait, metode isolasi DNA hewan menggunakan sampel darah
atau cairan tubuh dari organisme tersebut juga umum dilakukan. Terdapat
berbagai metode isolasi DNA yang dapat digunakan, dan hasilnya dapat
bervariasi tergantung pada efektivitas metode tersebut dalam
menghasilkan isolat DNA baik dari segi kualitas maupun kuantitas serta
efisiensi waktu isolasinya. Metode isolasi DNA yang baik sangat penting
dalam banyak aplikasi biologi molekuler, seperti kloning DNA,
sekuensing, PCR, dan elektroforesis. Metode isolasi DNA yang umum
digunakan meliputi teknik lisis jaringan hewan, penggerusan, dan
penggunaan sampel darah atau cairan tubuh (Hasna, 2015).
Metode swab :
1. Kelebihan : Non-invasif: Pengambilan sampel feses dengan
swab tidak invasif, sehingga tidak akan menyebabkan stres
pada hewan uji, mudah dikendalikan, mengurangi kematian
hewan.
2. Kekurangan : Swab yang digunakan dalam pengambilan sampel
feses dapat mengangkut partikel-partikel dari matras yang
mungkin mengurangi kualitas analisis, Swab mungkin tidak
9
mengumpulkan sampel yang cukup atau akurat, yang dapat
mempengaruhi hasil analisis.

Metode grinding :
1. Kelebihan : Fleksibilitas: Metode grinding dapat
digunakan untuk mengambil sampel feses hewan dengan
mudah dan
cepat, Metode grinding tidak merusakkan sampel feses hewan,
sehingga sampel feses hewan masih tersedia untuk analisis
selanjutnya.

2. Kekurangan : Waktu pemrosesan: Metode grinding mungkin


memerlukan waktu yang lebih lama untuk pemrosesan
sampel feses hewan, Keterbatasan dalam ukuran sampel:
Metode
grinding mungkin tidak selalu efektif untuk mengambil sampel
feses hewan dengan ukuran yang diinginkan.

Jenis sampel hewan yang dapat diisolasi secara molekuler dan


konvensional antara lain adalah darah atau cairan tubuh dari organisme
tersebut, seperti yang umum dilakukan pada isolasi genom pada hewan.
Selain itu, pada penelitian tertentu, sampel yang digunakan dapat berupa
daging dan sosis dari sapi, ayam, dan babi. Pada penelitian lain, sampel
yang digunakan dapat berupa membran cangkang telur, bulu, swab trakea,
swab kloaka, dan feses pada burung. Selain itu, pada penelitian identifikasi
molekuler bakteri pada saliva anak anjing liar, sampel yang digunakan
adalah saliva yang diambil menggunakan metode swab dan pot (Prakoso,
2016).

10
V . KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum kali ini adalah
pengambilan sampel feses hewan dapat memberikan informasi mengenai jumlah
individu, variasi genetik, dan mekanisme evolusi dalam populasi hewan.
Pengambilan sampel DNA dengan teknik non-invasif, seperti menggunakan swab,
dapat mengurangi stres hewan uji dan meningkatkan kualitas DNA yang
diperoleh.

11
DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 2019 . Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Departemen Kebudayaan.


Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayati. Institut Pertanian Bogor. 4 (1) : 567-578.
Bai, S., Kumar. 2021. Cellulase production by Bacillus subtilis isolated from cow
dung. Applied Science Research. 4 (1) : 269.
Dewi, A.K. 2013. Isolasi, Identifikasi, dan Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus
Terhadap Amoxicillin dari Sampel Susu Kambing dan Susu Sapi
Peranakan Etawa (PE) Penderita Mastitis di Wilayah Girimulyo,
Kulonprogo, Jogjakarta. Jurnal Sains Veteriner. 31 (2) : 138-150.
Dewiyatini. 2019. Sapi Ternak di PT. Kujang Cikampek Jawa Barat. Harian
Pikiran Rakyat. 17 Februari 2009.
Garsetiasih, R. 2016. Daya Cerna Jagung dan Rumput Sebagai Pakan Rusa
(Cervus Timorensis). Jurnlal Plasma Nutfah. 13 (2) : 88-92.
Hasna, 2015. Kajian Kesejahteraan Rusa Totol (Axis Axis) di Kawasan Wisata
Alam Kampung Batu Malakasari Baleendah Kabupaten Bandung. Skripsi
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Kastalani. 2018 . Pengaruh Pemberian Rumput Lapang dan Daun Lamtoro Gung
Pada Pertambahan Bobot Badan dan Bobot Badan Akhir Sapi Lokal
Jantan. Jurnal Ilmu Hewani Tropika. 2 (1) : 2301-7783.
Patrick, R.M., B. Holmes., M.A. Hazel. 2015. Microbiology &
MicrobialInfections. Volume 2 Edition. Salisbury, UK. Edward Arnold
Ltd.
Prakoso, 2016. Amplifikasi Fragmen Gen 18S rRNA Pada DNA Metagenomik
Madu Dengan Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Indonesian
Journal of Legal and Forensic Science. 2 (3) : 5-47.

12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Anda mungkin juga menyukai