Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN MINI RISET

KARAKTERISTIK KERBAU BUNTING


DAN PENGGUNAAN INOVASI TEKNOLOGI REPRODUKSI
INSEMINASI BUATAN PADA PETERNAKAN KERBAU PAK SUGIANTO

oleh :
KELOMPOK II
ANGGOTA :

1. GRACE MARGARETH SIANURAT (4193111035)


2. KRISNA J. HASUGIAN (4192411023)
3. ROYANA CHAIRANI (4191111010)
4. SHINTA MARWAH AZIZAH (4191111052)

KELAS : MESP 2019


DOSEN PENGAMPU : Dra. MELVA SILITONGA, MS
MATA KULIAH : BIOLOGI UMUM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
NOVEMBER 2019
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................. 3
1.3. Tujuan................................................................................................................ 4
1.4. Manfaat.............................................................................................................. 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 5
2.1. Tinjauan Pustaka............................................................................................... 5
2.2. Hipotesis............................................................................................................ 6
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 8
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian............................................................................. 8
3.2. Alat dan Objek Penelitian.................................................................................... 8
3.3. Instrumen Penelitian............................................................................................ 9
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................................... 10
4.1. Hasil Wawancara kepada Peternak...................................................................... 10
4.2. Pengamatan Register Induk................................................................................. 12
4.3. Pembahasan.......................................................................................................... 13
BAB V. PENUTUP........................................................................................................ 16
5.1. Kesimpulan.......................................................................................................... 16
5.2. Saran.................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 17
LAMPIRAN (HASIL DOKUMENTASI)...................................................................... 18

| Laporan Mini Riset ii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menggunakan
rasa, karsa dan daya cipta yang dimiliki. Salah satu bidang iptek yang berkembang pesat
dewasa ini adalah teknologi reproduksi.Teknologi reproduksi merupakan satu kesatuan
dari teknik-teknik rekayasa sistem reproduksi hewan yang dikembangkan melalui suatu
proses penelitian dalam bidang reproduksi hewan secara terus menerus dan
berkesinambungan dengan hasil berupa alat, metoda ataupun alat dan metoda yang dapat
diaplikasikan dengan tujuan tertentu.
Teknologi reproduksi adalah upaya manusia untuk mengembangbiakkan hewan
ataupun tumbuhan dengan beberapa cara yang diharapkan bisa mengatasi masalah dalam
perkembangbiakan. Teknologi reproduksi pada ternak meliput iInseminasi Buatan (IB),
Transfer Embrio (TE), Fertilisasi In Vitro (FIV), dan manipulasi embrio. Tujuan dari
teknologi reproduksi pada ternak adalah sebagai cara atau alat untuk memperbaiki mutu
genetic ternak. (Ihsan, 2010).
Terdapat banyak sekali teknologi reproduksi yang bisa diterapkan dalam
pelaksanaan kegiatan usaha peternakan yang ditujukan untuk meningkatkan populasi dan
produksi. Beberapa diantaranya telah dipakai di Indonesia namun sebagian besar masih
merupakan teknologi yang lama yang umumnya dikarenakan biaya perlakuannya dan
peralatannya sangat mahal. Saat ini ada kecenderungan penurunan populasi hewan jantan
yang unggul, sehingga teknologi reproduksi dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas
pada hewan ternak. Teknologi reproduksi yang telah dimanfaatkan secara luas dalam
peningkatan produktivitas peternakan adalah teknik Inseminasi Buatan dan Transfer
Embrio. Ada pula teknik kloning pada ternak, namun pemanfaatannya belum seluas dua
teknik tersebut. Inseminasi buatan merupakan teknologi generasi pertama yang bertujuan
memanfaatkan seekor hewan jantan unggul secara maksimal. Sehingga peningkatan
jumlah keturunan dari pejantan unggul dapat diperoleh secara cepat (Ismudiono dkk,
2010). Penemuan-penemuan teknologi di bidang reproduksi ternak tersebut dapat
dimanfaatkan untuk mengatasi masalah-masalah dan tantangan yang dihadapi subsector
peternakan terutama dalam meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas ternak
baik secara kualitas maupun kuantitas (Suciani, 2015).

| Laporan Mini Riset 1


Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu teknologi yang dapat memberikan
peluang bagi pejantan unggul untuk menyebarluaskan keturunannya secara maksimal,
dimana penggunaan pejantan pada kawin alam terbatas dalam meningkatkan populasi
ternak, karena setiap ejakulasi dapat membuahi seekor betina. Inseminasi buatan (IB)
adalah suatu teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu
dan produktivitas ternak. Keuntungan yang dicapai dalam program inseminasi buatan
diantara adalah untuk memperbaiki mutu genetik, efesien dalam pemakaian pejantan,
terbukanya kesempatan untuk menggunakan pejantan unggul secara luas, mencegah
penularan penyakit .mengurangi gangguan fisik yang berlebihan terhadap sapi betina
pada waktu kawin, serta menghemat biaya. Pelaksaaan IB yang baik dapat menjadi
salahsatu upaya meningkatkan produktivitas ternak melalui perbaikan mutu genetik
ternak. Keberhasilan kebuntingan ternak melalui program IB ditentukan beberapa faktor
yaitu ternak pejantan, betina, peternak dan pelaksanaan inseminasi buatan (Lindsay dkk.,
1982).
Kerbau adalah salah satu ternak yang populasinya cukup banyak di Kabupaten Deli
Serdang. Topografi wilayah Deli Serdang tepatnya kecamatan Namorambe memang
sangat bagus untuk peternakan kerbau. Ternak kerbau lebih unggul dari sapi dalam
beberapa hal, antara lain kolesterol susu lebih rendah 43% dari sapi, kalsium susu lebih
tinggi 65% dari sapi,BSE free species, penghasil daging (the red with a green attinde),
rasa dagingnya tidak beda dari daging sapi jika dimasak, dan sangat jarang mengalami
kesulitan beranak. Selain itu, konversi pakan bermutu rendah, dengan sedikit suplemen
menjadi daging yang baik (Talib dan Talib, 2007). Oleh karena itu, sesungguhnya
prospek masa depan ternak kerbau sangat bagus apalagi untuk menopang ketahanan
pangan khususnya ketersediaan dan kucukupan daging tahun 2020 karena selama ini
daging kerbau dikonsumsi dihampir seluruh wilayah Indonesia dan sering dikenal
sebagai daging sapi.
Masalah pada kerbau adalah tingkat reproduktivitasnya rendah, yang ditandai
dengan umur pubertas yang lebih lambat dan selang beranak yang lebih panjang
dibandingkan dengan sapi. Pubertas pada ternak kerbau dicapai pada umur 21 bulan
dengan selang beranak 18 bulan, sedangkan pubertas pada sapi dicapai pada umur 15
bulan dengan selang beranak 15 bulan (Surya Natal Tambing dkk, 2000). Kami, Tim
Peneliti, tertarik untuk melakukan penelitian dibidang ternak kerbau, karena beberapa
alasan tersebut. Rendahnya tingkat reproduktivitas pada kerbau disebabkan pemeliharaan
yang masih tradisional sehingga penanganan reproduksinya belum optimal.
| Laporan Mini Riset 2
Inseminasi Buatan (IB) adalah salah satu bioteknologi reproduksi alternatif yang
dapat digunakan untuk memperbaiki produktivitas usahaternak kerbau di Indonesia. IB
merupakan alat yang efisien dan efektif dalam melaksanakan kebijaksanaan pemulian
ternak secara nasional untuk memperbaiki mutu genetik keturunannya secara cepat
(Surya Natal Tambing dkk, 2000).
Di Indonesia, IB pada ternak kerbau (swamp buffaloues) pertama kali dilakukan oleh
Toelihere pada tahun 1975 di Tana Toraja, Sulawesi Tenggara. Inseminasi buatan
tersebut dengan menggunakan sperma kerbau belang, hitam-putih (tedong bonga) yang
ditampung dengan menggunakan vagina buatan kemudian diinseminasikan pada 6
kerbau betina. Setahun kemudian, 4 ekor kerbau yang di-IB tersebut melahirkan (Ismaya,
2014).
Dari latar belakang di atas, maka penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui
bagaimana teknologi reproduksi yang berkembang saat ini dan bagaimana teknologi
reproduksi yang dilakukan oleh peternak.

1.2. Rumusan Masalah


Peternakan ini berada di Jl. Deli Tua Pamah, Batu Gemuk, Kec. Namorambe, Kab.
Deli Serdang Sumatera Utara (Pasar II Namorambe) dan telah didirikan selama 25 tahun.
Peternakan ini dikelola untuk menghasilkan daging. Apakah peternakan ini menerapkan
teknologi reproduksi pada hewan ternaknya? Untuk itu, kami merumuskan beberapa
masalah sebagai berikut.
1. Apakah hewan ternak (kerbau) di Peternakan Pak Sugianto yang diamati mengalami
kebuntingan?
2. Bagaimana ciri-ciri dari hewan ternak (kerbau) yang sedang mengalami kebuntingan
di Peternakan Pak Sugianto?
3. Inovasi teknologi reproduksi apa saja yang telah digunakan di Peternakan Pak
Sugianto?
4. Apa saja keuntungan atau kerugian dari inovasi teknologi reproduksi yang diterapkan
di Peternakan Pak Sugianto?

| Laporan Mini Riset 3


1.3. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu.
1. Untuk mendapatkan data untuk mendapatkan jumlah lembu yang mengalami
kebuntingan di peternakan.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri dari hewan ternak (kerbau) yang sedang mengalami
kebuntingan di Peternakan Pak Sugianto.
3. Untuk mengetahui keberhasilan teknologi reproduksi terhadap ternak sapi. Untuk
engetahui keuntungan dan kerugian dari inovasi teknologi reproduksi yang diterapkan
di Peternakan Pak Sugianto.
4. Untuk mengetahui keuntungan atau kerugian dari inovasi teknologi reproduksi yang
diterapkan di Peternakan Pak Sugianto.

1.4 Manfaat
1. Sebagai bahan informasi mengenai hasil dari pengunaaan teknologi reproduksi.
2. Sebagai bahan informasi mengenai pengaruh dari inovasi teknologi reproduksi
terhadap susu / daging / anak yang dilahirkan.

| Laporan Mini Riset 4


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka


 Karakteristik Ternak Bunting (Bunting Tua)
Adapun ciri-ciri ternak yang bunting tua menjelang kelahiran yaitu
1. Ambing mulai turun dan membesar
2. Puting kencang
3. Vulva bengkak
4. Tulang pelvis cekung (Kuswanti dkk, 2016).
Ciri lainnya dari ternak yang sedang bunting yaitu tidak kembalinya birahi
setelah dikawinkan (Non Return), tetapi hal ini kemungkinan terjadi karena adanya
gangguan hormonal, artinya ternak tersebut tidak mengalami kebuntingan
(Ismudiono dkk, 2010).

 Teknik untuk Mengetahui Kebuntingan Ternak Sejak Dini


Karena keinginan manusia untuk mengetahui kebuntingan hewannya secara dini
setelah dikawinkan maka ada beberapa teknik untuk mengetahui kebuntingan pada
ternak.
1. Palpasi Rektal
2. Penggunaan Ultrasonographi (USG)
3. Pemeriksaan Konsentrasi Hormon Progesteron
4. Penggunaan Radiografi
5. Pemeriksaan Antigen Embrio (Ismudiono dkk, 2010).

 Keuntungan Penggunaan IB
Bagi peternak, IB sangat menguntungkan karena tanpa memelihara pejantan
unggul dapat memperoleh bibit (sperma beku) yang unggul, sehingga menghasilkan
keturunan yang unggul. Di samping, itu mencegah meluasnya penyakit kelamin
yang sering ditularkan melalui perkawinan alami. Peternak memperoleh keturunan
yang cepat besar di samping tinggi produksinya (kenaikan berat badan dan prosuksi
susu). Oleh karena itu, dengan adanya program IB, peternak dapat memperoleh
keuntungan yang lebih besar dari usaha peternakannya.

| Laporan Mini Riset 5


Dengan IB maka penggunaan penjantan yang unggul dapat digunakan secara
maksimal. Sebagai gambaran, jika penjatan kawin secara alami, suatu perkawinan
alami hanya akan menghasilkan satu keturunan karena pada sapi dan kerbau jarang
melahirkan kembar. Dengan IB maka potensi untuk meningkatkan seleksi terhadap
pejantan dan keturunannya sangat dimungkinkan sehingga kelak akan bermanfaat
dalam meningkatkan populasi sapi dan kerbau yang berkualitas. Pejantan yang
unggul dengan fertilitas yang tinggi dapat memperpendek jarak beranak (calvin
interval) pada ternak sapi maupun pada kerbau, sehingga efisiensi reproduksi dapat
tercapai dan produktivitas ternak menjadi lebih tinggi sehingga lebih
menguntungkan bagi peternak karena pendapatannya meningkat (Ismaya, 2014).

 Kerugian Penggunaan IB
Apabila jumlah pejantan sedikit atau terbatas maka dimungkinkan dalam suatu
daerah bibit sperma beku (frozen semen) yang ada juga terbatas. Bila ini terjadi
dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan terjadinya perkawinan keluarga atau
inbreeding, sehingga menyebabkan produktivitas ternaknya menurun. Namun, hal
ini dapat dibatasi dengan tata laksana yang baik mengenai distribusi sperma beku ke
daerah, misalnya setiap 2 tahun haus ada pergantian bibit sperma beku dalam suatu
daerah. Jika sperma tercemar dengan bibit penyakit kelamin, akan terjadi
penyebaran penyakit secara cepat dan meluas. Jika inseminator kurang terampil
maka akan terjadi pengulangan IB. Apakah inseminator kasar atau ceroboh dalam
melakukan inseminasi dapat menyebabkan luka pada bagian dalam alat reproduksi
sapi atau kerbau sehingga dapat terjadi infeksi. Gangguan pada alat reproduksi dapat
menurunkan efisiensi reproduksi (Ismaya, 2014).

2.2 Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya, kami dapat
menyimpulkan beberapa hipotesis sebagai berikut.
1. Ho : Hewan ternak (kerbau) di Peternakan Pak Sugianto yang diamati tidak
mengalami kebuntingan.
H1 : Hewan ternak (kerbau) di Peternakan Pak Sugianto yang diamati mengalami
kebuntingan.
2. Rumusan masalah kedua tidak dapat dihipotesiskan karena tidak adanya variabel yang
dapat dibandingkan dalam rumusan masalah ini.
| Laporan Mini Riset 6
3. Untuk rumusan masalah 3 dan 4, kami mengajukan hipotesis yaitu.
Ho : Tidak ada pengaruh dari teknologi reproduksi yang diterapkan di peternakan ini
terhadap kualitas anak yang dilahirkan.
H1 : Ada pengaruh dari teknologi reproduksi yang diterapkan di peternakan ini
terhadap kualitas anak yang dilahirkan.

| Laporan Mini Riset 7


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2019 di Peternakan Pak Sugianto yang
berlokasi di Jl. Deli Tua Pamah, Batu Gemuk, Kec. Namorambe (Pasar II Namoambe)
Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

3.2. Alat dan Objek Penelitian


Alat :
1. Alat tulis dan kertas untuk mencatat hasil dari penelitian.
2. Kamera.
3. Recorder.
4. Laptop untuk mengolah data, baik itu data fisik.
Objek Penelitian :
Kerbau-kerbau dalam keadaan bunting atau tidak bunting di Peternakan Pak Sugianto.

3.3. Instrumen Penelitian


1. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait sistem inovasi teknologi
reproduksi, kuantitas, kualitas, cara pemeliharaan dan pakan yang diberikan pada
sapi sapi di peternakan tersebut. Wawancara juga dilakukan untuk mengetahui asal
sapi, jenis sapi, bangsa sapi dan bagaimana ciri ciri sapi yang mengalami
kebuntingan sampai yang akan segera melahirkan dengan narasumber sebanyak satu
orang yaitu pengurus peternakan tersebut sehari hari.

2. Observasi
Observasi dilakukan setelah wawancara untuk mengamati keadaan kerbau yang
bunting dan tidak bunting, melihat warna bulu dan karakteristik jenis kerbau di
peternakan ini.

| Laporan Mini Riset 8


3. Prosedur Penelitian
a. Melakukan survey ke lokasi peternakan;
b. Melakukan wawancara kepada peternak;
c. Mengamati kondisi hewan ternak;
d. Mengamati hewan ternak yang bunting dan tidak bunting;
e. Mencatat register induk (No. telinga/badan, asal ternak, jenis ternak, bangsa,
warna bulu, diagnosa kebuntingan);
f. Melakukan dokumentasi terhadap ternak yang menjadi sampel penelitian.

| Laporan Mini Riset 9


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Wawancara kepada Peternak


1. Nama responden : Sugianto
2. Umur : 46 tahun
3. Pekerjaan utama : Peternak
4. Lama beternak : 25 tahun
5. Teknologi Reproduksi yang digunakan : Inseminasi Buatan
6. Lama penggunaan IB : 10 tahun
7. Jenis ternak : Kerbau Rawa
8. Warna ternak : Hitam
9. Jumlah ternak : 10 ekor kerbau (1 ekor jantan, 9 ekor
betina) dan 2 ekor lembu.
10. Rata-rata umur induk : 2-4 tahun
11. P : Apakah Bapak bergabung dengan kelompok peternak?
J : Saya tidak bergabung dengan kelompok peternak.
12. P : Apakah Bapak pernah mengikuti pelatihan mengenai peternakan ternak (kerbau)
potong?
J : Saya, tidak pernah mengikuti pelatihan mengenai peternakan ternak (kerbau)
potong.
13. P : Apakah Bapak memberikan konsentrat pada ternak sapi potong bapak?
J : Saya tidak pernah memberikan konsentrat tertentu kepada ternak, hanya
memberikan rumput biasa.
14. P : Apakah ternak sapi Bapak diberi vitamin, mineral atau tambahan nutrisi?
J : Tidak.
15. P : Apakah Bapak melaksanakan pencatatan (recording) mengenai inseminasi
buatan, kebuntingan, kelahiran dan penyapih anak-anak, status penyakit yang pernah
diderita, pencegahan dan pengobatan penyakit dan catatan lainnya?
J : Pencatatan dilakukan oleh petugas IB, catatannya sudah hilang.
16. P : Apakah Bapak tahu mengenai proses-proses pelaksanaan IB?
J : Semua prosedur IB dilakukan oleh petugas IB, Saya tidak tau-menahu tentang itu.
17. P : Berapa umur induk yang layak untuk melaksanakan reproduksi?
J : Umur 2 tahun sudah bisa bereproduksi.
| Laporan Mini Riset 10
18. P : Berapa jangka waktu kebuntingan setelah pelaksanaan IB?
J : Jangka waktu kebuntingan setelah IB adalah 21 hari.
19. P : Bagaimana ciri-ciri kerbau yang sedang bunting?
J : Ciri-cirinya ya setelah 21 hari, dia tidak birahi lagi, perutnya membesar seperti
manusia yang hamil.
20. P : Berapa jangka waktu kehamilan pada ternak kerbau Bapak?
J : Sama seperti manusia biasanya, sekitar 9 bulan.
21. P : Berapa presentase kesuksesan IB ini, Pak?
J : Ya sekitar 70 %.
22. P : Apa faktor-faktor penyebab terjadinya kegagalan IB sebesar 30 % tersebut, Pak?
J : Faktor yang menyebabkan kerbau tersebut tidak hamil adalah masa birahi lewat,
bibitnya kadarluwarsa.
23. P : Kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan IB?
J : Waktu inseminasi buatan (IB) yang tepat dilakukan pada hewan ternak kerbau
adalah 1 hari setelah masa birahi.
24. P : Apakah inseminator yang Bapak pekerjakan sudah terdidik dan terlatih untuk
melaksanakan IB?
J : Petugas IB tersebut sudah terdidik, sudah memiliki keterampilan khusus untuk
melakukan inseminasi buatan.
25. P : Keuntungan apa saja yang Bapak dapatkan dari penggunaan IB ini?
J : Keuntungan yang Saya dapatkan dari penggunaan inseminasi buatan pada hewan
ternak itu relatif, kalau semennya bagus, peranakan berhasil dan anak yang
dilahirkan berkualitas.
26. P : Kira-kira, apa kerugian atau kendala yang Bapak rasakan selama penggunaan IB
ini?
J : Kelemahan atau kendala yang dirasakan selama menggunakan inseminasi buatan
pada hewan ternak adalah apabila bibitnya (semen) tidak bagus, tidak terjadi
kebuntingan. Lebih bagus kawin alam.
27. P : Apakah pernah terjadi kelahiran kembar, Pak?
J : Tidak, tidak pernah.
28. P : Berapa pekerja yang Bapak pekerjakan dalam mengelola peternakan ini?
J : Pekerjanya ya hanya Saya sama anak saya. Hanya 2 orang.
29. P : Berapa petugas IB yang Bapak pekerjakan?
J : Hanya satu orang.
| Laporan Mini Riset 11
30. P : Berapa upah yang Bapak berikan kepada petugas ini?
J : 150 ribu per kerbau, untuk sekali inseminasi.
31. P : Apabila gagal, apakah Bapak tetap memberi upah?
J : Tentu saja tidak, saya hanya memberikan uang rokok.
32. P : Beberapa total pendapatan yang Bapak dapatkan dari pejualan kerbau ini selama
setahun?
J : Sekitar 20 juta-30 juta per tahun.
33. P : Apakah Bapak menjual kotoran dari kerbau bapak?
J : Tidak Saya jual, belakangan ini kotoran sapi tidak laku dijual kepasaran, orang
biasa memakai punya sendiri (dari ternak sendiri).
34. P : Apakah Bapak menjual susu dari kerbau Bapak?
J : Tidak, tidak Saya jual.

4.2. Pengamatan Register Induk


Tabel 1 Pengamatan Register Induk
No Nama Alamat No.Teling Asal Jenis Bangsa Warna Diagnosa
Pemilik a/ Badan Ternak Terna Bulu Kebuntinga
k n
1. Sugianto Jl. Deli Tua 1 Thailand Kerbau Kerbau Hitam Bunting
Pamah, Batu Rawa
Gemuk, Kec.

2. Namorambe, 2 Thailand Kerbau Kerbau Hitam Tidak


Kab. Deli Rawa Bunting
3. Serdang 3 Thailand Kerbau Kerbau Hitam Bunting
Sumatera Rawa
Utara
4. 4 Thailand Kerbau Kerbau Hitam Tidak
(Pasar II
Rawa Bunting
Namorambe)
5. 5 Thailand Kerbau Kerbau Hitam Tidak
Rawa Bunting
6. 6 Thailand Kerbau Kerbau Hitam Tidak
Rawa Bunting
7. 7 Thailand Kerbau Kerbau Hitam Tidak
Rawa Bunting

| Laporan Mini Riset 12


8. 8 Thailand Kerbau Kerbau Hitam Tidak
Rawa Bunting
9. 9 Thailand Kerbau Kerbau Hitam Tidak
Rawa Bunting

 Sampel yang diambil berjenis kelamin betina.


 Frekuensi melahirkan : 1-2 kali setiap tahun.
 Jarak beranak : 43 hari setelah masa melewati masa kebuntingan (9 bulan) / 43 hari
setelah melahirkan.

4.3. Pembahasan
Peternakan milik Pak Sugianto, yang berada di Pasar II Namorambe ini telah
didirikan selama 25 tahun. Peternakan ini dikelola untuk menghasilkan daging.
Peternakan ini memiliki 10 ekor kerbau rawa (1 ekor jantan dan 9 ekor betina) dan 2 ekor
lembu.
Ketika melakukan penelitian, kami menemukan sebanyak 2 kerbau milik Pak
Sugianto sedang mengalami kebuntingan, hipotesis kami sebelum melakukan penelitian
ini sudah terbukti. Beliau mengatakan bahwa ciri-ciri dari ternak yang bunting yaitu
ternak tidak birahi lagi setelah 21 hari, perutnya membesar seperti manusia yang hamil.
Hal ini sesuai dengan ciri-ciri ternak bunting yang diutarakan Ismudiono dkk (2010)
yaitu tidak kembalinya birahi setelah dikawinkan (Non Return).
Kerbau milik Pak Sugianto biasanya mengalami kebuntingan selama 9 bulan
layaknya manusia pada umumnya. Pak Sugianto menyebutkan bahwa kerbaunya yang
berusia 2 tahun, sudah mampu dan layak untuk berproduksi. Pada umur 8-11 bulan
biasanaya ternak betina sudah menunjukan tanda-tanda birahi, ini berarti saluran
reproduksinya sudah berkembang sempurna dan bila terjadi perkawinan dapat terjadi
kebuntingan. Waktu ideal untuk mengawinkan ternak dara untuk pertama kalinya ketika
tubuh sudah siap untuk bunting yaitu sekitar umur 24--30 bulan, dengan masa
kebuntingan sekitar 285 hari diharapkan ketika umur 3 tahun sapi sudah beranak untuk
pertama kalinya (Bastian Rusdi dkk, 2016).

| Laporan Mini Riset 13


Pak Sugianto telah menggunakan teknologi reproduksi inseminasi buatan selama 10
tahun. Teknik ini mulai digunakan oleh Pak Sugianto tanpa dorongan dari akademisi di
sekitar wilayahnya atau dengan kata lain beliau sadar untuk menggunakan teknik ini
hanya karena ajakan teman sesama peternak. Inseminasi Buatan sebenarnya telah
berkembang di Indoenisa sejak tahun 1950-an, untuk IB pada ternak kerbau, pertama kali
dilakukan oleh Toelihere pada tahun 1975 di Tana Toraja, Sulawesi Tenggara.
Inseminasi buatan tersebut dengan menggunakan sperma kerbau belang, hitam-putih
(tedong bonga) yang ditampung dengan menggunakan vagina buatan kemudian
diinseminasikan pada 6 kerbau betina. Setahun kemudian, 4 ekor kerbau yang di-IB
tersebut melahirkan (Ismaya, 2014).
Waktu inseminasi buatan (IB) yang tepat dilakukan pada hewan ternak kerbau
adalah 1 hari setelah masa birahi. Jangka waktu kebuntingan setelah dilakukannya
inseminasi buatan adalah 21 hari, disebut begitu karna harus menunggu untuk
memastikan apakah kerbau betina mengalami birahi atau tidak. Faktor terpenting dalam
pelaksanaan inseminasi adalah ketepatan waktu pemasukan semen pada puncak
kesuburan ternak betina. Puncak kesuburan ternak betina adalah pada waktu menjelang
ovulasi. Waktu terjadinya ovulasi selalu terkait dengan periode berahi. Pada umumnya
ovulasi berlangsung sesudah akhir periode berahi. Menurut HAFEZ (1993) bahwa
ovulasi pada ternak kerbau terjadi 15-18 jam sesudah akhir berahi atau 35-45 jam
sesudah munculnya gejala berahi (Surya Natal Tambing dkk, 2000).
Bapak ini tidak tahu menahu mengenai proses pelaksanaan IB, Beliau hanya
memanggil petugas IB yang biasa disebut inseminator untuk melaksanakan semua proses
inseminasi. Pemanggilan inseminator dilakukan apabila kerbau betina sedang mengalami
birahi. Inseminator yang Pak Sugianto pekerjakan disebut sudah terdidik dan terlatih
secara khusus untuk melakukan inseminasi buatan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Marthin Sibagariang (2010), jumlah inseminator di Sumatera Utara sudah
mencukupi dan kemampuannyapun sudah memadai.
Keuntungan yang didapatkan Pak Sugianto selama menggunakan teknologi
reproduksi bergantung kepada semen yang dihasilkan oleh kerbau jantan, kalau
semennya bagus peranakan kerbau berhasil dan anak yang dilahirkan berkualitas.
Kerugiannya juga terletak pada kondisi semen yang dihasilkan, jika semen tidak bagus,
tidak terjadi kebuntingan. Karena memikirkan kerugian tersebut, Pak Sugianto lebih
merasakan kalau kawin alam lebih baik.

| Laporan Mini Riset 14


Persentase keberhasilan inseminasi buatan di peternakan ini sebesar 70%. Kegagalan
inseminasi buatan pada umumnya disebabkan oleh masa birahi kerbau betina sudah
lewat, dan bibitnya (semen) kadaluwarsa. Kegagalan reproduksi melalui IB merupakan
suatu interaksi dari berbagai faktor, baik faktor luar maupun faktor dalam hewan itu
sendiri sehingga perlu ditinjau secara epidemologik dengan memandang dunia hewan
sebagai suatu kelompok yang luas. Faktor ketidaksuburan (infertilitas) yang diderita sapi
dapat disebabkan oleh faktor lingkungan atau adanya gangguan hormonal. Faktor
lingkungan dapat dilihat dari makanan, manajemen, penyakit menular dan tidak menular,
serta iklim. Sementara itu, yang disebabkan oleh gangguan hormonal berupa anestrus
(gejala sapi tidak mengalami berahi karena kekurangan hormon estrogen), kista ovaria
(adanya kista dalam indung telur yang diakibatkan kegagalan pematangan sel telur akibat
rendahnya pengeluaran LH/Luteinizing Hormone dan FSH/Follicle Stimulating
Hormone) (Fifi Afiati dkk, 2013).
Sedangkan menurut Toelihere (1997), keberhasilan program IB atau efisiensi
reproduksi dalam program IB pada suatu kelompok ternak ditentukan oleh empat faktor
utama yaitu kualitas semen pejantan, kesuburan ternak betina, keterampilan teknisi dan
pengetahuan zooteknik peternak. Keempat faktor tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi
tergantung secara merata pada semua faktor tersebut. Penurunan drastis pada salah satu
faktor akan menurunkan secara drastis pula nilai akhir efisiensi reproduksi (Surya Natal
Tambing dkk, 2000).
M. Yusuf Budi Santoso (2016) dalam tulisannya mengatakan bahwa keterlambatan
birahi kembali pada induk yang sudah melahirkan berhubungan langsung dengan kondisi
pakan yang dikonsumsi. Pada kondisi pemeliharaan peternakan rakyat, pakan yang
diberikan pada sapi hanya mengandalkan pakan hijauan yang ada di padang
penggembalaan, rumput hijau, dan jerami padi. Kejadian ini sama halnya dengan apa
yang dilakukan oleh Pak Sugianto, Beliau tidak memberikan jenis pakan tertentu kepada
ternaknya, hanya memberikan rumput biasa. Mungkin Pak Sugianto tidak tahu bahwa dia
bukan melewati masa birahi dari ternak betinya, tapi justru ternak betina yang beliau
pelihara mengalami keterlambatan birahi, yang mana disebabkan oleh kondisi pakan
yang dikonsumsi, sehingga mungkin inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab
kegagalan inseminasi buatan di peternakan Pak Sugianto.

| Laporan Mini Riset 15


BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, sebanyak 2 ekor kerbau milik Pak
Sugianto mengalami kebuntingan, dengan ciri-ciri yaitu kerbau tidak birahi lagi setelah
21 hari daan perutnya tampak membesar layaknya manusia yang hamil. Pak Sugianto
telah menggunakan teknologi reproduksi inseminasi buatan untuk ternaknya selama 10
tahun. Keuntungan dan kerugian yang didapat oleh Pak Sugianto dari penggunaan
inseminasi buatan tergantung kepada semen yang dihasilkan oleh ternak jantan, kalau
semennya bagus peranakan kerbau berhasil dan anak yang dilahirkan berkualitas.
Namun, apabila semen yang dihasilkan tidak bagus, maka tidak akan terjadi kebuntingan.
Karena memikirkan kerugian tersebut, Pak Sugianto lebih merasakan kalau kawin alam
lebih baik.

5.2. Saran
 Bagi peternak
Pemilik ternak diharap ikut serta dalam pelatihan inseminasi buatan. Jangan hanya
berharap pada petugas inseminasi buatan saja. Karena agar pemilik ternak juga tahu
bagaimana proses dari inseminasi buatan itu sendiri. Dan juga bagi pemilik ternak
diharapkan untuk memiliki lahan pakan sendiri demi menghindari persaingan
dengan peternak lainnya.
 Bagi pembaca
Diharapkan supaya lebih paham dan lebih mengenali tentang bagaimana proses dari
inseminasi buatan dan juga menambah wawasan pengetahuan tentang inseminasi
buatan.
 Bagi peneliti
Untuk penelitian selanjutnya diharapkan mampu untuk lebih lagi mengetahui apa-
apa saja faktor dari inseminasi buatan, pengaruhnya bagi lingkungan, dan juga
keuntungan dan kelebihan dari pembuatan inseminasi buatan tersebut.

| Laporan Mini Riset 16


DAFTAR PUSTAKA

Afiati, Fifi, dkk. 2013. Pembibitan Ternak dengan Inseminasi Buatan. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Elisia, Rini dkk. 2014. Identifikasi Jumlah Folikel Pada Berbagai Ukuran Ovarium Kerbau
yang di Ambil dari Rumah Potong Hewan (RPH). Jurnal Agrotropical. Vol 4 (2).
Ihsan, Mohammad Nur.2010. Ilmu Teknologi Ternak Dasar. Malang: UB Press.
Ismudiono, dkk. 2010. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: ITB.
Ismaya. 2014. Bioteknologi Inseminasi Buatan pada Sapi dan Kerbau. Yogayakarta: Gadjah
Mada University Press.
Octaviani, Nurisa. 2014. Inseminasi Buatan Pada Sapi. Diambil dari
https://www.academia.edu/8831925/Tugas_Teknologi_Reproduksi_dan_Inseminsi_Buata
n_Inseminasi_Buatan_Pada_Sapi_Oleh_Kelas_2012_A hari Sabtu, 9 November 2019
pukul 12.30 wib.
Rusdi, Bastian, dkk. 2016. Calving Interval pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu. Jurnal
Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol. 4 (4).
Santoso, M. Yusuf Budi. 2016. Pengaruh Perbaikan Pakan Terhadap Respon Berahi Pada
Sapi Bali Induk Setelah Melahirkan Melalui Pemberian Konsentrat dengan Level Protein
yang Berbeda. Fakultas Peternakan : Universitas Hasanuddin.
Sibagariang, Marthin, dkk. 2010. Analisis Pelaksanaan Inseminasi Buatan (Ib) pada Sapi dan
Strategi Pengembangannya di Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Agribisnis. Vol. 3 (2).
Suciani. 2015. Teknologi Reproduksi dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Ternak.
Fakultas Peternakan : Universitas Udayana.
Tambing, Surya Natal, dkk. 2000. Optimasi Program Inseminasi Buatan pada Kerbau.
Fakultas Kedokteran Hewan : Institut Pertanian Bogor.

| Laporan Mini Riset 17


LAMPIRAN-LAMPIRAN

Kerbau-Kerbau di Peternakan Pak Sugianto

Kerbau dan 2 Ekor Lembu di Peternakan Pak Sugianto

| Laporan Mini Riset 18


Pak Sugianto Sedang Menyiram Ternaknya

Foto Bersama di Peternakan Pak Sugianto

| Laporan Mini Riset 19


Foto Bersama Pak Sugianto di Peternakan Beliau

| Laporan Mini Riset 20

Anda mungkin juga menyukai